Author
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
PRESENTASI KASUS Kepada Yth:
Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal :
Jam : WITA
PENGOBATAN TINEA KRURIS ET KORPORIS DAN
TINEA PEDIS TIPE INTERDIGITAL PADA
SEORANG PENDERITA PSIKOTIK EPILEPSI
Oleh :
dr. Indra Teguh Wiryo
Pembimbing:
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
1
DAFTAR ISI
Halaman Sampul i
Daftar Isi 1
Pendahuluan 2
Kasus 3
Pembahasan 10
Simpulan 17
Daftar Pustaka 18
2
PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita.
Jamur dermatofita ini meliputi tiga genus yaitu Trichophyton, Microsporum dan
Epidermophyton. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung keratin sebagai
sumber nutrisi untuk tumbuh dan berkembang biak, seperti pada kulit, rambut dan kuku.
Klasifikasi dermatofitosis dibagi berdasarkan habitat dan tempat predileksi infeksinya.
Berdasarkan habitat alaminya, dermatofita dapat dibedakan menjadi tiga yaitu geofilik,
zoofilik dan antropofilik. Sedangkan berdasarkan tempat predileksinya, dapat dibagi
menjadi tinea kapitis, tinea barbae, tinea korporis, tinea manum, tinea kruris, tinea pedis
dan tinea unguium. Tinea korporis merupakan infeksi dermatofitosis pada kulit glabosa
kecuali daerah telapak tangan, telapak kaki, lipat paha, bokong, kuku dan rambut. Tinea
kruris merupakan infeksi dermatofitosis pada daerah lipatan paha dan bokong. Tinea pedis
merupakan infeksi dermatofitosis pada daerah telapak kaki dan sela –sela jari kaki.1,2
Dermatofitosis diperkirakan mengenai 20-25% dari seluruh populasi di dunia dan
merupakan salah satu bentuk infeksi yang paling sering pada manusia.3 Insiden
dermatofitosis di Indonesia sendiri bervariasi, dimana berdasarkan data dari berbagai
rumah sakit pada tahun 2011, didapatkan insiden sebesar 42,5% (Jakarta), 48,5%
(Manado), 52,7% (Surabaya), 55,4% (Medan), 59,7% (Semarang), 64,5% (Denpasar),
65,5% (Yogyakarta), 69,1% (Makasar), 69,3% (Malang), 71,1% (Bandung), 74%
(Palembang).4
Di poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah
pada periode Januari 2015 - Desember 2015 tercatat sebanyak 15 kasus baru tinea korporis,
8 kasus baru tinea kruris dan 5 kasus baru tinea pedis.5
Beberapa faktor presdiposisi terjadinya dermatofitosis antara lain iklim yang panas,
kelembaban yang tinggi, higiene perorangan yang buruk seperti pada penderita psikotik,
kontak lama dengan binatang, obesitas dan kondisi imunokompromais yang disebabkan
oleh HIV/AIDS, pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama, serta diabetes
melitus.3,6
Epilepsi adalah suatu keadaan kejang berulang tanpa provokasi yang disebabkan
oleh adanya gangguan neurologis di otak. Penyakit ini umum dijumpai, dengan perkiraan
50 juta penderita yang tersebar di seluruh dunia atau sebesar 3% dari seluruh populasi
3
dunia. Beberapa faktor resiko yang dapat memicu terjadinya epilepsi yaitu: riwayat
keluarga dengan epilepsi, cedera kepala, riwayat persalinan abnormal dan infeksi pada
sistem saraf pusat.8,9
Epilepsi telah lama diketahui memiliki hubungan sebagai faktor resiko
untuk terjadinya psikosis, namun penyebab pasti dari hubungan tersebut masih belum
diketahui sampai sekarang. Berdasarkan review yang dilakukan oleh Clancy, et al pada
tahun 2014, didapatkan sebanyak 6% individu yang menderita epilepsi memiliki
komorbiditas psikosis. Tingkat prevalensi psikosis paling tinggi didapatkan pada penderita
epilepsi lobus temporal.10,11
Psikosis adalah suatu kondisi abnormal atau gangguan mental yang menyebabkan
ketidakmampuan seseorang dalam menilai perbedaan antara kenyataan dengan fantasi.
Orang yang menderita psikosis disebut psikotik.10
Penderita psikosis akan mengalami
gangguan dalam bekerja, maupun menjalankan aktivitas kehidupan sehari – hari seperti
menjaga kebersihan tubuhnya. Kuruvila M, et al, dan Martoenis, et al menyatakan adanya
peningkatan insiden infeksi dermatofitosis pada penderita psikotik.12,13
Penegakan diagnosis dermatofitosis berdasarkan pada anamnesis, gambaran klinis
dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan secara mikroskopis dengan KOH,
pemeriksaan fluoresensi dengan lampu Wood dan kultur jamur. 1,7
Berikut dilaporkan satu
kasus infeksi tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis pada seorang penderita psikotik
epilepsi. Kasus ini dilaporkan untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang infeksi
dermatofitosis terutama tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan terapinya terkait dengan
interaksi obat pada penderita psikotik epilepsi.
