68
SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014 RPI 3 Pengelolaan Hutan Lahan Kering Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected] web : www.puskonser.or.id

Pengelolaan Hutan Lahan Kering

Embed Size (px)

Citation preview

SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014

RPI 3

Pengelolaan Hutan Lahan Kering

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected]

web : www.puskonser.or.id

i

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang

Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014,

Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7

(tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI

sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang

Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi

ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran

(specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang

utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya

untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.

Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014

(Revisi) adalah Pengelolaan Hutan Lahan Kering. Sampai akhir 2014, RPI tersebut akan

menyelesaikan 39 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan tersedianya preskripsi manajemen

ekosistem hutan lahan kering di luar kawasan konservasi baik yang utuh maupun terdegradasi

untuk menjamin pemulihan dan keberlangsungan nilai manfaat ekonomi, ekologi dan sosial dengan

sasaran menghasilkan iptek sistem pengelolaan dalam rangka restorasi, konservasi dan rehabilitasi

hutan lahan kering di luar kawasan konservasi. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh

Puskonser, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPTHHBK Mataram, BPK Kupang, BPK

Banjarbaru dan BPK Samboja. Mengingat RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering (RPI 3) baru

dimulai tahun 2012 dan praktis kegiatan penelitiannya baru 11 kegiatan penelitian maka tidak

dilakukan penyusunan sintesa antara, tetapi lebih pada penyusunan rangkuman hasil penelitian.

Output ke 11 kegiatan penelitian tersebut perlu dirangkum untuk melihat kemajuan/capaian kinerja

RPI tersebut dan menilai apakah spektrum kegiatan penelitian dan pelaksanaannya sudah selaras

(in line) dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada akhir tahun 2014.

Rangkuman RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering tahun 2013 dapat dijadikan milestone untuk

mencapai sintesis RPI akhir tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya

pengelolaan hutan lahan kering yang berkelanjutan. Dari rangkuman hasil penelitian ini, kita dapat

melihat berbagai output dalam bentuk monograf model-model allometrik estimasi biomassa hutan

dan pedoman penggunaan allometrik. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya

rangkuman hasil penelitian ini dengan pool of knowledge yang ada. Masih ada waktu selama dua

tahun untuk mengisi gap penelitian yang ada dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian

untuk menghasilkan sintesis RPI yang mumpuni dan bermanfaat.

Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Hutan

Lahan Kering beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun

rangkuman hasil penelitian RPI ini. Semoga rangkuman ini bermanfaat bagi pihak yang

memerlukan dan menjadi baseline penyusunan sintesis RPI berikutnya.

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

NIP. 19571221 198203 1 002

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ vii

I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 2

B. Tujuan dan Sasaran ................................................................................................. 2

C. Luaran ..................................................................................................................... 2

D. Ruang Lingkup ....................................................................................................... 3

II. METODOLOGI UMUM ............................................................................................ 4

III. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN LAHAN KERING ............. 5

A. Klasifikasi dan Sebaran Biomassa Hutan Lahan Kering di KPHL Rinjani

Barat ........................................................................................................................

5

B. Klasifikasi Fragmentasi Vegetasi di Hutan Lindung Sebelimbingan di Pulau

Laut .........................................................................................................................

8

IV. STRATEGI REHABILITASI HUTAN TERDEGRADASI ..................................... 11

A. Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi IUPHHK Restorasi Ekosistem ....... 11

1. Strategi silvikultur untuk restorasi dan rehabilitasi hutan terdegradasi di

areal IUPHHK-RE PT. REKI (Jambi) .............................................................

11

2. Kajian sistem pengelolaan dan restorasi ekosistem di areal IUPHHK-RE

PT. RHOI (Kalimantan Timur) ........................................................................

14

B. Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung dan Kawasan

Lindung Yang Bukan Kawasan Hutan .................................................................

15

1. Model rehabilitasi hutan lindung berbasis hasil hutan bukan kayu ................. 15

2. Ujicoba rehabilitasi hutan lahan kering berbasis tanaman hasil hutan

bukan kayu .......................................................................................................

19

V. VALUASI HUTAN LINDUNG.................................................................................. 25

A. Kajian Status, Potensi dan Manfaat Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat .......... 25

1. Potensi pemanfaatan ........................................................................................... 25

2. Potensi keanekaragaman hayati .......................................................................... 26

3. Potensi simpanan (stok) karbon hutan ................................................................ 27

4. Potensi ekowisata ............................................................................................... 28

5. Potensi sumberdaya air ....................................................................................... 31

B. Valuasi Hutan Lindung (KPHL) Pulau Tarakan .................................................... 37

1. Sebaran potensi hasil hutan bukan kayu ............................................................. 37

2. Nilai ekonomi air dan nilai keberadaan HLPT dalam Pemanfaatan Air ............ 38

3. Nilai keberadaan HLPT dalam pemanfaatan air................................................. 39

C. Valuasi Hutan Lindung Gunung Mutis .................................................................. 39

VI. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG..................................... 41

A. Peran Para Pihak Sebagai Unsur Pelaku Pembangunan di Wilayah KPHL

iv

Rinjani Barat, Bentuk Koordinasi /Mekanisme Hubungan Kerja ........................ 41

B. Bentuk Koordinasi/Mekanisme Hubungan Kerja Dengan Para Pihak ................. 45

C. Peta Sikap dan Pandangan Stakeholder ............................................................... 47

D. Bentuk Insentif Pengelolaa Hutan Lindung ......................................................... 50

VII. SARAN DAN REKOMENDASI HASIL PENELITIAN ........................................ 54

A. Strategi Rehabilitasi Hutan Terdegradasi ............................................................. 54

B. Peningkatan Manfaat Hutan Lindung ................................................................... 54

C. Koordinasi dan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan

Lindung.................................................................................................................

55

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 57

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Garis besar metodologi penelitian untuk menghasilkan luaran ....................................... 4

Tabel 2 Kelas penutupan lahan KPHL Rinjani Barat berdasarkan klasifikasi Citra ..................... 7

Tabel 3 Kelas Potensi Biomassa dan Carbon Stock di KPHL Rinjani Barat ................................ 8

Tabel 4 Target luaran dan kegiatan pada tiap tahun kegiatan (2012-2014) .................................. 15

Tabel 5 Jenis HHBK yang dapat dikembangkan dalam rehabilitasi hutan lindung

di KPHL Rinjani Barat .....................................................................................................

18

Tabel 6 Persen tumbuh tanaman tahun pertama di lokasi Batulayar dan

Nusapenida .......................................................................................................................

22

Tabel 7 Kerapatan relatif (KR), dominasi relatif (DR), frekuensi relatif (FR) dan

nilai penting (NP) dari 15 jenis dominan di hutan alam (Dbh>5cm) ..............................

26

Tabel 8 Peran para pihak sebagai pelaku pembangunan di KPHL Rinjani Barat ........................ 44

Tabel 9 Sikap dan pandangan para pihak terhadap institusi KPHL Rinjani Barat ....................... 47

Tabel 10 Kegiatan pemanfaatan kawasan hutan pada KPHL Rinjani Barat .................................. 52

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Hasil klasifikasi penutupan lahan KPHL Rinjani Barat ................................................... 7

Gambar 2 Peta sebaran biomassa dan carbon stock di KPHL Rinjani Barat .................................... 8

Gambar 3 Variasi tipe fase perkembangan tegakan yang terdapat di huan lindung

Sebelimbingan, P.Laut, Kalimantan Selatan ....................................................................

10

Gambar 4 Kondisi hutan di areal penelitian: potensi tinggi (kiri atas), potensi

sedang (kanan atas), potensi rendah (kiri bawah), dan semak (kanan

bawah) ..............................................................................................................................

11

Gambar 5 Beberapa jenis bibit siap tanam di persemaian ................................................................ 13

Gambar 6 Pendekatan penelitian secara konseptual ................................................................. 15

Gambar 7 Kondisi tanaman di Batulayar (a. Kranji; b. Kemiri Sunan; c. Kepuh;

dan d. Bintaro). .................................................................................................................

20

Gambar 8 Kondisi tanaman di Nusapenida (a. Kemiri Sunan; b. Kepuh; c.

Bintaro; dan d. Kranji) .....................................................................................................

21

Gambar 9 Tunas baru muncul pada tanaman bintaro yang batang utamanya telah

mati mengering akibat cekaman panas dan kekeringan di Nusapenida. ..........................

22

Gambar 10 Tanaman mati dicabut satwaliar dengan bagian akar rusak (kiri) dan

tanaman mati mengering akibat cekaman panas dan kekeringan

(kanan) di Nusapenida ......................................................................................................

22

Gambar 11 Contoh pemangkasan terhadap tanaman Kepuh (a) dan tanaman Kranji

(b) yang diakibatkan oleh petani penggarap di lokasi Batulayar. ....................................

23

Gambar 12 Peta penetapan KPHL model Rinjani Barat ..................................................................... 25

Gambar 13 Grafik total stok karbon (vegetasi bagian atas tanah, serasah dan kayu

mati) pada masing-masing lokasi pengamatan .................................................................

28

Gambar 14 Obyek wisata Pusuk Pass ................................................................................................. 28

Gambar 15 Obyek wisata Aik Nyet .................................................................................................... 29

Gambar 16 Obyek wisata Air Terjun Timponan ................................................................................. 29

Gambar 17 Obyek Wisata Air Terjun Kerta Gangga .......................................................................... 30

Gambar 18 Obyek Wisata Air Terjun Sendang Gile .......................................................................... 31

Gambar 19 Sumber mata air dan tutupan vegetasi di hutan lindung Sesaot ....................................... 32

Gambar 20 Sumber air dan tutupan vegetasi di hutan Pusuk Lestari ................................................. 32

Gambar 21 Bendungan Santong dan tutupan vegetasi di hutan Santong ............................................ 33

Gambar 22 Instalasi PLTMH Sesaot ................................................................................................... 34

Gambar 23 Saluran primer jurang Sate dan Bendungan Batujai ........................................................ 35

Gambar 24 Mekanisme implementasi jasa lingkungan pelanggan PDAM ........................................ 36

Gambar 25 Struktur organisasi KPHL Rinjani Barat .......................................................................... 42

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem hutan lahan kering (dryland forest ecosystem) di Indonesia

mempunyai peranan sangat strategis bagi pemenuhan fungsi-fungsi lindung,

konservasi dan sosial budaya masyarakat, di samping fungsi ekonomi. Keberadaan

dan terpeliharanya ekosistem hutan tersebut telah terbukti berkontribusi dan

berdampak positif bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup dan kualitas hidup

masyarakat. Pemenuhan fungsi-fungsi tersebut secara berkelanjutan sangat

ditentukan oleh penerapan sistem pengelolaan hutan yang memperhatikan daya

dukung, daya lenting dan daya pulih ekosistem tersebut.

Pada kenyataannya, kerusakan ekosistem hutan lahan kering sangat cepat dan

mengkhawatirkan. Hal ini terjadi karena tekanan masyarakat yang tinggi untuk

pemenuhan kebutuhan kayu dan lahan pertanian serta kebutuhan di luar sektor

kehutanan. Hutan relatif mudah dijangkau oleh masyarakat yang mendiami sekitar

hutan, khususnya lahan hutan dataran rendah (lowland forest) dan fleksibilitas

penggunaan lahan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan. Lebih lanjut lagi,

kesalahan dalam pengelolaan (mismanagement) HPH (sekarang IUPHHK-HA) yang

mengabaikan sistem TPTI dan pengawasan (Tampubolon, 1993), euforia reformasi

yang mempercepat fragmentasi hutan, ketidakhadiran peran Pemerintah Daerah

dalam pengelolaan hutan lindung di era otonomi daerah dan ekspansi perkebunan

dan pertambangan semakin memperparah degradasi hutan dan deforestasi.

Tuntutan penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest

Management) yang digagas, utamanya oleh ITTO melalui ITTO Guidelines for

Sustainable Management of Natural Tropical Forest (ITTO, 1990), pencadangan

High Coservation Value Forest (HCVF) pada hutan produksi (The Consortium for

Revision of the HCV Toolkit Indonesia, Guidelines for the Identification HCV

Toolkit Indonesia), penerapan REDD+ di Indonesia dan komitmen penerapan tata

kelola pengurusan hutan yang baik, berimplikasi pada pentingnya upaya-upaya

restorasi hutan, rehabilitasi hutan dan konservasi hutan, khususnya pada ekosistem

hutan lahan kering. Berbagai inisiatif secara global telah dilakukan seperti penerbitan

ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded

and Secondary Forest (ITTO, 2002) dan pilihan-pilihan teknik rehabilitasi dan

restorasi hutan (Kobayashi et al., 1999; Lamb dan Gilmore (2003). Namun demikian,

dalam tataran nasional dan lokal, preskripsi manajemen dan teknologi restorasi,

rehabilitasi dan konservasi hutan lahan kering belum diformulasikan secara

terstruktur. Oleh karena itu dalam memformulasikan preskripsi ini, perlu didukung

dengan hasil-hasil pemikiran yang obyektif rasional berdasarkan data dan informasi

terkini yang diperoleh melalui serangkaian penelitian yang bersifat integratif

Sintesis 2010-2014 | 2

(disusun dalam format Rencana Penelitian Integratif (RPI)). Penghimpunan serpihan

ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian yang sudah ada (pool of knowledge),

serta dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian tahun jamak (multiyears) diharapkan

akan menjawab pemenuhan sistem pengelolaan dan teknik pemulihan hutan lahan

kering yang telah rusak.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian integratif “Pengelolaan Hutan Lahan

Kering” ini adalah tersedianya preskripsi manajemen ekosistem hutan lahan kering di

luar kawasan konservasi, baik yang utuh maupun terdegradasi, untuk menjamin

pemulihan dan keberlangsungan nilai manfaat ekonomi, ekologi dan sosial.

Sasaran yang hendak diwujudkan dalam kegiatan penelitian integratif ini adalah

untuk menghasilkan iptek sistem pengelolaan dalam rangka restorasi, konservasi dan

rehabilitasi hutan lahan kering di luar kawasan konservasi mencakup IUPHHK -

Restorasi Ekosistem, Kawasan Lindung yang bukan kawasan hutan dan hutan

lindung berdasarkan potensi, tipologi hutan, atribut sosial dan kelembagaan yang

ada.

C. Luaran

Luaran/output yang diharapkan dapat diperoleh dari keseluruhan kegiatan

kajian/penelitian pada penelitian integratif "Pengelolaan Hutan Lahan Kering"

adalah:

1. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering; yang memuat peta

klasifikasi vegetasi hutan lahan kering berdasarkan gradasi kerusakan vegetasinya,

dari mulai hutan utuh (primary forest) sampai lahan alang-alang/semak belukar

dari tiap fungsi/tipe ekosistem hutan lahan kering terpilih.

2. Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi; yang memuat preskripsi sistem

pengelolaan dan teknik rehabilitasi vegetasi berdasarkan input hasil penelitian

klasifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering. Sistem pengelolaan

hutan lebih difokuskan pada pengaturan ruang (landscape) berdasarkan kondisi

biofisik dan sosial budaya masyarakat setempat, organisasi dan tatalaksana

pengurusan hutan dan tujuan-tujuan pengelolaan (management objectives).

Sedangkan teknik rehabilitasi lebih difokuskan pada pilihan perlakuan atau teknik

revegetasi yang tepat sesuai dengan tingkat degradasi hutan, mulai dari yang

ringan (disturbed primary forest) sampai yang rusak (hutan sekunder dan

degraded forest land berupa areal alang-alang) dengan intervensi teknik

rehabilitasi lahan hutan (lihat ITTO, 2002).

3. Valuasi hutan lindung; yang memuat informasi teknis nilai manfaat total

keberadaan hutan lindung baik nilai manfaat langsung (tangible) maupun tidak

langsung (intangible). Luaran ini juga mendeskripsikan status pengelolaan hutan

lindung pada era desentralisasi kehutanan.

Sintesis 2010-2014 | 3

4. Kelembagaan pengelolaan hutan lindung; yang memuat preskripsi manajemen

terkait efektivitas kelembagaan dan sistem pengelolaan hutan lindung dalam

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL).

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering adalah untuk melakukan

serangkaian penelitian sistem pengelolaan dan teknik rehabilitasi vegetasi hutan

lahan kering terdegradasi di luar KSA (Kawasan Suaka Alam; Cagar Alam dan

Suaka Margasatwa) dan KPA (Kawasan Pelestarian Alam; Taman Nasional, Taman

Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru).Dengan demikian, penelitian ini

dibatasi pada kawasan hutan produksi, hutan lindung dan kawasan lindung yang

bukan kawasan konservasi.

Sintesis 2010-2014 | 4

II. METODOLOGI UMUM

Kegiatan penelitian yang tercakup dalam RPI ini difokuskan pada penyediaan

Iptek sistem pengelolaan hutan lahan kering pada berbagai fungsi hutan dan kondisi

vegetasi sehingga akan dapat memulihkan fungsi ekologi dan penyediaan jasa

lingkungan hutan bagi masyarakat, maka penelitian akan diarahkan pada penelitian

Sistem Informasi Geografis (SIG) dan perpetaan, biometrika hutan, khususnya untuk

pendugaan potensi biomassa hutan, teknik-teknik silvikultur untuk tujuan rehabilitasi

dan perlindungan (protective afforestation and reforestation). Khusus untuk hutan

lindung, penelitian diarahkan pada aspek tata kelola (governance), penilaian manfaat

sumber daya hutan dan lingkungan serta kelembagaan dan efektifitas pengelolaan.

Kegiatan penelitian dirancang dengan metodologi penelitian yang disesuaikan

dengan tujuan dan sasaran masing-masing penelitian untuk mencapai tujuan dan

sasaran RPI. Dengan metodologi penelitian yang tepat, baik teknik sampling,

rancangan percobaan, plot-plot penelitian permanen, teknik survei untuk penelitian

sosial, maka kualitas data primer dan sekunder yang dikumpulkan akan terjamin.

Khusus untuk penelitian yang dirancang dalam penelitian plot permanen (ujicoba

penanaman, lokasi plot penelitian sebaiknya mudah diakses, aman dari ganggunan

dan diberi tanda yang jelas dan awet agar dapat dilakukan pengamatan dan

pengukuran ulang dalam waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan kegiatan

pengukuran yang berulang (time series), perlu dilakukan pada titik pengukuran (point

of measurement) yang tetap.

