Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDIDIKAN INTEGRAL PERSPEKTIF HAMKA
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan / S.Pd
Oleh:
KUNNI FARIKHAH
111-13-273
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
vi
MOTTO
ين ءامنوا لذ ہا ٱ أي ـ ييڪم ي ذا دعاك لما ي
سول ا وللرذ تجيبوا للذ س
ا ٱ علمو
وٱ
ذه لمرء وقلبهۦ وٱه يول بي ٱ للذ
ون ) ٱنذ ٱ ش ليه ت
(٤٢ۥ ا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada
kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia
dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
(QS. Al-Anfal (8): 24)
vii
PERSEMBAHAN
Dengan penuh ketulusan hati dan segenap rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini saya
persembahkan kepada:
1. Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa selalu mendoakan disetiap langkah yang saya
tempuh dan senanatiasa memberikan dukungan baik secara moral maupun
material.
2. Kakak saya, Fatchul Mujib dan sahabat baik sekaligus calon kakak saya, Anis
Purwanti, yang selalu memberikan semangat, mendoakan, dan selalu ada setiap saya
membutuhkan, serta yang selalu memberikan cinta tulusnya.
3. Sahabat dari kecilku UlyaRosidah, dan seluruh keluarga Sian’s Hostel, NurHeni,
Reni Sekar Oktaviana, Mella, Sayyidatul Muwafiqoh, Rumiyati, Kurniawati (Nia),
Farhani Hanifah, Quentesa Nur Wulandari, Maharani Wijayanti, Helmi Susanti,
Anggun Tri Indri, Dian Novitasari, Lia Dwi Purwanti, Ika Ervalina, , Kenanga, Desi,
Riski, dan Chaca, serta temanku Hamidah Nur V, dan kakak Marta yang selalu
memberikan motivasi satu sama lain, semoga apa yang kita impikan dapat tercapai,
dan yang pasti ilmu yang selama ini kita peroleh bermanfaat.
4. Keluarga tercinta KKN Posko 74 tahun 2017 Diah Fajar Utami, Dewi Nur, Risky
Permatasari, Wasilatut Thoyyibah, Himatul Aliyah, Muhammad Arifin, Muhammad
Mudhofir, dan Aris Wiyoko.
viii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الر حن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul
“Pendidikan Integral Perspektif Hamka.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian
persyaratan guna memperoleh gelar sarjana S1 Pendidikan Agama Islam Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka
tidak akan mungkin penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN
Salatiga.
4. Bapak Dr. Fatchurrohman, S.Ag., M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing, memberi nasehat, arahan serta masukan-masukan yang sangat
membantu dan membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini.
5. Ibu Rr. Dewi Wahyu Mustikasari, S.S., M.Pd selaku dosen pembimbing akademik
yang sabar membimbing dan sabar mendengar keluh kesah perkuliahan.
6. Seluruh dosen dan petugas administrasi Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN
Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah dan penelitian berlangsung.
ix
7. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Terakhir untuk kampus tercinta IAIN Salatiga, terima kasih telah menjadi bagian
terpenting dari perjalanan hidup.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena itu
penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi
kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya. Semoga skripsi ini bisa memberikan
manfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan pada umumnya.
Aamiin Yaa Robbal „Alamin
Salatiga, 23 Agustus 2017
Penulis
Kunni Farikhah
11113273
x
ABSTRAK
Farikhah, Kunni. 2017. Pendidikan Integral Perspektif Hamka (Skripsi). Jurusan Pendidikan
Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN (Institut Agama Islam
Negeri) Salatiga. Pembimbing: Dr. Fatchurrohman, S.Ag., M.Pd.
Kata Kunci: Pendidikan, Integral
Dalam khazanah dunia pendidikan Islam, dikenal dalam bahasa Arab yang memiliki
makna untuk memberikan penjelasan tentang istilah yang menunjukkan pengertian
pendidikan dalam Islam yaitu, ta‟lim, tarbiyah, dan ta‟dib. Ta‟lim adalah pendidikan dengan
makna pengajaran, tarbiyah adalah pendidikan dengan makna memelihara dan mengayomi.
Sedangkan ta‟dib adalah makna pendidikan yang berkaitan dengan tata cara berperilaku dan
berucap yang baik atau lebih dikenal dengan pendidikan moral atau karakter dalam rangka
pembentukan individu yang bermartabat secara menyeluruh dan terintegrasi. Akan tetapi
dengan melihat dari berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, arah gerak tujuan
pendidikan Islam cenderung bersifat ta‟lim dan tarbiyah saja, disebabkan pemahaman dan
pemikiran masyarakat yang cenderung bersifat materialistis dan berorientasi kebendaan.
Tidak hanya itu, di kalangan remajapun banyak yang tidak mampu menghadapi
permasalahan kehidupan, keluaran sekolah tinggi pun memiliki cita-cita yang lemah,
kurangnya akal budi, dan kemauan. Bahkan yang lebih memprihatinkan dalam pendidikan
saat ini yaitu terjadinya dikotomi dalam ilmu antara ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini
dapat dilihat dari keterkaitan antara guru orang tua, dan lingkungan (sosial) yang kurang
harmonis dan integral, pola kurikulum serta kerangka pendidikan (Islam) masih belum
terealisasi secara maksimal dan utuh dalam sistem pendidikan nasional. Berdasarkan kondisi
di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1). Makna pendidikan integral perspektif
Hamka, 2). Pandangan Hamka mengenai pendidikan integral, 3). Relevansi pemikiran
Hamka dengan pendidikan sekarang.
Penelitian ini tergolong jenis penelitian kualitatif yang bercorak studi pustaka (library
research), di mana jenis penelitian yang sumber datanya berasal dari naskah-naskah
dokumen yang berkaitan. Kemudian melakukan pengumpulan data teoritis sebagai penyajian
ilmiah dengan memilih literatur yang berkaitan dengan penelitian. Metode ini digunakan
untuk menentukan literatur yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti.
Penulis juga menggunakann pendekatan studi tokoh atau pendekatan sejarah, untuk
mengetahui sejauh mana pemikiran seorang tokoh dengan meneliti karya-karya dan
biografinya. Selanjutnya data-data yang sudah terkumpul, dicari pola, keterkaitan, pengaruh,
hukum, konsep dan prinsip-prinsip yang ada, sehingga menjadi bangunan konsep teori yang
runtut dan sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan integral bermakna untuk membentuk
watak peserta didik dan membentuk pribadi hebat dengan memadukan antara potensi-potensi
yang terdapat pada diri manusia, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani dengan
lingkungannya (baik lingkungan sosial maupun alam) dengan cara mengharmonisasikan
kembali relasi antar Tuhan-alam dan wahyu-akal secara integral untuk mewujudkan peserta
didik yang kaffah. Pendidikan integral dalam pendidikan sekarang di Indonesia berupaya
untuk membangun manusia dan masyarakat secara utuh, menyeluruh, integratif, komparatif,
kompetitif dan distributif dalam menghadapi berbagai perkembangan dan perubahan dalam
kehidupan.
xi
DAFTAR ISI
JUDUL…………………………………………………………………………………… i
LEMBAR BERLOGO ……………………………………………………………......... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………………….. iii
PENGESAHAN KELULUSAN ………………………………………………….......... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………………………………………... v
MOTTO …………………………..……………………………………………………… vi
PERSEMBAHAN ……………………………………………………………………… vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. viii
ABSTRAK ……………………………………………………………………………….. x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………. xiv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................6
C. Tujuan Penelitian .....................................................................................................6
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................................6
E. Kajian Pustaka .........................................................................................................7
F. Metode Penelitian ..................................................................................................12
G. Penegasan Istilah ....................................................................................................16
H. Sistematika Penulisan ............................................................................................17
BAB II BIOGRAFI TOKOH .............................................................................................19
xii
A. Biografi Hamka ......................................................................................................19
B. Silsilah Keluarga Hamka .......................................................................................25
C. Setting Pendidikan dan Sosial Hamka ...................................................................26
D. Pengaruh Hamka dalam Pendidikan ......................................................................29
E. Karya-Karya Hamka ..............................................................................................33
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN .................................................................................40
A. Pengertian Pendidikan ...........................................................................................40
B. Pengertian Pendidikan Islam..................................................................................40
C. Pengertian Pendidikan Integral ..............................................................................42
D. Tujuan Pendidikan Integral ....................................................................................43
E. Materi Pendidikan Integral Menurut Hamka .........................................................44
F. Pendidik .................................................................................................................48
G. Peserta Didik ..........................................................................................................53
H. Lingkungan ............................................................................................................57
I. Kurikulum Pendidikan ...........................................................................................64
J. Metode Pendidikan Integral Menurut Hamka........................................................66
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................................74
A. Signifikansi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral .................................74
B. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral dengan Pendidikan
Sekarang .................................................................................................................81
C. Implikasi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral dalam Pendidikan
Sekarang di Indonesia ..........................................................................................105
BAB V PENUTUP.............................................................................................................117
xiii
A. Kesimpulan ..........................................................................................................117
B. Saran ....................................................................................................................118
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
PERNYATAAN PUBLIKASI SKRIPSI
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Foto Hamka dan Cover Buku
2. Daftar Nilai Skk
3. Nota Pembimbing Skripsi
4. Lembar Konsultasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam adalah sebuah upaya sadar dan terencana dari
seorang guru untuk berupaya menumbuh-kembangkan kemampuan jiwa
dan raganya secara sempurna sesuai dengan panduan syar‟i dari al-Qur‟an
dan hadis nabi Muhammad SAW, sehingga tercipta insan manusia yang
sempurna untuk mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah dimuka
bumi (Heri Jauhari Muchtar, 2005: 34).
Dalam khazanah dunia pendidikan Islam, dikenal dalam bahasa
Arab yang memiliki makna untuk memberikan penjelasan tentang istilah
yang menunjukkan pengertian pendidikan dalam Islam yaitu, ta‟lim,
tarbiyah, dan ta‟dib. Ta‟lim adalah pendidikan dengan makna pengajaran,
tarbiyah adalah pendidikan dengan makna memelihara dan mengayomi.
Sedangkan ta‟dib adalah makna pendidikan yang berkaitan dengan tata
cara berperilaku dan berucap yang baik atau lebih dikenal dengan
pendidikan moral atau karakter dalam rangka pembentukan individu yang
bermartabat secara menyeluruh dan terintegrasi (Abd. Rahman Abdullah,
2001: 21-22). Akan tetapi dengan melihat dari berbagai fenomena yang
terjadi di masyarakat saat ini, arah gerak tujuan pendidikan Islam
cenderung bersifat ta‟lim dan tarbiyah saja, disebabkan pemahaman dan
2
pemikiran masyarakat yang cenderung bersifat materialistis dan
berorientasi kebendaan.
Bahkan yang lebih memprihatinkan dalam pendidikan saat ini yaitu
terjadinya dikotomi dalam ilmu antara ilmu agama dengan ilmu umum.
Kita mengenal adanya sistem pendidikan agama dan pendidikan umum.
Seiring dengan terjadinya dikotomi tersebut, menghasilkan bahwa
pendidikan agama berjalan tanpa dukungan iptek dan sebaliknya
pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. Ironisnya, muncul
fenomena pemikiran orang, yang menyebut dirinya sebagai “orang umum”
untuk tidak menyangkutpautkan ilmu pengetahuan dengan agama.
Latar belakang tersebut merupakan hasil dari pendidikan yang
kurang integral. Di mana jasmani dan rohani peserta didik tidak di didik,
hal ini yang mengakibatkan banyak dari kalangan peserta didik maupun
mahasiswa terjadi tawuran. Namun tidak banyak yang menyadari hal itu,
bahwa penyebab utama itu semua karena kurang didikan budi pekerti.
Maka akhlak seorang pendidik harus terjaga sebelum memberikan
pendidikan kepada peserta didik.
Banyak ilmuan yang turut andil dalam menghadapi permasalahan
di atas, termasuk pemikiran Buya Hamka tahun 1908-1981 tentang
pendidikan Islam. Beliau merupakan pemikir dan pernah terlibat sebagai
pendidik pada lembaga pendidikan formal. Pemikirannya tentang
pendidikan Islam mengacu pada tiga aspek potensi (fitrah) peserta didik,
yaitu jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-„aql). Dari ketiga aspek
3
tersebut, ia lebih cenderung menekankan pemikiran pendidikan pada aspek
pendidikan jiwa (al-qalb) atau akhlak al-karimah.
Salah satu bukti pemikiran Hamka yaitu pada awal abad XX tradisi
dan wacana pemikiran masyarakat Minangkabau sangat tradisional dan
ketat mengatur kegiatan kaum perempuan. Percampuran hukum adat dan
hukum Islam di Minangkabau menyebabkan kehidupan dan dinamika
kaum perempuan sangat terkekang. Bahkan untuk keluar rumah saja
sangat sulit, karena dianggap tidak sopan. Kondisi yang demikian
mengakibatkan 90% kaum perempuan Minangkabau pada era ini berada
dalam keadaan buta huruf (aksara latin) (Samsul Nizar, 2008: 91). Melihat
kondisi tersebut, Hamka melakukan pembaharuan di dalam pendidikan
Islam. Beliau mengubah pendidikan tradisional menjadi pendidikan
modern. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Buya Hamka adalah sosok
cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi
masa depan. Pemikirannya tidak hanya berlaku di zamannya, namun
masih sangat kontekstual di masa kini. Produktivitas gagasannya di masa
lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di
masa kini.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka Hamka menjadi salah
seorang sosok yang sangat relevan dalam memberikan pengaruh terhadap
pemikiran di masyarakat. Selain itu, khusus bagi dunia pendidikan di
Indonesia, Hamka dengan ketokohannya sebagai seorang ulama sekaligus
4
ilmuwan, diharapkan dengan pemikiran-pemikiran pendidikannya mampu
memberikan solusi alternatif terhadap kondisi pendidikan saat ini.
Menurut Dr. Zakiah Daradjat (1982: 28), tujuan pendidikan yaitu
mendidik dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa dari sila-sila
yang lain dalam kehidupan anak didik baik di rumah maupun di sekolah,
sehingga benar-benar akan terciptalah manusia Indonesia yang sesuai
dengan yang diinginkan oleh dasar dan tujuan negara. Sedangkan, tujuan
akhir pendidikan Islamnya adalah membentuk kepribadian seseorang
menjadi Insan Kamil, artinya manusia utuh rohani dan jasmani (Zakiah
Daradjat, 2014: 29). Orang yang sudah takwa dalam bentuk insan kamil,
masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan
penyempurnaan, sekurang-kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur
dan berkurang. Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam
firman Allah:
سي أت إل ت ل ت حق تقاتۦ ا ٱتقا ٱلل ءا أيہا ٱىزي ـ ي
(٢٠١)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”(QS. Ali Imron
(3): 102) (Depag RI, 2005: 79).
Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim
yang merupakan ujung dari takwa sebagai akhir proses hidup jelas berisi
kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan itu yang dianggap
sebagai tujuan akhirnya (Zakiah Daradjat, 2014: 31).
5
Dalam Al-Qur‟an telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsi-fungsinya
sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya (Abd. Rahman Dahlan, 1997: 173).
Sedangkan menurut Hamka, sistem pendidikan Islam yang ideal
seyogianya berorientasi pada visi keakhiratan sebagai alat control perilaku
manusia, sekaligus visi kekinian dengan mengaktifkan fungsi akal peserta
didik secara maksimal. Persentuhan kedua aspek tersebut secara harmonis
dan integral akan menciptakan sosok peserta didik yang memiliki
kepribadian paripurna (insan kamil). Melalui agama, dinamika akal akan
terkontrol dengan baik. Adapun melalaui ilmu umum (rasional), akan
menyiapkan umat Islam agar mampu menjawab berbagai tantangan
dinamika zaman secara aktif, dinamis dan proporsional. Ungkapannya ini
mencerminkan sikap intelektualitasnya yang ditujukan kepada umat Islam
agar melihat visi pembaharuan, khususnya pendidikan Islam secara kritis
dan objektif (Samsul Nizar, 2008: 10-12).
HAMKA menilai tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan
mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia
(Hamka, 2015: 13), serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara
layak dan berguna ditengah-tengah komunitas sosialnya (Hamka, 1983a:
2-3). Dengan arti lain, tujuan pendidikan Islam yang dibangun bukan
hanya bersifat internal bagi peserta didik guna memiliki sejumlah ilmu
pengetahuan dan mengenal Khaliknya, akan tetapi juga secara eksternal
mampu hidup dan merefleksikan ilmu yang dimiliki bagi kemakmuran
6
alam semesta. Untuk mencapai tujuan ideal ini, pendidikan Islam
hendaknya diformulasi secara sistematis dan integral, sehingga dapat
merangsang tumbuhnya dinamika fitrah peserta didik secara optimal
(Samsul Nizar, 2008: 116-117).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
pemikiran HAMKA tentang pendidikan integral. Oleh karena itu, skripsi
ini penulis beri judul Pendidikan Integral Perspektif HAMKA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran HAMKA tentang pendidikan integral?
2. Bagaimana relevansi pemikiran HAMKA tentang pendidikan integral
dengan pendidikan saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk
mengetahui:
1. Pemikiran HAMKA tentang pendidikan integral.
2. Relevansi pemikiran HAMKA tentang pendidikan integral dengan
pendidikan saat ini.
7
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
keilmuan di bidang pendidikan Islam.
Bagi kalangan akademik yang ingin meneliti masalah pendidikan
dalam Islam, penelitian ini dapat dijadikan referensi dan pedoman
berupa sumbangan teoritis.
2. Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi
para pendidik atau lembaga pendidikan Islam serta pihak lain yang
berkepentingan untuk menambah khazanah pengetahuan
pendidikan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran serta
wawasan kepada kaum muslimin, dengan harapan pendidikan
integral yang dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.
c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam bidang pendidikan Islam.
E. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya duplikat-duplikat yang tidak
diinginkan, maka peneliti menggali teori-teori yang telah berkembang
8
dalam bidang ilmu yang berhubungan atau yang pernah digunakan oleh
peneliti-peneliti terdahulu (Mohammad Nazir, 1988: 111).
Dalam hal ini, pengkajian dan penelitian terhadap pemikiran
Hamka mengenai pendidikan integral didasarkan pada pendidikan Islam
yang ideal masih sangat sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan masih
jarangnya orang yang menganggap bahwa Hamka merupakan salah satu
tokoh pemikir pendidikan. Meskipun demikian, penulis menemukan karya
ilmiah yang membahas tentang pemikiran Hamka terhadap pendidikan
Islam, yaitu:
Skripsi karya Roudlotul Jannah (11110003). Program Studi PAI
STAIN Salatiga yang berjudul Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai
Pendidikan Budi Pekerti (2015). Dalam skripsi ini, Roudlotul Jannah
mengulas pemikiran Hamka tentang nilai-nilai pendidikan pada budi
pekerti. Penelitian ini membahas secara khusus dan mengupas secara
komprehensif tentang Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan
Budi Pekerti. Sejauh yang penulis ketahui, kajian tentang pemikiran
Hamka sendiri telah diangkat sebagai skripsi oleh Nur Kholis yang
berjudul Studi Komparasi antara Konsep Hamka dengan Abdullah Nasih
Ulwan tentang Pendidikan Akhlak.
Skripsi karya Lia Dwi Purwanti (11112131). Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan
Sosial dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya
Hamka(2016). Skripsi ini menjelaskan tentang nilai-nilai yang terkandung
9
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya Hamka
diantaranya: adanya nilai pendidikan sosial, pendidikan kasih sayang,
tanggung jawab, dan keserasian hidup. Karakter tokoh yang patut
diteladani diantaranya: sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan
Tuhan, dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan alam
sekitar.
Skripsi karya Siti Lestari (063111037).Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang yang berjudul Pemikiran Hamka tentang Pendidik
Dalam Pendidikan Islam (2010).Skripsi ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara pendidik dalam keluarga (orang tua), sekolah (guru) dan
masyarakat (komunitas sosial) adalah sangat terkait dalam rangka
mengembangkan semua potensi yang dimiliki anak didik menuju
perkembangan yang optimal. Untuk mendukung komunikasi antara orang
tua, guru dan masyarakat; Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai
tempat bersilaturrahmi antara guru dan orang tua untuk membicarakan
perkembangan peserta didik. Pemikiran ini bisa dikembangkan lebih jauh
dengan banyak cara seperti kunjungan ke rumah, Case conference,
membentuk badan pembantu sekolah, surat menyurat, dan sebagainya.
Skripsi karya Dartim (G000120097). Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul Konsep Pemikiran
Pendidikan Islam menurut Buya Hamka Tahun 1950-1980: Telaah Buku
Falsafah Hidup dan Peribadi Hebat (2016). Skripsi ini diteliti agar dapat
diketahui apa manfaat Pendidikan Islam menurut Buya Hamka
10
berdasarkan telaah karya-karyanya pada tahun 1950-1980 untuk
menyikapi realitas dunia pendidikan kontemporer. Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa Pendidikan Islam pada tahun 1950-1980 adalah
menekankan pada upaya maksimal dalam menumbuhkan dan menguatkan
pribadi. Pribadi individu yang mencakup dari akal, budi, cita-cita dan
bentuk fisik seseorang yang harus dikembangkan semaksimal mungkin
dan seutuhnya.
Jurnal karya Abdul Nashir. FT PAI ISID Gontor yang berjudul
Buya Hamka dan Mohammad Natsir tentang Pendidikan Islam, Vol.3,
No.1, Shafar 1428, (2006). Artikel ini mencoba untuk memaparkan konsep
Pendidikan Islam menurut dua orang pemikir Pendidikan Islam yaitu Buya
Hamka dan Moh. Natsir. Mereka mempunyai latar belakang yang berbeda
meskipun hidup di zaman yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kontribusi pemikiran Hamka dan Natsir adalah bahwa konsep ilmu
harus melalui proses islamisasi; pendidikan Islam adalah pembentukan
pribadi dan bimbingan akhlak, jasmani, rohani, untuk mencapai
kesempurnaan sifat manusia yang hakiki sebagai khalifah di bumi; Asas
pendidikan Islam adalah tauhid; tujuan pendidikan Islam adalah menjadi
hamba Allah sebagai manusia yang bermanfaat di dunia dan akhirat;
Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah suri tauladan yang
aktif, serta mau berkorban untuk kemajuan bangsa; peserta didik dalam
perspektif pendidikan Islam adalah harus hormat pada pendidik dalam
segala kondisi baik proses pembelajaran maupun pergaulan; Lembaga
11
Pendidikan Islam adalah tempat melatih budi dan persiapan untuk hidup di
masyarakat dengan menghasilkan alumni yang mandiri dan melepas
ketergantungan pada orang lain dan mampu berinisiatif.
