27
PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI Yunia Kandy Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya e-mail : [email protected] ABSTRACT - The Verdict of Judicial Review Number 97 PK / Pid.Sus / 2012 on the Cassation Decision Number 434 K / Pid / 2003 for the ST defendant attracted the public's attention. PK petition for ST is filed by his wife as heir. This petition is granted by an amar declaring the act of indictment to the convicted "proven" but the act is not a crime, and therefore releases the convict from all lawsuits. This is surprising, meaning the ruling dismissed the decision of the previous cassation. One consideration of the judges of the Court of Appeal granting the petition is the status of ST's wife as the legitimate heir of ST based on Yahya Harahap's view that the wife may become an heir. Such views are not quoted in full. This PK ruling sparked cynicism against a judge's decision aimed at providing justice, certainty, and expediency. But also for the status of the DPO DP is still reaping debate in many circles. Keywords: Review, Search List of People, Heirs PENDAHULUAN Pada saat berkembangnya zaman saat ini banyak aspek yang mengalami pertumbuhan maupun penurunan. Manusia misalnya, sebagai subyek hukum yang hidup secara berkelompok dan saling berdampingan dalam suatu komunitas tertentu di dalam suatu wilayah disebut dengan masyarakat. Ketertiban dan keamanan masyarakat dalam lingkungan akan terpelihara bilamana tiap tiap anggota masyarakat menaati peraturan yang sudah ada di dalam lingkungan masyarakat. Tertib masyarakat dapat tercapai apabila hukum bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Peraturan perundang- undangan yang merupakan produk hukum harus mampu mengatur hal-hal yang saat ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena hukum dibentuk untuk menjamin terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Maka dari itu peraturan peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat itu disebut pemerintah. Bermacam-macam bentuk dan sifat kebudayaan di negara ini menimbulkan berbagai macam dasar hukum yang melekat. Salah satunya hukum pidana dimana tujuan dari hukum pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidaknya kebenaran materiil atau kebenaran yang hakiki dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan melakukan pelanggaran hukum. Setiap pelaku tindak pidana wajib untuk dikenakan sanksi pidana yang sesuai

PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN …karyailmiah.narotama.ac.id/files/PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI... · dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM).1 Ada

Embed Size (px)

Citation preview

PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG

OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI

Yunia Kandy

Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya

e-mail : [email protected]

ABSTRACT - The Verdict of Judicial Review Number 97 PK / Pid.Sus / 2012 on the

Cassation Decision Number 434 K / Pid / 2003 for the ST defendant attracted the public's

attention. PK petition for ST is filed by his wife as heir. This petition is granted by an amar

declaring the act of indictment to the convicted "proven" but the act is not a crime, and

therefore releases the convict from all lawsuits. This is surprising, meaning the ruling

dismissed the decision of the previous cassation. One consideration of the judges of the Court

of Appeal granting the petition is the status of ST's wife as the legitimate heir of ST based on

Yahya Harahap's view that the wife may become an heir. Such views are not quoted in full.

This PK ruling sparked cynicism against a judge's decision aimed at providing justice,

certainty, and expediency. But also for the status of the DPO DP is still reaping debate in

many circles.

Keywords: Review, Search List of People, Heirs

PENDAHULUAN

Pada saat berkembangnya zaman

saat ini banyak aspek yang mengalami

pertumbuhan maupun penurunan.

Manusia misalnya, sebagai subyek

hukum yang hidup secara berkelompok

dan saling berdampingan dalam suatu

komunitas tertentu di dalam suatu

wilayah disebut dengan masyarakat.

Ketertiban dan keamanan masyarakat

dalam lingkungan akan terpelihara

bilamana tiap – tiap anggota masyarakat

menaati peraturan yang sudah ada di

dalam lingkungan masyarakat.

Tertib masyarakat dapat tercapai

apabila hukum bersifat dinamis dan

mengikuti perkembangan kebutuhan

masyarakat. Peraturan perundang-

undangan yang merupakan produk

hukum harus mampu mengatur hal-hal

yang saat ini memang dibutuhkan oleh

masyarakat, karena hukum dibentuk untuk

menjamin terciptanya ketertiban dalam

masyarakat. Maka dari itu peraturan –

peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan

yang berkuasa dalam masyarakat itu

disebut pemerintah.

Bermacam-macam bentuk dan sifat

kebudayaan di negara ini menimbulkan

berbagai macam dasar hukum yang

melekat. Salah satunya hukum pidana

dimana tujuan dari hukum pidana adalah

untuk mencari dan mendapatkan

setidaknya kebenaran materiil atau

kebenaran yang hakiki dari suatu perkara

pidana dengan menerapkan ketentuan

hukum acara pidana secara jujur dan tepat,

dengan tujuan untuk mencari siapakah

pelaku yang didakwakan melakukan

pelanggaran hukum.

Setiap pelaku tindak pidana wajib

untuk dikenakan sanksi pidana yang sesuai

dengan peraturan Negara yang telah

diterapkan dan ditetapkan. Dibalik

penjatuhan sanksi atau hukuman untuk

para pelaku tindak pidana, pelaku juga

memiliki hak-hak asasi untuk

memperoleh keadilan seadil-adilnya atas

putusan yang telah dijatuhkan.

Putusan hakim terhadap subjek

hukum yang melakukan tindak pidana

yang secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pindana dapat berupa

putusan pemidanaan. Putusan

pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim

terhadap subjek hukum harus

berdasarkan regulasi yang sudah

ditetapkan yang dalam hal ini adalah

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana

(selanjutnya disebut KUHAP).

Ketika pelaku sudah mendapatkan

putusan yang telah dijatuhkan masih ada

beberapa hukum untuk membela hak

asasi manusianya sehingga dapatlah

putusan tersebut diangap sebagai

implementasi atas konsep fair trial.

Dimana jika proses hukum tindak

pidana tidak menjamin dan melindungi

hak asasi individu maka dapat terjadi

perbuatan kesewenang – wenangan yang

berpengaruh pada penegakan hukum itu

sendiri dan juga dalam proses

persidangan yang mengabaikan prinsip

fair trial maka hal tersebut akan merusak

tegaknya suatu keadilan. Prinsip fair

trial dalam proses hukum pidana diatur

dalam Deklarasi Universal Hak-Hak

Asasi Manusia (DUHAM).1

Ada beberapa upaya hukum yang

dapat ditempuh, salah satunya adalah

pengajuan upaya hukum peninjauan

kembali (PK)/Herziening KUHAP bahwa

upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening dilakukan oleh terpidana

(dapat juga diajukan melalui penasehat

hukumnya) ataupun ahli warisnya namun

tetap dihadiri oleh terpidana. Pelaksanaan

upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening oleh ahli waris dimana

pewaris masih belum disebut meninggal

sudah bisa dianggap sebagai ahli waris dan

hak hukum yang diberikan pada pelaku

criminal yang bisa seenaknya sendiri tidak

patuh pada putusan hakim yang

menjeratnya dipandang oleh penulis

sebagai bukti perkembangan hukum di

Indonesia. Hal yang sangat mencolok ini

kemudian menarik perhatian penulis untuk

mengkaji mengenai aturan yuridis tentang

upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening oleh DPO, serta

menganalisa putusan Putusan MA.RI No.

97/PK/Pid.Sus/2012, dengan harapan agar

tulisan yang ditulis oleh penulis akan

bermanfaat bagi perkembangan kemajuan

hukum pidana di Indonesia.

Putusan Mahkamah Agung tingkat

kasasi bukanlah upaya hukum terakhir

yang bisa ditempuh oleh terpidana

melainkan masih ada PK yang dapat

diajukan. Maka berdasarkan latar belakang

1 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan

Politik dalam Lembar Fakta HAM, Komnas HAM,

Jakarta,2005.

tersebut penulis dapat mengambil dua

pokok permasalahan yang terdiri :

1. Bagaimana pengaturan tentang

pengajuan peninjauan kembali DPO

oleh ahli waris terpidana tindak

pidana korupsi?

2. Apakah status “Istri” dalam

Putusan No. 97/PK/PID.SUS/2012

dapat dikatakan sebagai “Ahli

Waris” sesuai dengan Pasal 263

ayat 1 KUHAP?

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah

penelitian yuridis-normatif, yaitu

penelitian yang meneliti norma yang

berlaku di masyarakat. Penelitian

normatif tersebut juga disebut dengan

penelitian doktrinal. Penelitian Doktrinal

adalah penelitian yang melakukan

evaluasi terhadap peraturan perundang-

undangan, menjelaskan permasalahan

dalam peraturan tersebut, dan melakukan

prediksi efektifitas peraturan tersebut di

masa yang akan datang.2

Penelitian hukum ini bertujuan

untuk memperoleh pengetahuan normatif

tentang hubungan antara satu peraturan

dengan peraturan lain dan penerapan

dalam prakteknya sehingga penelitian

hukum ini membutuhkan data primer dan

data sekunder.

2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian

Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.32

SUMBER BAHAN HUKUM

Bahan hukum primer yaitu bahan

hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas3 terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia (UUD 1945),

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP),

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP),

4. Undang-Undang No. 14 tahun I985

tentang Mahkamah Agung,

5. Surat Edaran Mahkamah Agung No 1

Tahun 2012.

