Upload
utari-tresna
View
125
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ilmu Penyakit Dalam
Citation preview
BAB II
Pengelolaan Hipertensi Pada Tindakan di Bidang Kedokteran Gigi
2.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi kenaikan tekanan darah yang
persisten sebagai akibat dari kenaikan resistensi arteri perifer. Pada pemeriksaan
tekanan darah akan didapat dua angka, yakni nilai sistolik dan diastolic. Angka
sistolik didapat saat jantung berkontraksi, dan diastolic didapat saat jantung
berelaksasi. Berdasarkan angka sistolik dan diastolic hipertensi dapat
diklasifikasikan kedalam normal, prehipertensi , hipertensi tahap 1, dan hipertensi
tahap 2.
Klasifikasi tekanan darah Systole Diastole
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 >160 >100
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa sesuai JNC-7
Jika dikelompokkan menurut etiologinya, hipertensi dapat
dikategotikan sebagai hipertensi sekunder dan primer. Hipertensi primer sering
juga disebut dengan hipertensi essensial, merupakan keadaan hipertensi yang
etiologinya tidak diketahui secara pasti, faktor penyebab berupa faktor lingkungan
dan faktor genetik. Faktor lingkungan seperti diet tinggi sodium, kegemukan, dan
stress dapat meningkatkan kemungkinan hipertensi terutama pada orang yang
secara genetik memiliki riwaya hipertensi. Emosi pun dapat menjadi faktor
pemicu hipertensi, pada keadaan emosi pelepasan chatecolamin dapat
meningkatkan tekanan darah. Hipertensi sekunder sering dikaitkan dengan
stenosis arteri ginjal, phaechromocytoma, hiperaldosteronism, dan penggunaan
obat-obatan seperti kontrasepsi oral dan kortikosteroid.
2
2.2 Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara
potensial dalam terbentuknya hipertensi, antara lain:
1) Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik
2) Produksi berlebihan hormone yang menahan natrium dan vasokonstriktor
3) Asupan natrium yang berlebih
4) Kurangnya asupan kalium dan kalsium
5) Meningkatnya sekresi renin yang berkaitan dengan peningkatan produksi
angiotensin II dan aldosteron
6) Defisiensi vasodilator
7) Abnormalitas tahanan pembuluh darah
8) Diabetes mellitus
9) Resistensi insulin
10) Perubahan sistem kalikrein-kinin
11) Obesistas
12) Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
13) Perubahan reseptor adrenergic
14) Berubahnya transport ion dalam sel
Tanda awal hipertensi berupa perubahan tekanan darah yang
fluktuatif, penyempitan pembuluh arteri retina dengan atau tanpa perdarahan.
Gejala awal hipertensi berupa sakit kepala, gangguan penglihatan, kesemutan
pada ektremitas. Pada keadaan yang lebih lanjut, hipertensi dapat disertai dengan
hipertropi ventrikel, hematuri, proteinuri, gagal jantung, gagal ginjal, angina, dan
kebutaan. Secara klinis, tidak ditemukan manifestasi dalam mulut yang
diakibatkan langsung oleh hipertensi, melainkan oleh obat-obatan anti hipertensi
seperti calcium channel blocking agents, terkadang dapat menimbulkan
xerostomia, lichenoid stomatitis, hiperplasi ginggiva, parestesi, dan perubahan
sensasi rasa.
Krisis hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sangat
tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ
3
target. Biasanya terjadi pada kenaikan tekanan darah pada >180/120mmHg.
Hipertensi emergensi, keadaan tekanan darah sangat tinggi disertai kerusakan
target organ akut yang bersifat progresif, pada keadaan tekanan darah harus
diturunkan dengan segera untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut.
Hipertensi urgensi, kondisi tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan
organ target yang progresif, dan tidak begitu memerlukan penangan yang segera.
Tekanan darah dapat diturunkan dengan meminum obat anti hipertensi ke nilai
normal dalam waktu beberapa jam hingga beberapa hari.
2.3 Anestesi Lokal dan Hipertensi
Anestesi lokal sering diberikan untuk mengontrol rasa sakit saat
tindakan perawatan gigi. Bahan anestesi lokal mengandung vasokonstriktor,
bahan tersebut berkerja sebagai memperpanjang durasi anestesi lokal,
memperdalam anestesi lokal, mengurangi resiko toksik sistemik, mengontrol
perdarahan pada lokasi operasi.
Vasokonstriktor pada bahan anestesi lokal secara kimiawi menyerupai
mediator sistem saraf simpatis, epinefrin dan non epinefrin. Aksi vasokonstriktor
menyerupai respon saraf adrenergic terhadap stimulasi. Jika diklasifikasikan,
vasokonstriktor tergolong kedalam obat simpatomimetik. Golongan obat tersebut
bereaksi secara langsung pada reseptor adrenergic, namun dapat pula bekerja
secara gabugan (langsung dan tidak langsung). Ada dua reseptor adrenergic di
dalam tubuh manusia, yaitu dan , yang dibagi lagi menjadi 1, 2, 1, 2.
Stimulasi reseptor dapat mengakibatkan vasokonstriktor pada pembuluh darah
perifer, 1 merupakan pre sinaps eksitasi dan 2 merupakan post sinaps inhibitor.
Stimulasi cenderung meningkatkan tekanan darah tetapi tidak begitu tinggi atau
berpengaruh. Reseptor 1 dapat meningkatkan frekuensi nadi jantung dan
kekuatan kontraksi jantung sehingga tekanan darah meningkat, reseptor 2
menimbulkan vasodilatasi dan brochodilatasi.
Vasokonstriktor 1
(%)
2
(%)
(%)
Epinephrine 50 50 100
4
Norepinephrine 85 15 25
Levonordefrin 75 25 15
Phenylephrine 95 5 5
Tabel 2. Potensi vasokonstriktor terhadap reseptor adrenergik
Vasokonstriktor dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk
obat anti hipertensi. Interaksi vasokontriktor dengan obat-obat nonselective
blocker dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan bradikardi. Interaksi
dengan obat adrenoceptor blocker dan adrenergic neuron blocker dapat
menimbulkan hipotensi. Interaksi vasokonstriktor dengan cocain dapat
menimbulkan takikardi dan hipertensi,
2.4 Pengelolaan Pasien dengan Hipertensi
Pengelolaan pasien dengan hipertensi perlu perhatian khusus, terutama
jika dalam suatu tindakan diperlukan pemberian anestesi lokal yang mengandung
vasokonstriktor. Sehingga pemilihan anestesi lokal sangat diperlukan didasarkan
pada durasi yang dibutuhkan, keperluan hemostasis, dan kondisi penyakit
sistemik yang menyertai pasien. Perlu diperhatikan pula, jika penggunaan
vasokonstriktor merupakan kontraindikasi bagi pasien dengan angina yang tidak
stabil, infark jantung dan stroke < 6 bulan, operasi by pass arteri koroner < 3
bulan, hipertensi yang tidak terkontrol, hipertiroid tidak terkontrol, gagal jantung
parah, sensitive sulfite, dan phaeochromocytoma.
Terdapat dua strategi yang dapat diterapkan dalam merawat pasien
dengan hipertensi di kedokteran gigi yaitu strategi preventif dan strategi kuratif.
Strategi preventif meliputi semua tindakan untuk mengontrol tekanan darah
pasien selama periode perawatan serta semua tindakan preventif di kedokteran
gigi seperti kontrol plak, fluridasi, dan lain-lain. Tindakan pasien untuk
mengontrol tensi pasien meliputi semua tindakan menghilangkan penyebab yang
dapat meningkatkan tekanan darah seperti kontrol kecemasan, pemilihan anestesi
dan bahan anestesi, kontrol rasa sakit setelah tindakan selesai. Tindakan
perawatan gigi yang lama sebaiknya dihindarkan.
5
Pemberian sedative peroral (benzodiazepine 5mg malam sebelum
tidur, dan 1 jam sebelum tindakan perawatan) dapat membantu mengurangi
kecemasan. Penggunaan sedasi dengan nitrous oxide (N2O) dapat menurunkan
tekanan darah sistol dan diastole hingga 15015 mmHg 10 menit setelah
pemberian, dan dapat dilanjutkan dengan anestesi lokal dengan atau tanpa
vasokonstriktor. Pemilihan waktu perawatan gigi merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan. Pada pasien hipertensi saat bangun tidur pagi, tekanan darah
dapat meningkat hingga pada pertengahan hari, dan menurun pada sore hari.
