Upload
muhammad-solikin
View
48
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
A. Fenomena Bencana Longsor
Tanah merupakan suatu sistem terbuka, artinya sewaktu-waktu tanah itu dapat
menerima tambahan bahan dari luar, atau kehilangan bahan-bahan yang telah dimilikinya; jadi
tanah itu mempunyai input (hasil pelapukan bahan induk, endapan baru, air hujan dan
pengairan, sisa-sisa tanaman, energi dan sebagainya) dan output (erosi tanah, penguapan air,
penyerapan unsur hara, pencucian, pancaran panas dan sebagainya) (Hardjowigeono, 1989:
24-25).
Tanah di alam terdiri dari campuran butiran-butiran mineral dengan atau tanpa
kandungan bahan organik. Butiran-butiran dengan mudah dipisah-pisahkan satu sama lain
dengan kecocokan air. Tanah berasal dari pelapukan batuan, yang prosesnya dapat secara fisik
maupun kimia. Sifat-sifat teknis tanah, kecuali dipengaruhi oleh sifat batuan induk yang
merupakan material asalnya, juga dipengaruhi oleh unsur-unsur luar yang menjadi penyebab
terjadinya pelapukan batuan tersebut (Hardiyatmo, 2006:60)
Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun
pencampuran keduanya menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan
tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Tanah longsor terjadi karena ada gangguan
kestabilan pada tanah/batuan penyusun lereng. Penyebab longsoran dapat dibedakan menjadi
penyebab berupa faktor pengontrol gangguan kestabilan lereng dan proses pemicu longsor.
Gangguan kestabilan lereng ini dikontrol oleh kondisi morfologi (terutama kemiringan
lereng), kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng dan kondisi hidrologi atau tata air
pada lereng. Meskipun suatu lereng rentan atau berpotensi untuk longsor, karena kondisi
kemiringan lereng, batuan/tanah dan tata airnya, namun lereng tersebut belum akan longsor
atau terganggu kestabilannya berupa tanpa pemicu oleh proses pemicu (Ramli, 2010:96).
Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor (landslide)
merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis
basah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara
langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia,
akan tetapi juga kerusakan tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan
aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa tersebut
cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia (Hardiyatmo,
2006:1-3).
Banyak faktor semacam kondisi-kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim, dan
perubahan cuaca dapat memepengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan terjadinya
longsoran. Longsoran jarang terjadi oleh satu sebab saja. Adapun sebab-sebab longsoran
lereng alam yang sering terjadi adalah:
1. Penambahan beban pada lereng. Tambahan beban pada lereng dapat berupa bangunan
baru, tambahan beban oleh air yang masuk ke pori-pori tanah maupun yang menggenang di
permukaan tanah, dan beban dinamis oleh tumbuh-tumbuhan yang tertiup angin dan lain-
lain.
2. Penggalian atau pemotongan tanah pada kaki lereng
3. Penggalian yang mempertajam kemiringan lereng
4. Perubahan posisi muka air secara cepat (rapid drawdown) pada bendungan, sungai dan
lain-lain
5. Kenaikan tekanan lateral oleh air (air yang mengisi retakan akan mendorong tanah ke arah
lateral
6. Penurunan tahanan geser tanah pembentuk lerng oleh akibat kenaikan kadar air, kenaikan
tekanan air pori, tekanan rembesan oleh genangan air di dalam tanah, tanah pada lereng
mengandung lempung yang mudah kembang susut dan lain-lain
7. Getaran atau gempa bumi (Hardiyatmo, 2006:2-3).
Menurut Pusat Informasi Bencana Aceh (dalam Widyawati, 2011:24) menyatakan
bahwa bencana tanah longsor dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Hujan, ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada Bulan November seiring
meningkatnya intensitas hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya
penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Muncullah pori-pori dan rongga
tanah, kemudian terjadi retakan dan rekahan tanah di permukaan. Pada saat hujan, air akan
menyusup ke bagian yang retak. Tanah pun dengan cepat mengembang kembali. Pada awal
musim hujan, kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat.
2. Lereng terjal, lereng atau tebing ysng terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng
yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin.
Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180º, apabila ujung lerengnya
terjal dan bidang longsornya mendatar.
3. Tanah yang kurang padat dan tebal, jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung
atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng >220. Tanah jenis ini
memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor, terutama bila terjadi hujan. Selain itu,
jenis tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek jika terkena
air dan pecah jika udara terlalu panas.
4. Batuan yang kurang kuat, pada umumnya batuan endapan gunung api dan batuan sedimen
berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung kurang kuat. Batuan
tersebut akan mudah menjadi tanah jika mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan
terhadap tanah longsor apabila terdapat pada lereng yang terjal.
5. Jenis tanah lahan, tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,
perladangan dan danya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya
kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh
dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan
penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsor yang
dalam dan umumnya terjadi di daerah longsor lama.
6. Getaran, getaran yang terjadi biasanya diakibatkan pleh gempa bumi, ledakan, getaran
mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkan adalah tanah, badan
jalan, lantai dan dinding rumah menjadi retak.
7. Susut muka air danau dan bendungan, akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka
gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi
longsor dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
8. Adanya beban tambahan, adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan
kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar
tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah
dan retakan yang arahnya ke arah limbah.
9. Pengikisan/erosi, pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu
akibat hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.
10. Adanya material timbunan pada tebing, Tanah timbunan pada lembah tersebut belum
terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan
akan terjadi penurunan tanah kemudian diikui dengan retakan tanah.
11. Bekas longsoran lama, longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi
pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau
sesudah terjadi patahan kulit bumi.
12. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung), bidang tidak sinambung ini
memiliki ciri perlapisan batuan, kontak antara penutup dengan batuan dasar, kontak
antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat, kontak antara batuan yang dapat
melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air), kontak antara tanah
yang lembek dengan tanah yang padat, bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang
luncuran tanah longsor.
13. Penggundulan hutan, tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif
gundul dimana pengikatannya air tanah sangat kurang.
14. Daerah pembuangan sampah, penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan
sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah
guyuran hujan.
Zaruba dan Mencl 1982 (dalam Hariyanto, 2009:6) menyebutkan bahwa faktor
penyebab longsor adalah 1) perubahan gradient lereng/sudut lereng dan tinggi lereng secara
alami (erosi vertikal maupun secara buatan (penggalian tebing); 2) kelebihan beban baik
material batuan, tanah, atau air dan beban lain; 3) adanya getaran atau goncangan seperti
gempa dan lain-lain; 4) curah hujan dan meningkatnya kandungan air tanah, menyebabkan
pelapukan batuan yang menurunkan daya kohesi; 5) pengaruh vegetasi yang makin
berkurang.
Penanganan tanah longsor di pedesaan, usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah
kelongsoran lereng lebih ditujukan terutama pada pengurangan air yang berinfiltrasi ke dalam
tanah, sebagai berikut:
1. Apabila lereng sudah retak-retak sehabis hujan, maka retakan harus segera ditutup dengan
tanah kedap air yang dipadatkan agar air hujan seminimum mungkin masuk ke dalam
retakan
2. Mengurangi tebal tanah atau kemiringan lereng yang rawan longsor
3. Menanami lereng dengan tanaman yang akarnya dapat menembus lapisan batuan dasar
4. Memasang perkerasan atau membuat kedap air jalan-jalan setapak
5. Membuat saluran drainase yang fungsinya mempercepat air mengalir menyusuri lereng,
sehingga mengurangi infiltrasi air hujan ke tanah. (Hardiyatmo, 2006:303-304)
B. Konsep Kesiapsiagaan Longsor
1. Pengertian
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan kesiapsiagaan sebagai “keadaan siap
siaga”. Berasal dari kata dasar ‘siap siaga’, yang berarti ‘siap untuk digunakan atau untuk
bertindak’. Dalam Bahasa Inggris, padanan kata ‘kesiapsiagaan’ adalah preparedness.