Secara garis besar metode penelitian yang perlu dibuat dalam pelaksanaan

kegiatan penelitian yang tercakup dalam RPI ini adalah sebagai berikut :

1. Pembuatan rancangan penelitian

2. Tatacara pengumpulan data

3. Tatacara pengolahan dan analisis data

4. Pelaporan hasil dan rekomendasi

Adapun bentuk dan metodologi penelitian untuk setiap luaran/output secara garis

besar disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Garis besar metodologi penelitian untuk menghasilkan luaran

Luaran Metode

Klasifikasi tipologi dan

sebaran hutan lahan

kering

- Pembuatan rancangan penelitian.

- Analisis citra satelit.

- Pembuatan plot untuk pengumpulan dan validasi data lapangan dengan

teknik sampling yang sesuai dengan karakteristik hutan (ground

Sintesis 2010-2014 | 5

Luaran Metode

check/terrestrial sampling) Klasifikasi tipologi dan sebaran.

- Pemodelan klasifikasi tipologi.

- Pembuatan peta tipologi dan sebaran.

- Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan.

- Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi teknik pengklasifikasian

tipologi dan sebaran hutan lahan kering.

Strategi rehabilitasi

hutan terdegradasi

- Pembuatan rancangan penelitian rehabilitasi hutan sesuai dengan

perlakuan yang digunakan dan rancangan penelitian untuk identifikasi

sistem pengelolaan hutan.

- Pembuatan plot ujicoba atau pengumpulan data yang representatif baik

respon perlakuan teknik rehabilitasi maupun sistem pengelolaan hutan.

- Analisis data hasil penelitian di lapangan untuk teknik rehabilitasi dan

metode statistik

- Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan.

- Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi teknik rehabilitasi hutan

terdegradasi dan sistem pengelolaan hutan.

Valuasi hutan lindung - Pembuatan rancangan penelitian untuk kajian nilai manfaat hutan lindung,

status dan potensi hutan lindung sesuai dengan

pengamatan/kajian/perlakuan yang digunakan.

- Pembuatan plot pengamatan yang representatif dan penentuan sampel

status dan potensi hutan lindung.

- Analisis data baik secara kualitatif maupun deskriptif.

- Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan

- Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi valuasi hutan lindung.

Kelembagaan

pengelolaan hutan

lindung

- Pembuatan rancangan studi kebijakan, kelembagaan dan pengelolaan

hutan lindung.

- Penetapan sampel KPHL.

- Pengumpulan data primer dan sekunder, mencakup data biofisik,

demografi, organisasi dan tata kelola hutan lindung.

- Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan.

- Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi teknik efektifitas pengelolaan

hutan lindung.

Sintesis 2010-2014 | 6

III. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN

LAHAN KERING

Dalam pengelolaan hutan lahan kering, salah satu informasi penting adalah

diperolehnya data hasil inventarisasi hutan yang memadai (teliti dan akurat) yang

akan dijadikan dasar dalam melaksanakan perencanaan untuk pengelolaan hutan.

Disisi lain, kondisi tegakan hutan di Indonesia sangat bervariasi baik disebabkan oleh

kondisi fisik lapangan (tanah, iklim, konfigurasi lapangan, dll). maupun sebaran dan

komposisi jenis pohon yang menyusunnya, sehingga potensi hutan dari satu tapak ke

tapak lainnya tentu akan berbeda. Untuk meningkatkan keakuratan informasi tentang

keadaan tegakan dan potensi hutan yang akan dikelola, diperlukan adanya stratifikasi

hutan dengan ciri-ciri penyebab variasi tegakan yang ada meliputi tipologi dan

sebaran hutan yang akan dikelola.

Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi

ilmiah sebagai bahan penyusunan teknik klasifikasi tipologi dan sebaran

potensi/biomassa yang diperlukan dalam perencanaan pengelolaan hutan. Adapun

sasaran penelitian adalah tersedianya perangkat klasifikasi tipologi dan sebaran hutan

yang diperlukan dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan, khususnya dalam

hal penentuan strategi pengelolaan. Penelitian yang dilakukan mencakup klasifikasi

dan sebaran biomasa hutan lahan kering di KPHL Rinjani Barat dan penelitian

mengenai klasifikasi fragmentasi vegetasi di hutan lindung Sebelimbingan, Pulau

Laut.

A. Klasifikasi dan Sebaran Biomassa Hutan Lahan Kering di KPHL Rinjani

Barat

Pengklasifikasian dilakukan berdasarkan kombinasi teknik penginderaan jauh

(remote sensing) dengan hasil pengukuran/inventarisasi di lapangan (ground-based

measurement) berupa pengumpulan data dalam petak ukur pengamatan terhadap

pohon-pohon yang berdiameter 5 cm ke atas) serta pengambilan data koordinat bumi

dengan menggunakan GPS pada petak pengamatan yang dibuat.

Kegiatan pembuatan petak pengamatan dilakukan sebagai acuan dalam

menentukan training area dan untuk mengetahui jenis serta kondisi penutupan lahan

yang akan diidentifikasi di areal penelitian pada saat dilakukan perekaman oleh citra

satelit. Data dijital citra satelit yang digunakan memberikan gambaran secara umum

bagaimana kondisi areal penelitian. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan

reflektansi yang direspon oleh masing-masing penutupan lahan sehingga

menampilkan warna-warna yang berbeda dengan nilai DN (Digital Number) yang

berbeda pula. Analisa data yang dilakukan mencakup lima tahap pemrosesan:

pengolahan awal citra; pemeriksaan lapangan (ground check); klasifikasi citra secara

digital; pemetaan penutupan dan penggunaan lahan.

Sintesis 2010-2014 | 7

Hasil pengukuran di 36 plot pengamatan yang tersebar di areal hutan lindung

(KPHL) Rinjani Barat diperoleh nilai rata-rata biomassa hutan untuk masing-masing

kelas penutupan sebesar 155,23 ton/ha (kelas agroforestry campuran), 116,02 ton/ha

(kelas kerapatan jarang), 271,33 (kelas kerapatan sedang) dan 578,67 ton/ha (kelas

kerapatan tinggi). Hasil klasifikasi penutupan lahan berdasarkan citra di KPHL Rinjani

Barat disajikan pada Gambar 1 dengan luasan masing-masing kelas penutupan seperti

pada Tabel 2.

Gambar 1. Hasil Klasifikasi penutupan lahan KPHL Rinjani Barat

Tabel 2. Kelas penutupan lahan KPHL Rinjani Barat berdasarkan klasifikasi Citra

No. Kelas Penutupan Lahan Luas (ha)

1. Penutupan Tajuk Rapat (high density) 1.784,39

2. Penutupan Tajuk Sedang (medium density) 18.697,84

3. Penutupan Tajuk Jarang (low density) 3.085,24

4. Pertanian/Agroforestri 6.734,58

5. Tanah terbuka 48,18

6. Semak Belukar 6.340,51

7. Awan 1.224,44

8. Bayangan Awan 3.031,59

9. Tubuh Air 36,23

Total 40.983,00

Hasil analisis sebaran dan kelas potensi biomassa hutan di KPHL Rinjani Barat

berdasarkan metode kemungkinan maksimum (Maximum Likehood Method) dapat

dilihat pada Gambar 2 dengan luasan masing-masing kelas biomassa disajikan pada

Tabel 3. Secara umum sebaran potensi biomassa dan karbon didominasi oleh kelas

Sintesis 2010-2014 | 8

biomassa 201 – 400 ton/ha dan kelas karbon 101 – 200 ton/ha, dengan jumlah carbon

stock sebesar ± 4 juta ton.

Gambar 2. Peta sebaran biomassa dan carbon stock di KPHL Rinjani Barat

Tabel 3. Kelas potensi biomassa dan carbon stock di KPHL Rinjani Barat

No. Kelas Potensi (ton/ha)

Luas (ha) Dugaan C-Stock (ton) Biomassa C-Stock

1. 0 0 4.292,26 0,00

2. 1 – 100 1 – 50 6.388,70 348.385,47

3. 101 – 200 51 – 100 9.819,82 716.315,98

4. 201 – 400 101 – 200 17.997,84 2.294.484,05

5. 401 - 600 201 – 300 2.484,39 675,692,77

TOTAL 40.983,00 4.034.878,27

B. Klasifikasi Fragmentasi Vegetasi di Hutan Lindung Sebelimbingan di Pulau

Laut

Berbeda dengan penelitian klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering di

KPHL Rinjani Barat dan KPHL Bali Barat yang lebih fokus ke parameter biomassa

sebagai dasar untuk klasifikasi kondisi penutupan hutan, penelitian yang dilakukan di

hutan lindung Sebelimbingan, Stagen, Pulau Laut, Kalimantan Selatan lebih fokus

pada fragmen vegetasi sebagai dasar untuk upaya rehabilitasi dan restorasi di areal

hutan yang telah terdegradasi.

Sintesis 2010-2014 | 9

Secara umum tipologi hutan yang jadi obyek kajian merupakan kawasan hutan

lindung yang sebelumnya merupakan hutan produksi dan telah mengalami beberapa

kali penebangan (1982, 1996), kemudian menjadi sasaran penebangan masyarakat

sejak tahun 1997 sampai saat ini untuk keperluan kayu gergajian bahkan gaharu.

Proses tumbangnya pohon-pohon kanopi atas akibat penebangan berulang maupun

alami tersebut menjadi penyebab bervariasinya tipe fase perkembangan vegetasi

yang terjadi, yang dicirikan oleh variasi fase perkembangan regenerasi jenis-jenis

kanopi atasnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi tipe fragmen (tegakan) di lokasi

penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan keberadaan jenis-jenis kanopi dominan

dan non dominan dalam berbagai fase perkembangan (anakan, pancang, tiang dan

pohon) (Gambar 3).

1. Tegakan pionir (A): merupakan fase perkembangan awal (stand inisiation). Jenis

yang dominan (penutupan tajuk) adalah Macaranga spp. Tegakan ini merupakan

fragmen yang paling tinggi tingkat kerusakan akibat penebangan pohon atau

kematian pohon secara alami. Tidak tersedia permudaan alam jenis kanopi.

Proporsi tegakan ini mencapai 20%, dengan variasi luas 1.00 m2 – 1.500 m

2.

2. Tegakan pionir (B): merupakan fase stem exclusion. Tingkat kepadatan tajuk jenis-

jenis pionir sudah saling berdesakan dan saling menaungi satu dengan lainnya.

Proporsi tegakan ini mencapai 10%, dengan variasi luas 50 m2 – 1000 m

2. Sudah

terdapat jenis-jenis kanopi dominan dan non-dominan dalam fase anakan dan

pancang.

3. Tegakan (C): merupakan tegakan dalam fase stem exclusion lanjutan, di mana

sudah berkembang jenis-jenis kanopi dominan dan non-dominan dalam tingkat

anakan, pancang dan tiang. Proporsi tegakan ini mencapai 15%, dengan variasi

luas 50 m2 – 1000 m

2.

4. Tegakan (D): merupakan tegakan yang diisi oleh jenis kanopi dominan (Shorea

polyandra, dan S. ovalis) fase trees of the present dalam keadaan bebas tanpa

ternaungi (diameter 20 cm – 40 cm). Tegakan ini memiliki proporsi 5% dengan

luasan 500-1000 m2.

5. Tegakan (E): merupakan fragmen yang telah kehilangan lapisan kanopi atasnya.

Tinggi rata-rata 10-25m. Didominasi jenis-jenis dari trees of the past. Pada

tegakan ini, permudaan jenis kanopi atas sangat minim. Proporsi tegakan ini

mencapai 25%.

6. Tegakan utuh (undisturbed) (F): merupakan tegakan dengan struktur vegetasi yang

tidak terganggu oleh adanya penebangan, atau pohon tumbang. Jenis-jenis lapisan

atas didominasi oleh Shorea polyandra, S. lamellata, Dipterocarpus sp. dan jenis-

jenis dari famili Burseraceae dan Lauraceae. Luasan fragmen 2000 – 5000 m2.

Permudaan jenis kanopi atas (anakan dengan tinggi <1,5 m) tersedia dalam

kepadatan 100-800 batang/ha. Proporsi tegakan ini mencapai 25%.

Sintesis 2010-2014 | 10

Gambar 3. Variasi tipe fase perkembangan tegakan yang terdapat di hutan lindung

Sebelimbingan, P.Laut, Kalimantan Selatan

Dalam hubungannya dengan strategi pemulihan hutan terdegradasi, maka pada

tegakan dengan klasifikasi (B) dan (C) preskripsi silvikultur yang selaras adalah

pembebasan.Pada tegakan (A) perlakuan silvikultur yang selaras adalah penanaman

perkayaan jenis kanopi atas setempat dalam pola penanaman kelompok atau

rumpang.Pada tegakan (D) perlakuan silvkultur yang sesuai adalah membiarkan (do

nothing), karena individu sudah bebas dari naungan, begitupun tegakan (F) yang

merupakan tegakan yang tidak terganggu struktur kanopinya.Tegakan (F) sangat

berguna sebagai sumber benih untuk areal di sekitarnya. Tegakan (E) merupakan

tegakan yang paling serius untuk diperlakukan, karena minim permudaan, individu

pohon yang ada merupakan pohon tua, dan akan sangat menghambat pertumbuhan

permudaan jenis kanopi atas. Perlakuan yang diperlukan antara lain adalah

pengurangan kerapatan, baik jumlah individu maupun tingkat kerapatan naungan

kanopinya, untuk lebih memperbesar peluang masuknya benih-benih jenis kanopi

atas secara alami, atau memberikan ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan

anakan.

A B C

D E

F

Sintesis 2010-2014 | 11

IV. STRATEGI REHABILITASI HUTAN TERDEGRADASI

A. Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi IUPHHK Restorasi Ekosistem

1. Strategi silvikultur untuk restorasi dan rehabilitasi hutan terdegradasi di

areal IUPHHK-RE PT. REKI (Jambi)

Kegiatan penelitian strategi silvikultur untuk restorasi dan rehabilitasi areal

hutan terdegradasi telah dilakukan di areal IUPHHK-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-

RE) PT. REKI (Hutan Harapan) di Jambi, dengan kegiatan berupa inventarisasi

tegakan, pembibitan dan pembuatan demplot. Hasil kegiatan penelitian diuraikan

sebagai berikut:

Inventarisasi tegakan

Areal Hutan Harapan merupakan areal hutan sekunder dengan potensi yang

beragam. Keberadaan jenis-jenis dipterokarpa sudah sedikit (kemungkinan karena

eksploitasi yang tinggi di masa lalu). Inventarisasi tegakan telah dilakukan di 4

kategori vegetasi yang tersebar di areal kerja Hutan Harapan berdasarkan peta hasil

SPOTS tahun 2009. Kondisi vegetasi di Hutan Harapan secara umum terdiri dari

hutan sekunder potensi tinggi/HSPT (37%), hutan sekunder potensi sedang/HSPS

(27%), hutan sekunder potensi rendah/HSPR (23%) dan areal terbuka/semak (13%)

(Gambar 4).

Gambar 4. Kondisi hutan di areal penelitian: potensi tinggi (kiri atas), potensi sedang

(kanan atas), potensi rendah (kiri bawah), dan semak (kanan bawah)

Sintesis 2010-2014 | 12

Berdasarkan hasil analisa vegetasi diketahui bahwa jumlah jenis tumbuhan

(vegetasi dasar dan pionir) pada areal semak bertambah menurut ukuran plot mulai

1m x 1m (8 jenis), 5m x 5m (21 jenis), 10m x 10m (27 jenis) dan 20m x 20m (29

jenis), tetapi ada kecenderungan tidak ada peningkatan jumlah jenis dengan

bertambahnya ukuran plot di atas 20m x 20m.

HSPR didominasi oleh jenis Scapium macropadum (23%), Burseraceae (12%)

dan Psychotria (11%) pada tingkat semai, Litsea sp. (25%), Aglaea sp. (13%) dan

Rubiaceae (12%) pada tingkat pancang, Macaranga spp.(36%), Scapium bacatum

(34%) dan Alstonia sp. (8%) pada tingkat tiang dan Macaranga spp. dan

Endospermum diadenum pada tingkat pohon.

Sementara pada HSPS, tingkat semai didominasi oleh jenis Macaranga gigantea

(21%), Syzygium sp. (19%) dan Xylopia sp. (19%), pada tingkat pancang didominasi

oleh jenis Vitex vestita (24%), Artocarpus sp. (23%), Polyaltia sp. (11%) dan

Gyroniera sp. (11%), pada tingkat tiang didominasi oleh Vitex vestita (48%),

Macaranga gigantea (23%), Behasia actinantera (18%) dan Geunsia sp. (12%), dan

pada tingkat pohon didominasi oleh jenis Macaranga gigantea (43%) dan Ficus sp.

(21%).

HSPT memiliki keragaman jenis yang tinggi, yaitu jenis perekat, ketapung,

kemenyan dan jambu eropa pada diameter (D) 10-19cm, jenis perekat, kemenyan,

ketapung dan kedongdong hutan pada D 20-29cm, jenis kemenyan, perekat, balam

putih dan kedongdong hutan pada D 30-39 cm, jenis balam putih, kedongdong hutan,

tempinis, petanang, kayu batu, kayu aro, jambu-jambu, mangga hutan, medang

batu,petaling dan sempenguk pada D 40-49cm, jenis tampoi nasi, petaling, dan

kemenyan pada D 50-59cm, jenis keranji, balam putih, cempedak, berumbung,

medang batu dan petanang pada D lebih dari 60 cm.

Hutan Harapan secara alami dapat kembali menjadi hutan primer khususnya

pada hutan sekunder potensi tinggi, tetapi memerlukan waktu yang sangat lama pada

hutan sekunder potensi sedang dan ke bawahnya yang dicirikan dengan

keanekaragaman jenis yang relatif rendah dan dominansi oleh jenis tumbuhan

tertentu. Dengan asumsi bahwa tidak selamanya suksesi berjalan dengan lancar,

maka diperlukan upaya-upaya percepatan pemulihan hutan melalui aplikasi

multiteknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tapak dengan menggunakan jenis-

jenis endemik yang dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, kecepatan suksesi,

produksi dan daya dukung terhadap hidupan liar.

Pembibitan dan pembangunan demplot

Bibit yang disiapkan merupakan bibit dari jenis pohon endemik yang tersedia

benih dan atau cabutan alamnya di areal Hutan Harapan, meliputi 4 jenis

dipterokarpa (Shorea leprosula, S. pinanga, S. stenoptera dan S. palembanica), dan 8

jenis non-dipterokarpa (jelutung darat, gaharu, cemanding, cempedak, kayu batu,

kelat merah, medang jahe dan merpayang) (Gambar 5). Jenis-jenis terpilih ini

Sintesis 2010-2014 | 13

dipelihara di persemaian, disortir dan diadaptasikan di lingkungan terbuka sebelum

ditanam, kemudian didistribusikan ke lokasi demplot sesuai dengan peruntukannya.

