152
PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI TESIS Oleh: Hisnuddin 21160110000014 PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF

JALALUDDIN RUMI

TESIS

Oleh:

Hisnuddin

21160110000014

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020 M/1441 H

Page 2: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI
Page 3: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI
Page 4: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI
Page 5: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI
Page 6: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

ABSTRAK

Nama Penulis : Hisnuddin

N I M : 21160110000014

Judul Tesis : Pendidikan Cinta Kasih Perspektif Jalaluddin Rumi

Tujuan penelitian ini ialah untuk menelaah pendidikan ruhani yang berbasis cinta kasih

dari Jalaluddin Rumi dan mengungkapkan konstribusi pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi

dalam dunia pendidikan agama Islam. Penelitian ini menggunakan studi pustaka (Library

Research) yang mengkaji pemikiran Rumi yang menekankan pentingnya cinta kasih sebagai

ruh pendidikan Islam. Penelitian ini menggunakan karya-karyanya sebagai rujukan, seperti;

Matsnawi, Diwan-i Syams Tabrizi, Rubaiyat, dan Fihi Ma fihi. Di akhir penelitian ini

diperoleh hasil bahwa cinta yang dimaksud Rumi berbeda dengan konsep cinta pada

umumnya. Rumi lebih jauh berbicara tentang cinta sebagai nilai tertinggi kepada Tuhan,

melalui ajaran dari guru spiritualnya Syamsuddin at-Tabriz. Penulis menemukan konsep

pendidikan ruhani Jalaluddin Rumi sebagai ajaran tentang pengalaman sufi yang menekankan

cinta sebagai penggerak utama manusia menuju Allah.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian Miswari (2018) Senandung Cinta Penuh

Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi; Syamsul Ma’arif (2017) Konsep Mahabbah

Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan Konseling Islam; Syamsun Ni’am

(2001) al-Hubb al-Ilahi: Studi Perbandingan antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin

Rumi. Sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian yang sama mengenai konsep

pendidikan cinta kasih menurut Rumi. Dapat dikatakan penelitian ini masih sangat baru dan

relevan untuk dikaji.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis teks. Sumber

data primer didapatkan dari pemahaman makna yang terdapat pada setiap bait-bait syair, kata,

dan hikayat. Hasil dari pemahaman makna secara keseluruhan dilakukan penafsiran dan

pengkategorian yang terkandung dalam karya-karya Rumi. Berdasarkan dari hasil penelitian

bahwa konsep pendidikan cinta kasih dalam perspektif Rumi yaitu; Pertama, mahabbah

sebagai kendaraan menuju Allah, yaitu totalitas murid dalam mengabdi kepada Allah; Kedua,

‘isyq yaitu mahabbah dalam tingkat lebih tinggi yang membakar kerinduan murid untuk

segera berjumpa dengan Allah; Ketiga, fana>’ (peleburan diri dalam diri Allah) yaitu keadaan

hati murid yang telah kosong dari segala penyakit hati, dan berhasil membersihkan dirinya

dari segala kotoran sehingga hanya ada Allah semata.

Kata Kunci: Pendidikan, Cinta Kasih, Rumi.

Page 7: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

ملخص

: حِصن الدين الباحث

3220122111112رقم القيد:

عنوان الرسالة: تربية الحب من منظور جلال الدين الرومي

جلال الدين حية الدبنية على الحب الذي قدّموإلى الكشف عن التًبية الرو ىدفت ىذه الدراسةالدراسة البحث الدكتبي الذي استخدمتفية في لرال التًبية الإسلامية. والكشف عن إسهام أفكاره الصو الرومي

كما أنها على أهمية الحب باعتباره روح التًبية الإسلامية. تتركز حيثجلال الدين الرومي بحث في أفكار يكتب الدثنوي، وديوان الشمس التبريزي، ورباعيات، وفيو ما فيو. في النهاية من مرجعا لذا، وؤلفاتاستخدمت م

يختلف عن مفهوم الحب في جلال الدين الرومي قدمّوتوصلت ىذه الدراسة إلى النتيجة أن مفهوم الحب الذي ومثل ،اعتبر الحب بأنو القيمة العليا عند الربأبعد عن ذلك حيث إنو عن الحبتحدث فهومفهومو العام،

ىذا الدفهوم تناولو الرومي من مربيو الروحي شمس الدين التبريز. إضافة إلى ذلك وجد الباحث أن مفهوم التًبية لزرّك الناس الروحية عند جلال الدين الرومي يعتبر من تعاليم الخبرة الصوفية التي تؤكد على الحب باعتباره

الرئيسي تجاه الله.

في بحثو تحت العنوان م( 3122تختلف ىذه الدراسة عن دراسة مسواري ) Senandung Cinta Penuh

Makna: Analisis Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi بالعنوان: م(3122ودراسة شمس الدعارف )، Konsep Mahabbah Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan

Konseling Islam تحت العنوام( 3112، ودراسة شمس النعم ) al-Hubbu al-Ilahi: Studi

Perbandingan antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi نظرا إلى ذلك، فلم يجد . الذي قدّمو البحث منظور الرومي. ويدكن القول إنفي مفهوم تربية الحب من تبحثنفس الدراسة التي الباحث

.دراستوا وىاما لجديدبحثا يعتبر الباحث

فهو بحث نوعي من نوع دراسة تحليل النص أو البحث الدستخدم في ىذه الأطروحةمدخل وأما والكلمات وأما مصادرىا الأولية فتم الحصول عليها من فهم الدعاني التي يحتوي عليها أبيات الشعر، المحتوى.

. وقد توصل ىذا البحث إلى النتائج، يحتوي عليها مؤلفات الرومي والحكايات.ثم يتم تفسير وتصنيف الدعاني التي عتبري ، : العشقثانيافي عبادة الله. شخصتعتبر مركبا تجاه الله. وىي عبارة عن كمال الالتي : المحبةأولاأهمها: الفناء )اتحاد النفس :ثالثافي أقرب وقت ممكن.و للقاء الله التي تحرق الشخص ةيمن المحبة في الدرتبة الثان العشق

القلب المجرد من الأمراض الروحية والناجح في تزكية النفس من كل الشوائب حتى لا يكون بالله( وىو عبارة عن سوى الله.معو

التًبية، الحب، الرومي الكلمات الأساسية:

Page 8: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

ABSTRACT

Name : Hisnuddin

Student ID : 21160110000014

Thesis Title : Love Education in the Perspective of Jalaluddin Rumi

The purpose of this study is to examine the spiritual education based on

love from Jalaluddin Rumi and to reveal the contribution of the thoughts of Sufism

of Jalaluddin Rumi in the world of Islamic religious education. This study employed

library research that examined Rumi's thoughts, which emphasized the importance

of love as: Matsnawi, Diwan-i Syams Tabrizi, Rubaiyat, and Fihi Ma fihi. This

research also found that the love referred to by Rumi was different from the concept

of love in general. Rumi further spoke of love as the highest value to God, through

the teachings of his spiritual teacher, Syamsuddin at-Tabriz. The author discovered

the concept of spiritual education of Jalaluddin Rumi as teaching about Sufism

experiences that emphasized love as the prime stimulus of man towards Allah.

This research is different from research by Miswari (2018) Senandung

Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi; Syamsul Ma’rif

(2017) Konsep Mahabbah Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan

Konseling Islam; Syamsun Ni’am (2001) al-Hubb al-Ilahi: Studi Perbandingan

antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. So far, the author have not

found yet, any similar research regarding the concept of love education according to

Rumi. It can be said that this research is still very new and relevant.

This research method used was a qualitative approach with text analysis.

Primary data sources obtained from understanding the meaning contained in each

verse verses, words, and saga. The result of understanding the meaning as a whole

is done by means of interpretation and categorization contained in Rumi's works.

The results of this research revealed that the concepts of love education in Rumi's

perspective are: first, mahabbah as a vehicle to God, namely the totality of students

in serving God; secondly, 'isyq, which is a higher level of mahabbah which ignites

the desire of the students to immediately meet Allah; third, fana (self-amalgamation

in God) is the condition of the disciple's heart that has been empty of all heart

disease, and successfully cleansed himself of all impurities so that there is only

Allah alone.

Keywords: Education, Love, Rumi

Page 9: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan

A. Transliterasi

Tabel sistem transliterasi Arab-Latin

dari Institute of Islamic Studies, McGill University.

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

s{ = ص

d{ = ض

t{ = ط

z{ = ظ

ع = ‘

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

1. Pendek: a = ´ ; i = ِ ; u = ِ

2. Panjang: a< = ا ; i> = ي ; ū = و

3. Diftong: ay = ا ي ; aw = ا و

4. Kata ال ditulis dengan al- seperti الحم

5. Nama orang, istilah hukum dan nama-nama yang sudah dikenal di Indonesia tidak

terikat pada pedoman ini. Contoh: Fatimah, Shalat, Zakat.

B. Singkatan

H = Hijriyah

M = Masehi

Saw = S}alla> Alla>hu ‘Alayhi wa Sallam Swt = Subhana>hu wa Ta’a>la> a.s = ‘Alayhi al-S}ala>m

Page 10: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. Sang

Kekasih sejati Yang Maha Indah. Sang pemberi limpahan rahmat, hidayah, inayah, nikmat

dan karunia kepada para pencinta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada

baginda, sang revolusioner sejati yang menuntun umatnya menuju jalan cinta kasih penuh

kedamaian dan keridhaan Allah swt. yaitu baginda Nabi Muhammad saw. Dan kepada

keluarganya, para sahabatnya, tabi’at tabi’in, ulama salafussholih, para syuhada, para

awliya, para ahlushuffah dan seluruh kaum muslimin sampai kepada umatnya saat ini.

Mudah-mudahan di akhirat kelak kita semua mendapatkan ridha dan berjumpa dengan

Allah swt. dan diberi syafaat Nabi Muhammad saw. Amin.

Penyelesaian tesis ini merupakan prasyarat untuk menyelesaikan studi pada Program

Magister Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan

dan kesulitan yang dihadapi. Namun berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak,

hambatan dan kesulitan tersebut dapat terlewati. Dalam kesempatan ini, penulis

menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah

memberikan dukungan berupa arahan, bimbingan, dan lainnya selama proses penyelesaian

tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya tersebut penulis

sampaikan kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany

Burhanuddin Umar Lubis, M.A.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr.

Sururin, M.Ag.

3. Ketua Program Magister Pendidikan Agama Islam, Dr. Sapiudin Shidiq, M. Ag.

beserta jajarannya, yang telah memberikan pelayanan akademik dengan baik.

4. Pembimbing, Dr. Yayah Nurmaliah, M.A yang telah memberikan bimbingan,

arahan, wawasan dan nasehat dengan penuh kesabaran, ketekunan serta

keikhlasan.

5. Seluruh Dosen Program Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan ilmu baik secara intelektual maupun spiritual kepada penulis.

6. Ustadz Muhammad Nur Jabir, selaku direktur Rumi Institute yang telah bersedia

meluangkan waktunya dengan penulis dalam mengkaji pemikiran Maulana

Jalaluddin Rumi.