KASUS
Seorang laki - laki, usia 47 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan nomor rekam
medis 00650474, datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah pada tanggal 27
Januari 2016 dengan keluhan utama gatal di seluruh tubuh hingga sulit tidur. Dari
anamnesis didapatkan keluhan gatal dan bercak kemerahan pada lipat paha dan bokong
sejak 10 tahun yang lalu. Keluhan gatal dirasakan terutama saat pasien berkeringat. Sejak 2
tahun lalu bercak kemerahan dan gatal bertambah pada bagian ketiak kanan dan punggung
kiri, pasien sempat berobat ke dokter, namun keluhan sering kambuh kembali. Sejak 1
4
bulan terakhir ini pasien mengaku sangat gatal pada seluruh tubuhnya sampai mengganggu
tidur, sehingga pasien datang berobat ke poli Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah.
Pasien mengatakan 2 tahun yang lalu sudah pernah berobat ke dokter spesialis kulit dan
kelamin, mendapat obat berupa salep namun lupa nama obatnya. Saat itu keluhan dirasakan
sudah membaik, karena itu pasien tidak berobat lagi, namun keluhan kambuh lagi ketika
obat salep habis. Pasien juga pernah mengoleskan spiritus 3 bulan lalu, namun tidak ada
perbaikan. Pasien juga menderita penyakit epilepsi dan psikotik epilepsi. Pasien
mendapatkan obat carbamazepine 3x200mg per oral, clobazam 2x10mg per oral dan asam
folat 1x1mg per oral yang rutin diminum setiap hari untuk pengobatan epilepsinya.
Riwayat pengobatan psikotik epilepsi dengan haloperidol 2x1,5mg per oral setahun lalu.
Penyakit lain seperti penyakit jantung, penyakit kuning dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal oleh pasien.
Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama. Ibu pasien
menderita penyakit diabetes mellitus. Pasien adalah anak kedua dari tiga bersaudara, di
keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat menderita penyakit epilepsi ataupun
psikotik. Pasien tidak bekerja dan masih tinggal bersama orang tuanya. Pasien dapat
sekolah dari SD sampai kuliah, namun setelah lulus pasien tidak diijinkan untuk bekerja.
Dalam kesehariannya pasien sering memakai celana dalam yang dilapis dengan celana
boxer dan kemudian memakai celana panjang. Pasien juga mengaku sering berkeringat
karena kepanasan. Pasien tidak memiliki binatang peliharaan di rumahnya.
Pasien memiliki riwayat lahir kurang bulan dengan berat badan rendah (2000gram).
Proses persalinan dibantu oleh bidan di rumah. Ibu pasien tidak membawa pasien ke rumah
sakit, karena pasien tampak sehat saja meskipun berat badan lahir rendah dan kurang bulan.
Saat berusia 14 bulan, pasien sempat kejang selama 4jam, namun tidak langsung dibawa ke
rumah sakit. Ibu pasien membawa pasien ke rumah sakit keesokan harinya karena kejang
berulang disertai demam tinggi. Dokter mengatakan pasien menderita meningitis dan harus
dirawat di rumah sakit. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit selama 4 bulan, dan
diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Namun setelah pulang pasien
masih sering kejang di rumah. Saat diperiksakan kembali ke dokter pasien dikatakan
menderita epilepsi, sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat anti kejang. Enam tahun yang
5
lalu pasien pernah mengamuk dan kemudian dirawat di bangsal Lely di RSUP Sanglah,
pasien didiagnosis menderita penyakit psikotik epilepsi
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis,
tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 84x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit,
temperatur aksila 36,2°C. Tinggi badan 155 cm, berat badan 68 kg, indeks massa tubuh
28,3 (berat badan berlebih). Pada status generalis didapatkan kepala normosefali. Pada
pemeriksaan mata tidak didapatkan konjungtiva anemis dan sklera ikterik. Pada
pemeriksaan mulut dan mukosa didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan telinga,
hidung dan tenggorokan tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan thorak didapatkan suara
jantung S1S2 tunggal reguler, tidak ada murmur. Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi
maupun wheezing. Pada pemeriksaan abdomen terdengar suara bising usus normal, tidak
didapatkan distensi, hepar dan lien tidak teraba. Pemeriksaan ekstremitas teraba hangat dan
tidak dijumpai edema. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening baik di leher,
ketiak, ataupun lipatan paha.
Status dermatologi lokasi pada regio aksila dextra didapatkan makula eritematosa
soliter, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 4x6cm, tampak bagian tepi lesi lebih aktif,
central healing (+). Pada lokasi regio thoraks posterior sinistra didapatkan makula
eritematosa multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran bervariasi 1x2cm - 3x4cm,
ditutupi skuama putih tipis. Pada lokasi regio gluteus dan inguinal didapatkan makula
eritematosa multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran bervariasi 3x4cm - 6x10cm,
tampak bagian tepi lesi lebih aktif, pada beberapa area tampak ditutupi skuama putih tipis.
