129
1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Di era globalisasi ini, ketika teknologi informasi mencapai kemajuan yang luar biasa, dan batas geografis serta kultural dan politik menjadi semakin cair, semangat untuk mengenal dan mempelajari bangsa, budaya dan bahasa lain pun meningkat. Kondisi ini menyebabkan komunikasi interkultural menjadi sangat penting. Di sinilah peran penerjemahan menjadi sentral, yaitu sebagai perantara komunikasi, baik dalam rangka alih teknologi, diplomasi, politik, ekonomi bahkan kesusastraan. Sebagai perantara dalam proses komunikasi, penerjemahan bertujuan memperoleh padanan bagi bahasa sumber (BSu) sehingga pesan yang terkandung dalam BSu dapat diungkap kembali di dalam bahasa sasaran (BSa) dan harus ditempatkan dalam konteks komunikasi,

Penerjemahan Proposal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penerjemahan dan pembahasannya

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Di era globalisasi ini, ketika teknologi informasi mencapai kemajuan

yang luar biasa, dan batas geografis serta kultural dan politik menjadi

semakin cair, semangat untuk mengenal dan mempelajari bangsa, budaya

dan bahasa lain pun meningkat. Kondisi ini menyebabkan komunikasi

interkultural menjadi sangat penting. Di sinilah peran penerjemahan

menjadi sentral, yaitu sebagai perantara komunikasi, baik dalam rangka

alih teknologi, diplomasi, politik, ekonomi bahkan kesusastraan.

Sebagai perantara dalam proses komunikasi, penerjemahan bertujuan

memperoleh padanan bagi bahasa sumber (BSu) sehingga pesan yang

terkandung dalam BSu dapat diungkap kembali di dalam bahasa sasaran

(BSa) dan harus ditempatkan dalam konteks komunikasi, khususnya

komunikasi kebahasaan (Hoed, dkk.,1993:1). Padanan menurut Hoed

adalah unsur bahasa sasaran yang mengandung pesan yang sama

dengan unsur bahasa sumber. Sumber bagi penjelasan Hoed tersebut

adalah teori penerjemahan yang dikembangkan oleh Eugene Nida dalam

buku-bukunya yang salah satunya berjudul Toward a Science of

Translating (1964: 165-167). Nida adalah salah seorang pakar sekaligus

praktisi penerjemahan yang mengedepankan upaya mereproduksi

2

kesepadanan dalam penerjemahan. Nida menggolongkan kesepadanan

ke dalam dua jenis, yaitu formal equivalence, atau kesepadanan yang

berorientasi pada bahasa sumber untuk menampilkan sebanyak mungkin

bentuk dan isi teks asli, dan dynamical equivalence, yang lebih

mengutamakan kesepadanan efek terhadap penerima atau kesepadanan

respon si penerima. Senada dengan Nida, Schneider ( 2007: 15-16) juga

menyatakan bahwa penerjemahan harus dilihat sebagai proses

mereproduksi kesepadanan di antara dua bahasa, sekaligus sebagai lalu-

lintas komunikasi antara dua budaya.

Dari beberapa definisi mengenai penerjemahan yang telah

disampaikan, dapat disimpulkan, bahwa penerjemahan pada dasarnya

adalah suatu aktivitas mereproduksi tanda dengan memerhatikan

kesepadanan, baik itu dari segi kebahasaan, kebudayaan, maupun pesan.

Namun pernyataan berbeda tentang penerjemahan dilontarkan oleh

Susan Bassnett, seorang pakar penerjemahan dari Inggris. Bassnett

mengatakan bahwa ada pergeseran dalam menyikapi penerjemahan

seiring dengan berubahnya sifat hubungan antar manusia di era global

sekarang ini. Penerjemahan tidak lagi dituntut untuk mereproduksi

kesepadanan sebagai hal yang utama namun justru mengupayakan

proses negosiasi dan transaksi antar bahasa dan antar budaya melalui

mediasi seorang penerjemah. Konsekuensi dari kenyataan tersebut

adalah terjadinya gejala penghilangan dan pengkhianatan karena ada

pergeseran atau penggeseran bobot (Bassnett, 2002:8).

3

Salah satu bentuk lain dari komunikasi antar budaya, yang juga

memainkan peranan penting dalam membangun saling pengertian antar

bangsa, adalah karya sastra (Fokkema/ Kunne Ibsch, 1977:1). Teeuw

(2003: 37-51) berdasarkan hasil studinya, memaparkan, bahwa makin

banyak peneliti sastra yang mempunyai keyakinan bahwa sastra harus

diteliti dan dipahami secara ilmiah dengan mengikutsertakan aspek

kemasyarakatannya, yaitu dengan memandangnya sebagai tindak

komunikasi, meski bukan komunikasi yang biasa bila dibandingkan

dengan tindak komunikasi lain. Lebih jauh Teeuw mengatakan bahwa

untuk memahami sastra sebagai tindak komunikasi, maka mendekati

sastra haruslah memerhatikan aspek komunikatifnya, yaitu sebagai tanda.

Sebagai tanda, sastra harus menempatkan bahasa sebagai faktor

terpenting yang bersifat kompleks dan beragam serta konvensi sastra

sebagai jalan masuk untuk memahami hakikat sastra itu sendiri. Eagleton

mengutarakan hal yang sama mengenai sifat unik sastra sebagai tindak

komunikasi dengan cara mengasingkan atau mengalienasi ujaran biasa

(1996:5). Dilihat dengan kacamata linguistik, karya sastra sebagai salah

satu bentuk komunikasi adalah parole, yaitu artikulasi invidual setiap

pengarang dalam memanfaatkan langue, yaitu konvensi sastra yang

tersedia untuk mencapai tujuan komunikasinya.

Keunikan karya sastra sebagai media komunikasi berpengaruh

terhadap prinsip-prinsip penerjemahannya. Seperti Saussure yang tidak

berminat meneliti parole, yang menurutnya tidak sistematis, Gadamer, dan

4

Nida (Lorenz, dalam Arnold,1996: 556-563) berpandangan kurang lebih

sama dengan Saussure, bahwa prinsip kesepadanan tidak dapat

diterapkan pada teks sastra, karena karya sastra adalah teks yang unik

(seperti parole), oleh sebab itu penerjemahan karya sastra pada dasarnya

adalah resepsi penerjemah terhadap karya tersebut. Sulitnya

menerjemahkan karya sastra menurut Iser (dalam Bassnett, 2002: 119)

adalah karena kalimat-kalimat dalam karya sastra tidak hanya berisi

pernyataan, namun mengarah pada sesuatu yang berada jauh di balik

yang dikatakan itu. Akibatnya dalam penerjemahannya mudah terjadi

pergeseran negatif seperti:

1. Kesalahan dalam penerjemahan informasi

2. „Subinterpretasi“ dari teks asli

3. Interpretasi yang dangkal dari hubungan-hubungan yang bersifat

intensional

Namun Schneider berpendapat, bahwa penerjemahan karya sastra masih

mungkin dilakukan, sejauh masih menyangkut tema yang universal dan

bergantung pada tingkat keterikatan karya tersebut dengan bahasa dan

lingkungannya (2007: 149).

Sebagai mediator komunikasi di era global ini, penerjemahan karya

sastra menghadapi tantangan, bukan hanya dari karakter sastra itu sendiri

sebagai media komunikasi yang tidak biasa, namun juga dari kondisi

pergaulan antar bangsa yang semakin cair tanpa sekat dan tanpa

5

hambatan. Pergerakan manusia yang semakin cepat, ketika jutaan orang

melakukan migrasi dan bertukar tempat, juga berimbas pada strategi

penerjemahan, khususnya karya sastra, dari yang berorientasi pada

kesepadanan ke orientasi negosiasi dan transaksi seperti yang

dikemukakan oleh Bassnett.

Banyaknya karya sastra asing dalam versi yang sudah diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia, terutama yang berasal dari bahasa Inggris,

memenuhi rak-rak toko buku, menunjukkan, bahwa penerjemahan karya

sastra di Indonesia sekarang ini cukup berkembang. Berkembangnya

penerjemahan karya sastra di Indonesia menjadikan kajian mengenai

penerjemahan menjadi penting untuk melihat: 1. Seberapa jauh penelitian

terhadap penerjemahan karya sastra telah dilakukan dan kenyataan apa

yang ditemukan, yang dapat berkontribusi pada pengembangan

penerjemahan karya sastra? 2. Bagaimana upaya para penerjemah,

khususnya penerjemah karya sastra dalam menyikapi dan menghadapi

tantangan-tantangan di era global ini?

Dari hasil penelusuran pustaka mengenai kajian penerjemahan karya

sastra terlihat bahwa tema kesepadanan dan pergeseran, baik itu yang

menyangkut struktur tekstual maupun kebahasaannya, menjadi objek

utama banyak peneliti. Dari Universitas Indonesia ditemukan beberapa

penelitian mengenai penerjemahan, diantaranya thesis I Dewa Gede

Windhu Sancaya dari Universitas Indonesia (UI), yang mengangkat

adaptasi cerita Sam Pek Eng Tay ke dalam kesusastraan Bali. Penelitian

6

lainnya adalah disertasi Titik Pudjiastuti tentang sejarah Banten, yang

merupakan kajian penerjemahan sekaligus tinjauan aksara. Kedua

penelitian tersebut lebih menitik beratkan pada struktur teks, bukan pada

aspek linguistik.

Beberapa kajian lain membahas tentang pergeseran dalam aspek

kebahasaan yang berhubungan dengan budaya, terutama dihubungkan

dengan hipotesis Sapir-Whorf mengenai Relativitas Bahasa. Penelitian

tersebut dilakukan antara lain oleh: Benny Hoedoro Hoed, juga dari UI,

yang mengupas secara mendalam fungsi kala dalam novel-novel

berbahasa Prancis dan padanannya dalam bahasa Indonesia; dan artikel

Frans Made Brata dalam Linguistik Indonesia, Tahun ke 26. No. 1,

Februari 2008, yang membahas tentang pergeseran makna beberapa

ungkapan bahasa Inggris dalam novel Mirror Image, karya Danielle Steel,

yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Meski bukan penelitian

terhadap penerjemahan karya sastra, penelitian yang dilakukan oleh Nurul

Murtadho dari UI atas penerjemahan metafora dalam Al Qur’an juga

menarik untuk dicermati. Murtadho menemukan beberapa macam

pergeseran yang terjadi dalam penerjemahan metafora yang

menyebabkan perubahan bentuk namun tidak menyebabkan perubahan

makna.

Penelitian-penelitian mengenai penerjemahan dengan fokus yang

berbeda ditemukan di Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar.

Thesis yang ditulis oleh O.J. Wehantouw (1988) mengkaji teori-teori

7

penerjemahan dan praktek penerjemahan untuk menemukan formula

yang tepat bagi pengajaran penerjemahan di tingkat perguruan tinggi.

Penelitian lainnya yang disusun dalam bentuk disertasi oleh Noer Jihad

Saleh (2007), memfokuskan kajiannya pada tingkat kemampuan

penerjemah-penerjemah di Makassar dalam menerjemahkan teks-teks

non sastra dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak seperti kebanyakan analisis penerjemahan yang pernah

dilakukan, khususnya di Indonesia, yang lebih berfokus pada aspek

linguistik, pembahasan mengenai penerjemahan yang agak berbeda

dilakukan oleh Farida Amalia dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),

Bandung. Dalam makalahnya (2009) Amalia mengangkat tema ideologi

dalam penerjemahan, dan mengarahkan fokus pembahasannya pada

penerjemah. Yang ia maksudkan dengan ideologi di sini adalah prinsip

atau keyakinan penerjemah tentang bentuk penerjemahan yang cocok

bagi masyarakat BSa. Isu ideologi dalam penerjemahan juga ditemukan

dalam sebuah kajian mengenai tulisan-tulisan Antonio Gramsci. Kajian

tersebut membahas antara lain tentang upaya sekularisasi dongeng anak-

anak yang dilakukan oleh Gramsci melalui penerjemahan dongeng-

dongeng dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Italia.

Ideologi dalam penerjemahan adalah isu yang menarik karena

mengangkat masalah nilai dan keyakinan. Isu tersebut menantang untuk

ditelusuri melalui penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, sekaligus

menantang untuk diteliti.

8

Namun, apa sebenarnya ideologi itu? Adakah ideologi dalam teks?

Bila ada, bagaimana ideologi bersembunyi dalam teks, khususnya karya

sastra, dan bisakah ideologi diterjemahkan?

Sebagai sebuah bentuk aktivitas kebudayaan, terlepas dari

perdebatan mengenai pengkategorisasiannya (kanon atau bukan kanon),

sastra merefleksikan kehidupan manusia dalam kerangka hubungan

dengan sesamanya (sosial) dan dengan lingkungannya. Eagleton

menganggap sastra bukanlah suatu kualitas inheren atau suatu set

kualitas yang ditampilkan jenis tulisan tertentu, melainkan cara yang

digunakan orang untuk menghubungkan dirinya ke tulisan. Pernyataan-

pernyataan, penggambaran tentang suatu keadaan, atau sudut pandang

yang digunakan untuk menilai sesuatu hal, bisa menunjukkan misalnya

keterhubungan si penulis dengan pengalaman formatif di masa kecilnya,

dan dengan beberapa faktor budaya lainnya. Struktur nilai dalam

lingkungan masyarakat yang terinternalisasi dalam diri si pengarang akan

memengaruhi pola pikir dan cara pandangnya sehingga memotivasi

pernyataan-pernyataan dalam karyanya. Eagleton menganggap struktur

nilai ini adalah bagian dari apa yang disebut ideologi. Menurutnya ideologi

adalah cara bagaimana kita mengatakan dan memercayai sesuatu

(seringkali di bawah sadar) berdasarkan keterhubungan kita dengan

struktur kekuasaan dan hubungan kekuasaan dengan masyarakat di

mana kita tinggal (1996: 17-20). Berkaitan dengan hubungan antara seni

(dalam hal ini sastra) dan ideologi, pernyataan Althusser memperkuat

9

pendapat Eagleton. Althusser dalam kumpulan essay yang berjudul

Tentang Ideologi (diterjemahkan dari Essays on Ideology) mengatakan

bahwa:

Ketika kita berbicara tentang ideologi, seharusnya kita tahu bahwa ideologi menyelipkan diri pada segala aktivitas manusia, bahwa ideologi identik dengan pengalaman hidup dari eksistensi manusia itu sendiri: itulah sebabnya bentuk yang membuat kita melihat ideologi dalam pelbagai novel besar, dalam kandungannya dimuati pengalaman hidup pelbagai individu. (Althusser, 1984: 189)

Upaya penelusuran ideologi dalam teks dimulai dengan kemunculan

teori kritis yang dicanangkan oleh Jürgen Habermas, salah seorang

anggota Mazhab Frankfurt. Habermas berusaha mempertautkan antara

teori dan praksis dalam dunia ilmu. Upaya tersebut merupakan dialektika

antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang empiris. Wujud

dari hasil dialektika tersebut adalah lahirnya kritik ideologi yang bertujuan

untuk melakukan refleksi diri. Habermas menolak pandangan yang

bersifat positivistik yang cenderung menggeneralisasi fenomena-

fenomena dalam kehidupan ini. Konsep pemikiran Habermas berangkat

dari teori Marxis mengenai kerja dan perjuangan kelas. Sasaran kritik

ideologi adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Kritik

ideologi kemudian berkembang menjadi analisis linguistik dengan cara

penelitian yang mendasarkan penafsiran pada teks yang bertujuan untuk

menyingkap makna yang ada di baliknya. Foucault menghubungkan

ideologi dengan kekuasaan, yaitu jaringan kekuatan yang tidak tampak,

namun terasa mendesak dan menyusup lalu terjalin kuat dengan gerak-

10

gerik dan ucapan-ucapan kita. Foucault lebih suka menggunakan istilah

ideologi sebagai wacana yaitu penggunaan bahasa yang aktual antar

subjek untuk memproduksi efek tertentu. Jadi dapat dikatakan, bahwa

ideologi adalah fungsi yang ditunjukkan oleh hubungan-hubungan yang

ada dalam tuturan terhadap konteks sosialnya. Sedangkan Althusser

mengatakan, bahwa ideologi adalah sistem representasi, yang lebih

mengekspresikan keinginan, harapan atau kenangan daripada

menggambarkan realitas, namun dengan cara yang seolah-olah

menampilkan yang sesungguhnya. (Eagleton, 1991: 7-19; Barker, 2003:

77).

Berbicara mengenai bagaimana ideologi bersembunyi dalam teks

sedikit banyak dipengaruhi oleh konsep mengenai false consciousness

yang berasal dari paham Marxisme, yang juga memengaruhi pemikiran

Althusser dan Lukacs. Marx mencoba menyatukan prinsip idealisme dan

materialisme. Menurut Marx false consciousness hadir di antara kedua

prinsip tersebut dalam bentuk representasi. Representasi inilah yang

sebenarnya dimaksudkan sebagai mediator antara ide dan materi, namun

kemudian berkembang menjadi idealisasi atau fetisisasi yang rentan

dimanfaatkan oleh kekuasaan (Foucault) atau tujuan-tujuan tersembunyi

lainnya dengan cara memanipulasi komunikasi atau bahasa (Hawkes,

1996: 90-95). Jadi ideologi sebenarnya bersembunyi di balik struktur, baik

itu kebahasaan maupun struktur teks.