7. Ayahanda Dr. KH. Baharuddin Abd Safa, M.A, dan Ibunda Hj. Nurhaedah Djibo,

saudara saya Nahdhiyah, Dhiyauddin, Raisuddin, dan Khadimuddin, serta seluruh

keluarga tercinta yang selalu memberikan cinta kasih, semangat, pelajaran hidup,

nasihat, dan dukungan lainnya baik dari segi material maupun spiritual.

8. Seluruh sahabat-sahabat Magister Pendidikan Agama Islam angkatan 2016

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menjadi teman

diskusi, memberi masukan, semangat dan motivasi saat berada di bangku

perkuliahan kepada penulis. Terkhusus kepada Harisal, dan Syaukat.

9. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan di Komunitas Lingkar Santri Cendekia

(LSC) Ciputat, yang telah memberikan gagasan-gagasan menyejukkan dalam

beragama, dan memberi semangat serta motivasi saat menulis tesis ini.

10. Seluruh sahabat dan pengurus Komunitas Al-Filosufiyah Institute dan

Foucaultfreire Institute, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

penelitian tesis ini.

Page 11: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

ix

11. Kepada buah hatiku tercinta Hudzaifah Ainun Nadjib, yang selalu mengganggu

dan menemani penulis di saat menyelesaikan tesis ini.

12. Kepada semua pihak yang turut andil dan telah berkontribusi dalam penyelesaian

tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya kepada mereka yang telah penulis sebutkan, hanya doa yang dapat

dipanjatkan kepada Sang Kekasih Sejati, semoga Allah swt. akan membalasnya dengan

balasan cinta kasih dan ridha-Nya. Amin.

Jakarta, 22 Januari 2020

Hisnuddin

Page 12: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

x

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ............................................................................................................ i

PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 9

C. Rumusan Masalah ................................................................................ 10

D. Batasan Masalah ................................................................................... 10

E. Tujuan Penelitian ................................................................................... 10

F. Manfaat Penelitian ................................................................................ 11

G. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................................... 11

BAB II PENDIDIKAN CINTA KASIH

1. Pengertian Pendidikan ..................................................................... 14

2. Tujuan Pendidikan ........................................................................... 22

3. Konsep Pendidikan Cinta Kasih ....................................................... 25

4. Tujuan Pendidikan Cinta Kasih ........................................................ 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Sumber Bahan ....................................................................................... 36

B. Metode Penelitian .................................................................................. 37

C. Jenis Penelitian ..................................................................................... 38

D. Metode Pengumpulan Data ................................................................... 38

E. Analisis Data ........................................................................................ 39

BAB IV KONSEP PENDIDIKAN CINTA KASIH JALALUDDIN RUMI

A. Biografi Jalaluddin Rumi

1. Riwayat Hidup Jalaluddin Rumi ............................................... ........ 40

2. Pendidikan Jalaluddin Rumi ............................................................ 45

3. Tarekat Jalaluddin Rumi .................................................................. 49

4. Karya-Karya Jalaluddin Rumi ......................................................... 53

B. Pendidikan Cinta Kasih Perspektif Jalaluddin Rumi

1. Konsep Pendidikan Cinta Kasih Rumi ............................................. 58

2. Implementasi Pendidikan Cinta Kasih Rumi............................ ......... 66

3. Langkah Pembinaan Pendidikan Cinta Kasih

dalam Karya-Karya Rumi ................................................................. 74

4. Kontribusi Pemikiran Jalaluddin Rumi dalam Dunia Pendidikan ....

Agama Islam ................................................................................... 113

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ......................................................................................... 124

B. Saran ................................................................................................... 126

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 128

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................

Page 13: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam konteks pendidikan Indonesia, sangat banyak fenomena yang

memprihatinkan terkait karakter, etika, moral, akhlak yang telah hilang

dalam kehidupan sosial. Robert M. Hutchins mengatakan bahwa pendidikan

sebagai pengembangan kekuatan intelektual manusia, sedangkan

moral/ruhaniah hanya ada di wilayah keluarga dan lembaga keagamaan

seperti gereja (Hutchins, 2015 112). Dengan demikian pendidikan menjadi

liberal yang hanya mengembangkan kemampuan nalar sehingga

mengabaikan kekuatan hati, dan kelembutan rasa. Peradaban modern pada

dasarnya bersifat individualistik yang memberi tekanan pada egoisme.

Bahkan, sistem pendidikan hari ini terus-menerus dirancang untuk

menonjolkan kepribadian individualistik. Akibatnya muncul perilaku main

hakim sendiri, praktik korupsi, prostitusi, seks bebas, narkoba, tawuran antar

pelajar di lingkungan sekolah maupun di luar, serta merebaknya fitnah,

hoax, adu domba, saling menghujat, truth claim, salvation claim baik di

dunia nyata maupun di media sosial. Gagalnya pendidikan Islam juga terlihat

pada rentetan kasus bom bunuh diri di Indonesia, seperti: Bom Bali 2002,

Bom JW Marriot 2003, Bom Kedubes Australia 2004, Bom Bali 2005, Bom

JW Marriot dan Ritz-Carlton 2009, Bom Kalimalang 2010, Bom Masjid

Cirebon 2011, Bom Gereja Solo 2011, Bom Mapolres Poso 2013, Bom

Sarinah 2016, Bom Terminal Kampung Melayu 2017, Bom di tiga Gereja di

Surabaya 2018, Bom di Polrestabes Surabaya 2018, dan Bom di Rusunawa

Wonocolo Sidoarjo 2018. Nampaknya pendidikan Islam kehilangan ruhnya

yaitu cinta kasih kepada sesama manusia dan alam semesta. Jalaluddin Rumi

berseru: “Cinta adalah api yang akan mengubahku menjadi air kalau aku

sebuah batu yang keras”(Schimmel, 2005: 158). Oleh karena itu, Rumi

Page 14: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

2

berpandangan bahwa karena tiadanya cinta kasih di dalam diri, maka

manusia menjadi keras seperti sebuah batu yang akan memicu lahirnya

watak dan tindakan intoleran, terorisme, fitnah, hoax, caci-maki, dan

sebagainya. Dengan tertanamnya cinta kasih, akan melahirkan kemurahan

hati (sakha> ), rasa malu (haya>), kesabaran (shabr), lapang dada (musa>mahah),

merasa cukup (qana>’ah), kecermatan, ketelitian, kesenangan menolong orang

lain (musa>’adah), keceriaan (zharf), dan ikhlas.

Di Indonesia terjadi banyak kekerasan atas nama agama dan Tuhan,

seseorang berani melakukan bom bunuh diri demi membunuh orang yang

berbeda keyakinannnya. Doktrin bom bunuh diri sering diartikan sebagai

jihad (holy war) dalam membela agama Allah. Bahkan bom bunuh diri

dianggap salah satu cara agar bisa mati sebagai syuhada> agar menerima

sekian imbalan bidadari di surga. Seorang sufi adalah ia yang berangkat

mencari Tuhan, karena dahaganya kepada Dia tak pernah reda, maka dia

menempuh jalan yang jelas dan terang yang di atasnya terdapat cinta,

kerendahan hati, dan persaudaraan (Bentounes, 2003:24). Pendidikan cinta

kasih perlu ditanamkan kepada murid dengan memahami jihad sebagai

perjuangan batin secara terus-menerus bukan perang mengangkat senjata.

Dalam syairnya Rumi berdendang: “Berjihadlah agar cinta semakin

meningkat” (Jabir, 2019). Rumi bermaksud agar kita tidak terpaut pada

bentuk lahiriah semata, tetapi ambillah apa yang ada pada batin seseorang

yaitu kebaikan dan cinta yang ia tebarkan kepada sesama dalam mewujudkan

kedamaian dan ketentraman hidup.

Di satu sisi agama memang menganjurkan perdamaian, sebagaimana

tujuan pendidikan karakter melahirkan budi pekerti yang luhur, moral dan

etika kepada sesama manusia. Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan

bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi murid

Page 15: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

3

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Agama juga satu

sisi ia mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yaitu bergotong-royong,

menghargai perbedaan, mengedepankan keadilan dan kesetaraan. Tanpa

cinta kasih, manusia bisa lebih berbahaya dibanding binatang, manusia akan

melakukan pengrusakan, dan pertumpahan darah. Bahkan tiga dari empat

Khalifah ar-Rasyidin menjadi korban pembunuhan: Umar bin Khattab (w.

644), Ustman bin Affan (w. 656), dan Ali bin Abi Thalib (w. 661). Belum

lagi korban yang berjatuhan akibat perang saudara sesama muslim seperti

Perang Shiffin, Perang Jamal, tragedi mihna>h, hingga sekarang konflik

Israel-Palestina, Irak, Suriah, Nigeria, Rohingya, dan juga di Indonesia

dengan beragam ormas, kelompok, mazhab dan aliran kepercayaan. Melihat

fenomena di atas bisa dianggap sebagai kegagalan pendidikan Islam karena

esensi pendidikan adalah spiritualitas dan humanistik yang di dalamnya

melibatkan dosen, guru, da‟i yang bertugas menyebarkan nilai-nilai

kebajikan kepada para murid.

Konflik paling fenomenal adalah antara penganut Katolik dan Protestan

di Eropa, antara Yahudi dan Kristen, Hindu dan Islam di India, Buddha dan

Islam di Myanmar dan lain sebagainya. Di kalangan internal Islam sendiri,

konflik antara Sunni dan Syiah merupakan sejarah lama yang tidak

ditemukan resolusinya. Rumi berkata: “Perang antar manusia tak lebih

seperti bocah yang berkelahi, semua pihak merugi tak memperoleh makna

dan arti.” (Djamaluddin, 2015: 69). Dengan hilangnya cinta kasih, akan

mengantarkan seseorang pada sikap intoleran yang menjerumuskan pada

klaim diri sebagai yang paling benar, paling suci, paling selamat, paling

ukhrawi, dan semacamnya. Seseorang yang melakukan truth claim, dan

Page 16: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

4

salvation claim, serta menganggap pihak yang berbeda dari mereka harus

dilawan, diperangi dan halal darahnya, tidak sesuai dengan ajaran cinta kasih

dalam setiap agama. Dengan demikian, pendidikan harus menumbuhkan

kesadaran murid tentang kebhinekaan atas dasar cinta kasih agar menjadi

kekuatan untuk bersikap toleran, moderat, inklusif, open minded kepada

sesama sehingga mampu menyelesaikan masalah yang kompleks baik secara

sosial-keagamaan maupun sosial-kebangsaan.

Dalam hal ini, Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai fithra>h

majbula>h, fitrah yang tertanam kokoh dalam diri manusia, yaitu hati nurani.

