Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2
1. Pendahuluan
Dunia pendidikan sangat erat hubungannya dengan nilai. Keberhasilan
pendidikan seorang siswa dilihat dari nilai yang ia dapat [1]. Seorang siswa yang
selalu mendapat nilai tinggi di sekolah, akan mendapat predikat sebagai “siswa
pandai” di sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebaliknya, jika
seorang siswa selalu mendapat nilai kurang baik di sekolah, secara otomatis akan
mendapat predikat sebagai “siswa bodoh”. Hal ini sudah menjadi pendapat umum
di masyarakat, dan sulit untuk mengubah pandangan ini.
Dunia pendidikan beberapa periode ini menerapkan kurikulum yang
cenderung mengarah tidak hanya pada peningkatan hasil belajar, tetapi juga
pembentukan karakter. Kurikulum tersebut disusun dengan tujuan agar siswa
tidak hanya memperoleh pengetahuan intelektual saja, tetapi juga moral dan
akhlak yang baik [2]. Hasil akhir yang diharapkan, bukan hanya nilai kognitif
tinggi saja (seperti anggapan umum masyarakat), tetapi juga karakter yang baik.
Dunia pendidikan memerlukan sosok guru yang tidak hanya bisa mengajar, tetapi
juga bisa mendidik siswanya.
Faktor penyebab rendahnya nilai siswa dikelompokkan menjadi dua, yaitu
faktor intern dan ekstern [3]. Penelitian ini berfokus pada salah satu faktor
ekstern, yaitu lingkungan sekolah, terkhusus gaya mengajar guru. Hasil observasi
pribadi dan wawancara (dengan siswa dan guru) selama melakukan Program
Pengalaman Lapangan (PPL), gaya mengajar yang diterapkan oleh guru dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok [4]. Kelompok pertama adalah guru dengan
gaya mengajar disiplin, keras dan kaku (otoriter). Penganut gaya mengajar otoriter
mengaku bahwa ini baik untuk membentuk disiplin dan tanggung jawab tinggi
pada siswa untuk melakukan tugas dan kewajiban mereka. Kelompok kedua ialah
guru yang memberikan kebebasan dengan sangat luas (cenderung tak terbatas)
bagi siswa (permisif). Guru dengan gaya mengajar permisif berkeyakinan bahwa
dengan memberikan kebebasan, siswa akan lebih bisa mengekspresikan diri dan
mengeksplorasi kemampuan mereka dalam bidang akademik. Faktanya, kedua
gaya mengajar tersebut memberikan dampak negatif bagi siswa.
Gaya mengajar otoritatif mengadopsi teori pola asuh dalam dunia psikologi.
Pola asuh otoritatif merupakan perpaduan antara pola asuh otoriter dan permisif.
Pola asuh ini menunjukkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi
[5]. Kehangatan dan keterlibatan yang diberikan oleh orang tua otoritatif membuat
anak lebih bisa menerima pengaruh orang tua [5]. Hal inilah yang diadopsi ke
dalam gaya mengajar guru, dengan harapan dapat meningkatkan nilai (baik
kognitif maupun afektif) siswa. Alasan pengadopsian pola asuh ke dalam gaya
mengajar adalah fungsi guru sebagai orang tua siswa di sekolah, sehingga ketika
siswa tidak mendapatkan pola pengasuhan yang tepat di rumah, mereka akan
mendapatkannya di sekolah.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) meningkatkan nilai kognitif siswa, 2)
meningkatkan nilai afektif siswa, serta 3) menunjukkan bahwa gaya mengajar
otoritatif dapat meningkatkan nilai (kognitif dan afektif) siswa. Obyek dari
penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA Negeri 1 Batangan, dan
diimplementasikan pada mata pelajaran TIK.
3
2. Tinjauan Pustaka
Penelitian Erma Lestari pada tahun 2009, dengan judul “Hubungan antara
Pola Asuh Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa Konsentrasi Patiseri SMK
Negeri 1 Sewon Bantul” [6]. Mahasiswa pendidikan teknik boga Universitas
Negeri Yogyakarta tersebut menjelaskan bahwa ada perbedaan prestasi antara
siswa yang dididik pola asuh demokratis, dengan siswa yang dididik dengan pola
asuh permisif dan otoriter. Hubungan positif pola asuh otoriter dengan prestasi
belajar normatif 14,1%, dengan prestasi belajar adaptif 10%, dan dengan prestasi
belajar kompetensi kejuruan 11,9%. Hubungan positif pola asuh permisif dengan
prestasi belajar normatif 13%, dengan prestasi belajar adaptif 14,2%, dan dengan
prestasi belajar kompetensi kejuruan 16,5%. Hubungan positif pola asuh
demokratis dengan prestasi belajar normatif 27,9%, dengan prestasi belajar
adaptif 28,3%, dan dengan prestasi belajar kompetensi kejuruan 29,4%.
Kesimpulan penelitian tersebut adalah siswa yang dididik dengan pola asuh
demokratis memiliki nilai akademik lebih tinggi dibanding dengan pola asuh
permisif dan otoriter.
Penelitian Santi Susanti, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta, pada tahun 2013 [7]. Penelitian tersebut berjudul “Hubungan antara Pola
Asuh Otoritatif dengan Kemandirian pada Siswa Kelas XI Jurusan Akuntansi
SMKN 12 Jakarta”. Susanti menjelaskan bahwa hal yang paling mempengaruhi
kemandirian remaja adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Hasil
perhitungan koefisien korelasi sederhana antara pola asuh otoritatif dengan
kemadirian sebesar thitung 3,801, lebih besar daripada ttabel (1,67), serta diperoleh
rxy sebesar 0,447. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan positif
yang signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian siswa.