Berdasarkan tulisan-tulisan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian yang akan peneliti angkat berbeda dari tulisan-tulisan yang
sudah ada. Disebabkan karna masih minimnya penelitian yang
menempatkan Hamka sebagai tokoh pendidikan, maka dalam penelitian
ini peneliti menitikberatkan pada pemikiran Hamka yang relevan dengan
kondisi pendidikan sekarang, terutama pemikiran Hamka tentang
pendidikan integral dalam memberikan kontribusi dalam pendidikan
kontemporer.
Hal ini karna dalam lintas sejarah kehidupannya, ia merupakan
tokoh yang telah banyak ikut andil dalam memperkenalkan pembaharuan
pendidikan di Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan dan
orientasi materi pendidikan Islam, yaitu ketika mengelola Tabligh School
dan Kulliyatul Muballighin serta pengembangan masjid Al-Azhar menjadi
institusi pendidikan Islam modern. Selain itu, penulis juga hendak
merelevansikan pemikiran Hamka dengan konteks kekinian terhadap
pendidikan Islam.
12
F. Metode Penelitian
Pokok-pokok bahasan yang terdapat dalam bab metode penelitian
adalah (1) jenis penelitian, (2) metode pengumpulan data, (3) sumber data,
dan (4) metode analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong jenis penelitian kualitatif yang bercorak
studi pustaka (library research), di mana jenis penelitian yang sumber
datanya berasal dari naskah-naskah berupa dokumen, baik berupa
buku, jurnal, makalah, maupun tulisan-tulisan lainnya. Adapun
penelitian dengan filosofis-historis yaitu, data yang diteliti merupakan
data yang diperoleh dari hasil telaah kepustakaan buku-buku teks yang
relevan dengan pembahasan penelitian yang akan dilakukan, berupa
telaah sejarah maupun telaah terhadap pemikiran seorang tokoh, untuk
kemudian dianalisis maknanya secara mendalam, sehingga dapat
merumuskan sebuah konsep (Abudin Nata, 1997:5-6). Dalam hal ini,
warisan pemikiran Hamka tentang pendidikan integral merupakan
wacana yang sangat potensial untuk diteliti dan dikembangkan dalam
rangka memperkaya konsep pendidikan nasional.
2. Metode pengumpulan data
Penyusunan skripsi ini termasuk penelitian library research,
yaitu mengumpulkan data teoritis sebagai penyajian ilmiah yang
dilakukan dengan memilih literatur yang berkaitan dengan penelitian
(Sutrisno Hadi, 2000: 9). Metode ini digunakan untuk menentukan
13
literatur yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang
diteliti, di mana penulis membaca dan menelaahnya dari buku-buku
bacaan yang ada kaitannya dengan tema skripsi, yaitu pemikiran
Hamka tentang pendidikan integral.
Penelitian ini berupa library research, maka pengumpulan data
yang digunakan adalah dengan menelusuri buku-buku atau kitab yang
disusun oleh Hamka. Proses pengumpulan data ini dilakukan dengan
bahan-bahan dokumen yang ada, yaitu dengan melalui pencarian buku-
buku, jurnal dan lain-lain di katalog beberapa perpustakaan dengan
mencatat sumber data yang terkait yang dapat digunakan dalam studi
sebelumnya.
Penulis juga menggunakan metode pendekatan studi tokoh atau
pendekatan sejarah, objek yang dikaji adalah pemikiran seorang tokoh
baik itu persoalan-persoalan, situasi, atau kondisi yang mempengaruhi
terhadap pemikirannya. Menurut Mukti Ali, pendekatan ini adalah
untuk mengetahui sejauh mana pemikiran seorang tokoh yaitu dengan
cara meneliti karya-karyanya dan biografinya.
3. Sumber data
Pada penelitian kualitatif yang bercorak kepustakaan
(penelitian studi pustaka/literatur) maka, ada dua sumber data sebagai
bahan kajian atau pembahasan pada penelitian ini, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah data utama yang
menjadi sumber data pokok penelitian.Sedangkan data sekunder adalah
14
data selain data primer namun memiliki relevansi dengan objek utama
pembahasan penlitian (Sugiyono, 2015: 1-3).
a. Data primer
Adapun yang menjadi sumber penelitian ini adalah karya dari
Hamka sendiri, yaitu:
1). Hamka, Lembaga Hidup, Jakarta: Republika Penerbit, 2015.
2). Hamka, Lembaga Budi, Jakarta: Panjimas, 1983.
3). Hamka, Pribadi Hebat, Jakarta: Gema Insani, 2014.
4). Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1952.
5). Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat,
1950.
b. Data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah:
1). Hamka, Angkatan Baru, Jakarta: Gema Insani, 2016.
2). Hamka, Dari Hati ke Hati, Jakarta: Gema Insani, 2016,
3). Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983,
serta masih banyak lagi karya Hamka sendiri yang menjadi
sumber data sekunder.
4). Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan
Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana, 2008.
15
5). H. Rusydi, Pribadi dan Bermartabat Buya Prof. Dr. Hamka,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
6). Serta semua media yang menjadi sumber data sekunder, yaitu
dari ebook, majalah, koran, PDF, jurnal maupun dari website
yang berkaitan dengan penelitian tentang pendidikan integral.
4. Metode analisis data
Penelitian studi pustaka data-data yang sudah terkumpul, dicari
pola, keterkaitan, pengaruh, hukum, konsep dan prinsip-prinsip yang
ada, sehingga menjadi bangunan konsep teori yang runtut dan
sistematis sesuai dengan tujuan penelitain. Pada penelitian studi
pustaka, berkaitan erat dengan sejarah kejadian atau kronologi tentang
suatu peristiwa maupun berkaitan erat dengan sosok seorang tokoh
(Amin Abdullah, 2016: 192). Dalam proses analisis ini penulis
menggunakan dua cara yang saling bergantian yaitu:
a. Proses analisa deduksi, yaitu analisa dari pengertian yang umum
yang kemudian dibuat nyata dan penerapan lebih khusus, yaitu
dengan cara mengumpulkan data-data dalam permasalahan
umum kemudian mengerucut pada proses pengambilan
permasalahan-permasalahan yang bersifat khusus.
b. Proses analisa induksi (dari khusus ke umum). Induksi pada
umumnya disebut generalisasi, yaitu dengan cara mengumpulkan
data-data dalam jumlah tertentu, dan atas data itu menyusun
16
suatu ucapan umum. Yaitu dengan cara analisa dari data yang
bersifat khusus kemudian yang bersifat umum.
Kemudian dianalisis hingga mampu menghasilkan sebuah
kesimpulan yang sesuai dengan tujuan utama penelitian.
G. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan. Maka
penulis akan mencoba memberikan sebuah penegasan istilah yang
digunakan dalam penelitian ini. Beberapa istilah yang perlu ditegaskan
adalah sebagai berikut:
1. Integral artinya mengenai keseluruhanya, meliputi seluruh bagian
yang perlu untuk menjadikan lengkap, utuh, bulat, dan sempurna.
Yang dimaksud pendidikan integral di sini adalah pendidikan yang
memadukan antara potensi-potensi yang terdapat pada diri manusia
yaitu, potensi jasmani dan potensi rohani dengan lingkungannya
(baik lingkungan sosial maupun alam) dengan cara
mengharmoniskan kembali relasi antara Tuhan-alam dan wahyu-akal
untuk mewujudkan peserta didik yang kaffah. Pengertian ini bisa
diartikan sebagai sebuah konsep pendidikan yang memadukan
intelektual, moral dan spiritual dalam pembelajaran sehingga siswa
diharapkan tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif, tetapi juga
kemampuan psikomotorik dan spiritualnya dalam rangka membina
hari esok yang lebih baik, di dunia ini dan di akhirat kelak.
17
2. HAMKA (Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah)
Hamka atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Buya Hamka
lahir pada tanggal 17 Februari 1908 M (1327 H) di kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia (Sulaiman Al-Kumayi, 2004:
21). Beliau adalah ulama Indonesia era modern yang telah banyak
memberikan kontribusi bagi pengembangan peradaban dan
munculnya dinamika intelektualitas masyarakat (Islam).
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dalam skripsi ini,
maka penulis mengemukakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang membahas tentang
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian
pustaka, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan
sistematika penulisan skripsi.
Bab kedua, membahas tentang biografi Hamka, silsilah keluarga
Hamka, setting pendidikan dan sosial Hamka, pengaruh Hamka dalam
pendidikan, dan karya-karya Hamka.
Bab ketiga, membahas tentang pemikiran Hamka tentang
pendidikan integral, berisi: pengertian pendidikan, pengertian pendidikan
Islam, pengertian pendidikan integral, tujuan pendidikan integral, materi
pendidikan integral menurut Hamka, pendidik, peserta didik, lingkungan,
kurikulum pendidikan, dan metode pendidikan integral menurut Hamka.
18
Bab keempat mengenai pembahasan, berisi: urgensi pemikiran
Hamka tentang pendidikan integral, relevansi pemikiran Hamka tentang
pendidikan integral dengan pendidikan sekarang, dan implikasi pemikiran
Hamka tentang pendidikan integral dalam pendidikan sekarang di
Indonesia
Bab kelima, merupakan penutup, berisi kesimpulan dan saran-
saran.
19
BAB II
BIOGRAFI TOKOH
A. Biografi Hamka
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih dikenal
dengan julukan Buya Hamka atau Hamka saja, yakni singkatan namanya,
(lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17
Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun)
adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis
politik (Sholechul Azis, 2013: 53).
Ayahnya adalah Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah, beliau
merupakan tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau
yang memulai gerakannya pada tahun 1906 setelah kembali dari Mekkah
(H. Rusydi, 1983: 1). Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung.
Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana
suku ibunya (Sholechul Azis, 2013: 53).
Pada tahun 1914, Abdul Malik, nama panggilan Hamka sewaktu
masih kecil, telah mengawali pendidikannya dengan membaca al-Qur‟an
di rumah orang tuanya sewaktu mereka sekeluarga pindah dari Maninjau
ke Padang Panjang. Setahun kemudian, setelah mencapai tujuh tahun,
Hamka dimasukkan ayahnya ke Sekolah Desa (Ahmad Hakim, M.
Thalhah, 2005 : 25-26).
Pada tahun 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah
melewatkan tiga tahun belajar. Pendidikan agama sangat ditekankan oleh
20
Haji Rasul, maka beliau memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu
mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah
mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Sistem pembelajaran di Thawalib yang
mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Keadaan inilah yang membawa
Hamka berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi
dan Bagindo Sinarno.
Pada tahun 1924, Hamka berkunjung ke tanah Jawa selama kurang
lebih satu tahun, yang menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan
semangat baru baginya untuk mempelajari Islam. Rantau pengembaraan
pencarian ilmu dari tanah Jawa itu ia mulai mendapat kesempatan
mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan
Syarikat Islam. Dalam kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus
Hadikusumo, di mana Hamka mendapatkan pelajaran tafsir al-Qur‟an
darinya. Ia juga bertemu dengan H.O.S Cokroaminoto dan mendengar
ceramahnya tentang Islam dan sosialisme. Di sampingnya itu ia
berkesempatan pula untuk bertukar pikiran dengan beberapa tokoh penting
lainnya, seperti Haji Fachruddin dan Syamsul Rijal, tokoh Jong Islamieten
Bond, suatu organisasi yang bertujuan mempelajari Islam dan
mengajarkan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan serta mengembangkan
rasa simpatik kepada Islam dan pengikutnya, di samping juga
menunjukkan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain.
Pada tahun 1925 beliau pulang ke Padang Panjang, waktu itulah
mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang (Hamka, 1983d: 17).
21
Buya Hamka menikah saat berumur 21 tahun sedangkan Istrinya,
Siti Raham 15 tahun (Yudi Pramuko, 2001: 44). Setelah perkawinannya
dengan Siti Raham, ia mengaktifkan diri sebagai pengurus
Muhammadiyah cabang Padang. Pada tahun 1933, ia menghadiri
Muktamar Muhammadiyah di Semarang, dan pada tahun 1934 ia diangkat
menjadi anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.
Kemudian pada tahun 1946, berlangsung konferensi Muhammadiyah di
Padang Panjang, dan Hamka terpilih sebagai ketuanya. Situasi ini sangat
menguntungkan Hamka, sehingga kebolehannya sebagai penulis dan
penceramah bertambah popular.
Pada saat yang sama, Hamka merupakan figur terkemuka dalam
perjuangan revolusioner merebut kemerdekaan nasional di Sumatera Barat
dari tahun 1945 sampai 1949, ia pindah ke Jakarta dan diangkat sebagai
pejabat tinggi Depag, Hamka memanfaatkan sebagaian besar waktunya
untuk mengajar, menulis dan menyunting serta menerbitkan jurnal Panji
Masyarakat. Pada tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota
konstituante mewakili partai politik modern Islam, Masyumi.Karir politik
berakhir dengan dibubarkannya majelis ini oleh presiden Sukarno.
Di saat Hamka menjadi pejabat tinggi dan penasehat Depag,
kedudukan yang memberikan peluang baginya untuk mengikuti konferensi
di luar negeri. Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat
mengundangnya untuk tetap menetap selama empat bulan. Selama
kunjungan itu, Hamka mempunyai pandangan yang lebih terbuka terhadap
22
negara-negara non-Islam. Sekembalinya dari Amerika Serikat, Hamka
menerbitkan buku perjalanannya Empat Bulan Di Amerika sebanyak dua
jilid. Sesudah itu, secara berturut-turut, Hamka menjadi anggota misi
kebudayaan ke Muangthai (1953), mewakili Depag untuk menghadiri
peringatan mangkatnya Budha di Birma (1954), menghadiri Konferensi
Islam di Lahore (1958) dan menghadiri undangan Universitas Al-Azhar
Kairo untuk memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di
Indonesia. Beberapa hari setelah mengadakan kunjungan tersebut, Hamka
melanjutkan perjalanannya ke Saudi Arabia untuk memenuhi undangan
raja Saud. Ia melanjutkannya ke Makkah, Jeddah dan ziarah ke makam
Rasulullah saw. di Madinah. Setelah itu datanglah berita dari Riyadh yang
menyatakan bahwa raja Saud berkenan menerimanya di istananya sebagai
tamu. Pada waktu itu pula, datanglah kabar berita dari Mesir di Indonesia,
Sayyid Ali Fahmi al-Amrouzi, yang menyatakan bahwa Al-Azhar
University telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar ilmiah
tertinggi dari Al-Azhar University, yaitu Ustadziyah Fakhriyyah, yang
sama artinya dengan Doctor Honoris Causa. Kemudian raja Saud meminta
Hamka untuk kembali ke Mesir guna menghadiri upacara penyerahan
gelar mulia itu, sebab dari ceramahnya tersebut ketika di Al-Azhar
University sebelumnya.
Pada tahun 1960 beliau terpilih menjadi imam besar masjid Al-
Azhar. Hamka mendapat tuduhan palsu terlibat percobaan pembunuhan
terhadap presiden Sukarno-sebagaimana isu yang berkembang Indonesia
23
pada akhir tahun 2002, bahwa Syeikh Ba‟asyir diisukan merencanakan
pembunuhan terhadap presiden Megawati Sukarno Putri- Hamka di tahan
pada tahun 1964 (Ahmad Hakim, M. Thalhah, 2005: 26-28). Dari tahun
1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno
karena dituduh pro-Malaysia.
Namun dalam statusnya sebagai tahanan justru Hamka berhasil
membuktikan keyakinannya, manusia membutuhkan kemerdekan jiwa dan
pikiran, bahwa jeruji penjara tidak mampu mengekang jiwa dan pikiran
Hamka yang merdeka, sehingga beliau berhasil menyelesaikan karya
monumentalnya tafsir Al Qur‟an yang diberi nama Tafsir Al Azhar yang
tersebar hingga mancanegara (Hamka, 2016a: 88). Setelah keluar dari
penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan
Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan
anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975
menjadi ketua MUI mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal ini
disebabkan oleh masalah perayaan Natal yang dilakukan bersama dengan
penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI yang diketahui
Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi mereka
seorang Muslim untuk mengikuti perayaan Natal, di mana fatwa tersebut
mendapat kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwira dan
meminta untuk mencabutnya (Ahmad Hakim, M. Thalhah, 2005 : 28-29).
24
Siti Raham, istri tercinta Hamka, mendahuluinya pulang ke
rahmatullah, tanggal 1 Januari 1972 (Yudi Pramuko, 2001: 44). Sembilan
tahun kemudian, Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73
tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir Jakarta Selatan, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa sampai sekarang ini. Beliau bukan saja diterima
sebagai tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, namun sampai
keluar negeri termasuk Malaysia dan Singapura.
Dari sejarah di atas dapat dipahami bahwa Hamka tidak suka
terhadap sikap sebagaian ummat Islam yang mengejar kehormatan dan
meninggalkan moral Islam, umat Islam hendaknya tetap pada jati dirinya
berani membela kebenaran, menimbang segala keputusan penuh dengan
pertimbangan maka dengan sikap ini manusia akan menjadi mulia dan
berharga diri baik di sisi Allah maupun pandangan manusia, kepribadian
Hamka termasuk orang yang memiliki sikap tegas dan lugas. Konsistensi
sikapnya yang tegas terlihat dalam upaya mempertahankan idealisme
hidupnya “sekali berbakti, sampai mati” dan kemerdekaan berfikirnya
yang lugas, karena kelugasannya sering kali ia berhadapan dengan
berbagai rintangan, baik terhadap pemerintah ia sering mengkritik
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, keteguhan sikapnya ini
sampai-sampai menghantarkan ia ke penjara (1964-1966).
Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana peranan dan ide-ide
pembaharuan modern yang dilakukannya telah ikut andil secara langsung
dalam pengembangan pendidikan Islam baik di Minangkabau, Sulawesi
25
Selatan maupun bagi ummat Islam di Indonesia, dengan model pendidikan
yang ditawarkannya menempatkannya sebagai seorang yang termasuk
reformis muslim Indonesia bahkan melalui ide-ide pembaharuannya ia
telah membuka wawasan intelektual muslim dan mensejajarkan
pendidikan Islam dengan pendidikan yang dikelola oleh Kolonial Belanda.
B. Silsilah Keluarga Hamka
Abdullah Arief
(Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Koto Juo, salah seorang
pahlawan perang Padri)
Abdullah Saleh
(Tuanku Guguk Katur)
Memiliki tiga orang istri
1. Anak pr Tuo 2. Saerah 3. Anak pr Koto
Tuanku Tuo di Lawang
Amrullah
(Tuanku Kisai)
Tuanku Sutan
(terbuang di Ternate
8 th)
Haji Abdul Karim
Amrullah
(Haji Rasul)
memiliki 6 orang anak,
yaitu:
1. Fatimah
2. Hamka
3. Abdul Kudus
4. Asma
5. Abdul Bari
6. Abdul Mu‟thi
26
C. Setting Pendidikan dan Sosial Hamka
Sewaktu kecil Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah
Dasar Maninjau. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya telah
mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah
mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan
Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka di waktu kecil tergolong anak nakal karena suka
memberontak dan seorang preman karena hobinya waktu remaja mengadu
ayam dan jadi joki dalam pacuan kuda. Menurut, penuturan Zen Hasan
yang merupakan sahabat dekat Hamka waktu kecil menuturkan pergaulan
Hamka lebih banyak dengan preman dari pada dengan kalangan terpelajar
(Zamrud Ridwan Saidi, 1993: 79), karena itu pendidikan yang dilaluinya
tidak begitu berjalan dengan baik.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di
Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan jadi guru agama di Padang
Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen
Universitas Islam di Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang
Panajang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, baliau diangkat
menjadi Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Professor Universitas
Mustopo Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, baliau menjabat
sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi
27
meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara
menjadi pegawai negeri atau bergeliat dalam politik Majlis Syura
Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka menimba ilmu pengetahuan melalui otodidak dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi
dan politik baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya
yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di
Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad,
Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal, melalui bahasa Inggris yang
dimilikinya beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman
seperti Albert Camus, James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul
Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan
bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan
Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga
menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi
Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun
1925 untuk melawan khurafat, bid‟ah, tarekat dan kebatinan waktu beliau
bermukim di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetahui
cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.Pada tahun 1929, Hamka
mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun
kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.Kemudian
28
beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali
pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada
tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhamamdiyah. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr.
Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia
tetapi beliau kemudian meletak jawatan pada tahun 1981 karena
nasehatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik
Hamka bermula pada tahun 1925 pada waktu beliau menjadi anggota
partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang pemerintahan Belanda yang masuk kembali ke Indonesia
melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di
Medan.Pada tahun 1947, Hamka dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan
Nasional Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan
menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Raya Umum 1955. Masyumi
kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari
tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden
Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan beliau
menulis Tafsir Al-Azhar karya terbesarnya. Setelah keluar dari penjara,
Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional,
29
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota
Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Hamka berpulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981 dalam usia 73
tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir Jakarta Selatan, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa hingga sekarang dalam peradaban Islam.
D. Pengaruh Hamka dalam Pendidikan
Buya Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki
pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pemikirannya tidak hanya
berlaku di zamannya, naman masih sangat kontekstual di masa kini.
Produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan
rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa kini.
Hamka merupakan sosok yang memiliki kepribadian yang
cemerlang. Ratusan karya tulis telah dilahirkannya. Tidak mengherankan
biladalam Oxford History of Islam (2000), John L Esposito pun
menyandingkannya dengan pemikirbesar Muslim terkemuka.
Karya Hamka yang banyak digemari masyarakat, seperti
Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1938), Di Bawah Lindungan Ka‟bah
(1938), Tasauf Modern (1939), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940),
Falsafah Hidup (1940), Merantau ke Deli (1941), Margaretta Gauthier
(terjemahan, 1941), Sejarah Umat Islam, 4 jilid (1950), (Yudi Pramuko,
2001: 38), dan lainnya yang menunjukkan kecintaanya yang mendalam
30
akan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat dan kepekaanya terhadap
realitas sosial.
Keterlibatannya di dalam pendidikan formal merupakan sarana
yang strategis untuk memasukkan pemikiran-pemikiran modernnya.
Keinginan untuk mendirikan institusi pendidikan akhirnya tercapai dengan
berdirinya Tabligh School di Padang Panjang, tahun 1931, dan Tabligh
School di Makassar tahun 1932. Tujuan Tabligh School didirikan di
Padang adalah untuk mencetak muballigh Islam yang akan disebar ke
daerah-daerah di Minangkabau (Hamka, 1979: 21).