Sehingga waktu perawatan sebaiknya pada sore hari.
Tekanan darah Strategi
≤120/80 mmHg
Tekanan darah optimal
Resiko status I
Catat tekanan darah tiap kali
kunjungan
Perawatan gigi rutin
≤130/85 mmHg
Tekanan darah normal
Resiko status I
Catat tekanan darah tiap kali
kunjungan
Perawatan gigi rutin
130/85 – 130/89 mmHg
Tekanan darah tinggi – normal
(prehipertensi)
Resiko status I
Catat tekanan darah tiap kali
kunjungan
Perawatan gigi rutin
140/90 – 159/99 mmHg
Hipertensi stage 1
Resiko status II:
Stabil secara medis
Tidak ada pembatasan aktivitas
fisik
Catat tekanan darah tiap kali
kunjungan
Perawatan dental rutin
Rujuk medis rutin
160/100 – 159/99 mmHg
Hipertensi stage 2
Resiko status III:
Tidak stabil secara medis
Catat tekanan darah tiap kali
kunjungan
Perawatan gigi selektif
Rujuk medis rutin
6
Ada pembatasan aktivitas fisik
180/110 – 209/119 mmHg
Hipertensi stage 2
Resiko status IV:
Tidak stabil secara medis
Sangat terbatas dalam toleransi
aktivitas fisik
Catat tekanan darah
Pemberian perawatan gigi
emergensi
Penggunaan anestesi lokal tanpa
epinephrine/adrenalin
Rujuk medis urgensi
≥ 210/120 mmHg
Hipertensi stage 2
Resiko status IV:
Tidak toleransi terhadap aktifitas
fisik
Hipertensi mengancam kehidupan
Catat tekanan darah
Pemberian perawatan emergensi
Penggunaan anestesi lokal tanpa
adrenalin
Rujuk medis emergensi
Tabel 3. Strategi preventif dan kuratif perawatan gigi untuk pasien hipertensi
Strategi perawatan kuratif perlu disesuaikan dengan kondisi pasien
berdasarkan status pasien menurut ASA (American Society of Anaesthesiologists).
ASA mengklasifikasikan status resiko pasien kedalam ASA I, ASA II, ASA III,
ASA IV. Pasien dengan ASA I memiliki tekanan darah norma 120/80 – 130/89
mmHg, tidak memiliki penyakit sistemi, sehingga dapat diberikan perawatan gigi
rutin. Pasien dengan ASA II memiliki tekanan darah 140/90 – 159/99 mmHg,
hipertensi stage 1, stabil secara medis, tidak memiliki keterbatasan dalam aktifitas
fisik, perawatan gigi rutin dapat dilakukan, tetapi perlu pemantauan setelah
pemberian anestesi lokal yang mengandung adrenalin. Pasien dengan ASA III,
memiliki tekanan darah 160/100 – 179/109 mmHg, hipertensi stage 2, pada
keadaan tersebut pasien tidak stabil secara medis dan memiliki keterbatasan dalam
melakukan aktifitas fisik, perawatan gigi yang dapat diberikan hanya perawatan
selektif seperti propilaksis, restorative, periodontal, endodontic, dan ekstraksi
rutin. Pasien dengan ASA IV, dengan tekanan darah 180/110 – 209/119 mmHg,
tidak stabil secara medis dan aktifitas fisik sangat terbatas, hanya dapat dilakukan
perawata gigi darurat non stressful seperti pengurangan rasa sakit dan perawatan
infeksi seperti insisi sederhana dan drainage; sedangkan pada pasien dengan
7
tekanan darah 210/120 mmHg atau lebih tidak dapat menerima stress fisik atau
emosional, semua tindakan dental darurat harus dipertimbangkan, karena pada
keadaan tersebut status pasien berada pada ASA IV yang dapat mengancam jiwa.
BAB III
Pembagian Anemia dan Pengelolaannya
8
3.1. Definisi Anemia
Anemia merupakan suatu kondisi di mana terdapat penurunan
konsentrasi hemoglobin, jumlah sel darah merah, atau volume sel darah tanpa
plasma (hematokrit) dibandingkan dengan nilai-nilai normal. Anemia dapat dibagi
kedalam dua bentuk yakni yang disebabkan oleh kerusakan pembentukan sel
darah merah dan yang disebabkan oleh kehilangan atau kerusakan sel darah merah
berlebihan.
3.2. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi.
Berdasarkan morfologinya, anemia terdiri dari:
1) Normositik : penuruanan jumlah eritrosit tanpa disertai kelainan bentuk
dan konsentrasi hemoglobin
2) Mikrositik : penurunan ukuran dan warna sel darah merah disebabkan
oleh ketidakadekuatan konsentrasi hemoglobin
3) Makrositik : sel darah merah dalam ukuran yang besar dengan
konsentrasi yang normal
4) Anisositosis : variasi ukuran sel darah merah
5) Poikilositosis : variasi bentuk sel darah merah
Merurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam
yaitu :
1) Hipoproliferasi, gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang.
Dapat disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang, defisiensi besi, stimulasi
eritropoietin yang inadekuat, supresi produksi eritropoietin, penurunan
kebutuhan jaringan terhadap oksigen.
2) Gangguan pematangan sel darah merah, kadar retikulosit yang rendah,
adanya gangguan morfologi sel, dengan indeks eritrosit yang abnormal.
3) Penurunan waktu hidup sel darah merah (hemolisis)
3.2.1 Anemia Defisiensi Besi
9
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang terjadi akibat
kekurangan zat besi dalam darah, dimana konsentrasi hemoglobin dalam darah
berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat
kurangnya kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh
seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut mendekati anemia walaupun
belum ditemukan gejala-gejala fisiologis.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain:
1) Asupan zat besi
Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang
mengkonsumsi bahan makanan yang kurang beragam dengan menu
makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan, dan sedikit daging,
unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi
sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik kurangnya
penyediaan pangan, distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan
makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan.
2) Penyerapan zat besi
Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi dalam
tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap sangat bergantung dari jenis
zat besi dan bahan makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan
penyerapan besi.
3) Kebutuhan meningkat
Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti
pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan, dan menyusui. Kebutuhan zat
besi juga meningkat pada kasus perdarahan yang kronis.
4) Kehilangan zat besi
Kehilangan zat besi basal merupakan kehilangan zat besi melalui
saluran pencernaan, kulit dan urin, pada wanita kehilangan zat besi juga
dapat terjadi pada saat menstruasi.
10
Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara
mengukur kadar Hb, hematokrit, volume sel darah merah, konsentrasi Hb dalam
sel darah merah. Terdapat tiga uji laboratorium yang dipadukan dengan
pemeriksaan kadar Hb agar hasil lebih tepat untuk menentukan anemia gizi besi.
Yaitu:
1) Serum Ferritin
Ferritin diukur untuk mengetahui status besi di dalam hati. Bila kadar SF <
12 mg/dl maka orang tersebut menderita anemia gizi besi.
2) Transferin Saturation
Kadar besi dan total iron binding capacity (TIBC) dalam serum merupakan
salah satu yang menentukan status besi. Pada saat kekurangan zat besi,
kadar besi menurun dan TIBC meningkat, rasionya yang disebut denga
TS. TS < 16% maka orang tersebut dikatakan defisensi zat besi.
3) Free Erythocyte Protophorph
Bila kadar zat besi dalam darah kurang maka sirkulasi FEB dalam darah
meningkat. Kadar normal FEB 35-50 mg/dl RBC.