Kekuatan alam bawah sadar yang terpatri kuat dalam hati nurani tentang

kepelbagaian dan inklusivitas tersebut, pada saat yang diperlukan berubah

menjadi energi spiritual yang mampu meredam benih-benih perpecahan yang

sewaktu-waktu muncul ke permukaan (Abdullah, 2014: 197). Kerangka pikir

dan sikap intoleran berakar pada realitas manusia yang hanya membelah dua

kutub yang saling berlawanan: benar-salah, hitam-putih, gelap-terang, halal-

haram, suci-kotor, dan seterusnya. Akibatnya, kesadaran setiap penganut

agama dipenuhi oleh cara pandang yang primordialisme untuk meneguhkan

dirinya sendiri paling benar dan selamat, sementara menghabisi pihak lain

yang diposisikan sebagai musuhnya atau yang berbeda dengannya. Sejalan

dengan tesis Bernard Lewis (w. 2018), yang dikutip oleh Farid Muttaqin, hal

ini disebabkan karena telah terjadi apa yang dia sebut sebagai the cosmic

clash: benturan kosmik yang dualis, kebaikan dan keburukan, tertib dan

khaos, kebenaran dan kepalsuan, Tuhan dan lawan-Nya (Muttaqin, 2001:14).

Di sisi lain, kemajuan teknologi dan sains yang tadinya dianggap bisa

menjadi penopang kebahagiaan hidup, justru meninggalkan kehampaan

secara psikologis dan spiritual yang membawa manusia tidak terkendali

akibat obesitas informasi dari internet, dan media sosial. Semua itu

Page 17: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

5

menyebabkan lahirnya perasaan teralienasi yang cenderung membuat

masyarakat menjadi depresi, yang pada akhirnya tidak punya lagi waktu dan

energi untuk mengkaji pemikiran dan ajaran Islam secara lebih mendalam,

kemudian pada saatnya ia akan berusaha mencari pegangan keyakinan secara

instan. Akibatnya, ada kecenderungan yang semakin kuat pada penafsiran

keagamaan secara syariahistis (serba hukum) yang sempit, kaku, jumud,

tekstual, close minded. Maka, menjadi tugas setiap pendidik untuk

menawarkan suatu pemahaman keagamaan yang mampu melahirkan escape

terhadap pemahaman demikian. Dalam konteks ini penulis menekankan pada

pendidikan cinta kasih sebagai alternatif yang efektif, karena sifatnya yang

menekankan pada pembinaan spiritual yang bermuara pada kedekatan

manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan

alam, dan manusia dengan Tuhan. Dengan jalan cinta kasih, dapat

menumbuhkan perasaan yang damai, tenteram, bahagia, welas asih, dan

rendah hati kepada sesama yang akan melahirkan sikap inklusif, cinta, kasih

sayang, menghargai perbedaan, menyebarkan perdamaian, moderat, dan

toleran. Rumi mengingatkan bahwa masyarakat yang sedang mengalami

krisis multi-dimensi perlu mempelajari kembali nilai-nilai keruhanian dari

agama, bukan hanya bentuk formal dan ritual doa, yaitu dengan pendekatan

cinta kasih sebagai ruh agama-agama dunia.

Pendidikan sufistik atau pendidikan cinta kasih sebagai pendidikan

ruhani mampu melahirkan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah, serta

menjauhkan diri dari sikap radikalisme, eksklusivisme dalam beragama,

terutama dalam dunia pendidikan modern. Menurut kaum sufi, tujuan

tertinggi kehidupan manusia adalah untuk mencapai kebenaran, dan

kebahagiaan sejati bersama al-Haqq (Nasr, 2010:46). Menurut Said Aqil

Siradj, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi dan

Page 18: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

6

inkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang terakumulasi

dalam masyarakat (Siradj, 2012:54). Dalam sebagian besar wacana tentang

Tuhan yang Rumi narasikan, pendidikan seharusnya menumbuhkan cinta

kepada alam semesta dan kepada manusia yang bermuara pada Tuhan. Bagi

Rumi, “Hanya dengan sayap-sayap cinta sakral itulah seorang hamba

benar-benar dapat memasuki istana cinta Sang Kekasih. Hanya cinta yang

memungkinkan orang dapat terbang ke arah langit, mengoyakkan selubung

yang memisahkan antara pencinta dan Kekasih” (Zaprulkhan, 2016: 184).

Dengan demikian, seorang pendidik sangat berperan dalam mewujudkan

revolusi moral-spiritual dalam proses kegiatan pembelajaran. Pendidikan

seharusnya membawa kebahagiaan sejati bagi manusia, khususnya manusia

modern saat ini yang terbelenggu oleh kehidupan dan pesona duniawi yang

semakin hari menjauhkan manusia dari hakikat dirinya, yakni kebebasan

dalam mengekspresikan cintanya yang diwujudkan kepada sesama manusia

tanpa ada kekerasan dan pertumpahan darah.

Miswari dalam penelitiannya mengatakan “In hateful times, falsely accusing

each other, claiming their own true beliefs, so that humans become very easy

to hate each other and hostile, the gnosis taught by Jalaluddin Rumi

becomes indispensable to mankind today as the foundation for building unity

and harmonization in life” (Dalam zaman yang penuh kebencian, saling

menuduh sesat, mengklaim keyakinan sendiri yang paling benar, sehingga

manusia menjadi sangat mudah untuk saling membenci dan memusuhi,

ajaran tasawuf falsafi yang dianut Jalaluddin Rumi menjadi sangat

dibutuhkan umat manusia dewasa ini sebagai landasan membangun

persatuan dan harmonisasi dalam berkehidupan) (Miswari, 2018). Rumi

berpendapat bahwa seseorang yang ingin memahami kehidupan dan asal usul

ketuhanan dari dirinya, ia dapat melakukannya melalui jalan cinta, tidak

Page 19: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

7

semata-mata melalui jalan pengetahuan. Cinta adalah keinginan yang kuat

untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi menyamakan cinta

dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan,

yang hasilnya ialah haqq al-yaqi>n, keyakinan yang total kepada yang Tuhan.

Cinta sejati, kata Rumi dapat membawa seseorang mengenal alam hakikat

yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk lahiriah kehidupan, karena cinta

dapat membawa kita menuju kebenaran tertinggi. Rumi menganggap

cintalah yang sebenarnya yang merupakan sarana dalam transendensi diri,

yang membuatnya dapat terbang tinggi menuju Yang Haqq (Hadi W.M,

2004: 183).

Sepideh Hozhabrossadat, mengatakan “Rumi transfers the image of

the cave and the bull from the world of mythology to the arena of Sufism by

referring to the bull as a human‟s ego that needs to be sacrificed

figuratively for the attainment of Fanā” (Rumi menggunakan gambar gua

dan banteng dari dunia mitologi ke arena tasawuf dengan mengacu pada

banteng sebagai kiasan untuk ego manusia yang perlu dikorbankan demi

mencapai kondisi Fanā). “Furthermore, the cave is replaced by the Sufi‟s

heart, in which all Divine revelations occur” (Sedangkan gua sendiri di

artikan sebagai hati atau jiwa Sufi, di mana semua Ilahi wahyu terjadi). “The

message is that a true Sufi, and every human being as far as Rumi is

concerned, should gaze inside his/her heart and sacrifice whatever is a

barrier on his/her way toward the beloved” (Pesan dari Rumi adalah seorang

sufi sejati dan setiap manusia harus melihat ke dalam hatinya yang paling

dalam dan mengorbankan apapun yang menghalanginya dalam

perjalanannya menuju Tuhan) (Hozhabrossadat, 2018).

Cinar Kaya, menggambarkan Rumi sebagai “Rumi was a renowned Sufi,

spiritual teacher, and poet who has attracted both scholarly and non-

Page 20: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

8

scholarly attention all over the world” (Rumi adalah seorang sufi terkenal,

guru spiritual, sekaligus penyair yang menarik minat banyak orang baik

dalam hal ilmiah dan non-ilmiah di seluruh dunia) (Kaya, 2016). Rumi

adalah tokoh sufi yang banyak menginspirasi generasi selanjutnya, karya-

karyanya terus dikaji seolah tak pernah kering. Konsep yang diajarkan oleh

Rumi ialah pendidikan ruhani yang mengantarkan seseorang ke jalan cinta

ilahi, maka seorang guru harus selalu mendidik murid agar mampu

menumbuhkan sifat cinta kasih, dan tercipta nilai-nilai luhur dalam

mewujudkan kasih sayang, karakter yang baik, keadilan pada sesama, akhlak

mulia, dan toleran. Rumi menunjukkan jalan “Cinta Ilahi” sebagai jalan

alternatif yang lebih ramah terhadap kehidupan dunia namun tidak

melupakan kehidupan akhirat.

Pendidikan seharusnya melahirkan karakter ramah, welas asih, dan

lembut justru belakangan banyak melahirkan murid yang emosional, sumbu

pendek, kaku, jumud, berpikir sempit, dan berwatak keras, sehingga Islam

distigmatisasi sebagai agama yang penuh dengan kebencian karena

penganutnya meninggalkan esensi ajarannya yaitu cinta kasih, yang pada

akhirnya menjadi sebuah stigma bahwa semua itu di akibatkan oleh

kegagalan dunia pendidikan Islam. Selain mengajak menuju jalan cinta,

Rumi melalui karya-karyanya mengajak umat kepada persaudaraan sesama

manusia (ukhuwah basyariyyah) tanpa memandang suku, bangsa, agama,

dan warna kulit. Sebagaimana dalam syairnya, Rumi berkata: “Sungguh

engkau masih penyembah berhala bila pada bentuk-bentuk engkau

terpenjara. Tanggalkan wujud, lihatlah hakikat di baliknya. Bika kau hendak

berangkat haji, maka carilah teman di jalan haji ini, tak usah kau peduli

apakah ia orang hindi, turki atau arabi. Tak usah lihat bentuk atau warna

kulitnya, tapi lihatlah tekad tujuannya.” (Djamaluddin, 2015: 69).

Page 21: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

9

Pendidikan yang baik akan melahirkan perilaku yang baik, semakin baik

kualitas pendidikan, maka semakin baik moral dan akhlak seseorang. Rumi

menyinggung dengan bertanya, “Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat

orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama

menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman itu berpikiran sempit

dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit

merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai

kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara

yang merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas

kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci itu gagal dalam

tindakan dan muamalah?”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah

sebagai berikut:

a. Politisasi pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang

ambigu.

b. Kurangnya perhatian pada ajaran sufisme.

c. Pengetahuan agama diperoleh secara instan dan cenderung

mengabaikan dimensi batiniah.

d. Kurangnya ilmu pengetahuan orang tua dalam mendidik.

e. Sedikitnya tokoh yang konsen pada pendidikan cinta kasih.

f. Maraknya kekerasan atas nama agama hingga terorisme.

g. Literatur paham keagamaan yang cenderung tekstualis dan

mengabaikan dimensi mistik.