Adapun tujuan institusional pendidikan Tabligh School di
Makassar adalah untuk mempersiapkan calon guru madrasah (semacam
kursus guru) dan menyiapkan peserta didik menjadi muballigh, juru
penerang keagamaan, dan tenaga khatib di masjid-masjid yang ada.
Di samping Tabligh School, di kota Makassar juga didirikan
sekolah dasar dengan nama “Munier School” dan “HIS Muhammadiyah”.
Pola pendidikannya mengambil corak model pendidikan modern.
Sekembalinya dari Makassar pada tahun 1934, ia mendirikan
Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang. Lembaga ini
dikelolanya sejak tahun 1934 sampai tahun 1935. Ia mengajarkan ilmu-
ilmu penting seperti ilmu ushul fiqh, mantiq, ilmu ikhtilaful mazahib
(memakai kitab Bidayatul Mujtahid), tafsir (tafsir al-Manar), dan „ilmu
„arudh (timbangan syi‟ir bahasa Arab), beliau juga mengajarkan ilmu
mengarang dan teori berpidato (tabligh) (Hamka, 1979: 32-33). Cara
31
mengajarnya yang dinamis dan bervariasi, pengetahuannya yang luas,
serta kepribadiannya yang dapat dijadikan teladan, merupakan salah satu
faktor penarik tersendiri. Untuk itu, tak heran jika sebagian murid-
muridnya di Makassar datang ke Padangpanjang untuk belajar di
Kulliyatul Muballighin.
Pendidikan Kulliyatul Mubalighin dilaksanakan dua kali sehari.
Pada pagi hari, pelaksanaanya mengambil tempat di ruang shalat
berjamaah bagian dalam asrama Muhammadiyah. Sementara di malam
hari, setelah shalat isya‟, pelaksanaan pendidikan mengambil tempat di
lokal sekolah HIS Muhammadiyah.
Berbekal kemampuan intelektual dan pengalaman sebagai pendidik
sewaktu di Tabligh School dan Kulliyatul Muballighin Makassar, sangat
banyak membantu keberhasilannya sebagai pendidik dan sekaligus
mengembangkan Kulliyatul Muballighin di Padang Panjang. Dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar, ia dibantu oleh A.R. Sutan Mansur
yang mengajar tafsir Al-Qur‟an dan Saalah Sutan Mangkuto yang
mengajarkan dasar-dasar ilmu hukum (Hamka, 1979: 34).
Melihat kondisi sekarang, secara kontekstual pendidikan
kontemporer saat ini mengalami krisis moral, adanya hukuman di dalam
sekolah tidak membuat jera peserta didik, tawuran di mana-mana
dikarenakan perbedan pendapat, bahkan muncul seorang guru yang
melakukan pelecehan seksual terhadap peserta didiknya. Dalam konteks
ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi kehidupan.
32
Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih penting
dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai.
Pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai
keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup
merupakan pemikiran yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan saat ini.
Pribadi tangguh yang dilahirkan di tanah Minangkabau ini memberikan
teladan untuk bersikap dewasa dan menghargai pluralisme serta mengakui
perbedaan.
Perbedaan keyakinan bukan jalan untuk melakukan permusuhan.
Hemat penulis, melihat dari jejak Hamka, apabila beliau memiliki
perbedan prinsip keagamaan ia malah melakukan hubungan baik, namun
kalau sudah menyangkut masalah kebangsaan beliau justru menentang
kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hingga dia masuk kedalam jeruji
penjara. Namun jeruji penjara tidak membuatnya menjadi seorang yang
lemah, justru karena kemerdekaan jiwa dan pikirannya beliau mampu
melahirkan mahakarya berupa Tafsir Al Azhar.
Apa yang dilakukan Hamka dalam penokohan di atas, menurut
penulis merupakan salah satu cara dakwah beliau yang menunjukkan
kepada pembaca bahwa betapa mulia orang yang berilmu dan ahli ibadat.
Dakwah yang dilakukan beliau sangat halus. Cara dakwah seperti ini, jika
melihat karya-karya sastra pada zaman itu yang rata-rata penuh tendensi,
tentunya adalah suatu hal yang bisa kita nilai pula sebagai kelebihan
Hamka. Keterbukannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap
33
dasar toleransi adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua
peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang
dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan
berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa ini diolah dan dibangun dengan
cara pandang yang terbuka pula.
E. Karya-Karya Hamka
Hamka telah menulis lebih dari seratus buku, termasuk fiksi,
politik, adat Minangkabau, sejarah dan biografi, doktrin Islam, etika
tasawuf dan tafsir. Kalau dicermati dengan seksama, maka dalam kurun
waktu 1936-1942 (enam tahun) Hamka nampaknya mengonsentrasikan
diri dalam hal menulis karya-karya di berbagai bidang ilmu, berikut adalah
karya-karya Hamka:
1. Autobiografi
Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV cet. 4. Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
2. Biografi
Ayahku; Riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
perjuangannya. Jakarta: Pustaka Wijaya, 1959.
3. Filsafat dan Keagamaan
a. Khatib al-Ummah. Padang Panjang, 1925.
b. Islam dan Adat (1929).
c. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).
34
d. Bohong di Dunia. Medan: Cerdas, 1939.
e. Agama dan Perempuan. Medan: Cerdas, 1939.
f. Pedoman Mubaligh Islam. Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
g. Hikmat Isra‟ Mi‟raj, (1946).
h. Negara Islam (1946).
i. Islam dan Demokrasi (1946).
j. Revolusi Pikiran (1946).
k. Dibandingkan Ombak Masyarakat (1946).
l. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman. Padang Panjang, 1946.
m. Revolusi Agama. Padang Panjang, 1946.
n. Sesudah Naskah Renville (1947).
o. Pribadi (1950).
p. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
q. Falsafah Ideologi Islam. Jakarta:Pustaka Wijaya, 1950.
r. Urat Tunggang Pancasila. Jakarta: Keluarga, 1951.
s. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
t. K.H.A. Dahlan. Jakarta: sinar pujangga, 1952.
u. Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka
Islam, 1957.
v. Pribadi. Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
w. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
x. Lembaga Hidup. Jakarta: Jajamurni, 1962.
y. 1001 Tanya Jawab tentang Islam. Jakarta: CV Hikmat, 1962.
35
z. Cemburu. Jakarta: Firma Tekad, 1962.
aa. Angkatan Baru. Jakarta: Hikmat, 1962.
bb. Expansi Ideologi. Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
cc. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Jakarta: Tintamas,
1965.
dd. Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
ee. Lembaga Hikmat. Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
ff. Dari Lembah Cita-Cita. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
gg. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1968.
hh. Gerakan Penbaruan Agama di Minangkabau. Padang: Minang
Permai, 1969.
ii. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Islam.Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1970.
jj. Islam, Alim-Ulama dan Pembangunan. Jakarta: Pusat Dakwah
Islam Indonesia, 1971.
kk. Islam dan Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
ll. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya. Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
mm. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini. Jakarta:
Bulan Bintang, 1973.
nn. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1973.
36
oo. Muhammadiyah di Minangkabau. Jakarta: Nurul Islam, 1974.
pp. Tanya Jawab Islam Jilid I dan II.Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
qq. Studi Islam, Aqidah, Syari‟ah, Ibadah. Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1976.
rr. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1976.
ss. Tasawuf, Perkembangan dan Permuniannya.Jakarta: Yayasan
Nurul Islam, 1976.
tt. Gairah dan Tantangan Terhadap Islam. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1982.
uu. Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
vv. Lembaga Budi. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
ww. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
xx. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan. Jakarta: Yayasan
Idayu, 1983.
yy. Islam:Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1984.
zz. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
aaa. Renungan Tasawuf. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
bbb. Filsafat Ketuhanan. Surabaya: Karunia, 1985.
ccc. Keadilan Sosial dalam Islam. Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
ddd. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1986.
37
eee. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990.
fff. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1995.
4. Adat dan Kemasyarakatan
a. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Tekad, 1963.
b. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
5. Kisah Perjalanan
a. Mengembara di Lembah Nil. Jakarta: CV Gapura, 1951.
b. Di Tepi Sungai Dajlah. Jakarta: Tintamas, 1953.
c. Mandi Cahaya di Tanah Suci. Jakarta: Tintamas, 1953.
d. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid. Jakarta: Tintamas, 1954.
e. Merantau ke Deli. Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (Samsul Nizar,
2008: 251-254).
6. Novel dan Roman:
a. Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Haji Agus Hakim, Almuni
Kulliyatul Muballighin, yang didirikan Hamka di Padang Panjang,
menceritakan bahwa naskah buku di atas telah ditulis pada tahun
1935, akan tetapi oleh Balai Pustaka ditulis pada 1937.
b. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, buku ini menurut
pengalaman Hamka, dikarang berlatar inspirasi tatakala ia
menjadi muballigh PB. Muhammadiyah di Makassar. Buku ini
38
lahir setahun kemudian dari buku ini Di Bawah Lindungan
Ka‟bah.
c. Di dalam Lembah Kehidupan. Dalam buku ini banyak disinggung
tentang kemudlaratan pernikahan poligami yang kurang
perhitungan. Buku ini diterbitkan pada tahun 1939 oleh Balai
Pustaka (M. Thalhah, Ahmad Hakim, 2005: 33).
d. Dijempoet Mamaknja.Jakarta: Balai Pustaka,1939.
e. Keadilan Ilahi. Medan: Cerdas,1939.
f. Toean Direktoer. Medan: Cerdas,1939.
g. Si Sabriah (1926).
h. Laila Majnun. Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
i. Salahnya Sendiri. Medan: Cerdas, 1939.
j. Angkatan Baroe. Medan: Cerdas, 1949.
k. Cahaya Baroe. Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
l. Menoenggoe Bedoek Berboenji. Jakarta: Firma Pustaka Antara,
1950.
m. Teroesir. Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
7. Sejarah Islam
a. Pembela Islam. Medan: Pustaka Nasional, 1929.
b. Ringkasan Tarikh Ummat Islam. Medan: Pustaka Nasional, 1929.
c. Sejarah Islam di Sumatra. Medan: Pustaka Nasional, 1950.
d. Dari Perbendaharaan Lama. Medan: M. Arbi, 1963.
39
e. Antara Fakta dan Khayal Tunaku Rao. Jakarta: Bulan Bintang,
1974.
f. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
8. Terjemahan
a. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqh, Terj. Karya Dr. H. Abdul
Karim Amrullah. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
f. Margaretta Gauther, Terj. karya Alexander Dumas Jr. Jakarta:
Bulan Bintang, 1975 (Samsul Nizar, 2008: 254-255).
40
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Pengertian Pendidikan
Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran.
Menurutnya, pendidikan (Islam) merupakan serangkaian upaya yang
dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan
kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Sementara pengajaran (Islam) merupakan upaya
untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah pengetahuan
(Hamka, 2015: 305).
Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran.
Keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka
mencapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai
melaui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran
tidak akan berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan. Dengan
pertautan ini kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan
hidup, baik di dunia maupun di akhirat (Hamka, 2015: 303).
B. Pengertian Pendidikan Islam
Pemikiran Hamka tentang pendidikan Islam didasarkan pada empat
aspek yaitu; ( اىفطشج ) peserta didik; jiwa ( اىقية ), Jasad ( اىجس), dan akal
dengan empat aspek tersebut jelas bahwa Hamka lebih menekankan ( اىؼقو)
41
pemikiran pendidikannya pada aspek pendidikan jiwa atau akhlakul al-
karimah (budi pekerti) (Samsul Nizar, 2008: 120).
Pengertian pendidikan Islam ada tiga term yang digunakan para
ahli, yaitu ta‟lim ( تؼي ), tarbiyah ( تشتيح ), dan ta‟dib ( تأدب ). Hamka
memosisikan pendidikan sebagai proses (ta‟lim) dan menyampaikan
sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatannya mengandung arti
yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertikal
maupun horizontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan
pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah
maupun rohaniah. Misi pendidikan Islam menitik-beratkan pada tujuan
penghambaan dan kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan
manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung
jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan timbal balik
antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah
ditarik pada pengertian interaksi edukatif, maka Hamka memandang
tarbiyah mengandung makna:
1. Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta
didik untuk mencapai kedewasaan.
2. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan
berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
3. Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju
kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin (Hamka, 1983d:
106-114).
42
Seluruh proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap
sesuai dengan irama, kebutuhan masyarakat serta kemampuan
perkembangan diri peserta didik. Hamka membedakan makna pendidikan
dan pengajaran. Menurutnya pendidikan Islam merupakan serangkaian
upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi,
akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
C. Pengertian Pendidikan Integral
Integral artinya mengenai keseluruhanya, meliputi seluruh bagian
yang perlu untuk menjadikan lengkap, utuh, bulat, dan sempurna. Yang
dimaksud pendidikan integral di sini adalah pendidikan yang memadukan
antara potensi-potensi yang terdapat pada diri manusia yaitu, potensi
jasmani dan potensi rohani dengan lingkungannya (baik lingkungan sosial
maupun alam) dengan cara mengharmoniskan kembali relasi antara
Tuhan-alam dan wahyu-akal untuk mewujudkan peserta didik yang kaffah.
Pendidikan yang mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi
dengan akal pikiran, perasaan, dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain
serasi dan seimbang (Hamka, 1952: 105).
Pengertian ini bisa diartikan sebagai sebuah konsep pendidikan
yang memadukan intelektual, moral dan spiritual dalam pembelajaran
sehingga siswa diharapkan tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif,
43
tetapi juga kemampuan psikomotorik dan spiritualnya dalam rangka
membina hari esok yang lebih baik, di dunia ini dan di akhirat kelak.
D. Tujuan Pendidikan Integral
Tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan mencari keridhaan
Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia (Hamka, 2015:
190), serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan
berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya (Hamka, 1983a: 2-3).
Apalah artinya keuntungan materi jika ilmu tidak dapat memimpin
manusia menuju kepada keuntungan yang lebih tinggi lagi, yaitu
keuntungan kebatinan dan kejiwaan (Hamka, 2014: 78).
Pendidikan harus didasarkan kepada kepercayaan, bahwa di atas
dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Mahabesar. Itulah Tuhan. Sebab itu
pendidikan modern tidak bisa meninggalkan agama. Kecerdasan otak
tidaklah menjamin keselamatan kalau nilai rohani keagamaan tidak
dijadikan dasarnya (Hamka, 2015: 304).
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat
mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal
pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaanya yang lain secara serasi dan
seimbang. Melalui integrasi kedua unsur potensi tersebut, maka peserta
didik akan mampu mengetahui rahasia yang tertulis (Al-Qur‟an dan Hadis)
dan fenomena alam semesta yang tak tertulis (QS. Faathir: 28). Melalui
pendekatan ini manusia (peserta didik) akan dapat menyingkap rahasia
44
keagungan dan kebesaranNya, sekaligus untuk mempertebal keimanannya
kepada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan berarti hanya
berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fil-ardh, yang
berarti bahwa sebagian besar kekayaan dan Ilmu Allah tidaklah akan
terbukti dengan jelas jika tidak manusia yang melaksanakannya. Untuk itu
memikul jabatan yang mulia itu, manusia diberi Allah alat ataupun
mahkota yang mulia berupa akal (Hamka, 2016b: 37). Dengan begitu
manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya
melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi dengan sebaik-baiknya.
E. Materi Pendidikan Integral Menurut Hamka
Ada dua orientasi pemikiran tentang pembagian materi pendidikan.
Pada satu sisi, materi pendidikan hendaknya berorientasi pada
pengembangan akal (filsafat), sementara di sisi lain pada pengembangan
rasa (agama). Kedua orientasi materi tersebut penting dan saling mengisi
antara satu dengan yang lain. Pendidikan yang hanya menekankan aspek
akal akan menggiring peserta didik bersikap materialistik dan acapkali tak
bermoral. Adapun pendidikan yang hanya menekankan pada aspek
keagamaan akan menggiring hidup yang melalaikan dinamika peradaban
dunia kekinian. Materi pendidikan hendaknya memadu kedua aspek
tersebut secara serasi dan seimbang. Pendidikan yang didasarkan agama
45
akan menumbuhkan keyakinan kepada ketentuan Allah dan menjadi nilai
control perilakunya. Sementara pendidikan akal (filsafat) akan membantu
peserta didik membangun peradaban umat secara dinamis, sesuai dengan
nilai-nilai ajaran agama yang diyakininya (Hamka, 2015: 303-304).
Dalam hal ini, ia membagi materi pendidikan Islam dalam empat
macam. Keempat materi tersebut antara lain adalah:
1. Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqh, tafsir, hadis, nahwu, bayan,
mantiq, akhlak, dan sebagainya. Pelaksanaan pendidikan yang
mengedepankan materi agama, merupakan suatu kemestian pada
setiap lembaga pendidikan. Melalui muatan materi keagaman,
diharapkan akan menjadi alat kontrol dan sekaligus ikut mewarnai
pembentukan kepribadian peserta didik. Penekanannya bukan
hanya transfer of knowledge (mengajar), akan tetapi lebih dari itu
sebagai transfer of value (mendidik). Banyak orang yang memiliki
ilmu agama yang demikian mendalam, akan tetapi dalam
kehidupan kepribadiannya tidak memantulkan nilai-nilai yang
bersifat agamis, sebagaimana yang terkandung dalam ilmu yang
dimilikinya.
Pendidikan agama yang ditawarkan tidak seyogianya tidak
menyebabkan tumbuhnya kemandulan intelektual, akan tetapi
merangsang tumbuhnya dinamika intelektual yang mampu
membangun peradaban umat masa depan.
46
2. Ilmu-ilmu umum, seperti sejarah, filsafat, kesusasteraan, ilmu
berhitung, ilmu bumi, ilmu tubuh (biologi), ilmu jiwa (psikologi),
ilmu masyarakat (sosiologi), ilmu-ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu
pemerintah, ilmu sejarah, dan lain sebagainya (Hamka, 1992: 192-
193). Dengan ilmu-ilmu tersebut - khususnya filsafat- akan
membuka dinamika berpikir, wawasan keilmuan dan kesiapan
peserta didik untuk terlibat dalam kehidupan sosial yang demikian
dinamis. Mereka akan mampu memikirkan fenomena alam sebagai
ayat-ayat Allah dalam sebuah penelitian dan analisis untuk
kemudian membangun sebuah peradaban yang rahmatan lil al-
lamin, sebagai pengejawantahan tugas kekhalifahannya di muka
bumi.
Agar peserta didik memiliki alat control dalam mengaplikasikan
ilmunya, maka kesemua cabang ilmu tersebut hendaknya terlebih
dahulu diformat secara integral dan disesuaikan dengan nilai
esensial ajaran agama. Kesemua ilmu tersebut, menurutnya
merupakan warisan Islam dan telah berkembang pesat pada zaman
keemasan Islam dan telah ada jauh sebelum Barat
mengembangkannya (Hamka, 1992: 187).
3. Keterampilan praktis, seperti berbaris akan menjadikan peserta
didik hidup lebih teratur dan bisa diatur; memanah, berperang,
berenang, dan berkuda akan membuat tubuh peserta didik menjadi
sehat dan kuat. Dalam kaitannya dengan pendidikan,
47
pelaksanaannya seyogianya bernuansa edukatif dan menunjang
pencapaian tujuan pendidikan (Islam) (Hamka, 1950: 75-82).
Pendekatan yang bervariasi akan menjadikan proses pendidikan
lebih dinamis, sehingga peserta didik tidak merasa jenuh dengan
materi pelajaran teoritis yang monoton. Terbinanya fitrah jasmani,
memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan ibadah syari‟at; seperti
shalat, puasa, dan haji pelaksanaanya memerlukan kekuatan
jasmaniah. Pendidikan jasmani hendaknya diarahkan pada
keterampilan fisik, sebagaimana yang dipesankan pada rumusan
tujuan pendidikan. Keterampilan yang diajarkan hendaknya
memiliki manfaat bagi kehidupannya, baik pada masa kini maupun
pada masa yang akan datang. Melalui keterampilan yang dimiliki,
akan melatih peserta didik hidup secara kreatif. Pola pendidikan
yang demikian akan membantu dalam memecahkan persoalan
pengangguran (Hamka, 1950: 253).
4. Kesenian, seperti ilmu musik, menggambar, menyanyi, dan
memahat. Dengan ilmu-ilmu tersebut peserta didik akan memiliki
rasa keindahan, senantiasa berupaya memperhalus budi rasanya
(etika) dengan kebenaran (al-haqq) (Hamka, 2015: 302).
Pandanglah Tuhan melalui jendela keindahan (Hamka, 1992: 132).
Melaui rasa keindahan tersebut, manusia mampu menghayati
harmonisasi kehidupan. Kunci keindahan dalam diri manusia
48
adalah sabar dan tawakal, serta melihat seluruh persoalan sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (Hamka, 1992: 79).
Keempat materi pendidikan di atas merupakan satu kesatuan yang
harmonis dan integral. Agar seluruh materi tumbuh dan terpelihara, maka
ada 5 (lima) hal yang perlu diperhatikan oleh setiap peserta didik, yaitu:
1. Bergaul dengan orang yang budiman.
2. Membiasakan pekerjaan berpikir.
3. Menahan syahwat dan marah.
4. Bekerja dengan teratur.
5. Senantiasa mengoreksi cita-cita diri apakah masih tetap mengacu
pada role of system ilahiah atau mungkin telah tergelincir (Hamka,
1983c: 106).
F. Pendidik
Kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada kesempurnaan
sistem pendidikan dan pengajaran yang ditawarkan (Hamka, 2015: 7).
Dalam proses pendidikan kompetensi pendidik merupakan hal
yang sangat penting dan urgen, hal ini disebabkan karena pendidikan
Islam sangat menekankan pada pola pendidikan yang dapat menyentuh
seluruh potensi para peserta didik dan bahkan segala aspek kehidupan
manusia.
Tugas pendidik pada umumnya adalah membantu mempersiapkan
dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang
49
luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara
luas (Hamka, 1983a: 2-3). Sementara secara khusus tugas pendidik
meliputi: mengetahui tingkat perkembangan dan kemampuan peserta
didik, membangkitkan minat belajar, membangkitkan dan mengarahkan
potensi peserta didik, mengatur situasi proses belajar mengajar yang
kondusif, mengkomodir tuntutan sosial dan zaman ke dalam proses
pendidikan, serta melakukan interaksi dengan peserta didik, orang tua, dan
sosial secara harmonis.