Kelompok Umur Hemoglobin (gr/dl)
Anak –
anak
6 – 59 bulan
5 – 11 tahun
12 – 14 tahun
11,0
11,5
12,0
Dewasa Wanita > 15 tahun
Wanita hamil
Laki-laki > 15 tahun
12,0
11,0
13,0
Tabel 4. Hemoglobin berdasarkan kelompok umur
Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia defisiensi besi dapat
dilakukan dengan cara :
11
1) Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan
2) Mengubah kebiasaan pola makanan dengan menambahkan konsumsi
pangan yang memudahkan absorbs besi seperti menambahkan vitamin C
3) Suplementasi tablet Fe
3.2.2 Anemia Megaloblastik
Merupakan anemia yang terjadi karena terhambatnya dan eritrosit
yang tidak berfungsi. Ditandai dengan adanya sel megaloblas dalam sumsum
tulang. Sel megaloblas merupakan precursor eritrosit dengan bentuk sel yang
besar. Anemia ini dapat disebabkan oleh kekurangan vitamin B12, defisiensi asam
folat, gangguan metabolism vitamin B12 dan asam folat, gangguan sinsetisasi
DNA yang merupakan akibat dari defisiensi enzim congenital dan didapat setelah
pemberian obat atau sitostatik tertentu.
Timbulnya megaloblas akibat gangguan sel karena terjadi gangguan
sintesis DNA sel-sel eritroblas akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12,
dimana vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel
dan dalam pembentukan myelin. Karena gangguan sintesis DNA pada inti
eritoblas ini, makan maturasi ini lebih lambat sehingga kromatin lebih longgar dan
sel menjadi lebih besar. Sel eritroblas dengan ukuran yang lebih besar dan
susunan kromatin lebih longgar disebut sebagai sel megaloblas. Sel ini akan
dihancurkan saat masih di dalam sumsum tulang sehingga terjadi eritropoesis
inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek yang berujung pada terjadinya
anemia.
Manifestasi klinis dari jenis anemia ini seperti tubuh lemah, pucat,
anemia, ikterus ringan, glositis, kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya rasa
di tungkai, kaki, dan tangan, purpura trombositopeni, penurunan berat badan.
Penatalaksanaan untuk pasien dengan anemia megaloblas dapat
dilakukan dengan terapi suportif, dilakukan transfuse bila ada hipoksia dan
suspense trombosit bila trombositopenia; pemberian vitamin B12 intramuskular
untuk mengatasi kekurangan vitamin B12; asam folat 1-5 mg/hari per oral untuk
12
mengatasi defisiensi asam folat; serta menghentikan obat-obatan pemicu anemia
megaloblastik.
3.2.3 Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas
sumsum tulang. Anemia ini merupakan kegagalan hemopoiesis yang jarang
ditemukan. Anemia ini dapat diturunkan maupun didapat.
Etiologi dari anemia aplastik yang diturunkan antara lain anemia
fanconi’s,dyskeratosis congenital, syndrome Shwachman-Diamond, reticular
dysgenesis, amegakaryocytic thrombocytopenia, anemia aplastik familial,
preuleukemia, sindrom nonhematologic seperti down syndrome, dubowitz, dan
Seckel. Penyebab dari anemia aplastik yang didapat antara lain radiasi, obat dan
zat kimia, reaksi idiosinkronisasi, Epstein-barr virus, hepatitis, parvovirus B19,
penyakit imun, hypoimmunoglubulinemia, karsinoma thymus, graft-versus-host
disease pada immunodefisiensi. Patofisiologi dari anemia ini karena adanya
kegagalan sumsum akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik.
Pada anemia aplastik, sumsum tulang terganti oleh lemak.
Perdarahan merupakan gejala awal yang paling sering terjadi; keluhan
mudah terjadi memar selama beberapa hari hingga minggu, gusi yang berdarah,
mimisan, darah menstruasi yang berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya
thrombositopenia, perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada
sistem saraf pusat dapat berbahaya pada intracranial dan menyebabkan perdarahan
retina. Gejala anemia juga sering terjadi termasuk mudah lelah, sesak napas, dan
tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan gejala awal yang jarang terjadi pada
anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis, dimana faringitis, infeksi
anorektal, atau sepsis sering terjadi pada permulaan penyakit). Gejala yang khas
dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala pada sistem hematologist dan
pasien sering merasa dan sepertinya terlihat sehat walaupun terjadi penurunan
drastis pada hitung darah. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya
mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya
13
Secara singkat pada pasien dengan anemia aplastik biasanya
didapatkan keluhan lemah, pucat, dyspnea, jantung berdebar. Trombositopenia,
sakit kepala, demam, penurunan berat badan, dan penurunan nafsu makan. Pada
pemeriksaan fisik juga ditemukan karakteristik seperti:
1) Petekie, ekimosis
2) Perdarahan serviks
3) Perdarahan pada retina
4) Ditemukan darah pada feses
5) Kulit dan membrane mukosa terlihat pucat
6) Terdapat café au lait spot
Diagnosis anemia aplastik dapat dilakukan dengan cepat, berdasar
kombinasi pansitopenian dengan sumsum tulang kosong dan berlemak. Bagi
remaja atau dewasa yang mengalami pansitopeni sebaiknya sudah dicurigai
terkena anemia aplastik. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik seperti adanya pembesaran limfa seperti pada sirosis alkoholik,
riwayat metastasis kanker, sistemik lupus eritematosus.
Anemia aplastik dapat disembukan dengan penggantian sel
hematopoietic yang hilang dengan transplantasi stem cell, atau dapat diringankan
dengan penekanan sistem imun untuk mempercepat penyembuhan fungso
sumsum tulang residual. Faktor pertumbuhan hematopoietic memiliki
keterbatasan manfaat dan glukokortikoid tidaklah bermanfaat. Paparan obat atau
zat kimia yang dicurigai sebaiknya dihentikan dan dihindari.
3.2.4 Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik terjadi karena adanya peningkatan penghancuran
sel darah merah. Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah.
Penyebab anemia ini dapat berupa penyebab intrinsic maupun ekstrinsik.
Penyebab intrinsic antara lain:
1) Kelainan membran, seperti sferositosis herediter, hemoglobinuria
nokturnal paroksismal.
14
2) Kelainan glikolisis, seperti defisiensi piruvat kinase.
3) Kelainan enzim, seperti defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
4) Hemoglobinopati, seperti anemia sel sabit, methemoglobinemia.
Penyebab ekstrinsik antara lain:
1) Gangguan sistem imun, seperti penyakit autoimun, penyakit
limfoproliferatif
2) Mikroangiopati, seperti pada purpura trombotik trombositopenik,
koagulasi intravascular diseminata
3) Infeksi, seperti akibat plasmodium, klostridium, borrelia
4) Hipersplenisme
5) Luka bakar
Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia lainnya. hemolisis
yang berat kadang-kadang terjadi menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai
dengan :
1) Demam
2) Menggigil
3) Nyeri punggung dan nyeri lambung
4) Perasaan melayang
5) Penurunan tekanan darah
Bagian sel darah merah yang hancur dapat masuk ke dalam darah
sehingga menimbulkan sakit kuni dan air kemih berwarna gelap. Limpa
membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur. Jika
hemolisis terus berlanjut dapat menimbulkan batu empedu berpigmen, berwarna
gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan penurunan kadar Ht, retikulosit, kadar bilirubin indirek dalam darah
meningkat, peningkatan bilirubin total hingga 4 mg/dl, disertai peninggian
urobilinogen urin.
15
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya.
Jika terjadi karena toksik imunologi dapat diberikan kortikosteroid seperti
prednisone, prednisolon, bahkan dapat juga dilakukan splenektomi (jika
diperlukan). Jika hal tersebut tidak berhasil dapat diberikan obat-obat sitostatik
seperti klorabusil dan siklofosfamid.
BAB IV
Pengelolaan Dyspepsia Akibat NSAID
16
4.1 Dispepsia
Dyspepsia merupakan istilah yang dipakai untuk sindrom atau
kumpulan gejala atau kumpulan keluhan yang meliputi nyeri atau rasa tidak
nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut
terasa penuh/begah. Keluhan ini tidak selalu sama pada semua pasien, pada pasien
keluhan dapat bervariasi.