Dua penelitian tersebut menunjukkan bahwa pola asuh demokratis atau
otoritatif dapat meningkatkan prestasi siswa, baik nilai mata pelajaran (aspek
kognitif) maupun karakter (aspek afektif). Penelitian ini mengadopsi pola asuh
otoritatif tersebut ke dalam gaya mengajar guru. Tujuannya untuk meningkatkan
prestasi belajar (aspek kognitif) dan pembentukan karakter (aspek afektif) siswa
yang diimplementasikan dalam pembelajaran TIK di SMA Negeri 1 Batangan.
Pola asuh (parenting style) adalah pola perilaku umum yang digunakan
orang tua dalam mengasuh anak-anaknya [4]. Pola pengasuhan memerlukan
sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang
besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini [5]. Setiap pola
asuh yang diterapkan oleh orang tua pada dasarnya memiliki dampak yang besar
terhadap tumbuh-kembang anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Orang tua akan menemui masalah bila mereka menerapkan pola asuh yang tidak
tepat pada anak. Masalah tersebut terlihat dari kegagalan tahap perkembangan
anak secara sosial berupa kenakalan remaja [8].
Jenis pola asuh orang tua ada empat, yaitu otoritarian atau otoriter, permisif
atau memanjakan, neglectful atau mengabaikan, dan otoritatif atau demokratis [4].
Pola asuh otoritarian adalah pola asuh yang membatasi dan menghukum. Orang
tua otoritarian mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati
pekerjaan serta usaha mereka [5]. Mereka menerapkan harapan dan standar yang
tinggi, menerapkan peraturan tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak, serta
4
sangat sedikit ruang bagi anak untuk mengungkapkan pendapat [4]. Dampak pola
asuh otoritarian pada anak adalah anak cenderung tidak bahagia, cemas,
kepercayaan diri rendah, kurang inisiatif, kurangnya keterampilan sosial, dan
pembangkang [4].
Pola asuh permisif bercirikan dengan orang tua yang sangat terlibat dalam
kehidupan anak, tapi tidak terlalu menuntut dan mengontrol mereka [5]. Orang tua
permisif membiarkan anaknya melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Dampak yang terjadi adalah anak cenderung egois, terlalu bergantung pada orang
lain, menuntut perhatian, tidak patuh, dan memiliki kesulitan dalam hubungan
dengan teman sebaya [4].
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh yang mendorong anak untuk mandiri,
namun tetap menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka [5]. Orang tua
otoritatif menerapkan intensitas kedekatan, kasih sayang, dukungan, serta kontrol
yang tinggi. Mereka melibatkan anak dalam pengambilan keputusan, memberikan
penjelasan tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan anak, serta bersikap
responsif dan rasional terhadap kemampuan anak [4]. Anak dengan penerapan
pola asuh ini akan menjadi pribadi yang ceria, percaya diri, mandiri, memiliki rasa
ingin tahu yang sehat, menghargai orang lain, memiliki kontrol diri dan
kemampuan sosial yang baik [4].
Pola asuh neglectful atau mengabaikan mempunyai ciri orang tua yang
sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Orang tua neglectful menerapkan
standar dan harapan yang sangat rendah, memperlihatkan sedikit dukungan
emosional, tidak mempedulikan anak, dan cenderung lalai [4]. Anak dengan pola
asuh ini tumbuh menjadi pribadi yang tidak patuh, banyak menuntut, kontrol diri
yang rendah, kurang percaya diri, dan kurang memiliki sasaran jangka panjang.
Pendapat para ahli menyatakan bahwa pola asuh otoritatif adalah pola asuh
yang paling ideal bagi sebagian besar anak. Alasan pertama, orang tua dengan
pola asuh otoritatif, menghadirkan lingkungan rumah yang penuh kasih sayang
dan dukungan [4]. Alasan selanjutnya, pola asuh otoritatif menegakkan aturan-
aturan keluarga dengan konsisten [4]. Pola asuh otoritatif dikenal sebagai yang
paling berhasil untuk menghindarkan anak dari kenakalan remaja, meningkatkan
kepercayaan diri, motivasi, dan kesuksesan akademik [9]. Alasan berikutnya,
orang tua yang otoritatif menerapkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan
otonomi. Mereka memberi anak kesempatan untuk membentuk kemandirian
sembari memberikan standar, batas, dan panduan yang dibutuhkan anak [5].
Alasan selanjutnya, kehangatan dan keterlibatan yang diberikan oleh orang tua
otoritatif membuat anak lebih bisa menerima pengaruh orang tua [5].
Kognitif atau kognisi berasal dari bahasa latin cognition, yang berarti
pengenalan. Proses perkembangan kognitif manusia berlangsung sejak manusia
itu lahir [10]. Kognitif menekankan pada konsep semesta pengetahuan,
pemahaman, dan keterampilan berpikir. Pengetahuan tidak terbatas pada konsep
ingatan akan sesuatu, tetapi sebagai hasil mengetahui, mengamati, meneliti,
bahkan melakukan uji coba dalam arti semesta [10]. Berdasarkan taksonomi
Bloom (direvisi oleh David R. Krathwohl di jurnal Theory into Practice) [11],
aspek kognitif dibedakan menjadi enam, yaitu pengetahuan atau
knowledge/remembering (C1), pemahaman atau comprehension/understanding
5
(C2), penerapan atau application/applying (C3), analisis atau analyze/analyzing
(C4), penilaian atau evaluating (C5), dan sintesis atau creating (C6).