Bahan hukum sekunder yaitu semua

publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi.4

Publikasi ilmiah tersebut terdiri dari buku,

jurnal, artikel ilmiah, kamus hukum serta

publikasi ilmiah lainnya yang mempunyai

relevansi dengan penelitian ini, dapat

digunakan sebagai penjelasan atas sumber

hukum sekunder

PEMBAHASAN

PENGATURAN PENGAJUAN

PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR

PENCARIAN ORANG OLEH AHLI

WARIS TERPIDANA TINDAK

PIDANA KORUPSI

Sejarah Pengajuan Peninjauan Kembali

Pada zaman Hindia Belanda,

peninjauan kembali (herziening) terdapat

dalam Reglement op de Strafvordering

(RSv)-Stb. Nomor 40 jo 57 tahun 1847

3 Ibid, hlm 141 4 Ibid.

khususnya dalam title 18, Pasal 356

sampai dengan Pasal 360. RSv adalah

hukum acara pidana pada Raad van

Justitie, peradilan bagi Golongan Eropa.

Lembaga herziening yang terdapat dalam

RSv tersebut tidak berlaku pada

Landraad, peradilan untuk golongan

Bumiputra.

Menurut Pasal 356 RSv, herziening

dapat diajukan terhadap putusan

pemidanaan (veroordeling) yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap (in

kract van gewijsde) dengan alasan:

1. Atas dasar kenyataan bahwa dalam

berbagai putusan terdapat pernyataan

yang telah dinyatakan terbukti, ternyata

bertentangan satu dengan yang lainnya.

2. Atas dasar keadaan yang pada

waktu pemeriksaan di pengadilan tidak

diketahui dan tidak mungkin diketahui,

baik berdiri sendiri maupun sehubungan

dengan bukti-bukti yang telah diajukan.

Apabila keadaan itu diketahui,

pemeriksaan akan berupa putusan bebas,

putusan lepas dari segala tuntutan hukum,

tuntutan penuntut umum tidak dapat

diterima, atau terhadap perkara itu

ditetapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan. Alasan-alasan tersebut dapat

diajukan dalam suatu permohonan

peninjauan kembali, bila dalam suatu

putusan pengadilan yang sudah

berkekuatan tetap suatu perbuatan yang

didakwakan telah dinyatakan terbukti,

tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.

Menurut Pasal 357 RSv, upaya

peninjauan kembali dapat diajukan dengan

suatu permohonan ke Mahkamah Agung

oleh Jaksa Agung (door den procureur

general) atau seorang terpidana yang

dijatuhi pidana dengan putusan yang telah

tetap dengan melalui kuasa khusus untuk

keperluan tersebut.5

Setelah kemerdekaan, ketentuan

peninjauan kembali pertama kali terdapat

dalam Perma Nomor 1 tahun 1969 tentang

peninjauan kembali keputusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap. Latar belakang dikeluarkannya

Perma ini, dapat diketahui dari dasar

pertimbangannya sebagai berikut :6

1. Lembaga peninjauan kembali menjadi

kebutuhan hukum yang mendesak.

Terbukti banyak sekali para pencari

keadilan mengajukan permohonan

peninjauan kembali kepada Pengadilan

Negeri atau secara langsung kepada

Mahkamah Agung. Banyak di antara

permohonan peninjauan kembali tersebut

mempunyai dasar-dasar yang kuat,

sementara belum ada hukum acara

mengenai peninjauan kembali. Mahkamah

Agung akhirnya memberanikan diri untuk

menetapkan Peraturan Mahkamah Agung

tentang peninjauan kembali tersebut.

2. Untuk mengisi kekosongan hukum

dan bersifat sementara sebelum adanya

Undang-Undang yang mengatur tentang

peninjauan kembali, agar dapat menampung

kebutuhan hukum bagi pencari keadilan

5 Ibid 6 H. Adam Chazawi, Op-cit, hal. 15

untuk mengajukan peninjauan kembali.

3. Mahkamah Agung mengeluarkan

peraturan tersebut dengan maksud untuk

menambah hukum acara Mahkamah

Agung dengan hukum acara pidana

peninjauan kembali yang telah terdapat

dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun

1965 tentang Pengadilan dalam

Lingkungan Peradilan Umum dan

Mahkamah Agung.

Berdasarkan isi Pasal 3 Perma Nomor 1

tahun 1969, bahwa Mahkamah Agung

dapat meninjau kembali atau

memerintahkan ditinjau kembali suatu

putusan pidana yang tidak mengandung

pembebasan dari semua tuduhan yang

telah memperoleh kekuatan hukum yang

tetap atas dasar alasan :7

1. Apabila putusan dengan jelas

memperlihatkan kekhilafan hakim atau

kekeliruan yang mencolok;

2. Apabila dalam putusan terdapat

keterangan-keterangan yang dianggap

terbukti akan tetapi ternyata satu sama

lain saling bertentangan;

3. Apabila terdapat keadaan baru;

4. Apabila perbuatan yang telah

dituduhkan telah dinyatakan terbukti akan

tetapi tanpa diikuti oleh suatu

pemidanaan.

Dalam Pasal 4 ayat (1) Perma

Nomor 1 tahun 1969 tentang Peninjauan

7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali Keputusan

Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan

Hukum Yang Tetap. http://pa-rantau.pta-

banjarmasin.go.id/index.php?content=umum&id=3

9, diunduh tanggal 15 Mei 2017

Kembali Keputusan Pengadilan Yang Telah

Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap,

dijelaskan bahwa permohonan peninjauan

kembali suatu putusan pidana yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap

harus diajukan oleh :8

1. Terpidana;

2. Pihak yang berkepentingan, dan

3. Jaksa Agung.

Perma Nomor 1 tahun 1969, tidak

berumur panjang karena pada tanggal 30

Nopember 1971 Mahkamah Agung

mencabut Perma tersebut melalui Perma

Nomor 1 tahun 1971. Alasan dicabutnya

Perma Nomor 1 tahun 1969 adalah

Mahkamah Agung menyadari bahwa

ketentuan mengenai peninjauan kembali

yang diatur melalui Perma merupakan suatu

kekeliruan. Kekeliruan tersebut dikarenakan

Mahkamah Agung merasa tidak berwenang

untuk mengeluarkan Perma mengenai

peninjauan kembali dan pengaturan hukum

acara mengenai peninjauan kembali harus

melalui undang-undang. Dengan dicabutnya

Perma Nomor 1 tahun 1969 maka terjadi

kekosongan hukum mengenai peninjauan

kembali, akan tetapi pada tanggal 1

Desember 1980 dikeluarkan Perma Nomor

1 tahun 1980 yang isinya jauh lebih lengkap

dari Perma Nomor 1 tahun 1969.9

Syarat Formil Mengajukan Permintaan

Peninjauan Kembali

8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun

1969 tentang Peninjauan Kembali Keputusan

Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum

Yang Tetap

9 Ibid

Terdapat 3 (tiga) syarat formil

secara kumulatif untuk mengajukan

permohonan upaya hukum Peninjauan

Kembali dalam Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP yaitu :

1. Dapat dimintakan pemeriksaan di

tingkat Peninjauan Kembali hanya

terhadap putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap (in kracht van

gewijsde).

2. Hanya terpidana atau ahli warisnya

yang boleh mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali.

3. Boleh diajukan Peninjauan Kembali

hanya terhadap putusan yang

menghukum/mempidana saja.10

Lebih lanjut Adami Chazawi

mengatakan, bahwa tiga syarat formil

tersebut bersifat limitatif dan sangat

tegas. Ketentuan isi rumusan pasal

tersebut juga bersifat tertutup, tidak dapat

ditambah oleh hakim melalui penafsiran,

meskipun dengan alasan mencari untuk

menemukan hukum.11

Syarat Materiil dalam Mengajukan

10 Adam Chazawi, Lembaga Peninjauan

Kembali (PK) Perkara Pidana : Penegakan

Hukum dalam Penyimpangan dan Peradilan

Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 26. 11 Ibid

Permohonan Peninjauan Kembali

Syarat-syarat materiil mengajukan

permohonan upaya hukum Peninjauan

Kembali secara limitatif dicantumkan

dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP :

a. Apabila terdapat keadaan baru yang

menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu

sidang masih berlangsung, hasilnya akan

berupa putusan bebas atau putusan lepas

dari segala tuntutan hukum atau tuntutan

Penuntut Umum tidak dapat diterima atau

terhadap perkara itu diterapkan ketentuan

pidana yang lebih ringan.

b. Apabila dalam berbagai putusan

terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

terbukti, akan tetapi hal atau keadaan

sebagai dasar dan alasan putusan yang

dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah

bertentangan satu dengan yang lain.

c. Apabila putusan itu dengan jelas

memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim

atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dengan kata lain, syarat materiil agar

permohonan Peninjauan Kembali dapat

diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah

Agung, yaitu

(1) Adanya keadaan baru (novum);

(2) Ada beberapa putusan yang saling

bertentangan (conflict van rechtspraak) dan;

(3) Putusan yang memperlihatkan suatu

kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.

Pengertian Daftar Pencarian Orang dan

Dasar Hukumnya

Menurut Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

atau Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal

istilah DPO. KUHAP hanya mengatur

mengenai tersangka. Pasal 1 angka 14

KUHAP dijelaskan bahwa tersangka

adalah seorang yang karena perbuatannya

atau keadaannya berdasarkan bukti

permulaan patut diduga sebagai pelaku

tindak pidana. Terhadap tersangka

tersebut bisa dilakukan penangkapan atau

pemanggilan terlebih dahulu jika

sebelumnya belum pernah diperiksa

sebagai tersangka. Nah jika tersangka

telah dipanggil tiga kali untuk

pemeriksaan tetapi tidak datang dan tidak

jelas keberadaannya maka tersangka

tersebut bisa ditetapkan sebagai DPO.

Hal ini diatur dalam Peraturan Kapolri

No. 14 tahun 2012 (Perkap 14/2012)

tentang Manajemen Penyidikan Tindak

Pidana.