Dyspepsia dapat diakibatkan oleh infeksi Helicobacter pylori (HP),
penggunaan NSAID, hipersekresi asam lambung, dan kondisi stress. Faktor resiko
yang dapat menimbulkan dyspepsia antara lain:
1) Pasien dengan riwayat penyakit tukak peptic, perdarahan GI bagian atas,
komplikasi dari NSAID, penggunaan kortikosteroid, atau antikoagulan yang
dapat meningkatkan resiko perdarahan.
2) Usia, merokok, alkohol, dan penyakit kardiovaskular dapat meningkatkan
komplikasi GI dengan NSAID
3) Makanan yang dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan menimbulkan
dyspepsia seperti kopi, teh, soda, minuman beralkohol, susu, dan makanan
rempah
4) Faktor genetic
5) Penderita Zollinger- Ellison’s syndrome (ZES)
4.2 Patofisiologi
Dyspepsia terjadi karena adanya ketidakseimbangan asam lambung
dan pepsin dan mekanisme yang menjaga intergritas mukosa. Asam lambung
dihasilkan oleh sel-sel parietal. Sel ini memiliki reseptor histamine, gastrin, dan
asetilkolin. Sekresi asam diukur dalam beberapa parameter antara lain basal acid
output (BAO), maximal acid output (MAO), dan sekresi dari respon dari adanya
makanan. Rasio dari perbandingan BAO dan MAO memperlihatkan kelebihan
sekresi asam lambung. Pepsinogen disekresikan oleh chief cell, diaktifkan oleh
produksi asam menjadi pepsin. Pepsin ini memiliki aktivitas proteolitik yang
dapat menimbulkan tukak. Pertahanan mukosa meliputi sekresi mucus dan
17
bikarbonat, pertahanan sel epitel intrinsic, dan mucosal blood flow. Mukosa akan
mengalami regenerasi untuk perbaikan ketika terjadi luka pada mukosa. Proses
tersebut dibantu oleh peran prostaglandin.
NSAID merupakan salah satu penyebab timbulnya dyspepsia. Hal ini
akibat dari efek samping NSAID. NSAID menyebabbkan kerusakan mukosa
saluran cerna melalui iritasi topical dan inhibisi sistemik sintesis prostaglandin.
Siklooksigenase berperan dalam pembentukan prostaglandin. Siklooksigenase
(COX) terdapat dalam dua bentuk yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1
menghasilkan prostaglandin yang dapat melindungi mukosa saluran cerna, COX-2
merupakan enzim yang merespon stimulus inflamasi dan menghasilkan
prostaglandin yang berhubungan dengan prostaglandin. NSAID dapat
menghambat pembentukan COX-1, sehingga menimbulkan penurunan agregasi
platelet dan terjadi perdarahan mukosa saluran cerna.
Dyspepsia dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1) Dyspepsia organic : kelompok penyakit organik seperti tukak peptic,
gastritis, batu kandung empedu
2) Dispepsian fungsional : telah dilakukan sarana penunjang diagnostic, tidak
dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
structural atau biokimia, dengan kata lain disebut
gangguan fungsional
Selain itu, secara klini dyspepsia dikelompokkan menjadi empat, antara lain:
1) Reflux-like dyspepsia yaitu dyspepsia dimana “heartburn” dan regugirtasi
merupakan gejala yang menonjok
2) Ulcer-like dyspepsia yaitu dyspepsia dengan gejala-gejala yang dianggap
karakteristik untuk Ulkus peptikum. Disini biasanya termasuk gejala nyeri
perut yang tajamlokasinya, pengurangan nyeri sesudah penelanan antasida
atau makanan. Disini tampak pula pola remisi dan kambuh.
3) Dysmotilyti-like dyspepsia yaitu dyspepsia dengan kekembungan, rasa lekas
kenyang, mual, rasa perut tak enak, atau nyer yang tak jelas lokasinya
18
4) Non-spesific dyspepsia yaitu dyspepsia yang tidak dapat digolongkan pada
salah satu dari 3 jenis dyspepsia di atas
4.3 Pengelolaan Dyspepsia Akibat NSAID
Tujuan dari pengobatan pasien dengan dyspepsia adalah untuk
menghilangkan nyeri tukak, mengobati ulkus, mencegah kekambuhan, dan
mengurangi komplikasi yang berkaitan dengan tukak. Obat-obatan yang
digunakan dalam terapi dyspepsia karena efek samping NSAID yaiut H2RA, PPI,
kelator dan senyawa kompleks, analog prostaglandin, antimuskarinik, dan
antibiotic.
1) Antagonis reseptor H2
Terapi dengan agen antagonis reseptor H2 digunakan untuk mengurangi
sekresi asam lambung berlebih. Mekanisme obat ini dengan cara memblok
kerja dari histamine atau berkompetisi dengan histamine untuk berikatan
dengan reseptor H2 pada sel parietal sehingga mengurangi sekresi asam
lambung. Obat yang umumnya digunakan yaitu simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin.
2) Penghambat pompa proton (PPI)
Agen penghambat pompa proton ini dapa mengurangi sekresi asam lambung
dengan jalan menghambat enzim adenosine trifosfat hidrogen kalium secara
efektif dalam sel-sel parietal lambung. PPI merupakan pengobatan jangka
pendek yang efektif untuk tukak lambung dan duodenum. Selain itu
penghambat pompa protein juga digunakan dalam kombinasi dengan
antibiotic untuk eradikasi HP. Contoh obat golongan ini yaitu omeprazol,
lansoprazol, rabeprazol, dan esomeprazol.
3) Kelator dan senyawa kompleks
Sucralfat merupakan obat lain untuk tukak lambung dan usus. Mekanisme
kerjanya dengan melindungi mukosa dari serangan pepsin asam. Senyawa ini
merupakan kompleks alumunium hidroksida dan sukrosa sulfat.
4) Analog prostaglandin
19
Salah satu analog prostaglandin yaitu misoprostol yang memiliki sifat
antisekresi dan proteksi, mampu mempercepat penyembuhan tukak lambung
dan duodenum. Senyawa ini dapat mencegah tukak karena NSAID.
Penggunaannya sesuai untuk pasien lemah dan lanjut usia, dimana
penggunaan NSAID tidak dapat dihentikan.
5) Antimuskarinik
Obat ini dapat mempengaruhi pelepasan histamine di sel parietal sehingga
meningkatkan sekresi asam lambung. Obat golongan ini yang sering
digunakan yaitu pirenzipin. Pirenzipin dapat menghambat aktivitas asetilkolin
yang dapat menghambat peningkatan sekresi asam lambung.
6) Antibiotic
Amoxicillin, bakterisid turunan penisili yang memiliki efek spectrum luas.
Bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Sintesas dinding sel
terganggu sehingga dinding sel yang terbentuk kurang sempurna dan tidak
tahan terhadap tekanan osmotic dari plasma sehingga akhirnya sel pecah dan
bakteri akan mati.
Tetrasiklin, bakteriostatik yang bekerja menghambat sintesa protein dengna
berikatan pada ribosomam subunit 30S sehingga menghambat ikatan
aminoasir-tRNA ke sisi A pada kompleks ribosomal. Hambatan ikatan ini
menyebabkan hambatan sintesis ikatan peptide.
Metronidazol, antimikroba yang memiliki aktivitas yang sangat baik terhadap
bakteri anaerob dan protozoa. Bekerja dengan berinteraksi dengan DNA
bakteri menyebabkan perubahan struktur heliks DNA dan putusnya rantai
sehingga sintesa protein dihambat dan mengakibatkan kematian sel.
20
Gambar 1. Algoritma tukak peptic
21
BAB V
Efek Samping NSAID
Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) mempunyai efek
analgetik, antipiretik dan anti inflamasi. Obat ini memiliki kemampuan untuk
menghambat siklooksigenase (COX), sehingga mampu menghambat sintesis
prostaglandin. Prostaglandin menyebabkan munculnya rasa nyeri karena
mengiritasi ujung saraf perasa. Prostaglandin juga bagian dari pengatur suhu
tubuh. Golongan NSAID dapat mengurangi nyeri dengan turunnya kadar
prostaglandin. Efek dari turunnya prostaglandin yaitu berkurangnya peradangan,
pembengkakan, dan turunnya demam serta mencegah pembekuan darah. NSAID
memiliki manfaat sebagai anti inflamasi melalui aksinya pada enzim
siklooksigenase, namun dapat pula menimbulkan tukak lambung melalui aksinya
pada enzim siklooksigenase-1. Contoh obat-obatan NSAID antara lain diklofenak,
etodolak, fenoprofen, ibuprofen, asam mefenamat, aspirin, indometasin, dan lain-
lain.
