Upload
cut-tia-mardi
View
680
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pertanian
Citation preview
PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL
DAN PEMANENAN AIR HUJAN
LAPORAN
Oleh :
CUT TIA MARDI / 110301062 AET IA
KELOMPOK 2
LABORATORIUM PENGELOLAAN TANAH DAN AIR
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL
DAN PEMANENAN AIR HUJAN
LAPORAN
Oleh :
CUT TIA MARDI / 110301062AET I A
KELOMPOK 2
Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Mengikuti Praktikal Test di Laboratorium Pengelolaan Tanah dan Air, Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Ditugaskan oleh : Diperiksa Oleh :Dosen penanggung jawab, Asisten Korektor,
(Ir. Posma Marbun, M P ) (Christian Natanael T arigan ) NIP : 1967 0712 1993 032 002 NIM : 090301003
LABORATORIUM PENGELOLAAN TANAH DAN AIR
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan lindungan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat
pada waktunya.
Adapun judul dari laporan ini adalah “Pengelolaan Tanah Marginal
dan Pemanenan Air Hujan” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat
mengikuti Pratikal Test di Laboratorium Pengelolaan Tanah dan Air, Program Studi
Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
Penanggung jawab Praktikum yakni : Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP,
Ir. M. Madjid Damanik, M.Sc., Ir. Posma Marbun, MP, Ir. Syarifuddin, M.S., dan
Ir. Alida Lubis, M.S. serta kepada Abang dan Kakak Asisten Laboratorium Pengelolaan
Tanah dan Air yang telah membantu penulis sehingga laporan ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan
ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Desember 2012
Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
DAFTAR GRAFIK...............................................................................................v
PENDAHULUANLatar Belakang...............................................................................................1Tujuan Percobaan...........................................................................................3Kegunaan Penulisan.......................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKABotani Tanaman Padi (Oryza sativa L.)........................................................4Syarat Tumbuh.................................................................................................
Iklim.....................................................................................................6Tanah....................................................................................................6
Botani Tanaman Jagung (Zea mays L.).........................................................7Syarat Tumbuh...............................................................................................9
Iklim.....................................................................................................9Tanah..................................................................................................10
Lahan Kering Marginal................................................................................11Lahan Gambut..............................................................................................14Lahan Salin..................................................................................................18Lahan Sulfat Masam....................................................................................21Pemanenan Air Hujan..................................................................................25
BAHAN DAN METODETempat dan Waktu Percobaan.....................................................................27Bahan dan Alat.............................................................................................27Prosedur Percobaan......................................................................................28Pemeliharaan................................................................................................30
Penanaman..........................................................................................30Perawatan...........................................................................................30Peubah yang Diamati..........................................................................30
Tinggi Tanaman........................................................................30Jumlah Daun.............................................................................30Observasi Visual.......................................................................31Tinggi dan Volume Air Hujan .................................................31
HASIL DAN PEMBAHASANHasil ............................................................................................................32
Percobaan Pengelolaan Lahan Kering Marginal................................32
ii
Percobaan Pengelolaan Lahan Gambut..............................................33Percobaan Pengelolaan Lahan Salin...................................................34Percobaan Pengelolaan Lahan Sulfat Masam....................................35
Pembahasan.................................................................................................36Percobaan Pengelolaan Lahan Kering Marginal................................36Percobaan Pengelolaan Lahan Gambut..............................................39Percobaan Pengelolaan Lahan Salin...................................................41Percobaan Pengelolaan Lahan Sulfat Masam....................................44Percobaan Teknik Pemanenan Air Hujan..........................................47
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan..................................................................................................49Saran............................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL
No Judul Tabel Hal.
1.Tabel 1. Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) lahan
kering marginal.32
2.Tabel 2. Jumlah (Helai) Daun Tanaman Jagung (Zea mays L.)
dengan 4 perlakuan pada lahan kering marginal.32
3.Tabel 3. Observasi Visual Tanaman Jagung (Zea mays L.)
dengan 4 perlakuan pada lahan kering marginal.33
4.Tabel 4. Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) dengan 3
perlakuan pada lahan gambut.33
5.Tabel 5. Jumlah (Helai) Daun Tanaman Jagung (Zea mays L.)
dengan 3 perlakuan pada lahan gambut.34
6.Tabel 6. Observasi Visual Tanaman Jagung (Zea mays L.)
dengan 3 perlakuan pada lahan gambut.34
7.Tabel 7. Tinggi (cm) Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan 2
perlakuan pada lahan salin.34
8.Tabel 8. Jumlah Helai Daun Tanaman Padi (Oryza sativa L.)
dengan 2 perlakuan pada lahan salin.35
9.Tabel 9. Observasi Visual Tanaman Padi (Oryza sativa L.)
dengan 2 perlakuan pada lahan salin.35
10.Tabel 10. Tinggi (cm) Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan 2
perlakuan pada lahan sulfat masam.35
11.Tabel 11. Jumlah Helai Daun Tanaman Padi (Oryza sativa L.)
dengan 2 perlakuan pada lahan sulfat masam.36
12.Tabel 12. Observasi Visual Tanaman Padi (Oryza sativa L.)
dengan 2 perlakuan pada lahan sulfat masam.36
13.Tabel 13. Tinggi (cm) dan Volume (L) air hujan pada embung
mini dengan 3 perlakuan47
iv
DAFTAR GRAFIK
No Judul Grafik Hal.
1. Grafik 1. Perbandingan Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada empat perlakuan.
36
2. Grafik 1. Perbandingan Jumlah daun Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada empat perlakuan.
38
3. Grafik 3. Perbandingan Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada tiga perlakuan.
39
4. Grafik 4. Perbandingan Jumlah Helai Daun Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada tiga perlakuan.
40
5. Grafik 5. Perbandingan Tinggi (cm) Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan.
41
6. Grafik 6. Perbandingan Jumlah Helai Daun Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan.
43
7. Grafik 7. Perbandingan Tinggi (cm) Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan.
44
8. Grafik 8. Perbandingan Jumlah Helai Daun Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan.
45
v
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagian besar lahan tersedia untuk pengembangan pertanian di Indonesia
bersifat asam (seperti ultisol dan oksisol), maka perlu ada program lanjutan
berupa pengusiran besi (pirit). Lahan sulfat masam (asam) yang dimanfaatkan
untuk bercocok tanam padi sawah akan sangat tergantung pada pengapuran
terus-menerus bila tidak segera diikuti dengan pengelolaan yang lain. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh pengapuran yang hilang dalam setahun pertama.
Setelah dibantu dengan pengapuran, maka yang terpenting diusahakan adalah agar
drainase dilakukan dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan pengeringan lahan atau
pembuatan parit-parit, sehingga bila terpaksa akan menggunakan kapur lagi,
dosisnya rendah sekali (misalnya cukup 4 kuintal/ha), hanya sekedar untuk
menonaktifkan ion besi (pirit) dan Al yang mungkin masih tersisa di lapisan
bawah lapis olah lahan. Hal ini pun tidak boleh dilakukan selama proses drainase
(Kuswandi, 1993).
Meskipun memiliki potensi tanah rendah dan banyak kendala, tetapi
karena luasnya sangat besar, lahan marginal sangat layak untuk diperhatikan dan
dimanfaatkan khususnya untuk upaya perluasan budi daya tanaman jadi emas.
Namun, bentuk penggunaannya perlu dipikirkan lebih cermat. Menurut wawasan
penulis, lahan marginal lebih tepat dimanfaatkan untuk perkebunan atau
perladangan dalam bentuk hutan tani (social forestry). Tentu saja dengan teknik
konservasi tanah dan air sebagai komponen pokok dalam sistem pengelolaannya
misalnya dengan teknologi LEISA atau masukan dari luar usaha tani rendah
(Maheldaswara, 2005).
1
Pengembangan teknologi panen hujan dan aliran permukaan pada suatu
wilayah seyogiannya terintegrasi dalam suatu sistem manajemen yang
komprehensif. Pendekatan manajemen sumberdaya airnya sebaiknya mencakup
aspek fisik, teknik, ekonomi, sosialbudaya, dan kelembagaan. Teknologi panen
hujan-aliran permukaan melalui pengembangan dam parit (channel reservoir) dan
sumur resapan dapat menurunkan resiko kekeringan dan bahaya banjir, serta
memperbaiki komposisi tanaman yang dibudidayakan karena adanya peningkatan
ketersediaan sumberdaya air. Selain itu pengembangan teknologi panen hujan-
aliran permukaan dapat meningkatkan luas areal tanam dan target irigasi, hal ini
berarti dapat menciptakan peningkatan pendapatan petani. Pengembangan sistem
panen hujan dengan cara terpadu pada areal rawa yang dikonversi diyakini
merupakah langkah yang komprehensif untuk mempertahankan keseimbangan
ekologis. Sistem yang demikian dapat diterapkan pada areal rawa yang
penyempurnaan di sana sini (Rahim dan Halim, 2008).
Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa Inggria, antara
lain disebut peat, bog, moor, mire, atau fen. Istilah-istilah ini berkenaan dengan
perbedaan jenis atau sifat gambut antara satu tempat dan tempat lainnya. Istilah
gambut diambil alih dari kosa kata bahasa daerah Kalimantan Selatan (suku
Banjar). Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun
secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak
hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa
setiap timbunan bahan organic yang basah adalah gambut. Pengertian gambut
disini sebagai bahan onggokan dan secara umum diartikan sebagai bahan
2
tambang, bahan bakar (non-minyak), bahan industry, bahan kompos, dan lain
sebagainya (Noor, 2001).
Beras sebagai bahan pokok sangat di butuhkan masyarakat indonesia. Oleh
karenanya, tanaman padi sebagai penghasil beras harus mendapat perhatian, baik
mengenai lahan, benih, cara budi daya, maupun pasca panennya. Banyak masalah
bermunculan dari petani mengenai hal-hal tersebut. Sudah selayaknya membantu
memecahkan masalah –masalah petani tersebut agar yang direncanakan dapat
dicapai petani (Suparyono dan Setyono, 1997).
Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui perbedaan
tanaman pada lahan marginal seperti lahan kering, lahan sulfat masam, lahan
bergaram, lahan gambut dan untuk mengetahui teknik pengelolaan air.
Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan ini adalah untuk dapat mengikuti praktikal
test Laboratorium Pengelolaan Tanah dan Air dan sebagai bahan informasi bagi
yang membutuhkan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Padi
Sistematika tanaman padi adalah sebagai berikut. Kingdom: Plantae;
Divisio: Spermatophyta; Subdivisio: Angiospermae; Class: Monocotyledoneae;
Ordo: Graminales; Famili: Graminaceae, Genus: Oryza; Spesies : Oryza sativa L.
(Steenis, 2005).
Akar padi tergolong akar serabut. Akar yang tumbuh dari kecambah biji
disebut akar utama (primer, radikula). Akar lain yang tumbuh di dekat buku
disebut akar seminal. Akar padi tidak memiliki pertumbuhan sekunder sehingga
tidak banyak mengalami perubahan (Suparyono dan Setyono, 1993).
Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu
dengan yang lainnya dipisah oleh suatu buku. Tinggi tanaman diukur dari
permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi bila malai belum keluar, dan
sesudah malai keluar tingginya diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai
tertinggi. Tinggi tanaman adalah suatu sifat baku (keturunan). Adanya perbedaan
tinggi dari suatu varietas disebabkan oleh suatu pengaruh keadaan lingkungan.
Bila syarat-syarat tumbuh baik, maka tinggi tanaman padi sawah biasanya 80-120
cm (Prasetyo, 2002).
Daun padi tumbuh pada buku-buku dengan susunan berseling. Pada tiap
buku tumbuh satu daun yang terdiri dari pelepah daun, helai daun, telinga daun
(uricle), dan lidah daun (ligula). Daun yang paling atas memiliki ukuran terpendek
dan disebut daun bendera. Daun keempat dari daun bendera merupakan daun
terpanjang. Jumlah daun per tanaman tergantung varietas. Varietas unggul
umumnya memiliki 14-18 daun (Suparyono dan Setyono, 1993).
4
Sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku paling atas
dinamakan malai. bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan cabang kedua,
sedangkan sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang.
Panjang malai tergantung pada varietas padi yang ditanam dan cara bercocok
tanam. Dari sumbu utama pada ruas buku yang terakhir inilah biasanya panjang
malai (rangkaian bunga) diukur (Aak, 1990).
Bunga padi berkelamin dua dan memiliki 6 buah benang sari dengan
tangkai sari dengan tangkai sari pendek dan dua kandung serbuk dikepala sari.
Bunga padi juga mempunyai dua tangkai putik dengan dua buah kepala putik
yang berwarna putih atau ungu. Sekam mahkotanya ada dua dan yang bawah
disebut lemma, sedang yang atas disebut palea (Suparyono dan Setyono, 1993).
Gabah atau buah padi adalah ovary yang telah masak, bersatu dengan
lemma dan palea. Bunga ini merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang
mempunyai bagian-bagian sebagai berikut yaitu : a. embrio (lembaga) terletak
pada bagian lemma pada lembaga ini terdapat daun lembaga (calon batang dan
calon daun) serta akar lembaga (calon akar) b. endosperm merupakan bagian dari
buah atau biji padi yang besar. Endosperm terdiri dari zat tepung, sedang selaput
protein melingkupi zat tepung tersebut c. bekatul yaitu bagian buah padi yang
berwarna coklat (Aak, 1990).
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman padi tumbuh di daerah tropis / subtropis pada 45O LU sampai
dengan 45O LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan
empat bulan. rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-
5
2000 mm/tahun . Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas
dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per
bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki
per tahun sekitar 1500 – 2000 mm. Temperatur sangat mempengaruhi pengisian
biji padi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi pada waktu
pembungaan akan mengganggu proses pembuahan yang mengakibatkan gabah
menjadi hampa. Hal ini terjadi akibat tidak membukanya bakal biji. Temperatur
yang juga rendah pada waktu bunting dapat menyebabkan rusaknya pollen dan
menunda pembukaan tepung sari (Simanjuntak, 2004).
Pertumbuhan padi gogo sangat tergantung pada air hujan. Untuk ini, yang
terpenting bukan saja jumlah air hujan yang mencukupi, tetapi juga distribusi air
hujan itu sendiri. Ketergantungan sumber air pada curah hujan menyebabkan padi
gogo ditanam pada waktu musim hujan. Panjang-pendeknya musim hujan sangat
menentukan keberhasilan panen padi gogo. Oleh karena hanya tergantung pada
musim hujan maka hasil padi sangat tidak stabil (2-4 ton/ha)
(Suparyono dan Setyono, 1997).
Tanah
Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya
antara 18 – 22 cm, terutama tanah muda dengan pH antara 4 – 7. Sedangkan
lapisan olah tanah sawah, menurut IRRI adalah dengan kedalaman 18 cm. Tanah
sawah yang mempunyai persentase fraksi pasir dalam jumlah besar, kurang baik
untuk tanaman padi, sebab tekstur ini mudah meloloskan air. Pada tanah sawah
dituntut adanya lumpur, terutama untuk tanaman padi yang memerlukan tanah
6
subur, dengan kandungan ketiga fraksi dalam perbandingan tertentu
(Simanjuntak, 2004).
Tanaman padi umumnya sangat sensitif terhadap keasaman tanah.
Tanaman padi, baik bibit maupun tanaman dewasa, akan tumbuh kurang baik
pada lahan asam. untuk meningkatkan ph tanah, dapat dilakukan pengapuran atau
pemberian abu sekam. Dosis kapur atau abu sekam yang di berikan tergantung pH
tanah awal. Cara pemberiannya adalah kapur abu sekam ditaburkan pada lahan
sebelum dilakukan pengolahan lahan (Suparyono dan Setyono, 1997).
Botani Tanaman Jagung
Kedudukan tanaman jagung dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan
adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae ; Divisi : Spermatophyta ;
Subdivisio : Angiospermae ; Kelas : Monocotyledoneae ; Ordo : Graminae ;
Famili : Graminaceae ; Genus : Zea ; Spesies : Zea mays L. (Rukmana, 1997).
Daun jagung tumbuh disetiap ruas batang. Daun ini berbentuk pipa,
mempunyai lebar 4-15 cm dan panjang 30-150 cm, serta didukung oleh pelepah
daun yang menyelubungi batang. Daun mempunyai dua jenis bunga yang
berumah satu (Najiyati dan Danarti, 1999).
Batang tanaman jagung beruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku.
jumlah ruas berfariasi antara 10-40 ruas. Panjang batang berkisar antara 60cm-
300cm, tergantung dari tipe atau varietas jagung. Ruas-ruas bagian atas berbentuk
agak silindris, sedangkan bagisan bawah agak bulat sampai pipih. tunas batang
yang telah berkembang (tumbuh) maksimum menghasilkan tajuk bunga betina
(Rukmana, 1997).
7
Sistem perakaran jagung terdiri atas akar primer, akar lateral, akar
horizontal dan akar udara. Akar primer adalah akar yang pertama kali muncul
pada saat biji berkecambah dan tumbuh ke bawah. Akar lateral adalah akar yang
tumbuh memanjang ke samping. Akar udara adalah akar yang tumbuh dari bulu-
bulu di atas permukaan tanah (Najiyati dan Dianarti, 1999).
Buah jagung berupa tongkol yang ditutupi oleh kelobot. tongkol jagung
stadium muda disebut jagung semi atau baby corn (Rukmana, 1997).
Biji-biji tertempel kuat pada suatu poros yang kuat ‘janggel’, dan tidak
seluruhnya tertutup oleh daun pelindung bunga atau sekam-sekam sebagaimana
pada kebanyakan padi-padian lainnya. Malah sebaliknya, seluruh tongkol
terbungkus, sering kali sangat rapat, oleh pelepah-pelepah daun yang berubah
disebut kelobot (Goldsworthy dan Fisher, 1996).
Tanaman jagung ternasuk tumbuhan berumah satu (monoceous), yaitu
bunga jantan dan bunga betinanya terletak di tengah batangpada salah satu ketiak
daun. tanaman daun bersifat protandri yaitu bunga jantan matang 1-2 hari lebih
dulu dari bunga betina (Rukmana, 1997).
Syarat Tumbuh
Iklim
Umumnya tanaman jagung memiliki daya adaptasi yang baik di daerah
tropis, seperti di Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik di dataran rendah sampai dataran tinggi (pegunungan) yang berketinggian
1.800 m dpl. Daerah pengembangan baby corn paling baik adalah dataran rendah
berketinggian 750 m dpl, tergantung daya adaptasi suatu varietas jagung
(Rukmana, 1997).
8
Tingginya produksi jagung semi (baby corn) dipengaruhi oleh sifat genetik
(varietas) dan interaksinya dengan tingkunga tumbuh ( evironmental). Tanaman
jagung membutuhkan suhu hangat antara 21oC - 32oC dengan suhu optimum
untuk pertumbuhan berkisar antara 23oC - 27oC, dan kelembapan udara (RH)
50%-80%. Faktor iklim yang mendukung pertumbuhan dan produksi baby corn,
anatar lain curah hujan dan matahari. Curah hujan yang ideal adalah 100 mm-125
mm perbulan dan distribusinya merata. Sinar matahri amat berperan dalam proses
fotosintesi tanaman jagung. Bila tanaman ternaungi, pertumbuhannya terhambat
dan hasilnya rendah (Rukmana, 1997).
Tanah
Jagung tidak menuntut persyaratan lingkungan yang terlalu ketat. Namun,
untuk pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki tanah yang gembur, subur,
berdrainase baik dengan pH 5,6-7,2. Tanah yang bertekstur berat harus diolah
sehingga aerasi dan drainasenya baik (Najiyati dan Dianarti, 1999).