Jumlah bibit yang ditanam di empat kondisi vegetasi adalah: HSPT (2250 batang),

HSPS (8400 batang), HSPR (2400 batang), dan areal terbuka/semak (6000 batang).

Luas demplot untuk setiap tipe vegetasi tidak sama disesuaikan dengan luas areal

yang tersedia di sekitar lokasi inventarisasi dan akses ke lokasi, yaitu 22,5 ha

(HSPT), 14 ha (HSPS), 4 ha (HSPR), dan 10 ha (areal terbuka/semak).

Penyiapan lahan relatif tidak ada, kecuali pada areal HSPT yang dibuka secara

jalur selebar 1 meter untuk memudahkan dalam pendistribusian bibit dan penanaman,

serta areal semak belukar yang dibuka selebar 2 meter. Jenis yang ditanam di HSPT

merupakan jenis pohon toleran dan semi-toleran sehingga cahaya masuk yang

diperlukan relatif kecil dan pembukaan jalur diupayakan sedikit mungkin menggangu

vegetasi tumbuhan bawah. Sebaliknya, jenis yang ditanam di areal terbuka/semak

merupakan jenis pohon intoleran, sehingga jalur perlu dibuka lebih lebar.

Kegiatan rehabilitasi pada dasarnya diarahkan pada areal hutan dengan potensi

yang sangat rendah, didominasi tumbuhan bawah dan pionir serta areal yang

terdegradasi dengan menggunakan jenis-jenis pohon intoleran yang umumnya cepat

tumbuh. Kegiatan restorasi diarahkan pada pengembalian potensi baik jenis maupun

produksi dengan jenis-jenis pohon endemik yang banyak dieksploitasi di masa lalu

dan jenis-jenis penghasil bukan kayu yang menjadi core dalam pengelolaan Hutan

Harapan berbasis ekosistem.

Gambar 5. Beberapa jenis bibit siap tanam di persemaian

Sintesis 2010-2014 | 14

2. Kajian sistem pengelolaan dan restorasi ekosistem di areal IUPHHK-RE

PT. RHOI (Kalimantan Timur)

Berbeda dengan kegiatan penelitian di IUPHHK-RE di PT REKI (Jambi),

kegiatan penelitian di areal PT RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia) baru

sebatas identifikasi kondisi biofisik habitat untuk orangutan dan upaya PT RHOI

dalam menjamin kelestarian keanekaragaman hayati habitat pelepasliaran orang utan.

Sejak didirikan tahun 1991, PT RHOI telah melakukan pelepasan kembali

orangutan ke habitat alaminya (81 orangutan dilepaskan di Hutan Lindung Sungai

Wain tahun 1991-1997, dan sebanyak 242 orangutan ke Hutan Lindung Gunung

Beratus pada tahun 1997-2002). Kegiatan pelepasan kembali terhenti sejak tahun

2002, karena intensitas kegiatan illegal logging semakin tinggi, keamanan areal

pelepasliaran semakin tidak menentu, serta sulitnya menemukan areal pelepaliaran

yang ideal bagi orangutan.

Dari 86.450 ha kawasan yang dikelola oleh PT RHOI, sebagian areal sangat

cocok sebagai habitat orangutan, yaitu areal yang secara ekologis relatif aman,

altitude di bawah 900m dpl, kondisi tutupan vegetasi baik, kelimpahan pohon pakan

untuk orangutan cukup tinggi, dan jauh dari pusat kegiatan masyarakat.

Sebagai areal pelepasan kembali orangutan dan menjamin pelestarian habitat

orangutan, manajemen PT. RHOI mencoba mengelola kawasan dengan terobosan

pemanfaatan hutan non kayu melalui jasa lingkungan, wisata alam, perdagangan

karbon, dan sebagai tempat stasiun penelitian orangutan rehabilitan dan hutan tropis

basah sebagai sumber pendapatan.

Hasil inventarisasi keanekaragaman jenis flora di areal PT RHOI ditemukan

sebanyak 77 jenis dengan jenis Macaranga pearsonii merupakan jenis yang dominan

(INP 21,4%). Tingginya penyebaran jenis M. pearsonii ini dapat mempengaruh

komunitas setiap tegakan hutan di mana jenis tersebut tumbuh, yang berpengaruh

terhadap iklim mikro seperti suhu dan kelembaban. Semakin tinggi kerapatan

vegetasi tersebut, maka akan menghalangi sinar matahari menuju lantai hutan

sehingga menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban komunitasnya. Semakin

tinggi indeks nilai penting suatu jenis maka akan besar pula peranan dan pengaruh

jenis tersebut.

Kegiatan yang sudah dilakukan oleh PT RHOI, untuk dapat menjamin

kelestarian keanekaragaman hayati sebagai habitat pelepasliaran orang utan antara

lain:

Sosialisasi kegiatan ke masyarakat sekitar

Penataan areal di lapangan

Pemeriksaan lapangan oleh Dinas Kehutanan Kutai Timur

Inisiasi proses pengesahan BKU dan RKU

Inisiasi permohonan pengusulan areal RHOI-II

Sintesis 2010-2014 | 15

B. Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung dan Kawasan

Lindung yang Bukan Kawasan Hutan

1. Model rehabilitasi hutan lindung berbasis hasil hutan bukan kayu

Penelitian model rehabilitasi hutan lindung berbasis hasil hutan bukan kayu

dilaksanakan di areal KPHL Rinjani Barat.Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan

menyediakan informasi strategi rehabilitasi hutan terdegradasi dengan luaran akhir

berupa informasi model rehabilitasi hutan lindung berbasis HHBK yang terdiri dari

penentuan lokasi yang harus direhabilitasi, pemilihan jenis HHBK, pola tanam, dan

teknik KTA yang dapat diterapkan.

Pendekatan penelitian secara konseptual disajikan pada Gambar 6, dengan target

luaran dan kegiatan seperti disajikan pada Tabel 4.

Gambar 6. Pendekatan penelitian secara konseptual

Tabel 4. Target luaran dan kegiatan pada tiap tahun kegiatan (2012-2014)

Tahun Luaran Kegiatan

2012 1. Data kondisi biogeofisik Pengumpulan data iklim

Pengamatan kondisi fisik lahan dan sifat fisik tanah

Pengambilan sampel tanah

Analisis sifat fisik dan kimia tanah di laboratorium dan data

biogeofisik

2. Data sosial ekonomi

masyarakat sekitar hutan

lindung

Pengumpulan data sekunder kondisi sosial ekonomi

masyarakat sekitar hutan lindung

Wawancara dengan masyarakat

3. Data penyebaran lokasi

yang harus direhabilitasi

Pengumpulan peta-peta pendukung

Analisis spasial menggunakan GIS : penentuan unit lahan,

kerentanan erosi dan tanah longsor, dan tekanan penduduk

4. Data/informasi jenis

HHBK yang sesuai

Pengumpulan data HHBK potensial

Pengamatan jenis HHBK

Analisis kesesuaian lahan untuk jenis HHBK

Penentuan lokasi yang harus direhabilitasi

Identifikasi karakteristik sosial ekonomi

Pemilihan jenis HHBK potensial

Analisis kondisi geobiofisik

Penentuan teknik KTA

Strategi rehabilitasi Hutan Lindung berbasis HHBK

Sintesis 2010-2014 | 16

Tahun Luaran Kegiatan

5. Data/informasi persiapan

lahan dan penanaman

jenis HHBK terpilih dan

teknik KTA

Persiapan lahan dan penanaman pada plot ujicoba di lokasi

yang harus direhabilitasi

2013 1. Data dan informasi

pertumbuhan jenis HHBK

Pemeliharaan tanaman jenis HHBK

Pengukuran karakteristik tumbuh tanaman jenis HHBK

Analisis data

2. Data dan informasi

kondisi lahan (sifat fisik,

kimia tanah, curah hujan,

aliran permukaan dan

erosi)

Pengambilan sampel tanah

Analisis sifat fisik/kimia tanah

Pemasangan alat penakar curah hujan, pengamatan erosi dan

aliran permukaan

Pengamatan erosi dan aliran permukaan

Analisis data erosi dan aliran permukaan

Analisis data

2014 1. Data dan informasi

pertumbuhan jenis HHBK

(lanjutan)

Pemeliharaan tanaman jenis HHBK

Pengukuran karakteristik tumbuh tanaman jenis HHBK

Analisis data

2. Data dan informasi

kondisi lahan (sifat fisik,

kimia tanah, curah

hujan, aliran permukaan

dan erosi)

Pengambilan sampel tanah

Analisis sifat fisik/kimia tanah

Pengamatan CH, erosi dan aliran permukaan

Analisis data erosi dan aliran permukaan

Analisis data

Hasil penelitian dapat disintesakan sebagai berikut:

a. Penentuan lokasi yang harus direhabilitasi di kawasan hutan lindung

Penentuan lokasi prioritas untuk rehabilitasi hutan lindung dapat menggunakan

parameter kerentanan erosi, longsor dan tekanan penduduk. Penentuan kerentanan

erosi dan longsor menggunakan parameter dan indikator yang dikemukakan Paimin

et.al (2006). Penggunaan paremeter ini didasarkan pada fungsi dari kawasan hutan

lindung yang diantaranya adalah mengendalikan erosi. Pada penelitian ini parameter

dan indikator yang digunakan untuk menentukan kerentanan erosi dan longsor sesuai

yang dikemukakan oleh Paimin et. al. (2006). Formula untuk menentukan tekanan

penduduk terhadap lahan menggunakan persamaan yang dikemukakan Soemarwoto

(1985). Satuan analisis yang digunakan adalah unit lahan dalam kawasan hutan

lindung yang mempunyai kesamaan penutupan lahan, kemiringan lereng dan jenis

tanah. Unit lahan yang mempunyai kerentanan erosi dan longsor tinggi serta tekanan

penduduk > 1 merupakan unit lahan yang menjadi prioritas untuk di rehabilitasi.

Berdasarkan hasil analisis, lokasi-lokasi yang perlu mendapatkan prioritas untuk

direhabilitasi di KPHL Rinjani Barat terbagi menjadi 4 prioritas lokasi. Lokasi yang

harus direhabilitasi yang termasuk prioritas 1 berada di bagian barat kawasan hutan

lindung yang termasuk wilayah Kecamatan Batu Layar dan Kecamatan Pemenang.

Daerah dengan prioritas 2 menyebar di perbatasan hutan lindung bagian selatan dan

Sintesis 2010-2014 | 17

bagian utara, daerah prioritas 3 berada di bagian tengah dan barat serta prioritas 4

berada di bagian selatan. Peta kerentanan longsor, erosi dan prioritas rehabilitasi

disajikan pada Bab III, Sub Bab C.

Karakteristik fisik lokasi prioritas 1 didominasi oleh kemiringan yang curam,

dengan penutupan lahan berupa semak belukar dan pertanian campuran. Tanah pada

lokasi ini mempunyai pH agak masam; kandungan C-organik dan unsur N yang

rendah; KTK yang termasuk kategori sedang; namun mempunyai unsur P dan K

yang tinggi. Pada lokasi prioritas 2, kemiringan lereng lebih bervariasi dari mulai

landai sampai curam; penutupan lahan didominasi hutan sekunder; pH agak masam;

C-organik, unsur N, unsur P dan KTK yang termasuk kategori sedang; serta unsur K

yang tinggi. Lokasi prioritas 3 juga mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi;

penutupan lahan yang didominasi hutan primer; pH tanah agak masam; C-organik,

KTK dan unsur P termasuk kategori sedang; unsur N yang rendah; dan unsur K yang

tinggi. Pada lokasi prioritas 4, penutupan lahan berupa hutan primer; pH agak

masam; unsur N, KTK dan P termasuk sedang; serta C-organik dan unsur K yang

tinggi. Tipe iklim pada semua lokasi pada umumnya didominasi oleh tipe iklim D

dan E, serta kondisi tekanan penduduk terhadap lahan yang tinggi (TP>1).

b. Pemilihan jenis HHBK yang akan dikembangkan

Pemilihan jenis HHBK yang akan dikembangkan didasarkan pada kesesuaian

jenis terhadap lahan, aspirasi masyarakat, karakteristik sistem perakaran, dan prospek

pasar. Pada penelitian ini kesesuaian jenis terhadap lahan pada lokasi yang harus

direhabilitasi menggunakan metode macthing antara karakteristik lahan dan

kebutuhan tanaman (Ritung, et.al., (2007) dengan pembagian kelas kesesuaian

berdasarkan FAO (1976). Sistem perakaran yang diamati adalah Indeks Jangkar

Akar (IJA) dan Indeks Cengkram Akar (ICA) yang dikemukakan oleh Hairiah, et.al.

(2008) serta arsitektur perakaran yang dikemukakan Yen (1987). Informasi jenis

HHBK yang sesuai aspirasi masyarakat dan potensi pasarnya dilakukan dengan

wawancara masyarakat sekitar hutan lindung.

Berdasarkan hasil analisis jenis HHBK yang dapat dikembangkan untuk

rehabilitasi hutan lindung di KPHL Rinjani Barat pada tiap lokasi prioritas untuk

direhabilitasi disajikan pada Tabel 5.

Faktor pembatas dalam upaya rehabilitasi hutan lindung di KPHL Rinjani

Barat pada umumnya terdiri dari iklim, tanah dan topografi. Faktor iklim

berhubungan erat dengan ketersediaan sumber daya air di mana jumlah bulan kering

yang lebih panjang. Tekstur yang didominasi fraksi pasir dan rendahnya unsur hara

merupakan faktor pembatas tanah, sedangkan faktor topografi pada umumnya adalah

kemiringan lereng yang terjal. Penerapan teknik KTA merupakan salah satu upaya

untuk mengatasi faktor pembatas, dan pemupukan untuk masalah rendahnya unsur

hara.

Sintesis 2010-2014 | 18

Tabel 5. Jenis HHBK yang dapat dikembangkan dalam rehabilitasi hutan lindung di

KPHL Rinjani Barat.

Prioritas Faktor

pembatas

Jenis yang sesuai

dan sesuai marjinal ICA IJA

Arsitektur

perakaran

1 kelerengan,

iklim, tanah

Kayu putih, Nangka, Alpukat,

Nyamplung, Kepuh, Sukun,

Ceruring, Sawo, Mangga, Sirsak

Sedang –

Tinggi

Rendah –

Tinggi Tipe-R

2 kelerengan,

iklim, tanah

Kemiri, Durian, Alpukat, Nangka,

Nyamplung, Rambutan, Melinjo,

Gaharu, Sukun, Manggis, Ceruring,

Sawo, Sirsak, Karet,Cengkeh

3 kelerengan,

tanah

Kemiri, Durian, Alpukat,

Nangka,Melinjo, Gaharu, Sukun,

Manggis, Ceruring, Sawo, Sirsak,

Karet,Cengkeh

4 kelerengan,

iklim, tanah

Kemiri, Durian, Alpukat,

Nangka,Melinjo, Gaharu, Sukun,

Manggis, Ceruring, Sawo, Sirsak,

Karet,Cengkeh

Secara umum jenis HHBK pada Tabel 5 mempunyai akar vertikal yang relatif

besar dan akar horizontal yang relatif cukup. Kondisi ini mengindikasikan bahwa

jenis-jenis ini mempunyai peran yang potensial dalam stabilisasi lereng sehingga

akan mengurangi risiko terjadinya tanah longsor. Abe dan Ziemer (1991)

menjelaskan bahwa akar-akar horizontal yang menyebar di lapisan permukaan tanah

akan mencengkram tanah dan akar-akar vertikal sebagai jangkar akan menopang

tegaknya pohon sehingga tidak mudah tumbang oleh adanya pergerakan massa tanah.

Di sisi lain, lereng pada umumnya akan lebih stabil apabila ditutupi oleh vegetasi

dengan akar yang mampu menembus lapisan tanah dalam. Besarnya kerapatan akar

pada lapisan permukaan juga penting untuk menurunkan kandungan air tanah dan

meningkatkan ketahanan geser tanah yang pada akhirnya dapat mengurangi resiko

terjadinya longsor (Hairiah et. al., 2008; Ali, 2010).Arsitektur perakaran tipe-R dari

jenis HHBK pada Tabel 5 merupakan tipe yang paling efektif dalam meningkatkan

kekuatan geser tanah. Hasil penelitian Fan dan Yu-wen (2010) terhadap lima jenis

tanaman dengan arsitektur perakaran yang berbeda menunjukkan bahwa tipe-R

memberikan peningkatan kuat geser yang paling besar bila dibandingkan dengan tipe

lainnya. Efisiensi arsitektur perakaran tipe-R dalam meningkatkan kuat geser

mencapai 56% dari tipe lainnya.

c. Pola tanam yang dapat diterapkan dalam rehabilitasi hutan lindung

Pola tanam yang dapat diterapkan dalam rehabilitasi hutan lindung adalah pola

campuran dan teknik KTA yang dapat diterapkan berupa teras jalur rumput/serai/laos

atau teras gulud dengan penguat rumput/serai/laos. Pola tanam campuran merupakan

salah satu bentuk kemitraan dan optimalisasi penggunaan lahan sehingga diharapkan

mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi. Hal ini didasarkan hasil analisis

Sintesis 2010-2014 | 19

di beberapa desa sekitar hutan lindung menunjukkan bahwa pendapatan penduduk

masih rendah dengan rata-rata berkisar antara Rp.400.000 – Rp. 600.000/bulan dan

lebih dari 75% dari pendapatan tersebut berasal dari kegiatan pertanian.

Pada penelitan ini telah dibangun plot penelitian rehabilitasi hutan lindung

berbasis HHBK sebagai bentuk proses eksperimentasi berdasarkan hasil yang

diperoleh dari proses konseptualisasi. Plot penelitian yang dibangun terdiri dari 2

lokasi yaitu di Dusun Longserang Utara, Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok

Barat, serta Dusun Lendang Luar, Desa Malaka, Kecamatan Pamenang, Lombok

Utara.