Pada lokasi sela – sela jari kedua kaki didapatkan makula hipopigmentasi multipel, bentuk
geografika, batas tegas, ukuran bervariasi 0,5x1cm - 1x2cm, ditutupi skuama putih tebal,
maserasi (+).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan fluoresensi dengan
lampu Wood, pemeriksaan mikroskopis dengan KOH 10% dan pemeriksaan kultur pada
media Saboraud’s Dextrosa Agar (SDA). Pada pasien juga direncanakan pemeriksaan
darah lengkap, fungsi hati dan kadar gula darah sewaktu.
6
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3
Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6
Hasil pemeriksaan fluoresensi dengan lampu Wood tidak didapatkan adanya
fluoresensi pada seluruh lesi di kulit. Hasil pemeriksaan sediaan langsung KOH 10% dari
lokasi ketiak kanan ditemukan adanya hifa panjang dan bersepta (gambar 7), pada lokasi
punggung kiri ditemukan adanya hifa panjang dan bersepta (gambar 8), pada lokasi lipat
paha dan bokong ditemukan adanya hifa panjang dan bersepta (gambar 9) dan pada lokasi
sela – sela jari kedua kaki juga ditemukan adanya hifa panjang dan bersepta (gambar 10).
Hasil pemeriksaan kultur dengan media SDA didapatkan pertumbuhan jamur pada hari
kesepuluh, yaitu secara makroskopis berupa koloni berwarna putih hingga krem, dengan
permukaan seperti tumpukan kapas (gambar 11). Secara mikroskopis dengan pemeriksaan
KOH 10% tampak gambaran hifa panjang berbentuk spiral dan mikrospora bentuk bulat
tersebar di sekitar hifa. Gambaran ini menyerupai dengan gambaran Trichophyton
interdigitale.
Gambar 1. Regio aksila dextra tampak makula eritematosa dengan bagian tepi lesi lebih aktif dan central
healing (+). Gambar 2. Regio thoraks posterior sinistra tampak makula eritematosa multipel yang
ditutupi skuama putih tipis. Gambar 3,4. Regio gluteus dan inguinal didapatkan makula eritematosa multipel yang ditutupi skuama putih tipis. Gambar 5,6 Lokasi sela – sela jari kedua kaki tampak makula
hipopigmentasi yang ditutupi skuama putih tebal, maserasi (+).
7
Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10
Gambar 11 Gambar 12
Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 26 Januari 2016 didapatkan hasil leukosit
9,82 x103/μL (4,1-11); neutrofil 6,19x10
3/μL (2,5-7,5); limfosit 2,53x10
3/μL (1-4); monosit
0,61x103/μL (0,1-1,2); eosinofil 0,30x10
3/μL (0-0,5); basofil 0,06x10
3/μL (0-0,1); eritrosit
4,51x106/μL (4-5,2); hemoglobin 14,3 g/dL (12-16); hematokrit 39,6% (36-46); trombosit
372x103/μL (140-440). Hasil pemeriksaan fungsi hati didapatkan hasil SGOT 30 U/L (11-
33); SGPT 20 U/L (11-34). Glukosa darah acak 86 mg/dL (70-140).
Diagnosis kerja pada pasien adalah tinea kruris et korporis dan tinea pedis tipe
interdigital dekstra et sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan adalah griseofulvin
1x500mg per oral dan ketoconazole powder 2x1 topikal pada sela – sela jari kedua kaki.
Pada pasien diberikan KIE tentang penyakit, penyebab penyakit, faktor risiko timbulnya
penyakit, cara minum dan pemakaian obat yang benar, serta kemungkinan efek samping
obat. Pasien disarankan untuk tidak lagi menggunakan celana boxer yang dilapisi celana
panjang, menjaga higienitas tubuh, segera mengganti baju apabila basah karena
berkeringat, segera mengeringkan kaki dan tangannya setelah terpapar air dan kontrol
kembali dua minggu kemudian.
Pasien juga rutin kontrol ke Bagian Neurologi, pasien didiagnosa epilepsi et causa
post infeksi intrakranial. Pasien rutin minum obat carbamazepine 3x200mg per oral,
clobazam 2x10mg per oral dan asam folat 1x1mg per oral setiap hari. Dari Bagian Psikiatri,
Gambar 7,8,9,10. KOH 10% tampak hifa panjang bersepta. Gambar 11. Kultur media SDA didapatkan
pertumbuhan koloni jamur Gambar 12. KOH dari biakan kultur.
8
pasien didiagnosa psikotik epilepsi dan mendapat terapi haloperidol 2x1,5mg per oral
setahun lalu. Namun pengobatan ini tidak diberikan lagi karena gejala psikotik pada pasien
disebabkan oleh penyakit epilepsinya, sehingga dapat terkontrol dengan pemberian obat -
obatan anti epilepsi.
PENGAMATAN LANJUTAN I (9 Februari 2016)
Keluhan gatal sudah berkurang, tidak dikeluhkan adanya lesi baru, dan pasien sudah dapat
tidur di malam hari. Pada pemeriksaan fisik status present dan generalis penderita dalam
batas normal. Status dermatologi lokasi pada regio aksila dextra didapatkan makula
hiperpigmentasi soliter, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 4x6cm. Pada lokasi regio
thoraks posterior sinistra didapatkan makula hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika,
batas tegas, ukuran bervariasi 1x2cm - 3x4cm. Pada lokasi regio gluteus dan inguinal
didapatkan makula hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran
bervariasi 3x4cm - 6x10cm. Pada lokasi sela – sela jari kedua kaki didapatkan makula
hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran bervariasi 0,5x1cm -
1x2cm, ditutupi skuama putih tipis, maserasi (+).
Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15
Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18
Gambar 13,14,15,16 Regio aksila dextra, regio thoraks posterior, regio gluteus dan inguinal
didapatkan makula hiperpigmentasi. Gambar 17,18 Lokasi sela – sela jari kedua kaki masih
didapatkan makula hipopigmentasi yang ditutupi skuama putih tipis, maserasi (+).
9
Pemeriksaan KOH dari lokasi ketiak kanan, punggung kiri dan lokasi lipat paha
serta bokong tidak didapatkan elemen jamur. Hasil pemeriksaan KOH pada lokasi sela –
sela jari kedua kaki masih ditemukan adanya hifa panjang dan bersepta (gambar 19).
Gambar 19
Diagnosis kerja follow up tinea kruris et korporis dan tinea pedis tipe interdigital
dekstra et sinistra dengan perbaikan. Penatalaksanaan yang diberikan adalah griseofulvin
1x500mg per oral dan ketoconazole 2% krim 2x1topikal pada sela – sela jari kedua kaki.
Pada pasien diberikan KIE tentang evaluasi hasil pengobatan dan tetap minum obat secara
teratur serta kontrol kembali 2 minggu berikutnya. Pasien juga masih rutin minum obat
carbamazepine 3x200mg per oral, clobazam 2x10mg per oral dan asam folat 1x1mg per
oral setiap hari.
PENGAMATAN LANJUTAN II (24 Februari 2016)
Keluhan gatal sudah tidak ada, lesi lama sudah menipis, dan tidak dikeluhkan adanya lesi
baru. Pada pemeriksaan fisik status present dan generalis penderita dalam batas normal.
Status dermatologi lokasi pada regio aksila dextra didapatkan makula hiperpigmentasi
soliter, bentuk geografika, batas tidak tegas, ukuran 4x6cm. Pada lokasi regio thoraks
posterior sinistra didapatkan makula hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas
tidak tegas, ukuran bervariasi 1x2cm - 3x4cm. Pada lokasi regio gluteus dan inguinal
didapatkan makula hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran
bervariasi 3x4cm - 6x10cm. Pada lokasi sela – sela jari digiti 2 dan 3 pedis dextra
didapatkan makula hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran
0,5x1cm, ditutupi skuama putih tipis.
Pemeriksaan KOH dari lokasi ketiak kanan, punggung kiri dan lokasi lipat paha
serta bokong tidak didapatkan elemen jamur. Hasil pemeriksaan KOH pada lokasi sela –
Gambar 19 KOH 10% tampak hifa panjang bersepta.
10
sela jari kedua kaki juga tidak didapatkan elemen jamur. Pemeriksaan fungsi hati tanggal
23 Februari 2016 didapatkan hasil SGOT 29 U/L (11-33); SGPT 23 U/L (11-34).
Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22
Gambar 23 Gambar 24 Gambar 25
Diagnosis kerja follow up tinea kruris et korporis dan tinea pedis tipe interdigital
dekstra et sinistra dengan perbaikan. Penatalaksanaan yang diberikan adalah ketokonazole
2% krim 2x1topikal pada sela – sela jari kedua kaki. Pada pasien diberikan KIE tentang
evaluasi hasil pengobatan dan perawatan diri untuk menjaga keadaan tubuh tidak lembab
sehingga dapat mencegah penyakit berulang kembali. Dari Bagian Neurologi, pasien
mendapat obat carbamazepine 3x200mg per oral, clobazam 2x10mg per oral dan asam
folat 1x1mg per oral setiap hari.
PEMBAHASAN
Dermatofitosis merupakan salah satu kelompok dermatomikosis yang disebabkan oleh
jamur dermatofita yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum
korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.7 Beberapa faktor presdiposisi
terjadinya dermatofitosis antara lain iklim yang panas, kelembaban yang tinggi, higiene
perorangan yang buruk, kontak lama dengan binatang, obesitas dan kondisi
Gambar 20,21,22,23 Regio aksila dextra, regio thoraks posterior, regio gluteus dan inguinal didapatkan
makula hiperpigmentasi. Gambar 24,25 Lokasi sela – sela jari digiti 2, 3 pedis dextra masih didapatkan
makula hipopigmentasi yang ditutupi skuama putih tipis.
11
imunokompromais yang disebabkan oleh HIV/AIDS, pemakaian kortikosteroid dalam
jangka waktu yang lama, serta diabetes melitus.3,6
Pada kasus, pasien adalah seorang dengan berat badan berlebih, yang sering
menggunakan celana berlapis. Pasien juga tinggal di negara tropis yang beriklim panas,
sehingga faktor kelembaban yang tinggi pada kulit pasien merupakan salah satu faktor
resiko terjadinya infeksi dermatofitosis. Pasien adalah seorang penderita psikosis epilepsi
sehingga faktor higiene perorangan yang buruk juga tidak dapat disingkirkan. Kondisi
imunokompromais yang disebabkan oleh penggunaan obat kortikosteroid, infeksi
HIV/AIDS, serta diabetes melitus tidak ditemukan pada pasien.
