12
ISSN 2355- 7966 Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 1 Salam Rimbawan... Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa media Warta Matoa dapat hadir kem- bali ditengah-tengah pembaca. Redaksi ingatkan, bahwa media Warta Matoa kami terbitkan sebagai salah upaya Balai Penelian Kehutanan Manokwari untuk menyajikan informasi dan pemikiran kreaf para pembaca. Redaksi mengharapkan saran-saran, komentar dan krik, agar Warta matoa menjadi media yang komunikaf melalui tulisan dari para pembaca. Pada edisi kedua ini Warta Matoa dimulai dengan sebuah pertanyaan besar oleh Kasie Program Anggaran dan Kerjasama, yaitu “ Sudah Baikkah Penelian Berbasis RPI Yang Telah Kita Laksanakan??” disusul info variaf yang menarik ten- tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi- tungan biomasa hutan dengan menggunakan citra LiDAR oleh-oleh rekan kita yang baru pulang studi dari Belanda. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada teman-teman, khususnya yang sedang studi di luar negeri yang masih bersedia membagi informasinya sehingga dapat mengisi media ini dengan bobot materi yang cukup baik dan mohon maaf kepada para pembaca yang tulisannya belum dimuat pada edisi ini. Untuk terbitan selanjutnya Redaksi mengharapkan tulisan hasil-hasil penelian atau kajian dan pemikiran pembaca yang bebas dan kreaf tentang apapun yang berkaitan dengan kehutanan dalam ar luas. Kami berharap media ini dapat diterima di kalangan pem- baca dengan segala kekurangannya. Perbaikan akan selalu kami upayakan pada kes- empatan terbitan-terbitan selanjutnya. Selamat Membaca... Pengantar Redaksi Warta MATOA Balai Penelian Kehutanan Manokwari merupakan media komunikasi dan informasi ilmiah populer di bidang penelian dan pengembangan hutan, konservasi alam, sosial dan ekonomi kehutanan serta yang berkaitan dengan hal -hal tersebut di Indonesia. REDAKSI Penanggung Jawab: Kepala Balai Penelian Kehutanan Manokwari Dewan Redaksi Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP. (Ketua) Sarah Yuliana, S.Hut., M.App.Sc. (Sekretaris) Abdullah Tuharea, S.Hut., M.Si. (Anggota) Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi, Sarana dan Prasarana Penelian Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng. Topik Alamat Redaksi Balai Penelian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi Susweni PO Box 159 Manokwari 98313 Telp. 0986 213437, 213440 Fax 0986 213441 Fokus Sudah baikkah penelitian berbasis RPI yang telah kita laksanakan ??? 1 Artikel : Hasil hutan sebagai sumber energi terba- rukan 4 Tumbuhan lokal Papua pengobat penya- kit saluran pernafasan 6 Potensi LiDAR ( Light Detection And Ranging) mengestimasi biomassa hutan 7 9 Ragam : Tukin dan Dukungan dalam Berkinerja 11 Kilas Berita : Berbekal Rencana dan Persiapan : Liputan Seminar RPTP dan PPTP BPK Manokwari 2014 12 Vol. 1. No. 2, September 2014 SUDAH BAIKKAH PENELITIAN BERBASIS RPI YANG TELAH KITA LAKSANAKAN ??? (Khuswantoro Akhadi) Kedudukan Badan Penelian dan Pengembangan (Badan Litbang) Kehutanan pada dasarnya merupakan unsur pendukung tugas kementerian yang berada di bawah dan bertanggungjawab secara langsung kepada Menteri Kehutanan. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.40/ Menhut/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan memiliki tugas pokok melaksanakan penelian dan pengembangan di bidang kehutanan, dan guna menjalankan tugas pokok dan fungsinya harus menyusun dokumen-dokumen perencanaan sebagai penjabaran dari dokumen perencanaan Kementerian Kehutanan. Rencana Strategis Badan Litbang Kehutanan (Renstra Badan Litbang Kehutanan) Tahun 2010-2014 merupakan penjabaran dari Renstra Kementerian Kehutanan Kehutanan yang disusun berdasarkan pada Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasionak/Kepala Bappenas No. 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusuan Renstra Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) 2010 -2014. Renstra Badan Litbang ini turut mengakomodasi pokok-pokok reformasi perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja (Performance Based Budgeng), berjangka menengah (Medium-Term Expenditure Framework) dan sistem penganggaran terpadu (Unified Budgeng).

Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 1

Salam Rimbawan...

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa media Warta Matoa dapat hadir kem-

bali ditengah-tengah pembaca. Redaksi ingatkan, bahwa media Warta Matoa kami

terbitkan sebagai salah upaya Balai Penelitian Kehutanan Manokwari untuk

menyajikan informasi dan pemikiran kreatif para pembaca. Redaksi mengharapkan

saran-saran, komentar dan kritik, agar Warta matoa menjadi media yang komunikatif

melalui tulisan dari para pembaca.

Pada edisi kedua ini Warta Matoa dimulai dengan sebuah pertanyaan besar

oleh Kasie Program Anggaran dan Kerjasama, yaitu “ Sudah Baikkah Penelitian

Berbasis RPI Yang Telah Kita Laksanakan??” disusul info variatif yang menarik ten-

tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan

berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-

tungan biomasa hutan dengan menggunakan citra LiDAR oleh-oleh rekan kita yang

baru pulang studi dari Belanda.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada teman-teman, khususnya yang

sedang studi di luar negeri yang masih bersedia membagi informasinya sehingga

dapat mengisi media ini dengan bobot materi yang cukup baik dan mohon maaf

kepada para pembaca yang tulisannya belum dimuat pada edisi ini. Untuk terbitan

selanjutnya Redaksi mengharapkan tulisan hasil-hasil penelitian atau kajian dan

pemikiran pembaca yang bebas dan kreatif tentang apapun yang berkaitan dengan

kehutanan dalam arti luas. Kami berharap media ini dapat diterima di kalangan pem-

baca dengan segala kekurangannya. Perbaikan akan selalu kami upayakan pada kes-

empatan terbitan-terbitan selanjutnya.

Selamat Membaca...

Pengantar Redaksi

Warta MATOA Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

merupakan media komunikasi dan informasi ilmiah populer di bidang

penelitian dan pengembangan hutan, konservasi alam, sosial dan ekonomi

kehutanan serta yang berkaitan dengan hal-hal tersebut di Indonesia.

REDAKSI

Penanggung Jawab: Kepala Balai Penelitian Kehutanan

Manokwari

Dewan Redaksi Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP. (Ketua)

Sarah Yuliana, S.Hut., M.App.Sc. (Sekretaris)

Abdullah Tuharea, S.Hut., M.Si. (Anggota)

Redaksi Pelaksana

Kepala Seksi Data, Informasi, Sarana dan Prasarana Penelitian

Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng.

Topik

Alamat Redaksi Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

Jl. Inamberi Susweni PO Box 159 Manokwari 98313

Telp. 0986 213437, 213440 Fax 0986 213441

Fokus

Sudah baikkah penelitian berbasis RPI yang telah kita laksanakan ???

1

Artikel :

Hasil hutan sebagai sumber energi terba-rukan

4

Tumbuhan lokal Papua pengobat penya-kit saluran pernafasan

6

Potensi LiDAR (Light Detection And Ranging) mengestimasi biomassa hutan

7

9

Ragam :

Tukin dan Dukungan dalam Berkinerja 11

Kilas Berita :

Berbekal Rencana dan Persiapan : Liputan Seminar RPTP dan PPTP BPK Manokwari 2014

12

Vol. 1. No. 2, September 2014

SUDAH BAIKKAH PENELITIAN BERBASIS RPI YANG TELAH KITA LAKSANAKAN ??? (Khuswantoro Akhadi)

Kedudukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Kehutanan pada dasarnya merupakan unsur pendukung tugas kementerian yang berada di bawah dan bertanggungjawab secara langsung kepada Menteri Kehutanan. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.40/Menhut/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan memiliki tugas pokok melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan, dan guna menjalankan tugas pokok dan fungsinya harus menyusun dokumen-dokumen perencanaan sebagai penjabaran dari dokumen perencanaan Kementerian Kehutanan.

Rencana Strategis Badan Litbang Kehutanan (Renstra Badan Litbang Kehutanan) Tahun 2010-2014 merupakan penjabaran dari Renstra Kementerian Kehutanan Kehutanan yang disusun berdasarkan pada Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasionak/Kepala Bappenas No. 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusuan Renstra Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) 2010 -2014. Renstra Badan Litbang ini turut mengakomodasi pokok-pokok reformasi perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja (Performance Based Budgeting), berjangka menengah (Medium-Term Expenditure Framework) dan sistem penganggaran terpadu (Unified Budgeting).