Tanaman jagung mempunyai daya adaptasi baik terhadap berbagai jenis
tanah. Hampir semua tanah pertanian cocok untuk pengembangan budidaya
jagung. Jenis tanah yang paling ideal untuk menghasilkan tanaman jagung semi
(baby corn) adalah tanah andosol, latosol, dan podsolik merah kuning (PMK). Hal
yang penting untuk diperhatikan adalah tanahnya subur, gembur, banyak
mengandung bahan organiaerasi dan daerasinya baik, serta memiliki pH antara
5,5-7,5. Jenis tanah latosol dan PMK yang umum terdapat didataran rendah,
cocok untuk budidaya baby corn, dengan menerapkan paket teknologi anjuran
yang paling sesuai di dareh setempat. Tanah latosol dan PMK umumnya ber-pH
9
rendah sehingga diperlukan pengapuran dan pemupukan berimbang, sesuai
keadaan tanah setempat (Rukmana, 1997).
Lahan Kering Marginal
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suharta (2010) Tanah marginal
atau “suboptimal” merupakan tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk
tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami,
kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi tanah
yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan basa
rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. Secara
alami, tanah ini mempunyai kesuburan yang rendah dan peka terhadap erosi. Di
Kalimantan, tanah marginal diperkirakan menempati areal seluas 30,15 juta ha
atau 57,22% dari luas pulau, dengan jenis tanah utama terdiri atas Ultisols, sedikit
Oxisols, dan Inceptisols. Tanah marginal dari batuan sedimen masam memiliki
karakteristik fisik yang sangat ditentukan oleh jenis bahan induk tanah (batu pasir
atau batu liat). Sifat kimia tanahnya menunjukkan sifat yang sama, yaitu reaksi
tanah masam, bahan organik bervariasi, serta nilai kapasitas tukar kation, basa-
basa dapat tukar, kejenuhan basa, cadangan hara, dan status hara P dan K rendah,
tetapi memiliki kejenuhan aluminium (Al) tinggi.
Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah
karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan
tertentu. Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau
biaya yang harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di
lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan. Ketertinggalan pembangunan
pertanian didaerah marginal hampir dijumpai di semua sektor, baik biofisik,
10
infrastruktur, kelembagaan usahatani maupun akses informasi untuk petani miskin
yang kurang mendapat perhatian (Yuwono, 2009).
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Suriadikarta (2006)
menyatakan bahwa Tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk
pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini
menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa
kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH rata-
rata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca,
dan Mg, dan kandungan bahan organik rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut
dapat diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian
bahan organik. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan hasil tanaman
Jagung.
Lahan Gambut
Semakin tebal gambut, semakin penting fungsinya dalam memberikan
perlindungan terhadap lingkungan, dan sebaliknya semakin ringkih (fragle) jika
dijadikan lahan pertanian. Pertanian di lahan gambut tebal lebih sulit
pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya rendah dan daya
dukung (bearing capacity) tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan
pengangkut sarana pertanian dan hasil panen. Gambut tipis, tetapi berpotensi
sulfat masam (mempunyai lapisan pirit relatif dangkal), juga sangat berbahaya
kalau dikonversi menjadi lahan pertanian (Agus dan Subiksa, 2008)
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Paiman dan Armando (2010)
menyatakan bahwa Tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik
11
apabila persyaratan tumbuhnya seperti tanah, iklim dan pengelolaan yang sesuai
dapat dipenuhi. Tidak terpenuhinya satu atau lebih persyaratan tersebut secara
optimal menyebabkan tanaman tidak mampu memberikan hasil sesuai dengan
kemampuan genetisnya. Faktor yang tidak optimal itu dikenal sebagai faktor
pembatas. Konsep faktor pembatas ini hendaknya dijadikan dasar pertimbangan
dalam melakukan penilaian potensi lahan untuk pengembangan dalam melakukan
penilaian potensi lahan untuk pengembangan tanaman yang umumnya terdapat
pada lahan kering marjinal yang bereaksi masam. Dari aspek ciri-ciri umum
wilayah seperti faktor ketinggian tempat bervariasi namun perbedaan tersebut
relatif kecil dan tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena dalam batas
toleransi persyaratan tumbuh kedua jenis tanaman dimaksud.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian termasuk perkebunan dan
tanaman industri tergolong sangat rawan, terutama jika dilaksanakan pada gambut
tebal di daerah pedalaman (disebut gambut pedalaman). Jika lahan gambut
pedalaman dimanfaatkan untuk pengembangan komoditi-komoditi diatas, maka
mengharuskan adanya upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan
lahan dengan cara membuat saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis
gambut pantai di daerah pasang surut, pembuatan drainase atau kanal ditujukan
untuk menyalurkan air ke bagian dalam (beberapa kilometer dari tepi sungai atau
laut). Tanpa membuat saluran drainase atau kanal pada gambut pedalaman,
dipastikan hanya jenis pohon asli setempat (ramin, meranti rawa, jelutung, gemor,
dll) yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air atau daerah yang dominan basah.
Dibalik pembuatan drainase yang menyebabkan penurunan air tanah, maka terjadi
perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut dekat permukaan, sehingga
12
mempercepat proses pelapukan dan permukaan gambut semakin menurun
(Limin, 2006).
Lahan Salin
Salinitas dapat merintangi pertumbuhan tanaman padi, terutama di daerah–
daerah yang perairan tanahnya dalam, sehubungan dengan akumulasi residu
garam. Para petani telah berusaha mengatasinya dengan efek gabungan atas
permukaan tanah yang tidak merata, kemasaman air yang tinggi dan kandungan
yang memang kekurangan nutrisi pada tanah gambut
(Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988).
Tanah salin (asin) pada umumnya tidak produktif untuk pertanian. Tanah
semacam ini dapat terjadi karena rembesan air laut, sementara air tawar yang ada
tidak dapat mengusirnya. Tanah bergaram sifatnya lepas, sehingga pada musim
hujan air terus merembes ke bawah. Tanah semacam ini tidak mampu menahan air
di lapis olah karena bersifat lepas tersebut. Untuk mengatasinya, tanah harus
diperkuat kemantapannya sehingga dapat menahan air hujan atau air pengairan di
lapis olah, sehingga menenmpati kedudukan garam. Kapur dapat dipakai sebagai
pemantap susunan tanah tersebut (Kuswandi, 1993).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudjadi, et al. (1989) melakukan
pemupukan dengan perlakuan pemberian pupuk N urea plus amonium pada
perlakuan disebar di atas tanah dan disebar di tanah tergenang menunjukkan
bahwa pemupukan dengan dibenamkan pada pola penanaman padi sawah lebih
menguntungkan dan lebih efisien karena lebih banyak unsur hara yang tersedia
sehingga lebih banyak yang diserap tanaman padi. Makin tinggi efisiensi
pemupukan N berarti makin tinggi unsur N yang tersedia bagi tanaman atau
13
makin rendah N yang hilang melalui penguapan dan pencucian. Kehilangan N
melalui penguapan menjadi NH3 bisa mendekati nol apabila pupuk diberikan
hingga kedalaman 15-23 cm. Selain itu juga ditunjukkan bahwa kehilangan N
akan menjadi lebih kecil apabila tekstur tanah makin halus yaitu dengan urutan
pasir > pasir berdebu > liat (Winarso, 2005).
Kekurangan hara, keasaman tanah, ketidakstabilan struktural atau
kerentanan tanah terhadap erosi dapat membatasi pertumbuhan vegetasi alami
atau tanaman pertanian, masalah ini telah dieksplorasi dalam tiga bab sebelumnya.
kelebihan air dalam tanah juga dapat sangat membatasi penggunaan lahan untuk
pertanian (White, 1987).
Nitrogen (N) merupakan unsur hara esensil (keberadaannya mutlak ada
untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan tanaman), dan dibutuhkan
dalam jumlah banyak sehingga disebut dengan unsur hara makro (Winarso, 2005).
Pengairan sering disebut sebagai usaha pencucian garam, terutama pada
lapis olah olahan. Pengairan dapat dilakukan pada interval pendek tetapi
dilakukan secara teratur, misalnya tiap 10 hari. Perlakuan ini dapat menjaga
dengan baik ketersediaan air tawar di sekitar perakaran tanaman. Bila hanya
dilakukan sewaktu – waktu saja hendaknya pengairan ini dilakukan secara
berlebihan (diglontor) agar garam cepat turun ke bawah (Kuswandi, 1993).
Tanaman mengandung cukup N akan menunjukkan warna daun hijau tua
yang artinya kadar klorofil dalam daun tinggi. Sebaliknya apabila tanaman
kekurangan atau defisiensi (kahat) N maka daun akan menguning (klorosis),
karena kekurangan klorofil. Sedangkan kelebihan N akan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif tanaman, tetapi akan memperpendek masa generatif, yang
14
akhirnya justru menurunkan produksi atau menurunkan kualitas produksi
tanaman. Tanaman kelebihan N akan menunjukkan warna hijau gelap dan
sukulen, yang menyebabkan tanaman peka terhadap hama, penyakit, dan mudah
roboh (Winarso, 2005).
Lahan Sulfat Masam
Ketika berhadapan dengan tanaman hias, asam bahan organik dapat
dicampur dengan tanah yang sudah di tangan untuk menurunkan pH yang
terakhir. pinus jarum, serbuk gergaji, dan sebagian gambut. jika sangat asam,
cukup memuaskan dalam mempersiapkan seperti kompos. Pupuk pertanian,
bagaimanapun, mungkin basa dan akibatnya harus digunakan dengan hati-hati
untuk tujuan ini (Brady, 1974).
Sebagian besar lahan tersedia untuk pengembangan pertanian di Indonesia
bersifat asam (seperti ultisol dan oksisol), maka perlu ada program lanjutan
berupa pengusiran besi (pirit). Lahan sulfat masam yang dimanfaatkan untuk
bercocok tanam padi sawah akan sangat tergantung pada pengapuran terus –
menerus bila tidak segera diikuti dengan pengelolaan yang lain. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh pengapuran yang hilang dalam setahun pertama.
