171
PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN Pemahaman Fikih dan Hukum Positif Tesis Disusun oleh: Luthfi Mafatihu Rizqia NIM: 21171200000044 Konsentrasi: Syariah Pembimbing Prof. Amelia Fauzia, MA., P.hD. SEKOLAH PASCASARJANA PROGAM MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN

Pemahaman Fikih dan Hukum Positif

Tesis

Disusun oleh:

Luthfi Mafatihu Rizqia

NIM: 21171200000044

Konsentrasi: Syariah

Pembimbing

Prof. Amelia Fauzia, MA., P.hD.

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGAM MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

Page 2: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

nama : Luthfi Mafatihu Rizqia

nim : 21171200000044

judul tesis : Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid

Perkotaan: Pemahaman Fikih dan

Hukum Positif

menyatakan bahwa proposal tesis ini telah diverifikasi oleh Arif Zamhari,

M.Ag., Ph.D. pada tanggal 15 Januari 2020.

Proposal Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi:

1. Lengkapi lampiran yang disyaratkan

Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan

pertimbangan untuk menempuh ujian Pendahuluan.

Jakarta, 16 Januari 2020

Saya yang membuat pernyataan,

(Luthfi Mafatihu Rizqia)

Page 3: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

ii

Kata Pengantar

Bismilla>hirrahma>nirrahi>m

Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan nikmat, rahmat, dan

anugerah kekuatan lahir dan batin kepada penulis sehingga dengan izin-Nya tesis ini

bisa penulis selesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi

Muhammad saw. yang telah mengajarkan arti kehidupan yang seimbang dalam

berbagi melalui syariat zakat.

Melalui tesisi ini penulis pada dasarnya menginginkan adanya perhatian

terhadap eksistensi pengelolaan zakat yang masif di masyarakat perkotaan tetapi

tidak didasari pemahaman fikih dan hukum positif yang komprehensif sehingga

tidak pernah ada perbaikan dan evaluasi mekanisme atas praktik ini. Penulis

memandang praktik pengelolaan zakat di masjid yang dianggap lumrah ini sebagai

masalah yang tidak sederhana, karena banyak aspek dan pihak terkait yang terlibat,

dan juga harus melibatkan mereka untuk melakukan evaluasi yang mendasar untuk

memperbaiki kualitas pengelolaan zakat di masjid.

Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid

(DKM) terhadap fikih zakat dan hukum positif tentang pengelolaan zakat di

Indonesia yang penulis peroleh melalui wawancara pihak-pihak terkait sehingga

menyimpulkan bahwa pemahaman DKM terhadap fikih dan hukum positif masih

belum selaras dan komprehensif dalam mempraktikkan pengelolaan zakat di masjid.

Sebagaimana banyak pihak yang terkait dalam eksistensi praktik

pengelolaan zakat di masjid, tesis ini pun pada hakikatnya tidak hanya diselesaikan

oleh penulis, tetapi ada banyak pihak yang telah berperan untuk mendukung proses

penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para pihak-pihak

yang secara langsung atau pun tidak telah terlibat yaitu Prof Dr. Amany

Burhanuddin Umar Lubis, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Jamhari, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Hamka Hasan, Lc. MA.

selaku Wakil Direktur, Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA. selaku Ketua Jurusan

Program Doktor Pengkajian Islam, Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D. selaku Ketua

Jurusan Program Magister Pengkajian Islam, seluruh staf, pustakawan, dan civitas

akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulis berterima kasih secara khusus kepada Dr. Amelia Fauzia, MA.

selaku pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, masukan, dan kritik

yang secara konsisten dan membangun kepada penulis dalam proses penulisan dan

penyelesaian tesis ini. Selama penulis mengenyam pendidikan di Sekolah

Pascasarjana ini, penulis juga mendapatkan banyak ilmu dari guru besar dan tim

dosen pegampu mata kuliah di Sekolah Pascasarjana seperti Prof. Dr. Azyumardi

Azra, MA., Prof. Dr. Said Aqil Munawwar, Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr.

Hasanuddin AF, MA., Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, Prof. Dr. Zulkifli, MA., Prof Dr.

Masykuri Abdillah, MA., Prof. Dr. Huzaemah T Yanggo, Prof. Dr. Bahtiar Effendy,

Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA., Prof Dr. M. Iksan Tanggok, Prof. Dr. Ridwan

Lubis, MA. dan dosen-dosen lainnya.

Page 4: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

iii

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para Dewan Kemakmuran

Masjid di Kecamatan Pancoran yang penulis wawancarai, Kantor Urusan Agama

Kecamatan Pancoran, Kantor Kementerian Agama Kota Administrasi Jakarta

Selatan, BAZNAS, Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf dan Subdit

Kemasjidan Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah bersedia

memberikan data dan informasi dalam penelitian ini

Kehidupan perkuliahan memang tidak secara langsung berkaitan dengan

kehidupan keluarga, tetapi intensitas komunikasi dan dukungan moral keluarga

sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Bapak ibu tersayang;

Bapak Drs. H. Masudin dan Ibu Dra. Hj. Ai Muflihah, saudara-saudara penulis;

Fahmi Azka Masudin S.Pd., Hazmi Fathan Kariema, Fadhli Azizan Syamila dan

istri serta putra tercinta; Indah Dewi Jayanti dan Akrim Fawatih Ilmi yang telah

menjadi semangat tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan tingkat

magister ini.

Semangat penulis juga didorong faktor-faktor eksternal lain, seperti yang

datang dari almamater pesantren Al-Nahdlah Depok yang merupakan tempat penulis

dididik selama 6 tahun melalui para para ustad dan alumni yang terus menjalin

silaturahim juga almamater Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)

Jakarta. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada kawan-kawan

seperjuangan angkatan 2017 Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana yang

membuat kondisi yang kondusif untuk berdiskusi dan berkompetisi menjadikan

penulis terus berusaha memberikan yang terbaik karena terpacu melalui prestasi dan

pencapaian mereka selama masa studi.

Akhirnya penulis ucapkan selamat membaca penelitian tentang pengelolaan

zakat di masjid wilayah perkotaan ini, meskipun lokasinya di kecamatan Pancoran,

tetapi penulis berkeyakinan bahwa ada substansi mendasar yang bisa ditemukan dan

didapati dalam penelitian ini yang bisa diterapkan juga di setiap pengelolaan zakat

yang dilakukan masjid di manapun berada. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi

semua dan menjadi sebuah karya yang bernilai ibadah di sisi Allah swt. Amin.

Walla>hul Muwaffiq ila> Aqwami al-T{ari>q

Wassala>mu’alaikum Warohmatulla>hi Wabaroka>tuh

Jakarta, 12 Januari 2020

Luthfi Mafatihu Rizqia

Page 5: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Luthfi Mafatihu Rizqia

NIM : 21171200000044

No Kontak : 085715844668

menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid

Perkotaan: Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” adalah hasil karya saya

sendiri. Ide/gagasan orang lain yang ada dalam karya saya ini saya sebutkan sumber

pengambilannya. Apabila di kemudian hari terdapat hasil plagiarisme maka saya

bersedia menerima sanksi yang ditetapkan dan sanggup mengembalikan gelar dan

ijazah yang saya peroleh sebagaimana peraturan yang berlaku.

Jakarta, 12 Januari 2020

Yang menyatakan

Luthfi Mafatihu Rizqia

Page 6: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan:

Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” ditulis oleh Luthfi Mafatihu Rizqia NIM:

21171200000044 telah melalui pembimbingan dan Work in Progress sebagaimana

ditetapkan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga layak

diajukan untuk Ujian Tesis.

Jakarta, 26 Desember 2019

Pembimbing

Prof. Amelia Fauzia, MA., P.hD.

Page 7: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

vi

PERSETUJUAN PENGUJI

Tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan:

Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” ditulis oleh Luthfi Mafatihu Rizqia NIM:

21171200000044 telah dinyatakan lulus dalam ujian tesis yang diselenggarakan

pada Rabu, 29 Januari 2020 dan telah selesai diperbaiki sesuai dengan saran dan

rekomendasi dari tim penguji.

Jakarta, 05 Februari 2020

Page 8: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

vii

Abstrak

Penelitian ini membuktikan bahwa pengelolaan zakat oleh masjid perkotaan

masih eksis di bulan Ramadan, terutama penghimpunan zakat fitrah. Dari praktik

yang dilakukan ini dapat disimpulkan bahwasanya pengelolaan zakat yang

dilakukan di masjid lebih didasari pada pemahaman fikih zakat saja tidak dengan

aturan hukum positif, meskipun masjid berada di wilayah perkotaan, ternyata tidak

berdampak signifikan terhadap ketaatan hukum yang ada. Di antara faktor yang

menyebabkan hal ini terjadi adalah tidak maskimalnya sosialisasi, tidak adanya

penegakan hukum, faktor lingkungan dan sikap masyarakat.

Pemahaman fikih zakat Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) masih

terbilang tradisional dan erat dengan kebiasaan yang telah dilakukan bertahun tahun,

sedangkan pemahaman mereka terkait aturan hukum tentang pengelolaan zakat

masih belum komprehensif dan cenderung belum teraplikasikan secara riil dalam

pengelolaan zakat yang dilakukan. Pola penghimpunan zakat yang dilakukan hanya

bersifat pasif yaitu menunggu muzaki yang membayar zakat kepada DKM

sementara pola pendistribusiannya dilakukan hanya pada kegiatan komsumtif

tradisional berupa pemberian beras dan nominal uang tertentu atau dalam bentuk

makanan pokok lainnya.

Penelitian ini sependapat dengan Miftah (2007) yang menyelaraskan zakat

dalam dimensi agama dan negara; yaitu bahwa zakat harus dijalankan sesuai

perintah agama dan juga sejalan dengan tuntutan hukum yang berlaku sehingga para

pengelola zakat yang belum menyesuaikan harus segera ditertibkan, seperti halnya

masjid-masjid. Begitu pula dengan hasil penelitian Wijayanto (2019) yang

mengungkapkan bahwa masjid-masjid yang mengelola zakat dapat dikatakan belum

mematuhi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat selama

mereka belum menyesuaikan diri untuk menjadi UPZ sesuai dengan penelitian yang

penulis lakukan.

Di sisi lain, tesis ini untuk sebagian hasilnya tidak sejalan dengan penelitian

Harninta dan Prihartini (2013). Mereka berpendapat bahwa hanya BAZNAS serta

LAZ yang berwenang mengelola zakat, padahal amil zakat perorangan atau

tradisional (termasuk di dalamnya adalah masjid-masjid) boleh juga melakukan

pengelolaan zakat dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif-empiris yang

memadukan penjelasan yuridis-normatif mengenai peraturan-peraturan zakat serta

dilengkapi penggambaran implementasi empiriknya di masjid-masjid dengan

pendekatan studi kasus. Sumber data yang digunakan adalah data primer yang

berupa hasil wawancara dan data sekunder yang berupa peraturan-peraturan tentang

zakat dan masjid yang diolah dengan metode analisis kualitatif.

Kata Kunci: Pengelolaan Zakat oleh Masjid, Fikih Zakat, Kesadaran dan Ketaatan

Hukum, Amil Zakat.

Page 9: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

viii

Abstract

This research proved that the management of zakat by urban mosques still

exists in Ramadan, especially for the collection of zakat fitrah. From this practice, it

can be concluded that the zakat management in urban mosque is more based on

understanding the fiqh of zakat, not with the positive legal rules. Although the

mosques are located in urban region, in fact it did not influece significantly to their

law compliance. The factors that cause this condition are the lack of socialization,

absence of law enforcement, environmental factors and society attitudes.

The understanding about fiqh zakat that understood by Mosque Board is

still fairly traditional and closely related to the tradition that have been carried out

for many years, while their understanding of the legal rules regarding the

management of zakat is still not comprehensive and tends not to be applied in real

terms in the management of zakat. Mosques collected zakat in passive way, means

that they just wait for muzakki to pay their zakat to them, while distribution manner

of zakat is only limited to traditional consumptive activities in the form of giving

rice and certain nominal money or other staple foods.

This research is agree with Miftah (2007) who unite zakat in the dimensions

of religion and state; that zakat must be carried out according to religious orders and

also in line with applicable law so that zakat managers who are not appropriate must

be put in order immediately, such as mosques. Likewise with the results of

Wijayanto's research (2019) which revealed that the mosques which manage zakat

can be said to have not complied with Law No. 23 of 2011 about Management of

Zakat as long as they have not adapted themselves to become UPZ is as same as

what author found in this research.

On the other hand, this thesis for some results is not in line with the research

of Harninta and Prihartini (2013). They argue that only BAZNAS and LAZ are

authorized to manage zakat, even though individual or traditional amil zakat

(including mosques) may also manage zakat on the terms and conditions.

This research is a type of normative-empirical legal research that combines

juridical-normative explanations regarding the rules of zakat with a description of its

empirical implementation in mosques by a case study approach. The data source that

is used are primary data from the interviews and secondary data in form of

regulations on zakat and mosques which is analized using qualitative analysis

methods.

Keywords: Management of Zakat by the Mosque, Zakat Islamic Jurisprudence,

Legal Awareness dan Compliance, Amil Zakat.

Page 10: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

ix

ملخص البحثيثبت ىذا البحث بأن إدارة الزكاة التي تديرىا المساجد في الولاية المدنية لا تزال موجودة

، وخاصة جمع زكاة الفطر. من ىذه الممارسة يمكن الاستنتاج أن إدارة الزكاة التي يتم في شهر رمضان مهما الموجودة. وضعيةكاة وحده لا على القوانن التنفيذىا في المساجد تعتمد على فهم فقو الز

و العوامل التي فعالة على امتثالهم للقانون.تؤثر كانت المساجد تقع في الولاية المدنية، ولكنها لم تؤثر على ىذه الحالة ىي عدم وجود التنشئة الاجتماعية وعدم وجود إنفاذ القانون ، والعوامل البيئية

والمواقف المجتمعيةتم تقليدي ويرتبط ارتباطا وثيقا بالعادات التي عن الزكاةمنظمة المسجد لا يزال فهم الفقو لــ

كاملا و لم للقواعد القانونية المتعلقة بإدارة الزكاة لم يكن سنوات ماضية ، مع أن فهمهم تنفيذىاجمعت المساجد الزكاة بطريقة غن نشطة بمعنى أنهم ينتظرون المزكي لزكاة.ل تهميطبق بالفعل في إدار فقط على الأنشطة الاستهلاكية منظمة المسجدها تالذي وزع توزيع الزكاة ليدفع الزكاة إليهم و

.رة إعطاء الأرز وبعض النقود أوغذية أساسية أخرىالتقليدية في صو الذي ينسق الزكاة من ناحية دينية Miftah(2007)يطابق ىذا البحث بـحث مفتاح

ودولية ؛ أي أن الزكاة يجب أن تتم إدارتها وفقا للأوامر الدينية وأيضا متبعا القوانن القضائية المعمول لوا بهما، لا سيما المساجد. و ىذا البحث أيضا يوافق نتائج بها حتى لا بد على منظمي الزكاة ليعد

الذي وجد أن المساجد التي تدير الزكاة يمكن القول أنها لم Wijayanto (2019) بحث ويـجاينتووفقا للبحث UPZ عن إدارة الزكاة طالما أنها لم تتكيف لتصبح 3122لسنة 34تمتثل للقانون رقم الذي أجراه المؤلف

بريهاتيني ىارنينتا و لبعض النتائج لا توافق بحثا البحث ناحية أخرى ، فإن ىذمن Harninta وPrihatini (2013) فقط رأيهما أن في BAZNASو LAZ المصرح لهم بإدارة

على الرغم من أن عاملن على الزكاة بشكل فردي أو تقليدي )بما في ذلك المساجد( يمكنها الزكاة الزكاة وفقا للشروط والقوانن .أيضا أن تدير البحث القانوني التجريبي الذي يجمع بن المفاىيم القانونية فيما يتعلق بتنظيم الزكاة ىو ىذا

و بوصف تنفيذه العملي في المساجد بمنهج دراسة الحالة. مصدر البيانات المستخدمة ىي البيانات الزكاة والمساجد والتي تمت معالجتها عن القواننالأولية في شكل مقابلات والبيانات الثانوية وىي

.باستخدام أساليب التحليل النوعي

القانوني ، والامتثال الكلمات المفتاحية: إدارة الزكاة في المسجد ، فقو الزكاة ، الوعي العاملون على الزكاة

Page 11: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

x

Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Ala-Lc Romanization Tables

1. Konsonan

No Arab Latin

No Arab Latin

Tidak ا 1

disimbolkan {t ط 16

{z ظ B 17 ب 2

‘ ع t 18 ت 3

gh غ th 19 ث 4

f ؼ J 20 ج 5

q ؽ h} 21 ح 6

k ؾ kh 22 خ 7

l ؿ d 23 د 8

m ـ dh 24 ذ 9

n ف r 25 ر 10

w و Z 26 ز 11

h هػ S 27 س 12

' ء sh 28 ش 13

y ي s} 29 ص 41

{d ض 41

2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang

a أ ر ق ـ = qara'a a> ق ال = qa>la

i ب ت ك = kutiba i> ق يل = qi>la

u ب ى ذ ي = yadhabu u> ي ـق ول = yaqu>lu

Page 12: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

xi

DAFTAR ISI

Pernyataan Perbaikan Setelah Verifikasi...............................................................ii

Kata Pengantar .................................................................................................... iii

Pernyataan Bebas Plagiarisme ............................................................................... v

Lembar Persetujuan Hasil Ujian Pendahuluan Tesis ............................................ vi

Lembar Persetujuan Pembimbing ........................................................................vii

Abstrak ................................................................................................................ viii

Pedoman Transliterasi ......................................................................................... xi

Daftar Isi ...............................................................................................................xii

Daftar Tabel dan Skema ...................................................................................... xiv

Daftar Singkatan ................................................................................................... xv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Permasalahan ................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ................................................. 8

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................................. 8

F. Metodologi Penelitian ...................................................................... 14

G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 19

BAB II :KONSEP FIKIH ZAKAT DAN KESADARAN HUKUM

MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Kewenangan Mengelola Zakat.......................................................... 20

B. Amil Zakat ........................................................................................ 23

C. Prinsip Pengelolaan Zakat ................................................................ 27

D. Kesadaran Hukum ............................................................................. 29

E. Sosiologi Masyarakat Perkotaan ....................................................... 35

BAB III : PENGELOLAAN ZAKAT OLEH MASJID

A. Tipologi Masjid di Indonesia ............................................................ 39

B. Dewan Masjid Indonesia ................................................................... 44

C. Masjid dalam Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia................... 46

1. Undang-Undang No. 23 tahun 2011 .......................................... 46

2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 86/PUU-X/2012 ................ 47

3. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 ................................ 48

Page 13: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

xii

4. Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 2016 ............................ 50

5. Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 ..................................... 50

D. Struktur Hirarki Pengelola Zakat ...................................................... 52

E. Pengelolaan Zakat di Masjid Kecamatan Pancoran .......................... 64

1. Masjid Jami At-Taubah ............................................................. 65

2. Masjid al-Muawanah ................................................................. 67

3. Masjid Arrohmanurrohim ......................................................... 68

4. Masjid Jami an-Nur ................................................................... 69

5. Masjid al-Munawwar ................................................................ 70

6. Masjid Nurullah......................................................................... 72

BAB IV : ANALISIS PEMAHAMAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF

PENGELOLAAN ZAKAT DI MASJID

A. Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat ......................................... 75

B. Pemahaman DKM terhadap Hukum Positif

Pengelolaan Zakat ............................................................................ 88

C. DKM dan Kepatuhan Hukum Pengelolaan Zakat ............................. 93

D. Pola Penghimpunan dan Pendistribusian Zakat oleh DKM ............ 105

E. Implikasi Kepatuhan Hukum DKM terhadap

Pengelolaan Zakat..... .................................................................... 107

F. Paradigma Pengelolaan Zakat di Masjid .......................................... 113

G. Distingsi Wilayah Perkotaan dalam Pengelolaan Zakat

di Masjid .......................................................................................... 115

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................... 118

B. Saran ................................................................................................ 119

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 120

GLOSARIUM .................................................................................................... 128

INDEKS.............................................................................................................. 130

LAMPIRAN ....................................................................................................... 136

Page 14: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

xiii

DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Hal

Tabel 1. : Konstruksi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat .......................................................... 46

Tabel 2. : Konstruksi Peraturan Pemerintah N0. 14 Tahun 2014

tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat .......................................................... 49

Tabel 3. : Konstruksi Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016

tentang Pembentukan dan Tata Kerja

Unit Pengumpul Zakat ................................................................ 51

Tabel 4. : Struktur Hierarki Pengelola Zakat di Indonesia .......................... 53

Tabel 5. : Jumlah LAZ Nasional Berdasarkan Wilayah Kantor

Kedudukannya ............................................................................. 55

Tabel 6. : Jenis UPZ sesuai Tugasnya menurut BAZNAS .......................... 61

Tabel 7. : Hak Amil sesuai Jenis UPZ ......................................................... 63

Tabel 8. : Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat .................................... 73

Tabel 9. : Pengelola Zakat di Indonesia yang sesuai Undang-Undang

Pengelolaan Zakat ....................................................................... 79

Tabel 10. : Fungsi Stakeholders Zakat di Indonesia .................................... 112

Skema 1. : Alur Kerja UPZ ........................................................................... 64

Page 15: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

xiv

DAFTAR SINGKATAN

BAZIS : Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah

BAZNAS : Badan Amil Zakat Nasional

BOTI : Bantuan Operasional Tempat Ibadah

BPS : Badan Pusat Statistik

DKM : Dewan Kemakmuran Masjid

DMI : Dewan Masjid Indonesia

GK : Garis Kemiskinan

GKM : Garis Kemiskinan Makanan

GKNM : Garis Kemiskinan non Makanan

KUA : Kantor Urusan Agama

LAZ : Lembaga Amil Zakat

MAIN : Majlis Agama Islam Negeri

MENA : Middle East and North Africa; Negara-negara Timur Tengah dan

Afrika Utara

MK : Mahkamah Konstitusi

MUI : Majelis Ulama Indonesia

MUIS : Majelis Ugama Islam Singapura

NPWZ : Nomor Pokok Wajib Zakat

RKAT : Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan

RT/RW : Rukun Tetangga/ Rukun Warga

UPZ : Unit Pengumpul Zakat

Page 16: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diberlakukannya suatu hukum pada dasarnya bertujuan untuk ditaati agar

terciptanya situasi yang diharapkan dengan mengacu pada ketertiban umum. Hukum

sering diproyeksikan sebagai Social Engineering1 yaitu alat merekayasa kondisi

sosial, dengannya kondisi masyarakat dapat diarahkan dan dibentuk sedemikian rupa

tentunya hanya jika perturan-peraturan dalam hukum tersebut dapat efektif

diimplementasikan di masyarakat. Di sisi lain, tidak jarang suatu hukum yang dibuat

tidak dapat berfungsi secara efektif di masyarakat yang disebabkan satu dan lain hal.

Di antara kondisi yang sering menyebabkan ketidakefektifan suatu hukum adalah

perbedaan nilai dan norma yang digagas hukum tersebut dengan apa yang telah

hidup dan berkembang di masyarakat dan telah menjadi sebuah sistem hukum.

Sistem hukum menurut Josep Raz selalu tersusun dari beberapa hal yang

akan menjadi solusi untuk empat permasalahan utama yaitu tentang eksistensi,

identitas, struktur, dan konten hukum2. Sistem hukum yang digagas John Austin

secara implist termanifestasikan dalam definisi hukum yang ia jelaskan sebagai

general command of a sovereign addressed to his subjects3 yang berarti bahwasanya

hukum adalah perintah umum yang dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa kepada

rakyatnya. Konsep ini sangat erat kaitannya dengan siapa yang berkuasa, dan seperti

apa kekuasaan yang bisa menciptakan hukum. Lain halnya dengan sistem hukum

menurut Hart yang menyamakan sistem hukum dengan hukum itu sendiri dengan

kumpulan peraturan yang terdiri atas Primary Rules dan Secondary Rules.

Primary Rules menurut Hart adalah peraturan-peraturan yang wajib dan mengikat

kepada semua individu sebagaimana halnya hukuman bagi tindak kriminal yang

berlaku kepada seluruh orang ketika ia melakukan pelanggaran tersebut. Aturan ini

lebih terkonsentrasi pada perilaku yang harus dan tidak harus dilakukan oleh

seseorang (that individuals must do or must not do) sedangkan Secondary Rules

adalah aturan yang lebih bersifat komplementer pelengkap dan penjelas teknis dari

primary rules seperti aturan tentang kontrak perjanjian, pernikahan, kekuasaan

peradilan, dan sebagainya4.

Adapun konsep sistem hukum menurut Friedman terdiri dari tiga komponen

utama yaitu Legal Structure, Legal Substance, dan Legal Culture5. Ketiga komponen

1 Roscoe Pound, An Introduction to The Philosophy of Law (New Haven: Yale University

Press, 1930), 235. Lihat juga William L. Grossman, “The Legal Philosophy of Roscoe

Pound” Yale Law Journal 44, no.4 (1935): 605-618. 2 Joseph Raz, The Concept of Legal System- An Introduction to The Theory of Legal System

Edisi Kedua (New York: Oxford University Press, 1980), 1. 3 Joseph Raz, The Concept of Legal System (Oxford: Clarendon, 1970), 26-43

4 Herbert Lionel Adolphus Hart dan Leslie Green, The Concept of law. (New York: Oxford

University Press, 2012) 5 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Approach (New York: Russel

Sage Foundation, 1975), 11-16

Page 17: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

2

ini saling berkaitan dalam pengimplementasian suatu hukum sehingga dapat

mencapai tujuannya. Legal Structure berarti struktur hukum yang mencakup institusi

yang mengeluarkan hukum, mengawasi hukum, serta memberikan sanksi terhadap

pelangggaran hukum, sedangkan legal substance adalah substansi hukum yang

biasanya tertuang dalam undang-undang atau peraturan tertulis lainnya. Adapun

legal culture adalah budaya hukum yang hidup dan ada di masyarakat yang

dipraktikkan dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari. Hukum pada dasarnya

menurut teori klasik Barat bertujuan untuk mencapai tiga hal, yaitu keadilan (teori

etis), kemanfaatan (teori utilistis), serta kepastian hukum (teori legalistik)6.

Terkadang, faktor budaya dan kondisi sosial masyarakat bisa menjadi

penghambat keefektifan suatu hukum untuk diberlakukan, karena masyarakat

cenderung sulit untuk meninggalkan rutinitas dan kebiasaan yang telah lama

dipraktikkan dan telah menjadi sebuah tradisi seperti halnya tradisi filantropi7 di

masyarakat muslim Indonesia.

Pada umumnya, kegiatan filantropi adalah menggalang dana, lalu

menyalurkannya untuk tujuan-tujuan sosial kemanusiaan8. Sumber dana filantropi

Islam sangatlah beragam, mulai berupa infak, sedekah, dan zakat serta wakaf. Salah

satu lembaga filantropi yang sedari dulu telah eksis dan aktif berperan di masyarakat

adalah masjid. Zakat sebagai salah satu ibadah umat Islam tentu memiliki

keterikatan dengan masjid yang juga merupakan tempat ibadah umat Islam. Masjid

sedari dulu difungsikan tidak hanya sebagai tempat salat, tetapi bisa menjadi tempat

berbagai kegiatan mulai dari pendidikan, perkumpulan, musyawarah, ekonomi, dan

pusat kegiatan-kegiatan keagamaan salah satunya sebagai tempat pengelolaan zakat.

Banyak masjid yang didirikan di atas tanah pribadi yang diwakafkan, artinya

masyarakat turut andil dalam membangun peradaban yang dimulai dari masjid,

hingga tak heran jika hingga kini masjid pun masih menjadi referensi masyarakat

untuk menunaikan zakatnya.

Dalam sejarahnya, pada zaman Rasululah saw. dan kekhalifahan sahabat,

zakat memang menjadi urusan strategis negara dalam menjaga stabilitas di internal

umat Islam9. Pengelompokkan zakat mal ke dalam dua jenis pada masa kekhalifahan

„Uthma>n bin ‘Affa>n telah memulai perubahan pola pembayaran zakat, yang tadinya

semua zakat ditunaikan kepada pemerintah, tetapi mulai saat itu ada jenis harta yang

zakatnya bisa ditunaikan sekehendak pemilik harta10

. Perspektif ini terus terwarisi

6 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan (Jakarta: Kencana, 2009), 171.

7 Filantropi adalah suatu bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan atas asas

nirlaba dan non-komersil untuk tujuan kemanusiaan. Dalam ungkapan lebih sederhana,

Payton mendefinisikannya dengan “voluntary action for the public good” dalam Robert L.

Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good (New York: American Council

on Education/Macmillan, 1988). 8 Lihat juga Robert L. Payton dan Michael P. Moody, Understanding Philanthropy: Its

Meaning and Mission (Bloomington: Indiana University Press, 2008). 6. 9 Amelia Fauzia, Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.

(Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 44-54. 10

Al-amwa>l al-Z{a>hirah dan al-amwa>l al-Ba>t}inah. Pembayaran zakat atas al-amwa>l al-

z}a>hirah (harta terlihat seperti binatang ternak, tumbuhan dan buah-buahan) ditunaikan

kepada amil zakat pemerintah (negara) sedangkan pembayaran zakat atas al-amwa>l al-

Page 18: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

3

secara turun menurun dari generasi ke generasi sehingga zakat dipandang dalam dua

aspek yaitu sebagai salah satu urusan negara dan juga murni ibadah personal, begitu

juga halnya kondisi zakat dalam konteks negara-bangsa (nation-state) yang tidak

terlepas dari dikotomi perspektif ini, sebagaimana yang terjadi di Indonesia.

Dalam konteks filantropi, masjid bagi masyarakat Indonesia secara umum

merupakan lembaga keagamaan yang mendapatkan kepercayaan besar dari

masyarakat muslim di sekitarnya untuk menjadi pengelola dana zakat, menghimpun

serta menyalurkannya kepada yang berhak. Kepercayaan masyarakat muslim

terhadap masjid tersebut tetap ada sekalipun keberadaan pengelolaan zakat di masjid

belum sesuai hukum dan peraturan yang berlaku11

.

Dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan

zakat menandai upaya pemerintah untuk mengatur sedemikian ketat praktik

pengelolaan zakat di Indonesia sehingga tidak semua orang atau pihak tertentu dapat

menjadi amil zakat dan melakukan pengelolaan zakat, kecuali telah memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini berkonsekuensi secara langsung kepada para

pengelola zakat yang telah lama beroperasi di masjid-masjid untuk mengumpulkan

serta menyalurkan dana zakat. Pada dasarnya individu atau perkumpulan tertentu

bisa melakukan pengelolaan zakat dengan syarat memberitahukan kegiatan

pengelolaan zakat tersebut secara tertulis kepada kantor urusan agama setempat12

.

Hal menarik yang menjadi pengamatan penulis adalah sikap para pengurus

masjid yang tetap melakukan praktik pengelolaan zakat meskipun tidak

memberitahukan kegiatannya kepada kantor urusan agama setempat, sebagaimana

yang telah penulis temukan di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan13

.

Fenomena ini memang bukanlah hal yang baru, kondisi serupa pasti dapat

ditemukan di banyak masjid di Indonenesia, bahkan di mushola sekalipun khusunya

pada bulan Ramadan. Sesuatu yang membuat fenomena ini menarik untuk diteliti

adalah kompleksitas yang terjadi di tataran implementasi peraturan zakat di

lapangan, khususnya yang menyangkut alasan dan dasar yang digunakan terutama

pemahamam fikih zakat para DKM yang terimplementasi dalam pengelolaan zakat.

ba>t}inah (harta tidak terlihat seperti emas dan perak serta barang dagangan) muzaki diberikan

kewenangan untuk menunaikannya masing-masing. Hal yang serupa telah dijelaskan dalam

Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim, Kita>b al-Amwa>l (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1986), 535. 11

Abubakar, Irfan dan Chaider S. Bamualim (ed) Filantropi Islam dan Keadilan Sosial:

Studi tentang Potensi, Tradisi, dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta:

CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 218. 12

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.5 Tahun 2016 tentang

tata cara pengenaan sanksi administratif dalam pengelolaan zakat. Ketentuan ini sesuai

dengan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-Undang No. 23

tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 13

Hasil wawancara dengan Drs. Pahruroji selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan

(KUA) Pancoran pada tanggal 11 April 2018 pukul 10.45 WIB di KUA Kecamatan

Pancoran. Pahruroji mengungkapkan bahwa selama dia menjabat sebagai kepala KUA di

Kecamatan Pancoran sejak 3 tahun lalu, belum pernah ada laporan dari DKM se-kecamatan

Pancoran tentang pengelolaan zakat di masjid mereka sedangkan di lapangan ditemui banyak

masjid yang melakukan pengumpulan zakat.

Page 19: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

4

Dalam sejarahnya, perhatian pemerintah terhadap zakat semakin

menggembirakan dan keseriusannya berujung kepada pembentukan undang-undang

pengelolaan zakat untuk pertama kalinya yaitu Undang-Undang N0. 38 Tahun 1999

tentang pengelolaan zakat14

. Meskipun dalam undang-undang tersebut tidak ada satu

pasal pun yang berisi ketentuan mewajibkan zakat kepada setiap muslim yang sudah

terpenuhi syarat wajib untuk berzakat, tetapi setidaknya dasar aturan tentang zakat di

lingkup hukum positif ini memberikan kesan yang baik bagi perkembangan hukum

Islam di Indonesia.

Pembentukan undang-undang zakat menegaskan bahwasanya zakat bukan

lagi sekedar ibadah personal yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-

masing individu sebagai impelementasi kebebasan beragama dan menjalankan

ajaran agama sesuai dengan pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,

tetapi kini zakat juga telah menjadi hukum positif yang pengelolaannya diatur oleh

negara sehingga bukan lagi mau atau tidak mau mengelola zakat akan tetapi sesuai

hukum atau tidak pengelolaan zakat itu dilakukan. Keberhasilan legislasi hukum

zakat ini merupakan hasil perjuangan tokoh muslim Modernis dan Revivalis sejak

1950an15

. Terkait hal ini, Miftah menyebutnya dengan keberanjakan zakat dari

dimensi hukum diya>ni> ke dimensi hukum qad{a>i>16

.

Sesuai isi undang-undang pengelolaan zakat tersebut, BAZNAS lah yang

berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat, mulai dari perencanaan,

pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan serta pelaporan zakat secara

nasional17

. Adapun posisi LAZ dalam undang-undang ini disebutkan hanya untuk

membantu BAZNAS dalam pengelolaan zakat sebagaimana tertera dalam pasal 17.

Tidak akan ditemukan ketentuan tentang pengelola zakat tradisional yang biasanya

dilakukan oleh perseorangan atau kelompok tertentu seperti DKM karena undang-

undang ini menghendaki pengelola zakat berbentuk lembaga berbadan hukum bukan

individu ataupun organisasi biasa, itu artinya melalui undang-undang ini pemerintah

menginginkan pengelolaan zakat dilakukan secara profesional.

Tiga tahun berselang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

No.14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Zakat No.23 Tahun 2011.

Peraturan ini berisi hal-hal yang lebih teknis dan barulah dalam peraturan ini

ketentuan tentang amil zakat perseorangan atau kelompok bisa ditemukan. Terdapat

2 ayat yang menjelaskan tentang hal tersebut, hanya jika di suatu komunitas atau

wilayah tertentu belum terjangkau oleh BAZNAS atau LAZ maka kegiatan

pengeloaan zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh

umat Islam (Alim Ulama), atau pengurus /takir masjid/mushola sebagai amil zakat.

14

Arskal Salim, The Shift in Zakat Practice in Indonesia (From Piety to an Islamic

socio-political-economic System. (Chiang Mai: Silkworm Books, 2008), 45. 15

Amelia Fauzia, Faith and The State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.

(Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 220. 16

A.A. Miftah, Zakat antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha

Press, 2007). Lihat pula Zia Gokalp, Turkish Nationalism and Western Civilization, (New

York: Columbia University Press, 1959) dan Must}afa> Muh{ammad al-Zarqa> dalam

al-Madkhal al-Fiqhi> al-‘<Am, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967). 17

Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

Page 20: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

5

Kegiatan pengelolaan zakat yang dimaksud dalam kondisi seperti di atas dilakukan

dengan memberitahukan secara tertulis kepada kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

kecamatan setempat18

.

Meskipun ada klausul “wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan

LAZ” juga “memberitahukan secara tertulis kepada KUA kecamatan setempat”

nyatanya wilayah-wilayah yang dapat dijangkau oleh BAZNAS juga LAZ- seperti

wilayah perkotaan- masih tetap melakukan pengelolaan zakat misalnya di masjid-

masjid setiap bulan Ramadan, dan kegiatan tersebut pun tidak diberitahukan secara

tertulis maupun lisan pada KUA19

.

Panduan aturan bagi amil zakat perseorangan atau kelompok -dalam hal ini

masjid- tidak dapat terlaksana dengan baik, karena tidak adanya keterikatan antara

masjid-masjid tersebut dengan aturan yang berlaku, tidak ada pengawasan yang

dilakukan pihak berwenang dalam hal ini adalah KUA kepada masjid-masjid

pengelola zakat, juga tidak adanya sanksi yang diberikan pada masjid-masjid yang

tidak mengikuti ketentuan aturan tersebut, sehingga praktik pengelolaan zakat di

masjid akan tetap ditemukan dari tahun ke tahun baik di masyarakat desa maupun

kota.

Di wilayah perkotaan yang lingkup kawasannya secara geografis dekat

dengan berbagai akses terhadap informasi, pusat-pusat pemerintahan, dan kondisi

masyarakatnya yang lebih responsif terhadap modernisasi akan menarik untuk

diteliti aspek ketaatan masjid-masjid yang ada di dalamnya terhadap aturan

pengelolaan zakat yang ada. Indikasi yang penulis temukan di penelitian awal adalah

bahwasanya masjid di wilayah perkotaan belum menyesuaikan diri dengan aturan

hukum pengelolaan zakat yang ada.

Kondisi yang tidak selaras antara apa yang diatur tentang pengelolaan zakat

dan praktik yang dilakukan masjid menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk

diteliti. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwasanya kawasan Kecamatan

Pancoran penulis pilih sebagai tempat penelitian. Jakarta Selatan merupakan salah

satu kota dengan hasil penghimpunan zakat, infak, dan sedekah terbanyak di

Provinsi DKI Jakarta20

, sehingga Kecamatan Pancoran penulis pilih karena selain

letaknya memang di wilayah perkotaan Jakarta Selatan juga potensi zakat dari

masyarakat di sekitar masjid yang mayoritas pelaku usaha dianggap berpengaruh

dalam pengelolaan zakat.

Untuk mengetahui penyebab hal tersebut, penulis melakukan penelitian

tentang pemahaman DKM terhadap fikih zakat dan hukum positif pengelolaan

zakat di Indonesia juga pola penghimpunan dan pendistribusiannya melalui tesis

berjudul PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN:

Pemahaman Fikih dan Hukum Positif.

18

Pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Zakat No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 19

Hasil wawancara dengan Drs. Pahruroji selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan

(KUA) Pancoran pada tanggal 11 April 2018 pukul 10.45 WIB di KUA Kecamatan

Pancoran. 20

Diakses melalui laman https://baznasbazisdki.id/ pada 26 Desember 2019 pukul 10.00

WIB.

Page 21: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

6

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi

beberapa permasalahan yang ada yaitu:

a. Pengelolaan zakat sejatinya dilakukan oleh amil zakat sebagaimana

fungsinya, tetapi kewenangan menjadi amil merupakan hal yang

diperdebatkan antara porsi pemerintah dan masyarakat muslim pada

umumnya.

b. Undang-undang pengelolaan zakat yang baru secara tidak langsung

menimbulkan kontestasi antara BAZNAS dan LAZ karena sama-sama

memainkan fungsi operator.

c. Pengelolaan zakat yang telah lama berlangsung sebelum adanya

Undang-Undang tidak cepat beradaptasi dengan ketentuan peraturan

tersebut.

d. Sentralisasi dan desentralisasi pengelolaan zakat menimbulkan

masalahnya masing-masing. Ketika pengelolaan zakat mulai

disentralkan oleh pemerintah maka banyak pihak yang akan terkena

pengaruhnya salah satunya DKM, tetapi jika pengelolaan zakat

dibiarkan begitu saja akan banyak bermunculan amil-amil zakat yang

kinerjanya sangat mungkin di bawah standar pengelolaan zakat yang

baik dan benar.

e. Pemerintah telah mengeluarkan perangkat peraturan sebagai penjelas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, tetapi pemberian sanksi bagi

praktik amil zakat yang tidak menyesuaikan aturan belum dilakukan.

f. Ketidakpatuhan pihak yang menjalankan praktik pengelolaan zakat

dengan aturan yang ada masih diperdebatkan apakah hal itu layak

dipidana atau tidak, karena pemidanaan yang dimaksud telah dianggap

sebagai kriminalisasi amil zakat.

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pemahaman para pengelola zakat di masjid perkotaan

mengenai fikih dan hukum positif pengelolaan zakat?

b. Bagaimana pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang

dilakukan pengelola zakat di masjid perkotaan?

Masjid perkotaan yang diteliti terletak di kecamatan Pancoran Jakarta

Selatan (selanjutnya akan dijelaskan di pembatasan masalah)

3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini yang penulis maksud dengan fikih zakat adalah tidak

semua aturan-aturan zakat dalam Islam, tetapi hanya beberapa aspek yang

Page 22: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

7

menyangkut pengelolanya yaitu yang ada kaitannya dengan kewenangan mengelola

zakat, konsep amil zakat, tugas dan hak amil, serta pola penghimpunan dan

pendistribusian yang dilakukan. Aspek ini dipilih karena penulis ingin menjelaskan

bagaimana pemahaman para DKM tentang kewenangan, tugas, dan hak mereka

dalam bingkai hukum Islam dan hukum positif atau aturan yang berlaku.

Adapun hukum positif yang dimaksud adalah aturan hukum pengelolaan

zakat yang berlaku di Indonesia mulai dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

hingga aturan-aturan turunannya.

Penelitian ini membatasi kajian pada praktik pengelolaan zakat oleh DKM

se-kecamatan Pancoran di tahun 2018-2019. Dari total 61 masjid yang ada21

, penulis

mengambil 6 masjid yang mengelola zakat, karena terbatasnya waktu dan biaya.

Masjid-masjid yang penulis pilih merupakan hasil seleksi dari beberapa kategori

yaitu, masjid UPZ atau non-UPZ, masjid berpaham keagamaan berbasis Nahdlatul

Ulama, Muhammadiyah, atau Salafi, serta kapasitas jamaah masjid. Beberapa

masjid yang ada di Pancoran turut melibatkan unsur pemerintahan seperti masjid-

masjid instansi pemerintah, tetapi masjid yang dipilih dalam penelitian ini

merupakan masjid yang murni dikelola masyarakat, yang secara tipologi termasuk

masjid Jami yang ada di tingkat kelurahan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui

pemahaman dan sikap serta inisiatif masyarakat untuk mematuhi hukum positif yang

berlaku.

Kecamatan Pancoran dipilih sebagai jangkauan tempat penelitian karena

penulis menemukan bahwasanya di kecamatan ini didominasi kalangan pedagang,

masjid-masjid yang diteliti pun sangat dekat dengan pusat usaha sehingga

diperkirakan zakat yang dihimpun juga tinggi.

Selain itu, letak geografis yang strategis memungkinkan kecamatan ini

untuk mengakses informasi dan program-program pemerintah tentang pengelolaan

zakat karena tidak jauh dari pusat-pusat pemerintahan22

. Penduduk yang heterogen

juga turut menyumbangkan dinamika pengelolaan zakat, karena masyarakatnya

sudah bercampur antara penduduk asli dan imigran23

sehingga sangat menarik

menemukan keterkaitan itu semua dengan pengelolaan zakat di masjid-masjid.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini melalui pembahasannya bertujuan sebagaimana berikut:

a. Menjelaskan pemahaman para pengelola zakat di masjid perkotaan

mengenai fikih dan hukum positif pengelolaan zakat.

b. Menganalisis pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang

dilakukan pengelola zakat di masjid perkotaan.

21

KUA Kecamatan Pancoran, Rekapitulasi Data Sarana Ibadah di Kecamatan Pancoran,

2018 22

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 2017, Publikasi BPS Jakarta

Selatan 23

Kecamatan Pancoran merupakan salah satu kecamatan yang banyak ditinggali pendatang

baru (imigran) dari daerah di Tahun 2018. Informasi diakses melalui laman

https://metro.sindonews.com/read/1340360/171/ratusan-pendatang-di-jakarta-selatan-

dibuatkan-domisili-sementara-1537591945

Page 23: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

8

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang aspek teoritis dalam

khazanah pengetahuan tentang pengumpulan zakat yang dilakukan oleh

DKM dalam bingkai hukum positif di Indonesia.

b. Hasil analisis dari pemahaman fikih zakat dan aturan pengelolaan zakat

para DKM bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan

dengan pengelolaan zakat secara hukum sebagai masukan dan saran

yang membangun.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menawarkan solusi dalam tataran praktis

bagi pemerintah dalam hal ini BAZNAS guna memperbaiki mekanisme

manajemen pengumpulan zakat di Indonesia dan membantu sosialisasi

peraturan pengelolaan zakat kepada pihak praktisi zakat di masyarakat

khususnya DKM.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian tentang zakat telah banyak dilakukan, mulai dari analisis undang-

undangnya hingga praktik pengelolaannya. Pengelolaan zakat menjadi menarik

dikaji karena tidak semua negara menerapkan model yang sama, sebagaimana hasil

penelitian Ibrahim yang menggambarkan potret studi perbandingan pengelolaan

zakat di beberapa negara muslim (2015) yang menegaskan bahwa negara muslim

sepakat bahwa zakat harus dikelola oleh lembaga amil zakat yang profesional dan

penelitian tersebut memilih Malaysia, Sudan, dan Kuwait sebagai kajiannya24

. Hal

tersebut juga diungkapkan dalam hasil penelitian Powell (2010) yang menampilkan

data tentang sistem pengelolaan zakat di negara-negara mayoritas muslim di dunia.

Dari total 16 negara mayoritas muslim di MENA (Middle East and North Africa)

hanya 4 yang menegaskan bahwasanya zakat bagi warga negaranya adalah hal yang

mandatory dan diatur oleh negara yaitu Libya, Arab Saudi, Sudan, dan Yaman.

Sedangkan di negara non-MENA hanya ada Malaysia dan Pakistan yang

memandatkan kewajiban zakat dan dikelola negara, selebihnya kewajiban zakat di

negara-negara mayoritas muslim lainnya masih bersifat voluntary secara sukarela,

termasuk Indonesia25

.

Selama kurun waktu antara tahun 2006 hingga tahun 2017 ada 152 publikasi

penelitian tentang zakat yang dapat dilacak online melalui Google Scholar baik

berbentuk seminar paper, artikel jurnal, dan penelitian ilmiah sebagaimana

ditemukan oleh Tanjung dan Hakim26

(2017). Hasil ini meningkat dibandingkan

24

Sherrif Muhammad Ibrahim, Comparative Study on Contemporary Zakat Distribution: A

Practical Experience of Some Selected Muslim States (Malaysia: Universiti Sains Islam

Malaysa, 2015) 25 Russell Powell, Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy From

Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7 (2010): 43-101. 26

Hendri Tanjung dan Nurman Hakim, A Review on Literatures of Zakat between 2016 and

2017 (Bogor: Universitas Ibnu Khaldun, 2017) dipresentasikan pada World Zakat Forum

Conference 2017

Page 24: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

9

penelitian zakat di antara tahun 2003-2013 yaitu sejumlah 108 publikasi yang fokus

penelitiannya berkisar pada manajemen zakat, pengumpulan zakat, pendistribusian

zakat, serta relasi zakat dan kemiskinan yang dikumpulkan oleh Johari, Aziz, dan

Ali27

(2014).

Kajian penelitian ini akan sangat berkaitan dengan tema zakat dan hukum

positif serta sosial, sebagaimana yang telah diteliti oleh Susetyo tentang kontestasi

amil zakat pemerintah dan non-pemerintah di Indonesia (2015) dengan

menggunakan analisis teori Joel S. Migdal tentang State in Society. Susetyo

menyimpulkan bahwasanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

pengelolaan zakat menimbulkan beragam reaksi penolakan karena isinya yang

memarjinalkan pihak-pihak pengelola zakat non-pemerintah sehingga timbullah

kontestasi dan persaingan dalam pengelolaan zakat28

. Susetyo mengandalkan

pengumpulan data melalui literatur dan wawancara, tetapi tidak melakukan

observasi dan data lapangan sehingga tidak mengeksplor pratik riil pengelolaan

zakat di masyarakat.

Hal tersebut telah dibuktikan pula oleh Harninta, Hasanah, dan Prihatini

(2013) yang mengkaji kedudukan amil zakat dalam Undang Undang-Undang No. 23

Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Mereka membuktikan bahwa amil zakat

versi undang-undang tersebut terdiri atas BAZNAS yang menjadi lembaga resmi

pemerintah nonstruktural dan LAZ yang merupakan lembaga amil zakat dikelola

masyarakat. Kajian mereka bertumpu pada analisis pasal-pasal Undang Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 serta hasil putusan Mahkamah Konstitusi tentang

pengujian pasal undang-undang zakat yang dianggap bertentangan dengan UUD

1945. Penelitian mereka termasuk ke dalam jenis penelitian kulitatif dengan

menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan metode penelitian hukum

kepustakaan29

. Kedudukan lembaga amil zakat yang diteliti Harninta, Hasanah, dan

Prihatini ini dikuatkan dengan penelitian Saidurrahman (2013) yang mengkaji lebih

mendalam tentang kedudukan amil zakat. Dia menyimpulkan bahwasanya ada tensi

antara BAZ dan LAZ dalam manajemen zakat dan hal itu perlu segera didudukkan

bersama dengan peraturan yang bisa merangkul kedua lembaga untuk saling

bersinergi dalam pengelolaan zakat di Indonesia30

.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat banyak

dijadikan kajian analisis sebagai sebuah penelitian hukum, salah satunya seperti

yang dilakukan Hakim (2015) yang menganalisisnya dari aspek hukum Islam.

Analisis yang dilakukan Hakim menyimpulkan bahwa ada aspek aspek penting

dalam kajian hukum Islam yang ditemukan dalam undang-undang zakat terbaru itu,

yaitu aspek otoritas keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat, aspek ketiadaan

27

Fuadah Johari; dkk. "A Review on Literatures of Zakat between 2003-2013" Library

Philosophy and Practice (e-journal), 1175 (2014): 1-15. 28

Heru Susetyo, “Contestation Between State And Non-State Actors in Zakah Management

In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546. 29

Cynthia Idhe Harninta, dkk. Kedudukan Amil Zakat dalam Undang Undang Nomor 23

Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat (Depok: Universitas Indonesia, 2013) 30

Saidurrahman, “The Politic of Zakat Management in Indonesia: The Tension between

BAZ dan LAZ”. Jurnal of Indonesian Islam 7, no.2 (December 2013) : 366-382.

Page 25: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

10

sanksi bagi muzaki yang tidak menunaikan zakat, aspek pembaharuan paradigma

subjek dan objek zakat serta bidang tasarrufnya, dan relasi zakat dan pajak31

.

Penelitian Mutiara Dwi Sari, dkk (2013) merangkum beberapa fakta tentang

menajemen pengelolaan zakat di Indonesia disertai pembahasan mengenai tantangan

dan rintangan yang dihadapi. Penelitian mereka menyoroti peran beberapa lembaga

pengelola zakat di Indonesia, mulai dari lembaga resmi pemerintah yaitu BAZNAS,

lembaga masyarakat yang telah resmi berizin yaitu LAZNAS, bahkan lembaga-

lembaga tradisional seperti masjid dan pesantren yang masih belum menyesuaikan

aturan untuk bisa disahkan sebagai pengelola zakat. Di samping itu penelitian ini

juga menyoroti kebiasaan muslim Indonesia yang menunaikan zakatnya secara

langsung kepada mustahik, tidak melalui amil32

.

Mengenai peran masjid yang dikemukakan dalam penelitian tersebut tidak

dapat dipisahkan dari aspek historisnya. Praktek pengelolaan zakat di Indonesia

memang berawal dari masjid dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat muslim,

sehingga kepercayaan yang sedari dulu terbangun di kalangan masyarakat muslim

Indonesia adalah bahwasanya masjid dipercaya sebagai salah satu lembaga

pengelola zakat tepat untuk menyalurkannya kepada mustahiq yang berhak. Fakta

historis ini juga dibuktikan dengan penelitian PIRAC (2008) yang menampilkan data

bahwasanya hanya 7,2% muzaki yang mempercayakan zakatnya dikelola oleh

lembaga; baik BAZNAS ataupun LAZNAS, sedangkan ada 60% muzaki yang

memilih masjid sebagai pengelola dana zakat mereka. Meskipun demikian,

penelitian tersebut juga menyadari bahwa cara-cara pengelolaan zakat yang masih

tradisional menjadikan zakat kurang efektif dikelola dan potensinya tidak maksimal.

Peran masjid dalam pengelolaan zakat di Indonesia berbeda dengan negara-

negara lain, misalnya di Malaysia. Penelitian yang dilakukan Rahman, dkk (2012)

menjelaskan bahwa institusi pengelola zakat di Malaysia terdiri dari 4 macam

bentuk. Pertama, lembaga yang resmi dibentuk berlandaskan perundang-undangan

zakat, seperti Jabatan Zakat Negeri Kedah. Kedua, lembaga yang dibentuk

berlandaskan aturan administrasi undang-undang tentang hukum Islam, seperti

Lembaga Zakat Selangor. Ketiga, lembaga yang dibentuk atas undang-undang atau

aturan khusus tentang hukum Islam yang tugasnya hanya untuk mengumpulkan

zakat seperti Pusat Zakat Melaka. Keempat, adalah lembaga zakat yang menjadi

sentral penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian di Malaysia, yaitu Majlis

Agama Islam Negeri (MAIN) yang memiliki banyak cabang di tingkat daerah

seperti Majlis Agama Islam Johor, Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu

Kelantan, dan lain sebagainya.

Masjid dalam pengelolaan zakat di Malaysia tidak masuk dalam lembaga-

lembaga resmi pengelola zakat seperti yang telah dipaparkan, tapi dalam sejarahnya

31

Budi Rahmat Hakim, “Analisis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat (Perspektif Hukum Islam)” SYARIAH Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 2

(2015): 155-166

32 Mutiara Dwi Sari, Zakaria Bahari dan Zahari Mamat, “Review on Indonesian Zakah

Management and Obstacles” Social Sciences 2, no 2 (2013): 76-89.

Page 26: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

11

pemuka agama di daerah pernah melakukan penghimpunan zakat, meskipun hasil

penghimpunannya tetap diserahkan kepada MAIN33

.

Singapura juga bisa dijadikan salah satu lokasi kajian menarik tentang zakat

dan masjid, karena umat Islam yang tidak dominan di sana, fungsi masjid amatlah

penting untuk kegiatan dan kepentingan umat Islam, salah satunya penunaian zakat.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan Ali Jaya (2017) pengelolaan zakat di

Singapura ternyata terpusat pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang

merupakan badan khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengurusi hal ihwal umat

Islam Singapura. Peran masjid dalam pengelolaan zakat di Singapura tidak

independen karena semua masjid di Singapura ada di bawah koordinasi MUIS,

masjid-masjid yang ditunjuk MUIS di setiap wilayah di Singapura hanya bertugas

menerima penunaian zakat dan menghimpunnya dari muzaki, selanjutnya

diserahkan kepada MUIS untuk dikelola dan didistribusikan kepada mustahiq serta

didayagunakan sesuai program yang telah ditetapkan34

.

Penelitian lain yang memiliki tema terkait zakat dan masjid pernah diteliti

oleh Amir Mu‟allim (2012) yang mengkaji pengelolaan dan pendayagunaan zakat

berbasis masjid. Arah penelitian ini lebih banyak digunakan untuk menilai kinerja

masjid yang menyelenggarakan pengelolaan zakat35

sehingga dalam kesimpulannya

dia menyebutkan beberapa masjid yang telah mengelola zakat secara profesional dan

lainnya belum dikelola secara profesional. Hal serupa juga pernah diteliti oleh

Achmad Saifudin (2013) yang melakukan studi kasus di salah satu masjid di

Salatiga. Saifudin menemukan banyak masjid yang masih melakukan pengelolaan

zakat meskipun belum memiliki izin sebagaimana yang diatur dalam undang-

undang36

. Kedua penelitian ini dilakukan pasca diundangkannya undang-undang

zakat satu sampai dua tahun setelah tahun 2011, artinya pada penelitian ini belum

memakai sumber-sumber peraturan yang muncul di tahun 2014 dan 2016 sehingga

hasil penelitiannya harus dikaji ulang sesuai peraturan-peraturan tambahan yang ada.