Gambar 1 Ranah Kognitif Menurut Revisi Taksonomi Bloom [11]
Afektif atau afeksi berasal dari bahasa latin affection yang berarti “keadaan
tersentuh atau tergerak”. Kata afektif lebih mengarah pada perbuatan yang
dilakukan atas dorongan perasaan dan emosi individu. Dunia pendidikan sering
menerjemahkan afektif sebagai minat, sikap, penghargaan, pembentukan sifat, dan
watak seseorang dalam belajar [12]. Indikator penilaian ranah afektif
dikelompokkan menjadi lima, yaitu receiving (penerimaan), responding
(tanggapan), valuing (penghargaan), organization (pengorganisasian), dan
characterization by a value or value complex (karakterisasi berdasarkan nilai-
nilai) [13].
Gaya mengajar adalah cara atau metode yang dipakai oleh guru ketika
sedang melakukan pengajaran. Hakikatnya gaya mengajar yang dimiliki guru
adalah strategi transfer informasi yang diberikan kepada anak didiknya. Peserta
didik belajar dengan menerima materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan
guru mengajar untuk belajar tentang peserta didik [14].
Penerapan gaya mengajar otoritatif dalam pembelajaran mempunyai arti
bahwa prinsip-prinsip pada pola asuh otoritatif diadopsi ke dalam gaya mengajar
guru. Prinsip-prinsip tersebut adalah menegakkan aturan-aturan dengan konsisten,
kasih sayang dan dukungan, keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi,
serta kehangatan dan keterlibatan dalam proses pembelajaran.
3. Metode dan Rancangan Penelitian
Gambar 2 Tahapan Penelitian [15]
6
Tahapan penelitian terbagi menjadi beberapa tiga kelompok, yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pengolahan data, dan tahap akhir. Tahap
persiapan terdiri dari beberapa proses, yaitu studi pendahuluan, perumusan
masalah, dan hipotesis. Studi pendahuluan merupakan kegiatan observasi proses
pembelajaran TIK di sekolah (fenomena yang terjadi, serta penyebab masalah
sehubungan dengan proses pembelajaran TIK). Pemahaman teori-teori tentang
pola asuh, gaya mengajar, serta nilai kognitif dan afektif siswa juga menjadi
bagian dari studi pendahuluan ini. Pemahaman teori didapat dari studi pustaka
berupa jurnal, dan buku (baik cetak maupun elektronik). Perumusan masalah
penelitian menjadi kegiatan berikutnya setelah studi pendahuluan. Hipotesa
dibangun berdasarkan teori-teori yang ada. Penggunaan gaya mengajar yang tepat,
serta pengaruh penggunaan gaya mengajar otoritatif terhadap nilai kognitif dan
afektif siswa merupakan bagian dari hipotesa penelitian ini.
Tahapan kedua yaitu pelaksanaan, terdiri dari pemilihan desain penelitian,
penyusunan instrumen, dan pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian eksperimen. Desain penelitian eksperimen yang digunakan
adalah Quasi Experimental Design menurut Campbell dan Stanley [16] dengan
bentuk Nonequivalent Control Group Design.
Tabel 1 Desain Penelitian Nonequivalent Control Group Design [17]
Kelompok Pretest Perlakuan Posttest
Eksperimen O1 X O2
Kontrol O3 - O4
Keterangan:
O1 = pretest kelas eksperimen O2 = posttest kelas eksperimen
O3 = pretest kelas kontrol O4 = posttest kelas kontrol
X = perlakuan atau treatment - = tidak ada perlakuan
Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Batangan pada semester pertama
tahun ajaran 2014/2015, dengan menggunakan dua kelas (satu kelas sebagai kelas
kontrol, dan yang lain sebagai kelas eksperimen). Subyek penelitian ini adalah
siswa kelas XII IPA SMAN 1 Batangan, yaitu kelas XII IPA-1 sebagai kelas
eksperimen, dan kelas XII IPA-4 sebagai kelas kontrol. Dua kelas tersebut dipilih
karena mempunyai jumlah siswa yang sama, yaitu 23 siswa. Kelas kontrol dan
eksperimen dipilih secara naturalistik, yaitu keadaan alami yang telah terbentuk
(tidak secara acak).
Penerapannya dilakukan pada mata pelajaran TIK, dengan standar
kompetensi ”menggunakan perangkat lunak pembuat desain grafis”. Kompetensi
dasar yang dipelajari adalah ”menunjukkan menu ikon yang terdapat dalam
perangkat lunak pembuat grafis”. Penelitian difokuskan pada nilai kognitif dan
afektif siswa. Nilai kognitif dan afektif siswa merupakan variabel terikat
(dependent), sedangkan gaya mengajar otoritatif adalah variabel bebas
(independent). Variabel bebas akan mempengaruhi variabel terikat.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kisi-kisi (untuk soal
tertulis, angket, dan rubrik), silabus, RPP, soal tes tertulis, angket, serta rubrik.
7
Soal tes tertulis diambil dari kumpulan soal TIK tahun sebelumnya, sehingga soal-
soal tersebut telah melalui proses uji validitas dan reliabilitas [18]. Soal tersebut
digunakan untuk mengukur nilai kognitif siswa, berbentuk pilihan ganda, dengan
jumlah 20 butir soal, dan mengalami proses uji validitas dan reliabilitas isi, yaitu
judgement pakar [19]. Kisi-kisi soal tertulis disusun berdasarkan tiga aspek dalam
taksonomi Bloom, yang didefinisikan ke dalam beberapa indikator. Ketiga aspek
tersebut dipilih karena soal berbentuk pilihan ganda. Kisi-kisi beserta indikator
tersebut ditunjukkan oleh tabel berikut:
Tabel 2 Kisi-kisi Soal Tes Tertulis Berdasarkan Ranah Kognitif Taksonomi Bloom [11]
Aspek yang Diamati Indikator
Pengetahuan atau
knowledge/remembering
1.1 Siswa mampu menjelaskan pengertian
grafis berbasis vektor dan bitmap.