Setelah dilakukan pengapuran, maka yang terpenting diusahakan adalah agar
drainase dilakukan dengan sebaik – baiknya, yaitu dengan pengeringan lahan atau
pembuatan parit – parit, sehingga bila terpaksa akan menggunakan kapur lagi,
dosisnya rendah sekali (misalnya cukup 4 kuintal/ha), hanya sekedar untuk
menonaktifkan ion besi (pirit) dan Al yang mungkin masih tersisa di lapisan
bawah lapis olahan. Hal ini pun tidak boleh dilakukan selama proses drainase
(Kuswandi, 1993).
15
Pengurangan pH tanah sering diinginkan, karena beberapa alasan.
Misalnya, hal ini dilakukan untuk mendukung tanaman seperti rhododendron dan
azalea seperti sebelumnya disarankan dan juga untuk mencegah penyakit tertentu,
terutama aktinomisetes yang menghasilkan keropeng kentang. Di daerah kering
perawatan kadang-kadang dilakukan untuk mengurangi pH tinggi tanah alkali
cukup untuk memungkinkan tanaman lapangan umum untuk tumbuh dan untuk
menghilangkan defisiensi besi, mangan, dan seng di tanah lainnya. (Brady, 1974).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Subiksa dan Setyorini (2010)
menyatakan bahwa Kemasaman tanah merupakan salah satu kendala
dalammelakukan aktivitas usaha tani di lahan sulfat masam. Kemasaman yang
tinggi akan memicu munculnya kendala lainnya meningkatnya kelarutan unsur
beracun bagi tanaman seperti Al dan Fe dan kahat unsur hara, terutama P. Namun
kemasaman yang tinggi ini justru memberikan keuntungan bagi pemanfaatan
fosfat alam sebagai sumber pupuk P. Pemupukan P menggunakan fosfat alam
untuk tanaman pangan dan hortikultura di lahan sulfat masam memiliki prospek
yang sangat baik. Hal ini dikarenakan kelarutan P dari fosfat alam akan meningkat
bila diaplikasikan pada tanah masam. Selain itu fosfat alam juga mengandung
CaCO3 atau MgCO3 yang cukup besar sehingga memiliki efek ameliorasi untuk
meningkatkan pH tanah dan mensuplai unsur hara sekunder seperti Ca dan Mg.
Efektivitas fosfat alam, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang
diaplikasikan untuk tanaman pangan maupun hortikultura sudah terbukti dan
cukup tinggi, bahkan kadang-kadang melebihi efektivitas SP-36.
Selain perawatan kesuburan pada umumnya. dua prosedur yang berbeda
sering diperlukan pada tanah masam, terutama pada pH menengah. Salah satunya
16
adalah intensifikasi keasaman untuk mendorong tanaman seperti azalea dan
rhododendron. Yang lainnya adalah aplikasi kapur. biasanya dalam jumlah untuk
meningkatkan pH setidaknya menjadi 6,0, 6,5, atau 7,0. Ini memodifikasi kondisi
fisiologis, alfalfa sehingga menguntungkan, semanggi manis, semanggi merah,
dan lain-kapur menyukai tanaman (Brady, 1974).
Pemanenan Air Hujan
Pengertian “air” adalah semua air yang terdapat pada, di atas, maupun di
bawah permukaan tanah. Air dalam pengertian ini termasuk air permukaan, air
tanah, air hujan, dan air laut yang dimanfaatkan di darat. Sedangkan pengertian
“sumber daya air” adalah air dan semua potensi yang terdapat pada air, sumber
air, termasuk sarana dan prasarana pengairan yang dapat dimanfaatkan, namun
tidak termasuk kekayaan hewani yang ada di dalamnya (Sunaryo, dkk, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Susilawati dan Triweko (2006)
menyatakan bahwa Daerah-daerah yang memerlukan penerapan teknik
pemanenan hujan secara khusus diantaranya adalah kawasan beriklim kering dan
semi kering (>4 bulan kering berturut-turut sepanjang tahun atau 3-4 bulan tanpa
hujan sama sekali), kawasan dimana produksi tanaman pangan terbatas karena
rendahnya ketersediaan air tanah pada waktu tertentu selama musim tanam, dan
pada lahan berlereng yang kondisi fisik tanahnya buruk sehingga tidak dapat
menyimpan air.
Di musim hujan jumlah air cenderung berlebihan, sementara di musim
kering persediaan itu justru menurun. Selain kuantitas, kualitas air juga
berpengaruh, karena kelayakan air yang dikonsumsi tergantung kepada kualitas
dan peruntukan yang memadai. Dalam perspektif demikian, konflik
17
antarpengguna dan penggunaan secara pribadi dapat berkembang
(Sunaryo, dkk, 2004).
Menurut Penelitian Rahim dan Halim (2009) yang menyatakan bahwa
Panen hujan yang dilakukan pada lahan rawa yang dikonversi menjadi tempat
tinggal dapat mencukupkan keperluan air bersih sepanjang tahun serta
menghindarkan ancaman banjir. Demikian juga diyakini bahwa bila dilakukan
sistem panen hujan di areal pemukiman transmigrasi dan atau areal serupa itu.
Berapa jumlah air hujan yang dapat diperolehi dari sistem panen hujan yang
dibangun pada atap rumah atau bangun serta dari areal lahan dengan luasan 1 ha.
Pembangunan sistem panen hujan dipengaruhi pula oleh nilai koefisien run-off
dari bahan yang digunakan. Atap atau daerah tangkapan yang merupakan berbagai
jenis bahan beragam nilai koefisien runoff-nya - bergantung kepada kualitas bahan
yang digunakan untuk menampung air hujan. Ada sejumlah hal juga juga perlu
diperhatikan dalam pembangunan sistem panen hujan. Di antara hal yang perlu
diperhatikan itu adalah curah hujan itu sendiri, keperluan air tanaman,
penampungan air dan sistem pendistribusiannya, jenis tanaman dan sistem
pemeliharaan. Curah hujan yang tinggi – lebat, lama, berlangsung lebih sering dan
sepanjang tahun - akan mempengaruhi jumlah air yang dapat dipanen, kuantitas
dan kualitas yang memadai. Sebaliknya curah hujan yang rendah – gerimis,
sebentar dan jarang – tentu akan diperolehi hujan dalam jumlah sedikit dengan
kualitas yang buruk (bercampur debu). Jenis tanaman sangat beragam dalam
keperluan air dan karena itu penting untuk diperhatikan dalam pembangunan
sistem panen huja pada bentang lahan.
18
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Percobaan
Adapun percobaan dilakukan di Lahan Percobaan Praktikum Pengelolaan
Tanah dan Air, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan pada ketinggian ± 25 meter diatas permuakaan laut.
Percobaan ini dilaksanakan pada 13 September 2012 sampai dengan
29 November 2012.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah Tanah Ultisol
Kebun Tambunan A Langkat, Tanah Histosol (Gambut) Labuhan Batu, Tanah
Sawah Pasang Surut Percut dan Tanah Sawah Sulfat Masam Secanggang Langkat
sebagai media tanam. Bahan Organik (5%) dan Pupuk NPK (10 g) dengan rasio
N:P:K (3:4:3) sebagai bahan pencampur tanah kering marginal. Tanah mineral
(25% dan 50 %) bahan organik kompos sampah kota sebagai campuran tanah
gambut. Air digunakan untuk mencuci tanah salin dan tanah sulfat masam serta
melembabi tanah marginal dan tanah gambut. Benih jagung (Zea mays L.) dan
Benih padi (Oryza sativa L.) sebagai objek yang akan di amati. Serasah padi dan
plastik untuk pelapis dasar lubang pada pemanenan air hujan.
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah polibag ukuran 5
kg dan ember ukuran 5 L untuk tempat media tanam, cangkul untuk melubangi
tanah pada percobaan pemanenan air hujan, batu bata sebagai alas untuk menahan
polibag dan ember, ember sebagai tempat media tanamn, meteran sebagai alat
untuk mengukur luas lahan, cangkul sebagai alat untuk menggali lahan percobaan
dan membuat drainase, gembor sebagai alat untuk menyiram tanaman, penggaris
19
untuk mengukur tinggi tanaman dan tinggi air dalam embung pemanenan air
hujan.
Prosedur Percobaan
Pengelolaan Lahan Kering Marginal
- Disediakan tanah ultisol sebanyak 24 kg untuk 8 polibag.
- Dimasukkan tanah kedalam 8 polibag, masing-masing polibag 3 kg.
- Diberi perlakuan pada masing-masing polibag dengan kontrol, penambahan
bahan organik (5%) penambahan pupuk NPK (10g) serta penambahan BO +
Pupuk NPK dengan .
- Ditanam benih jagung (Zea mays L.) pada polibag yang telah diisi tanah
sebanyak 5 benih pada masing-masing polibag.
- Diamati datanya dengan parameter tinggi tanaman, diameter batang, jumlah
daun dan gejala visual tanaman setiap minggunya.
Pengelolaan Lahan Gambut
- Disediakan tanah Histosol (Gambut) sebanyak 18 kg untuk 6 polibag.
- Dimasukkan tanah tersebut dalam 6 polibag, masing-masing polibag 3 kg
dengan 3 pengulangan.
- Diberikan masing-masing perlakuan dengan kontrol, penambahan tanah
mineral (25%) serta penambahan tanah mineral (50%)
- Ditanam benih jagung (Zea mays L.) pada polibag yang telah diisi tanah
sebanyak 5 benih pada masing-masing polibag.
- Diamati datanya dengan parameter tinggi tanaman, diameter batang, jumlah
daun dan gejala visual tanaman setiap minggunya.