Berdasarkan tempat predileksinya, dermatofitosis dapat dibagi menjadi tinea
kapitis, tinea barbae, tinea korporis, tinea manum, tinea kruris, tinea pedis dan tinea
unguium. Tinea korporis merupakan infeksi dermatofitosis pada kulit glabrosa kecuali
daerah telapak tangan, telapak kaki, lipat paha, bokong, kuku dan rambut. Tinea kruris
merupakan infeksi dermatofitosis pada daerah lipatan paha dan bokong. Tinea pedis
merupakan infeksi dermatofitosis pada daerah telapak kaki dan sela –sela jari kaki.1,2
Tinea korporis merupakan bentuk infeksi dermatofitosis yang paling sering
ditemukan, diikuti tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis.14
Trycophyton rubrum
merupakan penyebab tersering tinea korporis, diikuti oleh Trycophyton interdigitale.15,16
Gambaran klinis tinea korporis berupa lesi anular (ringworm like) dengan skuama dan tepi
yang eritematosa, kadang – kadang dapat dijumpai vesikel. Lesi meluas secara sentrifugal,
sehingga dapat dijumpai bagian tengah lesi yang bersih (central healing). Keluhan gatal
sering dijumpai.17
Tinea kruris sering didapatkan bersamaan dengan tinea korporis, sehingga disebut
tinea kruris et korporis. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki – laki daripada
perempuan.2 Penyebab tersering tinea kruris adalah Trycophyton rubrum, Epidermophyton
floccosum dan Trycophyton interdigitale.15
Gambaran klinis tinea kruris berupa makula
eritematosa sampai plakat eritematosa berbatas tegas yang disertai papul atau vesikel
dengan tepi yang meninggi dan skuama minimal, dapat juga dijumpai lesi erosi karena
garukan. Lesi biasanya bilateral dengan penyebaran pada daerah lipat paha dulu baru
kemudian meluas ke perineum, perianal, bokong, dan perut bagian bawah. Keluhan yang
12
sering didapatkan berupa rasa gatal dan nyeri yang disebabkan oleh luka bekas garukan dan
gesekan. 1,17
Tinea pedis memiliki empat bentuk klinis yaitu tipe interdigital, tipe hiperkeratotik
kronik, tipe inflammatory (vesikobulosa), tipe ulseratif akut.1 Tinea pedis tipe interdigital
merupakan bentuk yang paling sering ditemui. Penyebab tersering yaitu Trichophyton
rubrum diikuti oleh Trichophyton interdigitale.6 Gambaran klinis yang ditemukan berupa
skuama, eritema dan maserasi pada sela - sela jari kaki.18
Tinea pedis tipe hiperkeratotik
kronik umumnya bilateral pada telapak kaki dan paling sering disebabkan oleh
Trichophyton rubrum.1,19
Lesi berupa skuama dan hiperkeratosis, dapat setempat ataupun
difus mengenai seluruh area telapak kaki hingga sisi medial dan lateral, sehingga disebut
sebagai moccasin.18
Tipe inflammatory (vesikobulosa) terutama disebabkan oleh
Trycophyton interdigitale.1 Gambaran klinis berupa vesikel yang tegang, vesikopustul atau
bula pada telapak kaki atau area sekitar telapak.6,18
Tipe ulseratif akut merupakan bentuk
yang jarang dijumpai, disebabkan oleh Trycophyton interdigitale. Koinfeksi dengan bakteri
gram negatif menunjukkan gambaran klinis berupa vesikopustular dan ulkus purulen yang
luas pada telapak kaki.1,18
Pada kasus, dari anamnesis didapatkan keluhan gatal dan bercak kemerahan pada
lipat paha dan bokong sejak 10 tahun yang lalu. Keluhan gatal dirasakan terutama saat
pasien berkeringat. Sejak 2 tahun lalu bercak kemerahan dan gatal bertambah pada bagian
ketiak kanan dan punggung kiri. Sejak 1 bulan terakhir ini pasien mengaku sangat gatal
pada seluruh tubuhnya sampai mengganggu tidur. Pada pemeriksaan fisik, status
dermatologi lokasi pada regio aksila dextra didapatkan makula eritematosa soliter, bentuk
geografika, batas tegas, ukuran 4x6cm, tampak bagian tepi lesi lebih aktif, central healing
(+). Pada lokasi regio thoraks posterior sinistra didapatkan makula eritematosa multipel,
bentuk geografika, batas tegas, ukuran bervariasi 1x2cm - 3x4cm, tampak papul
eritematosa multipel di atasnya, bentuk bulat, batas tegas, ukuran diameter 0,3cm – 0,5cm,
pada beberapa area tampak ditutupi skuama putih tipis. Pada lokasi regio gluteus dan
inguinal didapatkan makula eritematosa multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran
bervariasi 3x4cm - 6x10cm, tampak bagian tepi lesi lebih aktif, pada beberapa area tampak
ditutupi skuama putih tipis. Pada lokasi sela – sela jari kedua kaki didapatkan makula
13
hipopigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran bervariasi 0,5x1cm -
1x2cm, ditutupi skuama putih tebal, maserasi (+).