Efek samping dari NSAID umumnya yaitu terjadinya dyspepsia dan
mual. Dapat pula terjadi perdarahan pada kapiler dan mukosa, seperti pada
penggunaan aspirin dimana terjadi kerusakan mukosa karena disintegrasi saat
kontak dengan jaringan gastric dan adanya kemampuan aspirin dalam
menghambat siklooksigenasi-1, yang mana menghambat pula mekanisme
sitoprotektif dan agregasi platelet.
Efeknya dalam menghambat sintesis PGI2 dan PGE2 mengakibatkan
hilangnya efek perlindungan pada mukosa lambung dimana dapat menimbulkan
berbagai masalah pada saluran pencernaan, seperti perdarahan gastric,
symptomatic peptic ulcer, dan perforasi gastrointestinal dan obstruksi.
Kebanyakan NSAID juga memiliki efek terhadap antiplatelet, hal ini berkaitan
dengan efeknya dalam menghambat produksi TXA2.
Efeknya terhadap antiplatelet dapa memperpanjang waktu perdarahan.
Efek samping terhadap ginjal pun pernah ditemukan. Fungsi normal ginjal
22
bergantung pada sintesis prostaglandin. COX-1 dan COX-2 berperan dalam
sintesis prostaglandin, yang turut berperan dalam mengurangi air dan reabsorbsi
Na+ . Pada terapi dengan NSAID, air dan Na+ mengalami retensi dan
menimbulkan peripheral edema, kenaikan tekanan darah, dan kadang terjadi gagal
jantung kongesti. Vasokonstriksi arteri ginjal menimbulkan iskemia ginjal akut
dan gagal ginjal.
Penggunaan aspirin pada anak dengan infeksi virus sering
dihubungkan dengan Reye’s syndrome. Reaksi alergi pun dapat terjadi pada
beberapa pasien, dengan gejala mual, ruam pada kulit, angiodema, atau
anafilaksis. Jika terjadi reaksi alergi maka perlu penggantian dengan obat NSAID
golongan lainnya, pada pasien yang intoleran terhadap aspirin asetaminofen
merupakan antipiretik analgesic yang aman.
23
BAB VI
Cara Mendiagnosis TBC Paru Berdasarkan WHO
6.1 Tuberculosis Paru
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan adanya pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Bakteri ini merupakan bakteri aerob
yang dapat hidup di paru-paru dan berbagai organ tubuh yang bertekanan parsial
tinggi. Infeksi awal bias anya terjadi 2-10 minngu setelah pemajanan. Seorang
individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan
respon imun.
Penyakit ini ditandai dengan penurunan berat badan, anoreksia,
dispneu, dan adanya sputum purulen. Gejala dari penyakit ini antara lain:
1) Demam
Demam pada pasien dengan TBC paru biasanya menyerupai demam
influenza. Keadaan ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dengan
berat ringannya infeksi kuman TBC yang masuk
2) Batuk
Batuk dapat terjadi karena adanya infeksi bronkus. Diawali batuk kering
setelah peradangan menjadi batuk produktif disertai sputum. Pada keadaan
yang lebih lanjut berupa batuk darah, hal ini terjadi karena terdapat pembuluh
darah yang pecah.
3) Sesak nafas
Sesak nafas ditemukan pada pasien dengan perjalanan penyakit yang lebih
lanjut, hal ini terjadi karena infiltrasi sudah stengan bagian paru.
4) Nyeri dada
Nyeri dada timbul jika infiltrasi radang sudah sampai pada pleura, sehingga
menimbulkan pleuritis
5) Malaise
24
Malaise berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat badan menurun, sakit
kepala, merian, nyeri otot, dan berkeringat di malam hari.
Basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan di dalam paru-
paru, dimana terjadi pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa
untuk membentuk tuberkel. Banyaknya jaringan fibrosa menyebabkan
meningkatnya usaha otot pernafasan untuk ventilasi paru dan menurunkan
kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang
menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio
ventilasi-perfusi yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi
darah.
6.2 Pemeriksaan TB Paru
6.2.1 Pemeriksaan Radiologis
Untuk pemeriksaan radiologis, biasanya dilakukan rontgen pada
bagian dada. Foto rontgen tersebut untuk menemukan lesi tuberculosis. Lesi
tuberculosis umumnya ditemukan pada daerah apeks paru, dapat juga dibagian
lobus bawah, atau di daerah hilus. Pada perjalanan awal penyakit ini, gambar
radiologis menunjukkan lesi berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas
tidak tegas. Pada keadaan lebih lanjut, dimana lesi sudah diliputi jaringan ikat
gambaran radiologi memperlihatkan adanya bulatan dengan batas yang tegas. Lesi
tersebut disebut dengan tuberkuloma.
6.2.2 Pemeriksaan Laboratorium
6.2.2.1 Pemeriksaan BTA
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis TB paru dengan
pemeriksaan sputum. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mendeteksi acid-fast
bacilli (AFB) termasuk Mycobacterium tuberculosis. Untuk pemeriksaan sputum
ini diperlukan pengambilan sputum, terdapat tiga jenis sputum antara lain:
1) Sputum pagi, sputum yang dikeluarkan pada waktu pagi bangun tidur
2) Spot sputum, sputum yang dikeluarkan pada saat itu
25
3) Collection sputum, sputum yang keluar dan ditampung selama 24 jam
Setelah pengambilan sputum perlu dilakukan pemeriksaan, dengan
sediaan langsung atau tidak langsung. Pada sediaan langsung, sediaan dibuat
langsung dari specimen dan akan menghasilkan derajat positif sehingga dapat
digunakan untuk melihat tingkat keparahan penyakit. Sedangkan pada sediaan
tidak langsung, sediaan dibuat dari sedimen setelah homogenisasi/dekontaminasi.
Untuk pemeriksaan sputum, diperlukan pewarnaan sehingga dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Pewaranaan dilakukan dengan pewarnaan
acid fast cara Ziehl Neelsen atau basil tahan asam, dengan cara:
1) Buat preparat ulas dari sputum Mycobacterium tuberculosis
a. Objek glass dibersihkan dengan alkohol sampai kotoran yang melekat
hilang, kemudian objeck glass dipanaskan di atas api bunsen dan diolesi
sputum TBC
b. Objek glass dibersihkan dengan alkohol sampai kotoran yang melekat
hilang, kemudian objeck glass diolesi sputum TBC dibiarkan kering di
suhu ruang
2) Lakukan fiksasi dengan cara melewatkan preparat (objeck glass) di atas api
bunsen.
3) a. Teteskan karbol fukhsin di atas apusan sputum TBC dan panaskan dengan
api bunsen sampai 5 menit dan diusahakan zat warna tidak sampai
mendidih
b. Teteskan karbol fukhsin di atas apusan sputum TBC dan panaskan di atas
air mendidih sampai 5 menit dan diusakan zat warna tidak sampai kering
4) Cuci dengan air mengalir dan dikeringanginkan
5) Tetesi dengan zat peluntur warna (peluntur asam) : 20% H2SO4 atau
campuran alkohol 95% dengan 2,5% HNO3, biarkan selama 10-30 detik
sampai warna merah hilang
26
6) Cuci dengan air mengalir dan dikeringanginkan
7) Tetesi dengan metiline blue sebagai zat warna penutup dan dibiarkan selama
10– 30 detik.
8) Cuci dengan air mengalir dan dikeringanginkan
9) Amati dibawah mikroskop menggunkan minyak imersi
Penilaian tingkat infeksi TBC menurut IUAT (International Union Against
Tuberculosis)
1. Positif 1 (+) : diketemukan 10 – 99 sel BTA / 100 LP
2. Positif 2 (+ +) : diketemukan 1 – 10 sel BTA / 1 LP
3. Positif 3 (+ + +) : diketemukan lebih dari 10 sel BTA / 1 LP
Pemeriksaan dengan Ziehl-Neelsen menunjukan area spesifik dengan
prevalensi yang tinggi dari TB namun sensitivitasnya bervariasi antara 20-80%.