1.2 Siswa mampu menyebutkan aplikasi yang
digunakan untuk membuat grafis berbasis
vektor dan bitmap.
1.3 Siswa mampu menjelaskan pengertian
serta fungsi menu dan ikon yang terdapat
dalam program aplikasi CorelDraw.
Pemahaman atau
comprehension/
understanding
2.1. Siswa menyatakan ulang konsep grafis
berbasis vektor dan bitmap.
2.2. Siswa mampu menjelaskan fungsi menu
dan ikon yang terdapat pada program
aplikasi CorelDraw.
Analisis atau
analyze/analyzing
3.1 Siswa mampu mengidentifikasi Siswa
perbedaan antara grafis berbasis vektor
dan bitmap.
3.2 Siswa mampu mengidentifikasi kelebihan
dan kekurangan grafis berbasis vektor dan
bitmap.
Pengukuran terhadap nilai afektif siswa dilakukan dengan observasi dan
pengisian rubrik holistik oleh guru. Pernyataan dalam rubrik menggunakan
validitas isi berupa judgement pakar [19], dengan jumlah pernyataan 18 butir.
Aspek yang akan dinilai ada lima, yang ditunjukkan oleh tabel berikut [13].
Tabel 3 Aspek Penilaian Rubrik [13]
Aspek Nama Aspek
I receiving (penerimaan)
II responding (tanggapan)
III valuing (penghargaan)
IV organization (pengorganisasian)
V characterization by a value or value complex
(karakterisasi berdasarkan nilai-nilai)
8
Kelima aspek tersebut dijabarkan lagi ke dalam beberapa indikator,
beberapa indikator yang ada didefinisikan lebih dari satu penilaian. Jumlah
keseluruhan indikator penilaian 18 butir pernyataan. Rentang nilai dimulai dari
angka satu (1) sampai dengan empat (4). Nilai 1 berarti kurang, nilai 2 berarti
cukup, nilai 3 berarti baik, dan nilai 4 berarti sangat baik. Aspek penilaian beserta
indikator masing-masing ditunjukkan oleh tabel berikut:
Tabel 4 Kisi-Kisi Rubrik Penilaian Sikap (Aspek Afektif) Siswa [13]
Aspek yang Dinilai Indikator
Receiving
(penerimaan)
1.1 Memperhatikan penjelasan guru selama proses
pembelajaran dengan sungguh-sungguh.
1.2 Bertanya tentang materi yang belum dipahami.
Responding
(tanggapan)
2.1 Masuk kelas pada waktunya.
2.2 Menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru.
Valuing
(penghargaan)
3.1 Mengumpulkan tugas atau PR pada waktu yang
telah ditentukan.
3.2 Selalu berpakaian rapi sesuai aturan.
3.3 Meminta ijin ketika ingin keluar kelas (toilet,
kegiatan luar kelas misal rapat OSIS, latihan
upacara, lomba dll).
Organization
(pengorganisasian)
4.1 Mengumpulkan setiap latihan soal dan PR yang
diberikan oleh guru.
4.2 Berpenampilan sesuai dengan ketentuan (rambut,
jenis dan bentuk seragam, asesoris).
4.3 Menunjukkan sikap menjaga inventaris kelas
yang ada (meja, bangku, perangkat komputer).
Characterization by
a Value or Value
Complex
(karakterisasi
berdasarkan nilai-
nilai)
5.1 Menunjukkan sikap taat pada peraturan-
peraturan (aturan sekolah maupun aturan kelas)
yang berlaku.
5.2 Menunjukkan kesadaran telah melakukan
pelanggaran dan menerima konsekuensi atas
pelanggaran yang telah dilakukan.
5.3 Menunjukkan sikap hormat dan menghargai guru
sebagaimana mestinya.
Metode angket digunakan sebagai bukti pendukung keberhasilan penerapan
gaya mengajar otoritatif. Persepsi siswa tentang penggunaan gaya mengajar
otoritatif dapat diketahui dari hasil angket. Aspek penilaian dalam angket ada
empat, yaitu penguasaan materi, pengelolaan kelas, komunikasi guru dengan
siswa, dan evaluasi yang diberikan oleh guru. Pernyataan-pernyataan yang
digunakan dalam angket mengambil format yang sudah teruji validitas dan
reliabilitasnya. Format angket tersebut dibuat oleh mahasiswa S2 Universitas Bina
Nusantara [20], yang mengalami perubahan kalimat sesuai topik dan kebutuhan
penelitian. Format yang telah mengalami perubahan tersebut melewati proses uji
validitas dan reliabilitas isi berupa judgement pakar [19].
9
Jenis metode yang digunakan adalah angket tertutup. Aspek penilaian
dikelompokkan ke dalam empat indikator, indikator yang ada didefinisikan lagi ke
dalam beberapa butir indikator penilaian. Skala pengukuran yang digunakan
adalah skala linkert [21], dengan total pernyataan berjumlah 38 butir. Skala
penilaian memiliki rentang nilai dari satu (1) hingga empat (4). Pernyataan sangat
setuju bernilai 4, setuju bernilai 3, tidak setuju bernilai 2, sangat tidak setuju
bernilai 1, dengan kisi-kisi angket sebagai berikut:
Tabel 5 Kisi-kisi Angket Persepsi Siswa tentang Gaya Mengajar Otoritatif [20]
Aspek yang
Dinilai Indikator
Penguasaan
materi
1.1 Guru menguasai materi dengan baik dan dapat
menerangkan dengan jelas.
