21
Penggunaan obat yang tidak rasional yang tidak sesuai Rational Use of Medicine (RUM) ternyata masih banyak terjadi di Indonesia. Maslah klasik uang sulit dikendalikan ini menjadi tanggung jawab pembuat kebijakan, asosiasi profesi tenaga kesehatan, industri farmasi, dokter, apoteker, hingga media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi rasional sebagaimana dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO. Rational Use of Medicine (RUM) dikenal dengan istilah Penggunaan Obat Yang Rasional. Istilah Penggunaan Obat Yang Rasional sendiri dalam bahasa Inggris juga sering disebut Rational Use of Drug (RUD). Sehingga RUD atau RUM sebenarnya memiliki makna yang sama. Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas adalah pola pengobatan tidak rasional.

Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional Yang Tidak Sesuai Rational Use of Medicine

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rational of drug

Citation preview

Penggunaan obat yang tidak rasional yang tidak sesuai Rational Use of Medicine (RUM)

ternyata masih banyak terjadi di Indonesia. Maslah klasik uang sulit dikendalikan ini menjadi

tanggung jawab pembuat kebijakan, asosiasi profesi tenaga kesehatan, industri farmasi,

dokter, apoteker, hingga media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak

diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi rasional sebagaimana

dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO. Rational Use of Medicine (RUM) dikenal dengan

istilah Penggunaan Obat Yang Rasional. Istilah Penggunaan Obat Yang Rasional sendiri

dalam bahasa Inggris juga sering disebut Rational Use of Drug (RUD). Sehingga RUD atau

RUM sebenarnya memiliki makna yang sama.

Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan

pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah

mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti

kaidah-kaidah di atas adalah pola pengobatan tidak rasional.

Definisi RUM menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan Rational Use of

Medicine adalah :“ Patients receive medications appropriate to their clinical needs, in doses

that meet their own individual requirements, for an adequate period time, and at the lowest

cost to them and their community.” “Pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

kebutuhan klinis mereka, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individual, untuk jangka

waktu yang sesuai dan dalam biaya terapi yang terendah bagi pasien maupun komunitas

mereka.”

Pengobatan Rasional

1. Tepat Pasien Obat hanya diberikan berdasarkan ketepatan tenaga kesehatan dalam menilai

kondisi pasien dengan mempertimbangkan :

Adanya penyakit yang menyertai, misalnya pasien dengan kelainan ginjal atau hati tidak

boleh mendapatkan obat yang dapat mempengaruhi ginjal (nefrotoksik) atau hati

(hepatotoksik)

Kondisi khusus : hamil, menyusui, balita, lansia

Pasien dengan riwayat alergi

Pasien dengan riwayat psikologis.

2. Tepat Indikasi Apabila ada indikasi yang benar untuk penggunaan obat tersebut sesuai

diagnosa dan telah terbukti manfaat terapinya. Prinsip Tepat Indikasi adalah tidak semua

pasien memerlukan intervensi obat. Di beberapa negara berkembang, persentase peresepan

antibiotika yang sebenarnya tidak perlu diberikan berkisar antara 52% sampai 62%. Data

yang terekam dari Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan YOP mencatat sedikitnya

47% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak diperlukan. Penggunaan antibiotika yang

tidak tepat ini akan menimbulkan masalah baru, yaitu resistensi kuman.

3. Tepat Obat Adalah ketepatan pemilihan obat dengan mempertimbangkan:

Ketepatan kelas terapi dan jenis obat sesuai dengan efek terapi yang diperlukan.

Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti, baik resiko efek sampingnya maupun

adanya kontraindikasi.

Jenis obat paling mudah didapat.

Sedikit mungkin jumlah jenis obat yang dipakai

Pemilihan obat harus disesuaikan dengan efek klinik yang diharapkan.