Page 22: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

10

C. Batasan Masalah

Berdasarkan masalah-masalah yang telah diidentifikasi di atas, maka

hal yang akan dibatasi dalam penelitian ini meliputi:

Penulis akan membatasi pembahasan penelitian ini dengan menelaah

dan mengkaji pendidikan cinta kasih dalam konsep pemikiran tasawuf

Jalaluddin Rumi, dan hubungannya dengan Pendidikan Agama Islam dalam

menumbuhkan sifat mahabbah bagi peserta didik. Selanjutnya, penulis akan

menggunakan studi pustaka dari berbagai sumber rujukan utama berupa

karya-karya Jalaluddin Rumi; Matsnawi, Fihi Ma Fihi, Rubaiyat, Diwan-i

Syamsi Tabriz, dan karya ilmiah, jurnal, serta buku-buku yang relevan

dengan penelitian tersebut.

D. Rumusan Masalah

Dalam penelitian kajian pustaka ini, rumusan masalah merupakan

fokus penelitian. Berdasarkan uraian di atas penulis akan merumuskan

masalah yang akan dijadikan penelitian, sebagai berikut:

1. Mengapa konsep cinta kasih Jalaluddin Rumi penting dalam dunia

pendidikan agama Islam?

2. Bagaimana cinta kasih diimplementasikan dalam diri seorang

murid?

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Proses penelitian ini diharapkan memenuhi beberapa tujuan dan

diharapkan dapat bermanfaat. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui:

a. Menjelaskan mengapa konsep pendidikan cinta kasih Jalaluddin

Rumi penting dalam dunia pendidikan agama Islam.

Page 23: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

11

b. Mengungkapkan bagaimana cara mengimplementasikan ajaran cinta

kasih dalam diri murid.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian terdiri dari

kegunaan teoretis dan praktis:

a. Manfaat Teoritis

1) Untuk menambah khazanah pengetahuan bagi penulis dan pembaca

lainnya tentang pendidikan cinta kasih berbasis tasawuf.

2) Sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya yang ada

kaitannya dengan pendidikan berbasis sufistik dikalangan dosen,

pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum.

b. Manfaat Praktis

1) Menjadi bahan masukan bagi para orang tua, pendidik, generasi muda

secara khusus, maupun masyarakat pada umumnya untuk

menginternalisasikan nilai-nilai ajaran tasawuf agar tercipta

masyarakat yang berkarakter, toleran, moderat, menyejukkan,

terbuka, cinta kasih pada sesama dan dalam hubungannya dengan

manusia, alam semesta dan Allah swt.

2) Menjadi bahan kontemplasi bagi penulis dan pembaca agar mampu

lebih memahami secara mendalam tujuan hidup dan lebih mengenal

hakikat diri sebelum mengenal Kekasih Sejati.

c. Manfaat Akademis

1) Untuk menghindari stigma negatif pada ajaran tasawuf dan

memberikan kontribusi terhadap konsep pendidikan agama Islam

dalam dunia pendidikan nasional sebagai peningkatan generasi muda

untuk mengkaji dan menelaah pendidikan berbasis sufistik.

Page 24: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

12

2) Sebagai bahan rujukan bagi akademisi dalam membumikan nilai-nilai

sufistik pada universitas-universitas, agar supaya dapat menangkal

gerakan-gerakan intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.

G. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Pembahasan tesis ini, secara akademik bahwa sudah ada hasil

penelitian baik yang berupa buku maupun karya ilmiah yang membahas

tentang pendidikan karakter. Namun dari karya ilmiah yang ada terdapat

perbedaan baik dari sudut pandang hasil pembahasan maupun objek

penelitiannya.

Ada beberapa karya tulis yang telah ada sebelumnya diantaranya:

1. Penelitian ini ditulis oleh Sepideh Hoshabrossadat dengan judul

Sacrificing the Bull: Conceptualisations of Fana> (Spiritual Death) in

Rumi‟s Mathnavi pada tahun 2018 dalam International Journal of

English and Literature di Monash University, Melbourne. Studi ini

meneliti konseptualisasi fana>. Rumi menggunakan simbol gua dan

Banteng dari dunia mitologi ke arena tasawuf dengan mengacu pada

Banteng sebagai kiasan untuk ego atau nafsu manusia yang perlu

dikorbankan untuk mencapai kondisi fana>, dan gua di artikan sebagai

hati atau jiwa manusia. Sedangkan penulis akan menelaah konsep

pendidikan cinta kasih dalam pemikiran Rumi, seperti adab antara

murid-guru dalam Diwan-i Syams at-Tabriz.

2. Penelitian ini ditulis oleh Miswari dalam Jurnal Penelitian Sosial

Agama, berjudul Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis

Puisi Jalaluddin Rumi pada tahun 2018 di IAIN Langsa. Miswari

menemukan ajaran Rumi yaitu tentang kebahagiaan sejati yang hanya

bisa dirasakan melalui pengalaman langsung. Sejalan dengan penulis

yang menemukan konsep mahabbah atau cinta kasih sebagai karakter

Page 25: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

13

tertinggi dalam pemikiran Rumi sebagai dasar untuk merasakan

kebahagiaan sejati.

3. Penelitian ini ditulis oleh Syamsul Ma‟arif, berjudul konsep

Mahabbah Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan

Konseling Islam pada tahun 2017 di Universitas Islam Negeri

Walisongo Semarang. Penelitian ini terfokus pada ajaran cinta Rumi

yang diimplementasikan dalam bimbingan konseling Islam. Di mana

bimbingan konseling Islam merupakan salah satu cara yang dapat

digunakan untuk menangani masalah manusia. Dalam hal ini cinta

digunakan sebagai pendekatan dalam proses pelaksanaannya.

Sedangkan penulis fokus untuk menggali pendidikan cinta kasih

perspektif Jalaluddin Rumi.

4. Tesis ini ditulis oleh Syamsun Ni‟am berjudul al-Hubb al-Ilahi: Studi

Perbandingan antara Rabi‟ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi

pada tahun 2001 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan

hasil penelitian ini di simpulkan bahwa cinta menurut Rumi terbagi

dua, yaitu kepada manusia dan alam, serta tujuan cinta yaitu

tercapainya kebahagiaan tertinggi apabila dapat melihat Allah.

Pada dasarnya penelitian penulis memiliki karakteristik tersendiri

yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Karena penelitian ini lebih

terfokus untuk menggali nilai-nilai pendidikan cinta kasih dalam pemikiran

tasawuf Jalaluddin Rumi.

Page 26: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

14

BAB II

PENDIDIKAN CINTA KASIH

A. Pengertian Pendidikan

Term pendidikan menjadi sangat populer di kalangan masyarakat,

khususnya bagi mereka yang mengabdikan dirinya sebagai guru, dosen,

maupun tenaga kependidikan lainnya. Secara leksikal, kata pendidikan

berasal dari kata “didik” yang diberi prefiks “pen” dan sufiks “an”, yang

dimaknai sebagai proses, perbuatan, dan cara mendidik (Damopolii, 2011:

42). Dalam bahasa Inggris, kata yang sering disepadankan dengan

pendidikan adalah education, bukan teaching (pengajaran), dan dalam

bahasa Arab lebih dikenal dengan istilah ta’li>m. Athiyah al-Abrsayi,

menyepadankan kata tarbiyah dengan pendidikan, tetapi Syeh Naquib al-

Attas menyepadankan kata pendidikan dengan istilah ta’di>b yang berarti

pembentukan tindakan atau tatakrama yang sasarannya hanya manusia.

Sementara itu, kata pendidikan disepadankan dengan istilah ta’li>m

sebagaimana tercermin dalam judul buku karya Burhan al-Din al-Zarnuji,

Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Damopilii, 200: 42).

Sedangkan, menurut M. Djumransjah pendidikan adalah usaha manusia

untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi bawaan, baik jasmani

maupun rohani, sesuai nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan

kebudayaan (Djumransjah, 2004: 22).

Pendidikan juga dapat diartikan upbringing (pengembangan),

teaching (pengajaran), instruction (perintah), pedagogy (pembinaan

kepribadian), breeding (memberi makan), dan raising (menumbuhkan).

Dalam bahasa Arab, kata pendidikan merupakan terjemahan dari kata al-

tarbiyah yang dapat diartikan proses menumbuhkan dan mengembangkan

potensi yang terdapat pada diri seseorang, baik secara fisik, psikis, sosial,

Page 27: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

15

mupun spiritual. Kata al-tarbiyah juga mencakup pengertian al-taklim

(pengajaran tentang ilmu penegtahuan), al-ta’dib (pendidikan budi pekerti),

al-tahdzib (pendidikan tentang karakter), al-mau’idzah (nasihat), al-

riyadhah (latihan spiritual), al-tazkiyah (penyucian diri), al-talqin

(bimbingan atau arahan), al-tadiris (pengajaran), al-tafaqquh (memberikan

pemahaman atau pendalaman), al-tabyin (penjelasan), al-tazkirah

(memberikan peringatan), dan al-irsyad (memberikan bimbingan) (Nata,

2016: 15).

Pendidikan adalah suatu proses pemberian berbagai macam situasi

kepada manusia yang bertujuan untuk memberdayakan diri manusia.

Dalam arti bahwa masih banyak persoalan yang perlu direalisasikan

menyangkut pendidikan sebagai proses pencerahan seperti pengenalan,

penyadaran, pemberdayaan, serta perubahan perilaku para siswa yang

menjalani proses tersebut. Menurut Nanang Rahmat, pendidikan juga

sebuah cara/tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu titik keteraturan

yang elegan dan bersifat dinamis. Pendidikan berarti sebuah proses

pengembangan diri pada individu untuk mengembangkan bakat, minat, dan

kemampuan secara akademis maupun non-akademis yang dikembangkan

dalam lingkungan pendidikan, baik secara formal, non-formal, maupun

informal (Rahmat, 2017: 46-47).

Doni Kusuma Albertus menggambarkan pemikiran filsuf bernama

Niccolo Machiavelli (w. 1527 M) mengenai pendidikan yang menjelaskan

sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan dan terus-

menerus selama manusia tersebut hidup di muka bumi ini (Albertus, 2010:

52). Dengan demikian dari pemikiran Machiavelli dapat dipahami bahwa

pendidikan berlangsung secara kontinu, dan pendidikan bukanlah

merupakan sebuah hal yang baru terjadi pada proses kehidupan baik

Page 28: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

16

individu maupun kelompok manusia, melainkan sebuah hal yang muncul

sejak awal adanya individu yang berkumpul menjadi sebuah komunitas,

maka di situlah proses pendidikan terjadi, karena pendidikan merupakan

fenomena antropologis yang usianya sama dengan sejarah peradaban umat

manusia. Sedangkan menurut al-Ghazali (w. 1111 M), pendidikan adalah

upaya untuk tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada

pendekatan diri kepada Allah agar merasakan kebahagiaan dunia dan

akhirat. Dalam konsepnya, al-Ghazali mengartikan akhlak sebagai suatu

sikap mental yang mendorong seseorang untuk berbuat baik tanpa berpikir

panjang (Ardani, 2005: 27). Senada dengan Muhammad Iqbal (w. 1938 M),

yang menjelaskan bahwa pendidikan sesungguhnya bertujuan untuk

membentuk manusia sejati atau insan al-kami>l (Rahman, 1995: 67). Sebab

menurut Iqbal, tipologi humanistik yang harus dicapai oleh pendidikan

Islam adalah; Pertama, ketaatan pada hukum Ilahi. Kedua, pengendalian

diri yang merupakan penjauhan dari keinginan atas material. Ketiga,

perwakilan Tuhan, di mana pemikiran dan tindakan insting (hati), dan

rasionalitas (akal) menjadi satu.