Penelitian tentang zakat dan masjid pernah juga dilakukan oleh M. Husni Arafat,

dkk. (2017) yang mengungkapkan kesediaan masjid menjadi agen atau UPZ dari

BAZNAS serta potensi sumber daya manusia pada DKM tersebut. Lokasi penelitian

mereka adalah masjid-masjid di Kabupaten Jepara, mereka mengambil sampel

sebanyak 40 masjid yang diminta untuk mengisi kuisioner. Hasil penelitian mereka

menunjukkan adanya minat dan keinginan yang tinggi dari para pengurus masjid

untuk menjadi bagian dari pengelolaan zakat di Indonesia, khususnya sebagai UPZ

BAZNAS. Sebanyak 71,7% DKM bersedia menjadi agen atau UPZ BAZNAS,

33

Azman Ab Rahman, Mohammad Haji Alias, dan Syed Mohd Najid Syed Omar, “Zakat

Institution in Malaysia: Problems and Issues” GJAT 2, no1 (Juni 2012): 35-41. 34

Ali Jaya, Strategi Penghimpunan Dana Zakat di Singapura (Jakarta: Universitas Islam

Negeri Jakarta, 2017) 82. 35

Amir Mu‟allim. “Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat Berbasis Masjid di

Yogyakarta”,Artikel, Hasil Penelitian kelompok Pusat Studi Hukum Islam (PSHI),

Pascasarjana FIAI-UII dengan DPPM UII. Tahun 2012. 36

Achmad Saifudin, Urgensi Ta‟mir Masjid Dalam Pengelolaan Zakat Pasca Terbitnya

Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaa Zakat (Salatiga: Sekolah Tinggi

Agama Islam Negeri Salatiga, 2013).

Page 27: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

12

sedangkan 28,3 % tidak bersedian dengan alasan keputusan tersebut harus

dimuyawarahkan dengan seluruh anggota DKM37

.

Penelitian mengenai peran masjid dalam konteks pengelolaan zakat juga

dilakukan oleh Budiman dan Mairijani (2016). Penelitian mereka memang tidak

terfokus pada peran masjid dalam pengelolaan zakat saja, tetapi lebih umum karena

penelitian mereka berjudul Peran Masjid dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di

Kota Banjarmasin, meskipun demikian variabel pengelolaan zakat menjadi salah

satu yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan

survei dan kuesioner sebagai teknik pengumpulan data. Sampel yang digunakan

penelitian ini adalah 25 masjid dari total populasi 191 masjid di Kota Banjarmasin.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa masjid-masjid yang diteliti tersebut belum

sepenuhnya profesional dalam pengelolaan zakat38

.

Penelitian mengenai zakat dan masjid di wilayah perkotaan juga pernah

dilakukan, seperti penelitian Fitria (2016) yang berjudul Pengelolaan Zakat pada

Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi Islam yang meneliti empat masjid

di Kota Palembang yaitu Masjid Darul Jannah, Masjid al-Jihad, Masjid Darussalam,

dan Masjid al-Amaliyah. Penelitian tersebut mendeskripsikan aspek perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pada pengelolaan zakat yang

dilakukan di masjid. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dan data

primernya bersumber dari wawancara pengurus masjid ini menghasilkan beberapa

temuan di antaranya bahwasanya masjid hanya melakukan pengelolaan zakat di

bulan Ramadan setiap tahunnya, mereka bekerjasama dengan RT setempat untuk

mendata mustahiq kemudian mendistribusikan zakat melalui kupon yang telah

dibagikan, pada kesimpulannya pengelolaan zakat di masjid-masjid tersebut

menurut Fitria telah sesuai dengan prinsip ekonomi Islam39

.

Penelitian tentang zakat dan masjid juga dilakukan oleh Muhammad Nizar

(2016) yang berjudul Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui

Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif Hidayatullah

Karangploso Malang40

. Penelitian ini sesuai judulnya, hanya dilakukan di Masjid

Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang, dengan metode penelitian kualitatif

dan teknik pengumpulan data melalui wawancara pengurus masjid. Kajian penelitian

ini fokus kepada model dan bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat yang

dananya terhimpun melalui zakat, infaq, dan sedekah. Penelitian ini menyimpulkan

bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dilakukan oleh pengurus masjid

melalui dana zis terbagi menjadi 2 model, yaitu model distribusi konsumtif dan

model pendayagunaan produktif. Model distribusi konsumtif sebagaimana yang

37

M. Husni Arafat, dkk. “Masjid sebagai Agen BAZNAS: Analisa Potensi SDM Ta‟mir

Masjid di Kabupaten Jepara”. Ulul Albab: Jurnal Studi dan Pendidikan Hukum Islam 1, no1

(November 2017): 58-72. 38

Mochammad Arif Budiman dan Mairijani, “Peran Masjid dalam Pengembangan Ekonomi

Syariah di Kota Banjarmasin” Prosiding Seminar Nasional ASBSI (2016): 187-194. 39

Fitria, “Pengelolaan Zakat pada Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi Islam”.

Intelektualita 5, no 2 (Desember 2016): 175-188. 40

Muhammad Nizar, “Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pengelolaan

Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang”.

Malia 8, no 1 (Desember 2016): 41-60.

Page 28: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

13

ditemukan dalam penelitian ini berupa penyaluran dana zis secara langsung kepada

mustahiq (yang bersifat tradisional), atau pun model konsumtif yang kreatif yaitu

dengan cara pemberian dana pendidikan kepada anak-anak jalanan, anak-anak

terlantar, dan anak yatim piatu. Sedangkan model pendayagunaan produktif

dilakukan dengan pemberian aset barang produktif alat transportasi dalam hal ini

adalah becak, dan juga pemberian modal usaha kepada para mustahiq selain tukang

becak. Penelitian lain dilakukan oleh Ahmad Rido dan Rizqi Anfanni Fahmi

(2017) yang berjudul Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di sekitar Universitas

Islam Indonesia (UII)41

. Mereka meneliti 3 masjid sebagai objek kajian yaitu Masjid

al-Mauidhatul Hasanah, Masjid as-Sa‟adah, dan Masjid Baiturrohman, ketiganya

dipilih karena jaraknya yang dekat dengan UII yaitu sekitar radius 1,5 KM.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan

data melalui wawancara para pengurus masjid. Penelitian ini mengasumsikan bahwa

dekatnya jarak masjid dengan lokasi universitas yang literasi tentang pengelolaan

zakatnya cukup mumpuni, diduga pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid-

masjid di sekitarnya pun terpengaruh oleh hal tersebut. Penelitian ini fokus pada

deskripsi manajemen sumber daya manusia dalam pengelolaan zakat oleh masjid,

model pengumpulan, distribusi zakat, golongan mustahiq, dan pendayagunaan zakat

yang terkumpul. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pengelolaan zakat di ketiga

masjid tersebut hanya dilakukan pada bulan Ramadan dengan membentuk

kepanitiaan yang bersifat sementara, dan tidak ada keterkaitan pihak UII baik dari

civitas akademika maupun mahasiswanya dalam proses pengelolaan zakat di masjid

tersebut, sehingga pengelolaannya dijalankan secara mandiri oleh para pengurus

masjid.

Penelitian lain yang juga masih dilakukan civitas akademika UII adalah

penelitian Pusparini (2017) yang merupakan dosen studi Islam UII, yang mengkaji

masjid pengelola zakat infaq dan sedekah di Sleman dari sisi manajemennya42

.

Penelitiannya menggunakan metode penelitian kualitatif dan wawancara sebagai

teknik utama dalam mendapatkan sumber primer dari para pengurus masjid. Ada 10

masjid yang dijadikan sampel penelitian dari total 39 masjid jami‟ yang ada di

Sleman. Pemilihan ke-10 masjid tersebut didasarkan kepada pembatasan peneliti

yang hanya memilih masjid dengan jumlah jamaah sekitar 100 orang per harinya.

Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa sebagian besar masjid yang diteliti hanya

melakukan pengelolaan zakat fitrah yang dilakukan di bulan Ramadan, hanya 3

masjid yang melakukan pengelolaan zakat fitrah juga zakat mal. Salah satu masjid

yang diteliti bahkan melakukan penghimpunan zakat dari rumah ke rumah.

Penulis menemukan penelitian yang juga mengaitkan masjid dengan

peraturan zakat yaitu yang dilakukan Wijayanto dalam meneliti implementasi

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat di beberapa masjid

41

Ahmad Rido dan Rizqi Anfanni Fahmi, “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di Sekitar

Universitas Islam Indonesia”. Working Paper Keuangan Publik Islam 2, seri 1 (2018): 1-12 42

Martini Dwi Pusparini, “Mosque-Based Zakah Infaq and Shadaqah Management (A Study

at Great Mosque in Sleman, Yogyakarta)”. Prosiding Seminar Nasional seri 7 “Menuju

Masyarakat Madani dan Lestari” (November 2017): 277-293.

Page 29: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

14

di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini fokus pada aspek kepatuhan hukum yang

dijalankan masjid dalam kaitannya dengan implementasi peraturan pengelolaan

zakat yang mengidealkan masjid sebagai UPZ BAZNAS Kota Tangerang Selatan43

.

Terkait tema kepatuhan hukum zakat, ada penelitian Ummulkhayr, dkk

(2017) yang mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan

masyarakat muslim untuk menunaikan zakat, meski berada di bawah pemerintahan

non-muslim. Mereka memilih negara bagian Kogi di Nigeria. Penelitian ini

menghasilkan 2 temuan utama sebagai faktor dasar yang mempengaruhi kepatuhan

masyarakat muslim dalam menunaikan zakat di wilayah pemerintahan non-muslim,

yaitu ketidaktahuan orang kaya terhadap kewajiban zakat dan tidak adanya

manajemen zakat yang baik yang dapat melayani pembayaran zakat44

.

Berangkat dari beberapa penelitian yang penulis temukan yang memiliki

tema penelitian serupa, maka penulis yakin bahwa penelitian yang akan penulis

lakukan dalam konteks pengelolaan zakat oleh masjid di masyarakat berbeda dengan

penelitian lainnya meskipun masih mengkaji tentang amil zakat menurut Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, hanya saja penulis akan

fokus pada aspek pemahaman fikih dan hukum positif dari beberapa DKM di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam melakukan pengelolaan zakat sebagai

implementasi peraturan pengelolaan zakat tersebut.

Penulis memilih desain penelitian studi kasus agar dapat mendeskripsikan

secara holistik serta mengeksplor lebih detail dan komprehensif objek penelitian

melalui berbagai macam sumber seperti observasi, wawancara, dan dokumen.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan mengungkap sisi kepatuhan hukum pengelolaan zakat

yang dilakukan di beberapa masjid di Kecamatan Pancoran sebagai implementasi

undang-undang No. 23 tahun 2011, dilengkapi kajian mengenai maslahat dalam

pengelolaan zakat yang dilakuukan. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan metode

penelitian akan dijelaskan dalam pembahasan berikut:

1. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif-empiris

(applied law research) yaitu gabungan antara dua jenis penelitian hukum yang

menjadikannya sebagai sebuah penelitian hukum terapan. Penelitian jenis ini

berusaha mengkaji implementasi ketentuan hukum positif di masyarakat. Penelitian

43

Edi Wijayanto, Kepatuhan Masjid-Masjid di Tangerang Selatan terhadap Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta:Tesis Magister FSH UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019) 44

Adamu Ummulkhayr, dkk “Determinants of Zakat Compliance Behavior among Muslim

Living under Non-Islamic Goverments” International Journal of Zakat 2, no.1 (2017) 95-

108.

Page 30: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

15

ini memiliki dua tahapan. Pertama, kajian mengenai hukum normatif yang berlaku

dan kedua, penerapannya pada peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat45

.

Dalam penelitian ini penulis fokus pada implementasi undang-undang yang

bersifat normatif, kemudian dilengkapi penelitian lapangan tentang pengelolaan

zakat di masjid yang bersifat empirik.

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum normatif-empiris ini bersifat deskriptif (descriptive legal

study) karena pada dasarnya memaparkan kajian tentang hukum normatif mengenai

undang-undang tentang pengelolaan zakat serta implementasinya oleh masjid-masjid

yang masih mengelola zakat.

Penelitian hukum deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran

(deskripsi) lengkap tentang keadaan dan kondisi hukum yang berlaku di tempat pada

suatu daerah dan waktu tertentu atau mengenai gejala yuridis tertentu yang terjadi di

masyarakat.

3. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian tesis ini, penulis menggunakan pendekatan studi kasus yaitu

menjadikan pengelolaan zakat oleh masjid-masjid sebagai kasus (objek kajian

utama) dipandang dari segi implementasi undang-undang pengelolaan zakat. Kasus

yang diteliti adalah praktik masjid perkotaan yang mengelola zakat tetapi tidak

menyesuaikan dengan hukum positif yang ada.

4. Jenis Data dalam Penelitian Hukum

Dalam penelitian hukum ada dua jenis data yang bisa digunakan oleh

peneliti yaitu data primer dan sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti melalui penelitian langsung,

Sedangkan data sekunder adalah data yang sudah siap pakai dan biasanya berupa

dokumen-dokumen terkait penelitian46

.

5. Teknik Pengumpulan Data dan Informan

a. Teknik Pengumpulan Data Primer

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan 2 teknik pengumpulan data

primer, yaitu observasi dan wawancara.

45

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2004), 52. 46

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2004), 40.

Page 31: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

16

Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, penulis telah

menentukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, lalu narasumber dengan

leluasa bisa menjawab dengan penjabaran dan penjelasannya masing-masing.

Menurut Singarimbun wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan

data yang terpenting dalam kaitannya dengan penelitian yang melibatkan pihak-

pihak utama sebagai sumber data yang memberikan informasi tentang penelitian dan

hal tersebut hanya mungkin didapatkan melalui proses wawancara47

b. Narasumber Penelitian

Pihak-pihak yang nantinya penulis wawancarai untuk memberikan

informasi terkait penelitian ini penulis anggap mampu menguasai dan memahami

data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian.

Dalam menentukan narasumber, penulis mempertimbangkan keterikatan

informan terhadap aturan-aturan yang ada tentang zakat dan masjid, sehingga

kombinasi informasi yang penulis dapatkan akan tersaji dalam beberapa sudat

pandang narasumber menanggapi pengelolaan zakat oleh masjid-masjid yang

notabene belum memenuhi aturan yang ada.

Narasumber dalam penelitian ini adalah pihak-pihak berikut:

1) Beberapa DKM di Kecamatan Pancoran:

a) Masjid Jami at-Taubah di Kelurahan Pancoran

b) Masjid Jami an-Nur di Kelurahan Durentiga

c) Masjid al-Munawwar di Kelurahan Pancoran

d) Masjid al-Muawanah di Kelurahan Pancoran

e) Masjid Arrohmaanurrohim di Kelurahan Pancoran

f) Masjid Nurullah di Kelurahan Rawajati

2) Kepala bagian UPZ BAZNAS.

3) Dewan Masjid Indonesia Kecamatan Pancoran,

4) Kepala KUA Kecamatan Pancoran,

5) Bimas Islam dan Penyelenggara Syariah Kementerian Agama Kota

Jakarta Selatan,

6) Kasubdit Kelembagaan dan Informasi Zakat dan Wakaf Dirjen

Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, dan

7) Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

Kementerian Agama.

c. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Penelitian ini adalah gabungan dari penelitian hukum normatif dan hukum

empiris yang juga butuh data sekunder selain data primer. Dalam teknik

pengumpulan data sekunder penulis menggunakan studi kepustakaan. Studi

kepustakaan dilakukan dengan mengkaji informasi tertulis dari sumbernya yang

dapat berupa undang-undang, hasil putusan hakim pengadilan (yurisprudensi),

47

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metodologi Penelitian Survei (Jakarta: Pustaka

LP3ES, 2008), 192.

Page 32: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

17

laporan penelitian hukum, buku ilmu huku, serta tinjauan hukum48

. Informasi tertulis

dari sumber ini disebut bahan hukum.

Data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

yang ditetapkan pada tanggal 25 November 2011;

2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat terhadap Undang-Undang Dasar

NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada

tanggal 28 Februari 2013;

3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

yang ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2014;

4) Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi

Pengumpulan Zakat di Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal

Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah

Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik

Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional yang ditetapkan pada

tanggal 23 April 2014;

5) Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun 2015 tentang Pedoman

Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat yang

ditetapkan pada tanggal 06 November 2015;

6) Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat yang

ditetapkan pada tanggal 29 Januari 2016;

7) Peraturan Menteri Agama No. 34 Tahun 2016 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecataman yang ditetapkan

pada tanggal 26 Agustus 2016;

8) Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 Tahun 2016 tentang

Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat yang

ditetapkan pada tanggal 15 November 2016;

9) Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No.

DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen

Masjid yang ditetapkan pada tanggal 02 Desember 2014.

6. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul lalu dianalisis dengan cara menyederhanakan

data agar mudah dibaca dan dipahami serta diinterpretasikan. Interpretasi dilakukan

dengan cara membandingkan hasil analisis dengan kesimpulan peneliti lain dan

48

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2004), 82.

Page 33: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

18

menghubungkan lagi hasilnya dengan teori49

. Penulis menggunakan analisis data

kualitatif dalam penelitian ini karena sifatnya yang sama dengan penelitian hukum

normatif-empiris.

a. Analisis Data Kualitatif

Jenis analisis ini sudah mulai diterapkan semenjak peneliti belum memasuki

lapangan, selama berada di lapangan, dan pasca penelitian di lapangan. Miles dan

Huberman sebagaimana yang dikutip oleh Sugiyono mengemukakan bahwasanya

proses analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus

menerus hingga selesai, sampai datanya jenuh50

.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan

Huberman, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication.

1) Reduksi Data

Proses reduksi data adalah proses berpikir sensitif yang

membutuhkan kecerdasan serta wawasan yang tinggi. Dalam proses

reduksi data, setiap peneliti diarahkan untuk mencapai tujuan

penelitiannya, yaitu menemukan temuan pada penelitian

kualitatif.51

.

2) Penyajian Data

Ketika reduksi data telah selesai dilakukan, maka langkah

selanjutnya adalah mendisplay data. Penelitian kualitatif

menampilkan data dengan cara penyajian dalam bentuk uraian

singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.

Miles dan Huberman sebagaimana yang dikutip oleh Sugiyono

mengatakan bahwa penyajian data dalam bentuk teks naratif paling

sering digunakan oleh peneliti dalam penelitian kualitatif52

.

3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah reduksi data dan penyajian data selesai dilakukan, langkah

berikutnya yang harus dilakukan dalam analisis data oleh setiap

peneliti adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi sebagaimana

dijelaskan Miles dan Hubeman. Kesimpulan yang akan diambil

pada tahap ini masih bersifat sementara dan dapat berubah jika

kemudian ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap

pengumpulan data, tetapi jika kesimpulan awal didukung oleh data-

data yang valid maka kesimpulan yang dikemukakan adalah

kesimpulan yang kredibel. Pengambilan kesimpulan dan verifikasi

49

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metodologi Penelitian Survei (Jakarta: Pustaka

LP3ES, 2008), 263-264. 50

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),

246. 51

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),

247. 52

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),

249.

Page 34: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

19

disajikan dalam bentuk deskripsi dengan pemahaman interpretasi

logis53

.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan memuat beberapa hal yang lebih jelasnya akan dijabarkan

secara umum dalam sitematika penulisan berikut:

Bab I Pendahuluan, dalam bab awal ini penulis akan menyajikan latar

belakang, permasalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu yang

relevan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi kerangka teori tentang pembahasan konsep fikih zakat yang

menyangkut pengelolanya, yaitu kewenangan mengelola zakat, amil zakat, tugas

dan kewajiban amil zakat, serta hak amil zakat. Di akhir bab ada pembahasan

tentang kesadaran hukum sebagai landasan penting dalam memahami implementasi

dan pemberlakuan hukum atau peraturan dalam masyarakat serta sosiologi

masyarakat perkotaan yang menggambarkan bagaimana keadaan sosial penduduk di

wilayah perkotaan serta ciri dan klasifikasinya.

Bab III berisi tentang regulasi pengelolaan zakat di Indonesia yang

menjelaskan tentang aturan legal dari undang-undang pengelolaan zakat dan

turunannya, khususnya mengenai posisi masjid dalam hal pengelolaan zakat. Bab ini

memuat pembahasan inti yaitu deskripsi praktik pengelolaan zakat yang dilakukan

oleh beberapa masjid di Kecamatan Pancoran.

Bab IV berisi tentang analisis pemahaman para pengelola zakat dari DKM

terhadap aspek-aspek fikih zakat yang dipaparkan dalam bab 2, juga terhadap

hukum positif pengelolaan zakat.

Bab V adalah penutup yang di dalamnya mencakup kesimpulan dan hasil

penelitian sebagai jawaban rumusan masalah yang diajukan serta saran-saran yang

direkomendasikan penulis untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan tema

penelitian ini.

53 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),

245-246.

Page 35: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

20

BAB II

KONSEP FIKIH ZAKAT DAN KESADARAN HUKUM

MASYARAKAT PERKOTAAN

Bagian ini akan menjelaskan tentang konsepsi fikih zakat mengenai aspek-

asek yang berkaitan dengan praktik pengelolaan zakat di masjid di antaranya

mengenai kewenangan mengelola zakat, tugas dan hak amil, serta prinsip

pengelolaan zakat. Di akhir bab ini penulis menyertakan juga pembahasan mengenai

kesadaran hukum sebagai konsepsi mengenai proses implementasi suatu peraturan

di masyarakat.

A. Kewenangan Mengelola Zakat

Zakat merupakan ibadah wajib umat Islam yang merupakan salah satu rukun

Islam. Ibadah zakat adalah salah satu ibadah multidimensi yang berkaitan dengan

banyak hal, selain sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah swt. zakat

pun memiliki peran penting di masyarakat, yaitu sebagai sarana menciptakan

keadilan sosial dan pembangunan ekonomi umat.

Kata zakat berasal dari bahasa Arab yang artinya bersih, suci, baik, tumbuh,

dan berkembang54

. Makna itu sesuai dengan tujuan dan hikmah syariat zakat, yaitu

sebagai cara membersihkan dan menyucikan diri serta harta seorang muslim,

mengeluarkan sebagian harta sebagai hak orang lain agar menumbuhkan kebaikan,

dan agar harta zakat berkembang dengan kemanfaatan-kemanfaatan yang luas.

Pengelolaan zakat dalam sejarah Islam mengalami pergeseran kewenangan.

Setidaknya ada 2 persepsi yang berkembang mengenai kewenangan mengelola zakat

ini, yaitu kewenangan pemerintahan Islam dan masyarkaat muslim pada umumnya.

Di masa awal Islam, zakat dikelola langsung oleh Rasulullah saw ataupun

melalui petugas yang beliau tunjuk55

. Praktik pengelolaan zakat pada masa awal ini

terkonsep dari isi ayat Alquran surat al-Taubah ayat 103 yang menjelaskan secara

eksplisit bahwasanya Nabi diperintahkan untuk “mengambil” sedekah wajib yaitu

zakat dari harta kaum muslimin.

54

Jama>luddi>n ibn al-Manz{u>r, Lisa>n al-‘Arab (Beiru<t: Da>r S{a>dir, 1993) juz 14, 358. Lihat

juga Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di>, al-Qa>mu>s al-Muh}i>t} (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2005)

1292. 55

Hal tersebut bisa diketahui dari beberapa hadis yang menjelaskan bahwa ada sahabat yang

diutus Nabi pada daerah tertentu khusus untuk mengumpulkan zakat dari umat muslim.

Seperti Hadi Mu‟adh bin Jabal yang diutus ke Yaman untuk mengumpulkan zakat hewan

ternak. Lihat Ah{mad ibn H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal (Beirut: Muassasah

al-Risa>lah, 2001), no hadis 22129. Abu> Bakr al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra> (Beirut: Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), no hadis 7827 dan 18664.

Page 36: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

21

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah

Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Taubah: 103)

Imam al-T{abari> (w. 310H/ 923M) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat

ini pada awalnya turun sebagai respon terhadap beberapa sahabat Nabi yang telah

melakukan kesalahan karena tidak ikut dalam perang Tabuk. Sebagai bentuk

penyesalan mereka atas hal tersebut, mereka mengikat diri di tiang-tiang masjid

serta membawa harta mereka seraya meminta Rasulullah untuk bersedekah

dengannya kemudian mendoakan dan memintakan mereka ampunan kepada Allah

swt. Rasulullah tidak serta merta mengabulkan permintaan mereka, karena belum

ada perintah yang ditunjukkan kepada beliau hingga akhirnya turunlah ayat tersebut

sebagai jawaban atas permintaan para sahabat tersebut56

.

Dalam tafsir Ibnu Abbas, dijelaskan bahwa konteks ayat zakat ini dimulai

dari ayat ke-100 surat al-Taubah hingga ayat ke-106 yang menceritakan mengenai

sebagian perlakuan orang munafiq Madinah57

yang tidak ingin ikut pergi berjihad

dalam perang Tabuk pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah58

. Di antara perilaku

khianat yang dilakukan itu ada beberapa sahabat yang akhirnya menyesali

perbuatannya dan bertaubat59

sedangkan lainnya tidak60

.

Ayat-ayat tersebut meskipun sebabnya khusus, tetapi hukumnya menjadi

umum61

bahwa setiap muslim wajib diambil sebagian hartanya sebagai zakat untuk

membersihkan dosa-dosa mereka dan mensucikan jiwa mereka. Memaknai frasa

“ambillah” mengindikasikan bahwasanya zakat memang sejatinya diambil dari

orang-orang muslim -yang sudah memenuhi syarat- oleh petugas yang telah tertentu,

dalam hal ini adalah al-Amil.

Makna berzakat bisa lebih mendalam jika dikaitkan dengan peristiwa yang

melatarbelakangi ayat zakat ini, bahwasanya zakat ditunaikan sebagai sebuah

pengakuan hamba atas dosa-dosa yang telah diperbuat dan dapat membedakan

kualitas iman seorang muslim yang sejati dengan orang yang terdapat kemunafikan

dalam dirinya.

56

Abu> Ja’far Muh{ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (Beirut:

Muassasah al-Risa>lah, 2000) juz 14, 456. 57

Salah satu pemimpinnya adalah Abdulla>h ibn Ubay. 58

Abd al-Ma>lik ibn Hisha>m, Al-Si>rah al-Nabawiyyah Li ibn Hisha>m (Kairo: Sharikah

Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa> al-H{albi> wa Aula>duhu, 1955) juz 2, 515. 59

Mereka adalah Wadi>’ah ibn Jadha>m al-Ans}a>ri>, Abu> Luba>bah ibn Abd al-Mundhir al-

Ans}a>ri>, dan Abu> Tha’labah. Pengakuan salah dan pertaubatan mereka ada dalam Alquran

surat al-Taubah ayat 102. Lihat Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), 165. 60

Mereka adalah Ka’b ibn Ma>lik, Mara>rah ibn al-Rabi>’, dan Hila>l ibn Umayyah. Lihat

Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Bairut: Dar al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), 166. 61

Dalam kaidah tafsir dikenal dengan al-‘Ibratu bi ‘Umu>m al-Lafz} La> bi Khus}u>s} al-Sabab.

Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyyah al-

‘A<mmah Li al-Kita>b, 1974) juz 1, 110; Manna>’ ibn Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riya>d{:Maktabah al-Ma‘a>rif, 2000), 82-83.

Page 37: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

22

Praktik zakat yang tersentral ini terus berlangsung pada masa al-Khulafa>’ al-

Ra>shidi>n, khususnya di bawah kepemimpinan khalifah Abu> Bakr al-S{iddi>q dan

„Umar ibn al-Khat}t{a>b. Tantangan zakat di masa keduanya berbeda, Abu Bakr

disibukkan dengan memberantas paham-paham yang mulai menyimpang dari Islam,

membasmi kemurtadan seperti nabi palsu dan penolakan atas wajibnya membayar

zakat, sedangkan pada masa Umar ibn Khattab suasana internal umat Islam sudah

kondusif dan stabil bahkan kekuasaan Islam telah menjangkau beberapa wilayah di

luar jazirah Arab.

Meskipun demikian, pengelolaan zakat di masa kedua khalifah tersebut

masih terpusat pada pemerintahan Islam, tidak ada pihak lain yang melakukan

pengelolaan zakat, dan semua orang Islam wajib menunaikan zakatnya kepada

pemerintahan khalifah. Apalagi pada masa Umar, banyak dibentuk lembaga-

lembaga baru yang salah satunya adalah Bait al-Mal sebagai lembaga yang

mengurusi keuangan dan dana-dana pemasukan pemerintahan Islam.

Perspektif pelaksanaan zakat mulai berubah ketika kaum muslim berada di

bawah kepemimpinan Uthma>n ibn ‘Affa>n. Pada periode ini ada keputusan penting

yang melatarbelakangi munculnya dualisme kewenangan pengelolaan zakat, yaitu

dibedakannya cara penunaian antara zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah dan al-Amwa<>l al-

Ba>t}inah62

.

Harta-harta zakat yang termasuk ke dalam jenis al-Amwa>l al-Z{a>hirah harus

ditunaikan kepada pemerintahan Islam, sedangkan harta zakat berbentuk al-Amwa<>l

al-Ba>t}inah diserahkan kepada masing-masing muzaki untuk memilih penunaiannya,

bisa melalui amil pemerintahan Islam yang ada atau pun langsung diserahkan

kepada orang-orang yang berhak63

.

Peran negara (dalam hal ini pemerintahan Islam) yang mengelola zakat terus

berlanjut pada masa-masa berikutnya, terutama di dua dinasti kekuasaan Islam

pertama, Dinasti Umawiyyah dan „Abba>siyah. Masih dengan perspektif pengelolaan

zakat yang sama, kaum muslim saat itu memiliki pilihan ke pada siapa mereka

menunaikan zakatnya, kepada pemerintahan khalifah atau langsung kepada orang-

orang yang membutuhkan.

Para Fuqaha64

memerankan fungsi penting dalam legitimasi penunaian zakat

melalui amil pemerintah yang adil misalnya pendapat Fuqaha Hanafiyah65

yang

mewajibkan pembayaran zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah hanya kepada penguasa, atau

62

Istilah al-Amwa>l al-Z{a>hirah adalah untuk harta-harta zakat yang terlihat seperti hewan

ternak dan buah serta sayuran, sedangkan al-Amwa>l al-Ba>t}inah adalah jenis harta zakat

yang tidak terlihat atau tersembunyi, seperti emas, perak, dan barang dagangan. 63

Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n al-Nawawi>, al-Majmu>’ Sharh} al-Muhadhdhab (Jeddah:

Maktabah al-Irshad, tanpa tahun) juz 6, 162. 64

Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,

1997), juz 3, 1973-1974. 65

Mazhab H{anafi> didirikan oleh Abu> H{ani>fah al-Nu’ma>n ibn Tha>bit (w. 150H/767 M) di

kota Kuffah Irak di akhir masa pemerintahan dinasti Umawiyyah dan awal „Abba>siyyah.

Mazhab ini penyebarannya paling luas karena dipraktikkan oleh kekaisaran Turki Uthma>ni>

dan Moghul. Mazhab ini dikenal rasionalis dalam pandangan-pandangan fikihnya.

Page 38: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

23

amil pemerintah Islam. Menurut pendapat ulama Malikiyyah66

kaum muslim dapat

memilih untuk pembayaran zakat al-Amwa<>l al-Ba>t}inah, bisa kepada penguasa

ataupun langsung kepada mustahik, tetapi mereka menyarankan bahwa zakat al-

Amwa>l al-Z{a>hirah ditunaikan melalui amil pemerintah hanya jika penguasa itu adil.

Pendapatan dua kelompok ulama lainnya lebih fleksibel dalam kaitannya

mengenai al-Amwa>l al-Z{a>hirah dan al-Amwa<>l al-Ba>t}inah. Ulama Shafiiyyah67

membolehkan zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah ataupun al-Amwa<>l al-Ba>t}inah untuk

didistribusikan langsung oleh Muzaki, sementara pendapat ulama Hanabilah

menganjurkan kaum muslim untuk menunaikan semua zakatnya langsung oleh

mereka sendiri, serta boleh juga melalui amil penguasa.

Dalam fikih Shafii penunaian zakat tidak akan terlepas dari salah satu ketiga

cara yang ada, yaitu 1) muzaki langsung menunaikan zakatnya kepada mustahik, 2)

muzaki membayarkan zakatnya kepada penguasa, dan 3) mustahik membayarkan

zakatnya kepada amil zakat yang ditunjuk penguasa68

.

Kepercayaan masyarakat muslim mulai menurun pada amil zakat penguasa

yang ditenggarai akibat praktik penguasa yang korup dan tidak adil69

. Kondisi ini

pada akhirnya berimplikasi pada keputusan umat Islam untuk menunaikan zakat

mereka secara langsung tanpa melalui penguasa. Dengan dinamika yang terus

berubah, pembayaran zakat pada akhirnya dipahami oleh sebagian kalangan muslim

sebagai praktik yang voluntari; sebagai ibadah personal yang berkaitan langsung

antara dia dan Allah swt. Pada tahap ini, ketika penguasa atau pemerintah tidak

terlibat dalam praktik pengelolaan zakat, kaum muslim membayarkan zakatnya

kepada tokoh masyarakat, ulama, dan mustahik zakat secara langsung, begitupun

yang terjadi di Indonesia70

.

B. Amil Zakat

Kata Amil adalah bentuk isim fa‟il yang berasal dari akar kata amila-

ya‟malu-amalan, yang memiliki arti orang yang berkerja. Kata amila memiliki

komposisi huruf yang sama dengan kata alima-ya‟lamu-„ilman, yang artinya

mengetahui. Dalam filosofi bahasa Arab, akar-akar kata yang tersusun dari huruf-

huruf yang sama memiliki arti yang serumpun dan berkorelasi. Oleh karenanya, amil

66

Mazhab Ma>liki didirikan di kota Madinah oleh Ma>lik ibn Anas (w. 179H/ 795M) yang

hidup di masa dua dinasti Umawiyyah dan ‘Abba>siyah. Mazhab ini dikenal dengan prinsip

‘Amalu Ahli Madi>nah yang berorientasi tekstualis. 67

Mazhab Shafi‟i didirikan oleh Muh{ammad ibn Idri>s al-Sha>fi’i> (w. 204H/820M). Pada

masanya, Imam al-Sha>fi’i> pernah berpindah tempat dari Kairo ke Baghdad yang kemudian

merubah beberapa pandangan fikihnya dan melahirkan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid.

Beliau pernah belajar di Makkah dan Madinah, berguru langsung kepada Imam Ma>lik ibn

Anas. 68

Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Muh{ammad al-Ma>wardi>, al-H{a>wi> al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Kutub

al-Ilmiyyah, 1999), juz 8, 484. 69

M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation (Cambridge: Cambridge University

Press, 1971), 17. 70

Amelia Fauzia, Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.

(Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 53-54.

Page 39: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

24

bisa dikembangkan maknanya tidak hanya diartikan sebagai orang yang bekerja,

namun juga disertai ilmu dan pengetahuan serta kecakapan atau keahlian.

Kata Amil yang disandarkan pada zakat berarti lebih spesifik lagi, yaitu

orang-orang yang bekerja untuk kepentingan pengelolaan zakat; atau petugas zakat.

Frase Amil Zakat dalam Alquran dapat ditemukan dalam surat al-Taubah ayat 60

yang menjelaskan tentang golongan-golongan orang yang berhak menerima zakat

(mustahiq) dalam bentuk jamak yaitu al-amilin.

Dalam fikih klasik, amil zakat sering diartikan sebagai orang yang

ditugaskan oleh imam (pemimpin pemerintahan atau negara) untuk mengumpulkan

dan mendistribusikan harta zakat71

. Sejalan dengan definisi tersebut, Yu>suf al-

Qarad{a>wi> juga mendefinisikan amil zakat sebagai orang yang bekerja dalam tata

kelola urusan zakat, baik tugasnya sebagai penghimpun dana, penjaga harta,

pencatat dan penghitung yang mendata muzaki maupun mustahik, serta yang

mendistribusikannya kepada mustahik zakat72

. Qaradawi juga menegaskan

bahwasanya penguasa; suatu pemerintah Islam atau negara wajib mengutus dan

menugaskan para amil untuk mengelola zakat di wilayahnya agar terkoordinasi

dengan baik73

.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk

(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk

mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan

Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Taubah: 60).

Penyebutan mustahik zakat ini berurutan sesuai dengan prioritas keberhakan

mereka terhadap zakat. Zakat dalam perspektif ekonomi adalah salah satu sarana

pemerataan kekayaan dan kesejahteraan sosial, maka dengannya; seharusnya orang

yang kaya tidak semakin kaya, di saat yang miskin pun semakin sengsara.

Kaum fakir dan miskin adalah penerima manfaat utama dari zakat karena

mereka yang paling membutuhkan, setelah itu, amil zakat yang disebutkan. Hal ini

mengindikasikan bahwasanya Amil pun berhak atas zakat, karena pada prinsip

dasarnya zakat dikumpulkan oleh amil, dikelola, dan didistribusikan kepada

mustahik, atas tugas itulah Amil berhak mendapatkan bagian zakat sebagai upah atas

kerjanya. Oleh karenya, jika seorang amil kaya pun tetap mendapatkan sebagian

dana zakat atas kinerjanya74

.

71

Muh{ammad ibn Qa>sim, Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>dh al-Taqri>b (Beirut: Da>r ibn

H{azm, 2005), 133. 72

Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 579. 73

Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi>

D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 580. 74

Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr,

1997), juz 3, 1955.

Page 40: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

25

1. Syarat-syarat Amil Zakat

Petugas-petugas yang menjadi Amil zakat ditunjuk dan diangkat oleh

penguasa atau pemerintah Islam dalam konteks kehidupan saat ini adalah negara.

Ada beberapa kriteria dan syarat untuk menjadi Amil Zakat, di antaranya:

a. Muslim. Seorang Amil zakat disyaratkan beragama Islam, karena

pengelolaan zakat merupakan wila>yah kaum muslimin. Al-wila>yah

artinya perwalian atau perwakilan bagi orang-orang muslim yang

menunaikan zakat, oleh sebab itu amil zakat menjadi walinya muzaki

dalam menyampaikan zakat mereka kepada mustahik, dan orang yang

menangani hal semacam ini disyaratkan beragama Islam. Meskipun

demikian, menurut salah satu riwayat Imam Ahmad75

, orang kafir juga

diperbolehkan diangkat menjadi amil zakat karena keumuman lafad “al-

A<mili>na alaiha>” maka muslim dan kafir pun bisa termasuk. Selain itu,

bagian zakat yang didapatkan amil merupakan sebuah upah atas

kerjanya, sehingga tidak ada penghalang bagi kafir untuk mendapatkan

upah tersebut selama dia bekerja dengan sesuai. Ada pula pendapat yang

merincinya, yaitu syarat Islam bagi Amil hanyalah yang bertugas

mengambil zakat dan membagikannya, selain amil yang bertugas pada

dua hal tersebut, maka kafir pun diperbolehkan menjadi amil zakat76

.

b. Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal. Syarat yang logis

bagi siapapun yang berkutat dengan pekerjaan, apalagi dalam mengurus

harta zazkat.

c. Jujur dan Amanah. Kedua sifat ini wajib dimiliki oleh Amil Zakat,

karena harta zakat yang dikumpulkan haruslah dicatat, dikelola,

dibagikan, dan dilaporkan secara jujur dan amanah. Tidak boleh ada

sedikitpun dana zakat yang diselewengkan, yang digunakan tidak

sebagaimana mestinya.

d. Mengetahui Fikih Zakat. Ilmu yang wajib dimiliki oleh amil zakat

adalah fikih zakat, ketentuan-ketentuan dasar tentang zakat seperti jenis

zakat, harta-harta yang wajib dizakati, syarat-syarat wajib zakat seperti

nisab dan haul, kadar zakat yang dikeluarkan, serta mampu memastikan

mustahik zakat.

e. Memiliki kekuatan77

. Keharusan seorang amil zakat beragama Islam

Kekuatan yang dimaksud dalam syarat amil zakat ini bisa diartikan

75

Ibnu Qudda>mah al-Maqdisi, Al-Mughni> Li ibn Qudda>mah (Kairo: Maktabah al-Qa>hirah,

1968), juz 2, 653. 76

Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n al-Nawawi>, al-Majmu>’ Sharh} al-Muhadhdhab (Jeddah:

Maktabah al-Irshad, tanpa tahun) juz 6, 138. 77

Hanif Luthfi, Siapakah Amil Zakat? (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2018), 22-25.

Page 41: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

26

kekuatan dari sisi lahiriah yaitu bahwa amil yang bertugas menghimpun,

mendata, membagikan zakat haruslah kuat fisik dan memiliki mobilitas

tinggi. Kekuatan juga dimaksudkan dari segi kekuatan hukum, artinya

petugas-petugas yang mengelola zakat idealnya dibentuk dan disahkan

oleh penguasa -dalam hal ini pemerintah negara- sehingga memiliki

kewenangan yang sah secara hukum dalam pengelolaannya. Kekuatan

hukum pada zaman modern ini sangat diperlukan karena urusan zakat

sudah menyangkut hajat publik dan kaum muslimin secara umum.

Amil di zaman modern ini berbentuk lembaga atau kesatuan manajemen

khusus yang mengelola zakat. Syarat-syarat dasar bagi amil tentu harus dimiliki,

selain itu, yang paling penting juga untuk diperhatikan lembaga amil adalah

membangun dan menciptakan good governance dalam pengelaan zakat mereka78

.

2. Tugas dan Kewajiban Amil Zakat

Amil zakat memiliki perbedaan yang mendasar dengan golongan mustahik

lainnya, karena amil zakat selain menjadi mustahik juga menjadi petugas dan

pengelola zakat sebagai bentuk atas kewajiban dan haknya. Ketika kewajiban-

kewajiban dan tugas amil zakat telah dilaksanakan, barulah mereka berhak

mendapatkan bagian dari zakat yang dikumpulkan, tentunya setelah bagian zakat

untuk fakir dan miskin dibagikan.

Hal yang harus kita pahami dengan benar adalah bahwasanya amil zakat

tidak hanya terdiri dari satu atau dua orang saja, melainkan satu kesatuan kelompok

dan tim yang khusus menangani pengelolaan zakat dan hal-hal yang berkaitan

dengannya. Setiap anggota amil zakat pasti memiliki tugas dan fungsinya masing-

masing, misalkan sebagai penghimpun zakat, pembagi atau pendistribusi zakat,

penghitung zakat, dan penjaga harta zakat.

Tugas dan kewajiban utama amil zakat sederhananya hanya mencakup 2 hal,

yaitu: menghimpun dana zakat dari muzaki dan mendistribusikan dana zakat kepada

mustahik, akan tetapi banyak fungsi pendukung yang juga harus dilakukan sebagai

tugas amil seperti fungsi pendataan, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pengelolaan

zakat79

.

Selain itu, amil zakat juga wajib untuk mendoakan muzaki ketika

menunaikan zakatnya. Dengan kapabilitas ilmu pengetahuan tentang fikih zakat

yang dimiliki amil, dia bisa menuntun muzaki dalam proses penunaian zakat,

misalnya dengan mengingatkan lagi niat berzakat, memastikan perhitungan zakatnya

sesuai, menentukan zakat atas orang tertentu dalam zakat fitrah, dan lain sebagainya.

78

Ahmad Fadil, “Good Governance Zakat di Indonesia” Al-Iqtishadi 2 no. 1 (2015): 81-98. 79

Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi>

D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 580-581.

Page 42: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

27

3. Hak Amil atas Zakat

Sebagaimana yang telah ditentukan dalam surat al-Taubah ayat 60 yang

menyebutkan 8 golongan penerima zakat atau mustahik, amil adalah salah satunya.

Oleh karenanya, amil pun berhak menerima bagian dari dana zakat.

Mengenai bagian-bagian yang didapatkan oleh para mustahik zakat para

ulama berbeda pandangan. Imam Sha>fi‘i> berpendapat bahwa zakat harus

ditasarufkan atau dibagikan kepada semua mustahik80

artinya setiap golongan

mendapatkan jumlah yang sama yaitu 1/8 bagian. Atas dasar adanya kesamaan

bagian para mustahik zakat, amil zakat pun berhak mendapatkan bagian yang sama

yaitu sebanyak 1/8. Jika amil zakat tersebut digaji lebih dari 1/8, maka harus diambil

dari sumber dana lain, misalkan baitul mal.

Jumhur ulama (H{anafiyyah, Ma>likiyyah, H{ana>bilah) berpendapat bahwa

zakat boleh dibagikan kepada 1 golongan saja, bahkan kepada 1 orang dari golongan

tersebut81

. Meskipun demikian, skala prioritas tetap digunakan, yaitu mendahulukan

zakat bagi golongan mustahik yang paling membutuhkan; fakir dan miskin.

C. Prinsip Pengelolaan Zakat

Pengelolaan zakat adalah satu kesatuan proses yang terjadi dalam kegiatan

zakat, mulai dari penghimpunan dana, pencatatan, pendistribusian, dan

pendayagunaan. Zakat dikelola dengan berpedoman pada prinsip-prinsip yaitu:

1. Sesuai dengan Syariat Islam

Zakat yang dikelola haruslah sesuai dengan syariat Islam. Ketentuan-

ketentuan yang telah ada dalam Alquran dan hadis yang menerangkan zakat harus

dilaksanakan. Tidak hanya itu, penting juga untuk memastikan bahwasanya

pengelolaan zakat yang dilakukan benar-benar bertujuan untuk kemaslahatan umat,

karena setiap ibadah pasti memiliki tujuan dan maksud yang ditetapkan syari

(pemberi syariat; Allah swt. dan Rasul-Nya) atau yang sering dikenal dengan istilah

Maqa>s}id al-Shari>‘ah82

.

80

Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn Muh}ammad Abu> Ish{a>q, al-Mubdi‘ Sharh} al-Muqni‘ (Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997) juz 2, 417. 81

Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr,

1997), juz 3, 1950. 82 Eksistensi Maqa>s}id al-Shari>‘ah telah ditemukan sedari zaman Rasulullah saw. karena

memang terkandung dalam ayat Alquran dan hadis, kemudian berlanjut ke zaman sahabat

dengan menetapkan beberapa keputusan baru yang belum ada ketentuannya, misalkan

pengumpulan ayat-ayat Alquran pada zaman Abu Bakar (sesuai dengan hifz al-din dengan

upaya menjaga sumber agama). Perkembangan ilmu Maqa>s}id al-Shari>‘ah terus berlangsung

di periode berikutnya, hingga beberapa ulama menulis karya khusus mengenainya, di antara

kitab pionir Maqa>s}id al-Shari>‘ah adalah Mah{a>sin al-Shari>‘ah karya Abu> Bakr Muh}ammad

bin ‘Ali> bin Isma>’i>l al-Sha>shi> (w. 365H/976M), al-Burha>n Fi> Us}u>l al-Fiqh karya Abd

al-Malik bin ‘Abdulla>h bin Yu>suf al-Juwaini> (w. 478/1085M), al-Mustas}fa> min ‘Ilmi al-Us}u>l karya Abu> H{a>mid Muh{ammad al-Ghaza>li (w. 505H/1111H), al-Mah}s}u>l Fi ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh

Page 43: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

28

2. Maslahat dalam Pendayagunaan

Zakat dikelola dengan selalu mempertimbangkan maslahat umat, karena

salah satu fungsi zakat adalah sebagai tiang ekonomi umat Islam. Dana zakat yang

dihimpun berasal dari umat Islam, maka maslahat yang timbul dari pengelolaan dan

zakat tersebut harus pula kembali kepada umat Islam, khususnya bagi para mustahik

yang memang membutuhkan.

Harta zakat tidak boleh disia-siakan seperti halnya disimpan saja, tetapi jika

harta zakat ingin dikembangkan dengan model-model pendayagunaan yang

produktif maka tentu saja hal ini merupakan ijtihad yang baik dilakukan dalam

memaksimalkan nilai dan kemanfaatan harta zakat bagi para mustahik.

3. Keadilan dan Pemerataan

Zakat harus dikelola dengan adil dan dibagikan secara merata kepada

mustahik. Adil yang dimaksud adalah proporsional dalam pengelolaan juga

pendistribusian. Golongan mustahik dari fakir dan miskin harus diutamakan dalam

pendistribusian zakat, karena kebutuhan mereka mendesak untuk keberlangsungan

hidup sehari-hari.

Pemerataan distribusi zakat juga harus dipastikan, jangan sampai zakat

dibagikan ke segelintir orang saja sedangkan masih ada fakir miskin yang belum

mendapatkan haknya atas zakat tersebut. Bahkan tidak boleh memindahkan

pendistribusian zakat ke wilayah lain selama masih ada mustahik zakat di wilayah

tersebut83

, hal ini tentu untuk memastikan pemerataan distribusi zakat.

4. Akuntabilitas

Pegelolaan zakat harus akuntabel, terpercaya, dan transparan. Prinsip ini

penting terutama di zaman yang sudah modern dan sangat menuntut keterbukaan

informasi. Tata kelola yang akuntabel banyak dinilai dari transparansi informasi

pengelolaan zakat tersebut. Misalnya, dari siapa saja dana zakat dihimpun, kepada

karya Muh{ammad bin ‘Umar bin al-H{usain Fakhruddi>n al-Ra>zi> (w. 606H/1210M), al-Ih{ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m karya Abu> al-H{asan Sayf al-Di>n al-A<midi> (w. 631H/1233M), Qawa>’id al-Ah}ka>m Fi> Mas{a>lih} al-Ana>m karya ‘Izzuddi>n ‘abd al-Sala>m (w. 660H/1262M), al-Furu>q : Anwa>r al-Buru>q Fi> Anwa>’ al-Furu>q karya Shiha>b al-Di>n Abu> ‘Abba>s Ah{mad bin Idri>s al-

Qara>fi> (w. 684H/1285M), al-Ta’yi>n Fi> Sharh{ al-Arba’i>n karya Najmuddi>n Sulaima>n bin

‘Abd al-Qawi> al-T{u>fi> (w. 716H/1316M), sampai pada kitab al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah karya Abu> Ish{a>q al-Sha>t}ibi> (w. 790H/1388M) yang merupakan kitab yang

komprehensif dan otoritatif pertama tentang pembahasan Maqa>s}id al-Shari>‘ah yang

menjadikannya cabang ilmu tersendiri. Ulama kontemporer juga mengarang beberapa kitab

mengenai Maqa>s}id al-Shari>‘ah yang mengembangkan pemikiran-pemikiran pendahulunya,

di antaranya Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Isla>miyyah karya Muh{ammad al-T{a>hir bin ‘A<shu>r (w.

1394H/1973M), Maqa>s}id al-Shari>‘ah wa Maka>rimuha > karya Muh{ammad ‘Ala>l al-Fa>si> (w.

1350H/1974M) Naz}ariyyatu al-Maqa>s}id ‘inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi> karya Ahmad Al-Raisuni. 83

Jumhur Ulama dari 4 mazhab tidak memperbolehkannya. Lihat Wahbah Must}afa> al-

Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), juz 3, 1977.

Page 44: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

29

siapa saja zakat itu dibagikan, data-data tersebut akan lebih terpercaya jika

didokumentasikan dalam bentuk laporan-laporan tertulis.

Kepercayaan muzaki kepada amil zakat tentu berbanding lurus dengan

tingkat akuntabilitas pengelolaan zakat yang dilakukan. Semakin kinerja pengelola

zakat akuntabe dan terpercaya serta transparan, maka kepercayaan muzaki pun akan

meningkat kepada pengelola zakat tersebut. Hal sederhana yang sering kali luput

dari pengelolaan zakat adalah memberikan laporan pada muzaki bahwasanya

zakatnya sudah didistribusikan ke mustahik, padahal hal semacam ini tentu berkesan

kepada muzaki dan juga meningkatkan akuntabilitas pengelola zakat itu sendiri.

D. Kesadaran Hukum

Dalam perspektif ilmu hukum, suatu peraturan dikatakan efektif jika nilai-

nilai yang dikandungnya sejalan dengan nilai intrinsik yang dianut oleh masyarakat

sebagai kelompok yang menjalankan peraturan tersebut. Kesesuaian nilai-nilai

tersebut akan terimplementasi dalam internalisasi perilaku hukum yang sesuai

aturan, dengan demikian hukum tersebut telah efektif terlaksana oleh masyarakat.

Sadar secara bahasa berarti insyaf, merasa tahu, dan mengerti. Menyadari

sesuatu berarti mengetahui dan mengerti, oleh karenanya kesadaran juga berarti

keinsyafan, keadaan mengerti dan mengetahui. Kesadaran hukum secara makna

sempit dapat diartikan sebagai apa yang diketahui orang tentang apa yang harus

dilakukan demi hukum, dan apa yang tidak harus dilakukan. Basis kesadarannya

adalah hukum, biasanya yang dimaksud hukum adalah hukum tertulis yang tertuang

dalam peraturan-peraturan84

.

Kesadaran hukum dapat berbeda aktualisasinya dalam bidang spiritual dan

non-spiritual. Pada bidang spiritual; keyakinan menjalankan ajaran agama,

kesadaran hukum cenderung lebih berperan, sedangkan pada bidang non-spiritual

atau netral, ada kecenderungan kuat bahwasanya kesadaran hukum harus dibentuk

oleh kalangan hukum melalui aturan dan perundang-undangan85

.

Kesadaran hukum akan sulit untuk timbul manakala nilai-nilai yang tertulis

pada hukum atau suatu peraturan merupakan nilai-nilai baru yang tidak sama dengan

apa yang telah dipraktekkan masyarakat. Ini adalah konsekuensi logis yang bisa

terjadi, karena salah satu tujuan hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social

engineering tool) yang mengarahkan masyarakat kepada norma dan nilai yang

dikehendaki sebagai wujud implementasi dari peraturan dan hukum yang tertulis.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kehendak pemerintah untuk menjalankan dan

memberlakukan kebijakan-kebijakannya melalui peraturan-peraturan yang

diundangkan, sehingga sangat mungkin terjadinya kondisi-kondisi baru untuk

merubah sesuatu yang telah ada di masyarakat86

.

84

Puji Wulandari Kuncorowati, “Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat

Indonesia” Jurnal Civics 6, no.1 (2009): 60-75. 85

Soerjono Soekanto, "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum &

Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470. 86

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Pembaruan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), 144.

Page 45: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

30

Dalam tataran praktisnya, hukum yang mengusung pembaruan nilai-nilai

tidak serta merta akan mudah dipatuhi, apalagi hukum tersebut tidak sesuai dengan

nilai yang sudah tumbuh di masyarakat. Anggota masyarakat akan lebih mudah

menjalankan kesadaran hukum yang ia yakini, apa yang dikehendaki oleh aturan-

aturan baru nampaknya tidak mudah diwujudkan. Lain halnya jika peraturan yang

dibuat bertujuan untuk memberikan dasar hukum atas nilai-nilai yang telah

dipraktekkan oleh masyarakat, tentu dalam kondisi ini kesadaran hukum masyarakat

tidak akan bermasalah, karena sedari awal isi-isi aturan hukum tersebut telah

menyatu dengan masyarakat87

.

Menurut Kutchinsky yang dikutip oleh Soekanto, ada empat (4) faktor yang

mempengaruhi kesadaran hukum. Keempat hal ini memiliki andil penting dalam

mewujudkan kesadaan hukum secara bertahap, yaitu: pengetahuan tentang

peraturan-peraturan hukum (law awareness), pengetahuan tentang isi peraturan-

peraturan huku (law acquaintance), sikap terhadap peraturan-peratuan hukum (legal

attitude), dan pola perilaku hukum (legal behaviour)88

.

1. Pengetahuan tentang Peraturan (Law Awareness)

Pengetahuan tentang peraturan hukum bisa dianggap sebagai hal dasar yang

dapat melandasi kesadaran hukum. Secara logis, seseorang tidak mungkin akan

sadar terhadap sesuatu yang tidak dia ketahui, begitu pula terhadap hukum.

Meskipun pengetahuan hukum itu menjadi dasar atas kesadaran hukum,

kenyataannya belum tentu kesadaran hukum itu mengantarkan individu kepada

sikap menaati dan mematuhi hukum dan peraturan tertentu. Hanya sebatas tahu,

tidak menjamin kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum.

2. Pengetahuan tentang Isi Peraturan (Law Acquaintance)

Tingkat kesadaran hukum akan lebih matang jika dilandasi pula oleh

pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum. Satu tingkat lebih dalam,

tahapan ini telah masuk pada pengetahuan esensi-esensi dan nilai serta norma yang

dimuat dalam peraturan-peraturan hukum. Sebagaimana kita tidak bisa menilai isi

buku hanya dari sampulnya saja, isi peraturan hukum pun perlu diketahui untuk

dapat dipahami secara benar dan kemudian dipraktekkan sehingga terciptalah

kepatuhan hukum.

Isi peraturan-peraturan hukum ini tidak akan diketahui masyarakat jika tidak

ada media dan sarana yang mendorong mereka untuk mencari tahu hal tersebut.

Masyarakat yang pernah terlibat langsung dalam implementasi peraturan tertentu

pasti memiliki pengetahuan tentang isi peraturan tersebut, maka dari itu sosialiasasi

peraturan adalah hal yang penting dan harus dilakukan untuk mendukung ke arah

87

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologis (Semarang: Suryadaru Utama,

2005), 113. 88

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2003), 320-321.

Page 46: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

31

efektivitas hukum. Di antara cara memahamkan masyarakat tentang peraturan

adalah mengadvokasi mereka dan memberikan penyuluhan hukum89

.

3. Sikap terhadap Peratuan Hukum (Legal Attitude)

Pengetahuan dan pemahaman terhadap isi peraturan terkadang tidak selalu

selaras dengan sikap yang dibangun terhadap peraturan tersebut. Ketidakselarasan

hal ini sangat dipengaruhi oleh perspektif individu, setiap orang dapat berbeda sikap

dalam menanggapi suatu hal, meskipun pada intinya peraturan berusaha

menyeragamkan. Sikap terhadap peraturan-peratuan hukum dapat berupa sikap

positif; penerimaan atau sikap negatif; penolakan atas isi peraturan tersebut.

