Upload
vothuan
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | A 075
Penerapan Teori Topografi pada Lanskap Arsitektur Selasar
Sunaryo
Dadang Hartabela
Magister Arsitektur, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Abstrak
Penerapan suatu teori dalam sebuah rancangan arsitektur merupakan sesuatu hal yang dapat
ditelusuri keberadaannya untuk mengetahui mengapa suatu karya arsitektur berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat secara signifikan. Begitu pula dengan rancangan arsitektur Selasar Sunaryo
yang cukup menarik perhatian masyarakat. Diduga rancangannya menggunakan teori Topografi
yang dijelaskan oleh Gregotti (1966) dan McHarg (1971). Teori ini menjelaskan bahwa hubungan
antara manusia (man-made form) dan alam (earth/nature) sudah seharusnya saling menguntungkan.
Tulisan ini berusaha menunjukkan adanya penerapan teori topografi di dalam rancangan arsitektur
Selasar Sunaryo tersebut. Data diperoleh dari observasi dari beberapa buku dan artikel yang berupa
data teks dan data gambar. Sedangkan data dianalisis menggunakan analisis dekriptif yang
menguraikan data teks dan data gambar dengan mengidentifikasi ciri atau karakteristik objek
berdasarkan teori yang digunakan. Hasil penelitian ditemukan bahwa teori Topografi ini benar
diterapkan dan bahkan menjadi konsep di berbagai konteks, yaitu pada pemanfaatan kontur lahan,
konsep desain ruang, bahkan pada detail lanskapnya.
Kata-kunci : Teori topografi, Selasar Sunaryo, galeri seni, man-made form, earth/nature
Pendahuluan
Penerapan suatu teori dalam sebuah rancangan
arsitektur merupakan sesuatu hal yang dapat
ditelusuri keberadaannya. Hal ini dilakukan un-
tuk mengetahui mengapa suatu karya arsitek-
tur tersebut dapat memberikan pengaruh yang
signifikan dalam kehidupan masyarakat. Selasar
Sunaryo Art Space (SSAS) atau yang lebih
dikenal Selasar Sunaryo merupakan sebuah
karya arsitektur berupa galeri seni yang cukup
banyak diminati untuk dikunjungi oleh wisa-
tawan, baik lokal maupun internasional. Hal ini
dibuktikan dengan masuknya nama Selasar
Sunaryo dalam situs-situs online internasional
seperti world-guides.com, The Jakarta Post,
tripadvisor.com, wikipedia, dan beberapa situs
lokal seperti sebandung.com, bandung. Jack-
tour.com, tempatwisataseru.com, dan masih ba-
nyak lagi. Berbagai kegiatan pameran berskala
nasional dan internasional pun sering diadakan
di galeri ini, seperti Pameran Instalasi “Rupa
Karya Seniman Muda” (merdeka.com, 2014),
Pameran Karya 15 Seniman Filipina (merde-
ka.com, 2016), Pameran grafis The Doublefold
of Art-2RC Between The Artist And Artificer An
All Italian Experience (Tempo, 2016), Pameran
Arsitektur Indonesialand (dewi-magazine.com,
2016), dan masih banyak lagi yang lainnya. Di
lain sisi, ada sebuah teori yang dapat menje-
laskan adanya hubungan antara sebuah karya
rancangan buatan manusia dengan alam yaitu
„teori topografi‟ sebagaimana yang dijelaskan
oleh Gregotti (1966) dan McHarg (1971). Besar-
nya minat pengunjung ke gaeri Selasar Sunaryo
yang merupakan karya buatan manusia diduga
karena mampu menghadirkan komunikasi anta-
ra buatan manusia dengan alam. Dengan demi-
kian, dugaan selanjutnya adalah bahwa ranca-
ngan arsitektur Selasar Sunaryo menggunakan
teori Topografi tersebut.
