Upload
zemuth09
View
801
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH ANALGESIA AKUPUNTUR
FREKUENSI KOMBINASI TERHADAP ONSET NYERI
PASIEN PASCA OPERASI KRURIS TERTUTUP
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh derajat Sarjana Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh :
NIEKE INDRAWATI
J 500040036
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2008
1
PERSETUJUAN
SKRIPSI
PENGARUH ANALGESIA AKUPUNTUR
FREKUENSI KOMBINASI TERHADAP ONSET NYERI
PASIEN PASCA OPERASI KRURIS TERTUTUP
Yang Diajukan Oleh :
NIEKE INDRAWATI
J 500040036
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari : Jumat 5 Desember 2008
Pembimbing Utama
Dr.dr.Syarif Sudirman,Sp.An,Akp
Pembimbing Pendamping
dr. Iin Novita
Ketua Tim Skripsi
dr. Shoim Dasuki, M.Kes
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Frekuensi Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas Penyebab
Fraktur Kruris
B. Fraktur Kruris
C. Diagnosa dan Terapi Fraktur Kruris Tertutup
D. Nyeri Pasca Operasi Fraktur Kruris Tertutup dan Terapinya
E. Neuro Fisiologi Nyeri dan Penghambatan Nyeri
F. Analgesi Dalam Operasi
G. Akupuntur Analgesi
III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
B. Tempat dan Waktu penelitian
C. Populasi Penelitian
D. Sampel dan Teknik Sampling
E. Estimasi Besar Sampel
F. Randomisasi
i
ii
iv
v
vi
1
1
4
4
4
5
5
5
7
9
9
18
18
24
24
24
24
25
25
25
3
G. Klasifikasi Variabel
H. Definisi Operasional
I. Perlakuan
J. Rencana Analisis Data
K. Jadual Penelitian
IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
B. Analisis Statistik Data Penelitian
C. Analisis Data
D. Pembahasan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
26
26
27
29
29
30
30
32
38
39
43
43
43
44
45
4
DAFTAR TABEL
TABEL :
2.1 Klasifikasi serabut syaraf perifer (sensorik dan motorik)
2.2 Substansi Dalam Proses Nyeri
4.1 Distribusi Jenis Kalamin Responden
4.2 Distribusi Usia Responden
4.3 Distribusi Jenis Operasi Responden
4.4 Distribusi Lama Operasi Responden
4.5 Distribusi Jeda Waktu Akupuntur dengan Anestesi
4.6 Onset Nyeri
4.7 Hasil Uji Beda Rata-Rata Onset Nyeri
11
17
30
31
33
34
36
37
38
5
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR :
2.1 Tipe Fraktur Tungkai Bawah
2.2 Anatomi Neuron Sensoris
2.3 Ascending and Descending Tracts
2.4 Traktus Spino Mesensepalikus
2.5 Mekanisme Kontrol Nyeri
4.1 Grafik distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
4.2 Grafik distribusi responden berdasarkan usia
4.3 Grafik distribusi responden berdasarkan jenis operasi
4.4 Grafik distribusi responden berdasarkan lama operasi
4.5 Grafik distribusi responden berdasarkan jeda waktu
akupuntur dengan dimulainya operasi.
4.6 Grafik perkembangan onset nyeri
5
13
13
15
22
31
32
34
35
36
38
6
ABSTRAK
Penelitian dengan judul “Pengaruh Analgesia Akupunktur Frekuensi
Kombinasi Terhadap Onset Nyeri Pasien Pasca Operasi Kruris Tertutup” ,
dilatar belakangi oleh banyaknya kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan trauma dan fraktur pada regio cruris dan membutuhkan
operasi untuk menyembuhkannya. Dalam operasi pemasangan dan
pelepasan implan pada fraktur regio cruris digunakan anestesi spinal,
yang dapat dipotensiasi oleh akupuntur frekuensi kombinasi dalam hal
onset nyeri pasca operasi. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan
adanya hubungan antara pemberian akupuntur frekuensi kombinasi
sebelum operasi dan onset nyeri setelah operasi.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuasi eksperimental
post test only control two group design.Penelitian ini membandingkan
onset nyeri pasca operasi antara pasien yang diberi perlakuan akupuntur
frekuensi kombinasi sebelum operasi (kelompok perlakuan) dengan yang
tidak diberikan perlakuan akupuntur (kelompok kontrol).
Berdasarkan hasil uji t, diperoleh t hitung sebesar -4,556
(p=0,000 < 0,05) artinya pemberian akupuntur frekuensi kombinasi
berpengaruh signifikan terhadap onset nyeri pasien pasca operasi kruris
tertutup. Hasil distribusi onset nyeri diketahui bahwa rata-rata onset nyeri
kelompok kontrol lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok
perlakuan.
Kata kunci : Akupunktur Analgesia, Onset Nyeri
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia yang semakin tinggi
menyebabkan jumlah pasien fraktur tulang semakin banyak. Frekuensi
tertinggi trauma akibat kecelakaan lalu lintas bagi pengguna sepeda motor
dan sepeda adalah fraktur pada ekstrimitas inferior. Kecelakaan sepeda
motor adalah penyebab paling lazim fraktur tibia dan fibula (Apley, 1995).
Sekitar 60 – 70 % korban menderita cedera pada daerah tibia karena
bemper mobil tingginya sama dengan tinggi tungkai bawah. Patah tulang
tibia dan fibula sering disebut sebagai patah tulang kruris (tungkai bawah).
Rehabilitasi pasca operasi muskuloskeletal, khususnya tulang tibia adalah
ditujukan agar fungsi penopang tubuh dan alat gerak dapat dipertahankan
dengan baik, maka keluhan nyeri harus dikontrol, umumnya dengan obat-
obatan analgetik yang digolongkan berdasarkan intensitas nyeri(De
Jong,2005).
Adanya resiko interaksi obat dan efek samping yang ditimbulkan oleh
obat pengontrol nyeri, maka perlu dicari tindakan alternatif yang
menggantikan/menunjang efektivitas kerja obat pengontrol nyeri, sehingga
mampu meniadakan/mengurangi dosis yang digunakan. Kombinasi
analgesik tidak memberikan keuntungan secara nyata, dapat
menimbulkan bahaya dan harganya akan menjadi lebih mahal.
Menggunakan kombinasi analgesik juga akan mengkombinasi efek
samping masing-masing kelas analgesik sebagai konsekuensinya.
Kombinasi ini lebih sering menyebabkan kerusakan ginjal daripada
penggunaan secara tunggal. Semakin banyak bahan aktif yang diminum
oleh pasien, semakin banyak kemungkinan efek samping yang akan
timbul. Kalau pasien ternyata alergi obat, sulit untuk menentukan bahan
aktif yang mana sebagai penyebab alerginya (Aman, 2008).
8
Berikut beberapa analgesik yang digunakan pasca bedah dan efek
sampingnya, antara lain paracetamol digunakan untuk nyeri ringan sampai
sedang, dengan efek samping minimal berupa hepatotoksik (Ganiswara,
1995).
Non selektif Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID’s) digunakan
untuk nyeri sedang, dengan efek samping pada saluran pencernaan,
kardiovaskuler, ren, dan hepar. Cox-2 Inhibitor NSAID digunakan untuk
nyeri sedang, dengan efek samping lebih ringan dari Non selektif
NSAID’s. Opioid digunakan untuk nyeri sedang sampai berat, dengan efek
samping depresi nafas, depresi saraf pusat, dan adiksi. Tramadol
digunakan untuk nyeri sedang sampai agak berat, dengan efek samping
nausea, fatique, dan dizziness (Abrory, 2008).
Telah terbukti bahwa peranan akupuntur untuk pain relief adalah
cukup baik sebagai pengganti analgesik tingkat sedang. Melalui
mekanisme kerja pelepasan morphin like substance (endhorphin) dalam
otak akibat tindakan akupuntur (Saputra K.dkk, 2005).
Beberapa contoh pengalaman klinik yang pernah dilakukan terkait
akupuntur analgesi adalah pelaksanaan akupuntur pada operasi struma.
Analgesi dihasilkan dari stimulasi akupuntur, premedikasi dengan pethidin
50 mg, dan diazepam 5 mg. Didapatkan toleransi pasien berupa nyeri
yang ditoleransi, vital sign dalam batas normal, perdarahan sedikit, dan
tidak perlu perawatan di RR / PACU (Pardi, 2008).