Pendidikan seyogianya berlangsung sepanjang hayat (life ling

education) yang memiliki nilai sangat tinggi dalam membangun peradaban

sebuah bangsa. Perjuangan untuk mencari ilmu pengetahuan merupakan

tugas mulia bagi setiap manusia yang ingin menemukan pencerahan Ilahi.

Bukti kuat tentang pentingnya mencari ilmu ditemukan dalam al-Qur‟an

surah Al-Mujadilah ayat 11, Allah swt. berfirman:

Page 29: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

17

Artinya: “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang

beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.

Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Bukti signifikan juga terdapat pada ayat pertama yang Allah

wahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dimulai dengan perintah Iqra’

“bacalah” yang berarti juga “mengkaji”. Ayat ini menunjukkan perintah

kepada umat manusia untuk mengkaji, mendalami, memahami, bahkan

mencintai alam semesta, manusia, dan Tuhan dengan suatu jalan aktivitas

intelektual yaitu membaca, belajar, dialog, menulis, riset, dan menulis

buku. Pendidikan merupakan persoalan kehidupan yang sangat penting

bagi kelangsungan ajaran nilai-nilai luhur, hendaknya dikembangkan oleh

masyarakat yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup sesama manusia

dan hubungan kepada alam semesta, dan pencipta. Dengan demikian, bisa

dipahami dari arti hidup itu sendiri dalam bahasa Arab disebut dengan al-

hayah. Makna al-hayah adalah al-harakah (bergerak/kegiatan), dan al-

harakah adalah al-barkah (beraktifitas yang mendatangkan berkah), dan al-

barkah adalah al-ziyadah (nilai tambah dalam hidup), al-ni’mah

(kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagiaan).

Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan

keterampilan hidup seseorang harus bisa mendatangkan berkah,

kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup (Muhaimin, 2008: 39).

Bassam Tibi lebih memandang pendidikan sebagai sistem sosial yang

dapat membentuk subsistem-subsistem dalam sistem sosial secara total

(Tibi, 1991: 113). Sementara itu, Napoleon Hill memaknai pendidikan

bukan sekadar tindakan menyampaikan pengetahuan (the act of importing

knowledge) atau transfer pengetahuan (transfer of knowledge) semata. Hill

memaknai pendidikan dari akar katanya, yaitu dari bahasa Latin educo

Page 30: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

18

yang berarti “to develop from within, to draw out, to go through the law of

use” (mengembangkan dari dalam, mendapatkan, mendidik, melaksanakan

hukum kegunaan) (Sutrisno & Albarobis, 2012: 19). Oleh karenanya,

pendidikan sesungguhnya berarti pengembangan potensi diri yang

melahirkan nilai, bukan sekadar mengumpulkan infromasi dan

mengklasifikasikan pengetahuan. Pendidikan dari segi masyarakat adalah

pewarisan kebudayaan dan pemberdayaan dari generasi tua kepada generasi

muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan, dan pendidikan dari segi

individu adalah pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan

tersembunyi di dalam diri setiap manusia. Oleh sebab itu, pendidikan dapat

diartikan sebagai pewarisan nilai-nilai kebudayaan yang nanti akan mampu

menemukan potensi-potensi yang tersembunyi tersebut. Konsep pendidikan

Muhammaq Iqbal (w. 1938 M), yaitu untuk membentuk manusia sejati atau

yang biasa disebut insan kami>l dengan ciri-ciri yang diungkapkan sebagai

hamba dan khalifah Allah di muka bumi, dengan cara menggali potensi-

potensi yang tersimpan di dalam diri manusia (Sutrisno & Albarobis, 2012:

30).

Proses pendidikan yang sesungguhnya ialah proses pembebasan

dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran, kemampuan,

kemandirian, atau memberikan kekuasaan terhadap dirinya sendiri untuk

menjadi individu agar mampu menggali potensi tersembunyi yang ia miliki.

Para pendidik harus memahami kondisi dan kecenderungan muridnya

sebelum memberikan pengajaran, agar ilmu yang diberikan bisa sampai

pada murid. Di samping itu, pendidik harus menanamkan terlebih dahulu

etika-etika sebelum proses pembelajaran berlangsung, yakni;

membersihkan hati, membangun niat luhur dalam mencari ilmu, sabar,

mencintai ilmu, tidak makan dan minum secara berlebihan, bersikap wara‟

Page 31: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

19

(waspada), tidak mengonsumsi jenis makanan yang dapat menghambat

kecerdasan, tidak banyak tidur, menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak

bermanfaat, dan cinta kepada Allah. Sehingga dengan terapi itu, murid

akan memperoleh ilmu sekaligus berkah dalam menuntut ilmu yang

melahirkan pencerahan intelektual dan spiritual yang digunakan untuk

menebarkan cinta kasih kepada alam semesta dan masyarakat.

Persoalan pendidikan pada dasarnya berhubungan erat dengan

dimensi kehidupan manusia yang terus berubah, berinovasi, dan terus

mengalami kemajuan seiring berkembangnya zaman, tentu perubahan ini

perlu dibarengi dengan kualitas karakter manusia agar tidak tergerus oleh

era modern yang serba instan. Pendidikan akhlak merupakan hal yang

sangat penting dalam dunia pendidikan yang diharapkan kelak

menumbuhkan ketakwaan, keadaban, kebahagiaan, dan sifat cinta kasih

dalam diri murid. Sejalan dengan pendidikan yang dikehendaki Zainuddin

Abdul Majid (w. 1997 M), yaitu pendidikan yang berusaha mengantarkan

umat manusia menjadi individu yang beriman, bertakwa, dan berilmu, baik

ilmu agama maupun umum yang berlandaskan Al-Qur‟an dan Al-Sunnah

Nabi saw (Sapiuddin, 2014: 219).

Pelaksanaan pendidikan di Indonesia masih diklaim oleh sebagian

masyarakat kurang mampu menjawab tantangan, perubahan, dan tuntutan

masyarakat. Pendidikan yang selama ini diyakini mampu menciptakan

kehidupan agar lebih baik dan mampu membantu para peserta didik

mempersiapkan kebutuhan masa depannya dalam menghadapi perubahan

zaman, namun masih sangat jauh dari harapan. Hal ini terjadi karena

pendidikan belum membebaskan peserta didik untuk menemukan jati

dirinya, pendidikan selalu saja menjadi suatu alat yang digunakan untuk

memelihara praktik sistem feodalisme. Pendidikan seharusnya digunakan

Page 32: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

20

untuk memelihara kelanjutan hidup baik sebagai individu maupun

masyarakat. Pendidikan harus memayungi sikap toleransi, moderat, cinta

damai dari berbagai suku, ras, dan agama sebagai modal kehidupan

berbangsa dan bermasyarakat. Sistem pendidikan haruslah menjadi

penyadar dan pembebas umat manusia, sebab pendidikan harus

memerdekakan, bukan penjinakan sosial-budaya karena manusia adalah

makhluk yang merdeka yang berhak mengembangkan, membina, serta

mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimilikinya.

Menurut Mansour Fakih (w. 2004 M), pendidikan harus mampu

menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur

ketidakadilan sosial menuju sistem sosial yang lebi adil, karena tujuan

pendidikan adalah menjadikan manusia yang berkesadaran kritis untuk

menuju transformasi sosial (Fakih, 2014: 233). Dalam artian, pendidikan

seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis murid disamping sifat cinta

kasih, sehingga tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di

lingkungannya, baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya, sains dan

teknologi, pendidikan, maupun agama. Proses pembelajaran diharapkan

membangkitkan kesadaran kritis dengan menempatkan murid sebagai

subjek dan pusat kegiatan pendidikan. Dengan demikian, orientasi setiap

murid adalah menghayati dan mencintai visi dan misi pendidikan mereka,

sehingga pendidikan yang berlangsung bukan lagi proses belajar mengajar

yang bersifat monoton atau satu arah, melainkan terjadinya proses

dialektika-komunikatif dalam berbagai bentuk kegiatan seperti diskusi

kelompok, bermain peran dan sebagainya.

Pendidikan yang sehat adalah praktik yang menempatkan murid

sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk

merencanakan arah, memilih bahan, dan materi yang dianggap bermanfaat,

Page 33: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

21

memikirkan cara yang baik dalam belajar, menganalisis dan menyimpulkan

serta mengambil manfaat pendidikan itu sendiri (Fakih, 2014: 242).

Dengan menggunakan pendekatan tersebut, guru memandang murid

sebagai orang dewasa yang memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk

merespon dan memproses pengalaman mereka sendiri yang pada akhirnya

mampu mengambil manfaat dari pelajaran. Oleh karena itu, pendidikan

merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran untuk mengembalikan

kemanusiaan manusia. Pendidikan sejatinya merupakan hak dasar bagi

setiap individu. Sebagaimana Rumi yang menempatkan manusia pada

hakikatnya, yaitu sebagai seorang pencinta dan untuk dicintai. Sebab bagi

Rumi, manusia adalah inti dari alam semesta dan himpunan sifat alam. Di

dalam tubuh yang kecil itu tersimpan banyak kebaikan, keajaiban dan

keindahan (An-Nadwi, 1993: 49).

Pendidikan juga sebagai sarana penumbuhan dan pengembangan

dimensi-dimensi kemanusiaan menuju terwujudnya kehidupan yang

memosisikan manusia pada derajat kemanusiaannya yang hakiki

(Nuryadin, 2014: 247). Pendidikan seyogianya adalah upaya mencapai

kemerdekaan, pembebasan, dan kesetaraan bagi setiap individu maupun

kelompok yang terlibat dalam pendidikan, terutama bagi peserta didik.

Maka, pendidikan ialah sebuah proses di mana manusia bergumul dalam

suatu nilai, sikap, dan pandangan yang mengantarkannya pada suatu

kemerdekaan lahir dan batin, sebab tujuan pendidikan ialah melahirkan

manusia-manusia yang unggul, kreatif, mandiri, dan berjiwa ksatria.

Dengan demikian, output dari pendidikan akan menghasilkan sebuah warna

baru bagi kehidupan, yaitu murid yang memiliki kecerdasan intelektual,

kebaikan moral-spiritual, dan disertai dengan kekayaan amal saleh yang

mengantarkan murid menuju insan kami>l.