1.2 Penyampaian materi disertai contoh dan disampaikan
secara sistematis.
Pengelolaan
kelas
2.1 Perhatian guru tertuju pada seluruh kelas, dan
berkeliling saat mengajar.
2.2 Guru menegur siswa yang tidak memperhatikan ketika
pembelajaran berlangsung.
Komunikasi
guru dengan
siswa
3.1 Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bertanya, dan memberikan penjelasan tentang
pertanyaan tersebut dengan jelas.
3.2 Guru menerangkan materi menggunakan bahasa yang
mudah dipahami oleh siswa.
Evaluasi yang
diberikan oleh
guru
4.1 Guru memberikan PR atau tugas, memeriksa, dan
mengembalikan hasil PR atau tugas tersebut kepada
siswa.
4.2 Guru memberikan penilaian secara obyektif
Gaya
mengajar yang
diterapkan
oleh guru
5.1 Siswa lebih memahami materi pelajaran dengan
penggunaan gaya mengajar otoritatif.
5.2 Gaya mengajar otoritatif membuat suasana kelas
menjadi menyenangkan.
5.3 Siswa mendukung penerapan gaya mengajar otoritatif di
sekolah.
Kegiatan selanjutnya adalah pengumpulan data. Data-data yang
dikumpulkan berupa nilai kognitif dan afektif siswa. Nilai kognitif didapat dari
nilai tes tertulis. Tes tertulis diawali dengan memberikan pretest kepada kedua
kelas (kelas eksperimen maupun kontrol). Hasil pretest dari kedua kelompok
dicatat untuk sebagai data nilai kognitif awal siswa. Prosedur dilanjutkan dengan
pelaksanaan proses pembelajaran untuk kedua kelas. Penerapan gaya mengajar
otoritatif untuk kelas eksperimen, dan pembelajaran seperti biasa (tanpa perlakuan
apapun) untuk kelas kontrol. Proses tersebut dilakukan selama dua kali pertemuan
(masing-masing pertemuan 2x30 menit, dikarenakan pelaksanaan pada bulan
ramadhan). Selama pembelajaran berlangsung dilakukan pengamatan serta
pengisian rubrik penilaian sikap (aspek afektif) siswa oleh guru. Proses
10
selanjutnya adalah memberikan posttest kepada kedua kelompok, dan pengisian
angket oleh kelas eksperimen. Hasil posttest dicatat sebagai data nilai kognitif
akhir siswa.
Nilai afektif didapat dari hasil pengisian rubrik oleh guru. Data berupa hasil
pengisian angket oleh siswa akan menjadi bukti pendukung keberhasilan
penerapan gaya mengajar otoritatif, karena angket menunjukkan persepsi siswa
tentang penerapan gaya mengajar tersebut. Data yang terkumpul pada tahap ini
berupa nilai kognitif siswa (pretest dan posttest), nilai afektif siswa (hasil
pengisian rubrik oleh guru), serta data pendukung berupa angket.
Tahapan penelitian selanjutnya adalah tahap pengolahan data. Nilai pretest
dan posttest yang telah terdokumentasi, dihitung nilai tertinggi, terendah, dan rata-
rata untuk masing-masing kelas. Nilai pretest dan posttest kedua kelas dihitung
persentase peningkatannya, kemudian dibandingkan. Perhitungan dilakukan
menggunakan aplikasi pengolah data statistik. Hasil yang diharapkan adalah
persentase kenaikan nilai kelas eksperimen lebih tinggi dibanding dengan kelas
kontrol.
Tahap terakhir adalah penyusunan laporan. Laporan disusun berdasarkan
hasil dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan. Pembuktian teori dan konsep,
penarikan kesimpulan, serta pemberian saran untuk penelitian selanjutnya menjadi
bagian dari tahap ini.
4. Pembahasan
Tahap pelaksanaan penelitian ini diawali dengan pemberian pretest kepada
siswa, baik kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Standar kompetensi yang
dipelajari adalah “menggunakan perangkat lunak pembuat grafik”, dengan
kompetensi dasar “menunjukkan menu ikon yang terdapat dalam perangkat lunak
pembuat grafis”. Hasil penelitian berfokus pada nilai kognitif dan afektif siswa.
Nilai kognitif diperoleh dari pretest dan postest, sedangkan nilai afektif diperoleh
dari hasil rubrik yang diisi oleh guru. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang
ditetapkan oleh sekolah adalah 75.
Pretest diberikan pada kedua kelas (eksperimen dan kontrol) di awal
pertemuan. Nilai pretest kedua kelas diuji normalitas dan homogenitas, dan
hasilnya data berdistribusi normal (nilai signifikansi kelas kontrol 0,163 dan kelas
eksperimen 0,078) serta homogen (nilai signifikansi 0,455). Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan awal kedua kelas relatif sama. Data berupa nilai tersebut
dicatat, kemudian dihitung nilai minimal, maksimal, serta rata-ratanya.
Proses pembelajaran kelas eksperimen menerapkan prinsip-prinsip pola
asuh otoritatif. Proses tersebut diawali dengan menetapkan kesepakatan peraturan
dan konsekuensi selama mengikuti proses pembelajaran TIK (prinsip aturan-
aturan yang konsisten). Peraturan-peraturan tersebut adalah 1) masuk kelas pada
waktunya, 2) toleransi keterlambatan 10 menit, 3) menghargai orang yang sedang
berbicara (guru menerangkan materi, siswa lain menjelaskan atau mengungkapkan
pendapat), 4) mengerjakan setiap latihan soal, tugas, dan PR pada waktu yang
telah ditentukan, 5) meminta ijin bila ingin keluar kelas, 6) menaati semua
peraturan dan ketentuan sekolah, 7) bersedia menerima konsekuensi bila
melanggar peraturan. Konsekuensi yang diberikan bagi siswa yang melanggar
11
peraturan adalah menjelaskan sebuah topik tentang materi pembelajaran, dan
siswa yang lain bebas bertanya tentang topik tersebut kepadanya.