Dalam Pasal 31 ayat (1) Perkap

14/2012 dinyatakan bahwa tersangka

yang telah dipanggil untuk pemeriksaan

dalam rangka penyidikan perkara sampai

lebih dari 3 (tiga) kali dan ternyata tidak

jelas keberadaannya, dapat dicatat di

dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan

dibuatkan Surat Pencarian Orang.

Kemudian dalam ayat (3) nya dikatakan

bahwa dalam hal tersangka dan/atau

orang yang dicari sudah ditemukan atau

tidak diperlukan lagi dalam penyidikan

maka wajib dikeluarkan Pencabutan

DPO.

Pengertian Ahli Waris pada Putusan

MA No.97/PK/PID.SUS/2012

Pengertian Ahli Waris yang di

tafsirkan oleh Hakim pada Putusan tersebut

ada 2 penafsiran. Pertama, seseorang dapat

disebut sebagai ahli waris walaupun

terpidana belum meninggal dunia. Kedua,

seseorang tidak dapat disebut sebagai ahli

waris apabila terpidana belum meninggal

dunia atau masih dalam keadaan hidup.

Dari kedua tafsir tersebut, maka penulis

lebih sepakat dengan pendapat kedua yang

mengategorikan seseorang sebagai ahli

waris apabila terpidana telah meninggal

dunia. Pendapat penulis itu didasarkan pada

makna istilah “ahli waris” dalam Pasal 263

ayat (1) KUHAP yang ditafsirkan dengan

metode penafsiran gramatikal (gramatical

interpretatie) atau yang sering disebut

penafsiran menurut tata bahasa dan

penafsiran sistematis (systematic

interpretatie).

Metode interpretasi menurut bahasa

(gramatikal), yaitu suatu cara penafsiran

undang-undang menurut arti kata-kata

(istilah) yang terdapat dalam undang-

undang. Hukum wajib menilai arti kata

yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-

hari yang umum. Penafsiran gramatikal

(tata bahasa) digunakan untuk mengetahui

makna ketentuan undang-undang dengan

menguraikannya menurut bahasa, susun

kata atau bunyinya. Penafsiran gramatikal

dilakukan dengan mencari arti kata-kata

dalam kamus atau minta penjelasan-

penjelasan dari para ahli Bahasa. Dengan

menggunakan penafsiran gramatikal, maka

untuk mengetahui arti atau makna istilah

“ahli waris” yang digunakan oleh

KUHAP dalam pembahasan ini akan

dilihat dari kamus bahasa dan dibantu

dengan kamus lainnya. Istilah “ahli

waris” merupakan gabungan dari 2 (dua)

unsur kata, yaitu “ahli” dan “waris.”

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia,

kata “ahli” berarti mahir, pandai sekali,

paham sekali tentang suatu disiplin

negara, orang yang mempunyai ilmu

khusus. Kemudian kata “waris” berarti

orang yang berhak menerima harta dari

orang yang telah meninggal dunia.

Menurut Kamus Ilmiah Populer, waris

berarti: 1) orang yang berhak menerima

harta benda pusaka orang yang telah

meninggal; 2) warisan, harta peninggalan,

asli waris yang sesungguhnya seperti

anak, dsb; karib waris yang dekat kepada

anak cucu dsb; sah penerima waris

berdasarkan hukum (agama, adat).

Selanjutnya di dalam Kamus

Hukum, yang dimaksud dengan ahli

waris adalah orang-orang yang berhak

menerima harta warisan (harta pusaka).

Adapun yang dimaksud dengan harta

pusaka adalah harta benda peninggalan

baik benda bergerak maupun benda tetap;

harta warisan. Sesuai dengan penjelasan

dalam Kamus Bahasa Indonesia, Kamus

Ilmiah Populer, dan Kamus Hukum di

atas, maka secara gramatikal istilah “ahli

waris” memiliki arti atau makna sebagai

orang yang berhak menerima harta benda

atau harta pusaka milik orang yang telah

meninggal dunia. Orang yang meninggal

dunia yang meninggalkan harta benda

lazimnya jugadisebut sebagai “pewaris.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

secara gramatikal seseorang baru dapat

dikategorikan sebagai ahli waris apabila

termasuk ke dalam orangorang yang berhak

menerima harta warisan atau harta pusaka

milik orang yang telah meninggal dunia.

Oleh karena itu, seseorang tidak dapat

dikategorikan sebagai ahli waris apabila

bukan termasuk orang yang berhak

menerima harta warisan dan pemilik harta

warisan masih hidup atau belum meninggal.

STATUS ISTRI PADA PUTUSAN MA

NO. 97/PK/PID.SUS/2012 DITINJAU

DARI PASAL 263 AYAT 1 KUHAP

Disposisi Kasus

Berikut ini adalah uraian mengenai

posisi kasus Terdakwa Sudjiono Timan

yang menjadi obyek pengajuan permohonan

Peninjauan Kembali oleh Istri terdakwa

kepada Mahkamah Agung Republik

Indonesia. Uraian ini diolah dari Dakwaan

Jaksa Penuntut Umum, Tuntutan Jaksa

Penuntut Umum, Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan Nomor :

1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel, Putusan

Mahkamah Agung RI Tingkat Kasasi

Nomor : 434 K/PID/2003, Memori

Permohonan Peninjauan Kembali, dan

Putusan Peninjauan Kembali dengan

Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Dengan

demikian, data dan fakta yang terurai disini

merupakan data dan fakta yang terungkap

di dalam persidangan sebagaimana telah

termuat di dalam putusan Peninjauan

Kembali tersebut. Uraian selengkapnya

mengenai posisi kasus tersebut adalah

sebagai berikut :

Perbuatan yang dilakukan Sudjiono

Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,

Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman

dan bersama-sama pula dengan Agus

Anwar dalam pengaliran dana kepada

Kredit Asia Finance Limited dianggap

sebagai perbuatan melawan hukum yang

telah mengakibatkan kerugian Negara

sebesar USD 73,841,119.70 (tujuh puluh

tiga juta delapan ratus empat puluh satu

ribu seratus sembilan belas Dollar

Amerika Serikat dan tujuh puluh sen) dan

Rp.116.391.349.560,- (seratus enam belas

miliar tiga ratus sembilan puluh satu juta

tiga ratus empat puluh sembilan ribu lima

ratus enam puluh rupiah), dengan

perincian :

1. Sehubungan dengan Transaksi

pengaliran dana dari PT. BPUI

menggunakan cara penempatan dana

pada Promissory Notes Kedit Asia

Finance Limited (KAFL) menyebabkan

kerugian Negara sebesar USD

46,027,052.39 (empat puluh enam juta

dua puluh tujuh ribu lima puluh dua

Dollar Amerika Serikat dan tiga puluh

sembilan sen) dan Rp.116.391.349.560,-

(seratus enam belas miliar tiga ratus

sembilan puluh satu juta tiga ratus empat

puluh sembilan ribu lima ratus enam

puluh rupiah).

2. Sehubungan dengan Transaksi

pengaliran dana dari PT. BPUI

menggunakan perusahaan KAFL untuk

mengalirkan dana kepada PT. Primawira

Insan Persada menimbulkan kerugian

Negara sekurang-kurangnya sebesar USD

27,814,199.70 (dua puluh tujuh juta delapan

ratus empat belas juta seratus sembilan

puluh sembilan Dollar Amerika Serikat dan

tujuh puluh sen). Pada tanggal 20

November 1995 sampai dengan 30 Mei

1996.

Bahwa akibat perbuatan Sudjiono

Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,

Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman dan

bersama-sama pula dengan Prajogo

Pangestu, aliran dana kepada Festival

Company Inc. tersebut dianggap telah

menimbulkan kerugian dan kesulitan bagi

PT. BPUI, antara lain adalah :

1. Dalam kaitannya dengan pengaliran

dana kepada Festival Company Inc. secara

dua tahap (two-step) melalui KAFL senilai

US$ 30,250,005.

a. Bukti tagihan yang dimiliki Bahana

atas KAFL hanya Promissory Notes,

sehingga ketentuan-ketentuan yang

mengatur hak dan kewajiban para pihak

tidak diatur terperinci.

b. KAFL merupakan badan hukum asing

apabila KAFL tidak dapat membayar

hutang kepada Bahana dan Bahana akan

melakukan penuntutan sesuai prosedur

hukum, akan mendapat kesulitan.

2. Dalam kaitannya dengan Pemberian

Fasilitas Pinjaman Penjembatanan kepada

Festival Co. sebesar USD 37,000,000.00.

a. Dokumen pendukung yang ada di

BPUI sangat terbatas sehingga sulit untuk

mengetahui pihak yang berwenang untuk

mewakili Festival Co.

b. Berdasarkan Penjanjian Kredit dan

Perjanjian Gadai Saham, saham yang

dijaminkan kepada Bahana adalah saham

APC Group milik Festival Co, tetapi

sertifikat saham yang diserahkan kepada

Bahana adalah saham APC Group milik

Festival Equities.

c. Dokumen pendukung Festival

Equities tidak dimiliki Bahana.

Bahwa akibat perbuatan Sudjiono

Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,

Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman,

dan bersama-sama pula dengan Prajogo

Pangestu dalam pengaliran dana kepada

Festival Company Inc. dianggap sebagai

perbuatan melawan hukum yang telah

mengakibatkan kerugian Negara sebesar

USD 79,914,265.15 (tujuh puluh

sembilan juta sembilan ratus empat belas

ribu dua ratus enam puluh lima dan lima

belas sen Dollar Amerika Serikat),

dengan perincian :

a. Sehubungan dengan pengaliran

dana pada Festival Company Inc. melalui

Kredit Asia Finance Limited

menimbulkan kerugian Negara sebesar

USD 34,509,505.06. (tiga puluh empat

juta lima ratus sembilan ribu lima ratus

lima dan enam sen Dollar Amerika

Serikat).

b. Sehubungan dengan Pemberian

Fasilitas Pinjaman Penjembatanan kepada

Festival Co. sebesar USD 37,000,000.00

menimbulkan kerugian Negara sekurang-

kurangnya sebesar USD 45,404,760.09.