Page 2: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 2

Berkaitan dengan kelitbangan, Renstra Badan Litbang Kehutanan ini mengakomodasi kegiatan penelitian dan pengembangan yang tertuang dalam Tahap I dari Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2015 (Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.163/MENHUT-II/2009) beserta jabarannya dalam 9 (sembilan) Program Litbang dan 25 Rencana Penelitian Integratif (RPI). Sementara tahapan tujuan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-2 adalah untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang, dengan penekanan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampian ilmu dan teknologi (IPTEK), serta penguatan daya saing perekonomian. Sehubungan dengan tujuan tersebut, Renstra Badan Litbang Kehutanan 2010-2014 yang memuat RPI selanjutnya memegang peranan yang strategis untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan nasional, khususnya sektor kehutanan, melalui IPTEK dasar maupun terapan. IPTEK yang telah diyakini berbagai pihak akan mampu menjawab akar permasalahan dan berbagai tantangan kedepan diharapkan akan mampu memulihkan potensi dan kekuatan sekaligus meningkatkan daya saing sektor kehutanan.

Pada dasarnya, keberhasilan sebuah penelitian dapat dinilai berdasarkan adanya penggunaan IPTEK hasil penelitian tersebut oleh stakeholder atau pemangku kepentingan yang sesuai. Selain itu, setiap penelitian mempunyai karakter masing-masing pula. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, perlu dipahami bahwa indikator kinerja untuk penelitian tidak bersifat universal dan statis, melainkan arus sesuai dengan perubahan karakteristik penelitian itu. Penilaian tersebut dapat diukur berdasarkan pada sumber daya yang digunakan (input), output, outcome, dampak, dan benefit dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan. Dalam Renstra Badan Litbang Kehutanan Tahun 2010-2014 telah menetapkan adanya 2 (dua) sasaran strategis terkait RPI, yaitu (1) tercapainya luaran IPTEK Kehutanan dan (2) tercapainya pemanfaatan 60% IPTEK Kehutanan oleh pengguna. Diharapkan setiap judul atau kegiatan penelitian yang dilaksanakan akan mampu menghasilkan IPTEK dan minimal 60% IPTEK yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh pengguna.

Pelaksanaan RPI dilakukan di seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah naungan Badan Litbang Kehutanan, yang mencakup empat Pusat Penelitian dan Pengembangan, dua Balai Besar setingkat Eselon II serta 13 Balai setingkat Eselon III. Keempat Pusat Penelitian dan Pengembangan tersebut meliputi Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser), Pusat Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Tanaman Hutan (Pusprohut), Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), dan Pusat Penelitian Kebijakan dan Perubahan Iklim (Puspijak). Sedangkan UPT yang berada di bawah Badan Litbang Kehutanan tampak seperti dalam Tabel 1.

Pelaksanaan RPI sebagai bagian dari target dan komitmen Badan Litbang Kehutanan selanjutnya menjadi tanggung jawab bersama seluruh Puslit dan UPT.

Tabel 1. Nama dan Kedudukan, Jenis UPT Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Target yang telah ditetapkan telah menjadi komitmen ber-sama Badan Litbang Kehutanan termasuk pelaksanaan RPI yang menjadi tanggungjawab seluruh Puslit dan UPT. Informasi tentang pelaksanaan RPI yang dilakukan tersebut sangat berharga untuk melihat adanya faktor pendukung dan penghambat, tingkat keberhasilan serta tingkat kesesuaian dengan target yang telah ditetapkan.

Berangkat dari kedua sasaran strategis RPI yang mengharapkan tercapainya 100% luaran IPTEK Kehutanan dan pemanfaatan 60% IPTEK Kehutanan oleh pengguna yang membutuhkan, diperlukan adanya penelitian yang mampu menjelaskan :

1. Tingkat pelaksanaan RPI sampai saat ini 2. Tingkat keberhasilan penerapan RPI dibandingkan

dengan target yang telah ditetapkan

Tahun 2014 ini merupakan akhir periode Renstra 2010-2014 dan periode RPI sehingga merupakan tahun yang sangat penting untuk mengukur tingkat kesesuaian pelaksanaan RPI dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Tahun in juga merupakan tahun persiapan menuju periode renstra selanjutnya yakni 2015-2019. Pengukuran kemajuan dan kesesuaian pelaksanaan RPI tersebut hanya dapat dicapai melalui kegiatan Evaluasi. Evaluasi pelaksanaan RPI dapat dilakukan dengan beberapa indikator, yaitu:

1. Efektifitas, yang mengukur kesesuaian pencapaian antara rencana yang telah ditentukan sebelumnya dengan hasil yang dicapai

2. Efisiensi, yang mengukur optimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai pelaksanaan program

3. Kecukupan, yang mengukur tingkat pemenuhan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu sebagai hasil pelaksanaan kegiatan.

No Nama UPT Kedudukan Jenis Balai

1 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Yogyakarta Balai Besar

2 Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Balai Besar

3 Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor

Bogor Balai Khusus

4 Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja

Kalimantan Timur

Balai Khusus

5 Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok

Riau Balai Khusus

6 Balai Penelitian Teknologi DAS Solo Solo Balai Khusus

7 Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Palembang Balai Umum

8 Balai Penelitian Kehutanan Manado Manado Balai Umum

9 Balai Penelitian Kehutanan Makassar

Makassar Balai Umum

10 Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

Manokwari Balai Umum

11 Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli

Pemantang Siantar

Balai Umum

12 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru,

Kalimantan Selatan

Balai Umum

13 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis

Ciamis Balai khusus

14 Balai PenelitianTeknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram

Mataram, NTB Balai khusus

15 Balai Penelitian Kehutanan Kupang Kupang Balai Umum

Page 3: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 3

(measurable), sedangkan efektifitas mengandung pula pengertian kualitatif. Efektifitas lebih mengarah pada pencapaian sasaran, sedangkan efisiensi dalam penggunaan masukan atau input akan menghasilkan produktifitas yang tinggi, sebagai tujuan dari setiap organisasi, apapun bidang kegiatannya. Dalam pelaksanaan suatu kegiatan, hal yang paling rawan terjadi adalah apabila efisiensi selalu dikaitkan sebagai penghematan. Hal ini bisa mengganggu pelaksanaan kegiatan, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya juga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

3. Kecukupan

Aspek kecukupan sangat berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan penelitian dari stakeholder yang ada. Aspek ini mengukur apakah hasil yang dicapai telah memenuhi kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu. Apabila dianalogikan dengan teori permintaan dan penawaran, aspek ini akan mengukur pula apakah penelitian yang telah dilakukan mampu memenuhi kebutuhan penelitian yang ada di daerah. Aspek ini akan memperhitungkan juga kesesuaian jumlah kegiatan dan topik dengan kebutuhan penelitian yag dibutuhkan stakeholder. Hal-hal tersebut menjadi penting untuk dipertimbangkan mengingat RPI disusun secara top down sehingga mungkin saja kebutuhan riset di suatu daerah belum terpenuhi atau bahkan suatu penelitian tidak dibutuhkan di daerah.

4. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk mengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas akan mengukur daya tanggap terhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan masyarakat (Tangkilisan, 2005)Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio dalam (Dwiyanto, 2006)). Responsivitas birokrasi yang rendah seringkali disebabkan karena belum adanya pengembangan komunikasi eksternal yang nyata oleh jajaran birokrasi pelayanan. Indikasi yang nyata dari belum dikembangkannya komunikasi eksternal secara efektif oleh birokrasi akan terlihat pada masih besarnya gap yang terjadi. Gap yang terjadi merupakan gambaran pelayanan yang memperlihatkan bahwa belum ditemukan kesamaan persepsi antara harapan masyarakat dan birokrat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Aspek responsivitas yang terkait dengan pelaksanaan program RPI akan menyangkut kemampuan RPI dalam menjawab permasalahan kehutanan yang ada di dihadapi pada masa kini dan masa yang akan datang. Hal ini menjadi penting untuk menggambarkan bahwa pelaksanaan suatu program harus memiliki tujuan yang jelas, sesuai dengan aspirasi dan kondisi faktual di lapangan.

4. Responsivitas, yang mengukur seberapa jauh hasil yang dicapai dan diinginkan mampu memecahkan masalah.

5. Ketepatan, yang mengukur sejauh mana hasil dan tujuan yang diinginkan dalam pelaksanaan program benar-benar bermakna atau bernilai.

Informasi-informasi yang dibutuhkan selanjutnya dikembangkan menjadi variabel yang harus diukur.

1. Efektivitas Efektivitas dan efisiensi merupakan dua kata yang

selalu berkaitan. Pada dasarnya pengertian efektivitas yang umum menunjukkan taraf tercapainya hasil, seringkali atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun sebenarnya terdapat perbedaan di antara keduanya. Efektifitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada cara pencapaian hasil itu, dengan membandingkan input dan outputnya.

