61
PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID AYAM BROILER KENYO PALUPI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID … satu obat atau senyawa yang sering diberikan adalah kortikosteroid. Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak yang digunakan

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID

AYAM BROILER

KENYO PALUPI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh

Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid

Ayam Broiler adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Kenyo Palupi

B04070097

ABSTRAK

KENYO PALUPI. Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran

Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler. Dibimbing oleh SRI

ESTUNINGSIH dan WIWIN WINARSIH.

Kortikosteroid merupakan senyawa anti-inflamasi yang digunakan secara luas

khususnya dalam dunia peternakan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari

efek kortikosteroid yaitu Prednisone pada organ limfoid ayam broiler. Sebanyak

30 ekor DOC dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kontrol dan

kelompok kedua adalah perlakuan (diberikan Prednisone 3 mg/kg BB per oral).

Masing-masing kelompok dibagi menjadi 5 kelompok sesuai umur perlakuan,

mulai dari umur 2 minggu sampai 6 minggu. Perlakuan ini berlangsung selama 6

minggu setelah itu ayam dinekropsi. Organ limfoid yang disampling adalah bursa

Fabricius, timus, dan limpa yang selanjutnya dibuat preparat histopatologi

menggunakan pewarnaan Haematoxylin Eosin dan diamati. Parameter yang

diamati antara lain, jumlah limfosit, jumlah folikel limfoid, tinggi dan lebar plika

bursa Fabricius, jumlah limfosit dan luas organ timus, serta jumlah limfosit dan

folikel limfoid pada limpa. Data dianalisis secara kuantitatif dengan uji lanjut T-

student. Hasil dari penelitian ini adalah kortikosteroid memberikan efek

imunosupresi yang ditunjukkan menurunnya jumlah limfosit dan jumlah folikel

limfoid organ limpa. Jumlah limfosit Bursa Fabricius, timus, dan limpa

menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Jumlah folikel limfoid besar dan

kecil, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius, luas medulla timus, dan jumlah

folikel limfoid limpa menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05). Kortikosteroid

memberikan efek yang signifikan terhadap organ limfoid ayam broiler.

Kata kunci: kortikosteroid, organ limfoid, histopatologi

ABSTRACT

KENYO PALUPI. Effect of Corticosteroid on Limfoid Organ of Broiler. Under

direction of SRI ESTUNINGSIH and WIWIN WINARSIH.

Corticosteroid is an anti-inflammatory agent which have been used for poultry

industry widely. The aim of this research was to study the effect of corticosteroid on

lymphoid organ of broiler by histopathological analysis. Thirty commercial DOC (Day

Old Chick) were divided into 2 groups. First group was control and second group was

treated by corticosteroid (3 mg/Kg) orally. Each group was divided into 5 subgroups

according to their sacrifice day at age from 2 week until 6 week. This treatment done for

6 weeks, broilers then were necropsied. The bursa of Fabricius, thymus, and spleen were

collected as histopathological samples. Samples were processed routinely to prepared

histopathology slide stained with Haematoxylin Eosin. The parameters observed include

to measured the number of lymphoid follicle of bursa Fabricius and spleen, the number of

lymphocyte of bursa, thymus and spleen, and width of bursa’s plica and cortex and

medulla of thymus. Quantitative data were analyzed with T-student test. The observation

results was corticosteroid caused immunossupression that showed by decrease of

lymphocyte and lymphoid follicle numbers which are significant (p<0.05) compared to

the control group. There were significant (p<0.05) compare to the control group on the

number of small and large lymphoid follicles, high and wide of plica of bursa of

Fabricius, width of medulla of thymus, and the number of lymphoid follicles of spleen.

Keywords: corticosteroid, lymphoid organ, histopathology

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGARUH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMFOID

AYAM BROILER

KENYO PALUPI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Gambaran

Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler

Nama Mahasiswa : Kenyo Palupi

NRP : B 04070097

Program Studi : Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Mengetahui,

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet. Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MS, APVet.

Pembimbing I Pembimbing II

Menyetujui,

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APvet.

Wakil Dekan

Tanggal lulus :

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kortikosteroid

Terhadap Gambaran Histopatologi Organ Limfoid Ayam Broiler” telah

diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis

ucapkan kepada:

1. Keluarga tercinta, Ibu, Bapak, dan Riris, adik tersayang atas cinta, kasih

sayang, dukungan dan doa yang tiada henti tercurah kepada penulis.

2. Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet dan Dr. drh. Wiwin Winarsih, MS.

APVet selaku dosen pembimbing tugas akhir atas ilmu, waktu, pelajaran

hidup, kesabaran dan dukungan serta motivasi yang diberikan kepada

penulis.

3. Drh. Faisal Jamin, M.Si yang senantiasa membantu dan mengarahkan

penulis selama penelitian berlangsung.

4. Dr. drh. Chusnul Chaliq, MS, MM selaku dosen pembimbing akademik

atas bimbingannya sampai penulis meraih gelar sarjana.

5. Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS atas ilmu berorganisasinya.

6. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Phd, APVet atas segala masukan dalam

seminar hasil penelitian.

7. Dr. drh. Hera Maheswari M.Si dan Dr. drh. Umi Cahyaningsih, M.Si atas

segala masukan serta nasihat dalam ujian akhir sarjana.

8. Dosen dan Staf Laboratorium Patologi (Mas Bangkit, Mba Kiki, Pak

Kasnadi, Pak Sholeh, dan Pak Endang) yang selalu bersedia membantu

penulis.

9. Cholillurrahman yang selalu setia menampung air mata dan memberikan

senyum kepada penulis.

10. Teman-teman Yayasan Patologi Bisa: Niken, Nova, Inez, Dara, Dian,

Endah, Abas, Agung, Griv dan Nisa atas dukungan, semangat, dan

kerjasamanya.

11. Teman-teman Wisma Geulis: Uji, Eka, Nyitong, Moy, Archi, Uwen, Rifki,

Emil, Titi, Milah, Pitri, dan Sari yang selalu ada saat penulis dalam

keadaan suka dan duka.

12. Teman-teman Polar Bear dan Smeki: Madu, Kiki, Rio, Darjat, Fahri,

Wamen, Rissar, Pea, Andi, Binturong, Joko, Danang, Edi, Ganjar, dan

Sukron atas keceriaan dan kesediaannya menjadi penari-penari FKH.

13. Komunitas seni Steril atas pengalaman dan masa-masa indah yang

diberikan kepada penulis.

14. Keluarga besar Gianuzzi FKH 44 yang akan selalu ada di hati penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, April 2012

Kenyo Palupi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1989 di Yogyakarta. Penulis

adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Heddy Julistiono

dan Ibu Sri Rejeki Retno Wahyuningsih.

Penulis dibesarkan di Bogor dan menempuh sekolah taman kanak-kanak di

TK Mesra. Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1995 di SD Negeri

Bangka 3 Bogor, lalu melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor pada tahun

2001. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Bogor pada

tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Fakultas Kedokteran

Hewan (FKH). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di dalam beberapa

kegiatan mahasiswa, diantaranya menjadi anggota paduan suara Agriaswara

sebagai alto 1 dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) musik Max pada tahun

2007/2008. Selain itu penulis pernah menjabat sebagai ketua Komunitas Seni

Teatrikal dan Ilmiah (KS STERIL) pada tahun 2009/2010 dan anggota divisi

Infokom Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar (SATLI) pada tahun 2009/2010.

Penulis sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II tahun

2011/2012. Pada tahun 2011 penulis berpartisipasi dalam ADIC (Aceh

Development International Conference) di Bangi, Malaysia.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iv

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 2

1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................ 2

1.4 Hipotesa ........................................................................................ 2

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Broiler ................................................................................. 3

2.2 Program Vaksinasi ........................................................................ 4

2.3 Respon Kekebalan Unggas ........................................................... 5

2.3.1 Bursa Fabricius .................................................................. 6

2.3.2 Timus ................................................................................. 8

2.3.3 Limpa ................................................................................ 10

2.4 Kortikosteroid .............................................................................. 12

2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya ....................................... 15

2.4.2 Residu Steroid pada Manusia ................................................. 16

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat penelitian ...................................................... 19

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................. 19

3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 20

3.3.1 Tahap Persiapan Kandang .................................................. 20

3.3.2 Pengelompokkan Ayam Penelitian ................................... 20

3.3.3 Nekropsi dan Pengumpulan Sampel Organ ...................... 21

3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi .................................... 21

3.3.5 Pengamatan Preparat Histopatologi .................................. 22

3.3.6 Pengolahan Data................................................................ 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perubahan Histopatologis pada Bursa Fabricius Akibat

Pemberian Kortikosteroid ............................................................ 24

4.2 Perubahan Histopatologis pada Timus Akibat Pemberian

Kortikosteroid .............................................................................. 32

4.3 Perubahan Histopatologis pada Limpa Akibat Pemberian

Kortikosteroid .............................................................................. 37

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 43

5.2 Saran ........................................................................................... 43

6. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 44

7. LAMPIRAN ........................................................................................ 50

DAFTAR TABEL Tabel Halaman

1. Parameter Penelitian ...................................................................... 23

2. Perbandingan Tinggi dan Lebar Plika Bursa Fabricius Kontrol

(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................ 25

3. Perbandingan Jumlah Folikel Limfoid Besar dan Kecil Bursa

Fabricius Kontrol (CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) .... 26

4. Perbandingan Jumlah Total Folikel Limfoid Bursa Fabricius

Kontrol (CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) .................... 28

5. Perbandingan Jumlah Limfosit Bursa Fabricius Kontrol

(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................. 30

6. Perbandingan Luas Medula dan Korteks Timus Kontrol (CC0)

dan Pemberian Kortikosteroid ....................................................... 32

7. Perbandingan Luas Timus Kontrol (CC0) dan Pemberian

Kortikosteroid (CC2) ..................................................................... 34

8. Perbandingan Jumlah Limfosit Timus Kontrol (CC0) dan

Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................................... 35

9. Perbandingan Jumlah Folikel Limfoid (pulpa putih) Limpa Kontrol

(CC0) dan Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................. 37

10. Perbandingan Jumlah Limfosit Limpa Kontrol (CC0) dan

Pemberian Kortikosteroid (CC2) ................................................... 49

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

1. Ayam Broiler ................................................................................. 3

2. Bursa Fabricius .............................................................................. 8

3. Timus ............................................................................................. 10

4. Limpa Ayam .................................................................................. 12

5. Konfigurasi Dasar Kortikosteroid.................................................. 13

6. Mekanisme Apoptosis Akibat Glukokortikoid .............................. 14

7. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Kontrol dan Perlakuan

Perbesaran 4x dan 10x ................................................................... 29

8. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Kontrol dan Perlakuan

Perbesaran 40x ............................................................................... 31

9. Gambaran Histopatologi Timus Perbesaran Kontrol dan

Perlakuan 4x .................................................................................. 35

10. Gambaran Histopatologi Timus Perbesaran Kontrol dan

Perlakuan 40x ................................................................................ 36

11. Gambaran Histopatologi Limpa Perbesaran Kontrol dan

Perlakuan 4x .................................................................................. 38

12. Gambaran Histopatologi Limpa Perbesaran Kontrol dan

Perlakuan 40x ................................................................................ 40

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Ternak ayam memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan

kebutuhan nutrisi. Mulai dari telur sampai daging ayam dikonsumsi masyarakat

sebagai sumber protein hewani. Seiring dengan perkembangan zaman maka usaha

ternak ayam broiler atau broiler yang pada mulanya hanya berkisar pada kegiatan

atau usaha rakyat kemudian berkembang dengan pesat demi memenuhi

permintaan daging dari masyarakat. Pemenuhan akan daging ayam tidak terlepas

dari peternakan ayam bibit. Peternakan ayam bibit ini nantinya akan menghasilkan

anak ayam atau Day Old Chick (DOC) komersial. DOC ini akan dipelihara oleh

peternak untuk dibesarkan menjadi ayam broiler komersial. Ayam broiler

merupakan jenis unggas dengan daya produktivitas tinggi yaitu dapat dipanen

pada usia minggu ke-6 sampai minggu ke-7 dan bobot yang bertambah pesat yaitu

sekitar 40 – 50 kali lipat dari bobot awalnya (± 1.5 kg). Hal ini yang membuat

usaha ternak ayam dinilai sangat menguntungkan.

Pemeliharaan secara intensif harus dilakukan dalam usaha ternak ayam

komersial. Pemeliharaan intensif dilakukan dengan fasilitas pemeliharaan dari

segi perkandangan dan segi pakan yang diberikan untuk memenuhi sasaran pada

tujuan produksi. Salah satu faktor pemeliharaan yang paling penting adalah

manajemen kesehatan karena kesehatan merupakan landasan utama penentu

kualitas dari sebuah peternakan. Manajemen kesehatan dilakukan dengan tindakan

preventif dan tindakan kuratif. Tindakan preventif dilakukan untuk mencegah

ternak terserang agen penyakit misalnya dengan pemberian vaksin. Sedangkan

tindakakan kuratif merupakan tindakan pengobatan untuk menghilangkan agen

penyakit.

Salah satu obat atau senyawa yang sering diberikan adalah kortikosteroid.

Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak yang digunakan

tidak sesuai dengan indikasi maupun dosis dan lama pemberian seperti pada

penggunaan kortikosteroid sebagai obat untuk menambah nafsu makan dan

menambah berat badan. Kortikosteroid dapat menimbulkan beberapa efek

samping kompleks sehingga banyak dokter takut memberikan kortikosteroid dosis

besar yang sebenarnya diperlukan pada berbagai pengobatan inflamasi (Harmanto

2007).

Kortikosteroid yang digunakan pada ayam penelitian ini adalah

Prednisone. Menurut Wissman (2006), Prednisone merupakan obat golongan

kortikosteroid yang berfungsi sebagai anti-inflamasi dan bersifat imunosupresif,

sedangkan pada unggas dapat mengatasi aspergillosis serta infeksi fungal lainnya.