11

Ideologi sebagai bagian dari jati diri manusia, sebagai cara

memandang dunia yang dibentuk melalui proses internalisasi kegiatan

kebudayaan (Althusser) dan berkaitan dengan hubungan kekuasaan

dengan masyarakat (Marx, Foucault, Eagleton), menjadi aspek yang juga

penting untuk ditelusuri dan dipahami melalui penerjemahan karya sastra

sebagai kontribusi pada kegiatan komunikasi interkultural.

Anne Cluysenaar (Bassnett, 2002: 83), seorang pakar penerjemahan

dari Belanda, menyampaikan bahwa penerjemahan karya sastra

seringkali hanya bertolak dari pendekatan strukturalisme terhadap karya

sastra, yang memandang karya sastra hanya sebagai sebuah teks yang

dibangun oleh seperangkat sistem yang saling berhubungan. Akibatnya

hubungan dialektis yang terjalin antara teks dengan faktor-faktor dari luar

yang menentukan eksistensi karya tersebut terabaikan.

Sebuah analisis yang dilakukan Bassnett terhadap sebuah novel

berbahasa Jerman karya Thomas Mann yang berjudul Der Zauberberg

yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Magic

Mountain, memperlihatkan kecenderungan yang digambarkan Cluysenaar

di atas. Bassnett memberikan contoh tentang hilangnya nuansa

pergumulan ideologis sang tokoh utamanya. Pergumulan tersebut

direduksi dalam versi terjemahan berbahasa Inggris menjadi hanya

penggambaran geografis dan pergerakan sang tokoh dari satu tempat ke

tempat yang lain. Pergeseran tersebut terjadi menurutnya karena

penerjemah, selain tidak menguasai dengan baik bahasa Jerman, ia juga

12

tidak memahami latar belakang Mann, termasuk gaya berceritanya.

Bassnett menunjukkan contoh potongan terjemahan novel karya Tomas

Mann tersebut yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul

The Magic Mountain:

Ein einfacher junger Mensch reiste im Hochsommer von Hamburg, seiner Vaterstadt, nach Davos-Platz im Graubündischen. Er fuhr auf Besuch für drei Wochen.

Von Hamburg bis dorthinauf, das ist aber eine weite Reise; zu weit eigentlich im Verhältnis zu einem so kurzen Aufenthalt. Es geht durch mehreren Herren Länder, bergauf und bergab, von der Süddeutschen Hochebene hinunter zum Gestade des Schwäbischen Meeres und zu Schiff über seine springende Wellen hin, dahin über Schlünde, die früher für unergründlich galten

An unassuming young man was travelling in midsummer, from his native city of hamburg to Davos-Plaz in the Canton of Grisons, on a three week’s visit.

From Hamburg to Davos is a long journey – too long, indeed, for so brief a stay. It crosses all sorts of country; goes up hill and down dale, descends from the plateaus of Southern Germany to the shores of Lake Constance, over its bounding waves and on across marshes once thought to be bottomless. (Bassnett, 2002: 115)

Bassnett memahami gaya menulis Mann yang menggabungkan gaya liris

ke dalam gaya prosaik, seperti yang ia tunjukkan dengan penggunaan

nomina Gestade, yang berarti pantai, yaitu kata yang populer digunakan di

abad ke delapanbelas. Kata Gestade kemudian hanya digunakan dalam

ungkapan-ungkapan puitis dalam karya sastra. Sinonim kata Gestade

adalah Küste, yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Küste

inilah yang lalu diterjemahkan menjadi shore. Lebih dari itu, Bassnett juga

melihat kalimat-kalimat pembuka dalam novel tersebut sebagai kunci

13

untuk memahami cerita selanjutnya, yaitu mengenai perjalanan hidup

seorang laki-laki yang berjuang untuk menemukan jati dirinya.

Penggambaran dramatis dari beberapa tempat yang disebutkan adalah

simbol pergumulan ideologis yang terombang ambing antara dua kutub

yang berlawanan, seperti sehat dan sakit, hidup dan mati, demokrasi dan

reaksi. Namun versi terjemahan kalimat pembuka tersebut menurut

Basnett direduksi menjadi hanya penggambaran geografis dan

pergerakan sang tokoh dari satu tempat ke tempat yang lain yang menjadi

terkesan berlangsung cepat melalui penggabungan dua kalimat dalam

Bahasa sumber (BSu) menjadi satu kalimat dalam Bahasa sasaran (BSa)

dan pemangkasan frasa zu Shiff (by boat). Selain itu kompetensi

penerjemah yang terbatas menyebabkan pergeseran yang signifikan yang

ditunjukkan oleh kekeliruan penerjemahan nomina Schlünde menjadi

marshes. Schlünde bisa bermakna ganda, yaitu tepi jurang atau

keputusasaan, sehingga padanan yang tepat seharusnya abysses yang

juga bisa bermakna figuratif, bukan marhes (ibid: 114-116). Bassnett

telah menunjukkan, bahwa perubahan kebahasaan secara sintagmatik

dan paradigmatik serta stilistik, seperti yang diperlihatkan oleh contoh

analisis di atas, dapat mengaburkan kandungan ideologis yang tersirat

dalam teks.

Kajian lain yang juga menyoroti masalah ideologi dalam penerjemahan

karya sastra dilakukan oleh Lucia Borghese (dalam Ives and Lacorte,

2010: 150-155), seorang peneliti dari Italia, yang meneliti dongeng-

14

dongeng yang diterjemahkan oleh Gramsci. Dalam dongeng yang

diterjemahkan oleh Gramsci, Borghese melihat tendensi sekularisasi

terhadap kumpulan dongeng tersebut. Gramsci menurut Borghese,

berusaha menggeser ideologi religius menjadi sekuler dengan cara

mengganti atau menghilangkan kata-kata, frasa-frasa atau kalimat-kalimat

yang berkonotasi religius menjadi rasional. Berikut adalah contohnya:

Hänsel und Gretel

„Sei getröst liebe Schwesterchen, und schlaf nur ruhig ein, Gott wird uns nicht verlassen“ (Ives & Lacorte, 2010: 152).

[„Jangan sedih adikku sayang, tidurlah dengan tenang, Tuhan tidak akan meninggalkan kita.“ (penulis)]

„Cara sorellina, consolati e dormi tranquilla: tutto andrá bene per noi .“ (ibid: 152).

„Be easy, dear little sister, and go to sleep quietly; everything will be fine for us .“ (ibid:152)

Frasa Gott wird uns nicht verlassen (Tuhan tidak akan meninggalkan kita) diganti dengan frasa tutto andrá bene per noi yang berarti everything will be fine for us (semua akan baik-baik saja).

Brüderchen und Schwesterchen

Abends, wenn Schwesterchen müde war und sein Gebet gesagt hatte, legte es seinen Kopf auf den Rücken des Rehkälbchens (Ives & Lacorte, 2010: 152)

[Malam hari, ketika si adik merasa lelah dan mengucapkan doanya, ia baringkan kepalanya di atas punggung rusa (penulis)].

Alla sera, quando sorellina era stanca (...), metteva la sua testina sulla spalla del capriolono (ibid: 152)

15

In the evening, when the sister was tired (...), she laid her head upon the roe’s back (ibid:152)

Pada contoh ini, frasa und sein Gebet gesagt hatte (dan mengucapkan

doanya), tidak diterjemahkan.

Kasus lain yang menarik adalah kajian yang dilakukan oleh Kate

James dari Kanada dalam jurnal penerjemahan Translation Journal and

the Author, 2011 (http://translationjournal.net/journal/56feminine.htm Last

updated on: 03/18/2011 19:02:25), dengan judul Speaking in the

Feminine: Consideration for Gender-Sensitive Translation.

Pembahasan James mengenai isu gender dalam penerjemahan

berangkat dari kegalauan Susanne de Lotbinière-Harwood, seorang

penerjemah karya sastra asal Kanada. Harwood menerjemahkan

kumpulan puisi karya Lucien Francoeur yang berjudul Neons in the Night

dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Hasil pengkajian James

terhadap penerjemahan yang dilakukan oleh de Lotbiniére-Harwood

memperlihatkan contoh yang representatif mengenai upaya kompromi

antara pandangan hidup penerjemah sebagai seorang yang gender-

sensitive dengan ideologi maskulin si pengarang agar tetap dapat

mempertahankan gambaran tokoh petualang seks dalam puisi yang

tersebut. Berikut adalah salah satu puisi dari kumpulan Neons in the Night

karya Lucien Francoeur yang diterjemahkan oleh de Lotbiniére-Harwood.

16

'Wonderwoman'

la blonde têtue fofolle ricaneuse

dans ses cheveux

je l'attends au tornant

[.........]

naïade naïve femme sex-o-fun

elle me happe les parties

me lappe les rappels

me tombe sur le cœur

(lui ai dit de me crisser la paix

baisser la culotte

me montrer son vrai visage)

the blonde stubborn barbie-brained giggly

in her hair

i lie in ambush

[.........]

naïve naiade sex-o-fun femme

she snatches my parts

laps up my encores......

she's a heartburner

(told her to fuck off

pull down her pants

show me her true self)

(Francoeur, 1973) (translation: de Lotbinière-Harwood, 1979)

Menurut James kompromi yang dilakukan de Lotbiniére-Harwood

tergambar jelas pada ungkapan 'fofolle ricaneuse' [gloss: scatty

giggler/giggly] yang diterjemahkan menjadi 'barbie-brained giggly'.

Ungkapan yang dipilih de Lotbiniére-Harwood berdasar pada stereotipe

mengenai perempuan pirang berotak kosong, yang direpresentasikan oleh

nama boneka yang telah dikenal secara luas. Upaya-upaya itulah yang

membuat de Lotbiniére-Harwood merasa tertekan ketika ia

menerjemahkan kumpulan puisi karya Francoeur.

17

Contoh-contoh tersebut memperlihatkan, bahwa melalui kajian yang

berfokus pada aspek ideologis dalam penerjemahan karya sastra, cara

pandang terhadap teks dapat dilihat: (1). apakah hanya sebagai rangkaian

sistem tanpa kedalaman makna seperti pada kasus penerjemahan karya

Thomas Mann, atau (2). sebagai kendaraan ideologis untuk menanamkan

gagasan atau cara pandang yang kita yakini, seperti yang dilakukan oleh

Gramsci, atau (3). sebagai tempat negosiasi, bahkan pertarungan ideologi

seperti dalam kasus yang diteliti oleh James. Selain itu, melalui contoh-

contoh penelitian yang telah dipaparkan, terlihat ada pergeseran cara

pandang bagaimana seharusnya penerjemahan dilakukan. Nida

mensyaratkan keparipurnaan pengetahuan, baik mengenai BSu maupun

BSa, mengenal secara dekat permasalahan yang dibicarakan, memiliki

empati terhadap penulis teks sumber dan isinya, dan memiliki

kemampuan stilistika dalam BSa (1964: 153). Nida masih sangat

berorientasi pada penulis dan teks BSu.

Newmark (1988), seperti yang dikutip oleh Ida Bagus Putra Yadnya

(2006:7-9), justru menggeser orientasi penerjemahan ke teks dan

pembaca BSa dengan mempertimbangkan adanya implikasi budaya

dalam terjemahan yang kemunculannya dapat berbentuk lexical content,

sintaksis bahkan ideologi dalam budaya tertentu. Karena itu penerjemah

menurutnya harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada

aspek-aspek budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek

tersebut perlu atau diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa

18

sasaran. Namun Michael Cronin, seorang pakar penerjemahan dari

Irlandia, dalam bukunya Translation and Globalization, mengarahkan

perhatian pada penerjemah dengan berpendapat bahwa penerjemah

seperti halnya setiap kelompok profesional dalam bidang ilmu-ilmu sosial

dan humaniora dibedakan satu dari yang lainnya tidak dari apa yang

harus mereka lakukan, namun dari apa yang dapat mereka lakukan.

Cronin bahkan menganjurkan para penerjemah untuk menunjukkan

identitas dirinya bukan malah menutupinya, karena mereka sebagai

penerjemah memiliki hak tawar yang dilegitimasi untuk melakukan campur

tangan dalam bidang budaya, kemasyarakatan dan politik dan

menggunakan kesempatan ini untuk mengubah cara pandang terhadap

praktek penerjemahan, dan mendidik masyarakat yang lebih luas (Cronin,

2003: 67). Cronin juga Bassnett melihat pentingnya kehadiran (visibility) si

penerjemah dalam teks yang direproduksinya, seperti yang dilakukan oleh

Gramsci dan de Lotbiniére-Harwood.

B. Identifikasi Masalah

Kajian-kajian mengenai penerjemahan karya sastra yang telah secara

singkat disinggung, membuktikan bahwa kesepadanan dan pergeseran

sama-sama mungkin terjadi dalam penerjemahan karya sastra. Kajian-

kajian yang dilakukan di luar negri bahkan telah menemukan pergeseran

ideologi. Penelitian mengenai masalah ideologi dalam penerjemahan

penting untuk dikembangkan, karena penelitian ini meliputi aspek

kebahasaan pada tataran sintagmatik dan paradigmatik, aspek konteks

19

yang menyangkut karya yang diteliti, termasuk di dalamnya pengarang,

serta aspek penerjemah sebagai mediator. Berangkat dari kajian awal

mengenai teori dan praksis penerjemahan karya sastra, dihasilkan

asumsi-asumsi dasar, yaitu:

1. Perbedaan sistem kebahasaan, dan kebudayaan antara yang

melatarbelakangi teks BSu dengan teks BSa menyebabkan

pergeseran bentuk dan makna kebahasaan yang dapat

mengakibatkan pergeseran ideologi yang terkandung dalam Teks

BSu ke bentuk yang berbeda dalam teks BSa.

2. Pengarang dengan seluruh konteks individual maupun sosial yang

memengaruhi sekaligus memotivasi tulisannya meninggalkan jejak-

jejak ideologis dalam karyanya.

3. Penerjemah dengan kompetensi kebahasaan dan kebudayaan BSu

dipadukan dengan konteks individual dan sosial yang memengaruhi

pemikirannya, juga berpotensi menggeser ideologi dalam teks BSu.

4. Pergeseran cara pandang terhadap penerjemahan dari

pengutamaan kesepadanan ke bentuk negosiasi dan transaksi di

era global ini bahkan secara teoritis melegitimasi pergeseran

ideologi dalam penerjemahan, khususnya karya sastra.

Dari keempat asumsi dasar di atas dapat dilihat, bahwa setidaknya ada

dua jenis pergeseran ideologi yang mungkin terjadi, yaitu: 1. pergeseran

ideologi kolektif yang berhubungan dengan perbedaan sistem kebahasaan

20

dan kebudayaan; 2. pergeseran ideologi invidual yang berhubungan

dengan pengarang dan penerjemah.

Keempat asumsi dasar tersebut melatarbelakangi penelitian ini yang

menitik beratkan pembahasan pada pergeseran ideologi yang terjadi

dalam penerjemahan karya sastra. Kajian ini penting untuk dilakukan

karena dapat menunjukkan setidaknya beberapa hal mendasar dalam

penerjemahan karya sastra yang berkaitan dengan aspek kebahasaan

dan aspek penerjemah, seperti:

1. Tingkat kesepadanan secara kebahasaan pada tataran sintagmatik

dan paradigmatik, seperti yang diperlihatkan melalui analisis

Bassnett terhadap penerjemahan karya Thomas Mann Der

Zauberberg ke dalam bahasa Inggris.

2. Tingkat kesepadanan aspek-aspek struktural yang berkaitan

dengan genre teks. Penerjemahan yang dilakukan Gramsci,

misalnya, mengubah gambaran tokoh dalam cerita, dari religius

menjadi rasional.

3. Nilai-nilai ideologis yang menjadi pegangan penerjemah seperti

yang dikemukakan oleh Borghese yang meneliti karya-karya

Gramsci, bahkan pertarungan ideologis antara yang tersirat dalam

teks BSu dengan yang diyakini oleh penerjemah, seperti penelitian

Kate James terhadap penerjemahan yang dilakukan oleh de

Lotbiniére-Harwood.

21

Sejauh yang dapat ditelusuri, di Indonesia penelitian terhadap

penerjemahan karya sastra yang membahas masalah ideologi secara

komprehensif belum ada. Penelitian-penelitian yang dilakukan di luar

negeri, seperti yang telah disinggung tentu berada dalam konteks yang

berbeda baik itu secara kebahasaan maupun kebudayaan. Karena itu,

penelitian mengenai pergeseran ideologi ini penting dilakukan di Indonesia

untuk melihat sejauh mana perkembangan penerjemahan, khususnya

penerjemahan karya sastra, di Indonesia dikaitkan dengan era

globalisasi, era keterbukaan informasi sekaligus era persaingan bebas.

Penelitian ini akan diarahkan pada masalah pergeseran ideologi dalam

penerjemahan karya sastra, khususnya karya sastra yang berjenis prosa,

dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Pemilihan jenis prosa

didasari oleh antara lain pertimbangan teknis, bahwa secara kuantitatif

penerjemahan karya berjenis prosa lebih banyak dijumpai, meski untuk

penerjemahan karya sastra dari bahasa Jerman ke dalam bahasa

Indonesia masih sangat kurang. Pemilihan penerjemahan karya sastra

dari bahasa Jerman ke Indonesia didasarkan pada latar belakang peneliti

yang berasal bidang Bahasa dan Sastra Jerman.

Penelitian akan dilakukan pada tiga buah novel berbahasa Jerman,

beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yaitu 1. Die

Verwandlung karya Franz Kafka yang diterjemahkan dengan judul

Metamorfosis, 2. Und Friede auf Erden karya Karl May yang

diterjemahkan dengan judul Dan Damai di Bumi, dan Herr der Diebe karya

22

Cornelia Funke, yang diterjemahkan dengan judul Pangeran Pencuri.