Efektivitas (Effectiveness) yang didefinisikan secara abstrak sebagai tingkat pencapaian tujuan diukur dengan membagi hasil yang dicapai dengan tujuan. Tujuan yang bermula dari visi yang bersifat abstrak itu dapat dideduksi sampai menjadi kongkrit, dalam bentuk sasaran (strategi) sebagai tujuan yang terukur. Konsep hasil bersifat relatif, yang bergantung pada pertanyaan, pada rantai mana dalam proses dan siklus pemerintahan, dimana hasil dapat didefinisikan.

Efektivitas dalam pelaksanaan RPI dapat didekati dengan memperhitungkan output dan outcome yang dicapai, disesuaikan dengan pencapaian target. Target yang diharapkan adalah 100% penelitian menghasilkan output dan 60% output yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh pengguna.

2. Efisiensi

Efisiensi adalah hubungan antara masukan dan keluaran, sebagai suatu ukuran untuk menentukan pencapaian manfaat tertentu dari penggunaan barang dan jasa yang dibeli dan digunakan oleh organisasi perangkat pemerintahan untuk mencapai tujuan organisasi perangkat pemerintahan (Permendagri No. 13 Tahun 2006). Dari aspek teknis, Efisiensi Teknis merupakan konsep yang menyatakan hubungan atau rasio input-output pada suatu proses produksi, baik dalam satuan fisik, nilai, atau kombinasi keduanya, tanpa secara khusus memperlihatkan keuntungan maksimal, dalam hal ini yang terpenting adalah memaksimalkan rata-rata input tertentu. Jika tujuan tersebut tercapai, maka secara teknis proses produksi telah efisien. Efisiensi dalam suatu usaha adalah perbandingan antara jumlah sumber daya yang digunakan atau dikorbankan untuk mencapai hasil tertentu.

Suatu kegiatan yang efisien namun tidak efektif berarti proses pemanfaatan sumberdaya atau input sudah baik tetapi sasaran yang ditargetkan tidak mampu dicapai. Sebaliknya, kegiatan yang efektif namun tidak efisien menandakan adanya pencapaian sasaran melalui penggunaan sumberdaya yang berlebihan, atau lebih lazim dikenal sebagai ekonomi biaya tinggi. Masih ada satu kategori pelaksanaan kegiatan lagi yaitu tidak efisien dan tidak efektif, yang menunjukkan adanya pemborosan sumber daya tanpa mencapai sasaran, atau hanya menghambur-hamburkan sumber daya.

Efisiensi memiliki sifat kuantitatif dan dapat diukur

Page 4: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 4

5. Ketepatan

Aspek ketepatan berkaitan dengan penentuan nilai atas hasil suatu penelitian. Aspek ini penting untuk diketahui karena berkaitan dengan nilai manfaat dari suatu kegiatan penelitian, dan seringkali menjadi dasar untuk menentukan perlunya dilakukan pengulangan terhadap penelitian terdahulu, atau masih pentingnya penelitian lanjutan.

Indikator-indikator dan item-item pertanyaan untuk mengukur nilai indikator-indikator tersebut selanjutnya tercantum dalam Tabel 2.

Marilah kita merenungkan dan memikirkan kembali, apakah penelitian-penelitian yang telah kita lakukan memberikan hasil yang baik. Apabila ada hal yang kurang baik dan terlihat menyimpang, sudah barang tentu kita bisa menyempatkan diri untuk segera bersama memperbaikinya. Bravo BPK Manokwari….!!!

Sumber Bacaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tanggal

15 Mei 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dwiyanto, A. (2006). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tangkilisan, H. N. (2005). Manajemen Publik. Jakarta: PT

Gramedia Widya Sarana Indonesia.

Tabel 2. Indikator dan Item Pertanyaan dalam Evaluasi Pelaksanaan RPI

No. Indikator Item Pertanyaan

1 Efektivitas (Apakah hasil yang ditetapkan dapat tercapai?)

Apakah jumlah penelitian yang dilaksanakan telah sesuai dengan target? Apakah setiap kegiatan menghasilkan IPTEK? Berapa jumlah IPTEK yang dihasilkan? Apakah waktu pelaksanaan penelitian sesuai dengan target waktu dalam RPI?

2 Efisiensi (Seberapa banyak usaha yang telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang ditetap-kan?)

Bagaimanakah ketersediaan dana untuk pelaksanaan penelitian? Apakah SDM yang ada telah sesuai dengan kompentensi yang dibutuhan? Berapa jumlah koordinasi dan konsultasi kepa-da koordinator RPI yang dilaksanakan dalam setiap judul penelitian? Berapa kali melakukan perubahan judul dalam pelaksanaan penelitian?

3 Kecukupan (Apakah hasilnya telah me-menuhi kebutuhan stakeholder yang ada?)

Apakah output yang dihasilkan telah digunakan oleh user? Beberapa jumlah IPTEK yang telah dimanfaat-kan? Apakah ada permintaan penelitian dengan topik lain selain yang telah ditentukan RPI?

4 Responsivitas (Apakah RPI telah menjawab permasalahan kehu-tanan yang ada (rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan))

Berapa jumlah iptek yang dihasilkan setiap judul penelitian? Apakah iptek yang dihasilkan telah menjawab permasalahan yang ada? Apakah IPTEK yang dihasilkan bisa diaplikasi-kan? Berapa banyak frekuensi pemanfaatan iptek yang dihasilkan?

5 Ketepatan (Apakah hasil yang telah di-capai sampai saat ini mempunyai nilai?)

Apakah ada pengulangan penelitian terdahulu yang dilakukan dalam RPI? Apakah desiminasi hasil penelitian yang dil-aksanakan tepat sasaran atau tidak? Apakah penelitian yang dilakukan sudah menghasilkan benefit tertentu?

HASIL HUTAN SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN ( Freddy Jontara Hutapea )

Energi Terbarukan Indonesia, sama halnya dengan negara-negara lainnya

di dunia, sedang berupaya mencari sumber energi alternatif yang bersifat ramah lingkungan dan mampu menggantikan bahan bakar fosil. Peningkatan kebutuhan energi, menipisnya cadangan minyak bumi sebagai sumber energi utama Indonesia dan isu lingkungan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil penghasil emisi menjadi landasan utama pencarian energi alternatif ini.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang menargetkan pengurangan konsumsi energi nasional dari minyak bumi nasional menjadi kurang dari 20%. Selain itu kebijakan ini juga menargetkan peningkatan konsumsi gas bumi menjadi lebih dari 30%, konsumsi batubara lebih dari 33%, konsumsi biofuel lebih dari 5%, konsumsi energi baru atau energi terbarukan (biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin) lebih dari 5% dan batubara yang dicairkan (liquified coal) lebih dari 2%. Perpres No. 5 Tahun 2006 mendefinisikan energi terbarukan sebagai sumber energi yang dihasilkan, secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Sumber energi terbarukan ini dapat tersedia dalam bentuk panas bumi, bahan bakar nab-ati (biofuel), aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa,

biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut. Untuk mendukung kebijakan ini, sesungguhnya sektor kehutanan Indonesia juga memiliki potensi pengembangan hasil hutan untuk menjadi bahan baku energi terbarukan.

Energi terbarukan yang berasal dari hutan Hasil hutan dikategorikan sebagai hasil hutan kayu

dan hasil hutan non kayu. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan yang berupa kayu seperti jati, sengon, mahoni, dan lain sebagainya, sedangkan hasil hutan bukan kayu menurut Permenhut No. 35 Tahun 2007 adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Selama ini, hasil hutan ini (kayu dan non kayu) telah banyak dikem-bangkan untuk berbagai keperluan seperti bahan baku pulp dan kertas, bahan bangunan, bahan baku obat-obatan, furniture, dan lain sebagainya (Gambar 1).

Gambar 1. Hasil hutan kayu sebagai bahan bangunan (Sumber: www. Google. com).

Page 5: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 5

Penelitian di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa hasil hutan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku energi terbarukan. Beragam produk hasil hutan yang dapat dihasilkan dan dimanfaatkan secara luas mencakup sumber energi berupa arang, biofuel dan biodiesel.

Arang Arang merupakan produk yang dihasilkan dari proses

karbonisasi bahan yang mengandung karbon, terutama kayu ( (Pari, Mahfuddin, & Jajuli, 2012). Pembuatan arang dapat dilakukan dengan metode tradisional melalui metode lubang tanah (earth pit-kiln), metode tungku drum (drum kiln), dan tungku batu bata (flat kiln) (Iskandar & Santosa, 2005). Proses pembuatan arang terdiri dari penyalaan, pen-geringan dan peningkatan suhu sampai 170°C, dekomposisi unsur kimia sampai suhu 270°C, karbonisasi (suhu akhir mencapai 600-700°C), dan dilanjutkan dengan proses pend-inginan setelah kayu menjadi arang (Barly & Krisdianto, 2012).