Seorang pendidik tidak hanya memiliki ilmu yang luas. Lebih dari
itu, mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-
sungguh dalam melaksanakan tugas profesinya, serta menerima tanggung
jawan profesinya sebagai bagian amanat yang diberikan Allah kepadanya
dan mesti dilaksanakan secara baik. Sikap dan tingkah laku seorang
pendidik hendaknya mencerminkan nilai dari apa yang diajarkannya,
sehingga menjadi suri teladan bagi peserta didiknya, baik di dalam kelas
maupun dalam kehidupan masyarakat.
Untuk mewujudkan interaksi proses pendidikan yang ideal, Hamka
memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki
seorang pendidik (Hamka, 2015: 299-302). Syarat-syarat tersebut antara
lain:
1. Berlaku adil dan objektif pada setiap peserta didiknya.
2. Memelihara martabatnya dengan akhlaq al-karimah,
berpenampilan menarik, berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari
50
perbuatan yang tercela. Sikap yang demikian akan menjadi contoh
yang efektif untuk diteladani peserta didik.
3. Menyampaikan seluruh ilmu yang dimilikinya, tanpa ada yang
ditutup-tutupi. Berikan kepada peserta didik ilmu pengetahuan dan
nasihat-nasihat yang berguna bagi bekal kehidupannya di tengah-
tengah masyarakat.
4. Hormati keberadaan peserta didik sebagai manusia yang dinamis
dengan memberikan kemerdekaan kepada mereka untuk berpikir,
berkreasi, berpendapat, dan menemukan berbagai kesimpulan
keilmuan lainnya.
5. Memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu,
sesuai dengan kemampuan intelektual dan perkembangan jiwa
mereka.
6. Di samping mentransfer sejumlah ilmu (pengajaran), seorang
pendidik juga dituntut untuk memperbaiki akhlak peserta didiknya
(pendidikan) dengan bijaksana (ihsan).
7. Bimbing mereka sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah
ditentukan. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri tanpa sebuah
tujuan yang pasti.
8. Berikan mereka bekal ilmu-ilmu agama agar mereka bisa mengenal
Tuhannya dan berakhlak mulia, serta ilmu-ilmu keduniaan (umum)
agar mereka bisa hidup dengan baik di tengah-tengah
masyarakatnya.
51
9. Bimbing mereka bagaimana cara hidup yang teratur dan dinamis.
10. Laksanakan tugas sebagai pendidik dengan ikhlas, tawadhu‟ dan
istiqomah dalam rangka menegakkan kebenaran dengan
mengharapkan ridha Allah.
11. Biasakan diri membaca kitab (buku). Hal ini disebabkan karena
buku merupakan gudang ilmu, sumber informasi, dan dapat
membuka cakrawala. Membaca buku perlu dilakukan dalam
rangka menciptakan proses belajar mengajar yang dinamis dan
harmonis, sesuai dengan perkembangan zaman. Seorang pendidik
dituntut untuk membiasakan diri membaca pelbagai sumber ilmu
yang ada. Dengan demikian, wawasan keilmuannya akan
berkembang dan proses belajar akan berjalan secara interaktif.
Pentingnya pendidik yang berkepribadian karimah, disebabkan
karena tugasnya yang suci dan mulia. Eksistensinya bukan hanya sekedar
melakukan proses transformasi sejumlah informasi ilmu pengetahuan,
akan tetapi lebih dari itu adalah berupaya membentuk karakter
(kepribadian) peserta didik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pendidik
yang tidak memiliki kepribadian sebagai seorang pendidik, tidak akan
dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik. Kondisi ini akan
mengakibatkan peserta didik kurang menanggapi secara seksama, terhadap
apa yang akan diajarkan (Hamka, 2015: 296-297).
Pendidik berkewajiban membangkitkan semangat pada anak
didiknya. Dalam kalangan terpelajar belum tambah sebab yag
52
menimbulkan semangat. Oleh karena itu, gerakan kaum ibu adalah
langkah awal pemberi semangat. Bersemangat berarti jika kata-kata yang
dikatakannya adalah kata hati. Jika menulis, yang dituliskan adalah suara
jiwa. Kata hati diterima oleh hati, suara jiwa disambut oleh jiwa pula. Kata
yang tidak sungguh-sungguh hanya akan sampai di daun telinga dan tidak
masuk ke dalam hati (Hamka, 2014: 150-156).
Mengutip pendapat Al-Hakim Al-Musta‟shimi tentang cara
mendidik anak-anak,
“Jangan dibiarkan anak banyak tidur. Ajar dia lekas bangun.
Karena banyak tidur menyebabkan dia pemalas, lamban, berat
tegak, buntu otaknya dan mati hatinya. Sebaiknya anak tidak
dibiasakan tidur di kasur tebal, biar di tikar tipis, supaya dia
bergerak lincah, tidak suka penyenang. Jaga supaya dia tidak
pendusta. Hendaklah dia berkata benar, walaupun atas suatu
kesalahan yang telah dilakukannya, supaya dia terbiasa sejak kecil
bertanggung jawab atas perbuatnnya.ajar dia pendiam dan berkata
hanya di tempatya. Larang dia mengeluarkan perkataan yang keji
dan kotor.Ajar dia membiasakan berkata yang manis-manis, lemah
lembut dan teratur keluarnya, serta berkhidmat kepada gurunya dan
orang yang lebih tua usianya. Ajar dia membiasakan taat kepada
ibu bapak, hormat dan cinta. Ajar dia menahan hati apabila
bertemu dengan yang enak dan lezat, jangan rakus” (Hamka, 2015:
307).
Hamka memberikan rambu-rambu bagi kedua orang tua bagaimana cara
melaksanakan pendidikan terhadap anak, yaitu:
1. Biasakan anak cepat bangun dan jangan terlalu banyak tidur.
Sebab, dengan banyak tidur akan membuat anak malas
beraktivitas, malas berpikir, dan lamban berkreasi.
53
2. Tanamkan pendidikan akhlak yang mulia dan hidup sederhana
sedini mungkin. Sebab, bila tidak maka akan sulit untuk mengubah
sikap yang telah mengkristal tersebut kepada sebuah kebaikan.
3. Melalui cerita-cerita yang menekankan cinta kasih, ajarkan kepada
mereka pentingnya kehidupan harmonis.
4. Biasakan anak untuk percaya diri tidak menggantungkan diri
dengan orang lain, memiliki kemerdekaan dalam mengeluarkan
pendapat, serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang
diambilnya. Setidaknya, ada dua pendekatan Islam untuk
menanamkan kekpercayaan diri, yaitu melalui tauhid dan melalui
takdir. Mempercayai tiada kekuatan dan ketentuan yang paling
baik selain aturan Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang patut
ditakuti, kecuali Allah. Selama aktivitas tidak bertentangan dengan
ketentuan dan nilai-nilai Ilahi, maka tidak perlu tumbuh
kekhawatiran. Aktivitas yang dilakukan akan lebih dinamis dan
sekaligus bernilai ketundukan kepada zat yang agung. Tumbuhnya
kepercayaan pada diri peserta didik akan menimbulkan daya gerak
dan daya pikir secara merdeka (Samsul Nizar, 2008: 144)
G. Peserta Didik
Pendidikan hendaknya mendorong peserta didik memiliki cita-cita
yang tinggi, memfungsikan dirinya sebagai piranti bagi tercapainya cita-
cita peserta didik, serta mengarahkan cita-cita tersebut pada nilai-nilai
54
yang dinamis dan religius. Dengan tertanamnya cita-cita, akan tumbuh
daya dorong yang kuat pada peserta didik untuk percaya diri dan belajar
secara maksimal bagi maksud kehidupannya (Hamka, 1950: 249-253).
Setiap murid hendaklah mengakui kelebihan gurunya dan
menghormatinya, karena guru itu lebih utama daripada ibu dan bapak
mengasuh anak sejak dilahirkan. Tetapi guru melatih murid supaya
berguna setelah besar. Akal budi adalah laksana berlian yang baru keluar
dari tambang, masih kotor dan belum berkilat. Guru adalah yang menjadi
tukang gosoknya dan membersihkannya, sehingga menjadi berlian yang
berharga. Meskipun guru tidak akan dikatakan lebih daripada ibu bapak,
tetapi janganlah dikatakan kurang (Hamka, 2015: 290).
Seorang peserta didik hendaklah senantiasa memiliki rasa rindu
dan cinta pada ilmu pengetahuan, percaya kepada keutamaanya dan yakin
pada manfaatnya. Hamka berpendapat tugas dan tanggung jwab peserta
didik adalah berupaya mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan
serangkaian ilmu pengetahuan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
telah dianugerahkan Allah melalui fitrahnya (Hamka, 1983b: 126).
Kedudukan dan kewajiban peserta didik adalah berupaya memiliki
akhlak mulia, baik secara vertikal maupun horizontal dan senantiasa
mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu
pengetahuan, sesuai dengan nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan
Allah melalui fitrahNya.
55
Sebagai seorang yang berupaya mencari ilmu pengetahuan dan
membentuk sikap dengan akhlak al-karimah, maka peserta didik dituntut
untuk bersikap baik kepada setiap guru. Sikap tersebut meliputi:
1. Jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu.
2. Jangan lalai dalam menuntut ilmu dan cepat merasa puas terhadap
ilmu yang sudah diperoleh.
3. Jangan merasa terhalang karena faktor usia.
4. Hendaklah diperbagus tulisannya supaya orang bisa menikmati
hasil karyanya dan membiasakan diri membuat catatan kecil
terhadap ide yang dipikirkan. Hal ini disebabkan, karena pemikiran
yang muncul belum tentu akan lahir pada saat yang akan datang.
Dengan adanya catatan tersebut, seluruh ide akan tertampung dan
hidup akan menjadi lebih sestematis.
5. Sabar, perteguh hati, dan jangan cepat bosan dalam menuntut ilmu.
(QS. Al-Kahfi (18):69).
ل أػص ىل أ ا صاتش إ شاء ٱلل ا )قاه ستجذ (٩٦ش
Artinya:
Dia (Musa) berkata: “Insyaallah kamu akan mendapati
aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam suatu urusan pun”.(QS. Al-Kahfi
(18): 69) (Depag RI, 2005: 412).
Menurutnya, ayat ini merujuk pada sikap nabi Musa as. Yang
senantiasa taat dan patuh kepada perintah Allah dan berjanji untuk
senantiasa sabar terhadapa berbagai cobaan. Janji yang demikian,
merupakan perumpamaan ketaatan seorang murid dihadapan
56
seorang guru. Sebuah kata kunci teladan murid dalam melakukan
kepatuhan dan kesabarannya pada guru yang patut ditiru.
6. Ikuti instruksi guru dalam setiap proses belajar mengajar dengan
khusyuk dan tekun (Hamka, 2015: 288-289).
7. Berbuat baik terhadap guru dan kedua orang tua, serta amalkan
ilmu yang diberikannya bagi kemaslahatan seluruh umat.
8. Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah, biasakan berkata
sesuatu yang bermanfaat. Hal tersebut merupakan ciri orang yang
benar-benar berilmu dan berpikiran luas (Hamka, 2015: 287).
9. Ciptakan suasana pendidikan yang merespon dinamika fitrah yang
dimiliki. Suasana tersebut hendaknya didukung dengan tersedianya
sarana dan suasana pendidikan yang mendukung seperti suasana
yang gembira, dan lain sebagainya.
10. Biasakan diri untuk melihat, memikirkan, dan melakukan analisis
secara seksama terhadap fenomena alam semesta. Pendekatan ini
dilakukan dengan cara bertafakkur terhadap fenomena alam
sebagai ayat-ayat Allah dan menjadikannya sebagai sarana
pendidikan Islam. Melalui pendekatan ini, peserta didik akan dapat
menyelami kebesaran Tuhannya dan berbuat kebajikan terhadap
alam semesta (Hamka, 1950: 154-156).
Dalam mengikuti proses belajar mengajar, seorang peserta didik
tidak lepas dari melakukan interaksi dengan sesamanya. Agar interaksi
tersebut berjalan secara harmonis dan mendukung proses pendidikan,
57
maka setidaknya ada dua kewajiban yang mesti dilakukan antara sesama
peserta didik, yaitu:
1. Merasakan keberadaan mereka (peserta didik yang lain) bagaikan
sebuah keluarga dengan ikatan persaudaraan.
2. Jadikan teman untuk menambah ilmu. Bersama mereka,
lakukanlah diskusi dan berbagai latihan sebagai sarana untuk
menambah kemampuan intelektual sesame peserta didik (Hamka,
2015: 288).
H. Lingkungan
Hamka mendefinisikan lingkungan yang baik adalah sebagai
situasi dan kondisi baik dalam rumah tangga, sekolah, maupun kehidupan
masyarakat yang ikut mempengaruhi proses pembentukan watak dan
kepribadian peserta didik.
Ada manusia yang sangat berarti sama hidupnya dan ada yang
tidak berarti sama sekali. Kedatangannya tidak menggenapkan dan
kepergiannya tidak mengganjilkan. Kumpulan sifat akal budi, kemauan,
cita-cita, dan bentuk tubuh. Hal itu menyebabkan harga kemanusiaan
seseorang berbeda dari yang lain (Hamka, 2014: 4).
Tinggi rendahnya pribadi seseorang adalah karena usaha hidupnya,
caranya berpikir tepatnya berhitung jauhnya memandang, dan kuatnya
semangat diri sendiri.
58
Pribadi ini berfungsi untuk memperoleh kesempurnaan dan
kesuksesan hidup. Supaya tercapai kesempurnaan pribadi, ada empat
syarat yang harus dilakukan. Syarat pertama, yaitu harus jelas dan nyata
pendapat akal kita tentang suatu persoalan walaupun berbeda dengan
pendapat orang lain. Sebab, orang yang tidak merdeka jiwanya dari
pengaruh orang lain, tidak jelas pandangan hidupnya. Maka harus berterus
terang. Dia mengatakan apa yang dirasakan dan dapat dikerjakan,
mengerjakan apa yang dikatakan dan muncul dari perasaanya. Apa yang
diucapkan adalah apa yang diyakininya dan apa yang diyakininya, berani
dia ucapkan.
Orang yang tepat, cepat, berisi perkataanya akan mendapat
penghargaan istimewa dalam pergaulannya (Hamka, 2014: 128-189).
Syarat kedua haruslah memiliki sifat tanggung jawab. Berani
bertanggung jawab membuat orang yang kuat menjadi lebih kuat.
Pedoman dalam memikul suatu tanggung jawab adalah jiwa sendiri.
Dalam jiwa yang bertujuan suci dan berkehendak mulia senantiasa muncul
ilham menghadapi pekerjaan. Laksanakan pekerjaan itu dan jangan
diperhatikan kebencian dan kemarahan orang. Tidak semua orang akan
marah dan benci. Pasti ada orang yang akan menyetujui. Jangan hanya
mengingat orang yang tidak suka. Ingat pula bahwa banyak yang suka. Di
sana terletak kebesaran jiwa orang yang suci dan bertanggung jawab. Jika
kita bermasyarakat, pasti ada lawan kita. Seseorang yang tidak memiliki
lawan hanyalah orang yang tidak berani bertanding.
59
Keberanian tanggung jawab akan memunculkan orang yang
memuja dan menghargai. Di samping orang yang mencela dan ingin
engkau jatuh. Keduanya kelak yang akan mendesak supaya engkau lebih
hati-hati dan memperbagus mutu pekerjaan, sehingga seseorang akan
bernilai lebih tinggi dari beribu manusia. Namamu tidak lepas dari mulut
yang memuji dan mencela. Yang memuji setinggi langit sehingga
kedudukanmu disamakan dengan malaikat suci dan yang mencela akan
membenamkan engkau sampai ke bagian terbawah bumi. Di atas keduanya
itulah, pujaan dan celaan, terletak kebesaran. Apabila keduanya tidak ada
lagi tamatlah riwayatmu walaupun nafasmu masih ada (Hamka, 2014:
131-132).
Syarat ketiga adalah sabar. Kesempurnaan tanggung jawab adalah
sabar. Menurut Syekh Muhammad Abduh, seorang ahli filsafat Islam,
Sabar adalah ibu segala akhlak.
Pribadi yang kuat tidak cepat terguncang. Orang yang lemah tetap
bersabar akan lebih menang daripada orang kuat tetapi terburu-buru dan
terlalu bernafsu. Jika kesabaran telah menajdi sebab kemenangan bagi
orang besar, seperti William Pitt dan Hatta, kesabaran pulalah yang akan
mengukuhkan pribadi orang biasa hingga dapat menjadi orang besar. Isaac
Newton menjadi orang besar karena kemarahan gurunya sebab menyangka
otaknya tumpul. Diapun mengaku bahwa kenaikannya lantaran
kesabarnnya walalupun pada mulanya otaknya tumpul (Hamka, 2014:
138).
60
Syarat keempat adalah harus memiliki kemauan yang keras.
Kesempurnaan pribadi terletak pada kesempurnaan kemauan.
Bagaimanapun tajamnya pikiran seperti ahli filsafat yang besar dan halus
perasaan seperti penyair atau pelukis, tidaklah akan terlaksana cita-cita
jika kemauan tidak ada. Tercapainya cita-cita atau terlaksananya suatu
pikiran yang besar adalah karena kemauan. Kemauan menimbulkan
ketabahan, kegigihan, dan keteguhan. Ketika memukul, hendaklah
memukul sampai hancur. Ketika bertahan, hendaklah menahan pukulan
walaupun betapa hebat datangnya. Siapa yang lebih dahulu berhenti, itulah
yang kalah (Hamka, 2014: 139-140).
Bentuk kehidupan manusia telah ada sejak dalam rahim ibu.
Dahulu hal itu masih diragukan dan dipandang sebagai dongeng saja.
Akan tetapi, menurut majalah Women bahwa di Universitas Antioche di
Ohio (Amerika) perkumpulan dokter yang meneliti ibu hamil telah
mendapat beberapa bukti bahwa kegembiran atau kesedihan seorang ibu
yang sedang mengandung berpengaruh juga kepada berat ringannya
timbangan bayi setelah ia dilahirkan.
Penjagaan kesehatan dan perasaan ibu saat mengandung, sangat
mempengaruhi perkembangan pribadi kandungannya kelak. Setelah anak
itu lahir, dunia telah menunggu lingkungan tempat dia diasuh dan
dibesarkan. Setelah dewasa, menunggu pula pergaulan yang lebih luas,
yaitu masyarakatnya.
61
Sangat penting juga pendidikan di sekolah.Apabila suatu
masyarakat telah merdeka, berdemokrasi, berbudi tinggi, sangguplah
masyarakat itu menimbulkan pribadi yang kuat (Hamka, 2014: 4-6).
Kerasnya didikan orang tua, kurangnya tanggung jawab seorang
guru saat mengajar, masyarakat yang kolot, bodoh, dan belum pandai
menghargai pertumbuhan seseorang, serta penjajahan bangsa atas bangsa.
Semuanya itu dan beberapa sebab lain mengahalangi tumbuhnya pribadi.
Ayah dan guru yang wajib terlebih dahulu menuntun kemerdekaan
tumbuhnya pribadi anak. Ayah dan guru belum berani menentang
pendapat umum dan sulit melepaskan diri dari pengaruh didikan sendiri.
Sebab itu, “plat” pikiran dan pandangan hidupnyalah yang hanya dapat
dialirkan kepada putra dan muridnya. Didikan selama ini hanya menurut,
berpikir dengan pikiran orang lain, dan tidak berani atau tidak sanggup
menyatakan pendirian sendiri.
Selama penjajahan, bangsa yang menjajah berusaha menekan
pribadi Indonesia supaya tidak tumbuh. Mereka memberi ilmu, namun
keberanian warga Indonesia dihambat.
Pribadi besarlah yang menimbulkan kebangsaan dan keteguhan
bangsalah yang dapat memupuk pribadi (Hamka, 2014: 6-7).
Dalam hal ini, lingkungan keluarga sangat berperan penting dalam
menunjang pelaksanaan dan tujuan pendidikan.Pentingnya menata
lingkungan yang menunjang suasana pendidikan, disebabkan karena
62
peserta didik merupakan makhluk sosial yang tidak bisa dilepaskan dari
komunitas sosialnya.
Sehubungan dengan itu, supaya pelaksanaan pendidikan dapat
berlangsung secara efektif dan efisien, maka perlu terlebih dahulu
diciptakan kondisi dan suasana lingkungan keluarga dan sosial, terutama
politik negara (pemerintah) yang menunjang tumbuhnya nilai-nilai edukasi
yang ditanamkan di lembaga pendidikan formal (sekolah). Kebijakan
tersebut dalam wacana keislaman bukan hanya menyangkut persoalan
politis, akan tetapi juga dalam tatanan moral dan kemanusiaan. Kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan Islam pada gilirannya akan menunjang
fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi (Hamka, 1983: 286-297).
Kondisi ini akan terwujud tatkala seluruh sistem sosial - secara kolektif -
ikut mengontrol terlaksananya proses pendidikan, khususnya Islam. Sikap
sosial yang demikian ini merupakan perwujudan kesadaran setiap
keluarga, seluruh anggota masyarakat, maupun pemerintah terhadap
proses pendidikan dan pembentukan kepribadian peserta didik, sesuai
dengan nilai moral yang mereka anut.
Pendidikan dan model kebijakan politik pemerintahan suatu negara
saling mempengaruhi satu dengan yang lain secara integral. Dalam hal ini,
Hamka membagi kewajiban negara terhadap masyarakat kepada tiga
bentuk, yaitu:
1. Hak menjaga kesehatan.
63
2. Hak menjaga kesenangan hatinya, termasuk pendidikan dan
rekreasi.
3. Hak menjaga dari timbulnya berbagai bahaya yang bisa
mencelakakannya (Hamka, 2015: 39).
Untuk menciptakan institusi pendidikan sebagai sarana
berkembangnya pemikiran yang dinamis dan merdeka, hendaknya
kebijakan lembaga pendidikan terpisah dari “warna” kebijakan politik
kenegaraan.Seorang ilmuan harus merdeka dan objektif, serta
berkonsentrasi pada bidang keilmuannya bagi kamslahatan umat manusia,
tidak mengharapkan pujian, dan tidak terwarnai oleh kepentingan
(intervensi) politik pemerintah (Hamka, 2015: 50). Sosok ilmuan yang
demikian akan dapat memelihara fungsinya sebagai pemikir dan
penyelamat umat, memiliki kemerdekaan intelektual, serta berbuat secara
objektif dan dinamis. Bentuk kelembagaan dan sosok pendidik yang
demikian pada gilirannya akan dapat mengembangkan dunia pendidikan
sebagai “motor produksi” kebudayaan umat yang lebih dinamis, serta
berfungsi sebagai agent of social control kebijakan politik suatu negara
(Hamka, 2015: 178-179).