20
Pengelolaan Lahan Bergaram
- Disediakan tanah Sawah pasang surut sebanyak 12 kg untuk 4 ember tanpa
lubang Dimasukkan tanah pada 4 ember plastik ukuran 5kg dengan ujung
ember di bolongi, 2 ember ulangan, masing-masing 3 kg.
- Diberi perlakuan kontrol (macak-macak), dengan pencucian (digojrok dengan
air tawar).
- Ditanam benih padi (Oryza sativa L.) pada masing-masing ember.
- Diamati datanya dengan parameter tinggi tanaman, warna daun, jumlah
anakan setiap minggunya.
Pengelolaan Lahan Sulfat Masam
- Disediakan tanah sawah sulfat masam sebanyak 12 kg untuk 4 ember plastik.
- Dimasukkan tanah kedalam 4 ember dengan 2 ember pengulangan, masing-
masing 3 kg.
- Diberi perlakuan dengan penggenangan dan tanpa penggenangan
- Ditanam padi (Oryza sativa L.) pada masing-masing ember.
- Diamati datanya dengan parameter tinggi tanaman, warna daun, jumlah
anakan setiap minggunya.
Pemanenan Air Hujan menggunakan Embung mini
- Dibuat 3 lubang di permukaan tanah dengan ukuran 50 x 50 x 20 cm
- Diberikan perlakuan pada masing-masing lubang :
- Lubang 1 : Tanpa pemberian pelaps dasar lubang
- Lubang 2 : Pemberian serasah organik sebagai pelapis dasar lubang
- Lubang 3 : Pemberian bahan plastik sebagai pelapis dasar lubang
21
- Dihitung volume air dalam embung mini, setelah air dibiarkan selama 24 jam
setelah kejadian hujan.
Pemeliharaan
Penanaman
Benih ditanam dengan cara ditugal sebanyak 3 (tiga) benih per polibag.
Tanaman yang tumbuh dijarangkan menjadi satu tanaman per polibag sehingga
dalam satu polibag hanya terdapat satu tanaman yang dipilih, namun disiapkan
juga tanaman sebagai cadangan transplanting.
Perawatan
Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, penyiraman dan penyiangan
gulma. Dua minggu setelah penanaman dilakukan penjarangan sehingga setiap
polibag tanam dipelihara satu tanaman yang mempunyai pertumbuhan yang baik.
Penyiraman dilakukan setiap hari khususnya selama pertumbuhan vegetatif atau
pada saat tanaman berumur satu sampai delapan minggu.
Peubah yang Diamati
Tinggi Tanaman (cm)
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan satu minggu setelah tanam (1 MST)
selama 6 MST. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur tanaman dari
pangkal batang sampai helai daun tertinggi.
Jumlah Daun (Helai)
Pengamatan dilakukan saat tanaman 1 MST. Daun yang dihitung adalah
daun yang sudah membuka sempurna dan total jumlah daun per tanaman diambil
per tanaman dalam polibag dan pengambilan data jumlah daun dilakukan selama 6
MST.
22
Observasi Visual
Pengamatan observasi visual ditentukan berdasarkan keadaan morfologi
pada daun tanaman, yakni warna daun tanaman menunjukkan kekurangan unsure
hara atau tidak seperti : Daun menguning, dll.
Tinggi dan Volume Air Hujan
Pada peubah ini yang diamati adalah tinggi air yang tertampung dalam
satuan cm pada ketiga perlakuan yakni kontrol, Serasah Organik, dan Plastik. Dan
volume air hujan diukur dalam satuan liter (L).
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Percobaan Lahan Kering Marginal
Dari data hasil percobaan pengelolaan lahan kering marginal dengan
tanaman indikator Jagung (Zea mays L.) dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) dengan 4 perlakuan pada lahan kering marginal.
PERLAKUAN UlanganPENGAMATAN
TotalRata-Rata1
MST2
MST3
MST4
MST5
MST6
MST
Kontrol1 21 23 39 47.9 57.7 60.1 248.7 41.45
2 20 25 40.2 51.8 58 62.3 257.3 42.88
BO 5%1 21 23 24 27 30 33.5 158.5 26.42
2 20.9 23.6 25.8 28.3 32.1 35.5 166.2 27.70
NPK 10 gram1 28 30.1 44 54.7 59.2 65.2 281.2 46.87
2 29.6 30.7 51.2 63.5 66.8 69.1 310.9 51.82
BO 5% + NPK 10 gr
1 30 59.5 85.3 87.8 90.2 94.7 447.5 74.58
2 35.1 56.4 80.1 85.3 87.8 90.2 434.9 72.48
Dari tabel di atas dapat dibuat grafik tinggi tanaman jagung (Zea mays L.)
pada lahan kering marginal dengan empat perlakuan sebagai berikut :
Grafik 1. Perbandingan Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada empat perlakuan.
1 2 3 4 5 6 7 80
20406080
100
GRAFIKTINGGI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
1 MST2 MST3 MST4 MST5 MST6 MST
Perlakuan / Ulangan
Tin
ggi T
anam
an (
cm)
24
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, dapat diketahui jumlah daun
(helai) tanaman jagung (Zea mays L.) pada percobaan lahan kering marginal dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah daun (helai) tanaman jagung (Zea mays L.) dengan 4 perlakuan pada lahan kering marginal.
PERLAKUAN Ulangan
PENGAMATAN
TotalRata-Rata1
MST2
MST3
MST
4 MST
5 MST
6 MST
Kontrol1 4 4 5 7 7 9 36 6.00
2 4 4 5 8 8 10 39 6.50
BO 5%1 4 4 5 6 7 8 34 5.67
2 4 5 5 6 7 7 34 5.67
NPK 10 gram1 4 6 7 9 10 10 46 7.67
2 5 6 7 9 9 10 46 7.67
BO 5% + NPK 10 gr
1 6 8 9 10 12 12 57 9.50
2 5 7 9 10 12 13 56 9.33
Dari tabel di atas dapat dibuat grafik jumlah helaian daun jagung
(Zea mays L.) pada lahan kering marginal dengan empat perlakuan terdapat pada
Grafik 2.
Grafik 2. Perbandingan Jumlah daun Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada empat perlakuan.
1 2 3 4 5 6 7 80
4
8
12
GRAFIKJUMLAH DAUN TANAMAN JAGUNG (Zea mays
L.)1 MST2 MST3 MST4 MST5 MST6 MST
Perlakuan / Ulangan
Jum
lah
Dau
n(H
elai
)
25
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, diketahui data deskriptif
tanaman jagung (Zea mays L.) pada lahan kering marginal yang terdapat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Observasi Visual Tanaman Jagung (Zea mays L.) dengan 4 perlakuan pada lahan kering marginal.
PERLAKUAN ULANGAN I ULANGAN II
Kontrol
Daun hijau kekuningan, terdapat bercak-bercak kuning, tanaman kerdil
Daun hijau kekuningan, terdapat bercak-bercak kuning, tanaman kerdil
Bahan Organik 5%
Daun hijau kekuningan terdapat bercak-bercak kecil dan daun bolong
Daun hijau kekuningan terdapat bercak-bercak kecil dan daun bolong
NPK (10g/plot)Daun hijau kekuningan dan terdapat bercak-bercak coklat.
Daun hijau muda, terdapat bercak kuning, dan daun bolong-bolong
BO 5% + NPK 10g/plot
Daun hijau tua, daun bagus lebar dan besar serta batangnya juga besar
Daun hijau muda, terdapat bercak-bercak putih
Percobaan Lahan Gambut
Dari data hasil percobaan pengelolaan lahan gambut dengan tanaman
indikator Jagung (Zea mays L.) dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) dengan 3 perlakuan pada lahan gambut.
PerlakuanUlangan
PENGAMATANTotal
Rata-Rata1
MST2
MST3
MST4
MST5 MST
6 MST
Kontrol1 12 13 14 14.7 15.4 15.7 84.8 14.13
2 12 14 15 15.8 16.8 17.4 91 15.17
Mineral 25%
1 15 17 18.5 19 19.7 20.2 109.4 18.23
2 15 18 19.5 20 20.2 20.2 112.9 18.82
Mineral 50%
1 18.7 21 23 24.4 25.2 25.7 138 23.00
2 18 20 22 22.5 23.4 24.1 130 21.67
26
Dari tabel di atas dapat dibuat grafik tinggi (cm) tanaman jagung
(Zea mays L.) pada lahan gambut dengan masing-masing perlakuan yakni pada
Grafik 3.
Grafik 3. Perbandingan Tinggi (cm) Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada tiga perlakuan.
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
05
1015202530
GRAFIKTINGGI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
Kontrol Ulangan 2
Kontrol Ulangan 1
Mineral 25% Ulangan 1
Mineral 25% Ulangan 2
Mineral 50% Ulangan 1
Mineral 50% Ulangan 2
Minggu Setelah Tanam
Tin
ggi T
anam
an (c
m)
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat diketahui jumlah daun
(helai) tanaman jagung (Zea mays L.) pada lahan gambut terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah (helai) daun Tanaman jagung (Zea mays L.) dengan 3 perlakuan pada lahan gambut.
PerlakuanUlanga
n
PENGAMATAN
TotalRata-Rata1
MST2
MST3
MST4
MST5
MST6
MST
Kontrol1 2 2 3 3 3 3 16 2.67
2 2 3 3 3 2 3 16 2.67
Mineral 25%
1 3 4 5 5 5 6 28 4.67
2 3 4 4 5 4 4 24 4.00
Mineral 50%
1 2 3 4 6 6 6 27 4.50
2 3 4 5 6 5 5 28 4.67
27
Dari tabel di atas dapat diketahui grafik jumlah helaian daun jagung
(Zea mays L.) pada lahan gambut dengan tiga perlakuan pada Grafik 4.
Grafik 4. Perbandingan Jumlah Helai Daun Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada tiga perlakuan.
1 MST
01234567
GRAFIKJUMLAH DAUN TANAMAN JAGUNG
(Zea mays L.)