Berlimpahnya bahan baku arang di Indonesia seperti limbah pengelolaan hutan dan perkebunan membawa dam-pak yang positif bagi perkembangan usaha pembuatan arang di Indonesia (Gambar 2). Indonesia termasuk negara pengekspor arang yang penting di dunia dan merupakan nomor satu dari lima negara pengekspor arang terbesar di dunia dimana pada tahun 2010 Indonesia mengekspor 29.867.000 kg arang dan 61,73% dari antaranya berasal dari arang kayu (Pari, Mahfuddin, & Jajuli, 2012).

Gambar 2. Produk arang yang dihasilkan dari kayu (sumber: www.google.com).

Biofuel Biofuel merupakan bahan bakar masa depan ber-

bentuk cair yang berasal dari sumber daya terbarukan. Bio-etanol dan biodiesel merupakan dua jenis bahan bakar al-ternatif yang terus menerus dikaji dan dikembangkan.

Bioetanol

Bioetanol merupakan golongan alkohol yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula, pati, atau selu-losa dari bio massa (Demirbas, 2005). Hasil hutan yang mengandung pati seperti sagu (Metroxylon sagu) dan yang mengandung gula seperti nipah (Nypa fruticans) sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku bioeta-nol. Melimpahnya bahan baku di alam menjadi alasan lain pengembangan tumbuhan ini sebagai bahan baku bioeta-nol. Luas areal sagu di Papua tercatat mencapai 1,2 juta ha (Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007). Sementara nipah, meskipun belum ada data pasti menyangkut luasan hutannya, diperkirakan menumbuhi luasan 700.000 ha di seluruh Indonesia (Kehati (2009) dalam (Subiandono, Heryanto, & Karlina, 2011))

Penggunaan bioetanol sebagai sumber energi mem-

iliki banyak keuntungan. Selain bahan bakunya yang mudah diperbaharui, bioetanol menyatakan bahwa bioetanol ini adalah bahan bakar yang ramah lingkungan dan menghasilkan gas emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan bensin dan sejenisnya, dapat mencapai sam-pai 85% lebih rendah (Idral, Salim, & Mardiah, 2012). Keunggulan-keunggulan ini sangat sesuai dengan upaya yang dilakukan oleh berbagai negara untuk menurunkan emisi karbon akibat bahan bakar fosil yang selama ini men-jadi sumber energi utama dunia.

Gambar 3. Sagu (kiri, sumber: www. Google.com) dan nipah (kanan, Foto: F. J. Hutapea) sebagai sumber bioetanol.

Biodisel Pengembangan dan produksi biodiesel di berbagai

negara di dunia juga mengalami peningkatan seperti halnya pemanfaatan bioethanol. Produksi biodiesel dunia pada tahun 2006 tercatat telah mengalami peningkatan sebesar 54% dibandingkan 2005, dimana Jerman menjadi produsen biodiesel terbesar di dunia (Balat & Oz, 2008). Biodiesel dihasilkan dengan mengkonversi minyak dan lemak menjadi mono-alkyl-ester (biodiesel) melalui proses trans-esterifikasi (National Renewable Energy Laboratory, 2009). Saat ini hasil hutan yang telah dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel adalah biji nyamplung (Calophyllum inophyl-lum), kesambi (Schleichera oleosa), kepuh (Sterculia foeti-da), bintaro (Cerbera manghas), dan ki pahang laut (Pongamia pahang).

Materi biodiesel memiliki beberapa kelebihan sehing-ga layak untuk digunakan sebagai bahan bakar pengganti diesel saat ini. Bahan baku biodiesel tergolong mudah diperoleh, biodiesel yang dihasilkan juga memiliki kesamaan fisik dengan biodiesel konvensional, serta keunggulan teknis lainnya dibandingkan bahan bakar diesel saat ini (Balat & Balat, 2008). Pemakaian biodiesel dapat memperpanjang masa pakai mesin dan mengurangi inten-sitas perawatan mesin, karena biodiesel memiliki kualitas pelumasan yang lebih baik daripada diesel. Pemakaian bio-disel jauh lebih aman pula karena bersifat terbaharui, ku-rang beracun, memiliki emisi yang rendah, dan memiliki titik nyala yang lebih tinggi daripada bahan bakar diesel biasa.

Gambar 4. Biji nyamplung sebagai bahan baku bioethanol (Sumber: www.google.com).

Page 6: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 6

Disamping kelebihan yang dimilikinya, pengembangan biodiesel sebagai bahan bakar juga memiliki tantangan yang sangat besar. Biaya produksi yang dikeluarkan untuk menghasilkan biodiesel lebih besar dibandingkan dengan biaya produksi diesel saat ini. Biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi 1 liter biodiesel diperkirakan dapat mencapai US$ 0,5 atau lebih tinggi US$ 0,15 daripada disel saat ini (Balat & Balat, 2008).

Penutup

Tulisan ini menekankan bahwa hutan memiliki kemam-puan untuk menyediakan berbagai keperluan dasar manu-sia, diantaranya penyediaan bahan bakar terbarukan seperti bioetanol, dan biodisel. Berbagai jenis tumbuhan hutan te-lah terbukti memiliki potensi sebagai penghasil bahan bakar ini dan selanjutnya sangat layak untuk dikembangkan se-bagai bahan baku energi terbarukan.

Daftar Pustaka

Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. (2007). Tana-man Sagu sebagai Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29(4): 3-4.

Balat, H., & Oz, C. (2008). Challenges and Opportunities for Bio-diesel Production in Turkey. Energy Exploration and Ex-ploitation, 26(5):327-346.

Balat, M., & Balat, H. (2008). A Critical Review of Biodiesel as A Vehicular Fuel. Energy Convention and Management, 49:2727-2741.

Barly, & Krisdianto. (2012). Petunjuk Teknis Pembuatan Arang - Untuk Memanfaatkan Limbah Kayu Karet Rakyat. Tech-nical Document No. 2, Kementerian Kehutanan in collab-oration with ISWA. Jakarta.

Demirbas, A. (2005). Bio Ethanol from Cellulosic Material: A Renew-able Motor Fuel from Biomass. Energy Sources, 27:327-337.

Idral, D. D., Salim, M., & Mardiah, E. (2012). Pembuatan Bioetanol dari Ampas Sagu dengan Proses Hidrolisis Asam dan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Jurnal Kimia Universitas Andalas, 1(1):34-39.

Iskandar, H., & Santosa, K. D. (2005). Cara Pembuatan Arang Kayu; Alternatif Pemanfaatan Limbah Kayu Oleh Masyarakat. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Menteri Kehutanan RI. (2007). Peraturan Menteri Kehutanan Re-publik Indonesia Nomor 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta.

National Renewable Energy Laboratory. (2009). Biodiesel, Handling and Use Guide. Denver, US: National Renewable Energy Laboratory.

Pari, G., Mahfuddin, & Jajuli. (2012). Teknologi Pembuatan Arang, Briket Arang dan Arang Aktif serta Pemanfaatannya. Ge-lar Teknologi Tepat Guna, Semarang 2 Oktober 2012.

Presiden RI. (2006). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Jakar-ta.

Subiandono, E., Heryanto, N. M., & Karlina, E. (2011). Potensi Nipah

(Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb.) sebagai Sumber Pan-

gan dari Hutan Mangrove. Buletin Plasma Nutfah, 17

(1):54-60.

TUMBUHAN LOKAL PAPUA PENGOBAT PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN

Oleh : Julanda Noya

Indonesia memiliki ratusan suku dengan keunikan buda-yanya masing-masing. Salah satu keunikan budaya suku-suku tersebut berkaitan dengan keragaman terhadap pem-anfatan tumbuhan (Asyari, 2004). Pemanfaatan tumbuhan tersebut dapat berupa pemanfaatan secara langsung dan secara tidak langsung. Salah satu bentuk pemanfaatan tumbuhan secara langsung adalah sebagai bahan obat-obatan tradisional. Kebutuhan obat-obatan masyarakat di Papua cenderung naik setiap tahunnya, sehingga kebutuhan anggaran kesehatan sebagai program prioritas cenderung ikut bertambah dan sudah pasti dibelanjakan keluar Papua (Capital Play). Kejadian ini berlangsung setiap tahun dan cenderung berkelanjutan, sehingga akan berdampak pada perekonomian Papua. Dengan makin besarnya kebutuhan masyarakat akan obat, baik produk dalam negeri maupun hasil impor, Papua perlu segera mengembangkan dan memanfaatkan berbagai tanaman hutan menjadi obat tradisional. Pemanfaatan obat tradisional yang didukung dengan kemajuan teknologi diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup rakyat Pa-pua ditingkatkan sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan masa depan cerah. Kondisi cuaca di Papua yang tidak tergantung oleh musim menyebabkan banyak masyarakat Papua yang terserang penyakit atau gangguan pada saluran pernafasan. Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Papua untuk mengobati penyakit tersebut.

