25
PENGERTIAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Lulus Mata Kuliah Teori Sastra Oleh Christopher Allen Woodrich : NIM 084114001 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah ini merupakan makalah untuk mata kuliah Teori Sastra di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Mohon maaf apabila terjadi kesalahan bahasa; saya orang Kanada.

Citation preview

Page 1: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

PENGERTIAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA

MakalahDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lulus Mata Kuliah Teori Sastra

OlehChristopher Allen Woodrich : NIM 084114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIAJURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA

2010

Page 2: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, ..........................................

Penulis

Christopher Allen Woodrich

KATA PENGANTAR

Page 3: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Atas bantuan mereka dalam penyelesaian makalah ini saya ucapkan terima

kasih kepada orang-orang berikut:

Sie Yulyani Retno Nugroho, atas dukungannya yang setia.

Drs. B. Rahmanto, M. Hum., untuk bantuan dan kesabarannya

Para pemikir dalam Sosiologi Sastra yang mengembangkan ilmu kajian

sastra.

Makalah ini tidak sempurna dan apabila terjadi kekurangan saya mohon maaf

lebih dahulu. Terima kasih.

Yogyakarta, ………………….. 2010

Christopher Allen Woodrich

NIM: 084114001

DAFTAR ISI

Halaman

Page 4: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

BAB 1: PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

1.2. Tujuan dan Metode Analisis ........................................................... 1

1.3. Sistematika Penyajian ..................................................................... 2

BAB 2: PENGERTIAN SOSIOLOGI SASTRA MENURUT BERBAGAI

PEMIKIR ........................................................................................ 3

BAB 3: CONTOH PENERAPAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA ............ 6

3.1. Kebudayaan Keris ........................................................................... 6

3.2. Roh-Roh .......................................................................................... 7

3.3. Kekeramatan .................................................................................... 8

3.4. Religi ............................................................................................... 9

3.5. Nasib ............................................................................................... 9

3.6. Nerima / Cipto Tunggal................................................................... 10

3.7. Keperawanan ................................................................................... 10

3.8. Pernikahan ....................................................................................... 11

BAB 4: KESIMPULAN ............................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Page 5: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

1.1. Latar Belakang Masalah

Dunia kajian sastra kaya raya dengan berbagai jenis teori mengenai cara

pelaksanaannya, dari teori seperti strukturalisme dan formalisme yang hanya

memandang karya sastra sendiri hingga teori seperti intertekstualisme dan resepsi

sastra yang tidak terlepas dari unsur-unsur di luar karya sastra.

Teori sosiologi sastra termasuk di kategori kedua. Biarpun belum lama resmi

menjadi teori telaahan sastra, sosiologi sastra sudah banyak berkembang. Diharapkan

makalah ini dapat menjelaskan teori dinamis ini dengan jelas.

1.2. Tujuan dan Metode Penelitian

Penelitian ini dimaksud untuk menjelaskan apa itu teori sosiologi sastra. Ini

akan digarap dengan menggunakan metode penelitian pustaka, serta studi kasus.

1.3. Sistematika Penyajian

Makalah ini dibagi menjadi empat bab. Bab satu adalah bab pendahuluan,

yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi menjadi tiga subbab dan

menjelaskan latar belakang masalah, tujuan dan metode penelitian, dan sistem

penyajian.

Bab dua menjelaskan teori sosiologi sastra, sebagaimana digarap dari kajian

pustaka. Dalam bab ini termuat berbagai aspek kajian sosiologi sastra.

Bab tiga adalah studi kasus mengenai penelitian sosiologi sastra. Dalam bab

ini digunakan teori sosiologi sastra untuk menjelaskan kebudayaan Jawa yang tampak

dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari.

Bab terakhir adalah bab empat. Bab ini merupakan kesimpulan dari makalah.