Jenis HHBK yang dikembangkan di lokasi Dusun Longserang Barat Utara

adalah HHBK penghasil buah yaitu durian (Durio zibethinus), kemiri (Aleurites

moluccana), kluwih (Artocarpus altilis) dan manggis (Garcinia mangostana). Pola

tanam yang optimal yang dapat diterapkan di lokasi ini adalah tanaman HHBK yang

dikombinasikan dengan tanaman semusim berupa nanas dan ubi kayu serta

penerapan teras jalur vegetatif berupa laos. Sampai dengan tahun pertama, jenis

HHBK yang ditanam mempunyai rata-rata diameter lebih dari 10 mm dan tinggi

rata-rata lebih dari 50 cm untuk semua jenis yang ditanam. Jenis kemiri mempunyai

pertumbuhan diameter dan tinggi yang lebih besar bila dibandingkan dengan jenis

lainnya yaitu 8,1 mm untuk diameter dan 23 cm untuk tinggi. Jenis manggis yang

termasuk tanaman lambat tumbuh, mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter

rata-rata 13,3 cm dan 3,3 mm.

Penerapan teknik KTA vegetatif berupa jalur laos mampu meningkatkan potensi

infiltrasi sehingga air yang tersedia untuk tanaman relatif lebih besar, mampu

menekan aliran permukaan dan mampu menekan besarnya erosi sampai dengan

44% dibandingkan dengan pola yang biasa dilakukan penggarap. Hasil penelitian

Thiefelder dan Patrick (2009) menyatakan bahwa penerapan teknik konservasi tanah

pada lahan pertanian mempunyai kapasitas infiltrasi dan kelembaban tanah yang

lebih besar bila dibandingan dengan pertanian konvensional tanpa penerapan teknik

KTA.

2. Ujicoba rehabilitasi hutan lahan kering berbasis tanaman hasil hutan

bukan kayu

Penelitian dilakukan selama 3 tahun (2012-2014). Hingga awal tahun 2014,

kegiatan yang dilakukan, meliputi: a). Penanaman kemiri sunan (Aleurites trisperma

Blanco) family Euphorbiaceae, kepuh (Sterculia foetida L.) Family Malvaceae,

malapari/kranji (Pongamia pinnata (L.) Pierre), Family Fabaceaedan bintaro

(Cerbera manghas L.) Family Apocynaceae, serta jenis pengisi Gaharu (Gyrinops

versteegii Gilg.) Family Thymelaeaceae dan cendana (Santalum album L.) Family

Santalaceae; b). Pemeliharaan tanaman; c). Pemberian pupuk kandang; d).

Pengukuran persen tumbuh dan pertumbuhan tanaman; dan e). Evaluasi kesuburan

lahan dan pengukuran curah hujan di KPH Rinjani Barat dan KPH Bali Timur

Sintesis 2010-2014 | 20

Pengaruh positif mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman diketahui relatif

konsisten untuk jenis kemiri sunan dan kranji, baik di persemaian maupun di

lapangan di kedua lokasi penelitian. Pengaruh perlakuan lain yang tidak kalah

penting adalah pemberian pupuk kandang serta kombinasi pemberian pupuk kandang

dengan mikoriza. Pengaruh pemberian pupuk kandang dapat terlihat pada jenis

kemiri sunan (parameter tinggi) dan bintaro (parameter diameter) di Batulayar,

sedangkan pengaruh pemberian pupuk yang dikombinasikan dengan mikoriza pada

tingkat lapangan terlihat pada jenis kepuh (parameter tinggi dan diameter) dan

bintaro (parameter tinggi) di lokasi tersebut.Kondisi pertumbuhan tanaman di

Batulayar disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kondisi tanaman di Batulayar

(a. Kranji; b. Kemiri Sunan; c. Kepuh; dan d. Bintaro)

Pemberian pupuk kandang tidak menunjukkan pengaruh terhadap parameter

tinggi dan diameter di Nusapenida, sedangkan pemberian pupuk kandang yang

dikombinasikan dengan mikoriza memberikan pengaruh terhadap kemiri sunan

a. b.

c. d.

Sintesis 2010-2014 | 21

(parameter tinggi). Dengan hasil tersebut, maka pemberian mikoriza, pupuk kandang

maupun pupuk kandang yang dikombinasikan dengan mikoriza dapat dipergunakan

sebagai stimulan untuk meningkatkan riap tinggi terutama tanaman kemiri sunan dan

kranji, dan terdapat pula indikasi kuat bahwa ketiga perlakuan tersebut mampu

meningkatkan riap tinggi dan diameter jenis bintaro dan kepuh. Adapun kondisi

tanaman di Nusapenida seperti disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Kondisi tanaman di Nusapenida

(a. Kemiri Sunan; b. Kepuh; c. Bintaro; dan d. Kranji).

Di lain pihak, persen tumbuh tanaman diduga dipengaruhi langsung oleh

cekaman lingkungan yang tinggi dan gangguan yang terjadi, selain oleh perlakuan.

Cekaman lingkungan yang tinggi telah menyebabkan 40-60% tanaman di

Nusapenida mati mengering, meskipun tanaman dengan kemampuan regenerasi yang

tinggi seperti bintaro (Gambar 7). Secara khusus diketahui bahwa kegagalan tumbuh

kepuh di lokasi ini disebabkan pula oleh gangguan satwaliar (Gambar 8). Di

Batulayar, meskipun cekaman lingkungan lebih rendah daripada di Nusapenida,

gangguan berupa pemangkasan batang terjadi pada hampir 30% tanaman (Gambar

9). Di tengah cekaman lingkungan dan gangguan tersebut, persen tumbuh tanaman

cukup tinggi (69-76%) di Batulayar. Sebaliknya, persen tumbuh tanaman sangat

rendah hanya 29-41% di Nusapenida (Tabel 6).

a. b.

c. d.

Sintesis 2010-2014 | 22

Tabel 6. Persen tumbuh tanaman tahun pertama di lokasi Batulayar dan Nusapenida

Jenis Persen tumbuh (%)

Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza Rata-rata

Batulayar

Kepuh 73 78 78 71 75

Kemiri Sunan 64 68 69 77 69

Bintaro 75 80 76 74 76

Kranji 78 78 64 79 75

Rata-rata 73 76 72 75 74

Nusapenida

Kepuh 0 0 0 0 0

Kemiri Sunan 31 35 30 19 29

Bintaro 48 41 39 35 41

Kranji 30 30 27 37 31

Rata-rata 27 26 24 23 25

Gambar 9. Tunas baru muncul pada

tanaman bintaro yang batang

utamanya telah mati mengering

akibat cekaman panas dan

kekeringan di Nusapenida.

Gambar 10. Tanaman mati dicabut satwaliar dengan bagian akar rusak (kiri) dan

tanaman mati mengering akibat cekaman panas dan kekeringan (kanan) di

Nusapenida

Sintesis 2010-2014 | 23

Gambar 11. Contoh pemangkasan terhadap tanaman Kepuh (a) dan tanaman

Kranji (b) yang diakibatkan oleh petani penggarap di lokasi Batulayar

Pada aspek kesuburan lahan, diketahui beberapa perbedaan di kedua lokasi

penelitian. Perbedaan tersebut di antaranya adalah pH, kandungan N, C, C/N, KTK,

Ca dan Mg. Hasil analisa menunjukkan pH yang agak masam (6,04) di Batulayar dan

agak alkalis (7,45) di Nusapenida. Sementara itu, kandungan N, C, C/N, KTK, Ca

dan Mg di Batulayar berturut-turut 0,1%, 0,5%, 5,44, 7,05 cmol(+)/kg, 0,09% dan

0,2%. Nilai-nilai tersebut untuk di Nusapenida masing-masing sebesar: 0,3%, 2,73%,

9,38, 30,24 cmol(+)/kg, 0,19% dan 0,39%. Dari nilai-nilai tersebut, diketahui bahwa

sifat kimia tanah di lokasi Nusapenida lebih baik dibandingkan Batulayar. Namun,

secara umum nilai-nilai tersebut masih pada kategori rendah menurut panduan

analisa tanah dari Bolsa Analytical tahun 2007. Sementara itu, pemberian pupuk

kandang belum memberikan peningkatan kesuburan tanah di kedua lokasi penelitian.

Secara umum diketahui bahwa tekstur tanah di kedua lokasi penelitian sama,

yaitu pasir berlempung. Sementara itu, ketebalan tanah dan kondisi batuan di

Nusapenida menunjukkan kondisi yang lebih ekstrim, di lokasi ini solum tanah

dangkal (< 20 cm), sedangkan bongkahan-bongkahan batu kapur ditemukan tersebar

secara merata di seluruh bagian lahan. Hal tersebut menyebabkan sempitnya

ketersediaan ruang bagi perakaran tanaman. Di Batulayar, kondisi solum tanah tebal

(> 1 m), sedangkan bongkahan batuan vulkanik terakumulasi secara sempit di

beberapa bagian lahan. Kondisi khas di daerah ini adalah jenis tanahnya yang

berporositas tinggi, yaitu jenis tanah Regosol. Jenis tanah ini mempunyai

kemampuan meluluskan air yang tinggi (Hardjowigeno, 2007) yang sangat mungkin

menyebabkan rendahnya ketersediaan hara dan air bagi akar.

Ketersediaan air untuk budidaya yang rendah merupakan kendala besar dalam

mendukung rehabilitasi lahan di wilayah Nusapenida. Pada kondisi solum tanah yang

tipis dan berbatu, ketersediaan air pada tanah yang rendah menekan kemampuan

Sintesis 2010-2014 | 24

tumbuh tanaman di lapangan. Curah hujan kumulatif di Nusapenida periode

Desember 2012 hingga Desember 2013 sebesar 995 mm, sedangkan di Batulayar

sebesar 1.495 mm. Hasil uji statistik pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan

intensitas hujan harian di kedua lokasi penelitian secara signifikan berbeda. Intensitas

hujan di Nusapenida sebesar 19 mm/hari sedangkan di Batulayar 38 mm/hari.

Perbedaan tersebut diduga memberikan perbedaan ketersediaan air yang berarti bagi

tanaman yang mempengaruhi kondisi pertumbuhannya. Hal tersebut memerlukan

penanganan yang khusus. Sementara itu, penggunaan mikoriza yang diharapkan

mampu meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman belum mampu meningkatkan

persen tumbuh di atas 70%. Untuk tujuan penanaman yang lebih berhasil di

Nusapenida, penyiraman tanaman dan konservasi air, diantaranya pengoptimalan air

pada musim hujan (Suripin, 2002) diperlukan.

Sintesis 2010-2014 | 25

V. VALUASI HUTAN LINDUNG

Kegiatan penelitian valuasi hutan lindung dilaksanakan di tiga lokasi, yaitu di

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat (Nusa Tenggara Barat),

KPHL Pulau Tarakan (Kalimantan Timur), dan KPHL Gunung Mutis (Nusa

Tenggara Timur) dengan fokus penelitian yang berbeda.

A. Kajian Status, Potensi dan Manfaat Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat

KPH Rinjani Barat ditetapkan sebagai KPHL Model sesuai dengan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor SK.785/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 yang

mencakup areal seluas 40.983 ha (Gambar 12).

Gambar 12. Peta penetapan KPHL model Rinjani Barat

1. Potensi pemanfaatan

Pemanfaatan kawasan hutan pada KPHL Rinjani Barat sebagian besar

merupakan pengelolaan hutan bersama masyarakat, baik swadaya (seperti HKm

Sesaot), maupun yang didukung program pemerintah seperti Pembangunan Hutan

Tanaman Unggulan Lokal (PHTUL) pada areal eks HPH di Monggal, dan HKm di

Santong. Jenis tanaman pokok yang dikembangkan pada PHTUL dan HKm tersebut

meliputi Sengon, Rajumas, Mahoni, serta tanaman MPTS seperti Gaharu, Durian,

Nangka, Melinjo dan Bambu. Selain itu dikembangkan juga tanaman produktif yang

mampu tumbuh di bawah tegakan hutan seperti Cacao, Vanili, Kopi, Talas dan

Empon-Empon.

Sintesis 2010-2014 | 26

Jenis pemanfaatan kawasan hutan lainnya meliputi KHDTK (Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus) Pusat Penelitian Budidaya Gaharu oleh Fakultas Pertanian

Universitas Mataram di Senaru, serta Ijin Usaha Pembangunan Hutan Tanaman

Industri (IUP-HTI) PT. Sadhana Arif Nusa yang akan mengembangkan jenis

tanaman unggulan lokal yang dikombinasikan dengan tanaman penghasil energi

(kayu bakar) dan tanaman produktif di bawah tegakan hutan.

Keberadaan beberapa jenis vegetasi di hutan alam juga dapat dimanfaatkan,

diantaranya sebagai tumbuhan obat, seperti pulai (Alstonia scholaris) yang

dimanfaatkan oleh masyarakat Pulau Lombok untuk obat malaria, Kumbi (Ervatamia

sphaerocarpa Burkil) yang digunakan untuk obat kulit.

Keberadaan DAS di kawasan hutan lindung sangat berpengaruh terhadap tata air

untuk memenuhi kebutuhan bagi masyarakat (air minum/PDAM, bendungan irigasi,

mikrohydro). Beberapa penggunaan kawasan tersebut mempunyai prospek untuk

dikerjasamakan dalam pengelolaan hutan.

2. Potensi keanekaragaman hayati

Dari hasil pengamatan di 13 lokasi yang tersebar di kawasan KPHL Rinjani

Barat ditemukan 104 jenis (90 jenis teridentifikasi, 14 jenis belum teridentifikasi).

Pada kawasan yang berpenutupan hutan alam didominasi oleh jenis-jenis Premna

tomentosa, Ervatamia sphaerocarpa, Dracontomelon dao, Aglaia tomentosa,

Polyalthia lateriflora, Saurauia nudiflora, Syzygium clavimyrtus, Laportea stimulans

dan Saccopetalum koolsii. Pada kawasan yang dikelola dengan sistem agroforestri,

jenis tanaman pertanian yang dominan ditemukan adalah Coffea sp., Musa sp.,

Theobroma cacao dan Anacardium occidentale, sedangkan tanaman penghasil buah

dan kayu yang dominan adalah Artocarpus heterophyllus, Mangifera indica, Arenga

pinnata, Cocos nucifera dan Durio zibethinus. Beberapa tanaman penghasil kayu

yang sering dikombinasikan dengan tanaman pertanian yaitu Erythrina variegata,

Dalbergia latifolia, Swietenia macrophylla, Falcataria moluccana dan Ceiba

pentandra. Selain itu, ditemukan jenis tanaman asli hutan alam lahan kering

pegunungan di Lombok, seperti Duabanga moluccana, Engelhardtia spicata, Litsea

accedentoides, dan Pterospermum javanicum.

Hasil analisis plot pengamatan di kawasan dengan penutupan vegetasi hutan

alam ditemukan 60 jenis dengan dbh > 5 cm (tergolong dalam 48 genus dan 30

famili). Berdasarkan nilai penting suatu jenis, tidak terlihat adanya jenis yang sangat

menguasai areal pengamatan (Tabel 7).

Tabel 7. Kerapatan relatif (KR), Dominasi relatif (DR), Frekuensi relatif (FR) dan

nilai penting (NP) dari 15 jenis dominan di hutan alam (dbh>5cm)

No Jenis KR (%) DR (%) FR

(%)

NP

(%)

1 Dracontomelon dao (Blanco) Merr & Rolfe 9,4 14,1 6,6 30,1

2 Ervatamia sphaerocarpa Burkil 10,8 9,6 6,6 27,0

Sintesis 2010-2014 | 27

No Jenis KR (%) DR (%) FR

(%)

NP

(%)

3 Engelhardtia spicata Bl. 3,0 19,6 3,6 26,2

4 Premna tomentosa Willd. 13,6 4,6 2,4 20,5

5 Ficus sp. 1,4 11,7 2,4 15,6

6 Saurauia nudiflora DC 7,0 3,6 1,8 12,4

7 Polyalthia lateriflora King. 5,6 1,3 5,4 12,3

8 Laportea stimulans (Lf) Gaud 3,8 3,3 3,6 10,8

9 Erythrina variegata L. 2,0 3,8 3,0 8,8

10 Aglaia euisideroxylon K. et. V. 3,2 2,0 3,6 8,8

11 Palaquium obtusifolium Burck. 2,4 2,4 3,6 8,4

12 Syzygium clavimyrtus K. et. V. 2,0 1,5 3,6 7,1

13 Saccopetalum koolsii Kosterm. 2,8 1,7 2,4 6,9

14 Baccaurea recemosa (Reinw.) Muell.Arg. 2,4 0,5 3,6 6,5

15 Syzygium cumini [Linn. ] Skeels. 0,8 3,8 1,8 6,4

Berdasarkan indeks nilai penting suatu jenis dapat ditentukan indeks

keanekaragaman jenis (Shannon-Wiener index, H’) pada seluruh plot pengamatan,

yaitu H’ = 3,51. Nilai indeks ini mengindikasikan bahwa kawasan berpenutupan

hutan di KPHL Rinjani Barat memiliki kakayaan jenis pohon dengan kategori tinggi.

Berdasarkan nilai keanekaragaman jenis tersebut, selanjutnya dapat ditentukan nilai

kemerataan jenis dalam komunitas (1,97) yang ditentukan oleh distribusi setiap jenis

pada masing-masing plot secara merata. Makin merata suatu jenis dalam seluruh

lokasi penelitian maka makin tinggi nilai kemerataannya.

3. Potensi simpanan (stok) karbon hutan

Potensi stok karbon yang tersimpan di kawasan hutan lindung dihitung dari

komponen ekosistem bagian atas tanah, meliputi biomassa pohon (kecuali akar),

tumbuhan bawah, serasah dan kayu mati. Penilaian potensi dilakukan dengan metode

penarikan contoh secara destruktif untuk serasah, tumbuhan bawah dan kayu mati;

sedangkan untuk biomassa pohon dilakukan dengan pendekatan model alometrik.

Hasil penelitian di 13 lokasi pengamatan menunjukkan kondisi penutupan vegetasi

yang beragam, meliputi hutan alam, hutan mahoni, agroforestri campuran, tanaman

coklat-dadap dan semak belukar; dimana hutan alam masih ditemukan mendominasi

di sebagian besar kawasan. Kondisi ini berdampak pada keberagaman potensi stok

karbon yang dimiliki, yaitu rata-rata di hutan alam (156,48 ton/ha), hutan mahoni

(210,41 ton/ha), agroforestri campuran (102,47 ton/ha), coklat-dadap (28,07 ton/ha)

dan semak belukar (2,27 ton/ha) (Gambar 13).