Sejak berpuluh abad yang lalu, telah diketahui bahwa rangsangan
akupuntur pada titik akupuntur tertentu dapat menghasilkan reaksi
hilangnya rasa nyeri pada daerah tubuh tertentu. Rangsangan akupuntur
pada titik He Ku dapat menghasilkan pengurangan rasa nyeri pada daerah
mulut - tenggorokan. Reaksi pengurangan rasa nyeri tersebut akan
bertambah kuat bilamana rangsangan pada titik itu diperkuat. Sejak
pertengahan abad ini, telah berkembang penggunaan akupuntur dalam
bidang anestesi melalui pengalaman-pengalaman praktek dan riset. Pada
awalnya, penggunaan akupuntur dalam bidang anestesi menggunakan
9
istilah akupuntur narkose, tetapi kemudian istilah itu diganti dengan
Akupuntur Analgetik. Penggunaan akupuntur dalam bidang anestesi
menghasilkan reaksi analgetik tanpa ada kehilangan kesadaran dan
perasaan yang lain (terhadap tekanan, getaran, dan lain-lainnya).
Berdasarkan pengalaman-pengalaman praktik, kelebihan dari akupuntur
analgetik dalam bidang anestesi adalah sebagai berikut : Tidak ada efek
samping, tidak ada bahaya dosis berlebihan. Akupuntur analgetik juga
dapat diberikan/dilakukan pada penderita dengan fungsi jantung, hati, dan
ginjal yang kurang baik. Fungsi fisiologik organ selama pemberian
akupuntur analgetik tidak mengalami gangguan yang berarti. Denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan darah relatif stabil selama pembedahan dengan
akupungtur analgetik. Sebaliknya, menurut H.H. Hergert (1974), akupuntur
analgetik menaikkan tekanan darah sekitar 10 - 30 mmHg, sehingga
hipertensi merupakan kontraindikasi. Bahaya gangguan sirkulasi darah
hingga timbul syok tidak tercatat. Penderita selama pembedahan dapat
melakukan gerakan dan dapat memberitahu yang dirasakannya untuk
penyempurnaan tindakan pembedahan yang membutuhkan kerja sama
penderita. Peralatan dan tindakan akupuntur analgetik bersifat ekonomis.
Sekalipun harga elektrostimulator untuk akupungtur analgetik cukup tinggi,
peralatan itu dapat dipakai berulang kali dan dengan perawatan yang baik
dapat digunakan bertahun-tahun lamanya ( Tjahyati & Ismail, 2008 ).
Tercantum pula dalam Al-quran tentang menolong orang sakit
dengan pengobatan dan Allah yang menyembuhkan penyakit:
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya.(Al-maidah/5:32)
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.( Asy
Syu'araa'/26:80)
Bertolak dari hal diatas, maka dibuat penelitian tentang efek analgesi
yang ditimbulkan oleh akupuntur frekuensi kombinasi dalam menimbulkan
efek pain relief pada pasien fraktur tungkai bawah yang menjalani operasi.
10
B. Perumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan yaitu apakah ada pengaruh analgesia
akupuntur frekuensi kombinasi terhadap onset nyeri pasca operasi kruris
tertutup ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah ada pengaruh
analgesia dari akupuntur frekuensi kombinasi terhadap onset nyeri pasca
operasi kruris tertutup.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan beberapa manfaat antara lain :
1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai terapi alternatif,
khususnya akupuntur di dalam memberi efek analgesi.
2. Mengetahui efek analgesi dari akupuntur frekuensi kombinasi terhadap
onset nyeri pasien pasca operasi fraktur tibia tertutup.
3. Sebagai dasar penelitian selanjutnya mengenai efek akupuntur
analgesi.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Frekuensi Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas
Penyebab Fraktur Kruris
Tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia yang semakin tinggi
menyebabkan jumlah pasien fraktur tulang semakin banyak. Frekuensi
tertinggi trauma akibat kecelakaan lalu lintas bagi pengguna sepeda motor
dan sepeda adalah fraktur pada ekstrimitas inferior. Kecelakaan sepeda
motor adalah penyebab paling lazim fraktur tibia dan fibula ( Apley, 1995 ).
Sekitar 60 – 70 % korban menderita cedera pada daerah kruris karena
bemper mobil tingginya sama dengan tinggi tungkai bawah (De
Jong,2005).
B. Fraktur Kruris
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Fraktur pada batang tibia dan fibula yang lazim disebut patah tulang kruris
merupakan fraktur yang sering terjadi dibanding fraktur tulang panjang
lainnya (De Jong, 1997).
Gambar 2.1 : Tipe Fraktur Tungkai Bawah (MediciNet,2008).
12
Karena terletak pada subcutan, tibia lebih sering mengalami fraktur
dibandingkan tulang panjang lainnya. Daya pemuntir menyebabkan fraktur
spiral pada kedua tulang kaki dengan tingkat yang berbeda, daya angulasi
menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek yang biasanya pada
tingkat yang sama. Fraktur spiral biasanya terjadi pada sepertiga bagian
bawah batang tibia. Fraktur fibula juga berbentuk spiral dan biasanya
pada tingkat yang lebih tinggi, sering terdapat pergeseran lateral, tumpang
tindih dan pemuntiran keluar dibawah fraktur. Pada fraktur melintang
kedua tulang patah pada tingkat yang sama dan mungkin terdapat
pergeseran, kemiringan atau puntiran pada setiap arah kadang-kadang
terdapat fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga yang terpisah. Pada
cedera tak langsung salah satu fragmen tulang dapat menembus kulit,
cedera langsung akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur.
Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang paling lazim. Banyak
diantara fraktur itu disebabkan oleh trauma tumpul, dan resiko
komplikasinya berkaitan langsung dengan luas dan tipe kerusakan
jaringan lunak. Gambaran klinik berupa kulit mungkin tidak rusak atau
robek dengan jelas, kaki biasanya memuntir keluar dan deformitas tampak
jelas, kaki dapat menjadi memar dan bengkak. Nadi di palpasi untuk
menilai sirkulasi di sebelah distal dan jari kaki diraba untuk menilai sensasi
(Appley,1995).
Sindrom kompartemen sering ditemukan pada patah tulang tungkai
bawah tahap dini. Tanda dan gejala harus diperhatikan siang malam pada
hari pertama pasca cedera atau pasca bedah, yaitu nyeri (pain) pada
keadaan istirahat, parestesia (kesemutan) karena rangsangan saraf
perasa, pucat (pallas) karena iskemia, paresis (lemah) atau paralisis
(layuh) karena gangguan saraf motorik, dan denyut nadi (pulse) tidak
dapat diraba lagi. Selain itu didapatkan peninggian tekanan
intrakompartemen yang dapat diukur (presure), gangguan perasaan yang
nyata pada pemeriksaan yang membandingkan dua titik (points) dan
kontraktur jari dalam posisi fleksi karena kontraktur otot fleksor jari.
13
Operasi fisiotomi kompartemen tungkai merupakan operasi darurat yang
harus dikerjakan segera setelah diagnosis ditegakkan sebab setelah
kematian otot tidak ada kemungkinan faalnya pulih kembali (De Jong,
1997).
C. Diagnosa Dan Terapi Fraktur Kruris Tertutup
Diagnosa fraktur harus ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan radiologi (Hayes, 1997).
Anamnesa meliputi:
1. Identitas penderita
2. Keluhan nyeri lokal dengan atau tanpa disertai penurunan fungsi
3. Mekanisme injury, berat ringannya trauma
4. Kapan terjadinya, tempat kejadian
5. Apakah sudah mendapat pertolongan
6. Siapa yang menolong, apa yang telah dilakukan.
Pemeriksaan fisik meliputi
1. Look
a. bengkak, deformitas (angulasi, pemendekan dan rotasi)
b. luka berhubungan dengan fraktur atau tidak
c. fat globule ada / tidak
2. Feel
a. Diskontinuitas , krepitasi dan false movement
b. Periksa pulsasi arteri, status sensorik
3. Movement
a. Pergerakan pada distal dan proksimal dari fraktur sesuai
dengan toleransi pendirita karena nyeri, untuk menilai adakah
keterlibatan sendi dan syaraf.
Pemeriksaan radiologi adalah sebagai berikut :
1. Harus meliputi dua sendi dan dua proyeksi.
2. Bahkan kalau diperlukan dua sisi dan dua waktu/kesempatan.
14
Dalam menggambarkan/mendiagnosa fraktur hendaknya meliputi :
tempat fraktur, luas atau tingkat fraktur, bentuk atau tipe fraktur, hubungan
antara fragment fraktur, hubungan fraktur dengan dunia luar, komplikasi
(Scaletta, 2001).
Terapi fraktur meliputi 3 dasar obyektif yaitu :
1. Reduksi / reposisi : menempatkan kembali fragment tulang pada
posisi seanatomis mungkin dengan reduksi tertutup / reduksi
terbuka
2. Mempertahankan reduksi sampai healing dan cukup untuk
mencegah displacement (immobilisasi).metoda yang lazim yaitu (1)
fiksasi eksternal dengan cast atau splint, (2) traksi dan (3) fiksasi
internal dengan nail, plate atau screw.
3. Mengembalikan fungsi otot, sendi dan tendon (rehabilitasi),
mencegah joint stiffness & disuse atrophy, dilakukan sesegera
mungkin (Putra,2008).