Guru memberikan pengertian kepada siswa tentang tujuan penerapan
peraturan-peraturan tersebut (prinsip keseimbangan antara kendali dan otonomi).
Tujuannya adalah 1) agar siswa belajar disiplin dan bertanggungjawab baik untuk
diri sendiri maupun dalam hidup bermasyarakat, 2) terbiasa dengan peraturan
yang bersifat mengikat, sehingga mudah beradaptasi ketika terjun ke dunia kerja
ataupun jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta 3) melatih siswa untuk
menghargai orang lain dan lembaga yang menaunginya.
Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah (guru
menerangkan materi), tanya jawab guru dengan siswa, diskusi, tes, serta
penugasan. Prinsip kasih sayang dan dukungan diwujudkan dalam kelas dengan
cara memberikan penguatan kepada siswa yang bertanya, menjawab pertanyaan,
dan mendapat nilai tertinggi. Penguatan yang diberikan berupa pujian secara
verbal, sentuhan dan bahasa tubuh, hingga panghargaan dalam bentuk hadiah.
Prinsip keseimbangan antara kendali dan otonomi (selain memberikan
penjelasan tentang tujuan adanya peraturan), diwujudkan dengan memberikan
kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan pendapat melalui diskusi
kelompok. Siswa diberikan kebebasan untuk saling mengungkapkan pendapat,
ketidaksetujuan, analisa pribadi, hingga kesepakatan dalam penarikan kesimpulan
kelompok, sehingga siswa belajar mandiri. Pemberian otonomi kepada siswa
tersebut tetap disertai dengan pengawasan dan penerapan aturan.
Prinsip kehangatan dan keterlibatan diwujudkan dengan kesediaan guru
menjawab pertanyaan siswa, dan menerangkan materi yang belum dipahami oleh
siswa dengan sabar dan bersahabat. Komunikasi yang terjalin dengan baik antara
guru dan siswa, membuat siswa lebih terbuka dalam mengemukakan pendapatnya.
Bertanya tentang materi yang belum dimengerti tidak menjadi hal yang dihindari
siswa. Guru akan lebih mudah mengetahui materi yang belum dipahami oleh
siswa, sehingga dapat membimbing mereka memahami materi yang bersangkutan.
Pembelajaran kelas kontrol berlangsung seperti biasa, yaitu gaya mengajar
guru setempat, yang cenderung menggunakan gaya menggajar permisif. Kegiatan
pembelajaran dilakukan dengan ceramah, diskusi kelompok, tes, dan penugasan.
Kelas kontrol tidak menerapkan prinsip-prinsip yang diterapkan di kelas
eksperimen.
Gambar 3 Proses Pembelajaran Kelas Eksperimen
12
Gambar 3 menunjukkan proses pembelajaran pada kelas eksperimen. Guru
pada kelas eksperimen terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran siswa.
Selama proses pembelajaran guru berkeliling untuk memantau siswa, dan siswa
memiliki kesempatan untuk bertanya dan mengungkapkan pendapat. Hubungan
timbale balik (dua arah) terjadi dalam kelas eksperimen.
Gambar 4 Proses Pembelajaran Kelas Kontrol
Gambar 4 menunjukkan proses pembelajaran pada kelas kontrol. Guru
terlihat kurang terlibat dalam proses pembelajaran siswa. Beliau hanya
menunjukkan materi, kemudian mempersilahkan siswa untuk memperlajarinya
sendiri. Guru tidak berkeliling kelas untuk memantau siswa, namun hanya duduk
di kursi tertentu di dalam kelas.
Seluruh proses pembelajaran untuk siklus penelitian ini adalah empat kali
tatap muka. Kegiatan pretest dan posttest masing-masing satu kali tatap muka
(2x30 menit). Proses penerapan gaya mengajar otoritatif untuk kelas eksperimen,
dan tanpa penerapan apapun untuk kelas kontrol berlangsung dalam dua kali tatap
muka (masing-masing tatap muka 2x30 menit). Selama proses pembelajaran
dilakukan penilaian terhadap aspek afektif siswa, melalui rubrik yang diisi oleh
guru.
Proses pembelajaran dilanjutkan dengan memberikan posttest pada kedua
kelas. Hal ini dilakukan untuk mengukur peningkatan hasil belajar siswa setelah
proses pembelajaran berlangsung. Hasil posttest dari kedua kelas
didokumentasikan, dan dihitung persentase peningkatannya terhadap nilai pretest-
nya masing-masing.
Nilai Kognitif
Tabel 6 Perbandingan Nilai Pretest dan Postttes Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Kelas
Nilai Pretest Nilai Posttes Persentase
Kenaikan Min Maks Rata-
rata Min Maks
Rata-
rata
Kontrol 25 90 63,48 50 100 75,87 33,32 %
Eksperimen 20 85 63,04 65 100 87,83 66,68 %
Jumlah siswa yang lulus KKM (nilai pretest) untuk kedua kelas sama, yaitu
berjumlah 3 orang. Nilai per aspek yang didapat oleh kedua kelas juga relatif
13
sama, yaitu berkisar antara 60 sampai 63. Jumlah siswa yang tidak lulus KKM
(nilai posttest) untuk kelas kontrol berjumlah 10 orang, sedangkan siswa kelas
eksperimen hanya berjumlah 2 orang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada
beberapa siswa (kelas kontrol) yang bisa mencapai KKM tanpa penerapan gaya
mengajar otoritatif. Siswa yang demikian dapat belajar dengan baik tanpa
terpengaruh oleh gaya mengajar guru. Siswa dengan kemampuan seperti itu
presentasinya hanya kecil, yaitu 30,4% dari jumlah keseluruhan sampel. Dua
siswa kelas eksperimen yang memperoleh nilai kurang dari KKM dikarenakan
tidak masuk pada pertemuan kedua (mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan
OSIS). Perbandingan nilai posttest antara kelas kontrol dan kelas eksperimen
menunjukkan bahwa penerapan gaya mengajar otoritatif dapat meningkatkan nilai
kognitif siswa.
