7
Pengelolaan Pesisir dan Laut dengan Kearifan Lokal DI KABUPATEN MUNA Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui penguatan kearifan lokal merupakan suatu kegiatan atau aktifitas stakeholders dalam memanfaatkan segala yang ada di pesisir dan laut, khususnya sumberdaya ikan, terumbu karang, dan mangrove dengan cara-cara yang ramah lingkungan untuk kesejahteraan hidup manusia. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut juga mencakup aspek upaya atau usaha stakeholders dalam mengubah ekosistem pesisir dan laut untuk memperoleh manfaat maksimal dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut. Aspek kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut termanifestasikan pada kegiatan atau aktivitas yang ramah lingkungan karena kearifan lokal itu sendiri merupakan berbagai gagasan berupa pengetahuan dan pemahaman masyarakat setempat terkait hubungan manusia dengan alam dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan bernilai baik. Kearifan lokal juga menyangkut keyakinan, budaya, adat kebiasaan dan etika yang baik tentang hubungan manusia dengan alam (sumberdaya pesisir dan laut) sebagai suatu komunitas ekologis. Sejak dahulu kala sebelum zaman kecanggihan tekhnologi, sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Muna dikelola dengan segala kearifan lokal yang ada. Berbagai kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut seperti kafoghira di Desa Wadolao; Maluppa Tambar

Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna

Pengelolaan Pesisir dan Laut dengan Kearifan Lokal DI KABUPATEN MUNA

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui penguatan kearifan lokal merupakan suatu

kegiatan atau aktifitas stakeholders dalam memanfaatkan segala yang ada di pesisir dan laut,

khususnya sumberdaya ikan, terumbu karang, dan mangrove dengan cara-cara yang ramah

lingkungan untuk kesejahteraan hidup manusia. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut juga

mencakup aspek upaya atau usaha stakeholders dalam mengubah ekosistem pesisir dan laut

untuk memperoleh manfaat maksimal dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan

menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.

Aspek kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut

termanifestasikan pada kegiatan atau aktivitas yang ramah lingkungan karena kearifan lokal

itu sendiri merupakan berbagai gagasan berupa pengetahuan dan pemahaman masyarakat

setempat terkait hubungan manusia dengan alam dalam mengelola sumberdaya pesisir dan

laut yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan bernilai baik. Kearifan lokal juga

menyangkut keyakinan, budaya, adat kebiasaan dan etika yang baik tentang hubungan

manusia dengan alam (sumberdaya pesisir dan laut) sebagai suatu komunitas ekologis.

Sejak dahulu kala sebelum zaman kecanggihan tekhnologi, sumberdaya pesisir dan laut di

Kabupaten Muna dikelola dengan segala kearifan lokal yang ada. Berbagai kearifan lokal

yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut seperti kafoghira di

Desa Wadolao; Maluppa Tambar Adah Kampoh di Desa Tapi-tapi; Andre Sikullung Assena

dan Dipadoeang Pina di Desa Pasikuta; Decera di Desa Pajala; Kaago-ago di Desa Kembar

Maminasa; Maduai Pina di Desa Bangko; Bala di Kelurahan Napabalano; Kapopanga di

Kelurahan Tampo dan Katingka di Desa Napalakura.

Kearifan lokal tersebut mampu menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan laut di

Kabupaten Muna, khususnya sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu karang. Sejumlah

stakeholders yang diwawancarai di lokasi penelitian menuturkan bahwa regulasi berbagai

kearifan lokal di Kabupaten Muna yang termuat dalam beberapa ketentuan budaya, adat

istiadat, dan tradisi masyarakat dijadikan oleh masyarakat pesisir sebagai penuntun moral

dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara ramah lingkungan.

Page 2: Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna

“Awaghaituini, okapointa maitu nembali hukumu weloliwu. Insaidi taotehie, taharagamie, be

taangkafie welo taeghondohi kadadiha we tehi” kata La Merudi, salah seorang stakeholders

di lokasi penelitian.