Prinsip terapi adalah membatasi kerusakan jaringan lunak dan
mempertahankan penutup kulit, mencegah pembengkakan kompartemen,
mengembalikan posisi penjajaran fraktur, untuk memulai pembebanan
dini, memulai gerakan sendi secepat mungkin. Prioritas yang pertama
adalah menilai tingkat kerusakan jaringan lunak. Meskipun fraktur itu
tertutup, fraktur berat dengan kontusio jaringan lunak yang luas dapat
membutuhkan fiksasi luar dini dan peninggian tungkai. Bila ada ancaman
sindroma kompartemen, fasiotomi perlu segera dilakukan. Kalau fraktur
tak bergeser atau sedikit bergeser, gips panjang dari paha atas sampai
leher metatarsal. Kalau fraktur bergeser, dapat direduksi dibawah anestesi
umum dengan pengawasan sinar X (Appley,1995). Operasi diperlukan
apabila reduksi tertutup gagal atau dimungkinkan terjadi redisplaced
( Bhan, 1993 )
15
D. Nyeri Pasca Operasi Fraktur Kruris Tertutup Dan Terapinya
Nyeri pasca bedah disebabkan terutama oleh luka operasi, tetapi
kemungkinan sebab lain harus dipertimbangan (Sutanto, 2004).
Sebaiknya pencegahan nyeri direncanakan sebelum operasi agar
penderita tidak terganggu oleh nyeri setelah pembedahan. Analgetik
sebaiknya diberikan sebelum nyeri timbul dengan dosis yang memadai.
Jenis obat dan cara pemberiannya bergantung pada penyebab dan letak
nyeri, dan keadaan penderitanya (De Jong, 2005)
Biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat dan
golongan anti inflamasi non steroid untuk nyeri sedang atau ringan (Latief
dkk, 2002).
Berikut beberapa analgesik yang digunakan pasca bedah dan efek
sampingnya, antara lain paracetamol digunakan untuk nyeri ringan sampai
sedang, dengan efek samping minimal berupa hepatotoksik. Non selektif
NSAID’s digunakan untuk nyeri sedang, dengan efek samping pada
saluran pencernaan, kardiovaskuler, ren, dan hepar. Cox-2 Inhibitor Nsaid
digunakan untuk nyeri sedang, dengan efek samping lebih ringan dari Non
selektif NSAID’s. Opioid digunakan untuk nyeri sedang sampai berat,
dengan efek samping depresi nafas, depresi saraf pusat, dan adiksi.
Tramadol digunakan untuk nyeri sedang sampai agak berat, dengan efek
samping nausea, fatique, dan dizziness ( Abrory, 2008 ).
16
E. Neuro Fisiologi Nyeri
Definisi nyeri menurut The International Asscociation for the Study of
Pain ialah pain is unpleasant sensory and emotional experience
associated with actual or potential tissue damage or described in term of
such damage ( Aulina, 2007 ).
Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial
dan aktual (Latief dkk, 2002).
Nyeri adalah sensasi yang mempunyai posisi spesial diantara bentuk
sensasi yang lain. Nyeri merupakan satu mekanisme protektif untuk tubuh,
disamping mempunyai nilai informatif, input dari reseptor nyeri sangat kuat
mempengaruhi status emosional manusia(Sudirman, 2005 ).
Reseptor Perifer
Stimulasi noxious yang bersifat merusak jaringan akan mengaktivasi
reseptor spesifik nyeri (nociceptor) di perifer yang akan mengubahnya
menjadi signal listrik yang akan dihantarkan ke pusat. Reseptor spesifik
nyeri tersebut merupakan ujung-ujung saraf bebas tak bermyelin dan
bermyelin tipis yang digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama
HTM (High Threshold Mechanoreceptor) yang merespon rangsang
mekanik, dan PMN (Polymodal Nociceptor) yang merespon berbagai
macam rangsang noxious termasuk rangsang kimia ion H, bradykinin,
histamine, prostaglandin, leukotriene, 5HT, dan cytokine (Viet, 2002).
Nosisepsi dan Nosiseptor
Nocicepsi adalah istilah untuk menjelaskan proses informasi di syaraf
mengenai rangsangan yang merusak sampai terjadinya persepsi nyeri di
level otak. Nociceptor yaitu reseptor khusus yang menerima rangsang
noxius, terdapat di kulit, cornea, organ visceral, otot skelet, dan otot
17
jantung, pembuluh darah, yang menghantarkan informasi noxious ke
cornu posterior atau melalui serabut syaraf interneuron ( Sudirman, 2005).
Neuron Sensorik dan Transduksi Signal
Rangsang dalam bentuk mekanik, termik, tekanan, dan getaran akan
menginisiasi proses transduksi dengan mengubah potensial membran
ujung sel syaraf yang menghasilkan potensial aksi yang kemudian akan
diteruskan ke sistem syaraf pusat, dimana sel-sel syaraf perifer dari jenis
pseudounipolar mempunyai badan sel di ganglion radix dorsalis.
Rangsang noxious, termasuk rangsang yang ditimbulkan oleh jarum
akupuntur akan mengiritasi atau merusak sel-sel yang akan mengeluarkan
sejumlah zat kimia antara lain bradikinin, subtansi P, dan prostaglandin.
Zat-zat kimia akan mengaktivasi potensial membran sel, dan bila
pembentukan potensial ini cukup besar, akan merangsang terjadinya
potensial aksi yang akan dijalarkan menuju medula spinalis dan
seterusnya ke atas menuju otak melalui jaras-jaras saraf. Pada level
perifer, disebut neuron primer sampai mencapai sinaps di medula spinalis
di cornu posterior di lamina I dan II. Neuron sekunder kemudian
mengadakan sinaps di thalamus sebelum akhirnya mencapai cortex
cerebri. Pada perjalanannya menuju thalamus terdapat beberapa kolateral
menuju hipothalamus, formatio retikularis periaquaductal grey dan batang
otak. Beberapa kolateral memegang peranan penting dalam mekanisme
kontrol nyeri ( Gellman, 2002 ).
Tabel 2.1 : Klasifikasi serabut syaraf perifer (sensorik dan motorik)
Jenis Inervasi Diameter
(µm)
Kecepatan
hantaran
(m/detik)
Aα Otot skelet 15 100
Aβ Rabaan dan Tekanan 8 50
Aγ Motorik ke otot skelet 6 20
18
Aδ Reseptor mekanik, termik,
nociceptor
< 3 15
B Preganglionik simpatis 3 7
C Reseptor mekanik, termik,
nociceptor, postganglionik
simpatis
1 1
(dikutip dari : JJ. Bonica, Anatomic and Physiologic basic of
Nociception and Pain)
Hantaran Serabut Aferen Primer
Ujung nociceptor bersama-sama membentuk akson dimana badan sel
berada di ganglion radix dorsalis, berakhir di cornu posterior medula
spinalis. Saat masuk ke medula spinalis kadang bercabang naik atau
turun 1-2 segmen diatas dan dibawah dan tetap menuju ke cornu
posterior. Cornu posterior medula spinalis terbagi menjadi lamina atas
dasar susunan histologisnya. Diantara lamina saling berhubungan
meskipun masing-masing mempunyai fungsi dan peran yang berbeda
pada proses nyeri. Lamina II (substansia gelatinosa) merupakan akhir dari
serabut C, sedangkan serabut Aδ berakhir di lamina I. Serabut Aβ yang
merespon rangsang innocuous (bukan nyeri misalnya rangsang getaran
dan sentuhan) berakhir di lamina III. IV, V dan memberikan sinaps
langsung dengan akhir serabut C di lamina II. Laminae yang menerima
input afferen dari serabut syaraf diameter besar dan kecil (II) merupakan
tempat penting untuk modulasi nyeri. Apa yang kemudian terjadi dari
rangsanga nyeri perifer yang dihantarakan ke central (dan dipersepsi
sebagai nyeri) tergantung dari dominasi mekanisme modulasi pada level
cornu posterior yang disebut sebagai gerbang yang berfungsi
menahan/meneruskan transmisi signal. Pengaruh serabut afferent Aβ
(serabut syaraf bermyelin dan berdiameter besar) di lamina superfisial
menghambat/menekan transmisi signal yang berasal dari serabut afferent
C. Mekanisme penghambatan dari otak yang turun ke cornu posterior
medula spinalis disebut sebagai jalur modulasi nyeri. Serabut syaraf
19
menuju medula spinalis melalui radix dorsalis dimana badan sel berada di
ganglion radix dorsalis. Badan sel saraf sekunder yang ada di medula
spinalisnya menyusun substansia grisea dalam bentuk laminae. Informasi
sensorik dari reseptor perifer akan diteruskan oleh serabut syaraf afferen
yang berakhir di lamina I cornu posterior. Ujung-ujung syaraf perifer yang
berakhir di lamina tersebut banyak diantaranya saling berhubungan
melalui serabut interneuron. Lamina II ( substansia gelatinosa )
memegang peran penting pada hantaran/rangsang nyeri dan mekanisme
kontrol nyeri descenden. Cornu posterior juga menerima input dari
supraspinal melalui jalur modulasi penting pada kontrol nyeri.