4. Tepat Pemberian, Dosis dan Lama Pemberian Obat Efek obat yang maksimal diperlukan

penentuan dosis, cara dan lama pemberian obat yang tepat. Besarnya dosis, cara dan

frekuensi pemberian obat umumnya didasarkan pada sifat farmakokinetik dan

farmakodinamik obat serta kondisi pasien. Sedangkan lama pemberian obat berdasarkan pada

sifat penyakit, apakah penyakit akut atau kronis, kambuhan berulang, dan sebagainya.

Tepat Dosis adalah ketepatan jumlah obat yang diberikan pada pasien, dimana dosis berada

dalam range dosis terapi yang direkomendasikan serta disesuaikan dengan usia dan kondisi

pasien. Misalnya pasien anak > 60 kg biasanya disarankan menggunakan dosis dewasa. Usia

lanjut atau pasien dengan kerusakan ginjal dan hati biasanya memerlukan penyesuaian dosis.

Tepat Cara Pemberian Obat adalah ketepatan pemilihan bentuk sediaan obat yang diberikan

sesuai dengan diagnosa, kondisi pasien dan sifat obat. Misalnya per oral (melalui mulut), per

rektal (melalui dubur), per vaginal (melalui vagina), parenteral (melalui suntikan, bisa

intravena, intramuskular, subkutan) atau topikal (dioleskan di kulit, seperti krim, gel, salep).

Jika obat masih bisa diberikan melalui oral, hindari pemberian melalui parenteral. Jika terapi

cukup secara lokal melalui obat-obat topikal, tidak perlu diberikan melalui oral.

Tepat Frekuensi atau Interval Pemberian Obat adalah ketepatan penentuan frekuensi atau

interval pemberian obat sesuai dengan sifat obat dan profil farmakokinetiknya, misalnya tiap

4 jam, 6 jam, 8 jam, 12 jam atau 24 jam. Jika obat dalam tubuh akan habis dalam waktu 8

jam, sebaiknya obat diberikan 3 kali sehari.

Tepat Lama Pemberian Obat adalah penetapan lama pemberian obat sesuai dengan diagnosa

penyakit dan kondisi pasien. Apakah obat cukup diminum hingga gejala hilang saja, atau obat

perlu diminum selama 3 hari, 5 hari, 3 bulan, dll.

Tepat Saat Pemberian Obat adalah ketepatan menentukan saat terbaik pemberian obat sesuai

dengan sifat obat dan kondisi pasien. Apakah obat diberikan sebelum makan, sesudah makan,

saat makan, sebelum operasi atau sesudah operasi, dll.

5. Tepat Biaya Biaya terapi (harga obat dan biaya pengobatan) hendaknya dipilih yang paling

terjangkau oleh keuangan pasien. Mengutamakan meresepkan obat-obat generik

dibandingkan obat paten yang harganya lebih mahal.

6. Tepat Informasi Apabila informasi yang diberikan jelas (tidak bias) baik, baik tentang obat

yang digunakan pasien maupun informasi lainnya yang menunjang perbaikan pengobatan.

Misalnya informasi tentang cara pemakaian obat, efek samping, kegagalan terapi bila tidak

taat, upaya yang dilakukan bila penyakit makin memburuk, mencegah faktor resiko terjadi

penyakit, dll.

Penggunaan obat Rasional dalam konteks biomedik mencakup beberapa kriteria, yaitu

(Management Science for Health, 2012) :

Tepat indikasi, dimana peresepan berdasarkan kepada pertimbangan medis

Tepat obat, mempertimbangkan keefektifan, keamanan, kecocokan obat dengan pasien, dan

harga

Tepat dosis, pemberian dan durasi terapi

Tepat pasien, bahwa tidak ada kontra indikasi, dan kemungkinan terjadinya efek samping

sangat kecil

Benar cara penyerahan obat, termasuk pemberian informasi yang tepat yang diberikan pada

pasien berkaitan dengan obat yang diresepkan

Kepatuhan pasien terhadap obat.