BAB 2:

PENGERTIAN SOSIOLOGI SASTRA MENURUT BERBAGAI PEMIKIR

Page 6: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra (juga disebut sosiokritik) adalah ilmu sastra interdisiplin

(ilmu sastra dengan ilmu sosiologi)1 yang dipicu sebagai tanggapan atas kekurangan

teori strukturalisme. Oleh karena dipercaya bahwa karya sastra harus dipahami

sebagai satu aspek kebudayaan yang melengkapi kebudayaan lain, sosiologi sastra

berusaha untuk memahaminya dalam konteks kebudayaan itu. Semua aspek saling

melengkapi, baik pengarang, artifak, pembaca, maupun interteks.2

Menurut Jonathan Culler, karya sastra, yang merupakan suatu sistem simbol,

hanya dapat mempunyai arti apabila dijelaskan dari mana asal-usulnya dan untuk

siapa dimanfaatkan. Penelitian yang tidak memperhatikan ini tidak dapat menjelaskan

karya sastra dengan sesungguhnya.3

Dalam penerapannya, teori sosiologi sastra dinyatakan lebih mudah

dipergunakan untuk prosa, khususnya novel. Menurut Nyoman Kutha Ratna, ini

terjadi karena:

Novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, serta paling

luas.

Bahasa yang digunakan cenderung bahasa sehari-hari, sehingga paling

mudah dipahami.4

Sosiologi sastra dianggap teori yang baru. Biarpun dinyatakan telah lahir pada

abad ke-18, baru ada buku teks yang diterbitkan pada tahun 1970.5 Walaupun

demikian, perkembangannya sudah pesat. Di bawah ini dijelaskan berbagai aspek

teori sosiologi sastra.

Menurut Nyoman Kutha Ratna, kedudukan karya sastra adalah sebagai

berikut:

1 Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Cetakan Kelima. 2009. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal. 338.

2 Ibid. Hal. 332.3 Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of

Literature. Routledge & Kegan Paul: London. Hal. 5. dalam Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 337.

4 Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 335 – 336.5 Ibid. Hal. 331.

Page 7: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin

oleh penyalin. Ketiga subjek itu adalah anggota masyarakat.

2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang

terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga digunakan masyarakat.

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi

masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah

kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain,

dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat

jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas;

artinya, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.6

Dengan demikian, menurut Nyoman Kutha Ratna kekayaan karya sastra

terjadi karena dua hal, sebagaimana dijelaskan di bawah:

1. Pengarang, dengan pengetahuan intersubjektivitasnya, menggali kebudayaan

masyarakat lalu memasukkan kebudayaan itu dalam karyanya. Keberhasilan

pemasukan kebudayaan itu bertitik tolak pada kemampuan pengarang dalam

melukiskannya.

2. Pembaca, dengan pengertian kebudayaan itu, memahami apa yang dibaca

dengan kaca mata budaya itu. Apabila pembaca tidak memahami atau berasal

dari kebudayaan itu, sangat susah untuk karya sastra berhasil mengesankan

pembaca.7

Menurut Nyoman Kutha Ratna, karya sastra selamanya milik masyarakat yang

melahirkan pengarangnya. Selama hidup pengarang, dia dapat diakui sebagai

pengarang karya sastra. Namun, setelah kematiannya pengarang tunggal itu diganti

dengan pengarang jamak, yaitu masyarakat yang melahirkan situasi sosio-budaya

yang mewarnai karya sastra. Pengarang jemak ini yang dinamakan pengarang

6 Ibid. Hal. 333.7 Ibid. Hal. 333 – 334.

Page 8: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

implisit. Tidak ada karya sastra yang merupakan hanya hasil dunia batin pengarang

sendiri.8

Pernyataan serupa dinyatakan oleh ahli ilmu sastra lain. Menurut Jonathan

Culler, tidak ada karya sastra yang berasal dari pikiran yang benar-benar independen

yang dapat dimengerti oleh masyarakat luas. Apabila karya sastra diharapkan untuk

dibaca, dipahami, dan dinikmati masyarakat, harus termasuk horison harapan

pembaca, atau sistem kebiasaan dan pikiran umum di masyarakat itu yang sudah pasti

akan dipahami pembaca. 9

Sebagai ilmu interdisiplin antara ilmu sastra dan sosiologi, sosiologi sastra

juga menerapkan berbagai aspek kebudayaan, di antara lain sejarah, filsafat, agama,

ekonomi, dan politik. Namun, prioritas dalam penelitian sosiologi sastra adalah karya

sastra sendiri, dengan ilmu-ilmu lain sebagai ilmu pembantu.10

Ada tiga macam model penelitian karya sastra yang dapat digunakan seorang

peneliti, sebagai berikut:

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra

itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah

terjadi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,

bukan aspek-aspek tertentu.