Gambar 2.2 : Anatomi Neuron Sensoris (Sudirman, 2005).
20
Gambar 2.3 : Ascending and Descending Tracts ( Sudirman, 2005).
Di luar substansia grisea ada berbagai traktus ascenden dan descenden.
Traktus ascenden yang penting adalah traktus spinothalamicus, traktus
spinoretikularis, traktus spinomesenchepalicus. Ketiganya merupakan
jalur naik utama dari medula spinalis. Setiap traktus membawa informasi
spesifik. Traktus tersebut berjalan menyilang linea mediana, sehingga
informasi sensorik yang dihantarkan akan menuju ke hemisphere cerebri
kontralateral. Traktus descenderen memegang peranan penting pada
proses motorik. Traktus spinothalamicus dibagi menjadi traktus
spinothalamicus lateralis (traktus neospinothalamicus) dan traktus
spinothalamicus anterior (traktus paleospinothalamicus) masing-masing
menuju ke nukleus ventroposterior lateralis thalami yang akan menuju ke
kortex somatosensori dan nukleus centromedianus thalami yang
kemudian menyebar ke cortex. Kedua traktus tersebut sebetulnya
menyatu sampai level batang otak disebut traktus spinothalamicus
anterolateralis.Traktus spinoretikularis menuju je dua area yaitu formatio
reticularis selanjutnya ke nucleus centromedianus thalami. Yang menuju
ke formatio reticularis memegang peran peran pada mekanisme
penghambatan nyeri, sedangkan yang menuju ke nucleus centromedianus
21
thalami, neuron tertiernya menyebar ke area asosiasi di cortex.Traktus
spinomesenchepalicus berakhir di mesencephalon yaitu di aquaductus
cerebri, periaquaductal grey, dan formatio reticularis. Periaquaductal grey
juga menerima proyeksi darui pusat yang lebih tinggi yaitu hypothalamus
dan amigdala. Traktus spinomesencephalicus yang tidak berakhir di
thalamus terlibat dalam mekanisme penghambatan nyeri melalui jalur
modulasi dengan melepaskan serotonin ( Sudirman, 2005).
22
Gambar 2.4 : Traktus Spino Mesensepalikus ( Sudirman, 2005 ).
Mekanisme Penghambatan Nyeri dan Analgesia
Analgesia dapat dicapai dari berbagai jalan yaitu : di level medula
spinalis dimediasi oleh aktivasi serabut naik kaliber besar (Aα dan Aβ).
Rangsangan pada reseptor non noxious melalui serabut Aβ dapat
menghambat transmisi signal nociceptive di cornu posterior. Hal tersebut
23
merupakan dasar dari teori gerbang (gate theory) dan Melzack and Wall.
Kecuali itu, input ke cornu posterior juga berasal dari serabut descenden
yang berasal dari supraspinal, melalui aktivasi interneuron yang
menghambat (inhibitory interneuron), terjadi di lamina II – IV berasal dari :
1. Periaquaductal grey (PAG) bersifat endorphinergic
2. Nuckleus raphe magnus (NRM) bersifat seronergic
3. Nuckleus reticularis paragigantocelularis (NRPG) bersifat
noradrenergic
4. Locus coeruleus (LC) bersifat noradrenergic.
Semuanya akan merangsang/mengaktivasi interneuron melalui pelepasan
enkephalin di lamina II dan IV dimana berakhir di ujung-ujung syaraf C
yang membawa rangsang nyeri lambat ( Strong, 2002 ).
Jalur Nyeri (Nociceptive Pathway)
Antara rangsang noxious sampai dirasakannya sebagai nyeri terdapat
suatu rangkaian proses elektrofisiologik yang secara kolektif disebut
sebagai nocicepsi. Ada empat proses yang terjadi pada suatu nocicepsi
yaitu :
1. Transduksi merupakan proses dimana stimuli kuat mekanik, fisik,
getaran, termasuk kimia diubah menjadi aktivitas listrik di ujung syaraf.
2. Transmisi adalah penyaluran impuls melalui syaraf sensoris menyusul
proses transduksi. Impuls akan disalurkan oleh serabut Aδ dan serabut
C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medula spinalis dimana
impuls tersebut diteruskan ke traktus spinothalamicus melalui neuron
kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls diteruskan ke daerah
somatosensoris di kortek serebri di girus post central melalui neuron
ketiga, dimana impuls tersebut diartikan dan dirasakan sebagai
persepsi nyeri.
24
3. Modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem
analgesik endogen yang merupakan decending inhibitory control
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis.
Sistem analgetik endogen ini melepaskan enkephalin, endorphin,
serotonin, dan nor adreanalin memiliki efek yang dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medula spinalis. Cornu posterior ini
dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat ditutup atau terbuka untuk
menyalurkan impuls nyeri. Peristiwa tertutup atau terbukanya pintu
nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut
diatas. Proses modulasi inilah inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat subjektif individual.
4. Persepsi adalah hasil akhir proses interaksi yang komplek dan unik
yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang
pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang
dikenal sebagai persepsi nyeri ( Aulina, 2007).
Substansi yang terlibat dalam proses nyeri tercantum pada tabel 2.
Tabel 2.2 : Substansi Dalam Proses Nyeri ( Sudirman, 2005).
Substansi Keterangan Golongan amin
Noradrenalin Serotonin
Terlibat dalam modulasi nyeri (jalur descenden) Terlibat dalam modulasi nyeri (jalur descenden)
Golongan peptida opioid
Enkephalin β endorphin Dynorphin
Dilepas oleh serabut interneuron medulaspinalis Terutama diproduksi di periaquaductal grey Banyak dilepaskan di level medula spinalis
Golongan peptida non opioid
Substansi P Clolecystokinin Angiotensin ll Somatostamin
Terkait dengan proses inflamasi Terkait dengan nyeri visceral
Exitatory aminoacid Glutamat Aspartat
Traktus eksitator Transmiter exitatori utama
25
Inhibitory aminoacid GABA Glycine
Transmiter inhibitory utama
F. Analgesik Dalam Operasi
Untuk dosis tunggal setiap jenis obat mempunyai lama kerja yang
berbeda. Karena blok akan berkurang atau menghilang ke arah kaudal,
maka untuk obat anestesi yang sama akan menghasilkan durasi paling
singkat atau sebentar untuk operasi abdominal, dan paling lama untuk
operasi daerah kaki dan dinding abdomen (bawah). Tergantung jenis obat
anestesi lokal yang dipakai, lama analgesi untuk pembedahan berkisar
antara 1 – 2,5 jam. Obat-obat untuk analgesia spinal ialah tetrakain (onset
5-10 menit,untuk kaki lama kerja 2-2,5 jam) lidokain (onset cepat, analgesi
sempurna dalam 2 menit, durasi rata-rata 1 jam), dan prokain (onset 5
menit, durasi 1 jam(Dardjat,1985).
G. Akupuntur Analgesik
Dalam pengobatan Cina, juga dalam akupuntur, kesehatan ditentukan
oleh kemampuan seseorang mempertahankan keseimbangan dan
keselarasan lingkungan dalam tubuhnya. Penyakit timbul bila lingkungan
ini terganggu dan proses normal tubuh untuk memulihkan keseimbangan
dan keselarasan tidak mampu mengatasinya. Teori keselarasan dalam
tubuh dinyatakan dalam prinsip Yin Yang dan Lima Tahapan, yang terus
berputar menjaga keseimbangan antar berbagai pengaruh yang
berlawanan. Jika salah satu dari pengaruh ini berlebih atau kurang, dapat
mengganggu keselarasan lingkungan dalam tubuh. Keselarasan dan
keseimbangan juga tergantung pada kelancaran aliran Qi (chi) atau
vitalitas. Qi ini beredar melalui Jingluo atau kanal pembentuk jaringan tak
terputus yang menghubungkan semua bagian tubuh dan berhubungan
dengan organ dalam atau Zangfu. Zangfu menghasilkan Qi yang berbeda-
26
beda namun saling berkait. Sasaran Akupunktur adalah merangsang
kemampuan tubuh dalam menyembuhkan diri sendiri. Seorang terapis
akan memegang / menekan berbagai titik pada tubuh / sistem otot untuk
merangsang energi dari tubuh sendiri. Ransangan tersebut menyingkirkan
sumbatan energi dan rasa lelah .Ketika semua jalur energi terbuka dan
aliran energi tidak lagi terhalang oleh ketegangan otot / hambatan yang
lain, maka energi tubuh akan menjadi seimbang Keseimbangan
membawa kesehatan yang baik & perasaan sejahtera. Jika salah satu dari
jalurnya terhambat / tersumbat, maka perlu aplikasi dengan tekanan yang
tepat menggunakan jari untuk mengendurkan ketegangan otot, membuat
sirkulasi darah lancar dan menstimulasi atau menyeimbangkan aliran
energi (Feri Wong, 2008).