Secara umum UN-OCHA memberikan penjelasan bahwa kesiapsiagaan adalah aktivitas
pra-bencana yang dilaksanakan dalam konteks manajemen risiko bencana dan berdasarkan
analisa risiko yang baik. Hal ini mencakup pengembangan/peningkatan keseluruhan strategi
kesiapan, kebijakan, struktur institusional, peringatan dan kemampuan meramalkan, serta
rencana yang menentukan langkah-langkah yang dicocokkan untuk membantu komunitas
yang berisiko menyelamatkan hidupdan aset mereka dengan cara waspada terhadap bencana
dan melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi ancaman yang akan terjadi atau bencana
sebenarnya.
Dari definisi dan penjelasan di atas, dapat ditarik pengertian definitif bahwa
‘masyarakat siaga bencana adalah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengelola
risiko bencana di lingkungannya. Kemampuan tersebut diukur dengan dimilikinya
ketersediaan logistik, keamanan dan kenyamanan di lingkungan pendidikan, infrastruktur,
serta sistem kedaruratan, yang didukung oleh adanya pengetahuan dan kemampuan
kesiapsiagaan, prosedur tetap (standart operasional procedure), dan sistem peringatan dini.
Kemampuan tersebut juga dapat dinalar melalui adanya simulasi regular dengan kerja
bersama berbagai pihak terkait yang dilembagakan dalam kebijakan lembaga masyarakat
tersebut untuk mentransformasikan pengetahuan dan praktik Pengurangan bencana dan
pengurangan risiko bencana kepada seluruh warga masyarakat kontituen lembaga masyarakat
(Konsorsium, 2008:10).
Kesiapsiagaan adalah perkiraan-perkiraan tentang kebutuhan yang akan timbul jika
terjadi bencana dan memastikan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan
demikian kesiapsiagaan akan membawa manusia di daerah rawan bencana pada tataran
kesiapan/kesiapsiagaan yang lebih baik dalam menghadapi bencana. Kegiatan kesiapsiagaan
meletakkan aturan-aturan penanggulangan kedaruratan sedemikian rupa sehingga menjadi
lebih efektif, termasuk kegiatan penyusunan dan uji coba rencana kontinjensi,
mengorganisasi, memasang, dan menguji sistem peringatan dini, logistik kebutuhan dasar,
pelatihan, dan prosedur tetap lainnya (Nurjanah, dkk, 2012:53).
Pengupayaan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana merupakan perwujudan dari
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2010-2012 (Prioritas 5)
yang merupakan penerjemahan dari Prioritas 5 Kerangka Kerja Aksi Hygo 2005-2015, yaitu
memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk respon yang efektif di semua tingkatan
masyarakat. Selain itu, dalam konteks pendidikan pengurangan risiko bencana, konsep dasar
ini merupakan perwujudan dari Kerangka Kerja Hygo 2005-2015, Prioritas 3 (tiga), yaitu
menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya
keselamatan dan ketahanan di semua tingkat.
Dengan demikian, konsep masyarakat siaga bencana tidak hanya terpaku pada unsur
kesiapsiagaan saja, melainkan juga meliputi upaya-upaya mengembangkan pengetahuan
secara inofatif untuk mencapai pembudayaan keselamatan, keamanan, dan ketahanan bagi
seluruh warga masyarakat terhadap bencana. Berdasarkan hal tersebut, maka konsep
Masyarakat Siaga Bencana (MSB) memiliki dua unsur utama yaitu lingkungan yang aman
dan kesiapsiagaan masyarakat(Konsorsium, 2008:10).
Bila dilihat dari istilah berdasarkan pada jenis, waktu dan tujuan aktivitasnya,
kesiapsiagaan merupakan gabungan dari dua istilah yang berbeda, yaitu:
1. Ke-Siap-An (Preparedness)
Masa kesiapan terjadi pada saat menyadari adanya potensi ancaman bahaya sampai
masa tanda-tanda munculnya ancaman bahaya sudah nampak. Lamanya masa ini berbeda
pada tiap ancaman juga tergantung pada jelas tidaknya tanda-tanda munculnya bahaya.
Fokus utama pada masa ini adalah pembuatan “Rencana untuk menghadapi Ancaman
Bahaya (Bencana).” Ada dua rencana (Plan) yang dibuat pada masa ini, yaitu:
a) Rencana persiapan untuk menghadapi ancaman bahaya/bencana (Plan A)
b) Rencana saat ancaman bahaya/bencana terjadi (Plan B)
2. Ke-Siaga-An (Readiness)
Kesiagaan adalah masa yang relatif pendek, dimulai ketika muncul tanda-tanda awal
akan adanya ancaman bahaya. Pada masa ini, rencana saat ancaman bahaya/bencana terjadi
mulai dijalankan dan senua orang diajak untuk siap sedia melakukan peran yang sudah
ditentukan sebelumnya.
3. Ke-Waspadaan-An (Alertness)
Kata ini lebih menunjuk ke sebuah momen/saat tertentu, yaitu ketika sebuah
ancaman bahaya pasti dan segera terjadi. Pada masa inilah semua hal yang berhubungan
dengan kesiapsiagaan akan diuji, apakah semua berjalan sesuai dengan rencana ataukah
ada hal-hal baru yang muncul dan perlu ditangani dengan segera. Masa ini tidak bisa
direncanakan, karena itu semua yang terjadi pada masa ini sifatnya sangat darurat.
Antisipasi kita akan datangnya masa inilah yang menetukan rencana kesiapsiagaan kita
(Nugroho, dkk, 2012:103).
Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dapat dikategorikan dalam beberapa aspek
berupa sembilan aktivitas sebagai berikut:
1. Pengukuran Awal, proses yang dinamis antara masyarakat dan lembaga yang ada untuk:
a. Melakukan pengukuran awal terhadap Risiko Bencana (bahaya dan kerentanan)
b. Membuat sumber data yang fokus pada bahaya potensial yang mungkin memberikan
pengaruh
c. Mengantisipasi kebutuhan yang muncul dan sumber daya yang tersedia.
2. Perencanaan, merupakan proses untuk:
a. Memperjelas tujuan dan arah aktivitas kesiapsiagaan
b. Mengidentifikasi tugas-tugas maupun tanggungjawab secara lebih spesifik baik oleh
masyarakat ataupun lembaga dalam situasi darurat.
c. Melibatkan organisasi yang ada di masyarakat (grassroots), LSM, pemerintahan lokal
maupun nasional, lembaga donor yang memiliki komitmen jangka panjang di area
rentan tersebut.
3. Rencana Institusional, koordinasi baik secara vertikal maupun horisontal antara masyarakat
dan lembaga yang akan menghindarkan pembentukan struktur yang baru melainkan saling
kerjasama dalam mengembangkan jaringan dan sistem.
a. Mengukur kekuatan dari komunitas dan struktur yang tersedia
b. Mencerminkan tanggungjawab terhadap keahlian yang ada
c. Memperjelas tugas dan tanggung jawab secara lugas dan sesuai.