Ada yang langsung berobat ke dokter, Puskesmas, Ru-mah Sakit dan ada yang mengobatinya dengan tanaman obat tradisional. Berkaitan dengan itu, 10 jenis tumbuhan obat yang secara tradisional biasa digunakan oleh masyara-kat Papua untuk mengobati penyakit dan gangguan saluran pernafasan didokumentasikan dalam tulisan ini.

1. Alstonia scholaris (Apocynaceae)

DOC : J. NOYA , 2013

Alstonia scholaris (Apocynaceae), yang dikenal secara lokal dengan nama Mongkur merupakan jenis pohon yang dapat mencapai tinggi 27 m. Pohon ini bergetah putih, dengan duduk daun terpusar, tepi daun rata, ujung meruncing, pangkal membundar, menghasilkan bunga yang terletak di ujung ranting dengan buah menyerupai kacang panjang. Untuk mengobati penyakit batuk, masyarakat memanfaatkan bagian kulit dan getahnya dengan cara direbus, kemudian air rebusannya diminum, selain itu kulit batang pohon dipotong berbentuk segi empat, dan getahnya langsung dapat dijilat mengobati penyakit asma.

Page 7: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 7

Cara lain untuk mengobati penyakit asma yaitu dengan mengikis batang tanaman hingga mengeluarkan getah tawer, menampungnya, merebusnya dengan segelas air hingga tersisa sepertiga gelas yang diminumkan setelah disaring terlebih dulu. Jenis Mongkur dikenal oleh Suku Meyakh di Manokwari, juga dikenal dengan nama Swe oleh Suku Maybrat (Sorong), Yaren oleh Suku Biak, Iga oleh Suku Mooi (Sorong), Jakaranohu oleh Suku Sougb (Manokwari). Jenis ini juga disebut dengan Sowe oleh Suku Wie-Khaya (Jayapura), Jagr oleh Suku Irarutu (Fak-Fak), Yade oleh Suku Tehit, Aibobor (Sorong), atau Mongkur juga oleh Suku Mos-kona, Merdey (Manokwari), Woniai atau Goniai oleh Suku Wondama (Manokwari), Mudiyani oleh Suku Moor (Nabire), Dom oleh Suku Maksam (Manokwari), Mayaran oleh Suku Raja Ampat, Samate (Sorong), Kombuano oleh Suku Inanwatan, Bedare (Sorong), Yaren oleh Suku Wame-sa, Room (Wandama), Waser oleh masyarakat Ambaidiru (Yapen Warpen), Yawa oleh masyarakat Ansus, (Yapen Bar-at) dan Yeren oleh Suku Biak di Opiaref (Biak Numfor). Di luar Papua jenis ini dikenal sebagai Pulai oleh Suku Buyan di Tamblingan, Rida di daerah Dompu, dan Lita di daerah Sumbawa.

2. Endospermum moluccanum (Euphorbiaceae)

DOC : J. NOYA , 2013

Endospermum moluccanum (Euphorbiaceae), atau yang dikenal secara lokal sebagai Haba adalah jenis pohon yang dapat mencapai tinggi 23 m. Pohon ini tidak bergetah, memiliki daun tunggal, dengan duduk daun melingkar, tepi daun rata, ujung meruncing, pangkal membundar, menghasilkan bunga malai, yang terletak di ketiak daun, dan menghasilkan buah batu yang berbentuk agak bulat.

Untuk pengobatan asma, masyarakat menggunakan 2-4 lembar daun yang telah dibersihkan, lalu direbus dalam air hingga mendidih. Air rebusan dibiarkan menghangat kemdian disaring airnya dan setelah itu tinggal diminum. Jenis Haba digunakan oleh Suku Maybrat di Renis (Sorong), juga dikenal sebagai Taraparo oleh Suku Wondama di Tan-dia (Wasior), Gworore oleh Suku Your, Napan (Nabire), Rama oleh Suku Moor di Kama (Nabire). Secara local jenis ini juga dikenal sebagai Sayen oleh Suku Tehit di Aibobor (Sorong Selatan), Rut ro oleh Suku Irarutu, Furnusu (Fak-Fak), Manggareu oleh Suku Biak di Rim (Biak), Sayem oleh Suku Ayamaru di Soroan (Sorong Selatan), Oobi oleh Suku Inanwatan di Bedare (Sorong) dan Korora di daerah Ansus (Yapen Barat).

3. Ficus benjamina (Moraceae)

Ficus benjamina (Moraceae), dikenal secara lokal sebagai jenis Udaf war merupakan jenis pohon yang dapat mencapai tinggi lebih dari 10 m dan menghasilkan getah putih. Pohon ini berdaun tunggal, dengan duduk daun berselang-seling, dan tepi daun rata, ujung daun meruncing dan membundar pada pangkalnya.

DOC : J. NOYA , 2013

Jenis ini menghasilkan bunga semu, yang terletak di ketiak daun, serta menghasilkan buah semu yang ber-bentuk agak bulat.

Untuk pengobatan asma, masyarakat memanfaatkan irisan daun yang direbus, dan diminum sampai 3 kali berturut-turut. Jenis Udaf war digunakan oleh Suku Irarutu (Furnusu Fak-Fak), Suku Yihin (Suku Ayamaru, Soroan-Sorong Selatan), dikenal juga sebagai Desbas oleh Suku Wie-Khaya (Arso Jayapura), atau sebagai Sasium bepioper oleh Suku Biak (Rim Numfor), sebagai Moj oleh Suku Meyakh (Mojuwteb, Manokwari), dan sebagai Sabisa oleh Suku Wamesa (Room Wondama).

4. Intsia bijuga (Fabaceae)

DOC : J. NOYA , 2013

Intsia bijuga (Fabaceae), yang sering dikenal sebagai kayu besi atau merbau merupakan jenis pohon dengan tinggi dapat mencapai 35 m dan tidak bergetah. Jenis ini berdaun majemuk menyirip genap, dengan duduk daun berselang-seling, tepi daun rata, ujung meruncing dan pangkal membundar. Jenis ini menghasilkan bunga malai, yang terletak di ujung ranting, dan menghasilkan buah po-long. Masyarakat menggunakan bagian tanaman untuk pengobatan penyakit dengan cara yaitu asma, batuk, beringus, dengan menggunakan kulit kayu, getah dan batang dengan cara direbus kulit kayu air rebusan diminum. Di Papua, jenis ini dikenal dengan berbagai nama sesuai suku-suku yang memanfaatkannya. Kayu besi dikenal sebagai Wartei oleh Suku Irarutu (Furnusu Fak-Fak), Kubutu oleh Suku Mooi (Suprau Sorong), Ion oleh Suku Wondama (Tandia Wasior), Seka di Anggi dan Suku Sougb (Manokwari), serta Noor oleh Suku Wamesa (Room Wonda-ma).

5. Flagellaria indica (Flagellariaceae)

DOC : J. NOYA , 2013

Page 8: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 8

Flagellaria indica (Flagellariaceae) merupakan jenis liana dengan panjang dapat mencapai 5 m dan tidak bergetah. Jenis ini berdaun tunggal, dengan duduk daun berselang-seling, tepi daun rata, ujung dan pangkal meruncing. Jenis ini menghasilkan bunga malai yang terletak di ujung ranting. Untuk mengobati penyakit batuk dan beringus terutama pada bayi, masyarakat menggunakan 3 lembar daun kayu besi yang ditumbuk hingga halus, lalu diperas sarinya dan diminumkan pada bayi dan anak. Jenis ini digunakan oleh beberapa suku di Papua dan dikenal dengan nama lokalnya masing-masing, yaitu Meskebga (Suku Meyak Manokwari), Aur (Suku Biak, Opiaref Biak Timur dan Duai Biak Numfor), Biyur meng (Etnik Moile Manokwari), Mofun mesgepga (Suku Moskona, Merdey Manokwari), Wararuri (Suku Wondama, Tandia Manokwarti).