3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,

dilakukan dengan menggunakan disiplin tertentu. Model ini mudah diterapkan

dengan cara yang salah, sehingga karya sastra menjadi objek kedua.11

BAB 3

CONTOH PENERAPAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA

8 Ibid. Hal. 336.9 Culler, Jonathan. Op. Cit. Hal. 5. dalam Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 337.10 Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 339.11 Ibid. Hal. 340

Page 9: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Demi pemahaman teori sosiologi sastra, di bawah tersedia contoh sederhana

penelitian dengan menggunakan model kedua teori itu. Kajian ini menjelaskan

kebudayaan Jawa yang ada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad

Tohari.

3.1 Budaya Keris

Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata bilah dua.

Bilahnya bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai beberapa jenis, di antara

lain keris alang (keris yang sedang panjangnya), keris berluk (keris yang bilahnya

berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris yang bilahnya lurus) dan keris parung

(keris yang berkeluk sembilan).12 Dalam masa perang kuna, keris dipakai sebagai

senjata.13

Dalam budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena itu, keris

merupakan bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga menggantikan pria

dalam situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin ketika pengantin pria

berhalangan hadir.14

Keris juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris dipercaya dapat

membuat pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut. Dalam kata lain,

keris dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain.15

Kebudayaan keris ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam novel Ronggeng

Dukuh Paruk, terutama ketika Srintil baru belajar menjadi ronggeng. Keris

merupakan suatu perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat ditinggalkan;

dipercaya bahwa pemakaian keris yang benar akan membuat tariannya menjadi

semakin dahsyat.16

12 Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Gramedia: Jakarta. Hal. 681.13 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Keris.” http://www.karatonsurakarta.com/keris.html.

Didownload Agustus 2010.14 Ibid.15 Ibid.16 Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. 2009. Cetakan Keempat. Gramedia: Jakarta. Hal. 43.

Page 10: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Ini disebabkan karena keris itu adalah pekasih, dan dianggap mempunyai

daya tarik seksual. Selain berbentuk phallus,17 keris itu mempunyai enerji yang selalu

digunakan oleh ronggeng:

‘“(Sakarya dan Kartareja) mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. … dengan keris ini aku akan menjadi ronggeng tenar.’”18

Biarpun ini tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan keris sebagaimana

dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat dijelaskan. Oleh karena tarian ronggeng

digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat (seperti malam bukak-klambu),

keris digunakan sebagai pengganti pria. Dengan ronggeng memakai keris, pria dan

wanita menyatu.

3.2. Roh-Roh

Dalam kepercayaan Jawa ada berbagai macam roh halus yang dapat

menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk menenangkan roh-roh

halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka makanan lain atau bunga.

Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan.19

Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada

dan kadang-kadang menjenguk keluarga. Roh nenek moyang ini dihormati oleh

keluarga dan dipercaya masih dapat berkomunikasi dengan orang hidup (wangsit).

Apabila ini terjadi, apapun yang diminta dianggap sebagai hal yang terbaik.20

Dunia roh ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam plot Ronggeng Dukuh

Paruk. Wangsit terlihat sekali ketika Srintil dilihat menari dengan indah tanpa

diajari, Sakarya dan Kartareja merasa bahwa dia dirasuk indang ronggeng.

17 Ibid. Hal. 40.18 Ibid. Hal. 4319 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Orang Jawa.”

http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html. Didownload Agustus 2010.20 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Adat Istiadat Jawa”

http://www.karatonsurakarta.com/tradisi.html. Didownload Agustus 2010.

Page 11: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Kepercayaan ini menjadi dasar mereka untuk melatihkan Srintil menjadi ronggeng.21

Sementara, ketika Rasus mengambil keris dari rumahnya, dia memberi alasan

menerima wangsit dari ayah kepada neneknya supaya tidak banyak ditanya.22

Ada pula kerasukan arwah Ki Secamenggala. Saat diadakan upacara

pemandian di kuburan Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasuk:

“Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah terpejam.”23

Kejadian ini langsung ditangkapi oleh Sakarya sebagai kerasukan. Dengan

demikian, Srintil diminta menari untuk memuaskan Ki Secamenggala. Setelah

Kartareja mulai memeluk Srintil terlalu keras, baru Ki Secamenggala

melepaskannya.