4. Sistem Informasi, mengkoordinasikan peralatan yang dapat mengumpulkan sekaligus
menyebarkan peringatan awal mengenai bencana dan hasil pengukuran terhadap
kerentanan yang ada baik di dalam lembaga maupun antar organisasi yang terlibat kepada
masyarakat luas.
5. Pusat Sumber Daya. melakukan antisipasi terhadap bantuan dan pemulihan yang
dibutuhkan secara terbuka dan menggunakan pengaturan yang spesifik. Perjanjian atau
pencatatan tertulis sebaiknya dilakukan untuk memastikan barang dan jasa yang
dibutuhkan memang tersedia, termasuk dana bantuan bencana, perencanaan dana bencana,
mekanisme koordinasi peralatan yang ada, penyimpanan
6. Sistem Peringatan, harus dikembangkan sebuah cara yang efektif dalam menyampaikan
peringatan kepada masyarakat luas meskipun tidak tersedia sistem komunikasi yang
memadai. Sebagai pelengkap, masyarakat internasional juga harus diberikan peringatan
menganai bahaya yang akan terjadi yang memungkinkan masuknya bantuan secara
internasional.
7. Mekanisme Respon, respon yang akan muncul terhadap terjadinya bencana akan sangat
banyak dan datang dari daerah yang luas cakupannya sehingga harus dipertimbangkan
serta disesuaikan dengan rencana kesiapsiagaan. Perlu juga dikomunikasikan kepada
masyarakat yang akan terlibat dalam koordinasi dan berpartisipasi pada saat muncul
bahaya.
8. Pelatihan dan Pendidikan Terhadap Masyarakat, dari berbagai jenis program pengetahuan
mengenai bencana seharusnya mempelajari dan mengetahui hal-hal apa saja yang
diharapkan dan apa yang harus dilakukan pada saat bencana tiba. Sebaiknya fasilitator
program pelatihan dan pendidikan sistem peringatan ini juga mempelajari kebiasaan serta
permasalahan yang ada di masyarakat setempat serta kemungkinan kebiasaan serta
perbedaan/pertentangan yang terjadi dalam penerapan rencana.
9. Praktek, kegiatan mempraktikkan hal-hal yang sudah dipersiapkan dalam rencana
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dibutuhkan untuk menekankan kembali
instruksi-instruksi yang tercakup dalam program, mengidentifikasi kesenjangan yang
mungkin muncul dalam rencana kesiapsiagaan tersebut. Selain itu, agar didapatkan
informasi tambahan yang berhubungan dengan perbaikan rencana tersebut (Nugroho, dkk,
2012:105-106).
Kegiatan kesiapsiagaan merupakan langkah penting dalam PB, karena pada kenyataan
tidak semua bahaya dapat dicegah ataupun ditangani dengan aktivitas mitigasi yang
komprehensif. Untuk menghindarkan kerugian lebih besar yang diakibatkan sebuah bencana,
khususnya hilangnya nyawa, maka diperlukan upaya yang jelas dan terencana. Kegiatan
kesiapsiagaan itu juga berfungsi sebagai rencana cadangan (kontinjensi/contigency plan) bila
akhirnya sebuah ancaman bahaya benar-benar menjadi nyata.
Rencana kesiapsiagaan dibuat bukan pada saat bahaya muncul tetapi saat sebelum
ancaman bencana terjadi. Rencana tersebut lebih merupakan tindakan antisipatif jika suatu
saat ancaman bahaya benar-benar muncul. Rencana tersebut merefleksikan sikap kita yang
siap (prepared) terhadap ancaman yang akan datang, maupun juga sikap yang siaga (ready)
bila saatnya bahaya yang akan datang menjadi kenyataan. (Nugroho, dkk, 2012:101).
Membangun kesiagaan adalah unsur penting, namun tidak mudah dilakukan karena
menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat. Kesiagaan adalah
tahapan yang paling strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam
menghadapi datangnya suatu bencana (Ramli, 2010:31)
Masyarakat memiliki peranan penting. Pada fase darurat bencana, peran masyarakat
adalah memberikan pertolongan pertama awal (first respon) sebelum bantuan dari luar tiba.
Pada fase pra-bencana dan pasca-bencana mereka adalah pihak-pihak yang paling dekat
dengan bahaya/ancaman.
Masyarakat harus mampu melakukan antisipasi dan langkah-langkah untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya bencana setiap saat. Masyarakat harus juga berbuat sesuatu minimal
untuk menolong diri sendiri agar terhindar/selamat dari bencana. Masyarakat harus
meningkatkan kapasitas untuk mengimbangi atau menyesuaikan diri dengan perkembangan
ancaman yang ada di sekitarnya.
Di samping itu, masyarakat harus memiliki pengetahuan, keterampilan, etika moral,
sikap dan komitmen tentang penanggulangan bencana sehingga secara perlahan akan dapat
mendukung terciptanya suatu kondisi dimana masyarakat dapat terhindar/menghindarkan diri
dari ancaman/bencana, atau ancaman/bencana itu sendiri yang harus ditangani agar tidak
bertemu dengan kerentanan masyarakat ( Nurjanah, dkk, 2012:111-112).
Dalam mengembangkan kegiatan masyarakat siaga bencana, anggota-anggota KPB
(Kelompok Penanggulangan Bencana) mempromosikan nilai-nilai yang diyakini untuk
menjamin kualitas praktik Pengurangan Risiko Bencana. Nilai-nilai akan menjadi pedoman
baik-buruknya praktik Pengurangan Risiko Bencana(Konsorsium, 2008:19-20). Nilai-nilai
kesiapsiagaan tersebut antara lain:
1. Perubahan Budaya, pendidikan Pengurangan Risiko Bencana ditujukan untuk
menghasilkan perubahan budaya aman (safety) dan perubahan dari aman menjadi
berketahanan.
2. Pengaplikasian tindakan/Pemberdayaan, memampukan masyarakat untuk mengaplikasikan
Pengurangan Risiko Bencana secara kolektif.
3. Kemandirian, mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya masyarakat dan warga
masyarakat dengan mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya luar.
4. Pendekatan berbasis hak, praktik Pengurangan Risiko Bencana selalu memperhatikan hak-
hak dasar manusia
5. Keberlanjutan, mengutamakan keberlanjutan dan terbentuknya institusionalisasi
(pelembagaan)
6. Kearifan lokal, menggali dan mendayagunakan kearifan lokal dalam praktik Pengurangan
Risiko Bencana
7. Kemitraan, berupaya melibatkan pemangku kepentingan, baik dari berbagai komponen,
sektoral, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah dan organisasi non-pemerintah untuk
bekerjasama dalam pencapaian tujuan berdasarkan kesepakatan, prinsip kolaborasi dan
sinergi
8. Inklusivitas, memperhatikan kepentingan semua masyarakat tanpa terkecuali termasuk
mereka yang berkebutuhan khusus.
2. Konsep Dasar Kesiapsiagaan Bencana Longsor
a. Peringatan Dini
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menjelaskan bahwa peringatan dini adalah
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Peringatan
dini merupakan salah satu kegiatan untuk mengurangi resiko bencana. Upaya penanggulangan
bencana dan meminimalisasikan dampak negatif bencana dalam hal ini bencana longsor,
memerlukan data dan informasi spasial tentang karakteristik fisik wilayah rawan longsor,
karakteristik longsoran (meliputi mekanisme kejadian longsor/gejala terjadinya longsor dan
faktor penyebab/pemicu), teknik dan cara-cara penanggulangan longsor baik secara
struktural/kerekayasaan, maupun non-struktural (peraturan dan perundang-undangan).
Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu
faktor yang menentukan bencana longsor.
b. Evakuasi dan Penyelamatan
Evakuasi merupakan proses penyelamatan diri atau kelompok secara mandiri ke daerah atau
titik aman dengan selamat dan tepat waktu. Untuk memungkinkan evakuasi berjalan sebagaimana
diharapkan, maka diperlukan rencana yang baik.
Penyelamatan adalah tindakan yang dilakukan oleh orang pertama penanggung bencana, baik
untuk dirinya sendiri dan/atau orang lain yang berada di lokasi yang sama. Alur tindakan dari
dalam ke luar. Bentuk tindakan penyelamatan bergantung pada jenis dan skala bencana serta
lokasi saat terjadi bencana.
Diri sendiri
Pertama-tama, tindakan penyelamatan saat bencana harus didasarkan pada diri
sendiri setiap personal. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko bagi tiap-tiap
orang.
Orang Lain
Kedua, tindakan penyelamatan saat bencana didasarkan pada penyelamatan orang
lain yang berada di lokasi kejadian. Penyelamatan ini mengandung risiko lebih besar
daripada penyelamatan diri sendiri. Namun demikian, penyelamatan ini merupakan
pilihan logis, terutama untuk menyelamatkan personal yang paling rentan terhadap
risiko bencana. Ingat prinsip: No Body Left Behind! (Priambodo, 2009:51-52).
c. Pertolongan Pertama
Pertolongan adalah tindakan yang dilakukan oleh orang yang bukan merupakan korban
bencana secara langsung. Alur tindakan dari luar ke dalam. Umumnya, tindakan pertolongan
merupakan tindakan pencarian dan penyelamatan yang dilakukan sesaat setelah kejadian.
Tindakan pertolongan harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan korban ataupun
risiko yang lebih besar (Priambodo, 2009:52).
Pertolongan pertama pada korban atau yang sering disebut P3K merupakan petunjuk dan
tindakan pertolongan pertama yang dilakukan oleh orang yang berada terdekat dengan korban
(atau korban itu sendiri) pada saat kejadian atau setelahnya, dengan atau tanpa menggunakan
peralatan dan perlengkapan medis sederhana. Saat kejadian bencana, keberadaan P3K sangat
dibutuhkan, terutama jika ada korban luka. Dalam P3K ada beberapa tahapan yan perlu
diperhatikan.
a. Keamanan. Usahakan korban dan penolong aman dari gangguan atau ancaman
bencana susulan.
b. Tempat. Usahakan tempat untuk melakukan tindakan P3K lapang dan nyaman,
terutama bagi korban. Cari tempat yang aman dengan sirkulasi udara yang baik di
sekitar kejadian.
c. Waktu. Jangan terburu-buru melakukan tindakan pertolongan. Identifikasi luka pada
korban terlebih dahulu sehingga Anda bisa mengambil tindakan P3K yang tepat.
d. Posisi Korban. Usahakan korban terbaring lurus (kecuali korban patah tulang) dengan
posisi kepala menghadap ke atas sejajar dengan badan.
e. Tindakan. Berikan tindakan P3K sesuai dengan luka yang sialami oleh korban
(Priambodo, 2009:95-96).
d. Logistik
Selain menjaga kesehatan jiwa dan raga, saat menghadapi bencana ada beberapa kebutuhan
dasar yang harus turut serta untuk kesiapsiagaan bencana ini. Kebutuhan ini merupakan jainan
bagi keluarga untuk melanjutkan kehidupan. Contohnya adalah makanan dalam kemasan (cepat
saji) dan minuman senantiasa tetap memperhatikan tanggal kadaluarsa dan ganti persediaan
makanan dengan yang baru setiap setengah tahun sekali (Priambodo, 2009:44).
3. Komponen atau Parameter Kesiapsiagaan Bencana Longsor
Untuk mengukur upaya yang dilakukan masyarakat dalam membangun Masyarakat Siaga
Bencana (MSB), perlu ditetapkan parameter dan indikator. Parameter adalah standart minimum
yang bersifat kualitatif dan menentukan tingkat minimum yang harus dicapai dalam pemberian
respon masyarakat.
Indikator merupakan “penanda” yang menunjukkan apakah standart telah dicapai. Indikator
memberikan cara mengukur dan mengkomunikasikan dampak, atau hasil dari suatu program,
sekaligus juga proses, atau metode yang digunakan. Indikator bisa bersifat kualitatif atau
kuantitatif. Parameter kesiapsiagaan masyarakat diidentifikasi terdiri dari empat faktor, yaitu:
1. Sikap dan Tindakan
Dasar dari setiap sikap dan tindakan masyarakat adalah adanya persepsi,
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Siap siaga
masyarakat bertujuan untuk membangun kemampuan seluruh masyarakat baik individu
maupun kelompok masyarakat secara kolektif, untuk menghadapi bencana secara cepat
dan tepat guna. Dengan demikian, seluruh warga masyarakat menjadi target sasaran tidak
hanya individu manusia itu sendiri.
2. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah adalah keputusan yang dibuat secara formal oleh pemerintah
mengenai hal-hal yang perlu didukung dalam pelaksanaan PRB di masyarakat, baik
secara khusus maupun terpadu. Keputusan tersebut bersifat mengikat. Pada praktiknya,
kebijakan pemerintah akan landasan, panduan, arahan pelaksanaan kegiatan terkait denga
PRB di masyarakat.
3. Perencanaan Kesiapsiagaan
Perencanaan kesiapsiagaan bertujuan untuk menjamin adanya tindakan cepat dan
tepat guna pada saat terjadi bencana dengan memadukan dan mempertimbangkan sistem
Pengurangan bencana di daerah dan disesuaikan kondisi wilayah setempat. Bentuk atau
produk dari perencanaa ini adalah dokumen-dokumen, seperti proptap kesiapsiagaan,
rencana kedaruatan/ kontinjensi, dan dokumen pendukung kesiapsiagaan terkait,
termasuk sistem peringatan dini yang disusun dengan mempertimbangkan akurasi dan
kontektualitas lokal.
4. Sarana dan Prasarana
Lembaga masyarakat harus menyiapkan sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
serta finansial dalam pengelolaan untuk menjamin kesiapsiagaan bencana masyarakat.
Mobilisasi sumber daya didasarkan pada kemampuan masyarakat dan pemangku
masyarakat. Mobilisasi ini juga terbuka bagi peluang partisipasi dari pemangku
kepentingan lainnya.
Keempat parameter di atas adalah perangkat pengukuran kesiapsiagaan bencana di
masyarakat. Dalam pengukuran, masing-masing parameter itu tidak berdiri sendiri,
melainkan saling terkait satu sama lainnya. Dari ukuran yang didapat dari masyarakat terkait,
dapat diketahui mengenai tingkat ketahanan masyarakat terhadap ancaman bencana tanah
longsor. Dalam praktiknya, kesiapsiagaan masyarakat juga dipadukan dengan upaya
kesiapsiagaan aparat pemerintah dan masyarakat di daerah atau lingkungannya.
Secara garis besar, parameter, dan indikator dalam konsep Masyarakat Siaga Bencana
yang dikembangkan Konsep Pengurangan Bencana adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Parameter dan Indikator Konsep Masyarakat Siaga Bencana
No Parameter Indikator
1. Sikap dan
tindakan
- Tersedianya pengetahuan mengenai Bahaya (jenis bahaya, sumber
bahaya dan besaran bahaya): Kerentanan; Kapasitas; Risiko dan
Sejarah Bencana yang terjadi di lingkungan masyarakat atau
daerahnya.