Pada tulisan ini akan ditunjukkan bagaimana
penerapan teori topografi tersebut di dalam
perancangan lanskap arsitektur Selasar Sunaryo
Penerapan Teori Topografi pada Lanskap Arsitektur Selasar Sunaryo
A 076 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Art Space (SSAS), sebuah karya arsitektur dari
arsitek Baskoro Tedjo dan seniman Sunaryo.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuali-
tatif (Creswell, 2008) dan deskriptif (Groat &
Wang, 2002) yang menguraikan per-masalahan
untuk menjelaskan adanya penerapan teori to-
pografi pada rancangan arsitektur Selasar Su-
naryo. Data diperoleh dengan cara dokumen-
tasi dari catatan-catatan yang berkaitan dengan
perancangan arsitektur Selasar Sunaryo dan
teori Topografi yang bersumber dari buku dan
artikel. Data yang diperoleh berupa data teks
dan data gambar. Data dianalisis menggunakan
analisis interpretasi yang menguraikan data teks
dan data gambar dengan mengidentifikasi ciri
atau karakteristik elemen-elemen pada objek
yang diteliti berdasarkan teori yang digunakan.
Kemudian dilakukan interpretasi berdasarkan
persamaan-persamaan yang ditemukan antara
teori dan rancangan.
Teori Topografi
Istilah „topography‟ atau dalam bahasa Indone-
sia topografi, lahir dari dua tokoh yaitu Vittorio
Gregotti (1966) dan Ian McHarg (1971) di era
globalisasi. Istilah ini kemudian menjadi sebuah
teori yang menjelaskan bahwa adanya integrasi
antara „man-made form‟ dan „earth/nature‟ atau
hubungan antara manusia dan ekosistemnya.
Yaitu bagaimana objek arsitektur dapat terinteg-
rasi dengan topografi di sekitarnya, sehingga
kemudian lanskap menjadi „focal point‟ bagi para
arsitek. Salah satu contohnya adalah proyek
lanskap di IBM Campus di Solana, West Texas
(1992) yang dirancang oleh Peter Walker. Selain
itu ada pula karya Peter walker lainnya yang
menerapkan konsep topografi yaitu Marina Line-
ar Park (1988), di San Diego, California. Pada
proyek ini Walker mengubah sistem rel kereta
api konvensional menjadi taman subtropis yang
indah.
Teori topografi diterjemahkan pula dengan
sebuah integrasi suatu infrastruktur baru ke
dalam topografi eksisting. Seperti yang terjadi di
TGV station (1995) di Avignon, Michel Desvigne
dan Christine Dalnoky mengintegrasikan stasiun
dengan karakter lanskap eksisting, yaitu antara
area parkir dan pohon lemon. Sedangkan
Bernard Lassus memotong jalan menjadi Geo-
logical Park dengan membuat jembatan penye-
brangan yang hijau. Tujuannya adalah untuk
memelihara pola pergerakan satwa agar ja-
ringannya tidak terputus oleh jalan raya yang
dibuat oleh manusia. Hal ini membantu satwa
untuk berpindah atau menyeberagi jalan tol.
Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat di-
simpulkan bahwa topografi merupakan teori
yang menjelaskan adanya upaya menjalin hubu-
ngan baik antara manusia dan lingkungan eko-
sistem di sekitarnya.
Gambaran Kondisi Fisik Lingkungan Sela-
sar Sunaryo
Secara garis besar Selasar Sunaryo ini terbagi ke
dalam dua level, yaitu level bawah dan level
atas. Level bawah digunakan untuk menampil-
kan karya seni para seniman kontemporer
Indonesia dan pameran seni visual kontemporer
zona Asia Pasifik. Sedangkan level atas dan
ruang pameran outdoor digunakan untuk me-
nampilkan karya-karya pilihan yang dicipta-kan
oleh Sunaryo, seperti lukisan, sclupture, karya
cetak, dan instalasi. Selasar ini terdiri dari 8
ruang utama, yaitu Ruang A, Ruang B, Ruang
Sayap, Bale Tonggoh, Bale Handap, Stone
Garden, Amphitheater, dan Pustaka Selasar.