3.3. Kekeramatan

Di dalam budaya Jawa, kuburuan dianggap sesuatu yang keramat. Ini

disebabkan oleh hormat untuk nenek moyang dan kepercayaan bahwa roh orang mati

masih menyaksikan segala di bumi. Dengan demikian, untuk acara tertentu, misalnya

nyewu, diadakan upacara di pemakaman. Juga diwajibkan sopan santun tinggi saat di

kuburan.24

Kepercayaan ini muncul di dua bagian Ronggeng Dukuh Paruk. Pertama, saat

diadakan upacara pemandian dan tarian untuk mendapatkan restu Ki Secamenggala

agar Srintil menjadi ronggeng.25 Kali kedua ialah ketika Srintil mengajak Rasus

bercinta di pemakaman untuk menenangkannya, tetapi Rasus menolak karena tempat

itu adalah tempat yang keramat.26

21 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 1322 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 40.23 Ibid. Hal. 47.24 Karaton Surakarta. “Orang Jawa.” Op. Cit.25 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 43 – 50.26 Ibid. Hal. 66 – 67.

Page 12: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

3.4. Religi

Pada umumnya ada dua jenis religi Jawa, yaitu:

1. Islam santri, atau orang yang menolak kepercayaan tradisional Jawa dan

memeluk semua aspek Islam

2. Islam kejawen, atau orang yang secara resmi mengakui Islam tetapi masih

memegang erat kepercayaan Jawa. Kaum priyayi pada umumnya termasuk

kejawen.

Ada pula orang Jawa yang mempunyai religi lain, misalnya orang Jawa

Katolik, Protestan, dan sebagainya, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit.27

Religi dalam Ronggeng Dukuh Paruk mencerminkan perbedaan itu. Di

Dukuh Paruk, tidak ada orang yang dikatakan menganut ajaran Islam dengan baik.

Rasus tidak memahami konsep “dosa” sampai pindah ke Dawuan. Hal-hal seperti

pergaulan bebas sudah umum di Dukuh Paruk.28

Sementara, di Dawuan ada banyak orang yang menganut Islam dengan cara

yang lebih taat, biarpun bukan santri. Misalnya, Siti, seorang gadis seusia Srintil,

memakai kerudung dan melarikan diri setelah Rasus mencubit pipinya. Ada pula

seorang gadis yang rajin bersolat, sesuatu yang tidak ada di Dukuh Paruk.29

3.5. Nasib

Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam hidup sudah

ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat, pintar atau bodoh,

kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir.30

27 Karaton Surakarta. “Orang Jawa.” Op. Cit.28 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 85 – 86.29 Ibid. Hal. 85 – 86.30 Karaton Surakarta. “Orang Jawa.” Op. Cit.

Page 13: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Ini muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika Kartareja dan Sakarya

mendiskusikan rasuknya Srintil oleh indang. Setelah melihat tarian Srintil, Kartareja

berpendapat:

“… Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki

Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.”31

3.6. Nerima / Cipto Tunggal

Salah satu dasar hidup bersama dalam budaya Jawa adalah konsep nerima,

atau maklum atas keterjadian dalam hidup. Oleh karena emosi dianggap sesuatu yang

selayaknya dihindari, masyarakat Jawa diajari untuk menerima keadaan apa adanya

dengan senang hati.32

Ini terwujud dalam batin Srintil, yang menganggap upacara bukak klambu

sebagai sebuah keharusan dan karenanya dia tidak memberontak terhadap upacara itu.

Dia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua

yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan

pasrah. Karena itu, walaupun dia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika

menjalani upacara itu, dia tidak berani melawan atau memberontak karena menjadi

seorang ronggeng adalah suatu kehormatan dalam kedudukan sosial dan budaya

Dukuh Paruk.33

3.7. Keperawanan

Keperawanan, atau virginitas, dalam budaya Jawa sangat berarti.

Ketidakperawanan istri saat menikah dapat menjadi alasan untuk bercerai, dan wanita

tidak berpasangan yang sudah diketahui bukan perawan dianggap sangat rendah.

31 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 20.32 Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Cipto Tunggal”

http://www.karatonsurakarta.com/ciptotunggal.html. Didownload Agustus 2010.33 Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 74 – 78.