- Tersedianya pengetahuan mengenai upaya yang bisa dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana di masyarakat.
- Keterampilan seluruh komponen masyarakat dalam menjalankan
rencana tanggap darurat
- Terlaksananya sosialisasi mengenai pengetahuan Pengurangan
Risiko Bencana, Masyarakat Siaga Bencana dan kesiapsiagaan
kepada masyarakat dan pemangku kepentingan masyarakat
- Terlaksananya pelatihan pengintegrasian Pengurangan Risiko
Bencana
- Terlaksananya kegiatan simulasi drill secara berkala di msyarakat
dengan melibatkan masyarakat luas
2. Kebijakan
Pemerintah
- Adanya kebijakan, kesepakatan dan/atau peraturan pemerintah
yang mendukung upaya pengurangan risiko bencana di
masyarakat
- Tersedianya akses bagi seluruh komponen masyarakat terhadap
informasi, pengetahuan dan pelatihan untuk meningkatkan
kapasitas dalam hal Penaggulangan Risiko Bencana (materi acuan
ikut serta dalam pelatiahan, musyawarah pemerintah, pertemuan
dan lain-lain)
3. Perancanaan - Tersedianya dokumen penilaian risiko bencana yang disusun
Kesiapsiagaan bersama secara partisipasif dengan masyarakat dan pemangku
kepentingan masyarakat.
- Tersedianya rencana aksi masyarakat dalam Pengurangan
bencana (sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana)
- Tersedianya Sistem Peringatan Dini yang dipahami oleh seluruh
komponen masyarakat meliputi:
Akses terhadap informasi bahaya, baik dari tanda alam,
informasi dari lingkungan, dan dari pihak berwenang
(pemerintah daerah dan BMKG)
Alat peringatan serta biaya pemeliharaannya dan tanda bahaya
yang disepakati dan dipahami seluruh komponen masyarakat
Proptap penyebarluasan informasi peringatan bahaya di
lingkungan masyarakat
Petugas yang bertanggungjawab dan berwenang
mengoperasikan alat peringatan dini
Adanya peta evakuasi masyarakat, dengan tanda dan rambu
yang terpasang, yang mudah dipahami oleh seluruh komponen
masyarakat
Kesepakatan dan ketersediaan lokasi evakuasi/ shelter terdekat
dengan masyarakat, disosialisasikan kepada seluruh komponen
masyarakat serta pemerintah daerah
Adanya prosedur tetap kesiapsiagaan masyarakat yang
disepakati dan dilaksanakan oleh seluruh komponen
masyarakat, diantaranya meliputi:
- Penggandaan dan penyimpanan dokumen penting sekolah pada
tempat yang aman
- Pencatatan nomer telepon penting yang mudah diakses seluruh
komponen masyarakat (a.l Puskesmas/Rumah Sakit, pemadam
kebakaran dan aparat pemerintah)
4. Sarana dan
Prasarana
- Adanya bangunan yang tahan terhadap bencana
- Jumlah dan jenis perlengkapan, suplai dan kebutuhan dasar pasca
bencana yang dimiliki masyarakat
- Adanya gugus siaga bencana dalam masyarakat yang melibatkan
perwakilan dari kepala keluarga
- Adanya kerjasama antar masyarakat di wilayahnya terkait
Pengurangan Risiko Bencana
- Adanya kerjasama dalam penyelengaraan Pengurangan bencana
di kota/kabupaten dengan pihak-pihak terkait setempat (seperti
perangkat desa/ kelurahan, kecamatan, BPBD, dan lembaga
pemerintah lainnya)
- Pemantauan dan evaluasi partisipasif mengenai kesiapsiagan dan
keamanan masyarakat secara rutin (menguji atau melatih
kesiapsiagaan masyarakat secara berkala.
(Konsorsium, 2008:11-18)
4. Langkah-langkah Pelaksanaan Kesiapsiagaan Bencana Longsor
a. Peringatan Dini
1) Memahami terkait pengetahuan bencana tanah longsor atau pemahaman risiko
bencana tanah longsor di masyarakat
i. Memahami jenis-jenis bahaya apa saja yang dihadapi dan harus diwaspadai.
Muncul retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing
Muncul air secara tiba-tiba dari permukaan tanah di lokasi baru
Air sumur di sekitar lereng menjadi keruh
Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan
Hujan yang berkepanjangan
ii. Identifikasi sumber kerentanan (cek jumlah warga masyarakat di sekitar daerah
rawan longsor, kebutuhan khusus, identifikasi hal-hal yang membahayakan seperti
sumur dan parit terbuka, rumah warga dan lain sebagainya).
iii. Petakan kapasitas yang dimiliki masyarakat (seperti kelompok-kelompok
masyarakat, P3K, tenda pengungsian, sumber air bersih dan lain sebagainya)
2) Kerjasama antar masyarakat dalam upaya:
Tidak menebang atau merusak hutan, terutama di daerah tebing
Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat seperti nimba, akar wangi,
lamtoro, dll pada lereng-lereng yang gundul
Membangun saluran air hujan
Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal
Menggunakan teknik sengkedan atau terasering dan bedeng yang dapat
mengalirkan kelebihan air
Memeriksa keadaan dan kekuatan tanah
Mengukur tingkat deras hujan
3) Memahami cara mengurangi dampak tanah longsor:
Membangun perumahan jauh dari daerah rawan longsor
Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun rumah
Membuat peta ancaman untuk keterangan lebih lanjut
Gunakan sistem peringatan dini
4) Mengenali penyebab bencana tanah longsor
Secara garis besar faktor penyebab tanah longsor sebagai berikut:
1) Faktor alam
Kondisi geologi antara lain batuan lapuk, kemiringan lapisan tanah, gempa bumi
dan letusan gunung api.
Iklim yaitu pada saat curah hujan tinggi.
Keadaan topografi yaitu lereng yang curam.
2) Faktor manusia
Penebangan hutan secara liar di daerah lereng.
Sistem drainase di daerah lereng yang tidak baik.
Pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan
5) Tanda peringatan bencana
Tanda larangan menebang pohon di daerah lereng
Tanda tanam 1000 pohon di daerah rawan bencana tanah longsor
Tanda larangan membangun bangunan di sekitar lereng yang curam
6) Melakukan beberapa tindakan pada saat:
1) Sebelum bencana
Mengikuti perkembangan informasi bencana tanah longsor
Mengikuti pelatihan mengenai siaga bencana
Pembagian leaflet/brosur/poster mengenai ancaman bencana dan tim pencegahan
Mempublikasikan undang-undang mengenai kebencanaan
Mengadakan sosialisasi peta rawan bencana
Mengadakan sosialisasi pedoman tanggap darurat bencana
Mengadakan Penanaman pohon di lereng yang terjal
pendidikan mengenai kebencanaan
Membuat forum khusus terkait bencana
Pembuatan tanda peringatan bahaya bencana dan larangan di daerah rawan
bencana atau alat pemantau tanah
Gotong royong dalam upaya mitigasi bencana bersama masyarakat
Pengkajian resiko bencana bersama masyarakat
Memfasilitasi alat informasi dan bahan komunikasi
Menyebarkan informasi bencana media informasi
Mengikuti aktifitas bersih lingkungan/ pembuatan bronjong batu, terasering dan
talud serta bangunan lain yang dapat mengurangi resiko bencana tanah longsor
Memastikan HP atau alat komunikasi yang lain dengan baterai yang terisi penuh
dan siap digunakan setiap saat
Sosialisasi rutin tanda dan rambu evakuasi
Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan melakukan
penambangan galian C.
2) Saat bencana
Mengamankan diri sendiri dari bahaya bencana tanah longsor
Menyelamatkan anggota keluarga
Mengamankan rumah dengan mematikan listrik kompor, air dan keluar dari
rumah dengan membawa tas yang berisi tas siaga bencana
Memberitahu kepada seluruh keluarga dan masyarakat umumnya lewat pengeras
suara di tempat ibadah, bunyikan kentongan dan beduk di pos-pos ronda dan
masjid dengan ketukan tiga kali secara berirama terus menerus atau dapat juga
menyuarakan toa di masjid-masjid sekitar
Hubungi pihak berwajib melalui telepon atau radio genggam
Tidak menggangu kerja aparat yang sedang memberikan bantuan atau
mengevakuasi korban
Tetap waspada akan bahaya susulan
Dengarkan informasi tentang perkembangan situasi melalui alat komunikasi
Jangan mudah terpancing isu. Dengarkan hanya informasi dari pemerintah atau
aparat yang berwenang
Menyimpan dokumen penting seperti, KTP, ijasah, buku-buku bank, surat tanah,
akta kelahiran, dan lain-lain di bungkus dan di simpan di tempat yang aman
3) Setelah bencana
Memahami informasi tentang perkembangan bencana susulan (waspada bencana
susulan)
Memperbaiki fasilitas umum dan rumah yang rusak
Perbaikan bangunan pencegah bencana tanah longsor
Menanam pohon pada daerah bekas longsor atau daerah di sekitarnya untuk
mencegah erosi lapisan tanah atas yang dapat menyebabkan longsor
Melaporkan kerusakan fasilitas umum kepada pihak yang berwenang
Memeriksa kerusakan pondasi rumah dari tanah di sekitar tempat terjadinya
longsor
Mendengarkan siaran radio lokal atau televisi untuk informasi keadaan terkini.
7) Syarat Sistem Peringatan Dini:
Ada informasi resmi atau yang dapat dipercaya
Ada alat dan tanda bahaya yang disepakati masyarakat
Ada cara untuk mmenyebarluaskan informasi tersebut kepada masyarakat
b. Pertolongan Pertama
a. Melakukan beberapa tindakan pada saat:
1) Sebelum bencana
Mempersiapkan obat-obatan pribadi
Mengikuti pelatihan dan simulasi pertolongan pertama
Memfasilitasi penyedian kotak P3K yang berisi obat-obatan, seperti: obat merah,
perban, guntung
Mensimulasikan pertolongan pertama
2) Saat bencana
Melaporkan kepada tim khusus siaga bencana bagi orang lanjut usia, balita, ibu
hamil, orang sakit, dan anak
Berikan pertolongan sesuai kemampuan anda. Prioritaskan korban yang luka serius
Mendapatkan informasi balai pengobatan di sekitar rumah dan siap melayani bila
dibutuhkan
3) Setelah bencana
Membantu bersih lingkungan
Memperbaiki fasilitas yang rusak
Memberi bantuan berupa obat-obatan dan perawatan lanjutan kepada korban bencana
tanah longsor
2. Logistik
a. Melakukan beberapa tindakan pada saat:
1) Sebelum bencana
Mengumpulkan dan menyimpan bahan makanan, seperti beras, ketela
Menyiapkan tenda keluarga
2) Saat bencana
Membantu kelompok masyarakat menyiapkan tempat dan peralatan pengungsian
serta bahan makanan
Pindahkan barang berharga dan persediaan makanan ke tempat yang lebih aman
Membuat dapur umum di tempat aman bagi korban bencana tanah longsor
3) Setelah Bencana
Satuan tugas logistik membantu mencari dan memberi kebutuhan dasar di lokasi
pengungsian
Seluruh satuan tugas melakukan pendataan yang diperlukan (pendataan jumlah
warga masyarakat yang selamat, korban terluka, kebutuhan logistik dan lainnya)
3. Evakuasi dan Penyelamatan
a. Pembuatan Rencana Evakuasi Masyarakat
Evakuasi merupakan proses penyelamatan diri atau kelompok secara mandiri ke
daerah atau titik aman dengan selamat dan tepat waktu. Untuk memungkinkan evakuasi
berjalan sebagaimana diharapkan, maka diperlukan rencana yang baik.
Tips Jalur Evakuasi
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penentuan jalur evakuasi, antara lain:
Buat jalur evakuasi berdasarkan denah permukiman dan jalan dengan melakukan
identifikasi pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat bahaya yang tinggi.
Tentukan arah masyarakat untuk menyelamatkan diri ke lokasi yan lebih aman
dari potensi runtuhnya tanah/bangunan, rusaknya jalan dan lain sebagainya
Tentukan tempat evakuasi yang mampu menampung beberapa keluarga, dapat
menggunakan satu atau dua lokasi evakuasi
Sepakati jalur evakuasi yang mana yang dapat digunakan oleh masing-masing
kepala keluarga menuju tempat evakuasi, usahakan di daerah rawan bencana tanah
longsor sudah disiapkan jalur evakuasi bagi masyarakat dan arah mana yang akan
digunakan pada saat menyelamatkan diri
Pasang tanda jalur evakuasi pada wilayah yang strategis dan mudah dilihat
sebagai acuan pada saat melakukan proses evakuasi seperti di pinggir jalan yang
sering dilalui masyarakat
Sosialisasikan jalur evakuasi tersebut kepada masyarakat sehingga pada saat
melaksanakan latihan ataupun ada kejadian tanah longsor dapat dilakukan dengan
baik.
Tips Tempat Evakuasi
Apabila lokasi permukiman masyarakat dekat dengan lereng-lereng yang rawan
terhadap tanah longsor, maka:
Carilah lokasi tujuan evakuasi yang menjauh dari lereng –lereng yang rawan
terhadap bencana tanah longsor dan menyelamatkan diri ke daerah yang aman
Hindari melalui jalan yang dekat dengan lereng
Memilih bangunan-bangunan yang jauh dari longsoran tanah dengan syarakt
bangunan tersebut mutlak dinyatakan aman dari efek bencana tanah longsor oleh
pemerintah yang terkait.
Jalur Evakuasi
Jalur evakuasi aman dari kemungkinan tertimpa longsoran tanah maupun runtuhan
lain seperti pohon, tangga, tiang dan lain sebagainya
Tentukan jalan yang cukup lebar dan menjadi jalur terdekat dalam upaya
penyelamatan diri
Penentuan jalur dengan melibatkan masukan dan ide dari seluruh komponen
masyarakat termasuk kepala desa
Tempat Evakuasi (Shelter)
Tempat evakuasi yang baik yaitu:
Tempat yang aman dari ancaman bahaya bencana tanah longsor
Tempat yang jauh dari longsoran tanah
Jauh dari kemungkina runtuhan rumah, pohon, tiang, dan lain-lain
Terdapat fasilitas umum seperti MCK dan sumber air bersih
Peran dan Pelaku Evakuasi
Melibatkan seluruh komponen masyarakat (Kepala Desa, Ketua RT/RW, Kepala
Keluarga)
Membahas apa yang harus disiapkan sebelum, saat dan sesudah bencana tanah
longsor terjadi
Membahas siapa yang melakukan sesuatu di dalam kondisi sebelum, saat dan
sesudah bencana terjadi
Menetapkan Kelompok Siaga Bencana guna menyiapkan pelatihan dan
pelaksanaan pelatihan di dalam masyarakat sekitar bencana
Tips Peran dan Pelaku Evakuasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai peran yang sama pentingnya terkait
dengan kesiapsiagaan. Keterlibatan beberapa pihak dalam menentukan peran dan
pelaku evakuasi menjadi sangat penting. Seluruh komponen dalam kelompok
masyarakat perlu melakukan diskusi untuk berbagi peran. Peran tersebut antara lain
pertolongan pertama, evakuasi/penyelamatan, logistik dan keamanan. Kepala Desa
menjadi penanggung jawab dalam keseluruhan peranan.