6. Merremia paltata (Convolvulaceae)

Merremia paltata (Convolvulaceae) merupakan jenis liana dengan panjang 20 m dan menghasilkan getah putih. Jenis ini berdaun tunggal dengan duduk daun melingkar, tepi daun bergelombang, ujung meruncing dan bagian pangkal menjantung. Jenis ini menghasilkan bunga berbentuk malai, yang terletak di ketiak daun, dan menghasilkan buah kotak dengan bentuk buah agak bulat. Untuk pengobatan batuk, masyarakat memotong bagian batangnya dan langsung meminum cairan yang keluar dari potongan itu. Cairan dari potongan batang itu juga dapat digunakan untuk pengobatan penyakit paru-paru, juga ditambah seduhan air panas dari rendaman potongan tali-tali/batang-batang menjalar yang telah dijemur sampai kering, yang diminumkan. Jenis ini dikenal dengan beragam nama lokal di Papua, yaitu Nosumzum (Suku Meyakh Manokwari), Kafu (Suku Maybrat, Renis Sorong), Mangkabraren (Suku Biak, Pulau Biak), Dilmit (Suku Tehit, Aibobor Sorong Selatan), Waibiria (Suku Wondama, Tandia Manokwari), Piriau wawiwiria (Suku Wodama, Kaibi Manokwari), Gwanerie (Suku Your, Napan Nabire), Kafu (Suku Maibrat, Sembaro Sorong), Wajatip (Ambaidiru, Yapen Waropen), Aekawa korio (Suku Inanwatan, Bedare Sorong), Wobidan (Ansus, Yapen Barat).

7. Merremia sp. (Convolvulaceae)

Merremia sp. (Convolvulaceae) merupakan jenis liana yang dapat mencapai panjang 30 m dan bergetah putih. Jenis ini berdaun tunggal, dengan duduk daun berselang-seling, tepi daun bergelombang, bagian ujung meruncing dan menjantung pada bagian pangkal. Jenis ini menghasilkan bunga malai yang terletak di ketiak daun, dan

menghasilkan buah kotak dengan bentuk agak lonjong. Untuk pengobatan penyakit batuk, masyarakat menggunakan getah yang dikeluarkan dari bagian batang yang dipotong. Getah ini diminum sampai habis, hingga batang tidak mengeluarkan getah

lagi. Jenis ini dikenal secara lokal dengan nama Ahasewe dan digunakan oleh Suku Maybrat

di Kampung Renis Sorong.

8. Fagraea racemosa (Loganiaceae)

Fagraea racemosa (Loganiaceae) merupakan jenis perdu dengan tinggi dapat mencapai 4 m dan tidak bergetah. Jenis ini berdaun tunggal dengan duduk daun terpusar, tepi daun rata, ujung meruncing dan pangkal membundar. Jenis ini menghasilkan bunga malai, yang terletak di ujung ranting, dan menghasilkan buah batu yang berbentuk lon-jong. Untuk pengobatan penyakit asmsa atau sesak nafas, masyarakat menggunakan bagian akar yang dikikis secukupnya, lalu ditambahkan ½ gelas air, kemudian campuran itu diminum. Jenis ini secara lokal di Papua dimanfaatkan dan dikenal sebagai Sakin (Suku Maybrat, Renis Sorong), Betay mipui (Etnik Moile,Anggra & Simerbei Manokwari), Miev (Suku Sougb, Sururey Manokwari), Ta-takol (Suku Kanum, Yanggandur Merauke)

9. Morinda citrifolia (Rubiaceae)

Morinda citrifolia (Rubiaceae) dikenal secara umum sebagai mengkudu, merupakan jenis perdu yang dapat mencapai tinggi 5 m dan tidak bergetah. Jenis ini menghasilkan daun tung-gal dengan duduk daun berhadapan bersilangan, tepi daun rata, ujung meruncing dan bagian pangkal membundar. Mengkudu menghasilkan bunga bongkol yang berwarna putih dan terletak di ketiak daun. Untuk pengobatan batuk dan paru-paru basah, masyarakat menggunakan daun muda yang diambil secukupnya kemudian dibungkus dengan daun lain yang lebih tua dan lebar, dipanaskan di atas api, lalu ditempelkan pada bagian perut atau punggung. Selain itu buahnya yang telah makan dapat langsung dimakan, bagian akar dan batang yang telah dibersihkan bisa direbus untuk diminum air rebusannya. Jenis ini secara tradisional digunakan oleh beberapa suku di Papua dan dikenal sebagai Fayu (Suku Maybrat, Renis Sorong), Andarek (Suku Biak, Nuni Pantai Utara), Andaer (Suku Biak, Opiaref Biak Numfor), Nenggare (Suku Your, Napan Nabire), Andarek (Suku Biak, Pulau Biak), Kandarek (Suku Biak, Rim Biak), Duru (Suku Wie-Khaya Jayapura), Payu (Suku Maibrat, Sembaro Sorong), Endrek (Suku Wondama, Kaibi Manokwari), Nin (Suku Tehit, Aibobor Sorong Selatan), Mimo (Suku Moor, Kama Nabire), Ninggua (Suku Wondama, Tandia Manokwari), Nin (Suku Ayamaru, Soroan Sorong), Mengkudu (Pulau Mambor, Napan Nabire), Wardaru (Suku Irarutu, Furnusu Fak-Fak), Gerego (Suku Inanwatan, Bedare Sorong), Nunung weraung (Ansus, Yapen Barat).

DOC : J. NOYA ,

DOC : J. NOYA , 2013

DOC : J. NOYA , 2013

DOC : J. NOYA , 2013

Page 9: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 9

10. Paspalum conjugatum (Poaceae)

Paspalum conjugatum (Poaceae) merupakan jenis terna dengan tinggi dapat mencapai 30 cm dan tidak berge-tah. Jenis ini berdaun tunggal, dengan duduk daun melingkar, tepi

daun rata, ujung meruncing dan pangkal membundar. Jenis ini bunga malai yang terletak di ujung ranting dan menghasilkan buah agak bulat berduri. Untuk mengobati penyakit saluran pernafasan, masyarakat mengunakan 50 lembar daun yang ditumbuk sampai halus lalu ditempelkan pada bagian dada atau perut selama 1 jam. Sementara untuk luka terbuka, kunyahan daun bisa langsung ditempelkan pada bagian luka. Jenis ini digunakan secara lokal dan dikenal oleh beberapa suku di Papua sebagai Kabesfetiah (Suku Maybrat, Renis Sorong), Abris (Etnik Moile, Anggra & Simerbei Manokwari), Klaulis (Suku Tehit, Aibobor Sorong Selatan), Meskeina (Suku Moskona,

Merdey Manokwari), Abri (Suku Biak, Pulau Biak), Sapikam (Suku Wie-Khaya, Arso Jayapura), Daun spilis (Suku Wondama, Tandia Wasior), Abresa (Suku Hatam, Umcen Manokwari), Insumai (Ambaidiru, Yapen Waropen).

11. Myristica fatua (Myristicaceae)

Myristica fatua (Myristicaceae) merupakan jenis pohon yang dapat mencapai tinggi 30 m dan menghasilkan getah merah. Jenis ini berdaun tunggal denganduduk daun berselang-seling, tepi daun rata, ujung meruncing dan pangkal membundar. Jenis ini menghasilkan bunga yang terletak di ketiak daun dan ranting yang tid-ak berdaun, serta menghasilkan buah kapsul dengan bentuk buah bulat sampai agak lonjong. Untuk pengobatan sesak nafas, masyarakat menggunakan daun, batang dan getah yang dikunyah, lalu air kunyahannya ditelan. Jenis ini secara lokal dikenal dengan nama Fon dan digunakan oleh Suku Sougb, Manokwari.

DOC : J. NOYA , 2013

DOC : J. NOYA , 2013

Wilayah hutan, terutama hutan hujan tropis, diketahui memiliki diversitas yang sangat tinggi dan tingkat kompleksitas yang tinggi dari struktur tegakannya. Beberapa dekade terakhir ini hutan hujan tropis menjadi sorotan utama masyarakat dunia karena dipercaya sebagai ekosistem yang kaya dengan kandungan karbon. FAO (2001) dalam rilis publikasinya mengenai hutan tropis menyatakanbahwa 47% hutan di dunia merupakan hutan hujan tropis yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Akan tetapi didalam laporan yang sama dinyatakan pula adanya 16.1 juta hektar hutan tropis yang hilang setiap tahunnya selama dekade 1990an, 15,2 juta hektar diantaranya adalah hutan tropis. Penyebab utama kerusakan ini adalah karena kegiatan deforestasi atau pengundulan hutan dan hal lain adalah hutan yang terdegradasi atau turunnya kualitas hutan. Di Indonesia sendiri, dalam lima tahun terakhir ini biomassa hutan telah berkurang sebesar 1.7 ton/hektar/tahun sebagai hasil dari aktivitas penebangan.