Pengawasan ketat diperlukan dalam penggunaan obat ini baik secara oral, topikal

maupun parenteral. Namun kortikosteroid juga dapat menekan fungsi

immunnologis dan mengaktifasi infeksi laten sehingga pada beberapa kasus

kortikosteroid memberikan efek immunosupressi.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari kortikosteroid

terhadap organ limfoid, yaitu timus, limpa, dan bursa Fabricius pada ayam broiler.

1.3 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui efek dari pemberian

kortikosteroid terhadap sistem immunitas ayam broiler.

1.4 Hipotesis

H0 : Tidak terdapat perbedaan gambaran histopatologi organ limfoid antara ayam

broiler yang diberikan perlakuan (kortikosteroid) dengan ayam broiler

kontrol negatif (tidak diberi kortikosteroid).

H1 : Terdapat perbedaan gambaran histopatologi organ limfoid antara ayam

broiler yang diberikan perlakuan (kortikosteroid) dengan ayam broiler

kontrol negatif (tidak diberi kortikosteroid).

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Broiler

Ayam broiler adalah jenis unggas yang memiliki laju pertumbuhan yang

berbeda, pertambahan berat badan tiap minggu yang berbeda serta memiliki besar

konsumsi pakan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan

(North et al. 1990). Ayam broiler yang baik adalah ayam broiler yang

pertumbuhanya cepat, warna bulu putih, tidak terdapat bulu-bulu berwarna gelap,

serta memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang seragam (Mountney 1978). Ayam

broiler dipasarkan pada bobot hidup antara 1.3-1.6 kg per ekor ayam yang

dilakukan pada umur ayam 5-6 minggu karena ayam broiler yang terlalu berat

akan sulit dipasarkan. Bahkan bila dipelihara sampai 8 bulan beratnya dapat

mencapai 2 kg (Rasyaf 2008).

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan

untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi

peningkatan ukuran sel-sel tubuh akan peningkatan sel-sel individual dimana

pertumbuhan itu mencakup empat komponen utama yaitu adanya peningkatan

ukuran otot, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adiposa dan

peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Ciri dari ayam broiler ini adalah

ukuran badan relatif besar, padat, kompak, dan berdaging penuh. Jumlah telur

sedikit, bergerak lambat, tenang, dan lebih lambat mengalami dewasa kelamin.

Adapun jenis ayam broiler ini antara lain Brahma Putra, Cochin China, Cornish

dan Sussex (Sudaryani dan Santosa 2002).

Gambar 1 Ayam broiler (sumber: Purba 2011)

2.2 Program Vaksinasi

Penyakit merupakan masalah besar yang cukup potensial yang telah

mengubah industri peternakan ayam untuk mengembangkan vaksin. Industri

vaksin berperan dalam pemeliharaan dan pengawasan kesehatan ayam. Program

vaksinasi termasuk usaha pencegahan masuknya infeksi penyakit, selain itu jika

dilihat dari kesehatan manusia, manusia akan terhindar dari residu obat yang

terdapat dalam daging ayam yang pernah diberi obat akibat terpapar penyakit

(Appleby 2004).

Menurut Leeson dan Summers (2000) vaksin berfungsi untuk

menstimulasi sistem imun unggas tanpa menyebabkan tanda-tanda penyakit yang

jelas. Banyak diantaranya berfungsi untuk melindungi unggas dari infeksi virus,

beberapa jenis vaksin lainnya telah dikembangkan untuk perlindungan terhadap

cekaman bakteri tertentu (lebih sering disebut bakterin dibanding vaksin) dan juga

untuk koksidiosis. Program vaksinasi bagi peternak bertujuan untuk melindungi

unggas muda dan dewasa dari infeksi, selain itu vaksinasi juga bertujuan untuk

mengoptimumkan antibodi maternal pada anak ayam broiler. Pada saat sejumlah

dosis vaksin diberikan, unggas akan memproduksi antibodi yang dilepaskan oleh

bursa Fabricius tergantung usia dari unggas tersebut.

Vaksin yang digunakan pada unggas dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu

vaksin hidup dan vaksin inaktif. Vaksin inaktif terdiri dari antigen yang

dipekatkan dikombinasikan dengan minyak emulsi atau adjuvant alumunium

hidroksida. Vaksin jenis ini memberikan ketahanan tubuh yang lebih lama,

terutama jika dikombinasikan dengan vaksin hidup. Vaksin ini dapat berisi dua

atau tiga jenis antigen dan diberikan secara parenteral. Sedangkan vaksin hidup

biasanya hanya berisi satu jenis antigen dan diaplikasikan secara aerosol, melalui

air minum, dan dalam beberapa kasus dapat diberikan secara injeksi. Antigen

dapat berupa penyakit yang telah dilemahkan sehingga tingkat virulensinya

rendah (Jordan 1994).

Menurut Marangon dan Busani (2006) faktor yang mempengaruhi

kemanjuran vaksin yang berkaitan dengan individu ayam adalah kekebalan

maternal dan imunosupresi, status sanitasi serta faktor genetis. Optimumnya

antibodi maternal disertai status sanitasi faktor genetik yang baik mendukung

program vaksinasi sedangkan imunosupresi dapat merusak organ kekebalan

sehingga menghambat program vaksinasi.

Program vaksin yang umum diberikan untuk ayam broiler antara lain

vaksin Marek’s disease yang diberikan kepada ayam umur 18 hari masa embrio

secara in-ovo. Vaksin Newcastle disease dan Infectious Bronchitis yang diberikan

pada ayam umur 1 hari atau setelah menetas dengan rute spray cabinet. Vaksin

ND dan IB kembali diberikan pada usia 14 hari melalui minuman. Faktor-faktor

yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin adalah kejadian penyakit di

daerah tersebut, ketersediaan vaksin, periode stres, kondisi iklim, dan faktor lain

yang mempengaruhi program vaksinasi (North et al. 1990).

2.3 Respon Kekebalan Unggas

Tubuh melindungi dirinya sendiri melawan benda asing, seperti bakteri

dan virus, melalui aksi sistem kekebalan tubuh. Masuknya virus dan bakteri

merangsang aksi dari limfosit (sel darah putih) dan makrofag (scavangers) dalam

tubuh. Limfosit diproduksi dan diatur oleh bursa (sel B) dan timus (sel T). Sel B

bermigrasi ke limpa dan limfonodus, tempat antigen menstimulasi antibodi,

akivitas ini merujuk pada kekebalan humoral. Timus yang ditemukan di leher

ayam memproduksi sel T dibawah perintah hormon. Dewasa kelamin sangat

menentukan produksi sel T. Sel T bekerja sama dengan makrofag untuk

memusnahkan bakteri, virus dan benda asing lainnya. Aksi sel T tersebut merujuk

pada kekebalan seluler (Leeson dan Summers 2000).

Imunitas humoral (bursa) adalah pertahanan utama melawan bakteri,

sementara kekebalan seluler menjalankan fungsinya dalam melawan virus. Sel B

diinduksi untuk membagi dan menspesialisasi serta bersifat peka saat masuk ke

peredaran darah. Sel B memiliki masa hidup 3-5 hari dalam peredaran darah. Sel

B memiliki sistem memori sehingga sel B mampu melipatgandakan aksinya saat

ada infeksi dari antigen yang sudah dikenali, proses ini juga yang memengaruhi

kekebalan tubuh melalui vaksinasi. Sedangkan sel T dari timus merespon antigen

dengan cara menghasilkan sel efektor dan sel memori. Sel efektor bereaksi

langsung pada virus dan melepaskan zat kimia yang disebut limfokin yang

membantu menarik sel imun lain, seperti makrofag dan limfosit-limfosit lain ke

antigen yang berikutnya akan mengaktivasi sel-sel tersebut untuk tahap proses

kekebalan (Leeson dan Summers 2000).

Bangsa burung memproduksi tiga jenis antibodi, yaitu IgM, IgG, dan IgA.

Respon antibodi primer dimulai dengan perkembangan antibodi IgM. Setelah itu

IgG dan IgA diproduksi. Walaupun IgG unggas dan mamalia memiliki fungsi

biologi yang mirip, namun IgG unggas memiliki pasangan yang lebih panjang

dibandingkan milik mamalia dan tidak memiliki engsel molekul yang dikodekan.

Sehingga IgG unggas lebih sering disebut dengan IgY. IgA berperan dalam

kekebalan lokal di saluran respirasi dan pencernaan. Pada unggas IgA diangkut ke

hati kemudian disimpan di empedu (Schultz 1999).

Jaringan limfomieloid berkembang dari epitelial kubus sebaris (bursa

Fabricius dan timus) atau mesenkim (limpa, limfonodus, dan sumsum tulang)

yang didiami oleh sel-sel haematopoietik. Pada organ limfoid pusat, sel stem

haematopoietik memasuki bursa atau timus dan berkembang menjadi sel

imunokompeten B dan T. Sel-sel imun yang telah dewasa memasuki sirkulasi dan

mendiami organ limfoid perifer, diantaranya limpa, limfonodus, dan usus,

bronkhus dan jaringan limfoid yang bergabung dengan kulit (Davison 2003).

Menurut Aughey dan Frye (2001), sistem limfoid Aves terdiri dari limpa, timus,

nodul lokal di dinding pembuluh dan mukosa limfatik serta bursa Fabricius

2.3.1 Bursa Fabricius

Bursa Fabricius adalah kelenjar limfoepitelial yang terdapat di dorsal

kloaka. Secara umum bursa Fabricius akan mengalami atropi setelah penetasan

namun pada beberapa jenis burung tergantung usia (contohnya burung dari genus

gallinae) (Freeman 1971). Menurut Davison (2008) bursa Fabricius ayam

memiliki bentuk dan ukuran seperti kastanye dan lokasinya diantara kloaka dan

sakrum. Saluran bursa yang menyerupai celah menghubungkan dengan lumen

bursa. Sebagai diverticulum kloaka, bursa memiliki struktur epitel silindris. Bursa

dikelilingi oleh permukaan otot yang tebal dan licin. Selama kontraksi otot,

tekanan folikel-folikel memperkuat aliran sel di dalam medula dan aktivitas

limfatik di setiap lipatan plika bursa.

Glick (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan bursa Fabricius dapat

dipelajari dalam tiga bentuk. Pertama pertumbuhan yang cepat dari ayam baru

menetas sampai tiga atau empat minggu. Kedua, periode plateu selama lima atau

enam minggu berikutnya. Ketiga, regresi yang terjadi sebelum pematangan

seksual.

Pertumbuhan maksimum bursa Fabricius dicapai saat ayam berumur 4-12

minggu dan mengalami regresi secara lengkap pada waktu mencapai kematangan

seksual yaitu pada umur 14 – 20 minggu. Pada tahap ini bursa akan mengkerut,

terjadi pembentukan jaringan ikat lebih intensif, deretan epitel menjadi berlipat-

lipat, parenkimnya digantikan dengan jaringan lemak dan sel-sel limfoid di dalam

folikel limfoid digantikan oleh kista (Riddel 1987).

Riddel kembali mengungkapkan struktur bursa Fabricius adalah

permukaan dalamnya terdiri dari lipatan longitudinal (plika) besar dan kecil.

Lipatan yang besar mencapai keseluruhan dari panjang lumen bursa sedangkan

lipatan yang kecil tidak mencapai lumen. Lipatan-lipatan ini terdiri dari folikel

bursa dan di bawahnya terdapat matriks jaringan ikat, dari lipatan bursa melalui

lumen untuk tiap folikel yang disebut lumen bursa. Jumlah total lipatan mukosa

pada bursa yang matang atau dewasa sekitar 10-15 plika (Cross 1987).

Menurut Tizard (1987) bursa adalah organ limfoid primer yang fungsinya

sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari pembentuk antibodi.

Karena itu sel ini disebut sel B. Di samping itu, bursa juga berfungsi sebagai

organ limfoid sekunder yaitu, dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi.

Bursa juga mengandung sebuah pusat kecil sel T tepat di belakang lubang

salurannya.

Gambaran histopatologi pada bursa Fabricius diantaranya atropi.

Akumulasi stres yang tidak spesifik, seperti malnutrisi, manajeman kandang yang

buruk, dan infeksi dapat menginduksi atropi prematur dan imunosupresi pada

bursa Fabricius. Infeksi virus pada unggas dapat menyebabkan regresi bursa,

nekrosis folikel limfoid sampai limfositolisis. Badan inklusi virus baik

intranukleus maupun intrasitoplasma dapat ditemukan dalam makrofag dan

limfosit. Infeksi bakteri jarang menyerang bursa Fabricius. Namun jika terinfeksi,

organ akan membesar dan tidak beraturan serta terdapat abses yang dikelilingi

oleh makrofag dan sel raksasa. Infeksi jamur jarang ditemukan. Peradangan

gabungan heterofil, limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel raksasa dapat

ditemukan pada infeksi jamur. Sedangkan infeksi protozoa akan menyebabkan

bursa Fabricius edema. Paparan toxin dapat menyebabkan deplesi limfositik dan

limfositolisis. Malnutrisi dan kekurangan vitamin A menyebabkan atropi bursa.

Neoplasma atau limfosarkoma pada unggas diinduksi oleh retrovirus (Schmidt

2003).

Gambar 2 Bursa Fabricius: (1) lumen, (2) pseudostratified columnar epitelial, (3) folikel, dan

(4) muskularis (sumber: Nassar 2008).

2.3.2 Timus

Timus adalah organ yang sangat penting pada hewan muda.

