99
PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS NON MUSLIM (Studi Analisis Yuridis Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim Dalam Perkara Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Disusun oleh: ENDAY HIDAYAT NIM: 11150440000014 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS

NON MUSLIM

(Studi Analisis Yuridis Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim

Dalam Perkara Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Disusun oleh:

ENDAY HIDAYAT

NIM: 11150440000014

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/1441 H

Page 2: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …
Page 3: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …
Page 4: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …
Page 5: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

iv

ABSTRAK

Enday Hidayat (11150440000014) “Penetapan Ahli Waris Muslim

Terhadap Pewaris Non Muslim (Studi Analisis Yuridis Penegakan Keadilan

Terhadap Non Muslim Dalam Perkara Penetapan Nomor

4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg.)”. Program Study Hukum Keluarga (Al-Akhwal As-

Syakhsiyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Tahun 2020 M/1441 H. 74 halaman + lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci mengenai penegakan

keadilan bagi non-muslim dalam kewarisan islam di Indonesia serta tinjauan

kewenangan absolut Pengadilan Agama Badung dalam menangani perkara

Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/ PA.Bdg. Penelitian ini merupakan penelitian

hukum normatif (normative yuridis), bersifat preskriptif dengan menggunakan

pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif

dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan diberikannya hak waris

kepada anak yang beragama islam memberikan ketidakadilan bagi anak yang

sama agamanya dengan pewaris, yaitu beragama Hindu. Dalam perspektif

kewenangan berdasarkan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah

Agung Republik Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012 yang dicantumkan dalam

SEMA Nomor 07 Tahun 2012, Pengadilan Agama Badung tidak memiliki

kewenangan untuk menangani perkara permohonan penetapan ahli waris muslim

dari pewaris non-muslim. Adapun dari perspektif hukum Islam, penetapan Majelis

Hakim Pengadilan Badung bertentangan dengan pendapat (jumhur ulama’) yang

bersandar pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang artinya “Seorang muslim

tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke

seorang muslim” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kata Kunci: Perkara waris, ahli waris, pewaris, beda agama, peraturan perundang-

undangan, hukum Islam.

Pembimbing: Dr. Syahrul A’dam, M.Ag.

Daftar Pustaka: 1983 s/d 2017

Page 6: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

v

KATA PENGANTAR

ن ٱلل بسم ٱلرحيم ٱلرحم

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat

dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat

serta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad

SAW.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana pada program Study Hukum Keluarga Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang

penulis ajukan adalah “Penegakan Keadilan Terhadap Non-Muslim Dalam

Kewarisan Islam di Indonesia”.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,

bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan

ini penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin

Umar Lubis, M.A.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Bapak

Ahmad Chairul Hadi, M.A.selaku sekretaris Program Studi.

4. Bapak Dr. Syahrul A’dam, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi.

5. Segenap bapak dan ibu dosen, pada lingkungan program Studi Hukum

Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

telah memberikan banyak ilmu ndan pengetahuan selama duduk di bangku

kuliah.

Page 7: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

vi

6. Ayahanda Alm. Rafiudin dan ibunda Zubaidah tercinta selaku orang tua

penulis. Terimakasih atas setiap cinta dan kasih saying serta terpancarnya doa

dan restu yang selalu mengiringi tiap langkah penulis sehingga bisa sampai

pada titik ini.

7. Kakak tercinta penulis Rahmawati, Melyadi Nata, Roiyah, Adi Prayitno,

Roheni, Alan Gusmiadi serta seorang yang selalu menemani penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini Dinia Jehan Safira.

8. Fatma Hidayah Fathuri, Imam Mukhtar Miftah, Faiqah Nur Azizah, Ahmad

Zulfi Aufar, Ahmad Syafaat, Luthfi Zakariya, Ilham Ramdani, serta semua

teman-teman Program Studi Hukum Keluarga 2015, atas segala ukiran hari

bertemakan persahabatan yang tulus murni sepanjang masa Pendidikan ini di

Program Studi Hukum Keluarga sejak awal hingga terselesainya Pendidikan.

9. Keluarga besar Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam

(LKBHMI) Cabang Ciputat, kanda Fahmi Muhammad Ahmadi, kanda Ihdi

Karim Makinara, Kanda Muhammad Isnur, kanda Teuku Mahdar Adrian,

kanda Ali Fernandes, kanda Haris Barkah, kanda Ridho Akmal Nasution,

kanda Aji Andika Mufti, kanda Fauzul, kanda Irpan Pasaribu, Kanda

Awaludin, kanda Ahmad Masyhud, kanda Zainuri, kanda M. Irpan, kanda

Humaidi, kanda Rahmat Ramdani, kanda Roni Johan, kanda Afif Kurniawan,

kanda Abdul Qadir Batubara, kanda Agustiar Hariri Lubis, kanda Triono,

kanda Ahmad Imam Santoso, Kanda Wahid Sabekti. Teman-teman

seperjuangan di LKBHMI, Direktur Onggi Sigma Utara, Dhika Amal Fatul

Hakiem, Rasyid Rahmat, Ayu Sitti serta adik-adik tercinta adinda Syukriyan,

Herman Sunaro Lubis, Jijay Zainal Arifi, Adnan Ajmain serta segenap

pengurus LKBHMI terimakasih atas kritik, saran, canda tawa, dan tangisan

haru serta bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimakasih atas rasa

kekeluargaan yang begitu besar meski tanpa ikatan darah. Jalinan

persahabatan ini semoga Allah jaga hingga selamanya.

10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Lampung Kiyay Uchal Darwis, Kiyay

Ibnoe Nugraha, Kiyay Riyan Hidayat, Kiyay Abdurrahman BL, kiyay

Glamora Lionda, dan segenap senior lainnya serta teman-teman seperjuangan

Page 8: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

vii

di HML Tangsel M. kahfi, Ali Maksum, Miftahurrahman, Burhanuddin, Rifqi

Abqori Najih, Fadli, Dimas Wisa Fadholi dan lainnya.

11. Keluarga besar HMI Komfaksy, terkhusus senior Komfaksy yang banyak

memberi masukan kepada penulis yaitu Kanda Maman Rahman Hakiem dan

keluarga besar HMI Cabang Ciputat serta Pengurus DEMA FSH masa bakti

2018.

Semoga senantiasa Allah membalas kebaikannya dengan pahala yang

berlipat ganda, amiin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi

penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Ciputat, 15 Januari 2020

Enday Hidayat

Page 9: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii

ABSTRAK ........................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ...................................................................................... v

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 8

D. Review Studi Terdahulu ........................................................ 9

E. Metode Penelitian ................................................................. 10

F. Sistematika Penulisan ........................................................... 13

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEWARISAN

DI INDONESIA

A. Hukum Kewarisan ................................................................ 15

1. Pengertian Hukum Kewarisan ....................................... 15

2. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam ................ 16

3. Faktor Penyebab Waris Mewarisi ................................. 20

4. Faktor Penyebab Hilangnya Hak Waris ........................ 21

5. Asas Hukum Kewarisan Islam ..................................... 23

B. Pengertian Wasiat Wajibah .................................................. 24

1. Wasiat Wajibah Dalam Perspektif KHI ........................ 25

Page 10: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

ix

2. Wasiat Wajibah Pasca Putusan MA Tahun 1995 .......... 26

BAB III PROBLEMATIKA KEWARISAN BEDA AGAMA DAN

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Problematika Kewarisan Beda Agama ................................. 29

1. Hak Waris Non-Muslim Atas Harta Waris Dari

Pewaris Muslim ............................................................. 29

2. Hak Waris Muslim Atas Harta Waris Dari Pewaris

Non-Muslim .................................................................. 29

B. Peradilan Agama di Indonesia .............................................. 34

1. Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia ............ 34

2. Sumber Hukum Acara Yang Berlaku di Lingkungan

Peradilan Agama ........................................................... 37

C. Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama ....................... 42

BAB IV PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM DARI PEWARIS

NON MUSLIM

A. Deskripsi Perkara Waris Beda Agama Dalam Penetapan

Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. ............................................. 44

1. Duduk Perkara ............................................................... 44

2. Pertimbangan Majelis Hakim ........................................ 46

3. Penetapan Majelis Hakim .............................................. 48

B. Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Pengadilan

Agama Badung Dalam Penetapan Ahli Waris Muslim Dari

Pewaris Non-Muslim ............................................................ 49

C. Analisis Penegakan Keadilan Bagi Non-Muslim Dalam

Perkara Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ................................. 56

D. Analisis Hukum Islam Terhadap Penetapan Ahli waris

Muslim Dari Pewaris Non-Muslim……………………….. 62

a) Analisis Tentang Kedudukan Ahli Waris Muslim Dari

Pewaris Non-Muslim ..................................................... 62

Page 11: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

x

b) Analisis Tentang Konsep Pemisahan Harta

(Khiazatul Mal) ............................................................. 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 70

B. Saran .................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 72

LAMPIRAN

Page 12: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa hukum waris

merupakan salah satu bagian hukum yang terabaikan dalam kampanye

pemerintah untuk menasionalisasikan hukum diawal kemerdekaan

Indonesia. Pengabaian tersebut selaras dengan sikap pemerintah terhadap

tatanan normatif non-negara pada waktu itu, yang tidak saja merupakan

hasil dari ideologi hukum nasional yang berhulu pada UUD 1945 yang

mendahulukan persatuan dan kesatuan, tetapi juga karena negara seakan

sudah kehabisan akal tentang bagaimana menangani keragaman tradisi

kewarisan yang ada di tengah masyarakat.

Persoalannya bukan semata hukum yang bagaimana dan seperti apa

yang akan digunakan sebagai pijakan utama dalam hukum waris nasional

(apakah tradisi hukum Adat, hukum Islam atau hukum Sipil Barat) tetapi

lebih pada bagaimana menyatukan praktik-praktik yang selama ini diikuti.

Bahkan Hazairin pun mengakui kesulitan yang ditimbulkan oleh

pluralisme berbagai tradisi kewarisan yang ada. 1

Rencana hukum waris nasional yang Hazairin usulkan, ditulis

sekitar tahun 1963, dengan jujur Ia mengakui adanya perbedaan antara

sistem waris dalam masyarakat muslim dengan non-Muslim. Bahkan

ketika ditempatkan di bawah konsep bilateral-individual sekalipun, kedua

tradisi ini masih sulit untuk mencapai landasan bersama. Satu-satunya

jalan yang mungkin bagi pemerintah adalah menerima pluralisme sembari

perlahan-lahan menyesuaikan tradisi-tradisi kewarisan tersebut kedalam

ketentuan hukum waris nasional yang ditetapkan negara.

1 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta: Alvabet, 2008), h.437

Page 13: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

2

Dalam konteks kekinian, pengakuan terhadap hukum waris adat

sampai taraf tertentu masih diserahkan pada keputusan hakim di

pengadilan, sementara model kewarisan Belanda, seperti yang dijelaskan

dalam Burgerlijk Wetboek, diadopsi kedalam KUHPer, sementara hukum

waris Islam dikodifikasikan dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam

tatanan tekhnis negara memberikan ruang pembeda, dengan berlakunya

UU Peradilan Agama, penyelesaian kasus-kasus waris yang melibatkan

hukum Islam harus di rujuk pada Pengadilan Agama, sementara Kasus-

kasus yang dialami orang-orang Non-Muslim akan ditangani oleh

Pengadilan Umum.2

Dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006, perubahan atas UU No. 7

Tahun 1989 dikatakan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara tertentu”. Kewenangan tertentu yang

di maksud dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah

bicara pada Kewenangan Absolut Peradilan Agama. Kewenangan absolut

tersebut di jelakan dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 “bahwa

pengadilan memiliki tugas dan wewenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,

infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah”.3

Eksistensi Peradilan Agama sebagai suatu badan Peradilan yang

secara spesifik hanya bagi orang-orang yang beragama Islam dalam

masyarakat Indonesia yang sosio-masyarakatnya majemuk tidak dapat

dihindarkan dari persoalan-persoalan penegakan hukum yang adil bagi

semua warga negara, terlepas dari latar belakang agama seseorang. Hal ini

karena kemajemukan, beragam suku, agama, budaya, mengakibatkan

hubungan hukum antara pihak satu dan lainnya yang berbeda agama

2 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h.442 3 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Page 14: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

3

(antar-iman) tidak dapat di hindari, khususnya dalam bidang hukum

keluarga.

Dalam praktek penegakan hukum di pengadilan, perkara waris

merupakan satu kasus yang sangat berpotensi menimbulkan sengketa

kewenangan, antara pengadilan agama dan pengadilan negeri dalam hal

terjadi perbedaan antara agama pewaris, penggugat, dan tergugat tidak di

jelaskan dalam surat gugatan, sehingga dianggap menundukan diri pada

hukum adat, atau karena sengketa waris di anggap sebagai perbuatan

melawan hukum meskipun para pihak beragama islam.4

Pasca diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989, dirubah menjadi UU

No. 3 tahun 2006, terjadi perubahan kewenangan absolut di pengadilan

negeri dalam hal kewarisan, dimana perkara waris yang dapat di tangani

terbatas hanya pada perkara waris non-muslim, dengan menggunakan

KUHPer bagi para pihak yang menundukkan diri pada KUHPer, karena

adanya tuntutan quality diantara ahli waris untuk mendapatkan bagian

yang sama dari harta warisan, tanpa membedakan latar belakang agama

dan jenis kelamin, seperti yang masih bisa kita jumpai dalam hukum adat

dan hukum islam.

Dalam praktik penegakan hukum di Pengadilan Agama, agama

perawis menjadi asas atau dasar penentu kewenangan pengadilan agama

dalam memeriksa dan mengadili perkara kewarisan. Hal ini dikarenaka

KHI hanya menganut asas kesamaan agama antara pewaris dan ahli waris

sebagaimana tertuang dalam pasal 171 huruf b dan c.5

Namun dalam praktiknya ditemukan bahwa pengadilan agama

menangani sebuah perkara kewarisan antar-iman. Dimana perkara

kewarisan tersebut melibatkan pihak muslim dan non muslim dalam dua

kasus. Pertama, pewaris non-Muslim sementara ahli waris terdiri dari

4 Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010, h. 62-63. 5 Muhammad Isna Wahyudi, Penegakan Kewarisan Beda Agama, (Jurnal Komisi

Yudisial, 2015)

Page 15: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

4

muslim dan/atau non-muslim, dan; Kedua, pewaris muslim sementara ahli

waris terdiri dari muslim dan non-muslim.

Pada kasus ini penulis temukan pada Penetapan Pengadilan Agama

Badung pada perkara No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Secara singkat duduk

perkara Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. adalah bahwa Ibu Pemohon I

dan II semasa hidupnya memeluk agama Islam, kemudian pindah agama

ke agama Hindu dan meninggal pada tahun 2004 dalam keadaan beragama

Hindu. Ibu Pemohon I dan II ketika meninggal memiliki 4 orang anak, 2

anak memeluk agama islam dan 2 anak yang lain memeluk agama Hindu.

Kemudian 2 orang anak yang memeluk agama islam mengajukan

penetapan waris terhadap harta warisan yang di tinggalkan Ibunya yang

meninggal dalam keadaan beragama Hindu ke Pengadilan Agama Badung.

Dalam penetapan tersebut Majlis Hakim Memberikan

pertimbangan secara eksplisit sebagai berikut:

Menimbang bahwa Ibu Pemohon I dan II meninggal dalam

keadaan beragama Hindu, hal mana menurut pasal 171 huruf b KHI,

seorang pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama islam.

Bilamana di hubungkan dengan Pasal 171 huruf c KHI, secara eksplisit

KHI mengatur sistem persamaan agama, yakni agama islam untuk saling

mewarisi. KHI tidak mengatur bagaimana jika pewaris itu murtad apakah

hartanya dapat di warisi oleh muslim ataukah tidak. Sepanjang dalam hal

ini Majlis Hakim memberikan pendapat sebagai berikut;

Menimbang bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem

kewarisan islam menganut sistem kekerabatan, baik secara Nasabiyah

maupun secara Hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama jika di

bandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi.

Karena hukum islam selain mengandung unsur ibadah, juga lebih banyak

mengandung unsur muamalah. Kekerabatan seseorang takan pernah

terputus sekalipun agama mereka berbeda. Seorang anak tetap mengakui

Page 16: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

5

ibu kandungnya meskipun ibu kandungnya tidak seagama dengannya.

Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutus hubungan

horizontal dengan non-muslim, lebih – lebih mereka itu ada pertalian

darah.

Bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ibu Pemohon I

dan II sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari islam dan meninggal

dunia dalam keadaan beragama Hindu sementara kerabat terdekatnya

masih memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut berhak

menuntut ahli waris, dalam hal ini majlis hakim menggunakan pendapat

para ulama dan secara spesifik majlis hakim menggunakan pendapat Imam

Abu Hanifah yang menyatakan bahwa semua peninggalan wanita yang

keluar dari islam diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam.6

Argumentasi yang tertuang dalam pertimbangan hakim adalah,

bahwa Hakim menganggap sistem kewarisan islam jika di lihat dan di

cermati dengan spesifif lebih utama menganut sistem kekerabatan

dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi.

Menurut penulis Argumentasi hukum yang di bangun oleh Hakim

dalam mengambil keputusan pertama telah menyimpang dari ketentuan

yang tertuang dalam pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam,

sehingga memberikan ruang kepada ahli waris muslim untuk dapat

menjadi ahli waris dari pewaris non-muslim, dan yang kedua dalam

pertimbangannya Majlis Hakim tampak tidak konsisten logika hukum

yang dibangunnya, ketika membedakan kedudukan ahli waris muslim

dengan ahli waris non muslim dalam hal pewaris berbeda agama dengan

ahli waris. Dalam pewaris muslim dan ahli waris non-muslim maka ahli

waris non muslim bukan ahli waris dan tidak dapat menuntut kewarisan

dari pewarisnya. Sementara jika pewaris non-muslim dan ahli waris

muslim maka ahli waris muslim berhak menuntut menjadi ahli warisnya

6 Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.

Page 17: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

6

berdasarkan hukum islam. Meskipun terdapat mekanisme wasiat wajibah

anak yang non muslim, namun hal ini tidaklah tepat diberikan kepada anak

non-muslim di mana pewarisnyapun beragama non muslim. Hal ini

memberikan persepsi diskriminatif terhadap Non-Muslim.

Berdasarkan penetapan hakim tersebut diatas, menunjukkan

sempitnya ruang penegakan keadilan, sebab terbatas hanya pada pihak

yang beragam islam, dan mengabaikan keadilan bagi pihak yang beragama

Non-Muslim. Jika dilihat secara spesifik penetapan hakim tersebut di atas

tidaklah sejalan dengan sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:

سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم “Orang muslim tidak mewarisi

dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (H.R.

Bukhari dan Muslim No. 6764).7 Sekalipun hadis nabi tersebut memiliki

banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahaminya.

Inkonsistensi logika hukum ini telah menunjukkan kebiasan

keagamaan dalam menyelesaikan perkara waris yang melibatkan Muslim

dan Non-Muslim. Bias keagamaan ini mengantarkan pada ketidakadilan

bagi ahli waris non-Muslim yang kehilangan hak untuk mendapatkan

bagian warisan dari pewaris non-Muslim, meski memiliki hubungan darah

atau perkawinan dengan pewaris serta seagama dengan pewaris.

Lagipula dalam sisi yang lain, dalam hal kewenangan menangani

perkara semacam ini akan menimbulkan konflik kewenangan

kelembagaan. Jika kemudian anak Non-Muslim merasa tidak terima atas

penetapan pengadilan Agama, lantara ia tidak berhak menuntut kewarisan

dari orang tua sedarahnya dan seagama dengannya dan membawanya ke

pengadilan negeri, karena dirasa dengan dibawanya ke pengadilan negeri

anak Non-muslim ini lebih merasa mendapatkan keadilan. Sebab dalam

7 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’

alKitab wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam,

(Jakarta: Gema Insani Press, 2007), h. 33.

Page 18: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

7

pengadilan negeri ketika menangani kasus kewarisan menggunakan asas

quality diantara ahli waris untuk mendapatkan bagian yang sama dari harta

warisan, tanpa membedakan latar belakang agama dan jenis kelamin.

Penyelesaian perkara waris yang mencakup pihak muslim dan non-

Muslim (kewarisanantar-iman) dalam kenyataannya menghadapi

hambatan dalam hal akses terhadap keadilan. Ketiadaan aturan tentang

kewenangan pengadilan dalam menangani perkara waris beda agama telah

menimbulkan persinggungan kewenangan pengadilan antara pengadilan

agama dan penagdilan negeri, yang justru memberikan ketidakpastian dan

ketidakadilan bagi para pencari keadilan.

Sejalan dengan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian skripsi dengan judul “PENETAPAN AHLI

WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS NON MUSLIM (Studi

Analisis Yuridis Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim Dalam

Perkara Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.)”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian tersebut di atas menimbulkan banyak persoalan

mengenai kewarisan Antar-Iman, di antaranya:

a. Sebab-sebab terjadinya kewarisan

b. Adanya permasalahan kewenangan absolut pengadilan agama

dalam menangani perkara kewarisan Antar-Iman.

c. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan PA Badung No.

4/Ptd.P/2013/PA.Bdg.

d. Konsep keadilan dalam Kewarisan Antar-iman (Muslim dan Non-

Muslim) di Pengadilan Agama.

e. Argumentasi hakim yang membuka peluang terjadinya kebolehan

kewarisan Antar-Iman yang bertentangan dengan Jumhur Ulama.

Page 19: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

8

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan pembahasan yang sudah dijelaskan pada latar

belakang masalah serta untuk mempertajam penelitian, maka penulis

akan membatasi masalah ini dengan judul “Penetapan Ahli Waris

Muslim Terhadap Pewaris Non Muslim (Studi Analisis Yuridis

Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim Dalam Perkara

Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg.)”.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,

maka penulis merumuskan pokok masalah yang akan di kaji dalam

penelitian ini yaitu: Apakah Pengadilan Agama Badung memiliki

kewenangan untuk menangani permohonan penetapan pada Perkara

Nomor: 4/pdt.P/2013/PA.Bdg.?

Dari rumusan masalah ini melahirkan dua pertanyaan

penelitian diantaranya:

1. Bagaimana penegakan keadilan dalam masalah kewarisan yang

meliputi muslim dan non-muslim dalam penetapan di Pengadilan

Agama?

2. Bagaimana pandangan Zumhur Ulama terhadap Penetapan ahli

waris muslim dari pewaris Non-muslim oleh Majelis Hakim

Pengadilan Badung melalui Perkara Nomor:

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dasar dan pertimbangan Hakim PA Badung

No. 4/Ptd.P/2013/PA.Bdg.

b. Untuk mengetahui bagaimana penegakan keadilan dalam perkara

waris yang melibatkan pihak muslim dan non-muslim di

Pengadilan Agama.

Page 20: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

9

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1) Untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum

terkhusus pada kasus kewarisan Antar-Iman dalam Putusan PA

Badung bagi penulis secara khusus dan bagi pembaca pada

umumnya.

2) Menambah dan memperkaya referensi dan literatur

kepustakaan Hukum Keluarga Islam yang berkaitan dengan

analisis putusan Kewarisan Antar-Iman (Muslim dan non-

Muslim)

b. Manfaat Praktis

1) Menjadi kesempatan bagi penulis untuk membentuk dan

mengembangkan penalaran pola pikir ilmiah serta dapat

menguji dan mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh.

2) Memberi sumbangan pemikiran bagi institusi atau lembaga

yang terkait langsung dengan penelitian ini.

D. Review Study Terdahulu

Skripsi yang di tulis oleh Miftahul Hakim Bagus Hermanto

Tahun 2014 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Ahli Waris

Beda Agama : Analisis terhadap Putusan MA RI Nomor 16K/AG/2010”.

Penelitian ini di dasarkan pada suatu pemikiran bahwa meskipun

ada ketentuan yang menyatakan bahwa seorang ahli waris harus beragama

Islam dan dikuatkan dengan hadis yang menyatakan bahwa tidak ada

hubungan waris mewarisi antara seorang muslim dan non muslim, tetapi

pada peraktiknya masih ada putusan penagdilan yang memberikan

kewarisan kepada ahli waris non-Muslim.

Hasil pembahasan yang Ia lakukan ini menunjukkan bahwa

mayoritas ulama menjelaskan bahwa waris beda agama tidak di

perbolehkan. Tetapi seiring berjalannya waktu dengan banyaknya putusan-

Page 21: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

10

putusan pengadilan menunjukkan adanya perubahan dan pergeseran

hukum salah satunya adalah berlakunya Wasiat Wajibah bagi anak Non-

Muslim.

Skripsi yang ditulis oleh Istiarini Cahyaningsih Tahun 2010

dengan judul “Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok tentang Ahli

Waris Beda Agama dan Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita:

Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk”. Dalam skripsi ini mencoba

menjawab alasan alasan mengapa PA Depok dalam memutus perkara

dengan cara Ultra Petita, dan dalam skripsi ini hanya membahas

kedudukan ahli waris beda agama dalam penetapan kewarisan. Sementara

kedudukan pewaris yang murtad tidak dibahas, karna putusan yang di

analisis hanya terbatas pada penetapan ahli waris beda agama.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah berjenis penelitian kualitatif yang

menggunakan penelitian deskriptif. Yaitu suatu metode penelitian

yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan

atau gejala-gejalanya. Adapun tujuan penelitian deskriptif bertujuan

untuk memberikan gambaran suatu objek secara sistematis.8

Bahan pustaka yang digunakan putusan pengadilan,

Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, kitab-kitab fikih, serta

yurisprudensi yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan jenis

data yang di gunakan dalam penelitian ini ialah data kualitatif.

2. Pendekatan Penelitian

Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum

normatif.9 Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi

8 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986) h. 43 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja

Grafindo Persada 2004), h. 13

Page 22: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

11

tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,

jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.10

Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan

sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law

in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 11

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan kasus (Case Approach), yang perlu dipahami

dalam pendekatan ini ialah teori ratio decidendi, yaitu alasan-alasan

hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada

putusannya.12

Teori ini juga didasarkan pada landasan filsafat yang

mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan

dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari

peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara

sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan

hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan

hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.13

3. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh penulis dari lapangan

berupa berkas putusan dan penetapan kewarisan beda agama.

Berkas Penetapan Pengadilan Badung No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang memberikan penjelasan

mengenai data hukum primer dan implementasinya yang

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia, 2016), h.181 11 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 118 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.158 13 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.110

Page 23: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

12

diperoleh dari bahan kepustakaan.14 Data ini terdiri dari peratutan

perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan skripsi

ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun berupa

analisis dari penulis lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Penulis mengunakan teknik pengumpulan data dengan studi

kepustakaan untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang

berkenan dengan metode putusan hakim melalui berbagai buku

dan literature yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan

objek penelitian ini.

b. Studi Dokumen

Penulis memfokuskan untuk menelaah bahan-bahan atau

data-data yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang

mengatur tentang pemeriksaan putusan dan penetapan yang

terkait masalah kewarisan beda agama dalam putusan dan

penetapan perkara Pengadilan Agama Badung

No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg..

5. Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini

adalah analisis kualitatif, yaitu penelitian yang mengasilkan data

deskriptif analisis. Dengan menggunakan pendekatan kasus (case

approach), tujuannya untuk menggambarkan masalah-masalah yang

berkaitan dengan kasus yang diteliti, kemudian dianalisis

menggunakan analisis fikih, hukum positif dan analisis teori

keadilan.

.

14 Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya,

2005), h.6

Page 24: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

13

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengikuti buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017. Untuk memudahkan

penelitian dan pembahasan yang optimal maka pembahasannya harus di

lakukan secara terstruktur dan sistematis. Penyusun membagi pokok

pembahasan ini kedalam lima bab. Adapun sistematikan pembahasan ini

adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan, terdiri dari kerangka dasar yang

menjadi acuan dalam penelitian ini. Bab ini berisi, latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, studi pustaka terdahulu, kerangka teori, metode

penelitian dan sistematika penulisan. Dalam bab ini ditekankan pada latar

belakang masalah sebagai pengantar pada pokok persoalan.

Bab II berisi pemaparan umum terkait landasan teoritis mengenai

kewarisan, di antaranya yaitu: pengertian waris, syarat dan rukun

terjadinya kewarisan, hal-hal yang membatalkan / menjadi penghalang

kewarisan. Disamping itu penulis juga menjelaskan landasan teoritis

tentang wasiat wajibah, syarat dan ketentuan berlakunya wasiat wajibah

baik menurut hukum islam maupun peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia.

Bab III berisi gambaran tentang permasalahan kewarisan beda

agama baik menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jumhur Ulama, dan

kewarisan beda agama dalam perspektif KUHPerdata. Disamping itu

penulis juga membahas problematika kewenangan pengadilan agama

dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan Antar-Iman.

Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan Analisa yang merupakan

gabungan dari hasil pengumpulan data untuk dianalisis melalui memalui

berbagai pendekatan teori diantaranya: analisis yuridis kompetensi absolut

Page 25: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

14

Pengadilan Agama, analisis penegakan keadilan bagi Non-Muslim dalam

perkara kewarisan yang melibatkan muslim dan non-muslim, analisis

hukum Zumhur Ulama tentang kewarisan yang melibatkan muslim dan

non-muslim, serta analisis pemisahan harta (Khiazatul Mal).

Bab V adalah bab penutup yang memuat kesimpulan dari

penelitian serta analisis yang penulis lakukan. Bagian ini akan melengkapi

dan menjadi titik terang hasil penelitian serta analisis penulis. Kemudia

diakhiri dengan saran serta masukan dari penulis setelah melakukan

penelitian.

Page 26: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hukum Kewarisan

1. Pengertian Hukum Kewarisan

Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.

Sedangkan makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama

ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada

ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta

(uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syari’i.1

Jadi mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang

meninggal dalam hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-

hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum

keluarga. Menurut Wirdjono Prodjodikoro hukum waris adalah hukum-

hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan

bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan

seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain

yang masih hidup.2

Sementara itu A. Pitlo mengatakan, hukum waris adalam suatu

rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan

meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya didalam kebendaan, diatur

yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang

meninggal kepada ahli waris, baik didalam hubungannya antara mereka

sendiri, maupun dengan pihak ketiga.3

1 Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 36. 2 Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), h. 13. 3 A. Pitlo, Hukum Waris, Jilid 1 (Jakarta: Intermasa, 1986), h. 1.

Page 27: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

16

Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa Hukum kewarisan Islam

mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada

yang masih hidup. Dalam literatur Hukum Islam ditemukan beberapa

istilah untuk menamakan hukum kewarisan islam seperti: Faraid, Fikih

Mawaris dan Hukum al-Waris.4 Sedangkan Hukum kewarisan menurut

KHI sebagaimana disebutkan dalam pasal 171 (a) adalah hukum yang

mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan

berapa bagiannya masing-masing.5

Istilah hukum waris dalam perdata barat disebut dengan Erfrecht.

Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum

yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia

meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.6

2. Dasar Dan Sumber Hukum Kewarisan Islam

Waris merupakan berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang

sudah meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup yang telah

ditentukan dalam tuntunan al-Qur’an dan Al-Hadits, baik itu berupa harta

(uang), tanah atau apa saja yang menjadi hak milik pewaris yang sah

menurut syar’i. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam

diantaranya adalah, sebagai berikut:

a. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.

Beberapa ayat al-Qur’an yang menjadi dasar hukum waris

dalam Islam adalah sebagai berikut:

1) Surat an-Nisa’ ayat 9:

4 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2004), h. 5 5 Pasal 171 (a) Kompilasi Hukum Islam 6 Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,

2008), h. 247.

Page 28: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

17

علييهمي يذة ضعفا خافوا مني خليفهمي ذر ين لوي تركوا ش ٱلذ خي ولي

ل سديدا قولوا قوي ولي فلييتذقوا ٱللذDan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang

seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang

lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.

Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan

hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (Q.S.

An-Nisa: 9).