Ketiga judul dari tiga penulis itu dipilih dengan mempertimbangan posisi

terhormat ketiga pengarang tersebut dalam khasanah kesusastraan

Jerman. Menarik untuk diteliti bagaimana karya mereka diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia, bahasa yang memiliki sistem yang sangat

berbeda dari bahasa Jerman. Selain itu ketiganya berasal dari masa yang

berbeda, yaitu akhir abad 19, awal abad 20 (May dan Kafka), dan abad 21

(Funke), dengan pandangan hidup yang sangat berbeda satu dari yang

lainnya yang tercermin dari karya mereka. Tentu menarik meneliti,

bagaimana cara pandang, nilai-nilai yang mereka yakini, harapan-harapan

sekaligus kegelisahan-kegelisahan mereka diungkapkan kembali dalam

bahasa Indonesia, bahasa yang memiliki struktur yang sangat berbeda

dari bahasa Jerman, bahasa yang digunakan para penulis tersebut untuk

mengekspresikan pengalaman dan pandangan-pandangannya.

C. Pembatasan Masalah

Permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah

pergeseran ideologi dalam penerjemahan karya sastra, khususnya dari

bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini akan mencakup

analisis kebahasaan pada tataran sintagmatik dan paradigmatik, dan

konteks seputar karya asli, yaitu: Die Verwandlung karya Franz Kafka;

Und Friede auf Erden karya Karl May; dan Herr der Diebe karya Cornelia

23

Funke, dan peran penerjemah. Secara spesifik masalah yang diteliti

adalah:

1. Pergeseran bentuk kebahasaan apa saja yang terjadi pada tataran

sintagmatik dan paradigmatik akibat penerjemahan ketiga teks asli

berbahasa Jerman (BSu) tersebut ke dalam bahasa Indonesia?

2. Bagaimana pergeseran aspek kebahasaan dapat menyebabkan

pergeseran ideologi dalam teks BSu?

3. Bentuk-bentuk pergeseran ideologi apa saja yang terjadi pada teks

BSu?

4. Bagaimana peran penerjemah terhadap pergeseran ideologi

tersebut?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk:

1. Menginventarisasi dan mengkategorisasi data mengenai

pergeseran-pergeseran kebahasaan dalam penerjemahan tiga

buah roman berbahasa Jerman (Die Verwandlung karya Franz

Kafka; Und Friede auf Erden karya Karl May; dan Herr der Diebe

karya Cornelia Funke) ke dalam bahasa Indonesia. Langkah ini

ditempuh untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai

bentuk-bentuk pergeseran kebahasaan yang terjadi pada tataran

sintagmatik dan paradigmatik.

24

2. Menganalisis secara intertekstual, bagaimana terjadinya

pergeseran ideologi pada ketiga karya tersebut dengan cara

menghubungkan bentuk-bentuk perubahan kebahasaan dengan

konteks yang melatarbelakangi setiap karya.

3. Menganalisis bentuk-bentuk pergeseran ideologi yang terjadi.

4. Menganalisis bagaimana bentuk peran penerjemah ketiga karya

tersebut terhadap pergeseran ideologi, apakah karena

keterbatasan kompetensi, atau karena motif pribadi, atau karena

sebab lain yang mungkin akan ditemukan dalam penelitian.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan:

1. Untuk memperluas teori penerjemahan karya sastra yang sudah

ada dengan menjadikan masalah ideologi sebagai fokus.

2. Sebagai bahan evaluasi terhadap hasil penerjemahan karya sastra

yang sudah ada,

3. dan bahan rujukan bagi penerjemah untuk mengoreksi sendiri hasil

terjemahannya.

4. Sebagai bahan untuk menumbuhkan kesadaran dan sikap kritis

masyarakat ketika membaca karya sastra versi terjemahan, agar

tidak melakukan penilaian terhadap kelompok masyarakat yang

bahasanya menjadi BSu suatu karya, hanya berdasarkan karya

versi terjemahannya.

25

5. Untuk memperkaya bahan pembelajaran penerjemahan di tingkat

perguruan tinggi.

F. Outcome

Dampak yang diharapkan muncul dari hasil penelitian ini adalah

berkembangnya penerjemahan karya sastra di Indonesia menjadi lebih

berkualitas, dalam arti berkarakter dan beridentitas jelas. Menjadikan

ideologi sebagai orientasi dalam menerjemahkan suatu teks, khususnya

karya sastra, menuntut selain kompetensi BSu dan BSa, juga

pengetahuan yang luas mengenai konteks yang melatarbelakangi sebuah

karya. Karena itu hasil penelitian inipun akan memotivasi penerjemah

untuk terus mengembangkan kompetensinya, serta bekerja lebih

profesional dengan membiasakan diri untuk melakukan riset terlebih

dahulu terkait teks yang akan diterjemahkannya.

26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Penelitian ini berada dalam kerangka konseptual yang terbangun dari

teori-teori penerjemahan, pergeseran dalam penerjemahan, teori

hubungan sintagmatik dan paradigmatik dari Saussure, teori

Intertekstualitas, teori-teori ideologi, dan teori mengenai hubungan antara

kesusastraan dengan ideologi. Kajian tentang pergeseran ideologi dalam

penerjemahan karya sastra ini berangkat dari teori-teori mengenai

penerjemahan yang dari waktu ke waktu mengalami pergeseran cara

pandang terhadap bagaimana seharusnya penerjemahan yang baik.

Pergeseran fokus dalam penerjemahan dari prinsip kesepadanan (Nida,

Schneider, Hoed) ke prinsip negosiasi, transaksi dan kompromi (Gramsci,

Bassnett, Cronin) di era global ini memengaruhi praktik penerjemahan.

Selain itu, penerjemahan sendiri sebagai kegiatan pengalihbahasaan telah

membawa potensi dalam dirinya sebagai penyebab pergeseran, baik

dalam aspek kebahasaan, kebudayaan, struktur teks, dll. Gejala

pergeseran itu terjadi karena penerjemahan adalah kegiatan yang

kompleks, yang melibatkan banyak hal, seperti:

a. dua sistem tanda (bahasa) yang berbeda,

27

b. latar belakang budaya yang juga berbeda yang memperlihatkan

cara pandang penuturnya yang berbeda pula, seperti yang

dikatakan dalam hipotesis Sapir-Whorf yang termasyhur itu.

c. pengarang yang memiliki pandangan hidup tertentu, yang

memengaruhi karyanya, baik dalam hal kreatifitas penggunaan

bahasa, maupun dalam hal mengeksplorasi struktur karyanya,

d. penerjemah yang berlatar belakang bahasa dan budaya yang

berbeda dari pengarang, yang memiliki pandangan hidup tertentu,

serta tingkat kemampuan tertentu dalam menerjemahkan sebuah

karya, dan

e. penerbit dengan orientasi pasarnya, yang tentu juga

berkepentingan terhadap bentuk sebuah penerjemahan.

1. Teori-teori Penerjemahan

Sebagai perantara dalam proses komunikasi, penerjemahan (Hoed,

dkk.,1993:1) bertujuan memperoleh padanan bagi bahasa sumber (BSu)

sehingga pesan yang terkandung dalam BSu dapat diungkap kembali di

dalam bahasa sasaran (BSa) dan harus ditempatkan dalam konteks

komunikasi, khususnya komunikasi kebahasaan. Menurut Hoed padanan

adalah unsur bahasa sasaran yang mengandung pesan yang sama

dengan unsur bahasa sumber. Kesepadanan diukur tidak hanya dengan

makna unsur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga dengan pemahaman

suatu terjemahan oleh penerimanya. Penjelasan Hoed tersebut dapat

28

ditelusuri pada teori penerjemahan yang dikembangkan oleh Eugene Nida

dalam bukunya yang berjudul Toward a Science of Translating (1964:

165-167). Menurut Nida penerjemahan adalah attemps to reproduce

equivalence (upaya mereproduksi kesepadanan). Kesepadanan

(equivalence) dalam penerjemahan oleh Nida digolongkan ke dalam dua

jenis, yaitu:

1. Formal equivalence, atau kesepadanan yang berorientasi pada

bahasa sumber untuk menampilkan sebanyak mungkin bentuk dan

isi teks asli, jadi sifatnya sedikit banyak literal, dan

2. Dynamical equivalence, yang lebih mengarahkan pada

kesepadanan efek terhadap penerima atau kesepadanan pada

respon yang diharapkan. Bentuk dapat saja berubah, namun

sedapat mungkin setara.

Pada jenis kesepadanan yang ke dua, Nida menyiratkan pentingnya

pemahaman akan budaya si pengguna BSa. Bentuk dapat saja berubah

karena sistem kebahasaan dan kemasyarakatan yang sangat berbeda

antara BSu dan BSa, namun efek yang sepadanlah yang menjadi tujuan

utama. Sejalan dengan Nida, Schneider ( 2007: 15-16), meskipun

membagi definisi penerjemahan ke dalam dua pernyataan, namun

sebenarnya menegaskan bahwa penerjemahan harus dilihat sebagai

proses mereproduksi kesepadanan di antara dua bahasa, sekaligus

sebagai lalu-lintas komunikasi antara dua budaya:

29

a. Übersetzung wird als ein Vorgang dargestellt, durch den Äquivalenzen zwischen zwei Sprachen hergestellt wird.

b. Übersetzung wird als ein Verkehr zwischen zwei Kulturen angesehen.

a. Penerjemahan digambarkan sebagai sebuah kegiatan yang menghasilkan kesepadanan-kesepadanan antara dua bahasa.

b. Penerjemahan dianggap sebagai lalu-lintas pertukaran dua budaya.

Wolfram Wills mendefinisikan penerjemahan sebagai kegiatan yang

berorientasi, baik pada teks BSu maupun pada teks dan pembaca teks

BSa dan terikat secara situatif, harus memiliki fungsi yang jelas, dilakukan

dengan penuh kesadaran, terencana dengan baik dan dapat dikontrol,

serta bertujuan memungkinkan terbangunnya saling pengertian antar

penutur bahasa dan kelompok kultural.yang berbeda:

Übersetzen ist eine sowohl auf den Ausgangstext als auch auf den Zieltext-Leser/- Leserschaft gerichtete, situativ eingebundene Tätigkeit, die funktionsbestimmt ist, bewußt, planmäßig und kontrollierbar abläuft und den Zweck hat, Verständigung zwischen den Angehörigen verschiedener Sprach-, Kommunikations- und Kulturgemeinschaften zu ermöglichen (1996: 3).

Penerjemahan adalah kegiatan yang berorientasi baik pada teks sumber, maupun pada teks bahasa sasaran atau pembaca teks bahasa sasaran. Kegiatan ini terikat secara situatif, jelas fungsinya, , terencana dan terkontrol, serta memiliki tujuan tertentu, yaitu membangun terciptanya saling pengertian di antara masyarakat-masyarakat penutur bahasa dan budaya yang berbeda.

Prinsip ekivalensi atau kesepadanan bagi Wills dianggap masih harus

dijelaskan lagi, karena menurutnya kesepadanan bersifat kreatif, sehingga

kita tidak dapat memaknainya secara ontologis, melainkan situatif.

Sebagai contoh ia menunjuk karya sastra sebagai jenis teks yang khas. Ia

mempertanyakan ukuran kesepadanan yang dituntut oleh pihak mana

30

yang harus dipenuhi ketika kita menerjemahkan karya sastra, penerbitkah,

penuliskah, penerjemahkah, pembaca teks BSa kah, atau semangat

zaman tertentu? Wills (1996: 16-28), berangkat dari pengalaman

empirisnya, mengatakan bahwa penerjemahan adalah proses membuat

keputusan, untuk itu penerjemah dibantu oleh beberapa pertanyaan untuk

menuntunnya bekerja, yaitu: mengapa dan untuk apa sebuah teks harus

diterjemahkan; apa temanya dan ditujukan pada pembaca yang mana;

bagaimana menyusun teks tersebut secara semantis, fungsional,

pragmatis dan retoris-stilistis?. Meski secara eksplisit Wills

mempertanyakan prinsip kesepadanan yang dianjurkan oleh beberapa

pakar penerjemahan, namun dalam pernyataannya yang lain, secara

implisit, ia menganjurkan kita untuk kembali pada contoh dasar normatif,

yaitu teks BSu, terutama untuk penerjemahan karya sastra :

Für den literarischen Übersetzer gibt es kein „poetologisches Gesetz“ oder eine „literarische Norm“, an die er sich zu halten hat. Er sieht sich vielmehr mit einem breiten Spektrum vielfältiger, möglicherweise widerspruchvoller Vorgaben und Erwartungen konfrontiert, die man u.U. auf normative Grundmuster zurückführen kann,....(1996: 18).

Bagi penerjemah karya sastra tidak dikenal istilah aturan poetologis, atau norma sastra tertentu yang harus menjadi pegangan. Ia melihat dengan spektrum yang lebih luas, kendala dan harapan yang berdimensi rumit, bahkan mungkin saling bertentangan, yang dalam kondisi tertentu dapat dikembalikan ke contoh dasar normatifnya.

Dengan pernyataan tersebut Wills sebenarnya masih memandang prinsip

kesepadanan sebagai jalan kembali dengan menjadikan teks BSu sebagai

31

modelnya, terutama pada penerjemahan karya sastra, yang diakuinya

tidak mudah.

Dari beberapa definisi mengenai penerjemahan yang telah

disampaikan, dapat disimpulkan, bahwa penerjemahan pada dasarnya

adalah suatu aktivitas mereproduksi tanda dengan memerhatikan

kesepadanan, baik itu dari segi kebahasaan, kebudayaan, maupun pesan

dan efeknya.

Namun, berkaitan dengan kondisi di era global ini, pernyataan

Bassnett mengenai penerjemahan cukup mengejutkan. Ia mengatakan

bahwa:

Today the movement of peoples around the globe can be seen to mirror the very process of translation itself, for translation is not just the transfer of texts from one language into another, it is now rightly seen as a process of negotiation between texts and between cultures, a process during which all kinds of transactions take place mediated by the figure of the translator (2002: 6)

Dalam pernyataannya tersebut, Bassnett ingin menunjukkan, bahwa ada

pergeseran dalam menyikapi penerjemahan seiring dengan berubahnya

sifat hubungan antar manusia sekarang ini. Penerjemahan tidak lagi

memegang prinsip equivalence atau kesepadanan sebagai hal yang

utama, justru sebaliknya, menempuh proses negosiasi dan transaksi antar

bahasa dan antar budaya melalui mediasi seorang penerjemah.

Konsekuensi dari kenyataan tersebut adalah terjadinya gejala

penghilangan dan pengkhianatan (there has been lost and betrayed)

32

karena ada pergeseran atau penggeseran bobot (the shift of emphasis).

Namun di sisi lain Bassnett (ibid,: 1) juga melihat gejala, bahwa globalisasi

menghidupkan kembali minat pada pencarian budaya asal dan jati diri,

serta keinginan untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang identitas.

Masalah penggambaran identitas melalui penerjemahan, seperti yang

telah dikemukakan oleh Bassnett, dibahas secara khusus oleh Cronin

dalam bukunya Translation and Identitty (2006). Cronin berangkat dari

argumen bahwa kontak bahasa dan perubahan bahasa bukanlah suatu

proses yang naif, karena bahasa itu sendiri terhubung sangat erat dengan

apa yang membuat manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya,

dan penerjemahan dapat menjadi sentral dalam kaitannya dengan segala

upaya untuk mengangkat masalah identitas dalam masyarakat manusia.

Cronin memandang pengangkatan isu-isu identitas dalam kaitannya

dengan penerjemahan sebagai wadah pertukaran budaya, dapat menjadi

jembatan bagi dilakukannya kritik ideologi. Ia mengutip Gerard Delanty

yang berpendapat, bahwa pembedaan identitas melalui oposisi biner

sebagai penyebab munculnya ideologi, telah bergeser, dari sistem

kapitalis vs sosialis, lalu ke oposisi timur vs barat, dan kini antara self dan

other. Kondisi ini menantang penerjemahan untuk mengoreksi cara

pandang terhadap mediasi dan pertukaran budaya yang menampilkan

perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang selalu berada di bawah

ancaman, sekaligus memperbaiki citra penerjemahan yang masih

dianggap sebagai tiruan murahan. Cronin menganggap penerjemahan

33

menjadi penting bagi negosiasi antar identitas yang terpecah-pecah ini

dengan cara mencari jalan untuk menciptakan kebersamaan di dunia ini

(Cronin, 2006: 1-3).

Pergeseran cara pandang terhadap penerjemahan terlihat jelas dari

pergeseran tugas yang dibebankan kepada penerjemah. Nida

mensyaratkan keparipurnaan pengetahuan, baik mengenai BSu maupun

BSa, mengenal secara dekat permasalahan yang dibicarakan, memiliki

empati terhadap penulis teks sumber dan isinya, dan memiliki

kemampuan stilistika dalam BSa:

The ideal role of the translator calls for a person who has complete knowledge of both source and receptor languages, intimate acquaintaince with the subject matter, effective empathy with the original author and the content, and the stylistic facility in the receptor language. (Nida, 1964: 153).