Sikap positif terhadap peraturan-peraturan telah mengandung kesadaran

hukum dan terbukti juga menyebabkan kepatuhan terhadap peraturan, sebagaimana

hasil penelitian yang dilakukan Seokanto (1977) mengenai kepatuhan hukum

peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya90

.

4. Pola Perilaku Hukum (Legal Behaviour)

Pada akhirnya, tahapan-tahapan itu akan terimplementasi dalam tingkah

laku dan kebiasaan yang didasari dan dibangun atas kesadaran hukum, yang disebut

pola perilaku hukum (legal behaviour). Pola yang akan muncul setidaknya ada 2,

sebagai hasil dari penerimaan ataupun penolakan, yaitu pola perilaku yang

mematuhi isi peraturan, dan pola perilaku yang tidak mematuhi atau melanggar isi

peraturan.

Dengan demikian, meskipun kesadaran hukum dimiliki masyarakat ternyata

tidak serta merta akan mengantarkan mereka pada kepatuhan hukum, karena

beberapa hal yang berbeda menyangkut individu tertentu. Meskipun begitu,

kesadaran hukum masih tetap menjadi dasar penting dalam sebuah perilaku yang

patuh dan taat pada hukum.

Dalam diskusi lanjutan mengenai kesadaran hukum, ada hal penting lainnya

yang menjadikan kesadaran lebih konkrit terimplementasi dalam tataran praktik,

yaitu kepatuhan atau ketaatan hukum. Patuh dan taat hukum memang harus melalui

proses sadar akan hukum, tetapi tidak otomatis kesadaran hukum mengantarkan

seseorang kepada kepatuhan hukum.

Taat dan patuh secara etimologi berarti suka menurut perintah. Dalam

konteks peraturan, makna ketaatan hukum mengacu kepada sikap dan perilaku

hukum yang merespon peraturan tersebut. Kajian mengenai ketaatan hukum oleh

Parker dan Nilsen (2011) dibedakan menjadi 2 pendekatan, yaitu Objectivist dan

Interpretivist.

Pendekatan Objectivist berusaha mengidentifikasi dan menjelaskan

bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi seperti apa individu akan mematuhi

89

Muhadi Zainuddin, “Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan Kesadaran

Hukum Masyarakat” Al-Mawardi Journal of Islamic Law 12, no.11 (2004): 91-109. 90

Soerjono Soekanto, "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum &

Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470.

Page 47: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

32

peraturan ataupun tidak. Makna utama kepatuhan dalam pendekatan ini adalah

perilaku yang taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan. Selain itu, dengan

pendekatan ini kepatuhan juga dibahas dari segi niat individu dalam mematuhi atau

melanggar peraturan. Sementara itu pendekatan Interpretivist berupaya menjelaskan

kepatuhan dalam bentuk yang lebih kompleks, proses transformasi aturan-aturan ke

dalam hal yang nyata dalam realita kehidupan keseharian sesuai interpretasi,

implementasi, dan negosiasi masyarakat yang diatur dalam peraturan tersebut.

Menurut pendekatan kedua ini, kepatuhan dapat diartikan sebagai sebuah makna,

interpretasi, kebiasaan sosial, praktik, interaksi, dan komunikasi antara beberapa

aktor yang terkait dalam proses implementasi peraturan tersebut91

.

Ketaatan hukum dalam kaitannya dengan kesejahteraan sosial sering

diasosiasikan dengan konsep utilitarian, yaitu peraturan akan dilaksanakan ketika

akumulasi keuntungan dan kemanfaatan yang didapatkan individu-individu yang

dikenai aturan tersebut lebih banyak dari pada kerugian atau ketidakmanfaatannya92

.

Dalam perspektif lain, ketaatan hukum dapat diteliti dengan pendekatan

motivasi, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh May (2004) yang

menjelaskan motivasi kepatuhan terhadap hukum berbasiskan sikap motivasi

Affirmative dan Negative. Motivasi Affirmative berasal dari niat baik dan kesadaran

diri untuk menjalankan kewajiban sesuai aturan hukum sehingga timbul sikap

menyetujui, mematuhi, menaati, dan dapat menjalankan kegiatan tertentu sesuai

regulasi yang ada. Adapun motivasi Negative muncul dari rasa takut akan sanksi

dan konsekuensi yang didapatkan ketika diketahui melanggar hukum atau aturan

yang ada sehingga mau tidak mau mereka akhirnya menaati aturan tersebut93

.

Ada beberapa faktor determinan yang mempengaruhi ketataan pada hukum

dan aturan yaitu lingkungan (environment), sikap masyarakat (citizen attitude),

kepentingan pribadi (self-interest), tekanan kawan (peer pressure), dan penegakan

hukum (enforcement)94

.

Lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam kepatuhan hukum

sebab hukum yang hidup di masyarakat tidak lagi sebatas aturan tertulis, tetapi juga

sebagai norma yang dipraktekkan di masyarakat. Lingkungan yang patuh terhadap

hukum dan aturan tertentu akan menciptakan kondisi yang mendukung

implementasi aturan hukum tersebut, karena setiap individu yang menjadi anggota

masyarakat akan mengaitkan dirinya kepada pandangan masyarakat di lingkungan

tersebut, sehingga ketaatan dan kepatuhannya terhadap hukum juga dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan sekitar.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, masjid di lingkungan perkotaan

yang dipilih sebagai objek penelitian tepatnya di daerah kecamatan Pancoran Jakarta

Selatan. Pembedaan antara lingkungan perkotaan dan perdesaan dalam hal ketaatan

91

Christine Parker dan Vibeke Lehmann Nielsen dalam Peter Drahos (ed), Regulatory

Theory (Canberra:ANU Press, 2017), 218. 92

Steven Shavell, “When is Compliance with the Law Socially Desirable?” The Journal of

Legal Studies 14, no. 1 (2012): 1-36. 93

Peter J. May, “Compliance Motivations: Affirmative and Negative Bases” Law & Society

Review 38, no. 1 (2004): 41-68. 94

Kenneth J. Meier dan David R. Morgan, “Citizen Compliance with Public Policy: The

National Maximum Speed Law” The Western Political Quarterly 35, no. 2 (1982): 258-273

Page 48: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

33

dan kepatuhan terhadap hukum adalah kajian tersendiri yang bisa dibahas

mendalam. Ada budaya yang berbeda antara masyarakat yang tinggal di lingkungan

kota dengan masyarakat yang ada di desa.

Perbedaan tersebut akan mudah dipahami jika dijelaskan dengan perspektif

ilmu-ilmu dan teori sosial yang menjadikan masyarakat sebagai lokus utama

kajiannya. Lingkungan tempat tinggal masyarakat memiliki pengaruh yang

signifikan, apalagi jika telah tumbuh budaya hukum yang diilhami oleh masyarakat

itu dan diterapkan dalam keseharian mereka. Masyarakat desa diasosiasikan dengan

masyarakat yang kehidupannya masih tradisional, berorientasi kolektif lebih

mendahulukan kepentingan bersama, berpikir sederhana, memiliki aturan dan norma

yang kebanyakan tidak tertulis tetapi benar-benar dijaga, tidak terbiasa dengan

pembagian tugas yang jelas. Sedangkan masyarakat kota dicirikan dengan

masyarakat yang modern, berorientasi individual tidak bergantung kepada orang

lain, berpikir rasional dan kompleks, sangat terbiasa dengan pembagian tugas yang

jelas. Perbedaan ini tentu berdampak pada ketaatan masyarakat terhadap hukum95

.

Hal yang juga membedakan sikap masyarakat desa dan kota terhadap

hukum adalah bentuk solidaritas sosialnya sebagaimana pendapat Sosiolog; Emile

Durkheim. Masyarakat desa memiliki pola solidaritas mekanik yaitu peran serta

masyarakat sangat tinggi dalam memberikan sanksi dan hukuman terhadap suatu

pelanggaran norma sosial, sementara solidaritas masyarakat kota adalah jenis

solidaritas organik yang tidak didominasi peran masyarakat ketika terjadi suatu

pelanggaran karena mereka berpikir sudah ada badan tertentu yang bertanggung

jawab atas hal itu96

.

Faktor penentu ketaatan hukum berikutnya adalah sikap masyarakat. Dalam

hal ini, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebagai pembuat undang-

undang dan peraturan mempengaruhi sikap mereka ketaatan mereka. Ketika

masyarakat sudah percaya dan menaruh harapan kepada pemerintah untuk

menjalankan kebijakan-kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi mereka, maka

sikap mereka akan bisa selaras dengan peraturan yang dibuat untuk tujuan tersebut.

Berbeda halnya jika masyakarat sudah tidak lagi memiliki kepercayaan kepada

pemerintah ataupun penegak hukum misalnya, maka mereka lebih memilih untuk

mengikuti apa yang mereka yakini dan biasa lakukan, meskipun perbuatan itu tidak

sesuai atau tidak mematuhi peraturan yang ada.

Faktor ini juga bisa dilihat sebagai konsensus masyarakat untuk menerima

atau menolak peraturan dengan sikap mereka. Contoh yang paling sering terjadi

adalah tentang uji coba penutupan jalur lalu lintas. Masyarakat pengguna jalan yang

sudah lama dan terbiasa menggunakan jalur tertentu ketika tiba-tiba jalur itu ditutup

dan harus mencari alternatif jalur lainnya, tentu akan bereaksi dan mengambil sikap.

Apalagi jika ternyata penutupan jalur tersebut alih-alih bertujuan untuk mengurai

kemacetan, malah menimbulkan kemacetan yang lebih parah di titik lainnya, tentu

dalam hal ini pengguna jalan dirugikan dengan makin bertambah lamanya waktu

95

Mifdal Zusron Alfaqi, “Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme, Politik

Identitas, serta Solidaritas” Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 28, no.2

(2015): 111-116. 96

Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: Macmillan Press, 1984), 31.

Page 49: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

34

tempuh, dan sudah pasti uji coba peraturan ini akan gagal dan tidak dipatuhi oleh

pengguna jalan97

.

Lain dengan sikap kompulan orang, kepentingan pribadi (self-interest)

adalah faktor khusus yang mempengaruhi kepatuhan individu tertentu dalam

kaitannya dengan peraturan. Perspektif kepentingan dalam konteks ini adalah

perkiraan akumulasi selisih keuntungan dari kerugian yang diperhitungkan individu

sebagai konsekuensi jika harus mematuhi peraturan tertentu. Setiap orang tentu

memiliki kepentingan yang berbeda-beda, sehingga kepatuhan terhadap hukumnya

pun bervariasi.

Bagi individu yang eksis dalam sebuah komunitas atau kelompok dan

perkumpulan dalam masyarakat tertentu, keberadaannya tentu memiliki keterkaitan

dengan kelompok tersebut, sehingga sikap dan perilaku yang akan dia putuskan juga

mempertimbangkan respon seperti apa yang sekiranya ditimbulkan oleh kawannya

sebagai anggota kelompok tersebut. Bagi kelompok yang sering melanggar

peraturan, anggotanya secara tidak langsung juga terpengaruh dan ikut melanggar

peraturan, jika salah seorang dari mereka ingin menaati peraturan, artinya

melakukan sesuatu yang lain dengan apa yang biasa kelompok itu lakukan, maka

kawan lainnya pun bisa merespon bahkan memaksa serta menekan sikap dan

perilaku anggota yan tidak sama dengan mereka.

Kepatuhan hukum yang dimiliki individu dalam sebuah kelompok yang

tidak patuh hukum akan tertahan pada konsepsi kesadaran hukumnya saja, tidak

sampai mengantarkannya pada perilaku patuh dan taat hukum karena adanya

tekanan dari teman sejawatnya.

Upaya penegakan hukum adalah salah satu rangkaian dari proses penerapan

hukum yang semestinya dapat berjalan selaras dengan kesadaran hukum masyarakat.

Penegakan hukum pada dasarnya tidak terlepas dari faktor-faktor yang

mempengaruhinya yaitu materi hukum (peraturan/perundang-undangan), aparatur

penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat, dan lembaga pemasyarakatan),

sarana dan prasarana hukum, dan budaya hukum (legal culture)98

Dalam nalar hukum, peraturan dibuat untuk dipatuhi, jika peraturan itu

dilanggar maka pelanggarnya akan dikenai sanksi dan hukuman. Sanksi dan

hukuman ini adalah aspek utama dalam penegakan hukum, selain juga faktor

penegak hukum yang memainkan peran pemutus perkara dalam proses litigasi.

Beberapa orang akan mematuhi aturan karena takut akan sanksi dan

hukuman yang diterima ketika melanggar. Kepatuhan hukum dalam kaitannya

dalam penegakan hukum, dibagi ke dalam 2 perspektif, yaitu perspektif instrumental

dan normatif99

. Perspektif instrumental mengungkapkan bahwa kepatuhan

tergantung pada kemampuan hukum untuk membentuk perilaku patuh itu sendiri

97

Misalnya yang terjadi pada penutupan tiga persimpangan jalan di Mampang Prapatan,

https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/20/14265751/uji-coba-dihentikan-beton-

pembatas-tiga-simpang-di-mampang-prapatan diakses pada 28 Februari 2019 pukul 09.16

WIB. 98

Yohanes Suhardin, “Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum” Mimbar

Hukum 21, no.2 (2009):341-354. 99

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode & Pilihan Masalah,

(Jogjakarta : Genta Publishing, 2010), 208.

Page 50: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

35

dan hal itu berhubungan dengan adanya insentif dan adanya hukuman. Maka

meningkatkan berat sanksi dianggap cara yang efektif untuk menurunkan angka

pelanggaran dan kejahatan.

Adapun perspektif normatif berhubungan dengan keyakinan rakyat akan

adanya keadilan dan moral yang termuat dalam hukum sehingga penegakan hukum

tidak berperan aktif dalam menciptakan kepatuhan hukum di masyarakat, kendati

hal itu bertentangan dengan kepentingannya sendiri. Maka apabila hukum dirasakan

adil, rakyat akan sukarela mematuhinya, kendatipun mengorbankan kepentingannya.

Rakyat juga menjunjung suatu pemerintahan, apabila diyakini bahwa pemerintahan

itu memiliki hak moral untuk mengatur rakyatnya.

Penegakan hukum dalam perspektif ilmu sosial adalah cara terakhir yang

dilakukan dalam proses pengendalian sosial. Penyimpangan dan pelanggaran yang

terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan berbagai macam cara dan tahapan.

ada yang bisa selesai dengan cara damai kekeluargaan tetapi ada pula yang harus

menempuh serangkaian jalur hukum. Masyarakat yang cenderung menggunakan

jalur hukum melalui proses pengadilan dalam penyelesaian konflik atas

penyimpangan ataupun pelanggaran disebut masyarakat litigatif, sementara yang

memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan disebut masyarakat antilitigasi100

.

E. Sosiologi Masyarakat Perkotaan

Kajian-kajian yang bertemakan sosial sangat mungkin untuk dibahas dengan

pendekatan disiplin ilmu Sosiologi sebagai salah satu sudut pandang dan

analisisnya, begitu pun dengan tesis ini yang memaparkan pemahaman para praktisi

zakat berbasis masjid di wilayah perkotaan terhadap konsep-konsep fikih dan hukum

positif.

Asal-usul kata “kota” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “kotta” yang

berarti kubu atau perbentengan (stronghold)101

. Dalam literatur berbahasa Inggris,

ada 2 istilah yang digunakan untuk menyebut kota, yaitu town dan city. Dalam

bahasa Indonesia, town cenderung dipadankan artinya sebagai kota kecil, sedangkan

city kota besar102

.

Jika dibandingkan antara kota dan desa, town merupakan bentuk tengah di

antara keduanya. Penduduk yang tinggal di town masih saling mengenal dengan

akrab. Perilaku sosial masyarakat di dalam wilayah town lebih mirip dengan pola

perdesaan apabila dibandingkan dengan pola di kota besar (city) atau

metropolitan103

.

100

Contohnya budaya masyarakat Jepang mempersepsikan bahwa penyelesaian masalah

melalui jalur pengadilan adalah hal yang tidak baik, sehingga mereka cenderung

menghindari proses litigasi ini. Berbeda halnya dengan masyarakat Amerika misalnya, yang

dikenal sangat litigatif dalam hal penyelesaian perkara. Lihat Achmad Ali dan Wiwie

Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2017), 92. 101

Eko A. Meinarno, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat (Jakarta: Salemba

Humanika, 2011), 221. 102

S. Menno dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali Press,1992), 26. 103

Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan

Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 35.

Page 51: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

36

Banyak pengertian tentang kota yang bisa dirujuk, salah satunya adalah

seperti yang dikemukakan Wirth bahwa kota merupakan sebuah permukiman yang

penduduknya relatif besar, padat, permanen, dan dihuni oleh berbagai macam orang

yang heterogen104

.

Jamaluddin mencoba mengklasifikasikan pengertian kota ditinjau dari tiga

aspek utama, yaitu segi fisik, jumlah penduduk, dan demografis105

. Dari segi fisik,

kota didefinisikan sebagai sebuah permukiman penduduk yang memiliki bangunan-

bangunan tempat tinggal yang berjarak relatif padat, memiliki berbagai sarana dan

prasarana umum, serta fasilitas yang memadai dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidup penduduknya.

Dari segi jumlah penduduknya dan demografisnya, kota dipahami

berdasarkan kesepakatan mengenai jumlah minimum populasi yang digunakan

untuk pengklasifikasian permukiman tertentu sebagai suatu kota. Kesepakatan

tentang kuantitas yang baku tentang jumlah penduduk kota sulit dicapai, oleh

karenanya kota bisa juga dipahami dari ciri-cirinya yaitu: 1) Sektor industri dan jasa

memainkan peran yang dominan dalam kehidupan ekonomi penduduknya, 2) jumlah

penduduk yang relatif besar, 3) heterogenitas susunan penduduknya, 4) kepadatan

penduduk yang relatif besar.

Terlepas mengeani perbedaan pengertian mengenai kota, penulis menggaris

bawahi “wilayah perkotaan” sebagai stressing point yang menjadi pembeda dengan

wilayah lainnya, perdesaan misalnya. Secara kenampakan alam, wilayah kota dan

desa pasti berbeda, semakin wilayah itu tidak banyak mengandalkan alam, semakin

jauh dari kategori wilayah desa, begitu pula sebaliknya penggunaan sumber daya

alam secara langsung di wilayah kota tergantikan dengan produk-produk instan hasil

kerja mesin. Secara kualitatif, kita bisa menemukan banyak perbedaan yang kasat

mata dapat diamati dari wilayah kota dan desa.

Badan Pusat Statistik (BPS) dengan pendekatan aspek kuantitatifnya

mendefinisikan wilayah perkotaan sebagai wilayah yang telah memenuhi beberapa

indikator perkotaan, yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian,

dan keberadaan atau akses menuju fasilitas perkotaan di antaranya Sekolah Taman

Kanak-Kanak (TK), Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Umum, Pasar,

Pertokoan, Bioskop, Rumah Sakit, Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon,

Persentase rumah tangga yang menggunakan telepon, dan persentase rumah tangga

yang menggunakan listrik106

.

Mengacu pada penentuan klasifikasi wilayah perkotaan dan perdesaan BPS

tersebut, 100 % wilayah penelitian tesis ini termasuk wilayah perkotaan yaitu

Kecamatan Pancoran Kota Administrasi Jakarta Selatan. DKI Jakarta adalah satu-

satunya provinsi di Indonesia yang tidak memiliki wilayah berkategori perdesaan.

Meskipun demikian, dalam sudut pandang Sosiologi, penentuan

karakteristik wilayah perkotaan dan perdesaan lebih ditekankan kepada klasifikasi

104

Safari Imam Asy‟ari, Sosiologi Kota dan Desa (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), 19. 105

Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan

Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 40-41. 106

Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi

Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia

Page 52: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

37

dan tipologi masyarakatnya. Kriteria wilayah perkotaan yang ditentukan BPS hanya

terkait dengan hal-hal fisik berupa fasilitas dan sarana umum, tetapi tidak sama

sekali menyentuh esensi yang lebih abstrak dalam aspek sosial dan kultral seperti

budaya, tradisi, pola interaksi dan komunikasi, serta solidaritas sosial.

Ada beberapa tipologi masyarakat yang sering diklasifikasikan dalam

perspektif Sosiologi, di antaranya seperti yang dijelaskan Soekanto107

mengenai

perkembangan tahapan masyarakat di Indonesia yaitu:

1. Masyarakat Sederhana

Masyarakat sederhana adalah masyarakat yang mengalami perkembangan

yang lambat dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Masyarakat tipe ini mewarisi

hubungan kekeluargaan yang erat, menjalankan organisasi sosial secara turun

menurun sesuai tradisi dan adat istiadat. Kegiatan perekonomian dan sosial masih

dilakukan dengan cara gotong royong yang memerlukan kerja sama dan melibatkan

banyak orang dengan tidak adanya sistem hubungan buruh dan majikan.

2. Masyarakat Madya

Tipe masyarakat yang kedua ini lebih berkembang dari tipe sebelumnya,

masih memiliki hubungan yang kuat dengan keluarga, akan tetapi hubungan antar

anggota masyarakat mulai mengendur dan mulai didasarkan pada kepentingan untuk

memenuhi untung-rugi atas dasar kepentingan ekonomi. Adat istiadat yang berlaku

di masyarakat masih dihormati, tapi mulai membuka diri dengan adanya pengaruh

dari luar. Nilai gotong royong masih dipraktikkan hanya pada keluarga besar atau

tetangga terdekat, sedangkan dalam pembangunan prasarana dan saran umum sudah

didasarkan pada upah yang memperhitungkan nilai komersil.

3. Masyarakat Modern

Kelompok masyarakat ini telah mengalami kemajuan akibat intensifnya

interaksi dan komunikasi dengan masyarakat lainnya dan banyak menerima

informasi dari media elektronik. Hubungan antar masyarakat dalam kelompok ini

didasarkan atas kepentingan pribadi dan kebutuhan individu, kerjasama yang

dilakukan adalah ikatan kerja yang formal dengan tugas dan fungsi yang jelas,

penduduknya terdiri dari berbagai macam profesi dan kualifikasi pendidikannya

tinggi sehingga inisiatif untuk gotong royong dalam pembangunan-pembangunan

fasilitas umum sudah tidak lagi digunakan, semuanya dilaksanakan dengan sistem

kerja yang profesional.

Dalam memahami masyarakat kota, kita tidak akan pernah terlepas dengan

karakter masyarakat industri yang khas dengan wilayah ini. Berbeda dengan wilayah

desa yang masyarakatnya masih bersifat agraris; mengandalkan sumber daya alam

sebagai mata pencaharian, masyarakat industri yang bertempat tinggal di kota tidak

lagi bergantung pada alam, akan tetapi mereka berpenghasilan dari sektor-sektor

industri seperti pegawai pabrik, sektor jasa seperti pekerja kantoran dan pekerja

profesional, serta sektor perdagangan.

107

Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum: Pengembangan Ilmu Hukum Adat (Jakarta:

Rajawali Press, 1984), 49-51.

Page 53: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

38

Perubahan yang terjadi pada masyarakat agraris (tradisional) ke masyarakat

industri (modern) adalah salah satu akibat nyata dari gencarnya proses modernisasi

dengan berbagai nilai dan kemajuan teknologi yang ada108

. Modernisasi yang terjadi

memang membawa dampak yang begitu signifikan dalam perubahan hampir di

semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk di dalamnya

industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi, dan lain

sebagainya109

. Dengan kata lain, modernisasi merupakan faktor utama perubahan

yang mentransformasi nilai-nilai masyarakat agraris menjadi nilai-nilai masyarakat

modern.

Perubahan yang terjadi di masyarakat pasca-industrialisasi merupakan

sebuah keniscayaan, meskipun demikian dampak yang ditimbulkan oleh

modernisasi tidak selalu negatif, ada beberapa dampak positif yang dirasakan oleh

masyarakat akibat terjadinya modernisasi, di antara dampak yang paling signifikan

adalah perkembangan tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakatnya. Masyarakat

yang telah terpengaruh modernisasi umumnya akan berpikir lebih terbuka dan

realistis serta logis, sehingga berkemauan tinggi dan memilih jalur modern dari pada

cara-cara tradisional dalam mencari penghidupan, salah satu jalannya adalah melalui

pendidikan.

Pendidikan merupakan aspek penting yang diperjuangkan oleh masyarakat

modern, karena persaingan kerja yang ketat akan menuntut kualifikasi pendidikan

dan keahlian yang cukup agar bisa bersaing. Alur pendidikan ini akan mengantarkan

seseorang kepada pekerjaan yang modern, tentunya dengan tawaran penghasilan

yang tinggi dibandingkan dengan pekerjaan tradisional yang umumnya ada di desa.

Meningkatnya tingkat pendapatan dan penghasilan ini berbanding lurus dengan

membudayanya perilaku dan gaya hidup yang konsumtif110

.

Masyarakat modern umumnya tidak ingin repot dan cenderung berpikir

instan dalam hal konsumsi sehari-hari, karena kesibukannya di dunia kerja, maka

mereka tidak lagi sempat untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minumnya

secara pribadi. Oleh karenanya membeli makanan dan minuman siap saji adalah

solusi instan yang mereka pilih. Pola hidup semacam ini terus berkembang dan

membudaya di masyarakat modern apalagi didukung dengan kemudahan-

kemudahan teknologi yang memungkinkan konsumen untuk memesan makanan atau

minuman hanya melalui aplikasi di smartphone.

Dalam konteks penelitian ini, kawasan kecamatan Pancoran memang

merupakan wilayah perkotaan. Meski demikian, kondisi sosial masyarakatnya belum

sepenuhnya mencerminkan masyarakat modern (bisa disebut sub-urban), karena

masih ditemui ciri masyarakat madya, seperti kultur masyarakat yang dipengaruhi

ikatan kekeluargaan antara masyarakat, komunikasi yang yang terjalin pun masih

intens dengan kegiatan-kegiatan sosial yang ada, juga akibat homogenitas penduduk

Betawi nya yang masih kuat.

108

Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998),

93 109

Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 2006), 23 110

Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan

Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 216.

Page 54: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

39

BAB III

PENGELOLAAN ZAKAT OLEH MASJID

Bab ini diawali dengan pemaparan masjid dalam berbagai aspek, di

antaranya tipologi dan karakteristik masjid di Indonesia, Dewan Masjid Indonesia

(DMI), masjid dalam regulasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan

zakat di Indonesia, serta praktik riil pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid

yang penulis teliti di kecamatan Pancoran.

A. Tipologi Masjid di Indonesia

Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam yang secara bahasa berarti

tempat sujud. Rasulullah bahkan pernah menyatakan bahwa seluruh permukaan

bumi adalah masjid111

, tempat sujud yang suci, sehingga setiap muslim dapat

melaksanakan salat di mana saja kecuali di tempat-tempat yang memang telah

dilarang seperti tempat yang kotor dan najis, kuburan, dan kamar mandi/wc112

.

Di Indonesia, tempat ibadah umat Islam yang dapat diakses secara umum

biasanya dibedakan menjadi masjid, musala atau langgar. Perbedaan mendasar

antara keduanya adalah dari segi fungsinya sebagai tempat pelaksanaan salat

Jumat113

. Salat Jumat tentu bisa dilaksanakan di masjid, akan tetapi tidak dengan

musolla yang hanya digunakan untuk pelaksanaan salat fardu atau sunnah.

Hal serupa bisa juga ditemukan dalam eksistensi masjid di Mesir misalnya.

Klasifikasi tempat ibadah umat Islam di Mesir dibagi menjadi 3 macam, yaitu Jami‟,

Masjid, dan Zawiya. Konsep pembagian ini sama seperti yang ditemui di Indonesia

hanya penggunaan istilahnya saja yang berbeda, Jami di Mesir seperti halnya masjid

di Indonesia yaitu tempat ibadah salat 5 waktu yang juga dipakai untuk pelaksanaan

ibadah salah Jumat, sedangkan Masjid di Mesir layaknya musala di Indonesia, ia

hanya memungkinkan untuk menjadi tempat pelaksanaan salat 5 waktu tetapi tidak

untuk salat Jumat. Adapun Zawiya di Mesir adalah tempat ibadah yang khusus

untuk majelis atau perkumpulan keagamaan tertentu yang kapasitasnya kecil dan

terbatas114

.

Masjid sedari dulu telah multifungsi, tidak hanya terbatas sebagai tempat

pelaksanaan ibadah semata, tetapi bisa juga difungsikan sebagai tempat

111

Muslim ibn H{ajja>j al-Naysa>bu>riy, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>,

1955) nomor hadis 811. Dalam S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> nomor hadis 419. 112

Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syariah, 2008), 5-7. 113

Istilah Musala yang dipahami muslim di Indonesia tidak ditemukan di negara-negara

mayoritas penduduk muslim lainnya. Terkait perbedaan ini, masjid memiliki beberapa

ketentuan yang tidak dimiliki musala, misalnya tentang keutamaan salat sunnah Tahiyyatul

Masjid 2 rakaat, yang dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim memasuki masjid

sebelum duduk. Lihat S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> hadis nomor 444 dan S{ah{i>h{ Muslim hadis nomor

715. 114

Damas Addeh dan Sayida Fuad, The Legal Framework of Mosque Building and Muslim

Religious Affairs in Egypt: Towards a Strengthening of State Control. (tp.2011)

Page 55: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

40

bermusyawarah, tepat pendidikan dan pembelajaran, dakwah, bahkan sebagai

tempat kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat muslim115

.

Jumlah masjid di Indonesia yang merupakan wilayah negara dengan

penduduk muslim terbanyak di dunia pastilah tidak sedikit. Kita bisa dengan mudah

menemukan masjid di wilayah Indonesia, apalagi di kawasan yang penduduknya

mayoritas muslim. Jumlah masjid di Indonesia menurut data terbaru yang

ditampilkan Kementerian Agama dalam Sistem Informasi Masjid (SIMAS) terdata

sebanyak 253.299 (dua ratus lim puluh tiga ribu dua ratus sembilan puluh sembilan)

masjid116

.

Ratusan ribu masjid tersebut terdiri dari 1 Masjid Negara, 33 Masjid Raya,

399 Masjid Agung, 4.419 Masjid Besar, 208.257 Masjid Jami, dan 40.190 masjid di

tempat publik. Dalam tampilan SIMAS tersebut, ada 873 masjid yang dikategorikan

sebagai masjid bersejarah. Masjid dengan jumlah sebanyak ini tersebar di seluruh

wilayah Indonesia dengan klasifikasi nama sesuai letak dan skalanya.

Berikut ini pengkalsifikasian (tipologi) masjid menurut aturan terbaru117

1. Masjid Negara

Masjid Negara adalah masjid yang berlokasi di Ibukota Negara

Indonesia dan menjadi pusat kegiatan keagamaan tingkat kenegaraan.

Masjid Negara di Indonesia hanya ada satu, yaitu Masjid Istiqlal yang

terletak di Jakarta Pusat.

Masjid Negara memiliki beberapa kriteria di antaranya yaitu: Kegiatan

masjid ini didanai dari subsidi Negara melalui APBN dan APBD serta

bantuan masyarakat; menjadi pembina masjid-masjid di wiliyah provinsi,

kepengurusannya ditetapkan dan dilantik oleh Menteri Agama.

2. Masjid Nasional

Masjid Nasional adalah masjid yang terletak di Ibukota Provinsi yang

ditetapkan oleh Menteri Agama sebagai Masjid Nasional118

, contoh masjid

ini misalnya Masjid Nasional al-Akbar Surabaya.

Masjid ini menjadi tempat pusat kegiatan keagamaan di tingkat

Pemerintahan Provinsi. Dana kegiatan Masjid Nasional bersumber dari

APBD Pemerintah Provinsi dan bantuan masyarakat, masjid ini menjadi

pembina Masjid Agung dan Masjid Raya yang ada di wilayah provinsi

tersebut. Kepengurusannya ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi

Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam berdasarkan usulan Kepala

115

Zakaryya Mohamed Abdel-Hady, The Masjid, Yesterday and Today (Qatar: Center for

International and Regional Studies of Georgertown University School of Foreign Service in

Qatar, 2010), 5-6. 116

Diakses melalui laman simas.kemenag.go.id pada 06 Juli 2019 pukul 14.50 WIB. 117

Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun 2014

tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid 118

Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun 2014

tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid

Page 56: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

41

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dengan mempertimbangkan

saran dan pendapat masyarakat.

3. Masjid Raya

Masjid Raya adalah masjid yang berada di Ibukota Provinsi, ditetapkan

oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor wilayah Kementerian

Agama Provinsi sebagai Masjid Raya dan menjadi pusat kegiatan

keagamaan di tingkat Pemerintahan Provinsi, contohnya Masjid Jakarta

Islamic Center di Provinsi DKI Jakarta.

Masjid ini memiliki kriteria di antaranya: Dibiayai oleh Pemerintah

Provinsi melalui APBD dan dana masyarakat, berfungsi sebagai pembina

Masjid Agung yang ada di wilayah provinsi, kepengurusannya ditetapkan

oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian

Agama Provinsi berdasarkan usulan jamaah atau masyarakat.

4. Masjid Agung

Masjid Agung adalah masjid yang terletak di Ibukota Pemerintahan

Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atas rekomendasi

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten/Kota, menjadi

pusat kegiatan sosial keagamaan yang dihadiri atau dilaksanakan oleh

pejabat Pemerintahan Kabupaten/Kota, contohnya Masjid Sunda Kelapa

Menteng di wilayah pemerintahan Kota Administasi Jakarta Pusat.

Ciri masjid ini adalah sebagai berikut: Dana kegiatannya disubsidi oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota dan swadaya masyarakat muslim, menjadi

pusat kegiatan keagamaan Pemerintahan Kabupaten/Kota atau masyarakat

muslim di wilayah Kabupaten/Kota, kepengurusan masjid ditetapkan oleh

Bupati/Walikota atas rekomendasi Kepala Kantor Kementerian Agama

Kabupaten/Kota berdasarkan usulan KUA Kecamatan dan lembaga

masyarakat.

5. Masjid Besar

Masjid Besar adalah masjid yang berada di kecamatan dan ditetapkan

oleh Camat atas rekomendasi Kepala KUA Kecamatan sebagai Masjid

Besar yang menjadi pusat kegiatan sosial keagamaan yang dihadiri Camat,

pejabat dan tokoh masyarakat tingkat kecamatan.

Masjid ini disubsidi oleh Pemerintah Kecamatan atau organisasi

kemasyarakatan, kepengurusannya dipilih oleh jamaah dan dikuatkan oleh

Camat atas usul Kepala KUA Kecamatan. Penggunaan nama Masjid Besar

nampaknya tidak begitu familiar dibandingkan nama Masjid Jami, hanya

masjid-masjid tertentu saja yang menyertakan nama Masjid Besar untuk

penamaannya.

6. Masjid Jami

Masjid Jami adalah masjid yang terletak di pusat permukiman di

wilayah kelurahan pada umumnya. Masjid tipe ini biasanya berada di pusat

desa/kelurahan atau permukiman warga, dibiayai oleh Pemerintah Desa dan

Page 57: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

42

atau sumbangan sukarela masyaarakat, menjadi pusat kegiatan keagamaan

Pemerintah Desa/Kelurahan dan warga, menjadi pembina masjid dan musala

serta majelis taklim yang ada di wilayah Desa/Kelurahan. Kepengurusan

masjid dipilih oleh jamaah dan ditetapkan oleh pemerintah setingkat

Desa/Kelurahan atau rekomendasi Kepala KUA Kecamatan.

7. Masjid di Tempat Publik

Sejalan dengan perkembangan zaman, semakin hari masyarakat muslim

Indonesia semakin bertambah jumlahnya, adalah hal yang wajar jika

perkembangan jumlah masjid dari tahun ke tahun terus mengalami

peningkatan, karena beberapa faktor seperti adanya permukiman baru, daya

tampung masjid yang ada yang sudah tidak memadai, kegiatan dan mobilitas

masyarakat yang dinamis, kebutuhan tempat ibadah di fasilitas umum, dan

bahkan bisa juga masjid baru lahir karena dilatarbelakangi oleh semangat

dakwah yang inklusif. Oleh karenanya, banyak masjid baru yang dibangun

di tempat-tempat publik sebagai fasilitas ibadah umat Islam secara umum.

Masjid kategori ini biasanya dibangun di kawasan tertentu seperti

perkantoran, pabrik, kampus/sekolah/madrasah/pondok pesantren, rumah

sakit, hotel, bandar udara, pelabuhan, terminal, stasiun, pusat perbelanjaan

seperti mall/plaza, Rest Area jalur tol, serta kawasan publik lainnya. Dana

operasional kegiatan masjid ini biasanya ditanggung oleh anggaran instansi

yang menaunginya bisa dari pemerintah, perusahanan, atau instansi terkait

serta partisipasi pihak swasta atau masyarakat.

Dari beberapa tipe masjid di atas, ada pola kriteria yang sama yang bisa

ditemukan dalam pengertian tiap jenis masjid, yaitu adanya rekomendasi dari

pejabat pemerintahan tingkat tertentu untuk menetapkan atau mengukuhkan

kepengurusan masjid. Penulis melihat bahwa rekomendasi itu hanyalah bersifat

normatif yang seharusnya dilakukan, akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah

tidak demikian, khususnya masjid-masjid jami yang berada tingkat desa/kelurahan.

Rekomendasi yang benar-benar dibutuhkan dan dilaksanakan adalah

rekomendasi untuk kepengurusan masjid di tingkat Negara, Nasional, hingga

Kabupaten/Kota karena hal itu berkenaan dengan kepastian hukum yang salah satu

implikasinya adalah keberhakkan para pengurus masjid terhadap subsidi yang

diberikan dari pemerintah. Meskipun di Indonesia, pengurus masjid bukanlah

jabatan yang prestisius seperti Aparatur Sipil Negara pada umumnya sehingga

pemilihan pengurus bukanlah agenda yang terbuka dan tidak transparan. Para

pengurus masjid lebih tepatnya adalah orang-orang pilihan pejabat yang berwenang

atas usulan dan rekomendasi rekan serta relasi yang dimiliki para pengurus masjid.

Mengenai karakteristik masjid, pada Tahun 2008 Kementerian Agama

melalui Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah juga

mengkategorisasikan masjid berdasarkan kegiatan dan aktivitasnya119

, yaitu:

119

Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syariah, 2008), 55-60

Page 58: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

43

1. Masjid Statis

Kata stastis tidak sepenuhnya berkonotasi negatif, tetapi jenis masjid ini

sepertinya memang tidak menunjukkan perkembangan dari dahulu hingga

saat ini. Para pengurus masjid hanya menjalankan rutinitas ibadah fardu

pada umumnya, tidak ada pembinaan khusus yang dilakukan pengurus

kepada jamaah masjidnya. Hubungan antara pengurus dan jamaah hanya

sebatas imam dan makmum dalam salat jamaah, di luar itu mereka tidak

terlibat intens dalam kegiatan tertentu.

Masjid seperti ini biasanya dikelola oleh keluarga yang mendirikan

masjid, tanpa adanya manajemen. Masjid dikelola sebagaimana para

pendahulu keluarga mereka mengelola. Tidak adanya kegiatan selain ibadah

salat berjamaah inilah yang disebut statis, pengurus masjid tidak melakukan

langkah-langkah terobosan yang stategis atau juga karena jamaah masjid nya

yang cenderung pasif sehingga tidak ada proses komunikasi yang konstruktif

untuk lebih memakmurkan masjid. Keadaan statis juga bisa diakibatkan

fungsi masjid yang hanya digunakan di waktu-waktu tertentu, misalnya

masjid di wilayah perkantoran, maka ketika libur hari kerja masjid tidak

digunakan.

2. Masjid Aktif

Kegiatan masjid tipe ini tidak sekedar menjalankan rutinitas ibadah

salat fardu berjamaah, akan tetapi mulai mengelola jamaah dengan

melibatkan mereka pada kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan di

masjid, misalnya pengajian rutin mingguan atau bulanan, perayaan hari-hari

besar Islam, dan lain sebagainya120

.

Pengurus masjid tipe ini sudah memiliki kesadaran dan tanggung jawab

serta semangat untuk memakmurkan masjid sekalipun belum menjalankan

pengelolaan yang profesional. Meski demikian, upaya pengurus masjid

seperti ini umumnya mendapatkan respon yang baik oleh masyarakat di

sekelilingnya, apalagi kegiatannya juga terus digalakan, tidak hanya yang

bersifat amaliyah ibadah, tetapi amal-amal sosial kemasyarakatan.

3. Masjid Profesional

Masjid tipe ketiga ini adalah masjid ideal yang bisa dijadikan contoh

serta pedoman untuk masjid-masjid lain dalam memakmurkan masjid.

Pengurus masjid tipe ini memiliki tata kelola yang jelas, struktur organisasi

dan tugas-tugasnya, perencanaan progam serta kegiatan yang telah

ditentukan untuk minimal setahun ke depan, transparan dalam laporan

keuangan, serta telah melakukan tahapan pemberdayaan masyarakat di

sekelilingnya.

Masjid yang profesional biasanya mempekerjakan pengurusnya dengan

profesional juga, dalam arti bahwa tugas dan fungsi yang dijalankan

120

Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syariah, 2008), 57.

Page 59: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

44

pengurus masjid telah disepakati dalam ikatan pekerjaan yang jelas,

kewajiban dan hak nya diatur dengan jelas, sehingga proses ini menuntut

profesionalitas para pengurusnya dalam mengelola masjid. Masjid tiipe ini

umumnya memiliki kondisi finansial yang sehat, dicatat dan dilaporkan

berkala dengan prinsip-prinsip akuntansi yang baik dan transparan, bisa

diakses oleh seluruh jamaahnya bahkan masyarakat umum.

Mengikuti tren perkembangan teknologi, tentu tolok ukur masjid yang

profesional tidak juga luput dari penggunaan teknologinya yang modern dan

mutakhir, misalkan dalam hal infornasi, masjid memiliki situs resmi yang

dapat diakses secara online, alamat surat elektronik, akun-akun media sosial

yang juga dikelola oleh tim tersendiri yang aktif memperbarui konten-

konten informasi mengenai masjid tersebut.

Pengelolaan masjid yang profesional semacam ini biasanya ditemukan

di masjid-masjid yang dikelola pemerintah seperti Masjid Negara, Masjid

Nasional, Masjid Raya, dan Masjid Agung, atau masjid-masjid besar yang

dikelola pihak swasta profesional.

Selain tipologi, masjid sering bersinggungan dengan hal-ihwal landasan

hukum bangunan serta tanahnya. Sebagaimana kita ketahui, kepemilikan tanah serta

bangunan masjid di Indonesia paling tidak terbagi ke dalam 2 macam, yaitu wakaf

atau pun non-wakaf. Masjid yang dibangun di atas wakaf tentu memiliki implikasi

hukum yang berbeda dengan masjid yang dibangun di atas tanah non-wakaf seperti

tanah milik pribadi, atau milik pemerintah.

Keadaan yang paling aman bagi kelangsungan masjid dalam jangka panjang

adalah, tanahnya merupakan wakaf yang tercatat dan bersertifikat. Hal ini

menguatkan posisi yuridis masjid sehingga tidak bisa diambil alih paksa untuk

dirobohkan dan dibangun bangunan lain atau dijual jika status tanahnya non-wakaf

atau pun wakaf tetapi bermasalah; tidak memiliki legalitas.

B. Dewan Masjid Indonesia

Masjid-masjid di Indonesia terkumpul dalam beberapa forum, salah satunya

adalah Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang pada periode saat ini (2017-2022)

diketuai oleh Muhammad Jusuf Kalla. DMI adalah organisasi masyarakat Islam

tingkat nasional yang menjadi koordinator masjid-masjid seluruh Indonesia.

DMI didirikan pada 22 Juni 1972 yang bertujuan untuk mewujudkan fungsi

masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat, dan persatuan umat.

Kepengurusan DMI tersebar di seluruh Indonesia di berbabagi tingkatan, mulai dari

DMI Pusat, DMI Provinsi, DMI Kabupaten/Kota, hingga DMI Kecamatan.

Pimpinan pusatnya dipilih secara demokratis setiap 5 tahun sekali melalui muktamar

nasional121

.

Penulis menganggap pembahasan DMI memiliki korelasi yang sangat erat

dengan objek penelitian yang terkait masjid yang mengelola zakat. DMI menjadi

salah satu organisasi perkumpulan masjid yang berpengaruh di Indonesia dan

121

Diakses melalui laman dmi.or.id

Page 60: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

45

memiliki potensi yang strategis dalam mengembangkan masjid-masjid di Indonesia

yang menjadi anggotanya.

Dalam beberapa kesempatan, DMI pusat mengungkapkan 10 porgram

utamanya dalam kepengurusan saat ini, yaitu:

1. Perbaikan akustik masjid (sound system),

2. Penerapan aplikasi masjid dan media digital

3. Masjid bersih dan sehat

4. Pemberdayaan ekonomi berbasis masjid

5. Manajemen kemasjidan

6. Sertifikasi tanah/wakaf

7. Arsitektur masjid

8. Pendidikan dan dakwah

9. Wisati religi berbasis masjid

10. Pembangunan gedung DMI

Mengamati kesepuluh program utama tersebut, DMI tentu sangat potensial

untuk dijadikan mitra dalam hal pengelolaan zakat berbasis masjid, karena salah satu

program pemberdayaan ekonomi bisa bisa berasal dari dana zakat, khususnya zakat

mal. Tentu banyak pihak yang bisa diajak bekerjasama untuk merealisasikan

porgam-porgam unggulan DMI tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan dengan

instansi pemerintah terkait.

Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Bank DKI telah

menandatangani perjanjian kerjasama dengan pihak DMI Provinsi DKI Jakarta

untuk penyaluran dana bantuan operasional bagi masjid dan musala di wilayah

Provinsi DKI Jakarta dengan nama program Bantuan Operasional Tempat Ibadah

(BOTI)122

. Adanya organisasi perkumpulan masjid semacam ini tentunya dapat

memudahkan koordinasi dan sosialisasi untuk program-program yang bertujuan

memajukan masjid.

Di Jawa Barat, program kredit Mesjid Sejahtera (Mesra) telah diluncurkan

pada November 2018 oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat sebagai program

keumatan Gubernur Provinsi Jawa Barat. Program ini merupakan suatu terobosan

baru dalam upaya memudahkan dan memfasilitasi masyarakat untuk mengakses

dana pinjaman atau kredit permodalan. Pinjaman ini diberikan tanpa bunga dan

agunan yang pastinya memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan

usaha mikro dari pada harus terjerat dalam sistem pinjaman rentenir yang bunganya

terkadang sangat tinggi dan tidak manusiawi. Terkait program Mesra ini, DMI

menyambut baik dan siap mengadopsinya untuk diaplikasikan secara nasional

melalui jejaring masjid yang ada di bawah koordinasi DMI123

.

DMI bisa dijadikan mitra strategis oleh para pihak yang memiliki

kewenangan terhadap zakat, khususnya untuk membangun basis pengelolaan zakat

di masyarakat melalui masjid-masjid. Selama ini, potensi zakat yang dikelola masjid

122

Berita diakses melalui laman https://www.beritasatu.com/megapolitan/548749/uus-bank-

dki-salurkan-bantuan-operasional-tempat-ibadah pada 29 Agustus 2019. 123

Berita diakses melalui laman http://bappeda.jabarprov.go.id/program-kredit-mesra-akan-

diterapkan-di-seluruh-indonesia/ pada 29 Agustus 2019.

Page 61: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

46

-disadari atau tidak- luput dari kebijakan dan progam pengelolaan zakat nasional.

Praktik yang selama ini selalu dilaporkan kinerjanya dan terus dikembangkan adalah

pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga resmi saja, padahal hasil zakat yang

dihimpun oleh masjid selama bulan Ramadan di tiap tahunnya tidaklah sedikit

apalagi jika dikalikan dengan jumlah masjid yang melakukan hal tersebut di seluruh

Indonesia.

C. Masjid dalam Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia

Dalam penelitian ini acuan legalitas pengelolaaan zakat dalam sebuah aturan

hukum menjadi penting karena dari substansi itulah penelitian ini akan banyak

bertumpu. Ada 5 peraturan utama yang penulis pilih untuk mengetahui bagaimana

sebenarnya posisi masjid dalam regulasi tentang pegelolaan zakat. Aturan-aturan

tersebut diurutkan secara periodik mulai dari yang yang paling umum ke yang paling

khusus.

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang

ditetapkan pada tanggal 25 November 2011 berisi 10 bab. Secara kuantitas, undang-

undang ini lebih banyak memuat pasal dan ketentuan mengenai Badan Amil Zakat

Nasional (BAZNAS).

Pasal-pasal mengenai kewenangan BAZNAS secara khusus terdapat dalam

Bab II, yaitu sebanyak 16 pasal dari total 47 pasal undang-undang ini. Bab-bab

lainnya rata-rata hanya berisi 2 sampai 3 pasal. Selain penguatan BAZNAS yang

mencolok, ada salah satu hal baru dalam undang-undang pengelolaan zakat ini yaitu

ketentuan pidana bagi pengelola zakat yang tidak sesuai dengan aturan, yang oleh

sebagian praktisi zakat kemudian dianggap sebagai upaya kriminalisasi amil zakat

tradisional.

Tabel 1.

Konstruksi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

BAB Judul Umum BAB Pasal

I Ketentuan Umum 1-4

II Badan Amil Zakat Nasional 5-20

III Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan, dan Pelaporan 21-29

IV Pembiayaan 30-33

V Pembinaan dan Pengawasan 34

VI Peran Serta Masyarakat 35

VII Sanksi Administratif 36

VIII Larangan 37-38

IX Ketentuan Pidana 39-42

X Ketentuan Peralihan 43

XI Penutup 44-47

Pembagian peran antara pengelola zakat dari pemerintah dan masyarakat

telah jelas dalam undang-undang ini, pemerintah diwakili oleh BAZNAS dan

Page 62: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

47

masyarakat terepresentasikan dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam bagian ini

penulis akan memaparkan aturan-aturan yang terkait langsung dengan pengelola

zakat dari kalangan masyarakat, karena pada dasarnya penelitian ini akan

memaparkan pemahaman pengelola zakat terhadap fikih zakat juga aturan dan

regulasi yang berlaku, penulis memfokuskannya di level yang paling rendah dan

yang langsung bersinggungan dengan masyarakat, yaitu masjid-masjid.

Masjid tidak disebutkan secara eksplisit dalam isi undang-undang

pengelolaan zakat, meskipun ada bab khusus (Bab VI) yang menjelaskan

keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan zakat. Bab yang hanya berisi 1 pasal

beserta 3 ayat ini menyatakan bahwa peran serta masyarakat yang dapat dilakukan

adalah dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja BAZNAS maupun

LAZ.

Pembinaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat dalam menunaikan zakat mereka melalui BAZNAS dan LAZ, juga

memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS serta LAZ, sedangkan

pegawasan oleh masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk akses terhadap informasi

tentang pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS maupun LAZ dan penyampaian

informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan

oleh BAZNAS dan LAZ124

.

Keberadaan masjid yang telah melakukan pengelolaan zakat di masyarakat

justru berpotensi masuk dalam ketentuan pasal di bab Larangan dan Pidana.

Sebagaimana larangan yang tertera pada pasal 38 yaitu:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat

melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa

izin pejabat yang berwenang.”

Meskipun tidak digolongkan kepada tindak kejahatan, menyalahi ketentuan

pasal 38 adalah suatu bentuk pelanggaran dan dalam undang-undang ini juga telah

diatur sanksinya yaitu sebagaimana isi pasal 41

“Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012

Setelah Undang-Undang Pengelolaan Zakat diterbitkan, ada respon dari

praktisi zakat yang menganggap beberapa poin dalam undang-undang tersebut

bertentangan dengan substansi Undang-Undang Dasar 1945 sehingga perlu diuji di

Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK yang ditetapkan pada tanggal 28 Februari 2013 telah melalui

proses persidangan yang panjang, yang pada akhirnya ada permohonan yang

dikabulkan dan ada yang ditolak. Salah satu permohonan yang dikabulkan adalah

124

Pasal 35 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Zakat

Page 63: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

48

berkaitan dengan kriminalisasi pengelola zakat di masyarakat yang telah eksis, baik

berupa amil zakat perseorangan, ataupun perkumpulan orang..

Frasa, “Setiap orang” dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dimohon untuk diuji karena

dianggap sebagai upaya kriminalisasi amil tradisional yang sudah eksis dan

mempraktikkan pengelolaan zakat di masyarakat dikabulkan oleh MK.

Putusan MK ini tidak membatalkan pasal terkait yang dimohonkan

pemohon, tetapi memberikan pengecualian dan batas cakupan yang jelas, yaitu

setiap orang yang disebut dalam pasal 38 dan 41 tidak termasuk perkumpulan orang,

perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla

di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan

telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang

berwenang125

Pembatasan tersebut diambil karena mempertimbangkan kondisi jika

kegiatan amil zakat dilarang akibat tidak memiliki izin dari pejabat berwenang,

sementara pelayanan BAZNAS ataupun LAZ belum menjangkau seluruh pelosok

negeri, maka akan ada kekosongan pelayanan zakat di masyarakat sehingga warga

negara yang beragama Islam kesulitan dalam menjalankan ibadah zakat mereka.

Menurut MK terhalangnya warga negara untuk menunaikan kewajiban maupun

tuntunan agamanya adalah bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 28E ayat

(2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945126

.

3. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014

Peraturan pemerintah ini merupakan aturan lanjutan tentang pemberlakuan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sebelum peraturan

ini dibuat, para pegiat zakat telah melakukan uji materiil mengenai pasal-pasal

dalam undang-undang pengelolaan zakat, sehingga ada beberapa poin yang

diperbaiki, di antaranya mengenai eksistensi pengelola zakat yang dalam wilayah

yang tidak terjangkau oleh BAZNAS maupun LAZ.

Penyebutan masjid secara jelas dalam konteks pengelolaan zakat dapat

ditelusuri dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Peraturan

Pemerintah tersebut menjelaskan bahwa masjid bisa menjadi pengelola zakat dengan

berbentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari BAZNAS, baik masjid yang berada di

lingkup pemerintahan seperti masjid negara, masjid raya provinsi, dan masjid dalam

instansi pemerintah maupun masjid yang dikelola masyarakat pada umumnya. Hal

ini didukung dengan Instruksi Presiden yang bertujuan untuk mengoptimalkan

penghimpunan zakat di instansi pemerintahan127

.

125

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 halaman 109. 126 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 halaman 106. 127

Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di

Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi

Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah

melalui Badan Amil Zakat Nasional. Ditetapkan pada tanggal 23 April 2014.

Page 64: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

49

Ketentuan yang lebih jelas mengenai posisi hukum masjid (yang dikelola

oleh masyarakat muslim, non-pemerintah) sebagai pengelola zakat disebutkan dalam

pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 bahwasanya

dalam kondisi ketika suatu wilayah belum terjangkau oleh BAZNAS maupun LAZ

maka kegiatan pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang,

perseorangan tokoh umat Islam („a>lim ‘ulama>’), atau pengurus/takmir

masjid/musala. Kegiatan pengelolaan zakat dalam kondisi demikian pun seharusnya

memberitahukan secara tertulis kepada kantor urusan agama (KUA) kecamatan

setempat.

Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, dalam Peraturan

Pemerintah No. 14 Tahun 2014 ini pun memuat ketentuan tentang sanksi yang

ditujukan kepada BAZNAS, LAZ, maupun amil zakat perseorangan dan

perkumpulan. Pengelolaan zakat oleh DKM Masjid masuk dalam kategori Amil

Zakat perkumpulan orang dalam kondisi wilayah yang belum terjangkau BAZNAS

serta LAZ. Sanksi administratif diberikan jika DKM Masjid yang melakukan

pengelolaan zakat tidak memberitahukan kepada kepala KUA Kecamatan, tidak

melakukan pencatatan dan pembukuan pengelolaan zakat, serta tidak

mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan syariat Islam dan tidak

dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan128

.

Sanksi administratif yang diberikan berupa teguran tertulis, jika dilakukan

kedua kalinya setelah ada teguran maka sanksi berupa penghentian sementara

pengelolaan zakat, jika masih melakukan pelanggaran maka diberikan sanksi berupa

penghentian dari kegiatan pengelolaan zakat129

. Mengenai sanksi administratif ini

dijelaskan lebih detail dan rinci pada Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016.

Tabel 2.