Page 14: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Biarpun hymen rusak karena hal selain berhubungan seks, itu masih dianggap bukan

perawan. Akibatnya, wanita Jawa tradisional berusaha untuk menjaganya sampai

menikah. Ini sering diwujudkan dengan tidak bergaul dengan lelaki.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, ada dua sudut pandang mengenai

keperawanan: satu di Pasar Dawuan, dan satu di Dukuh Paruk. Di Pasar Dawuan,

keperawanan wanita dipandang dari sudut pandang Jawa tradisional, yaitu harus

dijaga sebisa mungkin. Biarpun ada yang dapat dibayar dan sudah bukan perawan

lagi, ada juga yang terkenal pemalu dan sholeh. Ini terbukti dengan adanya tokoh Siti

dan satu perempuan tak ternama.34

Keperawanan di Dukuh Paruk dibahas dengan adanya upacara ritual bukak

klambu. Konsep inisiasi ini bertitik tolak dari pandangan bahwa seseorang calon

ronggeng baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral

upacara sayembara memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Pandangan

semacam itu berasal dari konsep mitos yaitu menjadi seorang ronggeng sejati

bukanlah hasil pengajaran melainkan jika indang (semacam roh atau wangsit yang

dimuliakan di dunia peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Para ibu di dukuh itu

merasa senang sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri

merasa bangga jika suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng. Dengan

demikian, kita bisa memahami bahwa keperawanan di Dukuh Paruk masih

merupakan hal yang istimewa, tetapi untuk alasan yang berbeda dari budaya Jawa

tradisional: mengambil keperawanan seseorang, khususnya ronggeng, membawa citra

baik, dan menyerahkan keperawanan dapat menghasilkan keuntungan finansial.35

3.8. Pernikahan

Dalam budaya Jawa tradisional, pernikahan adalah perjalanan hidup yang

ditempuh oleh dua orang, satu suami dan satu istri. Biarpun sultan dan raja zaman

kuna mempunyai beberapa selir, mereka tidak dianggap setara dengan istri. Dalam

34 Ibid. Hal. 85 – 86.35 Ibid. Hal. 30 – 70.

Page 15: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

kalangan orang awam, pernikahan berarti hanya boleh bersetubuh dengan istri dan

selir tidak diizinkan. Biarpun menurut ajaran Islam seorang pria boleh menikah lebih

dari satu istri, itu harus dengan izin istri pertama; akibatnya, jarang dilakukan. Orang

yang diketahui telah selingkuh dipermalukan oleh orang sekampung dan dapat diusir

dari kampung mereka.

Di Dukuh Paruk, kebudayaan ini sama sekali tidak dihormati. Apabila

seorang suami atau istri berselingkuh, secara tradisional pasangan mereka tidur

dengan pasangan orang yang ditiduri dalam perselingkuhan itu. Setelah itu, semua

urusan dianggap beres.36 Kedudukan suami-istri di luar Dukuh Paruk tidak

digambarkan.

BAB 4:

KESIMPULAN

Sosiologi sastra adalah teori yang menjelaskan bagaimana karya sastra dapat

dikaji dengan menitikberatkan masyarakat yang melahirkan pengarang dan pembaca.

Pengarang, karya sastra, dan pembaca dianggap merupakan anggota-anggota atau

bagian-bagian masyarakat yang lahir dan mati di antara masyarakat. Dengan

demikian, yang melahirkan karya sastra adalah masyarakat, dan untuk memahami

karya sastra dengan baik harus memahami masyarakat itu.

36 Ibid. Hal. 85.

Page 16: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

DAFTAR PUSTAKA

Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. Routledge & Kegan Paul: London. dalam Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Cetakan Pertama. 2004. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Adat Istiadat Jawa” http://www.karatonsurakarta.com/tradisi.html. Didownload Agustus 2010.

Page 17: Pengertian Teori Sosiologi Sastra

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Cipto Tunggal”http://www.karatonsurakarta.com/ciptotunggal.html. Didownload Agustus 2010.

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Keris.” http://www.karatonsurakarta.com/keris.html. Didownload Agustus 2010.

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. “Orang Jawa.” http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html. Didownload Agustus 2010.

Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Gramedia: Jakarta

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Cetakan Kelima. 2009. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. 2009. Cetakan Keempat. Gramedia: Jakarta.