Nida masih sangat berorientasi pada penulis dan teks BSu. Newmark

(1988), seperti yang dikutip oleh Ida Bagus Putra Yadnya, kemudian

menggeser orientasi penerjemahan ke teks dan pembaca BSa dengan

mempertimbangkan adanya implikasi budaya dalam terjemahan yang

kemunculannya dapat berbentuk lexical content, sintaksis bahkan

ideologi dalam budaya tertentu. Karena itu penerjemah menurutnya harus

menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek

budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau

diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran (Yadnya, 2006:

7- 9). Newmark menilai bahwa sebuah teks yang akan diterjemahkan

34

dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan. Dinamika

penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut:

9. The truth (the facts of the matter)

1. SL writer 5. TL readership 2. SL norm. 6. TL norms 3. SL culture 7. TL culture 4. SL setting and tradition 8. TL setting and tradition

10. Translator

Gambar 1, Ilustrasi Newmark melalui Orasi Ilmiah Putra Yadnya, 2006

Teks digambarkan sebagai lingkaran yang berada tepat di tengah. Anak-

anak panah yang mengarah ke luar teks menunjukkan aspek-aspek yang

dikandung teks, yang dapat dipilih untuk diprioritaskan sebagai fokus

dalam penerjemahan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa

penerjemahan menurut Newmark ditentukan oleh cara pandang atau

pendekatan yang diterapkan terhadap teks sebagai poros. Newmark

memosisikan the truth sebagai hal yang harus diutamakan, sehingga

diletakkan di atas tengah, namun penerjemah berada pada posisi paling

bawah berada dalam satu poros dengan the truth. Hal itu bisa berarti,

bahwa tugas penerjemah adalah mengupayakan kebenaran, namun apa

yang dimaksud dengan kebenaran ini, kebenaran dari sudut pandang

siapa, dan sejauh mana kebenaran tersebut harus direproduksi?

Michael Cronin dalam Translation and Globalization menggeser

orientasi pada penerjemah dengan berpendapat bahwa penerjemah

35

seperti halnya setiap kelompok profesional dalam bidang ilmu-ilmu sosial

dan humaniora dibedakan satu dari yang lainnya tidak dari apa yang

harus mereka lakukan, namun dari apa yang dapat mereka lakukan.

Cronin bahkan mengajurkan para penerjemah untuk menunjukkan

identitas dirinya bukan malah menutupinya, karena mereka sebagai

penerjemah memiliki hak tawar yang dilegitimasi untuk melakukan campur

tangan dalam bidang budaya, kemasyarakatan dan politik dan

menggunakan kesempatan ini untuk mengubah cara pandang yang

sangat restriktif dan instrumental terhadap praktik penerjemahan, dan

mendidik masyarakat yang lebih luas:

Thus, it is by revealing, not disguising, their identity as translators that translators can make a legitimate bid to make more central interventions in culture, society and politics. To do this involves, of course, changing purely restrictive and instrumental views of translation practice and educating wider society as to what translators both know and can do (Cronin, 2006: 67).

Sebagai kesimpulan, berikut adalah dua buah tabel yang

memvisualisasikan perkembangan teori-teori penerjemahan dan

konsekuensinya terhadap perubahan tugas yang diemban oleh

penerjemah.

36

Tabel 1. Perkembangan Teori Penerjemahan

Penggagas Prinsip

Nida, Schneider, Wills, Hoed Kesepadanan formal dan dinamis

Newmark, Putra Yadnya Fokus pada aspek tertentu (mis.

yang berorientasi pada penga-

rang atau pembaca TBSa).

Bassnett, Cronin Visibilitas penerjemah, transaksi

dan negosiasi.

Tabel 2. Perubahan Tugas Penerjemah

Teori Tugas Penerjemah

Kesepadanan (Ekivalensi) Memiliki pengetahuan paripurna

mengenai BSu dan BSa,

memahami permasalahan yang

dibicarakan dalam TBSu, ber-

empati pada penulis TBSu, dan

memiliki kemampuan stilistika

BSa. Penerjemah di sini menitik

beratkan fokus pada teks dan

penulis BSu.

Pemilihan fokus Mempertimbangkan implikasi

37

budaya terhadap pembaca TBSa.

Fokus penerjemah ada pada

TBSa dan pembacanya.

Visibilitas penerjemah, transaksi

dan negosiasi

Menunjukkan identitas diri,

bahkan ideologinya; melakukan

transaksi dan negosiasi untuk

mendidik masyarakat.

2. Bentuk-bentuk Pergeseran dalam Penerjemahan

Newmark (melalui Hoed,dkk., 1993: 21-24) mengatakan bahwa

pergeseran terjadi karena adanya perubahan bentuk gramatikal dan

leksikal dari BSu ke BSa. Perubahan bentuk tersebut diberi istilah

transposisi, yang terdiri dari empat jenis, yaitu:

1. Transposisi wajib yang terjadi karena perbedaan sistem dan

kaidah bahasa, misalnya seperti bentuk jamak dalam bahasa

Jerman menjadi bentuk tunggal, seperti dalam penerjemahan

kalimat berikut: Frauen sind normalerweise empfindlicher als

Männer. (Perempuan biasanya lebih perasa daripada laki-laki).

Frauen adalah bentuk jamak dari die/ eine Frau dan Männer

adalah bentuk jamak dari der/ ein Mann, yang diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal ( perempuan

dan laki-laki). Selain itu, kaidah penulisan nomina dalam bahasa

38

Jerman yang mengharuskan penggunaan huruf kapital juga

mengalami transposisi ortografis dalam bahasa Indonesia.

2. Transposisi yang dilakukan apabila suatu struktur gramatikal

dalam BSu tidak ada dalam BSa, misalnya bentuk kasus

nominativ, akkusativ, dativ dan genitiv. Kalimat Er gibt der Frau

den Kuß bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

menjadi „Dia memberi wanita itu bunga (-bunga itu) atau „Dia

(laki-laki) memberi bunga (-bunga itu) kepada wanita (itu)“.

Objek dativ der Frau harus diberi preposisi „kepada“ dalam

bahasa Indonesia untuk menunjukkan posisinya sebagai objek

tak langsung bila susunan kalimat diubah. Dalam bahasa

Jerman susunan dapat diubah menjadi Er gibt den Kuß der

Frau. Den Kuß dalam kalimat ini berstatus sebagai objek

langsung, yang dalam bahasa jerman disebut objek akusativ,

sedangkan der Frau adalah objek tak langsung atau objek dativ.

Kedua jenis objek tersebut dapat langsung dikenali dari

perubahan kata sandangnya, yaitu bentuk nomimativ die Frau

menjadi der Frau bila dalam posisi objek tak langsung. Begitu

juga dengan objek langsung atau objek akusativ den Kuß yang

berubah dari bentuk nominativnya der Kuß.

3. Transposisi yang dilakukan untuk tercapainya kewajaran dalam

BSa. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperbaiki kalimat

39

terjemahan yang tersusun secara harfiah untuk kemudian

disusun dalam bentuk yang lebih luwes.

4. Transposisi yang dilakukan untuk mengisi kesenjangan kosa

kata. Hal yang biasanya dilakukan adalah dengan membuat

penjelasan dalam bentuk parafrase. Contohnya adalah kata

basteln yang bermakna „menyibukkan diri dengan pekerjaan

tangan .“ Namun „pekerjaan tangan“ atau „kerajinan tangan“

biasanya menghasilkan suatu karya, sementara basteln lebih

menunjukkan sifat tidak bisa diam si pelaku, yang justru

menemukan padanan yang mendekati dalam bahasa Sunda

„ngoprek“. Kasus-kasus seperti ini berpotensi menggeser

makna cukup signifikan.

Ida Bagus Putra Yadnya (2006) dalam orasi ilmiah pada

pengangkatan dirinya sebagai guru besar di FIB Universitas Udayana,

membagi pengertian dasar pergeseran (shifts) ke dalam dua jenis, yaitu 1.

Perubahan bentuk dan 2. Perubahan makna bahasa sumber ke dalam

bahasa target. Putra Yadnya mengacu pada konsep perubahan formal

dari Catford untuk konsep perubahan bentuk yang dilontarkannya, yang

menurutnya konsep Catford tidak jauh berbeda dengan konsep Newmark

mengenai keempat jenis transposisi yang telah dikemukakan sebelumnya.

Untuk konsep perubahan makna Putra Yadnya mengacu pada kritik-kritik

yang ditujukan pada konsep pergeseran Catford yang murni terjadi karena

faktor linguistik, sedangkan faktor-faktor penting lainnya, seperti faktor

40

budaya, situasi dan konteks luput dari perhatiannya. Konsep pergeseran

yang ditawarkan Putra Yadnya nampaknya masih harus ditambah bila kita

mempertimbangkan konsep Julia Kristeva mengenai intertekstualitas.

Menurut Kristeva pembaca menerjemahkan teks yang dibacanya

berdasarkan seperangkat sistem yang berbeda satu dari yang lainnya dan

berdasarkan gagasan yang berbeda-beda pula mengenai bagaimana cara

membaca (memahami) teks secara benar (dalam Bassnett, 2002: 85-86).

Kebebasan pembaca sebagai „penerjemah“ menurut Bassnett harus

disikapi secara hati-hati dan bertanggung jawab, karena penerjemahan,

terlebih karya sastra mensyaratkan pengetahuan yang mendalam

mengenai teks sumber beserta seluruh konteks yang mengelilinginya.

Kecerobohan, rendahnya kompetensi dan pengetahuan lain yang

diperlukan serta pandangan hidup si penerjemah akan menyebabkan

pergeseran ekspresi, atau gagasan, termasuk pergeseran ideologi.

Pergeseran, adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari dalam

penerjemahan. Dalam proses penerjemahan selalu terjadi secara

bersamaan pergeseran dari suatu sistem linguistik ke dalam sistem

linguistik yang lain, dari satu sistem budaya ke dalam sistem budaya yang

lain, dan dari satu sistem sastra ke dalam sistem sastra yang lain. Yang

perlu dilakukan adalah membuat klasifikasi, komponen mana yang

dianggap sangat penting, penting, agak penting dan kurang penting,

seperti yang diusulkan oleh Albrecht (2006: 263-267). Albrecht kurang

setuju dengan istilah equivalence atau Äquivalenz dalam bahasa Jerman,

41

yang menurutnya sulit tercapai dalam penerjemahan. Ia mengusulkan

istilah Invarianz atau invarian untuk komponen dalam teks BSu yang

harus dipertahankan keberadaannya dalam teks BSa. Upaya ini

menurutnya tidak dapat dilakukan dalam derajat yang sama bagi seluruh

komponen yang membentuk teks. Upaya tersebut bergantung pada

pengetahuan dan tanggung jawab moral si penerjemah. Berikut adalah

skema penerjemahan seperti yang diusulkan oleh Albrecht. Dalam skema

ini diperlihatkan bagaimana proses penerjemahan sebaiknya dilakukan.

Albrecht memandang penting pengklasifikasian invarian untuk

mendapatkan Adäquatheit atau kesesuaian, yang lebih mengarah pada

kesesuaian fungsi untuk selanjutnya mencapai Äquivalenz yang dalam

bahasa Indonesia dikenal dengan kesepadanan. Meskipun demikian,

Albrecht memandang prinsip kesepadanan sebagai hal yang subjektiv dan

memerlukan pengujian intersubjektiv.

Transferendum (Teks BSu) mengatur klasifikasi invarian dan me-

Adäquatheit nyusunnya secara hirarkis

Susunan hierarkis invarian

Pemenuhan klasifikasi invarian Äquivalen tergantung pada pengklasifikasia

invarian sebelumnya dan

kemungkinan-kemungkinan yang

ditawarkan oleh bahasa-bahasa

Translat (hasil) yang terlibat

Gambar 2. Proses penerjemahan menurut Albrecht, 2006: 266

42

Penjelasan Albrecht mengenai pentingnya pembuatan klasifikasi invarian

untuk mendapatkan kesesuaian fungsi dan sebagai tujuan akhirnya

adalah pencapaian „kesepadanan“ menyiratkan, bahwa pergeseran

adalah bagian dari penerjemahan, namun yang terpenting adalah

bagaimana menyikapi potensi pergeseran tersebut.

3. Intertekstualitas

Konsep intertekstualitas berawal dari pemikiran Bakhtin, seorang

pakar sastra dari Rusia, yang melahirkan konsep dialogisme. Dialogisme

menurut Bakhtin adalah elemen inti dari semua bahasa, yang berupa

interaksi linguistik dari setiap individu atau kelompok dalam konteks sosial

tertentu. Bahasa, menurutnya, selalu dilihat dalam dimensi sosial, yang

merefleksikan dan mentransformasikan ide-ide atau pemikiran kelas,

institusi, kebangsaan dan kelompok. Peristiwa diskursif yang khas selalu

berhubungan bukan saja dengan relasi-relasi kelas, antara pengirim dan

penerima, namun juga dengan fenomena-fenomena kehidupan sosial,

bahkan dengan berita-berita aktual setiap saat. Inti dari pernyataan

tersebut adalah bahwa, aspek paling krusial dari bahasa adalah respon

terhadap ujaran yang telah ada sebelumnya dan terhadap pola-pola

makna dan pola evaluasi yang akan datang. Oleh sebab itu semua ujaran

selalu bersifat dialogis, karena makna dan logikanya bergantung pada apa

yang pernah atau telah diucapkan sebelumnya dan bagaimana hal itu

akan diterima oleh pihak lain. Pihak lain, atau otherness dalam bahasa

43

adalah konsep terpenting dari dialogisme Bakhtin (Allen, 2004: 8-21),

seperti yang ia kemukakan:

The speaker is not Adam, and therefore the subject of his speech itself inevitably becomes the arena where his opinions meet those of his partners (in a conversation or dispute about some everyday event) or other viewpoints, world view, trends, theories, and so forth (in the sphere of cultural communication). World views, trends, viewpoints, and opinions always have verbal expression. All this is others‘ speech (in personal or impersonal form), and cannot but be reflected in the utterance. The utterance is addressed not only to its object, but also to others‘ speech about it. (ibid.: 21)

Bakhtin meneliti banyak karya sastra dari berbagai periode. Dari hasil

penelitiannya ia menemukan adanya prinsip-prinsip monologisitas dan

dialogisitas yang berangkat dari hubungan antara sastra dan masyarakat.

Dalam penelitiannya mengenai sifat-sifat tuturan dalam roman, Bakhtin

sampai pada dua perbedaan mendasar, yaitu:

1. Perbedaan antara tuturan pencerita dan tuturan tokoh dalam cerita.

Pada tataran sastra, sebuah tuturan bisa bersifat double voiced.

2. Tuturan yang mengarah pada dua tujuan, yaitu dialogisitas sebuah

suara batin pada tataran bahasa.

Bakhtin kemudian membagi tuturan dalam prosa ke dalam tiga tipe, yaitu:

1. Kata-kata langsung si pengarang.

2. Kata-kata tokoh dalam cerita yang ditujukan pada sebuah objek.

44

3. Kata-kata yang bersifat double voiced, yang tumpang tindih antara

suara-suara tokoh cerita dengan pengarang, sehingga kata-kata

tersebut berorientasi makna ganda. (ibid.:29; Van Helt, 2003: 1-2)

Bakhtin berpendapat bahwa kesadaran manusia, subjektivitas dan

komunikasi didasarkan pada sebuah keyakinan, bahwa bahasa

menampilkan pertentangan ideologi, pandangan dunia, opini, dan

interpretasi secara dialogis dan berkelanjutan. Pandangan Bakhtin

tersebut digarisbawahi oleh Kristeva dan diberi istilah baru, yaitu

Intertekstualitas.

Istilah Intertekstualitas diperkenalkan oleh Julia Kristeva di akhir tahun

60an. Teori Intertekstualitas yang dikembangkan oleh Kristeva

sebenarnya merupakan hasil penelaahannya terhadap konsep Bakhtin

mengenai Dialogisme. Pembacaan Julia Kristeva terhadap konsep

Bakhtin melahirkan aksen baru yang sangat menentukan. Kristeva tidak

lagi membedakan antara teks monologis dan polilogis, melainkan

menegaskan konsep intertekstualitas sebagai ciri utama teks, terutama

teks sastra. Menurutnya, setiap teks otomatis bersifat intertekstual, dan

karenanya selalu produktif, artinya, si penulis sebagai subjek yang

memiliki intensi, menghilang, sehingga teks menjadi ruang proyeksi bagi

permainan intertekstual. (Van Helt, 2003:3). Teks adalah praksis sekaligus

produktifitas, yang oleh Kristeva diartikan bahwa teks tidak pernah

menampilkan makna yang jelas dan stabil, karena ia merepresentasikan

konflik-konflik dialogis masyarakat melalui makna kata-kata. Jadi

45

intertekstualitas tidak hanya melihat sebuah teks melalui kemunculannya

dari teks sosial saja, namun juga kelanjutan keberadaannya di dalam

masyarakat dan sejarah. Sebagai konsekuensi atas pandangan tersebut,

struktur dan makna teks lalu tidak dapat lagi dianggap melulu sebagai ciri

spesifik teks yang bersangkutan. Menurut Kristeva, teks atau bagian-

bagian teks adalah ideologeme, seperti yang ia kemukakan:

The concept of text as ideologeme determines the very procedure of a semiotics that, by studying the text as intertextuality, considers it as such within (the text) society and history. The ideologeme of a text is the focus where knowing rationality grasps the transformation of utterances (to which the text is irreducible) into a totality (the text) as well as the insertions of this totality into the historical and social text. (Allen, 2004: 37)

Pernyataan Kristeva tersebut menurut Allen (ibid) menjelaskan, bahwa

teks tidak memiliki kesatuan makna dalam dirinya, ia selalu terhubung

dengan proses sosial dan kultural yang berkelanjutan, dengan kata lain

makna selalu pada saat yang bersamaan berada di dalam sekaligus di

luar teks. Sebagai contoh Kristeva mengambil cuplikan kalimat pembuka

sebuah novel yang ditulis oleh Mary Shelley yang berjudul The Last man

(1826). Kalimat tersebut berbunyi: England, seated far north in the turbid

sea, now visits my dreams in the semblance of a vast and well-manned

ship, which mastered the winds and rode proudly over the waves.

Gagasan tentang Inggris sebagai bangsa yang hebat, dengan kekuasaan

atas dunia adalah ideologeme yang terkandung dalam kalimat tersebut,

dan dalam novel yang bersangkutan secara umum. Ideologeme itu

46

sekaligus juga membawa pembaca ke luar teks, yaitu ke representasi

ideologis dari negara Inggris di akhir periode Viktorian. Menurut Kristeva,

retorika yang imperialistik tersebut adalah murni milik Mary Shelley,

namun acuan kalimat itu adalah wacana yang berkembang dalam

masyarakat dan budaya Inggris pada abad 19. (ibid.: 38)

Kristeva mengilustrasikan bahwa teks (karya sastra) berada pada titik

persilangan antara dua poros, yaitu poros horizontal dan poros vertikal.

Poros horizontal menggambarkan hubungan antara teks dengan

pengarang dan pembacanya. Sedangkan poros vertikal menggambarkan

hubungan sinkronik teks dengan teks-teks lain yang telah ada

sebelumnya, atau bahkan dengan teks-teks yang akan datang, seperti

ilustrasi berikut ini:

Teks-teks yang telah ada sebelumnya

Pengarang pembaca

Teks-teks yang akan lahir

Gambar 3. Pandangan Bakhtin yang dikembangkan oleh Kristeva

mengenai literary word

47

Konsep intertekstualitas juga dikembangkan oleh Gérard Genette,

seorang pakar kesusastraan yang berasal dari Prancis. Genette membuat

sistematisasi dan penjelasan mengenai relasi antara teks-teks yang

saling berhubungan, yang diberinya istilah Transtekstualitas. Dalam

konsep Genette ( ibid. 97-114) ada lima bentuk Transtekstualitas, yaitu:

a. Intertekstualitas dalam arti sempit, yaitu keberadaan efektif sebuah

teks di dalam teks lain, yang bisa berbentuk: kutipan dengan

sumber yang jelas; plagiat; dan pengutipan secara tak langsung.

b. Paratekstualitas yang berupa komentar terhadap teks yang

bersangkutan, yang memberi informasi tambahan. Bentuk-bentuk

paratekstualitas meliputi: sampul, judul, informasi mengenai jenis

teks, kata pengantar atau kata penutup, juga komentar-komentar

dalam bentuk interview, surat menyurat atau buku harian.

c. Metatekstualitas yang biasanya berupa teks yang berisi komentar

mengenai teks lain, seperti kritik sastra atau tulisan ilmiah

mengenai suatu karya.

d. Hipertekstualitas, yaitu bentuk penulisan yang lain dari sebuah

karya, misalnya secara parodis, irons, satiris, polemis, dll.

e. Architekstualitas adalah bagaimana sebuah teks dibangun,

misalnya genre apa yang akan dipilih untuk menampilkan sebuah

teks.

Konsep intertekstualitas dapat disimpulkan sebagai sebuah cara

merujuk pada teks-teks sebelumnya, atau pada kode dan sistem makna

48

yang telah ada, baik itu dilakukan secara sadar atau tidak. Pendekatan

intertekstualitas dalam penelitian ini digunakan untuk menemukan

kandungan ideologi TBSu melalui analisis ideologeme, serta untuk

meneliti dialogisitas antara TBSu dan TBSa dan pengaruhnya terhadap

pergeseran ideologi. Analisis hubungan dialogis antara TBSu dan TBSa

akan memperlihatkan bagaimana terjadinya tarik menarik sintaksis,

semantis dan ideologis.

4. Ideologi

Istilah ideologi diperkenalkan pertama kali oleh Destutt de Tracy,

seorang pemikir Prancis abad 18, yang mengatakan bahwa tidak ada ide

yang tertanam sejak manusia lahir, semua pemikiran terlahir karena dipicu

oleh sensasi dari luar, dan tidak sesuatu pun akan ada kecuali diciptakan

oleh ide yang kita punyai. De Tracy melampaui dikotomi yang diciptakan

oleh pemikir-pemikir purba, bahwa ide dan materi berada pada kutub yang

bertentangan. Menurut de Tracy sensasi yang berasal dari objek di luar

lebih bisa dipercaya dan akurat, sedangkan ide yang ada dalam benak

kita bisa saja disusun secara salah (Hawkes, 1996: 55-57; Thompson,

1990: 30). Selanjutnya pemahaman mengenai ideologi berkembang dan

menjadi beragam, namun konsep dasar mengenai dikotomi antara ide dan

materi sebagai landasan terbentuknya ideologi, dan keterikatannya pada

pemahaman yang rasional terhadap dunia dan kemanusiaan, dapat

dilacak pada setiap gagasan.

49

Konsep Karl Marx, filusuf politik abad 19 dari Jerman, mengenai

Ideologi didasarkan pada fenomena yang terjadi di era modernisme.

Modernisme bisa dikatakan sebagai gerakan kebudayaan kapitalis yang

berorientasi pada produksi. Ketika orientasi bergerak ke arah konsumsi

dan ke arah ekonomi yang berbasis nilai tukar, kapitalisme kemudian

dikuasai media representasi, dan representasi lalu menjadi otonom pada

masa kini, yaitu masa yang disebut posmodern. Menurut Marx adanya

nilai tukar bisa dimaknai sebagai penjelasan bagi ketidakmampuan kita

untuk menyadari hakikat sesuatu. Hal tersebut kemudian melahirkan

fetisisme terhadap komoditas, sehingga akhirnya kita tidak lagi melihat

sesuatu yang „nyata“, melainkan hanya bentuk penampilannya saja

(Hawkes, 1996: 96; Žižek, 1989: 23-24). Fenomena tersebut melahirkan

makna ideologi menurut Marx, yaitu:

1. Pemberian nilai fetish terhadap kegiatan manusia.

2. Memandang dan memaknai tanda secara keliru, yaitu sebagai

sesuatu itu sendiri.

3. Mengonversi relasi-relasi ke dalam konsep-konsep yang baku.

Ketiga hal yang mendasari terbentuknya ideologi itu biasa disebut sebagai

kesadaran palsu (false consciousness) yang dihasilkan dari hubungan

antara ide dan materi, yang dijembatani oleh representasi. Representasi

inilah yang kemudian menjadi jalan masuk bagi ideologi untuk

memengaruhi targetnya dengan cara mengonstruksi secara keliru

50

hubungan-hubungan yang ada dalam sebuah totalitas. Berikut adalah

ilustrasi, bagaimana kesadaran palsu terbentuk:

Gambar 4. Pembentukan false consciousness

Georg Lukacs, filusuf dan kritikus sastra marxis asal Hongaria,

meminjam konsep Aristoteles mengenai second nature, yaitu mengenai

benda ciptaan manusia yang diberi nilai-nilai sakral untuk menggantikan

karya cipta Tuhan. Second nature inilah seperti juga fetishisme komoditas

pada konsep Marx, yang oleh Lukacs ditengarai sebagai jalan masuk bagi

ideologi ( Hawkes, 1996: 19-21 ). Second nature adalah sebuah fenomena

yang lahir dari konsep Aristoteles mengenai nature yang dipahami

sebagai landasan moralitas, yang tertanam secara otomatis di dalam jiwa

manusia sejak ia lahir, dan custom (kebiasaan) sebagai landasan

peradaban, yang diperoleh melalui proses belajar. Di antara kedua kutub

tersebut kemudian diciptakan second nature yang maksud awalnya

adalah sebagai jalan mendekatkan diri kepada Zat yang Maha Tinggi

melalui benda-benda yang diberi nilai magis dan sakral. Jalan inilah yang

lalu dimanfaatkan oleh pihak-yang berkuasa dengan secara sadar

memanipulasi penampilan.

Ide:

Sepatu untuk melindungi kaki

Materi:

Sepatu sebagai simbol status sosial

Representasi:

Nilai-nilai fetish

51

Paham posmodernisme di bawah pengaruh Nietzsche (yang

berpendapat bahwa nilai-nilai tradisional telah kehilangan kekuatannya

dalam kehidupan setiap individu yang lebih mengedepankan minat dan

keinginan setiap pribadi,) melihat ideologi sebagai pernyataan yang

bersifat sosial dan individual, yaitu sebagai wacana yang mengarahkan

pada hal-hal yang lebih bersifat pragmatis. Menurut Žižek, Nietzsche

ingin menekankan, bahwa dunia disederhanakan dengan cara mereduksi

keberagaman menjadi identitas (Žižek, 1994: 52). Hal ini mengindikasikan,

bahwa wacana semacam itu juga menunjukkan adanya campur tangan

kekuasaan. Di sini kesadaran palsu juga menjadi bagian dari permainan

dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Jürgen Habermas,

salah seorang anggota Mazhab Frankfurt generasi ke dua menjelaskan

false consciousness sebagai penyimpangan komunikasi yang sistematis

(mis: memukuli istri sebagai kewajiban suami untuk mendidik istri, dll.)

dengan mengemukakan proposisi-proposisi yang sepenuhnya keliru (mis:

semua perempuan irasional). Habermas mengatakan bahwa wacana

ideologis bisa benar pada suatu tingkatan, namun tidak pada tingkatan

yang lain; bisa benar pada kandungan empirisnya, namun menyesatkan

dalam tindakannya; atau benar pada makna permukaannya, tapi berdiri

pada asumsi yang keliru, karena itu, masyarakat harus disadarkan dan

dibebaskan dari kungkungan ideologi, dan itulah tugas kritik ideologi

(Eagleton, 1991: 14; Hardiman, 2009: 210).

52

Sejalan dengan pemikiran-pemikiran di atas, Antonio Gramsci,

pemimpin partai komunis Italia dan pemikir marxis, juga berangkat dari

thesis Marx mengenai false consciousness, memandang ideologi sebagai

sesuatu yang dengan sadar dikonstruksi. Ia adalah sebuah bentuk praksis

kekuasaan. Menurutnya ideologi tercipta dari adanya konflik kelas yang

kemudian mengarah pada konsep hegemoni. Gramsci membedakan

ideologi ke dalam dua jenis, yaitu:

1. Sebagai ekspresi akurat dari sebuah kelompok tentang minat-minat

materialnya.

2. Sebagai cara kerja pikiran kita secara mekanistis untuk menelusuri

formasi ide-ide ke sensasi materi (Hawkes, 1996:117).

Para pemikir Marxis, seperti yang telah disinggung sebelumnya,

terperangkap ke dalam gagasan mengenai dikotomi antara kognisi yang

sejati dan yang keliru, dengan memaknai ideologi sebagai ilusi, distorsi

dan mistifikasi. Namun Althusser tidak setuju dengan konsep false

consciousness tersebut. Althusser berpendapat bahwa ideologi menunjuk

secara tidak langsung pada relasi-relasi yang bersifat afektiv dan

dilakukan secara tak sadar dengan dunia sekitar kita dan pada cara-cara

kita yang memperlihatkan keterlibatan kita dalam realitas sosial.

Menurutnya ideologi mengekspresikan keinginan, harapan atau nostalgia

ketimbang menggambarkan realitas. Ideologi pada dasarnya adalah

tentang ketakutan dan tuduhan, pemujaan dan celaan, tentang semua

53

yang kadang-kadang disampaikan dalam bentuk wacana yang terlihat

seolah-olah menggambarkan sesuatu sesuai kenyataannya. Di sini

Althusser menggeser makna ideologi dari teori kognitif ke teori afektif.

Pemaknaan ideologi Althusser lebih bersifat subjektif, dalam arti berfokus

pada subjek. Pernyataan-pernyataan ideologis harus diungkap sebagai

sikap ekspresif si penutur terhadap dunia sekitarnya. Ideologi adalah

sesuatu yang membuat kita unik, berbeda satu dari yang lainnya, yang

secara esensial membentuk identitas kita. Meski Althusser memaknai

ideologi secara berbeda dari pemikir-pemikir Marxis lainnya, namun ia

tetap melihat ideologi sebagai representasi cara kita hidup di tengah-

tengah masyarakat, jadi tidak ada hubungannya dengan salah atau benar.

Ideologi menurutnya adalah cara tertentu bagaimana kita memaknai

segala sesuatu yang membentuk kita menjadi manusia yang berperan

sebagai subjek sosial, dan yang membentuk relasi-relasi, di mana kita

sebagai subjek terhubung dengan relasi produksi yang dominan dalam

masyarakat (Eagleton: 1991: 18-19; Malrieu, 1999: 12; Weedon, 2004: 5-

12).

Ideologi sebagai representasi subjek juga dikemukakan oleh Michel

Foucault. Namun Foucault menghubungkan istilah ideologi ini secara

spesifik dengan kekuasaan. Menurutnya sebagai kekuasaan ideologi

membentuk jalinan kekuatan yang tersebar, namun tak tampak, tetapi

muncul dalam gerak-gerik dan tuturan kita. Ideologi bagaikan stempel

yang menandai kita dalam hubungan sosial dan kegiatan sehari-hari, yang

54

oleh Foucault dianggap sebagai relasi tawar menawar politis (Barker,

2003: 86). Karena itu Foucault tidak mau menggunakan istilah ideologi

untuk fenomena yang ia gambarkan tersebut, ia cenderung menggunakan

istilah discourse atau wacana. Ideologi atau wacana menurut Foucault

dimanifestasikan lewat penggunaan bahasa antar manusia sebagai subjek

untuk memproduksi efek tertentu. Namun ideologi bukan semata-mata

persoalan properti linguistik dari sebuah pernyataan, melainkan sebuah

pertanyaan mengenai siapa yang mengatakan apa pada siapa dan untuk

tujuan apa. Menurutnya wacana selalu ideologis karena memancarkan

pesan-pesan kekuasaan dan efek politisnya. Namun sebuah kalimat tidak

selalu ideologis pada setiap konteks, artinya, ideologi adalah fungsi dari

hubungan antara pernyataan dan konteks sosialnya (Eagleton, 1991: 7-

9).

Bahasa adalah media untuk menyampaikan gagasan, termasuk

ideologi yang tersembunyi dalam berbagai bentuk representasi, yang

secara jelas dikatakan antara lain oleh Habermas, Althusser, Foucault,

dan Gramsci. Dari mereka kita memahami kekuatan bahasa sebagai

pembangun kekuasaan, penyebar gagasan, pemelihara tradisi dan

budaya, dll. Secara lebih jelas para ahli bahasa dan budaya

menerangkan, bagaimana bahasa dan melalui bahasa kepercayaan, nilai-

nilai dalam masyarakat, cara pandang terhadap dunia, dibentuk dan

diungkap. Kita bisa mulai dengan Saussure. Dengan teori dikotominya

tentang Bahasa yang meliputi Langue dan Parole, Signifiant dan Signifié,

55

Synchrony dan Diachrony, Saussure menjadi salah seorang peletak dasar

ilmu linguistik modern. Teorinya tentang bahasa yang terbagi atas Langue

dan Parole memberi pengaruh yang sangat besar pada perkembangan

ilmu bahasa. Meskipun demikian, Saussure sendiri lebih memfokuskan

perhatiannya pada Langue, yang berarti bahasa sebagai suatu forma

ideal, yang otonom sebagai suatu sistem, sebagai suatu realita. Sebagai

realita, Langue berhubungan dengan pengalaman, sedangkan Parole

menurutnya adalah penggunaan bahasa secara personal, oleh sebab itu

tidak sistematis:

Linguistic structure is no less real than speech, and no less amenable to study. Linguistic signs, although essentially psychological, are not abstractions. The associations, ratified by collective agreement, which go to make up the language are realities localized in the brain……….. The utterance of a word, however small, involves an infinite number of muscular movements extremely difficult to examine and to represent. In linguistic structure, on the contrary, there is only the sound pattern, and this can be represented by one constant visual image (Saussure, 1966: 15).

Langue adalah sistem yang terbangun dari relasi internal. Yang

dimaksud dengan relasi internal di sini adalah hubungan antar elemen-

elemen dalam suatu bahasa. Setiap elemen kebahasaan adalah signé

atau sign dalam bahasa Inggris, atau tanda dalam bahasa Indonesia,

yang mengandung dua aspek sekaligus, yaitu signifiant dan signifié

(dalam bahasa Inggris signifier dan signified atau penanda dan petanda

dalam bahasa Indonesia). Hubungan seperti ini disebut sebagai tesis

irreducebility, yang menunjukkan, bahwa forma-forma tidak dapat

56

direduksi, dan setiap relasi dalam sistem bahasa dipenuhi sendiri oleh

relasi internalnya. Dalam linguistik relasi internal ini sangat penting.

Ilmu linguistik murni juga dikembangkan oleh Chomsky melalui teori

Tansformation Generative Grammar (TGG). Bila Saussure mulai dengan

tanda, Chomsky mengembangkan kajiannya pada struktur sintaksis.

Prinsip TGG adalah kesatuan aspek sintaksis dan semantis seperti halnya

kesatuan signifier dan signified pada konsep tanda dari Saussure. Teori

TGG memperlihatkan hubungan yang sangat erat antara struktur kalimat

atau yang disebut surface structure dengan struktur makna atau deep

structure yang menggambarkan logika kejadian. Dalam kalimat :

Ambilkan saya buku (surface structure) terkandung deep structure : Dia

mengambil buku. Deep structure menjelaskan operasi mental dari

sebuah surface structure, sedangkan surface structure adalah apa yang

diucapkan (Mc. Gilvray, 2005: 21-36).