Manfaat RUM

Mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat membahayakan pasien. Hal

ini berhubungan dengan poin 1 hingga 4 dari 6 poin RUM, yaitu tepat pasien, tepat indikasi,

tepat obat, tepat cara pemberian, dosis dan frekuensi.

Mempermudah dan membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh obat

dengan harga terjangkau. Sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat ikut ‘menikmati’

obat dengan adanya prinsip tepat biaya.

Meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat di institusi-institusi seperti RSUD,

Puskesmas sebagai salah satu upaya cost effective medical intervention. Dengan demikian

semakin banyak pasien yang bisa diobati.

Meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.

Penggunaan Obat Irasional

Penggunaan obat tidak rasional terjadi pada semua Negara dan pada semua tatacara

pelayanan kesehatan, dari rumah sakit sampai di rumah. Hal tersebut mencakup masalah

pemberian obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan tetapi diresepkan, obat yang salah, tidak

aman, atau tidak efektif tetapi tetap diresepkan atau diserahkan, obat yang efektif tersedia

tetapi tidak digunakan, dan penggunaan obat yang tidak benar oleh pasien. Contoh

penggunaan obat yang tidak rasional

Polifarmasi Polifarmasi terjadi ketika pasien menggunakan banyak obat dari yang kebutuhan

yang seharusnya. Polifarmasi dinilai dengan menghitung jumlah obat rata-rata yang

diresepkan pada pasien

Penggunaan obat yang tidak perlu Seringkali, pengobatan yang diterima pasien tidak

diperlukan. Penggunaan obat yang tidak diperlukan biasanya sering tidak sesuai dengan

kebutuhan terapi

Penggunaan obat yang salah Dengan berbagai alasan, penggunaan obat yang salah sering

terjadi dalam perespan ataupun penyerahan obat pada pasien. Data dari Negara maju dan

Negara yang dalam masa transisi mengindikasikan bahwa kurang dari 40 % pasien yang

menerima terapi sesuai dengan standar terapi

Penggunaan obat yang tidak efektif dan obat dengan keamanan yang diragukan Penggunaan

obat yang tidak efektif kadang-kadang diberikan pada pasien karena sudah umum digunakan

atau karena pasien berfikir bahwa obat yang umum diresepkan adalah lebih baik

Obat yang tidak aman Kemungkinan terjadinya efek samping yang berat terjadi ketika obat

yang tidak aman diresepkan. Contoh yang umum adalah ketika steroid digunakan untuk

merangsang pertumbuhan dan nafsu makan pada anak-anak dan atlet.

Dampak Pengobatan Tidak rasional

Penggunaan obat yang tidak rasional dalam skala yang luas bisa menyebabkan terjadinya

efek samping terhadap biaya pelayanan kesehatan, kualitas terapi dan pelayanan medik,

sebagaimana telah menjadi penyebab terjadinya resistensi mikroba. Efek samping lain

kemungkinan juga meningkat dan akan menimbulkan ketidakpercayaan pasien terhadap obat.

Kualitas terapi dan pengobatan Peresepan obat yang tidak tepat dapat aja terjadi baik secara

langsung maupun tidak langsung. Dapat memperburuk kualitas hidup pasien dan memberikan

pengaruh yang negative terhadap hasil terapi. Kemungkinan terjadinya reaksi efek samping

meningkat ketika obat yang diresepkan ternyata tidak diperlukan. Sebagai contoh, terjadinya

over dosis gentamisin dapat menyebabkan masalah pendengaran yang serius, penyalahgunaan

produk injeksi dapat menyebabkan penulatan HIV, hepatitis B dan C, dan penyakit lain yang

penularannya melalui darah

Resistensi antimikroba Penggunaan jangka panjang atau penggunaan antibiotika dengan dosis

yang tidak sesuai atau punggunaan zat-zat untuk kemoterapi dapat menyebabkan terjadinya

resistensi strain mikroba dan parasit malaria. Keuntungan dalam bidang kesehatan yang

berasal dari penemuan antimikroba dapat membahayakan karena meluasnya resistensi

antimikroba terhadap antibiotika yang merupakan pilihan pertama dengan harga yang murah.