Perkembangannya dimulai dari saat sebelum pubertas sampai dewasa. Ukuran

timus akan semakin mengecil seiring dengan pertambahan umur hewan. Pada

permukaan timus dapat ditemukan lapisan lemak, elemen fibrosa dan jaringan

timus. Timus terbentuk dari kantung faringeal ketiga (Dyce et al. 2002). Menurut

Hammond (2005) Pembentukan timus pada masa embrional diinduksi oleh

kantong endodermal. Secara anatomis, timus ayam terletak pada sisi kanan dan

kiri saluran pernafasan (trakhea). Warnanya pucat kuning kemerah-merahan,

bentuknya tidak teratur dan berjumlah 3-8 lobi pada masing-masing leher. Tiap

lobus dihubungkan oleh jaringan ikat dan membentuk suatu untaian yang berada

dekat dengan vena jugularis (Getty 1975).

Tizard (1987) mengungkapkan bahwa timus tediri dari kortex dan medula.

Korteks terdiri dari limfosit dan epitel retikulum. Limfosit T (thymocytes) yang

telah meninggalkan sumsum tulang di bagian organ imunitas yang kompeten telah

bermigrasi dan menempati korteks. Pada titik ini, limfosit T telah terbagi menjadi

sel imun yang jauh lebih kompeten. Pada beberapa bagian lobus akan tampak

kegelapan akibat populasi dari sel-sel ini. Sedangkan di dalam medula terdapat

benda bulat yang dikenal sebagai badan timus (korpuskulus Hassal) yang

fungsinya tidak diketahui. Benda ini mengandung keratin dan mungkin sebagai

petunjuk adanya kegagalan keratinisasi oleh sel epitelial. Penyediaan darah ke

timus berasal dari arteri yang masuk melalui jaringan ikat pembatas dan menjulur

sebagai arteriol sepanjang pertemuan pertemuan kortiko-medula. Kapiler yang

terjadi dari arteriol ini memasuki korteks dan melingkar kembali ke medula.

Pada hewan umur muda, timus bersifat sangat aktif yang secara normal

mengalami involusi menjelang pubertas dan bertambahnya umur. Proses involusi

ditandai dengan berkurangnya secara bertahap limfosit terutama di daerah korteks,

pembesaran dari sel-sel epitel retikuler dan parenkim diganti oleh sel lemak. Pada

hewan dewasa, timus terdiri dari jalur-jalur tipis parenkim di mana banyak sel-sel

epitel retikuler membesar yang dikelilingi jaringan lemak (Dellman 1989).

Histopatologi yang sering terdapat pada timus unggas, diantaranya sistik,

atropi, dan neoplasia. Sistik pada timus unggas jarang ditemukan sebagai lesi

insidentil. Etiologi sistik tidak diketahui, namun sistik dapat terbentuk dari dilatasi

saluran timofaringeal persisten. Pada sistik dapat teramati sel-sel epitel squamosa

yang berlapis-lapis sehingga menjadi tebal dan material-material menyerupai

koloid. Atropi dicirikan dengan hilangnya populasi limfosit dan hilangnya batas

perbedaan antara medula dan korteks. Avian Influenza, virus Marek, serta

beberapa virus penyebab IBD (Infectious Bursal Disease) dapat menimbulkan lesi

yang serupa pada unggas. Stres akibat nutrisi dan paparan hormon kortison juga

dapat menyebabkan atropi. Neoplasia pada timus dapat tumbuh dari sel-sel epitel

atau limfosit. Tumor epitelial dapat diklasifikasikan sebagai thymoma sedangkan

tumor limfosit diklasifikasikan sebagai lymphosarkoma. Massa tumor dapat

terbentuk di semua bagian subkutis leher mulai dari mandibula sampai pangkal

dada. Massa dapat berupa sistik dan hemoragi (Schmidt et al. 2003).

Gambar 3 Organ timus terdiri medula dan korteks yang dibungkus oleh kapsula. Setiap

lobus timus dihubungkan oleh trabekula (sumber: Bellham 2011).

2.3.3 Limpa

Limpa bangsa burung berbentuk bulat, berstruktur merah kecoklatan yang

berada di lambung bagian kanan. Perbedaan dengan limpa mamalia adalah dari

struktur anatomi dan fungsinya. Limpa pada ayam memiliki kapsul jaringan ikat

yang tebal dan kerangka yang tersusun atas sel retikular. Pulpa merah dan pulpa

putih melapisi bagian limpa dengan jumlah yang sama. Pulpa mengisi 80-90%

bagian limpa dan sisanya merupakan jaringan penghubung. Pulpa putih membaur

dan tidak tampak jelas batas-batasnya. Pulpa putih terdiri dari sel limfoid yang

berakumulasi di ujung cabang arteri limpa. Pulpa merah termasuk sinus venosus

dan jaringan spons terdiri dari limfosit, sel retikular, makrofag, sel plasma, dan sel

darah merah. Perbedaan pulpa merah dan pulpa putih pada ayam kurang jelas jika

dibandingkan dengan mamalia. Fungsi dari limpa pada unggas adalah (a)

memfagositosis sel darah merah oleh makrofag di pulpa merah, (b) limfositpoiesis

di pulpa putih, dan (c) menyerap antigen serta memproduksi antibodi oleh sel

limfoid di pulpa merah dan putih. Hal ini dapat dikatakan limpa sebagai gudang

penyimpanan darah (Herenda 1996).

Davison et al. (2008) menyatakan setelah proses haematopoiesis selesai

maka pulpa merah akan berubah fungsi menjadi penyaring sel-sel eritrosit yang

mengalami penuaan. Pengamatan imunohistokimia menunjukkan matriks

ekstraseluler limpa sangat kompleks, dengan setiap bagian memiliki bagian

spesifik yang berkontribusi dalam proses adhesi dan migrasi sel-sel leukosit. Sel

limfoid dan sel non-limfoid dapat dikenali oleh pulpa merah. Terdapat banyak

makrofag pada pulpa merah. Sedangkan sel-sel non-limfoid seperti heterofil

tersebar di sinus pulpa merah. Sturkie (2000) berpendapat pulpa putih terdiri atas

3 daerah, yaitu PALS (periarteoral lymphatic sheath), pusat germinal, dan daerah

periellipsoid white pulp (PWP). Arteri pusat yang masuk ke PWP menjadi

penicilliform capillary (PC). Daerah PC dikelilingi capillary sleeve (CS). CS

disulam oleh ellipsoid-associated cell (EAC) yang mengikat beragam substansi

yang memasuki CS melalui stomata oleh sel endothelial dari daerah PC. Pada

unggas daerah limpa terdiri dari CS yang diselaputi EAC beserta sel B dan

makrofag.

Limpa memiliki reaksi dengan antigen. Antigen yang masuk secara

intravena akan dijerat paling tidak sebagian, di dalam limpa yang diambil oleh

makrofag baik yang terdapat di zona pembatas maupun yang membatasi sinusoid

pulpa merah. Sel ini membawa antigen ke folikel primer dalam pulpa putih,

setelah itu sel penghasil antibodi akan bermigrasi. Sel penghasil antibodi ini

menempati zona pembatas dan pulpa merah, dan di daerah inilah produksi

antibodi ini pertama kali ditemukan. Pembentukan pusat germinal juga terjadi

dalam folikel primer dalam beberapa hari, walaupun hal ini tidak langsung

berkaitan dengan produksi antibodi. Pada hewan yang sudah memiliki antibodi

yang bersirkulasi, penjeratan antigen oleh sel dendrit dalam folikel sekunder

menjadi penting. Seperti halnya pada tanggap kebal primer, sel penghasil antibodi

berpindah dari folikel ini menuju ke pulpa merah dan zona pembatas, tempat

sebagian besar produksi antibodi berlangsung, walaupun sebagian antibodi bisa

juga diproduksi di dalam folikel sekunder yang hiperplastik (Tizard 1987).

Atropi dan pembesaran limpa sulit untuk dibedakan dengan ukuran normal

organ. Atropi dapat disebabkan oleh beberapapa mekanisme seperti

hemosiderosis, usia yang sudah tua, kelainan sekresi, dan kelanjutan dari kongesti.

Kongesti pada limpa merupakan hal yang umum dan dapat terlihat adanya

akumulasi darah yang berwarna gelap saat diinsisi. Penyebab yang paling sering

adalah akibat ethanasia dengan barbituat. Kongesti juga dapat ditemukan pada

anemia hemolitik dengan eritrosit yang mengalami retensi dalam pulpa merah.

Pembesaran limpa dengan berbagai alasan cenderung berakibat thrombosis dan

infark. Adanya diskret pada nodul yang muncul saat permukaan limpa diinsisi

merupakan indikasi dari hiperplasia limfoid benign nodular (Carlton dan

McGavin 1995).

Menurut Schimidt et al. (2003) penyakit viral yang sering menyerang

organ limpa unggas adalah Avian Polyomavirus, Herpesvirus, dan Avipoxvirus.

Akibat agen ini, limpa unggas mengalami pembesaran atau splenomegali. Ayam

merupakan reservoir terbesar Salmonella khususnya Salmonella thypimurium

yang menyebabkan splenomegali dan infiltrasi limfosit, makrofag, dan heterofil.

Penyakit degeneratif yang biasa menyerang limpa adalah amiloidosis. Hal ini

disebabkan substansi protein yang bersifat patologis dan menjadi deposit di

jaringan serta organ. Umumnya limpa akan tampak pucat dan padat jika diinsisi.

Sedangkan karsinoma metastatik jarang ditemukan pada organ ini.

Gambar 4 Limpa ayam: (1) kapsula, (2) pulpa merah, (3) pulpa putih, (4) arteri, dan (5)

nodul limfatik (sumber: Nassar 2008).

2.4 Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan bagian dari hormon steroid yang diproduksi di

korteks adrenal. Kortikosteroid memiliki peran yang luas dalam sistem fisiologis

seperti respon stres, respon imun, dan regulasi dalam proses inflamasi,

metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, pengaturan level elektrolit darah

dan tingkah laku. Glukokortikoid dan mineralkortikoid merupakan jenis dari

kortikosteroid. Glukokortikoid contohnya kortisol berfungsi untuk mengatur

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Selain itu, kortisol juga berperan

sebagai anti inflamasi dengan mencegah pelepasan phospholipid, mengurangi

kerja eosinofil dan beberapa mekanisme lainnya. Sedangkan mineralkortikoid

contohnya aldosteron yang mengatur kadar air dengan menaikkan sodium di

ginjal (Kansky et al. 2000).

Kansky juga mengungkapkan struktur dasar kortikosteroid terdiri dari 21

cincin atom-karbon sterol. Aktivitas dari kortikosteroid meningkat dengan adanya

ikatan tak jenuh antara dua atom karbon pertama. Kortikosteroid yang pertama

kali dibuat untuk kepentingan klinis tidak mengandung halogen. Halogenisasi dari

struktur dasar steroid posisi 9 alpha tidak hanya dapat meningkatkan aktivitas tapi

juga meningkatkan efek samping.

Menurut Suherman (1987) kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi

kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan yang responsif

melalui membran plasma secara difusi pasif, kemudian bereaksi dengan reseptor-

steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju

nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA

dan sisntesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara

efek fisiologis steroid.

Gambar 5 Konfigurasi dasar kortikosteroid (sumber: Kansky 2000)

Prednisone merupakan glukokortikoid sintetis yang memiliki kekuatan 4

kali lebih poten dibandingkan glukokortikoid alami yang diproduksi dalam tubuh.

Tubuh yang terpapar stres akan menstimuli hipotalamus untuk memproduksi CRH

(Corticotropin Realeasing Hormon). CRH akan memberi sinyal kepada pituitari

anterior untuk memproduksi ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal

untuk menseksresikan hormon glukokortikoid. Glukokortikoid dalam tubuh

diantaranya akan mempengaruhi organ hati, otot, lemak dan limfosit (Bowen

2006).

Glukokortikoid menyebabkan deplesi limfosit melalui mekanisme

apoptosis (programme cell death). Prinsip dari mekanisme ini adalah reseptor

glukokortikoid yang terdapat pada sitoplasma sel akan aktif saat menempel

dengan ligan. Saat berikatan, dalam sel akan terjadi peristiwa beruntun yang

melibatkan beberapa senyawa protein yang akhirnya akan menyebabkan sel

mengalami apoptosis. Peristiwa ini disebut cascade. Reseptor yang berikatan

dengan ligan akan menempuh 2 jalan, yakni genomik dan non-genomik. Genomik

terjadi saat ikatan reseptor-ligan merangsang gen dalam sel untuk memproduksi

senyawa pro-apoptosis yang kemudian akan bereaksi dalam membran

mitokondria. Sitokrom akan keluar dari mitokondria dan mengaktivasi enzim

caspase yang akan menginduksi apoptosis. Sedangkan jalur non-genomik terjadi

tanpa ada rangsangan perubahan gen. Namun pada mekanisme ini diketahui

terdapat protein Bcl-2 dan Bcl-xL yang merupakan senyawa anti-apoptosis yang

dalam keadaan tertentu akan menghambat kerja protein pro-apoptosis

(Schlossmaker et al. 2011).

Gambar 6 Mekanisme apoptosis akibat glukokortikoid (sumber: Schlossmaker et al.2011)

2.4.1 Terapi Kortikosteroid dan Efeknya

Kortikosteroid merupakan derivat dari kolesterol, termasuk Prednisone,

Prednisolone, dan Methylprednisolone. Agen inflamasi poten ini menimbulkan

efek yang bervariasi yaitu mereduksi jumlah dan aktivitas dari sel-sel sistem

imun. Senyawa kortikosteroid digunakan untuk terapi anti-inflamasi (Kuby 1992).

Suherman (1987) berpendapat bahwa penggunaan klinik kortikosteroid

sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit

tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Sebenarnya hal inilah yang

menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering

disebut life saving drug, tetapi juga kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi

yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar

evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang

terjadi masking effect, dari luar penyakit nampak sudah sembuh tetapi infeksi di

dalam dapat terus menjalar.