Page 34: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

22

B. Tujuan Pendidikan

Menurut Hasan Langgulung, salah satu tujuan pendidikan ialah

sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan yang terbagi pada tiga

tahap, yaitu tujuan khusus (objectivies), tujuan umum (goals), dan tujuan

akhir (aims) (Langgulung, 1995: 21). Bagi penulis, tujuan khusus ialah

tercapainya kesempurnaan akal intelek, dan tujuan umum ialah tercapainya

kebaikan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

serta tujuan akhir ialah tercapainya ridha Allah swt. Pada dasarnya, tujuan

pendidikan ialah mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk karakter

baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan sosial. John Dewey

berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia agar

menjadi warga negara yang baik. Oleh karena itu, di sekolah-sekolah harus

diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi kehidupannya dalam

masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara

(Purwanto, 2011: 24). Sedangkan di dalam Undang-Undang nomor 12 tahun

1954 pasal 3 berbunyi: “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk

manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”

(Purwanto, 2011: 27). Dengan demikian, tujuan pendidikan ialah membentuk

manusia-manusia susila yang berkepribadian demokratis, toleran, moderat,

empati, terbuka dan peduli dalam lingkungan sosial masyarakat serta

mengabdi, menjaga, dan melestarikan tanah air.

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam

membentuk masyarakat sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya

pendidikan, apa yang dicita-citakan masyarakat dapat diwujudkan melalui

siswa didik sebagai generasi masa depan sebuah bangsa (Abdullah Idi, 2011:

69). Abdul Muhyi Batubara mengemukakan bahwa pendidikan telah menjadi

Page 35: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

23

sektor strategis dalam sistem pembangunan suatu bangsa. Banyak negara

telah menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor utama atau unggulan

dalam program pembangunan. Jepang menjadi negara maju dikarenakan

pendidikan menjadi perhatian utama dalam kebijakan pembangunan

pendidikan sejak 1945 (Muhyi Batubara, 2004: 5). Oleh karena itu, tujuan

pendidikan adalah sebagai salahsatu untuk memajukan sebuah bangsa, baik

dari segi ekonomi, budaya, sumber daya manusia, dan alam. Sebab tujuan

pendidikan adalah terciptanya perubahan sosial yang lebih baik dalam

rangka mencerdaskan kehidupan individu, masyarakat dan bangsa. Di

samping itu, pendidikan juga bertujuan untuk melahirkan budi pekerti atau

karakter yang mulia agar siswa didik dapat dikembalikan kepada lingkungan

tempat ia tinggal, untuk mengabdi kepada masyarakat dan tanah air.

Sebagaimana pendapat Cahyoto yang dikutip oleh Nurul Zuriah, bahwa

tujuan pendidikan budi pekerti ialah agar siswa dapat dikembalikan kepada

harapan masyarakat terhadap sekolah yang menghendaki siswa memiliki

kemampuan, kecakapan berpikir, bermanfaat, dan memiliki kemampuan

yang terpuji sebagai anggota masyarakat (Zuriah, 2015: 65).

Menurut Said Hamid Hasan, pendidikan pada dasarnya adalah upaya

sosial-budaya, yaitu upaya mempersiapkan generasi untuk kelangsungan

hidup keluarga, komunitas, dan masyarakat (Hamid Hasan, 2012: 136).

Dengan demikian, pendidikan bertujuan untuk melahirkan generasi yang

mampu memberi kontribusi kepada keluarga, dan masyarakat demi

kelangsungan hidup sebuah bangsa. Menurut hasil Kongres Pendidikan

Islam Sedunia ke-2, pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai

keseimbangan pertumbuhan dari pribadi manusia secara menyeluruh melalui

latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan pancaindra.

Pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia

Page 36: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

24

seperti spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan, bahasanya,

baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong aspek-aspek itu

ke arah kebaikan dan ke arah pencapaian kesempurnaan hidup (Sutrisno &

Muhyidin Albarorbis, 2012: 30-31). Sementara itu, Fazlur Rahman

merumuskan tujuan pendidikan Islam ke dalam dua bagian, yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus. Tujuan secara umum adalah untuk memungkinkan

manusia memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia

dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.

Sementara tujuan secara khusus adalah untuk mengembangkan manusia

sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada

keseluruhan pribadi yang kritis dan kreatif (Rahman, 1967).

Di sisi lain, keberhasilan sebuah pendidikan juga diukur dari seberapa

besar siswa didik mampu hidup dalam kemajemukan, keharmonisan,

kerukunan, toleran, dan terbuka kepada orang lain. Sebagaimana tujuan

pendidikan multikultural dalam pandangan Arif R dikutip oleh Munzier

Suparta, bahwa pendidikan bertujuan untuk menciptakan kondisi yang

kondusif bagi masyarakat majemuk, menumbuhkan kesadaran anak atas

kultur (Suparta, 2010: 42). Adapun menurut Sonia Nieto, bahwa tujuan

pendidikan adalah sebagai dasar anti-rasisme untuk semua siswa didik yang

menyebar ke semua wilayah sekolah, yang dikarakterkan oleh sebuah

komitmen untuk keadilan sosial (Sonia Nieto, 1996: 60). Dengan demikian,

pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan karakter siswa didik yang

terbuka, moderat, adil, cinta kasih, toleran, dan tidak rasis kepada siapa pun

dalam rangka untuk mewujudkan keadilan sosial dan ketertiban dunia. Hal

ini sejalan dengan tesis Nurul Ikhsan Saleh dikutip oleh Ahmad Nurcholish,

bahwa tujuan pendidikan membantu peserta didik mencapai pemikiran

bahwa perdamaian adalah jalan kehidupan dan kultur universal yang

Page 37: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

25

memiliki kontribusi untuk mengembangkan landasan kerja sama dengan

masyarakat dan budaya yang berbeda. Dalam hal ini, pendidikan menjadi

dasar pembentukan kultur perdamaian kepada peserta didik. Dengan

demikian, peace education memberikan pemahaman kepada peserta didik

mengenai akar kekerasan. Kemudian, peserta didik diberi pengetahuan

tentang isu kritis sebagai jalan alternatif dengan cara menciptakan

perdamaian (peace making), menjaga perdamaian (peace keeping), dan

membangun perdamaian (peace building) (Nurcholish, 111-112). Oleh

karena itu, tujuan pendidikan ialah dalam rangka menumbuhkan kesadaran

peserta didik agar supaya turut andil dalam menciptakan perdamaian,

menjaga perdamaian, membangun perdamaian, dan melestarikan perdamaian

dalam rangka untuk melahirkan keadilan, keteraturan, ketentraman, dan

kesejahteraan sosial dalam sebuah negara.

C. Konsep Pendidikan Cinta Kasih

Pendidikan cinta kasih adalah sebuah usaha untuk mendidik anak

(peserta didik) agar dapat menginternalisasikan sifat cinta kasih dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan pendidikan cinta kasih diharapkan terwujud

karakter pada peserta didik yang mengandung komponen pengetahuan,

kesadaran individu, tekad serta adanya kemauan untuk melaksanakan nilai-

nilai yang baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,

dan bangsa sehingga terwujud insa>n kami>l (Mansir, 2018: 47). Oleh karena

itu, pendidikan cinta kasih akan melahirkan sikap tasamuh, moderasi,

menghargai perbedaan, memberi rasa aman dan nyaman kepada orang lain,

lingkungan, dan sesama makhluk hidup.

Pendidikan cinta kasih hendaknya berkisar pada dua dimensi nilai,

yakni nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai insaniyah. Penanaman nilai-nilai

ilahiyah sebagai dimensi pertama hidup dimulai dengan pelaksanaan

Page 38: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

26

kewajiban-kewajiban formal agama berupa ibadah. Penanaman nilai-nilai

ilahiyah itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan

dan kebesaran Tuhan melalui perhatian kepada alam dan segala isinya serta

lingkungan sekitar. Sedangkan nilai insaniyah tidak dapat dipahami secara

terbatas hanya kepada pengajaran, maka keberhasilan pendidikan bagi

peserta didik tidak cukup diukur hanya dari kognitif saja. Pendidikan cinta

kasih menurut ajaran Islam ditujukan terutama untuk menciptakan manusia

yang berakhlak mulia. Sejalan dengan tujuan pendidikan al-Qur‟an, menurut

M. Quraish Shihab yaitu membina manusia secara pribadi dan kelompok

sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-

Nya guna membangun dunia sesuai konsep yang ditentukan oleh Allah swt

(Shihab, 172-173: 2004).

Bagi umat Islam berdasarkan kitab suci dan sunnahnya justru lebih

penting mengetahui seberapa jauh telah tertanam nilai-nilai kemanusian

mulia yang berwujud nyata dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari

peserta didik. Takwa dan budi pekerti luhur memiliki keterkaitan yang

sangat erat, sama halnya keterkaitan antara iman dan amal shaleh, shalat dan

zakat, hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Sejalan

dengan konsep pendidikan holistik-komprehensif yang disampaikan oleh

Abuddin Nata, yaitu pendidikan yang bertujuan memberikan kebebasan

peserta didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tetapi

juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan

sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu

mengangkat harkat bangsa (Nata, 2011: 136).

Pendidikan cinta kasih merupakan gerakan kultural yang dalam

pandangan Abdurrahman Wahid, menampilkan watak kosmopolitan yang

diimbangi rasa keagamaan yang kuat, pluralis, dan toleran, serta kesediaan

Page 39: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

27

terbuka dengan perubahan dalam masyarakat, tetapi tetap berpijak pada

kekuatan dasar masyarakat tradisional untuk mempertahankan keutuhan

(Wahid, 196: 2007). Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar

untuk membebaskan manusia dari segala belenggu yang menutupi

kemanusiaannya. John Rawls, menolak pandangan etis yang menjadikan

manusia sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan tertentu meski ia

akan menghasilkan manfaat yang besar atau untuk kepentingan yang lebih

besar (Rawls, 2009: 25). Manusia adalah tujuan pada dirinya, bukan sarana

untuk mencapai tujuan. Dengan pandangan demikian, Rawls hendak

menekankan paham deontologis Kant yang memahami kebenaran tindakan

bukan pada hasil (output), tetapi pada tindakan (proses) itu sendiri. Dengan

kata lain, proses kegiatan belajar mengajar, seorang pendidik harus menilai

murid dalam sebuah proses untuk mencari kebenaran dan jati dirinya bukan

sekadar hasil semata.

Cinta kasih adalah kehidupan yang sesungguhnya yang perlu dicapai

dan bila hilang maka hidup tidak lagi memiliki nilai, cinta juga laksana obat

penawar bagi hati dan kegelisahan bila kehilangannya. Cinta kasih juga

membangkitkan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam manusia

sekaligus membebaskan manusia dari problem-problem kehidupan. Mukmin

sejati mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya kepada apa dan

siapa saja. Al-Qur‟an menyebut cinta ‚hubb‛ dan derivasinya 83 kali,

sedangkan lawan katanya, yaitu benci ‚bugd-bagda‛ sebanyak 5 kali. Kata

yang berdekatan dengan bugd ialah sukht dan disebut 4 kali. Lawan katanya

adalah ridha dan terulang sebanyak 73 kali (Siradj, 2013).