(empat puluh lima juta empat ratus empat

ribu tujuh ratus enam puluh dan Sembilan

sen Dollar Amerika Serikat).

Perbuatan Sudjiono Timan yang

dianggap dilakukan secara melawan hukum

dimana dalam pengaliran dana dianggap

telah memperkaya Penta Investment

Limited dan atau Jubilee Venture Capital

dan atau Roberto V. Ongpin serta dianggap

mengakibatkan kerugian Negara sebesar

USD 25,187,417.08. (dua puluh lima juta

seratus delapan puluh tujuh ribu empat ratus

tujuh belas dan delapan sen Dollar

Amerika Serikat) atau setidak-tidaknya

USD 19,025,502.00 (sembilan belas juta

dua puluh lima ribu lima ratus dua Dollar

Amerika Serikat).

Selanjutnya, pada tanggal 15

Desember 1997, PT. BPUI melalui suratnya

No.059/HR/BPUI/1997, ditujukan kepada

Menteri Keuangan u.p. Direktur Jendral

Lembaga Keuangan (DJLK) yang

ditandatangani oleh Hadi Rusli (Direktur

PT. BPUI), mengajukan permohonan untuk

memperoleh fasilitas pendanaan

subordinasi dari Rekening Dana Investasi

(RDI) dengan maksud dan tujuan untuk

digunakan dalam program stabilisasi pasar

modal dan uang oleh PT. BPUI, yaitu

sebesar Rp.250.000.000.000,- (dua ratus

lima puluh miliar), dengan jangka waktu 3

(tiga) tahun dan tingkat bunga tahun

pertama sebesar 20% sedangkan tingkat

bunga tahun kedua dan tahun ketiga

disesuaikan dengan kondisi pasar.

Pengembalian pinjaman, pokok dan

bunga sekaligus pada akhir tahun ketiga.

Terhadap surat tersebut, Direktur Jendral

Lembaga Keuangan (Sdr. Bambang

Subianto), membuat Nota Dinas No.ND-

667/LK/97, tertanggal 15 Desember 1997

kepada Menteri Keuangan (Sdr. Mar’ie

Muhammad) yang isinya mendukung

permohonan dan untuk meminta

persetujuan terhadap permohonan dari

PT. BPUI tersebut.

Sudjiono Timan dianggap telah

mengelola dana tersebut secara melawan

hukum, dalam hal ini Timan tidak

mengelola dana tersebut sebagaimana

persyaratan yang ditentukan oleh

Pemerintah cq. Departemen Keuangan

R.I. dan telah menggunakan dana tersebut

menyimpang dari maksud dan tujuan

pemberian fasilitas dana sebagaimana

ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dalam

hal ini :

1. Sudjiono Timan tidak

menempatkan pada rekening khusus

sebagaimana ditentukan oleh Menteri

Keuangan, sehingga penggunaan dananya

tidak bisa diawasi oleh Menteri

Keuangan.

2. Dana tersebut tidak digunakan

untuk stabilisasi pasar modal dan uang

melainkan digunakan untuk :

a. Membayar hutang MTN I, di mana

Sudjiono Timan dan Direktur Keuangan

PT. BPUI : Hadi Rusli mengatur

pelaksanaan transfer dana fasilitas RDI

pada tanggal 22 Desember 1997 ke BNI

sebesar Rp.190,5 miliar, yang

digabungkan dengan dana dari Bank Tiara

sebesar Rp.23 miliar dan dari Bank Niaga

sebesar Rp.3 miliar, antara lain digunakan

membeli dollar sebesar Rp.106,5 miliar

atau setara USD 20 juta untuk membayar

hutang PT. BPUI tersebut, dan sisanya

sebesar Rp.110 miliar di simpan dalam

bentuk Time Deposit yang keesokan

harinya dicairkan dan ditransfer lagi ke BRI

Kantor cabang khusus.

b. Investasi di PUAB (Pasar Uang Antar

Bank), di mana Sudjiono Timan dan

Direktur Keuangan PT. BPUI : Hadi Rusli

mengatur pelaksanaan transfer dana fasilitas

RDI pada tanggal 22 Desember 1997

sebesar Rp.31,15 miliar ke rekening PT.

BPUI di Bank Niaga, untuk selanjutnya

dana tersebut di transfer ke socgen sebesar

Rp.5 miliar dan Standard Chartered Bank

sebesar Rp.26,5 miliar.

c. Investasi di PUAB (Pasar Uang Antar

Bank) serta operasional PT. Bahana

Sekuritas, di mana Sudjiono Timan dan

Hadi Rusli mengatur pelaksanaan :

- Transfer dana fasilitas RDI pada

tanggal 24 Desember 1997 ke rekening PT.

BPUI di Bank Niaga sebesar Rp.30 miliar.

- Pencairan Time deposit sebesar Rp.20

miliar.

Untuk selanjutnya dana tersebut sebesar

Rp.30 miliar ditransfer ke Bank BII untuk

investasi PUAB (Pasar Uang Antar Bank)

dan Rp.20 miliar ditransfer ke Bahana

Sekuritas.

d. Deposit pada Bank PDFCI sebesar

Rp.15 miliar, di mana Sudjiono Timan

dan Hadi Rusli mengatur pelaksanaan

transfer dana fasilitas RDI pada tanggal

30 Desember 1997 ke rekening PT.

BPUI di Bank Niaga sebesar Rp.10

miliar, sedangkan yang Rp.5 miliar

berasal dari dana PT. BPUI di Bank lain.

e. Deposit pada Bank PDFCI, Bank

Tiara dan Bank Umum Nasional, di mana

Sudjiono Timan dan Hadi Rusli mengatur

pelaksanaan transfer dana fasilitas RDI

pada tanggal 7 Januari 1998 ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga sebesar Rp.145

miliar, selanjutnya dana tersebut

ditempatkan/didepositokan pada Bank

PDFCI sebesar Rp.115 miliar, pada Bank

Tiara sebesar Rp.15 miliar, dan pada

Bank Umum Nasional Cabang Rasuna

Said sebesar Rp.10 miliar.

Melalui perbuatan yang dianggap

melawan hukum tersebut, Sudjiono

Timan telah memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu badan dalam hal ini

PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia

atau PT. Bahana Sekuritas atau dan atau

PT. Bahana Artha Ventura, dan atau

Bank PDFCI, dan atau Socgen, dan atau

Standard Chartered Bank (SCB) dan atau

Bank Internasional Indonesia (BII) dan

atau Bank Tiara dan atau Bank Umum

Nasional (BUN) karena :

a. Pada tanggal 22 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi

Rusli menyetujui dua kali transfer dana

RDI ke rekening PT. BPUI di BNI 46

No.070780115264901 sebesar Rp.170,5

miliar dan sebesar Rp.20 miliar, kemudian

dana tersebut digunakan untuk membayar

hutang MTN I sebesar Rp.106,5 miliar,

sisanya didepositokan dan dicairkan serta

ditransfer kembali tanggal 23 Desember

1997 ke BRI KC Khusus.

b. Pada tanggal 22 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi Rusli

menyetujui transfer dana RDI ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga, No.64-1-0078-9

sebesar Rp.31,15 miliar, untuk kemudian

pada hari yang sama ditransfer ke Socgen

Rp.5 miliar dan SCB sebesar Rp.26,5

miliar.

c. Pada tanggal 24 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi Rusli

menyetujui transfer dana RDI ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga No.64-1-0078-9,

sebesar Rp.30 miliar. Selanjutnya setelah

bercampur dengan dana dari pencairan

Time deposit sebesar Rp.20 miliar,

kemudian ditransfer ke BII sebesar : Rp.30

miliar dengan keterangan PUAB dan

ditransfer ke PT. Bahana Sekuritas sebesar

Rp.20 miliar.

d. Pada tanggal 30 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama- sama Hadi Rusli

menyetujui transfer dana RDI ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga, No.64-1-0078-9

sebesar Rp.10 miliar, kemudian setelah

bercampur dengan dana dari Bank lain

sebesar Rp.17,5 miliar, kemudian

didepositokan ke Bank PDFCI sebesar

Rp.15 miliar.

e. Pada tanggal 7 Januari 1998,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi

Rusli menyetujui transfer dana RDI ke

rekening PT. BPUI di Bank Niaga No.64-

1-0078-9 sebesar Rp.145 miliar,

selanjutnya ditempatkan/ didepositokan

di Bank PDFCI sebesar Rp.115 miliar,

Bank Tiara Rp. 15 miliar dan BUN Rp.10

miliar.

Perbuatan Sudjiono Timan yang

dianggap dilakukan secara melawan

hukum sebagaimana telah diuraikan di

atas, dianggap telah memperkaya PT.

(Persero) Bahana Pembinaan Usaha

Indonesia dan atau PT. Bahana Sekuritas,

dan atau pihak-pihak lain sebagaimana

tersebut di atas yang menerima aliran

dana dari PT. BPUI menggunakan dana

pinjaman RDI tersebut di atas.

Dari perbuatan Sudjiono Timan

yang dilakukan sebagaimana diuraikan di

atas dianggap telah mengakibatkan

kerugian keuangan Negara dalam hal ini

Departemen Keuangan yaitu sebesar Rp.