Salah satu indikasi klinis utama dari kortikosteroid adalah efek anti

inflamasinya. Kortikosteroid memiliki kemampuan untuk memblok enzim

phospolipase, yang menimbulkan reaksi pembentukan prostaglandin, mediator

utama dari respon imun. Kortikosteroid juga menjaga sel dari trauma inflamasi

dengan beberapa mekanisme, diantaranya menstabilkan membran sel untuk

mencegah perombakan, menstabilkan membran lisosom sehingga tidak

melepaskan enzim rasa sakit, menghentikan sintesis histamin, menghambat

sintesis interleukin, dan mengurangi proses eksudasi (Wanamaker dan Massey

2004).

Efek samping lokal penggunaan kortikosteroid, antara lain atropi kulit,

eritema persisten, teleangiektasia, papula, dan pustula, steroid acne, gluteal

granuloma, hipertrichosis, perubahan pigmentasi, dan alergi. Sedangkan efek

samping sistemiknya adalah ketidakseimbangan elektrolit, diabetes steroid,

peningkatan katabolisme protein, hipertensi arteri, dan osteoporosis (Kansky

2000).

Terapi kortikosteroid menyebabkan menurunnya jumlah limfosit sebagai

induksi dari lisisnya limfosit (lympholisis). Seperti hormon steroid lainnya,

kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat menembus membran plasma dan

berikatan pada reseptor dalam sitosol. Kortikosteroid juga dapat mereduksi

kemampuan makrofag dan netrofil untuk memfagositosis benda asing. Efek inilah

yang memberikan kontribusi dalam aksi anti-inflamasi kortikosteroid. Selain itu,

kortikosteroid juga mereduksi kemotaksis, hal inilah yang membuat beberapa sel

inflamasi tertarik oleh aktivasi sel TH. Ekspresi dari molekul MHC II dan IL-1

yang diproduksi oleh makrofag otomatis juga akan tereduksi. Akhirnya

kortikosteroid juga akan menstabilisasi membran lisosom dari leukosit, sehingga

terjadi penurunan level dari enzim lisosom dilepaskan pada situs inflamasi (Kuby

1992).

Forbes dan Altman (1998) berpendapat bahwa pada unggas kortikosteroid

dapat menjadi terapi untuk lesio polifolikuler. Lesi ini mengakibatkan pruritus.

Pemberian kortikosteroid atau NSAID, agen inflamasi dapat menghilangkan

pruritus. Sedangkan Tully (2000) berpendapat pemberian obat topikal pada

unggas harus diwaspadai dan tidak boleh terlalu banyak pemberiannya. Obat ini

dapat melekat di bulu dan akan termakan oleh unggas saat unggas melicinkan

bulunya dengan paruh sehingga berdampak toksisitas. Kortikosteroid topikal perlu

diwaspadai penggunaannya. Banyak dilaporkan terjadi kematian setelah

penggunaan kortikosteroid.

Prednisolone, salah satu golongan kortikosteroid yang digunakan untuk

penyakit rematik. Dosis rendah Prednisolone dapat menyebabkan kerusakan

persendian. Efek paling serius paparan kortikostreoid adalah penekanan pitutari-

adrenal. Kelenjar adrenal akan mengalami atropi lalu kehilangan kemampuan

untuk memproduksi kortikosteroid alami. Tubuh tidak akan dapat bertahan

menghadapi stres sehingga tubuh akan selalu berada di bawah cekaman. Anti-

inflamasi kortikosteroid menurunkan fungsi imun. Respon infeksi akan meningkat

seiring dengan berkurangnya jumlah limfosit. Berbagai infeksi seperti

tuberkulosis akan mudah menyebar bahkan sebelum terdiagnosa (Thorp 2008).

2.4.2 Residu Hormon Steroid pada Manusia

Agen anabolik digunakan pada ternak untuk meningkatkan pertumbuhan.

Terdapat dua macam steroid, yaitu steroid yang terdapat dan disintesis dalam

tubuh (steroid endogenus) dan steroid yang berasal dari luar tubuh (steroid

eksogenus). Steroid eksogenus mengandung ester dari steroid endogenus,

contohnya estradiol benzoat dan testosteron propionat. Senyawa-senyawa ini akan

masuk ke tubuh manusia melalui makanan. Steroid yang terkonsumsi manusia

memiliki kecenderungan akan menganggu produksi endokrin. Mengkonsumsi

daging yang terpapar senyawa ini meningkatkan level hormon dalam tubuh

manusia. Akumulasi steroid eksogenus dalam tubuh akan berselisih dengan

steroid endogenus dalam 3 cara. Pertama, aktivitas biologis steroid eksogenus

akan lebih kuat dibanding steroid endogenus. Kedua, steroid eksogenus

dimetabolis secara berbeda, dan ketiga, steroid eksogenus akan memberikan efek

berbeda dibanding steroid endogenus (Zeliger 2011).

Hormon steroid diberikan pada ayam dengan tujuan mempercepat

pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Selain itu hormon ini juga dapat

meningkatkan massa otot ayam sebelum disembelih. Hal ini membantu peternak

untuk meningkatkan keuntungan dan mempercepat panen ayam broiler tanpa

mengeluarkan banyak biaya. Namun kandungan hormon steroid tersebut masih

terdapat pada daging ayam bahkan setelah proses pemasakan, artinya saat

mengkonsumsi, manusia akan terpapar oleh hormon ini dan menimbulkan efek

negatif pada tubuh konsumen (Ankeny 2011).

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2009

tentang peternakan dan kesehatan hewan Pasal 58 ayat 1 menyebutkan bahwa

dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal,

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan

pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi

produk hewan.

Akumulasi senyawa steroid dalam daging berpotensi menimbulkan efek

yang buruk bagi manusia selaku konsumen. Efek yang ditimbulkan mencangkup

gangguan pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas, seperti imunotoksisitas,

genotoksisitas, dan karsinogenisitas (Addis et al. 1999). Menurut Gandhi dan

Snedeker (2003) beberapa steroid sintetis, contohnya diethylstilbestrol (DES),

ditemukan dapat meningkatkan resiko kanker vagina. Paparan hormon steroid

yang berkepanjangan juga dapat meningkatkan resiko kanker payudara. Hormon

steroid yang terdapat pada makanan dilaporkan menyebabkan pubertas yang lebih

cepat pada anak-anak perempuan. Sedangkan studi lain di Italia menunjukkan

bahwa residu hormon steroid pada daging sapi dan ayam dinilai dapat

menyebabkan pembesaran payudara baik pada anak perempuan maupun anak

laki-laki.

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Fasilitas Kandang Percobaan FKH IPB,

Laboratorium Histopatologi, dan Laboratorium Photo, Bagian Patologi

Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian berlangsung dari bulan September

2009 sampai dengan bulan Februari 2010.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. 30 ekor ayam broiler berumur 1 hari (DOC).

2. Bahan imunosupressan kortikosteroid yaitu Prednisone (3 mg/Kg BB)

(Jamin 2011).

3. Vaksin Newcastle Disease (ND) strain La-Sota dan vaksin Gumboro (IBD)

yang merupakan vaksin aktif

4. Vitamin, antibiotik, dan ransum dari produk komersil serta air yang

diberikan secara ad libitum

5. Kebutuhan sanitasi kandang, diantaranya air bersih isi ulang, deterjen,

insektisida, formalin 10%, dan enilconalone 15 % konsentrasi (150 g/L)

sebagai fungisida.

6. Sekam

7. Bahan nekropsi dan pembuatan preparat histopatologi, yaitu larutan buffer

netral formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%,

80%, 90%, alkohol 95%, dan alkohol absolut), larutan penjernih (xylol),

parafin granul histoplast dengan titik leleh 56-57 0C, pewarna Meyer’s

Hematoksilin, Eosin dan lithium karbonat.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Alat pemeliharaan ayam seperti kandang, timbangan, dan syringe

2. Alat nekropsi seperti pisau, pinset, gunting, jarum pentul, dan pot plastik

3. Alat pembuatan preparat histopatologi Autotechnic Tissue Processor,

mikrotom, paraffin embedding console, tissue cassette, waterbath, pisau

mikrotom, gelas objek, gelas penutup, inkubator, spidol dan label.

4. Mikroskop cahaya untuk mengamati preparat histopatologi, digital eye

piece camera beserta seperangkat komputer untuk mengambil gambar

jaringan

5. Software Image J®

for Microsoft Windows®

untuk menghitung dan

mengukur jaringan.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Tahap Persiapan Kandang

Langkah-langkah persiapan kandang sebelum dimulai penelitian, adalah:

1. Kandang disemprot dengan menggunakan air bersih dan dibersihkan dari

limbah ternak sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan sebanyak 2 kali agar

kandang benar-benar bersih.

2. Kandang disemprot deterjen dan insektisida dengan komposisi 200 l air

ditambah insektisida 500 ml dan 1 kg deterjen.

3. Kandang disemprot formalin 10% dengan komposisi 180 l air ditambah 20 l

formalin teknis.

4. Pengapuran lantai dan dinding kandang selama 3-5 hari.

5. Sekam ditaburkan dengan ketebalan 7-12 cm kemudian disemprot fungisida

enilconalone 15% dengan konsentrasi 150g/L untuk mencegah

penyimpangan hasil penelitian akibat infeksi penyakit sebelum ayam

dimasukkan.

3.3.2 Pengelompokan Ayam Penelitian

Hari pertama dilakukan penimbangan DOC dan ditempatkan pada

kandang sesuai dengan pengelompokkannya. Hari ke-empat dilakukan vaksinasi

ND pada DOC melalui tetes mata. Aklimatisasi dilakukan 7 hari sebelum ayam

diberikan perlakuan. Ayam divaksin IBD pada hari ke-11 melalui tetes mata.

Vaksinasi ND kembali dilakukan pada hari ke-19 melalui cekokan. Ayam broiler

diberikan pakan komersil dan minum secara ad libitum yang diganti setiap pagi

dan sore hari.

Ayam broiler berjumlah 30 ekor dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan,

yaitu kelompok kontrol (CC0) dan kelompok perlakuan (CC2) yang diberikan

Prednisone 3 mg/kg BB secara per oral (Jamin 2011) setiap hari mulai dari umur

ayam 2 minggu. Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor ayam. Mulai dari umur 1

minggu sampai 6 minggu, sebanyak 3 ekor dari masing-masing kelompok

dinekropsi setiap minggunya.

3.3.3 Nekropsi dan Pengumpulan Sampel Organ

Mulai dari minggu kedua sampai minggu keenam sebanyak 3 ekor ayam

diambil dari kandang secara acak menurut kelompok per minggunya. Sebelum

dinekropsi, ayam dikorbankan dengan cara disembelih. Nekropsi dilakukan untuk

mengamati perubahan patologi (PA) dan mengambil organ untuk selanjutnya

diamati secara histopatologi (HP). Organ yang diambil adalah timus, limpa, dan

bursa Fabricius. Organ-organ tersebut dimasukkan ke dalam pot plastik yang

berisi larutan BNF 10% dan diberi label. Setelah organ terfiksasi sempurna di

dalam larutan BNF 10% selama 24 jam maka organ siap dijadikan preparat

histopatologi.

3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ timus, limpa, dan bursa Fabricius yang telah difiksasi dalam larutan

BNF 10% dipotong setebal 0.5 cm lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette

kemudian direndam kembali ke dalam larutan BNF 10%. Proses selanjutnya

adalah dehidrasi dengan cara merendam organ berturut-turut ke dalam alkohol

bertingkat 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I dan alkohol absolut II. Tahapan

selanjutnya adalah clearing atau penjernihan dengan xylol kemudian organ

direndam dalam paraffin I dan paraffin II. Proses tersebut berjalan secara otomatis

dalam alat Sakura® tissue processor.

Tahap selanjutnya adalah meletakkan organ dalam alat pencetak blok

paraffin kemudian diisi sedikit paraffin dengan bantuan paraffin embedding

console. Letak organ diusahakan tepat berada di tengah blok paraffin. Paraffin

yang sudah mulai mengeras kembali ditambahkan paraffin cair hingga penuh dan

dibiarkan sampai beku kemudian dilepaskan dari cetakan. Selanjutnya dilakukan

pemotongan jaringan (sectioning) setebal 5µm dengan menggunakan mikrotom.

Hasil potongan berupa pita (ribbon) kemudian diletakkan di atas permukaan air

pada waterbath dengan suhu 45°C agar lipatan paraffin hilang. Sediaan diangkat

dengan menggunakan object glass yang telah diberikan albumin agar organ

merekat sempurna. Sediaan diletakkan dalam inkubator bersuhu 60°C selama satu

malam.

Sediaan yang sudah berada dalam inkubator selama semalam selanjutnya

dideparafinisasi dalam xylol sebanyak dua kali. Proses selanjutnya adalah

rehidrasi dengan merendam sediaan dalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol

absolut sampai dengan alkohol 80% yang lamanya masing-masing 2 menit.

Selanjutnya sediaan dibilas dengan air bersih lalu dikeringkan. Setelah kering

maka sediaan siap memasuki proses pewarnaan. Sediaan organ timus, limpa dan

bursa Fabricius dilakukan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).

Pewarnaan HE dimulai dengan merendam sediaan dalam Mayer’s

Haematoxylin selama delapan menit, sediaan dibersihkan dengan air mengalir

selama 30 detik. Sediaan direndam dalam lithium karbonat selama 15-30 detik,

dibersihkan kembali dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dalam larutan

Eosin selama 2 menit lalu dibersihkan dengan air mengalir hingga akhirnya

dikeringkan. Setelah kering, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% dan

alkohol absolut I masing-masing sebanyak 10 kali, direndam dalam alkohol

absolut II selama 2 menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit.

Sediaan ditutup dengan cover glass yang sudah diberikan perekat permount.

Preparat didiamkan sampai perekat mengering.