Sintesis 2010-2014 | 28

Gambar 13. Grafik total stok karbon (vegetasi bagian atas tanah, serasah dan kayu

mati) pada masing-masing lokasi pengamatan

4. Potensi ekowisata

Terdapat beberapa potensi obyek wisata di KPHL Rinjani Barat yang potensial

dikembangkan tetapi belum dikelola dan lokasi obyek wisata yang sudah dikelola

dan dimanfaatkan, yaitu Taman Wisata Pusuk Pass, Hutan Wisata Aik Nyet dan Air

Terjun Timponan di Kabupaten Lombok Barat, dan Air Terjun Kerta Gangga dan

Sendang Gile di Kabupaten Lombok Utara.

Taman Wisata Pusuk Pass

Pusuk Pass adalah taman wisata yang terletak di perbatasan antara Kabupaten

Lombok Barat dan Lombok Utara (Gambar 14). Taman wisata ini didominasi oleh

jenis-jenis pohon mahoni yang masih asri, dilengkapi dengan tempat singgah dan

terdapat pedagang yang menjual makanan tradisional. Taman Wisata Pusuk Pass

menyajikan sebuah keindahan alam yang luar biasa seperti hijaunya pegunungan

yang dihiasi dengan rimbunnya pepohonan, tebing-tebing curam dan juga keindahan

laut Lombok Utara.

Gambar 14. Obyek wisata Pusuk Pass

0

50

100

150

200

250

C-s

tock

(to

n C

/ha)

Sintesis 2010-2014 | 29

Hutan Wisata Aik Nyet

Hutan Wisata Aik Nyet terletak di Dusun Aik Nyet, Desa Buwun Sejati,

Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat (Gambar 15). Dusun Aik Nyet

sendiri merupakan salah satu kawasan pedusunan yang masuk dalam kawasan

pinggiran hutan lindung Sesaot yang mayoritas penduduknya berasal dari Suku

Sasak. Di tempat ini terdapat sumber mata air dan aliran sungai yang jernih, dengan

pepohonan hutan yang masih rimbun didominasi oleh jenis pohon mahoni. Kawasan

ini sangat cocok untuk tempat rekreasi bagi keluarga yang kebetulan hendak mencari

suasana tenang di tengah gemericik aliran air dan juga cocok untuk lokasi berkemah.

Gambar 15. Obyek wisata Aik Nyet

Air Terjun Timponan

Air Terjun Timponan terletak di Dusun Rumbuk, Kecamatan Lingsar,

Kabupaten Lombok Barat (Gambar 16). Air Terjun Timponan berada di kedalaman

hutan wisata Sesaot, posisinya tepat diujung lahan perkebunan warga. Air terjun ini

memiliki ketinggian sekitar 35 m dengan posisi terjunan air yang vertikal.Airnya

cukup jernih dan dingin dengan debit yang tidak terlalu besar.Di bawahnya terdapat

kolam yang berdiameter sekitar 10 m yang banyak dihuni binatang air seperti

kepiting, udang dan ikan kecil.

Gambar 16. Obyek wisata Air Terjun

Timponan

Sintesis 2010-2014 | 30

Air Terjun Kerta Gangga

Air Terjun Kerta Gangga terletak di Dusun Kertaraharja, Desa Gengelang,

Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara (Gambar 17). Air Terjun Kerta

Gangga memiliki dua tingkatan, satu di bawah dan dua di atas. Untuk tingkatan yang

di atas letaknya berdampingan, akan tetapi satu letaknya agak tersembunyi, dimana

untuk mencapainya harus melewati jembatan bambu kecil. Masing-masing

ketinggian Air Terjun Kerta Gangga mencapai 35 hingga 40 meter, dengan nuansa

alami nanelok. Di lokasi ini, tidak hanya pemandangan air terjun yang dapat dilihat,

akan tetapi juga dengan pemandangan sawah dan lautan yang tidak kalah indahnya

dengan air terjun Kerta Gangga. Udara yang sejuk akan membuat pengunjung betah

berlama-lama di lokasi ini.

Gambar 17. Obyek Wisata Air Terjun Kerta Gangga

Air Terjun Sendang Gile

Air Terjun Sendang Gile berada di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara

(Gambar 18). Airnya sangat sejuk dan dingin karena berasal dari Gunung Rinjani.

Air terjun yang memiliki ketinggian sekitar 30 meter ini berada pada ketinggian

tempat 600 meter dari atas permukaan laut. Air yang turun dari atas tebing langsung

meluncur ke sebuah sungai yang dangkal yang sering digunakan pengunjung untuk

berendam dan bermain air. Ada sebuah mitos seputaran air terjun ini yaitu

masyarakat setempat percaya bahwa air terjun ini memiliki unsur magis, barang

siapa yang membasuh muka di air terjun ini akan kelihatan satu tahun lebih muda

dari yang sebenarnya.

Sintesis 2010-2014 | 31

Gambar 18. Obyek Wisata Air Terjun Sendang Gile

Nilai imbal jasa lingkungan terhadap manfaat wisata alam di sekitar KPHL

Rinjani Barat dan di Kawasan Rinjani Barat yang potensial dikembangkan

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung di obyek wisata, besar biaya

perjalanan yang dikeluarkan untuk berwisata sangat bervariasi antara Rp. 12.000,-

sampai dengan Rp. 3.520.000,-. Sebagian besar alokasi biaya perjalanan digunakan

untuk biaya konsumsi (47%), dan transportasi serta akomodasi (45%). Harga tiket

masuk pada obyek wisata yang telah dikenakan tarif masuk hanya memberikan rata-

rata beban biaya perjalanan sebesar 4% dari total alokasi biaya perjalanan yang

dikeluarkan (harga tiket masuk berkisar antara Rp. 2.000,- sampai dengan Rp.

50.000,-).

Seluruh pengunjung yang menjadi responden setuju untuk mempertahankan

keberadaan dan keindahan obyek wisata dengan nilai rata-rata willingness to pay

(WTP) sebesar Rp. 161.190,-/tahun (median: Rp. 50.000,-/tahun) sedangkan nilai

willingness to accept (WTA) sebesar Rp. 318.375,-/tahun (median: Rp. 100.000,-).

Secara umum nilai WTA adalah dua kali dari nilai WTP.

5. Potensi Sumberdaya Air

Sumber mata air di Kabupaten Lombok Barat

Salah satu sumber mata air besar yang disurvei di Kabupaten Lombok Barat

terdapat di hutan lindung Sesaot (Gambar 19), dimana terdapat 56 sumber mata air

yang bermuara di Sungai Sesaot. Sumber mata air di hutan lindung Sesaot

dimanfaatkan sebagai irigasi pertanian skala besar serta untuk kebutuhan rumah

tangga, khususnya di Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan sebagian

Kabupaten Lombok Tengah.

Sintesis 2010-2014 | 32

Gambar 19. Sumber mata air dan tutupan vegetasi di hutan lindung Sesaot

Selain hutan lindung Sesaot, survei sumber mata air besar di Kabupaten Lombok

Barat juga dilakukan di hutan Pusuk Lestari (Gambar 20), yang terletak di daerah

perbatasan antara Kabupaten Lombok Barat dengan Kabupaten Lombok Utara.

Kawasan hutan Pusuk Lestari sebelumnya merupakan hutan alam yang didominasi

berbagai jenis, yang kemudian pada tahun 1984 dilakukan reboisasi dengan jenis

tanaman mahoni. Terdapat beberapa mata air di kawasan hutan ini, seperti mata air

Merita, mata air Kali Cemporonan, mata air Eyat Semaye. Sumber mata air ini

dimanfaatkan warga Desa Pusuk untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga

dengan jarak dari sumber mata air ± 1.5 km.

Gambar 20. Sumber air dan tutupan vegetasi di Hutan Pusuk Lestari

Sumber mata air di Kabupaten Lombok Utara

Survei sumber mata air di Kabupaten Lombok Utara dilakukan di kawasan hutan

lindung Santong, Kecamatan Kayangan yang termasuk dalam DAS Sidutan. Di desa

Sintesis 2010-2014 | 33

Santong terdapat bendungan Santong seluas 1471 Ha yang dimanfaatkan untuk

irigasi, mikrohidro dan air bersih (Gambar 22).

Gambar 21. Bendungan Santong dan tutupan vegetasi di hutan Santong

Pemanfaatan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih

Secara umum terdapat dua pola pemanfaatan sumber daya air untuk pemenuhan

kebutuhan air bersih, yaitu secara komersial dan non-komersial. Pemanfaatan sumber

daya air secara komersial misalnya melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga, industri dan perkantoran di

wilayah Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram dan sebagian wilayah di

Kabupaten Lombok Tengah. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya air secara non-

komersial dilakukan oleh lembaga pengelola air (baik secara tradisional maupun

modern) untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga di sekitar kawasan.

Pemanfaatan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih secara

non-komersial

Nilai rata-rata willingness to pay (WTP) untuk mempertahankan keberadaan

hutan KPHL Rinjani Barat sebagai penyedia sumber daya air sebesar Rp 56.000,-

/tahun (min: Rp.1000,-/tahun, max: Rp.200.000,-/tahun); sedangkan nilai rata-rata

WTP terhadap pemanfaatan sumber mata air adalah Rp.45.692,-/tahun. Nilai estimasi

ini lebih tinggi dari nilai imbal jasa lingkungan yang diimplementasikan di

Kabupaten Lombok Barat yang ditentukan berdasarkan hasil studi WTP pelanggan

PDAM yang dilakukan oleh PDAM Giri Menang-Mataram dan LP3ES/Konsepsi

Nusa Tenggara Barat, yaitu hanya sebesar Rp.1000,-/bulan atau Rp.12.000,-/tahun.

Pemanfaatan sumberdaya air untuk pemenuhan kebutuhan energi

Pemanfaatan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan energi secara

komersial dikembangkan di Sesaot melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga

Mikro Hidro (PLTMH) Sesaot. Pembangunan PLTMH Sesaot merupakan salah satu

Sintesis 2010-2014 | 34

tindak lanjut dari program promosi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia

dalam rangka menghemat pemakaian sumber energi fosil dan mengurangi dampak

terhadap pemanasan global.

PLTMH Sesaot merupakan minihidro dengan konsep run off river dengan debit

air yang digunakan sebesar 5 m3/detik (Gambar 22). Dengan konsep ini maka

penggunaan air untuk keperluan pembangkit tidak menggangu aliran maupun fungsi

sungai. Aliran air sekedar disadap untuk menggerakkan turbin dan dikembalikan lagi

ke aliran sungai Keling. Bendung dan intake berfungsi untuk mengarahkan aliran air

ke bak penenang (forebay), bukan untuk menampung air.

Gambar 22. Instalasi PLTMH Sesaot

Nilai imbal jasa lingkungan manfaat air terhadap masyarakat

Nilai imbal jasa lingkungan dengan dimanfaatkannya sumberdaya air untuk

PLTMH Sesaot oleh masyarakat kawasan Sesaot (Desa Buwun Sejati dan Desa

Sesaot) didasarkan pada kesepakatan antara PT. Tirta Daya Rinjani dengan

masyarakat Kawasan Sesaot. Masyarakat kawasan Sesaot berhak memperoleh dana

dari hasil penjualan alokasi daya listrik maksimal yang dialokasikan ke masyarakat

sebesar 50 kilo watt melalui koperasi Sugih Engger. Pada saat produksi maksimal

tidak tercapai (1 Megawatt) karena turunnya debit air, masyarakat kawasan Sesaot

memperoleh alokasi dana sebesar Rp. 60.000.000,- setiap tahun.

Pengelolaan dana PLTMH dilakukan oleh tim tujuh dalam wadah koperasi

Sugih Engger. Adapun alokasinya diperuntukkan untuk pemerintahan desa Buwun

Sejati (20%), Desa Sesaot (10%), Tim Tujuh (15%), Koperasi Sugih Engger (35%)

dan Forum Kawasan (20%). Alokasi dana untuk pemerintah desa digunakan untuk

biaya kegiatan desa, bantuan sosial, pembangunan dan perbaikan infrastruktur desa.

Alokasi dana untuk tim tujuh dipergunakan untuk operasional, insenstif pengamatan

debit air dan pemeliharaan DAS. Alokasi dana PLTMH oleh koperasi dipergunakan

mengembangkan kegiatan koperasi. Sedangkan dana PLTMH oleh Forum Kawasan

Hutan Lindung Sesaot dipergunakan untuk operasional kegiatan forum dan upaya

konservasi hutan dan perlindungan mata air.

Sintesis 2010-2014 | 35

Pemanfaatan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan irigasi pertanian

Survei pemanfaatan sumberdaya air untuk pengairan/irigasi pertanian dilakukan

di Saluran Primer Jurang Sate dan Bendungan Batujaidi Lombok Tengah (Gambar

23). Saluran Primer Jurang Sate merupakan saluran yang mengalirkan air dari Sungai

Jangkok, Sungai Sesaot dan Sungai Keru dari Kabupaten Lombok Barat ke Lombok

Tengah untuk mendukung aliran air Sungai Babak dari Lombok Tengah atau sering

disebut dengan saluran HLD (high level disversion) Jangkok-Babak. Daerah Irigasi

ini dibangun sejak tahun 1935 dengan total luas areal irigasi 6.551 Ha.

Bendungan Batujai dibangun pada tahun 1978 untuk menghindari krisis air

akibat berkurangnya curah hujan dan bencana rawan pangan yang menimpa daerah

ini (khususnya Pulau Lombok bagian selatan) akibat minimnya air yang mampu

mengairi pertanian di daerah ini. Bendungan ini dapat mengaliri areal pertanian

seluas 3.500 Ha. Selain bermanfaat untuk irigasi, kehadiran bendungan ini juga

membuka peluang lain bagi penduduk di daerah sekitarnya, seperti sumber air baku,

usaha perikanan dan tempat wisata. Pada musim hujan, bendungan ini menjadi

pengatur atau pengendali banjir. Dari sana juga digerakkan Pusat Listrik Tenaga

Minihidro (PLTM) dengan kekuatan sekitar 100 KVA.

Gambar 23. Saluran Primer Jurang Sate dan Bendungan Batujai

Secara umum keberadaan kawasan hutan lindung di Lombok Barat mendukung

adanya ketersediaan air di Lombok Tengah, hal ini disebabkan dengan dialirkannya

air dari Sungai Sesaot, Sungai Jangkok dan Sungai Keru (Kabupaten Lombok Barat)

melalui saluran HLD Jangkok-Babak untuk mendukung pemenuhan kebutuhan air

untuk irigasi di Kabupaten Lombok Tengah.

Pemanfaatan sumber daya air untuk obyek wisata

Pemanfaatan sumber daya air sebagai obyek wisata dapat dilihat dari keberadaan

beberapa air terjun di kawasan KPHL Rinjani Barat, seperti Air Terjun Timponan di

Kabupaten Lombok Barat, Air Terjun Kerta Gangga dan Sendang Gile di Kabupaten

Lombok Utara, seperti telah diuraikan sebelumnya pada 6.1.4.

Sintesis 2010-2014 | 36

Nilai imbal jasa lingkungan terhadap manfaat sumber daya air

Kabupaten Lombok Barat telah melakukan inisiatif pengelolaan jasa lingkungan

dari pemanfaatan sumber daya air untuk kebutuhan air bersih secara komersial

berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No 4 Tahun 2007 tentang

pengelolaan jasa lingkungan. Tujuan pengelolaan jasa lingkungan adalah untuk

mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dalam

rangka mendukung kegiatan konservasi dan pembangunan di daerah khususnya

untuk masyarakat sekitar obyek jasa lingkungan melalui pembayaran jasa

lingkungan.

Nilai imbal jasa lingkungan yang dikenakan pada pelanggan Rumah Tangga

adalah Rp. 1.000,- sedangkan untuk Institusi/kantor adalah Rp. 2000,-, besar nilai

imbal jasa lingkungan ini dikenakan sama rata tanpa melihat jumlah konsumsi air.

Sedangkan PDAM menggunakan pendekatan CSR sebagai wujud imbal jasa

lingkungan, 5% dari laba bersih digunakan untuk dana pemberdayaan masyarakat

(community development), sesuai Perda Kabupaten Lombok Barat No 4 Tahun 2012.

Mekanisme imbal jasa lingkungan yang diimplementasikan di Kabupaten

Lombok Barat terhadap pemanfaatan air oleh pelanggan PDAM yang berlokasi di

Kabupaten Lombok Barat dapat digambarkan seperti diagram pada Gambar 24.

Gambar 24. Mekanisme implementasi jasa lingkungan pelanggan PDAM

Masyarakat hulu merupakan penyedia sumber daya air yang dimanfaatkan

pelanggan PDAM yang merupakan masyarakat hilir. Untuk keberlangsungan

ketersediaan sumber daya air, maka pelanggan PDAM memberikan imbal jasa

lingkungan yang pengumpulannya dilakukan melalui PDAM. Dana imbal jasa

lingkungan yang sudah terkumpul selanjutnya disetor ke rekening Insitutsi Multi

Sumber Daya Air Masyarakat Hulu

(75%)

Pelanggan PDAM

PDAM

Institusi Multi Pihak

Masyarakat Hilir

Pemerintah

Daerah (25%)

Alur pemanfaatan sumber daya air

Alur Implementasi Imbal Jasa Lingkungan

Sintesis 2010-2014 | 37

Pihak sebagai lembaga yang dipercaya mengelola dan menyalurkan dana imbal jasa

lingkungan. Dua puluh lima persen (25%) dana imbal jasa lingkungan disetorkan ke

pemerintah daerah sebagai penerimaan daerah sedangkan 75% dikelola oleh Insitusi

Multi Pihak (IMP); untuk kegiatan operasional sebesar 30%.

Permasalahan dan rekomendasi imbal jasa lingkungan penyediaan sumber daya

air

Penggunaan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat sebagai dasar dalam

implementasi imbal jasa lingkungan terhadap pemanfaatan sumber daya air oleh

pelanggan PDAM kurang tepat karena lingkup hukum peraturan tersebut hanya akan

berlaku di wilayah Kabupaten Lombok Barat, sementara pelanggan terbanyak

berasal dari Kota Mataram yang mencapai 72% dari jumlah pelanggan PDAM

keseluruhan. Meskipun Pemerintah Kabupaten Lombok Barat merasa keberatan jika

masyarakat Kota Mataram yang menggunakan air dari hulu yang merupakan wilayah

Kabupaten Lombok Barat tidak menyumbang untuk biaya pelestarian sumberdaya

air, pelanggan PDAM yang berasal dari Kota Mataram tidak bisa diikat oleh

peraturan yang berlaku di wilayah Kabupaten Lombok Barat.