2) Surat an-Nisa’ ayat 11:

للذ لدكمي وي ف أ فإن كنذ نساء يوصيكم ٱللذ نثييي

ٱلي كر مثيل حظ

ف فلهنذ ثلثا ما ترك وإن كنتي وحدة فلها ٱل صي ق ٱثينتيي فوي

ذمي فإن ل ا ترك إن كن لۥ ولد دس ممذ نيهما ٱلس وحد م بوييه لك

ول

ه يكن م د فل وة ۥ إخي ه ٱلثلث فإن كن ل م

بواه فل

ۥ أ ۥ ولد وورثه لذ

ناؤكمي ل بي ءاباؤكمي وأ وي ديين

د وصيذة يوص بها أ دس من بعي ٱلس

ن فريضة م عا كمي نفيقيرب ل

همي أ ي

رون أ كن عليما تدي إنذ ٱللذ ٱللذ

حكيما Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian

pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak

lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan

jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi

mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.

Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya

seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal

itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka

Page 29: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

18

ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

(Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi

wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak

mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

(Q.S. An-Nisa: 11).

3) Surat an-Nisa’ ayat 12:

فإن كن ذهنذ ولد ذمي يكن ل وجكمي إن ل زيف ما ترك أ ۞ولكمي نصي

وي ديين د وصيذة يوصي بها أ ن من بعي ا تركي بع ممذ لهنذ ولد فلكم ٱلر

ذمي يكن لذكمي ولد تمي إن ل ا تركي بع ممذ فإن كن لكمي ولد ولهنذ ٱلر

وي ديين وإن كن د وصيذة توصون بها أ ن بعي تم م ا تركي فلهنذ ٱلثمن ممذ

نيهما وحد م تد فلك خي

وي أخ أ

ۥ أ د ول ة

رأ و ٱمي

رجلد يورث كللة أ

كي دس فإن كنوا أ د ٱلس كء ف ٱلثلث من بعي لك فهمي ش ث من ذ

عليم وٱللذ ن ٱللذ وصيذة م مضار وي ديين غيي أ وصيذة يوص بها

حليمد Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai

anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu

mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah

dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar

hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu

mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan

dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang

kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika

Page 30: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

19

seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi

mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing

dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika

saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka

bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat

yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan

tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-

benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Penyantun (Q.S. An-Nisa: 12).

4) Surat An-Nisa’ ayat 33:

ا ترك ولك ل ممذ ان ٱجعلينا مو ل قيربون ٱو ليو ين ٱو لي عقدتي لذ

ييمنكمي ف إنذ أ ٱاتوهمي نصيبهمي ء شهيدا للذ شي

ك ٣٣كن علBagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan

pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu

telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada

mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala

sesuatu (Q.S. AnNisa’: 33)

b. Dalil-dalil yang bersumber dari Sunnah

Hadits Nabi Muhammad SAW yang menjadi dasar hukum

kewarisan dalam Islam adalah sebagai berikut:

سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم

“Seorang muslim tidak mewariskan kepada non muslim

(kafir), dan non muslim (kafir) tidak mewariskan kepada seorang

muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).7

7 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab

wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2007), h. 33.

Page 31: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

20

“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”

(HR. At Tirmidzi).8

3. Faktor Penyebab Waris Mewaris.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya proses waris

mewaris adalah sebagai berikut:9

a. Hubungan Kekerabatan (Nasab)

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang

mewariskan dengan yang mewarisi dapat digolongkan menjadi tiga

sebagai berikut:

1. Furu’ (cabang), yaitu anak turun dari si mati, seperti anak, cucu.

2. Ushul (pokok/asal), yaitu leluhur yang menyebabkan adanya si

mati. Seperti orang tua, kakek nenek.

3. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mati melalui

garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak

keturunan mereka,

b. Hubungan Perkawinan

Hak waris juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan

(persemendaan) dengan artian suami menjadi ahli waris bagi istri

yang meninggal, dan istri juga menjadi ahli waris suami yang

meninggal.

c. Hubungan al-Wala’

Pengertian wala’ adalah hubungan waris mewarisi karena

kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan

budak sekalipun diantara mereka tidak ada hubungan darah. Jadi

hubungan orang yang memerdekakan budaknya memiliki hak wala’

sehingga berhak untuk turut mewarisi harta mantan budaknya jika

meninggal.

8 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab

wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 33. 9 Aunur Rahim Faqih, Mawaris (Hukum Waris Islam), (Yogyakarta: UII Press 2017), h.

41-44.

Page 32: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

21

d. Hubungan sesama Islam

Hubungan sesama Islam dalam hukum waris ini maksudnya

adalah apabila seorang muslim meninggal dunia tetapi ia tidak

memiliki ahli waris maka warisannya diserahkan ke perbendaharaan

umum (baitul maal) untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan

umat Islam.

4. Faktor Penyebab Hilangnya Hak Waris

Terdapat tiga faktor penyebab seseorang kehilangan hak untuk

mewarisi yaitu sebagai berikut:10

a. Perbudakan

Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena

dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan

kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang

budak itu statusnya sebagai harta milik tuanya. Dia tidak dapat

mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta

yang ada padanya adalah milik tuanya.11

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak

untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang

dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Semua jenis

budak, baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar

(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau

mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan

dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah

pihak) merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk

diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.12

b. Pembunuhan

10 Abdul Wahid Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.75. 11 Abdul Wahid Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,

h.75. 12 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab

wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 41.

Page 33: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

22

Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan

yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya pada prinsipnya

menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris

yang dibunuhnya. Berdasarkan hadist nabi: “Barang siapa membunuh

seorang korban maka ia tidak dapat mewarisnya, walaupun si korban

tidak mempunyai ahli waris selain dirinya dan jika si korban itu

bapaknya atau anaknya maka tidak ada hak mewarisi bagi

pembunuhnya”. (HR. Imam Ahmad).13

c. Berlainan Agama

Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang

menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang

mewariskan. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah Saw. dalam

sabdanya: "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir,

dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan

Muslim).14

Seseorang yang tergolong sebagai salah satu sebab dari tiga

hal yang dapat menggugurkan hak waris tersebut di kalangan fuqaha

dikenal dengan istilah mahrum. Terdapat perbedaan halus antara al-

mahrum dan al-mahjub. Al-mahjub adalah hilangnya hak waris

seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat

kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya, sebagai contoh

kakek bersamaan dengan ayah, kakek tidak mendapat bagian waris

disebabkan adanya ayah sebagai ahli waris yang lebih dekat dengan

anak.15

13 Abdul Wahid Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,

h.75. 14 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab

wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 42-43. 15 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab

wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 44.

Page 34: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

23

5. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari keseluruhan

ayat hukum dalam al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan

oleh Nabi Muhammad Saw., dalam hal ini akan dikemukakan lima asas-

asas hukum kewarisan Islam, diantaranya:

a. Asas Ijbari

Yaitu peralihan harta orang yang telah meninggal dunia

kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa

tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas ijbari

dalam hukum kewarisan islam tidak dalam arti yang memberatkan

ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar

dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk

membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar sebesar warisan yang

ditinggalkan oleh pewaris.

b. Asas Bilateral

Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah

pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dari

pihak kerabat garis keturunan perempuan.

c. Asas Individual

Bahwa harta dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara

perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang

didapatnya tanpa tergaantung dan terikat dengan ahli waris lainnya.

Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang

mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada

setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja

harta warisan tidak dibagibagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris

yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak

menghapus hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.

d. Asas Keadilan Berimbang

Page 35: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

24

Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan hak dan

kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

Secara dasar dapat dikatakan bahwa factor perbedaan jenis kelamin

tidak menentukan dalam hak kewarisan sebanding dengan yang di

dapat oleh laki-laki.

e. Asas Kewarisan Semata Kematian

Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku

setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan harta itu

tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang

mempunyai harta masih hidup.16

B. Wasiat Wajibah

Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi

hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat

merupakan tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan

setelah meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah perang

yang berwasiat meninggal dunia.17

Adapun wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh

penguasa atau hakim sebagai apparat negara yang mempunyai tugas untuk

memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah

meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.

Dikatakan wasiat wajibah, disebabkan karena dua hal, yaitu:

1. Hilangnya unsur ikhtiar pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban

melalui peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan, tanpa

tergantung kepada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan

penerima wasiat

16 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 16. 17 Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, Cet 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 237.

Page 36: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

25

2. Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal

penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.18

Adapun diantara pembagian wasiat wajibah meliputi:

1. Wasiat Wajibah dalam Perspektif KHI

Buku II KHI Bab I Pasal 171 huruf f disebutkan bahwa wasiat

adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau

Lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.19 Adapun

rukun dan syarat-syarat wasiat, yaitu diantaranya:

1) Orang yang berwasiat (mushi) dengan syarat:

a) Berakal sehat

b) Baligh

c) Atas kehendak sendiri

d) Harta yang sah/miliknya

2) Orang yang menerima wasiat (mushalahu) dengan syarat:

a) Jelas identitasnya

b) Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat

c) Cakap menjalankan tugas yang diberikan oleh pemberi wasiat.

3) Sesuatu yang diwasiatkan (mushabihi) dengan syarat:

a) Milik pemberi wasiat

b) Sudah berwujud

c) Dapat dimiliki

d) Tidak melebihi 1/3

4) Sighat wasiat dengan syarat:

Kalimat yang dapat memberi pengertian wasiat, dan

disaksikan oleh saksi yang adil atau pejabat (notaris).

18 Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Hukum Islam di Indonesia, Cet 2, (Yogyakarta:

Elhamra Press, 2003), h. 207. 19 Pasal 171 (f) Kompilasi Hukum Islam

Page 37: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

26

Lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf f

disebutkan bahwa anak angkat dengan orang tua angkat terbina

hubungan saling berwasiat yang tertuang dalam pasal 209, yaitu:20

1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176

sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap

orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat

wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak

angkatnya.

2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat

wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

2. Wasiat Wajibah Pasca Putusan MA Tahun 1995

Sebenarnya ketentuan wasiat wajibah juga telah diatur di

dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, Namun

pengaturan mengenai wasiat wajibah yang diberlakukan kepada

seseorang ahli waris berbeda agama atau non muslim belum mendapat

pengakuan serta tempat tersendiri dalam sumber- sumber hukum

islam serta kompilasi hukum islam.

KHI hanya mengakomodir wasiat wajibah hanya teruntuk

orang tua angkat ialah 1/3 dari harta warisan anak angkat dan anak

angkat iaah 1/3 dari harta warisan orang tua angkat. Tidak adanya

satupun sumber yang bermuara untuk memberikan wasiat wajibah

bagi seseorang ahli waris yang berbeda agama atau non muslim

sampai pada tahun 1994.

Semua hal tersebut dikarenakan pemberian wasiat wajibah

bagi seseorang ahli waris yang berbeda agama atau non muslim dinilai

bertentangan atau tidak sesuai dengan sumber hukum islam yang ada

20 Pasal 209 Ayat 1-2, Kompilasi Hukum Islam

Page 38: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

27

dengan dasar ahli waris yang beragama di luar islam tidak masuk

dalam klasifikasi yang dianggap sebagai ahli waris.

Maka dengan hal tersebutlah untuk mengikuti perkembangan

zaman yang terus berkembang secara simultan dan terus menurus,

langkah untuk menciptakan suatu keadilan yang berlandaskan moral

dan kemaslahatan masyarakat yang ada, Hakim selaku pelaku

kekuasaan kehakiman telah menjalankan tugasnya dengan penuh

amanah dan tanggung jawab dengan mengeluarkan putusan yang telah

di tetapkan sebagai yurisprudensi yaitu putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 368/K/Ag/1995 sebagai pintu awal

perkembangan pengakuan terhadap ahli waris non muslim dalam

sistem kewarisan islam untuk mendapatkan pembagian harta waris

melalui wasiat wajibah.

Yurisprudensi itupun diikuti oleh yurisprudensi lainnya yaitu

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51 K/Ag/1999 yang

juga terkait pemberlakuan wasiat wajibah terhadap ahli waris non

muslim. Hal inipun secara konsisten dipertahankan oleh lembaga

peradilan dan juga hakim-hakim di Indonesia dalam menggali nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penegasan terhadap ahli waris berbeda agama atau non muslim dalam

sistem kewarisan islam ini tertuang dalam putusan Mahkamah Agung

Nomor 331 K/Ag/2018 yang dijadikan lendmark decisions

Mahkamah Agung di tahun 2018.

Walaupun, titik tolok yang seharusnya menjadi perhatian

adalah perlunya penegasan kembali dan putusan yang konsistan

terhadap dari manakah sumber yang diambil untuk wasiat wajibah

bagi ahli waris non muslim, mengambil dari harta warisan atau harta

peninggalan pewaris agar tidak terjadi kebingungan dan kejelasan

dalam penerapannya serta menjadikan kesinambungan antaran

yurisprudensi yang ada sebelumnya dengan putusan mahkamah agung

Page 39: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

28

yang terbaru yang telah di jadikan lendmark decisions Mahkamah

Agung sebagai sumber-sumber utama bagi ahli waris berbeda agama

atau non muslim untuk menuntut keadlian dalam suatu sistem

kewarisan islam. Dengan adanya pengaturan inilah diharapkan akan

dijadikan salah satu pertimbangan oleh hakim untuk memutus

perkaranya.21

21 Jurnal Suara Hukum, Analisis Pemberian Wasiat Wajibah terhadap Ahli Waris Beda

Agama Pasca Putusan Mahkamah Agung, (file:///C:/Users/Lenovo/Downloads/4865-17021-1-

PB.pdf), diakses pada tanggal 5 Desember 2019.

Page 40: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

29

BAB III

PROBLEMATIKA KEWARISAN BEDA AGAMA

DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Problematika Kewarisan Beda Agama

1. Hak Waris Non-Muslim atas Harta Waris dari Pewaris Muslim

Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak

berhak mendapatkan waris (diwarisi) begitu pula orang murtad.

Kesepakatan ulama tersebut sebagaimana pernyataan Imam Ahmad ibnu

Hambal Rahimahullah: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara

manusia (umat Islam) bahwa seorang muslim tidak mewariskan

hartanya kepada orang kafir.”1

Ijma’ ulama’ tersebut bersumber pada hadits Nabi Muhammad

SAW: سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم “Seorang muslim tidak

mewariskan kepada non-muslim (kafir), dan non-muslim (kafir) tidak

mewariskan kepada seorang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits tersebut para ulama bersepakat tentang tidak

adanya hak waris bagi kerabat non-muslim atas harta waris dari pewaris

muslim. Meskipun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang hak

waris muslim atas harta waris dari pewaris non-muslim

2. Hak Waris Muslim Atas Harta Waris dari Pewaris Non-Muslim

Berkaitan dengan hak waris muslim atas harta waris dari pewaris

non muslim terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama ahli hukum

Islam. Mayoritas ulama (jumhur ulama’) berpendapat bahwa seorang

muslim tidak boleh mewarisi harta waris dari pewaris non muslim, tetapi

1 Ibnu Qudamah, Al Mughni, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih Seputar

Ahli Kitab,” terdapat dalam http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-

ahlikitab.html, diakses tanggal 10 Desember 2019.

Page 41: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

30

ada pendapat dari sebagian ulama yang membolehkan seorang muslim

mewarisi harta waris dari pewaris non muslim.

Pendapat yang melarang muslim mewarisi dari pewaris non

muslim merupakan pandangan empat Khulafa’ ar-Rasyidin, imam dari

empat madzhab, dan mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam

secara umum. Adapun dasar hukum dari pendapat tersebut bersumber

dari hadits-hadits berikut:

سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم (HR. Bukhari dan

Muslim).

“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”

(HR. At Tirmidzi).

Syekh Muhyidin Syaraf An-Nawawi atau lebih dikenal dengan

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa para ulama telah sepakat (ijma’)

bahwa orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim. Begitu juga

menurut mayoritas ulama (jumhur ulama’) dari kalangan sahabat, tabi’in,

dan generasi setelahnya berpendapat bahwa orang muslim tidak bisa

mewarisi harta orang kafir. Sebagai pengecualian ada minoritas ulama

yang memperbolehkan muslim mewarisi dari non-muslim, tetapi

pandangan kelompok ini menurut Imam An-Nawawi bukanlah

pandangan yang benar (shahih).2

Adapun pendapat yang membolehkan seorang muslim

memperoleh harta waris dari orang kafir yaitu pendapat Muadz bin Jabal,

Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq dan lainya,3 seperti juga

Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah bin Ma’qil,

2 Mahbub Ma’afi Ramdlan, Hukum Waris Beda Agama,

http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-, diakses tanggal 11 Desember

2019. 3 Imam An-Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim dikutip dari Farid Nu’man Hasan,

“Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputarahli-

kitab.html, diakses tanggal 11 Desember 2019.

Page 42: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

31

Asy Sya’bi, An-Nakha’i, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq.4 Pendapat Imam

Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim juga membolehkan muslim

mewarisi dari non muslim.5 Demikian juga juga pendapat Yusuf Al

Qaradhawi.6

Para ulama yang membolehkan muslim mewarisi dari non

muslim beralasan bahwa makna kafir dalam hadits

سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم adalah kafir harbi. Alasan

lainnya adalah hadits dari Muadz bin Jabal r.a, bahwa Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Islam itu bertambah, dan tidak

berkurang” (HR. Abu Daud).

Namun hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kelemahannya,

Imam Al Munawi mengatakan dalam sanad hadits ini terdapat rawi

(periwayat hadits) yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif (lemah).7

Syaikh al Albani juga men-dhaif-kan hadits ini.8 Andaikan hadits tersebut

shahih juga tidak bisa dijadikan dalil mewarisi dari non muslim. Imam

Al Qurthubi mengatakan: “Hadits ini bukanlah nash yang bermaksud

seperti itu, tetapi maksudnya adalah tentang keutamaan Islam dibanding

agama lainnya, dan tidak ada kaitan dengan warisan.”9

4 Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih

Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html,

diakses tanggal 11 Desember 2019. 5 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahludz Dzimmah, dikutip dari Farid Nu’man Hasan,

“Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqihseputar-ahli-

kitab.html, diakses tanggal 11 Desember 2019. 6 Yusuf Al Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum

Fiqih Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahlikitab.html,

diakses tanggal 11 Desember 2019. 7 Al-Munawi, Faidhul Qadir, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih Seputar Ahli

Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html, diakses tanggal

11 Desember 2019. 8 Al-Albani, Dha’if Jami’us Shaghir, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih

Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html,

diakses tanggal 11 Desember 2019. 9 Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab,”

http://www.portalislam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html, diakses tanggal 11

Desember 2019.

Page 43: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

32

Adapun dalil lain yang digunakan kelompok yang membolehkan

mewarisi dari non muslim yaitu:

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” (H.R.

Ad Daruquthni dan al-Baihaqi).

Menurut Imam Nawawi, hadits tersebut tidak bisa dijadikan

sebagai hujjah (tentang kebolehan muslim mewarisi harta nonmuslim),

sebab yang dimaksudkan hadits tersebut adalah membincang keutamaan

Islam dibanding yang lain dan tidak menyinggung soal kewarisan. Lantas

bagaimana bisa hadits سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم diabaikan

dalam masalah ini? Bisa jadi hadits ini tidak sampai kepada mereka yang

membolehkan.10

Dalam masalah seorang pewaris yang telah keluar dari Islam atau

murtad terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang boleh

tidaknya seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad.

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa

seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah

murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar

dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi

kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya,

bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi

harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi

sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad

diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan

10 Mahbub Ma’afi Ramdlan, Hukum Waris Beda Agama,

http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-, diakses tanggal 11 Desember

2019.

Page 44: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

33

dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan

lainnya.11

Secara lebih lanjut pendapat ulama fiqh tentang warisan orang

murtad antara lain sebagai berikut:

1. Menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, riwayat

Ibnu Abbas RA, Rabiah, Abu Tsaur, dan Ibnu Mundzir, harta orang

yang murtad otomatis menjadi fa’i bagi baitul mal dan menjadi milik

kaum muslimin.

2. Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang murid Abu

Hanifah), riwayat kedua Ahmad, riwayat dari Abu Bakar, Ali, Ibnu

Mas’ud RA, dan pendapat sekelompok orang salaf antara lain Al-

Hasan, Umar Bin Abdul Aziz, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri semua harta

orang yang murtad diberikan kepada para ahli warisnya yang muslim,

baik harta yang dihasilkan sebelum murtad (semasa masih muslim)

atau setelah murtad.

3. Harta orang murtad yang diperoleh sebelum kemurtadannya diberikan

kepada ahli warisnya yang masih muslim. Ini adalah pendapat Imam

Abu Hanifah dan Ishaq. Mereka melanjutkan: Sedangkan harta yang

diperolehnya selama kemurtadannya menjadi harta fai’ untuk Baitul

Mal.

4. Hartanya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang mengikuti agama

baru yang dianut orang yang murtad tersebut. Jika tidak ada, maka

harta tersebut menjadi fai’. Ini adalah riwayat ketiga dari pendapat

Ahmad, Daud Azh-Zhahiri, riwayat dari Alqamah dan Sa’id bin Abi

Arubah. Mereka berpegang teguh pada alasan sebagai berikut. “Orang

yang murtad berstatus sama seperti kafir, sehingga pemeluk

11 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab

wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 43.

Page 45: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

34

agamanyalah yang berhak menerima warisan, sebagaimana halnya

kasus orang kafir harbi dan seluruh orang kafir”.12

B. Peradilan Agama Di Indonesia

1. Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia

Menurut Wahyudi, peradilan agama di Indonesia itu sudah ada

sejak masa Kolonial Belanda dan sampai sekarang masih menjadi salah

satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.13 Tetapi bila dilacak

lebih jauh lagi, peradilan agama telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan

Islam sebelum era penjajahan. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai

wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam

menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.

Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama

mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga

peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan

pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus

keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Peradilan agama di

masa itu diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi

kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama berlangsung di

serambi masjid, sehingga sering disebut dengan istilah "Pengadilan

Serambi".

Pada masa penjajahan Belanda, kewenangan peradilan agama

dikurangi sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Kolonial

Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan

"landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa

untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam

12 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap, Jilid 4,

terjemahan oleh Khairul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 288-290. 13 Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada

Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, (Desember 2016),

h. 287.

Page 46: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

35

bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Kemudian

Koninklijk Besluit (Sabda Raja Belanda) tanggal 19 Januari 1882 Nomor

24, Staatsblad 1882 - 152 mengubah susunan dan status peradilan agama.

Keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya dan hukum

Islam sebagai pegangannya mendapat pengakuan dan pengukuhan, tetapi

wewenang pengadilan agama yang disebut dengan “preisterraacf”

dibatasi dalam bidang perkawinan dan kewarisan.

Kemudian ketika Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan

Staatsblad 1937 Nomor 116 juga semakin mengurangi kewenangan

pengadilan agama di Jawa dan Madura dalam perkara perselisihan harta

benda. Masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan

negeri. Pemerintah Kolonial Belanda berdalih bahwa dalam kenyataan

kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya

pada aturanaturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di

tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 3 Januari 1946 dengan

Keputusan Pemerintah Nomor l JSD dibentuk Kementrian Agama,

kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor

5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari

Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini

memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga

Islam dalam sebuah wadah badan yang bersifat nasional.14

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman mempertegas eksistensi peradilan agama. Pasal

10 undang-undang tersebut menyatakan ada empat lingkungan peradilan

di Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,

dan peradilan tata usaha negara. Klausula pada undang-undang tesebut

14Endah P., “Sejarah Peradilan Agama”, lihat

https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-badilag.

Diakses tanggal 15 Desember 2019.

Page 47: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

36

secara tegas memposisikan peradilan agama yang sebelumnya hanya

dibawah Kementrian Agama sejajar dengan peradilan lain di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan

yang memberi hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung. Hal ini semakin memperkuat kedudukan Pengadilan

Agama dalam sistem peradilan di wilayah yurisdiksi Indonesia.15

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama definisi Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-

orang yang beragama Islam. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) menegaskan bahwa

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.16

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 tersebut maka Peradilan Agama merupakan salah satu

lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama

badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata

Usaha Negara, dan Peradilan Militer.17 Kemudian dalam Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18

menyatakan:

15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo,

1992), h. 11-12.

16UUD 1945 Pasal 24 ayat 1 dan 24 ayat 2 17 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Page 48: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

37

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.

Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung ini merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang

yudikatif. Oleh karena itu, secara konstitusional bertindak

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to

enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan

negara (state court system).18 Berkaitan dengan kewenangan peradilan

agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 25 Ayat (3) menentukan bahwa peradilan agama

berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara

antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Kekuasaan kehakiman di lingkungan

Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

2. Sumber Hukum Acara Yang Berlaku di Lingkungan Peradilan

Agama

a. Hukum Formil Peradilan Agama

1. HIR (Herziene Indlandsch Reglement) untuk Jawa dan Madura.

2. RBg. (Rechtsreglement Voor De Suitengewesten) untuk luar Jawa

dan Madura.

3. B.Rv. (Reglement Op De Bugerlijke Rechtsvorderiing)

diperuntukan unutk golongan Eropa yang berperkara di muka

Raad van Justicedan Residentie Gerecht. Dengan dihapuskannya

Raad van Justice dan Hoogerechtshof, B.Rv. banyak yang masih

relevan dengan perkembangan hukum acara dewasa ini,

18 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) h. 180-181.

Page 49: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

38

misalnya, tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat,

intervensi dan beberapa ketentuan hukum acara perdata lainnya.

4. BW (BurgerlijkeWetbook voor Indonesia), yang dalam bahasa

Indonesia disebut dengan KUHPerdata, terapat juga sumber

hukum acara perdata, khususnya buku IV tentag pembuktian,

yang termuat dalam Pasal 1865 s.d. 1993.

5. WvK (Wetboek van Koophandel), yang dalam bahasa Indonesia

dikenal dengan KUH Dagang. Dalam kaitan dengan hukum

dagang ini, terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam

failissements verordering (aturan keapailitan) yang diatur dalam

Stb. 1906 Nomor 348.

6. UU No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding

bagi pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura, sedangkan untuk

daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.

7. UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 35

Tahun 1999, dan dinyatakan tidak berlaku dengan

dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti,

kemudian UU ini dinyatakan dicabut dan diganti dengan UU No.

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

8. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana

Undang-undang Perkawinan tersebut.

9. UU Nomor 14 Tahun 1985 telah diubah dan disempurnakan

dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, kemudian UU ini diubah

dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang

memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan

dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.

10. UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam undang-undang

ini, khususnya Pasal 54 menyebutkan bahwa hukum acara yang

Page 50: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

39

berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan

hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum,

kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-

undang tersebut.

11. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Intruksi Permasyarakatan

Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri tiga buku, yaitu Hukum

Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan.

12. Surat Edaran Mahkamah Agung RI dan Peraturan Mahkamah

Agung RI. Sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan

hukum perdata materiil, dapat dijadikan hukum acara dalam

praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi

oleh hakim. Surat Edaran dan Intruksi Mahkamah Agung tidak

mengikat hakim sebagaimana undang-undang. Untuk itu, para

pakar hukum berpendapat bahwa perma dan sema adalah bentuk

campur tangan Mahkamah Agung terhadap hakim dalam

menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 195 HIR. Tampaknya, pendapat tersebut

ada benarnya, akan tetapi, bila dilihat Pasal 11 (4) UU Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Mahkamah

Agung berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan

pengadilan lain menurut ketentuanyang ditentukan oleh undang-

undang.

13. Yurisprudensi Mahkamah Agung. Yurisprudensi yang dimaksud

alah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah

Agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim

lain dalam memberikan keputusan terhadap masalah yang sama.

Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut,

sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the blinding force

of precedent.” Jadi bebas memilih antara meninggalkan

yurisprudensi dan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan

telah mendapat putusan sebelumnya. Menurut Yahya Harahap di

Page 51: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

40

dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata mengatakan

bahwa Yurisprudensi merupakan putusan hakim mengenai kasus

tertetu (judge decision in a particular case) dan putusan yang

diambil mengandung pertimbangan yang yang mendasar yang

disebut ratio decidendi atau basic reason, berupa prinsip hukum

yang dijadikan dasar putusan yang diambil (the principle of law

which decision is based).19 Sedangkan menurut Sudikno

Yurisprudensi merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah

atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang

berkesangkutan atau terhukum.20 Setelah kita cermati dari

beberapa pengertian diatas bahwasanya Hakim harus berani

meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya Yurisprudensi itu

sudah using dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman

dan keadaan masyarakat. Tetapi tidak ada salahnya untuk tetap

dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan

zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat.

14. Kitab fikih Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya.

Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara

juga, hakim dapat menggali hukum acara perdata. Doktrin itu

bukan umum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlaku UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu

pengetahuan hukum banyak dipergunakan oleh Hakim Peradilan

Agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama

ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fikih.

Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen

Agama Nomor B/1/1735, tanggal 18 Februari 1985 sebagai

pelaksana peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang

Pembentukan Pengadilan Luar Jawa dan Madura dikemukakan

19 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 830. 20 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2003), h. 112.

Page 52: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

41

bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa

dan memutus perkara maka para hakim Pengadilan Agama

dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman hukum acara

yang bersumber dalam fikih sebagai berikut: Al-Bajuri, Fathul

Mu’in, Syarqawi atTahrir, Qalyubi/Mahalli, Fathul Wahab dan

Syarhnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninusy Syar’iyah lis

Sayyid bin Yahya, Qawaninusy Syar’iyah lis Sayyid Sadaqah

Dahlan, Syamsyuri fil Faraidh, Bugyatul Mustarsyidin, Al-fiqh

ala Madzahibil Arba’ah, Mugnif Muntaj. Dengan menunjuk ke-

13 kitab fikih diatas, hakim peradilan agama diharapkan dapat

mengambil mekanisme beracara dalam peradilan Islam untuk

dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara

yang diajukan kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.21

b. Hukum Materiil Peradilan Agama

1. Al-Qur’an dan Hadis.

2. UU Nomor 22 Tahun 1946 jo. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang

NTCR.

3. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974.

4. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbanakan sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.

5. UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

6. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

7. UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

8. UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang surat Berharga Syariah

Nasional.

9. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak.

21 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2012), h. 49.

Page 53: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

42

11. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

12. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

13. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2008

Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

14. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Ekonomi

Syariah.

15. Yurisprudensi Mahkamah Agung.

16. Qanun Aceh.

17. Fatwa Dewan Syariah Nasional.

18. Akad-akad Ekonomi Syariah.

19. PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.22

C. Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama

Penetapan Ahli Waris di pengadilan agama dapat diperiksa secara

volunteer dalam hal tidak terdapat sengketa tentang keahli warisannya dan

sengketa harta warisannya, dan hanya dalam hal kepentingan tertentu

seperti untuk mengajukan klaim asuransi, taspen atau lainnya yang harus

secara tegas dicantumkan dalam amar penetapan.

Menurut Sarwohadi, cara penyelesaian perkara permohonan

Penetapan Ahli Waris yang bersifat volunteer haruslah berhati- hati, karena

perkara berbentuk permohonan sepihak tanpa ada lawannya, dan jangan

sampai meluas atau merugikan pihak lain yang semestinya juga sebagai ahli

waris tetapi oleh Pemohon sengaja tidak diikut sertakan sebagai Pemohon.

Untuk mengantisipasi hal ini, maka Hakim harus cermat dan teliti.

Adapun yang harus dibuktikan oleh Pemohon Penetapan Ahli Waris

adalah sebagai berikut:

22 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h. 51. Baca juga

Buku II Pelaksanaan Tugas dan Adminisrasi Peradilan Agama.

Page 54: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

43

1. Pewaris benar- benar telah meninggal dunia;

2. Ada kesepakatan seluruh ahli waris (tidak ada sengketa);

3. Ahli Waris tidak terhalang secara syar’i untuk ditetapkan sebagai

ahli waris;

4. Ada kepentingan hukum yang memerlukan segera;

5. Surat keterangan kematian Pewaris;

6. Buku Nikah/ Surat keterangan Nikah Pewaris;

7. Kartu Keluarga Pewaris;

8. Surat Keterangan Silsilah waris;

9. Keterangan saksi- saksi;

Majelis Hakim dalam membuat Penetapan Ahli Waris amarnya

harus bersifat deklaratoir contohnya: Menyatakan Pemohon adalah sebagai

ahli waris dari Pewaris, tidak boleh bersifat condemnatoir (menghukum),

dan tidak boleh konstitutif (menyatakan hukum baru) contoh: Menyatakan

Pemohon sebagai pemilik yang sah.23

23 H. Sarwohadi, “Kilas Balik Kompetensi Absolut Perkara Waris Melalui Perjuangan

Panjang”, terdapat dalam http://arsip.pta-mataram.go.id/2015/07/29/kilas-balik-

kompetensiabsolut-perkara-waris-melalui-perjuangan-panjang/. Diakses tanggal 20 Desember

2019.

Page 55: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

44

BAB IV

PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM DARI PEWARIS NON-MUSLIM

A. Deskripsi Perkara Waris Beda Agama dalam Penetapan Nomor:

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.

1. Duduk Perkara

Permohonan penetapan ahli waris diajukan oleh Pemohon I dan

Pemohon II melalui kuasa hukumnya kepada Pengadilan Agama

Badung. Bapak para Pemohon lahir di Cilacap tanggal X April 1937

telah menikah dengan ibu para Pemohon, lahir di Singaraja tanggal X

Februari 1947. Keduanya menikah secara Islam di KUA Denpasar. Dari

perkawinan tersebut lahir empat orang anak secara berurutan sebagai

berikut:

a. Anak pertama seorang perempuan, lahir tanggal XX Maret 1963,

agama Hindu, beralamat di Banyuning, Singaraja. Ketika masih

hidup telah menikah dengan suaminya serta memiliki tiga orang

anak yang semuanya juga beragama Hindu.

b. Anak kedua (Pemohon I) laki-laki, lahir XX Agustus 1968, agama

Islam, bertempat tinggal di Kuta, Badung;

c. Anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal XX April 1970, agama Hindu,

tempat tinggal di Kuta, Badung;

d. Anak keempat (Pemohon II) laki-laki, lahir tanggal XX Juni 1972,

agama Islam, alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah,

ketika permohonan ini diajukan bertempat tinggal di Kalimantan;

Kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia. Ibu

kandung para Pemohon meninggal lebih dahulu pada tanggal XX Mei

2004 karena sakit, Surat Keterangan Kematian Nomor:

221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012, sedangkan bapak

kandung para Pemohon meninggal dunia pada tanggal XX Februari

2010, Surat Keterangan Kematian Nomor: 221/LT/SKK/IX/12 tanggal

Page 56: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

45

17 September 2012 dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara. Ibu para Pemohon

sebelumnya beragama Islam tetapi kemudian berpidah ke agama Hindu

dan meninggal dunia dalam keadaan Hindu, sedangkan Bapak Para

Pemohon meninggal dalam keadaan Islam. Hingga Ibu para Pemohon

meninggal dunia, Bapak dan Ibu para Pemohon tetap dalam ikatan

pernikahan.

Bapak dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah

membuat surat wasiat. Orang tua para Pemohon I dan II meninggalkan

harta warisan berupa 2 bidang tanah sebagai berikut:

1. Ibu Pemohon I dan II meninggalkan warisan berupa tanah seluas 250

m² (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung,

Sertifikat Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX

tanggal XX September 1978, atas nama Ibu Pemohon I dan II.

2. Bapak Pemohon I dan II meninggalkan warisan berupa tanah seluas

350 m² (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,

Badung, Sertifikat Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi

XXXX/XXXX tanggal XX Februari 1979, atas nama Bapak

Pemohon I dan II.

Para Pemohon ingin membagi kedua bidang tanah warisan

tersebut, sehingga untuk proses dan pengurusan atas pembagian kedua

bidang tanah tersebut harus dipenuhi syarat-syaratnya yang salah

satunya adalah ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama.

Dalam pertimbangan alasan permohonan penetapan waris

tersebut juga ditegaskan bahwa Saudara Pertama Pemohon I dan II telah

berpindah agama ke agama Hindu karena mengikuti agama suaminya.

sehingga sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Demikian juga dengan

Saudara Ketiga Pemohon I dan II, di depan persidangan perkara Nomor

XX/Pdt.P/2012/PA.Bdg., menyatakan dengan tegas telah pindah agama

dan kini beragama Hindu. Dengan demikian menurut para Pemohon,

Page 57: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

46

secara hukum Islam Saudara Pertama dan Ketiga Pemohon I dan II

sudah tidak berhak lagi atas harta warisan dari kedua orang tuanya yaitu

Bapak Pemohon I dan II dan Ibu Pemohon I dan II.

Permohonan penetapan waris tersebut bertujuan agar Majelis

Hakim Pengadilan Agama Badung memberi penetapan kepada

Pemohon I dan Pemohon II sebagai ahli waris yang sah dari almarhum

Bapak Pemohon I dan II dan Ibu Pemohon I dan II.

2. Pertimbangan Majelis Hakim

Adapun yang menjadi pertimbangan majelis Hakim dalam

perkara penetapan ahli waris tersebut adalah sebagai berikut:

Menimbang bahwa para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya

mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari Ibu Pemohon I dan

II dalam halmana di saat meninggal dunia beragama Hindu. Adapun

harta peninggalannya adalah tanah dengan Sertipikat Hak Milik Nomor

XXX tanggal XX September 1979 atas nama Ibu Pemohon I dan II dan

Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX Februari 1979 atas nama

Bapak Pemohon I dan II;

Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam, meskipun

pewaris beragama Hindu, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini

merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama sebagaimana

diatur dalam Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat

dengan keterangan 2 orang saksi serta bukti P1, P2, P3, P4 dan P5,

diperoleh fakta hukum bahwa 2 Saudara Pemohon I dan II beragama

Hindu, Pemohon I dan II beragama Islam.

Menimbang, bahwa Ibu Pemohon meninggal dunia dalam keadaan

beragama Hindu. Menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam

di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia

harus beragama Islam. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim

memberikan pendapat hukum sebagai berikut:

Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem

kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah

maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila

dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi,

karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih

banyak juga mengandung unsur muamalah.

Page 58: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

47

Menimbang, dalam hal ini Majelis Hakim menganggap perkara

tersebut bersifat insidental. Majelis Hakim mengambil alih pendapat

Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,

Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi

Muhammad Saw: “Islam itu Tinggi, dan tidak ada yang Lebih Tinggi

darinya”. (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8

hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat

Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang

keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam

(Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265);

Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan

Islam Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang

beragama selain Islam yang mempunyai hubungan darah dengan

pewaris, dalam perkara a quo adalah Saudara Pertama Pemohon I dan

II dan Saudara Ketiga Pemohon I dan II, tetap berhak mendapat bagian

waris dengan jalan WASIAT WAJIBAH dengan tidak melebihi

bagian ahli waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan

Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan

Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);

Dari petimbangan majelis hakim diatas dapat diketahui bahwa

meskipun pewaris yang bernama Ibu Pemohon I dan II beragama

Hindu, menurut majelis hakim perkara waris tersebut merupakan

kewenangan absolute Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam

Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama karena para Pemohon

beragama Islam demikian juga dengan pewaris yang bernama Bapak

Pemohon I dan II beragama Islam.

Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara waris dimana

Bapak Pemohon I dan II sebagai Pewaris beragama Islam dan Pemohon

I dan II sebagai anaknya juga beragama Islam Majelis Hakim

memandang sebagai perkara waris ideal sehingga Majelis Hakim

berpedoman pada aturan tersebut diatas tentang kewenangan absolut

pengadilan agama.

Page 59: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

48

Adapun untuk perkara waris dengan Pewaris non muslim yaitu

Ibu Pemohon I dan II yang telah murtad (keluar dari Islam) sedangkan

dua anaknya yaitu Pemohon I dan II beragama Islam menurut Majelis

Hakim adalah perkara yang bersifat insidental, sehingga Majelis Hakim

tidak berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b dan

c.

Dalam hal Pewaris Ibu Pemohon I dan II yang telah murtad

(keluar dari Islam) Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih pendapat

Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad

bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad

Saw, yang artinya: “Islam itu Tinggi, dan tidak ada yang Lebih Tinggi

darinya”.

Secara lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat

Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang

keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam.

Dengan demikian yang berhak mewarisi harta waris dari Ibu Pemohon

I dan II adalah Pemohon I dan II karena Saudara Pertama dan Ketiga

para Pemohon beragama selain Islam (Hindu).

Adapun untuk Saudara Pertama dan Saudara Ketiga para

Pemohon menurut pertimbangan Majelis Hakim tetap berhak mendapat

bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian

ahli waris yang sederajat dengannya, sesuai dengan Yurisprudensi

MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi

Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011.

3. Penetapan Majelis Hakim Terhadap Permohonan Penetapan Ahli

Waris Pemohon I dan Pemohon II

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Majelis Hakim

Pengadilan Agama Badung mengeluarkan penetapan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Page 60: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

49

2. Menetapkan ahli waris dari Ibu Pemohon I dan II dan Bapak

Pemohon I dan II adalah Pemohon I dan Pemohon II.

3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp

186.000,00 (seratus delapan puluh enam ribu rupiah).

Berdasarkan Penetapan tersebut maka Pemohon I dan Pemohon

II memperoleh legalitas status sebagai ahli waris atas harta peninggalan

Ibu Pemohon I dan II yang beragama Hindu berupa tanah seluas 250 m²

(dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung, Sertifikat

Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX tanggal XX

September 1978, atas Ibu Pemohon I dan II. , dan ahli waris atas harta

peninggalan Bapak Pemohon I dan II yang beragama Islam berupa

Tanah seluas 350 m² (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di

Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi

XXXX/XXXX tanggal XX Februari 1979, atas nama Bapak Pemohon

I dan II.

B. Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Pengadilan Agama Badung

dalam Penetapan Ahli Waris Muslim dari Pewaris Non-Muslim

Perkara permohonan penetapan ahli waris dalam dalam Penetapan

Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang ditetapkan oleh PA Badung bukan

hanya melibatkan pewaris muslim (Bapak Pemohon I dan II) dengan ahli

waris muslim (Pemohon I dan II), tetapi juga melibatkan pewaris non-

muslim (Ibu Pemohon I dan II) dengan ahli waris muslim (Pemohon I dan

II).

Meskipun demikian PA Badung tetap mengabulkan permohonan

tersebut. Majelis hakim berpendapat bahwa perkara tersebut merupakan

kewenangan absolut pengadilan agama. Kewenangan absolut atau

kewenangan mutlak adalah kewenangan suatu badan pengadilan dalam

Page 61: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

50

memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa

oleh badan Pengadilan lain.1

Kewenangan Pengadilan Agama Badung dalam perkara

permohonan Pemohon I dan II untuk penetapan ahli waris dari Bapak

Pemohon I dan II sebagai pihak pewaris telah sesuai dengan kewenangan

pengadilan agama, karena agama Para Pemohon dan Pewaris sama-sama

Islam. Adapun tentang kewenangan Pengadilan Agama Badung dalam

perkara permohonan penetapan ahli waris beda agama antara Pemohon I

dan II yang beragama Islam dari Ibu Pemohon I dan II sebagai pihak pewaris

yang beragama Hindu perlu untuk dianalisis sesuai dengan peraturan

perundangan yang mengatur tentang kewenangan pengadilan agama.

Pertimbangan yang menjadi landasan kewenangan dalam perkara

penetapan ahli waris beda agama antara ahli waris muslim dan pewaris non-

muslim tersebut menurut Majelis Hakim PA Badung merupakan

kewenangan absolute Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal

49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang

telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

tentang Peradilan Agama.

Majelis Hakim PA Badung menggunakan Pasal 49 ayat 1 huruf (b)

dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah

dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai

dasar kewenagannya. Adapun secara lengkap bunyi Pasal 49 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 adalah sebagai berikut:

1Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan

Adminisrasi Peradilan Agama 2010, Edisi Revisi 2013, Jakarta, 2013, h. 58.

Page 62: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

51

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf,

Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah”.

Lebih lanjut ketentuan dalam pasal tersebut juga diadopsi dalam

Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang

menyatakan: “Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,

kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi

syariah.”2

Penetapan ahli waris untuk yang beragama Islam dibuat oleh

Pengadilan Agama. Dasar hukum penetapan ahli waris yang beragama

Islam adalah Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, “Pengadilan agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara

di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: …

b. waris.” Berkaitan dengan penetapan waris, dalam Penjelasan Pasal 49

huruf b dituliskan: “Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan

siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,

penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian

harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan

seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan

bagian masing-masing ahli waris”.

Berdasarkan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta

penjelasannya diatas maka menunjukkan bahwa penetapan ahli waris yang

2 Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan

Adminisrasi Peradilan Agama 2010, h. 46

Page 63: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

52

menjadi kewenangan pengadilan agama adalah penetapan ahli waris bagi

orang-orang yang beragama Islam.

Frasa “orang-orang yang beragama Islam” dalam Pasal 49 UU No.

3 Tahun 2006 tersebut apabila dihubungkan dengan perkara penetapan ahli

waris maka menimbulkan penafsiran bahwa penetapan ahli waris tersebut

bagi orang-orang yang beragama Islam baik dari pihak pewaris maupun ahli

waris. Dengan kata lain, asas personalitas ke-Islam-an melekat pada pribadi

pewaris maupun ahli waris.

Permohonan penetapan ahli waris seperti pada Penetapan Nomor

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang ditetapkan oleh PA Badung memang bukan

perkara sengketa waris. Permohonan penetapan ahli waris tidak dapat

dikategorikan sebagai sengketa karena hanya melibatkan kepentingan

sepihak. Berbeda dengan sengketa waris yang melibatkan kepentingan dua

pihak atau lebih. Penetapan ahli waris diajukan ke pengadilan melalui surat

permohonan (volunter) sedangkan sengketa waris melalui surat gugatan.

Hakim mengeluarkan suatu “Penetapan” terhadap perkara yang diajukan

melaui permohonan, sedangkan terhadap sengketa yang diajukan melalui

gugatan hakim mengeluarkan “Putusan”.

Sejauh penelusuran penulis, tidak ditemukan aturan atau ketentuan

dalam peraturan perundangan yang secara tegas memberi kewenangan

absolut kepada pengadilan agama untuk menangani perkara permohonan

penetapan waris bagi ahli waris muslim dari pewaris non muslim, tetapi

dalam perkara sengketa waris terdapat beberapa dasar hukum yang bisa

menjadi pijakan kewenangan pengadilan agama dalam menangani sengketa

waris beda agama, yaitu:

1. Pasal 50 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang

berbunyi:

1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek

Page 64: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

53

sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum.

2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada Ayat

(1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam,

obyek tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara

sebagaimana dimaksud dalam pasal (49).

Berdasarkan pasal tersebut maka kewenangan pengadilan agama

dalam penanganan perkara sengketa waris terbatas pada orang-orang

yang beragama Islam.

2. Dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan

Agama yang diberlakukan berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah

Agung Nomor : KM/032/SK/IV/2006 Tentang Pemberlakuan Buku II

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tanggal 4

April 2006, menyatakan bahwa, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009

menganut asas personalitas keislaman, sehingga segala sengketa antara

orang-orang yang beragama Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam

Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah

diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan

kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menjadi

kewenangan Pengadilan Agama. Asas ini tidak berlaku dalam dalam

kasus-kasus sebagai berikut:

a. Sengketa di bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor

Urusan Agama, meskipun salah satu (suami atau isteri) atau kedua belah

pihak (suami isteri) keluar dari agama Islam.

b. Sengketa di bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam,

meskipun sebagian atau seluruh ahli waris non muslim.

c. Sengketa di bidang ekonomi syariah meskipun nasabahnya non muslim.

Page 65: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

54

d. Sengketa di bidang wakaf meskipun para pihak atau salah satu pihak

tidak beragama islam.

e. Sengketa di bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum

Islam.

Semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek

hukumnya bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Pengadilan

Agama / Mahkamah Syar'iyah.3

Poin b diatas menunjukkan jika pihak pewaris beragama Islam

maka perkara sengketa waris menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama

meskipun sebagian atau seluruh ahli waris beragama selain Islam. Dengan

demikian, asas personalitas ke-Islam-an hanya dikenakan pada pewaris,

asalkan Pewaris beragama Islam maka Pengadilan Agama yang memiliki

kewenangan untuk menangani sengketa waris.

3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2012 Tentang

Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman

Tugas Bagi Pengadilan.

Berdasarkan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah

Agung Republik Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012 yang dicantumkan

dalam SEMA Nomor 07 Tahun 2012 menyatakan bahwa: “Agama pewaris

menentukan pengadilan yang berwenang. Pewaris yang beragama Islam

sengketa kewarisannya menjadi kewenangan peradilan agama,” Rumusan

Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia

tersebut menegaskan kewenangan pengadilan agama dalam menangani

sengketa waris dimana pihak Pewaris beragama Islam.

Sejauh penulis mengkaji beberapa peraturan perundangan tidak

ditemukan dasar hukum yang secara khusus menunjukkan kewenangan

Pengadilan Agama untuk menangani permohonan penetapan ahli waris

3 Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan

Adminisrasi Peradilan Agama 2010, h. 49

Page 66: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

55

muslim dari pewaris non muslim. Apabila kewenangan penanganan perkara

penetapan ahli waris disamakan atau dianalogikan dengan kewenangan

pengadilan agama dalam menangani perkara sengketa waris, maka

pengadilan agama tentu tidak memiliki kewenangan menanganani perkara

penetapan ahli waris jika pihak pewaris beragama selain Islam. Sebab

sengketa waris yang menjadi kewenangan pengadilan agama terbatas hanya

jika pihak pewaris beragama Islam.

Secara spesifik dengan merujuk pada kalimat, “Agama pewaris

menentukan pengadilan yang berwenang”, sebagaimana tercantum dalam

Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik

Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012, Pengadilan Agama tidak berwenang

untuk menangani perkara permohonan penetapan ahli waris bagi pewaris

beragama selain Islam. Abdul Ghafur al-Anshari juga berpendapat bahwa

hukum waris yang berlaku adalah berdasarkan agama pewaris. Jadi bukan

berdasarkan agamanya para ahli waris. Apabila pewaris beragama Islam,

hukum waris yang berlaku adalah hukum waris Islam. Begitu juga apabila

pewaris beragama selain agama Islam, hukum waris yang berlaku menurut

agama pewaris tersebut.4 Dengan demikian dalam perkara penetapan ahli

waris, agama pewaris menjadi pertimbangan yang menentukan pengadilan

mana yang berwenang untuk memberi penetapan. Jika pewaris beragama

Islam, digunakan hukum Islam. Sehingga penetapan ahli waris menjadi

kewenangan Pengadilan Agama. Sebaliknya, jika pewaris beragama selain

Islam maka digunakan hukum perdata (KUHPerdata), sehingga menjadi

kewenangan Pengadilan Negeri.

Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa secara yuridis

Pengadilan Agama Badung tidak memiliki kewenangan untuk menangani

perkara permohonan penetapan ahli waris dari Ibu Pemohon I dan II yang

beragama selain Islam (Hindu). Pewaris yang beragama selain Islam (non

4 Abdul Ghafur al-Anshari, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 tahun 2006,

(Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 55.

Page 67: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

56

muslim), perkara kewarisannya menjadi kewenangan peradilan umum,

sehingga penetapan ahli waris dari Ibu Pemohon I dan II yang beragama

selain Islam (Hindu) seharusnya dilimpahkan kepada pengadilan negeri.

C. Analisis Penegakan Keadilan Bagi Non-Muslim Dalam Perkara

Penetapan di Pengadilan Agama Badung Nomor:

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.

Keadilan merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam yang

bersifat universal. Melalui sejumlah ayat dalam Al Quran, yaitu:

a. QS. An-Nisa Ayat 58, 135

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan

amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)

apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu

menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha

Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa: 58).

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang

benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun

terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia

kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin

menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan

(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah

adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. An-

Nisa: 135)

b. QS. Al-Maidah Ayat 8, 42

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai

penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil.

Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong

kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, Karena (adil) itu

lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,

sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS.

Al-Maidah: 8)

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita

bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)

datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah

(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika

Page 68: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

57

kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi

mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan

perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka

dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

(QS. Al-Maidah :42)

c. QS. An-Nahl Ayat 90

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan

berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah

melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia

memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil

pelajaran. (QS. An-Nahl :90)

d. QS. Asy-Syura Ayat 15

Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan

tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah

mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman

kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan

supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan

Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal

kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah

mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita)".

(QS. Asy-Syura: 15)

e. QS. Al-Hujurat Ayat 9

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau

yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah

yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali

pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara

keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;

sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS.

Al-Hujurat: 9)

f. QS. Al-Hadid Ayat 25

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami

dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan

bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia

dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang

padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi

manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya

Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-

rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah

Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hadid:25).

Page 69: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

58

g. QS. Al-Mumtahanah Ayat 8

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku

adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama

dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ayat-ayat Al-Quran tersebut memberikan gambaran secara filosofis

bahwa Islam memerintahkan penegakan keadilan bagi semua orang.

Bahkan, Islam memerintahkan untuk menegakkan keadilan meskipun

terhadap nonmuslim selama mereka tidak menyerang dan mengusir umat

muslim. Ayat-ayat tersebut haruslah mampu di implementasikan dalam

kerangka kehidupan bersama demi terpenuhinya keadilan pada setiap

manusia secara keseluruhan terkhusus oleh manusia yang memegang

amanah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Jangan sampai karna berlaian

agama membuat kita berlaku tidak adil.

Dari gambaran ayat Al-Quran di atas, jika penulis kaitkan dengan

putusan Pengadilan Agama Badung, Penulis mencermati bahwa Pengadilan

Agama Badung dalam pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari

penetapannya sangat keliru dalam mengambil kesimpulan hukum, dan tidak

mencerminkan terimplementasikannya Ayat-Ayat Al-Quran di atas.

Bagaimana tidak, Hak saling mewarisi yang seharusnya menjadi domain

anak yang sama agamanya dengan pewaris, justru tidak di berikan haknya.

Lebih-lebih dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan jika Anak

yang Agamanya sama dengan Pewaris ingin mendapatkan warisan, hanya

dapat di tempuh melalui mekanisme wasiat wajibah.

Argumentasi tersebut di bangun oleh hakim secara dominan

bersandar pada dua hal:

Pertama hadis yang menyatakan bahwa “Islam itu tinggi dan tidak

ada yang lebih tinggi darinya”. Argumentasi hukum ini menurut padangan

Penulis sangatlah tidak tepat di gunakan dalam permasalahan ini. Hakim

tidak menempatkan sesuatu dengan secara proporsonal. Jika segala sesuatu

Page 70: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

59

tidak di letakkan secara proporsional maka secara otomatis keadilan tidak

akan tercapai. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa Adil

adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebab, jika semua

permasalahan hukum, terkhusus dalam permasalahan Islam berhadapan

dengan Agama selain Islam selalu menggunakan hadits ini, sejatinya itu

bukanlah membuat Islam menjadi tinggi, melainkan menjadikan Islam

menjadi agama yang tidak humanis dan jauh dari nilai-nilai keadilan.

Bukankah Islam mengajarkan bahwa dalam menegakkan sesuatu jangan

sampai mendzolimi orang lain.

Kedua, dalam pertimbangannya, Hakim mengatakan bahwa Alasan

utama dalam Kewarisan Islam adalah alasan kekerabatan, bukan alasan

persamaan agama. Jika penulis analisis argumentasi hukum yang di bangun

oleh hakim tersebut, tidaklah berjalan selaras dengan penetapan yang di buat

oleh hakim. Seharusnya jika dalam pertimbangan hukumnya, Hakim

mengatakan alasan utama dalam kewarisan Islam adalah alasan

kekerabatan, maka seharusnya anak yang beragama Hindu harus menjadi

Ahli Waris, bukan Wasiat Wajibah.

. Jika pada kasus pewaris beragama Islam dan ada ahli waris yang

keluar dari agama Islam, hakim dengan lantang mengatakan anak yang

keluar dari Islam (yang tidak sama dengan agama pewaris) tidak

mendapatkan waris, sebab kewarisan dalam Islam mengandung asas

persamaan agama dan tidak bisa saling mewarisi antara muslim dan non

muslim. Namun, dalam kasus pewaris beragama Hindu dan ahli waris ada

yang beragama Islam dan ada yang beragama Hindu, hakim justru malah

menetapkan anak yang ber agama Islam lah yang berhak menjadi ahli waris,

sementara anak yang jelas-jelas memiliki agama yang sama dengan pewaris

(yaitu agama Hindu) justru tidak di tetapkan sebagai ahli waris dan malah

di tetapkan hanya berhak mendapatkan Wasiat Wajibah. Cara pandang

beragama seperti ini adalah cara pandang beragama yang mendua dan tidak

mencerminkan penegakan keadilan.

Page 71: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

60

Dalam pandangan lain, penulis mengamati argumentasi kedua yang

dibangun oleh hakim di atas akan melahirkan akibat hukum baru. Sebab jika

hakim mengatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa alasan utama

kewarisan dalam Islam adalah alasan kekerabatan dan bukan persamaan

agama, maka sejatinya telah menimbulkan pandangan hukum baru, yaitu

kebolehan saling mewarisi antara agama Islam dan selain Islam. Ini

mengakibatkan pertentangan dengan Hadits Nabi yang mengatakan bahwa:

“Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang

kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”

(HR. At Tirmidzi).

Radbruch, dalam tulisannya yang berjudul Five minutes of legal

philosophy, yang di terbitkan dalam Oxford Journal of Legal Studies tahun

2006 memberikan gambaran bahwa keadilan berarti menjatuhkan putusan

tanpa memandang kedudukan seseorang serta memperlakukan setiap orang

dengan standar yang sama. Keadilan, merupakan salah satu nilai hukum,

selain kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kepastian hukum yang menjadi

karakter hukum positif harus mengalah kepada keadilan.5

Immanuel Kant mengatakan bahwa keadilan itu bertitik tolak dari

martabat manusia. Dengan demikian pembentukan hukum harus

mencerminkan rasa keadilan dan bertujuan untuk melindungi martabat

manusia. Keadilan merupakan prisip normatif fundamental bagi negara.6

Teori lain yang berbicara tentang keadilan adalah teori yang

dikemukakan oleh John Rawls. Dalam teorinya dikemukakan bahwa ada

tiga hal yang merupakan solusi bagi problema keadilan. Pertama prinsip

kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty).

Kedua prinsip perbedaan (the difference principle). Ketiga prinsip

5 G. Radbruch, Five minutes of legal philosophy, (Oxford Journal of Legal Studies, 2006),

h. 13.

6 Franz Magniz Suseno, Etika Politik, (cetakan ke-tiga) (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 334.

Page 72: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

61

persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap orang (the

principle of fair equality of opportunity).7

Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota

masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial dan

hukum yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik, di

mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip

pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya termasuk Pengadilan.

Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota

masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang

ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan

sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-

institusi yang ada di dalamnya. Titik-tolak Rawls dalam merancang teori

keadilannya adalah konsepsinya tentang person moral yang pada dasarnya

memiliki dua kemampuan moral, yakni: 1) kemampuan untuk mengerti dan

bertindak berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk

mengusahakan suatu kerja sama sosial; dan 2) kemampuan untuk

membentuk, merevisi, dan secara rasional mengusahakan terwujudnya

konsep yang baik. Rawls menyebut kedua kemampuan ini sebagai a sense

of justice dan a sense of the good.

Rawls juga memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa

dicapai dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu

prosedur yang tidak memihak, prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap fair.

Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah “keadilan

prosedural murni”. Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh mereka yang

terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan hanyalah suatu prosedur

yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir yang adil pula.

7 John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (judul asli A Theory of Justice), Terjemahan Uzair Fauzan dan

Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 502.

Page 73: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

62

Thomas Aquinus, Aristoteles dan Agustinus juga memiliki

pandangan yang sama bahwa hukum dan keadilan memiliki hubungan

timbal balik, yaitu bahwa hukum diciptakan berdasarkan nilai-nilai atau

kaidah-kaidah moral yang adil, Agustinus mengajarkan bahwa hukum abadi

yang terletak dalam budi Tuhan ditemukan juga dalam jiwa manusia.

Partisipasi hukum abadi itu tampak dalam rasa keadilan, yaitu suatu sikap

jiwa untuk memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Dari pemikiran para tokoh di atas, penulis menyimpulkan bahwa

filosofi utama dari hakekat hukum adalah keadilan. Ide keadilan

dicerminkan oleh keputusan yang menentang dilakukannya hukuman yang

tidak equal. Hukum yang tidak mencerminkan keadilan sejatinya bukanlah

sebuah hukum “lex injusta non est lex”.

Realitasnya, hukum dalam masyarakat khususnya pada putusan atau

penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan kadang berbeda dengan yang

dicita-citakan yang menyebabkan semakin menjauhkan hukum dari

hakekatnya. Keadilan seolah hanya menjadi jargon belaka. Oleh karenanya

dibutuhkan institusi-institusi penegakan hukum yang menjunjung tinggi

nilai-nilai keadilan.

D. Analisis Hukum Islam Terhadap Penetapan Ahli Waris Muslim Dari

Pewaris Non-Muslim.

a) Analisis Tentang Kedudukan Ahli Waris Muslim Dari Pewaris Non-

Muslim.

Pada awalnya Ibu Pemohon I dan II beragama Islam tetapi kemudian

ia memeluk agama Hindu hingga meninggal dunia. Perpindahan agama dari

Islam ke Hindu, dalam perspektif agama Islam menunjukkan bahwa Ibu

Pemohon I dan II adalah seorang murtadah (wanita yang keluar dari agama

Islam).

Harta peninggalan (tirkah) Ibu Pemohon I dan II berupa sebidang

tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX September

Page 74: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

63

1979 atas nama Ibu Pemohon I dan II. Ketika wafat Ibu Pemohon I dan II

meninggalkan suami (Bapak Pemohon I dan II) yang beragama Islam dan

empat orang anak, dua beragama Islam (Pemohon I dan II) dan dua

beragama Hindu (Saudara Pertama dan Ketiga Pemohon I dan II).

Berdasarkan Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Majelis Hakim

menetapkan Pemohon I dan II yang beragama Islam sebagai ahli waris dari

Ibu Pemohon I dan II yang beragama Hindu. Penetapan hakim tersebut

menunjukkan bahwa ahli waris muslim berhak untuk mewarisi harta waris

dari pewaris non muslim.

Hukum materiil Peradilan Agama di bidang waris adalah hukum

kewarisan KHI dan yurisprudensi yang bersumber dari al-Qur’an, Hadis dan

Ijtihad.8 Majelis Hakim dalam perkara penetapan ahli waris muslim dari

pewaris non muslim (murtadah) tersebut memandangnya sebagai perkara

insidental sehingga tidak berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Apabila dianalisis lebih lanjut, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

menjadi hukum materiil pengadilan agama memang tidak menjelaskan

perbedaan agama pewaris dan ahli waris dalam perkara kewarisan. KHI

hanya menjelaskan bahwa status agama ahli waris dan pewaris adalah Islam.

Sebagaimana terdapat Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b dan c:

a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama

Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

b. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan

pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk

menjadi ahli waris.

Sebagaimana tercantum dalam Penetapan Nomor:

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, Majelis Hakim dalam perkara penetapan ahli waris

muslim dari pewaris non muslim tersebut berpedoman pada pendapat

Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin

8 Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan

Adminisrasi Peradilan Agama 2010, h. 141.

Page 75: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

64

Ali dan Al Masruq yang dikutip dari kitab Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, Juz

8 hal.263, karya Wahbah Al Zuhaili, yang bersandar pada hadits Nabi

Muhammad Saw: “Islam itu tinggi dan tidak ada Islam itu tinggi dan tidak

ada yang lebih tinggi darinya.” (H.R. ad-Daruqutni dan al-Baihaqi)

Secara lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam

Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari

Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al

Zuhaili, Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, Juz 8 hal.265).

Apabila di analisis lebih lanjut memang terdapat perbedaan pendapat

di kalangan ulama ahli fiqih tentang hak bagi muslim untuk menjadi ahli

waris dari pewaris non muslim. Syekh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi atau

lebih dikenal dengan Imam An-Nawawi menyatakan bahwa para ulama

telah sepakat (ijma’) bahwa orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang

muslim. Begitu juga menurut mayoritas ulama (jumhur ulama’) dari

kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya berpendapat bahwa orang

muslim tidak bisa mewarisi harta orang kafir. Sebagai pengecualian ada

minoritas ulama yang memperbolehkan muslim mewarisi dari non muslim,

tetapi pandangan kelompok ini menurut Imam An-Nawawi bukanlah

pandangan yang benar (shahih).9 Pernyataan Imam an-Nawawi tersebut

menunjukkan bahwa mayoritas ulama (jumhur ulama’) berpendapat bahwa

seorang muslim tidak boleh mewarisi harta waris dari pewaris non muslim,

tetapi ada pendapat dari sebagian ulama yang membolehkan seorang

muslim mewarisi harta waris dari pewaris non muslim.

Adapun dasar hukum dari pendapat jumhur ulama’ yang melarang

muslim mewarisi dari non muslim bersumber dari hadits Nabi Muhammad

SAW berikut: “Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan

orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari dan

9 Mahbub Ma’afi Ramdlan, “Hukum Waris Beda Agama,” terdapat dalam

http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-, Diakses tanggal 20

Desember 2019.

Page 76: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

65

Muslim). “Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”

(HR. At Tirmidzi).

Kedua hadits di atas secara jelas dan tegas menunjukkan larangan

bagi muslim mewarisi dari non muslim demikian juga bagi non muslim

mewarisi dari muslim.

Adapun dalil yang digunakan kelompok ulama yang membolehkan

muslim mewarisi dari non muslim yaitu: “Islam itu tinggi dan tidak ada

yang lebih tinggi (darinya)” (HR. Ad Daruquthni dan Al Baihaqi).

Hadits “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)”

tersebut juga menjadi landasan pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al

Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al Masruq untuk

membolehkan muslim mewarisi dari non muslim yang kemudian dijadikan

pedoman oleh majelis hakim PA Badung dalam menetapkan ahli waris

muslim dari pewaris non muslim. Berdasar hadits tersebut Imam Abu

Hanifah mengeluarkan pendapat tentang ahli waris dari orang yang murtad

sebagaimana dikutip oleh Wahbah azZuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami

wa Adillatuh sebagai berikut: “Abu Hanifah mengatakan ahli waris muslim

mewarisi dari laki-laki murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih

Islam, adapun apa yang diperoleh pada saat murtad menjadi fa’i Baitul

Mal. Perempuan murtad, semua harta peninggalannya untuk ahli waris

yang muslim”.10

Dari pendapat Abu Hanifah tersebut dapat diketahui bahwa Majelis

Hakim PA Badung menggunakan pendapat beliau yang menyatakan

Perempuan murtad, semua harta peninggalannya untuk ahli waris yang

muslim sebagai dasar hukum untuk menetapkan Pemohon I dan II sebagai

Ahli Waris dari ibu mereka yang telah murtad dari agama Islam menjadi

Hindu.

10 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 10, terjemahan oleh Abdul Hayyie

al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 360.

Page 77: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

66

Pendapat Abu Hanifah tentang harta wanita murtad diwarisi oleh

oleh ahli warisnya yang muslim berbeda dengan pendapat menurut

mayoritas ulama (jumhur ulama) dari madzhab Maliki, Syafi'i, dan

Hambali. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh

juga menuliskan tentang pendapat jumbur ulama tersebut: Mayoritas ulama

(Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) mengatakan bahwa orang murtad

tidak mewarisi juga tidak diwarisi sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi

fai (rampasan) untuk Baitul Mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam

atau pada saat murtad.11

Ali ash-Shabuni juga menjelaskan pendapat jumhur ulama

Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hanabilah bahwa seorang muslim tidak berhak

mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka,

orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam. Sehingga secara

otomatis orang tersebut telah menjadi kafir, sebagimana ditegaskan

Rasulullah Saw bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling

mewarisi.

Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa pendapat yang

membolehkan orang muslim mewarisi dari non muslim dan secara khusus

harta wanita murtadah diwarisi oleh ahli waris yang muslim bersandar pada

hadits Nabi: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)”,

sedangkan pendapat jumhur ulama’ yang melarang hal tersebut bersandar

pada hadits Nabi: “ سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم ”. Menurut

pendapat Imam an-Nawawi hadits tersebut (“al-Islamu ya’lu wala yu’la

‘alaih”) tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (tentang kebolehan muslim

mewarisi harta non-muslim), sebab yang dimaksudkan hadits tersebut

11 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 10, terjemahan oleh Abdul Hayyie

al-Kattani, dkk., h. 360.

Page 78: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

67

adalah membincang keutamaan Islam dibanding yang lain dan tidak

menyinggung soal kewarisan.12

Sejalan dengan pendapat jumhur ulama tentang kewarisan beda

agama diatas, Fatwa Majelis Ulama Islam (MUI) Nomor: 5/MUNAS

VII/MUI/9/2005 Tentang Kewarisan Beda Agama menetapkan kewarisan

beda agama sebagai berikut:

1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar

orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan

nonmuslim);

2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat

dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

Dalam masalah kewarisan beda agama, menurut penulis lebih tepat

jika mengikuti pendapat jumhur ulama’ dan Fatwa MUI yang berpedoman

pada hadits Nabi: “ سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم ”, karena

hadits ini secara jelas dan tegas telah menunjukkan adanya larangan bagi

muslim mewarisi dari non muslim dan non muslim mewarisi dari muslim.

b) Analisis Tentang Konsep Pemisahan Harta (Khiazatul Mal)

Dalam kajian Fiqih Islam klasik, hukum islam lebih memandang

adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Apa yang dihasilkan oleh

suami adalah harta miliknya, begitupula sebaliknya, apa yang dihasilkan

istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami memberikan

sebagian hartanya itu kepada istri atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya

digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan

harta, kecuali dalam bentuk Syirkah yang untuk itu dilakukan suatu akad

khusus untuk Syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.13

12 Mahbub Ma’afi Ramdlan, “Hukum Waris Beda Agama,” terdapat dalam

http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-. Diakses tanggal 20

Desember 2019.

13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.

175-176

Page 79: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

68

Khoiruddin Nasution menyatakan, bahwa hukum Islam mengatur

sistem terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak

menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum

Islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk

membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara

hukum.14

Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa hukum Islam memberikan

pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta

benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak.

Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak

menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur

tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta

bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak

milik masing-masing pasangan suami istri.15

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta bersama tidak

disinggung secara jelas dan tegas alam hukum Islam, sehingga terbuka bagi

ahli hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas. Harta

bersama dapat di-qiyas-kan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa

istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak

ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan

adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci,

mengasuh anak dan keperluan domestik lainnya.

Dari dua pandangan pakar di atas dapat dilihat, bahwa memang

ketentuan Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri itu sebenarnya

akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi proses perceraian

karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.

14 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia dan TAZZAFA,

2005), h. 192.

15 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 120

Page 80: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

69

Dari pemaparan tersebut, jika penulis kaitkan dengan permasalahan

kewarisan yang melibatkan Antar-Iman, secara khusus terhadap penelitian

yang penulis lakukan, maka lebih bisa meminimalisir konflik dalam proses

kewarisan yang melibatkan muslim dan non-muslim.

Khusus dalam perkara Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. jika konsep

hukum islam tentang pemisahan harta suami dan istri tersebut di terapkan

dalam kasus ini maka akan melahirkan keputusan hukum yang lebih

mencerminkan keadilan dan proporsional. Dimana dua anak yang beragama

islam, yang mengajukan permohonan menjadi ahli waris, Hakim Agama

badung tetapkan dua anak tersebut menjadi ahli waris dari harta ayahnya

yang juga telah meninggal dunia dalam keadaan Muslim tahun 2010, serta

dua anak yang beragama Hindu juga di tetapkan sebagai ahli waris dari

Ibunya yang meninggal dalam keadaan Agama Hindu tahun 2004 di

pengadilan Negeri. Proses seperti ini dimungkinkan lebih bisa memberikan

rasa keadilan kepada kedua belah pihak, baik muslim maupun Non-Muslim,

serta tidak memunculkan sengketa kewenangan Pengadilan dalam

penyelesaian perkara kewarisan tersebut.

Page 81: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Secara yuridis Pengadilan Agama Badung tidak memiliki kewenangan

untuk menangani perkara permohonan penetapan ahli waris muslim dari

pewaris Non-muslim. Sebagai mana tertuang dalam Rumusan Hasil

Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012 yang dicantumkan dalam SEMA Nomor 07

Tahun 2012. Agama pewaris menentukan pengadilan yang berwenang.

Perkara waris, menjadi kewenangan pengadilan agama, jika pewaris

beragama Islam. Sedangkan, untuk pewaris yang beragama selain Islam,

menjadi kewenangan badan peradilan umum.

2. Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Badung Nomor:

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg tidak mencerminkan rasa keadilan bagi Non-

Muslim. Seharusnya anak yang beragama sama dengan pewaris yaitu

beragama Hindu yang berhak menjadi ahli waris, bukan justru di beri

melalui mekanisme Wasiat Wajibah. Sebab prinsip kewarisan dalam

Islam melihat dalam keadaan agama apa pewaris meninggal dunia.

3. Penetapan ahli waris muslim dari pewaris Non-muslim oleh Majelis

Hakim Pengadilan Badung melalui Penetapan Nomor:

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ditinjau dari perspektif hukum Islam berlawanan

dengan pendapat mayoritas ulama (jumhur ulama’) yang bersandar pada

hadits Nabi Muhammad SAW: سلم يرث لا سلم الكافر يرث لاو الكافر، الم الم

yang secara jelas menunjukkan larangan saling mewarisi antara muslim

dan Non-muslim. Majelis Hakim Pengadilan Badung justru mengambil

pendapat minoritas ulama yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad

SAW: “Islam itu Tinggi, dan tidak ada yang lebih Tinggi darinya” yang

secara spesifik tidak membahas tentang kewarisan.

Page 82: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

71

B. Saran

Dari penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis memberikan saran

terhadap beberapa pihak, antara lain sebagai berikut:

1. Terhadap lembaga pengadilan, dalam hal ini penulis memberikan saran

bahwa hakim pengadilan agama yang menangani perkara waris

hendaklah mempertimbangkan agama yang dianut oleh pewaris.

Mengingat secara yuridis agama pewaris menentukan pengadilan yang

berwenang. Dalam memutuskan atau mengeluarkan produk hukum

terkait dengan perkara kewarisan yang tidak diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam sebaiknya hakim pengadilan agama menggunakan rujukan

hukum Islam dari al-Qur’an/al-Hadits, kesepakatan ulama (ijma’

ulama’), atau pendapat dari mayoritas ulama (jumhur ulama’).

2. Terhadap akademisi, bahwa pendalaman untuk mencari formula hukum

yang berkeadilan sangatlah penting. Oleh karenanya saran dari penulis

adalah pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak

memberikan rasa keadilan harus terus di lakukan. Sehingga dapat

menjadi kritik dan saran dalam memajukan hukum yang berkeadilan di

negara Indonesia.

3. Bagi masyarakat, bahwa pemahaman terhadap hukum haruslah di

tingkatkan sehingga jika dalam proses hukum ada yang tidak berjalan

dengan keadilan maka masyarakat mampu mengoreksinya. Penulis

mengajak agar masyarakat secara bersama-sama memahami hukum,

sebab pemahaman terhadap hukum mampu neningkatkan pemahaman

kita pada hak dan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia.

Page 83: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

72

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika

Presindo, 1992.

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap, Jilid 4,

terjemahan oleh Khairul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Ali Ash Shabuni, Muhammad. Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’

alKitab wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris

Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.

Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2004.

Asyhari dan Syukur Abd. Djunaidi. Hukum Islam di Indonesia, Cet 2,

Yogyakarta: Elhamra Press, 2003.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 10, terjemahan oleh Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani, 2016.

Basyir, Ahmad Azhari. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas

dan Adminisrasi Peradilan Agama 2010, Edisi Revisi 2013, Jakarta, 2013.

Ghafur al-Anshari, Abdul. Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 tahun

2006, Yogyakarta: UII Press, 2007.

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Wahyudi, Muhamad Isna Penegakan Kewarisan Beda Agama, Jurnal Komisi

Yudisial, 2015.

Lukito, Ratno Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Alvabet, 2008.

Magniz Suseno, Franz. Etika Politik, cetakan ke-tiga, Jakarta: Gramedia, 2003.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia, 2016.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2003.

Page 84: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

73

Moleong, Lexi Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,

2005.

Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum

Positif, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor:

Ghalia Indonesia, 2012.

Nasution, Khoiruddin. Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: Academia dan

TAZZAFA, 2005.

Nuansa Aulia, Dkk., Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan,

Kewarisan, dan Perwakafan, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2015.

Pitlo, A. Hukum Waris, Jilid 1, Jakarta: Intermasa, 1986.

Projodikoro, Wiryono. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983.

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010.

Rahim Faqih, Aunur. Mawaris (Hukum Waris Islam), Yogyakarta: UII Press

2017.

Rawls, John. Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (judul asli A Theory of Justice),

Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2006.

Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum Oleh Hakim. Jakarta: Sinar Grafika. 2014.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja

Grafindo Persada 2004.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum. Jakarta:UI Press. 1986.

Sulaiman, Rasjid. Fiqih Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2000.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2004.

Page 85: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

74

Triwulan, Titik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:

Kencana, 2008.

Umam, Dian Khairul. Fiqh Mawaris, Cet 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.

JURNAL

Jurnal Suara Hukum, Analisis Pemberian Wasiat Wajibah terhadap Ahli Waris

Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Agung, diakses pada tanggal

5 Desember 2019.

Radbruch, G. Five minutes of legal philosophy, Oxford Journal of Legal Studies,

2006.

Tri Wahyudi, Abdullah. “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia

Pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia,

Vol. 7, No. 2, Desember 2016.

WEBSITE

http://arsip.pta-mataram.go.id/2015/07/29/kilas-balik-kompetensiabsolut-perkara-

waris-melalui-perjuangan-panjang/.

http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-,

http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html,

https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-

ditjen-badilag.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945.

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Page 86: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P E N E T A P A NNomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Badung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara Permohonan Penetapan Ahli

Waris yang diajukan oleh :

1. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten

Badung, selanjutnya disebut PEMOHON I;

2. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten

Sragen, Jawa Tengah, sekarang tinggal di Kalimantan, selanjutnya disebut sebagai

PEMOHON II;

Pemohon I dan Pemohon II (selanjutnya disebut Para Pemohon) telah memberikan Kuasa

Khusus kepada KUASA HUKUM I PEMOHON I DAN II., KUASA HUKUM II

PEMOHON I DAN II dan KUASA HUKUM III PEMOHON I DAN II Para Advokat

dan Advokat yang berkantor di Kota Denpasar berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal

X Februari 2013 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Badung tanggal

XX Februari 2013;

Pengadilan Agama tersebut;

Setelah membaca berkas perkara;

Setelah mendengarkan keterangan pihak-pihak dan saksi-saksi;

Setelah memeriksa bukti-bukti di persidangan;

TENTANG DUDUKNYA PERKARA

Menimbang, bahwa Para Pemohon melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan

permohonan Penetapan Ahli Waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON

I DAN II, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Bahwa ayah para Pemohon yakni BAPAK PEMOHON I DAN II lahir di Cilacap

tanggal X April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang bernama IBU

PEMOHON I DAN II, lahir di Singaraja tanggal X Februari 1947;

2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat) orang anak sebagai

berikut;

a. SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II (sudah meninggal), anak pertama,

perempuan, lahir tanggal XX Maret 1963, agama Hindu, beralamat di Banyuning,

Singaraja;

Page 1 of 14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Page 87: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

b. PEMOHON I , anak kedua, laki-laki, lahir XX Agustus 1968, agama Islam, bertempat

tinggal di Kuta, Badung;

c. SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal XX

April 1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung;

d. PEMOHON II, anak keempat, laki-laki, lahir tanggal XX Juni 1972, agama Islam,

alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini tinggal di Kalimantan;

3. Bahwa mendiang SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II semasa hidup telah

menikah dengan SUAMI SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan

memiliki 3 orang anak yaitu;

3.1 ANAK KE I SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI

SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir tanggal X Mei

1986, agama Hindu;

3.1 ANAK KE II SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI

SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, laki-laki, lahir XX Mei 1996,

agama Hindu;

3.2 ANAK KE III SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI

SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir XX Mei 2004,

agama Hindu;

4. Bahwa PEMOHON I menikah dengan ISTRI PEMOHON I, memiliki 5 orang anak

yaitu;

4.1 ANAK KE I PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama

Islam;

4.2 ANAK KE II PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;

4.3 ANAK KE III PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama

Islam;

4.4 ANAK KE IV PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama

Islam;

5.5 ANAK KE I PEMOHON V dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;

5. Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II menikah dengan ISTRI

SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, memiliki 3 orang anak:

5.1. ANAK KE I SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI

SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, perempuan,umur 17 tahun;

5.2. ANAK KE II SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI

SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 15 tahun;

5.3. ANAK KE III SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI

SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 8 tahun;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Page 88: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

6. Bahwa PEMOHON II menikah dengan ISTRI PEMOHON II, memiliki 2 orang anak

yaitu;

6.1 ANAK KE I PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama Islam;

6.2 ANAK KE II PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama

Islam;

7. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu kandung para

Pemohon meninggal lebih dahulu pada tanggal XX Mei 2004 karena sakit, Surat

Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012,

bapak kandung para Pemohon meninggal dunia pada tanggal XX Februari 2010, Surat

Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012

dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara;

8. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah

membuat surat wasiat;

9. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang tanah yang kini

disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa:

9.1 tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,

Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX

tanggal XX September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II;

9.2 tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,

Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXX/XXXX tanggal

XX Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II;

10. Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II telah berpindah agama ke

agama Hindu karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan

hukum Islam, maka SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II tidak lagi menjadi

ahli waris dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU

PEMOHON I DAN II;

11. Bahwa demikian juga dengan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, di depan

persidangan perkara Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah

pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut

membuktikan bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II tidak berhak lagi

atas harta warisan dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan

IBU PEMOHON I DAN II;

12. Bahwa di antara para Pemohon tidak ada permasalahan mengenai pembagian harta

peninggalan dan para Pemohon telah sepakat untuk membagi harta warisan secara adil

dan merata;

Page 3 of 14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Page 89: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

13. Bahwa para Pemohon ingin membagi kedua bidang tanah warisan tersebut, sehingga

untuk proses dan pengurusan atas pembagian kedua bidang tanah tersebut haruslah

dipenuhi syarat-syaratnya yang salah satunya adalah ada penetapan ahli waris dari

Pengadilan Agama;

Bahwa dari uraian-uraian di atas, para Pemohon bermohon agar kiranya Bapak Ketua

Pengadilan Agama Badung berkenan membuka suatu persidangan untuk keperluan itu,

memeriksa permohonan ini serta menetapkan/memutuskan sebagai berikut:

PRIMAIR

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menetapkan:

a. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten

Badung;

b. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten

Sragen, Jawa Tengah;

Adalah ahli waris yang sah dari almarhum BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU

PEMOHON I DAN II;

3. Membebankan biaya perkara yang timbul dari permohonan ini kepada para

Pemohon;

SUBSIDAIR

Apabila Bapak Ketua Pengadilan Agama Badung berpendapat lain, mohon putusan yang

seadil-adilnya;

Menimbang, bahwa para hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon I hadir di

persidangan secara inperson didampingi Kuasanya;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah menjelaskan mengenai akibat penetapan ini

ahli waris bukan saja mewarisi harta warisan tapi juga mewarisi hutang pewaris, namun

Pemohon I menyatakan tetap melanjutkan permohonannya;

Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan surat permohonan Pemohon, atas

pertanyaan Majelis Hakim, Pemohon I memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai

berikut:

• Bahwa Pemohon I beragama Islam;

• Bahwa ayah para Pemohon yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama

Islam;

• Bahwa ibu para Pemohon yang bernama IBU PEMOHON I DAN II beragama Hindu;

• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II bernama XXXXXXX dan

XXXXXX sudah meninggal dunia lebih dahulu;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Page 90: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa Pemohon I lupa nama orang tua Ni Made Rai Ningsih, namun keduanya sudah

meninggal dunia lebih dahulu;

• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak

mempunyai anak angkat;

• Bahwa para Pemohon memerlukan penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama untuk

mengurus penjualan harta peninggalan dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU

PEMOHON I DAN II, karena pihak Notaris tidak mau mengeluarkan akta jual beli

sebelum ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama;

Menimbang, bahwa kemudian Pemohon I melalui Kuasanya mengajukan alat bukti

sebagai berikut :

1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk nomor XX.XXXX.XXXXXX.XXXX atas nama

PEMOHON II dan Nomor:XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama PEMOHON I,

bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan

ternyata cocok dengan aslinya (bukti P.1);

2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor: XXX/XX/XXX/2008 atas nama PEMOHON II

dan ISTRI PEMOHON II, dikeluarkan oleh KUA Sidoharjo Kabupaten Sragen

tanggal XX Desember 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di

pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.2);

3. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor XXX/XX/XXXX/2008 atas nama PEMOHON I

dan ISTRI PEMOHON I, dikeluarkan oleh KUA Kuta Kabupaten Badung tanggal XX

Agustus 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah

diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.3);

4. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala

keluarga PEMOHON II, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Sragen

tanggal XX Juli 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,

telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.4)

5. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala

keluarga PEMOHON I, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Badung

tanggal X Agustus 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di

pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.5);

6. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama IBU

PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,

Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,

telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.6);

7. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama

BAPAK PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,

Page 5 of 14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Page 91: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,

telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.7);

8. Fotokopi Surat Pernyataan Waris tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh

Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai

pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata

cocok dengan aslinya(P.8);

9. Fotokopi Surat Pernyataan Silsilah tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh

Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai

pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata

cocok dengan aslinya(P.9);

10. Fotokopi Surat Pernyataan Pembagian Waris tanpa tanggal yang ditandatangani oleh

Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai

pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata

cocok dengan aslinya(P.10);

11. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX

September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah

didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan

aslinya(P.11);

12. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX

Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah

didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan

aslinya(P.12);

13. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atas nama wajib pajak BAPAK

PEMOHON I DAN II, Kuta, Kabupaten Badung, dikeluarkan oleh Kepala Kantor

Pelayanan Pajak Pratama Badung tanggal X Januari 2012, bermeterai pos dan telah

didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan

aslinya(P.13);

Menimbang, bahwa Kuasa Pemohon juga mengajukan saksi-saksi sebagai berikut;

1. SAKSI PERTAMA, umur 70 tahun, agama Hindu, pekerjaan ibu rumah tangga,

tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan

sebagai berikut;

• Bahwa saksi kenal dengan BAPAK PEMOHON I DAN II, yang merupakan suami

dari saudara misan saksi yang bernama IBU PEMOHON I DAN II;

• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU

PEMOHON I DAN II di Denpasar, menikahnya secara agama Islam;

• Bahwa saksi pernah ikut tinggal bersama BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU

PEMOHON I DAN II di Kuta, Badung;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6

Page 92: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa dari pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU PEMOHON I

DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,

PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;

• Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, ikut

suaminya;

• Bahwa PEMOHON I beragama Islam;

• Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu;

• Bahwa PEMOHON II beragama Islam;

• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 karena sakit;

• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dikuburkan di pekuburan Hindu, namun

sebelumnya beragama Islam;

• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II juga telah meninggal dunia tahun 2010 karena

sakit, dalam keadaan beragama Islam;

• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah

bercerai;

• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak

mempunyai anak angkat;

• bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II mempunyai 2

buah rumah di Kuta yang ditempati anak-anaknya;

• bahwa saksi mendengar rumah tersebut akan dijual;

2. SAKSI KEDUA, umur 68 tahun, agama Hindu, pekerjaan purnawirawan polisi,

tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan

sebagai berikut;

• Bahwa saksi adalah kakak kandung IBU PEMOHON I DAN II;

• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK

PEMOHON I DAN II di KUA Denpasar;

• Bahwa dari perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I

DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,

PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;

• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 dalam keadaan

beragama Hindu dan dikuburkan di pekuburan Hindu;

• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2010 dalam

keadaan beragama Islam;

• Bahwa anak-anak BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II ada

yang beragama Islam yaitu PEMOHON I dan PEMOHON II, dan ada yang beragama

Page 7 of 14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7

Page 93: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Hindu yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA

PEMOHON I DAN II;

• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah

bercerai;

• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain juga tidak

mempunyai anak angkat;

• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II

meninggalkan dua buah rumah di Kuta;

• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II

tidak meninggalkan hutang;

• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;

• Bahwa orang tua IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;

• Bahwa setahu saksi pengajuan penetapan ahli waris ini untuk keperluan penjualan

harta peninggalan tersebut oleh ahli warisnya;

Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon I memberikan kesimpulan secara lisan

tetap pada dalil permohonannya dan mohon segera dijatuhkan penetapan;

Menimbang, bahwa seluruh jalannya persidangan, tercatat dalam Berita Acara

Persidangan ini dan merupakan satu kesatuan dari dan telah turut dipertimbangkan dalam

penetapan ini;

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah

sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang, bahwa para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya mengajukan

permohonan Penetapan Ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dalam halmana di saat

meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon mengajukan permohonan

Penetapan Ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II yang juga telah meninggal dunia

dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga

bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alas hak bagi ahli waris IBU

PEMOHON I DAN II dan ahli waris BAPAK PEMOHON I DAN II terhadap tanah dengan

Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX September 1979 atas nama IBU PEMOHON I

DAN II dan Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX Februari 1979 atas nama BAPAK

PEMOHON I DAN II;

Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan

pewaris yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama Islam, meskipun pewaris

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8

Page 94: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

yang bernama IBU PEMOHON I DAN II disebutkan beragama Hindu, Majelis Hakim

berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama

sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan

Agama;

Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara secara

voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini secara relative menjadi

kewenangan Pengadilan Agama Badung;

Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka

yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan apakah

meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak terhalang secara syar’i untuk

ditetapkan sebagai ahli waris.

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya para Pemohon telah

mengajukan bukti-bukti tertulis (P1 sampai dengan P13) berupa fotokopi bermeterai cukup

serta telah dicocokkan dan ternyata sesuai dengan aslinya, maka majelis Hakim menilai alat

bukti tersebut sah sebagai alat bukti berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun

2000 tentang Perubahan tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan harga Nominal

Yang Dikenakan Bea Meterai jo Pasal 1888 KUH Perdata jo Pasal 301 RBG;

Menimbang, bahwa meskipun saksi-saksi yang dihadirkan Para pemohon berasal

dari kerabat semenda dengan para Pemohon, namun menurut Majelis Hakim tetap memenuhi

syarat formil karena keterangan yang diberikan saksi adalah mengenai kedudukan/status

keperdataan para Pemohon dengan pewaris, serta keterangan saksi tersebut diberikan di bawah

sumpah dan di persidangan (vide Pasal 171, 172 ayat 2 dan 175 RBG jo Pasal 1905, 1910 ayat

2 dan Pasal 1911 KUH Perdata). Demikian pula secara materil keterangan para saksi tersebut

dapat diterima karena para saksi memberikan keterangannya berdasarkan pengetahuan dan

penglihatannya sendiri (vide Pasal 308 RBG jo Pasal 1907 ayat 1 KUH Perdata). Oleh karena

itu apa yang diterangkan saksi-saksi menurut pendapat Majelis Hakim dapat meneguhkan dalil

permohonan Para Pemohon;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon yang dikuatkan dengan

keterangan para saksi di bawah sumpahnya yang menerangkan melihat dan tahu perkawinan

IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II dilakukan secara Islam di

KUA Denpasar, dan antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II

tidak pernah bercerai, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa sampai meninggalnya IBU

Page 9 of 14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9

Page 95: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

PEMOHON I DAN II, antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN

II masih terikat dalam pernikahan;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan

keterangan dua orang saksi serta bukti P4, P5, dan P9, diperoleh fakta hukum bahwa dari

perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II diperoleh 4

(empat) orang anak yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, PEMOHON I,

SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan

keterangan 2 orang saksi serta bukti P1, P2, P3, P4 dan P5, diperoleh fakta hukum bahwa

SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama

Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II

beragama Islam;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan para

saksi, IBU PEMOHON I DAN II telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu

meski sebelumnya beragama Islam, halmana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama

Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara

eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam

untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya

pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah

tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat hukum sebagai

berikut;

Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam

menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem

kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang

mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga

mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan

pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu

kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak

mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim,

terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena

berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata

kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta

warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10

Page 96: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Sekiranya hal itu terjadi, maka non muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi

ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam;

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama IBU PEMOHON I

DAN II sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia

dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka

kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan

mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,

Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad Saw ى عليه (رواه الدارقطنى والبيهقى) ولا يعل و م يعل لا Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul)الإس

Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih

pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari

Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul

Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265);

Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis Hakim

menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c, Majelis Hakim

memandang Pasal 171 huruf b dab c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum

dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental;

Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam

kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan

merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya

murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang

Majelis Hakim uraikan di atas;

Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum,

ternyata IBU PEMOHON I DAN II yang kemudian menjadi non muslim telah meninggal

dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal XX September 2004 dengan meninggalkan

seorang suami bernama BAPAK PEMOHON I DAN II yang beragama Islam, dan 4

(empat) orang anak yakni SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu,

PEMOHON I beragama Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama

Hindu, dan PEMOHON II beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian

pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli

waris dari IBU PEMOHON I DAN II adalah BAPAK PEMOHON I DAN II, PEMOHN I

dan PEMOHON II;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan

keterangan para saksi dan bukti P7, diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I

DAN II telah meninggal dunia karena sakit pada tanggal XX Februari 2010 dalam keadaan

beragama Islam;

Page 11 of 14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11

Page 97: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan bukti P9

dan keterangan 2 orang saksi yang menerangkan bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak

mempunyai isteri lain dan tidak mempunyai anak angkat, dan kedua orang tuanya telah

meninggal dunia lebih dahulu, maka diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I

DAN II ketika meninggal dunia hanya meninggalkan 4 (empat) orang anak yakni SAUDARA

PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama Islam,

SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II beragama

Islam;

Menimbang, bahwa dalam kasus BAPAK PEMOHON I DAN II ini, Majelis Hakim

menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang

terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka

Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II adalah

PEMOHON I dan PEMOHON II;

Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka

diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK

PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;

Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim

berpendapat, permohonan Pemohon dalam perkara ini harus dinyatakan terbukti dan patut

dikabulkan;

Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di

Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang

mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah SAUDARA

PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, tetap

berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli

waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas

dan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan bukti

P11 dan P12, maka diperoleh fakta hukum bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK

PEMOHON I DAN II meninggalkan harta warisan sebagaimana dalam bukti P11 dan P12

tersebut;

Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon dan keterangan Pemohon

I di persidangan diperkuat keterangan para saksi bahwa para Pemohon memerlukan Penetapan

Ahli Waris dari Pengadilan Agama untuk mengurus penjualan harta peninggalan dari IBU

PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Page 98: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka

penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari IBU

PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;

Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon

secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak

yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam

amar penetapan ini;

Mengingat segala peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yang

berkenaan dengan perkara ini;

MENETAPKAN

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menetapkan ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON

I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;

3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus

delapan puluh enam ribu rupiah);

Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada

hari ini Kamis tanggal X Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal XX Rabiul Akhir 1434

H oleh kami, HAKIM KETUA. sebagai Ketua Majelis, HAKIM ANGGOTA I dan

HAKIM ANGGOTA II., masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan tersebut

diucapkan pada hari itu juga oleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan terbuka untuk

umum dengan dibantu oleh PANITERA PENGGANTI. sebagai Panitera Pengganti serta

dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon;

Hakim Anggota Ketua Majelis

ttd ttd

ttd

Panitera Pengganti

ttd

Page 13 of 14

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13

Page 99: PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS …

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Rincian biaya perkara :1. Biaya administrasi Rp. 30.000,-2. Biaya Proses Rp. 50.000,-3. Biaya panggilan Rp. 95.000,-4. Biaya redaksi Rp. 5.000,- 5. M e t e r a i Rp. 6.000,-J u m l a h Rp. 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah)

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14