Dalam akupuntur dikenal adanya 12 meridian umum, 12 meridian cabang,
dan 8 meridian istimewa, ditambah titik-titik ahse, yaitu titik lokal dimana
tempat nyeri berada. Perangsangan pada titik-titik akupunktur akan dapat
menghasilkan senyawa-senyawa peptida epioid endogen dan kelenjar
pituitary yang mempunyai efek analgesi sebanding dengan pemberian
morfin. Menurut ilmu kedokteran Cina, nyeri ditimbulkan oleh adanya
energi (Chi) yang terhambat dan tidak dapat mengalir dengan bebas
sepanjang meridian. Ketukan, rangsangan atau tusukan pada meridian di
kulit akan dapat mengembalikan kelancaran aliran energi. Pendekatan ini
kemudian yang ditiru oleh negara Barat untuk menginduksi efek analgesi
yaitu dengan cara merangsang efek spinal dan otak tengah terhadap
nyeri. Rangsangan pada titik akupunktur akan mengakibatkan sistem
analgesia tubuh melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme akupunktur
segmental. Tusukan pada titik akupunkturnya akan merangsang suatu
sirkuit yang melibatkan sel-sel enkefalinergik pada substantia gelatinosa
medula spinalis yang akan melepaskan enkefalin. Enkefalin ini kemudian
akan menghambat sel-sel pada substansia gelatinosa tersebut untuk
menginformasikan nyeri yang akan ditransmisikan berikutnya. Mekanisme
berikutnya yaitu mekanisme akupunktur heterosegmental yang melalui
27
mekanisme neurohormonal menyeluruh dan mekanisme neuronal
desenden ( Ilham, 2003).
Kata akupuntur berasal dari acus yang berarti jarum dan punctura yang
berarti tusukan. Akupunktur merupakan jenis pengobatan yang
menggunakan jarum yang ditusukkan ke dalam tubuh manusia pada
tempat-tempat tertentu di bawah kulit atau sampai ke otot-otot, guna
mencapai pengaturan keseimbangan . Terminologi asli akupuntur dalam
bahasa China disebut JinJao yang merupakan praktek dari akupuntur dan
moksibusi. Akupunktur merangsang pelepasan senyawa yang mirip morfin
endogen, mempunyai efek vasodilatasi dan memperbaiki supply oksigen
ke dalam jaringan, sehingga mempunyai efek penyembuhan nyeri
(Dharma, 1987). Dalam pengobatan Cina, termasuk akupuntur, kesehatan
ditentukan oleh kemampuan seseorang mempertahankan keseimbangan
dan keselarasan lingkungan dalam tubuhnya. Penyakit timbul bila
lingkungan ini terganggu dan proses normal tubuh untuk memulihkan
keseimbangan dan keselarasan tidak mampu mengatasinya. Teori
keselarasan dalam tubuh dinyatakan dalam prinsip Yin Yang dan Lima
Tahapan, yang terus berputar menjaga keseimbangan antar berbagai
pengaruh yang berlawanan. Jika salah satu dari pengaruh ini berlebih
atau kurang, dapat mengganggu keselarasan lingkungan dalam tubuh.
Keselarasan dan keseimbangan juga tergantung pada kelancaran aliran
Qi (chi) atau vitalitas. Qi ini beredar melalui Jingluo atau kanal (meredian)
jaringan tak terputus yang menghubungkan semua bagian tubuh dan
berhubungan dengan organ dalam atau Zangfu. Zangfu menghasilkan Qi
yang berbeda-beda namun saling berkait. Akupunktur merangsang
kemampuan tubuh dalam menyembuhkan diri sendiri (Saputra, 2005).
Mekanisme kontrol nyeri yang dijelaskan oleh Pomeranz dkk adalah
melibatkan peran otak. Dari gambar 5 diketahui input yang disebabkan
rangsang nyeri di jaringan naik melalui jalur l, berakhir di lamina ll di
medula spinalis. Neuron sekunder akan naik melewati formatio retikularis
melalui traktus spinothalamicus menuju nucleus centromedianus thalami.
28
Neuron tertier kemudian akan menyebar ke cortex limbic, cortex pre
frontal, dan cortex insuler. Sedangkan rangsangan yang ditimbulkan oleh
jarum akupuntur melalui jalur dua menuju ke lamina l dan ll medula
spinalis. Neuron sekunder kemudian menuju ke berbagai nuclei thalamus
yaitu nucleus ventroposteromedia (VPM), dorsomedian (DM), intralaminer
(IL), dan centromedianus (CM), melalui traktus spinothalamicus, traktus
spinoretikularis, dan traktus spinomesenchepalicus. Neuron tertier akan
menuju ke cortex sensori di gyrus post centralis cortex limbic, cortex
laminer, dan cortex pre frontal. Yang penting adalah saat berjalan menuju
ke thalamus, terjadi kolateral yang menuju dan berakhir di berbagai level
di batang otak dan hypothalamus. Di level medula spinalis neuron-neuron
descenderen yang berasal dari kolateral-kolateral tersebut bersifat
exitatory mengaktivasi interneuron presinaps di lamina ll dan lll yang
bersifat inhibitory (menghambat) signal nyeri yang datang kemudian. Di
level batang otak, kolateral yang menuju ke periaquaductal grey, nucleus
retikularis paragigantocelularis bersifat neuron monoaminonergic akan
turun dan merangsang interneuron inhibitori yang menghambat rangsang
nyeri yang datang kemudian di lamina ll dan lV. Di level hipothalamus
terdapat dua cabang yang berakhir pada nuclei hypothalami yaitu nucleus
arkuatus dan kelompok sel hypothalamus yang melepas β endhorphine
dan keduanya bekerjasama dengan pituitary. β endhorphine yang
dilepaskan sebagian akan masuk sirkulasi darah sehingga memberi
pengaruh/efek analgesi general. Tusukan pada titik akupunktur akan
merangsang sirkuit yang melibatkan sel-sel enkefalinergik pada substantia
gelatinosa medula spinalis yang melepaskan enkefalin. Enkefalin ini
kemudian akan menghambat sel-sel pada substansia gelatinosa tersebut
untuk menghambat nyeri yang akan ditransmisikan berikutnya (Sudirman,
2005).
29
Gambar 2.5 : Mekanisme Kontrol Nyeri ( Sudirman, 2005 ).
Titik Akupuntur dan Instrumen Yang Digunakan
Titik yang digunakan adalah titik akupuntur yang lokasinya di sebelah
proksimal dan distal di meredian ( meredian lambung, limpa, kandung
30
kemih, ginjal, empedu, hati ) yang dilalui luka operasi. Sedangkan alat
yang digunakan adalah jarum halus yang setelah ditusukkan kemudian
pada bagian ekornya dihubungkan dengan penjepit elektrostimulator yang
sangat efektif untuk menimbulkan efek analgesi. Untuk nyeri pasca
operasi, prinsip terapi pada meredian sepanjang lokasi nyeri, akan
menghasilkan penyembuhan. Jarum di beri stimulasi listrik, dihubungkan
dengan elektrode negatif (hitam) dibagian distal, dan dengan elektrode
positif (merah) dibagian proximal (Sudirman, 2005).
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuasi eksperimental post
test only control two group design. Dengan skema rancangan sebagai
berikut :
KP : ( X ) --------------------------� O1
KK : ( - ) --------------------------� O2
Keterangan :
KP : kelompok perlakuan
KK : kelompok kontrol
(X) : perlakuan yang diberikan
( - ): tanpa perlakuan
O1 : hasil pengukuran efek pada kelompok perlakuan
O2 : hasil pengukuran efek pada kelompok kontrol
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta selama
satu bulan.
C. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah pasien pasca operasi kruris di RSO
Prof. Dr. Soeharso, dengan kriteria inklusi sebagai berikut
1. Laki- laki dan wanita
2. Usia dewasa yaitu antara 20 – 50 tahun.
3. Fraktur kruris tertutup unilateral yang memerlukan operasi. Atau
pengambilan implant
32
4. Fraktur multipel dimana hanya kruris saja yang dioperasi.
5. Anggota populasi harus tidak mempunyai riwayat penyakit yang dapat
mempengaruhi fungsi syaraf penghantar nyeri. Dan tidak dalam masa
menggunakan obat analgetik jangka panjang.
Kriteria eksklusi sebagai berikut :
1. Tidak Bersedia
2. Fraktur kruris bilateral
3. Fraktur kruris terbuka
4. Pemakaian alat pacu jantung
5. Wanita hamil
D. Sampel dan Teknik Sampling
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh anggota populasi, dimana
telah memenuhi kriteria inklusi.
E. Estimasi Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah pasien dalam kurun
waktu penelitian ini.
F. Randomisasi
Pengalokasian subjek pada penelitian ini dengan cara undian. Setiap
subjek langsung diundi dengan kemungkinan menjadi bagian dari
kelompok kasus atau menjadi bagian dari kelompok kontrol (Arikunto,
2006).
33
G. Klasifikasi Variabel
Variabel bebas berupa akupuntur frekuensi kombinasi dan anestesi
standar. Variabel terikat berupa onset nyeri. Variabel luar yang dapat
dikendalikan adalah sebagai berikut :
1. Jenis fraktur yang dipilih adalah fraktur cruris tertutup unilateral yang
memerlukan operasi.
2. Jenis operasi yang dipilih adalah ORIF ( Open Reduction Internal
Fixation ) dan ROI ( Removal Of Implant )dengan durasi diperkirakan
kurang dari 1 jam
3. Jenis kelamin tidak dibedakan karena ambang nyeri wanita dan pria
dianggap sama.
4. Usia yang dipilih adalah antara 20 hingga 50 tahun.
5. Berat badan yang dipilih adalah normal
6. Jenis asupan obat berupa
Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan adalah berupa kondisi
psikologis pasien yang dapat mempengaruhi ambang nyeri. Kecemasan
pre operasi, pengalaman masa lalu, jenis kepribadian, dan kondisi
lingkungan dapat mempengaruhi persepsi nyeri pasien, serta golongan
responder dan non responder terhadap akupuntur.
H. Definisi Operasional
Akupuntur frekuensi kombinasi adalah penggunaan frekuensi 2 Hz (
frekuensi rendah ) dan 100 Hz ( frekuensi tinggi ) yang diatur secara
otomatis oleh stimulator, dengan durasi 20 hingga 30 menit pada titik
proksimal dan distal irisan operasi, yang dikerjakan sebelum operasi
dimulai ( Yuan&Guan, 2006).
Anestesi standar yang digunakan adalah SAB ( Sub Arachnoid Blok )
atau spinal anestesi dengan standar obat Lidokain 5 % disuntikkan ke sub
34
arachnoid melalui celah Lumbal III – IV, tanpa tambahan ketorolak
ataupun petidin( Sudirman, 2008).
Onset nyeri adalah adalah saat pasien mulai merasa nyeri pasca
operasi setelah berakhirnya efek obat anestesi operasi (Field, 1987).
I. Perlakuan
Perlakuan terhadap masing-masing kelompok adalah sebagai berikut :
1. Kelompok kontrol : tanpa perlakuan, menjalani operasi dengan
anestesi spinal standar. Diobservasi kapan pasien tersebut merasakan
nyeri pasca operasi. Waktu diperhitungkan dan dicatat semenjak
pemberian anestesi spinal.
2. Kelompok perlakuan : diberikan akupuntur di titik yang ditentukan dan
dirangsang dengan frekuensi kombinasi selama 30 menit sebelum
operasi. Segera setelah post operasi di Ruang Pulih Sadar atau
Ruang Rehabilitasi, diobservasi onset nyeri pasien tersebut. Perlakuan
akupuntur sebagai berikut :
a. Starting point : sesaat sebelum operasi selesai.
b. Frekuensi kombinasi : 2 Hz dan 100 Hz
c. Metode : DD
d. Titik yang dipilih : proximal dan distal irisan operasi.
e. Durasi : 20 – 30 menit.
Diobservasi kapan pasien tersebut merasakan nyeri pasca operasi.
Waktu diperhitungkan dan dicatat semenjak pemberian pre medikasi.
Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Jarum jenis merk, ukuran 1 cm, bahan dari stainlees steel
b. Stimulator frekuensi kombinasi 2 Hz dan 100 Hz
c. Peralatan desinfeksi : kasa steril, betadin, kapas, pinset
d. Ruangan dan peralatan ruang pulih sadar bagi pasien pasca
operasi yang telah distandarkan, berupa : bedside monitor untuk
mencatat suhu, nadi, MAP
35
e. Peralatan pengukur waktu : jam
f. Peralatan pencatatan : kertas, pena
g. Peralatan dokumentasi : tape recorder, kaset rekaman, kamera
digital, handycame
h. Cairan dan elektroloit yang digunakan dalam masa pulih sadar
adalah infus RL, oksigen 5 L / menit nasal kanul
Skema cara kerja penelitian adalah sebagai berikut :
Pasien Fraktur Kruris Tertutup Unilateral
Randomisasi
Kontrol Akupuntur
Titik proksimal dan Distal luka operasi
Operasi terstandar
Pasca Bedah di RR
Onset Nyeri Pasca Bedah
Analisis Data
36
J. Rencana Analisis Data
Data yang terkumpul akan dianalisis dengan uji “ t “ untuk
membandingkan dua mean.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
t = M2 – M1
√ ∑ X12 + X2
2
N(N-1)
(Taufiqurrahman, 2004).
K. Jadual Penelitian
MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 3 MINGGU 4
BULAN
1
BAB I BAB I BAB II BAB II
BULAN
2
BAB III
BAB III
BAB III
UJIAN
PROPOSAL
BULAN
3
PENELITIAN
PENELITIAN
PENELITIAN
PENELITI
AN
BULAN
4
ANALISIS
DATA
ANALISIS
DATA
PENYUSUNAN
LAPORAN
PENDADAR
AN
37
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan di RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta,
pada tanggal 29 Oktober – 29 November 2008 dengan sampel penelitian
laki-laki dan perempuan yang berusia antara 20-50 tahun, dengan fraktur
kruris tertutup uniteral yang memerlukan operasi atau pengambilan
implant kruris dan tidak mempunyai riwayat penyakit yang dapat
mempengaruhi fungsi saraf penghantar nyeri serta tidak dalam
menggunakan obat analgetik jangka panjang.
A. Karakteristik Responden
Pada analisis karakteristik responden ini akan dibahas mengenai
jenis kelamin serta usia responden penelitian. Adapun hasilnya adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan distribusi jenis kelamin responden yang
merupakan pasien RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1
Distribusi Jenis Kelamin Responden
No Jenis
Kelamin
Kontrol Perlakuan
f % f %
1 Laki-laki 3 42,86 6 100
2 Perempuan 4 57,14 - -
Jumlah 7 100 6 100
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, 2008
Hasil distribusi jenis kelamin responden berdasarkan
kelompok kontrol diketahui bahwa jumlahnya adalah 7 orang;
42,86% dari seluruh responden kelompok kontrol atau 3 orang
berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 57,14% atau 4 orang berjenis
38
kelamin perempuan. Hasil distribusi jenis kelamin responden
berdasarkan kelompok perlakukan diketahui seluruh responden
kelompok perlakuan adalah laki-laki. Dapat dilihat pada gambar
diagram sebagai berikut:
42.86%
100.00%
57.14%
0.00%0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
90.00%
100.00%
Fre
kuen
si
Laki-laki Perempuan
Umur
Gambar 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Kontrol
Perlakuan
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diolah 2008
2. Usia
Berdasarkan distribusi usia responden yang merupakan
pasien RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 4.2
Distribusi Usia Responden
No Usia Kontrol Perlakuan
f % f %
1 < 30 Tahun 3 42,86 1 16,67
2 > 30 Tahun 4 57,14 5 83,33
Jumlah 7 100 6 100
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, 2008
39
Hasil distribusi usia responden berdasarkan kelompok kontrol
diketahui bahwa jumlahnya adalah 7 orang; 42,86% dari seluruh
responden kelompok kontrol atau 3 orang berusia kurang dari 30
tahun, sedangkan 57,14% atau 4 orang berusia lebih dari 30 tahun.