Nilai posttest yang ada diuji dengan uji non-parametrik Mann Whitney
menggunakan aplikasi perhitungan data statistik. Uji tersebut dilakukan untuk
memastikan bahwa nilai kognitif kelas eksperimen signifikan lebih tinggi
dibanding kelas kontrol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai posttest kelas
eksperimen signifikan lebih tinggi dibanding dengan kelas kontrol, dengan nilai
signifikansi 0,000. Hal ini membuktikan bahwa nilai kognitif kelas eksperimen
(dengan penerapan gaya mengajar otoritatif) lebih tinggi secara signifikan
dibanding dengan kelas kontrol (tanpa perlakuan).
Nilai Afektif
Nilai afektif siswa didapat dari pengisian rubrik oleh guru selama proses
pembelajaran berlangsung untuk kedua kelas. Nilai dari kedua kelas dicatat,
kemudian dihitung rata-rata untuk masing-masing kelas menggunakan aplikasi
pengolah data statistik. Perbandingan nilai afektif kedua kelas berdasarkan rubrik
adalah:
Gambar 5 Perbandingan Nilai Afektif Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Nilai 4 berarti sangat baik, 3 berarti baik, 2 berarti cukup, dan 1 berarti
kurang. Hasil analisis aspek afektif yang ditunjukkan oleh gambar 5,
menunjukkan bahwa kelas eksperimen lebih unggul daripada kelas kontrol dalam
kelima aspek tersebut. Nilai rata-rata keseluruhan aspek untuk kelas kontrol
3,48
3,62
3,91
3,91
4,00
2,96
2,62
2,96
2,83
3,13
0,00 2,00 4,00 6,00
Aspek I
Aspek II
Aspek III
Aspek IV
Aspek V
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
14
adalah mendekati baik (2,90), sedangkan untuk kelas eksperimen mendekati
sangat baik (3,78).
Siswa kelas kontrol yang mendapat nilai rata-rata per aspek dibawah tiga
ada sepuluh orang. Hal ini berarti ada siswa yang nilai afektifnya sudah baik atau
tidak terpengaruh dengan gaya mengajar yang diterapkan oleh guru (tetapi hanya
sedikit). Siswa kelas eksperimen yang mendapat nilai rata-rata di bawah tiga
hanya ada satu orang siswa. Hal ini menunjukkan hampir seluruh siswa mendapat
nilai afektif tinggi dengan penerapan gaya mengajar otoritatif. Jadi dapat
disimpulkan bahwa penerapan gaya mengajar otoritatif sangat efektif untuk
meningkatkan nilai afektif siswa. Hasil analisis terhadap nilai afektif siswa telah
sesuai dengan tujuan kedua dari penelitian ini, yaitu meningkatkan nilai afektif
siswa melalui penerapan gaya mengajar otoritatif.
Angket digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap penerapan
gaya mengajar otoritatif. Responden berjumlah 23 siswa, yaitu siswa kelas
eksperimen. Deskripsi hasil analisis jawaban angket oleh siswa adalah:
Gambar 6 Deskripsi Data Hasil Jawaban Angket oleh Siswa
Hasil analisis pada masing-masing aspek menunjukkan bahwa lebih banyak
responden (siswa) yang setuju terhadap penerapan gaya mengajar otoritatif
daripada yang tidak setuju. Hasil analisis berdasarkan pengisian angket dari siswa
kemudian dihitung rata-ratanya. Hasil perhitungan rata-rata menunjukkan bahwa
siswa yang mendukung penerapan gaya mengajar otoritatif sebanyak 88,75%.
Siswa yang menyatakan tidak setuju hanya sebanyak 11,25%.
5. Simpulan dan Saran
Kesimpulan penelitian secara keseluruhan (mulai dari nilai kognitif siswa,
nilai afektif siswa, hingga angket tanggapan) bernilai positif. Hasil analisa
menunjukkan bahwa penerapan gaya mengajar otoritatif dapat meningkatkan nilai
kognitif dan afektif siswa SMA Negeri 1 Batangan dalam mata pelajaran TIK
secara signifikan. Gaya mengajar ini dapat diterapkan dalam pembelajaran TIK
selanjutnya, bahkan tidak menutup kemungkinan diterapkan pada mata pelajaran
lain.
89,44
90,22
94,41
91,92
77,78
10,56
9,78
5,59
8,08
22,22
0 50 100
Aspek I
Aspek II
Aspek III
Aspek IV
Aspek V
Penilaian Kontra
Penilaian Pro
15
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah memadukan gaya mengajar
tersebut dengan variasi pembelajaran. Variasi tersebut seperti studi kasus, tutor
teman sebaya, atau variasi pembelajaran lain yang dapat membangkitkan
antusianme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Saran untuk guru
maupun calon guru berkaitan dengan penelitian ini adalah penting untuk
mengetahui sisi psikologis siswa. Hal ini akan membuat guru lebih peka untuk
menentukan variasi pembelajaran yang harus dipakai untuk mendukung
penerapan gaya mengajar otoritatif ini.