Dalam mencapai tujuan pendidikan secara integral dapat tercapai,
maka penentu kebijakan pendidikan hendaknya memformat sistem
pendidikan yang bernuansa religius dan menyentuh seluruh potensi peserta
didik. Keikutsertaan pemerintah dalam menata pola pendidikan yang
demikian sangat menentukan mampu atau tidaknya pendidikan
64
memainkan peranannya dalam menciptakan sosok peserta didik yang
berkepribadian paripurna. Ide ini terinspirasi dari sejarah politik
Rasulullah dan para sahabat yang meletakkan nilai-nilai ajaran Islam ke
dalam kebijakan sistem pendidikannya (Hamka, 1950: 180-182).
I. Kurikulum Pendidikan
Agar fitrah dalam diri peserta didik berkembang secara optimal,
maka penekanan seluruh materi pendidikan yang ditawarkan hendaknya
berjalan secara integral. Hal ini yang mutlak diperlukan agar proses belajar
mengajar berjalan efektif adalah tersedianya bentuk kurikulum yang
credible, fleksible, dan acceptable. Dalam hal ini, Islam dengan ajarannya
yang universal memotivasi umatnya untuk menciptakan bentuk-bentuk
yang disenanginya. Hanya saja, dalam sistematisasinya, perlu
mempertimbangkan aspek manfaatnya, baik bagi individu peserta didik,
masyarakat maupun alam semesta.Kurikulum yang ditawarkan dituntut
untuk mampu menumbuhkan rasa sosial dan taqarrub kepada Allah,
sebagai bentuk pengabdian kepadaNya.
Kurikulum pendidikan Islam mencakup dua aspek, yaitu: Pertama,
ilmu-ilmu agama meliputi al-Qur‟an, al-sunnah, syari‟ah, teologi,
metafisika Islam (tasawuf); ilmu-ilmu linguistik seperti bahasa Arab, tata
bahasa, leksikografi dan kesusasteraan. Kedua, ilmu-ilmu rasional,
intelektual dan filosofis yang meliputi ilmu-ilmu kemanusiaan (sosial),
alam, terapan dan teknologi (Hamka, 1983c: 78-86).
65
Pendekatan yang dilakukan bersifat filosofis dengan berpijak pada
dinamika kehidupan manusia menuntut kurikulum pendidikan mengalami
perubahan secara dinamis. Dalam konteks ini wahyu, akal, dan
pengalaman memainkan peranannya dalam mengambil natijah
(kesimpulan) untuk membangun suatu model kurikulum pendidikan yang
mampu menjawab berbagai persoalan kehidupan umat manusia (Hamka,
1983c: 107-108).
Pendidikan Islam lebih menekankan pada pentingnya pendidikan
sosial bagi peserta didik. Eksistensinya, mengharuskan manusia untuk
hidup dalam komunitasnya, saling memerlukan bantuan antara satu
dengan yang lain, dan membangun rasa kebersamaan (Hamka, 1950: 133).
Oleh karena itu, manusia dituntut untuk saling menghargai antar satu
dengan yang lain. Aspek ini akan terwujud tatkala dalam kehidupannya
diatur oleh tata kesopanan (adab). Dalam hal ini, ia memberikan berbagai
contoh yang bisa dicermati sebagai bagian adab yang mampu menjadi
perekat hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di
antaranya duduk bersila dihadapan orang yang lebih tua, berkata yang
sopan, jika sedang makan dilarang antara piring dan garpu saling beradu,
terutama bagi perempuan dilarang tertawa terlalu nyaring dan lain
sebagainya. Melalui ikatan norma adab yang demikian, maka manusia
akan terpuji dan terpelihara dari kehinaan sebagaimana kehidupan
binatang (Hamka, 1950: 100-101).
66
Norma tata susila dalam kehidupan sosial hendaknya tertanam
pada setiap diri manusia. Dalam hal ini, pendidikan memainkan peranan
penting dalam menanamkan aspek tata susila dan kepedulian sosial dalam
diri peserta didiknya. Tumbuhnya sikap yang demikian nantinya
diharapkan muncul sosok peserta didik yang peduli dan memanfaatkan
seluruh ilmu yang dimiliki bagi kepentingan seluruh umat manusia sebagai
konsekuensi tugas kekhalifahannya di muka bumi. Nilai substansi norma
adab susila bukan saja pada aspek horizontal (sesama makhluk), akan
tetapi bersamaan dengan itu mengandung nilai vertikal, sebagai salah satu
bagian ibadah kepada Allah SWT ( Hamka, 1950: 103).
J. Metode Pendidikan Integral Menurut Hamka
Metode yang digunakan Hamka dalam menyampaikan materi
dalam pendidikan tradisional adalah metode hafalan, kemudian menurut
Hamka metode hafalan ini tidak memiliki analisis dan hanya membuat
sikap taklid siswa, serta metode ini sudah lama ditinggalkan oleh dunia
Barat. Hamka mencoba mengkooperatifkan metode Barat dengan Islam.
Pemikiran dan ide pendidikan Hamka adalah dengan melakukan
pengembangan terhadap materi dan metode pendidikan surau tradisional
ke pendidikan madrasah dan mengambangkan metode hafalan ke diskusi
serta tanya jawab dan kemudian mendirikan sekolah dengan sistem
klasikal yang semula dengan halaqah (Samsul Nizar, 2008: 89-90).
67
Hamka mencoba lebih bersikap realistis dan akomodatif terhadap
pola pendididikan yang ada pada waktu itu dengan tanpa melepaskan roh
atau ajaran Islam yang ikut mewarnai bentuk pendidikan yang
dikembangkannya. Kedua kutub ilmu tersebut harus dipadukan dalam
bingkai yang sifatnya integral, pendekatan ini merupakan rumusan
pendidikan yang dicita-citakan dalam upaya membangun pola pendidikan
Islam yang ideal (Samsul Nizar, 2008: 90).
Menurut Hamka, agar proses pendidikan terlaksana secara efektif
dan efisien, maka seorang pendidik dituntut untuk mempergunakan
pelbagai macam pendekatan dan metode. Dengan menggunakan
pendekatan dan metode tertentu, proses interaksi akan dapat diterima dan
dipahami oleh peserta didik. Secara sistematis, al-Qur‟an telah
memberikan fungsinya sebagai hudan tentang pendekatan yang dapat
dipergunakan manusia dalam melakukan interaksi proses belajar mengajar.
Untuk membuktikannya, ia diantaranya merujuk pada QS. An-Nahl (16):
125.
ػظح ٱىحسح ٱى ح سثيو ستل تٱىحن ذى تٱىت ٱدع إى ـ
أحس و ػ سثييۦ ت أػي ستل إ أػي
( تذي (٢١١تٱى
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. An-Nahl
(16): 125) (Depag RI, 2005: 383).
68
Dalam ayat ini mengandung ajaran kepada Rasul s.a.w tentang cara
melancarkan da‟wah atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di
atas jalan Allah (sabilillah). Sabilillah atau Ash shirathal mustaqim, atau
ad dinuul haqqu, agama yang benar. Nabi saw memegang tampuk
pimpinan dalam melakukan da‟wah itu. Kepadanya dituntunkan oleh
Allah bahwa di dalam melakukan da‟wah hendaklah memakai tiga macam
cara atau tiga tingkat cara. Pertama Hikmah (kebijaksanaan), yaitu dengan
secara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang
bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan
terhadap Allah.
Kata hikmat itu kadang-kadang diartikan orang dengan filsafat.
Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dapat
difahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya dan tinggi
pendapat logikanya. Tetapi hikmat dapat menarik orang yang belum maju
kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar.
Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut, melainkan termasuk
juga dengan tindakan dan sikap hidup. Kadang-kadang lebih berhikmat
diam daripada berkata.
Metode yang kedua adalah al mau‟izhatil hasanah, yang kita
artikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang
disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntutan sejak kecil.
Sebab itu termasuklah dalam bidang al mau‟izhatil hasanah , pendidikan
ayah bunda dalam rumah tangga kepada anaknya, menunjukkan contoh
69
beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka
pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-
perguruan.
Metode yang ketiga ialah jadil hum billati hiya ahsan, bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan
atau pertukaran pikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini
menyuruh agar dalam hal yang demikian kalau sudah tidak dapat
dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Diantaranya ialah
memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan
benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah.
Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu
dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam karena
bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya,
disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga dia
menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan karena cara kita
yang salah, mungkin dia enggan menerima kebenaran meskipun hati
kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan.
Ketiga pokok cara melakukan da‟wah ini, hikmat, al mau‟izhatil
hasanah, jadil hum billati hiya ahsan, amatlah diperlukan di segala zaman.
Sebab da‟wah atau ajakan dan seruan membawa ummat manusia kepada
jalan yang benar itu sekali-kali bukanlah propaganda, meskipun
propaganda itu sendiri kadang kadang menjadi bagian dari alat da‟wah.
Da‟wah meyakinkan, sedang propaganda atau di‟ayah adalah
70
memaksakan. Da‟wah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil
menundukkan keyakinan orang. Apalagi dalam hal agama. Al-qur‟an
sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali tidak ada paksaan.
(QS. Al-Baqarah ayat 256) (Hamka, 1983b: 320-322).
ي ل إمشا ف ٱىذ ٱى شذ ٱىش خ قذ تثي ـ ينفش تٱىط ف
ثق ج ٱى سل تٱىؼش فقذ ٱست تٱلل يؤ ىا ل ٱفصا ٱلل
( يغ ػيي (١١٩س
Artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah
(1): 256) (Depag RI, 2005: 53)
Dalam merincikan pendekatanyang di ambil dari QS. An-Nahl:
125 dan QS. Al-Baqarah: 256, tiga pendekatan yang perlu dilakukan,
yaitu; pertama, melalui al-hikmah (kebijaksanaan, akal budi yang mulia,
dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian peserta didik).
kedua, melalui al-mau;izhah al-hasanat (proses pengajaran yang baik).
Ketiga, melalui wa jadilhum bi al-lati hiya ahsan (bantahlah dengan cara
yang baik dan mengajak peserta didik kepada jalan pikiran yang benar)
(Hamka, 1983b: 321).Di samping pendekatan tersebut, al-Qur‟anjuga
memberikan beberapa bentuk metode pendidikan Islam. Di antaranya
melalui keteledanan (QS. al-Azhab: 21), cerita atau perumpamaan (QS. al-
71
Maidah), nasihat (QS: Luqman: 13), hukuman (QS. at-Taubah : 74), dan
kebiasaan.
Seirama dengan pendekatan di atas, dalam bahasanya yang
sederhana, ia membagi metode pendidikan Islam kepada empat macam
metode, yaitu:
1. Metode diskusi. Diskusi merupakan proses saling bertukar pikiran
antara dua orang atau lebih. Melalui proses ini, kedua belah pihak
akan saling berdialog dan mengemukakan pandangannya secara
argumentatif. Proses ini dilakukan dengan penuh keterbukaan dan
persaudaraan. Tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran.
Model pendekatan yang demikian akan mampu merespon daya
intelektual peserta didik untuk melakukam analisis kritis dan
menumbuhkan kepercayaan diri dalam membangun sebuah
pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimanfaatkan
oleh seluruh umat manusia (Hamka, 2015: 118-119).
Untuk terciptanya diskusi yang dialogis, maka pendidik (formal,
informal, maupun nonformal), hendaknya membiasakan hidup
demokratis, memberikan kemerdekaan kepada setiap peserta didik
untuk berpikir, serta mengemukakan pendapat secara bebas dan
bertanggung jawab. Setiap perbedaaan pendapat selalu dihargai
sebagai sebuah keberagaman pandangan dalam melihat suatu objek
kajian. Dinamika diskusi hendaknya mencerminkan sikap tenggang
rasa dan saling menghormati pendapat orang lain. Pendidik
72
hendaknya membimbing dan mengarahkan agar dinamika tersebut
berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan. Lebih
tegas ia mengatakan, bahwa proses ini perlu tertanam sejak dini,
yaitu pendidikan di lingkungan keluarga. Melalui pendekatan yang
demikian, pendidikan akan mampu menciptakan sosok out put
yang berpikiran kritis dan dinamis (Hamka, 2015: 167-169).
2. Metode darmawisata. Metode ini dimaksudkan agar tumbuh
kepekaan sosial pada setiap peserta didik. Seorang pendidik bisa
mempergunakan metode darmawisata untuk mengenalkan peserta
didik pada realitas lingkungannya secara dekat dan konkret
(Hamka, 1947: 34). Melalui pengenalan terhadap lingkungannya,
peserta didik akan lebih banyak terlibat langsung terhadap objek
dan mengetahui hubungan dari apa yang dilihat dengan
pelajarannya. Hanya saja dalam pelaksanaanya, perlu
dipertimbangakan aspek nilai pendidikan yang dicapai dan tidak
membahayakan keselamatan peserta didik.
3. Metode eksperimen. Melalui eksperimen, peserta didik akan
diformulasi untuk melakukan serangkaian observasi dan latihan-
latihan yang berfungsi untuk memperkaya pengalaman mereka
terhadap materi (teori) ilmu pengetahuan yang mereka miliki.
Metode ini sangat membantu bagi tumbuhnya motivasi dan daya
kreativitas peserta didik dalam menanggapi materi yang diajarkan.
Ilmu (teoritis) tanpa diimbangi dengan pengalaman akan
73
mengakibatkan daya berpikir anak berada dalam alam khayal.
Melalui pendekatan metode eksperimen secara langsung terhadap
objek yang dipelajari, maka peserta didik akan dapat menemukan
kebenaran dari apa yang dipelajarinya secara riil. Dengan
demikian, ia akan lebih banyak memperoleh pengalaman langsung
terhadap berbagai fenomena sosialnya (Hamka, 1950: 58).
4. Metode resitasi atau assignment (pemberian tugas). Agar peserta
didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang
diberikan padanya, maka seorang pendidik dapat melakukan
pendekatan dengan menggunakan metode resitasi, yaitu
memberikan sejumlah soal-soal pendidikan untuk dikerjakannya
secara baik dan benar. Bila terdapat kesalahan dalam
melaksanakan tugas tersebut, maka seorang pendidikan hendaknya
dengan sabar membimbing peserta didik sampai ia benar-benar
mampu melaksanakan tugas yang telah diberikan dengan sebaik-
baiknya. Dengan pendekatan ini, setiap peserta didik akan dapat
mengaplikasikan ilmu yang telah diperolehya, bukan hanya sebatas
teoritis belaka (Hamka, 1950: 56-57).
74
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Signifikansi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral
Menurut Hamka, pendidikan merupakan sarana untuk membentuk
watak, pribadi manusia yang telah lahir ke dunia supaya menjadi orang
yang berguna dalam masyarakatnya, dan mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan manusia seutuhnya, akal
dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.
Sedangkan, pendidikan integral menurut Hamka adalah pendidikan yang
memadukan antara potensi-potensi yang terdapat pada diri manusia, yaitu
potensi jasmani dan potensi rohani dengan lingkungannya (baik
lingkungan sosial maupun alam) dengan cara mengharmoniskan kembali
relasi antara Tuhan-alam dan wahyu-akal untuk mewujudkan peserta didik
yang kaffah. Pendidikan jasmani dimaksudkan sebagai upaya untuk
mewujudkan dan mengambangkan keterampilan-keterampilan fisik yang
tangguh bagi peserta didik (Abdurrahman Saleh Abdullah, 1990: 139).
Pendidikan rohani merupakan upaya pembentukan hati yang penuh iman
kepada Allah. Sedangkan, pendidikan akal merupakan pendidikan yang
mengacu pada tujuan untuk memberi daya dorong menuju peningkatan
kecerdasan peserta didik (Abdurrahman Saleh Abdullah, 1990: 146).
75
Hamka menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani
(jiwa yang diwarnai oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang
seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut akanmembantu keseimbangan
dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan karena
esensipendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai
dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, sehingga
akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan,keputusan dan pendekatan
mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan yang
dipengaruhioleh nilai-nilai ajaran Islam. Pandangan simplistik yang
berkembang di masyarakat bahwa kemerosotan akhlak, moral dan etika
peserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama yang ada di sekolah
oleh karena itu perlu dicari format pendidikan Islam baru yang nantinya
mampu menciptakan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan yang tangguh
dan berakhlak mulia. Pemikirandan ajaran Hamka yang menyentuh
pendidikan Islam antaranya dapat diperhatikan dari hasil karya tertulisnya
seperti “Tasawuf Modern”, “Pelajaran Agama Islam”, “Falsafah Hidup”,
“Tafsir Al-Azhar”, “Sejarah Umat Islam”, ”Islam dan Demokrasi”dan
beberapa karangannya lagi yang penting, termasuk “Tasawuf dari Abad ke
Abad”. Tafsir Al-Azhar merupakan tafsir Qur‟an terbesar dalam Bahasa
Indonesia.
Pendidikan dari pemikiran Hamka di sini didasarkan kepada
kepercayaan, bahwa di atas dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan
Mahabesar, yaitu kekuasaan Allah. Oleh karena itu pendidikan modern
76
tidak bisa meninggalkan agama. Kecerdasan otak tidak menjamin
keselamatan apabila nilai rohani keagamaan tidak dijadikan dasarnya
(Hamka, 2015: 304). Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an surah
Al-An‟am ayat 162 yang berbunyi:
( ي ي ـ سب ٱىؼ ات لل حيا سن صلت (٢٩١قو إ
Artinya:
Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
(QS. Al-An‟am (6): 162)(Depag RI, 2005: 201).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia di dunia
semuanya adalah untuk Allah.
Pendidikan integral yang didasarkan pada pemikiran ideal Hamka
dalam pendidikan Islam ini merupakan kontribusi Hamka untuk
memajukan pendidikan kontemporer di Indonesia supaya peserta didik dan
pendidik memiliki akhlakul karimah dan menjadi manusia paripurna
(insan kamil). Peran serta pendidikan integra ini juga untuk membina
peserta didik supaya menjadi pribadi yang hebat, memiliki kemauan yang
tinggi, cita-cita yang kuat, serta mampu menghadapi permasalahan di
masa yang akan datang di dalam kemasyarakatan.
M. Rusli Karim menyatakan bahwa pendidikan Islam tidak
terhindar dari kemelut yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya dan
bahkan konflik yang dihadapi sistem pendidikan Islam jauh lebih besar
daripada dilema yang melanda pendidikan yang tidak memasukkan
dimensi keagamaan. Pendidikan pada umumnya mengabaikan dimensi
77
keterampilan fisik/jasmani, sedangkan pendidikan Islam mementingkan
semuanya yaitu pemaduan ilmu umum dan ilmu agama. Di sinilah
terkandung pengertian bahwa pendidikan Islam menghindari adanya
dikotomi antara kedua aspek tersebut (ilmu umum dan ilmu agama) (M.
Rusli Karim, 1991: 129).
Hal di atas merupakan alasan tuntutan dari kalangan agama agar
diadakan pendidikan di sekolah. Menurut Hamka, hendaklah menjadikan
sekolah yang memakai asrama, menyediakan seorang pimpinan yang
khusus mendidik rohani murid-muridnya. Agama berperan sebagai dasar
utamanya, adab dan budi pekerti disatukannya, pengertian tentang hidup,
serta percaya akan adanya kuasa ghaib yang meliputi kuasa manusia. Bagi
anak-anak yang masih kecil didikan agamalah yang perlu, belum ilmu
agama. Hal ini karena pelajaran agama mudah masuk asalkan dasar iman
sudah ada terlebih dahulu (Hamka, 2015: 305).
Dalam agama Islam sudah ada aturan tentang bagaimana cara
mendidik anak-anak. Anak usia 7 tahun telah disuruh shalat oleh bapak
dan ibunya. Apabila usianya menginjak 10 tahun, belum juga dia shalat,
masih malas-malas dalam mengerjakan, maka anak tersebut sudah boleh
dipukul (Hamka, 2015: 305). Lain halnya ketika iman orang tua sendiri
lemah. Anaknya diserahkannya kepada suatu sekolah. Di sekolah itu yang
ada hanya pengajaran, bukan pendidikan. Kalaupun ada pendidikan,
hanyalah pendidikan salah, pendidikan yang menghilangkan pribadi.
Banyak ilmunya tetapi budinya kurang. Kesudahannya banyaklah
78
kelihatan anak-anak muda yang tidak tentu tujuan hidupnya. Tidak dapat
berkhidmat kepada tanah air tumpah darahnya. Bagaimana akan
berkhidmat jika dia sendiri tidak mengenal asal usulnya (Hamka, 2015:
305).
Menurut Gus Mus (A. Mustofa Bisri) dalam tayangan di salah satu
stasiun televisi pada hari Minggu, 6 Agustus 2017 dengan tema “Cerita
Dua Sahabat” menyatakan,
“Tanah air adalah tempat lahir, tanah air adalah tempat sujud, tanah
air adalah tempat merebahkan diri dan direbahkan. Tanah air itu
ibarat rumah. Dahulu kita melawan penjajah, karena penjajah akan
merusak rumah kita. Maka, kalau orang Indonesia tidak cinta
rumahnya, bahkan punya keinginan untuk merusak rumahnya
sendiri, pasti ada yang tidak beres di kepalanya” (A. MustofaBisri,
2017).
Dapat di simpulkan bahwa orang yang tidak cinta tanah air itu
ibarat sakit jiwa. Cinta tanah air itu adalah naluri, sama seperti cinta ibu
dengan anaknya. Orang yang mencintai tanah air, maka bersedia
berkorban untuk tanah air. Orang yang mencintai tanah air, nampaklah
keindahannya, lalu hindarilah sesuatu yang dapat memberi kesan buruk
pada tanah airnya (A. Mustofa Bisri, 2017).
Sehubungan dengan di atas, pendidikan agama tidak membenarkan
adanya dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama. Menurut Hamka,
pendidikan agama ini amat perlu, walaupun pada sekolah-sekolah umum
banyak yang mengajarkan agama, tetapi tidak mendidik agama (Hamka,
2015: 305). Beliau berpendapat bahwa pendidikan dan pengajaran tidak
sama. Pendidikan adalah untuk membentuk watak pribadi manusia yang
79
lahir ke dunia ini supaya menjadi orang yang berguna dalam
masyarakatnya. Supaya dia tahu mana yang baik dan mana yang buruk
(Hamka, 2015: 303). Sedangkan pengajaran, hanya menyampaikan
informasi saja. Pendidikan dan pengajaran merupakan dua jalan untuk
menjadi satu dan antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Pendidikan dan
pengajaran adalah wasilah (jalan) yang paling utama bagi kemajuan
bangsa, mencapai kedudukan mulia di dunia, juga berguna untuk
mencapai cita-cita yang tinggi. Sebab tiap-tiap bangsa pasti mempunyai
cita-cita yang tinggi. Akan tetapi apabila suatu bangsa hanya
mementingkan pengajaran saja tanpa memikirkan pendidikan untuk
melatih budi pekerti maka output yang dihasilkan tidak memiliki
keseimbangan antara intelektualitas dan spiritual. Hal tersebut akan
menghasilkan orang yang boleh jadi pintar tetapi buruk akhlaknya,
walaupun ada kemajuan karena kepintarannya tetapi akan menjadi racun
bukanlah obat (Abdul Nashir, 2006: 70)
Oleh karena itu, dengan konsep integral ini diharapkan
terbentuknya sebuah generasi yang lebih baik. Siswa tidak hanya
mempunyai kemampuan dalam bidang akademik atau kemampuan
kognitif saja, tetapi juga kemampuan psikomotor dan afektifnya, semua itu
bersumber dari ketauhidan. Pendidikan tauhid sebagai prinsip utama akan
memberi nilai tambah bagi manusia dan akan menumbuhkan kepercayaan
bagi dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Bagi orang
80
yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan maka seakan-akan
kehilangan tempat berpijak.
Dalam Al-Qur‟an telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsi-fungsinya
sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya (Abd. Rahman Dahlan, 1997: 173).
Menurut Hamka, sistem pendidikan Islam yang ideal seyogianya
berorientasi pada visi keakhiratan sebagai alat control perilaku manusia,
sekaligus visi kekinian dengan mengaktifkan fungsi akal peserta didik
secara maksimal. Persentuhan kedua aspek tersebut secara harmonis dan
integral akan menciptakan sosok peserta didik yang memiliki kepribadian
paripurna (insan kamil). Melalui agama, dinamika akal akan terkontrol
dengan baik. Adapun melalaui ilmu umum (rasional), akan menyiapkan
umat Islam agar mampu menjawab berbagai tantangan dinamika zaman
secara aktif, dinamis dan proporsional. Ungkapannya ini mencerminkan
sikap intelektualitasnya yang ditujukan kepada umat Islam agar melihat
visi pembaharuan, khususnya pendidikan Islam secara kritis dan objektif
(Samsul Nizar, 2008: 10-12).
Hamka menilai tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan
mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia
(Hamka, 2015: 13), serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara
layak dan berguna ditengah-tengah komunitas sosialnya (Hamka, 1983a:
2-3). Dengan arti lain, tujuan pendidikan Islam yang dibangun bukan
hanya bersifat internal bagi peserta didik guna memiliki sejumlah ilmu
81
pengetahuan dan mengenal Khaliknya, akan tetapi juga secara eksternal
mampu hidup dan merefleksikan ilmu yang dimiliki bagi kemakmuran
alam semesta. Maka, dengan adanya pendidikan Islam yang diformulasi
secara sistematis dan integral ini, akan dapat merangsang tumbuhnya
dinamika fitrah peserta didik secara optimal (Samsul Nizar, 2008: 116-
117).
B. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral dengan
Pendidikan Sekarang
Melalui data dan analisis terhadap pemikiran Hamka tentang
pendidikan Islam, memberikan isyarat bahwa pada zamannya ia telah
cukup berhasil melaksanakan tugasnya sebagai seorang intelektual
muslim.
Hamka telah memberikan pemikiran kritisnya sebagai alat analisis
yang tajam dan berperan secara efektif terhadap masyarakat untuk menata
kehidupan sosialnya. Pemikirannya tentang pendidikan Islam, memiliki
keterkaitan dengan norma agama, potensi peserta didik, dan dinamika
aspirasi masyarakat. Norma-norma tersebut mengacu pada landasan sistem
nilai yang universal dan kemudian dijabarkan ke dalam kaidah-kaidah
pendidikan Islam, yaitu tanggung jawab manusia kepada Tuhan,
perkembangan kekuatan kekuatan potensial dan riil manusiawi,
perkembangan masyarakat dan pendayagunaan potensi peserta didik
82
secara maksimal. Kesemua itu ditujukan bagi kemaslahatan umat manusia
(Samsul Nizar, 2008: 212).
Substansi pemikiran pendidikan yang dibangunnya, merupakan
pendekatan menuju pada pola pendidikan yang sangat ideal, terutama
dalam upaya membentuk generasi muda sekarang dan akan datang yang
berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Pendekatan yang dilakukan
merupakan pemikirannya di era 1940-1950-an, akan tetapi substansi ide-
idenya masih sangat relevan untuk dikembangkan pada sistem pendidikan
Islam era modern. Pendekatan ini sangat beralasan, bila diteliti secara
seksama pemikirannya tentang kerangka pendidikan (Islam) masih belum
terealisasi secara maksimal dan utuh dalam sistem pendidikan nasional
sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat, terutama dari aspek keterkaitan
antara guru orang tua, dan lingkungan (sosial) yang kurang harmonis dan
integral, pola kurikulum masih banyak yang belum menyentuh totalitas
potensi peserta didik, dikotomi materi pendidikan yang menyebabkan
terjadi kesenjangan wawasan keilmuan, baik pendidik maupun peserta
didik, antara ilmu keislaman dan umum, serta berbagai gejala dekedensi
moral yang semakin memprihatinkan.
Latar belakang di atas menyebabkan pendidikan kontemporer bila
dilihat secara kontekstual saat ini mengalami krisis moral, adanya
hukuman di dalam sekolah tidak membuat jera peserta didik, tawuran di
mana-mana dikarenakan perbedaan pendapat, bahkan muncul seorang
guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap peserta didiknya. Dalam
83
konteks ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi
kehidupan. Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih
penting dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai.
Pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai
keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup
merupakan pemikiran yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan saat ini.
Pribadi tangguh yang dilahirkan di tanah Minangkabau ini memberikan
teladan untuk bersikap dewasa dan menghargai pluralism serta mengakui
perbedaan.
Perbedaan keyakinan bukan jalan untuk melakukan permusuhan.
Hemat penulis, melihat dari jejak Hamka, apabila beliau memiliki
perbedan prinsip keagamaan ia malah melakukan hubungan baik, namun
kalau sudah menyangkut masalah kebangasaan beliau justru menentang
kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hingga dia masuk kedalam jeruji
penjara. Namun jeruji penjara tidak membuatnya menjadi seorang yang
lemah, justru karena kemerdekaan jiwa dan pikirannya beliau mampu
melahirkan mahakarya berupa Tafsir Al Azhar.
Apa yang dilakukan Hamka dalam penokohan di atas, menurut
penulis merupakan salah satu cara dakwah beliau yang menunjukkan
kepada pembaca bahwa betapa mulia orang yang berilmu dan ahli ibadat.
Dakwah yang dilakukan beliau sangat halus. Cara dakwah seperti ini, jika
melihat karya-karya sastra pada zaman itu yang rata-rata penuh tendensi,
tentunya adalah suatu hal yang bisa kita nilai pula sebagai kelebihan
84
Hamka. Keterbukannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap
dasar toleransi adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua
peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang
dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan
berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa ini diolah dan dibangun dengan
cara pandang yang terbuka pula.
Menurut A. Mustofa Bisri (2017), beliau menyatakan bahwa
pesantren-pesantren titik beratnya pada pendidikan, namun yang membuat
kacau selama ini adalah pada pengajaran dan pendidikan. Pengajaran dan
pendidikan adalah dua hal yang saling keterkaitan. Pengajaran dalam
bahasa arab, ta‟lim, artinya untuk menyampaikan informasi saja.
Sedangkan pendidikan dalam bahasa arab adalah tarbiyah, di mana
tarbiyah di dalam pendidikan pesantren lebih ditekankan, meskipun
sekarang banyak yang menggunakan dua-duanya. Pendidikan saat ini tidak
cukup hanya menciptakan orang-orang pintar saja, karena bukti
menunjukkan banyak orang pintar tidak terdidik, tidak berakhlakul
karimah, justru akibat buruknya merata di mana-mana.
Sehubungan dengan itu, bertolak pada pemikiran Hamka dalam
jurnal karya Dartim (2016: 15) hakikat pendidikan menurut Hamka sangat
menekankan pada penguatan pribadi yang meliputi akal, budi, cita-cita dan
bentuk fisik. Pemikiran pendidikan Hamka berorientasi pada penguatan
pribadi individu, karena kondisi kontemporer pendidikan Indonesia dapat
diindikasikan lebih berorientasi pada hal-hal yang materialistis daripada
85
penyempurnaan pribadi individu. Penguatan pribadi itu ditunjukkan
kepada pendidik, peserta didik, dan semua orang yang terlibat dalam dunia
pendidikan.
Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah
fitrah pendidikan tidak sajapada penalaran semata, tetapi juga akhlakul
karimah. Salah satu bukti gagalnya pendidikan formal dalam menata moral
dan etika terlihat dari munculnya kenakalan remaja seperti tawuran.
Pendidikmesti menjaga sikap dan memiliki syarat; objektif, menjaga
akhlak, menyampaikan seluruh ilmu,menghormati keberadaan peserta
didik, memberi pengetahuan sesuai dengan kemampuan penerimadan
perkembangan jiwa peserta didik dalam menerima pendidikan. Hamka
dalam memaparkan persoalan pendidikan, selalu mencakup peran
keluarga, pendidik dan lingkungan sosial. Peran inidituntut harmonis dan
tidak ada yang longgar antara satu dengan yang lain. Sebagai bentuk
pemikiran yang bersentuhan dengan persoalan politik, Hamka melihat
hubungan ideal antara pemerintah dalam pendidikan. Dikatakannya,
pemerintah tidak bisa mengintervensi pendidikan dalam segi material
maupun kebijakan.
Manusia ideal merupakan cita-cita semua proses pendidikan.
Menurut Al-Ghazali manusia terdiri dari unsur jasad dan roh atau jiwa
yang keduanya mempunyai sifat berbeda tapi saling mengikat. Oleh
karenanya tujuan pendidikan secara umum menyempurnakan manusia,
yakni manusia yang mampu mendekatkan diri kepada Allah, manusia yang
86
mampu hidup bahagia-selamat dunia akhirat (Abd. Rahman Abdullah,
2001: 248). Oleh karena itu, pendidikan Islam mempunyai arah tujuan
yang integratif dan menyeluruh, bukan mengutamakan dunia
meninggalkan akhirat dan sebaliknya bukan mengutamakan akhirat
meninggalkan persoalan dunia melainkan seimbang, utuh dan proporsional
dalam membangun manusia dan masyarakat seutuhnya.
Sejalan dengan pemikiran Al-Ghazali, pemikiran Hamka tentang
pendidikan integral dengan dunia pendidikan saat ini yaitu dalam rangka
menumbuhkan dan menguatkan pribadi individu sebagai solusi alternatif
di tengah-tengah berbagai masalah ketimpangan pendidikan yang terjadi di
mana akar masalahnya disebabkan dari lemahnya pribadi. Selain itu,
relevansi tersebut dapat dilihat dari upaya praktis untuk menumbuhkan
perubahan paradigma pendidikan dalam merumuskan visi, misi dan tujuan
pendidikan Islam yang seimbang dengan ranah ta‟lim, tarbiyah, dan ta‟dib
secara menyeluruh dan terintegrasi dengan satu kata pribadi.
Pribadi menurut Hamka memiliki makna lebih luas dan lebih
menyeluruh secara terintegrasi, karena meliputi akal, budi, cita-cita dan
bentuk fisik, sehingga mampu mewujudkan manusia yang mandiri serta
manusia yang merdeka. Hal itu juga yang menyebabkan harga
kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain (Hamka, 2014: 4).
Dalam hubungan itu, Hasan Langgulung (1991: 39) menyatakan
bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat membawa
kepada pertumbuhan individu dan masyarakat yang menyeluruh.
87
Sedangkan pendidikan Islam lebih diorientasikan kepada akhlak dan sopan
santun serta penghayatan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian
(Muhammad Abdurrahman, 2003: 64). Hal ini berarti bahwa masalah
moral dianggap sesuatu yang masih dipertahankan dan siapa saja yang
mencoba mengesampingkan masalah moral atau akhlak ini dianggap
kering dari pendidikan Islam atau pendidikan agama. Pendidikan Islam
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menciptakan keadaan
yang kondusif dalam masyarakat.
Sehubungan dengan di atas, Dawam Raharjo menyatakan bahwa
pendidikan Umum sebagai ikhiar pendidikan nilai dan kepribadian
(pembentukan jati diri sebagai makhluk individu, sosial sekaligus hamba
Allah SWT). Pada saat dilahirkan, manusia dibekali seperangkat potensi
yang meliputi keasadaran indrawi, akal dan kesadaran rohani.Potensi
tersebut diwujudkan dalam taksonomi kognitif, afektif dan psikomotorik
yang harus untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi sebagai Insan Kamil
(kaffah, paripurna). Menurut Hamka, kaffah dijadikan „hal‟ dari as-Silmi
(Islam) janganlah masuk separuh-separuh, sebagian-sebagian, tapi
masukilah keseluruhannya. Jika mengaku beriman telah menerima Islam
sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur‟an dan tuntunan Nabi SAW,
diakui dan diikuti (http://repository.upi.edu/7475/43/d_pu_0601208_
chapter2.pdf: Model pendidikan nilai berbasis zikir dan doa dalam
mengembangkan kepribadian kaffah, hlm. 10).
88
Pendidikan nilai yang lazimnya disebut pula dengan pendidikan
akhlak. Pendidikan nilai berbeda dengan pendidikan pada umumnya
karena bertujuan mengemas pengembangan pribadi utuh bagi peserta
didik. Tujuan yang ingin dicapai pendidikan nilai bukan saja kecerdasan
nilai-nilai intelektual (kognitif), tapi lebih ditekankan pada pencapaian
kecerdasan emosional, spiritual (akhlakul karimah). Karena itu hakikat
pendidikan akhlak karimah (mahmudah), pendidikan moral, budi pekerti,
karakter, pendidikan bagaimana berperilaku santun. Pendidikan akhlak ini
bersumber dari Ad Din (Al-Qur‟an dan As Sunnah) (http://repository.upi.
edu/7475/43/d_pu_0601208_chapter2.pdf: Model pendidikan nilai
berbasis zikir dan doa dalam mengembangkan kepribadian kaffah, hlm.
19). Pendidikan akhlak karimah ini bertujuan agar peserta didik memiliki
kepribadian utuh dan insan kamil yang selalu berusaha untuk mencapai
derajar kaffah (paripurna) seperti yang difirmankan Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah ayat 208.
ٲخ ل تتثؼا خط ڪافح ي ا ٱدخيا ف ٱىس ءا ا ٱىزي أي ـ ي
ـ يط ٱىش ) إ ثي ػذ (١٠٢ۥ ىڪ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-
Baqarah (1): 208) (Depag RI, 2005: 40).
Sebab itu, salah satu indikator keberhasilan pendidikan nilai diukur
dengan perilaku dan akhlak peserta didik dalam pengamalannya, baik
89
sebagai individu; anggota keluarga, lingkungan sekolah maupun di
lingkungan masyarakatnya.
Dengan pendidikan, kepribadian manusia itu seharusnya kaffah,
utuh, total, paripurna, komprehen. Jika manusia itu tidak memiliki
pertahanan atau lemah, maka kepribadian tersebut menjadi retak (split)
dan terjadilah degrasi moral. Untuk itu dilakukan berbagai upaya antara
lain pendidikan yang terkait dengan pengalaman ibadah, diantaranya
melalui dzikir dan doa (http://repository.upi.edu/7475/43/d_pu_0601208_
chapter2.pdf: Model pendidikan nilai berbasis zikir dan doa dalam
mengembangkan kepribadian kaffah, hlm. 20).
Menurut Hamka, dalam mengatasi degresi moral maka di dalam
pendidikan Islam lebih menekankan pada pentingnya pendidikan sosial
bagi peserta didik. Eksistensinya, mengharuskan manusia untuk hidup
dalam komunitasnya, saling memerlukan bantuan antara satu dengan yang
lain, dan membangun rasa kebersamaan (Hamka, 1950: 133). Oleh karena
itu, manusia dituntut untuk saling menghargai antar satu dengan yang lain.
Aspek ini akan terwujud tatkala dalam kehidupannya diatur oleh tata
kesopanan (adab). Dalam hal ini, ia memberikan berbagai contoh yang
bisa dicermati sebagai bagian adab yang mampu menjadi perekat
hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di
antaranya duduk bersila dihadapan orang yang lebih tua, berkata yang
sopan, jika sedang makan dilarang antara piring dan garpu saling beradu,
terutama bagi perempuan dilarang tertawa terlalu nyaring dan lain
90
sebagainya. Melalui ikatan norma adab yang demikian, maka manusia
akan terpuji dan terpelihara dari kehinaan sebagaimana kehidupan
binatang (Hamka, 1950: 100-101). Hal ini sesuai dengan pendapat Quraish
Shihab (2017), bahwa degresi moral terjadi karena hatinya tidak
bersih.Maka, harus sering-sering merasa kehidupan ini dipikul bersama,
hati harus bersih, agar hati manusia tidak dikuasai hal-hal yang hanya
bersifat materialistik. Pendapat ini didasarkan pada kutipan beliau, yaitu,
Mahkota ilmu adalalah rendah hati.
Pandangannya adalah keterbebasan dari iri hati.
Akalnya adalah pengetahuan tentang sebab akibat.
Buahnya adalah takwa.
Persahabatan, mendengar dari cerdik cendikia, ucapan yang benar,
serta keterhindaran dari kelengahan dan perbuatan yang
membuahkan penyesalan.
Hati memang berperan penting dalam segala hal, termasuk dalam
mencapai tujuan pendidikan integral ini. Hati yang bersih terlihat pada
perilaku yang teraktualisasi pada kehidupan sehari-hari. Berdasar pada
tujuan hidup manusia adalah hanya untuk Tuhan semata, maka
apagunanya hidup apabila tidak dilandasi dengan agama. Agama sangat
berperan penting dalam mengatur kehidupan manusia, dari bangun tidur
hingga tidur kembali, hingga berperan penting untuk memperoleh
keselamatan di dunia dan di akhirat.
Islam adalah sebuah pandangan hidup yang ajarannya mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalamnya membentuk cara hidup
yang didasarkan kepada nilai-nilai yang agung dan universal. Nilai-nilai
yang dibawa oleh Islam dapat diterima oleh pemikiran manusia secara
91
global sebagai nilai yang sanggup membangun peradaban manusia. Nilai-
nilai tersebut bahkan dapat diterima oleh orang-orang yang berlainan
keyakinan (agama) (Muhammad Abdurrahman, 2003: 76). Maka, untuk
memperoleh ilmu agama yang bermanfaat dan sesuai dengan tujuan
pendidikan Islam, adab dalam mencari ilmu harus diperhatikan.
Dalam mencapai tujuan pendidikan integral, materi, pendidik,
peserta didik, lingkungan, kurikulum, hingga metodenya harus saling
berkesinambungan antara satu dengan yang lain.
Menurut Hamka, ada dua orientasi pemikiran tentang pembagian
materi pendidikan. Pada satu sisi, materi pendidikan hendaknya
berorientasi pada pengembangan akal (filsafat), sementara di sisi lain pada
pengembangan rasa (agama). Kedua orientasi materi tersebut penting dan
saling mengisi antara satu dengan yang lain. Pendidikan yang hanya
menekankan aspek akal akan menggiring peserta didik bersikap
materialistik dan acapkali tidak bermoral. Adapun pendidikan yang hanya
menekankan pada aspek keagamaan akan menggiring hidup yang
melalaikan dinamika peradaban dunia kekinian. Materi pendidikan
hendaknya memadu kedua aspek tersebut secara serasi dan seimbang.
Pendidikan yang didasarkan agama akan menumbuhkan keyakinan kepada
ketentuan Allah dan menjadi nilai control perilakunya. Sementara
pendidikan akal (filsafat) akan membantu peserta didik membangun
peradaban umat secara dinamis, sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama
yang diyakininya (Hamka, 2015: 303-304). Materi ini bersesuaian dengan
92
pendapat Ahmad bin Mohd Sholeh dalam buku Pendidikan di Alaf Baru:
Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, beliau menyatakan bahwa suatu
bangsa akan sejahtera hidup dan harmonis jika warga negaranya terdiri
dari orang-orang yang bermoral atau berbudi luhur. Sebaliknya, jika warga
negara tersebut berbudi pekerti buruk maka hancurlah bangsa dan negara
tersebut. Akhlak/ moral/ budi pekerti akanbaik jika pembinaannya dimulai
dari rumah tangga kemudian mengarah kepada masyarakat luas
(Muhammad Abdurrahman, 2003: 76).
Semua agama yang di dunia ini mengandung ajaran moral, baik
agama Islam, Nasrani, Budha, Hindu, dan sebagainya. Dalam istilah
sosiologi, hal ini sering disebut agama yang berbentuk vertikal dan
horizontal. Hanya saja para penganut kepercayaan atau agama yang tidak
mau mengamalkan ajaran-ajaran moral lebih disebabkan oleh pengaruh
lingkungan di mana mereka tinggal.Dalam ajaran Islam, akhlak adalah
iman seseorang.Keimanan seseorang sangat ditentukan oleh akhlak yang
dimilikinya. Sebagaiman Nabi Saw bersabda (Muhammad Abdurrahman,
2003: 76-77),
و خيق اأم ا ا أحس إي ي ؤ اى
Artinya:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang
yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu
Hibban dan Hakim, Shahihul Jaami‟ no. 1230)
Muhammad Abdullah Darraz mengklasifikasikan akhlak atau
moral ke dalam lima kategori, yaitu: pertama, akhlak fardhiyyah
93
(individu); ke-dua, akhlak usariyah (kekeluargaan); ke-tiga, akhlak
ijtimaiyah (kemasyarakatan); ke-empat, akhlak daulah (negara); ke-lima,
akhlak diniyah (agama). Semua kategori ini menjadi bidang dan runang
lingkup akhlak Islam yang dimulai dari keluarga, masyarakat, sampai
pada pembentukan sebuah negara, peradaban dan sebagainya.
Pendapat di atas dikuatkan dengan pendapat Ismail Ibrahim yang
dikutip dalam buku Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas
Pendidikan. Beliau berpendapat bahwa kalau manusia tidak pernah
dibekali dengan pendidikan moral sejak kecil, maka tidak berlebihan kalau
dikatakan bahwa manusia tersebut lebih ganas dari serigala dan singa yang
tidak pernah mempelajari human rights(hak asasi manusia). Krisis moral
yang melanda alam manusia pada kurun waktu ini telah mancapai
puncaknya. Hal ini terjadi secara menyeluruh, akibatnya terjadilah
pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
pembantaian terhadap manusia yang tidak bersalah karena kerakusan yang
menyerupai binatang ((Muhammad Abdurrahman, 2003: 77).
Kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada kesempurnaan
sistem pendidikan dan pengajaran yang ditawarkan (Hamka, 2015: 7).
Menurut Hamka, pendidik adalah sosok yang bertanggung jawab dalam
mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memliki ilmu
pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat secara luas. Namun kewajiban mendidik anak jangan
diserahkan kepada gurunya saja. Karena tempo yang dipakainya di
94
sekolah, tidaklah sepanjang tempo yang dipakai di rumah. Tiap-tiap anak
harus mendapat didikan dan pengajaran, kebanyakan di sekolah hanyalah
ajaran, sedang didikan sebagian besar didapat di rumah.Oleh karena itu,
Hamka memiliki pemikiran bahwa pada dasarnya, sosok pendidik menurut
Hamka yang ikut bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan
Islam adalah orang tua, guru, dan masyarakat.
Adapun kriteria pendidik yang baik dikutip dari jurnal Siti Lestari
(2010: 111), menurut Hamka karakteristik pendidik harus memenuhi
kriteria sebagai berikut: berlaku adil dan obyektif pada setiap peserta
didiknya, memelihara martabatnya dengan akhlak al-karimah,
berpenampilan menarik, berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari
perbuatan yang tercela, menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa
ada yang ditutup-tutupi, memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan
tempat dan waktu, sesuai dengan kemampuan intelektual dan
perkembangan jiwa mereka, tidak menjadikan upah atau gaji sebagai
alasan utama dalam mengajar peserta didik, di samping mentransfer ilmu
(pengajaran), seorang pendidik juga dituntut untuk memperbaiki akhlak
peserta didiknya (pendidikan) dengan bijaksana (ihsan), menanamkan
keberanian mempunyai cita-cita dalam hidup, menanamkan keberanian
budi dalam diri peserta didik.
Menurut Hamka, untuk dapat mencari ilmu pengetahuan dan
membentuk sikap dengan akhlak al-karimah, maka peserta didik dituntut
untuk bersikap baik kepada guru. Sikap tersebut meliputi:
95
1. Jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu.
2. Jangan lalai dalam menuntut ilmu dan cepat merasa puas terhadap
ilmu yang sudah diperoleh.
3. Jangan merasa terhalang karena faktor usia.
4. Hendaklah diperbagus tulisannya supaya orang bisa menikmati
hasil karyanya dan membiasakan diri membuat catatan kecil
terhadap ide yang dipikirkan. Hal ini disebabkan, karena pemikiran
yang muncul belum tentu akan lahir pada saat yang akan datang.
Dengan adanya catatan tersebut, seluruh ide akan tertampung dan
hidup akan menjadi lebih sestematis.
5. Sabar, perteguh hati, dan jangan cepat bosan dalam menuntut ilmu.
(QS. Al-Kahfi (18):69).
ا ) ش ل أػص ىل أ ا صاتش إ شاء ٱلل (٩٦قاه ستجذ
Artinya:
Musa berkata: “Insyaallah kamu akan mendapati aku sebagai
seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
suatu urusan pun”. (QS. Al-Kahfi: 69) (Depag RI, 2005: 412).
Menurutnya, ayat ini merujuk pada sikap nabi Musa as. Yang
senantiasa taat dan patuh kepada perintah Allah dan berjanji untuk
senantiasa sabar terhadap berbagai cobaan. Janji yang demikian,
merupakan perumpamaan ketaatan seorang murid dihadapan
seorang guru. Sebuah kata kunci teladan murid dalam melakukan
kepatuhan dan kesabarannya pada guru yang patut ditiru.
6. Ikuti instruksi guru dalam setiap proses belajar mengajar dengan
khusyuk dan tekun (Hamka, 2015: 288-289).
96
7. Berbuat baik terhadap guru dan kedua orang tua, serta amalkan
ilmu yang diberikannya bagi kemaslahatan seluruh umat.
8. Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah, biasakan berkata
sesuatu yang bermanfaat. Hal tersebut merupakan ciri orang yang
benar-benar berilmu dan berpikiran luas (Hamka, 2015: 287).
9. Ciptakan suasana pendidikan yang merespon dinamika fitrah yang
dimiliki. Suasana tersebut hendaknya didukung dengan tersedianya
sarana dan suasana pendidikan yang mendukung seperti suasana
yang gembira, dan lain sebagainya.
10. Biasakan diri untuk melihat, memikirkan, dan melakukan analisis
secara seksama terhadap fenomena alam semesta. Pendekatan ini
dilakukan dengan cara bertafakkur terhadap fenomena alam
sebagai ayat-ayat Allah dan menjadikannya sebagai sarana
pendidikan Islam. Melalui pendekatan ini, peserta didik akan dapat
menyelammi kebesaran Tuhannya dan berbuat kebajikan terhadap
alam semesta (Hamka, 1950: 154-156).
Dalam mengikuti proses belajar mengajar, seorang peserta didik
tidak lepas dari melakukan interaksi dengan sesamanya. Agar interaksi
tersebut berjalan secara harmonis dan mendukung proses pendidikan,
maka setidaknya ada dua kewajiban yang mesti dilakukan antara sesama
peserta didik, yaitu:
1. Merasakan keberadaan mereka (peserta didik yang lain) bagaikan
sebuah keluarga dengan ikatan persaudaraan.
97
2. Jadikan teman untuk menambah ilmu. Bersama mereka,
lakukanlah diskusi dan berbagai latihan sebagai sarana untuk
menambah kemampuan intelektual sesama peserta didik (Hamka,
2015: 288).
Pemikiran Hamka mengenai kriteria peserta didik di atas sesuai
dengan pendapat A. Mustofa Bisri (2017), bahwa orang yang merasa
bodoh dan belajar, bisa menjadi pintar, dan orang yang merasa pintar,
tidak akan pernah menjadi pintar. Jadi, orang yang masih terus belajar
akan menjadi pintar. Sedangkan orang yang sudah berhenti belajar karena
merasa pandai, mulailah dia menjadi bodoh.Belajar itu tidak hanya di
sekolah, di rumah, di masyarakat itu juga termasuk belajar. Dalam hal ini,
untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat maka harus mengetahui kriteria
seorang peserta didik seperti yang diungkapkan Hamka di atas.
Menurut Hamka, lingkungan pendidikan terbagi menjadi 4 yaitu
keluarga, masyarakat, sekolah, dan pemerintah. Lingkungan keluarga
sangat berperan penting dalam menunjang pelaksanaan dan tujuan
pendidikan. Pentingnya menata lingkungan yang menunjang suasana
pendidikan, disebabkan karena peserta didik merupakan makhluk sosial
yang tak bisa dilepaskan dari komunitas sosialnya. Tidak hanya itu
seluruh sistem sosial - secara kolektif - ikut mengontrol terlaksananya
proses pendidikan, khususnya Islam. Sikap sosial yang demikian ini
merupakan perwujudan kesadaran setiap keluarga, seluruh anggota
masyarakat, maupun pemerintah terhadap proses pendidikan dan
98
pembentukan kepribadian peserta didik, sesuai dengan nilai moral yang
mereka anut.
Hamka juga menambahkan agar tujuan pendidikan secara integral
dapat tercapai, maka penentu kebijakan pendidikan hendaknya memformat
sistem pendidikan yang bernuansa religius dan menyentuh seluruh potensi
peserta didik. Keikutsertaan pemerintah dalam menata pola pendidikan
yang demikian sangat menentukan mampu atau tidaknya pendidikan
memainkan peranannya dalam menciptakan sosok peserta didik yang
berkepribadian paripurna. Ide ini terinspirasi dari sejarah politik
Rasulullah dan para sahabat yang meletakkan nilai-nilai ajaran Islam ke
dalam kebijakan sistem pendidikannya (Hamka, 1950: 180-182).
Konsep lingkungan di dalam Al-Qur‟an tertanam sangat luas, dan
konsep yang ditawarkan tentu tidak akan mewakili makna yang
terkandung di dalam Alqur‟an, karena makna lingkungan pendidikan
adalah mencakup segala sesuatu yang berada diluar peserta didik baik
berupa fisik maupun non fisik yang mempunyai pengaruh terhadap
pengembangan potensi manusia, sehingga dapat terarah dengan baik
(Muhammad Anwar, 2016: 236).
Untuk mengemukakan tujuan lingkungan dalam proses pendidikan
di dalam Al-Qur‟an maka dapat dipahami dalam firman Allah SWT Q.S.
Luqman (31): 13.
99
يؼظ لتۦ ـ إر قاه ىق ل تششك تٱلل ث ـ ۥ ي شك ىظي ٱىش إ
( (٢١ػظي
Artinya:
Dan [ingatlah] ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan [Allah] sesungguhnya mempersekutukan [Allah]
adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Luqman (31):
13)(Depag RI, 2005: 581).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Luqman adalah sosok
seorang bapak yang berfungsi sebagai keluarga (lingkungan pendidikan)
menginginkan supaya keluarganya dapat memperbaiki aqidah,
memperbaiki akhlak. Aqidah merupakan pondasi, dan apabila pondasi
kuat maka tidak akan tergoyahkan walaupun banyak yang menimpanya.
Akhlak adalah suatu kondisi, sifat dan sikap yang tertanam dan melekat
dalam jiwa, serta menjadi kepribadian, yang darinya lahir berbagai
perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memalui proses pemikiran,
perkembangan dan penelitian (Muhammad Anwar, 2016: 235-236). Jadi,
lingkungan pendidikan bertujuan untuk membina masyarakat supaya
mempunyai aqidah yang mantap serta berakhlakul karimah.
Menurut Rijal Jauhari Syahrulloh (2016), kurikulum pendidikan
Islam pada umumnya merupakan pencerminan Islami yang dihasilkan
berdasarkan pedoman hidup ummat Islam, yaitu Al Quran dan As Sunnah
yang ditransformasikan pada peserta didik dalam seluruh aktivitas dan
kegiatan pendidikan dalam prakteknya. Kurikulum pendidikan Islam
bertujuan menanamkan kepercayaan dalam pemikiran genarasi muda,
100
penguatan tauhid, peningkatan kualitas akhlak serta untuk memperoleh
pengetahuan secara berkelanjutan.
Bersesuaian dengan pendapat Rijal Jauhari Syahrulloh, menurut
Hamka (1983c: 78-86) kurikulum pendidikan Islam mencakup dua aspek,
yaitu: Pertama, ilmu-ilmu agama meliputi al-Qur‟an, al-sunnah, syari‟ah,
teologi, metafisika Islam (tasawuf); ilmu-ilmu linguistik seperti bahasa
Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusasteraan. Kedua, ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis yang meliputi ilmu-ilmu kemanusiaan
(sosial), alam, terapan dan teknologi.
Sehubungan dengan di atas, mengenai metode pendidikan atau
dakwah yang benar menurut Quraish Shihab (2017) adalah dengan cara
yang halus, yang lemah lembut. Allah berfirman kepada nabi Musa, agar
menyampaikan dakwah dengan halus kepada Fir‟aun. Karena emosi yang
berlebihan, menggebu-nggebu di atas mimbar akan berbahaya, bisa
terpeleset lidah, bisa lupa diri. Emosi yang berlebihan ini bisa mengantar
orang menuju ekstrimisme.
Bersesuaian dengan pendapat Quraish Shihab, Hamka
menambahkan bahwa da‟wah atau ajakan dan seruan membawa ummat
manusia kepada jalan yang benar itu sekali-kali bukanlah propaganda,
meskipun propaganda itu sendiri kadang kadang menjadi bagian dari alat
da‟wah. Da‟wah meyakinkan, sedang propaganda atau di‟ayah adalah
memaksakan. Da‟wah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil
menundukkan keyakinan orang. Apalagi dalam hal agama. Al-qur‟an
101
sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali tidak ada
paksaan.(QS. Al-Baqarah ayat 256) (Hamka, 1983b: 320-322).
ي ل إمشا ف ٱىذ ٱى شذ ٱىش خ قذ تثي ـ ينفش تٱىط ف
سل فقذ ٱست تٱلل يؤ ىا ل ٱفصا ثق ج ٱى يغ تٱىؼش س ٱلل
( (١١٩ػيي
Artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah
(1): 256)(Depag RI, 2005: 53).
Selain itu di dalam QS An-Nahl (16): 125 juga telah dijelaskan,
yaitu:
ػظح ٱىحسح ٱى ح سثيو ستل تٱىحن ٱدع إى ذى تٱىته ـ
و ػ سثييۦ أحس ت أػي ستل إ تذي تٱى أػي
(٢١١)
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. An-Nahl
(16): 125) (Depag RI, 2005: 383).
Pada ayat ini ada tiga pendekatan yang perlu dilakukan, yaitu;
pertama, melalui al-hikmah (kebijaksanaan, akal budi yang mulia, dada
yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian peserta didik).
Kedua, melalui al-mau;izhah al-hasanat (proses pengajaran yang baik).
102
Ketiga, melalui wa jadilhum bi al-lati hiya ahsan (bantahlah dengan cara
yang baik dan mengajak peserta didik kepada jalan pikiran yang benar)
(Hamka, 1983b: 321).Di samping pendekatan tersebut, al-Qur‟an juga
memberikan beberapa bentuk metode pendidikan Islam. Di antaranya
melalui keteledanan (QS. al-Azhab: 21), cerita atau perumpamaan (QS. al-
Maidah), nasihat (QS: Luqman: 13), hukuman (QS. at-Taubah : 74), dan
kebiasaan.
Seirama dengan pendekatan di atas, dalam bahasanya yang
sederhana, ia membagi metode pendidikan Islam kepada empat macam
metode, yaitu: metode diskusi, metode darmawisata, metode eksperimen,
dan metode resitasi atau assignment (pemeberian tugas).
Jadi, pendidikan Islam memandang bahwa hakikat kehidupan itu
adalah perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Implikasi dari
orientasi kehidupan manusia menurut Islam semata untuk mengabdikan
diri kepada Allah SWT yang Maha memiliki hamba. Insan kamil yang
menjadi target pendidikan Hamka, hal ini sejalan dengan tujuan
pendidikan Islam. Menurut Ahmad D. Marimba (1962: 45-46), bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk kepribadian yang baik
sebagai gambaran dari manusia yang ideal (insan kamil).Hal ini sejalan
dengan pendapatnya Mohammad Athiyah Al-Abrasy (1970: 10) yang
berpendapat bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dari
pendidikan Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan
sebenarnya pendidikan Islam.
103
Sependapat juga dengan M. Anis Matta tentang mengutamakan
akhlak sebagai implementasi dari aqidah, yang dipancarkan seorang
muslim. Uraian tentang ini dituliskan bahwa gambaran manusia ideal yang
harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna
akhlaknya baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Hal
ini nampak sejalan dengan misi Nabi Muhammad saw., yaitu untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia (M. Anis Matta, 2006: 60-66).
Bersesuaian dengan pendapat di atas, Quraish Shihab (2017)juga
mengemukakan bahwa dengan pendidikan agama atau pendidikan Islam
akan bertujuan untuk membumikan nilai-nilai Al-Qur‟an ditengah
masyarakat plural (majemuk), bagaimana nilai-nilai al-Qur‟an atau agama
Islam bisa diterapkan di masyarakat plural yang tentunya harus penuh
dengan toleransi, dan itu melalui pemahaman terhadap al-Qur‟an. Beliau
merasa yakin bahwa orang yang paham dengan al-Qur‟an tidak mau
melakukan perpecahbelahan, pada setiap permasalahan pasti ketemu titik
tengahnya. Bahkan, dengan nonmuslim pun akan ketemu, sebagai mana
telah dijelaskan dalam al-Qur‟an surah Al-Hujurat ayat 11, yaitu
ا أ ينا خيش ػس ق ا ل يسخش ق ءا أيہا ٱىزي ـ ي
ا خيش أ ين ساء ػس ل ساء ہ ہ ا ل تي
ة ـ ا تٱلىق ل تات أفسن ـ ي تؼذ ٱ ٱىفس ٱلس ت ى
. ي ـ ٱىظ ه ل ـ ى سج اىحجشاخ يتة فأ (٢٢)س
Artinya:
104
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-
olok kaum yang lain [karena] boleh jadi mereka [yang diolok-
olok] lebih baik dari mereka [yang mengolok-olok] dan jangan
pula wanita-wanita [mengolok-olok] wanita-wanita lain [karena]
boleh jadi wanita-wanita [yang diperolok-olokkan] lebih baik dari
wanita [yang mengolok-olok] dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri [1] dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-
gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah [panggilan]
yang buruk sesudah iman [2] dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-
Hujurat (49): 11)(Depag RI, 2005: 744-745)
Toleransi di sini berarti suatu sikap seseorang atau kelompok
mayoritas dan minoritas untuk saling menjaga perasaan atau saling
menghormati. Sikap toleransi yang tumbuh dari masing-masing individu
memberikan bilai tersendiri apabila ia terjun ke masyarakat. Tanpa adanya
toleransi maka di masyarakat bisa sering terjadi pertengkaran, perkelahian
ataupun bisa saling mematikan kelompok satu dengan kelompok lain.
Toleransi memberikan perlindungan pada kelompok minoritas dari
kelompok-kelompok mayoritas. Lingkup toleransi tidak hanya pada satu
bidang saja, namun ada cukup banyak bidang atau lingkup yang
membutuhkan toleransi (Lia Dwi Purwanti, 2016: 85).
Oleh karena itu, pendidikan agama sangat diperlukan, tidak hanya
untuk mengatasi munculnya dikotomi ilmu umum dan ilmu agama, akan
tetapi lebih jauh lagi, dengan ilmu agama atau pendidikan Al-Qur‟an maka
seseorang memiliki cara berfikir yang tidak fanatik, dia akan mampu
menengahi setiap permasalahan dan juga akan lebih mampu bertoleransi
setiap perbedaan pendapat maupun keyakinan, karena pendidikan bukan
105
hanya tentang mengisi otak tetapi bagaimana memperbaiki akhlak, dan
menyempurnakan kualitas hubungan jiwa manusia dengan Tuhannya.
Maka, apabila dianalisis pemikiran Hamka tentang pendidikan
integral ini merupakan sarana untuk membentuk watak, pribadi manusia
yang telah lahir ke dunia supaya menjadi orang yang berguna dalam
masyarakatnya, agar dia mampu mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk. Di dalam pendidikan jangan hanya mementingkan
materialistik karena tidak jelas tujuan hidup dan nilai rohani. Selain itu,
pendidikan juga harus didasarkan kepada kepercayaan bahwa di atas dari
kuasa manusia ada lagi kekuasaan Maha Besar, yaitu Tuhan. Karena itu,
pendidikan modern harus kembali kepada agama. Kecerdasan otak
tidaklah menjamin keselamatan kalau rohani keagamaan tidak dijadikan
dasarnya.
C. Implikasi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral dalam
Pendidikan Sekarang di Indonesia
Melihat sepak terjang Buya Hamka serta bagaimana pemikiran dan
cara beliau memperbaharui pendidikan Islam di Indonesia pada masanya
memberikan referensi agar menerapkan pemikiran beliau di dalam
lembaga pendidikan kontemporer di Indonesia. Melalui pemikirannya,
beliau berusaha untuk membangun manusia dan masyarakat yang
bermartabat, berwatak akhlakul karimah, cerdas, memiliki pribadi hebat,
integratif, komparatif, dan kompetitif dalam menghadapi berbagai
106
perkembangan dan perubahan dalam kehidupan. Tegasnya, pendidikan
integral membangun manusia agar mampu menunaikan “amanah”
kehidupannya secara baik yang membawanya pada kehidupan selamat,
maju, sejahtera, bermartabat dan berperadaban dalam kehidupannya.
Pendidikan dikembangkan melalui prinsip integral, terpadu dan
proporsional berdasarkan nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman
secara utuh, interaktif, seimbang, dinamis dan integratif agar semuanya
teraktualisasi dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang membawa
pada derajat peradaban umat manusia. Pendidikan integral merupakan
pendidikan Islam yang ideal, pendidikan konstruktif. Pendidikan ini
berdasar dari pendidikan Islam, maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan
pendidikan ini dapat menjadi paradigma pendidikan manusia, pendidikan
masa depan, dan pendidikan masyarakat seluruhnya.
Pemikiran Hamka tentang pendidikan Islam didasarkan pada empat
aspek yaitu; ( اىفطشج )peserta didik; jiwa ( اىقية ), Jasad ( اىجس), dan akal
dengan empat aspek tersebut jelasbahwa Hamka lebih menekankan ( اىؼقو)
pemikiran pendidikannya pada aspek pendidikan jiwa atau akhlakul al-
karimah (budi pekerti) (Hamka, 2015: 40).
Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya sudah ideal, sudah
sempurna, sinergi dengan aktivitas dan tujuan kehidupan manusia. Akan
tetapi pada kenyataanya, orang-orang yang mempelajari pendidikan Islam
cenderung tidak totalitas sehingga banyak dikalangan remaja keluaran
sekolah tinggi memiliki cita-cita yang lemah, tidak kuat menghadapi
107
kehidupan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang kekurangan akhlak,
tidak memiliki sopan santun, akidahnya pun lemah maka kebanyakan dari
mereka masih memandang adanya dikotomi antara ilmu umum dan ilmu
agama.
Berdasar pemikiran Hamka, maka dalam mempelajari pendidikan
Islam harus Integral, sempurna, utuh, totalitas agar terciptalah manusia
paripurna (insan kamil) dan mampu menghadapi permasalahan-
permasalahan di dalam kehidupan.
Ketegasan warna pemikirannya ini dapat dibuktikan dengan
melihat orientasi karya tulisnya, seperti Falsafah Hidup, Lembaga Hidup,
Lembaga Budi, Tafsir Al-Azhar, dan Tasawuf Modern. Melalui karya-
karyanya tersebut terlihat bagaimana ia menekankan pendidikan jiwa
sebagai barometer kehidupan manusia dan alat kontrol dinamika akal. Ia
mencoba merangkai pemikirannya dengan pendekatan modern dan
meletakkan kekuatan akal sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan
jiwa. Di sini, potensi akal sebagai sarana atau alat, sementara tujuan akhir
adalah terbentuknya jiwa yang sempurna. Kesempurnaan jiwa akan dapat
terlihat dari pantulan kepribadian peserta didik dengan bentuk akhlaq al-
karimah.