Hasil distribusi jenis kelamin responden berdasarkan kelompok
perlakukan diketahui bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 16% dari
seluruh responden kelompok perlakuan atau 1 orang berusia
kurang dari 30 tahun, sedangkan 83,33% atau 5 orang berusia
lebih dari 30 tahun. Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar diagram sebagai berikut:
42.86%
16.67%
57.14%
83.33%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
90.00%
Fre
kuen
si
< 30 Tahun > 30 Tahun
Umur
Gambar 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Kontrol
Perlakuan
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diolah 2008
B. Analisis Statistik Data Penelitian
Pada analisis statistik diskriptif data penelitian ini akan dibahas
mengenai jenis operasi, lama operasi, jeda waktu akupuntur hingga
dimulainya anestesi dan perkembangan waktu onset nyeri atau waktu
saat pasien mulai meraskan nyeri pasca operasi. Adapun hasilnya
adalah sebagai berikut:
40
1. Jenis Operasi
Berdasarkan distribusi jenis operasi yang dilakukan kepada
responden yang merupakan pasien RSO. Prof. Dr. Soeharso
Surakarta diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.3
Distribusi Jenis Operasi Responden
No Jenis
Operasi
Kontrol Perlakuan
f % F %
1 ORIF 7 100 4 66,67
2 ROI - 100 2 33,33
Jumlah 7 100 6 100
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, 2008
Hasil distribusi jenis operasi yang dilakukan kepada
responden berdasarkan kelompok kontrol diketahui bahwa
jumlahnya adalah 7 orang; seluruh responden kelompok kontrol
dilakukan operasi dengan jenis ORIF. Hasil distribusi jenis operasi
yang dilakukan kepada responden berdasarkan kelompok
perlakukan diketahui bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 66,67%
dari seluruh responden kelompok perlakuan atau 4 orang dilakukan
operasi ORIF, sedangkan 33,3% atau 2 orang dilakukan operasi
ROI. Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
diagram sebagai berikut:
41
100.00%
60.00%
0.00%
40.00%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
90.00%
100.00%
Fre
kuen
si
ORIF ROI
Umur
Gambar 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Operasi
Kontrol
Perlakuan
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diolah 2008
2. Lama Operasi
Berdasarkan distribusi lama operasi yang dilakukan kepada
responden yang merupakan pasien RSO. Prof. Dr. Soeharso
Surakarta diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.4
Distribusi Lama Operasi Responden
No Lama
Operasi
Kontrol Perlakuan
f % F %
1 < 30 Menit 1 14,28 - -
2 30 – 60 Menit 4 57,14 4 66,67
3 > 60 Menit 2 28,58 2 33,33
Jumlah 7 100 6 100
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, 2008
Hasil distribusi lama operasi yang dilakukan kepada
responden berdasarkan kelompok kontrol diketahui bahwa
jumlahnya adalah 7 orang; 14,28% dari seluruh responden
kelompok kontrol dilakukan operasi atau 1 orang mengalami lama
42
operasi kurang dari 25 menit, 57,14% atau 4 orang responden
mengalami operasi antara 30-60 menit dan 25,58% atau 2 orang
mengalami lama operasi lebih dari 60 menit. Hasil distribusi lama
responden menjalani operasi berdasarkan kelompok perlakukan
diketahui bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 66,67% dari seluruh
responden kelompok perlakuan atau 4 orang mengalami operasi
antara 30-60 menit, sedangkan 33,33% atau 2 orang dilakukan
operasi lebih dari 60 menit. Adapun untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar diagram sebagai berikut:
14.28%
0.00%
57.14%60.00%
28.58%
20.00%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
Fre
kuen
si
<30 Menit 30-60 Menit > 60 Menit
Umur
Gambar 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Operasi
Kontrol
Perlakuan
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diolah 2008
3. Jeda Waktu Akupuntur dengan Anestesi
Berdasarkan distribusi jeda waktu akupuntur yang dilakukan
kepada responden kelompook perlakuan yang merupakan pasien
RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta diperoleh hasil sebagai berikut:
43
Tabel 4.5
Distribusi Jeda Waktu Akupuntur dengan Anestesi
No Jeda Waktu
Akupuntur
f %
1 < 10 Menit 2 33,33
2 10 – 20 Menit 3 50,00
3 > 20 Menit 1 16,67
Jumlah 6 100
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, 2008
Hasil distribusi jeda waktu akupuntur dengan Anestesi yang
dilakukan kepada responden berdasarkan kelompok perlakukan
diketahui bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 33,33% dari seluruh
responden kelompok perlakukan atau 2 orang mempunyai jeda
waktu akupuntur dengan anestesi kurang dari 10 menit, 50% atau 3
orang responden mempunyai jeda waktu akupuntur dengan
anestesi antara 10-20 menit dan 16,67% atau 1 orang mempunyai
jeda waktu akupuntur dengan anestesi lebih dari 20 menit. Adapun
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar diagram sebagai
berikut:
33.33%
50.00%
16.67%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
40.00%
45.00%
50.00%
Fre
kuen
si
< 10 Menit 10 - 20 Menit > 20 Menit
Umur
Gambar 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Jeda Waktu Akupuntur dengan
Anestesi
Perlakuan
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diolah 2008
44
4. Onset Nyeri
Tabel 4.6
Onset Nyeri
No
Responden
Waktu
Kontrol Perlakuan
1 40 Menit -
2 65 Menit -
3 75 Menit -
4 60 Menit -
5 60 Menit -
6 90 Menit -
7 55 Menit -
8 - 100 Menit
9 - 90 Menit
10 - 105 Menit
11 - 85 Menit
12 - 115 Menit
95 Menit
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, 2008
Hasil distribusi waktu onset nyeri pada Tabel 4.3 di atas diketahui
bahwa rata-rata waktu onset yang dibutuhkan oleh kelompok kontrol
atau kelompok yang tanpa menjalani operasi dengan anastesi standar
lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang
sebelum operasi diberikan akupuntur di titik yang ditentukan. Hal ini
juga dapat dilihat pada gambar grafik berikut ini
45
40
6575
60 60
90
55
10090
105
85
115
95
0
20
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7
Responden
On
set
(Men
it)
Kontrol
Perlakuan
Gambar 4.6
Grafik Perkembangan Onset
Gambar 4.3 grafik perkembangan onset semakin memperjelas
tentang gambaran waktu onset pada kelompok kontrol dan perlakuan.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pemberian
akupuntur sebelum operasi efektif meningkatkan waktu saat pasien
mulai meraskan nyeri pasca operasi.
C. Analisis Data
Penelitian ini bertujuan mencari perbedaan rata-rata waktu onset
nyeri pada kelompok kontrol dan perlakuan. Alat analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah independen sample t test.
Perhitungan t statistik dalam penelitian ini menggunakan bantuan
program komputer SPSS 15.0 for windows, adapun hasilnya adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.7
Hasil Uji Beda Rata-Rata Waktu Onset
Kelompok N Mean thitung p
Kontrol 7 63,57 -4,556 0,000
Perlakuan 5 98,33
Sumber: Data dari RSO. Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diolah 2008
46
Berdasarkan hasil uji bedar rata-rata waktu onset diketahui
bahwa rata-rata waktu onset untuk kelompok kontrol adalah 63,57
menit, sementara untuk waktu onset kelompok perlakuan adalah 98,33
menit. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian akupuntur efektif
meningkatkan waktu onset. Berdasarkan hasil perhitungan t statistik
diperoleh nilai thitung sebesar -4,556 (p= 0,000 < 0,05); sehingga H0
ditolak, artinya pemberian analgesia akupuntur frekuensi kombinasi
berpengaruh signifikan terhadap onset nyeri pasca operasi kruris
tertutup.
D. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh analgesia
akupuntur frekuensi kombinasi terhadap onset nyeri pasien pasca
operasi lengan bawah tertutup diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Distribusi Jenis Kelamin
Hasil distribusi jenis kelamin responden berdasarkan
kelompok kontrol diketahui bahwa jumlahnya adalah 7 orang;
42,86% dari seluruh responden kelompok kontrol atau 3 orang
berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 57,14% atau 4 orang berjenis
kelamin perempuan. Hasil distribusi jenis kelamin responden
berdasarkan kelompok perlakukan diketahui seluruh responden
kelompok perlakuan adalah laki-laki.
Berdasarkan hasil distribusi jenis kelamin responden tersebut
dapat diketahui baik dari kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan responden lebih banyak diderita oleh laki-laki.
Banyaknya pasien laki-laki yang mengalami operasi kruris tertutup
ini akibat lebih banyaknya laki-laki yang mengalami kecelakaan lalu
lintas pada rentang waktu penelitian ini. Sedangkan pada kelompok
perlakuan hanya terdapat laki-laki dikarenakan perempuan
cenderung merasa takut terhadap akupuntur meskipun sudah
47
diberikan motivasi sebelumnya. Perbedaan jenis kelamin dianggap
tidak mempengaruhi onset nyeri.
2. Distribusi Usia
Hasil distribusi usia responden berdasarkan kelompok kontrol
diketahui bahwa jumlahnya adalah 7 orang; 42,86% dari seluruh
responden kelompok kontrol atau 3 orang berusia kurang dari 30
tahun, sedangkan 57,14% atau 4 orang berusia lebih dari 30 tahun.
Hasil distribusi jenis kelamin responden berdasarkan kelompok
perlakukan diketahui bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 16% dari
seluruh responden kelompok perlakuan atau 1 orang berusia
kurang dari 30 tahun, sedangkan 83,33% atau 5 orang berusia
lebih dari 30 tahun.
Berdasarkan hasil distribusi responden yang mengalami
operasi kruris tertutup diketahui bahwa responden dengan usia di
atas 30 tahun lebih mendominasi. Hal ini direncanakan oleh peneliti
dengan tujuan mendapatkan responden yang kooperatif dalam
menyatakan rasa nyeri, baik pada kelompok kontrol maupun
kelompok perlakuan. Dipilih pasien dengan usia dewasa yaitu 20 –
50 tahun, dan dianggap mempunyai respon yang sama terhadap
onset nyeri.