Makna dari penuturan La Merudi tersebut adalah “Zaman dahulu kala, budaya dan tradisi

yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi hukum dalam

kehidupan masyarakat. Kami masyarakat sangat takut, taat, menghargai dan mengikuti semua

ketentuan tradisi dan budaya dalam aktivitas kami mencari kehidupan di pesisir dan laut”.

Stakeholder di lokasi penelitian mengakui bahwa berbagai aturan dan larangan dalam tradisi

dan budaya yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mampu menjaga

kelestarian sumberdaya pesisir dan laut dari kerusakan. Tradisi dan budaya tersebut cukup

ampuh dalam mengendalikan berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak.

Kondisi ini terjadi sebelum era tahun 1990-an.

Memasuki era tahun 1990-an, tanda-tanda kerusakan sumberdaya pesisir dan laut di

Kabupaten Muna mulai terlihat. Sejumlah stakeholders menilai, tanda-tanda kerusakan itu

seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Di era ini,

konfigurasi sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut moderen mulai melemahkan

kearifan lokal yang ada. Munculnya armada dan alat penangkapan ikan modern yang dapat

menangkap ikan dalam jumlah besar namun tidak ramah lingkungan membuat banyak

masyarakat lokal meninggalkan kearifan lokalnya dengan mengabaikan berbagai tradisi dan

budaya yang mereka miliki.

Melemahnya kearifan lokal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir

dan laut. Dampak ikutannya adalah menurunnya hasil tangkapan ikan akibat eksploitasi

berlebihan, termasuk hilangnya sejumlah jenis ikan akibat kerusakan terumbu karang dan

mangrove.

“Nando wawono minaho nanumando kapala balano, minaho nanumando opuka harimau,

minaho daebomu kenta, kabarihi taepoli kenta. Taerako kenta minahi nakodohoa we wuntano

tehi. Tamaka ampaitu nandoomo puka harimau, nobarimo mebomuno kenta, nohalimo

taeghawa kenta. Kaghawamani nendaimo. Tabea takala weundalo balano maka taepoli kenta

balahino” kata La Tadi, salah seorang stakeholders.

Page 3: Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna

Makna dari penuturan La Tadi tersebut adalah “Dahulu kala sebelum adanya kapal besar,

sebelum adanya pukat harimau (trawl), sebelum adanya bom ikan, hasil tangkapan kami

selalu melimpah. Tak perlu ke laut lepas untuk menangkap ikan. Namun sekarang ini setelah

maraknya pukat harimau (trawl), maraknya bom ikan, kami sudah kesulitan mendapatkan

ikan. Hasil tangkapan kami semakin sedikit. Untuk mendapatkan ikan besar, kami harus ke

lautan lepas yang dalam”.

Belajar dari fenomena kerusakan lingkungan akibat meninggalkan nilai-nilai tradisi dan

budaya sebagai suatu kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kini

masyarakat pesisir Kabupaten Muna mulai menggali kembali berbagai kearifan lokal yang

ada. Berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan dan menguatkan kembali tradisi dan

budaya yang ada sebagai suatu kearifan lokal agar menjadi penuntun sikap dan perilaku yang

baik bagi masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Muna.

Upaya masyarakat pesisir dalam menguatkan kearifan lokal tersebut telah dilakukan sejak

tahun 2005 lalu yang diwujudkan dengan : (1) keikutsertaan stakeholders dalam setiap

kegiatan budaya, tradisi, dan/atau hukum adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya

pesisir dan laut meskipun tanpa dukungan pemerintah setempat; (2) adanya ide, gagasan, dan

kehendak stakeholders yang disampaikan kepada pemerintah daerah agar kearifan lokal

dijadikan produk hukum berupa peraturan daerah untuk mengelola sumberdaya pesisir dan

laut di Kabupaten Muna; dan (3) kepatuhan dan ketaatan stakeholders terhadap berbagai

tradisi, budaya, dan/atau hukum adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan

laut di Kabupaten Muna.