3.3.5 Pengamatan Preparat Histopatologi

Pengamatan perubahan histopatologi atau respon organ limfoid dilakukan

dengan cara:

1. Pengamatan mikroskopis untuk mengamati jumlah limfosit, jumlah folikel

limfoid bursa Fabricius dan limpa, tinggi dan lebar plika bursa Fabricius,

serta luas timus terhadap pengaruh bahan imunosupresan kortikosteroid,

yaitu Prednisone 3 mg/Kg BB dan korelasinya dengan pertambahan umur

ayam.

2. Pembuatan foto mikrograf digital eye piece camera terhadap perubahan

histopatologi pada organ limfoid. Pengamatan pada foto dilakukan dengan

luas 2909.09 x 2327.27 µm2.

3. Pengamatan dilakukan dengan menyesuaikan pembesaran okuler dan

objektif. Hal ini dilakukan dengan cara seperti yang tercantum pada tabel 2

dibawah ini.

4. Perhitungan jumlah sel dan pengukuran organ dilakukan dengan

menggunakan software Image J®

for Microsoft Windows®

.

Tabel 1 Parameter Penelitian

No Organ Pembesaran Objektif Objek Pengamatan

1 Timus 4x Luas Korteks

Luas Medula

40x

Luas Total Timus

Jumlah Limfosit

2 Bursa Fabricius 4x Panjang Plika Bursa

Lebar Plika Bursa

10x Jumlah Folikel Limfoid

40x Jumlah Limfosit

3 Limpa 10x

40x

Jumlah Pulpa Putih

Jumlah Limfosit

3.3.6 Pengolahan Data

Hasil data berupa jumlah limfosit bursa Fabricius, timus dan limpa, jumlah

folikel limfoid limpa dan bursa Fabricius, panjang dan lebar plika bursa Fabricius,

serta luas timus dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji T-student

untuk melihat perbedaan nyata antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok

perlakuan kortikosteroid.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Organ limfoid primer unggas terdiri dari timus dan bursa Fabricius

sedangkan pada mamalia terdiri dari sumsum tulang. Limpa, limfonodus dan

MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue) termasuk dalam organ limfoid

sekunder. Limfosit B mengalami pematangan di bursa Fabricius sedangkan

limfosit T mengalami pendewasaan di timus. Limfosit dihasikan oleh organ

limfoid primer segera memasuki peredaran darah lalu dikirim ke organ limfoid

sekunder. Pada organ limfoid sekunder ini limfosit dijaga tetap hidup dan siap

beradaptasi saat antigen datang (Elgert 2009).

Beberapa faktor diyakini dapat menghambat dan menurunkan sistem

kekebalan tubuh. Saat sistem ini turun maka tubuh akan mudah terserang

penyakit. Salah satunya adalah stres. Menurut Shini (2010) stres (sering

digunakan untuk menyebut stresor atau respon stres) merupakan suatu kondisi

tubuh dalam merespon infeksi akut maupun kronis. Stresor adalah faktor yang

menimbulkan respon tersebut. Respon stres adalah mekanisme yang kompleks,

dan mekanisme ini mempengaruhi perilaku, psikologis, metabolisme, dan reaksi

imunologis tubuh demi beradaptasi dan bertahan pada lingkungan. Stresor yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kortikosteroid. Ayam broiler diberikan

kortikosteroid untuk mengetahui status respon imun selama pertumbuhan.

4.1 Perubahan Histopatologi pada Bursa Fabricius Akibat Pemberian

Kortikosteroid

Ukuran bursa Fabricius dapat dijadikan sebagai indikator umur hewan.

Bursa berukuran besar menandakan umur hewan masih muda sedangkan bursa

yang mengalami atropi menandakan hewan sudah dewasa. Pembentukan bursa

Fabricius dipengaruhi oleh hormon seks steroid yang dihasilkan oleh gonad

(Broughton 2003). Pengaruh kortikosteroid terhadap bursa Fabricius tidak dapat

dibedakan antara kelompok kontrol dengan perlakuan secara patologi anatomi,

sehingga dilakukan pengamatan secara histopatologi. Pengamatan histopatologi

pada bursa Fabricius meliputi ukuran plika, jumlah folikel limfoid, dan limfosit.

Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan tinggi dan lebar plika bursa

Fabricius dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius (µm) antara kelompok

kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27

µm2).

Umur

Ayam

(minggu)

Tinggi Plika (µm) Lebar Plika (µm)

CC0 CC2 CC0 CC2

2 3025.87±1153.00a

2981.33±1074.40a

2214.40±332.89a

1376.20±321.90b

3 3235.74±630.36a

2238.11±339.51b 1680.00±272.55

a 1216.00±292.42

b

4 2961.81±958.61a

3623.33± 674.90a

1754.20±332.37a

1542.60±486.80a

5 3691.77±1276.00a

2961.44±705.56a

3691.77±1276.04a

1334.20±433.20b

6 2347.05±1476.00a

2788.78±990.14a

1528.50± 395.02a

1295.20± 295.00a

Keterangan: huruf superscript pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda

nyata (P<0.05).

Hail uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05)

antara tinggi plika kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan setelah

diberikan kortikosteroid selama 3 minggu. Sedangkan penghitungan lebar plika

terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan

kelompok perlakuan pada umur 2, 3, dan 5 minggu. Kortikosteroid dapat menekan

perkembangan bursa Fabricius, sehingga plika memendek. Plika bursa Fabricius

pada kelompok yang diberikan kortikosteroid (CC2) dari umur 2, 3, 4, 5, dan 6

minggu memiliki lebar yang lebih kecil daripada kelompok kontrol (CC0). Pada

kelompok perlakuan (CC2) tampak lebar plika cenderung mengecil sejalan

dengan waktu pemberian kortikosteroid. Namun tinggi plika kelompok perlakuan

(CC2) pada umur 4 minggu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (CC0)

yang menunjukkan terdapat respon yang variatif. Variasi respon pada tinggi dan

lebar plika dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi

perkembangan ayam sehingga ayam tidak 100% seragam. Menurut Pastoret et al.

(1998), faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ukuran bursa Fabricius

diantaranya genetik, agen infeksius, nutrisi, lingkungan, dan reseptor hormon.

Bahan aktif dari Prednisone, yaitu steroid dapat mempengaruhi

perkembangan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius. Berdasarkan hasil

penelitian, steroid dapat menyebabkan imunosupresi yang ditunjukkan dengan

mengecilnya ukuran plika bursa Fabricius kecuali pada kelompok ayam umur 5

minggu. Kelompok ayam umur 5 minggu yang diberikan kortikosteroid memiliki

plika yang lebih pendek daripada kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan

faktor bobot badan yang tidak sama antar kelompok. Semakin besar bobot badan

ayam maka semakin besar pula ukuran bursa Fabriciusnya. Selain itu faktor umur

dapat mempengaruhi perkembangan bursa Fabricius. Bursa Fabricius pada ayam

yang berumur 3 minggu mengalami perkembangan yang pesat, umur 4-8 bursa

Fabricius dalam kondisi statis, dan umur ayam di atas 8 minggu

perkembangannya menurun. Oleh karena itu, kortikosteroid tidak mempengaruhi

tinggi plika bursa Fabricius. Penelitian yang dilakukan Glick pada tahun 1957

dalam Taylor dan McCorkle (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara perkembangan bursa dengan level hormon. Pemberian baik kortikosteroid

maupun hormon androgen dapat menyebabkan regresi bursa Fabricius.

Parameter lain yang diamati adalah penghitungan jumlah folikel limfoid

besar dan limfoid kecil bursa Fabricius. Withers et al. (2006) menyatakan terdapat

dua macam folikel yang terbentuk, yakni folikel besar dan kolikel kecil setelah

terjadi infeksi IBDV (Infectious Bursal Disease Virus) pada ayam muda. Folikel

kecil memiliki batas korteks dan medula yang belum jelas sedangkan folikel besar

berperan aktif dalam proliferasi limfosit B. Hasil uji satistik T-student terhadap

jumlah folikel limfoid dapat dilihat pada Tabel 3 dan jumlah folikel keseluruhan

pada bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3 Perbandingan jumlah folikel limfoid besar dan kecil bursa Fabricius

kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam satu plika).

Umur

(minggu)

Jumlah Folikel Besar Jumlah Folikel Kecil

CC0 CC2 CC0 CC2

2 9.87±6.81a 11.67±5.52

a 11.67±6.67

a 18.70±10.37

b

3 11.70±3.97a 11.30±4.15

a 7.67±2.61

a 11.33±4.70

b

4 11.00±4.5a 9.53±3.31

a 12.00±4.29

a 19.10±7.87

b

5 9.40±5.45a 7.80±2.18

b 12.80±6.99

a 19.73±15.74

a

6 8.20±5.29a 9.00±2.73

b 14.73±8.71

a 12.73±7.38

a

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) pada

jumlah folikel limfoid besar kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada

umur 5 dan 6 minggu. Kelompok ayam umur 2 dan 6 minggu memiliki jumlah

folikel limfoid besar yang lebih banyak daripada kelompok kontrol. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan Graczyk (2003) bahwa imunisasi pada ayam

yang disertai pemberian hormon steroid mengakibatkan peningkatan berat bursa

Fabricius sebesar 50%. Hormon steroid dan imunisasi tersebut dapat merangsang

pembentukan folikel limfoid sekunder (folikel besar). Kelompok kontrol ayam

umur 5 dan 6 minggu menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kelompok

perlakuan. Namun jumlah folikel limfoid besar pada kelompok ayam umur

tersebut lebih banyak daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa

kortikosteroid tidak memberikan pengaruh pada ayam umur 5 dan 6 minggu.

Penghitungan jumlah folikel limfoid besar menunjukkan hasil yang

berbeda dengan jumlah folikel limfoid kecil. Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) jumlah folikel limfoid kecil pada ayam

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan umur 2, 3, dan 4 minggu.

Sedangkan ayam umur 5 dan 6 minggu tidak memiliki perbedaan nyata antara

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuannya. Ayam umur 2, 3, dan 4

minggu kelompok perlakuan memiliki folikel limfoid kecil lebih banyak daripada

kelompok perlakuan. Perkembangan folikel limfoid bursa Fabricius dimulai pada

saat embrio memasuki umur 10 hari. Prekursor limfosit memasuki jaringan epitel

lalu menembus membran yang kemudian akan berploriferasi di medula lalu

memasuki korteks. Kumpulan prekursor limfosit tersebut membentuk folikel

limfoid primer (kecil). Folikel limfoid ini akan terus tumbuh dan berkembang

sampai ayam mencapai pertumbuhan optimum pada umur 7-13 minggu, yakni

saat ayam mencapai dewasa kelamin (Klein dan Horejsi 1997). Jumlah folikel

limfoid kecil kelompok kontrol yang lebih besar daripada kelompok perlakuan

dapat mengindikasikan bahwa kortikosteroid tidak mempengaruhi jumlah folikel

limfoid kecil pada ayam umur 2, 3, dan 4 minggu. Hal ini disebabkan

pertumbuhan folikel limfoid saat umur tersebut dalam kondisi optimum.

Folikel primer (kecil) akan terus berkembang menjadi folikel limfoid

sekunder (besar) untuk respon imun humoral. Status respon imun humoral dapat

diketahui melalui penghitungan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa

Fabricius. Hasil uji statistik terhadap jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa

Fabricius dapat dilihat pada Tabel 5. Kelompok kontrol tidak berbeda nyata

dengan kelompok perlakuan (P>0.05) tetapi jumlah folikel keseluruhan kelompok

perlakuan cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol.

Pemberian imunisasi (vaksin IBDV) saat umur ayam 11 hari menyebabkan

timbulnya respon imun dari folikel limfoid primer yang semakin aktif untuk

berubah menjadi folikel sekunder. Selain itu karena adanya pengaruh

kortikosteroid yang dapat merangsang pembentukan folikel limfoid sekunder

mengakibatkan jumlah folikel limfoid keseluruhan pada kelompok perlakuan

lebih banyak daripada kelompok kontrol. Pemberian kortikosteroid pada ayam

mengakibatkan peningkatan berat bursa Fabricius sebesar 50% (Graczyk 2003).

Namun kelompok perlakuan (CC2) ayam umur 6 minggu jumlah folikel limfoid

keseluruhan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol (CC0) karena

pada ayam umur ini secara alami perkembangannya mulai menurun (Taylor dan

McCorkle 2009).

Tabel 4 Perbandingan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius antara

kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan(CC2) (dalam satu plika).

Umur (minggu) CC0 CC2

2 21.50±12.66a 30.33±14.55

a

3 19.40±5.10a 22.60±6.35

a

4 23.00±80a 28.60±8.07

a

5 22.40±11.10a 27.50±14.53

a

6 22.93±12.82a 21.73±8.25

a

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Folikel limfoid primer ditemukan pada DOC namun folikel limfoid

sekunder baru dapat dilihat pada ayam berumur 7 hari. Jumlah minimal folikel

limfoid keseluruhan yang dapat ditemukan pada saat ayam baru menetas adalah

205±10.8 dan jumlah maksimal pada umur 17 minggu adalah 535±21.15

(Albogoghobeish 2003). Jumlah folikel limfoid keseluruhan pada bursa Fabricius

dalam penelitian baik kelompok kontrol (CC0) maupun perlakuan (CC2) umur 2,

3, 4, 5, dan 6 minggu berkisar 194−303 folikel. Jumlah ini masih normal dalam

perkembangan bursa Fabricius pada ayam umur 2. 3, 4, 5, dan 6 minggu.

Gambar 7 menunjukkan bahwa pengaruh pemberian kortikosteroid

terhadap panjang dan lebar plika pada kelompok kontrol (A) tidak terlalu terlihat

perbedaannya dengan kelompok perlakuan (B) jika diamati pada pembesaran

objektif 4x. Perbedaan bursa Fabricius secara histopatologi baru dapat terlihat

pada pembesaran objektif 10x melalui penghitungan jumlah folikel limfoid

keseluruhan. Jumlah follikel limfoid keseluruhan kelompok perlakuan (D)

cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol (C). Plika bursa yang diamati

dengan perbesaran objektif 10x pada kelompok kontrol (C) menunjukkan jaringan

muskularis yang lebih padat dibandingkan plika bursa kelompok perlakuan (D).

Gambar histopatologi kelompok perlakuan (D) menunjukkan adanya edema atau

akumulasi cairan pada jaringan interlobulernya sehingga membuat kepadatan

jaringan intertisium bursa Fabricius berkurang.

Gambar 7 Gambaran histopatologi bursa Fabricius umur 4 minggu perbesaran 4x pada

kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE dilakukan pengukuran

panjang dan lebar plika (P). Perhitungan jumlah folikel limfoid (FL) pada

kontrol (C) dan perlakuan (D) dilakukan dengan perbesaran 10x. Edema (E)

tampak pada kelompok perlakuan.

Parameter lain yang dapat diamati dari organ bursa Fabricius adalah

jumlah limfosit. Limfosit B dihasilkan dan mengalami pematangan dalam folikel

limfoid bursa Fabricius. Limfosit B berproliferasi di bagian korteks folikel

limfoid. Limfosit B muda akan bermigrasi ke medula jika mendeteksi adanya

antigen. Adanya antigen akan memicu pembentukan, pendewasaan limfosit B, dan

P

FL FL

E

A B

C D

0.5 mm

P

produksi imunoglobulin (Williams 2011). Menurut Cheville (2006), edema

merupakan akumulasi cairan di jaringan intertisial. Edema disebabkan 2

mekanisme, yaitu meningkatnya tekanan hidrostatis dalam darah atau menurunnya

tekanan osmotik koloid dalam plasma darah. Edema biasanya ditemukan pada

peradangan yang disertai meningkatnya jumlah sel radang dan kerusakan jaringan.

Edema akibat proses homeostasis tubuh tidak disertai sel-sel radang dan

kerusakan jaringan. Glukokortikoid dalam tubuh menyebabkan ekstravasasi cairan

ke jaringan intertisial, sedangkan mineralkortikoid menyebabkan retensi cairan.

Akumulasi cairan atau edema dapat terjadi akibat kerja hormon tersebut. Hasil uji

statistik T-student terhadap perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius

kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0)

dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).

Umur

(minggu) CC0 CC2

2 1164.30±148.95a

1111.20±163.11a

3 1058.80±132.54a

729.80±112.33b

4 1125.40±187.05a 762.80±159.96

b

5 1403.90±213.56a

888.30±103.41b

6 1431.70±141.52a

903.10±178.25b

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit bursa Fabricius

kelompok kontrol berbeda nyata (P<0.05) dengan kelompok perlakuan saat ayam

berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Saat ayam umur 2 minggu kelompok kontrol tidak

berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05) namun kelompok kontrol

tetap memiliki jumlah limfosit yang lebih banyak daripada kelompok perlakuan

sama seperti ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Limfosit B sangat dibutuhkan

sebagai mekanisme pertahanan tubuh ayam usia muda karena ayam usia muda

sangat rentan terhadap agen penyakit. Rendahnya jumlah limfosit B

mengakibatkan antibodi tidak dapat diproduksi secara optimum. Steroid dapat

menghambat perkembangan dan pendewasaan limfosit B (Male et al. 2006).

Mekanisme penghambatan pembentukan dan fungsi limfosit B oleh

kortikosteroid yakni dengan cara menghambat tahap awal pematangan limfosit B.

steroid juga dapat menghambat perlekatan interleukin pada limfosit B. Hal ini

mengakibatkan limfosit B sulit menghasilkan antibodi (Roitt et al. 2001). Oleh

karena itu kelompok ayam yang diberi kortikosteroid memiliki jumlah limfosit

yang lebih sedikit daripada kelompok kontrol. Sekresi glukokortikoid akan

mengakibatkan kematian limfosit. Lesio histopatologi akibat kematian limfosit

tersebut akan berdampak pada bursa Fabricius. Bursa Fabricius akan mengalami

imunosupresi sehingga limfosit dan folikel limfoid mengalami deplesi. Selain itu,

efek stres dari glukokortikoid dapat menyebabkan atrofi organ limfoid. Kondisi

imunosupresi tersebut membuat unggas mudah terpapar bakteri dan meningkatkan

resiko kematian unggas (Hadipour et al. 2011). Gambaran histopatologi limfosit

kelompok kontrol dan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Gambaran histopatologi bursa Fabricius umur 4 minggu perbesaran 40x

pada kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE menunjukkan

adanya deplesi (D) limfosit (L) pada organ yang diberi kortikosteroid.

Gambar 7 menunjukkan kepadatan limfosit yang berbeda antara bursa

Fabricius kelompok kontrol (CC0) dengan kelompok perlakuan (CC2). Limfosit

bursa Fabricius kelompok kontrol (A) lebih padat daripada kelompok yang diberi

kortikosteroid (B). Kortikosteroid menyebabkan deplesi pada limfosit bursa

Fabricius. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan deplesi limfosit adalah

pemberian steroid, penyakit akut dan kronis akibat paparan virus, bakteri, jamur,

infeksi parasit, bahan-bahan kimia yang mengandung toksin, malnutrisi,

hipovitaminosis A, dan stres akibat manajemen kandang yang tidak baik (Doneley

2010).

A B

L

L

L

L

D

4.2 Perubahan Histopatologi pada Timus Akibat Pemberian Kortikosteroid

Pengamatan luas timus termasuk medula dan korteks dilakukan untuk

mengetahui efek imunosupresi dari kortikosteroid. Hasil uji statistik T-student

terhadap perbandingan luas medula dan korteks timus pada kelompok kontrol

(CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 6. Luas medula pada ayam

umur 2 minggu kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata dengan kelompok

perlakuan (P<0.05). Ayam kelompok kontrol memiliki medula yang lebih luas

daripada kelompok perlakuan. Namun pada ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu luas

medula kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan.

Secara umum medula kelompok perlakuan (CC2) lebih luas dibandingkan

koelompok kontrol kecuali pada ayam umur 2 minggu.

Tabel 6 Perbandingan luas medula dan korteks timus (µm2) kelompok kontrol

(CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).

Umur

(minggu)

Luas Medula (x1000µm2) Luas Korteks (x1000µm

2)

CC0 CC2 CC0 CC2

2 26700± 249.37a 189.79± 30.11

b 1199.36± 299.16

a 688.96± 257.66

a

3 283.62± 96.78a 545.86± 431.74

a 1108.93± 389.13

a 1559.99± 794.04

a

4 488.99± 203.34a 793.47± 626.86

a 1484.97± 482.34

a 1887.77± 223.00

a

5 390.2± 327.16a 722.26± 453.27

a 1383.83± 784.69

a 1725.03± 62.68

a

6 353.51± 295.78a 537.26± 231.48

a 1283.78± 754.31

a 1438.2± 485.09

a

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Menurut Dellman (2006), struktur medula hanya mengandung sedikit

limfosit dan didominasi limfosit kecil sehingga warnanya lebih terang

dibandingkan dengan korteks timus. Sedangkan korteks timus memiliki warna

lebih gelap karena berisi banyak limfosit dan proses pematangan limfosit T terjadi

di dalamnya.

Pemberian kortikosteroid dapat menghambat pembentukan dan fungsi

limfosit B. Limfosit B yang sedikit pada medula akan semakin sedikit jumlahnya

karena pengaruh kortikosteroid dan mengakibatkan pengecilan area medula. Oleh

karena itu pada kelompok ayam yang diberikan kortikosteroid khususnya umur 2

minggu medulanya lebih kecil daripada kontrol. Namun kortikosteroid tidak

berpengaruh pada kelompok ayam 3, 4, 5, dan 6 minggu. Medula kelompok

perlakuan lebih luas daripada kelompok kontrol.

Timus merupakan organ limfoid yang memiliki respon terbesar terhadap

fluktuasi hormon. Reduksi limfosit akibat steroid pada bagian medula timus dapat

menyebabkan sel-sel epitel menjadi tampak lebih jelas. Sel-sel epitel juga akan

mengalami pertambahan jumlah dan ukuran. Namun hiperplasia tersebut harus

dibedakan dengan neoplasia (Elmore 2006). Hal inilah yang menyebabkan ukuran

medula pada timus kelompok perlakuan (CC2) lebih luas dibandingkan timus

kelompok kontrol (CC0).

Penghitungan luas korteks antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Saat ayam umur 2 minggu, kelompok

kontrol memiliki korteks yang lebih luas daripada kelompok perlakuan. Namun

saat ayam berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan memiliki korteks

yang lebih luas daripada kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa

pemberian kortikosteroid berpengaruh pada ayam umur 2 minggu yang

menyebabkan korteks timus menjadi sempit namun tidak pada ayam umur 3, 4, 5,

dan 6 minggu. Korteks kelompok perlakuan (CC2) memiliki luas yang lebih besar

dibandingkan kelompok kontrol (CC0) disebabkan respon korteks yang besar

terhadap hormon steroid. Elmore (2006) menyatakan reseptor hormon steroid

pada korteks timus lebih banyak dibandingkan medula.

Penyempitan korteks timus pada kelompok perlakuan (CC2) umur 2

minggu dapat berpengaruh terhadap jadwal vaksinasi yang diberikan pada hari ke-

11. Menurut Woodland dan Kohlmeier (2009), setelah timus merespon vaksin

maka antigen spesifik sel T memori akan didistribusi ke perifer. Sel-sel tersebut

akan menjadi pertahanan baris pertama terhadap infeksi sekunder patogen.

Timus merupakan organ limfoid primer yang berperan sebagai tempat

diferensiasi limfosit T. Setiap lobul timus memiliki bagian gelap yang disebut

korteks dan bagian terang disebut medula. Korteks memproduksi limfosit secara

kontinyu. Walaupun mengalami apoptosis dan difagositosis oleh makrofag,

banyak yang bermigrasi ke medula lalu memasuki aliran darah melalui dinding

pembuluh darah (Bloom dan Fawcett 2002). Hasil uji statistik T-student terhadap

perbandingan luas timus pada kelompok kontrol (CC0) dengan kelompok

perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Perbandingan luas timus (µm2) kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan

(CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).

Umur (minggu) Luas CC0 (µm2) Luas CC2 (µm

2)

2 1466.37± 529.53a 878.75± 273.28

a

3 1392.59± 483.25a 2105.86± 1225.31

a

4 1973.97± 656.58a 2681.24± 796.63

a

5 1774.04± 1095.59a 2447.29± 511.59

a

6 1637.30± 934.96a 1975.22± 714.51

a

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Luas timus antara kontrol (CC0) dan kelompok perlakuan (CC2) tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Kelompok kontrol ayam umur 2

minggu memiliki timus yang lebih luas daripada kelompok perlakuan (CC2).

Namun pada umur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan (CC2) memiliki

timus yang lebih luas daripada kelompok kontrol (CC0). Perkembangan timus

secara umum pada unggas mencapai maksimum pada umur 16 minggu. Selama

masa embrionik sampai sebelum pubertas, timus akan tumbuh dan berkembang

dengan pesat (Schalm et al. 2000). Luas timus pada kelompok perlakuan (CC2)

lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol pada umur 2 minggu.

Timus merupakan organ limfoid yang paling peka terhadap steroid.

Steroid menyebabkan penekanan terhadap timus sehingga dapat terjadi

imunosupresi (Elmore 2006). Penekanan organ pada umur 2 minggu dapat

memberikan pengaruh buruk pada pemberian vaksin yang dilakukan pada hari ke-

11 (memasuki umur 2 mimggu). Menurut (Zimmerman 2012), jika vaksin

diberikan dalam kondisi hewan imunosupresi maka vaksin tidak akan mampu

menstimuli tubuh untuk memproduksi antibodi. Hasilnya adalah tubuh akan

rentan terhadap penyakit. Hal ini disebut kegagalan vaksin. Gambar histopatologi

timus ayam dapat dilihat pada Gambar 9.

Efek dari kortikosteroid pada timus dapat diamati dari jumlah dan

perkembangan limfosit. Anderson dan Jenkinson (2008) menyatakan bahwa pada

pertengahan tahun 1970an diketahui limfosit memiliki peran dalam respon imun.

Limfosit diketahui memiliki sifat dan fungsi imunitas yang diproduksi pada organ

yang berbeda-beda. Sel yang memiliki kemampuan memproduksi antibodi

diantaranya diproduksi pada bursa Fabricius pada bangsa burung, sedangkan

timus merupakan kunci kekebalan yang berguna untuk menghasilkan limfosit

dengan fungsi sitotoksik efektor.

Gambar 9 Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 4x dengan

pewarnaan HE terhadap kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan luas

korteks (K) dan medula (M).

Menurut Lechner et al. (2001), perkembangan limfosit sangat dipengaruhi

oleh faktor antigen. Limfosit muda atau yang belum dewasa merupakan subjek

seleksi respon baik positif maupun negatif pada organ limfoid primer tergantung

derajat reaktivitas tubuh terhadap antigen. Limfosit T dipilih dalam timus

sedangkan sel B diproduksi oleh bursa Fabricius pada unggas. Glukokortikoid

diketahui dapat menginduksi apoptosis pada timosit dan limfosit B yang belum

dewasa. Jumlah limfosit pada organ timus dalam penelitian ini dihitung untuk

mengetahui efek supresan dari stresor kortikosteroid terhadap kepadatan organ

limfoid. Hasil uji statistik terhadap jumlah limfosit antara kelompok kontrol dan

kelompok yang diberi kortikosteroid dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Perbandingan jumlah limfosit timus kelompok kontrol (CC0) dengan

perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).

Umur (minggu) CC0 CC2

2 3307.30±440.91a

2975.00±227.77b

3 3919.10±458.34a

2920.70±359.60b

4 3996.10±445.35a 2564.70±503.62

b

5 3914.20±105.05a

2547.00±278.76b

6 3765.40±247.27a

2429.30±378.04b

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05)

A B

K

K

M

M

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada timus

kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata (P<0.05) dengan kelompok yang

diberi kortikosteroid. Jumlah limfosit timus yang diberi kortikosteroid (CC2) lebih

sedikit daripada kelompok kontrol (CC0). Timus merupakan salah satu organ

yang memiliki banyak reseptor glukokortikoid. Stres akibat induksi kortikosteroid

dapat menstimulasi kejadian apoptosis pada timosit ayam. Sel-sel timosit yang

masih muda lebih rentan terhadap induksi kortikosteroid daripada sel T yang

sudah dewasa. Populasi sel timik akan mengalami reduksi setelah 12 jam

diberikan kortikosteroid. Tidak hanya mengalami apoptosis namun kortikosteroid

juga dapat mereduksi aktivitas mitosis. Hewan muda lebih sensitif terhadap

paparan kortikosteroid (Franchini et al. 2004). Steroid dapat menghambat aktivasi

dan proliferasi limfosit T. Penghambatan ini mengakibatkan limfosit T menjadi

tidak responsif terhadap interleukin I sehingga sintesis interleukin II juga

terhambat (Roitt et al. 2001).

Gambar 10 Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 40x pada kontrol

(A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya deplesi

(D) limfosit (L) pada organ yang diberi kortikosteroid.

Gambar 10 menunjukkan bahwa limfosit pada timus kelompok kontrol (A)

lebih banyak daripada kelompok yang diberi kortikosteroid (B). Limfosit yang

terpapar stres akibat kortikosteroid akan mengalami apoptosis sehingga folikel

limfoid timus akan mengalami deplesi. Kong et al. (2002) menyatakan hormon

steroid memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresi sehingga hormon ini

banyak digunakan untuk penyakit autoimun, alergi, peradangan, dan tumor

limfoid malignan. Namun steroid juga dikenal memiliki efek apoptosis terhadap

A B

L

L

D

limfosit pada timus, baik pada mamalia maupun unggas. Steroid dalam dosis

tinggi selain mengganggu timopoiesis, juga dapat menghambat suplai limfosit T

ke perifer. Induksi stres steroid akan memengaruhi pembentukan limfosit T pada

timus sehingga menyebabkan timus atropi. Penurunan level sel T pada timus

akibat stres akan berdampak pada imunosupresi beberapa organ imun lainnya.

Atropi timus dan teraktivasinya sel NKT (Natular Killer T) adalah akibat dari

penyuntikkan glukokortikoid, namun tidak terlalu berdampak pada level

granulosit (Sagiyama et al. 2004).

4.3 Perubahan Histopatologi pada Limpa Akibat Pemberian Kortikosteroid

Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berperan dalam respon

imun melawan antigen yang beredar secara sistemik dan bergantung pada timus

(timus-dependent antigens). Perkembangan limfosit T pada limpa mencapai

perkembangan terendah selama embriogenesis dan jumlah tertinggi setelah

menetas (Careem et al. 2007). Limpa terlibat dalam respon kekebalan humoral

maupun selular melalui perannya pada perbanyakan, pendewasaan, dan

penyimpanan limfosit. Ekspresi gen pada limpa unggas umum digunakan sebagai

indikator respon imun (Sanford et al. 2011). Parameter yang diamati adalah

jumlah folikel limfoid limpa. Hasil uji statistik terhadap jumlah folikel limfoid

limpa dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Perbandingan jumlah folikel limfoid (pulpa putih) limpa kelompok

kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27

µm2).

Umur (minggu) CC0 CC2

2 33.93±2.86a

34.20±3.85a

3 26.86±3.50a

31.00±3.29b

4 34.86±4.20a 28.87±4.83

b

5 28.53±2.69a

16.07±3.57b

6 24.86±2.44a

16.60±3.18b

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Pemberian kortikosteroid dapat mempengaruhi jumlah folikel limfoid

limpa. Hasil uji statistik T-student menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata

(P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada ayam umur

3, 4, 5, dan 6 minggu. Jumlah folikel limfoid atau pulpa putih pada limpa yang

diinduksi kortikosteroid (CC2) mengalami penurunan drastis pada umur 5

minggu. Namun ayam kelompok perlakuan (CC2) umur 2 minggu menunjukkan

nilai tertinggi pada jumlah folikel limfoid, hal ini disebabkan pengaruh umur

hewan terhadap respon stres. Hal ini sejalan dengan Guyton dan Hall (1996) yang

menyatakan bahwa salah satu faktor pemicu stres adalah umur. Secara umum

jumlah pulpa putih limpa yang terpapar kortikosteroid (CC2) masih lebih rendah

jika dibandingkan limpa kontrol (CC0).

Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang memiliki peran penting

terhadap fungsi kekebalan. Peran limpa diantaranya pendewasaan sel T, sel B, dan

mengatur interaksi makrofag selama respon kekebalan berlangsung. Induksi

kortikosteroid menyebabkan penurunan massa organ limfoid, khususnya limpa

dan bursa Fabricius. Penurunan ini ditemukan pada 7 hari setelah ayam diinduksi

oleh kortikosteroid. Penekanan massa organ limfoid limpa akibat kortikosteroid

disertai dengan penurunan aktivitas sel-sel fagositik. Kortikosteroid dengan

konsentrasi tinggi dapat menghambat aktivitas organ limfoid. Hal ini disertai

penurunan kadar limfosit (respon sel T) dan titer antibodi IBDV (Infectious Bursal

Disease Virus) sebagai respon humoral-perantara (Shini et al. 2010). Gambar

histopatologi pulpa putih (folikel limfoid) limpa pada kelompok kontrol (CC0)

dan perlakuan (CC2) disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Gambaran histopatologi limpa umur 4 minggu perbesaran 4x dengan

pewarnaan HE pada kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan pulpa

merah (PM) dan pulpa putih (PP) yang berisi limfosit.

Kelompok limpa perlakuan (B) menunjukkan beberapa folikel limfoid

(pulpa putih) tampak menyatu dan batas antara pulpa merah dan pulpa putih tidak

A B

PP

PP

PM

PM

jelas. Sedangkan kelompok kontrol (A) menunjukkan batas antara folikel limfoid

(pulpa putih) tampak jelas. Luzicova dan Epimova (2009) menyatakan

glukokortikoid menyebabkan kematian sel pada folikel limfoid (pulpa putih)

limpa. Namun limfosit pada pulpa merah kurang sensitif terhadap glukokortikoid

jika dibandingkan dengan pulpa putih. Glukokortikoid mempengaruhi molekul

protein pada limfosit, yaitu reseptor yang terdapat pada sitoplasma di luar

membram mitokondria yang menstimulasi mekanisme apoptosis. Perbedaan

sensitivitas reseptor glukokortikoid ini yang mempengaruhi struktur pulpa putih

pada limpa.

Limpa merupakan penyaring darah terbesar di tubuh. Organ ini berfungsi

untuk menghilangkan eritrosit yang sudah tua. Fungsi ini dilakukan pada pulpa

merah. Sedangkan daerah limfoid (pulpa putih) merupakan kompartemen limfosit

T dan B yang mengelilingi cabang-cabang pembuluh darah arteri. Mekanisme

kekebalan pada limpa diatur oleh kemokin yang menarik limfosit T dan B ke zona

masing-masing sel. Hal ini yang membuat limpa memiliki baik respon humoral

maupun seluler. Limfosit memasuki pulpa putih melalui zona marjinal (Mebius

dan Kraal 2005).

Pulpa putih merupakan indikator dalam penelitian ini untuk mengetahui

status tanggap kebal ayam. Selain jumlah dan ukuran folikel limfoid (pulpa putih),

jumlah limfosit dalam pulpa putih juga dihitung untuk mengetahui respon limpa

terhadap kortikosteroid. Hasil uji statistik terhadap jumlah limfosit limpa

kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Perbandingan jumlah limfosit limpa kelompok kontrol (CC0) dengan

perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm2).

Umur (minggu) CC0 CC2

2 844.70±159.72a

892.60±138.00a

3 1010.80±137.76a

919.90±83.74b

4 1194.30±104.67a 1087.70±109.2

b

5 1060.70±79.26a

1169.10±101.48a

6 1723.50±678.51a

628.50±135.18b

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0.05).

Hasil yang diperoleh adalah terdapat beda nyata (P<0.05) pada jumlah

limfosit limpa pada umur 3, 4 minggu dan 6 minggu. Secara umum jumlah

limfosit pada limpa yang terpapar kortikosteroid lebih rendah dibandingkan limpa

kontrol. Hal ini menunjukkan steroid memberikan efek stres terhadap limpa.

Ayam kelompok umur 5 minggu memiliki jumlah limfosit pada kelompok

perlakuan (CC2) lebih banyak daripada kelompok kontrol (CC0). Namun hasil

tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05). Induksi stres akibat hormon steroid dapat

menyebabkan reduksi atau penurunan jumlah limfosit pada organ limpa sehingga

dapat mempengaruhi sistem imun dalam tubuh (Wei et al. 2003).

Stres kronis sering membuat sistem imun mengalami kondisi

imunosupresi. Hal ini menyebabkan apoptosis pada limfosit. Kondisi ini dapat

disebut juga limfositopenia. Reduksi limfosit diketahui dapat meningkatkan resiko

kanker dan pertumbuhan serta perkembangan tumor (Shi et al. 2003). Struktur

histopatologi limpa yang mengalami reduksi jumlah limfosit dapat dilihat pada

Gambar 12.

Gambar 12 Gambaran histopatologi limpa umur 4 minggu perbesaran 40x dengan

pewarnaan HE terhadap kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan deplesi

(D) pada limfosit (L). Terlihat juga eritrosit (E) yang berinti.

Folikel limfoid (pulpa putih) kontrol (A) menunjukkan kepadatan limfosit

yang lebih tinggi dibandingkan pulpa putih perlakuan (B). Limfosit yang

mengalami apoptosis akibat terpapar kortiksteroid menyebabkan deplesi pada

folikel limfoid limpa. Apoptosis akibat glukokortikoid diinduksi oleh enzim

caspase (Schlossmacher et al. 2011) (Imunosupresi yang terjadi pada limpa

perlakuan dapat menyebabkan ayam mudah terserang penyakit. Limpa bekerja

secara sistemik, jika terjadi reduksi sel-sel antibodi maka tubuh akan peka

terhadap agen penyakit.

A B

L

L

E

D

E

Salah satu efek buruk dari steroid yang menyerang sistem imun adalah

menyebabkan leukosit mengalami deplesi. Stres akut dapat mempengaruhi

perkembangan serta fungsi dari sel dendrit, netrofil, makrofag, dan limfosit yang

berpengaruh terhadap sistem kekebalan humoral maupun seluler. Stres kronis

akan menekan jumlah leukosit sehingga mengakibatkan imunosupresi (Dhabhar

2008).

Prednisone merupakan kortikosteroid yang digunakan baik untuk manusia

maupun hewan. Hewan yang umum mendapatkan anti-inflamasi berupa

prednisone adalah kucing, anjing, dan kuda. Dalam penelitian ini Prednisone yang

diberikan secara per oral kepada ayam broiler untuk melihat perubahan organ

limfoidnya. Dosis yang diberikan merupakan dosis yang umum diberikan kepada

manusia. Menurut Jamin (2011), dosis yang diberikan adalah 3 mg/Kg BB per

oral.

Kortikosteroid berfungsi sebagai anti-inflamasi namun jika diberikan

secara terus-menerus maka akan berdampak buruk. Kortikosteroid akan menekan

sistem kekebalan tubuh sehingga akan membuat ayam lebih mudah terpapar agen

penyakit. Kondisi ini disebut imunosupresi dan dapat dilihat dari perubahan

histopatologi organ limfoid ayam broiler. Perubahan sangat signifikan dapat

dilihat pada jumlah limfosit baik pada bursa Fabricius, timus, dan limpa. Pada

jumlah limfosit organ yang diberi perlakuan (CC2) secara umum mengalami

apoptosis sehingga kepadatan berkurang. Pengamatan histopatologi menunjukkan

deplesi pada folikel limfoid akibat kematian limfosit. Deplesi diakibatkan

mekanisme apoptosis yang melibatkan enzim caspase akibat reaksi dari ikatan

reseptor dan glukokortikoid.

Hal yang sama dialami oleh folikel limfoid limpa. Namun pengamatan

pada jumlah folikel limfoid bursa Fabricius tidak menunjukkan efek imunosupresi

dari kortikosteroid. Pengamatan yang dilakukan terhadap ukuran organ, yakni

bursa Fabricius dan timus juga tidak terlalu menunjukkan pengaruh kortikosteroid

secara signifikan. Beberapa organ yang terpapar kortikosteroid mengalami atrofi

yang ditunjukkan plika bursa yang lebih pendek daripada kelompok kontrol

(CC0). Folikel limfoid yang mengalami deplesi akan terisi oleh cairan sehingga

organ akan mengalami edema. Kondisi imunosupresi yang jelas dapat terlihat dan

diamati adalah dari kepadatan limfosit bukan dari ukuran organ.

Dengan melihat kecenderungan terjadi penurunan jumlah limfosit dan

ukuran bursa Fabricius, limpa, serta luas korteks timus diperkirakan jika

penggunaan diberikan atau dilakukan dalam jangka waktu panjang dapat

mempengaruhi ukuran folikel limfoid. Namun karena sel imunokompeten yang

penting adalah limfosit, maka penurunan jumlah limfosit sudah membeikan

kerugian. Ayam akan menjadi rentan terhadap penyakit dan respon vaksinasi akan

buruk. Kerugian akan terlihat lebih jelas pada ayam layer atau breeder dan ayam

hias yang memiliki masa hidup lebih lama dibandingkan ayam broiler.

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Pemberian kortikosteroid sebagai stresor pada ayam broiler secara per oral

selama 6 minggu terbukti dapat memberikan efek imunosupresi terhadap organ

limfoid ayam, yaitu bursa Fabricius, timus, dan limpa. Hal ini ditunjukkan dengan

adanya penurunan jumlah limfosit pada bursa Fabricius, timus dan limpa.

5.2 Saran

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut kortikosteroid terhadap sumsum

tulang dan limfosit dalam darah perifer.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dampak kortikosteroid dengan

keberhasilan vaksinasi.

3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pengaruh kortikosteroid pada

ayam layer dan breeder dengan masa hidup yang lebih panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Addis P, Thomas B, Crooker B. 1999. Generic Enviromental Impact Statement on

Animal Agriculture: A Summary of the Literature Related to the Effects of

Animal Agriculture on Human Health. [terhubung berkala].

http://www.eqb.state.mn.us/geis/ LS_Humanhealth.pdf [9 November 2011].

Alboghobeish N, Mayahi M. 2003. Developmental Study of Lymphoid Tissue of

Bursa Fabricius in Lokal Chicken. The 11th

International Syposiom of the

World Association of Veterinary Laboratory Diagnostticians and OIE

Seminar on Biotechnology in Bangkok, Thailand. hlm 20.

Anderson G, Jenkinson EJ 2008. Bringing the Timus to the Bench. The J

Immunology 181(11):7435-7436.

Ankeny S. 2011. What Kinds of Harmful Chemicals Do They Feed Chickens.

[terhubung berkala]. http://www.ehow.com/info_8474758_kinds-chemicals-

do-feed-chickens.html [9 November 2011].

Appleby MC, Mench JA, Hughes BO. 2004. Poultry Behaviour and Welfare.

London: CABI Publishing. hlm 178.

Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology: with clinical

correlates. London: Manson Publishing. hlm 247.

Bellham S. 2011. Key Histology Features: Timus. [terhubung berkala].

http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/histology/timus.gif [8 Maret

2012].

Broughton JM. 2003. Size of the Bursa of Fabricius In Relation to Gonad Size and

Age In Laysan and Black-Footed Albatrosses. The Condor (96):203-207.

Bloom, Fawcett DW. 2002. A Textbook of Histology 12th

edition. New York:

Chapman and Hall. hlm 385.

Bowen R. 2006. Glucocorticoid. [terhubung berkala].

http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/endocrine/adrenal/gluco.html

[25 Maret 2012].

Careem MF, Hunter DB, Lambourne MD, Barta J, Sharif S. 2007. Ontogeny of

Cytokine Gene Expression in the Chicken Spleen. Poultry Sci (86): 1351-

1355.

Carlton WG, McGavin DM. 1995. Thompson’s Special Veterinary Pathology. St.

Louis: Mosby. hlm 114.

Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology Third Edition. Oxford:

Blackwell Publishing. hlm: 147.

Cross GM. 1987. Proceeding of Workshop on Avian Histopathology. Aus. Vet.

Poultry Association. hlm 123.

Davison F, Kaspers B, Schat KA. 2008. Avian Immunology. London: Elsevier.

hlm 13.

Davison TF. 2003. The Immunologist’s Debt to the Chicken. British Poultry Sci

(44): 6–2.

Dellman B. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah Hartono R. Jakarta

: Penerbit Universitas Indonesia. hlm 88.

Dhabhar FS. 2008. Enhancing versus Suppressive Effects of Stres on Immune

Function: Implications for Immunoprotection versus Immunopathology.

Allergy, Asthma, and Clinical Immunology 4(1):2-11.

Doneley B, Doneley R. 2010. Avian Medicine and Surgery in Practice:

Companion and Aviary Birds. Manson Publishing: Barcelona. hlm 336.

Dyce, Sack, Wensing. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. Pennsylvania:

Saunders. hlm 74.

Elgert KD. 2009. Immunology: Understanding The Immunology System. New

Jersey: Wiley-Blacwell. hlm 44.

Elmore SA. 2006. Enhanced Histopathology of The Timus. Toxicol Pathol 34(5):

656-665.

Franchini A, Marchesini E, Ottaviani E. 2004. Corticosterone 21-acetate In Vivo

Induces Acute Stres in Chicken Timus Cell Proliferation, Apoptosis and

Cytokine Responses. Hitol Hispathol (19): 693-699.

Freeman, B. M. 1971. The Corpuscles and the Physical Characteristic of Blood.

in: Phisiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Vol. 2. pp. 841-850.

D. J Bell and B. M. Freeman, eds. Academic Press INC, London

Forbes NA, Altman RB. 1998. Self Assessment Colour Review of Avian Medicine.

Barcelona: Manson Publishing Ltd. hlm: 34.

Gandhi R, Snedeker SM. 2003. Consumer Concerns About Hormons in Food.

[terhubung berkala]. http://envirocancer.cornell.edu/Factsheet/Diet/fs37.

hormons.cfm [9 November 2011].

Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of Domestic AnimalsI. 5th

Edition. Philadelphia: W.B Saunders Company. hlm 181.

Glick B. 1956. Normal Growth of The Bursa of Fabricius. Di dalam: Taylor RL,

McCorkle FM. 2009. A Landmark Contribution to Poultry Science-

Immunological Function of The Bursa Fabricius. Poultry Science 88(4): 816-

823.

Glick B. 2000. Immunophysiology. Sturkieís Avian Physiology. Editor : G.C.

Whittow. Fifth Edition. London: Academic Press. hlm 658-659.

Graczyk S, Kuryszko J, Madej J. 2003. Reactivity of Spleen Germinal Centres in

Immunized and ACTH-treated Chickens. Acta Vet (72): 523-531.

Guyton AC, Hall EJ 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.ed ke-9. Setawan I,

Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari:

Textbook of Medical Physiology. Hlm 1103-1106.

Hadipour MM, Farjadian SH, Azad F, Kamravan M, Dehghan A. 2011.

Nepropathogenicity of H9N2 Avian Influenza Virus in Commercial Broiler

Chicken Following Intratracheal Inoculation. J Animal and Veterinary

Advances 10(13): 1706-1710.

Hammond, WS. 2005. Origin of Timus in the Chick Embryo. J Morphology.

Volume 95(3):501-521.

Harmanto N, Subroto MA. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping.

Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm 41-42.

Herenda DC, Franco DA. 1996. Poultry Disease and Meat Hygiene: A Color

Atlas. Iowa: University Press. hlm 32.

Jamin F. 2011. Kajian patologi imunosupresi akibat pemberian kortikostreoid dan

infeksi Candida Albicans pada ayam broiler. [Tesis] Fakultas Kedokteran

Hewan IPB.

Jordan FTW. 1994. Poultry Disease. London: Baillere Tindall. hlm 418.

Kansky A, Podrumac B, Godic A. 2000. Nonflourinated Corticosteroid Topical

Preparations in Children. ACTA 9(2):20-24.

Kansky A, Podrumac B, Godic A. 2000. Nonflourinated Corticosteroid Topical

Preparations in Children. [terhubung berkala]. http://ibmi.mf.uni-lJsi/acta-

apa/acta-apa-00-2/kansky.html [4 Oktober 2011].

Klein J, Horejsi V. 1997. Immunology Second Edition. UK: Blackwell Science.

Kong FK, Chen CL, Cooper MD. 2002. Reversible Disruption of Thymic

Function by Steroid Treatment. The J Immunology 168(12):6500-6505.

Kuby J. 1997. Immunology. New York: WH Freeman. hlm 376.

Lechner O, Dietriech H, Wiegers GJ, Vacchio M, Wick G. 2001. Glucocorticoid

Production in the Chicken Bursa and Timus. International Immunology

13(6): 769-776.

Leeson S, Summers JD. 2000. Broiler Breeder Production. London: Nottingham

University Press. hlm 67-77.

Luzicoza EM, Evimova OA. 2009. Reaction of Bcl-2 Positive Splenic Cells to

Glucocoticoids. Bul Exp Bio and Med 147(2): 257-261.

Male DK, Brostoff J, Roitt IM. 2006. Immunology. Canada: Mosby. hlm: 312.

Marangon S, Busani L. 2006. The Use of Vaccination in Poultry Production. Rev.

sci. tech. Off. int. Epiz. Volume 26 (1): 265-274.

Mebius RE, Kraal G. 2005. Structure and Function of The Spleen. [Review]

Nature Publishing Group. hlm 606-616.

Mountney G. 1978. Poultry Products Technology. Connecticut: The Avi

Publishing Company. hlm 4.

Nassar P. 2008. Avian Bursa Fabricius (25x) - Slide C40: Bursa of

Fabricius.[terhubung berkala]. http://cal.vet.upenn.edu/projects/histo/

Lab8lymphatics/Lab8hsc30avspleen2x.htm [24 Oktober 2011].

Nassar P. 2008. Avian Spleen (100x) - Slide C28: Avian Spleen.[terhubung

berkala].http://cal.vet.upenn.edu/projects/histo/Lab8lymphatics/Lab8hsc28av

spleen10x.htm [24 Oktober 2011].

North MO, Weaver WD, Bell DD. 1990. Commercial chicken production manual.

New York: AVI Publishing Inc. hlm 460.

Pastoret PP, Griebel P, Bazin H, Govaerts A. 1998. Handbook of Vertebrate

Immunology. California: Academic Press. hlm: 104.

Purba D. 2011. Harga Daging Ayam Broiler Merangkak Naik. [terhubung

berkala]. http://obrolanbisnis.com/harga-daging-ayam-broiler-merangkak-

naik [4 Oktober 2011].

Rasyaf M. 2008. Panduan Beternak Ayam Broiler. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm

8.

Riddel C. 1987. Avian Histopathology. American Association of Avian

Pathologist University of Pennsylvania, New Boston Center Pennsylvania.

hlm 8-14.

Roitt I, Brostoff J, Male D. 2001. Immunology. London: Mosby. hlm 313-321.

Rose SP. 1997. Principles of Poultry Science. Wellington: CAB International. hlm

34.

Sagiyama K, Tsuchida M, Kawamura H, Wang S, Li C, Bai X, Nagura T, Nozoe

S, Abo T. 2004. Age-related Bias in Function of Natural Killer T Cells and

Granulocytes After Stres: Reciprocal Association of Steroid Hormons and

Sympathetic Nerves. Clinical and Exprimental Immunology 135(10):56–63.

Sanford EE, Orr M, Balfanz E, Bowerman N, Li X, Zhou H, Johnson TJ,

Kariyawasam S, Liu S, Nolan LK. 2011. Spleen Transcriptome Response to

Infection With Avian Pathogenic Escherichia Coli in Broiler Chicken. BMC

Genomics 12(469): 1-13.

Schalm OW, Feldman BF, Zinkl JG, Jain NC. 2000. Schalm’s Veterinary

Hematology. Lipincott: Wiley. hlm 344.

Schmidt RE, Reavill DR, PHlmen DN. 2003. Pathology of Pet and Aviary Birds.

Iowa: Blacwell Publishing. hlm 133-140.

Schlossmacher G, Stevens A, White A. 2011. Glucocorticoid Receptor Mediated

Apoptosis: Mechanisms of Resistance in Cancer Cells. J Endocrinol 211(10):

17-25.

Schultz RD. 1999. Veterinary Vaccines and Diangnostics. London: Academic

Press. hlm 488.

Shi Y, Devadas S, Greeneltch KM, Yin D, Mufson RA, Zhou J. 2003. Stresed to

Death: Implication of Lymphocyte Apoptosis For Psychoneuroimmunology.

Brain, Behaviour, and Immunity 17(2):18-26.

Shini S, Huff GR, Shini A, Kaise P. 2010. Understanding Stres-Induced

Immunosuppression: Exploration of Cytokine. Poultry Sci 89(10): 841-851.

Sturkie PD, Whittow GC. 2000. Stukie’s Avian Physiology. London: Academic

Press. hlm 660.

Sudaryani T, Santosa H. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta: Penebar Swadaya.

hlm 21.

Suherman. 1972. Farmakologi dan Terapi edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

hlm 112.

Taylor RL, McCorkle FM. 2009. A Landmark Contribution to Poultry Science-

Immunological Function of The Bursa Fabricius. Poultry Science 88(4):816-

823.

Thorp CM. 2008. Pharmacolgy for the Help Health Care Professions. West

Sussex : Blackwell Publishing. hlm 119.

Tizard Ian. 1987. Veterinary Immunology an Introduction Third Edition.

Philadelphia: WB Saunders Company. hlm 59.

Tully TN, Lawton MPC, Dorrestein GM. 2000. Avian Medicine. Edinburgh:

Elsevier Science. hlm 93.

Wannamaker BP, Massey K. 2004. Applied Pharmacology for Vetenerian

Technicians. Missouri: Saunders Elsevier.

Wei XL, Zhou JN, Shi YF. 2003. Lymphocyte reduction induced by hindlimb

unloading: distinct mechanisms in the spleen and timus. Cell Research

13(6):465-471.

Williams AE. 2011. Immunology : Mucosal and Body Surface Defences. West

Sussex: Wiley Blacwell. hlm 114.

Wissman, MA. 2006. Avian Medicine A-Z. [terhubung berkala].

http://www.exoticpetvet.net/avian/avianmeds.html [22 Oktober 2011].

Withers DR, Davison TF, Young JR. 2006. Diversified Bursal Medulary B Cells

Survive and Expand Independently After Depletion Following Neonatal

Infectious Bursal Disease Virus Infection. Immunology 117(4):558-565.

Woodland DL, Kohlmeier JE. 2009. Migration, maintenance and recall of

memory T cells in peripheral tissues. Nature Reviews Immunology (9):153-

161.

Zeliger H. 2011. Human Toxicology of Chemicals Mixtures. Oxford: Elsevier. hlm

109.

Zimmerman J, Korricker L, Ramirez A. 2012. Disease of Swine 10th

Edition.

Oxford: Wiley-Blacwell. hlm 247.