3. Jenis Operasi
Hasil distribusi jenis operasi yang dilakukan kepada responden
berdasarkan kelompok kontrol diketahui bahwa jumlahnya adalah 7
orang; seluruh responden kelompok kontrol dilakukan operasi
dengan jenis ORIF. Hasil distribusi jenis operasi yang dilakukan
kepada responden berdasarkan kelompok perlakukan diketahui
bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 66,67% dari seluruh responden
kelompok perlakuan atau 4 orang dilakukan operasi ORIF,
sedangkan 33,3% atau 2 orang dilakukan operasi ROI. Dalam hal
ini peneliti hanya menemukan kelompok pasien ORIF pada saat
pengumpulan data kelompok kontrol pada minggu pertama dan
48
kedua selama penelitian. Dan menemukan kelompok pasien ROI
pada saat pengumpulan data kelompok perlakuan pada minggu
ketigadan keempat dalam sebulan penelitian.
4. Lama Operasi
Hasil distribusi lama operasi yang dilakukan kepada
responden berdasarkan kelompok kontrol diketahui bahwa
jumlahnya adalah 7 orang; 14,28% dari seluruh responden
kelompok kontrol atau 1 orang mengalami lama operasi kurang dari
25 menit, 57,14% atau 4 orang responden mengalami operasi
antara 30-60 menit dan 25,58% atau 2 orang mengalami lama
operasi lebih dari 60 menit. Hasil distribusi lama responden
menjalani operasi berdasarkan kelompok perlakukan diketahui
bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 66,67% dari seluruh responden
kelompok perlakuan atau 4 orang mengalami operasi antara 30-60
menit, sedangkan 33,33% atau 2 orang dilakukan operasi lebih dari
60 menit. Perbedaan lama operasi disebabkan oleh tingkat
keahlian operator, dalam hal ini dokter spesialis bedah tulang relatif
lebih cepat dalam pengerjaan operasi dibandingkan dengan
residen bedah atau mahasiswa program pendidikan dokter
spesialis. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi hasil penelitian,
tetapi dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh
peneliti.
5. Jeda Waktu Akupuntur dengan Anestesi
Hasil distribusi jeda waktu akupuntur dengan Anestesi yang
dilakukan kepada responden berdasarkan kelompok perlakukan
diketahui bahwa jumlahnya adalah 6 orang; 33,33% dari seluruh
responden kelompok perlakukan atau 2 orang mempunyai jeda
waktu akupuntur dengan anestesi kurang dari 10 menit, 50% atau 3
orang responden mempunyai jeda waktu akupuntur dengan
anestesi antara 10-20 menit dan 16,67% atau 1 orang mempunyai
jeda waktu akupuntur dengan anestesi lebih dari 20 menit. Peneliti
49
berusaha untuk memberikan perlakuan atau akupuntur sedemikian
rupa sesuai jadwal operasi sehingga jeda waktu antara akupuntur
dengan dimulainya anestesi tidak terlalu panjang. Adapun jika
dimulainya anestesi terlalu lama setelah akupuntur selesai, efek
analgesi diduga akan berkurang atau tidak optimal.
6. Onset Nyeri
Hasil distribusi waktu onset nyeri pada Tabel 4.3 di atas
diketahui bahwa rata-rata waktu onset yang dibutuhkan oleh
kelompok kontrol atau kelompok yang tanpa menjalani operasi
dengan anastesi standar lebih rendah jika dibandingkan dengan
kelompok perlakuan yang sebelum operasi diberikan akupuntur di
titik yang ditentukan. Hal ini membuktikan bahwa akupuntur
mempunyai efek analgesia.
7. Efektifitas Analgesia Akupuntur
Berdasarkan hasil uji bedar rata-rata waktu onset diketahui
bahwa rata-rata waktu onset untuk kelompok kontrol adalah 63,57
menit, sementara untuk waktu onset kelompok perlakuan adalah
98,33 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian akupuntur
efektif meningkatkan onset. Berdasarkan hasil perhitungan t
statistik diperoleh nilai thitung sebesar -4,556 (p= 0,000 < 0,05);
sehingga H0 ditolak, artinya pemberian analgesia akupuntur
frekuensi kombinasi berpengaruh signifikan terhadap onset nyeri
pasca operasi kruris tertutup.
50
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh analgesi akupuntur
frekuensi kombinasi terhadap onset nyeri pasien pasca operasi kruris
tertutup dapat ditarik kesimpulan:
1. Pasien yang menjalani operasi kruris tertutup untuk kelompok
kontrol 57,14% berjenis kelamin laki-laki dan pada kelompok
kelompok perlakuan 100% laki-laki.
2. Pasien yang menjalani operasi kruris tertutup didominasi oleh
responden dengan usia di atas 30 tahun, 57,14% pada kelompok
kontrol dan 83,33% pada kelompok perlakuan.
3. Seluruh responden kelompok kontrol dilakukan operasi dengan
jenis ORIF, dan 66,67% dari seluruh responden kelompok
perlakuan atau 4 orang dilakukan operasi ORIF, sedangkan 33,3%
atau 2 orang dilakukan operasi ROI.
4. Sebagian besar responden baik kelompok kontrol maupun
perlakuan mengalami operasi antara 30-60 menit.
5. Hasil perhitungan t statistik diperoleh nilai thitung sebesar -4,556 (p=
0,000 < 0,05); sehingga pemberian analgesia akupuntur frekuensi
kombinasi berpengaruh signifikan terhadap onset nyeri pasca
operasi kruris tertutup.
B. Saran
Adanya berbagai keterbatasan dari pelaksanaan penelitian ini,
maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi Ilmu Pendidikan
a. Hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah keilmuan
tentang efektivitas analgesia akupuntur dalam mengurangi nyeri
pasca operasi.
51
b. Diharapkan lebih mengembangkan penelitian, dengan mencari
faktor-faktor lain yang dapat mengurangi nyeri pasca operasi,
dan dapat meminimalisir penyebab bias dan faktor yang tak
terkendali dalam penelitian ini.
2. Bagi Dinas Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan, dapat diterapkan di berbagai
rumah sakit mengingat penerapan akupuntur yang mudah dan
murah sudah diizinkan di pelayanan kesehatan di Indonesia.
3. Bagi Masyarakat
a. Diharapkan dengan adanya temuan ini, lebih meningkatkan
minat masyarakat dalam menggunakan jasa pelayanan rumah
sakit terutama yang menyediakan jasa pelayanan akupuntur.
b. Diharapkan mengurangi praktek-praktek pengobatan alternatif
yang merugikan masyarakat dan tidak terbukti secara ilmiah
khasiatnya terhadap kesehatan.
52
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, hauckland.no, 8 Januari 2008
Anonim, med.uio.no, 5 September 2007
Anonim, radiusfraktur.de, 5 September 2007
Apley, A Graham, 1995, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley
Edisi Ketujuh, Widya Medika, Jakarta
Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, Rineka Cipta
Bhan, Surya. Brothers, Jaypee, 1993, A Short Text Book of
Orthopaedics and Traumatology, USA
Carr,D.B, 1993, International Association for The Study of Pain
De Jong, Wim, 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
D.S.Zunilda, 2007, Farmakologi dan Terapi FK UI, Gaya Baru, Jakarta
Feriwong, Akupunktur Dasar, Mei 2008
Fields, L Howard, 1987, Pain, Mc Graw Hill,USA.
Ganiswara, G Sulistia, 1995, Farmakologi dan Terapi FK UI, Gaya
Baru, Jakarta
Gellman, Haris, 2002, Acupuncture treatment For Musculosceletal
Pain
Ilham, Yusuf. 2003,Akupunktur Menghilangkan Nyeri
JJ. Bonica, 2000, Anatomic and Physiologic basic of Nociception and
Pain
Latief, A Said, dkk, 2002, Petunjuk praktis Anestesiologi, FK UI
Murti, Bhisma, 2006, Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif di bidang Kesehatan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta Saputra, Koosnadi, 2005, Akupuntur Dasar, Airlangga
University Press, Surabaya
Nazir, Moh., 1988, Metodologi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Rifki, Az, 2005, Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesi KPPIA-
IDSAI 2005, SMF Anestesiologi & Reanimasi RS Sardjito, Yogyakarta
53
Saputra Koosnadi,2005, Akupunktur Dasar,Airlangga University Press,
Surabaya
Sidharta, Priguna, 1979, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, Dian
Rakyat, Jakarta
Sudirman, Syarif, 2005, Workshop Penanganan Nyeri dengan Neuro
Akupuntur,Paksi, Surabaya
Sutanto, Bambang, 2004, Efek Nyeri Akut Pasca Pembedahan
Terhadap Kualitas Hidup yang Dipengaruhi Kesehatan, UGM, Yogyakarta
Taufiqurrohman, Arif,2004, Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu
Kedokteran, CSGF, Klaten
Tjahyati,Juni.Ismail, 2008, Akupunktur Analgetik di Bidang Anestesi
Viet, A. George, dkk. 2002. The Biology of Acupuncture, Warren A
Green.inc, USA
Yuan Jin, Guan, 2006, Mechanismeof Acupuncture Analgesia, Higher
Education Press, China