Seiring upaya penguatan kearifan lokal, masyarakat pesisir dalam melakukan berbagai

aktivitas di pesisir dan laut selalu berpedoman pada tradisi dan budaya yang ada. Mereka

menjadikan tradisi dan budaya sebagai petunjuk dan penuntun moral dalam mengelola

sumberdaya pesisir dan laut yang ada. Seluruh pemali (larangan) dalam berbagai budaya dan

tradisi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dipatuhi sehingga

kelestarian lingkungan pesisir dan laut tetap terjaga.

Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah kondisi mangrove di Desa Bangko Kecamatan

Maginti, Kabupaten Muna. Diera tahun 1990-2000, kondisi mangrove di daerah tersebut

sangat memprihatinkan karena berada diambang kehancuran. Namun setelah upaya

penguatan kearifan lokal yang dilakukan sejak tahun 2005 lalu melalui penetapan budaya

Page 4: Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna

memelihara pohon bakau menjadi sebuah peraturan desa yang sifatnya mengikat, dimana

setiap pelaku penebangan satu pohon bakau yang belum layak panen dikenai sanksi menanam

10 pohon bakau pengganti hingga usia bakau dewasa, maka mengrove di daerah tersebut kini

lestari kembali. Nampak seluruh daerah pesisir pantai Desa Bangko tertutup dengan

mangrove. Selain itu, dampak ikutan dari kelestarian hutan mangrove tersebut adalah

meningkatnya hasil tangkapan nelayan, khususnya ikan dan kepiting bakau.

“Dulu sebelum tahun 2005, mangrove di sini nyaris punah. Masyarakat merambah habis-

habisan pohon bakau untuk berbagai kepentingan, mulai dari kayu bakar sampai bahan baku

pembuatan rumah. Bersamaan dengan itu, hasil tangkapan ikan oleh nelayan sangat kurang

dan kepiting bakau sulit kami dapatkan. Menyikapi hal itu, kami bersama aparat desa

berembuk dan sepakat untuk menetapkan budaya menanam bakau menjadi peraturan desa.

Setiap yang menebang bakau yang masih muda, dikenai hukuman menanm sepuluh bakau

dan memeliharanya hingga dewasa. Peraturan desa ini sangat efektif dan kini hasilnya kami

sudah nikmati” kata M Hayal, stakeholders yang juga Kepala Desa Bangko.

Kondisi membaik dan lestarinya sumberdaya pesisir dan laut akibat penguatan kearifan lokal

juga terjadi di Desa Pajala. Di daerah tersebut, kata Kepala Desa Pajala, Ambo Ibrahim,

sumberdaya ikan melimpah setelah masyarakat mematuhi pemali (larangan) dari budaya

Decera. Dalam budaya Decera, masyarakat dilarang menangkap ikan dengan bom atau racun.

Kepatuhan masyarakat terhadap larangan dalam budaya Decera tersebut berimplikasi pada

meningkatnya hasil tangkapan nelayan. Hal ini terjadi karena terumbu karang sebagai tempat

hidup dan tempat mencari makan bagi ikan kondisinya semakin membaik akibat

berkurangnya aktivtas penangkapan tidak ramah lingkungan seperti bom dan racun yang

dapat merusak terumbu karang.

Dampak positif berupa kelestarian sumberdaya pesisir dan laut serta meningkatnya hasil

tangkapan nelayan akibat penguatan kearifan lokal juga dialami oleh masyarakat Desa

Pasikuta. Menurut Sekretaris Desa Pasikuta, H Mardin, kepatuhan masyarakat terhadap

pemali dalam tradisi Andre Sikullung Assena yakni berupa larangan menangkap ikan dengan

bom dan racun, berimplikasi positif terhadap meningkatnya hasil tangkapan ikan oleh

nelayan setempat. Peningkatan hasil tangkapan itu disinyalir oleh H. Mardin akibat

kelestarian terumbu karang sebagai tempat bagi ikan untuk hidup dan mencari

makan…………….RamadaN

Page 5: Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna