108
PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.) S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy) Oleh: M. ZAKY AHLA FIRDAUSI NIM. 1110044100041 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M

PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

i

PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN

(Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor:

0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

M. ZAKY AHLA FIRDAUSI

NIM. 1110044100041

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M

Page 2: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis
Page 3: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis
Page 4: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis
Page 5: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

ABSTRAK

M. ZAKY AHLA FIRDAUSI. NIM. 1110044100041. “PENETAPAN ISBAT

NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis Penetapan Pengadilan

Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)” Program Studi Hukum

Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses pengajuan Isbat Nikah bagi

Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa, pertimbangan Hakim

pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs., dan pandangan Hakim

Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran

setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan

isbat nikah nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. dan wawancara dengan hakim yang

menetapkan permohonan tersebut. Sedangkan sumber data sekundernya adalah

peraturan perundang-undangan perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya

berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses pengajuan

isbat nikah bagi perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa sama

dengan proses pengajuan isbat nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama

WNI yang beragama Islam). Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa

dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun

1974 adalah bahwa permohonan isbat nikah dikabulkan demi melindungi dan

menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan

suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Adapun alasan

permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan

perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI.

Kata kunci: Isbat Nikah, Perkawinan Campuran, Penetapan Pengadilan Agama.

Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A.

Daftar Pustaka : Tahun 1980 s.d. 2014

Page 6: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

i

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Rabbul

Izzati, Allah SWT., yang telah menerangi, menuntun dan membukakan hati serta

pikiran penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan proses penyusunan skripsi

ini. Iringan shalawat dan salam senantiasa mengalir kepangkuan manusia pilihan,

Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-sahabat setianya

hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “Penetapan Isbat Nikah Bagi Perkawinan Campuran

(Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0044/Pdt.p/2014/PA.

Tgrs)”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah

(S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut

ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang

penulis temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya,

kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung

maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya

sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah

sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

sedalam-dalamnya kepada :

Page 7: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

ii

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Bapak Arip Purkon M.A., Ketua Prodi

dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis.

4. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag., selaku dosen penguji I dan Ibu Sri Hidayati,

M.Ag., selaku penguji II, yang telah memberikan saran dan masukannya

kepada penulis guna kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani. M.Ag., dosen pembimbing akademik, yang telah

memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis yang menyelesaikan

penyusunan skripsi ini.

6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku

perkuliahan.

7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

beserta staff yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan

studi perpustakaan.

8. Segenap Hakim dan Staff Pengadilan Agama Tigaraksa yang memberikan data

dan informasi yang penulis butuhkan.

Page 8: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

iii

9. The Light Of My Life, Supporter tiada henti, kekuatan saat lemahku, pelipur

lara saat sedihku, Ayahanda Drs. Didi Kusnadi, M.Pd., dan Ibunda tercinta

Nuryati yang tidak pernah mengenal kata lelah mencurahkan perhatian dan

kasih sayangnya berupa bimbingan dalam menuntunku menjadi pribadi yang

lebih baik. Terimakasih untuk semua waktu dan tiap doa yang selalu kau

panjatkan untuk anakmu ini. Terimakasih untuk selalu menjadi yang pertama

membangkitkanku, menyemangatiku, serta membuatku tetap melapangkan

hatiku saat aku mulai lelah dan kehabisan semangat. Bagi ananda, tiada

penghargaan paling terindah di dunia ini selain melihat Ayah dan Ibu selalu

tersenyum. Doakan selalu semoga anakmu ini selalu menjadi pribadi yang

baik, hamba Allah yang baik, dan menjadi anak yang membanggakan kalian.

Amiin. Ana UhibbukumaFillah.

10. Kepada Adik-Adiku Nadhia Rahma Al-Azkia, M. Zahid Noor El-Adly dan

Keluarga Besarku yang senantiasa ada dan berupaya membantuku dalam

menempuh kuliah baik berupa semangat, canda tawa, serta waktu. Terimakasih

untuk selalu memberikan semangat dan membantu penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

11. Big Thank’s To OPS Management Rifky (Ceper), Syahbana, Ulil Azmi, Rusdi,

Arkim, Zidni, Faudzan, Fajrul, Kahfi, Ipank, Zian, Erwin, Inayah, Rena,

Neneng, Arini, Khairunnisa serta sahabat-sahabat Peradilan Agama Angkatan

2010, Kawan Seperjuanganku Alif Septian, Redi, Luthfi dan sahabat S.M.S All

Stars yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman

seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.

Page 9: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

iv

12. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) DINAMIC dan Bapak Ibu

sekeluarga KKN Desa Kohod, Pakuhaji. yang selalu memberikan semangat

dan do’a kepada penulis.

Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi

catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.

Ciputat, 11 J u n i 2015 M.

24 Sya’ban 1436 H.

Penulis

Page 10: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................

ABSTRAK ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 9

D. Metode Penelitian ................................................................... 11

E. Study Review Terdahulu ........................................................ 15

F. Sistematika Penulisan ............................................................. 16

BAB II : HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN

A. Pengertian Perkawinan Campuran .......................................... 17

B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran .................................... 22

C. Prosedur Perkawinan Campuran ............................................ 25

D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran ................................... 28

BAB III : ISBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian Isbat Nikah ............................................................ 35

Page 11: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

vi

B. Dasar Hukum Isbat Nikah ....................................................... 38

C. Alasan Diperbolehkannya Permohonan Isbat Nikah .............. 41

D. Syarat-Syarat Permohonan Isbat Nikah .................................. 45

E. Isbat Nikah Perkawinan Campuran ........................................ 47

F. Manfaat Pencatatan Perkawinan dan Isbat Nikah ................... 48

BAB IV : ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN DI

PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa .................... 51

B. Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa ... 60

C. Persyaratan Permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran

di Pengadilan Agama Tigaraksa .............................................. 65

D. Pertimbangan Hakim Pada Penetapan Nomor

0044/Pdt/P/2014/PA.Tgrs ........................................................ 66

E. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Dalam

Perkara Isbat Nikah Perkawinan Campuran Setelah

Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974 ....................................... 69

F. Analisis Penulis ....................................................................... 73

BAB V : P E N U T U P

A. Kesimpulan ............................................................................ 86

B. Saran ...................................................................................... 88

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 89

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... 92

Page 12: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing

2. Surat Permohonan Data dan Wawancara

3. Surat Balasan dari Pengadilan Agama Tigaraksa

4. Pedoman Wawancara

5. Hasil Wawancara

6. Penetapan Nomor : 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.

Page 13: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan awal terbentuknya institusi kecil dalam keluarga.

Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, baik perorangan maupun

kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dengan

perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai

makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram

dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi

kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Allah SWT.

Perkawinan menurut pandangan Islam merupakan suatu ibadah,

sunnatullah, dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sunnatullah berarti menurut

Qadrat dan Iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini, sedangkan sunnah

Nabi Muhammad SAW berarti mengikuti tradisi yang dilakukan oleh Rasul yang

telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk umatnya.1

Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah

satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh

aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak

tertulis (hukum adat).

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

dijelaskan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

1 Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media,

2007), h. 41

1

Page 14: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

2

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan

gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.

Kemajuan teknologi yang pesat dan semakin canggih seperti saat ini, maka

komunikasi semakin mudah untuk dilakukan. Hal ini sangat besar pengaruhnya

terhadap hubungan internasional yang melintasi wilayah antar negara. Keterbukaan

Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional membawa dampak tertentu

pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan, khususnya perkawinan. Selain

itu, manusia mempunyai rasa cinta yang universal, tidak mengenal perbedaan warna

kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga bukanlah hal yang mustahil bila

terjadi perkawinan antar manusia yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda

yaitu antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA).

Perkawinan ini di Indonesia dikenal dengan istilah perkawinan campuran.

Pengertian Perkawinan campuran didefinisikan dalam Pasal 57 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut : ”Yang dimaksud

dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua

orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

kemudian menyatakan, perkawinan campuran baru dapat dilangsungkan bilamana

para pihak telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana ditentukan oleh

Page 15: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

3

hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak (ayat 1). Hal mana haruslah

dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang

berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan (ayat 2). Jika

pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka

atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan

tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah

penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (ayat 3). Jika

pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu

menjadi pengganti keterangan yang dimkasud dalam ayat (3) tersebut (ayat 4).

Selain syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 60 tersebut, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memerintahkan pula supaya

perkawinan campuran itu dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61

ayat 1).

Perkawinan yang selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah

lembaga yang memberikan legitimasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup

dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman

sebuah keluarga salah satunya ditentukan oleh syarat dan rukun yang telah

ditetapkan menurut syariat Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain

yang mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan

Agama/Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak

dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri

maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.

Page 16: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

4

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan akta nikah dan masing-

masing suami istri mendapat salinannya. Apabila terjadi perselisihan atau

pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang

lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak

masing-masing. Bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan dan

pengawasan pegawai pencatat nikah, maka perkawinan tersebut tidak memiliki

kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Jika perkawinan tersebut

tidak mempunyai kekuatan hukum maka mereka yang melaksanakan perkawinan

tersebut tidak dapat melakukan upaya hukum atau memperoleh haknya ketika

terjadi pelanggaran atas perkawinan mereka. Keterlibatan pegawai pencatat nikah

dalam suatu perkawinan adalah untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu

terwujudnya ketertiban, kepastian, dan perlindungan hukum bagi masyarakat

dalam bidang perkawinan.

Oleh karena itu dalam pernikahan tersebut harus diatur sedemikian rupa

agar mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Keluarga sakinah

pada dasarnya terbentuk dalam 2 dimensi : dimensi kualitas hidup dan dimensi

waktu, durasi atau stabilitas.2 Untuk itulah di Indonesia dibuat UU No.1 Tahun

1974 tentang perkawinan, yang merupakan sumber hukum materil perkawinan.

Seiring dengan perkembangan zaman UU tersebut mulai menampakkan

kelemahannya. Pada dasarnya UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

2 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani

Quraisy, 2005), h. 17

Page 17: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

5

merupakan sumber hukum materil dalam peradilan. Namun saat ini dalam perkara

peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut.

Sebagai contoh dalam masalah Isbat Nikah, seperti dijelaskan dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) bahwa Isbat Nikah yang

diajukan ke pengadilan agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi

sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.3 Artinya jika mengacu kepada

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) & UU No. 1 Tahun 1974

ketika seseorang menikah sebelum adanya UU Perkawinan tersebut (sebelum

tahun 1974) maka diperkenankan untuk melakukan Isbat nikah, karena pada saat

itu tidak ada aturan tentang pencatatan Nikah.

Akan tetapi setelah adanya UU Perkawinan tersebut maka pihak yang

menikah sirri (nikah dibawah tangan) dilarang untuk melakukan Isbat Nikah.

Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara Isbat nikah yang

masuk dalam lingkungan Peradilan Agama walaupun pernikahan sirri tersebut

terjadi setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974. Tujuan utama disahkannya

UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya penertiban hukum terhadap

pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upaya yang dilakukan

oleh pemerintah Indonesia adalah dengan pencatatan nikah. Adanya pencatatan

nikah ini, sebagai konsekuensinya masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang

sah oleh hukum terhadap pernikahan tersebut dan akan mendapatkan

perlindungan hukum jika suatu saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan

perceraian, pembagian waris, wakaf, dan lain sebagainya.

3 Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan,

Waris, Perwakafan, Impres No. 1 Th 1991 berikut penjelasan, (Surabaya: Karya Anda, 1991), h.2

Page 18: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

6

Seperti yang telah tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 2

dijelaskan, ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam pasal 2 ayat

(2) dijelaskan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut

mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah diundangkannya UU No. 1

Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan

Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban pernikahan. Tidak

dicatatkannya sebuah pernikahan akan menimbulkan dampak hukum bagi

pasangan suami-istri. Namun demikian pasal 7 Kompilasi Hukum Islam

menyatakan bahwa:

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat

oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,

dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama

(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

(b) Hilangnya Akta Nikah.

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat

perkawian.

(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-

undang No.1 Tahun 1974 dan.

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

Pasal 7 ayat 3e KHI tersebut tampaknya memberikan celah hukum

sehingga seorang hakim mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan

Perkara Isbat nikah.

Dilakukannya isbat nikah maka kedua pasangan suami isteri mempunyai

beberapa manfaat, yang pertama, bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi

Page 19: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

7

agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat

perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut

perundang-undangan. Ini dapat dihindari pelanggaran terhadap kompetensi relatif

pegawai pencatat hukum, seperti identitas calon mempelai, status perkawinan,

perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.4 Sedangkan yang kedua

adalah manfaat represif berkaitan dengan perkawinan yang tidak memiliki akta

nikah karena lain hal, bisa mengajukan isbat nikahnya (penetapan) kepada

pengadilan.5

Menurut sejumlah penelitian, isbat nikah merupakan salah satu sarana

empuk bagi pelaku-pelaku pelanggar undang-undang perkawinan. Peluang isbat

nikah ditambah dengan pengetahuan yang rendah, bahkan tidak paham dari pihak

lain, menjadi pintu luang bagi pelanggar. Mengaku calon istri sudah hamil

menjadi lowongan poligami lewat isbat nikah. Mengaku sudah lahir anak yang

kelak tidak jelas status hukum orangtuanya menjadi alasan lagi untuk poligami

lewat isbat nikah. Masih banyak modus-modus hampir sama untuk tujuan sama.

Karena itu, ketegasan para penegak hukum (hakim) untuk bertindak tegas atau

minimal kecerdasan untuk menyeleksi mana yang masih pantas diberi isbat nikah.

Semestinya para hakim dan tokoh masyarakat seperti ustad, kiyai, muballig,

meletakkan Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum (fikih) Islam Indonesia,

sehingga undang-undang inilah sebagai fikih Islam yang diberlakukan di

Indonesia, sama status dan otoritasnya dengan hukum (fikih) Islam konvensional

4 Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-III,

h. 111-112. 5Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, h.117

Page 20: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

8

yang dikonsepkan para imam mazhab di zamannya. Sehingga tidak ada lagi istilah

sah menurut agama tetapi belum menurut negara. Dengan ungkapan lain, undang-

undang itulah hukum Islam (agama) sekaligus hukum negara.6

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh

Isbat nikah tersebut yang dalam hal ini secara komprehensip penulis

menuangkannya ke dalam karya Ilmiyah berjudul “ Penetapan Isbat Nikah Bagi

Perkawinan Campuran (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor:

0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Banyak perkara yang masuk dalam penetapan Isbat Nikah dalam

Lingkungan Pengadilan Agama Tigaraksa setiap tahunnya. Akan tetapi

dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada perkara Isbat Nikah

dengan alasan Perkawinan Campuran Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.

2. Perumusan Masalah

Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) dinyatakan bahwa isbat nikah dapat

diajukan bagi mereka yang melakukan pernikahan sebelum diberlakukannya

6 Khoiruddin Nasution, “Belajar dari Kasus Syeh Puji,” http://maulhayat.blogspot.com/

2009/03/hikmah-kasus-syekh-puji.html (diakses pada 12 April 2014)

Page 21: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

9

UU No. 1 Tahun 1974. Pada kenyataannya masih ada penetapan pengadilan

tentang isbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan setelah

diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, termasuk perkawinan campuran

seperti yang tertuang dalam penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam

penelitian ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam

perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1

Tahun 1974 ?

b. Bagaimana proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di

Pengadilan Agama Tigaraksa ?

c. Bagaimana Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor

0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat

nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 ?

b. Proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di Pengadilan

Agama Tigaraksa ?

c. Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?

Page 22: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

10

2. Manfaat penelitian

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

yang jelas mengenai pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa

dalam memutuskan perkara Isbat Nikah setelah terbitnya UU No. 1

Tahun 1974,serta dampak yang terjadi akibat pengabulan isbat nikah

yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, dan solusi yang

ditawarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam

menyelesaikan permasalahan tersebut.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan

ilmu pengetahuan bagi:

1) Peneliti

Penelitian ini bertujuan untuk memuaskan rasa penasaran peneliti

tentang apa yang menjadi landasan hukum bagi para hakim yang

mengabulkan perkara isbat nikah walaupun pernikahan tersebut terjadi

setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, serta dampak yang terjadi

akibat pengabulan isbat nikah yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1

Tahun 1974, dan solusi yang ditawarkan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Agama Tigaraksa dalam menyelesaikan permasalahan

tersebut.

2) Masyarakat

Hasil penelitian ini tentunya akan sangat bermanfaat sebagai ilmu

pengetahuan bagi masyarakat tentang peraturan isbat nikah yang

sesuai dengan UU Perkawinan .

Page 23: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

11

3) Lembaga Peradilan Agama

Penelitian ini diharapkan sebagai informasi agar dapat menjadi bahan

pertimbangan dalam pemutusan Perkara Isbat Nikah.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis

Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu

perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku

atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal

tentang pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama. Hal ini tidak bisa

dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa terungkap dengan

datang langsung ke Pengadilan Agama. Sehingga data yang diperoleh bisa

bervariasi dan lebih lengkap.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu

penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan

prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.7

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai

berikut :

a. Sumber primer, adalah data yang diperoleh langsung dari subyek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan

7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

h. 6.

Page 24: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

12

data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.

Penelitian ini, subyek penelitiannya adalah dokumen Penetapan Isbat

Nikah Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. serta sumber informasi dari

para hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan

Agama Tigaraksa.

b. Sumber sekunder, adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau

bukan data yang datang langsung, namun data-data ini mendukung

pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder

diantaranya adalah:

1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

3) PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

5) kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya

dengan masalah isbat nikah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu

dengan menggunakan metode dokumentasi dan metode

interview/wawancara.

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai variabel yang

berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,

Page 25: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

13

notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya.

Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa

tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas

dalam penelitian, serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil

metode interview atau wawancara. Metode ini digunakan untuk

mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji

atau teliti. Dalam hal ini, dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip

atau dokumen salinan penetapan permohonan isbat nikah yang telah

diputus Pengadilan Agama Tigaraksa.

b. Metode Interview

Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan menggunakan

sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula.

Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-

hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan.8 Dengan menggunakan

metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara langsung, jujur,

dan benar serta keterangan lengkap dari informan sehubungan dengan

obyek penelitian. Sehingga dapat diperoleh informasi yang valid dengan

bertanya langsung kepada informan. Dalam hal ini informan adalah para

hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama

Tigaraksa.

8 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996), cetakan-

I, h. 59

Page 26: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

14

4. Analisis Data

Menurut Moleong, analisa data merupakan tahap terpenting dari

sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini data dapat dikerjakan dan

dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman

yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan

yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses

pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu

uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan

hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.9

Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau

analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri

berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para

tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya

dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa

isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan

memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam

mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.10

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan

BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2012 M.

9 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

h. 103. 10

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 163.

Page 27: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

15

E. Study Review Terdahulu

Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang dilakukan

seputar hukum perkawinan di bawah tangan, baik ditinjau menurut perspektif

hukum Islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis

ketahui, belum ada seorangpun yang menulis Penetapan isbat nikah bagi

Perkawinan Campuran (analisis penetapan pengadilan agama Tigaraksa nomor :

0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.) Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada

beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat

penulis. Biarpun obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang

mendasar. Misalnya:

Skripsi yang berjudul “Dampak penolakan isbat nikah terhadap hak

perempuan yang disusun oleh Ria Amaliyah pada tahun 2009. Skripsi ini lebih

berfokus pada hak perempuan bila terjadi penolakan dalam isbat nikah.

Kemudian yang kedua “Isbat nikah dalam perkawinan (analisis yuridis

penetapan nomor :083/Pdt.P/2010/PA.JS.) yang ditulis oleh Indro Wibowo,

Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama tahun

2011. Lebih fokus kepada isbat nikah dalam perkawinan yang terjadi di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan sesuai dengan salinan putusan no:

083/Pdt.P/2010/PA.JS.

Ketiga adalah: “Study putusan Isbat nikah sirri di Pengadilan Agama

Cilegon (perkara no: 33/Pdt.p/2011/PA.Clg). yang disusun oleh Muhamad

Muachir, Mahasiswa Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah pada tahun 2012.

Page 28: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

16

Skripsi ini berfokus kepada putusan isbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama

Cilegon dengan alasan perkawinan tidak tercatat atau nikah sirri.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih konkrit dari penelitian ini, maka

sistematika penulisannya disusun sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan, meliputi pembahsan tentang: latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penulisan, study review terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab II, hakekat perkawinan campuran, meliputi pembahasan tentang:

pengertian perkawinan campuran, dasar hukum perkawinan campuran, prosedur

perkawinan campuran, dan akibat hukum perkawinan campuran.

Bab III, kajian teoritis tentang Isbat Nikah, meliputi pembahasan tentang:

pengertian Isbat Nikah, dasar hukum Isbat Nikah, alasan diperbolehkannya

permohonan Isbat Nikah, syarat-syarat permohonan Isbat Nikah, Isbat Nikah

perkawinan campuran, manfaat pencatatan perkawinan dan Isbat Nikah.

Bab IV, Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,

yang didalamnya menjelaskan tentang: Gambaran Umum Pengadilan Agama

Tigaraksa, permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa, persyaratan

permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,

pertimbangan hakim pada penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs, pandangan

hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara Isbat Nikah Perkawinan

Campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 dan Analisis Penulis

Bab V penutup, yang didalamnya berisi tentang: kesimpulan dan saran.

Page 29: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

17

Page 30: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

17

BAB II

HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN

A. Pengertian Perkawinan Campuran

Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap

golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan

penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum

antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum manakah yang akan

diberlakukan terhadap perkawinan antara dua orang yang berbeda

kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia

Belanda mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran yakni Regeling op

de Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898).

Peraturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam

Staatsblaad Tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama Regeling Op De

Gemengde Huwelijken (yang disingkat GHR). Artikel 1 dari Staatsblaad ini

memberikan pengertian mengenai perkawinan campuran. Pengertian tersebut

diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai perkawinan antara orang-orang

yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda dinamakan perkawinan

campuran.1 Pengertian yang demikian mengandung arti yang sangat luas, apabila

ternyata hukum yang berlaku untuk orang-orang bersangkutan yang hendak

1 Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional

Sedunia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 10

17

Page 31: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

18

menikah di Indonesia, maka mereka dianggap telah melakukan perkawinan

campuran, berarti termasuk juga orang-orang yang berbeda kewarganegaraannya.2

Pasal 1 G.H.R. menjelaskan arti perkawinan campuran adalah:

“perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum

yang berlainan”.3 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti

perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar warganegara Indonesia

atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihak-

pihak yang melaksanakan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan adalah perkawinan campuran.

Menurut konsepsi pasal 1 tersebut, perkawinan antara dua orang yang

berkewarganegaraan asing dan bukan penduduk Indonesia yang dilaksanakan di

luar Indonesia, misalnya orang Arab dan orang Inggris, merupakan perkawinan

campuran dalam arti GHR.

Perkawinan campuran dalam GHR tersebut termasuk pula perkawinan-

perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara dua orang warganegara

Indonesia yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara

seorang warganegara Indonesia dan seorang asing. Akan tetapi, bila pihak atau

pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebagian dari hukum

perkawinan Betsluit Wetboek (BW), maka bagi perkawinan tersebut berlakulah

ketentuan BW.4

2 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di Indonesia,

cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 226. 3 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898

No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 60 4 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, h. 61.

Page 32: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

19

Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR, dan bahkan

juga dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia, karena pasal 2 itu

dengan tegas menjunjung tinggi asas persamarataan penghargaan terhadap stelsel-

stelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan

pasal 2 GHR tersebut, sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap stelsel-stelsel

hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu

menyatakan bahwa stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal

ini terbukti ketika di Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang

baru pada tahun 1848, dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan

bahwa seorang bukan Eropa yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus

tunduk terlebih dahulu pada Hukum Perdata Eropa.5

Mengenai asas persamarataan sebagai dimuat dalam pasal 2 GHR,

walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang

secara strict juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum

dalam keluarga.6

Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun

pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang

Perkawinan adalah :

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini

ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum

yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan

Indonesia”.

5 Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar Baru-

Vanhoeve, 1980), h. 128 6 Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, h. 128

Page 33: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

20

Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan

unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut:

1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita.

2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

3. Karena perbedaan kewarganegaraan.

4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur

kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita

yang melangsungkan perkawinan itu. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan

karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena

unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini

pun bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat

menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan

Indonesia.7 Tegasnya, perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :8

1. Seorang pria warganegara Indonesia kawin dengan seorang wanita warga

negara asing.

2. Seorang wanita warganegara Indonesia kawin dengan seorang pria warga

negara asing.

Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara

seorang warga negara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga

7 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1993), h. 103. 8 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.

46

Page 34: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

21

padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda

hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.

Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian

perkawinan internasional sebagai berikut :

“Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung

unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai

mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya,

atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya

dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya”.9

Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam

perkawinan campuran, yaitu :10

1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)

Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul

perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda

kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan.

Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.

2. Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocal)

Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia

asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin

dengan orang Jawa.

3. Perkawinan Campuran Antar Agama (Interreligius)

9 Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International

Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997), h. 36. 10

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta, Prestasi Pustaka

Publiser, 2006), h. 242.

Page 35: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

22

Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-

masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang

Islam dengan orang Kristen.

B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran telah terjadi jauh sebelum lahirnya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun dasar hukum perkawinan

campuran adalah sebagai berikut:

1. Menurut Staatblad 1896 N0. 158.

Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit

Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de

gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai

berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah

hukum yang berlainan (Pasal 1). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang

masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu: 11

a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warga negara dan orang

asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan

yang dilangsungkan di luar negeri.

b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara

seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita

Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan

sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.

11

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), h. 90

Page 36: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

23

c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel).

Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan

adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3

(tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (2) Golongan Timur Asing (3)

Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang

dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan

campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia (2)

antara Eropa dan Tionghoa (3) antara Eropa dan Arab (4) antara Eropa dan

Timur Asing (5) antara Indonesia dan Arab (6) antara Indonesia dan

Tionghoa (7) antara Indonesia dan Timur Asing (8) antara Tionghoa dan

Arab.

d. Perkawinan Campuran Antar Agama

Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula

perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem

hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam

hal perkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama.

Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak

perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah

kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 M. dianggap perlu

untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan

bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai larangan terhadap

suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu

Page 37: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

24

adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq

pada Tahun 1900. 12

2. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974.

a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang

di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

(pasal 57)

b. Ruang Lingkup. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

adalah hasil Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam

menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara

Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU

Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan

perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara

dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan

Indonesia. 13

Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran

adalah:

1) Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan.

2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.

3) Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

12

Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad

1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 61. 13

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Cet-1,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 230

Page 38: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

25

Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya

perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU

Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama

Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka

yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan

ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama

yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran

dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai

pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang

dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam

dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.14

Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah

zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena

sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

C. Prosedur Perkawinan Campuran

Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di

Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:15

1. Fotokopi paspor yang sah

14

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta:

Sinar Grafika, 2006), h. 231 15

LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) diakses

pada tanggal 4 April 2015 pukul 21.35.

Page 39: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

26

2. Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon

3. Surat Status dari catatan sipil negara pemohon

4. Pasfoto uuran 2x3 sebanyak 3 lembar

5. Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.

6. Membayar biaya pencatatan.

Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada

Kantor Urusan Agama Kecamatan.

1. Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/kelurahan untuk mendapatkan :

a. Surat Keterangan untuk nikah (N.1)

b. Surat Keterangan asal usul (N.2)

c. Surat Persetujuan mempelai (N.3)

d. Surat Keterangan tentang orang tua (N.4)

e. Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)

2. Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :

a. Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita

b. Kartu imunisasi

c. Imunisasi Tetanus Toxoid II

Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke

KUA kecamatan, untuk :

3. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model

N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat

dilakukan oleh wali atau wakilnya

Page 40: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

27

4. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut (1)

Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA (2) Pernikahan yang

dilaksanakan di luar balai nikah/ Kantor KUA. di tambah biaya bedolan sesuai

ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/ Kantor Departemen Agama masing-

masing daerah.

5. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu.

a. Surat keterangan untuk nikah menurut N.1

b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul

calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat

menurut model N2.

c. Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3.

d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat

setingkat menurut model N4.

e. Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia

21 tahun menurut model N5.

f. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana

dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan.

g. Pasfoto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar.

h. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19

tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun.

i. Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari atasannya

atau kesatuannya.

j. Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.

Page 41: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

28

k. Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka yang

perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun

1989.

l. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat oleh

kepala desa/ lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar

pengisian model N6 bagi janda/ duda yang akan menikah.

m. Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.

6. Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut

model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran.

7. Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari.

8. Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.

9. Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.

10. Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah

pelaksanaan akad nikah.

11. Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari

kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.16

D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran

Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami

perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaran Republik Indonesia. Undang-Undang yang baru ini

menggantikan UU N0.62 Tahun 1958 yang sangat diskriminatif. Undang-Undang

16

LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) diakses

pada tanggal 4 April 2015 pukul 21.35.

Page 42: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

29

Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan oleh Presiden sejak tanggal 1

Agustus 2006.

Dalam penjelasan undang-undang kewarganegaraan yang baru disebutkan

bahwa,Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis, dan

sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan

ketatanegararaan Republik Indonesia.

Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuan-

ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena

bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan

antara warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan

dan anak-anak.

Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang

tersebut adalah Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak berlaku

lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 yang menyatakan kembali ke

Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar

1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak

asasi manusia dan hak warga negara.

Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan

perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat

Internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan

Page 43: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

30

perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya

kesetaraan dan keadilan jender.17

Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas

kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam

undang-undang ini adalah :

1. Asas ius Sanguinis, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang

berdasarkan keturunan bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.

2. Asas Ius soli, secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan

seseorang berdasarkan tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-

anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu

kewarganegaraan bagi setiap orang.

4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam undang-undang ini.

Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda

(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda

yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan pengecualian.

Persoalan yang sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah

kewarganegaraan anak. Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut

prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan

campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan yang dalam undang-undang

17

Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

1993), h. 103

Page 44: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

31

tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.

Pengaturan ini menimbulkan persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia

orang tuanya harus terus menerus memperpanjang izin tinggalnya. Persoaan

lainnya apabila perkawinan orang tua putus, ibu akan kesulitan mendapatkan

pengasuhan anak yang Warga Negara Asing.

Undang-undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 tidak lagi

mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan yang

melakukan perkawinan campuran, Berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan

untuk berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 tahun atau

sampai mereka menikah. Setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah anak-anak

tersebut harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti ayahnya atau

menjadi WNI. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling

lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.

Undang-Undang Kewarganegaran ini juga mengatur bahwa anak yang

sudah lahir sebelum undang-undang ini disahkan dan belum berusia 18 tahun dan

belum menikah adalah termasuk Warga Negara Indonesia. Caranya dengan cara

mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik

Indonesia paling lambat empat tahun setelah undang-undang Kewarganegaraan ini

disahkan.18

Anak yang memperoleh kewarganegaraan ganda tersebut tidak hanya

diperoleh oleh anak yang lahir dari perkawinan yang sah, tetapi kewarganegaraan

ganda juga berlaku untuk anak luar kawin, yaitu anak Warga Negara Indonesia

18

Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra

Adytia Bakti, 2006), h. 8

Page 45: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

32

yang lahir diluar perkawinan yang sah yang diakui secara sah oleh ayahnya yang

berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia (Pasal 5).

Untuk anak luar kawin, terdapat beberapa aspek hukum, yaitu dari aspek

ketentuan Undang Undang Perkawinan dan dari ketentuan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata. Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa anak

yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

kerabat ibunya. Jika anak tersebut mendapat pengakuan dari ayahnya dan

dikaitkan dengan ketentuan hukum perdata maka anak tersebut secara perdata

punya hubungan hukum dengan ayah tapi tidak dengan keluarga ayahnya.

Pengakuan tersebut harus dibuatkan dengan suatu akte.19

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang

positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini dimaksudkan untuk

melindungi kepentingan sang anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi

repot-repot mengurus izin tinggal bagi anak-anaknya. Hal ini sebagaimana diatur

pada Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, bahwa dalam hal status kewarganegaraan

Republik Indonesia terhadap anak:

a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara

Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara

Asing dengan ibu Warga Negara Indonesia.

c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya

meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia.

19

Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra

Adytia Bakti, 2006), h. 13

Page 46: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

33

d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan

kewarganegraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum

mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau

belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing

tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.

Anak yang tersebut di atas berakibat berkewarganegraan ganda, setelah

berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah

satu kewarganegaraannya.

Terobosan lain dari Undang-undang Kewarganegaraan ini adalah anak

yang berkewarganegaran ganda berhak mendapatkan akte kelahiran di Indonesia

dan juga akte kelahiran dari Negara lain dimana anak tersebut diakui sebagai

warga Negara. Dengan demikian anak tersebut berhak mendapat pelayanan publik

di Indonsia seperti warga Negara lainnya termasuk untuk mengenyam pendidikan.

Hal ini berbeda dengan Undang-undang Kewarganegaran yang lama, jangankan

untuk mendapatkan akte kelahiran, malah anak tersebut diusir secara paksa dari

wilayah Indonesia apabila izin tinggalnya telah melewati batas ketentuan.20

Secara subtansial dan konseptual, UU No.12 Tahun 2006 ini

mencerminkan usaha serius Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi

kepentingan kaum perempuan yang menikah dengan Warga Negara Asing dan

anak-anak dari hasil perkawinan campuran dan telah menghapus aturan

kewarganegaraan yang bersifat diskriminatif.

20

Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra

Adytia Bakti, 2006), h. 14

Page 47: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

34

Selanjutnya terhadap orang-orang yang melakukan perkawinan campuran

dapat memperoleh kewarganegaran dari suami atau isterinya dan dapat pula

kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam

Undang-undang kewaganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58

Undang-Undang perkawinan).

Berdasarkan Pasal 19 UU No.12 tahun 2006, Warga Negara Asing yang

kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh

kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi

Warga Negara Indonesia di hadapan pejabat, pernyataan tersebut dilakukan

apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia

paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turur atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-

turut.

Selanjutnya Pasal 26 UU No.12 Tahun 2006, mengatur bahwa Perempuan

Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga Negara Asing

kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal

suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaar suami sebagai akibat

perkawinan tersebut. Laki-laki warga Negara Indonesia yang kawin dengan

perempuan warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia

jika menurut hukum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti

kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingin tetap

menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai

keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang

wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.

Page 48: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

35

Page 49: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

36

Page 50: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

35

BAB III

ISBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian Isbat Nikah

Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan

artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan (kebenaran sesuatu).1

Sedangkan menurut fiqh nikah secara bahasa berarti ”bersenggama atau

bercampur”. Para ulama’ ahli fiqh berbeda pendapat tentang makna nikah, namun

secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nikah menurut ahli fiqh berarti akad

nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan

bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri serta seluruh tubuhnya.2

Sedang nikah menurut hukum positif yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga,

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Jadi, pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah.

Tetapi pernikahan yang terjadi pada masa lampau ini belum atau tidak dicatatkan

ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA (Kantor Urusan Agama)

yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.

Ke-3 1990), h. 339 2 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra,1993), h. 1-2

3 Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

35

Page 51: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

36

Isbat (penetapan) merupakan produk Pengadilan Agama, dalam arti bukan

pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan dengan jurisdiktio voluntair.

Dikatakan bukan pengadilan yang sesungguhnya, karena di dalam perkara ini

hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu yaitu

penetapan nikah. Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan

didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya

perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan Undang-Undang

menghendaki demikian.

Perkara voluntair yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama seperti

1. Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan

tindakan hukum.

2. Penetapan pengangkatan wali.

3. Penetapan pengangkatan anak.

4. Penetapan nikah (isbat nikah).

5. Penetapan wali adhol.4

Produk perkara voluntair adalah penetapan. Nomor perkara permohonan

diberi tanda P. misalnya: Nomor 125/ Pdt.P/1996/PA/ Btl.5 karena penetapan itu

muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak

berlawan, maka dalam penetapan tersebut tidak akan berbunyi “menghukum”

melainkan bersifat “menyatakan” (declaratoir).

Adapun asas yang melekat pada putusan penetapan pertama asas

kebenaran yang melekat pada penetapan hanya “kebenaran sepihak”. Kebenaran

4 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996), h. 40 5 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 41

Page 52: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

37

yang terkandung didalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai untuk diri

pemohon, kebenaran tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah asas

berikutnya, yakni kekuatan mengikat. Penetapan hanya berlaku pada diri

pemohon, ahli warisnya, dan orang yang memperoleh hak darinya,6 sama sekali

tidak mengikat siapapun kecuali hanya mengikat kepada yang telah disebut di

atas.

Selanjutnya asas ketiga, yang menegaskan putusan penetapan tidak

mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak manapun. Juga, dalam penetapan

tidak akan pernah terkandung asas nebis in idem. Sebagai salah satu contoh dapat

dikemukakan putusan MA tanggal 27-6-1973, No. 144 K/Sip/1973.

Pertimbangannya berbunyi: “Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam

penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 14 April 1956 No. 43/1955/Pdt dan

dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 23 November 1965 No.

66/1962/Pdt, tidak merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No.

43/1955/Pdt tersebut hanya bersifat declaratoir sedang dalam perkara No.

66/1962/Pdt tersebut ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan”.

Dalam putusan tersebut terdapat penegasan, putusan yang bersifat declaratoir

yang terwujud dari gugat volunteer, tidak mengandung nebis in idem. Seterusnya

yaitu asas putusan penetapan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Hal ini dapat

dipahami karena amar putusan bersifat deklaratoir sehingga tidak mungkin

memiliki nilai kekuatan eksekusi.7

6 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), h.73

7 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta: Sinar

Grafika, 2005), h. 311

Page 53: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

38

B. Dasar Hukum Isbat Nikah

Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi pengadilan agama

dalam sejarahnya adalah diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan

dibawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan. Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal

49 ayat (2), Jo. Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974). Namun kewenangan ini

berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam

(KHI) pasal 7 ayat 2 dan 3, dalam ayat (2) disebutkan: "isbat nikah yang diajukan

ke pengadilan agama”, pada ayat (3) disebutkan : isbat nikah yang diajukan ke

pengadilan agama terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan : a. adanya

perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. hilangnya akta nikah c.

adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan d. perkawinan

yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.8

Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI tersebut, berarti

bahwa KHI telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh

Undang-Undang, baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, padahal menurut pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber

8 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI,

1999/2000), h. 137

Page 54: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

39

hukum dan tata urutan perundang-undangan, INPRES tidaklah termasuk dalam

tata urutan perundang-undang Republik Indonesia. 9

Pasal 2 ayat 1 UU No. 35 Tahun 1999 beserta penjelasannya menentukan

bahwa adanya kewenangan suatu peradilan untuk menyelesaikan perkara yang

tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila

dikehendaki (adanya ketentuan / penunjukan ) oleh Undang-Undang.10

Isbat nikah ini PERMENAG No. 3 Tahun 1975 yang dalam pasal 39 ayat

4 menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena

catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menentukan

adanya nikah, talak, cerai, atau rujuk, harus ditentukan dengan keputusan (dalam

arti penetapan) Pengadilan Agama. Tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan

yang dilakukan sebelum UU No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang

terjadi sesudahnya.

Mengenai kompetensi absolut tentang isbat nikah sebagai perkara

voluntair ini tidak bisa dianologikan (qiyaskan) dengan perkara pembatalan

perkawinan, perceraian, atau poligami. Prinsipnya pengadilan tidak mencari-cari

perkara tetapi perkara itu telah menjadi kewenangannya karena telah diberikan

oleh Undang-Undang. Menurut Prof. Wasit Aulawi, MA berpendapat bahwa

perkara isbat nikah tidak dilayani. Perkara isbat nikah adalah perkara voluntair

yang harus ditunjuk Undang-Undang, kalau Undang-Undang tidak memberikan

kewenangan maka pengadilan tidak berwenang. Apabila perkawinan di bawah

9 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 138

10 Nasrudin Salim, “Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan Yuridis,

Filosofis dan Sosiologis), dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 62 Th. XIV

(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2003), h. 70

Page 55: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

40

tangan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, diberikan tempat untuk isbat

perkawinan, maka secara sosiologis pastilah akan mendorong terjadinya

perkawinan bawah tangan secara massif. 11

Jika dipikirkan lebih seksama, maka ketentuan pasal 7 ayat 2 KHI telah

memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah ini tanpa

batasan dan pengecualian, padahal dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya

dijelaskan bahwa pasal ini hanya diberlakukan setelah berlakunya UU No.7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah menjadi Undang-undang

Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Belum lagi pasal 7 ayat 3 huruf (a) yang dapat

mengandung problem lanjutan seperti bagaimana jika penggugat mencabut

perkara cerainya, atau pemohon tidak mau melaksanakan ikrar talak karena telah

rukun kembali sebagai suami istri, padahal telah ada putusan sela tentang sahnya

nikah mereka.

Pasal 7 ayat 3 huruf (b) adalah dalam hal hilangya kutipan akta nikah bisa

dimintakan duplikat ke KUA, dan untuk sebagai tindakan preventif atau kehati-

hatian akan memungkinkan hilangnya buku catatan akta yang asli, maka pasal 13

ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan bahwa helai kedua dari akta

perkawinan itu harus disimpan (dikirim oleh PPN) kepada panitera pengadilan

dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada.12

Dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (c), yaitu adanya keraguan tentang

sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, hal ini justru mengarahkan kepada

11

A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar

Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996), h. 21 12

A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, h. 22

Page 56: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

41

apa yang termasuk dalam perkara pembatalan nikah, bukan perkara isbat nikah,

sebab biasanya orang yang melakukan perkawinan melalui kyai/ustadz adalah

telah sah dan sesuai dengan syari’at (memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 1 ). Juga

terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (e), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh

mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU N0.1 Tahun

1974, ini adalah pasal yang amat luas jangkauannya yang tidak memberikan

batasan yang jelas.13

C. Alasan Diperbolehkannya Permohonan Isbat Nikah

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan

kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian

hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain

dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan

atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan

mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah

perkawinan.

Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat

oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang

untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang

ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat

13

A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar

Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996), h. 22

Page 57: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

42

Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya.

Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta

Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah

menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah.14

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

dan Pasal 100 KHI tersebut, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan

dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan

ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti

perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai

Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta

Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan)

perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau

belum ada perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-

satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu walaupun

sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya

perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan

dan keabsahan perkawinan.15

Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang perkawinan

yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum

Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan

14

Depag, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid Pusat,

1992/1993), h. 497 15

Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I

(Jakarta: Gema Insani Press,1994), h. 83

Page 58: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

43

menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan. Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban

perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat (2) pencatatan

perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-

undang No. 32 Tahun 1954.

Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi ketentuan

dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (2) perkawinan yang dilakukan di luar

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Kemudian dalam KHI upaya hukum isbat nikah tidak hanya meliputi

pengesahan perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku.

Hal ini dapat dilihat dari ketentuan. Pasal 7 menyebutkan bahwa:

(1) perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat

oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah,

dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

(b) Hilangnya Akta Nikah.

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat

perkawinan.

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 dan

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

(4) yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau

isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan

dengan perkawinan itu.

Page 59: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

44

Isbat nikah yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama karena

pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Isbat nikah sangat bermanfaat bagi

umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat

atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta

memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing

pasangan suami istri.

Adapun sebab-sebab yang melatar belakangi adanya permohonan Isbat

Nikah ke Pengadilan Agama itu sendiri, disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No 1 th 1974. untuk

hal ini biasanya dilatar belakangi:

a. Guna untuk mencairkan dana pensiun pada PT. Taspen

b. Untuk penetapan ahli waris dan pembagian harta waris

2. Adanya perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya UU No 1 th 1974. ini

biasanya dilatar belakangi:

a. Karena Akta Nikah Hilang

1) bisa karena untuk pembuatan Akta Kelahiran Anak.

2) bisa juga digunakan untuk Gugat Cerai.

3) bisa juga untuk gugat pembagian harta gono-gini.

b. Karena tidak punya Akta Nikah. Dalam hal ini kebanyakan diajukan Isbat

Nikah:

1) Karena sudah nikah dibawah tangan dengan alasan sudah hamil duluan

dan nikah dilangsungkan karena menutupi malu.

2) Karena nikah dibawah tangan sebagai Isteri kedua dan belum dicatatkan

Page 60: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

45

3) Dan ada juga Isbat Nikah yang semata-mata diajukan untuk memperoleh

kepastian hukum dalam status sebagai isteri, yang pernikahannya

dilakukan dibawah tangan, dan ternyata dibalik itu semua terkandung

maksud upaya melegalkan poligami.16

D. Syarat-Syarat Permohonan Isbat Nikah

Tentang syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab fiqh klasik

maupun kontemporer. Akan tetapi syarat isbat nikah ini dapat dianalogikan

dengan syarat pernikahan. Hal ini karena isbat nikah (penetapan nikah) pada

dasarnya adalah penetapan suatu perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah

dilakukan dengan sah yaitu telah sesuai dengan syarat dan rukun nikah tetapi

pernikahan ini belum dicatatkan ke pejabat yang berwenang yaitu Pegawai

Pencatat Nikah (PPN). Maka untuk mendapatkan penetapan (pengesahan nikah)

harus mengajukan terlebih dahulu perkara permohonan isbat nikah ke Pengadilan

Agama.

Syarat-syarat seseorang yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah

antara lain:

1. Suami atau istri

2. Anak-anak mereka

3. Wali nikah

16

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI,

1999/2000), h. 167

Page 61: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

46

4. Pihak-pihak yang berkepentingan.17

Sebagaimana yang termaktub dalam KHI pasal 7 ayat 4 yang berbunyi;

yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-

anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Selanjutnya akan diuraikan tentang prosedur pengajuan isbat nikah, namun

perlu diketahui bahwa perkara isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama

memiliki berapa bentuk antara lain :

1. Bersifat volunteir (perkara yang pihaknya hanya terdiri dari Pemohon saja,

tidak ada pihak Termohon):

a. Jika permohonan diajukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama.

b. Jika permohonan diajukan oleh suami/isteri yang ditinggal mati oleh

suami/isterinya, sedang Pemohon tidak mengetahui ada ahli waris lainnya

selain dia.

2. Bersifat kontensius, (perkara yang pihaknya terdiri dari Pemohon melawan

Termohon atau Penggugat melawan Tergugat):

a. Jika permohonan diajukan oleh salah seorang suami atau isteri, dengan

mendudukkan suami atau isteri sebagai pihak Termohon.

b. Jika pernohonan diajukan oleh suami atau isteri sedang salah satu dari suami

isteri tersebut masih ada hubungan perkawinan dengan pihak lain, maka

pihak lain tersebut juga harus dijadikan pihak dalam permohonan tersebut.

c. Jika permohonan diajukan oleh suami atau isteri yang ditinggal mati oleh

suami atau isterinya, tetapi dia tahu ada ahli waris lainnya selain dia.

17

Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,

(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51

Page 62: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

47

d. Jika permohonan diajukan oleh wali nikah, ahli waris atau pihak lain yang

berkepentingan.18

E. Isbat Nikah Perkawinan Campuran

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa perkawinan

campuran menurut ketentuan Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

merupakan perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum

yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Sedangkan pengertian isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah dan

belum atau tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat

KUA yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Dengan demikian isbat nikah

perkawinan campuran berarti penetapan atas perkawinan seorang pria dengan

seorang wanita yang berbeda kewarganegaraan yang sudah dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan agama Islam tapi pernikahannya belum atau tidak dicatatkan ke

pejabat yang berwenang.

Isbat nikah perkawinan campuran tidak berbeda dengan isbat nikah biasa,

baik mengenai alasan diperbolehkannya, seperti yang tercantum dalam ketentuan

18

Drs. H. Masrum M Noor, MH. (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Penetapan

Pengesahan Perkawinan, pdf.

Page 63: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

48

Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KHI,19

maupun

mengenai syarat-syarat diperbolehkannya permohonan isbat nikah.20

F. Manfaat Pencatatan Perkawinan dan Isbat Nikah

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

perundang-undangan perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk

melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi

perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang

dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat

salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau

salah satu tidak bertanggung jawab. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti

autentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.21

Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan

rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu :

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap

perkawinan harus dicatat.

19

Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I

(Jakarta: Gema Insani Press,1994), h. 83 20

Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,

(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51 21

Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, h. 52

Page 64: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

49

(2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai

pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.22

tahun 1946 jo dan Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang

penetapan berlakunya Undang-undang republik indonesia tanggal 21

november No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk

di seluruh daerah luar jawa dan madura.

Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pasal 6 yang menyebutkan :

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus

dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat

nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat

nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.22

Secara rinci peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan

undang undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II Pasal 2

menjelaskan tentang :

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai

pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam Undang - undang No.32

Tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, dan rujuk.

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain

agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada

kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai

perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku

bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan

yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana

ditentukan dalam pasal 3 peraturan pemerintah sampai dengan pasal 9

peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan

undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.23

Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan

22

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995).

Cet 1, h.109. 23

Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan

Agam, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 57

Page 65: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

50

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang

akan dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya

10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu

alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala

daerah.

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan

atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang diberitahukan

meliputi : Nama, Umur, Agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman

calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,

disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5 peraturan pemerintah

(PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan). Dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya

pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat dihindari.24

24

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995).

Cet 1, h-112-114

Page 66: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

51

BAB IV

ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN

DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa

Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor : 85 Tahun 1996 Tanggal 01 Nopember 1996 dan

Pengadilan Agama Tigaraksa dengan kelas 1B diresmikan pada hari Kamis

tanggal 21 Agustus 1997 bertepatan dengan tanggal 17 Rabiul Awwal 1418 H

oleh Direktur Peradilan Agama atas nama Menteri Agama bertempat di Gedung

Negara (Pendopo) Pemda Kabupaten Tangerang yang pada saat itu Bapak Let.

Kol. Agus Junara menjabat sebagai Bupati.1

Yurisdiksi relatif (kewenangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum

Kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara

Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21

Agustus 1996 antara Drs. H. Abdurahman Abror selaku Ketua Pengadilan Agama

Tangerang kepada Drs. A.D. Dimyati, S.H. selaku Ketua Pengadilan Agama

Tigaraksa yang terdiri dari 19 kecamatan 3 kemantren dan 306 desa serta

berdasarkan Perda Kabupaten Tangerang telah mengalami Pemekaran menjadi 36

Kecamatan.

Pada saat diresmikan, Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jl. Raya

Serang KM. 12 Kp. Pulo, Desa Bitung Jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten

1 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2.

51

Page 67: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

52

Tangerang dengan luas bangunan 7x12 meter di atas tanah 864 M2. Pada Tahun

2002 Pengadilan Agama Tigaraksa menempati Gedung Baru yang terletak di

Jalan Masjid Agung Al-Amjad No.1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten

Tangerang dengan luas tanah 2000 M2 dengan gedung berlantai 2 yang terdiri

dari Ruang Ketua, Ruang Wakil Ketua, Ruang Panitera Sekertaris, Ruang Hakim,

Ruang Kesekretariatan, Ruang Kepaniteaan, 2 buah Ruang Sidang, Ruang Arsip,

Ruang Tunggu Para Pihak, Ruang Register, Ruang Komputer, Ruang

Perpustakaan dan Ruang Kasir.

1. Kabijakan Umum Peradilan2

Fenomena pembangunan hukum pada akhir-akhir ini mulai akrab

dengan aspirasi teoritik dan meninggalkan ketergantungannya pada ranah

politik dan kekuasaan. Salah satu sub dari sistem hukum itu adalah kekuasaan

kehakiman yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dengan badan-

badan peradilan di bawahnya. Satu dari empat lingkungan peradilan

pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah Peradilan Agama yang diatur dengan

Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua Undang-Undang

Peradilan Agama.

Struktur organisasi Pengadilan Agama ketika dikaitkan dengan kajian

mendalam era reformasi semakin menjadi tokoh ketika memasuki wilayah satu

atap dengan Mahkamah Agung baik secara administratif, anggaran,

kepegawaian selain yang sifatnya Yudisial yang sejak lama menjadi bagian

Mahkamah Agung. Posisi Pengadilan Agama dalam struktur satu atap dengan

2 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2.

Page 68: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

53

Mahkamah Agung menjadi tantangan ke depan yang harus dipikirkan dalam

hal:

a. Daya saing dengan Lembaga Peradilan lainnya, sejauh mana daya saing

Pengadilan Agama dalam memberi palayanan dan solusi hukum terhadap

sengketa yang menjadi kewenangannya.

b. Pengadilan Agama pada satu sisi ia berhadapan dengan tuntutan realitas

empirik dari siklus kehidupan berinstitusi, di sisi lain ia beriringan dengan

kenyataan sebagai tamu pada institusi besar yang dinamakan Mahkamah

Agung.

Aparat Pengadilan Agama (dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama)

harus mampu berperan sebagai penghakim Undang-Undang, tetapi dengan

daya kreasinya juga mampu berperan sebagai pencipta hukum (Recht Vinding).

Hal ini penting mengingat pembuat Peraturan Perundang-Undangan Peradilan

Agama berjalan lambat. Padahal kita sering dihadapkan kepada kebutuhan

hukum yang mendesak untuk mengadili masalah tertentu dengan segera.

Dengan kreativitas aparatur Pengadilan Agama boleh terjadi kekosongan di

bidang Undang-Undang, tetapi diharapkan tidak sampai terjadi kekosongan di

bidang hukum.3

Tugas pokok Pengadilan Agama yang diamanatkan Undang-Undang

yaitu memerikasa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu bagi mereka

yang beragama Islam dibutuhkan:

3 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 2.

Page 69: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

54

a. Kebijkan yang mendorong penguasaan Hukum Materil pun harus

menguasai Hukum Formil (Hukum Acara) bagi Hakim Pengadilan Agama.

Sebagaimana tersurat dalam pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dan Undang-

Undang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7

Tahun 1989 yang pada dasarnya hukum acara perdata yang berlaku di

Pengadilan Agama adalah Herziene Indonesiche Reglement (HIR) Stb. 1941

No. 44, dan hukum acara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun

1989/Lex Specialis

b. Kebijakan yang mendorong penguasaan dan implementasi secara benar

tentang SPO (Standar Prosedur Operasional) yang dikenal dengan pola

BINDALMIN yang terdiri:

- Pola Prosedur Penerimaan Perkara.

- Pola Register Perkara.

- Pola Keuangan Perkara.

- Pola Keuangan Pelaporan Perkara.

- Pola Pengarsipan Perkara.

c. Kebijakan yang mendorong kesekretariatan sebagai fasilitator dan

dinamisator yang mampu mengalokasikan anggaran secara efektif dan

efisien dengan sistem SAI dan SABMIN, serta mampu menghindari

kebocoran, mark up dan penyalahgunaan anggaran (DIPA).

d. Kebijakan yang mendorong transparansi dalam pengelolaan keuangan

APBN maupun biaya proses peradilan.

Page 70: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

55

e. Kebijakan yang mampu mendorong terciptanya client service yang

memuaskan (satisfied) bagi para pencari keadilan sehingga terhindarnya

informasi yang salah (false information).

2. Visi, Misi dan Strategi4

Visi:

“Mewujudkan Pengadilan Agama Tigaraksa yang Terhormat dan

Bermartabat.”

Misi :

a. Mewujudkan pelayanan prima yang memberikan rasa keadilan yang cepat

dan jujur serta didukung oleh SDM Profesional, Sarana dan Prasarana yang

memadai.

b. Mewujudkan Pengadilan Agama yang mandiri dan independen dari campur

tangan pihak lain.

c. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal

pada peradilan.

d. Memperbaiki akses pada pelayanan hukum dan peradilan.

e. Mengupayakan sistem informasi sesuasi program IT.

Tujuan :

a. Tercapainya pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.

b. Tersedianya Sarana dan Prasarana yang memadai serta didukung oleh SDM

yang profesional.

4 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 3

Page 71: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

56

c. Terciptanya peradilan agama yang mandiri dan independen serta bebas dari

campur tangan pihak lain dalam proses peradilan.

d. Terciptanya kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat yang didasari

pada asas peradilan yang sederharna, cepat dan biaya ringan.

e. Terwujudnya sistem peradilan yang cepat, efektif, efesien dan informasi

yang mudah diserap.

Sasaran :5

a. Meningkatkan kualitas proses pelayanan sehingga dapat diselesaikan kurang

dari 6 (enam) bulan.

b. Meningkatkan tingkat kepuasan masyarakat dalam menyelesaikan perkara.

c. Terpenuhinya sarana, fasilitas dan mobilitas serta SDM yang pofesional.

Strategi untuk Mencapai Tujuan dan Sasaran

Kebijakan :

a. Meningkatkan fungsi IT dengan maksimal, dan mendorong penyelesaian

beban pekerjaan dengan modul shcedul time.

b. Mengefektifkan lembaga mediasi.

c. Mendorong terselenggaranya diklat baik bidang teknis fungsional maupun

bidang administrasi keuangan.

d. Mengusulkan pembangunan sarana gendung, fasilitas, mobilitas dan

mengiutsertakan aparatur peradilan baik ke setiap Diklat Reguler ataupun ke

jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi.

5 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 4.

Page 72: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

57

e. Meningkatkan koordinasi dengan PEMDA, MUSPIDA dan Instansi terkait

guna kelancaran tugas dan fungsi Pengadilan Agam Tigaraksa di Kabupaten

Tangerang.

f. Meningkatkan pengawasan melekat dan pengawasan melalui Hakim

Pengawas Bidang (HAWASBID).

Program:6

a. Menerapkan SIADPA (Sistem Administrasi Peradilan Agama) dan

membuka akses internet serta membuat kartu kendali perkara.

b. Menunjuk hakim mediator dan menyediakan Hot Line.

c. Menyelenggarakan Diklat In Job Training.

d. Melakukan Eksaminasi dengan Eksaminator dari Ahli Hukum.

e. Penyuluhan hukum kepada masyarakat.

f. Melakukan sosialisai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah

g. Melakukan studi banding khususnya bidang Ekonomi Syari’ah.

h. Mengusulkan pengadaan Gedung dan fasilitasnya dalam RKAKL (Rencana

Kerja ke Menterian dan Lembaga) komponen belanja modal disertai data

pendukung.

i. Melakasanakan Sidang Keliling.

j. Menerapkan Punishment and Reward dengan baik dan benar.

k. Mengimplementasikan Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang

pengawasan dengan membuat Job Description Hakim Pengawas Bidang

(HAWASBID).

6 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 4.

Page 73: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

58

3. Rencana Kerja Titik Berat Tahun 2009 s/d Tahun 2017

Dari visi, misi tujuan serta sasaran dan program di atas dapat

dirumuskan rencana kerja titik berat pengadilan agama tigaraksa tahun 2009

s/d 2017 sebagai berikut:7

a. Penanganan perkara dengan efektif dan efesien melalui pola BINDALMIN.

b. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan hukum yang berkualitas.

c. Peningkatan infrastruktu perkantoran.

d. Pemberdayaan SDM manusia melalui pengikutsertaan diklat fungsional dan

struktural.

e. Penciptaan tata perkantoran yang baik.

f. Peningkatan ketertiban dan kenyamanan bagi para pihak yang berperkara.

g. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi keperkaraan melalui IT.

h. Peningkatan motivasi kerja aparatur melalui reward dan punishment.

i. Membangun sisterm karir pegawai melalui parameter legalitas formal,

senioritas dan kinerja untuk dipromosikan kejenjang yang lebih tinggi.

j. Revitalisasi pola BINDALMIN melalui SIADPA.

k. Lahan tanah 3500 m2 dari Pemda Kabupaten Tangerang untuk Pengadilan

Agama Tigaraksa, segera akan dibuatkan sertifikat atas nama Pengadilan

Agama Tigaraksa dan akan segera dibangun gedung pengadilan sesuai

dengan stadarisasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

4. Struktur Pengadilan Agama Tigaraksa8

Struktur organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa terdiri dari:

7 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 5

8 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 6.

Page 74: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

59

a. Ketua

b. Wakil Ketua

c. Panitera/Sekretaris

d. Wakil Panitera

e. Wakil sekretaris

Page 75: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

60

B. Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa

Prosedur permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa dapat

dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut :9

1. Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohoan bersifat

voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak

permohonan Itsbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami , istri

masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi.

2. Jika permohonan Isbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka

permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak

mengajukan permohoan sebagai pihak termohon, produknya bersifat putusan dan

terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

3. Jika Isbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih

terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu

tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak

dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

4. Jika permohonan Isbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang

berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri

dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon.

5. Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat

mengajukan Isbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak

Termohon, produknya berupa putusan.

6. Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka

permohonan Isbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan.

9 Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah

Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 147-148

Page 76: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

61

7. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam

perkara permohonan Itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan

perlawanan kepada Pengadilan Agama Tigaraksa setelah mengetahui ada

penetapan Isbat nikah.

8. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam

perkara permohonan Isbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat

mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama Tigaraksa selama perkara belum

diputus.

9. Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak

dalam perkara Itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan

tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama Tigaraksa dapat mengajukan

pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa.

Selanjutnya proses penyelesaian perkara pengesahan perkawinan (Isbat

Nikah) di Pengadilan Agama Tigaraksa adalah sebagai berikut:10

1. Proses Pendaftaran Perkara:

a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon

atau kuasanya yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama

Tigaraksa (Pasal 142 ayat (1) R. Bg.).

b. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan

permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama

Tigaraksa, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa atau Hakim

10

Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah

Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 149

Page 77: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

62

yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa mencatat

permohonan tersebut (Pasal 144 R. Bg.).

c. Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa, kemudian

diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Pemohon atau

kuasanya membayar panjar biaya perkara ke BRI Cabang Tigaraksa dengan

melampiri slip penyetoran bank yang besarnya telah ditentukan oleh Ketua

Pengadilan Agama Tigaraksa (Pasal 145 ayat (4) R. Bg.).

d. Permohonan tersebut memuat:

1) Nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, kewarganegaraan dan

tempat kediaman Pemohon dan Termohon.

2) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).

3) Alasan atau kepentingan yang jelas.

4) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

e. Pemohon dan Termohon atau kuasanya menghadiri persidangan

berdasarkan panggilan yang dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti

Pengadilan Agama Tigaraksa (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975).

2. Proses Penyelesaian Perkara:11

a. Permohonan isbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum Majelis Hakim

menetapkan hari sidang, terlebih dahulu mengumumkan adanya

permohonan isbat nikah melalui media massa (Radio Kalamaira Tigaraksa)

dalam waktu 14 (empat belas) hari.

11

Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah

Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 150

Page 78: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

63

b. Setelah berakhir masa pengumuman Majelis Hakim menetapkan hari sidang

paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman.

c. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti

Pengadilan Agama Tigaraksa untuk menghadiri sidang pemeriksaan:

1) Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan Agama

Tigaraksa, dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan

Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya

tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

2) Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah Pengadilan Agama

Tigaraksa dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari

sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

3) Termohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil melalui media

massa (Radio Kalamaira Tigaraksa) sebanyak dua kali, jarak

pemanggilan pertama dengan pemanggilan kedua satu bulan dan jarak

pemanggilan kedua dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga bulan

(Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975.

4) Termohon yang berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar

negeri cq. Dirjen protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan

tembusan disampaikan kepada kedutaan besar Republik Indonesia dan

Page 79: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

64

jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 6 (enam)

bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan.

3. Tahapan pemeriksaan:12

a. Pada pemeriksaan sidang pertama;

1) Jika Pemohon dan Termohon hadir, maka tahap persidangan dimulai

dengan memeriksa identitas para pihak, para pihak tidak diwajibkan

melaksanakan proses mediasi karena perkara permohonan isbat nikah

(Pasal 3 ayat (2) Perma. Nomor 1 Tahun 2008), selanjutnya Majelis

Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus

datang secara pribadi (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009).

2) Jika Termohon tidak hadir, maka Termohon dipanggil sekali lagi (Pasal

150 R.Bg).

b. Selanjutnya tahapan pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan

surat permohonan, jawaban, replik, dan duplik (Pasal 157 ayat (1) R. Bg.,

pembuktian dan kesimpulan).

c. Tahapan sidang berikutnya adalah musyawarah Majelis Hakim dan terakhir

membacakan penetapan.

4. Ketentuan penetapan berkekuatan hukum tetap (BHT)

a. Jika kedua belah pihak hadir, maka penetapan akan berkekuatan hukum

tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan dibacakan.

12

Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah

Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 150

Page 80: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

65

b. Jika salah satu pihak tidak hadir pada saat pembacaan penetapan, maka

penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari

penetapan tersebut diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir.

c. Setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera

Pengadilan Agama Tigaraksa berkewajiban menyerahkan atau mengirimkan

salinan putusan kepada para pihak selambat-lambatnya 14 (empat belas)

hari setelah putusan dibacakan tanpa dipungut biaya.

C. Persyaratan Permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di

Pengadilan Agama Tigaraksa

Hasil wawancara yang telah penulis laksanakan terkait dengan persyaratan

permohonan Isbat Nikah perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,

diperoleh informasi bahwa persyaratan permohonan pengesahan isbat nikah bagi

Perkawinan Campuran sama dengan persyaratan permohonan pengesahan isbat

nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama WNI yang beragama Islam).

Persyaratan permohonan pengesahan isbat nikah baik bagi perkawinan

campuran maupun perkawinan biasa adalah :

1. Adanya pengajuan permohonan isbat nikah dan

2. Pernikahan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at

Agama Islam dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain dua ketentuan sebagaimana tersebut di atas, para pemohon harus

dapat membuktikan di depan sidang Majelis Hakim bukti-bukti yang dapat

mendukung keabsahan pernikahan tersebut, seperti adanya wali dan saksi.

Page 81: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

66

Jika ketentuan sebagaimana tersebut di atas telah terpenuhi, maka

permohonan isbat nikah tersebut dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim.13

D. Pertimbangan Hakim Pada Penetapan Nomor 0044/Pdt/P/2014/PA.Tgrs

Perkara Nomor 0044/Pdt.p/2014/PA.Tgrs. merupakan perkara

permohonan pengesahan isbat nikah yang diajukan oleh SIMPSON JACK

KRISTINN Bin JACK RAY SIMPSON, Umur 36 tahun, agama Islam,

pendidikan S1, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jalan Alam IV Blok A No. 19

Villa Ilhami Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten

Tangerang, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon I”, dan ESTIN AULIA

THONAH Binti SARKUM BASIR, umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan

SLTP, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jalan Alam IV block A No.19 Villa

Ilhami Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten Tangerang,

selanjutnya disebut sebagai “Pemohon II”. Permohonan pengesahan isbat nikah

ini diajukan pada tanggal 04 Pebruari 2014, sebagaimana terdaftar pada

Kepaniteraan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs.

Dalam surat permohonanya, Pemohon I dan Pemohon II memohon kepada

Majelis Hakim untuk menetapkan sah pernikahan pemohon I dengan pemohon II

yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Pegawai Pencatat

Nikah Kantor Urusan Agama Kecaman Curug Kabupaten Tangerang.

Berdasarkan surat permohonan tersebut, Majelis Hakim yang menangani

perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. permohonan Pemohon I dan Pemohon

13

Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah

Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 148.

Page 82: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

67

II dan menetapkan sah pernikahan Pemohon I dengan Pemohon II yang

dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Pegawai Pencatat Nikah

Kantor Urusan Agama Kecaman Curug Kabupaten Tangerang dengan

pertimbangan sebagai berikut:14

1. Pemohon I dan Pemohon II telah mendaftarkan permohonan pengesahan isbat

nikahnya di Pengadilan Agama Tigaraksa sesuai ketentuan dan prosedur yang

telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa.

2. Berdasarkan keterangan Pemohon I, Pemohon II, wali nikah dan dua orang

saksi di persidangan menyatakan bahwa pernikahan tersebut sudah sesuai

dengan ketentuan syari’at Agama Islam.

3. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan untuk menikah,

baik menurut ketentuan syari’at Agama Islam maupun menurut ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

4. Bahwa sampai sekarang para pemohon tidak memiliki kutipan akta nikah karna

perkawinan tidak terdaftar pada Kantor Urusan Agama.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim yang menangani

perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. berpendapat bahwa permohonan para

pemohon supaya pernikahannya yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus

2010 di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang

dinyatakan sah telah memenuhi syarat yang dimaksud sebagaimana diatur dalam

pasal (2) ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) huruf (d)

Kompilasi Hukum Islam.

14

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB

Page 83: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

68

Selain alasan di atas, pertimbangan majlis hakim juga mendasarkan

pertimbangannya pada kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:

1. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 76

2. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 102

Menimbang, bahwa sesuai dengan pendapat para ulama dalam kitab

Bughyatul Mustarsyidin, Ushulul Fiqhi, I’anatut Thalibin dan Mughnii al-Muhtaj

yang selanjutnya diambil alih menjadi pendapat majlis berbunyi :

1. Kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 298

2. Kitab Ushulul Fiqhi Abdul Wahab Khalaf halaman 93

3. Kitab I’anatut thalibin juz IV halaman 275

4. Kitab Mughni al-Muhtaj juz II

Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim yang menangani

perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. berpendapat bahwa permohonan para

pemohon supaya pernikahannya yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus

2010 di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang

dinyatakan sah telah memenuhi syarat yang dimaksud sebagaimana diatur dalam

pasal (2) ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) huruf (d)

Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim yang menangani

perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs.menetapkan hal-hal sebagai berikut:15

1. Mengabulkan permohonan para pemohon

15

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB

Page 84: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

69

2. Menyatakan sah pernikahan antara pemohon I (SIMPSON JACK KRISTINN

Bin JACK RAY SIMPSON) dengan pemohon II (ESTIN AULIA THONAH

Binti SARKUM BASIR) yang dilaksanakan pada tanggal 07 Agustus 2010

diwilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang

3. Memerintahkan kepada para pemohon untuk mencatatkan perkawinan tersebut

kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug

Kabupaten Tangerang, untuk mendapatkan akta nikah

4. Membebankan kepada para pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp. 441.000,- (empat ratus empat puluh satu ribu rupiah).16

E. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Dalam Perkara Isbat

Nikah Perkawinan Campuran Setelah Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974

Isbat nikah atau pengesahan nikah, dalam kewenangan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyah merupakan perkara voluntair. Yaitu jenis perkara

yang hanya ada pihak pemohon saja, tidak ada pihak lawan dan tidak ada

sengketa.

Landasan yuridis dari isbat nikah adalah ketentuan yang terdapat di dalam

Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Pasal 49 huruf

(a) angka 22 undang undang tersebut diatur tentang pengesahan perkawinan bagi

perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku.

16

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.

Page 85: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

70

Dalam KHI upaya hukum isbat nikah tidak hanya meliputi pengesahan

perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku. Hal ini dapat

dilihat dari ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menegaskan, dalam hal perkawinan

tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikah ke

Pengadilan Agama. Kemudian pada pasal 7 ayat (3), hal-hal yang dapat diminta

isbat nikahnya, yaitu :

1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

2. Hilangnya akta nikah.

3. danya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974

dan

5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.

Kepastian hukum isbat nikah terhadap status perkawinan ini erat kaitannya

dengan pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat

sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai

bukti telah terjadinya sebuah perkawinan, karena sahnya suatu perkawinan itu

menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing sesuai pasal 2 ayat (1)

UU Nomor 1 Tahun 1974. Namun demikian, perkawinan perkawinan yang tidak

tercatat tidak akan memperoleh perlindungan dan kekuatan hukum dari negara.

Setelah penetapan isbat nikah dikabulkan oleh Majelis Hakim, pemohon

akan memperoleh akta nikah dari KUA setempat. Akat Nikah ini merupakan bukti

otentik bahwa telah terjadi suatu perkawinan. Maka dari itu perkawinan tersebut

Page 86: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

71

dianggap sah menurut hukum. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata, yaitu adanya suatu

perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang

dicatat dalam register. Sehingga para pemohon yang telah melakukan pencatatan

perkawinan akan memperoleh akta nikah untuk mendapat perlindungan dan

kepastian hukum dari pemerintah.17

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah

atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap

warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari

perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial

sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat.

Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan

menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak tercatat atau dicatatkan, cukup

dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan

terlebih dahulu mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa

harus melakukan nikah ulang atau nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu

bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk

perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 adalah karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai

dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI.

17

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.

Page 87: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

72

Terkait dengan penetapan isbat nikah bagi perkawinan Campuran di

Pengadilan Agama Tigaraksa didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:

1. Pada dasarnya mereka telah melaksanakan nikahnya sesuai dengan syariat

Islam, dimana syarat sah sebuah perkawinan yang ditentukan syariat Islam

telah terpenuhi dan sesuai pula dengan ketentuan Pasal 14 KHI yaitu adanya

calon mempelai, wali, dua orang saksi, ijab kabul, serta adanya mahar sebagai

kewajiban dari mempelai laki-laki kepada isterinya.

2. Bahwa, di dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ayat (3) bahwa perkawinan

yang dapat disahkan adalah perkawinan yang dilangsungkan sebelum lahirnya

UU Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan faktanya banyak perkawinan yang

dilangsungkan di bawah tangan setelah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 yang

mohon diitsbatkan, maka dengan berpedoman pada Pasal 7 ayat (3) huruf (e)

yang berbunyi yaitu ”Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut halangan perkawinan menurut

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974”, maka perkawinan di bawah tangan

yang dilangsungkan oleh para pemohon isbat nikah telah sesuai dengan

ketentuan syariat Islam yaitu telah terpenuhi rukun dan syaratnya serta tidak

ada halangan perkawinan menurut halangan yang terdapat dalam UU No. 1

tahun 1974, maka perkawinan tersebut dapatlah disahkan, karena pasal 7 ayat

(3) tersebut tidaklah bersifat kumulatif tetapi bersifat alternatif yang huruf satu

Page 88: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

73

dengan huruf yang lainnya bukanlah merupakan suatu kesatuan tetapi

terpisah.18

F. Analisis Penulis

Mencermati masalah isbat nikah tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum

perkawinan sebagaimana yang diatur dan ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan jo. PP No.9 Tahun 1975. Sebagaimana diketahui,

perkawinan dalam perspektif UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

sekedar hubungan kontrak antara individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi

juga mencakup ikatan lahir batin (mitsaqon gholizan) serta dilandasi keyakinan

beragama.

Sebuah perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum atau

menurut hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara

positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan diatur

dalam pasal 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan

yang tidak dicatat dan atau tidak tercatat dianggap tidak sah dimata hukum dan

juga tidak mendapat akta nikah sebagai bukti otentik sahnya suatu perkawinan.

Hak dan kewajiban serta hukum-hukum lainnya itu merupakan

konsekuensi dari sebuah perkawinan yang sah. Hubungan hukum anak ayah

ditunjukkan pada pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

berbunyi “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah”.

18

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.

Page 89: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

74

Isbat nikah atau penetapan nikah dilakukan berkaitan dengan unsur

keperdataan yaitu adanya bukti otentik tentang perkawinan yang telah dilakukan

termasuk perkawinan campuran. Hal ini karena perkawinan hanya dapat

dibuktikan dengan akta nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Idris

Ramulyo mengatakan bahwa nikah dan talak yang dilakukan dibawah tangan

lebih cenderung dinyatakan tidak sah menurut hukum Islam, batal, atau sekurang-

kurangnya dapat dibatalkan.19

Perkawinan campuran yang disahkan penetapannya melalui Penetapan

Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs digolongkan kepada Perkawinan Campuran

Antar Golongan (Intergentiel). Perkawinan tersebut dilaksanakan setelah

berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Permohonan isbat nikah tersebut didasarkan karena perkawinannya tidak tercatat,

sehingga tidak memiliki Akta Nikah, dan diajukan untuk memperoleh kepastian

hukum, baik bagi suami-istri maupun anak-anak yang dilahirkan akibat

perkawinan tersebut. Permohonan isbat nikah dalam Penetapan Nomor

0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. bersifat voluntair, produknya berupa penetapan.

Pertimbangan majlis hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah

Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. didasarkan pada kaidah-kaidah fiqhiyyah

sebagai berikut:

1. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 76

ما لا يتم انىاجة إلا تو فهى واجةArtinya “Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengan

adanya sesuatu itu, maka hukumnya menjadi wajib pula”.

19

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 20-21

Page 90: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

75

3. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 102

سز يزالضانArtinya: “Kemadharatan itu harus dihilangkan”

Menurut Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag. selaku hakim PA Tigaraksa,20

mengenai kewenangan hakim dalam perkara permohonan isbat nikah adalah

bahwa hakim wajib memeriksa terhadap perkara isbat nikah yang masuk di

Pengadilan Agama melalui prosedur persidangan serta berhak memutus atas

perkara tersebut sesuai aturan hukum yang mengaturnya.

Lebih lanjut Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag. menjelaskan bahwa

majelis hakim memeriksa beberapa bukti tertulis dan para saksi yang memberikan

keterangan di bawah sumpah serta telah memenuhi syarat formil kesaksian dan

dapat diterima sebagai alat bukti kesaksian. Dalam pertimbangannya bahwa

tentang pengesahan nikah hanya diberikan terbatas mengenai hal-hal yang secara

limitatif telah diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 Kompilasi Hukum Islam

maka harus terlebih dahulu dibuktikan apakah dalil-dalil pemohon telah sesuai

dengan ketentuan yang dimaksud.

Dalam penetapan isbat nikah maka Panitera Pengadilan Agama

berkewajiban untuk mengirimkan salinan penetapan yang telah berkekuatan

hukum tetap kepada PPN/KUA kecamatan setempat untuk diadakan pencatatan

lagi dalam Buku Pendaftaran Nikah atau Rujuk. Pada kolom terakhir Buku

20

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.

Page 91: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

76

tersebut dituliskan bahwa pencatatan ini didasarkan atas putusan Pengadilan

Agama yang bersangkutan dengan nomor dan tanggal dan putusannya.21

Majelis hakim Pengadilan Agama Tigaraksa menetapkan permohonan

isbat nikah meskipun perkawinan dilakukan setelah tahun 1974. Perkara isbat

nikah dilakukan secara selektif dan hati-hati. Dalam hal ini penetapan disahkan

guna mengurus akta kelahiran anak sebagai upaya untuk memberikan

perlindungan kepada anak. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat

harus mendapatkan hak yang sama dengan anak yang lahir dari perkawinan

tercatat. Karena sesuai pasal 4 UU Perlindungan Anak, anak berhak untuk hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas.

Kebanyakan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa

yaitu untuk mendapatkan pengesahan pernikahan mereka secara resmi di mata

hukum karena belum mempunyai surat nikah yang akan digunakan untuk

mengurus akta kelahiran anak-anaknya.

Dengan melihat uraian pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI telah memberikan

kewenangan lebih dari yang diberikan oleh UU, baik Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama.22

Apabila perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri menjadi tradisi dalam

arti dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat serta apalagi dapat dikabulkan jika

21

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB. 22

Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (Tinjauan Yuridis,

Filosofis, dan Historis) dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 62 THN. XIV, (Jakarta:

2003), h. 70

Page 92: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

77

dimintakan isbatnya oleh Pengadilan Agama dan dipertahankan terus menerus

maka akan membawa dampak yang tidak baik. Dan dampak itu antara lain

adalah:23

1. Makna historis Undang-undang perkawinan akan tidak efektif sehingga tujuan

lahirnya UU tersebut tidak tercapai.

2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang

dikehendaki pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka akan

menciptakan suatu kondisi ketidakteraturan dalam pencatatan kependudukan.

3. Masyarakat Muslim dipandang tidak lagi memperdulikan kehidupan dalam

bidang hukum, yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan

ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan Negara.

4. Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri yang hanya

peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan perkawinan

yang mengundang ketidakpastian nasib wanita (isteri).

5. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang

untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas tanpa terlibat prosedur

hukum sebagai akibat langsung dari diabaikannya pencatatan oleh Negara,

sehingga perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri hanya diikuti perceraian

dibawah tangan pula.

6. Akan membentuk preseden buruk sehingga akan cenderung menjadi bersikap

enteng untuk mengabaikan pencatatan nikahnya secara langsung pada saat

perkawinan.

23

Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, h. 72

Page 93: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

78

Namun, dalam UU terbaru Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun

2007 tentang pencatatan nikah, belum adanya sanksi yang tegas mengenai

pelanggaran terhadap pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan perkawinan dan para

pegawai pencatat nikah (KUA dan PPN) yang melakukan penyelewengan atas

tugas pencatatan nikah. Jika sanksi ini ditegakkan diharapkan oknum menjadi jera

untuk melakukan pelanggaran terhadap UU.

Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq sebagaimana dikutip Satria Effendi M.

Zein,24

membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada 2 (dua) kategori

yaitu peraturan syara’ dan peraturan tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang

bermaksud agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat

dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang

berwenang. Secara administratif ada peraturan yang mengharuskan agar suatu

pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

kegunaannya agar lembaga perkawinan mempunyai tempat yang sangat penting

dan strategis dalam masyarakat Islam, dapat dilindungi dari upaya-upaya negatif

dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Sedangkan menurut Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah yang

dikutip oleh Siti Musdah Mulia, bahwa pemerintah dalam hukum Islam memiliki

kewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan

yang merugikan dengan menciptakan peraturan-peraturan yang dapat

menimbulkan ketentraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr (menjaga Agama)

dan fi siyasah al dunya’ (mengatur urusan dunia). Dalam pelaksanaan kedua

24

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta:

Kencana, 2005). Cet II. h. 29

Page 94: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

79

fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya, sepanjang tidak

mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula mendatangkan kemudharatan.

Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan

membuat perundang-undangan dalam bidang siyasah al syar’iyah. Siyasah al

syar’iyah adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah dalam rangka

menunjang keberlakuan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasul, meskipun belum

pernah dirumuskan ulama’ sebelumnya.25

Sedangkan dasar hukum yang digunakan dalam pencatatan perkawinan

yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa

“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”.26

Serta dalam KHI dijelaskan dalam pasal 4,5,6,7 secara garis besar memuat

aturan bahwa sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam.

Di dalam Al Quran dijelaskan tentang pentingnya penulisan atau pencatatan yaitu

dalam surat Al Baqarah ayat 282:

ياأيها انريه ءامنىا إذا تداينتم تديه إنى أجم مسمى فاكتثىه ونيكتة تينكم كاتة تانعدل ولا يأب كاتة أن يكتة كما عهمو الل

.....فهيكتة

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya. Hendaklah seorang penulis diantara kau menuliskannya

dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana

Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis….” (Q.S S. Al

Baqarah: 282)

25

Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press.

2006), h. 144 26

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan

Page 95: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

80

Wajibnya pencatatan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan dalam

Islam beranalog (berqiyas) kepada ayat yang mewajibkan pencatatan dalam

transaksi hutang-piutang. Perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang amat

penting, bahkan jauh lebih penting dari transaksi yang lainnya dalam kehidupan

manusia. Kalau hutang piutang saja wajib dicatatkan apalagi perkawinan.27

Dengan demikian maka dapat ditegaskan bahwa, pencatatan perkawinan

merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak.

Karena ia memiliki landasan metodologis yang cukup kokoh, yaitu qiyas atau

maslahat mursalah yang menurut al- Syatibi merupakan dalil qath’i yang

dibangun atas dasar kajian induktif (istiqra’i).28

Dengan pencatatan pernikahan

maka akan membentuk dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib dan

menjaga kemaslahatan bagi keluarga.

Bagi mereka yang tidak mencatatkan dan atau tidak mendaftarkan

perkawinan mereka atau enggan melangsungkan perkawinan dihadapan PPN,

maka perkawinan mereka dikualifikasikan “perkawinan liar” dalam bentuk kawin

sirri atau kawin “kumpul kebo”.29

Pasal 7 ayat 2 KHI menerangkan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat

dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan

Agama. Sedangkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang syarat

27

Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press.