Kontrol Ulangan 1 Kontrol Ulangan 2
Mineral 25% Ulangan 1
Mineral 25% Ulangan 2
Mineral 50% Ulangan 1
Mineral 50% Ulangan 2
Minggu Setelah Tanman
Jum
lah
Dau
n (H
elai
)
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, dapat diketahui data
deskriptif tanaman jagung (Zea mays L.) pada percobaan lahan gambut dengan
tiga perlakuan pada Tabel 6.
Tabel 6. Observasi Visual Tanaman Jagung (Zea mays L.) dengan 3 perlakuan pada lahan gambut.
PERLAKUAN 4 MST 5 MST 6 MST
KontrolDaun Hijau Kekuningan
Daun Hijau Kekuningan
Daun Hijau Kekuningan
Mineral 25%Daun Hijau Kekuningan
Daun Hijau Kekuningan
Daun Hijau Kekuningan
Mineral 50%Daun Hijau Kekuningan
Daun Hijau Kekuningan
Daun Hijau Kekuningan
28
Percobaan Lahan Salin
Dari data hasil percobaan pengelolaan lahan salin dengan tanaman
indikator Padi (Oryza sativa L.) dapat di lihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Tinggi (cm) Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan 2 perlakuan pada lahan salin.
Perlakuan
Ulangan
PENGAMATANTota
l
Rata-
Rata1
MST2
MST3
MST4
MST5
MST6
MST
Kontrol1 25 35 40 45 47 48 240 40.00
2 24 30 33 37 39 40 203 33.83
Dicuci
1 30 32 37 39 41 45 224 37.33
2 27 40 54 55 56.7 58290.
748.45
Dari tabel di atas, dapat dilihat grafik tinggi (cm) tanaman padi
(Oryza sativa L.) pada lahan bergaram (salin) dengan dua perlakuan yaitu pada
Grafik 5.
Grafik 5. Perbandingan Tinggi (cm) tanaman padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan.
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
010203040506070
GRAFIKTINGGI TANAMAN PADI (Oryza sativa L.)
Kontrol Ulangan 1
Kontrol Ulangan 2
Di Cuci Ulangan 1
Dicuci Ulangan 2
Minggu Setelah Tanam
Tin
ggi T
anam
an
(cm
)
29
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, dapat diketahui jumlah daun
(helai) tanaman padi (Oryza sativa L.) pada lahan bergaram (salin) pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah helai daun tanaman padi (Oryza sativa L.) dengan 2 perlakuan pada lahan salin.
Perlakuan Ulangan
PENGAMATAN
TotalRata-Rata1
MST2
MST3
MST4
MST5
MST6
MST
Kontrol1 37 40 54 55 58 59 303 50.50
2 39 52 60 61 63 64 339 56.50
Dicuci1 32 38 40 42 43 47 242 40.33
2 27 31 35 44 47 49 233 38.83
Dari tabel di atas, dapat dilihat grafik jumlah daun (helai) tanaman padi
(Oryza sativa L.) pada lahan bergaram (salin) dengan dua perlakuan yaitu pada
Grafik 6.
Grafik 6. Perbandingan Jumlah Helai Daun Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan.
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
0
20
40
60
GRAFIKJUMLAH HELAI DAUN TANAMAN PADI
(Oryza sativa L.)
Kontrol Ulangan 1
Kontrol Ulangan 2
Dicuci Ulangan 1
Dicuci Ulangan 2
Minggu Setelah Tanam
Jum
lah
Dau
n (H
elai
)
30
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat diketahui data deskriptif
taman padi (Oryza sativa L.) pada percobaan lahan bergaram (salin) dengan dua
perlakuan ditunjukkan pada tabel 9.
Tabel 9. Observasi Visual Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan 2 perlakuan pada lahan salin.
PERLAKUANPENGAMATAN
4 MST 5 MST 6 MST
Kontrol
Daun berwarna hijau, ujung daun berwarna coklat, dan kering.
Daun berwarna hijau kekuning-kuningan.
Daun berwarna hijau kekuning-kuningan.
DicuciDaun berwarna hijau kekuning-kuningan.
Daun berwarna hijau.
Daun berwarna hijau.
Percobaan Lahan Sulfat Masam
Dari data hasil percobaan pengelolaan lahan Sulfat Masam dengan
tanaman indikator Padi (Oryza sativa L.) dapat di lihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Tinggi (cm) Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan 2 perlakuan pada lahan sulfat masam.
PerlakuanUlanga
n
PENGAMATAN
Total
Rata-Rata
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
Penggenangan
1 20 25 34 37 42 47 205 34.17
2 13 20.5 27.7 38 45 50194.2
32.37
Kontrol
1 18 25 33 36 41 46 199 33.17
2 16.5 26 32.5 37 41.5 46199.5
33.25
31
Dari tabel di atas, dapat diketahui grafik tinggi (cm) tanaman padi
(Oryza sativa L.) pada percobaan lahan sulfat masam dengan dua perlakuan pada
Grafik 7.
Grafik 7. Perbandingan Tinggi (cm) Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan.
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
0102030405060
GRAFIKTINGGI TANAMAN PADI (Oryza sativa L.)
Penggenangan Ulangan 1
Penggenangan Ulangan 2
Kontrol Ulangan 1
Kontrol Ulangan 2Minggu Setelah Tanam
Tin
ggi T
anam
an
(cm
)
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan pada lahan sulfat masam, dapat
diketahui data jumlah daun (helai) pada tanaman padi ((Oryza sativa L.) pada
Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah Helai Daun Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan 2 perlakuan pada lahan sulfat masam.
PerlakuanUlanga
n
PENGAMATAN
Total
Rata-
Rata
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
Penggenangan
1 3 5 6 6 6 6 32 5.33
2 3 4 5 6 6 7 31 5.17
Kontrol1 2 3 3 3 4 5 20 3.33
2 0 1 2 3 3 3 12 2.00
32
Dari data yang terdapat pada tabel di atas, dapat diketahui grafik jumlah
daun (helai) tanaman padi (Oryza sativa L.) terhadap percobaan lahan sulfat
masam pada Grafik 8.
Grafik 8. Perbandingan Jumlah Helai Daun Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada dua perlakuan
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
0
2
4
6
8
GRAFIKJUMLAH HELAI DAUN TANAMAN PADI
(Oryza sativa L.)
Penggenangan Ulangan 1
Penggenangan Ulangan 2
Kontrol Ulangan 1
Kontrol Ulangan 2
Minggu Setelah Tanam
Jum
lah
Dau
n (H
elai
)
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada percobaan lahan sulfat
masam, dapat dilihat data deskriptif tanaman padi (Oryza sativa L.) pada Tabel
12.
Tabel 12. Observasi Visual Tanaman Padi (Oryza sativa L.) dengan 2 perlakuan pada lahan sulfat masam.
PERLAKUANPENGAMATAN
5 MST 6 MST
KontrolDaun berwarna hijau kekuning-kuningan
Daun berwarna hijau kekuning-kuningan
Tergenang Daun berwarna hijau Daun berwarna hijau
33
Percobaan Teknik Pemanenan Air Hujan
Dari data hasil percobaan Teknik Pemanenan Air Hujan diperoleh rata-rata
tinggi (cm) dan volume (L) air hujan pada embung mini dengan 3 perlakuan yang
terdapat pada Tabel 13.
Tabel 13. Tinggi (cm) dan Volume (L) air hujan pada embung mini dengan 3 perlakuan
PARAMETER Perlakuan
PENGAMATAN
TotalRata- Rata
21/10 22/10 25/10 30/10 02/11 04/11 08/11
Tinggi Air (cm)
Kontrol 6 7 5 6 7.5 5 8 44.5 6.36
Serasah 6.5 8 4.5 6.5 8 6.5 8.5 48.5 6.93
Plastik 7.5 8.5 5.5 7.5 8.5 8.5 7 53 7.57
Volume (L)
Kontrol 15 17.5 12.5 15 18.75 12.25 12.25 103.25 14.75
Serasah 16.25 22.5 12.25 16.55 20 16.25 21.25 125.05 17.86
Plastik 18.75 22.25 13.75 18.75 21.25 17.5 23.75 136 19.43
Pembahasan
Dari percobaan lahan kering marginal diketahui bahwa rata-rata tinggi
tanaman jagung (Zea mays L.) setelah pengamatan selama 6 minggu setelah
tanam (MST) tertinggi terdapat pada Perlakuan diberi Bahan Organik 5 %
ditambah NPK 10 g pada ulangan 1 yakni sebesar 74,58 cm. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian Bahan Organik dan NPK pada lahan kering marginal mampu
meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering marginal. Namun dosis aplikasi
harus diperhatikan dengan teliti karena dosis yang tidak optimum dapat
menyebabkan tanaman indikator menjadi dehidrasi karena kelebihan pupuk. Hal
34
ini sesuai dengan Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Suriadikarta (2006)
menyatakan bahwa Tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk
pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini
menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa
kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH rata-
rata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca,
dan Mg, dan kandungan bahan organik rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut
dapat diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian
bahan organik. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan hasil tanaman
Jagung.
Dari percobaan lahan kering marginal diketahui bahwa rata-rata tinggi
tanaman jagung (Zea mays L.) setelah pengamatan selama 6 minggu setelah
tanam (MST) terendah terdapat pada Perlakuan diberi bahan organik 5% pada
ulangan 1 yakni sebesar 26,42 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian Bahan
Organik pada lahan kering marginal kurang optimum, karena seharusnya
pemberian bahan organik mampu meningkatkan kesuburan sifat fisik dan kimia
lahan kering namun pada data hasil percobaan ini diperoleh bahwa tinggi tanaman
terendah terdapat pada pemberin bahan organik 5% dan taanpa masukan yang
berarti budidaya pertanian di lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan.
Hal ini sesuai dengan literatur Yowono (2009) Lahan marginal dapat diartikan
sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor
pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor
pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang harus
35
dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan marginal
tidak akan memberikan keuntungan. Ketertinggalan pembangunan pertanian
didaerah marginal hampir dijumpai di semua sektor, baik biofisik, infrastruktur,
kelembagaan usahatani maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang
mendapat perhatian.