Seharusnya di dalam kelompok masyarakat rawan bencana, dibentuk suatu
forum/organisasi khusus atau kelompok siaga bencana yang bertugas melaksanakan
peran terkait dengan kesiapsiagaan bencana tanah longsor.
Tips Tanda dan Rambu Evakuasi
Tentukan letak tanda dan rambu evakuasi
Gunakan warna-warna mencolok dan berbeda agar terlihat jelas
Gunakan simbol gambar seperti di bawah ini,
Tempatkan di tempat-tempat yang mudah dilihat dan dikenali, atau sering dilalui
oleh masyarakat
Tanda evakuasi dapat dilakukan dengan mengginakan bunyi atau simbol suara
atau peralatan seperti lampu, peluit, kentongan, toa, bendera dan lain-lain
Tips Peta Evakuasi
Buatlah denah permikiman dan jalan
Perhatikan dimana rambu evakuasi harus ditempatkan di denah/peta tersebut
Gambarkan jalur yang sudah dibahas dan disepakati bersama menuju tempat
evakuasi
Gambarkan dengan jelas jalur dan lokasi evakuasi
Beri keterangan dengan jelas yang membantu masyarakat untuk memahami
denah/peta dengan baik
Jalur EvakuasiJalur Evakuasi
Tandai dalam denah/peta evakuasi, hal-hal yang sebaiknya dihindari saat evakuasi
yang dapat membahayakan
b. Melakukan beberapa tindakan pada saat:
1) Sebelum bencana
Mengetahui tempat evakuasi dan posko bencana
Mengetahui teknik evakuasi sederhana sesuai dengan kemampuan
Mengikuti latihan dan simulasi evakuasi
2) Saat bencana
Dalam melalui jalur evakuasi diharapkan tidak melewati daerah yang rawan
bencana
Segera mengungsi ke tempat aman dan stabil
Hindari reruntuhan material yang dibawa longsor
Bila pengungsian tidak memungkinkan lingkakan tubuh Anda seperti bola dengan
kuat dan lindungi kepala Anda. Posisi ini akan memberikan perlindungan terbaik
untuk badan Anda
Usahakan tetap tenang dan redam rasa panik
Jangan kembali ke rumah sebelum kondisi daerah longsor dikatakan aman dari
bahaya reruntuhan tanah dan bahay ikutan lain seperti robohnya pohon, tiang
listrik, konsleting dan lain-lain.
3) Setelah bencana
Membantu masyarakat melakukan evakuasi sesuai dengan kemampuan.
C. Kelompok Siaga Bencana Tanah Longsor
1. Peringatan Dini
b. Satuan Tugas Peringatan Dini
Tugas utamanya adalah menyampaikan peringatan bencana. Satuan tugas ini
mencari tahu, memberikan informasi dan perintah evakuasi Kepala Desa. Retakan tanah
yang sejajar dengan lereng serta runtuhan tanah menjadi informasi awal. Informasi lain
yang dapat menjadi dasar tindakan evakuasi bisa didapat dari petugas yang berwenang
seperti pemerintah daerah dan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika).
Anggota dari satuan tugas ini adalah beberapa orang yang dipilih oleh masyarakat atau
yang ditunjuk oleh Kepala Desa. Di dalam satuan tugas peringatan dini diperlukan
beberapa alat guna menunjang upaya kesiapsiagaan peringatan dini tersebut, alat
tersebut antara lain: alat pendeteksi gerakan tanah, HP, megaphone, dan kentongan.
c. Menyebarkan informasi terkait bencana tanah longsor
Alat Komunikasi: untuk melakukan komunikasi dan koordinasi antar satuan tugas
serta berfungsi untuk memantau informasi dari lembaga terkait lainnya
Kentongan : memberikan tanda bahaya atau perintah evakuasi
Megaphone : mengarahkan dan menenangkan massa
2. Evakuasi dan Penyelamatan
a. Satuan tugas evakuasi dan penyelamatan
Satuan tugas ini untuk mengarahkan masyarakat dalam proses evakuasi, agar
seluruh masyarakat dapat tiba dengan cepat dam aman di tempat evakuasi. Anggota
satuan tugas ini dipimpin oleh seseorang yang dipilh oleh masyarakat lain yang
sekiranya mampu mengarahkan dalam upaya evakuasi dan penyelamatan.
b. Kebutuhan teknis satuan tugas evakuasi dan penyelamatan
Alat Komunikasi : untuk melakukan komunikasi dan koordinasi antar satuan
tugas serta berfungsi meminta bantuan evakuasi korban luka berat
Tandu : mengangkat korban luka dan meninggal dunia
Jalur Evakuasi : tanda arah atau jalur ini akan membantu masyarakat menuju
tempat yang lebih aman dan cepat.
3. Pertolongan Pertama
a. Satuan Tugas Pertolongan Pertama
Tugas utamanya adalah memberikan pertolongan pertama dan medik praktis bagi
warga masyarakat yang terluka dan membutuhkan pertolongan. Anggota satuan tugas
ini adalah masyarakat yang terampil dalam pertolongan pertama misalnya, menjadi
anggota PMR/PMI.
b. Kebutuhan teknis satuan tugas Pertolongan Pertama
Obat : Obat-obatan yang disediakan adalah obat yang dibutuhkan untuk proses
pertolongan pertama pada korban, seperti obat merah, perban luka, obat pusing
dan lainnya
Tandu : mengangkat korban luka berat atau meninggal dunia
Alat Komunikasi : untuk melakukan komunikasi dan koordinasi antar satuan
tugas serta berfungsi untuk minta bantuan medis kepada dinas kesehatan atau PMI
apabila dibutuhkan
4. Logistik
a. Satuan Tugas Logistik
Tugas utama tugas ini adalah memperhatikan dan memenuhi kebutuhan dasar
seluruh warga masyarakat setelah evakuasi dilakukan. Satuan tugas logistik
memperhatikan ketersediaan sumber air bersih, kebutuhan air minum dan tenda bila
diperlukan, termasuk bagi warga masyarakat berkebutuhan khusus. Anggota satuan
tugas ini bisa dilakukan oleh petugas di kantor desa.
b. Kebutuhan teknis satuan tugas logistik
Tenda : Tenda untuk tempat pengungsian
Alat Komunikasi : komunikasi dan koordinasi antar satuan tugas serta berfungsi
meminta bantuan logistik kepada lembaga lain jika dibutuhkan
Logistik : berupa makanan dan minuman
e. Keamanan
a. Satuan Tugas Keamanan
Tugas utama satuan tugas ini adalah menjaga keamanan warga masyarakat, baik
saat proses evakuasi maupun saat setelah tiba di lokasi evakuasi. Petugas ini juga harus
memperhatikan keamanan masyarakat saat ditinggalkan masyarakat saat melakukan
evakuasi. Anggota satuan tugas ini dapat dilakukan oleh unsur keamanan di masyarakat
tersebut.