WHO mempublikasikan bahwa pemeriksaan dengan fluorescence lebih sensitif
10% daripada Ziehl-Neelsen.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila
setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif.
Medium yang sering digunakan adalah Lowenstein Jensen, Kudoh, atau Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan
cara Bactec (Bactec 400 Radiometric System), di mana bakteri sudah bisa
dideteksi dalam 7-10 hari. Di samping itu dengan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat dideteksi DNA bakteri TB dalam waktu yang lebih cepat
atau mendeteksi M. tuberculosis yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari
hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan
identifikasi kuman.
27
Kadang, dari hasil pemeriksaan mikroskopis terdapat BTA (positif), tetapi
pada biakan negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacilli atau non-culturable
bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat anttuberkulosis jangka pendek
yang cepat mematikan BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru,
pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin,
dan tinja.
6.2.2.2 Tes Tuberkulin
Tes tuberculin atau tes mantoux merupakan pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis TBC pada anak. tes tuberculin memiliki diagnostic
yang tinggi, dan merupakan standar dalam menegakkan diagnosis TBC pada anak.
Prosedur tes tuberculin, antara lain:
1) Injeksi intrakutan 0,1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, di bagian volar
lengan bawah.
2) Pembacaan dilakukan 48 – 72 jam setelah penyuntikan, ukur indurasi (bukan
hiperemis) dalam milimeter.
3) Uji tuberkulin positif menandakan infeksi TB, pasca terapi TB, imunisasi
BCG, infeksi M. atipik.
4) Uji tuberkulin negatif menandakan tidak ada infeksi TB, dalam masa inkubasi
infeksi TB, anergi (gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka
panjang, sitostatika, campak, pertusis, varisela, influenza, TB berat, serta
vaksinasi dengan vaksin hidup)
Indurasi (mm) Interpretasi Keterangan
Anak di atas 5 tahun
0 – 4 Negatif
5 – 9 Positif
meragukan
Dapat disebabkan: infeksi TB, infeksi
M. atipik, atau efek booster tuberkulin
28
(BCG)
≥ 10 Positif
Balita yang mendapat BCG
10 – 15 Positif Hasil positif dapat disebabkan BCG
≥ 15 Positif Hasil positif lebih disebabkan infeksi
TB dari pada BCG
Anak dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif (BTA positif),
atau anak dengan imunokompromais
≥ 5 mm Harus
dicurigai
terinfeksi TB
Tabel 5. Interpretasi Uji Tuberkulin
6.3 Stadium TBC
1) Kelas 0
Tidak ada jangkitan tuberkulosis, tidak terinfeksi (tidak ada riwayat
terpapar,reaksi terhadap tes kulit tuberkulin tidak bermakna).
2) Kelas 1
Terpapar tuberkulosis, tidak ada bukti terinfeksi (riwayat pemaparan,
reaksi testuberkulosis tidak bermakna).
3) Kelas 2
4) Ada infeksi tuberkulosis, tidak timbul penyakit (reaksi tes kulit tuberkulin
bermakna, pemeriksa bakteri negatif, tidak bukti klinik maupun
radiografik) .Status kemoterapi (pencegahan) :
a. Tidak ada
b. Dalam pengobatan kemoterapi
c. Komplit (seri pengobatan dalam memakai resep dokter)
d. Tidak komplit
5) Kelas 3
Tuberkulosis saat ini sedang sakit ( Mycobacterium tuberculosis ada
dalam biakan,selain itu reaksi kulit tuberkulin bermakna dan atau bukti
radiografik tentangadanya penyakit). Lokasi penyakit : paru, pleura,
29
limfatik, tulang dan/atau sendi, kemih kelamin, diseminata (milier),
menigeal, peritoneal dan lain-lain. Status bakteriologis :
a. Positif dengan :
• Mikroskop saja
• Biakan saja
• Mikroskop dan biakan
b. Negatif dengan :
Tidak dikerjakanStatus kemoterapi :Dalam pengobatan kemoterapi
sejak kemoterapi diakhiri, tidak lengkap reaksi teskulit tuberkulin :
• Bermakna
• Tidak bermakna
6) Kelas 4
Tuberculosis pada tahap ini tidak sedang menderita penyakit (ada riwayat
mendapat pengobatan pencegahan tuberculosis atau adanya temuan
radiografi yang stabil pada orang yang reaksi tes kulit tuberkulinya
bermakna, pemeriksaan bakteriologis bila dilakukan negative, tidak ada
bukti klini tentang adanya penyakit pada saat ini). Status kemoterapi:
• Tidak mendapat kemoterapi
• Dalam pengobatan kemoterapi:
o Komplit
o Tidak komplit
7) Kelas 5
Orang dicurigai mendapatkan tuberculosis (diagnosis ditunda). Kasus
kemoterapi:
• Tidak ada kemoterapi
• Sedang dalam pengobatan kemoterapi
.
30
BAB VII
Pengelolaan TBC Paru pada Perioperatif dalam Narkose
7.1 Anestesi Umum
Anestesi umum atau yang lebih dikenal dengan narkose. Tindakan
anestesi sudah dikenal sejak dahulu untuk mempermudha tindakan operasi.
Orang-orang Mesir menggunakan cannabis indica, dan pemukulan kepala dengan
tongkat kayu utnuk menghilangkan kesadaran seseorang.
Tahun 1776 ditemukan anestetika gas yang pertama yaitu N2O2,
karena dirasa kurang efektif dicarilah zat yang lain. Tahun 1795 eter ditemukan
sebagai anestesi inhalasi. Tehnik anestesi modern saat ini sudah merupakan
praktek yang biasa dilakukan yaitu dengan memberikan beberapa anestetika
operasi dengan resiko efek toksik yang minimal. Anestetika suntikan intra vena
biasa dipakai untuk taraf induksi kemudian dilanjutkan dengan anestetik inhalasi
untuk mempertahankan keadaan tidak sadar. Obat khusus sering diberikan untuk
menghasilkan relaksasi otot.
Untuk prosedur tertentu mungkin dibutuhkan hipotensi terkendali,
untuk itu diguakan labetolol dan gliseril trinitat. Sedangkan beta bloker seperti
adenosine, amiodaron, dan verapamil bisa digunakan untuk mengendalikan
aritmia selama anestesi. Dalam proses anestesi terdapat taraf-taraf narkose tertentu
yaitu penekanan sistem saraf sentral secara bertingkat dan berturut-turut, sebagai
berikut:
1) Taraf analgesia, keadaan dimana kesadaran dan rasa nyeri berkurang
2) Taraf eksitas, keadaan dimana kesadaran hilang seluruhnya dan terjadi
kegelisahan
3) Taraf anesthesia, kondisi dimana reflex mata hilang, nafas otomatis dan
teratur seperti tidur serta otot-otot melemas (relaksasi)
4) Taraf pelumpuhan sum-sum tulang, kondisi dimana kerja jantung dan
pernafasan terhenti
31
Tujuan narkose adalah untuk mencapai taraf anesthesia dengan sedikit
mungkin efek samping, oleh karena itu taraf pertama hingga taraf ketiga
merupakan kondisi yang paling penting dan harus dicapai, sedangkan taraf
keempat merupakan kondisi yang harus dihindari. Pada proses recovery (sadar
kembali) terjadi dengan urutan taraf terbalik dari taraf ketiga sampai ke satu.
Beberapa syarat penting yang harus dipenuhi oleh suatu anestetika
umum antara lain:
1) Berbau enak dan tidak merangsang selapu lender
2) Mula kerja cepat tanpa efek samping
3) Sadar kembalinya tanpa kejang
4) Berkhasiat analgetik baik dengan melemaskan otot-otot seluruhnya
5) Tidak menambah perdarahan kapiler selama waktu pembedahan.