Konstruksi Peraturan Pemerintah N0. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

BAB Judul Umum BAB Pasal

I Ketentuan Umum 1

II Kedudukan, Tugas, dan Fungsi BAZNAS 2-4

III Keanggotaan BAZNAS 5-30

Bagian Kesatu : Umum 5

Bagian Kedua : Tata Cara Pengangkatan 6-13

Bagian Ketiga : Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BAZNAS 14-17

Bagian Keempat : Tata Cara Pemberhentian 18-29

Bagian Kelima : Anggota BAZNAS Pengganti 30

IV Organisasi dan Tata Kerja BAZNAS 31-46

Bagian Kesatu : BAZNAS 31

Bagian Kedua : BAZNAS Provinsi 32-38

Bagian Ketiga : BAZNAS Kabupaten/Kota 39-45

Bagian Keempat : Unit Pengumpul Zakat (UPZ) 46

128

Pasal 78 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 129

Pasal 83 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Page 65: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

50

V Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat BAZNAS 47-52

VI Lingkup Kewenangan Pengumpul Zakat 53-55

VII Persyaratan Organisasi, Mekanisme Perizinan, dan Pembentukan

Perwakilan LAZ

56-66

Bagian Kesatu : Persyaratan Organisasi 56-57

Bagian Kedua : Mekanisme Perizinan 58-61

Bagian Ketiga : Pembentukan Perwakilan LAZ 62-65

Bagian Keempat : Amil Zakat Perseorangan atau Perkumpulan Orang

dalam Masyarakat

66

VIII Pembiayaan BAZNAS dan Penggunaan Hak Amil 67-70

IX Pelaporan dan Pertanggungjawaban BAZNAS dan LAZ 71-76

X Sanksi Administratif 77-84

XI Ketentuan Penutup 85-86

4. Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016

Dua tahun berselang, pemerintah melalui kementerian yang menaungi

pengelolaan zakat di Indonesia yaitu Kementerian Agama, mengeluarkan Peraturan

Menteri Agama (PMA) yang fokus pada pengenaan sanksi bagi para pengelola zakat

yang melanggar ketentuan-ketentuan dan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengelola zakat yang dimaksud dalam PMA ini meliputi BAZNAS, LAZ,

serta amil zakat perseorangan atau perkumpulan. Masjid yang mengelola zakat

masuk pada kategori amil zakat perkumpulan orang.

Pengenaan sanksi administratif yang dimaksud tidak semudah yang

dibayangkan, karena harus melalui berbagai macam proses yang diatur dalam

Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016. Dalam konteks sanksi adminstratif

yang diberikan kepada amil perkumpulan orang (DKM masjid), sebelum diberikan

sanksi, harus ada pelaporan dugaan pelanggaran terlebih dahulu kepada Kepala

Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang berwenang

menetapkan sanksi. Setelah ada laporan masuk, maka dilakukan pemeriksaan berupa

verifikasi, klarifikasi, dan investigasi yang dilakukan selambat-lambatnya 15 hari

kerja setelah laporan diterima. Jika dalam proses pemeriksaan tersebut ditemukan

adanya pelanggaran yang dilakukan oleh DKM Masjid dalam pengelolaan zakat

dengan disertai bukti-bukti, maka barulah sanksi itu diberikan kepada DKM

Masjid130

.

5. Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016

Meski dalam undang-undang pengelolaan zakat, masjid tidak disebutkan

secara eksplisit sebagai institusi yang dapat mengelola zakat, tetapi fakta historis-

sosiologis tentang fungsi masjid di masyarakat yang juga melakukan pengelolaan

zakat (meskipun di waktu tertentu misalnya bulan Ramadan) tidak bisa

130

Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi

Administratif dalam Pengelolaan Zakat.

Page 66: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

51

dikesampingkan begitu saja oleh BAZNAS dalam hal sebagai regulator pengelolaan

zakat di Indonesia.

Berdasarkan undang-undang131

, BAZNAS diberikan kewenangan untuk

membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di berbagai instansi pemerintah maupun

swasta di tiap tingkatannya, yaitu BAZNAS untuk UPZ tingkat nasional, BAZNAS

Provinsi untuk UPZ di tingkat daerah provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota di

tingkat kotamadya sampai kecamatan, kelurahan dan tingkat satuan daerah yang

paling kecil.

Dalam peraturan BAZNAS ini, masjid sangat dimungkinkan -justru

didorong- untuk masuk dalam jaringan dan koordinasi pengelola zakat yang resmi

dengan menjadi UPZ, karena hanya dengan mekanisme itu lah, pengelolaan zakat

yang dilakukan oleh masjid-masjid tersebut bisa dikatakan legal secara undang-

undang yang berlaku. Kalaupun para pengurus masjid tidak menjadikan aspek izin

dan legalistik sebagai tolok ukur yang penting dalam pengelolaan zakat, tetapi

masjid yang telah bergabung dengan jaringan BAZNAS, cepat atau lambat

manajemen dan tata kerja pengelolaan zakat yang dilakukannya pun akan mengikuti

standar yang ditentukan oleh BAZNAS, proses pengelolaannya diawasi, serta

diberikan pelatihan dan bimbingan sehingga kualitas pengelolaannya menjadi lebih

baik.

Tabel 3.

Konstruksi Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja

Unit Pengumpul Zakat

BAB Judul Umum BAB Pasal

I Ketentuan Umum 1

II Kedudukan, Tugas, dan Fungsi 2-9

III Organisasi UPZ 10-26

IV Tata Cara Pembentukan UPZ 27-31

V Sosialisasi, Edukasi, dan Layanan Muzaki 32-34

VI Mekanisme Kerja UPZ 35-41

VII Perencanaan 42-47

VIII Pelaporan 48-52

IX Keuangan 53-55

X Sanksi 56-59

XI Ketentuan Peralihan 60

XII Ketentuan Penutup 61-62

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwasanya posisi masjid dalam

pengelolaan zakat di Indonesia pada dasarnya hanya diproyeksikan menjadi UPZ,

tidak sebagai lembaga amil zakat yang independen. Selain itu, masjid yang

dikatakan legal untuk mengelola zakat hanya yang menjadi UPZ BAZNAS ataupun

yang bermitra dengan LAZ.

Meskipun ada kondisi di mana masjid dan amil zakat perseorangan atau

kelompok boleh mengelola zakat, ketika mereka berada di wilayah yang belum

terjangkau oleh BAZNAS ataupun LAZ dan melaporkan kegiatan pengelolaannya

131

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

Page 67: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

52

kepada KUA setempat, tetapi syarat tersebut tentu tidak lagi berlaku bagi masjid di

wilayah perkotaan yang jelas sudah terjangkau oleh BAZNAS juga LAZ.

D. Struktur Hierarki Pengelola Zakat

Salah satu cita-cita undang-undang zakat adalah menjadikan pengelolaannya

rapi dalam struktur yang jelas, sehingga adanya pembagian wewenangan antar para

instansi pengelola zakat di berbagai tingkatan wilayah. Struktur pengelola zakat ini

tidak terlepas dari bentuk struktur pemerintahan di Indonesia mulai dari tingkat

Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Keluarahan, hingga Rukun Warga

(RW) dan Rukun Tetangga (RT).

Struktur pengelola zakat dalam sejarahnya mengalami perubahan yang

signifikan, terutama ketika undang-undang tentang pengelolaan zakat diamandemen

pada tahun 2011. Mengacu pada undang-undang pengelolaan zakat yang pertama

yaitu Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, struktur

pengelola zakat yang dibentuk pemerintah dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu

Badan Amil Zakat tingkat Nasional, Badan Amil Zakat tingkat Daerah Provinsi,

Badan Amil Zakat tingkat Daerah Kabupaten/Kota, dan Badan Amil Zakat tingkat

Kecamatan.

Badan Amil Zakat menurut Undang-Undang Pengelolaan Zakat Tahun 1999

hanya dibentuk sampai tingkat Kecamatan. Adapun di tingkat kelurahan,

dimungkinkan untuk dibentuk Unit Pengumpul Zakat oleh Badan Amil Zakat

tingkat Kecamatan.

Amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999

menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 turut mengubah bentuk struktur

pengelola zakat. Perubahan tersebut mulai dari penggunaan nama baku hingga

penghilangan struktur pengelola zakat di tingkat Kecamatan.

Instansi pengelola zakat yang dibentuk pemerintah haruslah menggunakan

nama resmi dan baku yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Tidak ada lagi

penggunaan istilah Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA), tetapi berubah menjadi

BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, ada

pengecualian yang diberikan kepada institusi pengelola zakat di Provinsi Aceh,

mereka diperbolehkan menggunakan nama selain BAZNAS, yaitu Baitul Mal132

Penggunaan nama resmi dan baku bagi instansi pengelola zakat di Indonesia

bukan menjadi hal yang sepele. Buktinya nama instansi pengelola zakat di Provinsi

DKI Jakarta terus dipermasalahkan oleh BAZNAS karena dianggap tidak

menyesuaikan diri dengan undang-undang pengelolaan zakat yang ada. Selain juga

132

Penjelasan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 15

ayat (1). Hal tersebut juga dilandasi oleh aturan hukum yang jelas yaitu Undang-Undang No.

11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-undang tersebut setidaknya ada

2 pasal yang menegaskan posisi hukum Baitul Mal sebagai BAZNAS-nya Provinsi Aceh,

yaitu pasal 180 ayat (1) huruf d, “Zakat merupakan salah satu penerimaan daerah Aceh dan

Penerimaan Daerah Kabupaten Kota” dan pasal 191, “Zakat, Harta Wakaf dan Harta Agama

lainnya dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan

Qanun”.

Page 68: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

53

karena terpisahnya jalur koordinasi antara BAZNAS dengan instansi pengelola zakat

di Ibukota tersebut.

Provinsi DKI Jakarta memang telah lebih dahulu memiliki instansi

pengelola zakat yang dinamakan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS)

sebelum dibentuknya BAZNAS pada tahun 2001. BAZIS DKI Jakarta dibentuk

berdasarkan Surat Keputusan Gubernur (ketika dijabat oleh Ali Sadikin) No Cb.

14/8/18/68 tertanggal 5 Desember 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat,

berdasarkan syariat Islam dalam wilayah DKI Jakarta di Tahun 1968.

Setelah sekian lama beroperasi BAZIS DKI akhirnya dituntut untuk

menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 yang menegaskan

BAZNAS sebagai badan pemerintah non-struktural yang resmi dibentuk dan

diberikan wewenang untuk melaksanakan pengelolaan zakat di Indonesia. Dualisme

BAZIS dan BAZNAS selalu terjadi pasca diundangkannya peraturan zakat tersebut,

hingga akhirnya BAZIS DKI Jakarta bersedia meleburkan diri ke dalam BAZNAS

di Tahun 2019133

.

Dengan meleburnya BAZIS DKI Jakarta ke dalam struktur dan jalur

koordinasi BAZNAS, maka tidak ada lagi dualisme instansi pengelola zakat

pemerintah, semuanya berada di bawah payung BAZNAS, sehingga kini struktur

hierarki pengelola zakat di Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 4.

Struktur Hierarki Pengelola Zakat di Indonesia

No

Instansi

Cakupan Wilayah Pemerintah

Unit

Pengumpul Swasta/Masyarakat

1 BAZNAS UPZ BAZNAS LAZ skala Nasional Nasional

2

BAZNAS Provinsi,

Baitul Mal Aceh

UPZ BAZNAS

Provinsi

Perwakilan/Cabang

LAZNAS, LAZ

skala Provinsi

Daerah Provinsi

3.

BAZNAS

Kabupaten/Kota,

Baitul Mal

Kabupaten/Kota di

Aceh

UPZ BAZNAS

Kabupaten/

Kota

LAZ skala

Kabupaten/Kota

Daerah

Kabupaten/Kota,

Kecamatan,

Kelurahan, RW, RT

Sumber: Diolah penulis dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

Masyarakat yang juga berpartisipasi dalam pengelolaan zakat bisa

diposisikan sejajar dengan BAZNAS di tiap tingkatnya, yaitu dengan membentuk

Lembaga Amil Zakat (LAZ) sesuai skala yang diizinkan. Pemerintah melalui

Kementerian Agama tidak main-main dalam memberikan izin operasional bagi

masyarakat yang ingin menjadi LAZ, karena ada banyak syarat yang harus dipenuhi

untuk mendapatkan izin tersebut. Di antara syarat tersebut adalah kesanggupan

untuk menghimpun dana zakat dengan nominal tertentu dalam tiap tahunnya.

133

Mekanisme berakhirnya BAZIS dan transisi menjadi BAZNAS diatur dalam Peraturan

Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3 Tahun 2019 tentang Penyelesaian

Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta

Page 69: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

54

LAZ berskala nasional diharuskan menyanggupi target penghimpunan dana

zakat sebesar Rp. 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah) per tahun, LAZ

berskala Provinsi sebesar Rp. 20.000.000.000 (dua puluh milyar rupiah) per tahun,

dan LAZ berskala Kabupaten/Kota sebesar Rp. 3.000.000.000 (tiga milyar rupiah)

per tahun134

. Nominal yang tidak kecil tersebut ditetapkan sebagai cara untuk

mengoptimalkan kinerja LAZ sehingga bisa memberikan dampak yang signifikan

tentu dalam efektivitas dan efesiensi pendistribusiannya.

Di sisi lain, ketatnya perizinan untuk menjadi LAZ adalah salah satu bentuk

politik kebijakan pemerintah dalam membatasi kemunculan LAZ-LAZ yang tidak

kompeten dan profesional demi menjaga dan meningkatkan kualitas pengelolaan

zakat yang dilakukan.

1. BAZNAS dan LAZ skala Nasional

BAZNAS adalah pusat pengelola zakat yang beroperasi secara nasional,

berkedudukan di Ibukota Negara Indonesia. Dalam hal pengelolaan zakat, BAZNAS

memiliki 2 fungsi, yaitu sebagai regulator yang mengatur dan mengeluarkan regulasi

terkait pengelolaan zakat di Indonesia dan juga operator yaitu turut melakukan

penghimpunan dana zakat serta pendistribusian dan pendayagunaan sebagaimana

lembaga zakat pada umumnya. Fungsi ganda ini oleh sebagian pengamat filantropi

Islam di Indonesia dianggap menjadi salah satu sumber kendala dan masalah dalam

proses penghimpunan dana zakat.

Menurut Azyumardi Azra misalnya135

, pemerintah (dalam hal ini BAZNAS)

seharusnya cukup menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan, tidak perlu ikut

beroperasi menghimpun dana zakat, sehingga kesan persaingan dan kontestasi

penggalangan dana sosial keagamaan di Indonesia antara yang dilakukan pemerintah

dan swasta tidak lagi terlihat. Jika pun memang ada persaingan, pihak pemerintah

pastinya memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk meregulasi aturan-aturan

zakat yang mendukung kinerja BAZNAS. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya

Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di

Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal

Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha

Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional.

Sebagai regulator, BAZNAS memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal

yang berkenaan dengan pengelolaan zakat. Di saat yang sama BAZNAS juga

mengawasi dan meminta laporan seluruh kegiatan pengelolaan zakat yang dilakukan

oleh para pengelola zakat di seluruh Indonesia dalam rangka memantau

perkembangan kinerja tiap instansi.

Selain BAZNAS, di tingkat nasional ada juga institusi pengelola zakat yang

berasal dari masyarakat, yang disebut LAZ. Ada 25 LAZ yang telah resmi

134

Persyaratan lainnya telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun

2015 tentang Pedoman Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat. 135

Diakses melalui laman https://www.uinjkt.ac.id/id/negara-dan-pengelolaan-zakat/ pada 10

Juli 2019 pukul 08.51 WIB.

Page 70: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

55

direkomendasikan BAZNAS dan mengantongi izin dari Kementerian Agama (1

LAZ sedang proses perizinan) untuk mengelola zakat secara nasional136

, yaitu:

1) LAZ Rumah Zakat Indonesia

2) LAZ Daarut Tauhid

3) LAZ Baitul Maal Hidayatullah

4) LAZ Dompet Dhuafa Republika

5) LAZ Nurul Hayat

6) LAZ Inisiatif Zakat Indonesia

7) LAZ Yatim Mandiri Surabaya

8) LAZ Lembaga Manajemen Infak Ukhuwah Islamiyah

9) LAZ Dana Sosial Al Falah Surabaya

10) LAZ Pesantren Islam Al Azhar

11) LAZ Baitulmaal Muamalat

12) LAZ Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama

(LAZIS NU)

13) LAZ Global Zakat

14) LAZ Muhammadiyah

15) LAZ Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia

16) LAZ Perkumpulan Persatuan Islam

17) LAZ Rumah Yatim Ar-Rohman Indonesia 18) LAZ Yayasan Kesejahteraan Madani

19) LAZ Yayasan Griya Yatim & Dhuafa

20) LAZ Yayasan Daarul Qur‟an Nusantara (PPPA)

21) LAZ Yayasan Baitul Ummah Banten

22) LAZ Yayasan Pusat Peradaban Islam (AQL)

23) LAZ Yayasan Mizan Amanah

24) LAZ Panti Yatim Indonesia Al-Fajr

25) LAZ Wahdah Islamiyah (sedang dalam proses perizinan di Kementerian

Agama) Secara geografis, ke-25 LAZ tersebut banyak berkedudukan di pulau Jawa

tepatnya di Provinsi DKI Jakarta, berikut ringkasannya dalam tabel Tabel 5.

Jumlah LAZ Nasional Berdasarkan Wilayah Kantor Kedudukannya

No. Provinsi Jumlah

LAZ Nasional

1 DKI Jakarta 11

2 Banten 4

3 Jawa Barat 5

4 Jawa Timur 4

5 Sulawesi Selatan 1

Total 25

Sumber: Data diolah penulis

136

Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/ pada 07 Juli 2019 Pukul

17.20 WIB. Daftar rekapitulasi LAZ ini adalah yang terupdate sesuai yang termuat di laman

resmi BAZNAS.

Page 71: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

56

Jika kita perhatikan daftar daftar LAZ berskala Nasional di atas, tidak

satupun yang berbentuk instansi masjid, hal ini menandakan bahwasanya kapasitas

LAZ memang dituntut untuk memiliki pengelolaan yang profesional sehingga

mampu menjalankan program zakatnya secara nasional setiap waktu, sedangkan

masjid dalam hal mengelola zakat nampaknya tidak diproyeksikan untuk menjadi

LAZ yang menghimpun dan mendistribusikan zakat ke berbagai wilayah di

Indonesia, tetapi eksistensi pengelolaan zakat mereka bersifat lokal dan temporal.

Dari tabel di atas juga kita bisa lihat bahwasanya LAZ berskala nasional ini

banyak terkonsentrasi di DKI Jakarta yang menandakan potensi zakat yang ada di

kota ini besar di berbagai sektor, karena secara komposisi masyarakat pun kota-kota

di Jakarta berpenghasilan menengah ke atas sehingga sangat strategis jika kantor

sekretariat LAZ ini berpusat di Jakarta.

2. BAZNAS Provinsi dan LAZ skala Provinsi

BAZNAS Provinsi berkedudukan di setiap provinsi di Indonesia, BAZNAS

Provinsi berjumlah 34 yang berkantor di tiap Ibukota Provinsi137

. Khusus di DKI

Jakarta, BAZNAS Provinsi baru saja dibentuk melanjutkan perjuangan BAZIS

dalam mengelola zakat warga Ibukota dengan tidak menghilangkan nama BAZIS di

belakang nama BAZNAS. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sudah sangat

familiar dan mengenal baik nama BAZIS sehingga diharapkan tidak mengurangi

kepercayaan yang telah dibangun di masyarakat. Ketika nama BAZIS sepenuhnya

dihilangkan dan tidak digunakan lagi, dikhawatirkan adanya kebingungan di

masyarakat yang menganggap ada lembaga zakat baru di Jakarta selain BAZIS138

.

Jika ditelusuri dalam sumber online, nama website yang dipakai masih

menggunakan www.bazisjakarta.id tidak seperti laman website BAZNAS Provinsi

pada umumnya yang hanya menggabungkan nama BAZNAS dengan nama Provinsi.

Meskipun demikian, nama resmi BAZNAS yang digunakan di Provinsi DKI Jakarta

adalah BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta. Nama BAZIS berada di dalam

kurung setelah BAZNAS. Gubernur Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa

BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta adalah nama satu-satunya yang dipakai

oleh BAZNAS Provinsi, hal itu karena BAZNAS pun memahami dan menyadari

bahwasanya perubahan nama ini merupakan bagian dari sejarah pengelolaan zakat

yang panjang139

.

Menanggapi hal tersebut, penulis tidak terlalu mempermasalahkan nama

yang dipakai BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta, karena hal yang mendasar

adalah telah bergabungnya pengelola zakat Provinsi DKI Jakarta ke dalam satu

137

Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/baznas-provinsi/ pada 10 Juli 2019 pukul

07.14 WIB 138

Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 10.50 WIB. di laman

https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/07/13545661/ikuti-baznas-pemprov-dki-

tetap-pertahankan-nama-bazis 139

Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 11.08 WIB di laman https://www.msn.com/id-

id/berita/nasional/anies-ajak-warga-dki-salurkan-zis-melalui-bazis-dki/ar-AAC5uII

Page 72: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

57

koordinasi nasional pengelolaan zakat di bawah naungan BAZNAS sesuai kehendak

undang-undang yang berlaku. Gubernur DKI Jakarta; Anies Baswedan bahkan telah

melantik anggota BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta periode 2019-2024 pada

29 April 2019 di Balairung Balaikota Jakarta140

. Apapun nama lembaga zakatnya,

yang diharapkan adalah program serta kegiatan yang baik dalam menghimpunan

zakat dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat muslim Ibukota yang

membutuhkan sehingga bisa membantu pemerintah dalam mengurangi tingkat

kemiskinan di Indonesia.

Sementara itu jumlah LAZ skala Provinsi yang telah diberikan rekomendasi

BAZNAS dan mendapatkan izin Kementerian Agama (1 LAZ sedang dalam proses

perizinan) berjumlah 9 LAZ, yaitu:

1) LAZ Baitul Maal FKAM di wilayah Provinsi Jawa Tengah

2) LAZ Semai Sinergi Umat di wilayah Provinsi Jawa Barat

3) LAZ Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbas (DASI) di wilayah Provinsi

Nusa Tenggara Barat

4) LAZ Dompet Sosial Madani (DSM) di wilayah Provinsi Bali 5) LAZ Harapan Dhuafa Banten di wilayah Provinsi Banten 6) LAZ Solo Peduli Umat di wilayah Provinsi Jawa Tengah 7) LAZ Dana Peduli Umat Kalimantan Timur di wilayah Provinsi

Kalimantan Timur 8) LAZ Al-Ihsan Jawa Tengah di wilayah Provinsi Jawa Tengah 9) LAZ Yayasan Nurul Fikri Palangkaraya di wilayah Provinsi

Palangkaraya (sedang dalam proses perizinan di Kememterian Agama)

3. BAZNAS Kabupaten/Kota dan LAZ skala Kabupaten/Kota

BAZNAS Kabupaten/Kota merupakan pengelola zakat resmi bentukan

pemerintah yang berkedudukan di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dan

berwenang untuk melakukan pengelolaan zakat mulai dari penghimpunan,

pendistribusian, dan pendayagunaan dana zakat di wilayah tingkat Kabupaten/Kota.

Belum semua Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki BAZNAS

Kabupaten/Kota. Jumlah resmi BAZNAS Kabupaten/Kota yang telah mendapatkan

pertimbangan BAZNAS ada 448141

dari total 514 Kabupaten/Kota di Indonesia.

Sementara itu jumlah LAZ skala Kabupaten/Kota yang telah diberikan rekomendasi

BAZNAS dan mendapatkan izin Kementerian Agama (3 LAZ sedang dalam proses

perizinan) berjumlah 25 LAZ, yaitu:

1) LAZ Swadaya Ummah di wilayah Kota Pekanbaru

2) LAZ Ibadurrahman di wilayah Kabupaten Bengkalis

3) LAZ Abdurrahman Bin Auf di wilayah Kota Jakarta Timur

140

Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 11.10 WIB di laman

http://www.beritajakarta.id/read/68429/anies-lantik-pengurus-baznas-bazis-

dki#.XSK6IhNEnIU 141

Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/baznas-kab-kota/ pada 10 Juli 2019 pukul

01.13 WIB.

Page 73: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

58

4) LAZ Komunitas Mata Air Jakarta di wilayah Jakarta Selatan

5) LAZ Baitul Mal Madinatul Iman di wilayah Jakarta Pusat

6) LAZ Bina Insan Madani Dumai di wilayah Kota Dumai

7) LAZ DSNI Amanah Batam di wilayah Kota Batam

8) LAZ Rumah Peduli Umat Bandung Barat di wilayah Kabupaten

Bandung Barat

9) LAZ Ummul Quro‟ Jombang di wilayah Kabupaten Jombang

10) LAZ Dompet Amanah Umat Sedati Sidoarjo di wilayah Kabupaten

Sidoarjo

11) LAZ Zakatku Bakti Persada di wilayah Kota Bandung

12) LAZ Indonesia Berbagi di wilayah Kota Bandung

13) LAZ Amal Madani Indonesia di wilayah Kabupaten Cimahi

14) LAZ Insan Masyarakat Madani di wilayah Kabupaten Bekasi

15) LAZ Al Bunyan Bogor di wilayah Kota Bogor

16) LAZ Yayasan Amal Sosial As-Shohwah Malang di wilayah Kota

Malang

17) LAZ Yayasan Zakat Sukses di wilayah Kota Depok

18) LAZ Yayasan Baitul Maal Barakatul Ummah di wilayah Kota Bontang

19) LAZ Yayasan Al-Irysad Al-Islamiyyah Purwokerto di wilayah

Kabupaten Banyumas

20) LAZ Yayasan Lembaga Pengembangan Infaq Mojokerto di wilayah

Kota Mojokerto

21) LAZ Yayasan Ulil Albab di wilayah Kota Medan

22) LAZ Yayasan Nahwa Nur di wilayah Kabupaten Bogor

23) LAZ Yayasan Dana Kemanusiaan Dhuafa Magelang di wilayah Kota

Magelang (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama)

24) LAZ Gema Indonesia Sejahtera di wilayah Kota Bekasi (sedang dalam

proses perizinan di Kementerian Agama)

25) LAZ Yayasan Rumah Itqon Zakat dan Infak di wilayah Kabupaten

Jember (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama)

4. Unit Pengumpul Zakat

Unit Pengumpul Zakat (UPZ) merupakan satuan organisasi yang dibentuk

oleh BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota untuk

membantu mengumpulkan zakat.

UPZ ini bertugas membantu BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS

Kabupaten/Kota dalam hal pengumpulan zakat. Jika diperlukan bahkan BAZNAS,

BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota bisa memberikan wewenang

kepada UPZ untuk membantu pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

Page 74: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

59

Perlu dipahami, bahwasanya terminologi UPZ dikhususkan untuk satuan

organisasi yang dibentuk BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS

Kabupaten/Kota sesuai amanat undang-undang, sehingga tidaklah tepat penggunaan

nama UPZ bagi mitra dari LAZ. Lembaga Amil Zakat dapat membentuk perwakilan

LAZ di setiap provinsi dan Kabupaten/Kota, ataupun mereka bisa menggandeng

masjid atau institusi lainnya sebagai mitra, dan hal ini tidak masuk dalam aturan

UPZ.

Mengenai aturan pembentukan UPZ dan tata kelolanya, BAZNAS telah

mengeluarkan aturan rinci yaitu Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016. Dalam

peraturan tersebut, pembentukan UPZ bisa dilakukan di berbagai instansi di

antaranya142

:

a. lembaga negara,

b. kementerian/lembaga pemerintah non kementerian,

c. badan usaha milik negara,

d. perusahaan swasta nasional dan asing,

e. perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,

f. kantor-kantor perwakilan negara asing/lembaga asing,

g. masjid negara,

h. kantor institusi vertikal,

i. kantor satuan kerja perangkat daerah/ lembaga daerah provinsi,

j. badan usaha miliki daerah provinsi,

k. perusahan swasta skala provinsi,

l. perguruan tinggi,

m. masjid raya,

n. kantor satuan kerja lembaga daerah/ lembaga daerah kabupaten/kota,

o. kantor institusi vertikal tingkat kabupaten/kota,

p. badan usaha milik daerah kabupaten/kota,

q. perusahan swasta skala kabupaten/kota,

r. masjid, musala, langgar, surau, atau nama lainnya,

s. sekolah/madrasah dan lembaga pendidikan lain, dan

t. kecamatan atau nama lainnya.

Sesuai yang disebutkan sebelumnya, UPZ ini dibentuk berdasarkan

tingkatan BAZNAS yang ada. Pada dasarnya, cara pembetukan UPZ bisa dilakukan

melalui 2 jalur, pertama BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota

mengusulkan instansi tertentu untuk membentuk UPZ, dan jalur kedua pimpinan

instansi tertentu mengusulkan kepada BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS

Kabupaten/Kota untuk dibentuk UPZ. Jadi inisiatif pembentukan UPZ bisa juga

dilakukan oleh masyarakat tidak harus menunggu usulan BAZNAS/BAZNAS

Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota.

Dalam konteks UPZ adalah sebuah masjid, maka kewenangan

pembentukannya sebagai berikut:

142

Ketentuan Umum, pasal 1 Peraturan poin ke-19 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016

tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat

Page 75: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

60

a. UPZ Masjid di tingkat Nasional

UPZ masjid di tingkat Nasional ditetapkan oleh Keputusan Ketua

BAZNAS. Sebagaimana BAZNAS adalah suatu institusi pusat pengelola

zakat, dan masjid Negara hanya ada satu, maka BAZNAS hanya memiliki 1

UPZ masjid yaitu UPZ BAZNAS Masjid Istiqlal143

.

Format penamaan UPZ telah ditentukan, yaitu UPZ + BAZNAS +

Institusi. Selain masjid, BAZNAS telah memiliki banyak UPZ di

kementerian dan lembaga negara.

b. UPZ Masjid di tingkat Provinsi

BAZNAS Provinsi dapat membentuk UPZ di instansi yang berada

dalam wilayahnya. Jika instansi itu berupa masjid, maka masjid-masjid di

tingkat provinsi bisa dibantuk UPZ nya.

Pembentukan UPZ di tingkat BAZNAS Provinsi ditetapkan melalui

Keputusan Ketua BAZNAS Provinsi.

c. UPZ Masjid di tingkat Kabupaten/Kota

Masjid yang berada di tingkat Kabupaten/Kota atau di skala yang lebih

bawah (kecamatan, kelurahan, dan umum) bisa dijadikan sebagai UPZ oleh

BAZNAS Kabupaten/Kota atau mengusulkan diri secara langsung kepada

BAZNAS Kabupaten/Kota untuk dibentuk UPZ. Tidak hanya masjid,

bahkan musala juga bisa dibentuk UPZ.

UPZ masjid di tingkat ini dibentuk melalui Keputusan Ketua BAZNAS

Kabupaten/Kota.

BAZNAS sebagai lembaga zakat yang dijalankan secara profesional

mengatur tata kerja UPZ juga dengan organisasi yang profesional, hal tersebut

terlihat dalam struktur kerja alat kelengkapan (divisi-divisi di bawah UPZ) yang

diatur dalam membantu UPZ menjalankan tugas dan fungsinya, di antaranya adalah

a. Divisi Pengumpulan

b. Divisi Tugas Pembantuan Penyaluran

c. Divisi Perencanaan, Keuangan, dan Pelaporan

d. Divisi SDM, Administrasi, dan Umum

Empat bidang inilah yang utama bagi UPZ dalam menjalankan tugas dan

fungsinya baik di aspek pengumpulan maupun pendistribusian dan pendayagunaan.

Organisasi yang dijalankan secara profesional tentulah memiliki struktur yang jelas,

tugas dan kewajibannya telah ditentukan sehingga setiap bagian akan bekerja

dengan sinergis untuk mencapai tujuan bersama.

Tipe UPZ jika didasarkan atas tugasnya ada 2 macam, yaitu UPZ yang

hanya melakukan pengumpulan zakat dan UPZ yang melakukan pengumpulan juga

pendistribusian serta pendayagunaan. Struktur kelengkapan organisasi yang

143

UPZ BAZNAS Masjid Istiqlal dibentuk dan diresmikan BAZNAS pada tanggal 17 Mei

2018.

Page 76: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

61

dibutuhkan kedua jenis UPZ tersebut sedikit berbeda, seperti tertera pada tabel

berikut:

Tabel 6.

Jenis UPZ sesuai Tugasnya menurut BAZNAS

Jenis UPZ

Divisi

Pengumpulan

Divisi Tugas

Pembantuan

Penyaluran

Divisi

Perencanaan,

Keuangan, dan

Pelaporan

Divisi SDM,

Administrasi,

dan Umum

UPZ

Pengumpulan Harus ada Tidak ada Harus ada Harus ada

UPZ

Pengumpulan

dan Tugas

Pembantuan

Penyaluran

Harus ada Harus ada Harus ada Harus ada

Sumber: Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS

Semua UPZ yang dibentuk BAZNAS/ BAZNAS Provinsi/ BAZNAS

Kabupaten/Kota memiliki fungsi yang jelas sesuai yang telah diatur dalam Peraturan

BAZNAS No. 2 Tahun 2016 yaitu:

a. Melakukan sosialisasi dan edukasi zakat pada masing-masing institusi

yang menaungi UPZ

b. Mengumpulkan zakat pada masing-masing institusi yang menaungi UPZ

c. Mendata dan melayani muzaki pada masing-masing institusi yang

menaungi UPZ

d. Menyerahkan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor

Zakat yang diterbitkan oleh BAZNAS, atau BAZNAS Provinsi, atau

BAZNAS Kabupaten/Kota kepada muzaki di institusi masing-masing.

e. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) UPZ untuk

program pengumpulan dan tugas peembantuan pendistribusian dan

pendayagunaan zakat BAZNAS, atau BAZNAS Provinsi, atau

BAZNAS Kabupaten/Kota.

f. Menyusun laporan kegiatan pengumpulan dan tugas peembantuan

pendistribusian dan pendayagunaan zakat BAZNAS, atau BAZNAS

Provinsi, atau BAZNAS Kabupaten/Kota.

Khusus UPZ institusi masjid, dibenarkan secara aturan untuk

mengumpulkan zakat dari masyarakat, tidak seperti institusi lain yang hanya terbatas

menghimpun zakat pegawai yang bekerja pada institusi tersebut144

. Dalam

praktiknya, masjid -sebagaimana yang kita ketahui- tidak hanya mengumpulkan

144

Pasal 9 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit

Pengumpul Zakat.

Page 77: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

62

dana zakat, akan tetapi ada juga dana yang bukan zakat, seperti infak, sedekah,

fidyah, nazar, dan dana sosial keagamaan lainnya.

Fungsi utama UPZ adalah mengumpulkan zakat, sesuai namanya. UPZ bisa

kita sebut konter-konter BAZNAS di lapangan atau tempat tertentu untuk

memfasilitasi para muzaki yang ingin menunaikan zakatnya. Jadi dana zakat yang

dikumpulkan melalui UPZ akan disetorkan ke BAZNAS pembentuknya dengan

mekanisme tertentu.

Susunan organisasi internal UPZ lebih sederhana dibandingkan LAZ, karena

dalam aturannya minimal cukup dengan 2 struktur utama, yaitu Penasehat dan

Pengurus UPZ. Penasehat UPZ merupakan pimpinan dari institusi masing-masing

UPZ itu bernaung yang tugasnya memberikan pertimbangan dalam menetapkan

RKAT dan pelaksanaan pengumpulan zakat, mengawasi dan membantu pengurus

UPZ dalam menjalankan tugas dan fungsi UPZ.

Sedangkan pengurus UPZ, minimal beranggotakan 3 orang, yang masing-

masing bertindak sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara. Pengurus UPZ berasal

dari pejabat, pegawai, pekerja, anggota, atau jamaah dari institusi yang menaungi

UPZ. Pengurus UPZ ini disyaratkan beragama Islam, minimal berusia 25 tahun dan

maksimal 70 tahun, serta tidak tergabung dalam partai politik manapun145

.

Pengurus UPZ dapat membentuk satuan-satuan kerja di bawah mereka,

-dalam aturan BAZNAS disebut alat kelengkapan organisasi sebagaimana yang

telah disebutkan sebelumnya- yang berfungsi membantu pengurus dalam

menjalankan tugas-tugasnya sebagai berikut:

a. Menetapkan RKAT UPZ setelah mendapat pertimbangan penasehat;

b. Melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan fungsi UPZ;

c. Menyusun perencanaan pengumpulan zakat;

d. Melaksanakan pengumpulan zakat

e. Melaksanakan pengelolaan data muzaki;

f. Melaksanakan sosialisasi dan edukasi zakat;

g. Memberikan layanan konsultasi zakat;

h. Menyerahkan hasil pengumpulan zakat ke BAZNAS sesuai dengan

tingkatannya.

Dalam aturannya, anggota UPZ juga mendapatkan hak seiring dengan

penunaian kewajiban mereka, ada 2 hak utama yang didapatkan anggota UPZ sesuai

peraturan BAZNAS No. 2 yaitu: Pengurus UPZ berhak mendapatkan pelatihan

sertifikasi Amil dari BAZNAS146

serta mendapatkan bagian hak amil paling banyak

12,5% (dua belas koma lima persen) dari realisasi tugas pembantuan pendistribusian

145

Selain syarat itu, dalam pasal 11 ayat 5 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 disebutkan

juga syarat-syarat berikut: warga negara Indonesia, bertaqwa kepada Allah swt, sehat

jasmani dan rohani, memiliki kompetensi teknis sesuai dengan bidang yang ditugaskan, dan

tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan. 146

Pasal 12 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja

Unit Pengumpul Zakat.

Page 78: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

63

dan pendayagunaan zakat147

. Sedangkan UPZ pengumpulan hanya mendapat 5%

dari total dana yang berhasil dihimpun148

.

Jika dibandingingkan antara UPZ pengumpulan dan UPZ pengumpulan-

tugas perbantuan penyaluran, BAZNAS membedakan hak amil yang diperoleh

keduanya sesuai tugasnya masing-masing. Secara sederhana perbedaan itu dapat

digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 7.

Hak Amil sesuai Jenis UPZ menurut BAZNAS

No Jenis UPZ Hak Amil Sumber

1. UPZ Pengumpulan

5 % Dana yang

dihimpun UPZ

2. UPZ Pengumpulan

dan Tugas

Pembantuan

Penyaluran

12,5 % Tugas pembantuan

penyaluran

Sumber: Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS

Alur kerja UPZ telah ditentukan oleh BAZNAS149

sehingga tahapan dan

mekanisme kerja UPZ sama di setiap tingkatannya, yaitu:

a. UPZ melaksanakan mandat pengumpulan zakat dari BAZNAS sesuai

tingkatannya dan mulai mengumpulkan zakat dari muzaki di lingkup

wilayah UPZ.

b. Dana zakat yang telah dikumpulkan UPZ wajib disetorkan kepada

BAZNAS sesuai tingkatannya.

c. Jika diperlukan, UPZ dapat melakukan tugas tambahan selain

mengumpulkan zakat, yaitu membantu pendistribusian dan

pendayagunaan zakat. Besarnya dana zakat yang diperkenankan untuk

didistribusikan dan didayagunakan oleh UPZ maksimal 70% dari total

dana yang dikumpulkan.

d. Dalam hal UPZ adalah sebuah institusi masjid, maka dana zakat yang

dapat didistribusikan dan didayagunakan maksimal 100 %, artinya dana

zakat yang dihimpun UPZ masjid disetorkan ke BAZNAS sesuai

tingkatannya, lalu diserahkan lagi ke UPZ untuk didistribusikan dan

didayagunakan seluruhnya. Penyaluran dana zakat ke UPZ ini paling

lambat dilakukan 5 hari kerja setelah dana pengumpulan zakat UPZ

diterima di rekening BAZNAS sesuai tingkatannya.

e. Jika dalam hal tugas pembantuan pendistribusian dan pendayagunaan

zakat tidak dapat terlaksana secara penuh dalam waktu 1 tahun anggaran,

147

Pasal 35 ayat 8 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata

Kerja Unit Pengumpul Zakat. 148

Pasal 35 ayat 10 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata

Kerja Unit Pengumpul Zakat 149

Dijadikan dalam bab tersendiri tentang Mekenisme Kerja UPZ dalam Peraturan BAZNAS

No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat, yaitu Bab VI

pasal 35.

Page 79: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

64

maka seluruh sisa dana zakat tersebut harus diserahkan kembali kepada

BAZNAS sesuai dengan tingkatannya.

f. UPZ yang hanya melakukan tugas pengumpulan zakat dapat

menggunakan dana pengumpulan zakat maksimal sebesar 5% dari hasil

pengumpulan untuk operasional UPZ

Skema 1.

Alur Kerja UPZ

Sumber: Diolah penulis dari Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS

E. Pengelolaan Zakat oleh Masjid di Kecamatan Pancoran

Pancoran merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kota Administrasi

Jakarta Selatan yang letaknya cukup stategis untuk dijadikan lokasi hunian bagi

warga yang bekerja atau beraktivitas di Jakarta terutama dalam hal akses terhadap

moda transportasi umum seperti Kereta Api Listrik (KRL) Commuter Line150

.

Kecamatan yang memiliki luas total 8,53 Km2 terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu :

150

Stasiun KRL yang ada di Kecamatan Pancoran adalah Stasiun Duren Kalibata dan Stasiun

Pasar Minggu Baru. Keduanya merupakan stasiun KRL yang berada di jalur Bogor-Jakarta

Kota atau Bogor-Jatinegara yang selalu dipadati penumpang, khususnya di jam berangkat

dan pulang kerja kantor.

-1-

UPZ mengumpulkan

zakat

-2-

UPZ menyetorkan zakat yang terkumpul ke

rekening BAZNAS sesuai tingkatannya

-3-

BAZNAS menyalurkan zakat

dari UPZ

-4-

UPZ yang diperlukan untuk membantu penyaluran dan pendayagunaan zakat akan

mendapatkan dana zakat dari BAZNAS

-5-

UPZ mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat

Page 80: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

65

Kalibata, Rawajati, Durentiga, Pancoran, Pengadegan, dan Cikoko yang

keseluruhannya terdiri dari 46 RW dan 499 RT151

.

Populasi penduduk di Kecamatan Pancoran menurut data BPS tahun 2017

berjumlah 163.235 jiwa dengan kepadatan penduduk lebih dari 19 ribu jiwa per

kilometer persegi152

. Menurut data BPS ini, Kota Administrasi Jakarta Selatan

merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi ketiga setelah Kota

Administrasi Jakarta Pusat dan Kota Administrasi Jakarta Barat di wilayah Provinsi

DKI Jakarta.

Penduduk muslim di Kecamatan Pancoran berjumlah 149.580 jiwa atau

sebesar 91,8% dari total jumlah penduduk. Untuk memfasilitasi masyarakat muslim

dalam beribadah, ada 56 masjid dan 98 musala yang tersebar di wilayah kecamatan

ini. Meskipun Kecamatan Pancoran termasuk dalam wilayah perkotaan,

masyarakatnya belum benar-benar menjadi modern secara kultur dan komunikasi,

masyarakat muslim di kecamatan ini masih tergolong dalam tipe masyarakat madya

yang masih terkait erat dengan ikatan kekeluargaan, adat istiadat, serta kebiasaan

yang tumbuh di masyarakat.

Penulis telah menentukan beberapa sampel masjid yang dijadikan objek

penelitian. Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid di kecamatan Pancoran ini

hanya dilaksanakan pada bulan Ramadan, penulis mengobservasi masjid-masjid

yang melakukan praktik tersebut di bulan Ramadan tahun 2018 dan 2019 dan juga

melakukan wawancara dengan DKM masjid terkait.

1. Masjid Jami at-Taubah

Masjid yang terletak di Jalan Pancoran Barat VIII ini dibangun tahun 1988

di atas tanah seluas 500m2 yang merupakan tanah wakaf

153. Masjid at-Taubah

tergolong ke dalam tipologi masjid Jami di tingkat kelurahan. Lingkungan sekitar

masjid banyak ditemui tempat usaha seperti warung makan, tempat photocopy, toko

pakaian dan lainnya. Lokasi sekitar masjid ini memang strategis untuk dijadikan

tempat usaha karena letaknya persis di sisi jalan Pancoran Barat VIII yang ramai

dengan lalu lalang kendaraan.

Setiap tahunnya, masjid ini melakukan pengelolaan zakat pada bulan

Ramadan. Zakat yang dikumpulkan adalah zakat fitrah juga zakat mal, selain itu

infak sedekah juga diterima tetapi dialokasikan langsung untuk pembangunan sarana

masjid di tahun 2018-2019.

Pengelolaan zakat dimulai dengan persiapan panitia yang telah dibentuk

DKM. Persiapan meliputi pembuatan seragam panitia zakat, nametag atau tanda

pengenal panitia, membuat banner dan stand penerimaan, sampai membagikan

kantong plastik kepada 9 RT yang ada di wilayah sekitar masjid. Setiap RT

151

Koordinator Statistik Kecamatan Pancoran, Kecamatan Pancoran dalam Angka 2017

(Jakarta: BPS Kota Jakarta Selatan, 2017) 3. 152

Kepadatan penduduk adalah hasil dari jumlah penduduk di suatu wilayah dibagi dengan

jumlah luas daerahnya dalam jangka waktu tertentu. 153

Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/19675/ pada

23 Oktober 2019.

Page 81: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

66

menerima 80 kantong plastik ukuran besar untuk kemudian dibagikan ke rumah-

rumah warga yang ada di kawasan RT tersebut. Kantong plastik tersebut digunakan

untuk tempat beras yang akan ditunaikan sebagai zakat fitrah kepada masjid Jami at-

Taubah154

.

Menurut keterangan Farhat, stand penerimaan zakat masjid Jami at-Taubah

baru dibuka pada H-10 Idul Fitri atau selama 10 hari terakhir Ramadan. Panitia

menerima zakat berupa beras maupun uang tunai. Beras untuk zakat fitrah seberat

2,5 Kg sedangkan zakat fitrah dengan uang tunai ditetapkan sebesar Rp. 40.000

(Empat Puluh Ribu Rupiah). Zakat fitrah berupa beras hanya diterima oleh panitia

hingga H-3 lebaran untuk kemudian didistribusikan kepada mustahik pada hari itu

juga dan mulai H-3 panitia hanya menerima zakat fitrah berupa uang tunai hingga

akhir Ramadan.

Panitia zakat yang dibentuk DKM selain ada yang bertugas menjadi

penerima zakat, ada pula yang bertugas sebagai koordinator lapangan. Bagian ini

bertugas terkait hal-hal yang dibutuhkan aksi langsung di lapangan, seperti

menjemput zakat fitrah berupa beras yang kantong plastiknya sudah disebar ke

rumah-rumah penduduk sekitar masjid dan berkoordinasi dengan RT setempat untuk

mengumpulkan data mustahik yang ada di wilayah RT masing-masing yang

nantinya akan dijadikan sebagai penerima zakat yang dihimpun masjid at-Taubah.

Pembayaran zakat telah dijalankan dengan prosedur yang sudah ditentukan

panitia. Diawali dengan menginput -dengan menggunakan laptop- data dan identitas

muzaki terkait nama, alamat, dan jenis pembayaran yang akan dilakukan apakah

zakat fitrah, zakat mal, infak, sedekah atau lainnya. Setelah itu barulah melakukan

ijab qabul penerimaan zakat dan terakhir muzaki diberikan kuitansi bukti

pembayaran yang telah diformat secara khusus oleh panitia.

Amil zakat yang dipahami oleh DKM masjid Jami at-Taubah adalah petugas

yang dibentuk secara khusus untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan

pengelolaan zakat, meskipun petugas itu dibentuk oleh DKM tetap saja mereka

ditugaskan untuk mengelola zakat meskipun hanya di lingkup masjid, maka petugas

tersebut tetap disebut Amil Zakat dan berhak atas bagian zakat yang dihimpun.

Panitia zakat masjid at-Taubah yang diangkat oleh DKM menjadi amil

zakat berjumlah 9 orang yang bertugas mengumpulkan zakat baik yang menjaga

stand penerimaan zakat di masjid atau mengambil langsung zakat fitrah berupa

beras dari rumah warga, mencatat, dan membuat laporan pengelolaan zakat baik dari

pengumpulan dan pendistribusiannya.

Penerimaan zakat fitrah, mal, dan infak sedekah selama penghimpunan di

bulan Ramadan tahun 2018 yang dilakukan masjid Jami at-Taubah berjumlah Rp.

79.000.000 (uang tunai) dan sekitar 2 Ton beras. Dari hasil penghimpunan tersebut

9 amil mendapatkan bagian masing-masing 1 Juta rupiah155

. Mengenai bagian amil,

ketua DKM masjid Jami at-Taubah juga mengkonfirmasi bahwa bagian tersebut

154

Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di Masjid

Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019. 155

Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di Masjid

Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019.

Page 82: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

67

dihitung dari 1/8 bagian zakat yang dihimpun kemudian dibagi lagi dengan jumlah

amil yang dibentuk DKM156

.

Zakat yang dikumpulkan masjid Jami at-Taubah didistribusikan kepada

fakir miskin, janda tua, dan jamaah aktif. Seluruh uang dan beras yang dihimpun

dibagikan habis kepada mustahik. Sebagaimana yang telah disebutkan, data-data

mustahik diperoleh dari RT setempat terutama terkait fakir miskin dan janda-janda

tua. Jamaah aktif yang dimaksud adalah warga sekitar masjid yang selalu hadir

untuk salat berjamaah, mengikuti kajian, dan kegiatan yang diadakan oleh masjid.

Jamaah aktif ini umumnya adalah orang tua yang sudah berusia lanjut.

Terkait dengan aspek hukum positif pengelolaan zakat, panitia dan DKM

telah mengetahui adanya undang-undang khusus tentang pengelolaan zakat dan

mengakui bahwa pengelolaan zakat yang mereka lakukan termasuk yang dilarang

jika didasarkan pada aturan tersebut karena belum berbentuk LAZ. Keinginan DKM

untuk bergabung dengan lembaga resmi pengelola zakat terkendala karena

kurangnya informasi terkait syarat dan mekanisme yang ada. Mereka menganggap

birokrasi dan persyaratan untuk hal tersebut ribet dan menyulitkan DKM, bahkan

ada kesalahan informasi yang dipahami terkait aturan tersebut yaitu jika ingin

menjadi lembaga zakat harus dapat menghimpun dana minimal 2 Milyar rupiah.

DKM tidak mengetahui bahwa ada mekanisme tersendiri untuk bergabung menjadi

UPZ dari BAZNAS.

2. Masjid al-Muawanah

Masjid yang terletak di jalan Duren Tiga Raya No. 38 ini dibangun di atas

tanah wakaf seluas 373 m2

. Dalam jajaran pengurusnya, DKM membentuk seksi

sosial yang memiliki program antara lain adalah mengumpulkan zakat di bulan

Ramadan, penyantunan anak yatim, dan menyalurkan hewan kurban.

Amil zakat yang dipahami DKM masjid ini adalah orang-orang yang

ditugaskan untuk menerima dan menyalurkan zakat. Pada tahun 2018, DKM

menugaskan 10 orang sebagai amil zakat, memulai penghimpunan zakat H-7 Idul

fitri hingga malam takbir. Muzaki yang menunaikan zakatnya di masjid ini notabene

penduduk sekitar atau pengguna jalan yang sedang singgah untuk beribadah di

masjid. Petugas zakat yang DKM sebut sebagai amil mendapatkan 12,5% dari total

penghimpunan zakat yang diperoleh berupa uang dan beras.

Data mustahik dikumpulkan dari RT setempat, selain itu masjid juga

memiliki majelis pengajian ibu-ibu yang pesertanya kebanyakan janda-janda tua,

mereka juga diberikan zakat dari masjid ini. Panitia zakat menerima zakat fitrah

berupa beras seberat 3,5 Liter ataupun uang tunai seharga beras yang biasa

dikonsumsi muzaki, jika harganya bisa lebih tinggi tentu akan lebih baik.

DKM Masjid al-Muawanah ingin terus mengelola zakat secara mandiri.

Zakat yang dikelola langsung oleh masjid tidak diserahkan ke lembaga zakat

pemerintah atau lembaga zakat masyarakat tetapi langsung didistribusikan kepada

156

Hasil wawancara penulis dengan H.Syamsudin Abdul Karim, Ketua DKM Jami at-

Taubah Kelurahan Pancoran pada 03 April 2019.

Page 83: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

68

orang-orang yang membutuhkan di sekitar masjid yang harus diprioritaskan, karena

yang berzakat pun masyarakat sekitar masjid.

Terkait aspek hukum pengelolaan zakat DKM telah mengetahui adanya

undang-undang dan aturan khusus, tetapi pengelolaan zakat yang dilakukan DKM

hanya didasarkan kepada pemahaman fikih tidak diselaraskan dengan hukum positif

yang ada, karena menurut DKM pemahaman fikih sudah cukup untuk melaksanakan

kegiatan pengelolaan zakat157

.

Menurut DKM, pemerintah cukup memberikan pelatihan dan sosialisasi

mengenai pengelolaan zakat, adapun penghimpunan dan penyalurannya tetap

dilakukan oleh masjid-masjid karena lebih tahu orang-orang yang membutuhkan di

lingkungan sekitar.

3. Masjid Arrohmaanurrohim

Terletak di samping jalan Pancoran Barat yang dipadati tempat usaha,

masjid ini dibangun tahun 1996 di atas tanah wakaf seluas 600 m2,

mampu

menampung sekitar 300 jamaah158

. Setiap tahunnya masjid ini juga melakukan

pengelolaan zakat pada Ramadan.

Zakat yang dikumpulkan di masjid Arrohmaanurrohim umumnya zakat

fitrah, tapi mereka juga menerima zakat mal, infak sedekah, dan dana keagamaan

lainnya. DKM membentuk petugas khusus yang menangani semua hal yang terkait

dengan pengelolaan zakat di masjid selama bulan Ramadan. Petugas atau panitia

tersebut disebut juga amil zakat menurut DKM159

.

Amil zakat tersebut mengerjakan 2 tugas pokok, yaitu penerimaan atau

pengumpulan dan pendistribusian zakat. Terkait pengelolaan zakat di masjid, DKM

mengungkapkan bahwa kegiatan ini berlandaskan fikih zakat sebagaimana yang

telah dipraktikkan bertahun-tahun. Adapun mengenai penyesuaian dengan undang-

undang atau aturan pengelolaan zakat yang ada, DKM tidak menganggap hal itu

sebagai suatu keharusan, karena selama ini DKM hanya mengelola zakat secara

mandiri di bulan Ramadan, di luar waktu itu DKM tidak melaksanakannya.

DKM mengakui masyarakat sekitar banyak yang menunaikan zakatnya

melalui masjid dan zakat yang dikumpulkan pun memang didistribusikan kepada

mustahik sekitar lingkungan masjid. Adapun data mustahik yang ditentukan petugas

zakat diperoleh dari RT setempat, jumlahnya disesuaikan dengan perolehan zakat

sehingga mempertimbangkan kelayakan kuantitas zakat yang akan diterima

mustahik.

Zakat fitrah yang dikumpulkan di masjid ini berupa beras juga uang tunai

yang kemudian didistribusikan kepada mustahik yang berada di lingkungan sekitar

157 Hasil wawancara penulis dengan H. Abdul Aziz Musahab, ketua DKM Masjid Al-

Muawanah pada tanggal 03 April 2019. 158 Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/195816/ pada

30 Oktober 2019. 159

Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid Arrohmaanurrohim

pada tanggal 03 April 2019.

Page 84: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

69

masjid. Pendistribusian zakat yang dilakukan masjid ini hanya bersifat konsumtif

tradisional yang habis digunakan untuk kebutuhan harian.

Beberapa hal yang dipahami DKM terkait undang-undang dan aturan

pengelolaan zakat sudah tepat seperti keharusan mengurus izin operasional melalui

Kemenag dan BAZNAS bagi lembaga yang ingin mengelola zakat. Hanya saja,

DKM memahami keharusan itu dikhususkan untuk lembaga yang memang ingin

melakukan pengelolaan zakat sepanjang waktu, bukan untuk masjid-masjid yang

hanya mengelola zakat di Ramadan saja. Jika pun ada aturan yang mengatakan

bahwa masjid juga harus melapor atau mendapatkan izin ketika mengelola zakat,

tetapi pihak DKM tidak pernah mendapatkan sosialisasi apapun terkait hal tersebut

juga tidak pernah ada pengawasan dari KUA sehingga praktik pengelolaan zakat ini

berlangsung seperti biasa.

4. Masjid Jami an-Nur

Masjid jami an-Nur Durentiga didirikan sejak tahun 1981 di atas tanah

wakaf seluas 1.300 m2 terletak di jalan Mampang Prapatan XVC

160. DKM masjid

Jami an-Nur melakukan pengelolaan zakat setiap Ramadan yang dioordinir oleh

Amil zakat. Menurut DKM, amil zakat adalah beberapa orang yang ditunjuk untuk

menangani pengelolaan zakat, biasanya masjid menunjuk 3 orang.

Mustahik zakat berasal dari nama-nama yang diajukan oleh masing-masing

RT, akan tetapi tidak semua nama yang disetorkan RT akan dipilih. Petugas zakat

akan melakukan proses pengecekan secara langsung ke lapangan untuk mengetahui

dan mempertimbangkan pemilihan mustahik yang benar-benar tepat dan

membutuhkan. Kuantitas mustahik juga dipertimbangkan dari banyaknya dana zakat

yang berhasil dihimpun masjid, semakin banyak zakat yang dikumpulkan maka

semakin banyak juga jumlah mustahik yang akan mendapatkan zakat.

Panitia zakat menerima zakat fitrah dalam bentuk beras maupun uang tunai,

tetapi jumlah muzaki yang membayar zakat fitrah dengan uang tunai lebih banyak

dari pada yang menyerahkan beras.

Penyaluran zakat hanya menjangkau 2 RT di sekitar masjid, hal itu sebagai

cara mengantisipasi agar tidak ada mustahik yang mendapat zakat dua kali atau

lebih, karena ada masjid lain juga yang melakukan pengelolaan yang letaknya tidak

berjauhan. Ini menandakan belum adanya koordinasi yang solid antara masjid-

masjid yang mengelola zakat dalam hal database mustahik di lingkungan mereka.