Dari percobaan pengelolaan lahan kering marginal diketahui bahwa
parameter jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan pemberian Bahan
Organik 5% ditambah pupuk NPK 10 g pada ulangan 1 yakni sebanyak 9,50 helai
daun. Dan jumlah daun paling sedikit terdapat pada pemmberian bahan organic
5% pada ulangan 1 dan 2 yakni sebanyak 5,67 helai daun. Bahan organik dan
pupuk NPK ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan fase vegetatif tanaman
jagung (Zea mays L.) karena serapan hara yang optimum dapat meningkatkan
pertumbuhan organ tanaman dengan baik mulai dari fase vegetative sampai fase
generatif. Namun, pemberian bahan organik yang tidak optimum dapat
menyebabkan penurunan kualitas pertumbuhan terutama pada fase vegetatif,
sehingga diperlukan perhatian khusus pada pemberian pupuk maupun bahan
organik pada lahan kering marginal. Hal ini sesuai dengan Penelitian yang
dilakukan oleh Prasetyo dan Suriadikarta (2006) menyatakan bahwa Tanah
Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan pertanian lahan
kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini menghadapi kendala
karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama
tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala yang umum
pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH rata-rata < 4,50, kejenuhan
Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan
36
kandungan bahan organik rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat
diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian bahan
organik. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan hasil tanaman Jagung.
Dari percobaan pengelolaan lahan gambut dari ketiga perlakuan pada
indikator tanaman padi (Zea mays L.) diketahui bahwa pada parameter tinggi
tanaman setelah 6 MST rata-rata tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan
ditambah mineral tanah mineral 50% pada ulangan satu yakni rata-rata 23,00 cm.
Dan rata-rata pertumbuhan terendah pada perlakuan kontrol ulangan 1 (satu)
dengan rata-rata yakni 14,13 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tanah
mineral yang optimum dapat menaikkan pertumbuhan tanaman padi pada fase
vegetatif, namun pada tanah gambut akibat terjadinya subsidensi yang
mengakibatkan aerase pada gambut hilang sehingga perakaran tanaman ini
terganggu untuk menyerap hara. Akan tetapi, pada pemberian bahan organik,
mineral tanah pada lahan gambut dapat meningkatkan pertumbuhan pada tanaman
budidaya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Agus dan Subiksa (2008) menyatakan bahwa Apabila dikelola dengan baik dan
benar lahan gambut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan sekaligus
mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman
hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistemnya tidak menjamin
keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat,
seperti yang terjadi pada lahan bekas PLG di Kalimantan Selatan. Untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut
diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan.
37
Dari percobaan pengelolaan lahan gambut dengan tanaman indikator
Jagung (Zea mays L.) dengan parameter jumlah helai daun diketahui bahwa
jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan pemberian mineral 50% ulangan 2
dan 25% ulangan 1 yakni rata-rata 4,67 helai daun. Sedangkan jumlah helai daun
paling sedikit terdapat pada perlakuan kontrol ulangan 1 dan ulangan 2 yakni 2,67
helai daun. Hal ini membuktikan bahwa pemberian bahan mineral pada dosis
tertentu dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman jagung, terbukti dari
hasil percobaan pada pemberian mineral 50% ulangan 2 dan 25% ulangan 1
menunjukkan bahwa fase vegetative tanaman jagung untuk parameter jumlah
daun paling tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Agus dan Subiksa (2008) menyatakan bahwa Apabila dikelola dengan baik dan
benar lahan gambut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan sekaligus
mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman
hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistemnya tidak menjamin
keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat,
seperti yang terjadi pada lahan bekas PLG di Kalimantan Selatan. Untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut
diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan.
Dari percobaan pengelolaan lahan salin dengan tanaman indikator padi
(Oryza sativa L.) pada parameter tinggi tanaman diketahui bahwa data tertinggi
terdapat pada perlakuan dicuci ulangan 2 yakni rata-rata 48,45 cm. Sedangkan
data terendah terdapat pada perlakuan kontrol ulangan 2 yakni rata-rata 33,83 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa lahan salin yang masih memiliki kadar garam tinggi
dapat menyebabkan keracunan besi, aluminium, hydrogen sulfide dan salinitas
38
serta defisiensi unsure P yang menjadikan tanaman budidaya pada lahan ini akan
menunjukkan penurunan kualitas pertumbuhan. Namun pada pengelolaan lahan
sawah pasang surut dengan metode uji laboratorium dan penelitian menunjukkan
bahwa pencucian yang dilakukan dapat meningkatkan fase vegetatif pada
tanaman padi sawah. Hal ini sesuai dengan literatur Kuswandi (1993) yang
menyatakan bahwa Tanah salin (asin) pada umumnya tidak produktif untuk
pertanian. Tanah semacam ini dapat terjadi karena rembesan air laut, sementara
air tawar yang ada tidak dapat mengusirnya. Tanah bergaram sifatnya lepas,
sehingga pada musim hujan air terus merembes ke bawah. Tanah semacam ini
tidak mampu menahan air di lapis olah karena bersifat lepas tersebut. Untuk
mengatasinya, tanah harus diperkuat kemantapannya sehingga dapat menahan air
hujan atau air pengairan di lapis olah, sehingga menenmpati kedudukan garam.
Kapur dapat dipakai sebagai pemantap susunan tanah tersebut.
Dari percobaan pengelolaan lahan salin dengan tanaman indikator padi
(Oryza sativa L.) pada parameter jumlah daun diketahui bahwa data jumlah daun
terbanyak terdapat pada perlakuan kontrol ulangan 2 yakni rata-rata 56,50 helai
daun. Sedangkan data jumlah daun paling sedikit terdapat pada perlakuan dicuci
ulangan 1 yakni rata-rata 38,83 helai daun. Hal ini membuktikan bahwa defisiensi
unsure hara P pada lahan salin dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung
pada lahan salin, dari grafik ditunjukkan bahwa perlakuan tanah salin yang dicuci
menunjukkan jumlah helai daun paling sedikit penebabnya adalah saat tanah
dicuci unsure P tidak larut pada tanah salin karena tanah tersebut keracunan besi,
aluminium, hydrogen sulfide, dan defisiensi unsure P. Sedangkan pada perlakuan
kontrol unsure P-nya masih tersimpan pada tanah salin tersebut walaupun dalam
39
jumlah ion yang sedikit. Hal ini sesuai dengan literatur
Sutedjo dan Kartasapoetra (1988) yang menyatakan bahwa Salinitas dapat
merintangi pertumbuhan tanaman padi, terutama di daerah–daerah yang perairan
tanahnya dalam, sehubungan dengan akumulasi residu garam. Para petani telah
berusaha mengatasinya dengan efek gabungan atas permukaan tanah yang tidak
merata, kemasaman air yang tinggi dan kandungan yang memang kekurangan
nutrisi pada tanah gambut.
Dari percobaan pengelolaan lahan sulfat masam dengan tanaman indikator
padi (Oryza sativa L.) pada parameter tinggi tanaman menunjukkan bahwa data
rata-rata tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan penggenangan ulangan
1 yakni 34,17 cm. Sedangkan data rata-rata terendah terdapat pada perlakuan
penggenangan ulangan 2 yakni 32, 37. Hal ini disebabkan oleh pH tanah yang
digunakan sebagai media tanam tergolong rendah dan sangat masam. Dan pada
pH tanah yang rendah unsur hara tersedia kurang rendah sebaliknya aluminium
tinggi dan dapat meracuni tanaman. Oleh karena itudengan metode penggenangan
mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih tinggi, namun tinggi
genangan aerase harus diperhatikan karena aerase yang tidak efektif dan kontiniu
akan menyebabkan teroksidasinya pirit dalam tanah sulfat masam. Seperti pada
percobaan diketahui pada ulangan 1 perlakuan penggenangan terbukti mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman, sedangkan pada ulangan 2 tergolong lambat
karena kurang perhatian dalam pemeliharaan dan penyiraman tanaman. Hal ini
sesuai dengan literatur Kuswandi (1993) yang menyatakan bahwa Sebagian besar
lahan tersedia untuk pengembangan pertanian di Indonesia bersifat asam (seperti
ultisol dan oksisol), maka perlu ada program lanjutan berupa pengusiran besi
40
(pirit). Lahan sulfat masam yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi sawah
akan sangat tergantung pada pengapuran terus – menerus bila tidak segera diikuti
dengan pengelolaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pengapuran yang
hilang dalam setahun pertama. Setelah dilakukan pengapuran, maka yang
terpenting diusahakan adalah agar drainase dilakukan dengan sebaik – baiknya,
yaitu dengan pengeringan lahan atau pembuatan parit – parit, sehingga bila
terpaksa akan menggunakan kapur lagi, dosisnya rendah sekali (misalnya cukup 4
kuintal/ha), hanya sekedar untuk menonaktifkan ion besi (pirit) dan Al yang
mungkin masih tersisa di lapisan bawah lapis olahan. Hal ini pun tidak boleh
dilakukan selama proses drainase.
Dari percobaan pengelolaan lahan sulfat masam dengan tanaman indikator
padi (Oryza sativa L.) pada parameter jumlah helai daun menunjukkan bahwa
data rata-rata jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan penggenangan
ulangan 1 yakni 5, 33 helai daun. Sedangkan data rata-rata terendah terdapat pada
perlakuan kontrol ulangan 2 yakni 2 helai daun. Hal ini membuktikan bahwa pada
lahan sulfat masam tanaman budidaya seperti padi dapat terganggu
pertumbuhannya pada fase vegetatif karena kekurangan unsure hara dan ber-pH
rendah yang mengakibatkan jumlah daun tanaman ini menjadi sangat sedikit,
tanah ini juga berpotensi meracuni tanaman dan air terkontaminasi oleh logam
berat lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Subiksa dan Setyorini (2010) menyatakan bahwa Kemasaman tanah merupakan
salah satu kendala dalammelakukan aktivitas usaha tani di lahan sulfat masam.