b. Kebutuhan Teknis Satuan Tugas Keamanan
Alat komunikasi : komunikasi dan koordinasi antar satuan tugas serta berfungsi
meminta bantuan keamanan dan menyampaikan informasi keamanan masyarakat,
tempat evakuasi dan wilayah sekitar
Kentongan : memberikan tanda bahaya atau perintah evakuasi
Megaphone : mengarahkan dan menenangkan massa
5. Nilai dan Prinsip Kesiapsiagaan Bencana Longsor
Dalam mengembangkan kegiatan masyarakat siaga bencana, anggota-anggota KPB
mempromosikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diyakini untuk menjamin kualitas
praktik Pengurangan Risiko Bencana. Nilai-nilai akan menjadi pedoman baik-buruknya
praktik Pengurangan Risiko Bencana. Sedangkan prinsip-prinsip menjadi petunjuk
bagaimana praktik Pengurangan Risiko Bencana harus dilakukan. Nilai-nilai dan prinsip-
prinsip ini diharapkan menjadi panduan bagi para pelaku (community of practices) maupun
pemangku kepentingan dalam membangun kesiapsiagaan bencana masyarakat (Konsorsium,
2008:19-20).
1. Nilai-Nilai
a. Perubahan Budaya
Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana ditujukan untuk menghasilkan
perubahan budaya aman (safety) dan perubahan dari aman menjadi berketahanan.
b. Berorientasi Pemberdayaan
Memampukan masyarakat untuk mengaplikasikan Pengurangan Risiko Bencana
secara kolektif.
c. Kemandirian
Mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya masyarakat dan warga masyarakat
dengan mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya luar.
d. Pendekatan berbasis hak
Praktik Pengurangan Risiko Bencana selalu memperhatikan hak-hak dasar
manusia
e. Keberlanjutan
Mengutamakan keberlanjutan dan terbentuknya institusionalisasi (pelembagaan)
f. Kearifan lokal
Menggali dan mendayagunakan kearifan lokal dalam praktik Pengurangan Risiko
Bencana
g. Kemitraan
Berupaya melibatkan pemangku kepentingan, baik dari berbagai komponen,
sektoral, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah dan organisasi non-pemerintah
utnuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan berdasarkan kesepakatan, prinsip
kolaborasi dan sinergi
h. Inklusivitas
Memperhatikan kepentingan semua masyarakat tanpa terkecuali termasuk mereka
yang berkebutuhan khusus.
2. Prinsip-Prinsip
a. Interdisiplin dan Menyeluruh
Pembelajaran Pengurangan Risiko Bencana dapat terkandung dan terintegrasi
dalam masyarakat, tidak harus dilaksanakan sebagai kegiatan dalam masyarakat itu
sendiri. Menyeluruh dimaksudkan bahwa proses pembelajaran antar kelompok
masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu untuk mencapai aturan yang telah
ditetapkan.
b. Komunikasi Antar-Budaya
Pendekatan Pengurangan Risiko Bencana harus mengutamakan komunikasi antar-
pribadi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda (ras, etnik, atau sosio-
ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu).
c. Berorientasi Nilai
Pendekatan Pengurangan Risiko Bencana harus didasari nilai-nilai bersama yang
disepakati dan menjadi norma yang dianut. Namun dapat selalu dikritisi, didebat,
diuji dan diterapkan dengan adaptasi yang diperlukan.
d. Berorientasi Tindakan
Pengaplikasian pengalaman pembelajaran Pengurangan Risiko Bencana ke dalam
kehidupan sehari-hari partisipan baik yang bersifat pribadi maupun profesional.
e. Pemikiran Kritis dalam Pemecahan Masalah
Pengembangan pemikiran kritis dan pemecahan masalah dengan membentuk
kepercayaan diri dalam mengungkapkan dilema dan tantangan membangun budaya
aman dan ketangguhan terhadap bencana.
f. Multi-Metodologi
Tidak ada metodologi (tunggal) yang paling sesuai, pendekatan harus dilakukan
untuk memungkinkan pengajar dan pembelajar bekerja bersama untuk mendapatkan
pengetahuan dan memainkan peran dalam menciptakan lingkungan yang aman dan
nyaman
g. Relevan dengan Kondisi Lokal
Membicarakan persoalan lokal dan juga persoalan global dengan bahasa-bahasa
yang paling umum digunakan oleh partisipan. Konsep-konsep dengan tepat
disampaikan dalam konteks lokal.
h. Partisipatif
Pembuatan keputusan yang partipatoris di mana masyarakat ikut serta
memutuskan bagaimana mereka akan melakukan tindakan.
i. Kehati-hatian
Menghindari munculnya kerentanan dan ketergantungan terhadap pihak luar
j. Akuntabilitas
Bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan kegiatan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada anggota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Akuntabilitas juga merupakan kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban itu.
k. Penegakan Fungsi Pemerintah
Fungsi pemerintah untuk memberikan pelayanan dalam tindakan kesiapsiagaan
bencana agar menjadi prioritas utama dalam keadaan darurat.
DAFTAR PUSTAKA
IDEP Foundation (2007), Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat”.
Konsorium Pendidikan Bencana (2011), “Draft Kerangka Kerja Sekolah Siaga Bencana”
Priambodo, Ari. 2009. Panduan Praktis Menghadapi Bencana. Yogyakarta: Kanisius
Ramli, Koehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana. Jakarta: Dian Rakyat.
Tim BNPB (2011), “Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana”
Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Hardiyatmo, Hary Christady. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa
Hariyanto, dan Erni Suharini. 2009. Model Antisipasi Penduduk yang Tinggal di Daerah Rawan Longsor Terhadap Bahaya Longsor di Kota Semarang. Penelitian. Semarang:Fakultas Ilmu Sosial UNNES
Konsorium Pendidikan Bencana (2011), “Draft Kerangka Kerja Sekolah Siaga Bencana”
Nugroho, Kharisma, Kristanto Endro, Andari Bekti Dwi, Kridanta Setyawan J. 2012. Modul Pelatihan Dasar Penanggulangan Bencana. Jakarta Pusat: PNPB.
Nurjanah, R Sugiharto, Kuswanda Dede, Siswanto BP, Adikoesoemos.2011. Manajemen Bencana. Jakarta: CV.Alfabeta Bandung
Sastramihardja, Wahyunto H, W. Supriatna, W. Wahdini, Sunaryo. 2011. Kerawanan Longsor Lahan Pertanian di Daerah Aliran Sungai Citarum Jawa Barat. Penelitian. Bogor: IPB
Sofyan, Henry. 2010. ‘Sejumlah Daerah di Temanggung Rawan Longsor’. Dalam Suara Merdeka Cybernews. 29 September. http://www. Suara Merdeka.com.all. (22 Agustus 2013).
Suranto, Joko Purwoko. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Tesis. Semarang: Fakultas Teknik UNDIP
Triutomo, Sugeng. B. Wisnu Widjaja, R. Sugiharto, Siswanto BP, Yohannes K. 2011. Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana (edisi kedua). Jakarta: BNPB
Widyawati, Nani. 2011. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Masyarakat Terhadap Upaya Penanggulangan Bencana Tanah Longsor Di Desa Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung.Skripsi. Semarang : FIS UNNES
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Perencanaan Penanggulangan Bencana
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.