Terjadinya resistensi terhadap antimikroba merupakan fnomena biologi yang alami yang

dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk oleh faktor manusia. Penggunaan

antimikroba pada beberapa dosis dan periode waktu akan memaksa mikroba untuk

beradaptasi atau mati, mikroba yang mampu beradaptasi dan bertahan memiliki gen resistensi

yang akan diwariskan. Bakteri yang menginfeksi yang merupakan mikroba yang resisten

terutama akan menyebabkan diare, infeksi saluran pernafasan, tuberculosis dan hospital-

acquired infections. Ketika infeksi menjadi resisten terhadap antibiotika lini pertama , terapi

harus beralih pada antibiotic lini kedua atau lini pertama yang biasanya akan lebih mahal atau

lebih toksik.

Biaya Besar Berlebihan atau penggunaan obat yang tidak tepat, meskipun salah satunya

esensial, dapt menyebabkan terjadinya pemborosan baik pasien ataupun pada sistem

kesehatan. Di banyak Negara, penggunaan produk farmasi yang tidak esensial, seperti

multivitamin atau obat batuk menghabiskan sumber daya keuangan yang terbatas yang secara

bijaksana dapat dialihkan kepada obat lain yang lebih esensial dan penting, seperti vaksin dan

antibiotika. Penggunaan obat yang tidak tepat pada tahapan awal penyakit bisa menyebabkan

bertambahnya biaya dengan memperlama penyakit dan mungkin juga perawatan.

Psikososial Peresepan yang berlebihan membuat pasien percaya bahwa mereka

membutuhkan pengobatan untuk semua kondisi. Meskipun untuk hal yang ringan. Pasien

akan lebih tergantung pada obat. Ketergantungan ini akan menyebabkan meningkatnya

permintaan. Pasien mungkin akan meminta injeksi yang tidak dibutuhkan karena mereka

telah terbiasa diservis dengan sistem kesehatan yang moderen, kemudian mereka akan

terbiasa mendapatkan injeksi. Penelitian juga menunjuukkan bahwa pasien juga akan

meminta dan berharap dokter antibiotic yang sebenarnya tidak diperlukan untuk mengobati

infeksi virus.

Bakteri “Super Bugs” Pemberian antibiotika yang berlebihan dan tidak terkendali saat ini

membuahkan akibatnya. Beberapa ahli kesehatan di penjuru dunia mulai menemukan sebuah

bakteri superbug atau bakteri yang kebal terhadap antibiotika. Berbeda dengan berbagai

temuan berbagai virus baru ganas seperti flu burung, SARS atau flu babi yang dapat sembuh

sendiri tanpa diobati. Bakteri ganas ini bila menjangkiti seseorang, maka orang tersebut akan

terancam nyawanya tanpa ada obat atau antibiotika yang melawannya.Bakteri “super” atau

superbug yang bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1) ini telah muncul di

India, Pakistan, Inggris, Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya. Bakteri ini juga telah

menyebar di rumah sakit di Inggris, para ahli kesehatan dunia memperingatkan bakteri

“super” ini bisa menjadi masalah besar di seluruh dunia. Ilmuwan Inggris menyebut bakteri

ini tersebar akibat ulah para “wisatawan” medis yang kerap melakukan operasi plastik untuk

kecantikan di negara tersebut. Kasus kematian akibat super bakteri ini pertama kali

dilaporkan ketika seorang warga Belgia meninggal setelah melakukan pengobatan medis di

India. Beberapa kasus lainnya juga didapati setelah penderita melakukan operasi plastik atau

operasi kosmetik di India. Para ilmuwan takut bakteri bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-

beta-laktamase-1) bisa masuk dengan mudah di dalam bakteri seperti E.coli. Bila sampai

terjadi bakteri ini bisa menyebar dengan cepat dan hampir mustahil untuk bisa diobati.