Gambar 1. Denah Tata Massa Bangunan Lantai Atas
Selasar Sunaryo. (Sumber: Iskandar dkk, 2013)
Selain itu ada pula ruang khusus untuk melayani
pengunjung di area servis, yaitu kafe Kopi
Selasar dan ruang Cinderamata. Ruang A memi-
liki luas sekitar 177 m2, digunakan untuk me-
nunjukkan karya-karya Sunaryo. Sedangkan
ruang B (sering juga disebut Galeri B) memiliki
Dadang Hartabela
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | A 077
luas sekitar 210 m2. Ruangan ini juga diguna-
kan untuk pameran skala besar mempromo-
sikan seniman Indonesia dan luar negeri.
Gambar 2. Denah Tata Massa Bangunan Lantai
Bawah Selasar Sunaryo. (Sumber: Iskandar dkk,
2013)
Ruang Sayap memiliki luas sekitar 48 m2. Fung-
si ruang ini sama dengan ruang A dan B, biasa-
nya digunakan untuk menampilkan pamer-an
karya-karya dari para seniman muda Indonesia
terbaik dan koleksi karya seni yang sifatnya
permanen. Bale Tonggoh memiliki luas sekitar
190 m2, adalah bangunan semi-permanen yang
berfungsi sebagai ruang proyek dan ruang pa-
meran yang bersifat sementara. Bale Handap
(aula) adalah ruang serbaguna yang biasa digu-
nakan untuk diskusi, pertunjukan, serta bebe-
rapa event dan workshop. Amphitheater berluas
sekitar 198 m2 adalah sebuah ruang terbuka
yang membentuk lingkaran dengan sebuah latar
berukuran besar. Sedangkan Stone Garden yang
memiliki luas sekitar 190 m2, adalah sebuah
ruang terbuka yang digunakan untuk memamer-
kan karya seni Sunaryo yang terbuat dari batu.
Hasil dan Pembahasan
Artspace ini terletak dekat dengan taman hutan
raya Djuanda, kawasan tebing yang berada di
utara kota Bandung. Tantangan sekaligus ke-
lebihan yang dimanfaatkan dengan baik oleh
arsitek adalah kondisi site yang berkontur. Ba-
ngunan ini mampu merespon, memanfaatkan,
dan memaksimalkan potensi alam yang ditawar-
kan oleh tempat ini. Integrasi antara „man-made
form‟ dan „earth/nature‟ terjadi dalam harmoni
bentuk bangunan dan kontur lahan.
Gambar 3. Integrasi Bangunan Selasar Sunaryo pada
lingkungan berkontur. (Sumber: ar.tb.ac.id, 2015)
Hubungan antara objek buatan manusia dan
objek alam sangat berkaitan erat satu sama lain.
Misalnya pemilihan lokasi Amphiteather yang
cerdik dengan memanfaatkan perbedaan level
ketinggian tanah. Meskipun bentuk amphithe-
ater ini adalah memusat sebagaimana mesti-nya,
namun pengunjung dapat merasakan ada-nya
integrasi antara buatan manusia dengan alam
karena letak posisinya terhadap konteks sangat
baik. Posisinya yang berada di level bawah dan
tanpa atap (terbuka seluruhnya) juga menjadi
pendukung terbentuknya suasana alami tersebut.
Akan berbeda rasanya jika amphitheater terse-
but diletakkan di level atas atau di ruang
tertutup dan semi terbuka. Dengan demikian,
kesan menyatu dengan alam menjadi optimal
(lihat gambar 3).
Gambar 4. Integrasi Elemen Bangunan Selasar
Sunaryo pada lingkungan berkontur. (Sumber:
selasarsunaryo.org, 2015)
Hubungan antara objek buatan manusia dan
objek alam sangat berkaitan erat satu sama lain.