Mengenai bagian zakat yang diberikan kepada petugas zakat atau yang

DKM sebut sebagai amil, Faris mengakui bahwasanya bagian yang diterima amil ini

sangatlah kecil, tidak sebanding dengan 1/8 zakat. Hal tersebut selama ini tidak

dipermasalahkan oleh petugas zakat, karena memang mereka secara pribadi

berkomitmen dan ingin membantu mengelola zakat. Nominal uang yang diterima

160

Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/198271/ pada

23 Oktober 2019.

Page 85: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

70

petugas ini tidak diambil dari dana zakat, tetapi dari uang kas masjid mulai dari

Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000 per petugas161

.

Laporan penyaluran penghimpunan dan penyaluran zakat disampaikan

menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri baik secara lisan maupun berupa print out

yang ditempel di papan pengumuman masjid.

Masjid mengetahui telah ada undang-undang dan aturan khusus tentang

pengelolaan zakat, tetapi belum menjadikannya sebagai landasan atau acuan dalam

hal pengelolaan zakat. Selama ini pengelolaan zakat yang dilakukan DKM hanya

didasari pemahakam fikih saja yang telah dipraktikkan bertahun-bertahun.

DKM masjid Jami an-Nur memandang bahwasanya tugas lembaga milik

pemerintah maupun swasta yang terkait dalam pengelolaan zakat adalah mengajak

dan merangkul pengurus-pengurusnya masjid, sehingga tradisi pengelolaan zakat di

masjid yang telah mengakar di masyarakat muslim Indonesia bisa terus ada akan

tetapi mengalami perbaikan-perbaikan terutama jika memang harus menyesuaikan

dengan aturan yang berlaku.

5. Masjid al-Munawwar

Secara tipologi merupakan masjid setingkat masjid Jami terletak di Jalan

Raya Pasar Minggu, ruas jalan arah Tebet yang merupakan jalur utama kendaraan

dari kota penyangga seperti Depok menuju Jakarta. Masjid yang didirikan sejak

tahun 1945 ini memiliki luas tanah 2500 m2 dan luas bangunan 1500 m

2. Selain

sebagai sarana Ibadah masjid ini menjadi tempat pengajian Majelis Rasulullah yang

digelar setiap hari Senin malam selepas Isya162

.

DKM menyadari bahwa pengelolaan zakat di masjid tidak berjalan

maksimal karena tidak adanya pengawas, sehingga tidak terkontrol dan terevaluasi

dari tahun ke tahun. Tidak adanya pengawas juga membuat DKM melakukan

pengelolaan semaunya dan apa adanya, tidak ada standar mekanisme tertentu yang

diikuti.

H. Zainuddin melanjutkan bahwasanya pelatihan-pelatihan yang diadakan

oleh lembaga masyarakat biasanya berbayar cukup mahal sehingga minat DKM

untuk mengikuti pelatihan tersebut sangat minim, ditambah juga komposisi

pengurus DKM yang didominiasi orang tua.

Sekretaris DKM masjid al-Munawwar ini mengetahui banyak hal terkait

praktik pengelolaan zakat profesional, karena memang pernah berpengalaman

menjadi pengurus BAZIS DKI. Meskipun demikian, tidak serta merta pengalaman

mengelola zakat secara profesional tersebut bisa diterapkan di masjid yang ia urus,

karena ada faktor-faktor yang belum mendukung ke arah itu.

Pemahaman mengenai makna amil zakat sebagaimana yang dijelaskan H.

Zainuddin adalah sebuah istilah atau sebutan bahasa Arab yang dalam bahasa

161

Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur

Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019. 162

Diakses melalui laman https://dkm.or.id/dkm/49523/masjid-al-munawar-pancoran-kota-

adm-jakarta-selatan.html pada 23 Oktober 2019.

Page 86: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

71

Indonesia berarti panitia zakat atau petugas yang dibentuk untuk mengumpulkan dan

menyalurkan zakat. Mengenai konsep penyaluran zakat, DKM telah membedakan

mekanisme antara ketentuan pendistribusian zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah

harus diselesaikan penyalurannya maksimal sebelum pelaksanaan salat Idul fitri,

sedangkan penyaluran zakat mal bisa dilakukan kapan saja.

Panitia zakat DKM masjid al-Munawwar menerima zakat berupa uang tunai

dan beras, tetapi zakat yang berupa uang tunai sebagian besar akan dibelikan beras

dan disalurkan kepada mustahik berupa beras dan uang tunai alakadarnya.

Penyaluran zakat yang bersifat konsumtif ini diakui oleh H Zainuddin sebagai

sebuah kelemahan pengelolaan zakat di masjid, karena manfaat yang dirasakan

penerima tidak berkelanjutan.

H. Zainuddin terinspirasi oleh pemikiran dan konsep penyaluran zakat yang

digagas (alm) K.H. Ahmad Sahal Mahfudz, yaitu penyaluran zakat yang produktif

dimana zakat dibagikan hanya kepada orang terbatas, tetapi bisa memberikan

dampak yang signifikan dan berkelanjutan, misalnya zakat untuk tukang becak.

Dana zakat digunakan untuk membeli beberapa becak kemudian disewakan kepada

tukang becak dan dia harus memberikan setoran harian untuk biaya sewa, sehingga

dalam beberapa bulan tukang becak bisa melunasi biaya sewa (seharga pembelian

awal becak) dan dia mendapatkan modal berupa becak yang bisa digunakan terus

untuk mencari penghasilan. Di satu sisi, tukang becak terbantu dengan bantuan

modal berupa becak, di sisi lain masjid pun mendapatkan dana setoran tukang becak

sebagai pemasukan yang bisa digulirkan kembali dalam pembiayaan-pembiayaan

produktif sehingga bisa menjangkau lebih banyak penerima manfaat.163

Selain kepada fakir miskin, zakat yang dihimpun masjid al-Munawwar juga

diberikan kepada panitia zakat sebesar 10%-12,5%. Panitia zakat yang dibentuk

masjid al-Munawwar sejumlah 7 orang

Data mustahik didapatkan melalui koordinasi dengan RT di sekitar masjid

yang biasanya terdiri dari fakir, miskin, anak-anak yatim. Selain itu, zakat fitrah

yang dihimpun masjid al-Munawwar juga dialokasikan untuk petugas-petugas

bagian ibadah Ramadan yaitu imam, khotib, muazin, dan bilal.

Masjid al-Munawwar hanya melakukan pengelolaan zakat di Ramadan,

utamanya zakat fitrah, tetapi menerima juga pembayaran zakat mal, infak sedekah

dan dana sosial keagamaan lainnya.

Secara pribadi, H. Zainuddin mengungkapkan keinginannya untuk membuat

lembaga amil zakat khusus di masjid al-Munawwar sehingga bisa mengelola zakat

sepanjang tahun (tidak hanya di Ramadan) dan dilakukan secara profesional, tetapi

dia pun menyadari jikalau pengurus masjid lainnya pasti tidak akan setuju, karena

dianggap hal yang mengada-ada dan tidak ada prioritas untuk hal itu. Pasalnya,

pengelolaan zakat yang telah sedari dulu dilakukan di masjid ini selama bertahun-

tahun memang hanya dilakukan saat bulan Ramadan.

Pemahaman DKM masjid al-Munawwar terkait hukum positif pengelolaan

zakat di Indonesia sangat minim, hanya sebatas pemahaman yang sama dengan

konsep fikih zakat, seperti kadar zakat 2,5%, bagian amil seperdelapan dan lainnya.

163

Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar

pada tanggal 04 April 2019.

Page 87: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

72

Terkait dengan bukti setoran zakat atau tanda terima pembayaran zakat, DKM sudah

menyediakan kuitansi khusus yang didesain oleh panitia zakat sebagai bukti

pembayaran. Menurut H.Zainuddin kondisi tidak dipahaminya hukum positif

pengelolaan zakat secara utuh karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait

aturan-aturan tersebut secara langsung kepada para pengurus masjid.

6. Masjid Nurullah

Masjid yang terletak di kawasan permukiman apartemen Kalibata City ini

didirikan tahun 2006164

yang awalnya di atas tanah sertifikat hak milik, tetapi kini

sudah menjadi wakaf. Daya tampung jamaah sekitar 1000 orang, terletak di

basement tower Cendana, masjid ini selalu dipadati ketika pelaksanaan salat jumat,

baik oleh penghuni apartemen ataupun pengunjung yang sedang berada di Kalibata

City.

Berbeda dengan 5 masjid yang sebelumnya yang tidak bergabung menjadi

UPZ, masjid Nurullah ini justru satu-satunya masjid di kecamatan Pancoran yang

telah menjadi UPZ dari BAZIS Jakarta Selatan sejak Tahun 2017. Menurut

informasi yang penulis dapatkan dari DKM165

, ada peran KUA kecamatan Pancoran

yang melatarbelakangi bergabungnya pihak DKM masjid untuk menjadi UPZ. KUA

juga lah yang menjembatani komunikasi antara masjid dengan BAZIS Jakarta

Selatan.

Muhammad Mada mengungkapkan bahwa bergabungnya masjid Nurullah

menjadi UPZ tidak lebih dari sekedar formalitas untuk memenuhi legalitas dan

kesesuaian hukum pengelolaan zakat yang ada, karena setelah bergabung menjadi

UPZ dan di-SK-kan di Tahun 2017, pihak BAZIS Jakarta Selatan maupun KUA

kecamatan Pancoran tidak pernah melakukan komunikasi baik berupa pemantauan,

supervisi atau arahan terkait pengelolaan zakat yang dilakukan masjid166

.

Tujuan utama pembentukan UPZ adalah agar pengelolaan zakat yang

dilakukan di masjid bisa terlaporkan, tetapi nyatanya tidak terwujud, sebab tidak

adanya komunikasi yang berlanjut selepas acara seremonial pemberian SK UPZ.

Laporan-laporan pengelolaan zakat berkala pun tidak diminta oleh BAZIS Jakarta

Selatan sehingga nampak jelas bahwas legalitas UPZ hanyalah sebagai formalitas.

Penulis perlu membedakan BAZIS Jakarta Selatan dengan BAZNAS,

karena pada tahun 2017 memang BAZIS di Jakarta belum bergabung ke dalam

BAZNAS, sehingga mekanisme dan tatakerja UPZ yang ditetapkan BAZIS mungkin

berbeda dengan BAZNAS. Dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada peraturan

dan pedoman kerja UPZ yang ditetapkan BAZNAS.

164

Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/242223/ pada

23 Oktober 2019. 165

Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, Koordinator Bagian Humas dan

Sosial DKM Masjid Nurullah pada tanggal 22 November 2019. 166

Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, Koordinator Bagian Humas dan

Sosial DKM Masjid Nurullah pada tanggal 22 November 2019.

Page 88: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

73

Amil zakat yang dipahami DKM sama seperti apa yang dipahami masjid-

masjid sebelumnya, yaitu setiap petugas yang menerima dan menyalurkan zakat.

DKM menjelaskan bahwa mereka tidak melakukan pengumpulan zakat secara aktif

yaitu dengan mendatangi muzaki di lingkungannya, sehingga kata yang dipilih

hanya “menerima” setiap muzaki yang ingin menunaikan zakatnya melalui masjid

Nurullah.

Masjid melakukan penerimaan zakat fitrah di setiap Ramadan, juga zakat

maal setiap saat. Zakat fitrah yang diterima berupa beras maupun uang tunai, tetapi

nantinya uang tersebut akan dikonversikan dengan beras, jadi semua zakat fitrah

yang dibagikan ke mustahik berupa beras dalam kemasan 5 Kg. Mustahik zakat

masjid Nurullah adalah para pekerja kasar di lingkungan Kalibata City seperti

petugas kebersihan, keamanan, dan parkir juga masyarakat fakir miskin di kelurahan

Rawajati.

Adapun untuk penyaluran zakat maal, DKM mengungkapkan bahwa secara

umum masih bersifat konsumtif berupa bantuan uang tunai nominal tertentu, tetapi

DKM pernah juga menyalurkan zakat secara produktif yaitu memberikan modal

usaha kepada mustahik dan saat ini usahanya telah mendapatkan keuntungan.

Tabel 8.

Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat

Aspek

DKM Amil Zakat Tugas Amil Hak Amil

Masjid Jami at-Taubah

Petugas zakat

yang dibentuk

DKM

Mengumpulkan

zakat dari

muzaki dan

menyalurkannya

ke mustahik

10% dari total

penghimpunan,

lalu dibagi dengan

sejumlah amil

Masjid al-Muawanah

Orang-orang

yang ditugaskan

untuk menerima

dan

menyalurkan

zakat

Mengumpulkan

zakat dari

muzaki dan

menyalurkannya

ke mustahik

12,5 % dari total

pengumpulan

zakat, baik berupa

beras atau uang

tunai

Masjid

Arrohmaanurrohim

Petugas zakat

yang dibentuk

DKM

Mengumpulkan

zakat dari

muzaki dan

menyalurkannya

ke mustahik

1/8 dari total zakat

yang dihimpun

Masjid Jami an-Nur

Beberapa orang

yang ditunjuk

untuk

menangani

urusan zakat

Mengumpulkan

zakat dari

muzaki dan

menyalurkannya

ke mustahik

Diambil dari

operasional masjid

Page 89: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

74

Masjid al-Munawwar

Amil Zakat itu

bahasa Arab,

istilah di

Indonesia

adalah petugas

yang dibentuk

untuk

mengumpukan

dan

menyalurkan

zakat

Mengumpulkan

zakat dari

muzaki dan

menyalurkannya

ke mustahik

10%-12,5% dari

dana zakat dengan

penyesuaian hasil

pengumpulan

Masjid Nurullah

Petugas-petugas

zakat yang

melakukan

penerimaan

hingga

pendistribusian

Mengumpulkan

zakat dari

muzaki dan

menyalurkannya

ke mustahik

Meskipun

memahami amil

zakat termasuk

mustahik, tetapi

DKM tidak

mengambil bagian

sama sekali Sumber: Hasil wawancara yang diolah penulis

Di bab IV ini, kita telah mendapatkan informasi dan gambaran tentang

masjid dalam aspek pengelolaan zakat. Dalam hal kesesuaian dengan hukum positif,

kita bisa katakan bahwa 5 dari 6 masjid yang diteliti belum menyesuaikan diri

karena aspek legalitasnya belum terpenuhi, sementara 1 masjid telah menjadi UPZ

tetapi sangat disayangkan bahwa ternyata tidak ada keuntungan lebih yang

didapatkan masjid UPZ kecuali legalitas saja.

Pada bab berikutnya, penulis akan analisis pemahaman DKM terkait fikih

zakat dan hukum positif sehingga nantinya dapat diketahui faktor-faktor apa saja

yang mempengaruhi kepatuhan masjid-masjid perkotaan ini terhadap hukum positif

pengelolaan zakat di Indonesia.

Page 90: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

75

BAB IV

ANALISIS PEMAHAMAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF

PENGELOLAAN ZAKAT DI MASJID

Bab ini memaparkan analisis penulis terhadap temuan-temuan penelitian

tentang praktik pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Dewan Kemakmuran Masjid

(DKM) melalui petugas yang mereka bentuk di masjid-masjid di kecamatan

Pancoran dari aspek pemahaman fikih dan hukum positif yang berlaku serta terkait

pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang mereka lakukan.

A. Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat

Menganggap pengelolaan zakat di masjid sebagai sebuah fenomena biasa

dan lumrah bukanlah hal yang tepat, karena faktanya banyak hal yang harus

disesuaikan agar mampu mencapai tujuan utama zakat di negeri ini yaitu sebagai

salah satu sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan

kemiskikan167

. Penyesuaian tersebut penting mengingat sangat banyak masjid yang

mengelola zakat secara mandiri dengan cara yang tradisional, tidak terencana

dengan baik, hanya melanjutkan tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun

meskipun harus diakui tujuannya mulia.

Muslim Indonesia dalam menunaikan zakatnya setidaknya memiliki 3

pilihan yaitu: 1) berzakat melalui lembaga pengelola zakat resmi, 2) lembaga

keislaman seperti masjid, pesantren, dan tokoh agama, bahkan 3) langsung kepada

mustahik. Sayangnya, zakat yang ditunaikan melalui cara ke-2 dan ke-3 umumnya

tidak disalurkan dalam program-program yang produktif, kebanyakan dana zakat

akan habis untuk bantuan-bantuan langsung yang bersifat konsumtif, sehingga

dampak yang ditimbulkan bagi mustahik tidaklah berjangka panjang, bahkan sangat

sulit untuk meyakini suatu hari mereka akan tersejahterakan oleh manfaat zakat

yang diterima.

Dalam konteks masjid sebagai pengelola zakat (setidaknya penyalur zakat

fitrah) tidak akan terlepas dari pemahaman para pengurus DKM akan fungsi masjid

yang mereka kelola. Secara umum, memang masjid dulu kala hingga saat ini

berperan multifungsi, tidak hanya sebagai tempat berkumpul untuk melaksanakan

ibadah salat, pengajian, musyawarah, masjid kini sering juga menjadi tempat

kegiatan sosial kemasyarakatan seperti bakti sosial, resepsi pernikahan, pembagian

daging kurban, juga penerimaan dan penyaluran zakat.

Harus kita akui bersama, fungsi masjid dalam pengelolaan zakat tidak

terlepas dari tradisi yang turun temurun hingga menjadi budaya yang lekat pada

masyarakat muslim Indonesia ketika ingin menunaikan zakat, memilih masjid

sebagai penyalur zakat mereka. Inisiatif pengumpulan dan penyaluran zakat yang

dilakukan masjid bagaimanapun telah memberikan kemanfaatan bagi masyarakat

muslim yang menjadi mustahik di lingkungannya. Selain itu, adanya pengumpulan

dan penyaluran zakat yang dilakukan masjid memudahkan masyarakat muslim

167

Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

Page 91: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

76

sekitarnya dalam menunaikan zakatnya sebagai salah satu referensi yang bisa

dipilih.

Secara aturan mengenai fungsi masjid, sangat dimungkinkan untuk

mengelola zakat masyarakat muslim di sekitarnya, bahkan hal itu merupakan

inisiatif yang baik untuk menggalang dana zakat dan menyalurkannya kepada yang

berhak. Hanya saja, di sisi yang lain, masjid harus membuka diri dan berusaha

mengikuti regulasi yang berlaku dalam hal pengelolaan zakat, karena telah diatur

dalam undang-undang tersendiri serta peraturan-peraturan turunannya168

.

Seiring berkembangnya zaman, kita tidak bisa menutup mata dan harus

menyadari bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan secara tradisional seperti yang

dilakukan di masjid-masjid haruslah bertransformasi secara bertahap untuk berupaya

menyesuaikan praktiknya dengan regulasi yang ada, yang menghendaki pengelolaan

zakat dilakukan secara tepat sesuai syariat Islam, profesional, amanah, akuntabel,

memiliki kepastian hukum, juga terintegritas169

guna mencapai tujuan dalam

meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.

Hasil temuan yang penulis dapatkan di lapangan ketika mengobservasi dan

mewawancarai langsung para DKM yang melakukan penerimaan dan penyaluran

zakat di wilayah kecamatan Pancoran ada beberapa aspek fikih yang perlu analisis

lebih jauh, karena selama ini diyakini para DKM konsep fikih zakat yang mereka

pahami adalah sesuatu yang rigid dan harus dilaksanakan seperti itu adanya

sehingga cenderung stagnan dan tidak mengalami perkembangan dalam memberikan

dampak serta manfaat bagi para penerima zakat170

.

Penulis akan uraikan satu persatu aspek pemahaman fikih zakat para DKM

yang akan dianalisis sebagai berikut:

1. Memahami Hakikat Amil Zakat

Para DKM yang penulis wawancarai semuanya menjawab hal yang serupa

ketika ditanya siapakah amil zakat. Menurut pemahaman sederhana mereka, amil

zakat adalah petugas khusus yang dibentuk untuk menangani seluruh rangkaian

pengelolaan zakat. Mereka tidak secara detail membedakan, siapa yang harus

membentuk atau mengangkat amil zakat tersebut, sehingga mereka mudah saja

mengatakan bahwasanya amil zakat pun adalah petugas yang dibentuk atau dipilih

DKM untuk mengelola zakat di masjid mereka171

.

168

Hasil wawancara penulis dengan Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid

Kementerian Agama Republik Indonesia pada 08 Juli 2019. 169

Sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat yang menyebutkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia harus

berasaskan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegritas, dan

akuntabilitas. 170

Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,

Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid

Nurullah. 171

Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,

Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid

Nurullah.

Page 92: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

77

Pemahaman semacam itu tidaklah keliru jika yang menjadi fokusnya adalah

fungsi dan tugas amil dalam pengelolaan zakat, tetapi menjadi hal yang kurang tepat

dan tidak kuat jika dihadapkan kepada nilai-nilai hukum posistif yang berlaku di

Indonesia yang bersumber dari peraturan perundang-undangan serta turunanya.

Mengacu pada literatur fikih, yang dimaksud dengan amil zakat secara

umum adalah petugas khusus yang mengelola zakat mulai dari pendataan,

pengimpunan, pengambilan, pencatatan, pendistribusian, pendayagunaan, serta

pelaporan. Akan tetapi, pada beberapa pengertian, disertakan juga pembatasan

kewenangan pembentukan amil yaitu oleh pemerintahan Islam (dalam fikih klasik

sering disebut Imam atau Sult}a>n), jadi tidak semua pihak dapat menunjuk dan

menugaskan beberapa orang sebagai amil zakat, tetapi melalui kewenangan

pemerintahan lah mandat amil zakat itu dilaksanakan, dalam konteks saat ini negara

yang mengambil peranan tersebut melalui presiden ataupun pejabat yang ditunjuk.

Berikut adalah beberapa pengertian amil zakat dalam literatur Islam

السعي في جمع الصدقات وكل من يصرف من و أما العامل فهو الرجل الذي يستنيبو الإمام في عون لا يستغنى عنو فهو من العاملين

“Amil adalah orang yang ditugaskan oleh Imam untuk menggantikannya dalam

upaya pengumpulan zakat, dan setiap orang yang bekerja dalam membantu amil

yang pasti dibutuhkannya, maka statusnya juga termasuk amil172

.”

و العامل من استعملو الإمام على أخذ الصدقات و دفعها إلى مستحقها“Amil adalah orang yang ditugaskan oleh Imam untuk mengambil zakat dan

mendistribusikannya kepada orang yang berhak (mustahik)173

Frasa al-„amilin „alaiha (amil zakat) yang juga merupakan ayat Alquran

ditafsirkan oleh Mutawalli> al-Sha’ra>wi> (w. 1998) sebagai berikut:

والعامل على جمع الصدقة إنما يعمل لصالح الدولة الإيمانية، فهو يجمع الصدقات ويعطيها للحاكم أو الوالي الذي يوزعها. وفي ىذا مصلحة لمجتمع المسلمين كلو.

Amil yang mengumpulkan sedekah (amil zakat) hanyalah melaksanakan tugas untuk

kemaslahatan sebuah negara yang penduduknya beriman, dia mengumpulkan zakat

dan memberikannya kepada hakim atau wali (pemerintah) yang membagikannya,

dalam hal ini terdapat kemaslahatan bagi masyarakat muslim secara umum174

.

Pengertian amil zakat yang lebih komprehensif diungkapkan juga oleh

ulama kontemporer seperti Wahbah al-Zuhayli>175

(w. 2015) yaitu:

172

„Abd al-H{aq ibn Gha>lib al-Andalu>si>, al-Muh}arrar al-Waji>z Fi> Tafsi>r al-Kita>b al-‘Azi>z

(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001) jilid 3, 49. 173173

Muh{ammad ibn Qa>sim, Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>z} al-Taqri>b (Beirut: Da>r

ibn H{azm, 2005), 133. 174

Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>, Al-Tafsi>r al-Sha’ra>wi> (Kairo: Mat}a>bi’ Akhba>r Al-

Yaum, 1997), Juz 9, 5222. 175

Wahbah al-Zuhayli (1932-2015) merupakan ulama Islam kontemporer sunni bermazhab

sha>fi’i> berasal dari Suriah. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu seperti fikih

Page 93: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

78

أو العاملون على الزكاة: ىم كل من يعينهم أولياء الأمور في الدول الإسلامية أو يرخصون لهم تختارىم الهيئات المعترف بها من السلطة أو من المجتمعات الإسلامية للقيام بجمع الزكاة وتوزيعها

وما يتعلق بذلك من توعية بأحكام الزكاة وتعريف بأرباب الأموال وبالمستحقين ونقل وتخزين وحفظ وتنمية واستثمار ضمن الضوابط والقيود

Al-‘a>milu>n ‘ala> al-Zaka>h adalah setiap orang yang telah ditentukan oleh ulul amri

(pemerintah) dalam negara Isla>miyyah atau mereka yang diberi izin, atau dipilih

oleh lembaga yang berwenang atau lembaga Islam untuk menjalankan tugas dalam

rangka menghimpun zakat, mendistribusikannya, dan segala sesuatu yang terkait

dengan tugas tersebut seperti menjalankan hukum-hukum zakat, menentukan

sumber-sumber dana zakat serta para mustahik, memindahkan dana zakat ke

wilayah lain, menyimpan dan menjaga dana zakat, serta mengembangkannya dalam

investasi yang sesuai dengan batasan-batasan yang telah diatur176

.

Pengertian senada juga bisa ditemukan pada fatwa MUI No. 8 Tahun 2011

tentang amil zakat yang mendefinisikannya dalam dua poin, yaitu:

a. Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah untuk

mengelola pelaksanaan ibadah zakat; atau

b. Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan

disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.

Kedua poin fatwa MUI tentang amil zakat tersebut sama-sama memiliki titik

penegasan pada peran “pemerintah” dalam kaitannya dengan pengangkatan serta

pengesahan amil zakat177

.

Beberapa pengertian tersebut mengindikasikan secara kuat bahwasanya

peran pemerintah memang diperlukan dalam pengelolaan zakat untuk aspek legalitas

pengelolaan zakat guna memastikan posisi yuridis yang jelas dan berkekuatan

hukum sebagai konsekuensi kehadiran undang-undang tentang pengelolaan zakat di

Indonesia.

Beberapa kelompok masyarakat muslim yang konsen terhadap aspek

legalitas fikih seperti Nahdlatul Ulama (NU) telah menyadari dan membedakan

secara jelas bahwa amil zakat tidaklah sama dengan panitia/petugas zakat. Beberapa

hasil bahsul masail NU mengungkapkan hal tersebut lengkap dengan implikasi

hukum fikih yang akan timbul ketika zakat ditunaikan melalui amil ataupun

disalurkan melalui panitai/petugas zakat seperti yang dilaksanakan oleh Pengurus

Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tahun 2014 maupun dalam acara

perbandingan, usul al-fiqh dan tafsir, yang beliau tulis dalam karya-karya di bidang tersebut

seperti al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu: al-Sha>mil Li al-Adillah al-Shar’iyyah wa al-A<ra> al-

Madhhabiyyah wa Ahamm al-Naz}ariyya>t al-Fiqhiyyah wa Tah}qi>q al-Ah}a>di>th al-

Nabawiyyah wa Takhri>-juha>, al-Waji>z Fi> Us{u>l al-Fiqh, al-Tafsi>r al-Wasi>t}, al-Tafsi>r al-

Muni>r, dan lain sebagainya. 176

Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), jilid

10, 7943. 177

Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat

Page 94: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

79

bahsul masail Musyarawah Nasional (Munas) dan Konfrensi Besar (Konbes)

Nahdlatul Ulama di Lombok pada 23-25 November 2017.

Amil zakat yang sesuai dengan syariat dan perundang-undangan di

Indonesia paling tidak ada 3 kelompok, yaitu 1) BAZNAS/BAZNAS

Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota yang masing-masing diangkat oleh Presiden,

Gubernur, dan Bupati/Walikota, 2) LAZ tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota

yang masing-masing diberi izin oleh Menteri Agama, Direktur Jendral, dan Kepala

Kantor Wilayah Kementerian Agama, serta 3) Amil zakat perseorangan juga

perkumpulan orang yang berada di wilayah yang belum dijangkau oleh BAZNAS

atau LAZ, maka mereka diakui sebagai amil dengan syarat memberitahukan secara

tertulis pengelolaan zakat yang dilakukan kepada Kantor Urusan Agama (KUA)

setempat.

Tabel 9.

Pengelola Zakat di Indonesia yang sesuai Undang-Undang Pengelolaan Zakat178

Amil Zakat

Pemerintah Diangkat

oleh

Amil Zakat

Masyarakat Diberi izin

oleh

Amil Zakat

Tradisional Diakui

BAZNAS Presiden

atas usul

Menteri

LAZ skala

Nasional

Menteri

Agama

Amil Zakat

Perseorangan

atau

Perkumpulan

Orang dalam

Masyarakat

Di tempat

yang belum

dijangkau

BAZNAS

maupun LAZ,

dan

Memberitahu-

kan secara

tertulis kepada

KUA

Kecamatan

setempat

BAZNAS

Provinsi

Gubernur LAZ skala

Provinsi

Direktur

Jendral Zakat

BAZNAS

Kabupaten/

Kota

Bupati/

Walikota

LAZ skala

Kabupaten/

Kota

Kepala

Kantor

Wilayah

Kementerian

Agama

Provinsi

Kelompok pertama dan kedua sama-sama bisa menurunkan legalitas

pengumpul zakat yang dibentuk di bawah koordinasinya, misalkan

BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota dapat membentuk UPZ

dengan Surat Keputusan (SK) Ketua BAZNAS di masing-masing tingkatan maka

UPZ tersebut juga termasuk ke dalam golongan amil zakat. Begitu juga LAZ tingkat

Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota bisa menggandeng mitra atau jaringan

pengumpul zakat yang kemudian diberikan SK jelas pengangkatannya, maka

mereka juga masuk dalam kategori amil zakat yang syar‟i.

Berbeda dengan kelompok ketiga yang tidak memiliki kewenangan untuk

membentuk satuan lain, karena statusnya pun hanya diakui. Pengakuan ini penting

secara yuridis karena jika tidak maka masyarakat muslim yang ada di wilayah

kategori tersebut sulit untuk menunaikan zakatnya. Pembatasan hak warga negara

178

Diolah dari sumber utama; Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 pasal 5 ayat (2),

pasal 36 ayat (1), pasal 43 ayat (1), pasal 59, dan pasal 66.

Page 95: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

80

dalam melaksanakan ajaran agamanya, dalam hal ini adalah zakat, merupakan

tindakan yang melawan konstitusi179

.

Amil tipe ketiga ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh undang-undang,

karena pengelolaan zakat yang dicita-citakan adalah pengelolaan yang profesional

yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga zakat resmi baik dari pemerintah maupun

masyarakat muslim Indonesia. Pengakuan eksistensi amil semacam ini muncul

mengingat kondisi geografis di tempat tertentu masih memungkinkan kekosongan

peran BAZNAS atau LAZ sehingga untuk tetap menjaga nilai konstitusi yang

menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, mau tidak

mau harus ada upaya pengakuan yang ditegaskan dalam peraturan.

Nilai kesesuian amil yang syar‟i tidak terlepas dari 2 hal, yaitu sesuai secara

syariat juga sesuai secara aturan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga ketika

keduanya atau salah satunya tidak terpenuhi, belum bisa dikategorikan sebagai amil

zakat yang sesungguhnya seperti halnya yang marak dipraktikkan oleh pihak-pihak

tertentu, masjid misalnya.

Mengacu kepada dua hal di atas, harus penulis akui bahwa pengelolaan

zakat yang dilakukan oleh masjid-masjid yang tidak berada dalam koordinasi atau

naungan lembaga amil zakat yang resmi, belum bisa dikatakan sesuai dengan aturan.

hukum, meskipun nilai ibadah zakatnya tetap sah secara fikih, akan tetapi ada

beberapa catatan bagi para pengelola zakat tersebut yang harus diperhatikan.

Secara fikih, amil yang belum syar‟i berbeda ketentuannya dengan amil

yang syar‟i (secara syariat Islam dan aturan hukum), di antara perbedaan yang

substansial adalah sebagai berikut:

a. Amil yang syar‟i statusnya sebagai naib (pengganti) mustahik, seperti

halnya jika ditunaikan melalui Imam, sehingga jika ada penyelewengan

yang dilakukan atas zakat tersebut, kewajiban muzaki tetap gugur dan

dianggap selesai dengan hanya menyerahkan zakatnya kepada amil

tersebut. Berbeda kondisinya jika zakat ditunaikan melalui amil yang

belum syar‟i, seperti petugas atau panitia zakat yang dalam hal ini

statusnya sebagai wakil dari muzaki, sehingga jika terjadi

penyalahgunaan dalam pengelolaannya, maka kewajiban zakat muzaki

belum gugur.

b. Amil syar‟i berhak mengambil sebagian harta zakat sebagai biaya

operasional bila dibutuhkan, sedangkan amil yang belum syar‟i tidak

berhak.

c. Amil syar‟i berhak mendapatkan bagian zakat atas nama amil zakat,

sementara amil yang belum syar‟i tidak berhak.

Ketentuan tersebut disarikan dari pendapat salah satu mujtahid mazhab

Syafi‟i yaitu Imam Nawawi180

(w. 1277) yang redaksinya sebagai berikut:

179

Klausul ini muncul setelah Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Zakat diuji materiil di Mahkamah Konstitusi sehingga putusannya kemudian menambahkan

poin tersendiri tentang pengakuan amil zakat perseorangan ataupun perkumpulan orang

dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No, 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Page 96: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

81

وكيل بلا خلاف لأنو على ث قة من في ب يان الأفضل قال أصحاب نا ت فريقو بن فسو أفضل من الت لاف الوكيل وعلى ت قدير خيانة الو كيل لا يسقط الفرض عن المالك لأن يده كيده ت فريقو ب

مام فإن لاف دفعها إلى الإ ة المالك ب رأ ذم ين لا ت ب و بجرد فما ل يصل المال إلى المستحق ق بضو تسقط الزكاة عن المالك

Penulis meyakini meskipun pemahaman DKM terhadap makna amil zakat

belum komprehensif, praktik pengelolaan zakat yang telah berlangsung di

masyarakat tetap memegang teguh amanah dalam menghimpun dan menyalurkan

zakat kepada yang berhak, sehingga jika dikaitkan dengan amil yang belum syar‟i

karena statusnya sebagai wakil dari muzaki, akad wakalahnya pun ditunaikan

dengan benar dan disampaikan zakatnya sesuai syariat, sehingga kewajiban zakatnya

pun tetap terlaksana dengan sah.

Terlepas dari adanya pembedaan amil syari‟i dan yang belum syar‟i seperti

di atas, dalam praktiknya para panitia zakat di masjid tetap mendapatkan bagian dari

zakat yang dihimpun karena mereka dianggap sebagai amil oleh DKM. Penulis

dalam hal ini menemukan 2 metode pemberian hak amil yang dilakukan oleh DKM

yaitu:

a. Diberikan 1/8 dari total zakat yang dihimpun

b. Diberikan nominal tertentu yang diambil dari dana operasional masjid

Penulis lebih cenderung berpendapat bahwasanya petugas zakat -yang

secara syariat dan hukum positif belum memenuhi syarat- mendapatkan haknya

berupa upah atas pekerjaan yang dilakukan yaitu berupa nominal tertentu yang

diambil dari kas masjid, bukan dari dana zakat yang terkumpul. Hal itu dikarenakan,

tugas yang dijalankan panitia/petugas zakat di masjid tidak menggambarkan

kompleksitas tugas dan kewajiban amil zakat yang sesungguhnya, meskipun fungsi

utama petugas penerima dan penyalur memang dilakukan.

2. Penentuan Mustahik yang Tepat

Memastikan penerima zakat adalah mustahik yang benar-benar berhak

adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan bagi muzaki maupun amil zakat.

Ketepatan sasaran penerima manfaat zakat berkaitan langsung tidak hanya secara

keabsahan penyaluran zakat yang penerimanya telah ditentukan oleh syariat, tetapi

juga dengan keadilan sosial untuk memberikan sesuatu kepada orang yang memang

berhak mendapatkannya.

Penerima zakat sebagaimana telah kita ketahui bersama terdiri dari 8

golongan181

, 1 golongan tidak lagi ditemukan eksistensinya di zaman saat ini yaitu

Riqab, jadilah tersisa 7 golongan. Sesuai urutan penyebutan mustahik yang ada

180

Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n Yah{ya ibn Sharaf al-Nawawi. Al-Majmu>’ Sharh{ al-Muhadhdhab (Beirut: Da>r al-Fikr,1996 ) jilid 6, 165. 181

Alquran Surat al-Taubah ayat 60.

Page 97: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

82

dalam nash Alquran, kita dapati bahwa golongan fakir dan miskin ada di urutan awal

yang menandakan prioritas keberhakkan mereka atas zakat182

.

Zakat yang terkumpul di masjid, umumnya hanya didistribusikan kepada 3

golongan mustahik, yaitu fakir, miskin, dan petugas zakat yang mereka sebut amil

zakat. Penulis menemukan mekanisme yang sama ketika DKM menentukan

mustahik untuk membagikan zakat yang telah mereka kumpulkan, yaitu

berkoordinasi dengan ketua RT setempat. Biasanya ketua RT akan mengajukan

nama-nama tertentu yang menurutnya layak dan berhak mendapatkan zakat karena

termasuk fakir atau miskin. Tidak semua nama-nama yang diajukan diterima, tetapi

ada proses pemilahan lebih lanjut, bahkan ada yang mensurvei secara langsung ke

rumah nama-nama yang bersangkutan untuk memastikan kebenaran kondisi fakir

atau miskinnya183

.

Dalam menentukan fakir dan miskin, jika mengacu kepada pengertian

fuqaha, akan ditemukan berbagai macam definisi. Menurut Abu Yusuf dari Mazhab

Hanafi, miskin lebih sulit keadaannya dan lebih membutuhkan dari pada fakir

karena miskin meminta-minta tapi fakir tidak, sedangkan menurut Qatadah, fakir

adalah orang yang kelaparan atau terkena musibah dan sangat membutuhkan dan

miskin adalah orang yang membutuhkan tidak dalam kondisi kelaparan atau

musibah, oleh karenanya fakir lebih membutuhkan dari pada miskin184

.

Meskipun ada perbedaan definisi secara bahasa, pada hakikatnya kedua kata

tersebut memiliki makna yang sama, yaitu seseorang yang membutuhkan bantuan

untuk kelangsungan hidupnya sehingga keduanya benar-benar menjadi prioritas

dalam menerima zakat185

.

Semakin berkembangnya zaman, ada beberapa kondisi yang menuntut kita

untuk objektif dalam menilai sesuatu yang definitif. Penjelasan atau pengertian yang

sifatnya kualitatif kurang menjadi acuan yang definitif dalam menentukan suatu hal,

lalu ukuran kuantitatif yang tergambarkan melalui angka-angka dipandang menjadi

pilihan yang lebih objektif dan dapat diukur untuk mendapatkan kesamaan definisi.

Maka berbagai macam cara kini dilakukan untuk mengkuantifikasi hal-hal yang

pada dasarnya bersifat kualitatif, salah satunya yang berkaitan dengan zakat adalah

kondisi fakir dan miskin.

182

Ibn Qudda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> Li ibn Qudda>mah (Kairo: Maktabah al-Qa>hirah,

1968), Jilid 6, 469. Penggunaan huruf Lam pada kata Fakir kemudian disambung ke 3

golongan berikutnya dalam pembahasan gramatika bahasa Arab berbeda dengan penggunaan

huruf Fi dalam penyebutan 4 golongan sisanya. Lam dalam ayat tersebut berfaidah untuk

menjelaskan al-tamli>k bahwasanya zakat memang milik orang fakir miskin dan seterusnya.

Lihat Najmuddi>n Ra>ji>. H{arf al-La>m wa Istikhda>ma>tuhu Fi al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo:

Shams Li al-Nashr wa al-Tauzi>‘,2007), 16. 183

Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,

Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid

Nurullah. 184

Ala>’uddi>n al-Kassa>ni>, Bada>’i al-S}ana>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1986) jilid 2, 43. 185

Abu> al-Wali>d Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtas}id (Kairo: Da>r al-

Hadi>th, 2004), jilid 2, 38.

Page 98: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

83

Definisi kuantitatif sebenarnya telah dipakai juga dalam syariah zakat untuk

menentukan batas-batas minimal harta yang telah wajib dizakati yang dalam

terminologi fikih disebut nis}a>b, misalkan nis}a>b emas dimulai ketika mencapai 85

gram186

, kemudian kadar pengeluaran zakat juga sudah ditentukan besarannya

berdasarkan hadis-hadis Rasulullah yang bersifat qat}’i> dan nilainya tetap sepanjang

waktu; dua koma lima persen (2,5 %)187

untuk zakat emas dan perak, dan zakat

perniagaan, sepuluh persen (10 %) untuk zakat pertanian yang hanya mengandalkan

air hujan atau aliran sungai tanpa pengeluaran khusus dan lima persen (5 %) untuk

zakat pertanian yang pengairannya membutuhkan biaya untuk irigasi khusus188

.

Angka-angka semacam ini tidak dijelaskan oleh nabi dalam hadisnya ketika

menentukan kriteria fakir atau miskin, karena belum dibutuhkan ukuran-ukuran

kuantitatif saat itu. Mengukur kefakiran atau kemiskinan ketika itu banyak bertumpu

pada penggambaran kualitas hidup yang salah satu cirinya adalah tidak bisa

mencukupi keperluan sehari-hari. Pengukuran semacam ini terus menerus dipakai

sehingga saat ini. Di sisi lain, menentukan fakir atau miskin yang hanya

mengandalkan penilaian kualitatif, tidak dapat menghindarkan kita dari

ketidakseragaman kriteria fakir dan miskin, sehingga kondisi ini menuntut

penetapan standar yang jelas untuk menilai kefakiran atau kemiskinan seseorang.

Di Indonesia, ada satu badan khusus yang menangani segala urusan yang

berkaitan dengan data-data yang disajikan dalam angka (statistik), yaitu Badan Pusat

Statistik (BPS). Data kemiskinan masyarakat di Indonesia dikumpulkan oleh BPS

melalui program Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang terfokus pada

konsumsi dan pengeluaran. BPS menggunakan pendekatan konsep kebutuhan dasar

(basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan, sehingga kemiskinan

dipandang sebagai ketidakmampunan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan

dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.

Garis kemiskinan (GK) yang BPS tentukan merupakan akumulasi dari Garis

Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan non-Makanan (GKNM). GKM

adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yaitu setara dengan 2100

kilo kalori per kapita per hari, sedangkan GKNM adalah nilai minimum pengeluaran

untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan

makanan lainnya. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per

bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

BPS menetapkan GKM sebesar Rp. 313.232 (Tiga Ratus Tiga Belas Ribu

Dua Ratus Tiga Puluh Dua Rupiah) yaitu sebesar 73,66% dan GKNM sebesar Rp.

112.018 (Seratus Dua Belas Ribu Delapan Belas Rupiah) yaitu sebesar 26,34 %.

186

Satuan yang disebutkan dalam hadis tentang nisab zakat emas adalah 20 Dinar lihat dalam

Abu> Da>wu>d Sulayma>n al-Sijista>ni. Sunan Abi> Da>wu>d (Beirut: al-Maktabah al-„As}riyyah, )

hadis no. 1573 dan Abu> ‘Abdulla>h Muh{ammad ibn Yazi>d Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Ma>jah (Da>r

Ih{ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah) hadis no.1791. 187

Dalam redaksi hadis disebutkan Rub‟ al-Ushr yaitu seperempat dari sepersepuluh yaitu

sama dengan 2,5 % seperti yang disebutkan dalam S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> hadis no. 1454. 188

Kadar zakat yang dikeluarkan untuk zakat pertanian seperti yang disebutkan dalam hadis

S{ah{i>h{ Muslim no. 981 adalah al-‘Ushr dan Nis}f al-‘Ushr.

Page 99: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

84

Sehingga Garis Kemiskinan per Maret 2019 berada di angka Rp. 425.250 (Empat

Ratus Dua Puluh Lima Ribu Dua Ratus Lima Puluh Rupiah)/kapita/bulan189

.

Secara rata-rata 1 rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,68 anggota

rumah tangga, sehingga suatu rumah tangga dianggap masuk dalam kategori miskin

jika pengeluaran minimumnya berada di bawah Rp. 1.990.170 (Satu Juta Sembilan

Ratus Sembilan Puluh Ribu Seratus Tujuh Puluh Rupiah)/rumah tangga

miskin/bulan190

. Pengeluaran minimum yang dimaksud adalah ketidakmampuan

memenuhi kebutuhan hidup baik yang berupa makanan maupun non makanan,

bukan karena pola hidup berhemat dan sederhana yang dilakukan suatu rumah

tangga, karena bisa dimungkinkan pengeluaran bulanannya berada di bawah garis

kemiskinan tetapi tabungan uang atau rekening yang dimiliki bisa mencukupi

bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama sebulan.

Standar penentuan kemiskinan seseorang atau rumah tangga yang mengacu

pada nilai-nilai pasti semacam ini haruslah dipahami oleh pengelola zakat dalam

mendistribusikan zakat yang dikumpulkan, hal demikian dapat membantu mereka

dalam memastikan keberhakkan mustahik terhadap zakat, sehingga zakat benar-

benar diberikan dan disalurkan kepada yang berhak.

3. Zakat Fitrah menggunakan Nominal Uang

Masjid-masjid perkotaan yang penulis teliti dalam hal penerimaan zakat

fitrah lebih fleksibel, jika muzaki berzakat dengan menggunakan beras mereka

terima, atau pun jika zakatnya berupa uang tunai DKM tidak menolak. Itu artinya

mereka tidak mempermasalahkan bentuk zakat fitrah, meskipun pada masjid

Nurullah pada akhirnya uang tunai sebagai zakat fitrah tersebut akan dibelikan

beras, sehingga pendistribusian zakat fitrahnya berupa beras seluruhnya. Sementara

di 5 masjid lainnya, uang tunai tetap dibagikan sebagai zakat fitrah, jadi mustahik

menerima beras dan uang tunai dengan nilai tertentu191

.

Zakat Fitrah merupakan jenis zakat yang diwajibkan kepada seluruh muslim

baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil hingga orang tua, yang masih hidup di

hari terakhir bulan Ramadan (terhitung 1 syawal setelah mata hari tenggelam)

dengan mengeluarkan zakat berupa makanan pokok sebesar 1 sha>’192

. Sebagaimana

hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar193

189

Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik -Edisi 15 Juli 2019- (Jakarta: BPS Pusat,

2019), 38. 190

Diperoleh dari perkalian nilai Garis Kemiskinan dengan jumlah rata-rata anggota rumah

tangga miskin. 191

Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,

Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid

Nurullah. 192

Definisi S{a>‘ yang dikenal pada zaman Nabi adalah sama dengan 4 mud. Adapun 1 Mud

setara dengan isi cakupan penuh dua telapak tangan orang dewasa. Ukuran mud yang tidak

definitif ini menyebabkan perbedaan dalam penentuan kadar zakat fitrah di antara mazhab

fikih, karena setiap mazhab punya dasar perhitungannya masing-masing. 193

Muslim ibn H{ajja>j al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h{ Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura<>th al-‘Arabi>,

1955) No Hadis 925.

Page 100: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

85

، عن ابن عمر: أن رسول الله صلى الله عليو وسلم ف رض زكاة الفطر من رمضان على الناس المسلمين صاعا من تر، أو صاعا من شعير، على كل حر أو عبد، ذكر أو أن ثى، من

Makanan pokok bangsa Arab ketika itu adalah kurma, gandung, tetapi di

Indonesia makanan pokoknya adalah beras. Makanan pokok dijadikan syarat untuk

pengeluaran zakat fitrah sebenarnya untuk memastikan kebutuhan pokok berupa

makanan mampu dicukupi oleh mustahik untuk juga merayakan hari raya Idul Fitri.

Sedari dahulu telah ditemukan ulama yang mengandaikan jika zakat fitrah

dikeluarkan tidak dalam bentuk makanan pokok, melainkan dengan nominal

harganya (qi>mah) dalam mata uang.

Di antara pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam

bentuk nominal uang adalah mazhab Hanafi. Mereka berdalil bahwa Nabi saw. tidak

pernah sekalipun mengharamkan penunaian zakat fitrah dengan uang, sehingga hal

tersebut diperbolehkan. Hakikat kewajiban zakat fitrah menurut mazhab Hanafi

adalah dalam rangka ighna>’194

(mencukupkan) orang-orang fakir miskin pada hari

raya Idul Fitri, maka zakat fitrah dalam bentuk nominal uang juga bisa memberi

kecukupan yang dimaksud selain dengan makanan pokok, bahkan lebih mudah dan

bermanfaat untuk ditasarrufkan kembali oleh penerima zakat sesuai

kebutuhannya195

.

Sesungguhnya Nabi Muhammad ketika bersabda tentang kewajiban zakat

fitrah, beliau menyebutkan beberapa makanan pokok saat itu yang menjadi pilihan

untuk dikeluarkan sebagai zakat fitrah, sebagaimana hadis berikut196

ر كنا نرجها على عهد رسول الله صلى الله عليو وسلم صاعا من طعام، وكان طعامنا التم ر والزبيب والأقط عي والش

“Pada masa Rasul shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah

sebanyak satu S{a>‘ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma,

gandum, anggur, dan keju.”

Penyebutan makanan tersebut sesungguhnya untuk memudahkan muzaki

dalam menunaikan kewajiban zakat fitrah. Peredaran uang logam berupa dinar dan

dirham kala itu sangat terbatas, hanya dimiliki orang-orang kaya, tidak semua

muslim memilikinya. Di sisi lain, golongan fakir miskin pada masa itu lebih

membutuhkan makanan berupa gandung, kurma, bahkan keju (susu yang

dikeringkan) dari pada dinar atau dirham karena bisa langsung dikonsumsi. Jika

kewajiban zakat fitrah ditunaikan harus dengan uang hal itu tentu memberatkan dan

194

Tujuan yang dimaksud ada dalam hadis أغنوىم في ىذا اليوم lihat Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn

‘Umar al-Da>ruqut}ni>, Sunan al-Da>ruqut}ni> (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2004), jilid 3, no

hadis 2133. 195

Ala>uddi>n Abu> Bakr al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S{a>na>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986) jlid 2, 72-73. 196

Muslim ibn H{ajja>j al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h{ Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura<>th al-‘Arabi>,

1955) No Hadis 985.

Page 101: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

86

menyulitkan, sementara tidak semua orang muslim memilikinya, namun semuanya

berkewajiban untuk menunaikan zakat fitrah.

Oleh karena hal demikian, zakat fitrah berupa makanan lebih memudahkan

bagi muzaki dan juga lebih bermanfaat bagi mustahik kala itu. Bahkan menjadikan

keju (al-Aqut}) sebagai bentuk zakat fitrah bagi para pemilik ternak diperbolehkan,

karena memudahkan mereka yang memiliki susu dari ternaknya untuk dijadikan

keju sebagai salah satu makanan pokok juga.

Menurut Yusuf al-Qaradawi197

alasan lain mengapa zakat fitrah tidak

disyariatkan dengan berupa uang adalah bahwa nilai mata uang akan berubah seiring

berkembangnya zaman, bisa naik dan turun, makanan tertentu akan lebih mahal

harganya di masa mendatang atau bisa jadi lebih murah, sehingga ukuran mata uang

untuk zakat fitrah yang diwajibkan setiap tahun tidaklah tepat. Maka dari itu,

Rasulullah menetapkan ukuran yang pasti dan tidak berubah, yaitu Sha‟ untuk

makanan pokok, meskipun menafsirkan S{a>‘ ulama berbeda pendapat, tapi

setidaknya kadar itu tidak banyak berubah dari masa ke masa.

Pendapat kebolehan menuaikan zakat fitrah jikalau diambil sebagai upaya

mengikuti ijtihad ulama mazhab (taqli>d) seharusnya dilaksanakan dengan konsisten

merujuk kepada ketentuan zakat dalam mazhab Hanafi secara menyeluruh. Apabila

hanya dipraktikkan secara setengah-setengah maka yang terjadi adalah talfi>q yaitu

mencapuradukkan pendapat-pendapat mazhab yang berbeda.

Praktik talfi>q yang dilakukan dalam konteks zakat yang ditemukan di

banyak tempat di Indonesia (tidak hanya di masjid) adalah mengambil pendapat

kebolehan berzakat fitrah dengan uang tunai, tetapi tidak mengacu kepada ketentuan

kadar zakat yang ditetapkan oleh mazhab Hanafi, sebagai mazhab yang

memperbolehkannya, melainkan menggunakan kadar zakat yang diatur dalam

mazhab Sha>fi’i> yang secara kuantitas lebih sedikit jumlahnya.

Hal yang disepakati oleh para ulama mazhab adalah bahwasanya zakat fitrah

wajib dikeluarkan dengan kadar 1 S{a>‘ dari makanan pokok suatu negeri. akan tetapi

tidak ada standar ukuran S{a>‘ yang disepakati oleh mazhab-mazhab tersebut,

sehingga masing-masing mazhab punya ukuran tersendiri. S{a>‘ adalah suatu ukuran

takaran (mikya>l) bukan timbangan (wazn) yang dinisbatkan pada penduduk

Madinah, karena Nabi pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu „Umar

bahwasanya setiap ukuran takaran yang dimaksud adalah takaran menurut penduduk

Madinah, sedangkan ukuran timbangan yang dimaksud adalah timbangan menurut

penduduk Makkah198

.

Satu S{a>‘ yang dimaksud adalah takaran 4 Mud Nabi, karena Mud

merupakan takaran (mikya>l) yang sulit dipindakan ke wilayah lain dalam menakar

sesuatu, maka para ulama berijtihad untuk mengkonversikan Mud dalam berat

timbangan (wazn) yaitu Rit}l. Rit}l merupakan ukuran timbangan yang merujuk pada

penduduk Baghdad, dan mayoritas Fuqaha> menentukan ukuran 1 Mud Nabi setara

197

Diakses melalui laman resmi https://www.al-qaradawi.net/node/4131 pada tanggal 15

Agustus 2019. 198

Lihat Hadis riwayat Imam Abu Dawud no. 3340 dan Imam al-Nasai no. 2520.

Page 102: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

87

dengan Rit}l wa Thuluth (1,3 Rtil)199

sedangkan menurut Mazhab Hanafi 1 Mud

sama dengan 2 Rit}l.

Perbedaan pendapat dalam menentukan kuantitas Mud ini lah menjadi asal

muasal berbedanya kadar 1 S{a>‘. Menurut mazhab Hanafi 1 S{a>‘ sama dengan 8 Ritl

dan berai 1 Ritl sama dengan berat 130 Dirham yang setara dengan 3800 Gram atau

3,8 Kilogram200

. Adapun menurut Jumhu>r Fuqaha> berpedapat bahwasanya 1 S{a>‘

sama dengan 5 1/3 Ritl Iraq yang setara dengan 2176 Gram atau dibulatkan 2,2

Kilogram.

Dalam praktiknya, banyak yang menggabungkan pendapat mazhab dalam

kadar zakat fitrah ini seperti memperbolehkan membayar zakat dengan uang

sebagaimana pendapat mazhab Hanafi tetapi besaran uangnya mengikuti harga dari

kadar zakat mazhab Shafii yaitu membayar Rp. 25.000 (beras 2,5 Kg).

Seharusnya penunaian zakat fitrah dengan uang tunai konsisten dengan

pendapat yang dipilih, jika menunaikannya dengan beras silakan mengikuti kadar

zakat 2,2 Kg jika ingin menunaikannya dengan uang tunai maka sesuaikan dengan

harga beras 3,8 Kg.

Mengutip ketetapan BAZNAS201

tentang kadar zakat fitrah dengan uang

tunai senilai Rp. 40.000 sudahlah tepat dengan memperkirakan harga beras

Rp. 10.000/Kg dan menggunakan kadar 3,8 Kg.

4. Syiar Zakat oleh DKM

Pemahaman fikih zakat seyogyanya tidak hanya diperlukan oleh para

petugas zakat, tetapi semua muslim secara umum terutama muzaki yang telah

memenuhi syarat wajib berzakat. Masjid adalah tempat strategis yang dapat

mengumpulkan banyak jamaah dalam tiap pekannya secara rutin, yaitu ketika

pelaksanaan salat Jumat. Ada korelasi yang kuat antara masjid sebagai sarana

edukasi dan pemahaman tentang zakat bagi muzaki.

Bagi masjid, momen salat Jumat adalah salah satu agenda penting

mingguan, selain sebagai ajang memberikan kenyamanan dan pelayanan yang

maksimal untuk jamaah, DKM yang aktif juga pastinya menggalang dana infak

sedekah melalui berbagai macam cara; bisa melalui kotak infak keliling, ada juga

beberapa petugas keliling yang membawa sebuah kain mengitari seluruh shaf

jamaah sebagaimana yang ditemukan di banyak masjid yang penulis teliti.

Edukasi dan syiar tentang zakat tidak banyak dilakukan oleh masjid selain

di bulan Ramadan, karena memang pada dasarnya mereka tidak melakukan

pengelolaan zakat secara berkelanjutan, hanya di bulan Ramadan saja. Padahal

199

Abu ‘Umar Yu >suf ibn Abdilla>h, al-Ka>fi> Fi> Fiqh Ahl al-Madi>nah (Riya>d}: Maktabah al-

Riya>d} al-Hadi>thah, 1980)103. 200

Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), jilid

3, 2044. Lihat juga di kitab mazhab Hanafi, Ala>uddi>n Abu> Bakr al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S{a>na>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986) jlid 2, 72. 201

Diakses melalui laman https://baznas.go.id/id/zakat-fitrah dan berita yang dirilis di media

www.jawapos.com/nasional/15/05/2019/baznas-tetapkan-zakat-fitrah-rp-40-ribu/%3famp

pada 18 Oktober 2019.