253.055.555.555,56 (dua ratus lima

puluh tiga miliar lima puluh lima juta

lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus

lima puluh lima rupiah lima puluh enam

sen).

Oleh karena Sudjiono Timan

dianggap telah melakukan perbuatan

melawan hukum, yaitu dalam penyaluran

dana kepada Kredit Asia Finance

Limited, Festival Company Inc. dan

Penta Investment Limited, serta

penggunaan fasilitas Rekening Dana

lnvestasi (RDI), dan perbuatan tersebut

dianggap telah memperkaya pihak-pihak

sebagaimana yang diuraikan tersebut di

atas, serta dianggap mengakibatkan

kerugian keuangan Negara sebesar USD

178,942, 801.93 (seratus tujuh puluh

delapan juta sembilan ratus empat puluh

dua ribu delapan ratus satu Dollar Amerika

Serikat dan sembilan puluh tiga sen) dan

Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam

puluh sembilan miliar empat ratus empat

puluh enam juta sembilan ratus lima ribu

seratus lima belas rupiah dan lima puluh

enam sen), maka Sudjiono Timan didakwa

dengan dakwaan :

1. Primair, telah melakukan tindak

pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat (1)

sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1

Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo

Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

2. Subsidair, telah melakukan tindak

pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat (1)

sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo

Undang-Undang Nomor 31 Tahun1 999

jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat

(1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

terdakwa Sudjiono Timan diputus bebas.

Terhadap putusan itu kemudian Jaksa

Penuntut Umum mengajukan Kasasi. Oleh

Majelis Hakim kasasi, terdakwa Sudjiono

Timan diputus bersalah dan dijatuhi

hukuman 15 (lima belas) tahun beserta

denda Rp 50 juta dan membayar uang

pengganti sebesar Rp 369 miliar.

Terhadap putusan kasasi tersebut

setelah mempunyai kekuatan hukum

tetap, Isteri dari Sudjiono Timan

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali. Majelis Hakim Peninjauan

Kembali memutus bahwa Isteri Sudjiono

Timan adalah sah sebagai pemohon

Peninjauan Kembali berdasarkan

kedudukannya sebagai ahli waris dari

terpidana Sudjiono Timan.

Kedudukan Istri Sebagai Ahli Waris

dalam Sistem Pewarisan

1. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat di Indonesia dikenal

adanya 3 (tiga) sistem kekeluargaan dan

waris adat, yaitu :

a) Sistem Patrilineal.

b) Sistem Matrilineal.

c) Sistem Parental atau Bilateral.

Sistem patrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis

keturunan nenek moyang pihak laki-laki.

Di dalam sistem ini kedudukan dan

pengaruh pihak laki-laki sangat

menonjol, dimana yang menjadi ahli

waris adalah anak laki-laki.

Sistem matrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis

keturunan nenek moyang pihak

perempuan. Di dalam sistem

kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak

menjadi pewaris untuk anak-anaknya.

Anak-anak menjadi ahli waris dari garis

perempuan atau garis ibu karena anak-

anak mereka merupakan bagian dari

keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih

merupakan anggota keluarganya sendiri.

Sistem parental atau bilateral adalah

sistem kekeluargaan yang menarik garis

keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah

maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini

kedudukan anak laki-laki dan perempuan

dalam hukum waris sama dan sejajar.

Selain anak-anak yang menjadi ahli

waris kedudukan Isteri sebagai ahli waris

sangat ditentukan oleh sistem kekeluargaan

yang dianutnya. Dalam masyarakat adat

yang menganut sistem kekeluargaan

parental, janda tidak dapat dianggap sebagai

ahli waris almarhum suaminya, akan tetapi

ia berhak menerima penghasilan dari harta

peninggalan si suami jika ternyata bahwa

harta gono-gini tidak mencukupi. Janda

berhak untuk terus hidup seperti

keadaannya pada waktu perkawinan.

Pertimbangan Hakim dalam Putusan

No.97/PK/PID.SUS/2012 Berkaitan

dengan Kedudukan Istri Tepidana

sebagai Ahli Waris

Majelis Hakim yang memeriksa

perkara Peninjauan Kembali sebagaimana

putusan Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012

berpendapat bahwa pemohon Peninjauan

Kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono

Timan yang dalam kedudukannya sebagai

Ahli Waris berhak mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali. Pendapat

Majelis Hakim ini didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan sebagai

berikut:

Pertama, dalam Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP ditentukan pihak- pihak yang

berhak mengajukan Peninjauan Kembali

terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, yang

bukan putusan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum, adalah Terpidana

atau Ahli Warisnya.

Kedua, Pemohon Peninjauan

Kembali adalah Isteri sah dari Terpidana

Sudjiono Timan yang hingga saat

diajukannya permohonan tidak pernah

melakukan perceraian.

Ketiga, KUHAP tidak memberikan

pengertian siapa yang dimaksud “Ahli

Waris” dalam Pasal 263 Ayat (1)

tersebut.

Keempat, dalam sistem hukum

yang berlaku di Negara RI, selain anak

yang sah sebagai Ahli Waris dari orang

tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris

dari suaminya.

Kelima, makna istilah “Ahli Waris”

dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP

tersebut dimaksudkan bukan dalam

konteks hubungan waris mewaris atas

harta benda Terpidana, melainkan istilah

tersebut ditujukan kepada orang-orang

yang mempunyai kedudukan hukum

sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak

pula untuk mengajukan Peninjauan

Kembali.

Keenam, menurut M. Yahya

Harahap dalam bukunya “Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan KUHAP”,

Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara

lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris

untuk mengajukan Peninjauan Kembali

bukan merupakan “hak substitusi” yang

diperoleh setelah Terpidana meninggal

dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil”

yang diberikan undang-undang kepada

mereka demi untuk kepentingan Terpidana.

Ketujuh, berdasarkan pendapat M.

Yahya Harahap tersebut, baik Terpidana

maupun Ahli Waris sama-sama mempunyai

hak mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali tanpa mempersoalkan apakah

terpidana masih hidup atau tidak, lagi pula

undang-undang tidak menentukan

kedudukan prioritas di antara Terpidana

dengan Ahli Waris.

Kedelapan, Isteri atau Ahli Waris

Terpidana selaku pemohon Peninjauan

Kembali yang didampingi oleh Kuasa

Hukumnya telah hadir di sidang

pemeriksaan Peninjauan Kembali pada

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai

dengan Berita Acara Persidangan masing-

masing tanggal 20 Februari 2012 dan

tanggal 29 Februari 2012.

Terhadap pertimbangan dari Majelis

Hakim tersebut, Sri Murwahyuni, S.H.,

M.H., salah satu anggota Majelis Hakim

berpendapat berbeda (dissenting opinion)

dengan menyatakan bahwa Isteri dari

Terpidana Sudjiono Timan tidak bisa

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali berdasarkan pertimbangan sebagai

berikut :

- Bahwa permohonan Peninjauan

Kembali diajukan oleh Isteri terpidana.

- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

263 Ayat (1) KUHAP, yang dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali adalah Terpidana atau Ahli

Warisnya, artinya Ahli Waris dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali apabila Terpidana sudah

meninggal dunia.

- Bahwa dalam perkara a quo, tidak

ada keterangan yang menyatakan

terpidana sudah meninggal dunia, karena

terpidana tidak meninggal dunia tetapi

melarikan diri untuk menghindari

kewajibannya melaksanakan putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 434 K/PID/2003 yang telah

menjatuhkan pidana penjara selama 15

(lima belas) tahun karena terbukti

melakukan korupsi, sehingga barang

bukti dirampas untuk Negara.

- Bahwa adalah ironis apabila Ahli

Waris terpidana menuntut haknya,

sementara kewajiban terpidana

melaksanakan putusan Mahkamah Agung

tidak dipenuhi atau dilaksanakan.

Berdasarkan uraian di atas, pertimbangan

dan pendapat Majelis Hakim mengenai

kedudukan ahli waris dari Isteri

Terpidana Sudjiono Timan belumlah

sama, karena terdapat perbedaan

pendapat (dissenting opinion) dari salah

seorang anggota Majelis Hakim.

Analisis Dasar Pertimbangan Hakim

Secara teoritis, beberapa pertimbangan

Majelis Hakim Peninjauan Kembali

sebagaimana yang termuat dalam Putusan

Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012 dapat

diklasifikasikan ke beberapa aspek, yaitu

aspek filosofis, aspek sosiologis, aspek

yuridis, dan aspek teoritik.

Menurut pendapat penulis Majelis

Hakim Peninjauan Kembali tidak memuat

pertimbangan dari aspek filosofis dan aspek

sosiologis, tetapi lebih mempertimbangkan

aspek yuridis dan aspek teoritik. Dari 8

(delapan) pertimbang an Majelis Hakim

Peninjauan Kembali yang termuat di dalam

putusan tersebut, pertimbangan dari aspek

yuridis lebih dominan daripada aspek

teoritik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa

pertimbangannya yang menunjukkan bahwa

terdapat 6 (enam) pertimbangan yang

merupakan aspek yuridis dan 2 (dua)

pertimbangan yang merupakan aspek

teoritik. Klasifikasi pertimbangan Hakim

tersebut akan penulis uraikan lebih lanjut

dalam bagian analisis di bawah ini.

Syarat formil pengajuan permohonan

Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 263

Ayat (1) KUHAP yaitu :

“Terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum, terpidana atau ahli

warisnya dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali kepada Mahkamah

Agung.”