Hubb dan mahabbah seakar habb yang berarti biji atau inti. Hubb

disebut habbat al-qalb, yaitu biji atau inti hati, karena keserupaan

aktivitasnya. Jika dikatakan, “Aku mencintai seseorang” berarti, “aku

Page 40: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

28

menemukan inti hatinya” sama dengan “aku jadikan hatiku sebagai sasaran

dan tujuan cintanya.” (Siradj, 2013). Cinta itu sendiri dalam bahasa Arab

diungkap dalam tiga karakteristik, yaitu apresiatif (ta’dzim), penuh

perhatian (ihtimaman), dan cinta (mahabbah). Tiga karakteristik itu

terkumpul dalam ungkapan mahabbah; orangnya disebut habib, habibah,

atau mahbub. Secara lebih spesifik, bahasa Arab menyebutnya dengan 60

istilah cinta, seperti ‘isyqun (menjadi asyik), hilm (ketanangan/

kelembutan), gharam (asmara), wajd (kemabukan), syawq (kerinduan), dan

lahf (kesedihan) (Siradj, 2013). Dalam tasawuf, kecintaan kepada Allah

adalah puncak pencapaian dan perjalanan manusia atau puncak dari seluruh

maqam (kedudukan atau tahapan). Setelah mahabbah, tidak ada lagi maqam

lain, kecuali buah dari mahabbah itu seperti syawq (kerinduan), uns

(keintiman), dan ridha (kerelaan).

Para guru-guru sufi mengajarkan kepada murid-murid mereka bahwa

kewajiban mereka adalah memenuhi hak Allah bukan karena rasa takut

melainkan karena rasa cinta. Sebab inti dari pengabdian ialah mencintai-Nya

secara mutlak meskipun seorang murid masih merasakan penderitaan dalam

hidup. Dengan demikian, cinta juga mengandung unsur kognitif yaitu

bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh cinta ialah makrifat dan kasyf,

tersingkapnya penglihatan batin karena kebaikan, kebersihan, atau kesucian

hati murid dari segala penyakit hati. Di sini seorang murid yang telah

mencapai hakikat akan mampu melihat realitas yang tersembunyi di dalam

segala sesuatu yang sebenarnya hanya satu, yaitu wujud dari keindahan,

keagungan, dan cinta-Nya semata. Imam al-Ghazali berkata bahwa cinta

meliputi rindu (syawq), karena pencinta selalu merindukan untuk tetap

bersama dengan yang dia cintai, sehingga dia akan selalu berkomunikasi

Page 41: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

29

(dzikr) dengan yang dicinta dan merasa puas (ridha) hanya kepada-Nya

(Smith, 2000: 197).

Di samping itu, cinta pada manusia terbagi dalam dua bagian, yaitu

cinta mistikal atau cinta sejati yang hanya tertuju kepada Allah dan cinta

alami atau metafor yang tertuju hanya kepada manusia (guru/pembimbing).

Sebab, cinta mistikal merupakan kecenderungan yang tumbuh dengan

sendirinya dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih sempurna

darinya dan dalam Al-Qur‟an Allah telah menyebut kedudukan manusia

sebagai khalifah-Nya dan hidup hanya untuk beribadah kepada-Nya. Ibnu

Abbas menafsirkan perkataan “supaya beribadah kepada-Ku”, yaitu

“supaya mencapai pengetahuan-Ku (melalui jalan cinta)”. Jalan cinta

menuju Allah ialah melalui Kekasih-Nya yaitu, nabi Muhammad saw.

Sebagaimana dalam Al-Qur‟an, “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah,

ikutilah aku. Allah akan mencintai kamu dan mengampuni segala dosamu.

Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 31).

Cinta kasih memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan

individu dan masyarakat terutama dalam dunia pendidikan Islam. Ia

memiliki kekuatan dahsyat yang mampu mengubah sifat malas jadi rajin,

sifat buruk jadi baik, sifat keras jadi lembut, sifat marah jadi pemaaf, dan

sifat merasa paling benar jadi sifat terbuka dengan perbedaan, dan

sebagainya. Cinta mampu melawan nafsu jahat yang selalu mengajak

manusia pada kemaksiatan yang akan menjerumuskannya kepada kehinaan.

Hubungan antara penghambaan manusia kepada Allah ialah cinta kasih,

begitupula antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta,

serta seorang guru dan murid. Meskipun defenisi tentang cinta itu rumit dan

beragam, namun ia tetap nyata dan hadir disetiap hati manusia, dan hanya

bisa didefinisikan oleh orang yang tenggelam dalam cinta. Rumi berkata,

Page 42: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

30

“Segalanya adalah cinta dan cinta adalah segalanya, tidak ada yang bisa

menjelaskan cinta, namun cintalah yang menjelaskan segalanya”. (Chittick,

2003: 325).

Menurut Syaikh Ramadhan al-Buthy (w. 2013 M), cinta adalah

kebergantungan hati kepada sesuatu sehingga menyebabkan kenyamanan di

hati saat berada di dekatnya atau perasaan gelisah saat jauh darinya (al-

Buthy, 2013: 13). Allah memuliakan manusia tanpa memandang bentuk dan

jenisnya, inilah bukti cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya, oleh karenanya

seorang guru mesti memandang semua murid sama, sebab dengan cinta

kasih melahirkan keadilan kepada sesama. Seorang guru harus

menginternalisasikan sifat cinta kasih kepada murid, agar supaya murid juga

mampu menerapkan sifat tersebut untuk mewujudkan keharmonisan, akhlak

yang baik, sopan santun, toleran, dan sebagainya kepada sesama murid dan

guru. Namun, sebelum cinta memasuki diri seorang murid, ia harus melalui

tahap menyucikan diri atau maqam taubat, sebagaimana Allah swt

berfirman; “Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai

orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222). Sebab, mustahil Allah

menganugerahkan cinta kepada hamba-Nya bila di dalam diri seorang murid

itu masih ada penyakit hati yang belum dibersihkan dengan jalan taubat,

maka tugas gurulah yang membimbing murid untuk membersihkan cermin

hatinya agar mampu memantulkan cahaya ilahi dengan sempurna. Dengan

demikian, seorang murid yang memperoleh cinta dari Allah dapat dilihat

dari keimanan dan ketakwaannya yang terus bertambah dari waktu ke

waktu, ibadahnya kian meningkat, lebih fokus melaksanakan kewajiban dan

menjauhi larangan-Nya, memperbanyak zikir, dan senantiasa merasa selalu

diawasi oleh-Nya, sehingga murid tidak akan berbuat sesuatu yang

menghinakan diri-Nya dihadapan Allah dan sesama manusia.

Page 43: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

31

Al-Ghazali mendefiniskan cinta sebagai kecenderungan naluriah

kepada sesuatu yang menyenangkan (al-Ghazali, 1995: 60). Sedangkan Abu

Yazid al-Busthami (w. 280 H) mengatakan, “hakikat cinta adalah apabila

telah terjadi ittihad (penyatuan)” (Mahmud, 1967: 314). Menurut Syaikh

Junaid al-Baghdadi (w. 910 M) “cinta adalah merasuknya sifat-sifat sang

Kekasih yang mengambil alih dari sifat-sifat pencinta” (al-Qusyairi, 1999:

321). Sementara Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi (w. 988 M) membagi

mahabbah menjadi tiga tingkatan: Pertama, mahabbah al-‘ammah (orang

umum), yaitu mahabbah yang timbul dari belas kasih dan kebaikan Allah

kepada hamba-Nya; Kedua, mahabbah al-Shadiqin wa al-Mutahaqqiqin,

yaitu mahabbah yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap

kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah; Ketiga,

mahabbah ash-Shiddiqin wa al-‘Arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari

penglihatan dan ma’rifah mereka terhadap Qadim-Nya kecintaan Allah yang

tanpa ‘illat (pamrih) (Ni‟am, 2001: 114).

Mencintai dan memuliakan guru bukanlah tujuan, melainkan hanya

sarana, sebab tujuannya ialah Allah swt karena Dia-lah yang

menganugerahkan cinta. Seorang murid harus dibimbing untuk beribadah

kepada-Nya dengan rasa cinta bukan karena rasa takut akan siksa-Nya,

dengan ini murid akan merasakan inti dalam beribadah yang menumbuhkan

ketenangan dan kesejukan spiritual ketimbang menyembah-Nya dengan

harapan ingin masuk surga dan takut masuk neraka. Seorang murid yang

cinta kepada gurunya akan melakukan kewajiban-kewajiban yang

diperintahkan kepadanya dengan penuh keikhlasan, seperti seorang hamba

yang hatinya diselimuti cinta kepada Allah akan melaksanakan segala

kewajiban tanpa berpikir panjang, karena cinta yang tulus kepada-Nya.

Inilah dampak cinta kasih yaitu menundukkan egoisme atau keakuan kepada

Page 44: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

32

orang yang dicintai, dan nantinya akan melahirkan apa yang disebut oleh

Badiuzzaman Said Nursi, yaitu al-fana> fi al-ikhwa>n (melebur dalam

persaudaraan) sehingga tidak ada lagi kata “aku” yang ada hanya “kita”.

Sebab, tujuan cinta kasih ialah menundukkan ego murid sebagai jalan untuk

sampai kepada-Nya.

Al-Qur‟an telah mewanti-wanti manusia agar ia tidak menjadikan

cintanya kepada yang lain melebihi atau sepadan dengan cinta kepada Allah,

sebagaimana Allah berfirman; “Dan di antara manusia ada orang yang

menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai

seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar

cintanya kepada Allah..” (QS. Al-Baqarah: 165). Cinta murid kepada

gurunya atau sebaliknya hanyalah cinta metafor, sebab cinta sejati hanya

untuk Allah semata sehingga ketaatan sejatinya hanya kepada-Nya melalui

perantara bimbingan seorang mursyid (guru atau pembimbing spiritual).

Meskipun Allah tidak menuntut hamba-Nya untuk mencintai Allah semata

dengan meniadakan cinta-cinta yang lain, karena bagaimana mungkin Allah

menuntut hamba-Nya untuk menghilangkan cinta kepada anak, istri,

keluarga dan kehidupan ini, sedangkan Dia-lah yang menyemai rasa cinta

itu ke dalam hati manusia.

Cinta bagi Rumi, adalah segala-galanya, alam semesta ini adalah

alam cinta dan apa yang terjadi dalam proses kehidupan ini adalah muncul

dari cinta. Bahkan grafitasi bumi pun terjadi karena cinta. Rumi

mengatakan, “Andai tidak ada cinta, maka alam ini tidak lagi mempesona,

kicauan burung tidak lagi merdu, panorama alam tidak lagi indah, bahkan

dunia akan membeku tanpa makna” (Nicholson, 1993: 98). Dengan cinta

kasih akan melahirkan karakter baik yang dimaknai sebagai cara berpikir

dan berperilaku khas pada individu untuk hidup dan bekerja sama baik

Page 45: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

33

dalam ruang lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan alam semesta. Bagi

Rumi, tidak ada sesuatu apapun yang ada di realitas eksternal, terkecuali

cinta hadir di dalam dirinya. Sejalan dengan Plotinus, bahwa cinta mengalir

dalam seluruh realitas, dan berdasarkan cinta tersebut, akan menyebabkan

gerak kembali kepada asalnya menuju hakikat dirinya yang sejati. Bahkan

bagi sufi, istilah buraq ialah cinta. Namun, cinta sendiri tidaklah indah,

sebab yang indah ialah kebergantungan mendalam kepada Tuhan yang

memberikan keindahan. Ketika fokus seseorang masih pada cinta, maka

pada saat itu cinta hanya menjadi hijab dari-Nya (Jabir, 2018: 48-49).