Biomassa yang tersimpan di dalam hutan hujan tropis secara langsung akan terpengaruh oleh aktivitas deforestasi dan degradasi hutan yang dilakukan manusia. Oleh karenanya, estimasi stok karbon merupakan langkah yang sangat krusial untuk melihat seberapa besar efek aktivitas manusia terhadap hutan (Gibbs et al., 2007). Dalam mengestimasi stok karbon, akurasi menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hasil estimasi yang akurat akan banyak berguna untuk berbagai aplikasi mulai dari rencana tebangan sampai dengan siklus karbon global. Hal ini diperkuat pula dengan ketentuan dari United Nations Convention Framework on Climate Change (UNFCCC) kepada semua negara-negara yang menandatangani protocol Kyoto 1997, yang meminta setiap negara

memberikan laporan mengenai keadaan hutannya. Tentu saja laporan ini harus memperlihatkan hasil estimasi karbon stok yang cukup terpercaya secara temporal dan spasial (UNFCCC, 2008)

Gibbs et al. (2007) telah melakukan review terhadap berbagai metoda yang ada saat ini dalam mengestimasi hutan khususnya hutan yang berada di negara-negara berkembang. Tinjauan itu menyatakan bahwa kombinasi dari pengukuran data lapang dengan penginderaan jauh merupakan estimasi karbon stok yang paling dapat dipercaya. Dengan metode ini, hasil estimasi dapat

diperluas (scale-up) sebagai karbon stok nasional dengan memanfaatkan persamaan alometrik.

Light Detection And Ranging (LiDAR) adalah salah satu teknik penginderaan jauh yang menggunakan teknologi terbaru dari sekian banyak sistem penginderaan jauh yang menawarkan pengukuran yang akurat dan potensial untuk hutan tropis (Patenaude et al., 2005). Pemetaan dengan LiDAR dapat dilakukan dengan mengunakan dua macam platform, yakni: pesawat udara (airborne) dan satelit (spaceborne). LiDAR dengan mengunakan pesawat udara memiliki kapasitas untuk biomassa dan volume hutan pada berbagai tipe ekosistem.

POTENSI LiDAR (Light Detection And Ranging) MENGESTIMASI BIOMASSA HUTAN Oleh : Jarot Pandu Panji Asmoro

Gambar 1 Tipikal survey menggunakan LiDAR (USDA, 2006)

Page 10: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 10

Dibandingkan dengan sistem penginderaan jauh konvensional (optical based), LiDAR memiliki karakteristik khusus seperti intensitas sampling yang tinggi, mengukur parameter tinggi (tinggi pohon) secara langsung, dan geo-lokasi yang sangat presisi (Popescu, 2007). Song (2007) menyatakan salah satu keunikan dari LiDAR adalah kemampuannya untuk menampilkan hasil dari struktur vegetasi hutan secara tiga dimensional (3D). Berdasarkan kemampuan 3D ini maka karakteristik seperti tinggi kanopi, volume batang, basal area dan biomassa diatas tanah akan mampu diestimasi secara akurat (Dubayah & Drake, 2000).

Beberapa hasil studi menunjukkan adanya hasil yang memuaskan dari penggunaan LiDAR dalam mengestimasi biomassa hutan. Salah satu contoh tampak pada penelitian Popescu (2007) yang mengestimasi biomassa diatas tanah pohon pinus, yang mampu menghasilkan akurasi hingga 88% (R2=0.88). Penelitian lainnya yang dilakukan Ke & Quackenbush (2011) juga mampu menghasilkan akurasi 87% saat mengklasifikasi hutan dengan metode segmenta-si.

Melihat semua kemampuan yang dimiliki LiDAR guna mengestimasi biomassa hutan, maka peluang teknologi ini

untuk mengestimasi biomassa hutan dalam skala yang luas (national scale) sangatlah memungkinkan. Penggabungan metode ini dengan data hasil pengukuran lapangan akan mampu meningkatkan akurasi hasil estimasi. Tentu saja karakteristik hutan tropis yang memiliki tajuk yang rapat dan berlapis (multi-layer) menjadi tantangan yang menarik untuk dicari pemecahannya dalam penggunaaan teknologi LiDAR ini dimana laser tidak mampu menembus objek sep-erti kanopi.

Daftar Pustaka

Dubayah, R. O., & Drake, J. B. (2000). Lidar remote sensing for forestry. Journal of Forestry, 98(6), 44-46.

FAO. (2001). Global Forest Resources Assessment 2000 Main Report: FAO.

Gibbs, H. K., Brown, S., Niles, J. O., & Foley, J. A. (2007). Monitoring and estimating tropical forest carbon stocks: making REDD a reality. Environmental Re-search Letters, 2(4). doi: Artn 045023 Doi 10.1088/1748-9326/2/4/045023

Ke, Y., & Quackenbush, L. J. (2011). A review of methods for automatic individual tree-crown detection and delineation from passive remote sensing. Interna-tional Journal of Remote Sensing, 32(17), 4725-4747. doi: 10.1080/01431161.2010.494184

Patenaude, G., Milne, R., & Dawson, T. P. (2005). Synthesis of remote sensing approaches for forest carbon estimation: reporting to the Kyoto Protocol. Envi-ronmental Science & Policy, 8(2), 161-178. doi: DOI 10.1016/j.envsci.2004.12.010

Popescu, S. C. (2007). Estimating biomass of individual pine trees using airborne lidar. Biomass & Bioenergy, 31(9), 646-655. doi: DOI 10.1016/j.biombioe.2007.06.022

Song, C. (2007). Estimating tree crown size with spatial in-formation of high resolution optical remotely sensed imagery. International Journal of Remote Sensing, 28(15), 3305-3322. doi: 10.1080/01431160600993413

UNFCCC. (2008). Report of the Conference of the

Parties on its thirteenth session, held in

Bali from 3 to 15 December 2007.

Addendum, Part 2. Document FCCC/

CP/2007/6/Add.1. Bonn, Germany UNFCCC.

Gambar 2 Hasil tiga dimensional (3D) Digital Terrain Model (DTM) Dan Canopy Height Model (CHM)

Gambar 3. Peta Biomassa hutan yang dihasilkan dari LiDAR

Page 11: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 11

Gambar 1. Jamur tiram di alam (kiri), hasil budidaya (tengah) dan di pasar tradisional (kanan)

Di alam, seperti di hutan Papua, jamur tiram bisa dijumpai hampir sepanjang tahun. Jamur ini dapat ditemukan di permukaan batang pohon yang sudah melapuk atau pokok batang pohon yang sudah ditebang karena jamur tiram termasuk jamur kayu.

Manfaat Jamur Tiram

Jamur tiram dapat mengubah nilai dari limbah menjadi makanan yang lezat dan bergizi tinggi, melebihi sumber bahan makanan dari tanaman bahkan binatang sekalipun. Di negara berkembang dimana protein hewani sangat mahal dan tidak terjangkau oleh orang kebanyakan, jamur tiram yang kaya protein dan lezat ini seringkali dimanfaatkan sebagai makanan alternatif selain kedelai (Die, 2014). Khasiat jamur tiram untuk kesehatan adalah untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat pengeringan luka pada permukaan tubuh, mencegah penyakit diabetes mellitus, penyempitan pembuluh darah, menurunkan kolesterol darah, menambah vitalitas dan daya tahan tubuh, serta mencegah penyakit tumor atau kanker, kelenjar gondok, influenza, sekaligus memperlancar buang air besar.

Hutan Papua memiliki banyak keanekaragaman hayati seperti tumbuhan, hewan, fungi dan mikroorganisme yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia. Namun, belum semua dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Salah satu yang masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah dari kelompok fungi (jamur). Hutan Papua menyimpan berbagai macam jenis jamur, baik yang dapat dimakan (edible) maupun yang beracun. Salah satu jamur yang dapat dimakan adalah jamur tiram. Masyarakat Papua biasa menyebut jamur tiram dengan sebutan “jamur”, mereka memperoleh jamur tiram tersebut dengan mencari langsung dari hutan.

Karakteristik Jamur Tiram

Jamur Tiram atau Oyster Mushroom termasuk saprofit yaitu dapat tumbuh pada bahan organik yang mati. Jamur tiram memiliki tubuh buah dengan tangkai yang menyamping (bahasa latin : Pleurotus) dan bentuknya seperti tiram (Ostreatus) sehingga jamur tiram memiliki nama binomial Pleurotus ostreatus. Bagian tudung dari jamur tersebut berwarna putih, abu-abu, cokelat, dengan permukaan yang agak licin, diameter 5-20 cm. Jamur tiram memiliki spora berbentuk batang berukuran 8-11 x 3-4 µm serta miselia berwarna putih yang bisa tumbuh dengan cepat (Djaridjah, Nunung, & Siregar, 2001).

MENGAPA HARUS JAMUR TIRAM ??