Sebab,menurut para ilmuwan NDM-1 bisa mengubah bakteri, menjadi kebal terhadap

antibiotik yang paling kuat saat ini yaitu carbapenems. “Ada sejumlah kasus di Inggris,

namun sejauh ini sejumlah besar kasus tampaknya terkait dengan perjalanan dan perawatan

rumah sakit di India,” kata Dr David Livermore, peneliti Inggris Health Protection Agency

kepada BBC. “Jenis resistensi ini telah menyebar sangat luas di sana.” Di Amerika Serikat

kasus NDM-1 juga telah diidentifikasi antara bulan Januari dan Juni lalu, Wall Street Journal

menuliskan soal ini. Menurut Pusat pengawasan pencengahan penyakit Amerika

(CDC/Centers for Disease Control and Prevention) para pasien ini telah menjalani perawatan

medis di India.

PERANAN BERBAGAI PIHAK

Tidak mudah menyelesaikan permasalahan budaya penggunaan obat atau antibiotika yang

berlebihan ini. Berbagai individu dalam lapisan masyarakat harus mawas diri dan

bertanggung jawab untuk segera menghentikannya. Banyak pihak yang berperanan dan

terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita

(orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotik, medical sales representatif, perusahaan

farmasi dan pabrik obat.

Orangtua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang berlebihan.

Pendapat umum tidak benar yang terus berkembang, bahwa kalau tidak memakai antibiotika

maka penyakitnya akan lama sembuh. Tidak jarang penggunaan antibiótika adalah

permintaan dari orang tua. Yang lebih mengkawatirkan saat ini beberapa orang tua dengan

tanpa beban membeli sendiri antibiotika tersebut tanpa pertimbangan dokter. Antibiotika

yang merupakan golongan obat terbatas, obat yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi

runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotik atau di toko obat

meskipun tanpa resep dokter.

Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat

menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representatif, toko obat dan

apotik sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan

bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan cara dilakukan. Dokter sebagai penentu

penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak dan harus lebih mempertimbangkan latar

belakang ke ilmuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan

pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan kepentingan lainnya.

Percaya diri pada klinisi adalah merupakan salah satu faktor hambatan untuk menghentikan

kebiasaan pemberian antibiotika irasional. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara

berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperanan dalam mengurangi perilaku yang

sangat merugikan ini.

Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan

dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit

Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerjasama dalam

penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar

terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media yang ada. Penertiban

penjualan obat antibiotika oleh apotik dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan

tanpa henti. Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan

pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini terhadap

anggotanya. Kalau perlu secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap

penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi promosi obat

antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian. Bukan malah dimanfaatkan untuk

kepentingan dokter, meskipun hanya demi kepentingan kegiatan ilmiah. PERSI sebagai

wadah organisasi rumah sakit, juga berwenang memberikan pengawasan kepada anggotanya

untuk terus melakukan evaluasi yang ketat terhadap formularium obat yang digunakan.

Peran Pasien RUM bukan semata-mata tanggung jawab tenaga kesehatan. Tetapi

terwujudnya RUM juga sangat dipengaruhi oleh perilaku pasien sebagai konsumen medis,

sehingga pasien pun memiliki tanggung jawab yang sama besarnya untuk mendukung

tercapainya RUM.

Agar tercapai Tepat Pasien Bantu tenaga kesehatan agar dapat menilai kondisi pasien dengan

tepat. Informasikan pada tenaga kesehatan jika pasien adalah seorang ibu menyusui, atau

memiliki riwayat alergi terhadap obat tertentu, memiliki kelainan ginjal, hati , dll. Memang

seharusnya hal ini diajukan oleh tenaga kesehatan sendiri, tetapi tidak ada salahnya pasien

berinisiatif menginformasikannya jika tenaga kesehatan lupa menanyakan. Toh semua demi

kepentingan pasien sendiri.