Salah satu syarat formil yang

berkaitan adalah mengenai ahli waris

sebagai pihak yang mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali. Menurut

M. Yahya Harahap, hak yang dimiliki oleh

ahli waris tersebut merupakan hak orisinil

bukan hak substitusi. Yang dimaksud

“hak orisinil” adalah hak yang diberikan

oleh undang- undang kepada mereka

demi untuk kepentingan terpidana.

Sedangkan, yang dimaksud dengan “hak

substitusi” adalah hak yang diperoleh

setelah terpidana meninggal dunia.

Dengan demikian, apabila

dikatakan bahwa hak untuk mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali dari

ahli waris adalah hak orisinil, sehingga

hak tersebut adalah hak yang didapatkan

ahli waris walaupun terpidana masih

hidup dan bukanlah hak substitusi yang

diperoleh ahli waris setelah meninggal

dunia.

Persoalannya disini adalah kapan

seseorang dapat dikatakan sebagai ahli

waris. Penjelasan mengenai kapan

seseorang dapat dikatakan sebagai ahli

waris tidak pernah diketemukan di dalam

KUHAP. Bahwa KUHAP hanya

menyatakan : ”Yang dapat mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali adalah

terpidana atau ahli warisnya”, sehingga

tidak dapat diketahui apa dan siapa ahli

waris yang dimaksud. Untuk mengetahui

jawaban kapan seseorang bisa disebut

sebagai ahli waris kiranya dapat merujuk

sistem pewarisan menurut Hukum

Perdata (KUHPerdata), Hukum Adat, dan

Hukum Islam yang berlaku saat ini di

Indonesia.

Sistem pewarisan yang diatur di

dalam KUHPerdata mengatur pewarisan

apabila pewaris meninggal dunia. Hal itu

berarti kedudukan seseorang menjadi ahli

waris terjadi pada saat pewaris meninggal

dunia. Dengan demikian dalam perkara a

quo, Isteri terpidana Sudjiono Timan yang

telah mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali kepada Mahkamah Agung RI

sebenarnya tidak dalam kedudukannya

sebagai ahli waris karena Sudjiono Timan

belum meninggal atau setidak-tidaknya

tidak ada penetapan dari pengadilan yang

menyatakan bahwa Sudjiono Timan telah

meninggal dunia. Hal ini juga dapat

diketemukan di dalam buku “Perumusan

Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali

Perkara Pidana”, yang menyatakan : Jika

yang mengajukan Peninjauan Kembali

adalah ahli waris, maka harus dapat

membuktikan bahwa yang mengajukan

tersebut adalah ahli waris terpidana.

Sebaliknya hal ini dibuktikan dengan

penetapan Pengadilan Negeri. Sebelum

mengajukan Peninjauan Kembali, ahli waris

terlebih dahulu mengajukan permohonan

kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat

untuk memperoleh penetapan Pengadilan

Negeri.

Oleh karena, permohonan Peninjauan

Kembali telah diajukan oleh Isteri terpidana

Sudjiono Timan tidak dalam kedudukannya

sebagai ahli waris, maka permohonan

Peninjauan Kembali tersebut tidak

memenuhi syarat formil sebagaimana diatur

dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

Selanjutnya, jika dilihat dalam sistem

pewarisan menurut hukum adat di

Indonesia dikenal ada 3 (tiga) sistem

kekeluargaan dan waris adat, yaitu :

a. Sistem Patrilineal

b. Sistem Matrilineal

c. Sistem Parental atau Bilateral

Sistem Patrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis

keturunan nenek moyang pihak laki-laki.

Di dalam sistem ini kedudukan dan

pengaruh pihak laki-laki sangat

menonjol, dimana yang menjadi ahli

waris adalah anak laki-laki.

Sistem Matrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis

keturunan nenek moyang pihak

perempuan. Di dalam sistem

kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak

menjadi pewaris untuk anak- anaknya.

Anak-anak menjadi ahli waris dari garis

perempuan atau garis ibu karena anak-

anak mereka merupakan bagian dari

keluarga ibunya, sedangkan ayahnya

masih merupakan anggota keluarganya

sendiri.

Sistem Parental atau Bilateral adalah

sistem kekeluargaan yang menarik garis

keturunan dari dua sisi, baik dari pihak

ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam

sistem ini kedudukan anak laki-laki dan

perempuan dalam hukum waris sama dan

sejajar.

Dalam hukum adat di Indonesia,

Isteri dapat dikatakan sebagai ahli waris

ditemukan dalam putusan Mahkamah

Agung RI tanggal 2 Nopember 1960 Reg

Nomor 302 K/SIP/1960 yang

memutuskan sebagai berikut :

Hukum Adat di seluruh Indonesia perihal

warisan mengenai seorang janda perempuan

dapat dirumuskan sedemikian rupa bahwa

seorang janda perempuan selalu merupakan

ahli waris terhadap barang asal suaminya

dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari

barang asal itu sebagian harus tetap berada

ditangan janda sepanjang perlu untuk hidup

secara pantas samapai ia meninggal dunia

atau kawin lagi, sedang dibeberapa daerah

di Indonesia disamping penentuan ini

mungkin dalam hal barang-barang warisan

adalah berupa amat banyak kekayaan maka

si janda perempuan berhak atas sebagian

dari barang-barang warisan seperti seorang

anak kandung dari sipeninggal warisan.

Dalam perkara a quo, Isteri terpidana

Sudjiono Timan telah mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali kepada

Mahkamah Agung RI. Bila dilihat dalam

sistem pewarisan menurut hukum adat,

Isteri Sudjiono Timan tidak dapat dikatakan

menjadi ahli waris dikarenakan Isteri akan

berkedudukan sebagai ahli waris dari

suaminya pada saat suami meninggal dunia,

sehingga status Isteri akan menjadi janda.

Oleh karena itu, permohonan Peninjauan

Kembali yang diajukan oleh Isteri

terpidana Sudjiono Timan tidak bisa

dikatakan dapat memenuhi syarat formil

sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat

(1) KUHAP.

Adapun, di dalam sistem pewarisan hukum

Islam terdapat kriteria pewarisan menurut

Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :

1. Anak-anak si pewaris bersama-

sama dengan orang tua si pewaris

serentak sebagai ahli waris. Sedangkan

dalam sistem hukum waris di luar Al-

Qur’an hal itu tidak mungkin sebab orang

tua baru mungkin menjadi ahli waris jika

pewaris meninggal dunia.

2. Jika pewaris meninggal dunia tanpa

mempunyai keturunan, maka ada

kemungkinan saudara-saudara pewaris

bertindak bersama-sama sebagai ahli

waris dengan orang tuanya, setidak-

tidaknya dengan ibunya. Prinsip tersebut

mempunyai maksud, jika orang tua

pewaris, dapat berkonkurensi dengan

anak-anak pewaris, apabila dengan

saudara-saudaranya yang sederajat lebih

jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem

hukum waris di luar Al-Qur’an hal

tersebut tidak mungkin sebab saudara si

pewaris tertutup haknya oleh orang

tuanya.

3. Bahwa suami-istri saling mewaris,

artinya pihak yang hidup paling lama

menjadi ahli waris dari pihak lainnya.

Peninjauan Kembali yang diajukan Isteri

terpidana Sudjiono Timan kepada

Mahkamah Agung RI dalam perkara a

quo, tidak memenuhi syarat formil

perihal pengajuan permohonan

Peninjauan Kembali. Dapat diperhatikan

dalam sistem pewarisan hukum Islam,

kedudukan Istri dapat menjadi ahli waris

dari suaminya jika pewaris (suami)

meninggal dunia dimana hal ini

ditegaskan juga pada Inpres Nomor 1

Tahun 1991 tentang Berlakunya Kompilasi

Hukum Islam, ditegaskan mengenai

pengertian Ahli Waris yang termuat dalam

Bab I Pasal 171 ialah “Orang pada saat

meninggal dunia mempunyai hubungan

darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli

pewaris.”

Dalam putusan Peninjauan Kembali

Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012., Majelis

Hakim Peninjauan Kembali, dalam

pertimbangannya, berpendapat bahwa ahli

waris sebagaimana diatur dalam Pasal 263

Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan

dalam konteks hubungan waris mewaris

atas harta benda terpidana, melainkan

istilah tersebut ditujukan kepada orang-

orang yang mempunyai kedudukan hukum

sebagai ahli waris dari terpidana berhak

pula untuk mengajukan Peninjauan

Kembali.

Dalam pertimbangannya Majelis

Hakim juga berpendapat bahwa pemohon

Peninjauan Kembali terhadap perkara a quo

adalah Istri sah dari terpidana Sudjiono

Timan yang hingga saat diajukannya

permohonan tidak pernah melakukan

perceraian (berdasarkan akte perkawinan

Nomor 542/1991 tanggal 28 Desember

1991). Berdasarkan pertimbangan ini

Majelis Hakim berkesimpulan, dalam

pertimbangannya, bahwa dalam sistem

hukum yang berlaku di negara Republik

Indonesia, selain anak yang sah sebagai ahli

waris dari orang tuanya, Istri juga

merupakan ahli waris dari suaminya.

Menurut pendapat penulis,

pertimbangan Hakim yang menyatakan

bahwa pemohon Peninjauan Kembali

ialah Istri sah dari Sudjiono Timan adalah

benar, karena pemohon Peninjauan

Kembali adalah Istri dari terpidana

Sudjiono Timan dan belum pernah

bercerai berdasarkan Akte Perkawinan

Nomor 542/1991 tanggal 28 Desember

1991. Sebaliknya, pertimbangan Majelis

Hakim menyatakan bahwa pemohon

Peninjauan Kembali ialah ahli waris dari

terpidana Sudjiono Timan adalah tidak

tepat, karena kedudukan ahli waris secara

hukum baik menurut Hukum Perdata,

Hukum Islam, dan Hukum Adat baru

timbul pada saat pewaris meninggal

dunia. Pada saat Istri dari terpidana

Sudjiono Timan mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali

kedudukannya adalah sebagai Istri dan

bukan ahli waris.