Page 103: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

88

seharusnya fungsi masjid bisa menjadi sangat efektif untuk sarana dakwah dan syiar

tentang zakat kepada masyarakat.

Sebagaimana yang diungkapkan Faisal Qosim202

, materi-materi tentang

zakat jarang sekali diangkat sebagai bahan khutbah Jumat ataupun kajian rutin di

masjid-masjid, sehingga pemahaman masyarakat muslim awam pada umumnya

terhadap syariat zakat tidak komprehensif. Hal tersebut tentu berpengaruh pada

pelaksanaan penunaian zakat muzaki, bagi yang tidak tercerahkan bahwa zakat

seyogyanya ditunaikan melalui amil zakat resmi, mereka akan terus

menyerahkannya langsung kepada mustahik. Meskipun secara fikih, praktik

semacam ini tetap sah, hanya saja tidak sejalan dengan semangat pengelolaan zakat

nasional yang konsen dengan catatan dan laporan penghimpunan zakat, karena hal

ini pula lah data tentang potensi zakat nasional selalu jauh dari nilai realisasinya

karena praktik berzakat langsung kepada mustahik tidak terekam dan tercatat dalam

laporan penghimpunan zakat nasional.

Menanggapi hal tersebut, pihak DKM selama ini memang tidak merinci atau

menentukan tema-tema khutbah Jumat yang akan disampaikan, karena biasanya

diserahkan kepada khotib masing-masing. Adapun dalam kajian rutin mingguan

biasanya DKM membahas kitab tentang aqidah dan akhlak.203

Sementara DKM

Masjid al-Munawwar telah menjadi tempat penyelenggaraan pengajian rutin Majelis

Rasulullah setiap Senin malam yang disebut Jalsatul Ithnayn mengkaji kitab syair

Maulid Nabi, al-Diya al-Lami tentang sirah nabi204

.

Adapun materi kajian tentang kitab fikih, DKM memilih bab ibadah yang

sering dipraktikkan dalam keseharian, seperti salat dan puasa.

B. Pemahaman DKM terhadap Hukum Positif Pengelolaan Zakat

Dalam aspek pemahaman hukum positif pengelolaan zakat, asumsi penulis

yang dibangun sejak awal penelitian mendapatkan pembuktian nyata di lapangan.

Asumsi itu penulis awali dari tidak adanya sinergi dan koordinasi antara masjid-

masjid dan KUA Kecamatan Pancoran dalam hal pengelolaan zakat yang dilakukan,

sehingga ketidaksesuain antara apa yang ditentukan dalam aturan dengan apa yang

ditemukan di lapangan, secara sederhana mengindikasikan belum adanya

pemahaman yang komprehensif dari DKM masjid yang mengelola zakat tentang

hukum positif yang berlaku.

Wilayah perkotaan yang penulis perkirakan akan memunculkan kesesuaian

dengan aturan hukum nyatanya tidak terbukti, karena tidak semata-mata keberadaan

masjid di wilayah kota akan berbanding lurus dengan tingkat kesesuaian mereka

terhadap aturan hukum yang berlaku. Ada beberapa hal yang akan penulis analisis

202

Hasil wawancara penulis dengan Faisal Qosim; Kepala Divisi Layanan Unit Pengumpul

Zakat Nasional Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada 27 Juni 2019. 203

Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid Arrohmaanurrohim

pada tanggal 03 April 2019. 204

Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar

pada tanggal 04 April 2019.

Page 104: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

89

atas temuan-temuan penelitian ini sebagai pendalaman untuk memahami aspek

pemahaman DKM terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia.

Berikut penulis paparkan beberapa aspek aturan hukum yang dipahami oleh

DKM dalam praktik pengelolaan zakat di masjid.

1. Kewajiban Pengelola Zakat

Penulis telah melakukan wawancara dengan pengurus DKM yang memiliki

kewenangan dalam mengambil keputusan di lingkungan internal masjid, seperti

halnya membentuk panitia untuk melakukan tugas pengelolaan zakat selama

Ramadan. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui pemahaman DKM terkait

hukum positif pengelolaan zakat di Indnoesia

Mengenai aspek kewajiban pengelola zakat yang diatur dalam undang-

undang, DKM telah memahami dan mempraktikkan substansi hukum yang juga

sesuai dengan syariat zakat, tetapi tidak dengan hal-hal yang bersifat lebih teknis. Di

antara substansi kewajiban pengelola zakat yang dipahami dan dilaksanakan oleh

DKM dalam mengelola zakat di masjid adalah sebagai berikut:

a. Memberikan Bukti Setoran Zakat (Pasal 23 UU 23/2011)

Sebagai sebuah ibadah yang erat kaitannya dengan pemindahan

kepemilakan harta, bukti tetulis mengenai setoran zakat sangatlah diperlukan untuk

menjadi acuan dalam melaporkan dana yang dikelola, baik masuk maupun keluar.

Hal demikian juga bisa menumbuhkan rasa kepercayaan muzaki kepada pengelola

zakat bahwa dana zakat yang disetorkan dapat dipertanggungjawabkan lebih lanjut.

Bukti setoran zakat yang dipahami DKM berbeda dengan ketentuan bukti

setoran zakat yang diatur dalam undang-undang. Pengelola zakat di masjid memang

benar telah memberikan bukti setoran zakat, tapi hanya berupa kuitansi penerimaan

berstempel DKM yang telah disiapkan oleh panitia untuk diberikan kepada muzaki.

Bukti kuitansi semacam ini tidak memiliki fungsi lebih selain sebagai bukti bahwa

muzaki benar-benar telah menunaikan zakatnya ke masjid tertentu.

Lain halnya dengan bukti setor zakat yang dimaksud dalam undang-undang,

selain sebagai bukti bahwa muzaki telah menunaikan zakatnya, bukti setoran zakat

tersebut bisa digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak205

. Bukti setoran

zakat semacam ini hanya dikeluarkan oleh BAZNAS (di semua tingkatan beserta

UPZ nya) ataupun LAZ yang telah resmi memiliki izin operasional pengelolaan

zakat.

Bukti setoran zakat yang dapat digunakan untuk mengurangi nominal pajak

atas penghasilan merupakan sebuah langkah integrasi antara pajak dan zakat bagi

warga negara Indonesia yang beragama Islam agar menghindari pembayaran ganda.

Meskipun demikian, wajib pajak yang beragama Islam banyak yang tidak

menggunakan cara ini karena ada pandangan yang berkembang di masyarakat

tentang pajak dan zakat, bahwa pajak adalah kewajiban warga negara terhadap

205

Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

Page 105: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

90

negaranya dan zakat adalah kewajiban seorang muslim dalam agamanya, selain

karena tidak adanya informasi ataupun mekanisme pengurangannya yang sulit206

.

Integrasi pajak dan zakat semacam ini banyak digunakan oleh Aparatur Sipil

Negara, tetapi tidak akan dimanfaatkan oleh masyarakat yang penghasilannya tidak

pernah dikenai pajak. Itu artinya kemanfaatan pengurangan pajak ini tidak dirasakan

oleh semua golonan masyarakat, sehingga mereka tidak memiliki pertimbangan

khusus terkait bukti setoran zakat dari pengelola zakat yang akan mereka pilih untuk

menyalurkan zakat mereka, itulah salah satu faktor mengapa pengelola atau panitia

zakat di masjid masih tetap dipilih oleh kebanyakan masyarakat muslim Indonesia

dalam menunaikan zakat mereka.

b. Mendistribusikan Zakat (Pasal 25 UU 23/2011)

Amil Zakat pada hakikatnya memiliki 2 fungsi dasar yang harus dijalankan

yaitu mengumpulkan zakat lalu mendistribusikannya kepada para mustahik. Fungsi

pengumpulan yang melekat pada Amil Zakat bisa bermakna aktif maupun pasif.

Fungsi pengumpulan aktif berarti Amil Zakat langsung menarik dan mendatangi

para muzaki untuk diambil zakatnya, sedangkan fungsi pengumpulan pasif berarti

Amil Zakat hanya menunggu dan menerima penyaluran atau pembayaran zakat oleh

muzaki. Fungsi pengumpulan aktif dalam sejarah Amil Zakat pernah dilakukan di

masa-masa Rasulullah dan sahabat, seiring perkembangan zaman fungsi ini berganti

dengan pengumpulan pasif, karena beberapa faktor utamanya adalah berubahnya

kelembagaan pemerintahan Islam menjadi sebuah negara bangsa.

Amil Zakat di Indonesia pun hanya melakukan fungsi pengumpulan pasif,

yaitu tidak bisa melampaui kewenangannya untuk bertindak lebih jauh dalam

mengumpulkan zakat dari muzaki. Hingga saat ini, pengumpulan zakat yang

dilakukan Amil di Indonesia masih bersifat pasif, meskipun demikian telah banyak

langkah-langkah persuasif dan inistaif yang dilakukan untuk menarik simpati dan

kesadaran muzaki agar menunaikan zakatnya di lembaga-lembaga pengelola zakat

yang resmi. Upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka mengaktifkan fungsi

pengumpulan melalui mekanisme penarikan langsung oleh institusi terkait terhadap

zakat pegawainya terbukti mendapat beragam respon penolakan karena dianggap

memaksa dan tidak tepat sasaran207

.

Selain fungsi pengumpulan, Amil Zakat wajib melaksanakan fungsi

pendistribusian atau penyaluran. Jika fungsi pengumpulan bersinggungan langsung

dengan muzaki, maka fungsi pendistribusian akan sangat terkait dengan mustahik

sebagai penerima utama dari zakat yang telah dikumpulkan. Beberapa muzaki

memasrahkan penyaluran zakat mereka kepada Amil Zakat, tetapi ada juga yang

meminta agar zakatnya diperuntukkan secara khusus kepada golongan yang muzaki

tentukan bahkan secara spesifik individunya sebagaimana yang diikrarkan muzaki.

206

Sudirman, “Goverment Policy on Zakat and Tax in Indonesia” Ahkam Jurnal Ilmu

Syariah 15 no. 1 (2015): 1-14 207

Heru Susetyo, “Contestation Between State And Non-State Actors In Zakah Management

In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546.

Page 106: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

91

Dalam konteks pengelola zakat di masjid, semua DKM yang penulis

wawancarai memahami dengan penuh keyakinan bahwa zakat yang mereka

kumpulkan di masjid wajib disalurkan kepada mustahik. Kewajiban tersebut mereka

pahami dari fikih zakat maupun undang-undang pengelolaan zakat yang ada. Dalam

aspek ini, pendistribusian zakat yang dilakukan diakui oleh DKM meningkat

kuantitasnya dari tahun ke tahun, hanya saja memang belum ada peningkatan atau

inovasi penyaluran dari sisi kualitasnya; zakat selalu didistribusikan secara

konsumtif tradisional.

c. Melaporkan Kegiatan Pengelolaan Zakat (Pasal 29 UU 23/2011)

Aspek pencatatan merupakan salah satu fungsi yang juga harus dilakukan

oleh Amil Zakat sebagai upaya evaluasi berkelanjutan untuk mengukur keberhasilan

pengelolaan zakat yang dilakukan. Berbeda dengan aspek pencatatan, pelaporan

merupakan hal lain yang jarang diperhatikan oleh pengelola zakat di masjid.

Secara regulasi, lembaga-lembaga yang telah resmi mendapatkan izin

operasional dalam melakukan pengelolaan zakat akan terikat dengan kewajiban-

kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang pengelolaan zakat. Salah satu

poin kewajiban itu adalah melaporkan kegiatan pengelolaan zakat ke BAZNAS

sesuai tingkatannya.

Pengelola zakat di masjid yang belum bergabung menjadi UPZ atau mitra

LAZ masuk dalam kategori amil zakat perkumpulan orang yang sebenarnya secara

ketentuan hanya untuk wilayah yang belum dijangkau oleh BAZNAS maupun LAZ.

Dalam kondisi seperti tersebut, amil perkumpulan orang juga harus melaporkan

kegiatan pengelolaan zakatnya kepada Kantor Urusan Agama di kecamatan

setempat.

Menurut hasil wawancara peneliti kepada DKM masjid yang melakukan

pengelolaan zakat208

, mereka tidak sama sekali berkoordinasi dengan pihak eksternal

masjid, terutama KUA yang sebenarnya ditugaskan untuk menerima laporan

pengelolaan yang dilakukan amil zakat perorangan atau perkumpulan orang.

Pada dasarnya fungsi dari pelaporan atau pemberitahuan tentang kegiatan

pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid kepada KUA setempat adalah untuk

kepentingan administrasi dan data yang akan direkapitulasi kemudian menjadi entri

data penghimpunan zakat secara nasional yang dilakukan BAZNAS ataupun

Kementerian Agama. Sebanyak apapun dana zakat yang berhasil dihimpun oleh

masjid-masjid di Indonesia selama Ramadan, jika laporannya tidak disampaikan

kepada pihak yang berwenang, maka realisasi dana zakat yang dihimpun akan selalu

ditemukan ketimpangan dengan kalkulasi potensi dana zakat yang ada di masyarakat

muslim Indonesia.

208

DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid Al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim,

Masjid Al-Munawwar, dan Masjid Jami an-Nur Durentiga.

Page 107: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

92

2. Aspek Legalitas

Semua DKM yang penulis wawancarai mengaku mengetahui telah adanya

undang-undang tentang pengelolaan zakat, tetapi secara implisit mereka tidak

merasa harus mengikuti dan mematuhi isi undang-undang ataupun peraturan terkait

tentang pengelolaan zakat. Hal ini dilatarbelakangi pemahaman mereka yang

menganggap bahwasanya aturan-aturan tersebut hanya berlaku dan mengikat bagi

pengelola zakat yang diangkat atau disahkan pemerintah, sedangkan mereka tidak209

.

Tidak adanya pengesahan ataupun pengangkatan resmi sebagai amil zakat

dari pihak pemerintah kepada DKM dalam pengelolaan zakat di masjid, menjadikan

mereka tidak merasa harus mematuhi aturan-aturan yang ada, karena tidak ada

kontribusi apapun yang mereka terima dari pihak pemerintahan dalam hal

pengelolaan zakat. Unsur pemerintahan yang terkait dalam hal ini adalah Kantor

Urusan Agama Kecamatan Pancoran.

Ungkapan para DKM ini menggambarkan tidak padunya koordinasi dan

komunikasi antara KUA dan masjid di lapangan dalam hal pengelolaan zakat.

Penyuluh yang ada di KUA Kecamatan Pancoran selama ini banyak memberikan

penyuluhan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang terkait mewujudkan dan

membina keluarga sakinah. Penulis juga telah memastikan bahwasanya pihak KUA

tidak melakukan koordinasi khusus dalam hal pengelolaan zakat dengan masjid-

masjid, mereka mengungkapkan tidak ingin mengintervensi kegiatan-kegiatan yang

sudah menjadi tradisi baik di masyarakat. Adapun jika ada pihak masjid yang ingin

dibantu untuk mengurus izin menjadi UPZ resmi, pihak KUA siap melayani210

.

3. Peran Pemerintah

Ketika penulis mewawancarai DKM mengenai peran pemerintah dalam

aturan hukum pengelolaan zakat, mereka menjawab bahwasanya pemerintah

memang memiliki kewenangan mengatur dan mengeluarkan regulasi tentang

pengelolaan zakat hanya saja pemerintah harus sadar bahwa memberlakukan

peraturan yang baru harus melibatkan banyak pihak, apalagi aturan tersebut terkait

langsung dengan tradisi keagamaan masyarakat yang telah lama dipraktikkan.

Masyarakat harusnya diposisikan sebagai pihak yang dinaungi dan diperhatikan

bukan disalahkan atau dikenai sanksi tanpa adanya sosialisasi yang maksimal211

.

Menurut pengakuan H. Zainuddin salah satu pengurus DKM Masjid al-

Munawwar dan juga pernah menjabat jajaran pengurus BAZIS DKI, memang

masjid-masjid pada umumnya dikelola oleh kaum tua yang tidak dinamis, lebih

fokus dalam rutinitas praktik ibadah, dan tidak terbiasa dengan inovasi, sehingga

209

DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid Al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid

Al-Munawwar, dan Masjid Jami an-Nur Durentiga. 210

Hasil wawancara penulis dengan Pahruroji Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Pancoran pada 11 April 2018. 211

Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar

pada tanggal 04 April 2019.

Page 108: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

93

pengelolaan zakat pun dilakukan hanya sebatas rutinitas dan agenda tahunan selama

bulan Ramadan.

H. Zainuddin menambahkan bahwa kondisi ini harusnya dipahami betul

oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan zakat, apalagi jika ingin

menertibkan pengelola-pengelola zakat yang belum sesuai dengan hukum positif.

BAZNAS dan jajarannya serta stakeholder lainnya harus serius dan proaktif

membuka ruang komunikasi dan diskusi yang langsung melibatkan pengurus DKM

terkait pengelolaan zakat di masjid untuk perbaikan mekanisme dan evaluasi

mendasar agar pengelolaan zakat tersebut.

Dengan adanya pelibatan pengurus DKM secara langsung dalam proses

penertiban pengelolaan zakat ini, niscaya pemahaman DKM terkait hukum positif

pun akan sejalan dengan apa yang dipahami dan dikehendaki oleh pemerintah.

C. DKM dan Kepatuhan Hukum Pengelolaan Zakat

Dalam bagian ini, pemahaman terhadap aturan hukum memiliki keterkaitan

erat dengan kesadaran dan kepatuhan akan aturan tersebut yang dalam kenyataannya

belum dapat terealisasi di lapangan oleh para DKM. Tentu hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor sehingga belum efektifnya pemberlakuan aturan tersebut oleh para

praktisi zakat di masyarakat grass root yaitu masjid-masjid.

Penulis menganalisis faktor-faktor tersebut dengan mengacu pada pendapat

Rodgers dan Bullock212

. Dalam studi mereka menetapkan 8 faktor yang

mempengaruhi kepatuhan terhadap hukum yaitu: 1) the clarity of the law, 2)

certainty and severity of punishment, 3) perceived legetimacy of the law, 4) demands

for enforcement, 5) agreement with the policy, 6) ability to measure the compliance,

7) extent of monitoring, dan 8) the exsistence of an enforcement.

Penulis memandang bahwa 8 faktor yang diungkapkan Rodgers dan

Bullocks sudah komprehensif dalam menjelaskan kepatuhan hukum yang ada di

masyarakat, karena faktor-faktor tersebut punya pengaruh yang signifikan dan

sangat faktual dengan apa yang terjadi di masyarakat khususnya dalam konteks

implementasi aturan pengelolaan zakat yang masih belum dipatuhi oleh masjid-

masjid yang mengelola zakat.

Penulis mengelompokkan kembali faktor-faktor tersebut ke dalam 4 aspek

utama, yaitu faktor lingkungan, sikap masyarakat, sosialisasi aturan, dan penegakan

hukum.

1. Faktor Lingkungan

Lingkungan masyarakat masjid -dalam hal ini adalah para pengurusnya-

punya potensi yang tinggi untuk membawa pengaruh pada kegiatan-kegiatan yang

dilakukan di masjid. Selama ini yang banyak ditemui di masjid-masjid adalah

pengurus yang berusia lanjut, artinya sumber daya manusia yang mengelola masjid

didominasi oleh para orang tua. Di satu sisi, orang tua dianggap memiiliki kesadaran

212

Harrel R. Rodgers dan Charles S. Bullock, Coercion to Compliance (Lexington Mass:

Lexington Books, 1976)

Page 109: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

94

religius yang tingggi sehingga pantas untuk didajikan panutan di masjid, tetapi

kualitas pengelolaan masjid tidak memiliki keterkaitan yang siginifikan dengan

kesalehan pengurus, akan tetapi sangat erat kaitannya dengan kualitas manajerial

yang dijalankan oleh pengurus masjid tersebut213

.

Faktor latar belakang pendidikan pengurus DKM serta ideologi

keberagamaan di masjid meskipun tidak secara signifikan terkait dengan kepatuhan

hukum, kedua hal ini bisa mempengaruhi kebiasaan dan pola pengelolaan zakat

yang dilakukan. Penulis menemukan meskipun ada pengurus DKM yang berasal

dari lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia, tetapi tidak serta merta membuat

pengelolaan zakatnya sesuai dengan hukum positif. Ideologi keberagamaan

semacam ormas Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, ataupun Salafi juga tidak secara

langsung mempengaruhi kepatuhan hukum pengelolaan zakat di masjid.

Banyak pengurus masjid yang tidak mengikuti perkembangan hukum positif

yang terkait dengan kegiatan yang mereka lakukan di masjid, seperti halnya

pengelolaan zakat. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mengakses informasi

terkait, atau juga karena tidak ada informasi yang datang kepada mereka. Jangankan

untuk menyesuaikan dan menjalankan aturan, untuk sekedar mengetahui aturan saja,

pengurus masjid masih belum melakukan itu.

Lingkungan masjid bisa dimaknai secara lebih luas, yaitu tidak hanya

lingkungan internal pengurus DKM, akan tetapi lingkungan relasi yang dimiliki oleh

DKM. Jaringan atau relasi yang masjid miliki membuka komunikasi yang dinamis

untuk terus mengikuti perkembangan, terutama terkait hukum positif yang berkaitan

dengan aktivitas atau kegiatan yang masjid lakukan. Menjadi bagian dari organisasi

perkumpulan masjid adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membuka

akses informasi dan komunikasi yang lebih intens terhadap isu-isu hukum, karena

memang hal semacam ini tidak banyak dibahas kecuali di forum-forum diskusi atau

melalui sosialisasi.

Masjid yang tidak berinisiatif mengakses informasi terkait ketentuan-

ketentuan hukum yang berlaku tentu tidak akan responsif terhadap isu-isu kepatuhan

hukum semacam ini. Kondisi ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, para DKM

memang merasa perlu diberikan sosialisasi tentang hal-hal semacam itu dari pihak-

pihak yang memiliki kewenangan dan kebijakan dalam pemberlakuan aturan hukum

tentang zakat, selama belum ada sosialisasi langsung yang DKM dapatkan, maka

mengharapkan kesadaran mereka untuk mematuhi hukum positif merupakan hal

yang sulit terwujud.

Di antara faktor lingkungan yang menjadi salah satu penyebab DKM tidak

mengindahkan hukum positif tentang pengelolan zakat adalah perasaan terikat

dengan hukum dan kemampuan untuk mematuhinya.

a. Keterikatan dengan Legitimasi Hukum

Faktor ini secara sederhana penulis ilustrasikan dengan sebuah aturan yang

dibuat dalam sebuah perkumpulan, kelompok, atau organisasi sebagai norma

213

Sebagaimana yang diungkapkan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar

dalam wawancara tanggal 04 April 2019.

Page 110: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

95

pengikat bagi anggota-anggota yang berada di dalamnya. Ketika ada orang dari luar

anggota yang melanggar aturan dalam kelompok tersebut, maka tidaklah berlaku

ketentuan-ketentuan apapun karena dirinya tidak merasa terikat dalam aturan yang

dibuat untuk kepentingan kelompok tersebut.

Seperti itulah faktor ini mempengaruhi kepatuhan hukum, sifatnya sangat

mendasar dan urgen dipahami karena hukum punya subjeknya masing-masing,

keberlakuannya terkadang terbatas oleh ruang lingkup kelompok tertentu sehingga

secara otomatis individu di luar kelompok itu tidak terikat dengan legitimasi hukum

yang ada.

Dalam konteks aturan pengelolaan zakat, subjek hukum yang paling banyak

terkait dengan regulasi adalah BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten

Kota, LAZ tingkat nasional, LAZ tingkat Provinsi, LAZ tingkat Kabupaten/Kota,

serta pihak-pihak yang dengan sadar melakukan pengelolaan zakat. Lembaga-

lembaga zakat resmi sudah pasti terikat dengan aturan tersebut, karena untuk

disahkan dan diberi izin operasional lembaga-lembaga itu tentu menempuh jalur dan

prosedur yang juga bagian dari regulasi pengelolaan zakat.

Individu yang wajib zakat ataupun yang berzakat (muzaki) sama sekali tidak

terikat dalam aturan tersebut, sehingga logika hukumnya jika seorang warga negara

Indonesia yang muslim dan telah wajib berzakat tetapi tidak menunaikannya tidak

akan ada ketentuan sanksi apapun yang diberikan kepadanya, karena muzaki bukan

menjadi subjek hukum dari aturan pengelolaan zakat di Indonesia. Begitu juga

mustahik, dia tidak masuk dalam lingkaran ikatan hukum positif pengelolaan zakat,

sehingga jika dia menggunakan dana zakat tidak sesuai peruntukannya tidak akan

juga dikenai hukuman, karena tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut.

Jadi keterikatan aturan pengelolaan zakat hanya untuk para pengelola zakat,

dengan ungkapan lain, ketika suatu pihak atau individu ingin melakukan

pengelolaan zakat maka ia akan terikat dengan aturan pengelolaan zakat yang ada

untuk memastikan kepatuhannya terhadap hukum yang berlaku.

Lalu bagaimana dengan masjid-masjid yang melakukan pengelolaan zakat,

apakah mereka terikat dengan perturan pengelolaan zakat atau tidak?214

Seharusnya

terikat, karena Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat

mengatur pengelolaannya, mulai dari pihak yang mengelola, standar-standar

pengelolaan mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengendalian hingga pelaporan

terkait penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, akan tetapi

kenyataan yang ditemukan di lapangan, masjid-masjid yang melakukan pengelolaan

zakat tidak merasa terikat dengan peraturan pengelolaan zakat yang ada sehingga

sulit pula lah kepatuhan hukum itu terwujud.

214

Posisi hukum masjid dalam pengelolaan zakat telah dijelaskan dalam Bab kedua yang

pembahasannya didasarkan kepada peraturan-peraturan tentang pengelolaan zakat yang ada

mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, hingga

Peraturan BAZNAS.

Page 111: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

96

b. Kemampuan untuk Mengukur Kepatuhan

Faktor lainnya yang mempengaruhi kepatuhan hukum adalah kemampuan

mengukur kepatuhan, yaitu apa instrumen dan sarana yang digunakan untuk

memastikan suatu peraturan hukum itu telah dipatuhi215

. Kemampuan untuk

mengukur dan menentukan kepatuhan ini haruslah ada sehingga bisa dipantau dan

diikuti perkembangannya, bagaimana kepatuhan hukum di masyarakat dari waktu ke

waktu.

Pengukuran yang tepat tentunya akan menghasilkan data yang akurat

tentang kepatuhan hukum di masyarakat. Cara sederhana untuk menyatakan apakah

suatu undang-undang atau peraturan telah dipatuhi masyarakat adalah melihat secara

langsung pengaplikasian aspek-aspek hukum yang diatur di masyarakat, jika masih

ada aspek-aspek yang masih tidak sesuai dengan aturan, maka kepatuhan hukum

masih belum secara penuh terwujud.

Dalam konteks pengelolan zakat, cara yang digunakan selama ini dalam

mengukur kepatuhan adalah dengan memeriksa laporan pengelolaan zakat yang

telah dilakukan setiap pengelola zakat yang biasanya dilaporkan minimal setiap

tahun sekali. Laporan yang begitu vital adalah laporan keuangan yang

mengharuskan untuk diaudit terlebih dahulu oleh akuntan publik yang terpercaya.

Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf; Fuad Nasar mengungkapkan

bahwasanya pengawasan yang dilakukan dalam pengelolaan zakat untuk

memastikan kepatuhan hukum mereka terhadap undang-undang yang berlaku adalah

dengan terus melakukan pengecekan dari laporan-laporan pengelolaan zakat yang

diberikan oleh para pengelola zakat kepada Direktorat Pemberdayaan Zakat dan

Wakaf Kementerian Agama216

.

2. Sikap Masyarakat

,

Masyarakat dalam konteks pengelolaan zakat punya peran yang penting

terutama muzaki yang merupakan satu-satunya pihak yang membayarkan zakat.

Sikap masyarakat terhadap pelaksanaan zakat memberikan dampak yang signifikan

dalam perkembangannya. Sebagaimana laporan BAZNAS bahwasanya

penghimpunan dana zakat setiap tahunnya selalu bertambah, memberikan trend

yang positif, kurang lebih mengalami peningkatan rata-rata 35,84% pertahun217

.

Kesadaran masyarakat muslim Indonesia untuk berzakat di lembaga zakat

resmi terus meningkat, tetapi kecenderungan untuk menunaikan zakat kepada selain

lembaga misalnya ke pengelola zakat di masjid, tokoh agama, bahkan mustahik

secara langsung, masih banyak ditemukan di masyarakat muslim Indonesia. Salah

satu alasan hal itu adalah tidak tersedianya informasi dan sosialisasi kepada muzaki

215

José E Alvarez, "Measuring Compliance." Proceedings of the Annual Meeting (American

Society of International Law) 96 (2002): 209-213. http://www.jstor.org/stable/25659777. 216

Hasil wawancara penulis dengan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf

Kementerian Agama pada 24 Juli 2019. 217

Total penghimpunan zakat selama tahun 2002-2016. Lihat BAZNAS. Outlook Zakat

Indonesia 2018 (Jakarta: PUSKAS BAZNAS, 2018), 18.

Page 112: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

97

tentang manfaat zakat yang dikelola lembaga lebih besar dari pada yang dibayarkan

langsung218

.

Sikap masyarakat yang menunaikan zakat secara langsung maupun melalui

pengelola zakat di masjid tidak terlepas dari pengaruh tradisi dan kebiasaan yang

telah berlangsung turun temurun. Praktik semacam ini secara fikih memang

diperbolehkan dan sah, tetapi untuk pengelolaan zakat yang berkelanjutan, tentu

praktik semacam ini harus segera diubah karena tidak dapat membawa kemanfaatan

yang lebih besar untuk penerima yang lebih banyak dan lebih luas.

a. Kesepakatan terhadap Kebijakan

Pada dasarnya, proses legislasi yang dijalankan di negara demokrasi seperti

Indonesia ini merupakan pengejawentahan dari sistem perwakilan rakyat yang ada

melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik di tingkat Provinsi maupun

Kabupaten/Kota, serta Dewan Perwakilan Daearah (DPD). Semua dewan yang

mengatasnamakan rakyat ini adalah wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat

untuk melembagakan kepentingan mereka dalam undang-undang yang dikeluarkan

nantinya oleh dewan ini.

Dalam kerangka negara hukum sebagaimana yang banyak digambarkan

kepada Indonesia, menurut Seotandyo Wignjosoebroto dalam Ilham F. Putuhena

mengemukakan bahwasanya ada 3 karakteristik yang melekat pada konsep

rechtsstaat yaitu: pertama, bahwa yang disebut dengan „hukum‟ dalam negara

hukum adalah sifat hukum yang positif, yang berarti telah diundangkan dan berlaku

sebagai hukum nasional sebagai sebuah kepastian hukum. Kedua, yang disebut

hukum yang telah menjadi undang-undang haruslah merupakan hasil dari proses

kesepakatan kontraktual antara golongan-golongan partisan dalam suatu negeri

ataupun melalui wakil-wakilnya dalam sebuah proses yang disebut proses legislasi.

Ketiga, hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk undang-undang yang

kontraktual itu akan mengikat seluruh bangsa secara mutlak, mengalahkan aturan-

aturan normatif yang dipahami di beberapa kelompok atau kalangan tertentu219

.

Aspek kesepakatan ini penting dalam kerangka negara hukum, karena jika

sebuah hukum mengabaikan asas kesepakatan dalam proses pembentukannya,

niscaya akan menyulitkan pemberlakuannya di masyarakat, karena bagaimanapun

sebenaranya rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi,

sehingga keterlibatan mereka dalam setiap kepentingan dan kebijakan sebuah

pemerintahan tidak bisa dianggap sebagai formalitas semata, tetapi memang

dihadirkan dalam rangka memperkuat perkembangan hukum di masyarakat juga

sebagai salah satu cara efektif dalam menciptakan kepatuhan hukum.

218

Nadilla Ambarfauziah Ruliad, dkk. “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Muzaki

Dalam Memilih Organisasi Pengelola Zakat (OPZ): Studi Kasus di Badan Amil Zakat

Nasional Kota Bogor” Jurnal Al-Muzara’ah 3, no. 1 (2013): 20-33. 219

M. Ilham F. Putuhena, “Politik Hukum Perundang-Undangan: Mempertegas Reformasi

Legislasi yang Progresif” Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no.3

(2013): 375-395

Page 113: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

98

Dalam kaitannya dengan undang-undang atau peraturan tentang pengelolaan

zakat di Indonesia, memang masyarakat tidak secara langsung dilibatkan dalam

proses pembentukannya, sehingga aspek kesepakatan masyarakat yang

sesungguhnya tidak terwujud, kecuali jika kesepakatan masyarakat yang dimaksud

adalah kesepakatan para elit wakil rakyat yang ada di Komisi VIII DPR-RI yang

konsen pada legislasi di bidang agama dan sosial ataupun mitra-mitra pemerintah

yang juga terkait dengan kepentingan di Komisi VIII tersebut, seperti Kementerian

Agama, Kementerian Sosial, dan Badan Amil Zakat Nasional220

.

b. Doktrin Agama

Dalam Islam, ada konsep ikhlas yang dipahami sebagai cara seorang hamba

melaksanakan segala sesuatu dengan hanya mengharap keridhoan dari Allah swt.

Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah kegiatan yang dilakukan bersifat duniawi

seperti pemberian-pemberian umum ataukah yang berniai ibadah ukhrowi, seorang

muslim dianjurkan untuk senantiasa mengaplikasikan konsep ikhlas dalam segala

perbuatannya.

Di sisi yang lain, konsep ikhlas yang awalnya bertujuan baik, agar tidak

mengharap imbalan ataupun pemberian dari orang lain atas apa yang telah

dilakukan, menjadi tidak sejalan dengan semangat transparansi pengelolaan zakat.

Pasalnya, zakat pada dasarnya memiliki perbedaan mendasar dari jenis pemberian

lain, sedekah dan infak misalnya. Zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang

kemudian menjadi dana publik umat Islam, khususnya golongan mustahik zakat.

Pengelolaan dana publik tentu harus dilakukan secara transparan dan

akuntabel, bisa diakses laporan penggunaannya serta dapat dipertanggungjawabkan,

akan tetapi masyarakat muslim yang bertindak sebagai muzaki cenderung tidak

bersifat kritis terhadap pengelolaan zakat yang mereka tunaikan melalui amil zakat,

padahal sikap kritis ini perlu bagi amil zakat yang belum menjalankan

pengelolaannya secara profesional, seperti halnya petugas zakat di masjid-masjid.

Pengelolaan zakat yang belum dijalankan secara profesional oleh masjid,

terutama dalam aspek pelaporan ditambah sikap masyarakat yang tidak kritis

terhadap dana zakat akan terus membuat pengelolaan zakat di masjid tidak

berkembang, karena tidak adanya dorongan untuk evaluasi baik dari internal

pengurus masjid maupun pihak eksternal yaitu masyarakat yang berzakat kepada

masjid.

Selain aspek pelaporan, muzaki yang menunaikan zakatnya di masjid

nyatanya tidak mempermasalahkan aspek legalitas pengelola, karena bagi mereka

yang terpenting adalah kewajiban zakat telah ditunaikan dan mereka percaya bahwa

zakat mereka selalu didistribusikan oleh DKM atau petugas zakat di masjid kepada

mustahik yang berada di sekitar wilayah masjid221

.

220

Puji Kurniawan, “Legislasi Undang-Undang Zakat” Jurnal Al Risalah 13, no.1 (2013):

99-118. 221

Sebagaimana pengakuan Haikal; muzaki di masjid Jami at-Taubah, Arif; muzaki di

masjid al-Muawanah, Supanco; muzaki di masjid Jami An-Nur, dan Zainuddin muzaki di

masjid Al-Munawwar.

Page 114: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

99

3. Sosialisasi Aturan

Alasan yang sering diutarakan DKM terkait mengapa mereka belum

menyesuaikan diri dengan hukum positif adalah tentang sosialisai aturan.

Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan DKM masjid, mereka mengakui

bahwasanya mereka tidak pernah diberikan sosialisasi atau himbauan tertentu terkait

aturan pengelolaan zakat yang ada, entah itu dari pihak KUA yang mewakili

Kementerian Agama, ataupun dari BAZNAS222

.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Zakat, ada 2 pihak utama yang bertugas untuk melakukan sosialisasi terkait hukum

positif pengelolaan zakat, yaitu Kementerian Agama (Kemenag) dan Pemerintah

Daerah (Pemda). Menteri Agama dan Gubernur serta Bupati/Walikota jelas

disebutkan memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan yang tertuang dalam pasal

84 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pembinaan yang

dimaksud meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi terkait pengelolaan zakat.

BAZNAS melalui anggota-anggotanya sebenarnya juga diberi tugas untuk

melakukan sosialisasi dan kampanye zakat ke masyarakat sebagaimana yang diatur

dalam pasal 9 Peraturan Menteri Agama No.6 Tahun 2016 tentang Tugas, Fungsi

dan Tatakerja Anggota Badan Amil Zakat Nasional.

Sesuai dengan apa yang penulis temukan di lapangan, ketiga instansi ini

tidak memiliki koordinasi yang baik dalam hal sosialisasi pengelolaan zakat ke

masyarakat, terutama masjid-masjid. Padahal sebenarnya mereka masing-masing

memiliki kantor perwakilan di setiap tingkatan, baik di pusat, provinsi, maupun

kabupaten/kota, bahkan Kemenag memiliki kantor hingga di tingkat kecamatan,

yaitu KUA. Sosialisasi ini idealnya dilakukan bersama-sama oleh ketiga instansi

tersebut, harus ada komunikasi dan koordinasi yang terjalin.

Sosialisasi yang diharapkan masjid-masjid bukanlah hanya sebatas diberi

surat atau himbauan tertulis, tetapi mereka berharap dilibatkan dalam komunikasi

secara langsung dalam forum silaturahim, diskusi, serta pembinaan223

. Cara-cara

dengan pendekatan semacam ini kemungkinan besar lebih mudah diterima oleh

masjid-masjid karena adanya dialog, tidak dengan sosialisasi model pendekatan

kekuasaan, mandat, perintah dan sebagainya.

Dalam konteks sosialisasi aturan pengelolaan zakat, jika kita pehatikan

secara mendasar tentang substansi hukumnya ada ketidakjelasan dalam ketentuan

kewajiban seorang muslim di Indonesia dalam menunaikan zakat menurut Undang-

Undang. Di awal legislasi undang-undang zakat yang disahkan dalam dalam

Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat ketentuan

kewajiban tersebut dijelaskan dalam pasal khusus yang menegaskan bahwasanya

setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan usaha

222 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,

Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid

Nurullah. 223

Sebagaimana yang disampaikan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar

dalam wawancara pada tanggal 04 April 2019.

Page 115: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

100

yang dimiliki oleh orang Islam berkewajiban menunaikan zakat224

, akan tetapi

ketentuan tersebut tidak lagi ditemukan dalam aturan pengelolaan zakat yang terbaru

yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Ketidakjelasan terkait poin utama ini

oleh sebagian kalangan akhirnya dipahami bahwa zakat di Indonesia merupakan

voluntary virtue yaitu kebajikan yang sifatnya sukarela225

.

Konsekuensi ini harus diambil pemerintah karena ingin benar-benar

membatasi kewenangannya untuk tidak terlibat lebih jauh dalam ikut campur

persoalan ajaran agama warga negara Indonesia yang muslim. Hal tersebut

merupakan upaya yang konsisten untuk megimplementasikan fungsi fasilitasi dan

perlindungan serta penjaminan kebebasan warga negara untuk menjalankan ajaran

agama yang dianut sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945226

.

Faktor kejelasan ketentuan hukum ini akan terus berimbas pada faktor-

faktor kepatuhan hukum lainnya, karena ini adalah dasar utama sebuah

pemberlakuan hukum, yaitu hukum itu sendiri. Ketika hukum tidak

termanifestasikan dalam kalimat hukum yang jelas maka sulit untuk menegaskan

maksud dan tujuan utama hukum tersebut.

Selain kejelasan, hukum pun harus masuk akal dan memungkinkan untuk

dilaksanakan. Terkait hal ini, penulis menyoroti salah satu aturan yang ada di

Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit

Pengumpul Zakat mengenai keharusan untuk mentransfer dana zakat yang dihimpun

oleh UPZ kepada BAZNAS. Dalam pasal 35 ayat 2 menjelaskan bahwa UPZ wajib

menyetorkan seluruh dana hasil pengumpulannya kepada BAZNAS sesuai

tingkatannya.

Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara spesifik dana apa saja yang

disetorkan ke BAZNAS, apakah hanya zakat saja atau semua hasil pengumpulan

dana seperti infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Penjelasan rincinya

dapat ditemukan di Keputusan Ketua BAZNAS baik tentang dana apa saja yang

harus disetor, cara penyetoran, dan batas waktu penyetoran.

Dana yang harus disetor UPZ kepada BAZNAS yang membentuknya adalah

semua jenis dana yang dihimpun oleh UPZ baik berbentuk zakat, infak, sedekah,

maupun dana sosial keagamaan lainnya227

. Adapun penyetoran dana tersebut

224

Pasal 2 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang

ini telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Zakat sehingga sudah tidak lagi berlaku. 225

Pemahaman tentang konsep Voluntary dan Mandatory tentang zakat adalah sifat

penunaian zakat oleh para wajib zakat (muzaki). Negara-negara berpenduduk muslim yang

melakukan pengelolaan zakat ada yang telah menetapkan zakat sebagai sebuah mandat dan

kewajiban yang ditegaskan dalam aturan khusus di negara itu sehingga warga negara tersebut

wajib menunaikan zakatnya pada negara, tetapi di negara berpenduduk muslim yang lain

zakat tidak ditetapkan sebagai mandat, tetapi hanya bersifat sukarela yang artinya warga

negara tidak diwajibkan secara hukum negara untuk menunaikan zakatnya ke negara. Lihat

Russell Powell, Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy From

Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7 (2010): 43-101. 226

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 227

Keputusan Ketua BAZNAS No. 25 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Unit

Pengumpul Zakat Badan Amil Zakat Nasional.

Page 116: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

101

dilakukan dengan cara Bank Transfer ke rekening BAZNAS setiap bulan paling

lambat tanggal 5 di bulan berikutnya. Misalnya UPZ lembaga X telah memulai

pengumpulan di awal Agustus, maka hasil pengumpulan bulan Agustus tersebut

paling lambat disetorkan ke BAZNAS pada tanggal 5 September. Penyetoran dana

ini dimaksudkan sebagai laporan riil penghimpunan dana sekaligus cara BAZNAS

untuk memastikan validitas dana yang dihimpun UPZ selain juga untuk kepentingan

administrasi pelaporan kinerja. Dana yang disetor tersebut akan dikembalikan lagi

kepada UPZ paling lambat 5 hari kerja setelah dananya diterima di rekening

BAZNAS.

Dana yang disetorkan ke BAZNAS akan kembali lagi ke UPZ yang

mendapatkan tugas perbantuan penyaluran zakat itu pun hanya sejumlah 70%,

sisanya disalurkan oleh BAZNAS. Akan tetapi bagi UPZ yang hanya melakukan

tugas pengumpulan, maka dana yang disetor akan sepenuhnya disalurkan oleh

BAZNAS. Berbeda dengan UPZ yang berbasis masjid, dana zakat yang disetorkan

ke rekening BAZNAS akan disetorkan kembali seluruhnya ke rekening UPZ masjid

dan dapat melakukan penyaluran zakat 100% dari dana tersebut228

.

Mekanisme semacam ini menurut penulis tidaklah efektif dan efesien

sekaligus menyulitkan UPZ dan tidak mandiri apalagi bagi masjid-masjid yang

belum tentu bisa melaksanakan mekanisme semacam ini. Ketentuan ini jelas hanya

menjadikan UPZ sebagai kepanjangan tangan BAZNAS semata tanpa kewenangan

lebih, padahal yang dibutuhkan masyarakat pengelola zakat khususnya di masjid

adalah pembinaan dan bimbingan mengenai pengelolaan zakat terlebih tentang cara

mengembangkan pendistribusian dan pemberdayaan melalui kegiatan-kegiatan

produktif agar berdampak jangka panjang bagi mustahik agar terlepas dari lingkaran

kemiskinan. Selain itu, dana yang bolak-balik rekening BAZNAS dan UPZ

memakan waktu dan tidak mungkin dilakukan khususnya dalam penyaluran zakat

fitrah yang waktunya terbatas. Mekanisme semacam itu jelas hanya menyulitkan

UPZ masjid dalam penyaluran zakat kepada mustahik.

4. Penegakan Hukum

Secara mekanisme hukum, aspek ini memainkan peranan yang penting agar

aturan bisa dilaksanakan dan diimplementasikan. Pihak-pihak yang menyalahi dan

tidak menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku perlu ditertibkan. Di antara

aspek penegakan hukum yang menjadi faktor tidak diindahkannya hukum positif

pengelolaan zakat oleh DKM adalah sebagai berikut:

a. Sanksi yang Pasti dan Tegas

Dalam Black Law Dictionary229

sanksi (sanction) didefinisikan sebagai “a

penalty or other means of enforcement used to provide incentives for obedience with

228

Keputusan Ketua BAZNAS No. 25 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Unit

Pengumpul Zakat Badan Amil Zakat Nasional lebih tepatnya pada lampiran mengenai Tugas

Perbantuan Penyaluran Zakat. 229

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (St. Paul: West Publishing, 1990), 1341.

Page 117: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

102

the law, or with rules and regulations” yaitu sebuah hukuman atau bentuk yang lain

yang digunakan dalam proses penegakan hukum yang bertujuan untuk

menimbulkam kepatuhan terhadap hukum, aturan, atau regulasi.

Aturan dan sanksi merupakan dua hal yang saling melengkapi untuk

memastikan efektivitas hukum, yaitu hukum telah terlaksana dan dipatuhi oleh

masyarakat yang diatur dengan hukum tersebut. Logika hukum yang menggunakan

sanksi sebagai alat untuk mencapai kepatuhan hukum merupakan asas legalitas,

ketika suatu tindakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka hal tersebut

dinilai sebagai pelanggaran dan setiap pelanggaran akan dikenai sanksi yang

tujuannya untuk memberikan efek jera bagi pelanggar tersebut agar tidak

mengulangi pelanggaran230

.

Sanksi yang dimaksud dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat ditujukan

kepada para pihak yang melakukan pengelolaan zakat dan sengaja melawan hukum

dengan melanggar pasal-pasal ketentuan yang ada.

Dalam konteks aturan pengelolaan zakat, memang terdapat sanksi yang

diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 maupun aturan turunannya, tetapi

pemberlakukan sanksi tersebut sangat berbeda dengan ketentuan sanksi pada tindak

pidana pada umumnya. Sanksi yang ditetapkan adalah sanksi administratif berupa

teguran tertulis, pemberhentian sementara dari kegiatan, dan atau pencabutan izin

operasional231

ketika pengelola zakat tidak melaksanakan kewajibannya seperti

memberikan bukti setor zakat kepada muzaki, tidak melakukan pendistribusian dan

pendayagunaan zakat sesuai syariat Islam serta peruntukannya sebagaimana yang

telah diatur dalam undang-undang pengelolaan zakat232

.

b. Permintaan untuk Penegakan Hukum

Dalam hukum pidana ada istilah yang dikenal dengan delik, yaitu perbuatan

yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran atau tindak pidana

yang kemudian menjadi alasan diprosesnya tindak pidana tersebut ke tingkat

penegakan hukum melalui serangkaian proses pengadilan.

Ada delik formil dan delik materil atau juga delik aduan dan delik biasa.

Delik formil adalah tindakan yang dilarang tanpa memperhatikan akibat yang terjadi

dari tindakan itu, sedangkan delik materil adalah selain telah dilakukannya tindakan

yang melanggar hukum, tetapi masih harus dipastikan dengan juga terjadinya

dampak serta akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut sehingga bisa benar-

benar dikatakan bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi sepenuhnya233

.

230

Whang, Taehee, Elena V. McLean, dan Douglas W. Kuberski. "Coercion, Information,

and The Success of Sanction Threats." American Journal of Political Science 57, no 1

(2013): 65-81. 231

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 5

Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat. 232

Pasal 23 dan 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 233

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya

(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), 237.

Page 118: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

103

Adapun delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila

telah dilakukan pengaduan oleh pihak yang merasa dirugikan, sedangkan delik biasa

adalah tindakan pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan pengaduan terlebih

dahulu234

.

Demand for Enforcement berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang

memiliki delik aduan, sehingga fungsi permintaan atau pengaduan untuk

dilakukannya penegakan hukum sangat diperlukan. Jika tidak ada permintaan atau

pengaduan atau pelaporan terhadap tindakan yang melanggar hukum tersebut, dalam

arti tidak ada pihak yang dirugikan ataupun pihak yang dirugikan tidak

melaporkannya ke pihak yang berwenang, maka tindakan pelanggaran tersebut tidak

akan diproses dan sanksi yang telah ditentukan tidak akan bisa dikenakan kepada

pelaku. Itulah mengapa, faktor ini penting dalam perkara-perkara yang memiliki

delik materil juga delik aduan, hal demikian dapat ditemukan dalam aturan

pengelolaan zakat di Indonesia

Dalam konteks aturan pengelolaan zakat telah diatur bagaimana proses

penegakan hukum itu dijalankan. Misalnya ada sebuah pengelola zakat yang telah

menyalahi ketentuan dalam peraturan pengelolaan zakat seperti tidak melakukan

pelaporan penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah

diaudit kepada BAZNAS235

, maka berlakulah proses sanksi administratif yang diatur

dalam Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016.

Sebagaimana proses pada kasus yang memiliki delik aduan, maka

pelanggaran yang terjadi dalam konteks pengelolaan zakat pun demikian. Proses

pemberian sanksi administratif akan dilakukan dengan catatan bahwa unsur-unsur

persyaratannya harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu adanya pengaduan atau laporan

dugaan pelanggaran secara tertulis yang dapat dibuat oleh individu perseorangan,

kelompok, maupun instansi. Setelah ada laporan yang masuk, maka dilanjutkan

dengan proses pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran tersebut, dalam hal ini

yang bertindak sebagai pemeriksa adalah pihak Kementerian Agama atau BAZNAS.

Tahap berikutnya adalah investigasi yang dilakukan terhadap dugaan pelanggaran

untuk mengumpulkan bukti-bukti berupa surat-surat atau dokumen-dokumen,

keterangan saksi, keterangan ahli, hingga pengakuan terlapor. Jika dalam proses

investigasi ini membuktikan bahwa pelanggaran telah terjadi maka sanksi akan

diberikan, jika tidak ditemukan pelanggaran maka kasus dianggap selesai236

.

Serangkaian proses yang panjang dalam pengenaan sanksi administratif bagi

pihak pengelola zakat yang melakukan pelanggaran tidak akan dilakukan jika tidak

adanya laporan yang dibuat. Laporan ini lah yang disebut dengan demand atau

permintaan untuk dilakukannya penegakan hukum, jika stimulus ini tidak ada maka

tidak akan ada penegakan hukum yang terjadi, itu artinya kalau pun ada pelanggaran

yang terjadi tidak akan ada sanksi apapun yang diterima oleh pihak yang melanggar

234

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,

1997), 217-218. 235

Melanggar pasal 19 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 236

Ketentuan lebih lengkap tentang prosedur ini dalam dilihat dalam Peraturan Menteri

Agama No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam

Pengelolaan Zakat.

Page 119: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

104

yang pada intinya tidak ada kepatuhan hukum yang terjadi akibat tidak berjalannya

skema sanksi dalam aturan pengelolaan zakat.

c. Pengawasan yang Luas

Pengawasan dilakukan dengan tujuan check and balance sebagai

mekanisme untuk mengendalikan sesuatu sesuai prosedur yang telah ditetapkan.

Pengawasan juga bisa dilakukan untuk memantau jika terjadi suatu pelanggaran atau

penyelewengan.

Dalam konteks pengelolaan zakat di Indonesia, pengawasan sejatinya

dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai pihak yang mengeluarkan regulasi juga

yang mengawasi berjalanya regulasi tersebut. Di sisi lain, masyarakat pun

sebenarnya diberikan hak untuk turut berpartisipasi dalam pengawasan terhadap

pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS, LAZ. Pengawasan yang dilakukan

masyarakat dapat berbentuk akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat

yang dilakukan BAZNAS dan LAZ juga penyampaian informasi jika mendapati

penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan mereka237

.

Pengawasan yang dijelaskan dalam peraturan pengelolaan zakat masih

terbatas kepada BAZNAS dan LAZ, belum diperluas kepada seluruh pihak yang

mengelola zakat. Perluasan pengawasan ini perlu untuk memastikan pihak-pihak

pengelola yang belum masuk dalam koordinasi pengelola zakat juga telah

melaksanakan pengelolaan zakatnya dengan benar.

d. Penegakan Hukum yang Riil

Eksistensi penegakan hukum merupakan fakor penting dalam memastikan

sebuah peraturan dipatuhi, karena jika tidak dipatuhi maka secara tidak langsung

telah ada pelanggaran yang dilakukan akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan

tersebut. Dalam kondisi seperti inilah sangat perlu adanya penegak hukum yang

berfungsi untuk menegakkan hukum melalui prosedur yang telah ditentukan.

Jika eksistensi penegak hukum tidak ada, mustahil akan kita temui

penegakan hukum di lapangan akibat ketidakpatuhan hukum yang terjadi. Itulah

mengapa faktor eksistensi penegakan hukum sangat terkait dengan penegak hukum

itu sendiri karena hakikatnya mereka adalah satu hal yang saling berkonsekuensi

terhadap eksistensi masing-masing. Penegakan hukum ada karena eksisnya penegak

hukum seperti halnya penegak hukum dibentuk atau ditugaskan untuk melakukan

penegakan hukum.

Kepatuhan masyarakat kita terhadap hukum masih sangat bergantung pada

penegakan hukum yang dilakukan terkait ketidaksesuaian dan ketidakpatuhan yang

terjadi dalam aturan yang telah ditetapkan. Secara umum faktor ini bisa diterapkan

dalam menganalisis ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan yang ada terutama yang

mengandung unsur pidana, tetapi terkhusus pada konteks aturan pengelolaan zakat,

penanganannya berbeda.

237

Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Page 120: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

105

Secara konten, aturan pengelolaan zakat berisi banyak ketentuan yang lebih

bersifat strategi dan standar atau pedoman pengelolaan zakat yang baik dan benar,

yang sasarannya adalah para pengelola zakat, bukan muzaki atau mustahik. Hal ini

menandakan bahwa jika pun ada yang melanggar peraturan tentang undang-undang

pengelolaan zakat, maka mereka adalah para pengelolanya.

Muzaki sebagai pihak yang berzakat tidak dikenai ketentuan apapun dalam

hal pengelolaan zakat. Muzaki diberikan kebebasan untuk memilih dengan cara

seperti apa zakatnya ditunaikan, itu sangat bergantung kepada keyakinan,

kenyamanan, dan kepercayaan yang dimiliki. Begitu pula mustahik, mereka tidak

secara langsung terkait dalam aturan pengelolaan zakat -meskipun seharusnya aturan

ini menjadi salah satu sarana memperjuangkan kesejahteraan mereka- tetapi

mekanisme yang ada dari dulu hingga saat ini, mustahik diposisikan sebagai pihak

yang pasif, yang hanya menunggu untuk disantuni dan diberikan bantuan atau

diberdayakan melalui dana zakat. Padahal sesungguhnya, mereka punya hak

terhadap dana zakat tersebut, mereka punya hak untuk diberdayakan dan

disejahterakan melalui dana wajib keagamaan tersebut.

Mengenai penegakan hukum, dalam konteks aturan pengelolaan zakat tidak

ditegaskan secara gamblang dan juga tidak ditemui paktiknya di lapangan.

Logikanya, penegakan hukum akan berjalan ketika ada pelanggaran terhadap aturan

yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal terkait yang harus ada dalam

rangka penegakan hukum, yaitu pengawasan dan keterikatan subjek hukum terhadap

aturan.

Selama ini, pengelola zakat (subjek hukum) yang berada di masyarakat tidak

merasa terikat pada aturan pengelolaan zakat yang ada, sehingga mereka tidak

terlalu peduli terhadap ketentuan-ketentuan yang harusnya dilaksanakan ketika

mengelola zakat. Kondisi ini didukung dengan tidak adanya pengawasan yang

dilakukan oleh pihak yang berwenang, sehingga pengelola zakat bisa tetap

beroperasi walau tidak sesuai aturan karena tidak adanya pengawasan di lapangan.

Dalam hal ini, Kementerian Agama lah yang bertindak sebagai pengawas

Pengawasan yang dilakukan selama ini hanya ditujukan kepada para

pengelola yang telah resmi mendaftar dan mendapatkan izin operasional dari

Kementerian Agama, tentunya mereka adalah lembaga pengelola zakat yang telah

menjalankan program dan kegiatannya secara profesional. Pengawasan yang

dilakukan mengacu pada laporan-laporan kinerja pengelolaan zakat berkala yang

wajib dilaporkan kepada Kementerian Agama tiap tahun, selain itu laporan

keuangan yang telah diaudit juga menjadi salah satu aspek yang diawasi.