Oleh : Lisna Khayati

Dari hasil penelitian, diketahui perbandingan kandungan gizi jamur dengan makanan lain seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi (%) Jamur dengan makanan Lain (Sumarmi, 2006)

Sebagai tambahan, kalori yang dikandung jamur adalah 100 kj/100 gram dengan 72% di antaranya adalah lemak tak jenuh. Jamur juga sangat kaya akan vitamin, diantaranya B1, B2, Niasin, dan Biotin. Sedangkan untuk mineral, jamur mengandung K, P, Fe, Ca, Na, Mg, Mn, Zn, dan Cu. Bagi para pelaku diet mengkonsumsi jamur sangatlah disarankan karena kandungan seratnya mencapai 7,4 % 24,6 %.

Masalah dan Solusi

Jamur tiram sendiri masih kurang populer di Papua, jamur tiram hanya dijual dalam keadaan segar, tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan nilai jualnya lebih rendah dibandingkan jika menjual jamur tiram yang telah diolah sebelumnya. Di luar Papua, jamur tiram telah diolah menjadi beragam makanan yang lezat, seperti sate jamur tiram, roullet, nugget, bakso, keripik jamur, jamur krispi, dan lain-lain. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan jamur tiram ini adalah minimnya pengetahuan masyarakat tentang kandungan gizi, cara budidaya serta pengolahan jamur tiram. Solusi dari permasalahan tersebut adalah peran pemerintah sangat penting untuk memberikan penyuluhan tentang manfaat jamur tiram, pelatihan cara budidaya, serta pelatihan cara pengolahan jamur tiram menjadi makanan yang lezat dan bergizi.

Jamur tiram merupakan sumber daya hayati yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan makanan alternatif. Jamur tiram dapat diolah menjadi makanan yang lezat seperti nugget, bakso, jamur krispi, keripik jamur, roullet, sate jamur , sup dan lain-lain.

Sumber :

Die, N. (2014). Kandungan Gizi Jamur Tiram Putih. Dipetik Agustus 12, 2014, dari http://kandungangizijamurtiramputih.blogspot.com

Djaridjah, Nunung, M., & Siregar, A. (2001). Budidaya Jamur Tiram. Yogyakarta: Kanisius.

Sumarmi. (2006). Botani dan tinjauan gizi jamur tiram putih. Jurnal Inovasi Pertanian, 4(2):124-130.

Page 12: Pengantar RedaksiTopik · tang energi, jamur, mikroba, kegunaan kayu Diospyros pilosanthera, tumbuhan berkhasiat untuk penyakit saluran perbafasan sampai dengan info cara baru perhi-tungan

ISSN 2355-7966

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 12

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversity di dunia. Kondisi keanekaragaman hayati yang tinggi ini mencakup flora dan juga fauna, yang penyebarannya dapat mencapai wilayah sangat luas, disamping ada pula yang bersifat endemik, yaitu jenis yang dapat tumbuh di suatu tempat. Hal yang serupa terjadi di wilayah hutan Papua, yang memiliki banyak flora dan fauna endemik, namun banyak diantaranya hampir punah.

Indonesia diperkirakan telah kehilangan lebih dari 72% potensi hutan alam, yang berarti kehilangan rata-rata 3,4 juta hektar setiap tahunnya (World Research Institute, 1992). Sementara itu, data resmi pemerintah menyebutkan dari luas kawasan hutan 144 juta hektar pada tahun 1950-an telah menyusut drastis menjadi tinggal 92,4 juta hektar pada akhir tahun dua ribuan. Faktor utama degradasi ini adalah adanya konversi hutan alam menjadi fungsi lain. Eksploitasi tanaman hutan yang memiliki potensi sebagai obat juga turut andil dalam hilangnya suatu spesies tanaman. Khususnya jika bagian akar tanamannya yang digunakan sebagai obat, itu artinya tanaman tersebut akan mati, jika dilakukan terus menerus besar kemungkinan spesies tersebut akan habis dan punah.

Seiring dengan makin banyaknya penyakit-penyakit baru yang bermunculan, mulai dari penyakit infeksi, kanker, dan beberapa penyakit berbahaya lainnya, pencarian sumber senyawa aktif terus-menerus dilakukan. Senyawa bioaktif dapat diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya dari tumbuhan, hewan, mikroba dan organisme laut (Prihatiningtias, 2006). Salah satu sumber senyawa bioaktif yang berasal dari mikroba adalah mikroba endofit. Mikroba endofit merupakan mikroorganisme yang tumbuh dalam jaringan tumbuhan tanpa mengakibatkan efek negatif pada tanaman inangnya. Mikroba endofit dapat diisolasi dari jaringan akar, batang dan daun, dan yang paling umum ditemukan adalah dari jenis fungi (Strobel & Daisy, 2003)

Papua merupakan wilayah yang memiliki area hutan hujan tropis yang luas. Hutan hujan tropis sendiri dikenal merupakan sumber tumbuh-tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif yang potensial (Strobel & Daisy, 2003). Beberapa mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa - senyawa bioaktif sebagai senyawa metabolit sekunder yang memiliki daya antimikroba, antimalaria, antikanker dan sebagainya. Mikroba endofit selain memiliki peranan penting dalam dunia pengobatan, juga memiliki peranan penting dalam dunia industri dan pertanian. Mikroba endofit dari jaringan tumbuhan yang tumbuh di hutan hujan tropis juga memiliki aktivitas biologi yang tinggi. Mikroba endofit terutama yang hidup di lingkungan yang spesifik atau bahkan di lingkungan yang tidak umum sering digunakan sebagai sumber penemuan senyawa bioaktif baru. Beberapa tumbuhan dapat menurunkan senyawa bioaktif yang dikandungnya kepada mikroba endofit yang tumbuh dalam jaringannya, sehingga mikroba endofit

CATATAN SINGKAT TENTANG MIKROBA ENDOFIT HUTAN

Oleh : Lisna Khayati

Petunjuk Bagi Penulis Redaksi mengundang para peneliti, teknisi, praktisi dan

pemerhati kehutanan untuk menulis artikel dan tulisan ilmiah populer secara bebas, kreatif dan bertanggung jawab menyangkut bidang kehutanan di seluruh Indonesia.

Naskah tulisan berisi maksimal 5 halaman dengan font Calibri 12 spasi 1,5 dan ditulis dalam bahasa Indonesia.

Naskah dikumpulkan ke Dewan Redaksi dalam bentuk print out dan file elektronik, dapat disertai gambar dan foto yang

beresolusi baik dan berhubungan dengan isi tulisan. Naskah akan disunting terlebih dahulu oleh Dewan Redaksi

tanpa mengubah maksud dan isi tulisan.

tersebut dapat menghasilkan senyawa yang sama dengan inangnya. Sebagai contoh adalah senyawa taxol, sebagai senyawa antikanker yang dihasilkan oleh tumbuhan Taxus brevifolia. Pada tahun 1993, senyawa ini ternyata dapat diisolasi dari Taxomyces andreanae, fungi endofit yang tumbuh pada tumbuhan T. brevifolia (Strobel, 2003). Zou et.al, (2000) menambahkan, mikroba endofit memang dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang karakternya mirip atau sama dengan inangnya. Hal ini disebabkan adanya pertukaran genetik yang terjadi antara inang dan mikroba endofit secara evolusioner.

Dengan adanya penelitian tentang mikroba endofit yang mengandung senyawa aktif yang mirip atau sama dengan senyawa aktif yang dihasilkan tanaman inangnya, diharapkan dapat mengurangi eksploitasi tanaman hutan terutama tanaman obat. Pemanfaatan mikroba endofit sebagai penghasil senyawa aktif lebih efektif dari pada harus mengekstrak senyawa aktif dari tanaman, karena siklus hidup mikroba lebih cepat sehingga senyawa yang dihasilkan juga lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Prihatiningtias. (2006). Mikroba Endofit, Sumber Penghasil Antibi-otik yang Potensial. Dipetik Juni 28, 2014, dari http://dianing.blogspot.com/2006/05/fungi-endofit.html: http://dianing.blogspot.com/2006/05/fungi-endofit.html

Strobel, G. A., & Daisy, B. (2003). Bioprospecting for Microbial Endophytes and Their Natural Product. Microbiology and Molecular Biology Review, 67(4):491-502.

World Research Institute. (1992). Global biodiversity guidelines for action to save. Dalam Study and Use Earth Biotic Wealth Sustainably and Equatably.

Zou, W. X., Meng, J. C., Lu, H., Chen, G. X., Shi, G. X., & Tan, R. X. (2000). Metabolites of Colletotrichum gloeosporioides, an endophytic fungus in Artemisia mongolica. J. Nat. Prod., 63:1529-1530.

Warta MATOA Vol. I No. 2, September 2014 12