Penulis tidak sependapat dengan

pertimbangan Majelis Hakim yang

menyatakan bahwa ketentuan ahli waris

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263

Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan

dalam konteks hubungan waris mewaris

atas harta benda terpidana, melainkan

ditujukan kepada orang-orang yang

mempunyai kedudukan hukum sebagai

ahli waris, karena Majelis Hakim dalam

pertimbangannya tidak menguraikan

rujukan atau acuan yang bisa menjadi

dasar dari pendapat tersebut.

Penafsiran “Ahli Waris” dikaitkan pada

putusan MA No.97/PK/PID.SUS/2012

Berkaitan dengan kedudukan Istri dari

terpidana Sudjiono Timan dalam perkara a

quo, majelis Hakim yang memutus

Peninjauan Kembali memiliki pendapat

yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam

putusannya Majelis Hakim berpendapat

bahwa pemohon Peninjauan Kembali

adalah Istri Terpidana Sudjiono Timan yang

dalam kedudukannya sebagai ahli waris

berhak mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali. Pendapat Majelis

Hakim ini didasarkan pertimbangan sebagai

berikut :

a. Bahwa dalam Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP ditentukan pihak-pihak yang

berhak mengajukan Peninjauan kembali

terhadap putusan Pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, yang

bukan putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli

Warisnya.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis, karena Majelis Hakim

menempatkan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP

sebagai dasar untuk mengambil putusan

dalam perkara ini.

b. Bahwa Pemohon Peninjauan kembali

adalah Istri sah dari Terpidana Sudjiono

Timan yang hingga saat diajukannya

permohonan tidak pernah melakukan

perceraian (vide Akte Perkawinan

No.542/1991 tanggal 28 Desember 1991).

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis, karena pemohon Peninjauan

Kembali yang merupakan Istri sah dari

terpidana Sudjiono Timan berdasarkan

Akte Perkawinan No. 542/1991 tanggal

28 Desember 1991.

c. Bahwa KUHAP tidak memberikan

pengertian siapa yang dimaksud “Ahli

Waris” dalam Pasal 263 Ayat (1)

tersebut. Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis, karena Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP yang tidak memberikan

pengertian siapa yang dimaksud dengan

ahli waris telah menempatkan Majelis

Hakim dalam keadaan yang bebas untuk

menafsirkan siapa ahli waris yang dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali.

d. Bahwa dalam sistem hukum yang

berlaku di Negara RI, selain anak yang

sah sebagai ahli waris dari orang tuanya,

Istri juga merupakan ahli waris dari

suaminya.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis, karena sistem pewarisan yang

berlaku di Indonesia menjadi acuan

Hakim untuk memberikan putusan

sehingga mengakui Istri dari terpidana

Sudjiono Timan adalah ahli warisnya.

e. Bahwa makna istilah “Ahli Waris”

dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP

tersebut dimaksudkan bukan dalam

konteks hubungan waris mewaris atas

harta benda Terpidana, melainkan istilah

tersebut ditujukan kepada orang-orang yang

mempunyai kedudukan hukum sebagai ahli

waris dari terpidana berhak pula untuk

mengajukan Peninjauan Kembali.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis. Dalam pertimbangan ini Majelis

Hakim tetap mengacu pada ketentuan Pasal

263 Ayat (1) KUHAP yang tidak

menjelaskan mengenai siapa ahli waris.

Oleh karena itu, dalam kebebasannya

Majelis Hakim berpendapat bahwa ahli

waris bukan dalam konteks hubungan waris

mewaris terhadap harta benda terpidana,

melainkan ditujukan kepada orang-orang

yang mempunyai kedudukan hukum

sebagai ahli waris dari terpidana berhak

pula untuk mengajukan Peninjauan

Kembali.

f. Bahwa menurut M. Yahya Harahap,

SH. dalam bukunya “Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan KUHAP”,

Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara

lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris

untuk mengajukan Peninjauan kembali

bukan merupakan “hak substitusi” yang

diperoleh setelah Terpidana meninggal

dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil”

yang diberikan undang-undang kepada

mereka demi untuk kepentingan terpidana.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

teoritik, karena Majelis Hakim

menggunakan pendapatnya M. Yahya

Harahap sebagai acuan untuk menjadi dasar

adanya putusan perkara ini.

Meskipun pertimbangan ini

menjadi dasar putusan Peninjauan

Kembali karena disetujui oleh sebagaian

besar anggota Majelis Hakim, dalam

musyawarah Majelis Hakim Agung

terdapat perbedaan pendapat (dissenting

opinion) dari anggota majelis yang

memeriksa dan memutus perkara ini,

yaitu Sri Murwahyuni, S.H., M.H yang

berpendapat :

- Bahwa permohonan Peninjauan

Kembali diajukan oleh Istri terpidana.

- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

263 Ayat (1) KUHAP, yang dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali adalah Terpidana atau Ahli

Warisnya, artinya Ahli Waris dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali apabila Terpidana sudah

meninggal dunia.

- Bahwa dalam perkara a quo tidak

ada keterangan yang menyatakan

terpidana sudah meninggal dunia, karena

terpidana tidak meninggal dunia tetapi

melarikan diri untuk menghindari

kewajibannya melaksanakan putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 434

K/PID/2003 yang telah menjatuhkan

pidana penjara selama 15 (lima belas)

tahun karena terbukti melakukan korupsi,

sehingga barang bukti dirampas untuk

Negara.

- Bahwa adalah ironis apabila Ahli

Waris terpidana menuntut haknya,

sementara kewajiban terpidana

melaksanakan putusan Mahkamah Agung

tidak dipenuhi atau dilaksanakan.

Terhadap perbedaan pendapat

tersebut dalam pertimbangan Majelis

Hakim, penulis berpendapat bahwa kiranya

pendapat Sri Murwahyuni, S.H., M.H lebih

tepat karena Istri dari terpidana Sudjiono

Timan, saat mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali belum berkedudukan

sebagai Ahli Waris. Saat permohonan

Peninjauan Kembali diajukan oleh Istri

terpidana Sudjiono Timan, terpidana belum

meninggal dunia atau setidak-tidaknya

belum ada penetapan pengadilan yang

menyatakan Sudjiono Timan meninggal

dunia.

Kedudukan Istri sebagai ahli waris

dari terpidana Sudjiono Timan akan muncul

pada saat Sudjiono Timan telah meninggal

dunia atau terdapat penetapan pengadilan

yang menyatakan bahwa Sudjiono Timan

telah meninggal dunia. Hal ini sejalan

dengan putusan Mahkamah Agung RI

tanggal 20 April 1960 Reg Nomor 110

K/SIP/1960 kedudukan janda diakui

sebagai ahli waris dari almarhum suaminya

sebagaimana ditetapkan :”bahwa menurut

hukum adat seorang janda adalah juga

menjadi ahli waris dari almarhum

suaminya.”

Selain itu pula, KUHPerdata

mengatur pewarisan terjadi apabila pewaris

meninggal dunia dan ditegaskan juga di

dalam Pasal 830 KUHPerdata yang

menyatakan “Pewarisan hanya berlangsung

karena kematian.” Dengan demikian, Isteri

terpidana Sudjiono Timan baru berhak

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali pada saat terpidana Sudjiono

Timan meninggal dunia.

Demikian pula menurut sistem

pewarisan hukum Islam, berdasarkan

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Berlakunya Kompilasi Hukum Islam,

ditegaskan mengenai pengertian Ahli

Waris yang termuat dalam Bab I Pasal

171 ialah :

“Orang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris,

beragama Islam dan tidak terhalang

karena hukum untuk menjadi ahli

pewaris.”

Jadi, Istri Sudjiono Timan

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali dalam sistem pewarisan menurut

hukum Islam, kedudukan Istri menjadi

ahli waris terjadi pada saat suami

meninggal dunia.

Berdasarkan uraian diatas, penulis

berpendapat bahwa dalam perkara a quo,

Istri terpidana Sudjiono Timan tidak

memenuhi syarat formil permohonan

Peninjauan Kembali dikarenakan

beberapa alasan sebagai berikut :

1. Istri terpidana Sudjiono Timan

tidak dapat mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali dengan status

sebagai ahli waris dari terpidana.

2. Kedudukan istri dapat menjadi ahli

waris dari suaminya, jika suaminya telah

meninggal dunia atau setidak-tidaknya

ada penetapan dari pengadilan yang

menyatakan pewaris telah meninggal dunia.

3. Dasar yang menjadi acuan Istri

terpidana Sudjiono Timan dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali mengacu kepada sistem pewarisan

menurut Hukum perdata dikarenakan jelas

dalam Pasal 830 KUHPerdata menyatakan

Pewarisan hanya berlangsung karena

kematian.

Pengertian ahli waris haruslah dilihat dalam

satu kesatuan sistem hukum yang berlaku di

Indonesia. Berdasarkan teori penafsiran,

yang dalam hal ini penafsiran sistematik,

pengertian ahli waris harus dilihat dari

aspek hukum perdata. Dilihat dari aspek

perdata baik berdasarkan KUHPerdata,

Hukum Adat, Hukum Islam, kedudukan

ahli waris baru timbul pada saat pewaris

meninggal dunia.