Agar tercapai Tepat Indikasi Bantu tenaga kesehatan menegakkan diagnosa dengan

menginformasikan selengkap-lengkapnya gejala, keluhan atau sakit yang sedang dialami.

Agar tercapai Tepat Obat Pada saat pasien menerima resep, seharusnya bukan menjadi tanda

bahwa waktu kunjungan ke dokter telah berakhir. Justru konsultasi harus dilanjutkan guna

mendiskusikan obat apa saja yang diresepkan. Tanyakan pada dokter mengenai

komposisinya, kegunaannya, cara pakai, hingga lama penggunaan obat. Dengan demikian

pasien sudah mendapat gambaran obat apa saja yang akan diminum dan efek terapinya yang

didapatkan sebelum memutuskan untuk membeli obat tersebut. Jika ada obat yang dirasa

tidak sesuai dengan gejala yang dirasakan, tanyakan pada Dokter. Sebaiknya pasien aktif

bertanya, jangan hanya pasrah dan diam saja karena yang sedang dibahas adalah kesehatan

pasien sendiri. Hal ini juga akan menjadi fungsi kontrol dari pasien bagi dokter agar selalu

terdorong memberikan obat yang sesuai indikasi.

Agar tercapai Tepat Biaya Pasien harus mengetahui hak-haknya sebagai konsumen medis

termasuk memilih obat yang sesuai dengan keuangannya, apakah menggunakan obat generik,

obat bermerek atau obat originator / paten.

Penggunaan obat yang rasional mensyaratkan bahwa "pasien menerima obat sesuai dengan

kebutuhan klinis mereka, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu mereka sendiri,

untuk jangka waktu yang cukup, dan pada biaya terendah untuk mereka dan komunitas

mereka".

Masalah global utama

Penggunaan rasional obat adalah masalah utama di seluruh dunia. WHO memperkirakan

bahwa lebih dari setengah dari semua obat-obatan yang diresepkan, dibagikan atau dijual

tidak tepat, dan bahwa setengah dari semua pasien gagal untuk membawa mereka dengan

benar. The berlebihan, sedikit digunakan atau penyalahgunaan obat-obatan hasil pemborosan

sumber daya yang langka dan bahaya kesehatan yang meluas. Contoh penggunaan rasional

obat meliputi: penggunaan terlalu banyak obat per pasien ("poly-apotek"); penggunaan yang

tidak antimikroba, sering dalam dosis yang tidak memadai, untuk infeksi non-bakteri; lebih-

penggunaan suntikan ketika formulasi oral akan lebih tepat; kegagalan untuk meresepkan

sesuai dengan pedoman klinis; pantas pengobatan sendiri, sering obat resep-satunya; non-

kepatuhan terhadap rezim dosis.

Gunakan Rasional Obat: Ringkasan kegiatan

WHO menganjurkan 12 intervensi kunci untuk mempromosikan penggunaan lebih rasional:

1. Pembentukan badan nasional multidisiplin untuk mengkoordinasikan kebijakan pada

penggunaan obat

2. Penggunaan pedoman klinis

3. Pengembangan dan penggunaan daftar obat esensial nasional

4. Pembentukan obat dan terapi komite di kabupaten dan rumah sakit

5. Pencantuman pelatihan farmakoterapi berbasis masalah dalam kurikulum sarjana

6. Melanjutkan pendidikan kedokteran di-service sebagai persyaratan lisensi

7. Pengawasan, audit dan umpan balik

8. Penggunaan informasi yang independen pada obat-obatan

9. Pendidikan publik tentang obat-obatan

10. Menghindari insentif keuangan sesat

11. Penggunaan regulasi yang tepat dan ditegakkan

12. Belanja pemerintah yang cukup untuk menjamin ketersediaan obat-obatan dan staf.

http://beritasepuluh.com/2014/10/19/kenali-rational-use-of-medicine-rum-dan-dampaknya/

http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/