2006), h. 143 28

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.

121 29

M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Mimbar Hukum

Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Thn. III, (Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1992),

h. 25

Page 96: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

81

dan rukun nikah, yang apabila telah terpenuhinya seluruh syarat dan rukun

tersebut, maka pernikahannya harus dinyatakan sah.

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini tidak mensyaratkan sahnya suatu

perkawinan karena dicatat. Akta nikah hanya sebuah pernyataan dari pihak

pemerintah yang mencatat adanya peristiwa hukum berupa pernikahan. Begitu

banyak pakar hukum yang menyatakan sahnya perkawinan tidak harus dicatat,

hanya tidak mempunyai kekuatan hukum apabila berhadapan dengan hukum

lainnya.

Dalam hal pencatatan perkawinan apabila tidak dilaksanakan maka akan

melanggar Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima

ratus rupiah); begitu juga terhadap poligami yang dilaksanakan tanpa izin

pengadilan agama yang telah memenuhi unsur-unsur Pasal 14 Kompilasi Hukum

Islam, maka secara hukum sah pernikahannya tetapi tidak ada pencatatannya di

Kantor Urusan Agama karena tidak dimintakan izin poligami ke Pengadilan

Agama. Terhadap perkara ini Hakim Peradilan Agama disibukkan dengan

menafsirkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam tentang syarat dan rukun

perkawinan yang bersinergi dengan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam adanya

upaya hukum isbat nikah.

Apabila hakim sudah memutuskan adanya peristiwa hukum tentang

sahnya perkawinan bagi para pemohon (ketetapan isbat nikah) maka seharusnya

hakim juga menyatakan bahwa para pemohon tersebut telah melakukan

pelanggaran terhadap ex Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

Page 97: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

82

karenanya para pemohon isbat nikah oleh hakim harus pula dijatuhi sanksi

pelanggaran terhadap pasal tersebut.

Hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Fitriyel Hanif,

S.Ag., M.Ag., diperoleh informasi bahwa sebagian besar pengajuan permohonan

isbat nikah yang diajukan oleh para pemohon di Pengadilan Agama Tigaraksa

bahwa pernikahannya dilaksanakan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974, baik pernikahan biasa maupun pernikahan campuran. 30

Hal ini mengisyaratkan bahwa para pemohon telah melakukan

pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946

tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Undang-Undang Nomor 32

Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. PP Nomor 9 Tahun

1975 Pasal 2 ayat (1,2,3). Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam.

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 9 ayat (2, 3), Pasal 34,

35, dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

Selain itu, tidak sedikit permohonan kehendak nikah yang diajukan kepada

Kantor Urusan Agama yang ditolak permohonannya karena adanya beberapa

kekurangan persyaratan administratif, seperti kurang usia (calon pengantin pria

kurang dari 19 tahun dan calon pengantin wanita kurang dari 16 tahun), belum

mendapatkan izin atasan (bagi anggota polisi), belum memiliki Kartu Izin Tinggal

Sementara (KITAS) bagi Warga Negara Asing, atau persyaratan lain yang harus

30

Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.

Page 98: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

83

dipenuhi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena persyaratan

tersebut bersifat administratif dan tidak menjadi halangan bagi terjadinya

perkawinan menurut ketentuan syari’at Agama Islam, kemudian mereka

melaksanakan perkawinannya tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

Tidak sedikit kasus sebagaimana digambarkan di atas selanjutnya diajukan

pengesahan perkawinannya melalui permohoan penetapan isbat nikah di

Pengadilan Agama, dan hakim mengabulkan permohonannya.

Kondisi seperti ini menurut analisis penulis akan memberikan dampak

yang kurang baik terhadap masyarakat, bahkan lebih jauh dari itu mereka

cenderung tidak mengindahkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,

khususnya yang berkaitan dengan perkawinan. Terlebih lagi jika perkawinan

campuran dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama, hal ini menurut analisis

penulis akan menjadi preseden buruk bagi kewibawaan hukum di mata warga

negara asing. Karena perkawinan campuran memerlukan persyaratan administrasi

yang lebih rumit dan melibatkan ketentuan hukum dua negara.

Menurut analisis penulis, penetapan isbat nikah oleh Pengadilan Agama di

satu sisi memberikan manfaat bagi keluarga akan adanya jaminan kepastian

hukum dan akibat yang ditimbulkannya. Tapi di sisi lain akan memberikan ekses

yang kurang baik terhadap masyarakat, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Isbat nikah akan dijadikan sebagai celah hukum bagi terjadinya berbagai

pelanggaran administratif oleh para calon suami-istri yang akan

melangsungkan perkawinan yang tidak memenuhi syarat administratif.

Page 99: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

84

2. Isbat nikah bagi perkawinan campuran akan memberikan dampak buruk bagi

kewibawaan hukum di mata Warga Negara Asing.

3. Isbat nikah dapat digolongkan sebagai jalan pintas bagi pengesahan

perkawinan yang pencatatannya ditolak oleh Kantor Urusan Agama.

4. Adanya dualisme kewenangan dalam pengesahan perkawinan antara Kantor

Urusan Agama dengan Pengadilan Agama, dimana dalam beberapa kasus isbat

nikah yang secara adminsitratif belum memenuhi persyaratan perkawinan dan

ditolak permohonan perkawinannya oleh KUA, tapi oleh Pengadilan Agama

dinyatakan sah. Hal ini secara tidak langsung akan merendahkan posisi

lembaga dari lembaga lainnya.

5. Adanya perbedaan persyaratan administratif dalam permohonan pendaftaran

perkawinan di Kantor Urusan Agama dan permohonan penetapan isbat nikah di

Pengadilan Agama, sehingga terkesan tidak adanya kesamaan prinsip dalam

menetapkan pengesahan perkawinan.

6. Berdasarkan tata urutan dan hirarki perundang-undangan di Indonesia, dalam

penerapannya Kompilasi Hukum Islam menjadi dilematis, karena posisinya

yang tidak kuat sehingga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Berdasarkan dampak di atas, maka diperlukan pengkajian mendalam

terhadap berbagai ketentuan perundang-undangan, khususnya dalam bidang

perkawinan demi terhindarnya kontradiksi antara ketentuan yang satu dengan

ketentuan yang lainnya. Untuk itu beberapa pertimbangan terkait isbat nikah oleh

Pengadilan Agama, dapat penulis paparkan sebagai berikut:

Page 100: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

85

1. Melakukan amandemen terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terhadap pasal-pasal

yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain.

2. Memberikan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan penetapan isbat

nikahnya disahkan oleh Pengadilan Agama, sedangkan pelaksanaan

pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974.

3. Menyamakan ketentuan persyaratan administratif permohonan penetapan isbat

nikah di Pengadilan Agama dengan permohonan pendaftaran perkawinan di

Kantor Urusan Agama.

Page 101: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

86

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab-bab

sebelumnya, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah

perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 adalah bahwa

permohonan isbat nikah dikabulkan demi melindungi dan menjamin

terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami

istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak

sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan

keselarasan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang

telah melakukan perkawinan menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak

tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat

Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan

itsbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus melakukan nikah ulang atau

nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu bertentangan dengan ketentuan

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak

ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

86

Page 102: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

87

Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf

e KHI.

2. Proses pengajuan isbat nikah bagi perkawinan campuran di Pengadilan Agama

Tigaraksa sama dengan proses pengajuan isbat nikah perkawinan biasa

(perkawinan antara sesama WNI yang beragama Islam). Adapun proses

pengajuan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa adalah : (1) Mengajukan

permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya

yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa, (2)

Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa, kemudian

diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register, (3) Para pemohon atau

kuasanya menghadiri persidangan, (4) Majelis hakim melakukan pemeriksaan

terhadap para pemohon dan para saksi, dan (5) Majelis hakim melakukan

musyawarah dan terakhir membacakan penetapan.

3. Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs adalah

sebagai berikut: (1) Pemohon I dan Pemohon II telah mendaftarkan

permohonan pengesahan isbat nikahnya di Pengadilan Agama Tigaraksa sesuai

ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama

Tigaraksa, (2) Berdasarkan keterangan Pemohon I, Pemohon II, wali nikah dan

dua orang saksi di persidangan menyatakan bahwa pernikahan tersebut sudah

sesuai dengan ketentuan syari’at Agama Islam, (3) Bahwa antara Pemohon I

dan Pemohon II tidak ada larangan untuk menikah, baik menurut ketentuan

syari’at Agama Islam maupun menurut ketentuan perundang-undangan yang

berlaku, dan (4) Bahwa sampai sekarang para pemohon tidak memiliki kutipan

Page 103: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

88

akta nikah karna perkawinan tidak terdaftar pada Kantor Urusan Agama. Selain

alasan di tgersebut, majleis hakim juga mendasarkan pertimbangannya pada

kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut: (1) Kitab Qowaid Al-Kulliyah al

Fiqhiyah halaman 76, dan (2) Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman

102.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang telah penulis paparkan,

maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Hendaknya pihak-pihak yang terkait melakukan amandemen terhadap beberapa

pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain.

2. Hendaknya diberlakukan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan

penetapan isbat nikahnya disahkan oleh Pengadilan Agama, sedangkan

pelaksanaan pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini untuk menjaga kewibawaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Kepada pihak Pengadilan Agama, hendaknya menyamakan ketentuan

persyaratan administratif permohonan penetapan isbat nikah di Pengadilan

Agama dengan permohonan pendaftaran perkawinan di Kantor Urusan Agama,

demi terciptanya kejelasan aturan dan kesamaan persepsi antara dua lembaga

tersebut.

Page 104: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

89

Page 105: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

89

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1993).

Abdullah, Abdul Gani, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I

(Jakarta: Gema Insani Press,1994).

Abdullah, Abdul Ghani, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan

Peradilan Agam, (Jakarta: Intermasa, 1991).

Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).

Arto, Ahmad Mukti, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,

(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996).

Arto, Ahmad Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996).

Aulawi, Wasit, Prof. H. A., “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”,

dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII

(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996).

Barnadib, Imam, Pemikiran Tentang Metode Pada Pendidikan Perbandingan

(Yogyakarta: IKIP, 1985)

Depag, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid

Pusat, 1992/1993).

Departemen Agama R.I., Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama

RI, 1999/2000).

Gautama, Sudargo (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar

Baru-Vanhoeve, 1980).

Gautama, Sudargo, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di

Indonesia, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990).

Gautama, Sudargo, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata

Internasional Sedunia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996).

89

Page 106: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

90

Gautama, Sudargo, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran

(Staatsblad 1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996).

Hadi, Sutrisno, Metode Research I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007).

Harahap, M. Yahya, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Mimbar

Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Thn. III, (Jakarta: Al Hikmah

dan DITBINBAPERA Islam, 1992).

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.

(Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

Jehani, Libertus dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung:

Citra Adytia Bakti, 2006).

LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm)

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan

Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan

Peradilan Agama, 2011).

Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum

Perkawinan, Waris, Perwakafan, Impres No. 1 Th 1991 berikut

penjelasan, (Surabaya: Karya Anda, 1991).

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya,

2001).

Mubarok, Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka

Bani Quraisy, 2005).

Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar

Press. 2006).

Nasution, Khoiruddin, “Belajar dari Kasus Syeh Puji,”

http://maulhayat.blogspot.com/2009/03/hikmah-kasus-syekh-puji.html.

Noor, Masrum, (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Penetapan Pengesahan

Perkawinan, pdf.

Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra,1993).

Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

Cet. Ke-3 1990).

Page 107: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

91

Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998).

Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata

International Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997).

Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

Rasyid, Raihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV. Rajawali,

1991).

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2000).

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1980).

Salim, Nasrudin, “Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan Yuridis,

Filosofis dan Sosiologis), dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum

Islam, No. 62 Th. XIV (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2003).

Surahmad, Winarno, Dasar dan Tehnik Research, Pengantar Metologi Ilmiah,

(Bandung: CV. Tarsito, 2004).

Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ( Jakarta : Prenada

Media, 2007).

Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta, Prestasi

Pustaka Publiser, 2006).

Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta:

Kencana, 2005).

Page 108: PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis

92