Oleh karena itu, dalam perkara a quo,

Istri terpidana Sudjiono Timan tidak

memenuhi syarat formil sebagai

pemohon Peninjauan Kembali karena

kedudukannya sebagai Istri bukan sebagai

ahli waris sebagaimana disyaratkan oleh

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.

Peninjauan kembali adalah upaya

hukum luar biasa bagi seorang terpidana

untuk memohon peninjauan ulang atas

putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Putusan itu dapat berupa putusan

pengadilan negeri atau pengadilan tinggi,

juga dapat berupa putusan Mahkamah

Agung yang telah berkekuatan hukum tetap

(in kracht van gewijsde). UU No. 8 Tahun

1981 (KUHAP) sebagai hukum acara

pidana hanya membolehkan terpidana

atau ahli warisnya sebagai pihak yang

dapat mengajukan upaya hukum luar

biasa PK kepada Mahkamah Agung

(Pasal 263 ayat (1).

Adapun alasan untuk dapat mengajukan

PK adalah:

1. Apabila terdapat “keadaan baru”

atau novum;

2. Apabila dalam pelbagai putusan

terdapat saling pertentangan;

3. Apabila terdapat kekhilafan hakim

atau kekeliruan yang nyata dalam putusan

(Pasal 263 ayat (2)). Ketentuan KUHAP

sudah jelas bagi seorang terpidana yang

dihukum bersalah diberi kesempatan

terakhir untuk menempuh upaya hukum

PK. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa

dalam negara hukum (rechsstaat), negara

dan individu ditempatkan sejajar

(equality before the law), mengingat

negara diberi kekuasaan untuk

menjalankan hukum termasuk

menghukum terpidana melalui putusan

pengadilan, maka hak mengajukan upaya

PK itu hanya diberikan kepada seorang

terpidana atau ahli warisnya.

Sebelum putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap dijatuhkan,

yang menghukum seorang terdakwa,

instansi lain yaitu Kepolisian sudah

melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadapnya, yang disusul dengan

dakwaan dan tuntutan oleh kejaksaan,

serta pemenjaraan oleh lembaga

pemasyarakatan. Dengan proses tersebut,

negara telah diberi kekuasaan dan

kewenangan yang begitu besar untuk

memenjarakan seseorang, yang berarti

merampas dan membatasi kemerdekaan

seseorang demi hukum. Dengan demikian,

seorang yang diancam hukuman atau

sedang menjalani hukuman perlu diberi hak

untuk membela diri yang terakhir atau

paling akhir agar ada keseimbangan dan

keadilan bagi individu yang diancam

hukuman atau sedang menjalankan

hukuman. Oleh karena itu, KUHAP tidak

mengatur mengenai batasan waktu untuk

mengajukan Peninjauan Kembali.

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dari kedua

rumusan masalah diatas maka dapat di

ambil dua kesimpulan yaitu:

1. Pengaturan tentang pengajuan

Peninjauan Kembali oleh Ahli Waris yakni

“Ahli Waris” dalam syarat formil

permohonan Peninjauan Kembali dalam

perkara pidana haruslah dilihat sebagai

sebuah sistem hukum yang berlaku. Dalam

pemikiran yang demikian, mesikpun

KUHAP tidak menjelaskan secara tegas

mengenai apa dan siapa “Ahli Waris”

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 263

Ayat (1), maka untuk menemukan

pengertian apa dan siapa “Ahli Waris”

tersebut dapat diacu dalam aspek

keperdataan melalui penafsiran sistematik.

Berdasarkan penafsiran sistematik ini, apa

dan siapa “Ahli Waris” dapat ditemukan,

yaitu “Ahli Waris” baru akan timbul pada

saat pewaris meninggal dunia. Dengan

kata lain, dari aspek keperdataan baik

KUHPerdata, Hukum Adat, dan Hukum

Islam ditegaskan bahwa “Ahli Waris”

baru akan timbul pada saat pewaris

meninggal dunia. Hal ini berarti bahwa

“Ahli Waris” menurut Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP pun akan timbul pada saat

pewaris meninggal dunia.

2. Status Istri dalam Putusan MA No.

97/PK/PID.SUS/2012 jika dikaitkan

dengan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maka

kedudukan Istri dalam pengajuan PK

kasus ST harus ditafsirkan sebagai orang

yang mempunyai hubungan (perkawinan)

dengan terpidana dan terpidana telah

meninggal dunia. Penafsiran itu

didasarkan pada metode penafsiran

gramatikal (gramatical interpretatie) dan

penafsiran sistematis (systematize

interpretatie). Walaupun majelis hakim

MA juga menggunakan metode

penafsiran sistematis, namun tidak

konsisten. Sesuai dengan kedua metode

itu, maka seseorang harus dapat

dikategorikan sebagai ahli waris apabila

memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu

mempunyai hubungan darah atau

perkawinan dengan pewaris (terpidana)

dan pewaris (terpidana) telah meninggal

dunia. Apabila terpidana belum

meninggal dunia, maka seseorang tidak

dapat dikategorikan sebagai ahli waris

walaupun mempunyai hubungan dengan

terpidana baik hubungan darah atau

perkawinan. Dalam hal demikian, maka

seseorang tidak dapat mengajukan PK

dengan kedudukan sebagai ahli waris.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas maka

terdapat dua saran yang berkaitan dengan

rumusan masalah di atas yaitu:

1. Pengaturan pengajuan Peninjauan

Kembali oleh Ahli Waris haruslah di

pertegas dan dituangkan dalam aturan

hukum yang jelas sehingga tidak terdapat

celah hukum lagi dan perkara serupa

tidak terjadi lagi.

2. Untuk selajutnya status Istri maupun

keluarga yang lain harus dijelaskan dalam

Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku. Perubahan atas KUHP dan

KUHAP sangatlah diperlukan karena

sudah tidak relevan lagi dengan hukum di

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Z, Pengantar Ilmu Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

Chazawi, Adam, Lembaga Peninjauan

Kembali (PK) Perkara Pidana :

Penegakan Hukum dalam

Penyimpangan dan Peradilan

Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Chazawi, Adam, Pelajaran Hukum

Pidana, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2011.

Effendy, M, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan terhadap beberapa

perkembangan hukum pidana),

Jakarta, 2012.

Hadjon, P.M., & Djatmiati, T.S,

Argumentasi hukum (Legal

argumentation/legal reasoning):

Langkah-langkah legal problem

solving dan penyusunan legal

opinion, Gajah Mada University

Press. Yogyakarta, 2005.

Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana

69

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2008.

Harahap, Yahya, Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan

Kuhap Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi,

dan Peninjauan Kembali, Sinar

Grafika, Jakarta, 2000.

Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Lembar

Fakta HAM, Komnas HAM,

Jakarta, 2005.

Lamintang, P.A.F., & Lamintang, T,

Pembahasan KUHAP menurut

ilmu pengetahuan hukum pidana

dan yurisprudensi, Sinar Grafika,

Jakarta, 2010.

Marpaung, Leden, Perumusan

Memori Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Pidana, Sinar

Grafika, Jakarta, 2000.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian

Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.

Mertokusumo, S., & Pitlo, A, Bab-

bab tentang penemuan hukum.

Citra Aditya, Bandung, 2013.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,

Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Mulyadi, L, Hukum acara pidana

(Normatif, teoritis, praktik, dan

permasalahannya), Bandung,

2012.

Mulyadi, L, Hukum acara pidana suatu tinjauan khusus terhadap:

Surat dakwaan, eksepsi, dan

putusan peradilan, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2012.

Purba, Bona.P, Fraud dan Korupsi,

Lestari Kiranatama, Jakarta,

2015.

Soekanto. S., & Mamudji, S,

Penelitian hukum normatif

(Suatu tinjauan singkat), Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Soeparman, P, Pengaturan hak mengajukan upaya hukum

peninjauan kembali dalam

perkara pidana bagi korban

kejahatan, Refika Aditama,

Bandung, 2009.

Soeroso, R. (2013). Pengantar ilmu

hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Van Mourik, M.J.A., Studi Kasus Hukum

Waris,Eresco, Bandung, 2012.

Wijayanta, T., & Firmansyah, H,

Perbedaan pendapat putusan

pengadilan, Pustaka Yustitia,

Yogyakarta, 2011.

Zulfa, E.A, Upaya peninjauan kembali

oleh jaksa penuntut umum sebagai

wujud perlindungan terhadap hak

korban. Makalah presentasi dalam

rangka penelitian tentang peninjauan

kembali putusan pidana oleh jaksa

penuntut umum: Penelitian asas,

teori, norma, dan praktik

penerapannya dalam putusan

pengadilan. Diselenggarakan oleh

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hukum dan Peradilan Mahkamah

Agung Republik Indonesia.

Palembang Sumatera Selatan, 2012

Undang-Undang. Dasar Negara Republik

Indonesia (UUD 1945).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 14 tahun I985 tentang

Mahkamah Agung.

Surat Edaran Mahkamah Agung No 1

Tahun 2012.

Trijono, Rachmat, Kamus Hukum, Pustaka

Kemang, Jakarta, 2016.

Mappong H. A. Kadir, Makalah Wakil

Ketua Mahkamah Agung Bidang

Yudisial Tentang Peninjauan

Kembali, Jakarta, 2011.

Forum Keadilan, Suhandi Cahaya, PK

Sudjiono Timan Kemunduran

Hukum Indonesia, Diakses dari

http://forumkeadilan.com/hukum/suh

andi-cahaya-pk-sudjionotiman-

kemunduran-hukum-indonesia,

diakses pada tanggal 21 April 2017. Pengertian Pengajuan, http://kbbi.web.id,

diakses pada tanggal 19 Maret 2017.