Penjelasan tersebut memperlihatkan, bagaimana bahasa dilihat

secara terpisah dari dunia di luar bahasa. Pandangan tersebut kemudian

‘dilengkapi’ oleh pandangan yang berbeda mengenai bahasa dari Franz

Boas yang melihat kenyataan bahwa penggunaan bahasa bersifat variatif.

Boas menghubungkan bahasa dan budaya melalui perbedaan-perbedaan

fonetik. Menurutnya bunyi tidak terbatas, namun setiap bahasa

menggunakan jumlah-jumlah bunyi yang terbatas, yang menurutnya untuk

memungkinkan kelancaran komunikasi, seperti yang dikatakannya:

57

In our present discussion we do not deal with gesture-language or musical means of communication, but confine ourselves to the discussion of articulate speech; that is, to communication by means of groups of sounds produced by the articulating organs – the larynx, oral cavity, tongue, lips, and nose.

The number of sounds that may be produced in this manner is unlimited. In our own language we select only a limited number of all possible sounds;……It would seem that this limitation in the use of sounds is necessary in order to make possible rapid communication. ………...limited phonetic resources are necessary for easy communication.(Boas, 1966:11-12).

Pemilihan bunyi menurutnya adalah efek dari persepsi, dan persepsi

sudah masuk ke dalam ranah budaya. Perbedaan-perbedaan bunyi dari

sistem fonetik setiap bahasa memperlihatkan perbedaan besar bukan

hanya pada elemen-elemen fonetik, melainkan juga dalam kelompok-

kelompok gagasan yang bisa diekspresikan melalui kelompok bunyi

tertentu:

In all articulate of speech the groups of sounds which are uttered served to convey ideas, and each group of sounds has a fixed meaning. Languages differ not only in the character of their constituent phonetic elements and sound-clusters, but also in the groups of ideas that find expression in fixed phonetic groups. (ibid,:20).

Di sini Boas berbeda pandangan dengan Saussure dengan menyentuh

aspek pragmatis dari bahasa, dengan memfokuskan pada hal yang

konkret, yaitu komunikasi dan fonetik.

Dengan hipotesis mengenai persepsi tersebut Boas mengawali teori

mengenai relativitas bahasa. Boas melakukan perbandingan beberapa

58

bahasa dan menyimpulkan bahwa dalam penggunaannya, bahasa

mengandung primary ethnological phenomena (fundamental ethnics

ideas) dan secondary explanation (secondary reinterpretation). Primary

ethnological phenomena adalah suatu organisasi pola kultural atau

rentang pengalaman pribadi yang berada di alam bawah sadar seseorang.

Contohnya adalah sistem kepercayaan atau keagamaan, aktivitas ritual,

etika dalam berbagai aspek kehidupan, dll. Sedangkan secondary

explanation atau secondary reinterpretation adalah fenomena linguistik

yang melakukan rasionalisasi atau reinterpretasi terhadap pola-pola

kultural. Reinterpretasi atau rasionalisasi sekunder ini sifatnya eksplisit

atau berada di alam sadar. Kedua fenomena yang berbeda ini menurut

Boas sebenarnya memiliki persamaan, yaitu kedua-duanya melakukan

cara kategorisasi atau klasifikasi dalam penerapannya. Keduanya

melakukan segmentasi dan penataan terhadap pengalaman sosial yang

dibagi bersama, sehingga sifatnya historis dan tidak individual (ibid,: 63-

69).

Sebagai contoh, Boas mengambil sebuah topik mengenai

kesederhanaan. Setiap orang akan mengelompokkan hal-hal yang

berhubungan dengan kesederhanaan secara otomatis di bawah sadarnya

sesuai dengan apa yang disepakati oleh kelompoknya, ketika ia harus

menerapkan hal tersebut. Demikian juga ketika ia harus menjelaskan

secara eksplisit apa yang dimaksud dengan kesederhanaan, maka iapun

akan melakukan segmentasi dan penataan secara kebahasaan. Dalam

59

melakukan secondary explanation seseorang akan memerhatikan kaidah

kebahasaan atau gramatika. Proses ini menurutnya melibatkan

leksikografi atau pilihan kata yang mengandung isi (material contents).

Pilihan kata diambil berdasarkan proses kategorisasi yang melibatkan

rentang pengalaman pribadi. Gramatika atau tata bahasa adalah alat

untuk menyampaikan gagasan yang jumlahnya tak terbatas. Namun untuk

menyampaikan gagasan yang tak terbatas seseorang perlu memahami

aturan yang mengelompokkan dan menata hubungan-hubungan atau

relasi antar elemen tata bahasa tersebut. Di sini terlihat pertemuan

pemahaman antara Boas dan Saussure. Keduanya melihat pentingnya

relasi internal dalam bahasa dan melihat pengalaman sebagai

landasannya. Namun lebih jauh Boas melihat bahasa sebagai medium

kemampuan rasional manusia, yaitu kemampuan mengorganisasi

pengetahuan proposisi atau pengetahuan yang berhubungan dengan ide

luar bahasa.

Kategorisasi pada Boas mencerminkan ideologi referen, karena selalu

menunjuk pada proposisi yang berdasarkan pada kenyataan di luar

bahasa. Gagasan Boas mengenai kategorisasi (fundamental ethnics ideas

dan secondary explanation) dilanjutkan oleh Whorf. Whorf berpendapat,

kita membagi-bagi atau mengelompokkan alam ini melalui bahasa ibu kita.

Gambaran tersebut diatur oleh pemahaman kita, yang artinya oleh sistem

linguistik atau bahasa kita. Kita memotong-motong alam ini, lalu

mengaturnya ke dalam konsep-konsep yang disepakati bersama oleh

60

kelompok kita. Konsep-konsep tersebut memperlihatkan bagaimana kita

melalui bahasa memandang dunia ini, bahkan membentuk kebiasaan dan

pemikiran kita. Seluruh proses ini bersifat referensial berdasarkan pada

proposisi-proposisi yang mengacu pada dunia luar bahasa, melalui

pengalaman kita (Whorf, 1956: 137-146):

…., will suffice to show how the cue to a certain line of behavior is often given by the analogies of the linguistic formula in which the situation is spoken of, and by which to some degree it is analyzed, classified, and allotted its place in that world which is “to a large extent unconsciously built up on the language habits of the group”.

A category such as number (singular vs.plural) is an attempted interpretation of a whole large order of experience, virtually of the world or of nature; it attempts to say how experience is to be segmented, what experience is to be called “one” and what “several.” (ibid.: 137)

Penjelasan di atas memperlihatkan bagaimana bahasa sebagai sistem

ternyata sekaligus dapat menjelaskan cara pandang terhadap dunia,

kebiasaan bahkan cara berfikir penuturnya, dengan kata lain ideologi

penuturnya.

Umberto Eco, penulis Italia, ahli sastra dan semiotika, mendefinisikan

ideologi sebagai pesan yang disampaikan melalui deskripsi faktual disertai

upaya-upaya pembenarannya secara teoretis yang kemudian secara

bertahap diterima oleh masyarakat (Eco, 1979: 290). Selain sebagai

pesan, Eco juga mengartikan ideologi sebagai cara pandang terhadap

dunia yang terorganisasi, karenanya harus didekati dengan analisis

semiotika (ibid,: 289). Pendapat Eco ini merangkum sekaligus pemikiran

61

para filusuf Marxis mengenai konstruksi realitas dan teori Relativitas

Bahasa dari Boas dan Sapir-Whorf.

Teori relativitas bahasa yang diusung oleh Boas, Sapir dan Whorf,

berangkat dari gagasan bahwa orang yang berbeda berbicara secara

berbeda karena mereka berfikir secara berbeda pula. Mereka berfikir

secara berbeda, karena bahasa mereka menyediakan cara yang berbeda

bagi mereka untuk mengekspresikan dunia di sekeliling mereka (Kramsch,

1998:11). Ideologi dalam kaitannya dengan bahasa adalah cara pandang

terhadap dunia, nilai-nilai dan kepercayaan, yang dicerminkan oleh

bahasa sebagai sebuah sistem tanda. Kategorisasi-kategorisasi yang

diatur oleh sistem suatu bahasa melalui gramatikanya memotong-motong

realitas yang dipandang oleh si penutur bahasa yang bersangkutan

(Whorf, 1956: 137-146). Secara pragmatis bahasa juga merupakan

indikator kepribadian yang dapat diamati melalui pola fonetis ujaran

seseorang, kecepatan dan tingkat kelembutan artikulasi, panjang dan

pendeknya kalimat yang digunakan, karakter dan rentang kosakatanya,

serta kesiapan merespon lingkungan sosial, dll.(Sapir, 1985: 17).

Dalam penelitian ini pengertian ideologi yang sesuai adalah yang

digagas oleh Althusser, yaitu sebagai representasi cara kita hidup di

tengah-tengah masyarakat pada relasi-relasi yang bersifat afektiv dan

dilakukan secara tak sadar dengan dunia sekitar kita ( dalam hal ini

penulis atau pengarang) dan pada cara-cara yang memperlihatkan

keterlibatan pengarang dalam realitas sosial.yang terrepresentasi lewat

62

bahasa, yaitu lewat pernyataan-pernyataan yang terbaca dalam karya

seorang pengarang. Selain itu pemikiran Foucault juga dapat dilibatkan

untuk melihat penggunaan bahasa untuk memproduksi efek tertentu.

Pendapat mengenai bahasa sebagai cara pandang terhadap dunia,

seperti yang disampaikan oleh Boas, Sapir dan Whorf, juga akan

digunakan untuk membandingkan sistem BSu dan BSa, yaitu bahasa

Jerman dan Bahasa Indonesia, untuk melihat, bagaimana masing-masing

sistem kebahasaan memfasilitasi ekspresi dalam BSu dan padanannya

dalam BSa.

Ideologi, betapa pun beragam penjelasan mengenainya, sebenarnya

dapat disimpulkan sebagai bentuk representasi yang memediasi dua

kutub, entah itu antara kutub ide dan materi, produksi dan konsumsi,

antara teori dan praksis, Subjek dan objek, antara penanda (signifier) dan

petanda (signified), dll. Selain itu ideologi sebagai sebuah bentuk mediasi,

terikat pada relasi, artinya berada dalam sebuah struktur, sehingga untuk

melacaknya tentu harus melalui analisis struktur, terutama struktur

kebahasaan yang kemudian dipertajam dengan analisis struktur lanjutan

berdasarkan konteks yang memengaruhi pembentukannya secara

signifikan.

Berkaitan dengan hubungan antara Ideologi dan sistem, Jean Pierre

Malrieu, seorang linguist asal Prancis, menegaskan bahwa ideologi-

ideologi modern sedikit sekali berhubungan dengan doktrin dan prinsip.

63

Mereka lebih menonjolkan nilai-nilai andalan mereka melalui penawaran

pola-pola atau sistem relasi yang bersifat evaluatif, yang memanfaatkan

sistem bahasa. Karena itulah ideologi, menurutnya, adalah masalah

struktur. Dalam contoh analisis yang dibuatnya terhadap sebuah karya

Shakespeare, Malrieu menggunakan metode topique, yang

dikembangkan oleh Boltanski dan Thevenot, juga ahli-ahli linguistik dari

Prancis. Kedua ahli tersebut telah meneliti berbagai jenis wacana, yang

kemudian mendapatkan beberapa kumpulan ekspresi yang khas dari

semua jenis wacana. Hasil analisis dan kumpulan ekspresi itu mengerucut

menjadi enam pola kategori gramatikal, yang berlaku bagi segala jenis

wacana. Ke enam kategori tersebut berhubungan dengan: 1. World of

inspiration, 2. The domestic world, 3. The world of opinion, 4. The civic

world, 5. The mercantile world, 6. The industrial world. Ke enam kategori

itu dinamakan grammatical categories of the discourses of justification.

Setiap kategori dapat digali melalui identifikasi dan analisis satuan-satuan

leksikal yang berasosiasi dengan keenam kategori tersebut. Satuan-

satuan leksikal yang dicari adalah yang mengandung: common superior

principle; state of grandeur; state of smallness; dignity, grand and small

subjects; objects; investment; relations of grandeur; relation; tests;

judgment; evidence (Malrieu, 1999: 41-49).

5. Karya Sastra dan Ideologi

Sebagai sebuah bentuk aktivitas kebudayaan, terlepas dari

perdebatan mengenai pengkategorisasiannya (kanon atau bukan kanon),

64

sastra merefleksikan kehidupan manusia dalam kerangka hubungan

dengan sesamanya (sosial) dan dengan lingkungannya. Eagleton

menganggap sastra bukanlah suatu kualitas inheren atau suatu set

kualitas yang ditampilkan jenis tulisan tertentu, melainkan cara yang

digunakan orang untuk menghubungkan dirinya ke tulisan. Pernyataan-

pernyataan, penggambaran tentang suatu keadaan, atau sudut pandang

yang digunakan untuk menilai sesuatu hal, bisa menunjukkan misalnya

keterhubungan si penulis dengan pengalaman formatif di masa kecilnya,

dan dengan beberapa faktor budaya lainnya. Struktur nilai dalam

lingkungan masyarakat yang terinternalisasi dalam diri si pengarang akan

memengaruhi pola pikir dan cara pandangnya sehingga memotivasi

pernyataan-pernyataan dalam karyanya. Eagleton menganggap struktur

nilai ini adalah bagian dari apa yang disebut ideologi. Menurutnya ideologi

adalah cara bagaimana kita mengatakan dan memercayai sesuatu

(seringkali di bawah sadar) berdasarkan keterhubungan kita dengan

struktur kekuasaan dan hubungan kekuasaan dengan masyarakat di

mana kita tinggal (1996: 17-20). Berkaitan dengan hubungan antara seni

(dalam hal ini sastra) dan ideologi, pernyataan Althusser memperkuat

pendapat Eagleton. Althusser dalam kumpulan essay yang berjudul

Tentang Ideologi (diterjemahkan dari Essays on Ideology) mengatakan

bahwa:

Ketika kita berbicara tentang ideologi, seharusnya kita tahu bahwa ideologi menyelipkan diri pada segala aktivitas manusia, bahwa ideologi identik dengan pengalaman hidup dari eksistensi manusia itu

65

sendiri: itulah sebabnya bentuk yang membuat kita melihat ideologi dalam pelbagai novel besar, dalam kandungannya dimuati pengalaman hidup pelbagai individu. (1984: 189)

Pendapat Althusser tersebut membenarkan apa yang menjadi prinsip

Pramoedya Ananta Toer dalam menulis karya-karyanya. Menurut Toer,

novel adalah bentuk ideal untuk mengungkapkan aspek-aspek

revolusioner mengenai kontradiksi dalam masyarakat. Si penulis harus

mengingat tiga „si“, yaitu: situasi, posisi dan kondisi, yang harus

terintegrasi dengan masyarakat yang lebih luas. Lebih jauh ia pun

mengatakan bahwa, seorang penulis tidak dapat membiarkan dirinya

menjadi orang luar, karena ide tentang penulis sebagai orang luar dari

masyarakatnya adalah warisan pemikiran yang menyesatkan dari dunia

kapitalis (Scherer, 1981: 132-133).

Karya sastra bahkan menjadi analogi bagi ideologi. I.A. Richards

(melalui Eagleton, 1991: 19) mengatakan, bahwa ideologi seperti puisi

bagi kegiatan kritik sastra. Puisi menurutnya tidak berbicara mengenai

proposisi-proposisi, melainkan mengenai proposisi semu yang tampak

pada permukaan gramatisnya yang bersifat referensial, namun

sebenarnya secara tersembunyi bersifat emotiv atau ekspresiv

menyangkut realitas subjek yang namanya manusia, atau bersifat konativ,

ketika merujuk pada pencapaian efek-efek tertentu. Eagleton sendiri

membandingkan ideologi dengan karya sastra (ibid,: 22-24). Menurutnya

wacana-wacana ideologis memperlihatkan perbandingan tertentu antara

66

proposisi-proposisi empiris dan apa yang kita sebut sebagai cara pandang

terhadap dunia. Karya sastra biasanya mengandung proposisi-proposisi,

dan apa yang disebut fiksionalitas dalam karya sastra biasanya tidak

tampil untuk mewakili dirinya sendiri, namun untuk hal lain. Fiksionalitas

tersebut bertindak sebagai dukungan bagi cara pandang dunia yang

terkandung dalam teks itu sendiri. Wacana ideologis adalah jaringan yang

kompleks dari elemen-elemen empiris dan normativ, yang sifat dan

organisasi elemen empirisnya ditentukan oleh pemenuhan elemen-elemen

normativnya, sehingga formasi ideologis menjadi seperti sebuah novel.

Eagleton mengutip Paul de Man untuk memperkuat analoginya, yaitu:

karya sastra cenderung mengatakan satu hal, namun melakukan hal yang

lain.

Pandangan Eagleton tersebut dapat kita bandingkan dengan pendapat

Lukacs. Menurut Lukacs karya sastra berisi ideologi yang menyusup

melalui pandangan pengarang yang menciptakan karyanya di tengah-

tengah masyarakat yang mengitarinya dengan pandangan dunia sekaligus

berbagai persoalan yang dimilikinya. Lukacs mengatakan bahwa ideologi

atau pandangan dunia atau Weltanschauung mendasari karya pengarang,

dan pengarang berupaya mereproduksi pandangannya tersebut yang

memberi andil terhadap intensinya dan itulah prinsip terpenting yang

mendasari gaya penulisan sebuah karya (Lukács1963: 19; Kutha Ratna,

2007: 37).

67

6. Relasi Sintagmatik dan Paradigmatik

Penelitian ini akan diawali dengan analisis kebahasaan, yaitu dengan

cara membandingkan teks BSu, yaitu bahasa Jerman dan Teks

terjemahannya dalam BSa, bahasa Indonesia. Perbandingan dilakukan

pada tataran sintagmatik dan paradigmatik. Pemaparan berikut ini adalah

intisari dari penjelasan mengenai teori sintagmatik dan paradigmatik

Saussure yang disusun oleh Hans Otto Spillmann (1996: 45-49) dalam

bukunya Einführung in die germanistische Linguistik, dan Angelika Linke,

dkk. (1996: 80-144) dalam buku Studienbuch Linguistik, yang contoh-

contoh kasusnya disesuaikan dengan sistem bahasa Jerman.

Tanda-tanda dalam tuturan atau tulisan muncul seperti buah-buah

rantai dalam urutan linear. Urutan ini harus mematuhi aturan tertentu,

yaitu aturan-aturan yang harus sesuai dengan sistem yang dirujuk. Aturan

yang mengatur urutan-urutan tanda kebahasaan ini dari satu bahasa ke

bahasa lainnya berbeda. Dalam bahasa Jerman kalimat: Morgen ging ich

ins Kino tidak memenuhi aturan urutan linear, karena kata ging yang

artinya pergi dalam bentuk lampau tidak berterima dengan kata morgen

yang merupakan keterangan waktu yang akan datang. Contoh tersebut

menunjukkan, bahwa urutan setiap tanda diatur oleh struktur, atau dengan

kata lain, setiap kata yang muncul dalam ujaran atau kalimat hanya dapat

memiliki tetangga tertentu, yang oleh para strukturalis Amerika disebut

sebagai distribusi. Fenomena itu disebut relasi sintagmatik pada tataran

sintaksis. Relasi sintagmatik juga berlaku pada tataran semantis,

68

contohnya: saya makan roti. Saya dan roti sama-sama berstatus kata

benda, namun posisi keduanya tidak dapat dipertukarkan, karena akan

menimbulkan kerancuan logika. Namun relasi sintagmatik pada tataran

semantis dalam karya sastra tidak selalu sesuai dengan logika bahasa.

Banyak kasus yang mencederai solidaritas leksikal, seperti kalimat: Er

grunzt zufrieden yang bila diterjemahkan secara harfiah berbunyi: ia

menguik (seperti babi) puas.

Saussure mengatakan bahwa relasi sintagmatik adalah struktur

kebahasaan yang mendasar, yang realisasinya berada dalam kerangka

parole, yaitu pada wacana kebahasaan atau teks. Namun, dalam ujaran

setiap tanda dikelompokkan ke dalam kelas-kelas, sehingga mereka dapat

digunakan dalam lingkungan yang sama bila memenuhi syarat

distribusinya.

Contohnya: Der Student schreibt eine Klausur

Ein Studierender verfertigt seine Abschlußarbeit

Dieser Seminarteilnehmer formuliert die These

Bila relasi sintagmatik mengatur urutan tanda-tanda kebahasaan secara

linear, maka relasi paradigmatik didasarkan pada paradigma, yaitu

sejumlah tanda atau elemen-elemen kebahasaan yang dapat memasuki

posisi yang memenuhi syarat distribusi yang sama, dalam tuturan atau

teks. Menurut Saussure hubungan paradigmatik ini tidak dapat diamati

dalam kerangka parole, wacana atau teks. Ia adalah hubungan in

69

absentia, yang ada dalam kesadaran penutur atau pendengar dan

berhubungan erat dengan kompetensi kebahasaan seseorang. Jadi relasi

paradigmatik dapat disimpulkan sebagai kemungkinan pilihan yang

tersedia bagi penutur untuk berkomunikasi.

Relasi paradigmatik ini meliputi struktur leksikon, yang dalam sistem

bahasa Jerman dikenal dengan:

1. Lexemidentisches Feld atau kata-kata yang terbentuk dari sebuah

leksem dasar, misalnya dari leksem dasar lehr- dapat ditemukan

kata-kata: belehren (mengajari, mendidik); Lehre (Pelajaran);

Lehrer (guru); Lehrling (pembelajar),

2. Wortfeld yang pada dasarnya adalah kumpulan sinonim yang dapat

ditukar-tukar penggunaannya, karena memiliki makna yang kurang

lebih sama, seperti: Nervosität; Verwirrung, Tumult; Wirbel; Panik;

Unruhe, Ärger; Zorn, dll., yang bermakna kurang lebih sama, yaitu

kegugupan, kepanikan, kebingungan, kegelisahan.

3. Morphemidentisches Feld yaitu kata-kata yang mengalami pola

pembentukan yang sama, seperti penambahan prefiks be- dan

sufiks –ung. Contohnya: Bekleidung (kelengkapan berpakaian);

Beschreibung (penggambaran); Befolgung (mengikuti, menuruti),

dll.

4. Antonymisches Feld struktur dalam leksikon yang berdasarkan

pada lawan katanya, misalnya:

70

Liebe (cinta) - Haß (benci)Leben (hidup) - Tod (mati)schlafen (tidur) - wachen (bangun)sauber (bersih) - schmutzig (kotor)

Dalam kategori ini juga termasuk lawan kata yang dibentuk oleh

prefiks-prefiks, seperti:

Auf-/ zu-: auf-/zumachen (membuka/menutup)Ein-/ aus-: ein-/auspacken (membungkus atau mengemas/ membuka kemasan atau bungkusan)Be-/ent- : be-/entwaffnen (bersenjata/ melucuti senjata)Ver-/ ent-: ver-/enthüllen (menutupi atau menyelubungi/ membuka kedok atau selubung)

Dalam penelitian ini analisis hubungan sintagmatik dan paradigmatik

akan dilakukan untuk membandingkan fenomena-fenomena kebahasaan

yang ditemukan dalam naskah asli dan padanannya dalam naskah

bahasa sasaran, untuk kemudian dikelompokkan dalam kategori-kategori

kasus, lalu dianalisis faktor apa saja yang menyebabkan munculnya

masalah dalam penerjemahan.

Guna menemukan struktur ideologi dalam teks BSu, metode topique

yang dikembangkan oleh Boltanski dan Thevenot dapat diterapkan. Cara

kerja metode topique sangat mirip dengan metode isotopi, yaitu dengan

mengelompokkan elemen-elemen teks, dari kata hingga kalimat yang

berada dalam topik yang sama. Secara sintagmatik metode ini bekerja

mengidentifikasi dan menganalisis satuan-satuan leksikal yang

berasosiasi dengan enam kategori gramatikal dalam BSu, yaitu: 1. World

of inspiration, 2. The domestic world, 3. The world of opinion, 4. The civic

71

world, 5. The mercantile world, 6. The industrial world. Secara

paradigmatik, identifikasi dan analisis akan dilakukan dengan

membandingkan satuan-satuan leksikal yang berasosiasi dengan ke

enam kategori gramatikal pada TBSu dengan satuan leksikal yang sejajar

pada TBSa. Dari hasil perbandingan tersebut akan terlihat bagaimana

ideologi bergeser.

Berdasarkan uraian mengenai teori-teori yang telah dijabarkan secara

singkat, berikut adalah bagan kerangka konseptual yang menjadi

landasan penelitian ini.

Proses Penerjemahan

Gambar 5. Kerangka Konseptual

Bagan di atas memperlihatkan bahwa ideologi adalah sistem. Ke empat

kotak menjelaskan, bagaimana sistem bahasa dan budaya memengaruhi

Konteks TBSu:

Bahasa dan budaya +

Semangat zaman, dll

Pandangan hidup, keyakinan

Konvensi sastra

Penerbit

Pengarang

TBSu:

Struktur kebahasaan:

sintagmatik dan

paradigmatik +

Struktur cerita:

Ideologeme

Ideologi X

Konteks TBSa:

Bahasa dan budaya +

Pandangan hidup, keyakinan

Konvensi sastra

Penerbit +lembaga

kompetensi

penerjemah

TBSa:

Struktur kebahasaan: sintagmatik,paradigmatik

+

Struktur teks

ideologeme

Ideologi X‘

72

pandangan hidup pengarang. Pengarang menyebarkan gagasannya

dengan menciptakan karya yang dibangun berdasarkan sistem bahasa

dan sistem sastra tertentu. Oleh karena itu, gagasan atau ideologi

pengarang tersebut dapat ditelusuri secara intertekstual melalui analisis

struktur internal maupun eksternal teksnya. Penerjemah, sebagai

mediator antara karya pengarang dan pembaca dari latar belakang

bahasa dan budaya yag berbeda, juga memiliki pandangan hidup yang

dipengaruhi oleh struktur budaya masyarakat dari mana ia berasal. Selain

itu, ia juga memiliki pengetahuan atau kompetensi tertentu, yang berkaitan

dengan bahasa dan budaya si pengarang, yang karyanya ia terjemahkan.

Di luar bahasa, budaya, dan kompetensi yang membekali penerjemah,

biasanya ada unsur lain yang juga ikut memengaruhi hasil terjemahannya,

misalnya penerbit dan lembaga sensor. Seluruh konteks yang

melatarbelakangi penerjemah secara intertekstual akan menghasilkan

TBSa dengan struktur kebahasaan yang berbeda, yang tidak mustahil

menghasilkan struktur ideologi yang bergeser dari struktur aslinya dalam

TBSu.

B. Penelitian Terdahulu

Penelusuran pustaka yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa

aspek yang telah dikaji dalam penelitian mengenai penerjemahan karya

sastra di Indonesia adalah antara lain aspek struktural, seperti yang

dilakukan oleh I Dewa Gede Windhu Sancaya dari Universitas Indonesia

(UI) dalam thesisnya yang berjudul: Sam Pek Eng Tay („Geguritan

73

Sampik“) dalam Kesusastraan Bali: Suntingan teks dan Terjemahan

disertai Kajian Struktur dan Resepsi. Penelitian tersebut tidak

menyentuh aspek kebahasaannya. Penelitian lain yang menitik beratkan

pada struktur kesusastraan adalah yang dilakukan oleh Titik Pudjiastuti,

juga dari UI dalam disertasinya yang berjudul Sadjarah Banten:

Suntingan Teks dan Terjemahan disertai Tinjauan Aksara dan

Amanat. Pujiastuti menemukan konsep dalam sastra sejarah yang

merupakan rekaan sejarah sebagai proses perkembangan dari kejadian

masa lampau. Kedua penelitian tersebut menunjukkan kesepadanan

struktural antara teks BSu dan teks BSa.

Kajian mengenai aspek kebahasaan dalam penerjemahan karya

sastra dilakukan antara lain oleh Benny Hoedoro Hoed, juga dari UI,

dengan judul: Kala sebagai Pengungkap Waktu Kebahasaan dalam

Novel Bahasa Perancis dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia.

Hasil penelitian Hoed memperlihatkan, bahwa konsep mengenai waktu

dari satu bangsa ke bangsa lainnya berbeda dan perbedaan itu dapat

dilihat dari ekspresi kebahasaannya mengenai waktu. Penelitian lain

mengenai aspek kebahasaan dalam penerjemahan karya sastra dilakukan

oleh Frans Made Brata dari Universitas Udayana, Bali (dalam Linguistik

Indonesia, Tahun ke 26. No. 1, Februari 2008). Made Brata membahas

tentang pergeseran kohesi dan koherensi dari beberapa ungkapan yang

ada dalam novel berbahasa Inggris Mirror Image yang ditulis oleh Danielle

Steel dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sigarlaki

74

dengan judul Belahan Jiwa. Dalam kesimpulannya Made Brata

mengatakan bahwa pergeseran terjadi antara lain karena faktor linguistik

dan faktor budaya. Penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan bahwa

dalam penerjemahan, khususnya penerjemahan karya sastra, pergeseran

pada berbagai aspek atau karena berbagai faktor tidak dapat dihindari.

Meskipun bukan penelitian terhadap penerjemahan karya sastra,

penelitian yang dilakukan oleh Nurul Murtadho dari UI dengan judul

disertasi Metafora dalam Al-Qur`An dan terjemahan dalam Bahasa

Indonesia: Kajian atas metafora cahaya, kegelapan, dan beberapa sifat

Allah, juga menarik untuk dicermati, karena Al-Qur’an seringkali disebut

sebagai kitab suci yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Hasil analisis

mengungkapkan bahwa transposisi atau pergeseran bentuk dalam BSa

tidak berpengaruh pada pesan dalam BSu, sementara pergeseran luasan

makna ditemukan dalam korpus data.

Kajian mengenai penerjemahan yang agak berbeda dilakukan oleh

Farida Amalia dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung,

untuk dipresentasikan dalam forum pertemuan ilmiah para pengajar

bahasa Prancis se Indonesia di Bandung pada tahun 2009. Amalia

membahas mengenai Ideologi dalam Penerjemahan secara umum. Yang

ia maksudkan dengan ideologi di sini adalah prinsip atau keyakinan

tentang betul-salah dan baik-buruk dalam penerjemahan, yakni

terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca BSa atau

terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai masyarakat tersebut.

75

Amalia mengarahkan kajiannya pada penerjemah yang harus menentukan

pilihan cara menerjemahkan yang terbaik dengan mempertimbangkan

pembaca BSa

Melalui pendapat Maria Corti yang menegaskan, bahwa pembaca

harus menyadari hubungan antara karya dengan waktu dan tempat karya

tersebut diproduksi, Bassnett menyimpulkannya sebagai peran penting

pembaca yang dapat digunakan sebagai dasar bagi para penerjemah

(2002: 85-86):

Every era produces its own type of signedness, which is made to manifest in social and literary models. As soon as these models are consumed and reality seems to vanish, new signs become needed to recapture reality, and this allows us to assign an information-value to the dynamic structures of literature. So seen, literature is both the condition and the place of artistic communication between senders and addressees, or public. The messages travel along its path, in time, slowly or rapidly; some of these messages ventures into encounters that undo an entire line of communication; but after great effort a new line will be born. This last fact is the most significant; it require apprenticeship and dedication on the part of those who would understand it, because the hypersign function of greatliterary works transforms the grammar of our view of the world.

Bassnett ( ibid,: 83) mencatat beberapa masalah spesifik dalam

penerjemahan karya sastra, di antaranya, seperti yang ia kutip dari Anne

Cluysenaar, bahwa penerjemahan karya sastra seringkali hanya bertolak

dari pendekatan strukturalisme terhadap karya sastra, yang memandang

karya sastra hanya sebagai sebuah teks yang dibangun oleh seperangkat

sistem yang saling berhubungan. Akibatnya hubungan dialektis yang

terjalin antara teks dengan faktor-faktor dari luar yang menentukan

76

eksistensi karya tersebut terabaikan. Penerjemah harus menjadikan

konteks tempat dan waktu yang berada di belakang sebuah karya sebagai

bahan rujukan, untuk menunjukkan integritas dan tanggung jawabnya.

Analisis Bassnett atas penerjemahan sebuah novel berbahasa Jerman

karya Tomas Mann yang berjudul Der Zauberberg ke dalam bahasa

Inggris yang diberi judul The Magic Mountain, memperlihatkan, nilai-nilai

ideologis sebuah karya dapat bergeser karena penerjemahan. Pergeseran

nilai-nilai ideologis terjadi karena penerjemah cenderung mencari sinonim

kata-kata tanpa menelisik lebih jauh latar belakang dan konteks yang

berhubungan dengan makna kata yang ia terjemahkan. Selain itu,

kompetensi penerjemah yang rendah, baik dalam aspek kebahasaan

maupun kebudayaan TBSu, juga dapat menyebabkan pergeseran-

pergeseran yang tidak seharusnya terjadi

Kajian lain yang juga menyoroti masalah ideologi dalam penerjemahan

karya sastra dilakukan oleh Lucia Borghese (dalam Ives and Lacorte,

2010: 150-155), yang meneliti dongeng-dongeng yang diterjemahkan oleh

Gramsci. Selain dikenal dengan pemikirannya mengenai teori Hegemoni

yang didasari oleh marxisme, ternyata Gramsci juga menunjukkan

ketertarikan yang besar terhadap linguistik dan penerjemahan. Ia telah

menerjemahkan banyak teks berbahasa Jerman ke dalam bahasa Italia,

termasuk di antaranya kumpulan dongeng yang dikumpulkan oleh Grimm

bersaudara. Dalam dongeng yang diterjemahkan oleh Gramsci, Borghese

melihat tendensi sekularisasi terhadap kumpulan dongeng tersebut,

77

seperti Brüderchen und Schwesterchen (Little Brother and Little Sister)

dan Hänsel und Gretel (Hansel dan Gretel atau Hans dan Gretel).

Sekularisasi dilakukan oleh Gramsci dengan cara mengganti kata-kata,

atau frasa-frasa yang berhubungan dengan kekuatan ketuhanan, atau

kekuatan supra natural, dengan yang bersifat rasional dan logis, atau

bahkan membuangnya sama sekali. Menurut penelusuran Borghese,

Gramsci melakukan itu semua untuk mendidik keponakannya melalui

bacaan dongeng yang akan menuntun pada rasionalitas bukan pada

kepasrahan terhadap eksistensi supranatural.