Misalnya pemilihan lokasi Amphiteather yang
cerdik dengan memanfaatkan perbedaan level
ketinggian tanah (lihat gambar 4). Meskipun
bentuk amphitheater ini adalah memusat seba-
Penerapan Teori Topografi pada Lanskap Arsitektur Selasar Sunaryo
A 078 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
gaimana mestinya, namun pengunjung dapat
merasakan adanya integrasi antara buatan ma-
nusia dengan alam karena letak posisinya terha-
dap konteks sangat baik. Posisinya yang berada
di level bawah dan tanpa atap (terbuka selu-
ruhnya) juga menjadi pendukung terbentuk-nya
suasana alami tersebut. Akan berbeda rasanya
jika amphiteather tersebut diletakkan di level
atas atau di ruang tertutup dan semi terbuka.
Gambar 5. Integrasi Pohon pada area servis Kopi
Selasar. (Sumber: www.anadanani.wordpress.com,
2016)
Dengan demikian, kesan menyatu dengan alam
menjadi optimal. Demikian pula halnya dengan
keberadaan Stone Garden di awal masuk
artspace ini. Terlihat ada upaya arsitek dan seni-
man Sunaryo untuk menghadirkan suasana alam
sejak awal bagi pengunjung. Ikatan antara
karya cipta seniman dan lingkungannya coba
dibangun secara apik.
Teori topografi yang menghadirkan keterikatan
alam manusia dan alam lingkungan juga menja-
di bagian integrasi di area servis Kopi Selasar.
Dua pohon besar dibiarkan tetap berada di
tempatnya (lihat gambar 5). Pada bagian yang
lebih detail, di sebelah massa bangunan utama
terdapat taman dengan desain lanskap yang
diisi oleh vegetasi, sand garden beserta instalasi
dan batu yang disusun sedemikian rupa layak-
nya sebuah zen garden. Melalui batu yang di-
ceruk dengan menggunakan mesin ini, detail
lanskap ini seolah mengajak pengunjung untuk
berpikir bahwa ada unsur alam dan unsur
buatan manusia (man-made). Selain itu gradasi
dari vegetasi kemudian ke pasir dan dinding
masif yang terbuat dari beton seolah sebuah
jembatan yang menghubungkan antara alam
dan manusia (lihat gambar 6).
Gambar 6. Integrasi detail pada area taman Selasar
Sunaryo. (Sumber: www.selasarsunaryo.org, 2015)
Kesimpulan
Teori topografi yang menghadirkan keterikatan
alam manusia dan alam lingkungan ini terbukti
diterapkan dalam perancangan Selasar Sunaryo
Art Space (SSAS). Bahkan teori ini menjadi kon-
sep di berbagai konteks. Dalam Selasar Sunaryo
ini teori tersebut diterapkan pada pe-manfaatan
kontur lahan, konsep desain ruang, bahkan
pada detail lanskapnya. Keberhasilan arsitek
Baskoro Tedjo dan seniman Sunaryo dalam
mengintegrasikan kedua unsur tersebut satu
sama lain menjadikan art space ini suatu tempat
yang menarik dan menjadi tujuan wisata yang
reflektif.
Daftar Pustaka
Frampton, Kenneth. (2007). Modern Architecture: A
Critical History. Chapter 7. Thames & Hudson.
Iskandar, Isma, dkk. (2013). Fleksibilitas Sistem
Elemen Interior pada Selasar Sunaryo Art Space.
Jurnal Rekajiva No.2 Vol.1. Institut Teknologi
Nasional. Bandung
The Building dan Fasilitas. Diakses pada 7 Desember
(2015) dari http://selasarsunaryo.org
Selasar Sunaryo Art Space/Baskoro Tedjo & Associates.
Architecture Review. Diakses pada 7 Desember
(2015) dari http://atypes.com/archives/selasar-
sunaryo-art-space-baskoro-tedjo-associates