7.2 Tindakan Perioperatif
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan
tindakan perioperatif yaitu pemeriksaan keadaan umum. Melakukan evaluasi
terhadap riwayat pasien. Menanyakan seputar gejala sesak nafas, batuk, adanya
sputum, haemoptysis, nyeri dada, toleransi latihan/ aktifitas fisik, orthopnoea, dan
paroxysmal nocturnal dyspnoea.
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu melakukan inspeksi untuk melihat
ada tidaknya cyanosis, dyspnoea, respiratory rate, asimetri dari pergerakan
dinding dada, scars, batuk, dan warna sputum. Perkusi dan auskultasi pada dada
dapat mengetahui apakah terdapat kolaps, efusi pleural, oedema paru-paru, atau
infeksi.
Premedikasi pun dapat dilakukan pada pasien dengan fungsi
pernafasannya lemah, hanya saja perlu diperhatikan untuk tidak menggunakan
obat-obatan yang dapat menimbulkan depresi pada saluran pernafasan. Opiate dan
benzodiazepine dapat diberikan, dan merupakan pilihan yang terbaik. Pemberian
oksigen pun dapat dilakukan. Pemberian obat antikolinergik seperti atropine dapat
diberikan untuk mengeringkan sekresi di jalan nafas, dan membantu sebelum
32
pemberian ketamine atau ether. Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam
melakukan tindakan anestesi dan tindakan perioperatif atau postoperative pada
pasien dengan penyakit saluran nafas, seperti pada penderita asma, dan
tuberculosis.
7.3 Pengelolaan TB Paru pada Perioperatif dalam Narkose
Pasien dengan tuberculosis paru yang aktif akan menghasilkan
sputum, demam, dan dehidrasi. Produksi sputum dan haemoptysis dapat
menyebabkan bagian dari paru-paru mengalami kolaps dan memblok tube
endotracheal. Humidifikasi anestesi sistem pernafasan penting, dan inspirasi
konsentrasi oksigen harus ditingkatkan. Pemberian cairan intravena dilakukan
untuk rehidrasi pasien. Alat-alat anestesi pun harus steril setelah penggunaan
untuk menghindari infeksi silang tuberculosis dengan pasien lainnnya.
Pada tindakan perioperative, obeservasi klinik dilakukan secara
kontinyu. Sehingga, keadaan pasien dan laju pernafasan terobservasi, dan volume
tekanan dan laju palpasi (selama anestesi bagian yang mudah untuk dilakukan
palpasi yaitu fasial, superficial temporal, dan arteri karotis). Monitoring dapat
menggunakan pulse oximetry, electrocardiogram, perekaman tekanan darah non-
invasif.
Teknik anestesi yang dipilih untuk mengurangi resiko pada pasien
dengan komplikasi paru pada tindakan perioperative, antara lain:
1) Regional anesthesia dapat mencegah komplikasi paru-paru pada anestesi
umum, tetapi penggunaanya dibatasi oleh durasi dari aktivitas anestesi
lokal, dan pada area tertentu seperti muka, mata, dan tungkai.
2) Spinal/epidural anaesthesia. Teknik pada tulang belakang dan epidural
dapat menurunkan fungsi otot intercostals, sehingga terjadi penuruna pada
FRC dan meningkatkan resiko atelektasia basa perioperative dan hipoksia.
Tidak pernah ada kejadian yang menjelaskan jika teknik ini menimbulkan
komplikasi saluran pernafasan. Namun teknik ini dapat menurunkan resiko
bronkospasme postoperative
33
3) Teknik low spinal dan epidural dapat digunakan untuk pembedahan
dibawah umbilicus dan dibawah tungkai tanpa keterlibatan paru-paru.
Bagaimanapun, meski di bawah anestesi umum, jenis pembedhan ini
memiliki resiko rendah terhadap komplikasi paru-paru
4) Ketamine anaethesia, memperbaiki jalan nafas dan refleks batuk. Tidak
ada penekanan ventilasi, tetapi dapat meningkatkan salvias sehingga
diperlukan premedikasi dengan atropine.
5) Ventilasi terkontrol. Endotrcheal intubasi menggunakan muscle relaxant
dan ventilasi terkontrol biasanya digunakan pada pembedahan kepala,
leher dan telinga, hidung, dan tenggorok.
34
BAB VIII
Penghentian Obat Aspilet
Aspilet merupakan nama paten dari aspirin. Aspirin termasuk dalam
golongan salicylate dalam obat NSAID. Memiliki efek sebagai antipiretik,
analgetik, dan anti inflamasi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, obat NSAID
ini bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX), baik COX-1
maupun COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan
platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal
lambung, ginjal dan platelet. COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat
inflamasi, sehingga jika enzim ini terhambat hanya akan mencegah pembentukan
prostaglandin di tempat inflamasi saja. Karena kemampuannya dalam mencegah
agregasi trombosit, adhesi platelet, dan pembentukan thrombus melalui penekanan
sintesis tromboksan A2 dalam trombosit. Sehingga dapat digunakan sebagai obat
pengencer darah pada penderita jantung koroner, mengurangi resiko infark
miokard pada stenocardia yang tidak stabil. Obat ini dapat meningkatkan
komplikasi perdarahan dalam pelaksanaan prosedur bedah, hal ini terjadi karena
adanya peningkatan aktivitas fibrinolitik dan berkurangnya plasma konsentrasi
vitamin K dalam faktor-faktor koagulasi (II, VII, IX, X). Hal tersebut harus
diperhatikan jika akan dilakukan tindakan bedah, seperti pencabutan gigi.
sehingga pada pasien dengan jantung koroner yang akan dicabut gigi perlu
perhatian khusus terhadap penggunaan obat aspilet.
Penggunaan obat aspilet perlu dihentikan sementara ketika akan
dilakukan pencabutan gigi. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan. Dokter gigi tidak dapat menghentikan secara langsung penggunaan
obat aspilet, melainkan perlu atas persetujuan dokter penyakit dalam yang
menangani pasien, sehingga perlu dilakukan rujukan.
Penghentian obat aspilet tidak dapat dilakukan secara sekaligus,
melainkan bertahap. Dokter akan mengurangi dosis obat, hingga akhirnya benar-
benar berhenti. Penggunaan obat aspilet dihentikan 5-7 hari jika pasien akan
mendapat tindakan pencabutan gigi. 3 hari sebelum dilakukan pencabutan, dan 2
35
hari setelah pencabutan. Selama proses penghentian obat, pasien harus selalu
dikontrol kondisinya, tekanan darahnya, untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Pada pasien yang menggunakan protesa pada jantungnya pemberian
antibiotic diperlukan untuk menghindari infeksi. Antibiotic diberikan sebelum dan
setelah tindakan pencabutan.
36
BAB IX
Cara Kerja Obat Aspilet
Aspilet merupakan nama paten dari aspirin. Aspirin merupakan obat
golongan salisilat dari jenis obat nonsteroidal anti-inflammatory drugs.
Nonsteroidal anti-inflamatory drugs (NSAIDs) memiliki variasi penggunaan
klinis sebagai antipiretik, analgesic, dan agen antiinflamasi. Obat ini dapat
mengurangi demam sehingga dapat digunakan sebagai antipyretic. Obat ini juga
dapat digunakan sebagai analgesic, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang
ringan sampai berat seperti myalgia, nyeri gigi, dysmenorrhea, dan sakit kepala.
Tidak seperti opioid analgesic, obat ini tidak menyebabkan depresi neurologi atau
ketergantungan. Sebagai agen anti-inflamasi, NSAIDs juga digunakan dalam
perawatan seperti nyeri kronik dan inflamasi pada rheumatoid arthritis,
osteoarthritis, dan arthritic lainnya seperti gout artritik dan ankilosis spondylitis.
Kelompok salisilat yang banyak digunakan yaitu aspirin dan sodium
salicylate. Salicylate banyak digunakan untuk perawatan gangguan minor
musculoskeletal seperti bursitis, synovitis, tendinitis, myositosis, dan myalgia.
Dapat juga digunakan untuk mengurangi demam dan sakit kepala. Dapat juga
digunakan untuk perawatan penyakit inflamasi seperti acute rheumatic fever,
rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan rheumatoid lainnya seperti ankilosis
spondulitis, Reiter’s syndrome, dan psoriatic arthritis. Bagaimanapun, NSAIDs
lainnya biasanya digunakan sebagai obai yang lebih sering dipakai karena efek
samping terhadap gastrointestinal rendah. Aspirin digunakan untuk perawatan dan
prophylaxis infark miokard dan ischemic stroke.