Dalam hubungan dengan pendidikan akhlak, dalam “Tafsir Al-
Azhar”nya jilid 6, beliau memberi uraian yang jelas dan mendetail yang
berhubungan dengan maksud-maksud QS. Al Isra‟ ayat 23-39 Surah bani
Isra‟il yang menyentuh: akhlak dan adab kesopanan dengan Allah supaya
108
jangan syirik terhadapnya, dan supaya bersyukur kepadanya, menghormati
ibu bapak, rendah diri terhadap keduanya, menunaikan hak dan berbuat
baik kepada kaum kerabat, orang-orang miskin, orang yang terlantar
dalam perjalanan, supaya jangan melakukan mubazzir, juga jangan
bersikap bakhil, supaya jangan membunuh tanpahak, seperti jangan
membunuh anak karena takut pada kemiskinan, jangan manghampiri zina,
jangan memakan harta anak yatim secara terlarang, dan supaya
melaksakan semua janji. Juga anjuran supaya menggunakan timbangan
yang betul dalam perniagaan, dan supaya jangan mengikut sesuatu tanpa
ilmu, sebab manusia akan ditanya tentang pendengaran, penglihatan dan
hati. Juga dianjurkan supaya manusia tidak berlagak sombong di bumi,
dan diakhiri dengan perintah supaya manusia jangan bersikap syirik sebab
itu akan memusnahkan manusia dalam Neraka Jahanam, uraian-uraian
beliau berdasarkan kefahaman yang berdasarkan pada ayat-ayat Quran,
Sunnah dan juga pendapat para ulama mutaakhkhirin, dan para ulama
zaman modern.
Dalam kaitannya dengan etika pribadi dan kekeluargaan, Hamka
merujuk pada Qur‟an surah Luqman ayat 12-19, kemudian beliau tulis
dalam Tafsir al-Azhar jilid 6. Beliau menguraikan dengan panjang lebar
pembelaan terhadap nilai-nilai yang dibentangkan, seperti mengedepankan
nilai kehidupan dengan bersyukur kepada Allah, yang mendatangkan
kebaikan kepada manusia itu sendiri, larangan melakukan kesyirikan dan
menisbahkan kekuasaan Tuhan kepada tenaga-tenaga atau makhluk,
109
diikuti dengan nilai-nilai berbuat baik kepada ibu bapa dan bersyukur
kepada Tuhan, larangan ta‟at kepada ibu kalau mereka mengajak kepada
kesyirikan tetapi ajakan bersahabat dengan baik kepada mereka dalam
dunia, suruhan mengikut jalan mereka yang berpaling kepada Tuhan
dengan taubat dan keta‟atan, suruhan melaksanakan sembahyang,
melakukan amar makruf dan nahi munkar, anjuran bersabar dalam
menghadapi kesulitan hidup, larangan dari bersikap takabur dan sombong,
dan suruhan supaya bersikap sederhana dalam gerak gerik, serta suruhan
melembutkan suaradalam percakapan. Semua uraian-uraian beliau
mengukuhkan nilai-nilai rabbani dalam Quran supaya diamalkan oleh
manusia dan masyarakat serta keluarga yang beriman.
Muncul pertanyaan kenapa di kalangan remaja banyak yang tidak
mampu menghadapi permasalahan kehidupan, bahkan keluaran sekolah
tinggipun memiliki cita-cita yang lemah, kurangnya akal budi, dan
kemauan. Hal ini karena pribadi manusia lemah. Dalam hal ini, kontribusi
Hamka untuk hidup di zaman sekarang anak perlu dididik agar percaya
kepada diri sendiri. Merdeka pahamnya, sehingga jika ia dewasa tidak
memberatkan orangtuanya. Hidup itu tidaklah akan berarti kalau tidak
dengan gerak, usaha kerja, tadbir (mengatur, mengurus, mengelola), dan
baik kelakuan. Hal ini supaya tercapailah ilmu, rejeki, kesenangan pikiran,
dan kemuliaan. Apabila tumbuh pendirian demikian dengan suburnya,
maka anak-anak itu akan berani hidup. Sebab berani hidup jauh lebih
mulia dari berani mati. Jangan sampai anak itu menyerah saja kepada
110
orang lain. Pantangnya menumpang-numpang. Dia tidak kenal malas dan
lembek. Mukanya senantiasa jernih, walaupun dalam keadaan payah dan
lelah. Hendaklah orang tua menyuruh anaknya mempelajari bahasa asing
sebanyak-banyaknya. Sebab jika ada kata „Arif, “Bila satu lidah
mengetahui bahasa, satu kemanusiaan bertambah.”Orang yang tahu dua
bahasa samalah artinya dengan mempunyai dua diri.Apalagi zaman
sekarang, dunia telah kecil karena cepatnya perhubungan dan sudah
banyak pergaulan di antara bangsa-bangsa (Hamka, 2015: 308).
Menurut Hamka, sekolah berfungsi sebagai tempat melatih budi
dan persiapan untuk hidup bermasyarakat. Halaman dan pekarangan
sekolah adalah tempat melatih budi.
Kemandirian menjadi persoalan yang penting untuk menghadapi
social engenering. Kalau hanya bergantung kepada kepegawaian negeri
maupun swasta maka dengan sendirinya tidak dapat menikmati freedom
from want, tidak mau lagi mencari rezeki sendiri karena takut menghadapi
risiko. Pemuda saat ini jangan hanya mengikui arus yang sudah biasa.Oleh
karena itu, pendidikan juga harus mampu mengajarkan bagaimana
berinisiatif, menumbuhkan daya cipta, mencoba sesuatu yang belum
dilakukan orang.
Hamka lebih menekankan kepada pembentukan jiwa anak dan
persiapan untuk hidup bermasyarakat. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh
pemikiran pendidikannya yang menitikberatkan kepada pembentukan
akhlak dan berlandasan pada tujuan pendidikan yaitu menjadi orang yang
111
bermanfaat bagi masyarakat. Itu adalah lantaran perjuangan mereka tidak
dari niat. Niat tidak ditanamkan sejak dari atap sekolah, namun sejak dari
rumah.
Dalam mencapai pendidikan Integral memerlukan pribadi yang
hebat. Pribadi ini berfungsi untuk memperoleh kesempurnaan dan
kesuksesan hidup. Supaya tercapai kesempurnaan pribadi, ada empat
syarat yang harus dilakukan. Syarat pertama, yaitu harus jelas dan nyata
pendapat akal kita tentang suatu persoalan walaupun berbeda dengan
pendapat orang lain. Apa yang diucapkan adalah apa yang diyakininya dan
apa yang diyakininya, berani dia ucapkan (Hamka, 2014: 128-189).
Syarat kedua haruslah memiliki sifat tanggung jawab. Berani
bertanggung jawab membuat orang yang kuat menjadi lebih kuat.
Pedoman dalam memilkul suatu tanggung jawab adalah jiwa sendiri.
Dalam jiwa yang bertujuan suci dan berkehendak mulia senantiasa muncul
ilham menghadapi pekerjaan. Di sana terletak kebesaran jiwa orang yang
suci dan bertanggung jawab. Jika kita bermasyarakat, pasti ada lawan kita.
Seseorang yang tidak memiliki lawan hanyalah orang yang tidak berani
bertanding (Hamka, 2014: 131-132).
Syarat ketiga adalah sabar. Kesempurnaan tanggung jawab adalah
sabar. Menurut Syekh Muhammad Abduh, seorang ahli filsafat Islam,
Sabar adalah ibu segala akhlak. Pribadi yang kuat tidak cepat terguncang.
Orang yang lemah tetap bersabar akan lebih menang daripada orang kuat
tetapi terburu-buru dan terlalu bernafsu. (Hamka, 2014: 138).
112
Syarat keempat adalah harus memiliki kemauan yang keras.
Kesempurnaan pribadi terletak pada kesempurnaan kemauan.
Bagaimanapun tajamnya pikiran seperti ahli filsafat yang besar dan halus
perasaan seperti penyair atau pelukis, tidaklah akan terlaksana cita-cita
jika kemauan tidak ada. Tercapainya cita-cita atau terlaksananya suatu
pikiran yang besar adalah karena kemauan. Kemauan menimbulkan
ketabahan, kegigihan, dan keteguhan (Hamka, 2014: 139-140).
Melihat kondisi pendidikan kontemporer sangat memprihatinkan,
maka kita bisa merujuk kepada pemikiran Hamka, bagaimana kiprah
Hamka dalam merubah pendidikan tradisional menjadi modern.
Keterlibatannya dalam di dalam pendidikan formal merupakan sarana
yang strategis untuk memasukkan pemikiran-pemikiran modernnya.
Keinginan untuk mendirikan institusi pendidikan akhirnya tercapai dengan
berdirinya Tabligh School di Padang Panjang, tahun 1931, dan Tabligh
School di Makassar tahun 1932. Tujuan Tabligh School didirikan di
Padang adalah untuk mencetak muballigh Islam yang akan disebar ke
daerah-daerah di Minangkabau (Hamka, 1979: 21).
Adapun tujuan institusional pendidikan Tabligh School di
Makassar adalah untuk mempersiapkan calon guru madrasah (semacam
kursus guru) dan menyiapkan peserta didik menjadi muballigh, juru
penerang keagamaan, dan tenaga khatib di masjid-masjid yang ada.
113
Di samping Tabligh School, di kota Makassar juga didirikan
sekolah dasar dengan nama “Munier School” dan “HIS Muhammadiyah”.
Pola pendidikannya mengambil corak model pendidikan modern.
Sekembalinya dari Makassar pada tahun 1934, ia mendirikan
Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah di Padangpanjang. Lembaga ini
dikelolanya sejak tahun 1934 sampai tahun 1935. Ia mengajarkan ilmu-
ilmu penting seperti ilmu ushul fiqh, mantiq, ilmu ikhtilaful mazahib
(memkai kitab Bidayatul Mujtahid), tafsir (tafsir al-Manar), dan „ilmu
„arudh (timbangan syi‟ir bahasa Arab), beliau juga mengajarkan ilmu
mengarang dan teori berpidato (tabligh) (Hamka, 1979: 32-33). Cara
mengajarnya yang dinamis dan bervariasi, pengetahuannya yang luas,
serta kepribadiannya yang dapat dijadikan teladan, merupakan salah satu
faktor penarik tersendiri. Untuk itu, tak heran jika sebagian murid-
muridnya di Makassar datang ke Padangpanjang untuk belajar di
Kulliyatul Muballighin.
Pendidikan Kulliyatul Mubalighin dilaksanakan dua kali
sehari.pada pagi hari, pelaksanaanya mengambil tempat di ruang shalat
berjamaah bagian dalam asrama Muhammadiyah. Sementara di malam
hari, setelah shalat isya‟, pelaksanaan pendidikan mengambil tempat di
lokal sekolah HIS Muhammadiyah.
Berbekal kemampuan intelektual dan pengalaman sebagai pendidik
sewaktu di Tabligh School dan Kulliyatul Muballighin Makassar, sangat
banyak membantu keberhasilannya sebagai pendidik dan sekaligus
114
mengembangkan Kulliyatul Muballighin di Padangpanjang. Dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar, ia dibantu oleh A.R. Sutan Mansur
yang mengajar tafsir Al-Qur‟an dan Saalah Sutan Mangkuto yang
mengajarkan dasar-dasar ilmu hukum (Hamka, 1979: 34).
Pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai
keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup, serta
cara beliau mengajar yang dinamis dan bervariasi, pengetahuannya yang
luas, serta kepribadiannya yang dapat dijadikan teladan, merupakan salah
satu faktor penarik tersendiri, pemikiran seperti inilah yang sangat
dibutuhkan di dalam kehidupan saat ini. Pribadi tangguh yang dilahirkan
di tanah Minangkabau ini memberikan teladan untuk bersikap dewasa dan
menghargai pluralism serta mengakui perbedaan.
Perbedaan keyakinan bukan jalan untuk melakukan permusuhan.
Hemat penulis, melihat dari jejak Hamka, apabila beliau memiliki
perbedan prinsip keagamaan ia malah melakukan hubungan baik, namun
kalau sudah menyangkut masalah kebangasaan beliau justru menentang
kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hingga dia masuk kedalam jeruji
penjara. Namun jeruji penjara tidak membuatnya menjadi seorang yang
lemah, justru karena kemerdekaan jiwa dan pikirannya beliau mampu
melahirkan mahakarya berupa Tafsir Al Azhar.
Apa yang dilakukan Hamka dalam penokohan di atas, menurut
penulis merupakan salah satu cara dakwah beliau yang menunjukkan
kepada pembaca bahwa betapa mulia orang yang berilmu dan ahli ibadat.
115
Dakwah yang dilakukan beliau sangat halus. Cara dakwah seperti ini, jika
melihat karya-karya sastra pada zaman itu yang rata-rata penuh tendensi,
tentunya adalah suatu hal yang bisa kita nilai pula sebagai kelebihan
Hamka. Keterbukannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap
dasar toleransi adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua
peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang
dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan
berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa in idiolah dan dibangun dengan
cara pandang yang terbuka pula.
Melalui pemikiran Hamka tentang pendidikan integral yang
didasarkan pada pendidikan Islam, hal hal yang perlu diperhatikan adalah
perlu adanya kerja sama yang harmonis antara orang tua, pendidik,
masyarakat, dan negara terhadap kelangsungan proses pendidikan. Kedua
orang tua hendaknya menyadari eksistensinya sebagai pemegang amanat
untuk mempersiapkan anak dengan perangkat dasar ilmu pengetahuan dan
akhlak sebelum mereka memasuki jenjang pendidikan formal. Seorang
pendidikan dituntut untuk menjunjung tinggi profesionalitasnya. Peserta
didik diharapkan untuk senantiasa kreatif, berkemauan keras dan pantang
putus asa untuk mengembangkan ilmu, memiliki kepribadian utuh dan
berahlak mulia, serta mengaplikasikan seluruh ilmu yang dimilliki
sehingga eksistensinya membawa rahmat bagi seluruh alam. Peran
masyarakat juga penting dalam menciptakan control yang efektif.
Pemegang dan penentu kebijakan pendidikan seyogianya profesional dan
116
secara efektif menunjang terciptanya dinamika pendidikan, baik fisik-
material maupun kebijakan administrasi.
Oleh karena itu, pemikiran Islam ini perlu dicermati dan dibangun
secara integral dengan meletakkan konsep dasar ketuhanan sebagai dasar
sumber nilai, inspirasi, dan motivasi untuk diterapkan dalam wujud
kehidupan manusia serta dikembangkan dalam membangun kehidupan
alam semesta yang kesemuanya ini pada prinsipnya merupakan konsep
ilahiyah ke dalam kehidupan insaniyah sekaligus alamiyah. Pemikiran ini
kiranya menjadi wacana dalam membangun konsep pendidikan Islam
secara utuh yang berangkat dari konsep ketuhanan, kemanusiaan dan
kealaman yang integratif, dinamis dan kompetitif dalam mengembangkan
keutuhan kehidupan manusia melalui proses kependidikan Islam
kotemporer.
Pemikiran pendidikan integral perspektif Hamka ini diharapkan
mampu memberikan rangsangan sekaligus inspirasi dalam membangun
konsep pendidikan Islam yang ideal. Betapa pun sederhananya suatu
karya, manakala dikembangkan dengan baik akan memberikan makna
yang besar bagi kemajuan suatu keilmuan dan peradaban umat manusia.
117
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setalah penulis melakukan penelitian tentang pendidikan integral
perspektif Hamka, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pemikiran Hamka tentang pendidikan integral adalah pendidikan
dengan memadukan antara potensi-potensi yang terdapat pada diri
manusia yaitu potensi jasmani dan potensi rohani dengan
lingkungannya (baik lingkungan sosial maupun alam) dengan cara
mengharmonisasikan kembali relasi antar Tuhan-alam dan wahyu-akal
untuk mewujudkan peserta didik yang kaffah. Beliau lebih
menekankan pada pembentukan watak, jiwa, pribadi manusia agar
berakhlak mulia.
2. Pendidikan integral sangat relevan dalam pendidikan sekarang di
Indonesia dalam rangka menumbuhkan dan menguatkan pribadi
individu sebagai solusi alternatif di tengah-tengah berbagai masalah
ketimpangan pendidikan yang terjadi di mana akar masalahnya
disebabkan dari lemahnya pribadi. Selain itu, relevansi tersebut dapat
dilihat dari upaya praktis untuk menumbuhkan perubahan paradigma
pendidikan dalam merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikan Islam
yang seimbang dengan ranah ta‟lim, tarbiyah, dan ta‟dib secara
menyeluruh dan terintegrasi dengan satu kata pribadi. Pendidikan ini
118
berdasar dari pendidikan Islam, maka dapat dinyatakan bahwa
keberadaan pendidikan ini dapat menjadi paradigma pendidikan
manusia, pendidikan masa depan, dan pendidikan masyarakat
seluruhnya.
B. Saran
1. Di Indonesia ini diharapkan sekolah-sekolah atau universitas-
universitas yang ada, dapat menerapkan pendidikan integral.
2. Bagi orang tua atau wali murid pada umumnya, agar memilih sekolah
yang berbasis Islam seperti belajar di pondok pesantren, supaya anak-
anaknya selain dapat menguasai ilmu umum juga dapat menguasai
ilmu agama. karena dalam pendidikan Islam sudah mengajarkan
keseluruhan.
119
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abd. Rahman. 2001. Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam.
Yogyakarta: UII Press.
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 1990. Teori-Teori Pendidikan berdasarkan Al-
Qur‟an. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdullah, Amin. 2016. Metodologi Penelitian Agama (Pendekatan
Multidisipliner). Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.
Abdurrahman, Muhammad. 2003. Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas
Moralitas Pendidikan. Jogjakarta: Prismasophie.
Abrasi, Moh. Athiyah. 1970. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj.
Djohar Bahry,L.I.S. dan Prof. Bustami A. Gani. Jakarta: Bulan Bintang.
Ahmad Hakim, M. Thalhah. 2005. Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik
Hamka. Yogyakarta: UII Press.
Anwar, Muhammad. 2016. Lingkungan Pendidikan dalam Al-Qur‟an :
(Pengaruhnya dalam Proses Pendidikan) (Online). Vol. 4, No. 2
Desember 2016, http://jurnal.iainpalu.ac.id/ diakses 10 Agustus 2017.
Azis, Sholechul. 2013. 160 Sejarah Lengkap Pahlawan Indonesia. Jakarta:
Kuncikom.
Bisri, A. Mustofa. 2017. Mata Najwa : cerita dua sahabat. Jakarta: Metro TV.
Tayang 6 Agustus 2017.
Dahlan, Rahman Abd. 1997. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur‟an. Bandung:
Penerbit Mizan.
Daradjat, Zakiah. 1982. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental.
Jakarta: Bulan Bintang.
2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dartim, 2016. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam menurut Buya Hamka
Tahun 1950-1980: Telaah Buku Falsafah Hidup dan Peribadi Hebat
(Publikasi Ilmiah). http://eprints.ums.ac.id/46121/31, diakses 2 Agustus
2017.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al-Qur‟an dan Terjemahnya.
Surabaya: CV Karya Utama Surabaya.
120
Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research.Yogyakarta: Andi Offset.
Hamka. 1950. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat.
1952. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1979. Kenang-kenangan Hidup. Jilid 2. Jakarta: Bulan Bintang.
1983a. Lembaga Budi. Jakarta, Pustaka Panjimas.
1983b. Tafsir Al Azhar: Juz IV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
1983c. Tafsir Al Azhar: Juzu‟ XIII-XIV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
1983d. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas.
1992. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang.
2014. Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani.
2015. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika Penerbit.
2016a. Angkatan Baru. Jakarta: Gema Insani.
2016b. Dari Hati ke Hati. Jakarta: Gema Insani.
Jannah, Roudlotul. 2015. Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan
Budi Pekerti (Skripsi). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Program
Studi PAI STAIN Salatiga.
Karim, M. Rusli. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta,
ed. Muslih usa Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Kumayi, Sulaiman. 2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym.
Semarang: Pustaka Nuun.
Langgulung, Hasan. 1991. Asas-Asas Pendidikan Islam. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Lestari, Siti. 2010. Pemikiran Hamka tentang Pendidik dalam Pendidikan
Islam (Skripsi). http://library.walisongo.ac.id/, diakses 24 Mei 2017.
Marimba, Ahmad D. 1962. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma‟arif.
121
Matta, M. Anis. 2006. Membentuk Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I‟tishom
Cahata Umat.
Muchtar, Heri Jauhari. 2005. Fikih Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Nashir, Abdul. 2006. Buya Hamka dan Mohammad Natsir tentang Pendidikan
Islam (Online). Vol.3, No.1, Shafar 1428,
(http://download.portalgaruda.org/, diakses 26 Juli 2017).
Nata, Abudin. 1997. Filasafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
Hamka tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Pramuko, Yudi. 2001. Hamka Pujangga Besar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Purwanti, Lia Dwi. 2016. Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya Hamka. (Skripsi).
Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Salatiga.
Rusydi, H. 1983. Pribadi dan Bermartabat Buya Prof. Dr. Hamka. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Saidi, Zamrud Ridwan. 1993. Nuansa Baru Kehidupan dari Pemikiran Bung
Karno. Jakarta: LPIP.
Shihab, M. Quraish. 2017. Mata Najwa : cerita dua sahabat. Jakarta: Metro
TV. Tayang 6 Agustus 2017.
Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kuaitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Syahrulloh, Rijal Jauhari. 2016. Kurikulum Pendidikan dalam Perspektif Al-
Qur‟an (Online). http://rjsyahrulloh.blogspot.co.id/, diakses 10 Agustus
2017.
http://repository.upi.edu/7475/43/d_pu_0601208_chapter2.pdf : Model
Pendidikan Nilai Berbasis Zikir dan Doa dalam Mengembangkan
Kepribadian Kaffah (Online). Universitas Perpustakaan Indonesia.
Diakses 9 Agustus 2017.
122
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Kunni Farikhah
Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 15 Oktober 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Dsn. Jengkol RT 006/ RW 002 Ds. Donorojo,
Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang
Riwayat Pendidikan :
1. TK Dharma Wanita Ngadirejo Tegalrejo Magelang
2. SD Negeri Donorojo Tegalrejo Magelang
3. SMP Negeri 2 Secang Magelang
4. SMK Negeri 2 Kota Magelang
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 25 Agustus 2017
Penulis
Kunni Farikhah
NIM. 111-13-273
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132