Pada kasus, dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pada pasien
adalah tinea kruris et korporis dan tinea pedis tipe interdigital dekstra et sinistra. Untuk
mendukung diagnosa klinis ini diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
fluoresensi dengan lampu Wood, pemeriksaan mikroskopis dengan KOH 10%, dan
pemeriksaan kultur jamur.
Pemeriksaan fluoresensi dengan lampu Wood sampai saat ini masih merupakan
salah satu pemeriksaan penunjang diagnosis mikosis superfisialis. Sinar Wood adalah sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 320 – 400nm. Pemeriksaan dilakukan di ruangan
yang gelap dengan sumber cahaya berjarak 4 – 5 inci dari lesi. Tinea kapitis dan pitiriasis
versikolor akan menunjukkan fluoresensi warna tertentu dengan menggunakan
pemeriksaan ini. Penyakit lainnya yang bukan jamur seperti eritrasma juga akan
memberikan fluoresensi apabila diperiksa dengan lampu Wood, pemeriksaan ini dilakukan
untuk membedakan eritrasma dengan tinea kruris, apabila dijumpai gambaran klinis yang
sulit dibedakan.20
PENYAKIT JAMUR FLUORESENSI
Tinea kapitis (M.audoinii, M.canis, M.ferrugineum) Hijau terang
Tinea kapitis (T.schoenleinii) Biru hijau / hijau tua
Pitiriasis versikolor Kuning keemasan
PENYAKIT BUKAN JAMUR FLUORESENSI
Eritrasma Merah bata
Infeksi Pseudomonas aeruginosa Hijau terang
Tabel 1. Fluoresensi pada penyakit jamur dan bukan jamur20
Pemeriksaan mikroskopis langsung melalui skuama dari kulit merupakan
pemeriksaan yang cepat, berguna dan efektif untuk mendiagnosis infeksi jamur.
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil skuama dari kulit yang terinfeksi, sebaiknya
diambil dari bagian tepi lesi yang lebih aktif, lalu diletakkan di gelas obyek dan ditetesi
dengan larutan KOH 10%. Pemeriksaan dilakukan di mikroskop dengan pembesaran 40x,
apabila hasil positif akan tampak elemen jamur seperti hifa panjang bersepta dan spora.
Walaupun pemeriksaan mikroskopis langsung ini amat bermanfaat, tetapi harus diingat ada
kemungkinan hasilnya negatif palsu.20
14
Pemeriksaan kultur jamur merupakan “gold standard” diagnostik mikologi, namun
pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama (2-4minggu) untuk mendapatkan hasilnya.
Media Saboraud’s dextrose agar (SDA) paling banyak digunakan karena dapat digunakan
untuk isolasi semua jenis jamur. Pada media kultur, gambaran makroskopis Trichophyton
interdigitale
berupa koloni berwarna putih hingga krem, dengan permukaan seperti
tumpukan kapas (Gambar 26). Secara mikroskopis akan tampak gambaran hifa panjang
berbentuk spiral dan mikrospora bentuk bulat tersebar di sekitar hifa.1,16,20
Pada kasus dari hasil pemeriksaan fluoresensi dengan lampu Wood tidak
didapatkan adanya fluoresensi pada seluruh lesi di kulit. Hasil pemeriksaan sediaan
langsung KOH 10% dari seluruh lokasi lesi ditemukan adanya hifa panjang dan bersepta.
Hasil pemeriksaan kultur dengan media SDA didapatkan pertumbuhan jamur pada hari
kesepuluh, yaitu secara makroskopis berupa koloni berwarna putih hingga krem, dengan
permukaan seperti tumpukan kapas. Secara mikroskopis dengan pemeriksaan KOH 10%
tampak gambaran hifa panjang berbentuk spiral dan mikrospora bentuk bulat tersebar di
sekitar hifa. Gambaran ini menyerupai dengan gambaran Trichophyton interdigitale.