Kasus lain yang menarik adalah yang diangkat oleh Kate James

dalam jurnal penerjemahan Translation Jornal and the Author, 2011

(http://translationjournal.net/journal/56feminine.htm Last updated on:

03/18/2011 19:02:25), dengan judul Speaking in the Feminine:

Consideration for Gender-Sensitive Translation. Dalam makalahnya

James membahas isu gender dalam penerjemahan berangkat dari

kegalauan Susanne de Lotbinière-Harwood setelah menerjemahkan

kumpulan puisi karya Lucien Francoeur yang berjudul Neons in the Night

dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. De Lotbinière-Harwood

adalah seorang penerjemah yang peka terhadap isu-isu gender. Dalam

pengantar hasil terjemahannya atas karya Lucien Francoeur, de

Lotbiniére-Harwood menulis:

Francoeur was the first and last male poet I translated. During the three years I spent on his poetry, I realized with much distress that

78

my translating voice was being distorted into speaking in the masculine. Forced by the poem's stance, by language, by my profession, to play the role of male voyeur. As if the only speaking place available, and the only audience possible were male-bodied. I became very depressed around meaning'. (De Lotbinière-Harwood, dalam James, 2011)

James melihat upaya yang dilakukan de Lotbiniére-Harwood untuk

memilih komposisi kalimat yang merupakan hasil kompromi dengan

pandangan hidupnya sebagai seorang yang gender-sensitive agar tetap

dapat mempertahankan gambaran tokoh petualang seks dalam puisi

tersebut yang audiensnya laki-laki. Upaya-upaya itulah yang membuat de

Lotbiniére-Harwood merasa tertekan ketika ia menerjemahkan kumpulan

puisi karya Francoeur.

Sejauh yang dapat ditelusuri, penelitian mengenai penerjemahan di

Indonesia, yang meletakkan fokusnya pada masalah ideologi, belum ada.

Ideologi sebagai bagian dari jati diri manusia yang dibentuk melalui proses

internalisasi kegiatan kebudayaan (Althusser), menjadi aspek yang juga

penting untuk ditelusuri dan dipahami melalui penerjemahan karya sastra

sebagai kontribusi pada kegiatan komunikasi interkultural, seperti yang

akan dilakukan oleh penelitian ini.

BAB III

79

METODE PENELITIAN

Kerangka umum metode penelitian yang diusulkan untuk mengkaji

pergeseran ideologi dalam penerjemahan karya sastra diperlihatkan

secara skematis oleh gambar berikut ini:

Gambar 6. Skema Kerangka Pikir

TBSu TBSa

Pengumpulan dan Pencatatan

Data

Identifikasi Fenomena-fenomena

Secara Sintagmatik Secara Paradigmatik

Kategorisasi Jenis Perubahan

Gambaran Konteks:

a. Pengarangb. Semangat Zamanc. Penerbit TBSu

d. Penerjemahe. Konteks Sosial

dan Budayaf. Penerbit TBSa

Kuantifikasi Jenis Perubahan

Analisis Pergeseran Ideologi

Individual Kolektif

80

Penelitian ini bersifat kualitatif karena bertujuan untuk memahami suatu

fenomena, yaitu adanya kecenderungan pergeseran ideologi dalam

penerjemahan karya sastra, khususnya karya sastra berbahasa Jerman

yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Metode yang dipakai

dapat dijelaskan langkah-langkahnya sebagai berikut:

Langkah 1: Formulasi gambaran konteks yang berhubungan dengan

TBSu yang meliputi pengarang, semangat zamannya dan penerbit

karyanya, serta TBSa, yang meliputi penerjemah, konteks sosial

budayanya, dan penerbit TBSa. Formulasi ini penting karena seperti yang

dikemukakan oleh banyak teori ideologi, konteks berperan besar dalam

pembentukan ideologi.

Langkah 2: Pengumpulan data primer, yang dilakukan dengan terlebih

dahulu membandingkan tiga TBSu, yaitu karya sastra berbahasa Jerman

dengan ketiga versi terjemahannya dalam BSa, bahasa Indonesia. Data

dikumpulkan berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dari

perbandingan ketiga TBSu dengan ketiga versi terjemahannya. Langkah

pertama ini dilakukan dengan panduan prinsip umum penerjemahan, yang

harus memerhatikan: 1. Aspek kebahasaan, baik pada tataran

sintagmatik, misalnya struktur sintaksisnya, maupun pada tataran

paradigmatik, misalnya pilihan katanya. 2. Aspek kebudayaan. 3. Aspek

konvensionalnya (yang berkaitan dengan genre teks), dll. Fenomena-

fenomena yang ditemukan, yang berkaitan dengan aspek-aspek tersebut

akan diambil sebagai data utama. Setiap data diberi nomor yang sama,

81

baik dalam TBSu maupun dalam TBSa. Setiap data yang telah diberi

nomor kemudian dicatat dalam buku catatan. Data lainnya, yang berkaitan

dengan konteks setiap karya, dikumpulkan melalui studi dokumentasi,

seperti meneliti surat-surat pribadi, autobiografi, kritik sastra, dll. Selain itu

dilakukan juga wawancara semi terstruktur dengan narasumber yang

dianggap kompeten, untuk lebih memahami gejala-gejala yang khas,

misalnya yang berkaitan dengan istilah-istilah dan kondisi atau situasi

yang berkaitan dengan zaman/ periode tertentu.

Langkah 3: Pemilahan informasi dengan cara:

a. Identifikasi fenomena yang muncul dari setiap data berdasarkan

gejalanya, apakah gejala struktur kebahasaan, gejala budaya,

politik, dll.

b. Pemberian kode pada setiap kelompok informasi yang

menunjukkan gejala yang sama, yang diuraikan berdasarkan ciri-

cirinya, dimensi, dan faktor-faktor lain yang memengaruhinya.

Dalam tahap ini, selain analisis kebahasaan secara sintagmatik dan

paradigmatik, juga dilakukan analisis intertekstual, yang dapat

menjelaskan pengaruh faktor-faktor lain (di luar teks) terhadap suatu

gejala.

Langkah 4: Kategorisasi fenomena, dengan cara mengelompokkan data

yang berkode sama, lalu memberi nama kelompok data tersebut

berdasarkan kesamaan temanya. Setelah itu akan disusun pola umum

82

yang mampu merepresentasikan sebanyak mungkin gejala yang diteliti.

Pola umum ini akan dibuat dalam bentuk matriks, yang memperlihatkan

hubungan kausalitas antar kategori dan konsekuensi yang ditimbulkannya.

Langkah 5: Kuantifikasi hasil kategorisasi secara sederhana dan disusun

ke dalam bentuk tabel untuk memperlihatkan bentuk perubahan apa yang

paling banyak terjadi, dan dalam penerjemahan karya yang mana.

Informasi dalam bentuk tabel ini kemudian diinterpretasi untuk

memberikan gambaran awal mengenai potensi pergeseran ideologi yang

dapat terjadi dalam penerjemahan karya-karya yang diteliti.

Langkah 6: Analisis pergeseran ideologi dilakukan dengan menggunakan

metode analisis topique yang dikembangkan oleh Boltanski dan

Thévenot. Analisis setiap kategori akan dilakukan secara paralel antara

TBSu dengan TBSa, dengan mengelompokkan bagian-bagian teks yang

sesuai dengan topik yang berkaitan dengan tokoh-tokoh dalam cerita.

Dalam analisis ideologi ini, hasil analisis kategori akan menjadi patokan

untuk melihat bagaimana pergeseran pada setiap kategori terjadi, dan

pada akhirnya, bagaimana ideologi bergeser.

Langkah 7: Analisis lebih mendalam mengenai pergeseran ideologi

dengan meninjau lebih jauh faktor-faktor di luar teks yang memengaruhi

terjadinya pergeseran, seperti faktor sistem kebahasaan yang berbeda,

faktor kompetensi penerjemah, baik dalam hal kebahasaan maupun

dalam hal pengetahuan sosial dan budaya bahasa teks sumber, faktor

83

penerbit, faktor kondisi sosial dan politik masyarakat bahasa sasaran, dll.

Analisis ini menggunakan pendekatan intertekstualitas.

Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah penerjemahan karya sastra,

khususnya dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia, dengan

perhatian khusus pada bagaimana terjadinya pergeseran ideologi. Fokus

analisis adalah:

1. Bentuk pergeseran struktur kebahasaan pada tataran sintagmatik

dan paradigmatik dari TBSu ke TBSa.

2. Peran faktor-faktor di luar teks dalam menyebabkan terjadinya

berbagai bentuk pergeseran tersebut.

3. Korelasi antara pergeseran kebahasaan, faktor-faktor di luar teks

BSu dan BSa terhadap terjadinya pergeseran ideologi.

Karya yang diteliti berupa tiga buah roman berbahasa Jerman beserta

versi terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yaitu: Die Verwandlung

karya Franz Kafka dengan versi terjemahannya yang berjudul

Metamorfosis; Und Friede auf Erden karya Karl May, yang diterjemahkan

dengan judul Dan Damai di Bumi, serta Herr der Diebe, karya Cornelia

Funke, yang diterjemahkan dengan judul Pangeran Pencuri.

84

Populasi dan Teknik Sampel

Populasi penelitian ini adalah karya sastra berbahasa Jerman beserta

terjemahannya dalam bahasa Indonesia, serta faktor yang berkaitan

dengan penerjemahan tersebut, seperti pengarang TBSu dan penerjemah

TBSa, dan informasi-informasi terkait TBSu dan TBSa. Strategi sampling

yang digunakan adalah sampling dengan variasi maksimal untuk

menyajikan beragam perspektif. Karya yang dipilih memiliki perbedaan

karakteristik, yaitu: kategori belle lettre diwakili oleh karya Franz Kafka;

kategori populer diwakili oleh karya Karl May; dan kategori cerita anak

yang diwakili oleh Cornelia Funke. Selain itu ketiganya juga bisa dianggap

mewakili masa atau periode yang berbeda, yaitu: akhir abad 19, awal

abad 20 yang diwakili oleh karya Karl May dan karya Franz Kafka; dan

abad 21 diwakili oleh Karya Cornelia Funke.

Teknik Pengumpulan Data

Yang dimaksud sebagai data di sini adalah bagian-bagian teks, yang

berupa kata, frasa, kalimat dan paragraf. Data tersebut diperoleh dari hasil

membandingan dua buah teks secara paralel, yaitu TBSu dengan TBSa.

Fenomena-fenomena yang muncul dari perbandingan itu akan menjadi

data utama.

Dalam analisis akan diperlukan data pendamping yang meliputi

informasi mengenai pengarang dan penerjemah, dan segala sesuatu yang

berkaitan dengan keduanya. Data pendamping ini berhubungan dengan

85

dunia di luar teks, seperti konteks waktu, sosial, budaya, dll. Untuk itu

diperlukan studi dokumentasi, wawancara semi terstruktur dan diskusi

dengan narasumber yang memahami konteks yang melatari TBSu.

Wawancara dan diskusi dengan narasumber ini juga menjadi alat cross

check untuk melengkapi analisis yang dilakukan peneliti.

Data yang berhubungan dengan konteks yang melatari TBSa

(penerjemah, penerbit), akan dikumpulkan, selain dengan studi

kepustakaan juga dengan wawancara tak langsung, yaitu melalui

korespondensi, mengingat kendala jarak yang dihadapi peneliti.

86

Daftar Pustaka

Albrecht, Jörn. 2006. Literarische Übersetzung. W.B.G. Bibliothek, Darmstadt

Allen, Graham. 2004. Intertextuality. Routledge, London, New York.

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Jalasutra, Yogyakarta.

Amalia, Farida. 2009. Ideologi dalam Penerjemahan. Makalah disajikan dalam Forum Ilmiah Pengajar Bahasa Prancis Prancis se Indonesia di Bandung, April 2009.

Arnold, Heinz Ludwig & Heinrich Detering. 1996. Grundzüge der Literaturwissenschaft. Deutsche Taschenbuch Verlag, München.

Barker, Chris. 2003. Cultural Studies: Theory and Practice. Sage Publication, Thousand Oaks, New Delhi.

Bassnett, Susan. 2002. Translation Studies. Routledge, London, New York.

Boas, Franz. 1966. Introduction to Handbook of American Indian Languages. University of Nebraska Press, Lincoln, London.

Cronin, Michael. 2003. Translation and Globalization. Routledge, London, New York.

.......................... 2006. Translation and Identity. Routledge, London, New York.

Eagleton, Terry. 1991. Ideology: An Introduction. Verso, London, New York.

.......................... 1996. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Diterjemahkan oleh Harviah Widyawati dan Evi Setyarini. 2006. Jalasutra, Yogyakarta.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Indiana University Press, Bloomington, London.

Fokkema, D.W. & Elrud Kunne Ibsch. 1977. Theories of Literature in The Twentieth Century. C. Hurst & Company, London.

Funke, Cornelia.2000. Herr der Diebe. Dressler Verlag, Hamburg.

87

........................... 2000. Pangeran Pencuri. Diterjemahkan oleh Hendarto Setiadi. 2006. Katalis dan Gramedia, Jakarta.

Hardiman, FX.Budi. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan bersama Jürgen Habermas. Kanisius, Yogyakarta.

Hawkes, David. 1996. Ideology. Routledge, London, New York.

van Helt, Meike. 2003. Manfred Pfister: Konzepte der Intertextualität. Bahan Kuliah di Freie Universität Berlin, untuk Semester Musim Panas 2003.

Hoed, Benny Hoedoro. 1984. Kala Sebagai Pengungkap Waktu Kebahasaan dalam Novel Bahasa Perancis dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia. Disertasi. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

-----------------------------. 1993. Pengetahuan dasar Tentang Penerjemahan. Pusat Penerjemahan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Ives, Peter & Rocco Lacorte. 2010. Gramsci, Language, and Translation. Lexington Books, Lonham, Boulder, New York.

Kafka, Franz. 1970. Sämtliche Erzählungen. Fischer Taschenbuch Verlag, Frankfurt am Main.

...................... 1970. Metamorfosis. Diterjemahkan oleh Juni Liem. 2008. Homerian Pustaka, Yogyakarta.

Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford University Press, Oxford.

Krywalski, Diether. 1995. Knaurs Lexikon der Weltliteratur: Autoren, Werke, Sachbegriffe. Knaur, München.

Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Lukács, Georg. 1963. The Meaning of Contemporary Realism. Merlin Press, London.

Made Brata, Frans. 2008. Pergeseran Kohesi dan Koherensi dalam Penerjemahan Novel Mirror Image karya Danielle Steele. Artikel, dimuat dalam jurnal Linguistik Indonesia. Tahun ke 26.No.1.

Malmkjaer, Kirsten. 2005. The Linguistics Encyclopedia, Second Edition. Routlegde, London, New York.

88

Malrieu, Jean Pierre. 1999. Evaluative Semantics: Cognition, Language, and Ideology. Routledge, London, New York.

May, Karl. 1958. Und Friede auf Erden. Karl-May-Verlag, Bamberg, Radebeul.

................. 1958. Dan Damai di Bumi. Diterjemahkan oleh Agus Setiadi dan Hendarto Setiadi. 2002. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Mc. Gilvray, James. 2005. The Cambridge Companion to Chomsky. Cambridge University Press, Cambridge.

Murtadho, Nurul. Tanpa Tahun. Metafora dalam Al-Qur’An dan Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: Kajian Atas Metafora Cahaya, Kegelapan, dan Bebera Sifat Allah. Disertasi. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Nida, Eugene A. 1964. Toward a Science of Translating. E.J.Brill, Leiden.

Pudjiastuti, Titik. Tanpa Tahun. Sadjarah Banten: Suntingan Teks dan Terjemahan disertai Tinjauan Aksara dan Amanat. Disertasi. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Putra Yadnya, Ida Bagus. 2006. Implikasi Budaya dalam Penerjemahan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Linguistik Fakultas Sastra Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Denpasar. FIB. Udayana.

Saleh, Noer Jihad. 2007. The Linguistic Competence of Indonesian Translators in Translating English Texts into Indonesian Language: With Special Reference to Translators in Makassar. Disertasi. Tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Sancaya. I Dewa G.W. Tanpa Tahun. Sam Pek Eng Tay (Geguritan Sampik) dalam Kesusastraan Bali: Suntingan Teks dan Terjemahan: Kajian Struktur dan Resepsi. Thesis. Tidak diterbitkan. Jakarta. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Sapir, Edward. 1985. Selected Writings in Language, Culture, and Personality. University of California Press, Berkeley, Los Angeles, London.

de Saussure, Ferdinand. 1922. Course in General Linguistics. Diterjemahkan oleh Roy Harris. Tanpa tahun. Duckworth, London.

Scherer, Savitri. 1981. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi. Diterjemahkan oleh Dalih Sembiring dkk. 2012. Komunitas Bambu, Jakarta.

89

Schneider, Hans-Wolfgang. 2007. Allgemeine Übersetzungstheori: Verstehen und Wieder-geben. Romanistischer Verlag, Bonn.

Spillmann, Hans-Otto. 1996. Einführung in die germanistische Linguistik. Langenscheidt, Berlin.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Pustaka Jaya, Jakarta.

Thompson, John B. 1990. Ideology and Modern Culture. Polity Press, Cambridge.

Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture: Narratives of Difference and Belonging. Open University Press, Berkshire.

Wehantouw, O.J. 1988. Theory and Practice of Teaching Translation to University Students. Thesis. Tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Whorf, Benjamin Lee. 1956. Language, Thought, and Reality. Wiley, New York.

Wills, Wolfram. 1996. Übersetzungsunterricht: Eine Einführung. Günter Narr Verlag, Tübingen.

Žižek, Slavoj. 1989. The Sublime Object of Ideology. Verso, London, New York.

................... . 1994. Mapping Ideology. Verso, London, New York.

Sumber Internet:

James, Kate. 2011. Speaking in the Feminine: Consideration for Gender-Sensitive Translation. Translation Jornal and the Author, 2011 (http://translationjournal.net/journal/56feminine.htm Last updated on: 03/18/2011 19:02:25), di akses 5 Agustus 2011.