D. Pola Penghimpunan dan Pendistribusian Zakat oleh DKM

Model penghimpunan dan pendistribusian yang penulis temui dalam

penelitian ini hanyalah berupa penerimaan yang pasif serta penyaluran konsumtif

tradisional. Masjid-masjid hanya melakukan pengumpulan dengan menunggu

muzaki yang akan menunaikan zakatnya kepada mereka lalu mendistribusikannya

secara konsumtif, semua harta zakat yang mereka kumpulkan baik uang tunai

maupun beras, maka semuanya itu akan habis dibagikan kepada mustahik yang telah

mereka tentukan. Setelah Ramadan selesai, maka selesai pula lah tugas panitia zakat

Page 121: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

106

yang dibentuk DKM, biasanya diakhiri dengan pelaporan hasil penghimpunan dan

pendistirbusian zakat yang disampaikan baik secara lisan sebelum salat Idul Fitri,

ataupun berupa laporan tertulis yang ditempel di papan pengumuman masjid238

.

Harta zakat yang dikumpulkan benar-benar habis didistribusikan secara

konsumtif, sehingga pihak yang menyalurkan pun tidak bisa mengharapkan banyak

perubahan yang akan dirasakan oleh mustahik. Mustahik sebagai penerima zakat

tentu akan menerima apapun bentuk zakat yang diberikan kepada mereka, karena

mereka tidak dalam posisi yang bisa memilih bahkan menuntut untuk diberikan

pemberdayaan secara ekonomi yang diharapkan bisa memperbaiki kualitas hidup

mereka, hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penyaluran zakat dalam bentuk

program produktif.

Dalam konteks sistem distribusi zakat, sebagaimana yang dikemukakan

Rosadi dan Athoilah (2015), bahwasanya pendistribusian zakat di Indonesia lebih

cocok menggunakan sistem desentralisasi. Desentralisasi ini berarti bahwa

kewenangan dalam mendistribusikan dana zakat diserahkan kepada masing-masing

wilayah atau lembaga yang mengelola zakat, di mana zakat itu dihimpun maka di

situlah zakat didistribusikan239

. Konsep ini pun sesuai dengan pendapat Fuqaha,

bahwasanya zakat sejatinya didistribusikan di wilayah pengumpulannya, tidak boleh

dipindahkan ke wilayah lain jika memang masih ada mustahik di wilayah tersebut240

.

Pengelolaan zakat di masjid-masjid harus didorong untuk mulai melakukan

terobosan dalam hal pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang mereka

kumpulkan. Inisiatif dan praktik pengelolaan zakat yang telah lama berlangsung

secara turun temurun di masjid-masjid harus tetap eksis, tetapi juga harus didorong

untuk segera menyesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku241

.

Banyak model pemberdayaan yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan

dana zakat atau dana sosial keagamaan lainnya yang dikelola di masjid. Program

pemberdayaan ini seyogyanya disesuaikan dengan potensi yang ada di masyarakat

dan keadaan lingkungan sekitar, seperti misalnya masyarakat sekitar masjid banyak

yang kegiatannya bercocok tanam, maka pemberdayaan yang dilakukan bisa dengan

pemberian bantuan bibit tanaman misalnya hingga akses ke penjualan hasilnya,

238 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,

Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid

Nurullah. 239

Aden Rosadi dan Mohammad Anton Athoillah, “Distribusi Zakat di Indonesia: Antara

Sentralisasi dan Desentralisasi” Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 15,

no 2. (2015): 237-256. 240

Mazhab Hanafi menghukumi Makruh Tanzih memindahkan distribusi zakat ke daerah

lain, mazhab Shafii tidak membolehkannya kecuali memang tidak ditemukan lagi mustahik,

mazhab Maliki dan mzahab Hambali juga tidak membolehkan tetapi keduanya memberikan

batasan jarak qasar sebagai ukuran jauh atau dekatnya zakat tersebut dipindahkan, maka

boleh memindahkan pendistribusian zakat ke daerah yang masih tidak melewati batas 89 km

(masa>fah al-qas}r). Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus:

Da>r al-Fikr, 2006), jilid 3, 1976-1978. 241

Sebagaimana yang diungkapkan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf

Kementerian Agama saat diwawancarai pada 24 Juli 2019.

Page 122: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

107

begitu pula jika masyarakat sekitar adalah para nelayan, membuka akses penjualan

yang lebih baik bagi mereka bisa juga dilakukan.

Pendistribusian zakat secara konsumtif yang selama ini dilakukan DKM

tidak memberikan manfaat jangka panjang dan tidak berkelanjutan karena akan

habis digunakan, meskipun demikian dalam proses penelitian ini penulis menemui

masjid yang telah memahami dan berkeinginan mengubah pola pendistribusian

zakat mereka yaitu DKM Masjid Jami al-Nur. Menurut Faris, pendistribusian zakat

di masjid akan diupayakan untuk dialihkan dari pembagian secara konsumtif ke

progam pemberdayaan mustahik secara ekonomi. Tentu akan ada hal yang berbeda,

misalkan dari sisi kuantitas mustahik yang mendapatkan zakat akan berkurang tetapi

mustahik-mustahik tertentu yang dipilih untuk diberdayakan diharapkan bisa

terbantu dan ke depannya dapat mandiri untuk memenuhi kebutuhan ekonominya242

.

Faris mencontohkan bahwa di sekitar masjid banyak janda-janda tua yang

dulunya pernah berjualan nasi uduk dan nasi ulam. Mereka saat ini tidak lagi

berjualan karena terkendala modal sehingga tidak ada pemasukan lain untuk

memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka bisa diberdayakan dengan harta zakat yang

dihimpun masjid berupa pemberian modal usaha agar bisa menjalankan kembali

penjualan nasi uduk dan nasi ulam sehingga roda perekonomian keluarga bisa

berputar kembali. Selain pemberian modal usaha, mustahik juga perlu diberikan

pembinaan dan pendampingan, minimal tentang bagaimana memisahkan aset usaha

dengan aset rumah tangga dengan pencatatan dan pembukuan aset tersendiri atau

laporan alur kas pengeluaran dan pemasukan usaha agar kinerja usahanya bisa terus

dipantau dan dievaluasi243

.

Masjid-masjid yang mengelola zakat di masyarakat tentu tidak bisa

berkembang tanpa ada masukan dan kritik yang membangun dari pihak eksternal

untuk memperbaiki kualitas pengelolaan zakatnya. Perlu koordinasi dan kolaborasi

dengan berbagai pihak agar zakat yang dikelola masjid lebih bermanfaat bagi

mustahik di sekitar lingkungannya. Sikap semacam ini nampaknya sulit terwujud

jika hanya menunggu dan mengharapkan DKM secara mandiri melakukan

perubahan yang signifikan dalam pengelolaan zakat. padahal banyak lembaga zakat

yang mumpuni dan bisa memfasilitasi dalam mengajarkan dan melatih tatacara

manajemen zakat yang profesional, apalagi masjid-masjid tersebut terletak di

kawasan perkotaan, aksesnya tentu lebih mudah dalam menjangkau pihak-pihak

yang dapat diajak bekerjasama.

E. Implikasi Kepatuhan Hukum DKM terhadap Pengelolaan Zakat

Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh DKM di masjid selama ini berjalan

mandiri tanpa melibatkan pihak-pihak eksternal. Kemandirian DKM dalam konteks

ini tidak menggambarkan hal yang bagus, karena tidak memaksimalkan koordinasi

yang bisa memberikan perbaikan-perbaikan pada pengelolaan zakat yang dilakukan.

242

Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur

Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019. 243

Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur

Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019.

Page 123: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

108

Hal tersebut terjadi karena ada aspek legalitas yang belum terpenuhi, sehingga tidak

terjadi ruang interaksi dan komunikasi yang baik.

Jika dari pihak masjid berupaya untuk menyesuaikan diri dengan peraturan

yang ada, maka mereka pun pasti akan mendatangi KUA setempat untuk

berkoordinasi terkait pengelolaan zakat yang dilakukan, sekaligus membuka peluang

kerjasama yang mungkin bisa dilakukan.

Perlu dipahami, pengelolaan zakat di Indonesia melibatkan banyak sektor,

ada yang bertugas sebagai regulator, pengawas, pelaksana atau operator, hingga

rekanan atau mitra pengelola zakat. Ketika semua pihak yang terkait melakukan

tugas dan fungsinya secara baik, bahkan berkoordinasi dan bersinergi dalam

kegiatan yang saling mendukung perbaikan pengelolaan zakat nasional, maka

kuantitas penghimpunan zakat juga kualitas pendistirbusian dan pendayagunaannya

akan terlaksana dengan baik.

Setelah penulis melakukan wawancara kepada beberapa pihak terkait,

penulis berkesimpulan bahwa koordinasi dan sinergi yang diharapkan tersebut

belum sepenuhnya terlaksana. Ada beberapa sektor potensial yang belum bersinergi

dalam hajat pengelolaan zakat, dengan alasan aspek pengelolaan zakat bukan

wilayah tugas dan kewenangan mereka.

Berikut penjelasan rinci tentang pihak-pihak yang memiliki kewenangan

dan kebijakan serta peran penting dalam menjalankan pengelolaan zakat di

Indonesia.

1. Kementerian Agama

Seperti yang kita ketahui, representasi pemerintah dalam pengelolaan zakat

ada di Kementerian Agama, sebagai kementerian yang mengurusi kegiatan-kegiatan

umat beragama, dalam hal ini umat Islam. Kementerian Agama memiliki beberapa

Direktorat Jendral. Dalam kaitannya dengan zakat, urusannya ada di Direktorat

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (BIMAS Islam), lalu lebih spesifik lagi ada

Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf sebagai satuan khusus yang menangani

berbagai macam hal yang berkaitan dengan zakat dan wakaf di Indonesia.

Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf tersebut memiliki 4 sub-

direktorat (subdit), yaitu Subdit Kelembagaan dan Informasi Zakat dan Wakaf,

Subdit Edukasi, Inovasi, dan Kerjasama Zakat dan Wakaf, Subdit Akreditasi dan

Audit Lembaga Zakat, dan Subdit Pengamanan Aset Wakaf. Keempat subdit

tersebut masing-masing memiliki seksi khusus yang menangani program yang lebih

spesifik tentang zakat dan wakaf.

Kementerian Agama di level Provinsi atau Kantor Wilayah Kementerian

Agama Provinsi juga memiliki satuan khusus untuk mengurusi pengelolaan zakat,

yaitu Seksi Pemberdayaan Zakat yang berada di bawah naungan Bidang Penerangan

Agama Islam, Zakat, dan Wakaf244

.

Kementerian Agama di tingkat Kabupaten/Kota memiliki seksi Bimbingan

Masyarakat Islam juga Penyelangara Syariah yang memiliki keterkaitan dengan hal

244

Diakses melalui laman https://dki.kemenag.go.id/struktur-organisasi

Page 124: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

109

pelaksanaan pengelolaan zakat. Menurut Yunus, seksi yang dia tangani sebenarnya

memang mengurusi juga tentang pelaksanaan zakat, tetapi pihaknya tidak ingin

melakukan hal terlalu jauh melampaui kewenangan dalam hal zakat, karena sudah

ada BAZNAS yang memiliki tugas dan fungsi itu. Nasruddin mengungkapkan

bahwa Kementerian Agama punya petugas khusus yang langsung terjun ke

masyarakat dalam melayani pembinaan-pembinaan yang terkait dengan syariat

Islam, seperti halnya juga zakat. Petugas itu adalah penyuluh agama di KUA.

Penyuluh ini lah yang tugasnya langsung bersinggungan dengan masyarakat secara

intens245

.

Yunus menambahkan, bahwa program yang dijalankan di kantor

pemerintahan pada dasarnya berbasis pada alokasi anggaran, sehingga program yang

tidak dianggarkan maka secara otomatis tidak akan terealisasi. Meskipun tidak

secara langsung melakukan pembinaan atau pengawasan dalam hal pengelolaan

zakat di masyarakat, Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan mengkoordinir

penghimpunan zakat internal pegawai dan instansi terkait di bawah naungannya lalu

menyerahkannya langsung ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI

Jakarta246

.

Representasi Kementerian Agama di tingkat yang paling rendah adalah

Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di setiap Kecamatan. Fungsi dan tugas

KUA yang selama ini dikenal di masyarakat hanyalah tentang urusan pernikahan,

tetapi sebenarnya KUA juga mengurusi berbagai macam hal urusan umat Islam.

Dalam aturannya, KUA menyelenggarakan 9 (sembilan) fungsi utama247

,

yaitu:

a. Melaksanakan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah

dan rujuk;

b. Menyusun statistik layanan dan bimbingan masyarakat Islam;

c. Mengelola dokumentasi dan sistem informasi manejemen KUA

Kecamatan;

d. Melayani bimbingan keluarga sakinah;

e. Melayani bimbingan kemasjidan;

f. Melayani bimbingan hisab-rukyat dan pembinaan syariah;

g. Melayani bimbingan dan penerangan agama Islam;

h. Melayani bimbingan zakat dan wakaf, dan

i. Melaksanakan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA Kecamatan.

Selain melaksanakan fungsi-fungsi di atas, KUA juga dapat melayani

bimbingan manasik haji bagi jamaa haji reguler.

Poin penting dari fungsi utama KUA yang memiliki keterikatan dengan

pengelolaan zakat adalah fungsi pada huruf (h) yang menyebutkan bahwa KUA juga

melayani bimbingan zakat dan wakaf. Jika dikaitkan dengan peraturan tentang

245

Hasil wawancara penulis dengan Nasruddin; Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam

Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. 246

Hasil wawancara penulis dengan Yunus Hasyim; Kepala Seksi Penyelenggara Syariah

Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. 247

Pasal 3 Peraturan Menteri Agama No. 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tatakerja

Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Page 125: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

110

pengelolaan zakat yang lain, fungsi KUA dalam hal bimbingan zakat juga sesuai

dengan tugas mereka dalam menerima laporan atau pemberitahuan secara tertulis

yang dilakukan oleh amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang yang

mengelola zakat di wilayah yang belum terjangkau layanan BAZNAS atau LAZ248

.

Hal ini menandakan bahwasanya KUA memiliki peran yang penting dalam

membantu koordinasi pelaksanaan pengelolaan zakat di tingkat kecamatan hingga di

level RT-RW, karena KUA adalah satu-satunya kantor resmi yang mewakili

Kementerian Agama dalam melayani segala macam urusan umat Islam di level

wilayah tersebut. Pengelolaan zakat di level kecamatan hingga masjid-masjid

mencakup RT-RW selama ini laporannya memang belum terekam secara nasional,

karena fungsi KUA dalam hal zakat ini tidak dilaksanakan, juga tidak diketahui

masyarakat muslim pada umumnya. Itulah mengapa, data potensi zakat selalu jauh

dari hasil realisasi penghimpunan di lapangan, karena salah satunya banyak

pengelolaan zakat yang tidak terpublikasi laporannya terutama yang belum

terkoordinasi dalam jaringan pengelola zakat resmi, seperti halnya yang dilakukan di

masjid-masjid ataupun zakat yang langsung disalurkan kepada mustahik.

Penulis mendapati bahwa KUA Kecamatan Pancoran seperti halnya dengan

KUA-KUA lain masih terfokus pada fungsi pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan

pelaporan nikah dan rujuk. Harus ada intensifikasi fungsi bimbingan zakat yang ada

di KUA sehingga masyarakat bisa terfasilitasi untuk mengakses isu-isu terkait

hukum positif pengelolaan zakat.

2. BAZNAS dan LAZ

BAZNAS dan LAZ adalah pengelola zakat resmi yang telah diberikan

kewenangan untuk mengelola zakat di Indonesia. Posisi BAZNAS dalam

pengelolaan zakat di Indonesia sangatlah penting, karena BAZNAS lah satu-satunya

badan resmi yang dibentuk pemerintah untuk melakukan seluruh rangkaian

pengelolaan zakat secara nasional mulai dari perencanaan, penghimpunan,

pendistribusian, pendayagunaan, dan pelaporan zakat secara kontinyu. BAZNAS

sesuai tingkatannya telah memiiliki tugas dan fungsinya masing-masing baik di

tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Tata cara kerja mereka tentunya

telah ditentukan secara jelas sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih antar

BAZNAS di setiap tingkatannya. Begitu pula dengan LAZ, lembaga zakat yang

dibentuk masyarakat ini telah mendapatkan izin operasional karena telah memenuhi

syarat yang telah ditentukan dalam aturan pengelolaan zakat. Posisi LAZ sama

pentingnya dalam mengelola zakat di Indonesia, umumnya LAZ juga telah

menerapkan model pengelolaan zakat dengan manajemen yang profesional,

akuntabel, dan transparan.

Penulis menilai, bahwasanya selama ini BAZNAS masih terfokus pada

fungsinya sebagai pengelola zakat (operator) dan koordinator para pengelola zakat

di Indonesia, sehingga kinerja yang dilaporkan adalah hasil penghimpunan,

pendistibusian, dan pendayagunaan zakat yang mereka lakukan. Ada peran penting

yang masih belum dimaksimalkan oleh BAZNAS yaitu mendorong dan

248

Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Page 126: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

111

mengedukasi serta merangkul para pengelola zakat yang masih berada di luar

koordinasi mereka.

Dalam menjalankan fungsi tersebut BAZNAS harus menghindari

penggunaan pendekatan kekuasaan mengatasnamakan mandat dan amanah

konstitusi, apalagi mengancam dengan sanksi-sanksi. Pihak-pihak yang terkait tentu

akan kehilangan antusias dan simpati untuk turut ikut dalam suatu koordinasi

pengelolaan zakat yang terintegrasi secara nasional. Menurut penulis, pendekatan

kultural yang lebih mengedepankan ajakan bermitra dan bekerjasama akan lebih

mudah diterima oleh para pengelola zakat yang masih berada di luar koordinasi

BAZNAS.

LAZ pun demikian, lebih fokus pada penghimpunan zakat melalui

programnya masing-masing. Jaringan LAZ belum terkonsentrasi di banyak daerah

atau cabang-cabang jaringan lainnya, kecuali LAZ yang berbasis organisasi

masyarakat Islam, seperti LAZISNU yang ada di bawah naungan Nahdlatul Ulama

ataupun LAZISMU milik Muhammadiyah.

Menariknya, LAZ yang yang bernaung di bawah organisasi kemasyarakatan

Islam telah memiliki jejaring yang kuat di daerah hingga ke masyarakat bawah

sehingga sangat dengan koordinasi yang baik, jejaring tersebut bisa dimaksimalkan

untuk turut menjadi bagian dari pengelola zakat yang resmi juga profesional.

Jejaring LAZ ini sifatnya sama seperti UPZ yang dibentuk BAZNAS, yaitu sebagai

unit penghimpunan zakat juga pendistribusian dan pemberdayaan yang langsung

bisa dilakukan di masyarakat sekitarnya.

Jejaring LAZ, sebagaimana UPZ BAZNAS bisa dibentuk di berbagai

macam tingkatan dari banyak instansi kemayarakatan Islam, misalnya masjid-

masjid, majelis taklim, madrasah, pesantren dan lainnya, tetapi hal ini belum

dilakukan secara maksimal oleh LAZ, apalagi LAZ yang tidak bernaung pada

sebuah organisasi masyarakat berbasis Islam.

3. Majelis Ulama Indonesia

Zakat yang merupakan syariat umat Islam tentu sangat terkait dengan pihak-

pihak lain yang juga mengurusi berbagai macam masalah umat Islam, di Indonesia

ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah perkumpulan ulama dan

cendekiawan muslim yang punya pengaruh cukup signifikan bagi masyarakat

muslim Indonesia. Salah satu fungsi MUI yang bisa menjadi acuan masyarakat

muslim Indonesia adalah al-Ifta>’ yaitu memberikan fatwa terhadap berbagai

persoalan agama Islam, terutama yang bersinggungan langsung dengan kehidupan

berbangsa dan bernegara di Indonesia.

MUI di tingkat pusat memiliki 12 komisi yang masing-masing fokus dalam

tiap sektornya, yaitu:

1. Komisi Fatwa,

2. Komisi Informasi dan Komunikasi

3. Komisi Hukum dan Perundang-undangan,

4. Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat

5. Komisi Pendidikan dan Kaderisasi

Page 127: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

112

6. Komisi Pengkajian dan Penelitian

7. Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga

8. Komisi Ukhuwah Islamiyah

9. Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama

10. Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam

11. Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat

12. Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional

Dengan komisi sebanyak itu, MUI tentunya bisa banyak terlibat dalam

berbagai program yang bermanfaat untuk umat Islam Indonesia khususnya dan

bangsa Indonesia pada umumnya. Peran MUI yang paling signifikan dan banyak

dinantikan masyarakat muslim Indonesia adalah hasil kinerja Komisi Fatwa. Komisi

ini memang tugasnya khusus menangani berbagai macam persoalan agama Islam

khususnya yang kontemporer yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan

bernegara. Di antara fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI banyak yang secara

langsung berkaitan dengan zakat.

Fatwa tentang zakat yang dikeluarkan MUI tentu dibutuhkan sebagai

legitimasi kajian hukum menurut agama Islam yang saling menguatkan dengan

undang-undang pengelolaan zakat yang ada.. Komisi fatwa MUI telah mengeluarkan

10 fatwa terkait zakat mulai dari tahun 1982 hingga tahun 2011249

. Semua fatwa

zakat tersebut banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat muslim Indonesia

termasuk pemerintah, khususnya Salah satu fatwa MUI dalam hal zakat yang isinya

menguatkan peran pemerintah dalam ketentuan undang-undang pengelolaan zakat

adalah fatwa no. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat.

Peran MUI pusat memang memiliki pengaruh kuat untuk dijadikan salah

satu rujukan dalam berbagai permasalahan agama dan kebangsaaan, meskipun

demikian secara kelembagaan MUI di daerah-daerah juga memiliki pengaruh, hanya

saja tingkat signifikannya yang berbeda-beda. Menyandang kata ulama, tentu

lembaga ini memiliki martabat dan kharisma yang besar di lingkup masyarakat

beragama, khususnya masyarakat muslim, karena lembaga ini diisi oleh para tokoh

agama, kyai, dan cendikiawan yang punya pengaruh di lingkungannya.

Dalam kaitannya dengan zakat, MUI tentu sangat tepat untuk dijadikan

mitra oleh para pegiat zakat, terutama dalam hal sosialisasi dan pelaksanaan

program. Semakin banyak elemen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan

zakat, semakin masyarakat akan tersadarkan bahwasanya pengelolaan zakat

bukanlah kepentingan BAZNAS atau LAZ semata, tetapi kepentingan umat Islam

secara umum.

Informasi yang penulis dapatkan di lapangan, belum adanya program rutin

yang dijalankan oleh para stakeholder zakat di masyarakat, di antaranya pengelola

zakat, masjid, MUI, sampai KUA250

. Belum terciptanya sinergi dan koordinasi yang

solid dalam mengerakkan seluruh potensi untuk pengelolaan zakat yang lebih baik

249

Widi Nopiardo. “Perkembangan Fatwa MUI tentang Masalah Zakat” Jurnal Ilmiah

Syari’ah 16, no. 1 (2017): 89-109. 250

Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar

pada tanggal 04 April 2019.

Page 128: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

113

menjadi tantangan umat Islam ke depannya, karena kebijakan zakat tidak bisa hanya

dijalankan oleh satu pihak saja, melainkan harus melibatkan banyak pihak, termasuk

juga masyarakat secara umum.

4. Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masjid

Banyaknya jumlah masjid di Indonesia tentu merupakan hal yang positif

dalam konteks syiar dan dakwah Islam, tetapi jika masjid-masjid tersebut tidak dapat

dimaksimalkan potensinya, maka menjadi hal yang sangat ironi bagi masyarakat

muslim Indonesia.

Organisasi memang berfungsi untuk menjadikan hal-hal sulit menjadi

mudah dengan menerapkan manajemen yang baik, khususnya terkait

pengkoordinasian sesuatu dalam unit yang besar, termasuk masjid di Indonesia yang

jumlahnya ribuan251

. Kehadiran organisasi perkumpulan masjid harus disambut

positif oleh masyarakat muslim Indonesia, terutama para pengurus masjid yang

nantinya masuk dalam koordinasi organisasi tersebut.

Tabel 10.

Fungsi Stakeholders Zakat di Indonesia

No. Stakeholders Fungsi

1 Kementerian Agama Mengawasi dan menertibkan izin

operasional pengelola zakat

2. BAZNAS dan LAZ Selain sebagai operator, lembaga ini

harus menjalankan fungsi edukasi

kepada masyarakat dengan cara-cara

persuasif dan merangkul pengelola-

pengelola zakat tradisional untuk

menjadi bagian mereka berupa UPZ

atau mitra.

3. MUI Mengawal dan berkoordinasi dalam

hal edukasi dan dakwah keagamaan

tentang zakat kepada masyarakat

4. Ormas Perkumpulan Masjid Mengkoordinir masjid-masjid untuk

mengupayakan diri bergabung dalam

pengelola zakat yang resmi Sumber: Data diolah Penulis

F. Paradigma Pengelolaan Zakat di Masjid

251

Menurut data yang penulis dapatkan secara online di laman http://simas.kemenag.go ada

sebanyak 253.299 masjid di Indonesia yang telah terdata di sistem ini.

Page 129: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

114

Pengelolaan zakat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah

keterlibatan langsung masyarakat di akar rumput yang telah melakukan aktivitas

pengelolaan secara berkelanjutan sebelum akhirnya diatur dalam Undang-Undang

yang menandakan keseriusan pemerintah untuk terlibat dalam agenda strategis ini.

Paradigma pengelolaan zakat bottom-up merupakan satu cara mengaktualisasi nilai

ibadah zakat untuk mencapai tujuannya, dimulai dari bawah kemudian berlanjut ke

atas, dari lingkungan-lingkungan kecil masyarakat untuk menjangkau lingkungan

masyarakat yang lebih luas252

.

Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pengelolaan Zakat baik di

tahun 1999 maupun 2011, paradigma pengelolaan zakat yang terjadi telah bergeser,

yang mulanya bottom-up, menjadi top-down. Pergeseran paradigma ini adalah

keniscayaan dari sifat hukum yang tersentral dari pembuat kebijakan, sehingga

aspek legalitas dan regulasi menjadi hal utama yang harus dipatuhi seluruh subjek

hukum yang terkait untuk memastikan kesesuaian mereka dengan aturan dan

ketentuan hukum zakat yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

Keterlibatan pemerintah dalam regulasi pengelolaan zakat mutlak

dibutuhkan untuk melegitimasi praktik ini agar menjadi hukum publik atau hukum

positif yang keberadaannya dilandasi peraturan yang berkekuatan hukum. Semua

regulasi yang dikeluarkan pemerintah secara struktural akan berdampak kepada

penyesuaian top-down pada instansi-instansi terkait, akan tetapi peraturan yang

berkaitan langsung dengan masyarakat apalagi menjadi salah satu hajat besar

mereka tidak cukup hanya menggunakan paradigma top-down.

Masyarakat pada umumnya tidak bisa disamakan dengan aparatur sipil

negara yang akan mematuhi kebijakan pusat sesuai arahan dan instruksi yang ada.

Masyarakat grass root adalah kumpulan orang yang konsen dengan masalah-

masalah lingkungan mereka sehingga diperlukan penanganan dan solusi yang cepat

dan efektif untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu mereka akan lebih responsif

dengan melakukan inisiasi dan inovasi yang dianggap memiliki dampak positif

untuk lingkungan masyarakat mereka. Masyarakat tidak seharusnya didikte secara

kaku untuk menerapkan suatu peraturan, akan tetapi diberikan pemahaman dan

pembinaan serta arahan yang persuasif agar tergerak untuk mematuhi peraturan yang

ada.

Paradigma bottom-up dalam pengelolaan zakat akan tetap eksis selama

masyarakat bisa bertahan dengan kemandirian mereka, terutama mandiri dalam

finansial dan pembiayaan keuangan lembaga. Kemandirian ini penting karena

menjadi salah satu kekuatan dan daya tawar civil society yang dapat mengimbangi

peran pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwasanya program-

program pemerintah dijalankan berdasarkan anggaran, baik Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN), ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD). Lain halnya dengan lembaga zakat yang tidak sepenuhnya mengandalkan

APBN atau APBD, karena dana zakat serta infak, sedekah, wakaf, dan dana sosial

keagamaan lainnya tersebar luas di seluruh masyarakat muslim Indonesia. Potensi

252

M. Fuad Nasar, Zakat di Ranah Agama dan Negara (Jakarta: Rafikatama, 2018), 227.

Page 130: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

115

dana-dana tersebut yang selama ini dijadikan sumber keuangan lembaga-lembaga

Islam yang juga mengelola zakat.

Langkah pemerintah yang mengakomodir praktik zakat dan mengaturnya

dalam sebuah Undang-Undang telah tepat, tetapi tidak hanya berhenti pada regulasi

semata, harus ada upaya untuk menyatukan visi semua pihak dan stakeholder zakat

tanah air untuk mencapai tujuan bersama dari pengelolaan zakat yang sama-sama

dilakukan. Paradigma top-down akan tetap dibutuhkan sebagai kontrol dan

pengawasan yang sistematis agar para pengelola zakat bisa berkinerja secara

maksimal dan profesional, sementara dalam hal pelaksanaan pengelolaan zakat bisa

digunakan paradigma bottom-up yang semangatnya menyebar dari seluruh lapisan

masyarakat di level yang paling bawah, masjid-masjid tentu sangat strategis untuk

dijadikan basis pengelolaan zakat di masyarakat.

Hal demikian dianggap penting karena pengelolaan zakat di masjid telah

berlangsung secara bertahun-tahun dan menjadi tradisi setiap tahunnya di bulan

Ramadan, alangkah baiknya bila tradisi tersebut terus dipertahankan dan diperkuat

dengan aspek legalitas pengelolaan zakat untuk didorong menjadi UPZ atau mitra

lembaga resmi pengelola zakat lainnya agar pengelolaan zakat bisa dilakukan

dengan terkoordinasi, terencana, dan dijalankan secara profesional sepanjang waktu.

Dana zakatnya pun tidak hanya habis didistribusikan secara konsumtif, tetapi bisa

lebih bernilai guna dan memberikan manfaat jangka panjang untuk memberdayakan

mustahik di masyarakat sekitar masjid tersebut, bahkan dengan harapan bisa

memperbaiki taraf dan kualitas hidup mustahik hingga bisa berubah menjadi muzaki

kelak.

Selain sisi positif dari model bottom-up di atas, model pengelolaan zakat

semacam ini juga berpotensi menimbulkan hal yang negatif terkait kepatuhan

hukum. Pengelolaan zakat di masjid yang bottom-up sementara pemberlakuan

hukum yang top-down tentu berbeda, sehingga jika kedua paradigma ini terus

dibiarkan bersebrangan, maka akan menjadi masalah, yaitu tidak patuhnya pengelola

zakat di level masyarakat terhadap hukum yang dibuat. Perlu ada perlakuan-

perlakuan khusus untuk menemukan kedua paradigma pengelolaan zakat ini, tidak

melalui pendekatan sanksi ataupun kekuasaan, tetapi pendekatan sosiologis dan

kemasyarakatan.

G. Distingsi Wilayah Perkotaan dalam Pengelolaan Zakat di Masjid

Wilayah perkotaan setidaknya memiliki pembeda yang signifikan dalam hal

pengelolaan zakat yang dilakukan di wilayah perdesaan misalnya. Di wilayah

perkotaan, masjid-masjid sudah menjalankan fungsi organisasi dengan baik

contohnya dalam pembagian tugas DKM sehingga masing-masing masjid memiliki

struktur pengurus beserta tugas-tugasnya dengan jelas. Ketertiban fungsi organisasi

juga terlihat dari sisi pengadministrasian keuangan masjid yang rapi, memiliki

pembukuan tersendiri yang setidaknya berisi informasi arus kas masuk dan keluar

serta sumber dan peruntukannya.

Di balik hal tersebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan bisa

berfungsinya tatakelola masjid yang terorganisir, misalnya tingkat pendidikan dan

pengalaman berorganisasi para pengurusnya, interaksi yang aktif dan konstruktif

Page 131: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

116

serta kritis antara pengurus dan para jamaah, komposisi heterogenitas jamaah dan

penduduk sekitar masjid turut memberikan dinamika yang kondusif dan dinamis

dalam keberlangsungan tatakelola masjid di perkotaan.

Masjid di wilayah perkotaan secara mandiri telah melakukan pembukuan

kas yang diterima dari infak dan sedekah jamaah, khususnya melalui kotak amal

yang ada di masjid, baik kotak amal keliling di waktu salat Jumat maupun kotak

amal lainnya. Pembukuan kas masjid ini sangat dibutuhkan untuk memisahkan

sumber-sumber dana yang dihimpun oleh masjid, apalagi bagi masjid yang

melakukan pengelolaan dana keagamaan seperti zakat fitrah dan atau zakat mal yang

peruntukannya sudah tertentu kepada golongan mustahik.

Infak-sedekah dan zakat masing-masing memiliki ketentuannya bahkan

banyak perbedaan mendasar yang menjadi konsekuensi hukum penggunaannya.

Sebagaimana yang banyak dipahami masyarakat muslim kita bahwa infak dan

sedekah hukumnya sunnah253

, pelakunya disebut munfiq atau mutas}addiq

penggunaanya tidak dibatasi pada hal-hal tertentu, karena secara kepemilikan, dana

infak maupun sedekah ketika telah diinfakkan atau disedekahkan maka menjadi

milik pihak penerima, oleh sebab itu pentasarufannya pun telah menjadi hak si

penerima. Sedangkan zakat hukumnya wajib, baik zakat fitrah yang ditunaikan atas

setiap jiwa di setiap tahunnya, ataupun zakat mal yang ditunaikan atas harta-harta

tertentu ketika telah mencapai nis}a>b dan h{aul. Penerimanya telah ditentukan oleh

Alquran, terbatas pada 8 golongan yang disebut mustahik yang keberhakkannya

sesuai dengan urutan penyebutan, mulai dari fakir, miskin, dan seterusnya.

Dengan adanya kas masjid yang sumber pemasukannya tidak terbatas

waktu, sebagian masjid di perkotaan memanfaatkan dana kas tersebut untuk

mengupah petugas-petugas atau panitia zakat yang mengelola zakat jamaah di bulan

Ramadan sehingga dana zakat yang terkumpul seluruhnya bisa didistribusikan

kepada mustahik tanpa potongan apapun. Hal ini merupakan salah satu pembeda

dalam aspek pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid di wilayah perkotaan.

Sementara itu kebanyakan masjid di wilayah perdesaan dikelola secara

kekeluargaan, tidak memiliki pembukuan kas masjid, sehingga ketika masjid juga

mengelola zakat, upah bagi panitia zakat diambil juga dari dana zakat yang mereka

anggap sebagai bagian hak amil254

. Sebagai contoh masjid di kecamatan Mauk yang

masuk dalam kategori wilayah perdesaan, pencatatan keuangan masjid tidak begitu

baik, tidak ada susunan pengurus dan tugas-tugas yang jelas, bahkan di beberapa

253

Secara etimologi kata infak termasuk dalam hal yang umum yang berarti mengeluarkan

harta (s{arf al-ma>l), lalu kemudian infak bisa digolongkan kepada 2 macam; ada infak yang

sifatnya wajib ada yang mustah{abb atau sunah. Infak yang wajib seperti infak kepada istri

dan anak atau orang yang berada di bawah tanggungan (nafaqah), infak kepada orang tua

yang membutuhkan, bahkan zakat pun bisa dikategorikan dalam infak wajib. Adapun infak

yang sunnah atau mustahabb (dianjurkan) misalnya sedekah dan pemberian lain secara ikhlas

dalam hal kebaikan. 254

Penulis mengambil contoh di kecamatan Mauk yang termasuk wilayah perdesaan di

Kabupaten Tangerang. Mengacu pada data di simas.kemenag.go.id dari 13 masjid yang ada

di kecamatan Mauk, hanya 7 yang memiliki kegiatan pengelolaan zakat.

Page 132: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

117

desa praktik berzakat lebih sering dibayarkan ke tokoh agama setempat, seperti guru

ngaji dari pada dikumpulkan di masjid255

.

Praktik mengambil sebagian dana zakat untuk petugas zakat yang dibentuk

DKM banyak ditemukan di masjid di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya di

perdesaan, di wilayah perkotaan pun masih ada yang melakukannya. Hal demikian

terjadi karena pemahaman DKM tentang hakikat siapa sesungguhnya amil zakat

masih belum sinkron dengan pengertian amil zakat yang ada pada peraturan

perundang-undangan256

ataupun pemahaman fikih secara lebih detail.

Selain perbedaan akibat aspek tatakelola keuangan masjid yang terorganisir,

hal penting dalam tesis ini yang penulis teliti adalah kepatuhan DKM masjid

perkotaan terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia. Setelah penulis

lakukan penelitian ternyata letak masjid di wilayah perkotaan tidak berkaitan secara

langsung dengan kepatuhan terhadap aturan hukum pengelolaan zakat.

Masjid-masjid yang penulis teliti meskipun secara geografis termasuk dalam

wilayah perkotaan, tetapi kultur masyarakatnya belum modern, cenderung homogen

(didominasi penduduk asli setempat; suku Betawi) belum banyak bercampur dengan

berbagai masyarakat dari lain latar belakang, serta pengelolaan zakat yang dilakukan

pun masih konvensional.

Aspek legalitas dan hukum positif pengelolaan zakat tidak disadari oleh

DKM sebagai hal yang fundamental bagi masjid sehingga selama mereka

melakukan kebiasaan atau tradisi yang baik, tuntunan agama juga, jelas memberikan

manfaat kepada penerima zakat, tidak ada teguran atau himbauan dari pihak

berwenang, maka pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid akan tetap ada dan

terus dilanjutkan.

BAB V

255

Hasil wawancara penulis dengan K.H. Asmawi; tokoh masyarakat Kecamatan Mauk pada

29 Desember 2019. 256

Lihat di awal bab IV tentang pemahaman mengenai hakikat amil zakat.

Page 133: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

118

PENUTUP

Bagian ini menyajikan kesimpulan dan saran penulis dalam penelitian yang

dilakukan terkait pemahaman fikih dan hukum positif pengelolaan zakat yang

dipraktikkan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dalam mengelola zakat di

masjid perkotaan.

A. Kesimpulan

Pada intinya, penelitian ini membuktikan bahwasanya pemahaman DKM

terhadap fikih zakat dan hukum positif masih belum sejalan sehingga menimbulkan

ketidakselarasan antara praktik yang dilakukan dengan ketentuan yang diatur. Aspek

yang sebenarnya belum dipraktikkan dalam hukum positif ini adalah aspek legalitas

pengelolanya, karena masjid-masjid belum menjadi pengelola zakat yang resmi, atau

minimal berbentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) BAZNAS atau mitra dari LAZ dan

juga aspek kualitas manajerial pengelolaannya. Wilayah perkotaan yang awalnya

penulis anggap akan sangat berpengaruh pada ketaatan hukum para DKM terhadap

aturan pengelolaan zakat yang ada, ternyata tidak berpengaruh secara signifikan.

Selain hal tersebut di atas, ada dua kesimpulan penelitian yang penulis

dapatkan dalam tesis ini sesuai rumusan masalah, yaitu:

Pertama, Pengelolaan zakat yang dilakukan DKM masjid perkotaan

dilandasi atas pemahaman fikih zakat yang dipahami secara tradisional dan sangat

erat dengan kebiasaan yang dipraktikan turun menurun. Amil zakat yang mereka

pahami adalah setiap petugas yang ditunjuk untuk mengelola zakat, dalam hal ini

meskipun petugas tersebut ditunjuk oleh DKM, mereka tetap menganggapnya

sebagai Amil Zakat yang memiliki kewajiban dan hak atas zakat yang mereka

kumpulkan selama bulan Ramadan. Adapun pemahaman mereka terhadap hukum

positif pengelolaan zakat di Indonesia masih sangat minim dan belum menyesuaikan

diri dengan ketentuan peraturan yang ada. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa

faktor di antaranya faktor lingkungan, faktor sikap masyarakat (baik muzaki maupun

masjid yang mengelola zakat) yang tidak memprioritaskan aspek legalitas dalam

melakukan pengelolaan zakat, faktor sosialisasi dari pihak yang memiliki kebijakan

dan mengeluarkan peraturan, serta faktor penegakan hukum.

Kedua, Pola penghimpunan zakat yang dilakukan DKM masjid perkotaan

masih pasif, hanya menunggu muzaki untuk berzakat kepada mereka. Adapun pola

pendistribusian zakat yang dilakukan selama ini hanya berbentuk panyaluran

konsumtif tradisional. Semua zakat yang dihimpun akan habis dibagikan maksimal

pada malam takbir, berupa beras ataupun nominal uang. Siklus semacam ini terus

berlangsung setiap tahun, masjid hanya menjadi tempat transit zakat dari masyarakat

untuk disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan, hampir tidak ada

dampak signifikan yang berkelanjutan yang didapatkan oleh penerima manfaat zakat

tersebut. Tentunya hal ini masih jauh dari tujuan zakat yang pada dasarnya

menginginkan adanya kemanfaatan yang bisa terus berkelanjutan sehingga menjadi

sarana mencapai keadilan sosial dan pemerataan ekonomi yang mampu mengubah

status mustahik menjadi muzaki yang sejahtera.

Page 134: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

119

B. Saran

Melalui penelitian ini, penulis merumuskan beberapa saran dan masukan

bagi pihak-pihak terkait dalam menghadapi dan mencari solusi untuk memperbaiki

pengelolaan zakat di masjid dalam konteks pemahaman fikih dan hukum positif

yang berlaku di antaranya:

Pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kebijakan dalam aturan hukum

pengelolaan zakat harus melakukan sosialisasi yang aktif dan intens dalam rangka

mengajak peran serta masyarakat yang mengelola zakat (dalam hal ini masjid) untuk

mengindahkan aspek legalitas sabagai dasar hukum yang berlaku sehingga

pengelolaan zakat yang dilakukan memiliki dasar hukum yang kuat dan pasti.

Dalam proses sosialisasi aturan dan pemberlakuannya, pihak-pihak seperti

BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota serta Kementerian Agama

harus menghindari cara-cara paksaan dengan dalih menegakan amanat undang-

undang, karena hal tersebut akan sangat rentan dengan sikap resitensi masyarakat

terhadap aturan pengelolaan zakat yang ada. Perlu dilakukan cara-cara persuasif

untuk merangkul dan mengajak para pegiat zakat di masjid-masjid ini sehingga

mereka bisa paham dan mengerti pentingnya aspek legalitas, dan juga mendapatkan

keuntungan-keuntungan dalam proses perbaikan pengelolaan zakat seperti pelatihan

manajerial pengelolaan zakat, sertifikasi amil-amil zakat, hingga konsep tatakelola

zakat yang profesional.

Opsi pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang dikonsepkan dalam

aturan pengelolaan zakat tidak akan maksimal terlaksana bagi masjid-masjid di

tingkat masyarakat bawah, apalagi jika tidak melalui proses sosialisasi dan inisiasi

yang aktif dari BAZNAS Kabupaten/Kota sehingga praktik pengelolaan zakat di

masjid semacam ini akan terus berlangsung tanpa perbaikan mekanisme. Perlu

adanya keterlibatan aktif BAZNAS Kabupaten Kota untuk merangkul masjid-masjid

pengelola zakat tersebut, Lembaga Amil Zakat (LAZ) juga bisa ikut ambil bagian

dengan membentuk jejaring pengelola zakat yang berbasis masjid (selanjutnya bisa

menjadi masjid binaan dalam pengelolaan zakat) sebagaimana yang telah dilakukan

LAZ di bawah naungan organisasi masyarakat Islam seperti Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah.

Butuh banyak pihak yang idealnya terlibat dalam proses transformasi

pengelolaan zakat berbasis masjid yang masih belum menyesuaikan diri dengan

hukum positif baik di kawasan perkotaan atau perdesaan, mulai dari sinergi

BAZNAS dan Kementerian Agama (Kantor Urusan Agama yang menjadi

repesentasi di lingkungan masyarakat) di tingkat-tingkat daerah, Majelis Ulama

Indonesia, serta organisasi perkumpulan masjid seperti DMI dan sebagainya. Hal ini

didasarkan atas fakta di lapangan, bahwasanya masyarakat muslim Indonesia masih

perlu pendekatan-pendekatan sosio-kultural dalam hal pemberlakuan hukum, apalagi

hukum yang terkait langsung dengan ajaran agama mereka.

Page 135: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

120

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Abu> Ish{a>q, Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn Muh}ammad. al-Mubdi‘ Sharh} al-Muqni‘. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997.

Abdel-Hady, Zakaryya Mohamed. The Masjid, Yesterday and Today. Qatar: Center

for International and Regional Studies of Georgertown University School of

Foreign Service in Qatar, 2010.

Addeh, Damas dan Sayida Fuad, The Legal Framework of Mosque Building and

Muslim Religious Affairs in Egypt: Towards a Strengthening of State

Control. 2011.

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan. Jakarta: Kencana, 2009.

Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum.

Jakarta: Prenada Media, 2017.

Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: Universitas

Indonesia Pres, 1988.

al-Andalu>si>, „Abd al-H{aq ibn Gha>lib. al-Muh}arrar al-Waji>z Fi> Tafsi>r al-Kita>b al- ‘Azi>z. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001.

al-Baihaqi>, Abu> Bakr. al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

al-Bukha>ri, Muhammad bin Isma>’i>l Abu> Abdulla>h. S{ahi>h al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r

T{auq al-Naja>h, 2001.

al-Da>ruqut}ni>, Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn ‘Umar. Sunan al-Da>ruqut}ni>. Beirut: Muassasah

al-Risa>lah, 2004.

al-Fairuzaba>di>, Majduddi>n. al-Qa>mu>s al-Muhi>t}. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah,

2005.

__________. Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, tanpa tahun.

al-Kassa>ni>, Ala>’uddi>n. Bada>’i al-S}ana>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’. Beirut: Da>r al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, 1986.

al-Manz}u>r, Jama>luddi>n ibnu. Lisa>n al-‘Arab. Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, 1993.

al-Maqdisi, Ibnu Qudda>mah. Al-Mughni> Li ibn Qudda>mah. Kairo: Maktabah al-

Qa>hirah, 1968.

al-Ma>wardi>, Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Muh{ammad. al-H{a>wi> al-Kabi>r. Beirut: Da>r al-

Kutub al-Ilmiyyah, 1999.

al-Nawawi, Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n Yah{ya ibn Sharaf. Al-Majmu>’ Sharh{ al- Muhadhdhab. Beirut: Da>r al-Fikr,1996.

al-Naysa>bu>riy Muslim ibn H{ajja>j. S}ah}i>h} Muslim. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-

‘Arabi>, 1955.

al-Qarad{a>wi>, Yu>suf. Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah. Beirut: Muassasah al-Risa>lah,

1973. al-Qa>sim, Abu> ‘Ubayd. Kita>b al-Amwa>l. Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1986.

al-Qat}t}a>n, Manna>’ ibn Khali>l. Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riya>d{: Maktabah

al-Ma‘a>rif, 2000.

Page 136: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

121

al-Sha’ra>wi>, Muh}ammad Mutawalli> Al-Tafsi>r al-Sha’ra>wi>. Kairo: Mat}a>bi’ Akhba>r

Al-Yaum, 1997.

al-Sijista>ni, Abu> Da>wu>d Sulayma>n. Sunan Abi> Da>wu>d. Beirut: al-Maktabah al-

„As}riyyah, tanpa tahun.

al-Suyu>t}i>, Jala>luddi>n. al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyyah

al-‘A<mmah Li al-Kita>b, 1974.

al-T{abari>, Abu> Ja’far Muh{ammad ibn Jari>r Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n.

Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2000.

al-Zuh{aili>, Wahbah. al-Waji>z Fi> Us}u>l al-Fiqh. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1999.

_________ al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006. Anderson, James E. Public Policy-Making. New York: Preager, 1975.

Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum. Jogjakarta: UGM Press, 2018.

Asy‟ari, Safari Imam. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional, 1993.

Badan Ami Zakat Nasional. Outlook Zakat Indonesia 2018. Jakarta: PUSKAS

BAZNAS, 2018.

Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik -Edisi 15 Juli 2019-. Jakarta: BPS

Pusat, 2019.

Badan Pusat Statistik Jakarta Selatan. Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam

Angka Tahun 2017, Publikasi BPS Jakarta Selatan.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Publishing, 1990.

Durkheim, Emile. The Division of Labour in Society. London: Macmillan Press,

1984.

Fauzia, Amelia. Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in

Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013.

_____________. Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan

Negara di Indonesia. Jogjakarta: Gading Publishing, 2016.

Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Approach. New York:

Russel Sage Foundation, 1975.

Gokalp, Zia, Turkish Nationalism and Western Civilization. New York: Columbia

University Press, 1959.

H{anbal, Ah{mad ibn. Musnad al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal. Beirut: Muassasah

al-Risa>lah, 2001.

Hisha>m, Abd al-Ma>lik ibn. Al-Si>rah al-Nabawiyyah Li ibn Hisha>m. Kairo: Sharikah

Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa> al-H{albi> wa Aula>duhu, 1955.

Harninta, Cynthia Idhe dkk. Kedudukan Amil Zakat dalam Undang Undang Nomor

23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Depok: Universitas Indonesia,

2013.

Hart, Herbert Lionel Adolphus dan Leslie Green. The concept of law. New York:

Oxford University Press, 2012.

ibn Abdilla>h, Abu ‘Umar Yu>suf. al-Ka>fi> Fi> Fiqh Ahl al-Madi>nah. Riya>d}: Maktabah

al-Riya>d} al-Hadi>thah, 1980.

ibn Ma>jah, Abu> ‘Abdulla>h Muh{ammad ibn Yazi>d. Sunan Ibn Ma>jah. Kairo: Da>r

Ih{ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, tanpa tahun.

ibn Qa>sim, Muh{ammad Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>z} al-Taqri>b. Beirut:

Da>r ibn H{azm, 2005.

Page 137: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

122

ibn Rushd, Abu> al-Wali>d. Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtas}id. Kairo:

Da>r al-Hadi>th, 2004.

Ibrahim, Sherrif Muhammad. Comparative Study on Contemporary Zakat

Distribution: A Practical Experience of Some Selected Muslim States.

Malaysia: Universiti Sains Islam Malaysa, 2015.

Jamaluddin, Adon Nasrullah. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota

dan Problematikanya. Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.

Jaya, Ali. Strategi Penghimpunan Dana Zakat di Singapura. Tangerang Selatan:

Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017.

Kanter E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.

Kementerian Agama, Tipologi Masjid. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan

Pembinaan Syariah, 2008. KUA Kecamatan Pancoran, Rekapitulasi Data Sarana Ibadah di Kecamatan

Pancoran, 2018.

Lamintang, P.A.F Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1997

Luthfi, Hanif. Siapakah Amil Zakat?.Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2018.

Maleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2000.

Meinarno, Eko A. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta: Salemba

Humanika, 2011.

Menno S. dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali Press,1992

Miftah, A.A, Zakat antara Tuntunan Agama dan Tuntunan Hukum. Jambi: Sultan

Thaha Press, 2007.

Mill, John Stuart. Utilitarianism. Portland: Floating Press, 2009.

Mu‟allim. Amir. “Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat Berbasis Masjid di

Yogyakarta” Pusat Studi Hukum Islam (PSHI), Pascasarjana FIAI-UII

dengan DPPM UII. Tahun 2012.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2004.

Mulgan, Tim. Understanding Utilitarianism. Stocksfield: Acumen, 2007.

Nasar, M. Fuad. Zakat di Ranah Agama dan Negara. Jakarta: Rafikatama, 2018.

Parker, Christine dan Vibeke Lehmann Nielsen dalam Peter Drahos (ed),

Regulatory Theory. Canberra:ANU Press, 2017.

Pound, Roscoe. An Introduction to The Philosophy of Law. New Haven: Yale

University Press, 1930.

Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Pembaruan Sosial. Bandung: Alumni, 1979.

_______________. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode & Pilihan Masalah.

Jogjakarta : Genta Publishing, 2010.

Ra>ji, Najmuddi>n. H{arf al-La>m wa Istikhda>ma>tuhu Fi al-Qur’a>n al-Kari>m. Kairo:

Shams Li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 2007.

Raz, Joseph. The Concept of Legal System- An Introduction to The Theory of Legal

System Edisi Kedua. New York: Oxford University Press, 1980.

Rodgers, Harrel R. dan Charles S. Bullock. Coercion to Compliance. Lexington

Mass: Lexington Books, 1976.

Page 138: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

123

Salim, Arskal. The Shift in Zakat Practice in Indonesia (From Peity to an

Islamic socio-political-economic System. Chiang Mai: Silkworm Books,

2008.

Shaban, M.A. Islamic History: A New Interpretation. Cambridge: Cambridge

University Press, 1971. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta:

Pustaka LP3ES, 2008.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta,

2009.

Soehartono, Irawan. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2008.

Soekanto, Soerjono. Antropologi Hukum: Pengembangan Ilmu Hukum Adat.

Jakarta: Rajawali Press, 1984.

_________ Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindon Persada,

2010.

_________ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004

Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2003.

Soelaiman, Munandar. Dinamika Masyarakat Transisi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar,

1998.

Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 2006.

Ujan, Andre Uta. Filsafat Hukum. Jogjakarta: Kanisius, 2009.

Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologis. Semarang: Suryadaru

Utama, 2005.

Wijayanto, Edi. Kepatuhan Masjid-Masjid di Tangerang Selatan terhadap Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta:Tesis

Magister FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

Young, Oran R. Compliance and Public Authority. Baltimore: Johns Hopkins Press,

1979.

Sumber Journal

Alvarez, José E "Measuring Compliance." Proceedings of the Annual Meeting

(American Society of International Law) 96 (2002): 209-213.

http://www.jstor.org/stable/25659777.

Alfaqi, Mifdal Zusron. “Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme,

Politik Identitas, serta Solidaritas” Jurnal Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan 28, no.2 (2015): 111-116.

Arafat, M. Husni dkk. “Masjid sebagai Agen BAZNAS: Analisa Potensi SDM

Ta‟mir Masjid di Kabupaten Jepara”. Ulul Albab: Jurnal Studi dan

Pendidikan Hukum Islam 1, no1 (2017): 58-72.

Artadi, Ibnu. “Hukum: Antara Nilai-nilai Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan”

Hukum dan Dinamika Masyarakat (2006): 67-80.

Bariyah, N. Oneng Nurul “Dinamika Aspek Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia”

Jurnal Ahkam 16, no. 2 (Juli 2016): 197-212.

Page 139: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

124

Budiman, Mochammad Arif dan Mairijani. “Peran Masjid dalam Pengembangan

Ekonomi Syariah di Kota Banjarmasin” Prosiding Seminar Nasional ASBSI

(2016): 187-194.

Étienne, Julien dan Matthew Wendeln. “Compliance Theories: A Literature

Review” Revue Française de Science Politique (English Edition) The

Politica l Sociology of European Law 60, no. 2 (2010): 139-162.

Fadil, Ahmad. “Good Governance Zakat di Indonesia” Al-Iqtishadi 2 no. 1 (2015):

81-98.

Fitria, “Pengelolaan Zakat pada Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi

Islam”. Intelektualita 5, no 2 (Desember 2016): 175-188.

Grossman, William L. “The Legal Philosophy of Roscoe Pound”. Yale Law Journal

44, no.4 (1935): 605-618.

Hakim, Budi Rahmat “Analisis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat (Perspektif Hukum Islam)” SYARIAH Jurnal

Ilmu Hukum 15, no. 2 (2015): 155-166

Johari; Fuadah dkk. "A Review on Literatures of Zakat between 2003-2013".

Library Philosophy and Practice (e-journal)1175, (2014): 1-15

Kuncorowati, Puji Wulandari. “Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat

Indonesia” Jurnal Civics 6, no.1 (2009): 60-75.

Kurniawan, Puji. “Legislasi Undang-Undang Zakat” Jurnal Al Risalah 13, no.1

(2013): 99-118.

May, Peter J. “Compliance Motivations: Affirmative and Negative Bases” Law &

Society Review 38, no. 1 (2004): 41-68.

Meier, Kenneth J. dan David R. Morgan. “Citizen Compliance with Public Policy:

The National Maximum Speed Law” The Western Political Quarterly 35,

no. 2 (1982): 258-273

Najwan, Johni. “Implikasi Aliran Positivisme terhadap Pemikiran Hukum”

INOVATIF/Jurnal Ilmu Hukum 2 no.3 (2010) : 17-31.

Nizar, Muhammad. “Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui

Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif

Hidayatullah Karangploso Malang”. Malia 8, no 1 (Desember 2016): 41-60.

Nopiardo, Widi. “Perkembangan Fatwa MUI tentang Masalah Zakat” Jurnal Ilmiah

Syari’ah 16, no. 1 (2017): 89-109.

Powell, Russell. Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy

From Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7, 2009.

Pusparini, Martini Dwi. “Mosque-Based Zakah Infaq and Shadaqah Management (A

Study at Great Mosque in Sleman, Yogyakarta)”. Prosiding Seminar

Nasional seri 7 “Menuju Masyarakat Madani dan Lestari” (November

2017): 277-293.

Putuhena, M. Ilham F. “Politik Hukum Perundang-Undangan: Mempertegas

Reformasi Legislasi yang Progresif” Jurnal Rechts Vinding Media

Pembinaan Hukum Nasional 2, no.3 (2013): 375-395

Rahman, Azman Ab, dkk “Zakat Institution in Malaysia: Problems and Issues”

GJAT 2. no 1 (Juni 2012): 35-41.