Trycophyton interdigitale
Gambar 26
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi dermatofitosis adalah kondisi
pejamu, organisme penyebab, lokasi dan luas infeksi, keparahan dari infeksi, penyakit
penyerta, oral atau topikal dan biaya. Terapi anti jamur oral dipertimbangkan bila terdapat
infeksi jamur superfisial yang luas, tinea pedis, onikomikosis dan tinea kapitis atau bila
tidak ada perbaikan terhadap pengobatan topikal.21
Pengobatan tinea korporis dan tinea
kruris yang ringan dapat diberikan obat antijamur topikal golongan imidazol, alilamin,
tolnaftat, siklopiroksolamin. Sedangkan untuk kasus berat, luas dan refrakter diberikan
terapi sistemik yaitu griseofulvin 500mg/hari selama 2-4 minggu, terbinafin 250mg/hari
Gambar 26. Gambar koloni Tricophyton interdigitale1,7
15
selama 2-4 minggu, itrakonazole 100mg/hari selama 2 minggu.1,17
Pengobatan untuk tinea
pedis tipe interdigitalis dapat diterapi dengan anti jamur topikal bentuk krim golongan
alilamin, imidazol, siklopiroksolamin, benzilamin, tolnaftat, asam undekanoat. Sedangkan
untuk tinea pedis yang berat, luas dan refrakter dibutuhkan terapi sistemik yaitu terbinafin
250mg/hari selama 2 minggu, itrakonazol 2x200mg/hari selama seminggu atau 200
mg/hari selama 3 minggu, flukonazol 150 mg/minggu selama 3-4 minggu.1,18
Pada kasus, lesi kulit yang terkena infeksi jamur superfisial sangat luas, karena itu
diperlukan terapi obat anti jamur secara sistemik. Pasien mendapatkan terapi griseofulvin
500mg/hari per oral diberikan selama 4 minggu dan ketokonazole 2% krim yang dioleskan
2x/hari. Pemilihan obat griseofulvin karena pasien adalah seorang penderita epilepsi yang
rutin mengkonsumsi obat-obatan anti kejang yaitu carbamazepine 3x200mg, clobazam
2x10mg dan asam folat 1x1mg setiap harinya. Griseofulvin memiliki efek interaksi obat
dengan carbamazepine yang paling rendah dibandingkan obat anti jamur lainnya, dan tidak
memiliki efek interaksi dengan clobazam.
Griseofulvin merupakan obat anti jamur sistemik yang bersifat fungistatik.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat pembentukan mitosis microtubule. Absorpsi
griseofulvin meningkat apabila diberikan bersamaan dengan makanan berlemak. Obat ini
di metabolisme di hepar, dan tersedia dalam sediaan microsize dan ultra microsize. Efek
samping obat ini berupa nyeri kepala, nausea, gangguan traktus gastrointestinal, dan reaksi
hipersensitivitas. Kontraindikasi penggunaan obat ini antara lain: kehamilan, gangguan
hepatik, porfiria, sistemic lupus eritematosus, dan hipersensitivitas terhadap
griseofulvin.21,22
Pada kasus diberikan griseofulvin sediaan microsize dengan dosis 500mg/hari per
oral diberikan selama 4 minggu. Tidak ditemukan adanya efek samping obat seperti nyeri
kepala,nausea, gangguan traktus gastrointestinal, gangguan fungsi hati dan reaksi
hipersensitivitas pada pasien selama penggunaan obat.
Food and Drug Administration (FDA) tidak mencantumkan adanya interaksi obat
antara griseofulvin dengan carbamazepine.23
Browne menyatakan bahwa pemberian
carbamazepine dan griseofulvin secara bersamaan akan mengurangi kadar konsentrasi
kedua obat tersebut dalam darah.24
Penggunaan obat anti jamur golongan triazol seperti
ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole tidak diperbolehkan diberikan bersamaan
16
dengan carbamazepine dikarenakan dapat mengurangi kadar anti jamur golongan triazol di
dalam darah sehingga mengurangi efektivitasnya dan dapat meningkatkan kadar
carbamazepine dalam darah yang berakibat “carbamazepine toxicity”.25,26
Berdasarkan data
dari FDA, carbamazepine toxicity memberikan gejala depresi pernapasan, takikardi, syok,
hipotensi/hipertensi, penurunan kesadaran, ataksia, nistagmus, vomit, sampai kematian.
Dosis lethal carbamazepine didapatkan apabila >60 gram didapatkan dalam darah pada
orang dewasa, sedangkan pada anak – anak didapatkan dosis lethal sebesar 10 gram.23
Data
interaksi obat antara terbinafine dan carbamazepine tidak dicantumkan oleg FDA, namun
terdapat satu laporan kasus pada tahun 2006 yang melaporkan dugaan carbamazepine
toxicity yang disebabkan oleh terbinafine.22,27
Interaksi obat antara clobazam dan obat anti
jamur belum pernah dilaporkan.24
Pada kasus pemilihan obat griseofulvin sebagai obat anti jamur berdasarkan
dikarenakan griseofulvin memiliki efek interaksi obat yang relatif aman dibandingkan
dengan obat anti jamur lainnya, efek samping obat lebih ringan, dan masih efektif untuk
mengobati infeksi dermatofitosis. Griseofulvin juga ditanggung oleh asuransi kesehatan
yang dimiliki oleh pasien sehingga resiko putus obat dapat dicegah. Pada pengamatan
lanjutan, pasien mengalami perbaikan secara klinis berupa rasa gatal yang berkurang,
penipisan lesi, tidak ditemukan perluasan lesi ataupun lesi baru dan juga perbaikan
mikologis, dimana pada pemeriksaan KOH 10% sudah tidak ditemukan adanya elemen
jamur. Pasien diberikan edukasi untuk tidak lagi menggunakan celana boxer yang dilapisi
celana panjang, menjaga higienitas tubuh, segera mengganti baju apabila basah karena
berkeringat, dan segera mengeringkan kaki dan tangannya setelah terpapar air. Prognosis
pada pasien adalah dubius ad bonam.