B. Valuasi Hutan Lindung (KPHL) Pulau Tarakan

Saat ini status pengelolaan hutan lindung (KPHL) Pulau Tarakan berada

langsung di bawah Dinas Kehutanan, Pertambangan, dan Energi Kota Tarakan.

1. Sebaran potensi hasil hutan bukan kayu

Tumbuhan berpotensi HHBK yang dapat dijumpai berdasarkan analisis vegetasi

yang dilakukan mencakup penghasil rotan, damar dan buah tengkawang.Dijumpai

satu jenis penghasil damar dari genus Agathis, dan satu jenis penghasil buah

tengkawang dari genus Shorea, yaitu Shorea palembanica. Nampak bahwa jenis-

jenis damar dan tengkawang yang dijumpai di HLPT mempunyai kelimpahan yang

rendah. Untuk Agathis sp. malah tidak dijumpai pada tingkat pohon. Hal ini

kemungkinan disebabkan penyebaran jenis-jenis tersebut tidak merata di keempat

RPH. Keempat RPH yang ada, khususnya RPH Timur memiliki habitat kerangas dan

rawa tergenang sehingga tidak ditemukan jenis Agathis dan Shorea palembanica

dalam jumlah yang melimpah.

Untuk jenis-jenis rotan, kelimpahannya juga tidak begitu tinggi. Ini

kemungkinan disebabkan karena di HLPT banyak yang merupakan areal bekas

tebangan (eks HPH) ataupun sudah dirambah, sehingga kualitas tebangan tidak

memungkinkan biji dan semai rotan berkembang dengan baik. Oleh karena itu

apabila pihak pengelola berkeinginan memanfaatkan potensi HHBK di HLPT, harus

dilakukan kegiatan pengayaan dengan jenis-jenis tersebut. Jenis-jenis HHBK seperti

Agathis sp., Shorea palembanica, dan gaharu (Aquilaria microcarpa dan Aquilaria

malaccensis) dapat dibudidayakan dan menjadi pilihan untuk tanaman rehabilitasi

hutan dan lahan di blok pemanfaatan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam

Sintesis 2010-2014 | 38

kawasan HLPT dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemanenan hasilnya. Jenis

gaharu serta buah-buahan seperti durian, lai, rambutan, dan terap merupakan jenis-

jenis yang banyak diminati masyarakat yang tinggal dalam kawasan HLPT. Ini

merupakan potensi agrowisata di blok pemanfaatan.

2. Nilai ekonomi air dan nilai keberadan HLPT dalam pemanfaatan air

Pendekatan WTP (willingness to pay) menaksir nilai manfaat air berdasarkan

kesediaan konsumen air untuk membayar. Jika mempertimbangkan tarif harga air

minum PDAM Kota Tarakan tahun 2012 adalah Rp 1.350/m3, maka yang cukup

rasional untuk ditambahkan dalam tarif air PDAM adalah nilai kesediaan minimum,

yaitu Rp 300/m3. Berdasar nilai kesediaan minimum tersebut, maka rerata nilai

manfaat air per tahun dari HLPT adalah Rp 2.337.275.280,00.

Untuk memperoleh nilai air dengan pendekatan Willingness to Accept (WTA),

digunakan pendekatan biaya yang diperlukan oleh pengelola hutan lindung untuk

melakukan kegiatan rehabilitasi dan pengamanan hutan setiap tahunnya dalam

rangka menjaga fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air. Saat ini kegiatan

pengamanan dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di HLPT murni bersumber dari

APBD Kota Tarakan.

Oleh karena itu dicari pendekatan lain untuk menentukan nilai lahan yang perlu

direhabilitasi, yaitu berdasarkan luasan rencana blok rehabilitasi dalam Master Plan

Rencana Pengelolaan KPHL Tarakan (Dishutamben Kota Tarakan, 2011), sebesar

1002 hektar. Estimasi biaya RHL (biaya penanaman dan pemeliharaan selama empat

tahun )di Kota Tarakan untuk jumlah tanaman 625 batang per hektar adalah Rp

24.717.375,00 per hektar selama 5 tahun (modifikasi dari Sutrisno, 2011). Dengan

demikian total biaya RHL yang diperlukan untuk seluruh blok rehabilitasi adalah

Rp 24.766.809.750,00 selama lima tahun. Jumlah tersebut masih ditambah dengan

biaya pengamanan kawasan konservasi yang ditaksir sebesar Rp 360.000,00/hektar/

tahun (USAID, 2007) sehingga total biaya pengamanan per tahun untuk kawasan

seluas 4623 hektar (sesuai SK Menhut No 783/Menhut-II/2009 adalah

Rp 1.664.280.000,00/tahun.

Nilai WTA sebesar Rp 6.617.641.950 per tahun atau sebesar Rp

849,40/m3.Apabila nilai WTA per tahun sebesar Rp 6.617.641.950 tersebut tersebut

dibandingkan nilai WTP dari manfaat air HLPT sebesar Rp 2.337.275.280/tahun,

diperoleh defisit nilai sebesar Rp 4.280.366.670,00. Defisit tersebut apabila

dikurangi dengan biaya pengelolaan dari sumber dana APBD, masih diperlukan dana

dari sumber selain konsumen air (misalnya penyaluran dana APBN Kemenhut, atau

kontribusi jasa lingkungan karbon atau ekowisata) sebesar Rp2.865.946.670,00 per

tahun. Dari sini dapat dilihat bahwa kontribusi dari konsumen air PDAM sangat

diperlukan untuk mendukung biaya pengelolaan HLPT.

Sintesis 2010-2014 | 39

3. Nilai keberadaan HLPT dalam pemanfaatan air

Untuk penghitungan nilai keberadaan HLPT dalam pemanfaatanm air digunakan

metode skenario kerugian dengan asumsi penurunan produksi sebesar 10%. Asumsi

tersebut digunakan karena belum didapat asumsi yang lebih tepat berdasarkan

perubahan luas tutupan lahan HLPT atau perubahan debit air dari DAS Binalatung

secara time series untuk memprediksi besarnya penurunan produksi dalam jangka

waktu tertentu.

Semakin berkurang produksi air akibat kerusakan hutan, semakin tinggi nilai

keberadaan hutan lindung tersebut. Nilai total keberadaan Hutan Lindung Pulau

Tarakan untuk pemanfaatan jasa air berdasar skenario 1) terjadi penurunan fungsi

hutan lindung sehingga produksi air menurun sebesar 10% adalah sebesar

Rp 11,638225277 miliar; Rp 17,457337915 miliar; dan Rp 23, 276450553 miliar.

Apabila nilai tersebut menjadi nilai pengganti retribusi konsumen air HLPT, maka

didapat nilai tahunan retribusi untuk seluruh konsumen pada skenario 1, 2, dan 3

berturut-turut sebesar Rp 581.911.264; Rp 872.866.895,7; dan Rp 1.163.822.528.

Retribusi jasa air dari HLPT tersebut akan dapat digunakan sebagai dana kegiatan

pengelolaan HLPT, antara lain untuk kegiatan rehabilitasi kawasan dan perlindungan

hutan sehingga kelestarian fungsi HLPT dapat lebih terjamin di masa yang akan

datang. Dengan menggunakan asumsi biaya reboisasi adalah sebesar Rp 4.938.375/

hektar, maka biaya dari retribusi air tersebut dapat digunakan untuk merehabilitasi

lahan seluas 118 hektar/tahun sebagai pendukung biaya rehabilitasi hutan lahan dari

APBD/APBN.

C. Valuasi Hutan Lindung Gunung Mutis

Hutan lindung Mutis saat ini dikelola Dinas Kehutanan Kabupaten Timor

Tengah Selatan, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Saat awal

penelitian ini dilaksanakan, kawasan hutan lindung Mutis sedang diproses untuk

dijadikan KPH.

Untuk meningkatkan efesiensi pengelolaan kawasan hutan. Hutan Lindung

Mutis diubah statusnya menjadi KPHL Mutis. KPHL Mutis diatur dalam Keputusan

Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 41/Menhut-II/2012 tentang

penetapan Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Lindung (KPHL) Model Mutis

Timau (Unit XIX ) yang terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah

Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas

+115.380 Ha. KPHL Mutis terdiri dari 97.005 Ha hutan lindung dan 18.375 ha hutan

produksi.

KPHL Mutis memiliki potensi untuk dikelola secara mandiri. Sumber-sumber

pendapatan utama dapat diperoleh dari jasa ekowisata dan hutan produksi yang

luasnya mencapai 18.375 ha. Pengelolaan yang optmal memungkinkan pengelolaan

KPHL Mutis tidak membebani Pemerintah Daerah setempat, bahkan sebaliknya,

KPHL Mutis dapat memberi pendapatan bagi Pemerintah Daerah.

Sintesis 2010-2014 | 40

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi ekowisata dari hutan lindung

Mutis sebesar Rp. 134.271.102/tahun. Nilai ekonomi pakan ternak dari hutan lindung

Mutis sebesar Rp. 140.833/ha/tahun. Nilai ekonomi kayu dari KPHL Mutis sebesar

Rp. 24.799.115/ha/tahun dan potensi nilai ekonomi kayu bakar dari KPHL Mutis

sebesar Rp. 1.160.581/ha/tahun. Nilai ekonomi madu dari Hutan lindung Mutis

mencapai Rp.120.000.000/tahun.

Sintesis 2010-2014 | 41

VI. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

Kegiatan penelitian kelembagaan pengelolaan hutan lindung dilaksanakan di

KPHL Rinjani Barat (Nusa Tenggara Barat) dengan hasil sebagai berikut.

A. Peran Para Pihak Sebagai Unsur Pelaku Pembangunan di Wilayah KPHL

Rinjani Barat, Bentuk Koordinasi /Mekanisme Hubungan Kerja

1. Institusi KPHL Rinjani Barat

Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan

masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan dan PP No

6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, serta bertujuan untuk mewujudkan

pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.

KPH Rinjani Barat ditetapkan sebagai KPHL Model sesuai Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor SK.785/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009. Luas KPH

Rinjani Barat berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.337/Menhut-

VII/2009 dan Nomor SK.785/Menhut-II/2009 tercatat seluas 40.983 Ha terdiri dari

Hutan Lindung 28.827 Ha, Hutan Produksi Terbatas 6.984 Ha dan Hutan Produksi

Tetap 5.171 Ha. Wilayahnya meliputi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Barat

dan kabupaten Lombok Utara.

Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk membentuk organisasi dan

institusi KPH namun tetap mengacu pada arahan dari Pemerintah Pusat yang

kemudian ditetapkan oleh Mentri Kehutanan. Pemerintah Provinsi melalui Dinas

Kehutanan Provinsi membentuk Institusi Pengelola KPH dengan Pembangunan

Infrastruktur dan menetapkan Struktur organisasi KPHL Model Rinjani Barat.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 7 Tahun 2008 dan Peraturan

Gubernur NTB Nomor 23 Tahun 2008, Organisasi dan Tata Kerja KPH Rinjani

Barat berbentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau Balai Kesatuan

Pengelolaan Hutan (Balai KPH), yang berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi

NTB. Struktur organisasi Balai KPHL Rinjani Barat terdiri dari Sub Bagian Tata

Usaha, Seksi Budidaya dan Produksi, Seksi Pengelolaan dan Pemasaran, serta

Kelompok Jabatan Fungsional. Struktur organisasi Balai KPHL Rinjani Barat seperti

disajikan pada Gambar 25.

Sintesis 2010-2014 | 42

Gambar 25. Struktur organisasi KPH Rinjani Barat

Bentuk organisasi UPTD/Balai seperti pada Gambar di sebelah kiri, belum

mencerminkan organisasi lapangan. Untuk mewujudkan KPH pada tingkat tapak,

seperti halnya di Perum Perhutani, Bagian KPH terdapat Resort KPH yang

membawahi petugas lapangan/Mandor pengelola petak. Saat ini dalam

operasionalisasinya, organisasi KPHL Rinjani Barat dijalankan sesuai Permendagri

No.61 Tahun 2010, yaitu dengan menunjuk Resort sebagai organisasi pengelola

wilayah yang membawahi petugas lapangan/Mandor selaku pengelola hutan di

tingkat tapak.

Struktur organisasi disusun untuk membantu pencapaian tujuan organisasi

dengan lebih efektif, yaitu dengan menentukan seluruh tugas, hubungan antar tugas,

batas wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan masing-masing tugas

tersebut. Suatu organisasi umumnya reaktif terhadap lingkungannya. Semakin tinggi

kompleksitas tujuan suatu organisasi, semakin besar jumlah staf administrasi, hal ini

berkaitan dengan pelaksanaan target capaian kerja agar lebih berhasil, namun akan

sangat terkait dengan pengendalian biaya organisasi.

Untuk mewujudkan pengelolaan hutan sampai dengan tingkat tapak maka KPH

mempunyai tugas pokok dan fungsi yaitu: 1) menyelenggarakan pengelolaan hutan,

2) menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang

kehutanan untuk diimplementasikan, 3) melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di

wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan

serta pengendalian, 4) melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan

kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya, dan 5) membuka peluang investasi guna

mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

Adapun arah kebijakan pembangunan KPHL Rinjani Barat yaitu : 1)

Berorientasi pada upaya penyelamatan sumber daya air, sehingga pemanfaatan

kawasan hutan lindung didorong untuk pengembangan tanaman serbaguna (MPTS),

dan tanaman produktif lain dibawah tegakan hutan 2) Aktivitas pengelolaan hutan

mengakomodasikan partisipasi masyarakat (KTH) karena mayoritas masyarakat

Kepala Balai KPH

Kasubag Tata Usaha

KasiPerencanaan hutan Kasi Monev dan

Pengendalian

Kel. Fungsional

7-9 Resort

Kepala Balai KPH

Kasubag Tata Usaha

Kepala SeksiBudidaya

danProduksi

Kepala Seksi Pengolahan

dan Pemasaran

Sintesis 2010-2014 | 43

sekitar kawasan hutan lindung tergolong miskin, sehingga 3) Pemanfaatan hutan

lebih ditunjukkan untuk pengembangan HHBK, jasa wisata, jasa air dan

perdagangan karbon. Sedangkan pemanfaatan kayu dengan menerapkan prinsip

pengelolaan hutan lestari dengan pengawasan yang ketat.

Untuk memenuhi tujuan pengelolaan sebagaimana yang diamanatkan dan

tertuang dalam arah kebijakan seperti tertera di atas perlu dukungan sumberdaya

yang memadai. Menurut Islamy (1997), sebuah institusi tidak bisa terlepas dari

sumberdaya yang memadai bahwa para pelaksana institusi harus disuplai dengan

resources yang cukup, seperti human resources (staf dalam jumlah dan kualifikasi

yang memadai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan dan

tanggung jawabnya), financial resources, technolo-gical resources, maupun

psychological resources. Jika mengacu pada pendapat ini, maka pada implementasi

kebijakan pembangunan KPH Model di Rinjani Barat telah cukup banyak dukungan

terkait dengan kebijakan tersebut khusus dari Pemerintah Pusat namun dinilai masih

kurang kesiapan dari Pemerintah Daerah.

Selanjutnya dikemukakan bahwa umumnya terjadi perbedaan antara apa yang

diharapkan (direncanakan) dengan apa yang dapat dicapai dalam implementasi

kebijakan, tergantung pada apa yang disebut Implementation capacity dari

organisasi atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas

mengimplementasikan kebijakan, sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran

yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.

Pemimpin, struktur dan manajerial merupakan faktor penting dalam penentuan

strategi organisasi. Struktur organisasi juga dipengaruhi secara langsung oleh

preferensi pribadi pimpinan terhadap organisasi dan cara-cara berhubungan dengan

para bawahan, tugas manajer adalah menciptakan suatu lingkungan dimana mereka

dapat menigkatkan sumbangan kapasitasnya pada organisasi.

Dalam teori, proses desain organisasi sebenarnya dapat dimulai dari bawah ke

atas (bottom up) atau dari atas ke bawah (top down). Dengan prosedur atas bawah,

tujuan-tujuan umum organisasi diterjemahkan menjadi tujuan-tujuan khusus sebagai

sarana pencapaian hasil akhir yang diinginkan. Meskipun secara teoritis dapat

dijelaskan secara terpisah, kedua prosedur tersebut dalam kenyataannya saling

tergantung. Tujuan-tujuan umum harus ditetapkan bahkan sebelum proses desain

struktur ditentukan berikut technological resources dan human resources yang akan

mengisi dipilih.

Analisis struktur organisasi KPHL dalam hal kemampuannya dalam

memberikan pelayan publik sebagai salah satu pelaku pembangunan kehutanan di

wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya di Kabupaten Lombok Barat dan

Lombok Utara sangat penting untuk mendukung peningkatan kinerja organisasi.