Mekanisme Kerja Obat Aspilet
Kerja anti-inflamatori dari NSAIDs dijelasakan dengan menghambat
sintesis prostaglandin dengan COX-2. COX-2 merupakan COX yang utama yang
menghasilkan prostaglandin selama proses inflamasi. Prostaglandin E dan F
menimbulkan gejala inflamasi seperti vasodilatasi, hyperemia, meningkatkan
permeabilitas vascular, pembengkakan, nyeri, dan meningkatkan migrasi leukosit.
37
Sebagai tambahan, mereka memperkuat mediator inflamatoi seperti histamine,
bradykinin, dan 5-hydroxytryptamine. Semua NSAIDs kecuali COX-2-selsctive
agen mencegah atau menghambat COX isoform; derajat penghambatan COX-1
bervariasi dari obat yang satu ke obat yang lain.
Farmakokinetik
Aspirin tersedia dalam kapsul, tablet, enteric-tableh coated (Ecotrin,
timed-release tablets (ZORprin), buffered tablets (Ascriptin, Bufferin), and as
rectal suppositories. Salisilat cepat diabsorbsi dari lambung dan usus halus bagian
atas, kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Suasana asam di
dalam lambung menyebabkan sebagian besar dari salisilat terdapat dalam bentuk
nonionisasi, sehingga memudahkan absorpsi. Walaupun begitu, bila salisilat
dalam konsentrasi tinggi memasuki sel mukosa, maka obat tersebut dapat merusak
barier mukosa. Jika pH lambung ditingkatkan oleh penyangga yang cocok sampai
pH3,5 atau lebih, maka iritasi terhadap lambung berkurang.
Aspirin diabsorbsi begitu saja dan dihidrolisis menjadi asam asetat
dan salisilat oleh esterase di dalam jaringan dan darah. Salisilat terikat albumin,
tetapi karena konsentrasi salisilat dalam serum meningkat, sebagian besar tetap
tidak terikat dan terdapat dalam jaringan. Salisilat yang ditelan dan yang berasal
dari hidrolisis aspirin diekstresikan dalam bentuk tidak berubah, tetapi sebagian
besar dikonversi menjadi konyugat yang larut dalam air. Jika aspirin digunakan
dalam dosis rendah (600mg), eliminasi sesuai dengan first-order kinetics dan
waktu paruh serum 3-5 jam. Dengan dosis yang lebih besar, zero-order kinetics
akan besar; pada dosis antiinflamasi (≥4g/hari), waktu paruh meningkat sampai 15
jam atau lebih. Efek ini timbul sekitar seminggu dan berhubungan dengan
kejenuhan enzim hati yang mengkatalisis pembentukan metabolit salisilat salisilat
fenilglukuronida dan asam salisilurat.
Farmakodinamik
38
Efektifitas aspirin terutama disebabkan oelh kemampuannya
menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya mengambat enzim
siklooksigenase secara ireversibel, yang mengkatalisis perubagan asam arakidonat
menjadi senyawa edoperoksida, pada dosis yang tepat, obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, tetapi tidak leukotren.
Sebagian besar dosis antiinflamasi aspirin cepat dideasetilasi membentuk
metabolit aktif salisilat. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin secara
reversible.
Selain mengurangi sintesis mediator eikosanid, aspirin juga
mempengaruhi mediator kimia sistem kalikrein. Akibatnya, aspirin menghambat
perlekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane
lisosom, dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke
tempat peradangan.
Aspirin sangat efektif dalam meredakan nyeri dengan intensitas ringan
sampai sedang. Aspirin menghilangkan nyeri dari berbagai penyebab seperti yang
berasal dari otot, pembuluh darah, gigi, keadaan pasca persalinan, arthritis, dan
bursitis. Aspirin bekerja secara perifer melalui efeknya terhadap peradangan,
tetapi mungkin juga menekan rangsang nyeri di tingkat subkorteks.
Aspirin menurunkan demam, tetapi hanya sedikit mempengaruhi suhu
badan yang normal. Penurunan suhu badan berhubungan dengan peningkatan
pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh daraf superficial. Antipiresis
mungkin disertai dengan pembentukan banyak keringat.
Aspirin mempengaruhi hemotasis. Aspirin dosis tunggal sedikit
memanjangkan waktu perdarahan dan menjadi dua kali lipat, bila diteruskan
selama seminggu. Karena kerja ini bersifat ireversibel, aspirin menghambat
agregasi trombosit selama 8 hari, sampai terbentuk trombosit baru, sebaiknya
aspirin dihentikan pemakaiannya 1 minggu sebelum operasi.
Penggunaan Terapi
39
Efek analgesia dan anti-infalmasi. Aspirin adalah salah satu obat yang
paling sering digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang dari
berbagai sebab. Aspirin sering dikombinasikan dengan obat analgetik. Sifat anti-
inflamasi salisilat dosis tinggi bertanggung jawab terhadap dianjurkannya obati ini
sebagai terapi awal arthritis rematoid, demam rematik, dan peradangan sendi
lainnya. pada arthritis ringan, banyak penderita dapat diobati dengan
menggunakan aspirin sebagai obat satu-satunya.
Antipiresis. Aspirin adalah obat terbaik yang ada untuk menurunkan
demam bila dikehendaki dan bila tak ada kontraindikasi penggunaannya.
Penggunaan lainnya sebagai penghambatan agregasi trombosit. Ada juga yang
mengatakan aspirin dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan katarak.
Efek Samping
Sejumlah kasus toksisitas yang diakibatkan NSAIDs sebagai hasil dari
penghambatan sintesis prostaglandin dapat terjadi. Kemampuan NSAIDs dapat
meningkatkan sekresi asam lambung dan mencegah pembekuan darah sehingga
dapat menimbulkan toksisitas sistem penceranaan. Reaksi ringan seperti heartburn
dan indigestion, dapat menurun dengan pengaturan kembali dosis, penggunaan
antasida, atau memakan obat setelah makan. Hilangnya darah dari GI tract dan
anemia defisiensi iron dalam penggunaan NSAIDs berkepanjangan, termasuk
peptic ulserasi dan GI hermorage walaupun jarang terjadi.
NSAIDs dapat menghalangi atau mengganggu fungsi ginjal,
menyebabkan retensi cairan dan meninmbulkan reaksi hipersensitivitas, termasuk
bronchospasm, asthma, urticaria, polip, dan reaksi anafilaktik (meskipun jarang
terjadi). Spectrum toksisitas yang ditimbulkan setiap NSAIDs berhubungan
dengan penghambatan COX isoform yang spesifik. Kebanyakan obat
dikembangkan yang menghambat COX-2 dan karena itu tidak mengganggu GI
tract, dan efek samping dari antiplatelet ditimbulkan oleh penghambatan COX-1.
Dosis
40
Dosis optimum analgesic atau antipiretik aspirin, lebih kecil dari dosis
oral 0,6 mg yang biasanya digunakan. Dosis yang lebih besar dapat
memperpanjang efeknya. Dosis biasanya dapat diulang setiap 4 jam dan dosis
lebih kecil 0,3 gram setiap 3 jam. Dosis untuk anak-anak sebesar 50-75mg/kg/hari
dalam dosis terbagi.
Dosis antiinflamasi rata-rata 4 g per hari dapat ditolerangsi oleh
kebanyakan orang dewasa. Pada anak-anak, biasanya dosis 50-75 mg/kg/hari
menghasilkan kadar darah yang adekuat. Kadar darah 15-30 mg/dl disertai dengan
efek anti-inflamasi. Waktu paruh metabolit aktif aspirin panjang sekitar 12 jam.
Intoksikasi berat timbul bila jumlah yang ditelan lebih dari 150-175
mg/kg/berat badan. Obat yang meningkatkan intoksikasi salisilat meliputi
asetazolamid dan ammonium klorida. Kortikosteroid dapat menurunkan
konsentrasi salisilat.
41