Kemasaman yang tinggi akan memicu munculnya kendala lainnya meningkatnya
kelarutan unsur beracun bagi tanaman seperti Al dan Fe dan kahat unsur hara,
41
terutama P. Namun kemasaman yang tinggi ini justru memberikan keuntungan
bagi pemanfaatan fosfat alam sebagai sumber pupuk P. Pemupukan P
menggunakan fosfat alam untuk tanaman pangan dan hortikultura di lahan sulfat
masam memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini dikarenakan kelarutan P dari
fosfat alam akan meningkat bila diaplikasikan pada tanah masam. Selain itu fosfat
alam juga mengandung CaCO3 atau MgCO3 yang cukup besar sehingga memiliki
efek ameliorasi untuk meningkatkan pH tanah dan mensuplai unsur hara sekunder
seperti Ca dan Mg. Efektivitas fosfat alam, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, yang diaplikasikan untuk tanaman pangan maupun hortikultura sudah
terbukti dan cukup tinggi, bahkan kadang-kadang melebihi efektivitas SP-36.
Dari percobaan Teknik pemanenan air hujan diperoleh data bahwa tinggi air hujan
yang tertampung pada embung mini rata-rata tertinggi pada perlakuan diberi
lapisan dasar plastik yakni 7, 57 cm. Sedangkan rata-rata tinggi air hujan yang
tertampung pada embung mini terendah pada perlakuan kontrol yakni 6,36 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa teknik pemanenan air hujan dengan metode embung
mini dapat digunakan sebagai cadangan air tanah tanaman saat musim kemarau
tiba. Dengan menggunakan plastic rata-rata volume air hujan yang tertampung
adalah 19,43 liter selama 7 kali pengamatan saat terjadi hujan. Sedangkan pada
perlakuan kontrol hanya dapat menampung 14,75 liter. Hal ini sesuai dengan
penelitian Rahim dan Halim (2009) yang menyatakan bahwa Panen hujan yang
dilakukan pada lahan rawa yang dikonversi menjadi tempat tinggal dapat
mencukupkan keperluan air bersih sepanjang tahun serta menghindarkan ancaman
banjir. Demikian juga diyakini bahwa bila dilakukan sistem panen hujan di areal
pemukiman transmigrasi dan atau areal serupa itu. Berapa jumlah air hujan yang
42
dapat diperolehi dari sistem panen hujan yang dibangun pada atap rumah atau
bangun serta dari areal lahan dengan luasan 1 ha. Pembangunan sistem panen
hujan dipengaruhi pula oleh nilai koefisien run-off dari bahan yang digunakan.
Atap atau daerah tangkapan yang merupakan berbagai jenis bahan beragam nilai
koefisien runoff-nya - bergantung kepada kualitas bahan yang digunakan untuk
menampung air hujan. Ada sejumlah hal juga juga perlu diperhatikan dalam
pembangunan sistem panen hujan. Di antara hal yang perlu diperhatikan itu
adalah curah hujan itu sendiri, keperluan air tanaman, penampungan air dan
sistem pendistribusiannya, jenis tanaman dan sistem pemeliharaan. Curah hujan
yang tinggi – lebat, lama, berlangsung lebih sering dan sepanjang tahun - akan
mempengaruhi jumlah air yang dapat dipanen, kuantitas dan kualitas yang
memadai. Sebaliknya curah hujan yang rendah – gerimis, sebentar dan jarang –
tentu akan diperolehi hujan dalam jumlah sedikit dengan kualitas yang buruk
(bercampur debu). Jenis tanaman sangat beragam dalam keperluan air dan karena
itu penting untuk diperhatikan dalam pembangunan sistem panen huja pada
bentang lahan.
43
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil percobaan pengelolaan lahan sulfat masam dengan tanaman
indikator padi (Oryza sativa L.) parameter tinggi tanaman rata-rata tinggi
tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan penggenangan ulangan 1 yakni
34,17 cm. Sedangkan data rata-rata terendah terdapat pada perlakuan
penggenangan ulangan 2 yakni 32, 37. Dan pada parameter jumlah helai
daun data rata-rata jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan
penggenangan ulangan 1 yakni 5, 33 helai daun. Sedangkan data rata-rata
terendah terdapat pada perlakuan kontrol ulangan 2 yakni 2 helai daun.
2. Nilai rata-rata tertinggi tanaman jagung (Zea mays L.) pada lahan kering
marginal adalah 74,58 cm dengan perlakuan penambahan BO 5% + pupuk
NPK dan rata-rata tinggi tanaman terendah adalah pada perlakuan
penambahan BO 5% yakni 26,42 cm. Sedangkan rata-rata jumlah helai
daun terbanyak adalah 9,50 helai daun pada perlakuan penambahan BO
5% + pupuk NPK dan rata-rata jumlah daun paling sedikit terdapat pada
perlakuan kontrol ulangan 1 yakni 6 helai daun.
3. Hasil percobaan pengelolaan lahan salin dengan tanaman indikator padi
(Oryza sativa L.) pada parameter tinggi tanaman rata-rata data tertinggi
terdapat pada perlakuan dicuci ulangan 2 yakni 48,45 cm. Sedangkan data
terendah terdapat pada perlakuan kontrol ulangan 2 yakni 33,83 cm. Dan
pada parameter jumlah daun rata-rata jumlah daun terbanyak terdapat
44
pada perlakuan kontrol ulangan 2 yakni 56,50 helai daun. Sedangkan data
jumlah daun paling sedikit terdapat pada perlakuan dicuci ulangan 1 yakni
38,83 helai daun.
4. Hasil pengamatan pada pengelolaan lahan gambut indikator tanaman padi
(Zea mays L.) pada parameter tinggi rata-rata tinggi tanaman tertinggi
pada perlakuan ditambah tanah mineral 50% ulangan 1 yakni 23,00 cm.
Sedangkan rata-rata pertumbuhan terendah pada perlakuan kontrol ulangan
1 (satu) yakni 14,13 cm. Dan pada parameter jumlah helai daun jumlah
daun terbanyak terdapat pada perlakuan pemberian mineral 50% ulangan 2
dan 25% ulangan 1 yakni 4,67 helai daun. Sedangkan jumlah helai daun
paling sedikit terdapat pada perlakuan kontrol ulangan 1 dan ulangan 2
yakni 2,67 helai daun.
5. Tinggi air hujan yang tertampung pada embung mini rata-rata tertinggi
pada perlakuan diberi lapisan dasar plastic yakni 7, 57 cm. Terendah pada
perlakuan kontrol yakni 6,36 cm. Dengan menggunakan plastic rata-rata
volume air hujan yang tertampung adalah 19,43 liter dan perlakuan kontrol
hanya dapat menampung 14,75 liter.
Saran
Sebaiknya untuk metode percobaan selanjutnya harus lebih
memperhatikan pengambilan contoh tanah, pemeliharaan tanaman, dan
keakuratan data agar hasil percobaan yang dilakukan baik dan data hasil
percobaan lebih akurat.
45
DAFTAR PUSTAKA
Aak, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor.
Brady, N.C., 1974. The Nature and Properties Of Soils 8th Edition. Macmillan Publishing Co., Inc., New York.
Goldsworthy, P. R. dan Fisher, N.M., 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Penerjemah Tohari. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Kuswandi, 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Limin, S.H., 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya. Workshop Gambut, Universitas Palangka Raya, Jakarta. Hal :1-21.
Maheldaswara, D. 2004. Tanaman Jati Emas. Kanisius. Yogyakarta.
Najiyati, S., dan Dianarti, 1999. Palawija Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Kanisius. Yogyakarta.
Paiman, A., 2010. Efek Pemberian Berbagai Jenis Amelioran dan Abu terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Lahan Gambut. Jurnal Agronomi 10(2) : 85-92.
Prasetyo, Y.T., 2002. Budidaya Padi Sawah TOT (Tanpa Olah Tanah), Kanisius, Yogyakarta. Hal : 34-37.
Prasetyo, B. H. dan D. A. Suriadikarta, 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2).
Rahim, S.E dan A. Halim. 2008. Panen Hujan di Lahan Rawa secara Terpadu.
Diakses dari http://www.unsri.ac.id. (05 Desember 2012).
Rukmana, R., 1997. Budi Daya Baby Corn. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Simanjuntak, L., 2004. Usaha Tani Terpadu PATI :Padi, Azolla, Tiktok dan Ikan. PT. Agromedia, Jakarta. Hal: 22-26.
Subiksa, I. G. M., dan D. Setyorini, 2010. Pemanfaatan Fosfat Alam untuk Lahan Sulfat Masam. Diakses dari http://www.deptan.go.id/2345.pdf. (05 Desember 2012).
46
Suharta, N., 2010. Karakteristik dan Permasalahan Tanah Marginal Dari Batuan Sedimen Masam Di Kalimantan. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Hal : 139-140.
Sunaryo, T.M., Tjoek, W.S., dan Harnanto, A., 2004. Pengelolaan Sumber Daya Air. Penerbit Bayumedia, Malang.
Suparyono dan Setyono, A., 1993. Padi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suparyono dan Setyono, A., 1997. Mengatasi Permasalahan Budi Daya Padi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutedjo, M.M. dan Kartasapoetra, A.G., 1988. Budidaya Tanaman Padi di Lahan Rawa Pasang Surut. PT. Bina Aksara, Jakarta.
Van Steenis, C. G. G. J., 2006. Flora : untuk sekolah di Indonesia. Pradnya Paramitha, Jakarta.
White, R.E., 1987. Introduction to the Principles and Practice Of Soil Science. Blackwell Scientific Publication, London.
Winarso, S., 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media, Yogyakarta.
Yuwono, N.W. 2009. Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal. Diakses dari http://www.ugm.ac.id. (05 Desember 2012).
47