Sintesis 2010-2014 | 44

Para pihak pelaku pembangunan di wilayah KPHL Rinjani Barat

Dalam penelitian sebelumnya, telah diidentifikasi para pihak lingkup

kelembagaan setempat yang terkait dengan institusi KPHL Rinjani sebagai pelaku

pembangunan di wilayah KPHL Rinjani Barat adalah: 1) Pemerintah daerah

(Bappeda provinsi dan kabupaten), Dinas/Lembaga Teknis Daerah, Dinas

Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten, BKSDA, Tahura, Taman

Nasional, BUK, BPDAS, Badan Lingkungan Hidup, BPTH Bali). 2) Pengusaha

swasta ( PT Sadana, PT Telkomindo, Seismograf, Excelcomindo, PT PLN, Suar

Investindo Capital, PDAM Menang. 3) Perguruan tinggi dan Litbang 4) Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM: Konsepsi, Bareng Maju, WWF, Mitra Saiya,

Partnership dan AMAN). 5) Masyarakat yang memanfaatkan kawasan ( 85 KTH,

3 Koperasi).

Peran pelaku pembangunan tersebut sangat penting dalam menciptakan

hubungan koordinasi yang efektif dan efisien sesuai dengan tugas, fungsi, serta

kewenangannya masing-masing. Dari hasil identifikasi dan wawancara mendalam

(indepth interview) dengan para pihak/stakeholders yang memiliki peran utama

dalam pembangunan KPH Model Rinjani Baratdengan masing-masing peran seperti

disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Peran para pihak sebagai pelaku pembangunan di KPHL Rinjani Barat

No. Stakeholder Peran Kegiatan

1 BKPH WIL. VIII

DENPASAR

Penyusunan dan

pengesahan rancangan

teknis pengukuhan kawasan

hutan di wilayah KPH

Penyusunan Rencana Pengelolaan

Sarana dan Prasarana KPHL Rinjani

Barat - Rekontruksi Batas Hutan

2. BP DAS NTB Merehabilitasi Reboisasi Pengkayaan Hutan Lindung,

Fasilitas Pembangunan HKm

3. Litbang Kehutanan Menyediakan teknologi Dukungan Teknis Tenaga Peneliti

4. BALAI KSDA NTB Mengamankan Kawasan Operasi Fungsional Pengamanan Hutan

5. DIKLAT KEHUTANAN

KUPANG

Meningkatkan Kapasitas

SDM

Diklat Managemen Pengendalian

Kebakaran Hutan, Pemanfaatan Hutan

Partisipatif, Pembuatan KBD

6. DINAS KEHUTANAN NTB Memfasilitasi Pembentukan,

Pembinaan SDM KPH

- APBN DITJEN

PLANOLOGI

Sosialisasi Batas, Monev Penggunaan

Kawasan Hutan

- APBN DITJEN BPDAS

dan PS

Pembinaan, Pengendalian Kebijakan

HKm dan Monev HKm, Pemanfaatan

dan Evaluasi Perbenihan Tanaman

Hutan

- APBN BIDANG PHKA Pembinaan dan Pemantauan

Pencegahan Kebakaran Hutan , Patroli

Hutan Bersama Masyarakat,

Administrasi Kegiatan

Sintesis 2010-2014 | 45

No. Stakeholder Peran Kegiatan

. - APBN BIDANG BUK Penataan Petak dan Risalah Hutan

Produksi , Inventarisasi Sosekbud ,

Inventarisasi Potensi Kayu (Standing

Stock)

- APBN SEKRETARIAT

DISHUT

Penyusunan Peraturan Gubernur

Sumbangan Pihak ke - 3

- APBD KPH Rinjani Barat

Penanaman Jenis HHBK (Ketak dan

Pandan)

7. TN. GUNUNG RINJANI Melestarikan kawasan Penyelesaian Kasus Hukum, Pembinaan

Desa Konservasi

8. BP2HP Denpasar Merancang pendanaan KPH Sosialisasi HTR

9. BAKORLUH NTB Pemberdayaan masyarakat Pembentukan/Pendampingan Kelompok

Usaha Produktif (KUP), Pengembangan

Percontohan Pemberdayaan Masyarakat

10. DISHUT KAB. LOMBOK

BARAT

Rehabilitasi Pemeliharaan tanaman rehabilitasi

11. DISHUT KAB. LOMBOK

UTARA

Rehabilitasi Persiapan dan Penanaman Kegiatan

Pengkayaan

12. PUSDALBANGHUTREG-II Monitoring dan evaluasi Monev dan Evaluasi di Tingkat Pusat

13. LSM Pendampingan Pemberdayaan masyarakat

14. Lembaga Swasta Pengguna Pemanfaatan jasa air

15 Masyarakat sekitar Pengguna HKm/ Hutan adat Budidaya HHBK

B. Bentuk Koordinasi/Mekanisme Hubungan Kerja dengan Para Pihak

Koordinasi merupakan aspek penting namun telah menjadi permasalahan di

hampir seluruh model birokrasi, demikian juga terjadi pada sektor kehutanan, karena

permasalahan koordinasi pada sistem birokrasi memiliki kompleksitas yang sangat

besar. Aspek koordinasi masih sangat terbatas pada pengaturan mengenai kejelasan

kewenangan, tugas dan fungsi dari aktor penyelenggara pemerintahan. Namun ketika

menyentuh kepada jaminan pelaksanaan koordinasi lintas sektor belum terdapat satu

kesatuan pola pengelolaan karena tidak ada jaminan hukum untuk mengatur hal

tersebut.

Dalam hal perecanaan ruang/lahan, memang terdapat jaminan hukum untuk

dilaksanakanya koordinasi lintas sektoral terkait dengan perencanaan ruang/lahan

melalui Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Nasional/Daerah (BKPRN/D).

Namun peran koordinasi yang dilakukan selama ini belum bersifat komprehensif,

dimana fokus yang dilakukan selama ini masih pada tataran: 1) Penanganan dan

penyelesaian masalah penyelenggaraan penataan ruang tingkat nasional dan daerah

serta memberikan pengarahan dan saran pemecahannya; 2) Penyerasian

penatagunaan tanah dan penatagunaan sumber daya alam lainnya dengan rencana

tata ruang; 3) Sinkronisasi rencana umum dan rencana rinci tata ruang daerah dengan

peraturan perundangundangan termasuk dengan RTRWN dan rencana rincinya

Sintesis 2010-2014 | 46

sehingga terlihat bahwa pelaksanaan koordinasi antar sektor masih belum menjadi

kegiatan prioritas.

Dari Tabel 8 terlihat para pihak banyak terlibat dalam kegiatan KPHL Rinjani

Barat, hal ini menuntut pentingnya koordinasi dengan para pihak dalam hal ini

koordinasi merupakan salah satu bentuk hubungan kerja yang memiliki karakteristik

khusus, yang mana antara lain harus ada integrasi serta sinkronisasi atau adanya

keterpaduan, keharmonisan serta arah yang sama. Dalam konteks pengelolaan

kawasan hutan lindung Rinjani Barat, koordinasi diperlukan untuk penyerasian mulai

dari kegiatan perencanaan pengarahan pelaksanaan hingga mengahasilkan kegiatan

pembangunan yang harmonis dan terpadu menuju sasaran yang telah ditentukan

Institusi KPHL sebagai suatu organisasi/aktor harus mampu melakukan

koordinasi dan membangun hubungan kerja yang baik diantara pelbagai unsur pelaku

pembangunan yakni para pihak/stakeholder yang terlibat dalam suatu program dan

memanfaatkan segala sumberdaya yang tersedia. Dari hasil wawancaraa dengan para

pihak mengungkapkan bahwa saat ini bentuk koordinasi baru berkisar pada tingkat

keproyekan, ke depan diharapkan akan mempermudah koordinasi dan semakin

intensif dengan adanya intitusi KPHL. Kondisinya untuk saat ini dari struktur

organisasi di tingkat lapanganmasih ada keterbatasan seperti BKPH/RPH/Mandor,

demikian juga tupoksi jabatan dalam organisasi belum sesuai dengan kebutuhan

manajemen. Sarana prasarana, tenaga teknis dan tata hubungan kerja membatasi

komunikasi dan hubungan antar stakeholder. Prosedur operasional standar kegiatan

KPH belum disusun dan masih lemahnya kemampuan teknis para pihak dalam

fasilitasi pengembangan organisasi dan kurangnya kesempatan untuk belajar terkait

dengan pengembangan organisasi KPH.

Dalam membangun hubungan kerja dengan para pihak ada beberapa hal yang

mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap

keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan KPHL. Proses implementasi

merupakan proses yang tidak hanya kompleks (complicated), namun juga hal yang

sangat menentukan karena tidak sedikit kebijakan pemerintah yang sudah

dirumuskan dengan sangat sempurna, namun gagal dalam implementasinya

mencapai tujuan. Hal ini salah satunya adalah terjadi karena dilakukan melalui cara-

cara lain, tidak sesuai dengan pedoman dan juga disebabkan karena faktor-faktor

subyektif para pelaksananya (policy actors) maupun dari masyarakat yang secara

langsung atau tidak langsung terkena dampak dari kebijakan yang dimaksud.

Prinsip dasar dalam penyusunan rencana pelaksanaan pengelolaan kawasan

hutan lindung seharusnya melalui mekanisme hubungan kerja yang dilakukan secara

bersama atau partisipatif dari para pihak pelaku pembangunan di wilayah KPHL

Rinjani Barat, dari mulai analisis hingga perumusan rencana. Begitu pula pada

kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasil-

hasilnya.

Sintesis 2010-2014 | 47

Memelihara koordinasi untuk menjaga keterpaduan agar tetap efektif dapat

dilakukan dengan membentuk wadah atau rumah koordinasi berupa forum KPHL

Rinjani Barat atau memberdayakan forum sejenis yang telah ada.Pada wilayah yang

belum memiliki forum koordinasi, inisiasi pembentukan forum dapat dilakukan oleh

para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung di

wilayahnya. Forum komunikasi yang dibentuk harus merepresentasikan stakeholders

yang ada di wilayah KPHL Rinjani Barat dari hulu sampai hilir, seperti unsur

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat.

Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para

pihak, perlu dibangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang

didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Forum

KPHL diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat independen yang

berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan

merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah KPHL seperti konflik

kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan

berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

C. Peta Sikap dan Pandangan Stakeholder

Untuk mendukung berlangsungnya pelaksanaan pengelolaan hutan di KPHL

Rinjani Barat telah banyak kegiatan yang telah dilakukan dan diperlukan sinergi

antar stakeholder. Oleh karena itu analisis lain yang penting adalah peta sikap dan

pandangan masing-masing stakeholder terhadap institusi KPHL Rinjani Barat. Aspek

sikap, pandangan, dan perilaku merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari

peran stakeholder itu sendiri. Pelibatan stakeholder dalam bentuk kegiatan dan

pertemuan misalnya, telah menghadirkan pandangan atau adanya representasi

pandangan stakeholder terhadap institusi KPHL Rinjani Barat. Proses pemetaan

pandangan stakeholder dilakukan melalui wawancara dan akan dilanjutkan dengan

diskusi kelompok terfokus/Focus Group Discussion (FGD) (Tahun ke-3).

Sikap dan pandangan para pihak berkaitan pelaksanaan kegiatan KPHL Rinjani

Barat dikumpulkan dengan wawancara mendalam. informasi yang dikumpulkan

menyangkut. pemahaman, sikap, alasan dan kepentingan mereka, dan usulan-usulan

dan harapan mereka dari kegiatan yang sudah berjalan. Sikap dan pandangan para

pihak terhadap KPHL Rinjani Barat dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sikap dan pandangan para pihak terhadap institus KPHL Rinjani Barat

No. Faktor Sikap dan Pandangan Para Pihak

1. Keberadaan institusi KPHL Sangat setuju agar pengelolaan kawasan lebih fokus

2. Sumber daya hutan Kondisi hutan belum ada perubahan yang signifikan karena

penanaman baru saja dikerjakan

3. SDM KPHL Rinjani Barat Dari segi kuantitas dan kualitas kurang mampu

4. Program Kegiatan KPHL Kegiatan yang dilaksanakan sudah mengarah namun

sebaiknya perlu terlebih dahulu disosialisasikan

Sintesis 2010-2014 | 48

No. Faktor Sikap dan Pandangan Para Pihak

5. Mekanisme hubungan kerja Pola hubungan kerja masih berkisar kegiatan keproyekan

dan belum membangun hubungan kerja kemitraan dengan

para pengguna.

6. Perlindungan dan pengamanan Sudah membentuk mandor namun belum didukung dana

7. Pelibatan kelembagaan kelompok

masyarakat

Belum banyak dilibatkan, masyarakat sekitar hutan

umumnya belum banyak yang mengetahui keberadaan

institusi KPHL

8. Kesejahteraan masyarakat Belum dirasakan ada peningkatan

9. Upaya penyelesaian konflik Sudah turut berperan

10. Perizinan dan peluang usaha Belum ada

Keberadaan institusi KPHL

Pada umumnya para pihak sangat setuju agar pengelolaan kawasan lebih fokus

karena selama ini dinas kehutanan hanya berperan dalam bidang perijinan dan lebih

bekerja di belakang meja, dan masalah kerusakan hutan tidak dapat ditangani dengan

baik.

Untuk stakeholder di luar pemerintah seperti, universitas, NGO dan dunia usaha,

keberadaan KPHL memberikan harapan pengelolaan hutan akan membaik sehingga

sangat mendukung. Sementara dukungan dari pemerintah khususnya Pemerintah

Provinsi dan Kabupaten masih setengah-setengah dan sering berubah-rubah (kadang

mendukung kadang tidak tergantung kepentingan. Dukungan tidak diperlihatkan

dengan budget/anggaran yang cukup diberikan kepada KPHL. Menjadikan KPHL

organisasi yang mandiri dan kuat tidak didukung oleh pembinaan serta regulasi yang

cukup.

Kondisi sumberdaya hutan

Setelah ada institusi KPHL belum dirasakan ada perbedaan yang signifikan baik

dalam hal vegetasi tanaman/fisik maupun pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan

karena masih pada tahap penanaman dan prosese pembuatan regualasi.

SDM KPHL Rinjani Barat

Kuantitas : Dengan jumlah staf hanya sekitar 16 personil dan menangani pekerjaan di

lapangan yang sangat berat sudah tentu masih membutuhkan tenaga-tenaga terampil

dalam mengelola kawasan hutan.

Kualitas : Mengelola hutan membutuhkan keterampilan, tidak hanya segi fisik (tata

hutan) tetapi keterampilan fasilitasi, mediasi komunikasi belum banyak dikuasai oleh

tenaga pengelola KPHL Rinjani Barat.

1. Program kegiatan KPHL

Dari segi program kegiatan KPHL sudah mengarah, hanya untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat masih perlu ditingkatkan, pemilihan jenis tanaman

Sintesis 2010-2014 | 49

sebaiknya disosialisasikan terlebih dahulu pada masyarakat dan pilih yang

mempunyai fungsi ekonomi dan ekologis. Namun dirasakan masih kurang atau

belum ada sentuhan teknologi dalam pengelolaan hutan dan hasilnya demikian juga

masalah pemasaran HHBK masih belum ditangani.

Mekanisme hubungan kerja

Koordinasi/mekanisme hubungan kerja umumnya baru berkisar pada

keproyekan, karena untuk memacu beroperasinya institusi KPHL beberapa kegiatan

sumber dananya dititip ke beberapa stakeholder. Universitas berada dalam posisi

yang sangat baik dalam menjalin kerjasama sehingga terbentuk saling

menguntungkan kedua belah pihak, mendampingi dalam penyusunan Rencana

Pengelolaan, Pembuatan Proposal pada berbagai kegiatan KPH, menjadi narasumber,

melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penataan, inventarisasi, skema praktek kerja

lapang, dll.

Beberapa pihak mengungkapkan ada perubahan pola kerja sebelum dan sesudah

ditangani KPHL dalam hal penanganan permasalahan di tingkat lapangan menjadi

lebih cepat, karena KPHL memahami benar kondisi di lapangan.

Perlindungan dan pengamanan

Keberadaan masyarakat merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam

kerangka perlindungan dan pengamanan hutan. Selama ini keterlibatan masyarakat

lokal dalam perlindungan dan pelestarian hutan telah dilakukan melalui pengelolaan

hutan adat oleh lembaga lembaga adat dengan berbagai bentuk kearifan lokal. Salah

satu bentuk kelembagaan lokal di Kawasan Hutan Gunung Rinjani yang masih eksis

adalah Lembaga Adat Bayan. Dalam hubungannya dengan hutan, Lembaga Adat

Bayan telah menciptakan aturan-aturan tertentu (bahasa setempat “awig-awig”)

mengenai pola hubungan masyarakat dengan hutan. Bentuk aturan tersebut antara

lain berupa larangan melakukan eksploitasi hutan bagi kepentingan pribadi,

pembakaran, perburuan satwa, menggembalakan ternak, perbuatan amoral,

mencemari sumber air dan lain-lain perbuatan yang merugikankepentingan bersama

di areal hutan adat. Penegakan sanksi adat dalam hal ini sangat ketat dan didukung

oleh kepatuhan serta kesadaran warga masyarakat. Fungsi utama hutan sebagai

sumber mata air utama juga sangat disadari oleh warga masyarakat setempat. Selain

itu lahan kawasan dipindah tangankan/diperjual belikan/sertifikatkan

Upaya penyelesaian konflik

Dalam paya penanganan/penyelelesaian konflik KPHL cukup berperan, dengan

keberadaan petugas di tingkat lapangan akan menyebabkan identifikasi sebab-sebab,

aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dapat lakukan dengan baik sehingga

pendekatan-pendekatan untuk penyelesaian permasalahan dapat dimediasi dengan

baik.

Sintesis 2010-2014 | 50

Kesejahteraan masyarakat

Setelah ada KPHL belum ada peningkatan yang signifikan baik dalam hal

pendapatan mapun capacity building kelembagaan masyarakat sekitar hutan. KPHL

perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap masyarakat sekitar hutan yang

selama ini lokasinya sudah didasarkan atas kriteria dan berbasis petak marginal.

KPHL baru mulai menjalin kemitraan dengan kelompok-kelompok masyarakat. Pola

hubungan kerja “kemitraan” harus dibangun, sehingga kepastian dalam kerterlibatan

masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat terjamin. Pendanaan dimodifikasi

sedemikian rupa sehingga fleksibel dan penggunaanya dapat efektif dan efisien.

Perijinan dan peluang usaha

Instansi mana seharusnya seharusnya atau sebaiknya lebih berperan dalam

pengelolaan kawasan hutan adalah Dinas Kehutanan Provinsi dan kabupaten,

Bakorluh, Dinas Indag, Universitas, NGO, Pariwisata, Dikbud, Dinas Pertanian dan

Perkebunan.

D. Bentuk Insentif pengelolaa hutan lindung

Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 pasal 26 ayat (1) dan (2) dan PP RI No. 34

tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,

Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 18-21, pemanfaatan

hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan

pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan hutan lindung

dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan HHBK. Terdapat larangan

melakukan kegiatan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung

berdasar Keppres RI No. 32 tahun 1990.

Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di

dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah,

serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam. Penggunaan

kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin

pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka

waktu tertentu serta kelestarian lingkungan (tercantum dalam pasal 38 ayat (3) UU

RI No. 41 tahun 1999).Dalam UU No. 41 pasal 38 ayat (4) tahun 1999 juga

menegaskan bahwa pada kawasan lindung dilarang melakukan penambangan dengan

pola pertambangan terbuka.

Salah satu bagian dari analisis kelembagaan pengelolaan hutan lindung adalah

tentang apakah ada insentif bagi masyarakat ataupun institusi yang terlibat dalam

kegiatan pengelolaan hutan lindung dan dari mana sumber-sumber insentif tersebut

diperoleh. Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan lindung, insentif, lebih

baik dipahami melalui pemecahan dari permasalahan yang dihadapi dalam

pengelolaan hutan lindung. Oleh karena itu sedikitnya ada tiga jenis insentif yang

Sintesis 2010-2014 | 51

perlu dipertimbangkan yaitu 1. insentif terkait karakteristik sumberdaya. 2. insentif

terkait karakteristik masyarakat 3. insentif terkait dengan karakteristik peraturan

(rules) di mana masyarakat tersebut eksis.