6. Daftar Pustaka
[1]Republika. 2012. Keberhasilan Pendidikan Dinilai Bukan Tolok Ukur
Kecerdasan. Diakses tanggal 20 Juli 2014 dari http://www.republika.co.id/
berita/pendidikan/beritapendidikan/12/03/06/m0fw8d-keberhasilan-pendidikan-
dinilai-bukan-tolok-ukur-kecerdasan
[2]Republika. 2012. Ujian Nasional: Tolok Ukur Keberhasilan Pendidikan.
Diakses tanggal 20 Juli 2014 dari http://www.republika.co.id/ berita/jurnalisme-
warga/wacana/12/04/20/m2rtgl-ujian-nasional-tolok-ukur-keberhasilanpendidikan
[3]Safi, Hajar. 2013. Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa di
SMP Negeri 1 Kabila Kabupaten Bone Bolango. Diakses pada 20 Juli 2014 dari
http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIP/article/download/3762/3738
[4]Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan Membantu Siswa
Tumbuh dan Berkembang Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta: Erlangga
[5]Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 2.
University of Texas, Dallas. Jakarta: Erlangga
[6]Lestari, Erma. 2009. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan
Prestasi Belajar Siswa Konsentrasi Patiseri SMK Negeri 1 Sewon Bantul. Diakses
tanggal 4 Juli 2014 dari http://eprints.uny.ac.id/10617/1/Jurnal%20Erma%20
Lestari%5E_%5Ev.pdf
[7]Susanti, Santi. 2013. Hubungan antara Pola Asuh Otoritatif dengan
Kemandirian pada Siswa Kelas XI Jurusan Akuntansi SMKN 12 Jakarta. Diakses
tanggal 24 Maret 2014 dari http://eprints.unj.ac.id/12302/1/Jurnal%20Santi%
20Susanti%5E_%5En.pdf
[8]Santrock, John W. 2007. Remaja Edisi 11 Jilid 1. University of Texas,
Dallas. Jakarta: Erlangga
[9]Zaenudin, Muhammad. 2010. Timbulnya Kenakalan Remaja. Diakses
pada tanggal 15 Maret 2014 dari http://teacheredutainment.co.id/
2010/10/timbulnya-kenakalan-remaja-ditinjau.html
[10]Muliawan, Jasa Ungguh. 2008. Epistomologi Pendidikan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
[11]Siyamta. 2013. Ranah Kognitif dalam Pembelajaran. Diakses 21 Juli
2014 dari https://www.academia.edu/5660348/Ranah_Kognitif_Dalam_Pembelaja
ran_Domain_Kognitif_Bloom_Instructional_Taxonomies_Bloom_Ausubel_Ande
rson_Merril_und_Reigeluth
[12]Zaini, Hisyam dkk. 2002. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: CTSD IAIN Sunan Kalijaga
16
[13]Sukanti. 2011. Penilaian Afektif dalam Pembelajaran Akuntansi.
Diakses tanggal 21 Juli 2014 dari http://journal.uny.ac.id/index.php/jpakun/article/
download/960/770
[14]Suparman. 2010. Gaya Mengajar yang Menyenangkan Siswa. Jakarta:
Erlangga
[15]Jaedun, Amat. 2011. Metodologi Penelitian Eksperimen. Diakses
tanggal 20 Juli 2014 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian /drs-
amat-jaedun-mpd/metode-penelitian-eksperimen.pdf
[16]Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta
[17]Mania, Dewi Mutiarah. 2013. Pengaruh Penggunaan Teknik Mind Map
terhadap Penguasaan Kosakata pada Anak Kelompok B di RA Raden Paku
Kedamean Gresik. Diakses tanggal 20 Juli 2014 dari http://ejournal.unesa
.ac.id/index.php/paud-teratai/article/view/2255/baca-artikel
[18]Interista, Agries. 2012. Soal UAS TIK SMA Kelas XII IPA dan IPS.
Diakses tanggal 30 Juni 2014 dari https://www.academia.edu/4506107/Bank
_Soal_TIK_Pilihlah_salah_satu_jawaban_yang_paling_benar
[19]Mardapi, Djemari. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes.
Yogyakarta: Mitra Cendekia Press
[20]Masruroh, Siti. 2012. Angket Uji Coba Instrumen. Diakses tanggal 7
Juni 2014 dari http://thesis.binus.ac.id/Asli/Lampiran/2010-1-00477-MNSI%20
Lampiran.pdf
[21]Musfiqon. 2012. Panduan Lengkap Metodologi Penelitian Pendidikan.
Jakarta: Prestasi Pustaka
[22]Yanuar. 2012. Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon dan Uji Mann
Whitney. Diakses tanggal 20 Juli 2014 dari kk.mercubuana.ac.id/11007-13788356
141429.doc
[23]Faisal, Sanapiah. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional
[24]Afrilianto, Muhammad. 2012. Peningkatan Pemahaman Konsep dan
Kompetensi Strategis Matematis Siswa SMP dengan Pendekatan Metaphorical
Thinking. Diakses tanggal 30 Juni 2014 dari http://www.e-journal.stkipsiliwangi.
ac.id/index.php/infinity/article/view/19
[25]Aripin, Ipin. 2012. Statistik Non Parametrik. Diakses tanggal 3 Juli
2014 dari https://www.academia.edu/6799603/Statistik_Non_Parametrik
[26]Prihanto, Asep A. 2012. Statistik Non Parametrik. Diakses tanggal 23
Juli 2014 dari http://asep.lecture.ub.ac.id/files/Statistik-Non-Parametrik