Rido, Ahmad dan Rizqi Anfanni Fahmi. “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di

Page 140: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

125

Sekitar Universitas Islam Indonesia”. Working Paper Keuangan Publik

Islam 2, seri 1 (2018): 1-12

Ruliad, Nadilla Ambarfauziah dkk. “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi

Muzaki Dalam Memilih Organisasi Pengelola Zakat (OPZ): Studi Kasus di

Badan Amil Zakat Nasional Kota Bogor” Jurnal Al-Muzara’ah 3, no. 1

(2013): 20-33.

Saidurrahman. “The Politic of Zakat Management in Indonesia: The Tension

between BAZ dan LAZ”. Jurnal of Indonesian Islam 7, no.2 ( 2013):

366-382

Saifudin, Achmad. Urgensi Ta‟mir Masjid Dalam Pengelolaan Zakat Pasca

Terbitnya Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaa Zakat.

Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, 2013.

Salim, Arskal „Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan

HAM,‟ Journal Perempuan, 60 (September 2008).

Sari, Mutiara Dwi Zakaria Bahari dan Zahari Mamat “Review on Indonesian

Zakah Management and Obstacles” Social Sciences 2, no 2 (2013): 76-89.

Shavell, Steven. “When is Compliance with the Law Socially Desirable?” The

Journal of Legal Studies 14, no. 1 (2012): 1-36.

Simarmata, Rikardo. "Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan

Hukum." Digest Law, Society & Development 1 (2006): 1-11

Soekanto, Soerjono. "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum &

Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470.

Sudirman, “Goverment Policy on Zakat and Tax in Indonesia” Ahkam Jurnal Ilmu

Syariah 15 no. 1 (2015): 1-14

Suhardin, Yohanes. “Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum”

Mimbar Hukum 21, no.2 (2009): 341-354.

Susetyo, Heru “Contestation Between State And Non-State Actors In Zakah

Management In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546.

Taehee,Whang, Elena V. McLean, dan Douglas W. Kuberski. "Coercion,

Information, and The Success of Sanction Threats." American Journal of

Political Science 57, no 1 (2013): 65-81.

Tanjung, Hendri dan Nurman Hakim, A Review on Literatures of Zakat between

2016 and 2017. Bogor: Universitas Ibnu Khaldun, 2017.

Ummulkhayr, Adamu dkk “Determinants of Zakat Compliance Behavior among

Muslim Living under Non-Islamic Goverments” International Journal of

Zakat 2, no.1 (2017) 95-108. Zainuddin, Muhadi. “Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan

Kesadaran Hukum Masyarakat” Al-Mawardi Journal of Islamic Law 12,

no.11 (2004): 91-109.

Page 141: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

126

Sumber Undang-Undang dan Peraturan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012.

Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Zakat No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di

Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat

Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik

Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Pengelolaan Zakat.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 34 Tahun 2016 tentang

Organisasi dan Tatakerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemberian Izin

Pembentukan Lembaga Amil Zakat.

Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit

Pengumpul Zakat

Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi

Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia

Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun

2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid

Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat

Sumber Website Internet:

https://tekno.kompas.com/read/2008/09/16/12065970/tragedi.zakat.pasuruan.jangan.

terulang.lagi

http://mediaindonesia.com/read/detail/150942-baznas-sebut-bazis-jakarta-ilegal-

pungut-zakat

https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/20/14265751/uji-coba-

dihentikan-beton-pembatas-tiga-simpang-di-mampang-prapatan https://www.uinjkt.ac.id/id/negara-dan-pengelolaan-zakat/

https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/

https://pid.baznas.go.id/baznas-provinsi/

https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/07/13545661/ikuti-baznas-pemprov-

dki-tetap-pertahankan-nama-bazis

https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/anies-ajak-warga-dki-salurkan-zis-

melalui-bazis-dki/ar-AAC5uII

http://www.beritajakarta.id/read/68429/anies-lantik-pengurus-baznas-bazis-

dki#.XSK6IhNEnIU

http://simas.kemenag.go.id

http://dmi.or.id

https://www.beritasatu.com/megapolitan/548749/uus-bank-dki-salurkan-bantuan-

operasional-tempat-ibadah

Page 142: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

127

http://bappeda.jabarprov.go.id/program-kredit-mesra-akan-diterapkan-di-seluruh-

indonesia/

https://www.al-qaradawi.net/node/4131

https://dki.kemenag.go.id/struktur-organisasi

Sumber Wawancara

Hasil wawancara penulis dengan Pahruroji Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Pancoran

Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di

Masjid Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019.

Hasil wawancara penulis dengan H. Aziz, ketua DKM Masjid Al-Muawanah pada

tanggal 03 April 2019.

Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid

Arrohmaanurrohim pada tanggal 03 April 2019

Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-

Munawwar pada tanggal 04 April 2019.

Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-

Nur Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019.

Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, pengurus DKM Masjid

Nurullah Rawajati pada tanggal 22 November 2019.

Hasil wawancara penulis dengan Nasruddin; Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat

Islam Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019.

Hasil wawancara penulis dengan Yunus Hasyim; Kepala Seksi Penyelenggara

Syariah Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019.

Hasil wawancara penulis dengan Faisal Qosim; Kepala Divisi Layanan Unit

Pengumpul Zakat Nasional Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada 27

Juni 2019. Hasil wawancara penulis dengan Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid

Kementerian Agama Republik Indonesia pada 08 Juli 2019

Hasil wawancara penulis dengan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan

Wakaf Kementerian Agama pada 24 Juli 2019

Page 143: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

128

GLOSARIUM

Al-Amwa>l al-Ba>t}inah : Harta zakat yang tidak terlihat secara kasat mata oleh

khalayak umum atau yang disimpan seperti perhiasan,

emas dan perak.

Al-Amwa>l al-Z{a>hirah : Harta zakat yang nampak, bisa dilihat oleh khalayak

umum berupa hewan ternak, tanaman, dan barang temuan.

Al-Zaka>h Bi al-Qi>mah : Menunaikan zakat dengan uang tunai

Bottom-Up : Paradigma pengelolaan zakat dari masyarakat bawah

Civil Society : Kumpulan masyarakat sipil yang mandiri dan bisa

bertindak mengimbangi peran negara

Diya>ni> : Sesuatu yang bersifat ibadah semata

Etis : Sesuai dengan etika dan norma

Grass root : Masyarakat akar bawah

Legalistik : Berkaitan dengan keabsahan dan kesesuaian terhadap

hukum

Mandatory : Hal yang dilakukan karena perintah

Mustahik : Golongan yang berhak menerima zakat

Muzaki : Golongan yang berkewajiban membayar zakat

Nation-State : Bentuk negara bangsa di era modern

Operator : Pihak yang melakukan pengelolaan zakat secara praktik

riil

Otoritas : Kekuasaan dan wewenang

Qad}a>i> : Sesuatu yang bekonsekuensi hukum karena terkait dengan

hak orang lain

Qat}’i> : Bersifat pasti dan tetap

Regulator : Pihak yang engeluarkan aturan dan regulasi dalam

pengelolaan zakat

Page 144: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

129

Resistensi : Penolakan

Stakeholder : Pihak terkait yang memiliki kepentingan dalam hal

tertentu

Talfi>q : Menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab dalam

satu ketentuan ibadah

Taqli>d : Mengikuti pendapat mazhab tanpa mengetahui dasar

Pengambilan hukumnya.

Uji Materiil : Mengajukan pengujian terkait isi undang-undang ke

Mahkamah Konstitusi

Up-Down : Paradigma pengelolaan zakat dari atas ke bawah; pejabat

pemerintah ke masyarakat

Utilitis : Memiliki nilai guna dan bermanfaat

Voluntary : Hal yang dilakukan karena sukarela

Wakaf : Benda bergerak atau tidak bergerak yang diberikan untuk

kemaslahatan umum sebagai pemberian yang ikhlas

Zakat : Ibadah wajib umat Islam dengan mengeluarkan harta

tertentu sesuai dengan perhitungan yang tertentu diberikan

kepada golongan yang telah ditetapkan

Page 145: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

130

INDEKS

A

Abba>siyah, 33

Abdulkadir Muhammad, 23, 25, 26,

52

Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim, 10

Abu> Da>wu>d, 98, 116

Achmad Ali, 11, 48

Adat, 18, 42, 50

Agama, 2, 4, 6, 18, 39, 41, 56, 89,

105, 110, 114, 119, 120, 122, 123,

130

Akuntabilitas, 40

al-Amwa>l al-Ba>t}inah, 33

al-Amwa>l al-Z{a>hirah, 33, 34

al-Bukha>ri, 75, 98

al-Da>ruqut}ni>, 100

al-Fairu>za>ba>di, 31, 32

al-Ma>wardi, 34

al-Taubah, 31, 32, 35, 38, 97

Amelia Fauzia, 1, 5, 6, 10, 34, 53

Amil Zakat, 3, 5, 8, 9, 17, 27, 28, 34,

35, 36, 37, 54, 55, 56, 57, 58, 60,

61, 62, 63, 64, 68, 84, 90, 93, 94,

102, 110, 114, 123, 128, 130

Arab, 15, 31, 32, 35, 97, 100

Arskal Salim, 6, 8

Aturan, 1, 12, 52, 102, 105

Azyumardi Azra, 63

B

Baitul Mal, 61, 62, 67

Bangsa, 11, 100, 110, 123

Banten, 64, 65, 66

BAZIS, 5, 8, 61, 65

BAZNAS, 2, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16,

17, 18, 19, 22, 26, 54, 55, 56, 57,

58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66,

67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 93,

94, 95, 102, 107, 108, 109, 111,

112, 113, 119, 120, 121, 122, 123,

124, 129, 130

Belanda, 5, 11

Berkelanjutan, 83, 102, 114, 116, 125,

129

BOTI, 45

Bottom-Up, 125, 126

BPS, 14, 49, 50, 99

Bupati, 8, 77, 93, 94

C

Chaider S. Bamualim, 4, 5

Charles S. Bullock, 103

Civil, 11

Compliance, 22, 44, 45, 103, 104,

110, 112

Culture, 12, 47

D

Delik, 102,103

DKI Jakarta, 8, 49, 61, 64, 65, 66, 77,

87, 119

DKM, 2, 4, 5, 6, 12, 13, 14, 15, 19,

22, 26, 30, 57, 58, 82, 83, 84, 85,

86, 89, 90, 91, 96, 97, 102, 103,

113, 115, 117, 124, 127, 128

DPR, 109, 110

E

Edukasi, 60, 101, 102, 119

Efektivitas, 43, 62, 90, 103, 105

Efisiensi, 90

Ekonomi, 10, 20, 31, 35, 39, 49, 50,

75, 87, 99, 117, 129

Page 146: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

131

Emas, 10, 33, 98

Emile Durkheim, 45, 46

Empiris, 2, 23, 24, 25, 26, 28, 52

Enforcement, 107, 108, 112

F

Fakir, 35, 36, 37, 38, 40, 83, 85, 97,

98, 100, 101, 116

Fatwa, 92, 93, 122, 123

Fidyah, 72

Fikih, 1, 2, 12, 37, 89

Filantropi, 3, 4, 53, 54, 63

Fuad Nasar, 111, 118, 125

G

GK, 99

GKM, 99

GKNM, 99

Grass Root, 103, 126

Gubernur, 8, 61, 65, 66, 77, 87, 93, 94

H

Hak, 38, 52, 58, 73, 84

Harrel R. Rodgers, 103

Herbert Lionel Adolphus Hart, 12

Heru Susetyo, 7, 16

Hierarki, 60, 61, 62

Hukum, 2, 3, 4, 6, 8, 11, 12, 14, 15,

16, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 26, 27,

28, 29, 30, 37, 41, 42, 43, 44, 45,

46, 47, 48, 52, 53, 54, 55, 56, 61,

79, 80, 81, 89, 90, 91, 92, 93, 95,

96, 103, 104, 105, 106, 107, 108,

109, 110, 111, 112, 113, 114, 115,

118, 121, 123, 125, 127, 128, 129,

130

I

Ibn Hisha>m, 32

Ibn Ma>jah, 98

Ibn Qudda>mah al-Maqdisi, 97

Ibnu 'Abba>s, 32, 66, 115

Ibn Rushd, 98

Ilegal, 8, 9

Imam, 31, 34, 36, 38, 48, 91, 95, 96

Imam al-T{abari, 31

Implementasi, 2, 5, 8, 22, 23, 24, 29,

30, 41, 42, 44, 45, 104

Industri, 49, 51

Infaq, 5, 8, 20, 21, 81

Irfan Abubakar, 4

Islam, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 12, 14, 15,

17, 18, 19, 20, 21, 26, 28, 30, 31,

32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 53, 54,

56, 57, 61, 63, 64, 72, 75, 76, 77,

78, 79, 80, 86, 90, 91, 92, 95, 104,

105, 106, 112, 118, 119, 120, 122,

123, 124, 126, 130

J

Jami‟, 75

Jala>luddi>n al-Suyu>t}i, 27

Jawa Barat, 5, 65, 66, 87

Jawa Timur, 8, 65, 93

John Austin, 11

Joseph Raz, 11

K

Keadilan, 4, 5, 40, 47

Kecamatan Pancoran, 4, 13, 14, 22,

23, 26, 30, 49, 81, 103, 121

Kementerian Agama, 26, 58, 62, 63,

64, 66, 67, 68, 75, 76, 77, 79, 80,

90, 93, 94, 109, 110, 111, 115, 118,

119, 120, 124, 129, 130

Kepastian, 11, 79, 90, 105, 110

Page 147: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

132

Kepatuhan, 22, 23, 42, 43, 44, 45, 46,

47, 103, 104, 105, 106, 107, 109,

110, 111, 113, 128

Keputusan, 27, 28, 61, 62, 69, 70, 76,

94

Kesadaran, 2, 41, 43, 113

Ketaatan, 42, 43, 44, 45, 46

Kewajiban, 15, 22, 29, 37, 38, 44, 52,

53, 72, 80, 84, 85, 95, 96, 100, 101,

104, 105, 128

Khalifah, 32, 33

Kolonial, 11

Konsumtif, 20, 51, 83, 89, 116, 117,

126, 129

Konvensional, 116

Koordinasi, 118

Kreatif, 116, 117

KUA, 4, 7, 14, 26, 56, 57, 77, 78, 93,

94, 103, 119, 120, 121, 124

Kualitatif, 2, 20, 21, 28, 29, 49, 83, 98

Kultural, 121, 130

L

Law, 3, 11, 42, 43, 44, 45, 104, 105,

106, 110, 112

Lawrence M. Friedman, 12

LAZ, 2, 6, 7, 9, 13, 16, 17, 55, 56, 57,

58, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 72,

93, 94, 95, 107, 111, 112, 120, 121,

122, 123, 124, 130

Legalistik, 11, 59

Legalitas, 54, 81, 93, 94, 105, 125,

126, 128, 129

Litigatif, 48

Lombok Timur, 7, 8

M

M.A. Shaban, 34

Mahkamah Konstitusi, 4, 9, 16, 27, 95

Malaysia, 15, 18

Management, 7, 16, 17, 21

Mandatory, 15

Manfaat, 5, 9, 36, 89, 90, 97, 114,

116, 117, 126, 129

Manna>’ ibn Khali>l al-Qat}t}a>n, 32

Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 39

Masjid, 2, 4, 5, 7, 10, 13, 14, 17, 18,

19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 30, 31,

45, 48, 52, 53, 55, 56, 58, 59, 68,

69, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 79,

80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88,

89, 90, 91, 95, 96, 97, 102, 103,

104, 107, 112, 113, 114, 115, 116,

117, 118,120, 122, 123, 124, 125,

126, 127, 128, 129, 130

Masyarakat, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12,

13, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24,

29, 30, 31, 34, 41, 42, 43, 44, 45,

46, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 55,

56, 59, 62, 63, 65, 66, 69, 71, 75,

76, 77, 78, 80, 82, 83, 86, 87, 88,

89, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 102,

103, 104, 105, 106, 109, 110, 111,

112, 113, 114, 115, 118, 119, 120,

121, 122, 123, 124, 125, 126, 127,

128, 129, 130

Mazhab, 33, 34, 97

Menteri, 4, 10, 27, 28, 57, 58, 59, 62,

76, 93, 94, 106, 107, 108, 109, 120

Mesra, 87

Michael P. Moody, 3

Miftah, 2, 6

Miskin, 35, 36, 37, 38, 40, 83, 85, 97,

98, 99, 100, 101, 115, 116

Modern, 50

Modernisasi, 51

Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi,

92

Page 148: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

133

Muhammad Daud Ali, 5

Muhammadiyah, 53, 64, 122, 130

MUI, 92, 93, 122, 123, 124

MUIS, 18

Mukallaf, 37

Musala, 75

Muslim, 15, 22, 36, 75, 89, 98, 100

Must}afa> Muh{ammad al-Zarqa>, 6

Mustahik, 8, 9, 17, 34, 35, 36, 37, 38,

40, 41, 83, 84, 85, 86, 89, 90, 91,

92, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107,

114, 115, 116, 117, 121, 126, 128,

129

Musyawarah, 10, 84, 89

Muzaki, 8, 9, 10, 17, 18, 19, 33, 34,

35, 36, 38, 40, 52, 60, 71, 72, 73,

82, 84, 85, 95, 96, 97, 101, 102,

104, 106, 107, 113, 114, 117, 127,

128, 129

N

Nahdlatul Ulama, 53, 64, 93, 122, 130

Nation-state, 11

Nazar, 72

Negara, 2, 6, 8, 10, 11, 15, 17, 18, 22,

33, 35, 36, 37, 53, 54, 56, 63, 68,

69, 72, 75, 76, 91, 92, 94, 95, 104,

105, 107, 109, 110, 125

Nilai, 3, 25, 27, 40, 41, 42, 50, 51, 91,

95, 99, 101, 102, 117, 125

Nominal, 62, 100

Norma, 3, 41, 42, 45, 46, 106

Normatif, 2, 17, 23, 24, 25, 26, 28,

47, 52, 79, 110

NTB, 7

O

Observasi, 16, 22, 25, 81

Operator, 9

Organisasi, 6, 28, 50, 53, 57, 58, 59,

68, 70, 72, 78, 80, 86, 87, 106, 113,

114, 119, 120, 122, 124, 130

Otoritas, 10, 17

P

Pasuruan, 8

Pelanggaran, 12, 46, 47, 55, 57, 58,

105, 108, 109, 111, 112, 115

Pemahaman, 1, 12, 86, 89, 91, 101,

102, 104, 116, 128

Pembangunan, 27, 31, 50

Pemerintah, 5, 7, 9, 13, 27, 56, 57, 62,

63, 76, 77, 78, 87, 93, 95, 107, 120

Pendekatan, 2, 11, 17, 24, 44, 48, 49,

89, 99, 121, 130

Pendidikan,, 10, 99

Pendistribusian, 2, 6, 10, 12, 13, 14,

16, 18, 39, 40, 55, 63, 66, 68, 70,

71, 73, 74, 82, 83, 85, 86, 89, 91,

106, 107, 108, 115, 116, 117, 121,

122, 129

Penegakan, 45, 47, 105, 108, 109,

112, 114, 115, 128

Penelitian, 2, 5, 12, 14, 15, 16, 17, 18,

19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,

28, 29, 30, 43, 44, 45, 49, 52, 54,

55, 81, 82, 83, 86, 89, 103, 117,

127, 128, 129

Pengelolaan, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12,

13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,

22, 23, 24, 26, 29, 30, 31, 33, 34,

35, 36, 38, 39, 40, 52, 53, 54, 55,

56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 65,

66, 72, 80, 81, 82, 84, 86, 87, 88,

89, 90, 91, 93, 95, 96, 102, 103,

104, 106, 107, 108, 109, 110, 111,

112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,

119, 120, 121, 123, 124, 125, 126,

127, 128, 129, 130

Page 149: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

134

Penghimpunan, 2, 19, 22, 39, 57, 63,

64, 68, 86, 87, 104, 109, 110, 115,

119, 120, 121, 122, 123, 124

Pengumpulan, 5, 6, 10, 15, 16, 17, 20,

21, 25, 26, 27, 30, 40, 56, 69, 71,

72, 73, 74, 75, 83, 84, 85, 91, 93,

119

Perak, 10, 33, 98

Peraturan, 4, 7, 9, 27, 28, 42, 49, 56,

57, 58, 59, 61, 68, 71, 72, 73, 93,

95, 106, 107, 108, 109, 120

Perdesaan, 45, 48, 49, 130

Perkotaan, 2, 7, 20, 45, 48, 49, 103,

128, 130

Peter Mahmud Marzuki, 23, 24

Pidana, 54, 55, 72, 106, 108, 114

Politik, 11, 45, 110

Presiden, 27, 56, 63, 93, 94

Primer, 25, 27

Prinsip, 10, 20, 23, 30, 34, 36, 39, 80,

128

Produktif, 116, 117

Profesional, 80

R

Ramadan, 2, 4, 7, 20, 21, 59, 81, 82,

84, 86, 88, 100, 102, 115, 117, 126,

128

Rasululah, 10

Regulator, 9

Revisi, 10

RKAT, 71, 72

Robert L. Payton, 3

Roscoe Pound, 3

RT-RW, 120

Russell Powell, 16, 105

S

Sanksi, 4, 7, 12, 13, 17, 44, 46, 47,

56, 57, 58, 105, 106, 108, 109, 121,

128

Sedekah, 4, 5, 8, 10, 20, 21, 31, 72,

81, 92, 102, 126

Sejarah, 5, 11, 23, 31, 65, 125

Sertifikasi, 73, 130

Signifikan, 45, 51, 60, 62, 104, 113,

122, 123, 129

SIMAS, 76

sinergi, 66, 103, 118, 124, 130

Singapura, 18, 19

Sistem, 5, 11, 76, 82

Soerjono Soekanto, 41, 42, 43, 50,

103

Sosial, 3, 5, 7, 10, 16, 24, 31, 35, 41,

44, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 63, 72,

75, 77, 80, 85, 89, 97, 110, 118,

126, 128, 129

Sosialisasi, 15, 71, 72, 82, 87, 113,

114, 123, 128, 129, 130

Sosiologi, 47, 48, 49, 50, 51

Stakeholders, 118, 124

Statis, 79

Sulawesi Selatan, 5, 65

Sult}a>n, 91

Syariat, 31, 39, 57, 61, 90, 93, 95, 96,

97, 102, 106, 119, 122

T

Talfi>q, 101

Tangerang Selatan, 22

Taqli>d, 101

Teori, 11, 12, 16, 28, 29, 45

Tipologi, 50, 52, 76, 79, 80

Tradisional, 2, 6, 9, 17, 18, 20, 45, 51,

54, 89, 90, 116, 117, 124, 128, 129

Transparansi, 40

Page 150: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

135

U

Uji Materiil, 4, 9, 56

Umar ibn al-Khat}t{a>b, 32

Uthma>n bin ‘Affa>n, 10

Umawiyyah, 33

Undang-Undang, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10,

13, 16, 17, 19, 22, 27, 52, 53, 54,

55, 56, 57, 59, 60, 61, 89, 90, 93,

95, 104, 105, 106, 107, 108, 110,

111, 120, 125, 126

Up-Down, 125, 126

UPZ, 2, 14, 19, 22, 26, 56, 57, 59, 60,

62, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 94,

122, 124, 126, 130

V

Voluntary, 3, 16, 52, 104

W

Wahbah Must}afa> al-Zuhaili, 33, 36,

38, 40

Walikota, 77, 93, 94

Wawancara, 2, 4, 16, 20, 21, 22, 25,

81, 83, 84, 90, 102, 111, 118, 119,

124

Wijayanto, 2, 22

Y

Yu>suf al-Qarad{a>wi, 35, 38

Yuridis, 2, 17, 24, 81, 93, 94

Z

Zakat, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,

13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,

22, 23, 24, 25, 26, 30, 31, 32, 33,

34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 49,

53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,

62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71,

72, 73, 74, 75, 82, 83, 84, 85, 86,

87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95,

96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103,

104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,

111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,

Zawiya, 75

Page 151: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

136

LAMPIRAN

TRANSKIP WAWANCARA

A. Dewan Kemakmuran Masjid

1. Masjid Jami at-Taubah

Narasumber : H. Syamsudin Abdul Karim; Ketua DKM

Farhat; Petugas Zakat Masjid Jami at-Taubah

Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 13.00- 14.00 WIB

Tempat : Sekretariat Masjid Jami at-Taubah Pancoran

Jl. Pancoran Barat VIII Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?

- Ya, sekedar mengetahui jika zakat telah ada undang-undangnya

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?

- Amil zakat

3. Apa tugas Amil Zakat?

- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat?

- Mendapatkan bagian zakat, di masjid ini bagian amil sebesar 1/8 total

zakat yang dikumpulkan

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?

- Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?

- Selain melanjutkan dan menjaga tradisi yang sudah ada di masjid,

pastinya masjid bisa memfasilitasi muzaki sekitar untuk menunaikan

zakatnya dan juga didistribusikan untuk mustahik di lingkungan masjid

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?

- Ada catatannya, tetapi di komputer dan sayangnya komputer rusak

terendam banjir.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?

- Ada di setiap Ramadan

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?

- Zakat fitrah berupa beras dibagikan H-3 Idul Fitri, sedangkan zakat

berupa uang tunai kami bagikan ketika malam takbiran

Page 152: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

137

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?

- Ya, berupa kuitansi yang telah disiapkan panitia sebagai bukti

pembayaran zakat

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?

- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, terdiri dari 6 orang, 3

pengurus utama dan 3 pengurus harian

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,

permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)

- Inisiatif DKM juga permintaan jamaah, agar zakat mereka dikelola di

masjid untuk kemaslahatan mustahik sekitar masjid juga.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?

- Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di

Masjid?

- Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan

zakat?

- Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Selama ini berjalan lancar seperti biasa, antusias masyarakat sekitar

juga selalu meningkat, sehingga zakat yang dikumpulkan selalu

bertambah setiap tahunnya.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam

pengelolaan zakat di Indonesia?

- Kami butuh pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas

pengelolaan zakat, terutama terkait pendistribusiannya, sehingga tidak

melulu zakat itu habis dikonsumi oleh mustahik, tidak memberikan

dampak jangka panjang.

Page 153: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

138

2. Masjid al-Muawanah

Narasumber : H. Abdul Aziz Musahab; Ketua DKM

Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 16.00- 16.45 WIB

Tempat : Masjid al-Muawanah

Jl. Duren Tiga Raya No. 38 Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?

- Ya tahu, tapi tidak detail

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?

- Amil zakat adalah orang-orang yang ditugaskan untuk menerima dan

menyalurkan zakat

3. Apa tugas Amil Zakat?

- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat?

- Mendapatkan 12,5 % dari total pengumpulan zakat, baik berupa beras

atau uang tunai

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?

- Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?

- Menjalankan ibadah supaya memudahkan muzaki sekitar masjid untuk

menunaikan zakatnya dan akan dibagikan lagi ke masyarkat seitar

masjid juga

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?

- Tidak punya, biasanya daftar muzaki dicatat sesuai tahun pengumpulan,

adapun mustahik datanya kita selalu perbaharui tiap tahun

berkoordinasi dengan RT-RT setempat.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?

- Ada di setiap Ramadan

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?

- Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan ke mustahik paling

lambat H-1, atau malam takbir sudah harus selesai pembagiannya.

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?

- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

Page 154: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

139

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?

- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, terdiri 3 orang pengurus

utama dan dibantu remaja masjid untuk menjaga stand penerimaan

zakat.

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,

permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)

- Inisiatif DKM.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?

- Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di

Masjid?

- Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan

zakat?

- Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Belum ada koordinasi antar masjid-masjid yang mengelola zakat

sehingga tidak ada program bersama pemberdayaan mustahik di

lingkungan

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam

pengelolaan zakat di Indonesia?

- Kami butuh pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas

pengelolaan zakat, terutama terkait pendistribusiannya, sehingga tidak

melulu zakat itu habis dikonsumi oleh mustahik, tidak memberikan

dampak jangka panjang.

Page 155: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

140

3. Masjid Arrohmaanurrohim

Narasumber : H. Ubaidillah; Ketua DKM

Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 17.00- 17.45 WIB

Tempat : Masjid Arrohmaanurrohim

Jl. Pancoran Barat VIII Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?

- Ya tahu

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?

- Di masjid ini, amil zakat adalah petugas zakat yang dibentuk DKM

3. Apa tugas Amil Zakat?

- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat?

- Mendapatkan 1/8 bagian dari total zakat yang dihimpuni

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?

- Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?

- Menjalankan ibadah zakat dan menjadikan masjid bermanfaat bagi

masyarakat

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?

- Tidak punya, kami biasanya menyesuaikan dengan di waktu

pelaksanaan di bulan Ramadan, tidak ada daftar tetap.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?

- Ada di setiap pelaksanaan pengelolaan zakat

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?

- Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan habis pada malam

takbir

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?

- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?

- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, biasanya melibatkan remaja

masjid

Page 156: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

141

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,

permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)

- Inisiatif DKM.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?

- Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di

Masjid?

- Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan

zakat?

- Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Pengumpulan zakat di masjid hal yang bagus untuk memberikan

bantuan kepada masyarakat kurang mampu di sekitar masjid.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam

pengelolaan zakat di Indonesia?

- Kalau pihak-pihak lembaga resmi pengelola zakat bisa membantu

masjid-masjid dalam mempersiapkan rencana pengelolaan zakat dan

skaligus strategi pendistribusian serta pemberdayaan, maka akan nilai

zakat akan lebih bermanfaat.

Page 157: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

142

4. Masjid Jami an-Nur

Narasumber : Iqbal Ali Faris; Pengurus DKM

Waktu : Jumat, 24 Mei 2019 pukul 13.00- 13.30 WIB

Tempat : Masjid Jami an-Nur

Jl. Mampang Prapatan XVC Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?

- Ya tahu, memahami secara umum tidak sampai hapal pasal per pasal

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?

- Beberapa orang yang ditunjuk untuk menangani urusan zakat

3. Apa tugas Amil Zakat?

- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat?

- Yang kami praktikkan di masjid ini, amil zakat kami berikan upah dari

operasional masjid, tidak dari zakat. Zakat murni semuanya dibagikan

ke mustahik

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?

- Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?

- Melanjutkan tradisi pengelolaan zakat dan membantu muzaki menerima

zakatnya untuk diserahkan ke mustahik melalui masjid

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?

- Ada beberapa muzaki tetap di masjid kami, untuk mustahik, kita

koordinasi dengan RT RW setempat, bisa jadi setiap tahun berubah.

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?

- Ada di setiap pelaksanaan pengelolaan zakat dan dilaporkan menjelang

salat Idul Fitri secara lisan maupun print out yang ditempel di papan

pengumuman

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?

- Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan habis pada malam

takbir

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?

- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

Page 158: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

143

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?

- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,

permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)

- Inisiatif DKM dan permintaan jamaah.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?

- Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di

Masjid?

- Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan

zakat?

- Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Kami menyadari masih banyak kekurangan, tapi alhamdulillah dari

zakat yang kami kumpulkan juga bisa membantu mustahik, meskipun

untuk kegiatan konsumtif. Ke depannya, kami ingin mengubah pola

ditribusi dari konsumtif menjadi produktif, tentu jumlah mustahik akan

berkurang tetapi diharapkan nantinya bisa merubah kehidupan mustahik

tersebut dan memberikan manfaat jangka panjang.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam

pengelolaan zakat di Indonesia?

- Sangat ditunggu program-program dari pemerintah baik BAZNAS, atau

Kementerian Agama yang langsung melibatkan pengurus-pengurus

masjid agar kami bisa diberdayakan. Pelatihan-pelatihan yang bisa

meningkatkan kualitas pengelolaan zakat di masjid.

Page 159: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

144

5. Masjid al-Munawwar

Narasumber : H. Zainuddin; Sekretaris DKM

Waktu : Jumat, 24 Mei 2019 pukul 13.00- 13.30 WIB

Tempat : Masjid Jami an-Nur

Jl. Mampang Prapatan XVC Pancoran Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?

- Ya tahu, tapi tidak pernah dipraktikkan di masjid ini

2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?

- Amil Zakat itu bahasa Arab, istilah di Indonesia adalah petugas yang

dibentuk untuk mengumpukan dan menyalurkan zakat

3. Apa tugas Amil Zakat?

- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

4. Apa Hak Amil Zakat?

- Di masjid ini amil zakat diberikan 10%-12,5% dari dana zakat dengan

penyesuaian hasil pengumpulan

5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?

- Fikih zakat

6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?

- Ibadah di bulan Ramadan serta menjaga tradisi baik

7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?

- Tidak punya. Tidak ada target penghimpunan dai muzaki-muzaki tetap,

siapa saja bisa berzakat di masjid ini. Adapun mustahik selalu kita

update setiap tahunnya berkoordinasi dengan RT RW setempat

8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?

- Ada, setiap tahun kita buat laporan, berapa zakat yang dikumpulkan

dari siapa saja dan dibagikan kepada siapa saja

9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?

- Biasanya kami bagikan paling telat di malam takbir, sebelumnya juga

terkadang pendistribusian sudah dicicil

10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?

- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

Page 160: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

145

11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?

- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM beserta remaja masjid.

12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,

permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)

- Inisiatif DKM dan permintaan jamaah.

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?

- Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di

Masjid?

- Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan

zakat?

- Tidak pernah

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Memang perlu ada perubahan dalam pengelolaan zakat di masjid, kalau

tidak ya akan seperti ini saja sampai kapaun pun, masjid hanya menjadi

tempat transit zakat, meskipun memberikan manfaat bagi mustahik, tapi

jika dikelola dengan serius dan profesional insya Allah manfaat zakat

bisa lebih besar dari sekedar penyaluran konsumtif berupa beras atau

uang tunai dengan nominal tertentu.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam

pengelolaan zakat di Indonesia?

- Pemerintah dan atau lembaga swasta telah mengelola zakat secara

profesional bisa menularkan ilmunya kepada para pengurus masjid

sehingga pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid bisa lebih baik ke

depannya. Pihak-pihak yang terkait juga diharapkan ikut serta

membangun kondisi yang kondusif untuk perkembangan zakat, seperti

KUA, MUI, Kemenag, BAZNAS dan masjid-masjid alangkah baiknya

memiliki pertemuan atau pengajian rutin yang bisa membahas program

keumatan seperti pengelolaan zakat ini.

Page 161: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

146

6. Masjid Nurullah

Narasumber : Muhammad Mada; Koordinator Humas dan Sosial DKM

Waktu : Jumat, 22 November 2019 pukul 14.00- 14.30 WIB

Tempat : Masjid Nurullah

Basement Tower Cendana Kalibata City Rawajati Pancoran

Jakarta Selatan

1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?

- Ya tahu,

2. Bagaimana proses bergabungnya masjid Nurullah menjadi UPZ BAZIS

Jakarta Selatan?

- Bergabungnya masjid Nurullah menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan

pada Tahun 2017 tidak terlepas dari komunikasi yang kami lakukan

dengan pihak KUA Kecamatan Pancoran. Sebelumnya kami pun

mencari-cari informasi secara online kalau pengelola zakat harus

memiliki izin, begitu juga masjid-masjid, sehingga kami memutuskan

untuk berkonsultasi dengan pihak KUA. Pihak KUA menyarankan

kami untuk bergabung menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan dan

kemudian ada pertemuan, sosialisai, hingga acara seremonial

pemberian SK UPZ.

3. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?

- Petugas-petugas zakat yang melakukan penerimaan hingga

pendistribusian

4. Apa tugas Amil Zakat?

- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik

5. Apa Hak Amil Zakat?

- Masjid tidak mengambil bagian zakat, dan petugas telah diberikan

insentif bulana sebagai anggota DKM, sehingga dana zakat seluruhnya

didistribusikan untuk mustahik

6. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?

- Fikih zakat dan aturan hukum yang ada

7. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?

- Sebagai ibadah sekaligus fungsi pelayanan bagi jamaah yang ingin

menunaikan zakatnya di masjid

8. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?

Page 162: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

147

- Selama ini belum ada. Mustahik zakat biasanya kami pilih dari petugas

kebersihan, keamanan, dan parkir di kawasan Kalibata City dan juga

fakir miskin di masyarakat Kelurahan Rawajati.

9. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?

- Ada, setiap tahun kita buat laporan, berapa zakat yang dikumpulkan

dari siapa saja dan dibagikan kepada siapa saja

10. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?

- Zakat fitrah kami bagikan berupa beras di malam takbir, dan zakat mal

kami himpun setiap waktu sehingga pendistribusiannya bisa fleksibel,

bahkan terkadang ada jamaah kami yang memiliki tetangga di daerah, dan

sedang membutuhkan, maka kami bantu dengan dana zakat mal yang ada.

11. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?

- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid

12. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?

- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM

13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?

- Ya

14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di

Masjid?

- Tidak ada

15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan

zakat?

- Sebelum kami mendatangi KUA, tidak pernah ada sosialisasi.

16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Meskipun kami telah bergabung menjadi UPZ, tapi kami tidak pernah

diberikan pelatihan, pembinaan, monitoring, evaluasi untuk

pengelolaan zakat. Pihak BAZIS tidak pernah lagi berkomunikasi

terkait tindak lanjut dari UPZ, sehingga kami menganggap memang

bentuk UPZ hanya sebatas legalitas dan formalitas hukum semata.

17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam

pengelolaan zakat di Indonesia?

- Pemerintah harus proaktif melakukan sosialisasi ke masjid-masjid, jika

menghendaki masjid-masjid yang mengelola zakat menjadi UPZ, KUA

dan BAZNAS harus jemput bola, melakukan pendekatan-pendekatan

persuasif, karena masyarakat banyak yang salah paham dengan konsep

UPZ

Page 163: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

148

B. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran

Narasumber : Pahruroji; Kepala KUA Kecamatan Pancoran

Waktu : Rabu, 11 April 2018 pukul 10.45- 11.30 WIB

Tempat : Kantor KUA Kecamatan Pancoran, Jl. Rawajati Barat No.5

Rawajati Pancoran Jakarta Selatan

1. Program apa saja yang telah dilakukan KUA dalam konteks pengelolaan

zakat?

- Pada dasarnya tugas dan fungsi KUA tidak hanya berkaitan dengan

pernikahan sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya,

tetapi KUA juga melakukan fungsi penyuluhan dan pembinaan kegiatan

agama Islam lainnya seperti bimbingan manasik haji, penentuan arah

kiblat, hingga soal zakat. Selama ini KUA Pancoran melalui penyuluh

dan pegawainya memang lebih fokus pada masalah pernikahan karena

permintaan masyarakat tinggi akan hal ini, tetapi kami juga

mengarahkan masyarakat yang berkonsultasi terkait zakat untuk

bergabung menjadi UPZ sesuai aturan yang berlaku, salah satu hasilnya

adalah Masjid Nurullah Kalibata City yang di Tahun 2017 telah

bergabung menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan.

2. Program apa saja yang pernah dilakukan KUA yang berkaitan dengan

masjid?

- Selama ini ada pengajian di masjid-masjid kecamatan Pancoran yang

diisi oleh penyuluh kami.

3. Bagaimana pola komunikasi KUA dengan masjid-masjid yang ada di

wilayah tugas?

- Hanya masjid tertentu yang biasanya ada kaitannya dengan program

kami yang akan intens berkomunikasi, selama ini memang tidak ada

forum khusus antar masjid-masjid dan KUA.

4. Bagaimana menurut bapak tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Selama ini memang telah banyak dilakukan di masjid, tetapi tidak

pernah ada laporan atau pemberitahuan kepada kami tentang

pengelolaan zakat tersebut, berapa yang dhimpun, kepada siapa saja

dibagikan, dan seterunya, padahal ada ketentuan untuk melapor ke KUA

setempat. Di sisi lain, kami pun tidak bisa banyak berbuat terkait itu,

karena sudah bagian privasi masjid, tetapi kami terbuka jika ada masjid

atau pihak lain ingin diarahkan untuk menyesuaikan dengan regulasi

pengelolaan zakat yang ada.

Page 164: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

149

C. BAZNAS

Narasumber : Faisal Qosim, Kepala Divisi Layanan Unit Pengumpul Zakat

Waktu : Kamis, 27 Juni 2019 pukul 09.00-10.45 WIB

Tempat : Kantor BAZNAS Pusat, Wisma Sirca Lantai 2 Jl. Johar No. 18

Jakarta Pusat

1. Sejauhmana BAZNAS mensosialisasikan peraturan pengelolaan zakat

kepada masjid?

- Sosialisasi mengenai perundangan zakat dan aturan-aturan turunannya

merupakan agenda nasional baik di pusat maupun di daerah

2. Berapa masjid yang telah menjadi UPZ BAZNAS?

- Pembentukan UPZ di masjid melalui SK sesuai dengan tingkatan

BAZNAS, BAZNAS pusat hanya membentuk 1 UPZ di masjid negara

yaitu masjid Istiqlal.

3. Bagaimana prosedur dan mekanisme pembentukan UPZ BAZNAS?

- Masjid menjadi UPZ bisa melalui 2 mekanisme, pertama inisiatif

BAZNAS untuk memberikan SK, kedua inisiatif pengurus masjid untuk

dibentuk UPZ dengan mengirim surat permohonan ke BAZNAS sesuai

tingkatannya

4. Apa saja hak dan kewajiban yang ditetapkan untuk UPZ dan BAZNAS?

- Di antara hak UPZ BAZNAS adalah mendapatkan legalitas berkekuatan

hukum sebagai sebuah pengumpul zakat, pelatihan amil melalui

program sertifikasi amil, mendapatkan hak amil sesuai ketentuan,

diberikan supervisi dan monitoring dalam program pengelolaan

zakatnya. Adapun kewajibannya adalah melaporkan pengelolaan zakat

setiap bulan, menyetorkan hasil penghimpunan zakat ke BAZNAS

sesuai tingkatan setiap bulan, menjalankan tugas dan kewajiban sesuai

aturan UPZ yang berlaku.

5. Apakah LAZ bisa menjadikan masjid sebagai UPZ?

- LAZ tidak berwenang membentuk UPZ, karena kata “UPZ” telah

dikhususkan bagi BAZNAS melalui undang-undang dan peraturan

pemerintah. Adapun LAZ mungkin untuk membetuk cabang LAZ,

bukan UPZ.

6. Bagaimana prosedur LAZ untuk dapat membentuk UPZ di Masjid?

- LAZ bisa saja menggandeng masjid tertentu sebagai mitranya dalam

pengelolaan zakat, bukan disebut UPZ. Mekanismenya diserahkan

kepada masing-masing LAZ.

7. Apakah BAZNAS terlibat dalam pembentukan UPZ LAZ di Masjid?

- Tidak

Page 165: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

150

8. Bagaimana pandangan BAZNAS tentang pengelolaan zakat di Masjid?

- Pada dasarnya pemerintah mendukung agar pengelolaan zakat dilakukan

oleh lembaga yang profesional karena semangat kebangkitan zakat

menjunjung nilai-nilai pengelolaan zakat yang akuntabel, transparan,

dan terintegritas. Kita semua sudah mengetahui bahwa masjid di

Indonesia telah lama memainkan peran sebagai tempat penghimpunan

zakat, utamanya zakat fitrah di bulan Ramadan, meskipun hal tersebut

merupakan kegiatan yang positif dan bertujuan mulia -untuk menerima

penunaian kewajiban muzaki dan menyerahkannya sebagai hak

mustahik- tetapi alangkah baiknya jika masjid-masjid atau pihak lain

yang melakukan pengelolaan zakat bisa menyesuaikan dengan aturan

yang ada, yaitu bisa bergabung dengan UPZ BAZNAS sesuai

tingkatannya. Masjid-masjid di tingkat kecamatan hingga kelurahan bisa

menjadi UPZ BAZNAS Kabupaten/Kota.

9. Bagaimana pola komunikasi dan koordinasi antara BAZNAS dengan DMI

/masjid-masjid pengelola zakat?

- DMI merupakan salah satu stakeholder pengelolaan zakat di Indonesia,

khususnya pengelolaan yang berbasis masjid, karena melalui DMI

sosialisasi terkait hal-hal pengelolaan zakat di masjid, pemberdayaan

zakat berbasis masjid bisa lebih mudah, tetapi memang program DMI

dari aspek zakat tidak pernah diangkat, koordinasinya dengan BAZNAS

pun belum terjalin.

10. Bagaimana sikap BAZNAS terhadap legalitas pengelolaan zakat di masjid

yang marak dilakukan setiap bulan Ramadan?

- Secara hukum, memang telah ada ketentuan sanksi yang diatur dalam

Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat, dan harus

kita akui masjid-masjid yang melakukan pengelolaan zakat tetapi tidak

memiliki legalitas sudah masuk dalam kategori peraturan tersebut.

Meskipun demikian, dalam tatacara pengenaan sanksinya,

mengharuskan adanya laporan atau pengaduan dari pihak tertentu, jadi

delik aduan. Tidak ada laporan, maka tidak ada penindakan.

11. Apa harapan BAZNAS mengenai pengelolaan zakat di masjid?

- Aturan hukum yang dibuat sebenarnya bertujuan untuk menguatkan

kegiatan dakwah zakat yang sudah ada di masjid sehingga pengelolaan

zakat yang dilakukan bisa aman secara 4 hal, yaitu aman regulasi, aman

syar‟i (kesesuaian dengan syariah), aman idari (manajemen yang

profesional), dan aman sosial (manfaat bagi masyarakat sekitar). Cara

yang bisa ditempuh oleh masjid adalah dengan bergabung menjadi UPZ

BAZNAS sesuai tingkatan.

Page 166: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

151

D. Dewan Masjid Indonesia

Narasumber : Firman, Ketua DMI Kecamatan Pancoran

Waktu : Kamis, 27 Juni 2019 pukul 09.00-10.45 WIB

Tempat : Durentiga Pancoran Jakarta Selatan

1. Apa tugas dan fungsi DMI di Indonesia?

- Mengkoordinasi masjid-masjid anggotanya

2. Program apa saja yang dilakukan DMI?

- Selama ini, di Jakarta DMI dipercaya untuk bekerjasama dalam

penyaluran program Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI)

3. Apakah DMI intens berkomunikasi dengan BAZNAS tentang pengelolaan

zakat di Masjid?

- Tidak ada

4. Apakah DMI memberikan himbauan atau arahan kepada masjid- masjid

dalam pengelolaan zakat?

- Tidak, karena kami rasa sudah ada BAZNAS yang lebih berwenng

dengan hal tersebut.

5. Adakah forum rutin antara masjid-masjid di bawah naungan DMI untuk

membahas pengelolaan zakat di masjid? atau tata kelola masjid secara

umum?

- Selama ini belum ada,

6. Bagaimana pandangan bapak mengenai pengelolaan zakat di masjid?

- Sebenarnya ini hal yang positif, selain membantu memfasilitasi muzaki

untuk berzakat di tempat terdekat, mustahik sekitar juga ikut

mendapatkan zakat. Adapun tentang regulasi atau peraturan yang ada,

nampaknya pihak yang berwenang harus lebih intens

mensosialisasikannya, lebih serius jika memang ingin ada kepatuhan di

masyarakat terhadap peraturan tersebut.

Page 167: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

152

E. Kementerian Agama Jakarta Selatan

Narasumber : Muhammad Yunus Hasyim, Kepala Seksi Penyelenggara Syariah

Nasruddin; Kepala Seksi Bimas Islam

Waktu : Kamis, 20 Juni 2019 pukul 08.00-09.20

Tempat : Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan,

Jl Warung Buncit Raya No.2 Pejaten Barat Pasar Minggu

Jakarta Selatan

1. Apakah bapak pernah mendapatkan pengaduan tentang dugaan

pelanggaran pengelolaan zakat di wilayah tugas bapak?

- Tidak pernah

2. Bagaimana instansi bapak mengawasi pengelolaan zakat di wilayah kerja

bapak?

- Sebenarnya fungsi kami tidak dalam hal tersebut, karena terkait zakat

yang kami lakukan hanyalah pengumpulan di kalangan internal

pegawai atau instansi di bawah naungan Kementerian Agama.

3. Apa saja program dalam pengelolaan zakat yang pernah instansi bapak

lakukan?

- Program yang kami lakukan berbasis anggaran, sehingga sudah pasti

tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, atau semua masjid

yang ada di Jakarta Selatan. Biasanya ada perwakilan masjid kecamatan

yang menjadi peserta. Secara spesifik, kami tidak mengurusi

pengelolaan zakat di masjid-masjid, karena itu bukan wilayah tugas

kami, tetapi di fungsi pembinaan atau bimbingan masyarakat Islam

kami melakukannya seperti pelayanan sertifikasi arah kiblat, pelayanan

ibadah haji, dan konsultasi masalah keagamaan lainnya termasuk zakat.

meski demikian, kami juga punya satuan khusus yang lebih dekat dan

langsung menjangkau masyarakat yaitu KUA-KUA di setiap

Kecamatan serta tenaga-tenaga penyuluhnya.

4. Bagaimana pandangan bapak mengenai pengelolaan zakat di masjid?

- Mengingat telah adanya badan resmi pemerintah yang khusus

mengelola zakat yaitu BAZNAS kita satukan visi ke sana, berharap

masjid-masjid yang mengelola zakat bisa bergabung ke BAZNAS

dengan menjadi UPZ sehingga dapat terkoordiir dengan baik. Kami

tahu, mungkin bagi masjid tidak semudah itu untuk bergabung karena

praduga-praduga yang terkadang tidak benar, sehingga perlu adanya

pertemuan atau inisiasi yang diharapkan dari keseriusan BAZNAS

sebagai lembaga pemerintah yang berwenang terhadap hal itu.

Page 168: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

153

F. Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama

Narasumber : Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf

Waktu : Rabu, 24 Juli 2019 pukul 15.30-16.30 WIB

Tempat : Kantor Kementerian Agama, Jl MH. Thamrin No.6 Jakarta Pusat

1. Bagaimana pandangan bapak tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Harus kita akui masjid telah lebih dulu melakukan pengelolaan zakat di

Indonesia, ini sebuah khazanah Islam dan tradisi nusantara dan tidak

bisa dipungkiri bahwa zakat infak sedekah merupakan andalan utama

masjid dalam kemakmurannya, meskipun dalam hal ini zakat bukan

menjadi sumber utama, tetapi kotak amal masjid yang menyumbang

pemasukan terbesar. Penertiban pengelola zakat tidak selalu

menggunakan pendekatan kekuasaan dan sanksi/hukuman, tetapi

pendekatan persuasif tentang pentingnya pelaporan data pengelolaan

zakat secara nasional baik penghimpunan dan pendistribusiannya.

2. Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh bapak terhadap pengelolaan

zakat yang ilegal/ yang tidak berizin?

- Pengawasan yang dilakukan Kemenag dalam pengelolaan zakat adalah

melakukan audit syariah terhadap laporan lembaga pengelola zakat agar

memastikan kepatuhan syariahnya. Selain itu mendorong semua

pengelola zakat memiliki legalitas sesuai dengan undang-undang dan

aturan hukum yang berlaku. Terkiat masjid, memang domain utamanya

tidak di Kemenag pusat, tapi di KUA kecamatan dan semestinya KUA

memang harus proaktif untuk melakukan pembinaan kepada

masyarakat khususnya terkait pengelolaan zakat yang mungkin selama

ini belum maksimal dilakukan seperti halnya pembinaan tentang

perkawinan.

3. Siapa yang memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi bagi

pengelola zakat yang tidak sesuai aturan? BAZNAS atau Kemenag?

- Kemenag dan BAZNAS sudah memiliki peran masing-masing yang

tidak saling tumpang tindih , Kemenag berperan sebagai pembina dan

pengawas pengelolaan zakat secara nasional, sedangkan BAZNAS

berperan sebagai koordinator pengelola zakat se-Indonesia juga

operator. Adapun terkait pemberian sanksi atau hukuman telah ada

mekanisme yang diatur, salah satunya adalah mensyaratkan adanya

pengaduan dari pihak tertentu untuk kemudian bisa ditindaklanjuti

dalam tahap penyelidikan

Page 169: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

154

4. Pengelolaan zakat di masjid apakah menjadi domain urusan yang bapak

tangani?

- Kami di Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf tidak sampai

mengurusi masjid-masjid di lapangan, kami lebih konsen pada

pengawasan lembaga-lembaga zakat yang resmi yang pelaporan

kegiatannya dikumpulkan oleh BAZNAS. Para pengelola zakat yang

ada di masyarakat baik berupa masjid, musola, majelis ta‟lim dan

sebagainya harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan KUA

Kecamatan. Hal ini tidak semata-mata bertujuan untuk menyesuaikan

aspek legalitas, tetapi agar KUA juga dapat menjalankan fungsi

pencatatan, pendataan, dan pembinaan terkait pengelolaan zakat yang

dilakukan di wilayah kecamatannya.

5. Apa fungsi dan tugas yang instansi bapak jalankan dalam pengelolaan

zakat di masjid?

- Secara khusus tidak ada, tetapi sebagai instansi yang juga mengurusi

soall zakat, kami tetap mendorong agar masyarakat yang mengelola

zakat bisa juga menyesuaikan kegiatannya dengan peraturan yang ada,

karena sesungguhnya peraturan tersebut dibuat untuk memaksimalkan

dan memperbaiki kualitas pengelolaan zakat.

Page 170: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

155

G. Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian

Agama.

Narasumber : Ahmad Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid

Waktu : Senin, 08 Juli 2019 pukul 13.30-14.15 WIB

Tempat : Kantor Kementerian Agama, Jl MH. Thamrin No.6 Jakarta Pusat

1. Bagaimana pandangan bapak tentang pengelolaan zakat di masjid?

- Fungsi masjid adalah sebagai tempat ibadah umat Islam baik ibadah

mahdhoh maupun ibadah sosial. Memang masjid sedari dulu menjadi

tempat pengumpulan zakat, tetapi di zaman sekarang harus juga

mengikuti perkembangan, terutama aspek hukum yang ada. Aktivitas

DKM mengelola zakat adalah kegiatan yang bagus dan positif, tetapi

sangat diharapkan untuk bisa mengikuti regulasi yang berlaku.

2. Apa saja fungsi dan peran yang dapat dijalankan masjid sesuai aturannya?

- Masjid memang multifungsi, segla kegiatan keagamaan bisa dilakukan

di masjid, termasuk pengelolaan zakat. setidaknya masjid-masjid harus

bisa berperan dan berfungsi dalam 3 aspek, yaitu pembinaan,

pelayanan, dan pemberdayaan jamaahnya

3. Apa tugas pokok dan fungsi Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan

Masyarakat Islam Kementerian Agama?

- Seksi kemakmuran masjid Kemenag tugasnya meningkatkan value dan

kompetensi takmir masjid

4. Apa saja program yang dijalankan instansi yang Bapak pimpin ini?

- Program kami biasanya memberikan bantuan untuk pembangunan atau

renovasi sarana ibadah umat Islam melalui pengajuan dari masjid.

Terkait program yang langsung bersentuhan dengan masjid-masjid di

lapangan, kami kira KUA menjadi satuan unit Kemenag di level

masyarakat yang leih tepat, karena bisa langsung berkoordinasi dan

berkomunikasi dengan masjid-masjid melalui tenaga Penyuluh

5. Bagaimana pola komunikasi dan koordinasi lembaga yang Bapak pimpin

dengan masjid-masjid yang ada di lapangan?

- Pola komunikasi yang diterapkan antara seksi kemasjidan Kemenag

dan masjid-masjid di masyarakat adalah pola komunikasi berjenjang,

mulai dari pusat ke kanwil ke kemenag kota/kabupaten lalu ke KUA

baru ke masjid-masjid.

Page 171: PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) terhadap

156

BIODATA PENULIS

Luthfi Mafatihu Rizqia lahir di Bandung, 12 November 1995

dari pasangan pengajar Drs. H. Masudin dan Dra. Hj. Ai

Muflihah. Tahun 1997 ia ikut pindah ke Kabupaten Tangerang

setelah ibunya mendapatkan penempatan tugas di MTsN 1

Kabupaten Tangerang ketika itu. Pendidikan sekolah dasar ia

tamatkan pada Tahun 2006 di SDN Sasak 01 Desa Sasak

Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang Banten.

Setelah lulus SD, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Al-

Nahdlah Islamic Boarding School, pesantren semi-modern di Bojongsari Depok

yang menggabungkan khazanah kitab kuning dengan ilmu umum dilengkapi

kemampuan berbahasa Arab dan Inggris aktif maupun pasif. Enam tahun ia habiskan

di pesantren NU tersebut dan lulus dari tingkat Madrasah Aliyah Program

Keagamaan di tahun 2013.

Selulusnya dari Al-Nahdlah, ia mengambil program diploma Ilmu

Administrasi dan Keuangan (al-‘Ulu>m al-Ida>riyyah al-Ma>liyyah) di Lembaga Ilmu

Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta selama 2 tahun. Di tengah proses

perkuliahan di LIPIA, ia menerima beasiswa 1 Year Program kerjasama antara

Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dan Universitas

Zaitunah Tunisia dengan pendanaan dari Kementrian Agama melalui Program

Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) untuk memperdalam bahasa Arab dan Sejarah

Kebudayaan Islam di Tunis selama tahun 2014.

Sekembalinya dari Tunisia, ia melanjutkan kuliah di LIPIA hingga lulus di

Tahun 2016 sekaligus mengambil S-1 di STAINU yang kini telah menjadi

Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Jakarta dengan program studi Ahwal

Syakhsiyyah (Hukum Keluarga Islam) dan lulus tahun 2017.

Beberapa bulan setelah kelulusannya dari UNUSIA, ia mendapatkan

beasiswa program Beasiswa Pembibitan Fresh Graduate Kementerian Agama 2017

untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister di Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Syariah.

Penulis bisa dihubungi melalui alamat surel: [email protected]