Menurut hasil inventarisasi hutan diketahui bahwa kualitas potensi dari

penutupan vegetasi tersebut sebagian besar (± 60%) berupa kawasan hutan kurang

produktif meliputi; lahan kosong ± 6.147 Ha (15%), alang-alang dan semak belukar

± 8.197 Ha (20%), serta hutan rawang ± 10.246 Ha (25%). Sedangkan kawasan

hutan yang cukup produktif dengan kerapatan sedang-rapat ± 16.393 Ha (40%)

(KPH Rinjani Barat, 2011).

Pemanfaatan kawasan hutan pada KPH Rinjani Barat sebagian besar merupakan

pengelolaan hutan bersama masyarakat, baik swadaya (HKm di Sesaot), maupun

yang didukung program pemerintah seperti Pembangunan Hutan Tanaman Unggulan

Lokal (PHTUL) pada areal eks HPH di Monggal, dan HKm di Santong. Selanjutnya

sebagian dari lokasi program tersebut dicadangkan menjadi lokasi HKm. Jenis

tanaman pokok yang dikembangkan pada PHTUL dan HKm tersebut meliputi

Sengon, Rajumas, Mahoni dll, serta tanaman MPTS seperti Gaharu, Durian, Nangka,

Melinjo, Bambu dll, disamping itu juga dikembangkan tanaman produktif yang

mampu tumbuh di bawah tegakan hutan seperti Cacao, Vanili, Kopi, Talas dan

Empon-Empon. Keberagaman jenis tanaman tersebut telah memperlihatkan multi

strata dari tajuk pohon.

Jenis pemanfaatan kawasan hutan lainnya meliputi KHDTK (kawasan hutan

dengan tujuan khusus) Pusat Penelitian Budidaya Gaharu oleh Fakultas Pertanian

Universitas Mataram di Senaru, serta Ijin Usaha Pembangunan Hutan Tanaman

Industri (IUP-HTI) PT. Sadhana Arif Nusa yang akan mengembangan jenis tanaman

unggulan lokal yang dikombinasikan dengan tanaman penghasil energi (kayu bakar)

dan tanaman produktif di bawah tegakan hutan. Kegiatan pemanfaatan kawasan pada

KPHL Rinjani Barat seperti disajikan pada Tabel 10.

Penggunaan kawasan hutan yang ada meliputi repiter BTS, Seismograft,

mikrohydro dan PDAM. Beberapa penggunaan kawasan tersebut mempunyai

prospek untuk dikerjasamakan dalam pengelolaan hutan.

Hasil penelitian WWF (2008) diketahui bahwa dari 600.000 jiwa masyarakat

yang bermukim di Lingkar Rinjani, sebanyak 70 % tergolong kaum miskin papa.

Berdasarkan data Kabupaten Dalam Angka (2010), bahwa masalah sosial yang

dominan pada masyarakat sekitar KPH Rinjani Barat antara lain; fakir miskin, anak

terlantar, rumah tidak layak huni, usia lanjut terlantar dan wanita rawan sosial

ekonomi. (KPH Rinjani Barat, 2011).

Sintesis 2010-2014 | 52

Tabel 10. Kegiatan pemanfaatan kawasan hutan pada KPH Rinjani Barat

No Jenis Pemanfaatan/ Luas

Keterangan Lokasi/Fungsi Hutan (Ha)

A. PHTI / IUPHHK-HT

1. PT. Sadana Arif Nusa 1.405,0 -Kepmenhut No: SK.256/Menhut-II/2011

Senaru dsk/Bayan/HP -Rencana uji coba penanaman th 2012

B. Hutan Kemasyarakatan

1. Sesaot/Narmada/HL 185,0 -Kepmenhut No:SK.445/Menhut-II/2009

-SK Bupati : 2130/65/Dishut/2009

2. Senggigi/Batu Layar/HL 226,0 Kepmenhut No:SK.358/Menhut-II/2011

3. Jenggala/Tanjung/HL 1.284,0 Kepmenhut No:SK.352/Menhut-II/2011

4. Santong, Salut, Munder, 758,0 -Kepmenhut No: SK.447/Menhut-II/2009

Gumantar dsk/HP -SK Bupati : 297/1195.b/DPPKKP/2011

C. KHDTK GAHARU-UNRAM

1. Senaru/Bayan/HP 200,34 Menhutbun No:137/Menhutbun-VII/1999

Jumlah Pemanfaatan Kws 4.058,3

Sumber : Dinas Kehutanan NTB (2011) dan BP-DAS NTB (2011)

Untuk memacu implementasi kebijakan pebentukan KPH, Saat ini untuk

kegiatannya KPHL Rinjani Barat banyak ditunjang anggaran dari pusat (s/d anggaran

2014), namun selanjutnya harus bisa membiayai secara mandiri. Namun perlu ada

regulasi (Perda) untuk mengatur insentif terutama terhadap jasa lingkungan yang

selama ini telah dimanfaatkan oleh PDAM dan PLN. Nantinya, perlu adanya

kerjasama yang baik antara KPH dan pemegang ijin, agar pengelolaan hutan secara

lestari dapat tercapai. Saat ini berhubung perizinan pemanfaatan kawasan diberikan

saat di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Barat maka

pungutan retribusi untuk HHBK dan kompensasi Jasa lingkungan pengelolaanya

masih menjadi wewenang Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Barat.

Demikian juga, perlu mempertimbangkan keberadaan masyarakat untuk

mendukung pembangunan KPHL. Hal ini penting dilakukan, karena masyarakat

telah lama bermukim dalam kawasan hutan di KPHL ini dan menggantungkan hidup

pada hutan.

Berkaitan dengan sumber dana/anggaran untuk operasional KPHL, menurut

pendapat stakeholder sebaiknya dukungan pemerintah pusat dan daerah masih harus

diberikan. Karena kalau dari izin-izin pemanfaatan/penggunaan kawasan saat ini

diperkirakan belum dapat mendukung KPHL mampu mandiri, mengingat hanya

sedikit izin yang berada di KPHL.

Mekanisme insentif/fee/kompensasi pelestarian dan perlindungan kawasan yang

diterapkan oleh KPHL sebaiknya beragam sesuai dengan kondisi yang ada dan harus

fleksibel ada yang langsung dapat diterima oleh KPHL dan ada yang melalui skema

pemerintah daerah (Pemda).

Sintesis 2010-2014 | 53

Berkaitan dengan pemanfaatan/penggunaan kawasan oleh Hkm (sudah/belum

ada ijin), pemanfaatan jasa lingkungan (wisata, air, listrik, karbon) dll. Untuk

dilakukan pemungutan insentif nya sangat perlu dilakukan perhitungan-perhitungan

secara akurat sebagai dasar penarikan agar menjadi kuat dan benar-benar

memberikan keuntungan bagi KPHL dan pemanfaat/pengguna dan masyarakat

penggarap.

Kemitraan yang disarankan untuk para pengguna atau mereka yang

memanfaatkan kawasan hutan KPHL Rinjani Barat adalah bagi hasil. Mekanisme

pembayaran kepada institusi KPHL adalah dengan dipungut atau pembayaran

langsung. Kelembagaan d tingkat masyarakat di sekitar KPHL Rinjani Barat banyak

yang sudah berjalan dengan baik, bahkan di antaranya sudah memiliki awig-awig

yang sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan secara lestari. Tetapi ada juga

yang masih harus diperkuat dan dibina apalagi dengan pola kemitraan maka

sebaiknya dilakukan pembinaan secara serius.

Sintesis 2010-2014 | 54

VII. SARAN DAN REKOMENDASI HASIL PENELITIAN

A. Strategi Rehabilitasi Hutan Terdegradasi

Beberapa strategi dalam upaya rehabilitasi hutan terdegradasi khususnya hutan

lindung, yaitu:

1. Penentuan lokasi yang tepat. Hal ini dapat didasarkan pada kondisi fisik lahan dan

sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan serta rencana pengelolaan hutan lindung

secara keselurahan jika sudah tersedia. Dalam penelitian ini lokasi yang

mempunyai prioritas untuk direhabilitasi di hutan lindung KPH Rinjani Barat

didasarkan pada kerentanan terhadap longsor, erosi dan sosial ekonomi khususnya

tekanan penduduk terhadap lahan.

2. Pemilihan jenis yang tepat. Jenis yang dikembangkan dalam rangka rehabilitasi

hutan lindung adalah jenis penghasil HHBK yang dapat memberikan manfaat

ekonomi yang tinggi bagi masyarakat. Pemilihan jenis didasarkan pada kesesuaian

lahan, aspirasi masyarakat, ketersediaan pasar, dan potensi pengembangan di

masa yang akan datang. Berdasarkan hasil analisis di KPHL Rinjani Barat jenis

yang sesuai adalah HHBK penghasil buah, beberapa jenis sumber BBN dan

minyak atsiri.

3. Penerapan teknik KTA. Kondisi hutan lindung pada umumnya mempunyai

kemiringan lereng yang curam, oleh sebab itu penerapan teknik KTA diperlukan

untuk mengurangi resiko erosi atau longsor. Di KPHL Rinjani Barat teknik KTA

yang dapat diterapkan adalah jalur rumput/serai/laos atau teras gulud dengan

penguat teras.

4. Strategi penanaman. Strategi penanaman dapat disesuaikan dengan kondisi lokasi

yang harus direhabilitasi. Strategi penanaman dalam rangka rehabilitasi di

kawasan hutan lindung KPHL Rinjani Barat lebih berupa pengkayaan.Hal ini

disebabkan lokasi-lokasi yang terbuka hanya berupa spot-spot yang tidak terlalu

luas. Pola tanam berupa campuran dengan tanaman semusim.

5. Pelibatan masyarakat dengan pola kemitraan. Pada umumnya hutan lindung yang

langsung berbatasan dengan masyarakat, termasuk di KPHL Rinjani Barat sudah

terdapat penggarap di dalamnya. Oleh sebab itu rehabilitasi perlu melibatkan

penggarap secara aktif dengan tetap berada di dalam kerangka hukum yang

berlaku dengan pola kemitraan.

B. Peningkatan Manfaat Hutan Lindung

Upaya pengelolaan hutan lindung sebagai penyedia jasa lingkungan perlu

didukung dengan regulasi dan sarana yang memadai agar dapat mengembangkan dan

mengoptimalkan manfaat kawasan tersebut. Misalnya, sebagai penyedia jasa

Sintesis 2010-2014 | 55

ekowisata kawasan hutan lindung perlu dilengkapi dengan fasilitas pendukung antara

lain:

Obyek wisata Air Terjun Kerta Gangga memerlukan perbaikan jalan, jembatan

dan fasilitas pendukung seperti toilet, kamar ganti, tempat istirahat dan tempat

sampah.

Taman Wisata Pusuk Pass memerlukan penataan pedagang, diperlukan tempat

peristirahatan dan penataan taman.

Obyek wisata Air Terjun Sendang Gile meskipun sudah dikelola dengan cukup

baik tetapi diperlukan penambahan fasilitas pendukung seperti toilet, tong

sampah, penerangan dan tempat peristirahatan.

Obyek wisata Aik Nyet memerlukan fasilitas umum seperti toilet, kamar mandi,

selain tempat peristirahatan.

Obyek wisata Air Terjun Timponan memerlukan perbaikan akses jalan menuju

lokasi, penyediaan tempat parkir dan fasilitas umum seperti toilet, kamar ganti,

tempat sampah dan tempat peristirahatan.

Dalam hal pengelolaan manfaat hutan lindung sebagai penyedia sumber daya air

(misalnya untuk pemenuhan kebutuhan air bersih secara komersial), diperlukan

sebuah terobosan untuk memformulasikan dalam sebuah peraturan yang dapat

mengikat semua pelanggan PDAM yang memanfaatkan sumber daya air.

Keberadaan KPHL Rinjani Barat sebagai institusi baru yang dipercaya pemerintah

mengelola kawasan hutan lindung yang menjadi sumber mata air yang dikelola oleh

PDAM untuk memenuhi kebutuhan air pelanggan mempunyai potensi yang besar

untuk terlibat secara langsung dalam pengelolaan dana imbal jasa lingkungan ini. Hal

ini mengingat KPHL Rinjani Barat merupakan institusi yang bertanggung jawab

secara langsung terhadap kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan kawasan hutan

lindung; di mana wilayah kerja KPHL Rinjani Barat tidak dibatasi oleh batas

administratif tetapi oleh daerah aliran sungai sehingga memungkinkan pengelolaan

lintas kabupaten.

C. Koordinasi dan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan

Lindung

Dalam pengelolaan hutan lindung diharapkan bahwa KPHL Rinjani Barat harus

melakukan dan meningkatkan koordinasi dan komunikasi serta membuka kerjasama

dengan pihak-pihak yang berasal dari sektor lain seperti Pertanian dan perkebunan,

Perindustrian dan perdagangan, BPMD, BP POM, Perbankan, dll dalam rangka

mengembangkan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

KPHL tidak bisa bekerja sendiri ataupun hanya bekerja dengan lingkup instansi

kehutanan karena untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat sangat penting

mendapatkan dukungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai

Sintesis 2010-2014 | 56

kewenangannya yang bertanggungjawab terhadap pembangunan KPH dan

infrastrukturnya. Oleh karena itu perlu menjalin kerjasama multipihak dalam

pelaksanaan kegiatan di lapangan.

KPHL perlu terus meningkatkan kapasitas kelembagaan baik pada intern KPHL

Rinjani Barat maupun kapasitas kelembagaan yang ada di masyarakat karena hampir

seluruh kawasan hutan lindung sudah dirambah masyarakat sehingga perlu pelibatan

masyrakat dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.

Adapun saran para pihak agar pengelolaan hutan lindung di daerah ini dapat

berjalan lebih baik sehingga kawasan hutan terpelihara secara lestari adalah: (a)

Penyelesaian masalah land tenure, (b) Peningkatan kapasitas petugas kehutanan dan

masyarakat sekitar, (c) Penguatan kelembagaan KPHL dengan lembaga mitra, (d)

Penerapan teknologi pengelolaan lahan yang sesuai dengan fungsi lindung yaitu

pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan, (e) Pemilihan jenis tanaman yang

dikembangkan di dalam kawasan harus memperhatikan posisi, kondisi dan tujuan

penanaman.

Sintesis 2010-2014 | 57

DAFTAR PUSTAKA

Abe, K. and R. R. Ziemer, 1991. “Effect of tree roots on shallow-seated land slides”,

USDA forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-GT 130, hal : 11-20.

Ali, F. 2010. Use of vegetation for slope protection: Root mechanical properties of

some tropical plants. International Journal of Physical Sciences Vol.5(5), hal :

496-506.

Diniyati, D, E. Fauziyah, dan T. Sulistiyati W. 2007.Strategi Rehabilitasi Hutan

Lindung di Kabupaten Garut.Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.

Vol,4.No.2. Juni 2007. Pusat Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.

Bogor.

Fan, C. and Yu-wen Chen. 2010. The effect of root architecture on the shearing

resistance of root permeated soil. Ecological Engineering. Vol.36, issue 6, hal

:813-826.

FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Bull. No.32. Rome

Hairiah, K., Widianto dan Didik Suprayogo. 2008. Adaptasi dan Mitigasi

Pemanasan Global : Bisakah agroforestri mengurangi resiko longsor dan emisi

gas rumah kaca. Kumpulan makalah INAFE. UNS. Surakarta.

ITTO. 1990. ITTO Guidelines for Sustainable Management of Natrural Tropical

Forest. ITTO, Yokohama, Japan.

ITTO. 2002. ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation

of Degraded and Secondary Forest. ITTO Policy Development Series No. 13.

Yokohama, Japan.

Kobayashi, S. J. Turnball, T. Toma, T. Mori and N. Majid (eds.).2001. Rehabilitation

of Degraded Forest Issues in Forest Conservation. IUCN. Switzerland.

KPHL Rinjani Barat. 2011. Kondisi umum KPH Rinjani Barat. KPHL Rinjani

Barat.

Lizawati, Roedhy Poerwanto, Sobir, Iman Rusmana dan Tri Muji Ermayanti. 2007.

Pertumbuhan Bibit Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) Setelah

Inokulasi dengan Berbagai Galur Agrobacterium rhizogenes. Buletin

Agronomi (35)(2). P2Biotek. LIPI. Bogor. Hal 127-134.

Maetens, W, J. Poesen dan M. Vanmaercke. 2012. How Effective are Soil

Conservation Techniques in Reducing Plot Runoff and Soil Loss in Europe and

The Mediterranean. Earth-Science Reviews 115. P.21-36.

Nawir, Ani A., Murniati dan Lukas Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di

Indonesia : Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa. Center

for International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia.

Paimin, Sukresno dan Purwanto. 2006. Sidik cepat degradasi Sub Daerah Aliran

Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Bogor

Puspita Sari, D, Sumeru Ashari dan Didik Haryono. 2011. Respon Awal

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Durian (Durio zibethinus Murr.) terhadap

Pemberian Pupuk Organik. Makalah Seminar Nasional Hortikultura, Lembang

Bandung, 23 Nopember 2011.

Ritung S, Wahyunto, Agus F, dan Hidayat H. 2007.Panduan Evaluasi Kesesuaian

Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh

Barat.Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor,

Indonesia.

Sintesis 2010-2014 | 58

Soemarwoto, O., 1985. A Qualitative of Population Pressure and It’s Potential Use in

Development Planning. Majalah Demografi Indonesia, 12 (24)

Tampubolon, A.P. and N. Supriana. 1993. The Environmental Aspects of TPTI. UN

Space Technology Conference. Bandung.

Thierfelder, C dan Patrick C. Wall. 2009. Effect of conservation agriculture

techniques on infiltration and soil water content in Zambia and Zimbabwe.

Soil & Tillage Research 105 (2009) 217–227

Valentin, C, F. Agus, R. Alamban, A. Boosaner, J.P. Bricquet, V, Chaplot, T. de

Guzman, A. de Rouw, J.L. Janeau, D. Orange, K. Phachomphonh, Do Duy

Phai, P. Podwojewski, O. Ribolzi, N. Silvera, K. Subagyono, J.P Thie’baux,

Tran Duc Toan dan T. Vadari. 2008. Runoff and Sediment Losses from 27

Upland Catchments in Southeast Asia : Impact of Rapid Land Use Changes

dan Conservation Practices. Agriculture, Ecosystem and Environment 128.

P.225-238.

Yen, C.P. 1987. Tree root patterns and erosion control. Proceedings of the

International Workshop on Soil Erosion and its Counter measures. Soil and

Water Conservation Society of Thailand, Bangkok.