17
SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus tinea kruris et korporis dan tinea pedis tipe interdigital dekstra
et sinistra pada seorang pria berusia 47 tahun yang menderita psikosis epilepsi. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis didapatkan keluhan gatal pada ketiak kanan, punggung kiri, lipat paha, bokong
dan sela jari – jari kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik tampak gambaran klinis yang sesuai
dengan tinea kruris et korporis dan tinea pedis tipe interdigital. Pemeriksaan penunjang
KOH 10% pada seluruh lesi ditemukan hifa panjang bersepta. Hasil kultur didapatkan
pertumbuhan koloni jamur yaitu Trycophyton interdigitale. Pengobatan dengan
griseofulvin 500mg/hari per oral diberikan selama 4 minggu dan ketokonazole 2% krim
yang dioleskan 2x/hari. Respon pengobatan pada kasus tampak perbaikan klinis dan
kesembuhan mikologis. Pada pasien diberikan komunikasi, informasi dan edukasi untuk
menghindari faktor risiko. Prognosis adalah dubius ad bonam.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Schieke SM, Garg A. Superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 8th
ed. New York: McGraw Hill; 2012.p2277-97.
2. Elewski BE, Hughey CY, Sobera JO, et al. Fungal Diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Dermatology. 3
rd ed. Spain: Elsevier. 2012.p1255-1263.
3. Pires CAA, Lobato AM, Carneiro FRO, et al. Clinical Epidemiological and Therapeutic Profile of Dermatophytosis. An Bras Dermatol. 2014: 259-64
4. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis Superfisialis di Indonesia. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editors.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal.1–6.
5. Anonim. Register Rawat Jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Mikologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 2014. Tidak dipublikasikan.
6. Kumar V, Tilak R, Prakash P, et al. Tinea pedis an update. Asian J Med Science 2. 2011: 134-8.
7. Kurniati, Rosita C. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2008; 20(3):243-50.
8. Vozikis A, Goulionis JE, Nikolakis D. Risk Factors Associated with Epilepsy: A Case-conrol Study. Health Science Journal. 2012;6(3): 509-17.
9. Gaby AR. Natural Approaches to Epilepsy. Alternative Medicine Review. 2007;12(1):9-24
10. Weisholtz DS, Dworetzky BA. Epilepsy and Psychosis. J Neurol Disord Stroke2. 2014; 2(3): 1-8.
11. Clanchy MJ, Clarke MC, Connor DJ, et al. The Prevalence of Psychosis in Epilepsy: A Systematic Review and Meta-analysis. BMC Psychiatry.2014; 1-9.
12. Kuruvila M, Gahalaut P, Zacharia A. A Study of Skin Disorder in Patient with Primary Psychiatric Conditions. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2004; 70:292-5.
13. Marthoenis, Aichberger MC, Fathiariani L, et al. Skin Diseases Among Long Stay Psychiatric Patients in Indonesia. ASEAN Journal of Psychiatry.2015;16(2):1-7.
14. Lakshmipathy D.T. and Kannabiran K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment. Natural Science 2010; 2(7):726-31.
15. Hay RJ, Ashbe HR. Mycology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8
th ed. United Kingdom: Willey-Blackwell;
2010, p36.18-36.50.
16. Nenoff P, Kruger C, Schaller J, et al. Mycology–an Update Part 2: Dermatomycoses: Clinical Picture and Diagnostics. Journal of the German Society of Dermatology.
2014: 749-77.
17. Siswati AS, Ervianti E. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editors. Dermatomikosis
Superfisialis. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2013. Hal.58-69.
18. Bramono K. Tinea Pedis dan Tinea Manum. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editors. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi
19
Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
Hal.75-85.
19. Leung A.K.C and Barankin B. Tinea pedis. Aperito J Dermatol 2015; 2(1): 1-4. 20. Nugroho SA.Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Mikosis Superfisialis. Dalam:
Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editors.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal.154-165.
21. Widaty S. Obat antijamur. Dalam: Bramono K., Suyoso S., Indriatmi W., Ramali L.M., Widaty S., Ervianti E., editors. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal.167-79.
22. Jacob R. and Konnikov N. Oral Antifungal Agents. In: Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J., Wolff K., editors. Fitzpatrick's Dermatology
in General Medicine. 8th
ed. New York: McGraw Hill; 2012.p.2796-2806.
23. Carbamazepine Drug Safety. Available at : www.fda.gov/downloads/Drugs/DrugSafety/DrugSafetyNewsletter/UCM148014.pdf
24. Browne TR, Holmes GL. Handbook of Epilepsy. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p:187-192.
25. Zonios DI, Bennett JE. Update on Azole Antifungals. Semin Respir Crit Care Med. 2008; 29(2): 198-210.
26. Tsouli S, Maranis S, Kyritsis AP. Fluconazole-Carbamazepine Interaction in a Patient with Bipolar Disorder. Psychiatry and Clinical Neurosciences. 2011; 65: 112-114.
27. Baath NS, Hong J, Sattar SP. Possible Carbamazepine Toxicity with Terbinafine. Can J Clin Pharmacol. 2006; 13 (2): 228-231.