D. Tujuan Pendidikan Cinta Kasih

Menurut Aboebakar Atjeh, bahwa tujuan sufi mengenai pendidikan

manusia terutama diletakkan dalam menanam rasa kebencian kepada dunia

yang dianggapnya merupakan sumber kebinasaan dan kekacauan bagi

kehidupan perdamaian manusia, dan oleh karena itu dalam mengajarkan

akhlak kepada manusia ditekankan melepaskan diri dari keserakahan dunia

(Aboebakar Atjeh, 1985: 19). Dengan demikian, tujuan pendidikan cinta

kasih melepaskan diri dari segala bentuk keserakahan terhadap dunia yang

mengakibatkan kekacauan kehidupan manusia yang adil, damai, tenang, dan

aman. Pendidikan cinta kasih bertujuan menumbuhkan rasa empati kepada

sesama manusia untuk mewujudkan keharmonisan dan kedamaian hidup

yang mengantarkan seorang murid menjadi manusia yang seutuhnya (insan

kamil). Tujuan pendidikan selain berfungsi sebagai pengembangan fisik, dan

intelektual (kognitif) juga bertujuan melahirkan akhlak mulia atau budi

pekerti yang luhur yang berlandaskan cinta dan kasih sayang. Sebagaimana

menurut Ibnu Sina, tujuan pendidikan ialah mengarahkan pengembangan

seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang

Page 46: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

34

sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti (Marimba,

1990: 2).

Tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat

atau sebuah pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seorang guru

dapat merumuskan suatu tujuan, apabila ia mampu memahami secara filsafat

(Nata, 2000: 81). Menurut Imam Ghazali, pendidikan yang baik merupakan

jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk memperoleh

kebahagiaan dunia dan akhirat (Jallaludin & Usman Said, 1996: 139). Oleh

karena itu, tujuan pendidikan ialah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan

akhirat yang pada puncaknya ialah berjumpa dengan Allah swt. Sedangkan

jalan yang ditempuh ialah dengan jalan cinta kasih untuk mencapai tujuan

tersebut. Pendidikan adalah suatu lembaga yang juga sangat menentukan

tercapainya sebuah tujuan berbangsa dan tujuan utama manusia itu sendiri.

Oleh karena itu, dengan pendidikan diharapkan mampu mewujudkan tujuan

umat manusia dalam berbangsa, beragama, dan bertuhan. Menurut Abdul

Fattah Jalal, bahwa tujuan pendidikan adalah mewujudkan manusia yang

‘abid, yang menghambakan diri kepada Allah swt. Maksud ‘abid di sini ialah

beribadah kepada Allah tidak hanya sebatas ritual saja seperti shalat, puasa,

zakat, haji, melainkan seluruh aspek kehidupan berupa perkataan, perbuatan,

pemikiran, dan perasaan yang dipertautkan kepada Allah swt (Fattah Jalal,

1988: 123-124). Sedangkan menurut Ali Ashraf, tujuan akhir pendidikan

Islam adalah perwujudan penyerahan diri kepada Allah secara mutlak, dan

pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya (Ali

Ashraf, 1996: 2). Dengan demikian, pendidikan cinta kasih bertujuan untuk

memasuki kesadaran ruhani sebagai hamba yang menyerahkan dirinya

kepada Allah swt. secara mutlak dan pengabdian kepada kemanusiaan pada

umumnya.

Page 47: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

35

Menurut Seyyed Hossein Nasr, tujuan pendidikan adalah untuk

menyempurnakan dan mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki

anak didik untuk mencapai pengetahuan tertinggi tentang Tuhan yang

merupakan tujuan hidup manusia (Nasr, 1994: 150). Nasr, menambahkan

sistem pendidikan Islam klasik, yang selama berabad-abad telah

menghasilkan filosof-filosof, ilmuan-ilmuan, teolog-teolog, sastrawan dan

para pakar di berbagai bidang keilmuan harus dijadikan contoh model bagi

pengembangan pendidikan modern, agar pendidikan tidak kehilangan daya

mobilitasnya (Nasr, 1994: 142). Dengan demikian, tujuan pendidikan ialah

untuk menyempurnakan potensi murid agar mampu mencapai pengetahuan

dan pengenalan tentang Allah yang berimplikasi kepada kebaikan moral,

ketenangan jiwa, dan kelembutan budi. Dalam pandangan Ibnu Qayyim al-

Jauziyah bahwa tujuan pendidikan yang utama adalah menjaga kesucian

(fitrah) manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan

serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah swt

(Al-Jauziyah, 2009: 8). Ibnu Qayyim menguatkan bahwa Allah tidaklah

menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. jadi,

pendidikan ialah sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah swt dengan

dasar cinta dan kasih sayang. Mengenai tujuan pendidikan, al-Zarnuji

mengatakan bahwa tujuan pendidikan ialah ditujukan untuk meraih

keridhaan Allah, memperoleh kebahagiaan di akhirat, berusaha memerangi

kebodohan kepada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan

melestarikan ajaran Islam, serta mensyukuri nikmat Allah (Iqbal, 2015: 379).

Dengan demikian, pendidikan cinta kasih bertujuan untuk membentuk sikap

dan ucapan murid dengan landasan cinta dan kasih sayang. Sebab, cintalah

yang menyatukan segala perbedaan, kasihlah yang menjernihkan segala

kekeruhan. Tanpa cinta dan kasih, tiadalah penyatuan dan kejernihan.

Page 48: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

1. Sumber Bahan

Dalam penyusunan tesis ini penulis mengambil data dari pendapat

para ahli yang dikemukakan baik dalam bentuk jurnal penelitian, buku-buku,

maupun laporan ilmiah terdahulu. Sumber data primer penelitian ini terdapat

pada karya Rumi yaitu Al-Matsnawi Al-Ma‟nawi karya Rumi yang paling

terkenal berbahasa Persia berisi delapan jilid yang pernah diterjemahkan oleh

Reynold A. Nicholson pada tahun 1925-1940, yaitu berisi karangan bersajak

tentang makna-makna terdalam ajaran agama melalui puisi dan kisah-kisah

penuh hikmah. Setiap bait memiliki rima, yaitu bunyi-bunyi yang

ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait dalam puisi.

Kumpulan syair besar ini terdiri atas enam buku, yang seluruhnya memuat

sekitar 25.000 bait. Diwan Syams Tabrizi merupakan kitab yang berisi

ghazal-ghazal, kalam-kalam penuh makna. Kitab ini menyajikan keindahan

ajaran kebajikan, welas asih, cinta, dan spiritualitas. Diwan ini berisi 3500

syair berbahasa Persia, Rumi menyusunnya dalam beberapa langgam syair

yang berbeda-beda. Jumlah baitnya mencapai 43.000 bait. Kitab ini

mengungkapkan hubungannya dengan sang guru, Syamsuddin at-Tabriz

karena telah terjadi penyatuan antara jiwa guru dan murid. Al-Rubaiyat

adalah sebuah antologi puisi Rumi yang terdiri dari 3318 bait yang memuat

pesan-pesan tasawuf yang begitu mendalam melalui puisi, dan meliputi 1659

ruba>’iyah (kumpulan empat bait dalam bentuk sajak). Rumi

menginterpretasikan dirinya sebagai seorang penyair sufi yang agung. Kitab

ini semula termaktub pada bagian akhir dari Diwan Syams Tabrizi.

Kemudian, Fihi Ma Fihi karya Rumi berbentuk esai. Dalam buku ini

Page 49: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

37

merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang disampaikan kepadanya

dalam berbagai kesempatan. Buku ini memperjelas pendapatnya dengan

berbagai contoh dan kisah yang menjadi pelengkap untuk membantu banyak

dalam memahami pemikiran sufisme Rumi. Buku ini memuat 71 pasal.

Masing-masing pasal hanya menyebutkan nomor, tanpa disertai judul. Enam

pasal di antaranya ditulis dalam bahasa Arab (pasal 22, 29, 34, 43, dan 48).

Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari sumber buku dan

jurnal yang mengkaji pemikiran Rumi. Data ini menjadi penting dalam

penelitian ini karena menjadi rujukan utama dalam membangun kerangka

berpikir.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library Research).

Oleh karena itu, penulis menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu

bahan-bahan data yang koheren dengan objek penelitian yang dimaksud.

Data yang ada didalam kepustakaan tersebut dikumpulkan serta melakukan

analisis lanjutan terhadap hasil data dengan menggunakan kaidah-kaidah,

teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan

tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah. Penelitian

kepustakaan memiliki beberapa ciri khusus; pertama, penelitian ini

berhadapan langsung dengan teks, bukan dengan lapangan atau saksi mata

(eyewitness), berupa kejadian atau benda-benda lain. Kedua, data bersifat

siap pakai (readymade), artinya peneliti tidak pergi kemana-mana, kecuali

hanya berhadapan langsung dengan sumber yang sudah ada di perpustakaan.

Ketiga, data di perpustakaan umumnya adalah sumber data sekunder, dalam

arti bahwa peneliti memperoleh data dari tangan kedua bukan asli dari

tangan pertama dilapangan. Keempat, kondisi data di perpustakaan tidak

dibagi oleh ruang dan waktu (Mestika Zed, 2004).

Page 50: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

38

3. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sesuai dengan objek

kajian tesis ini, maka jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian

kepustakaan (library research), yaitu; pertama, dengan mencatat semua

temuan mengenai pendidikan cinta kasih yang didapatkan dalam literatur dan

sumber; kedua, memadukan segala temuan; ketiga, menganalisis segala

temuan dari berbagai bacaan dan sumber; keempat, mengkritisi atau

memberikan gagasan dari setiap wacana (syair) yang berkaitan dengan

pendidikan cinta kasih. Menurut Kaelan, dalam penelitian kepustakaan

kadang memiliki deskriptif dan juga memiliki ciri historis (Kaelan, 2010:

134). Dikatakan memiliki ciri historis karena banyak penelitian semacam ini

memiliki dimensi sejarah, termasuk di dalamnya penelitian tentang agama,

naskah tertentu, tokoh dan lain sebagainya.

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya

tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya

(Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 2009: 4). Sementara studi kepustakaan

(library research) adalah penelitian yang data-datanya diperoleh dari kajian

literatur melalui riset kepustakaan yang dikaji secara deskriptif-analitik.

Dengan menggunakan data-data dari berbagai referensi baik primer maupun

sekunder. Data-data tersebut dikumpulkan dengan teknik dokumentasi, yaitu

dengan jalan membaca (text reading), mempelajari, mengkaji, dan mencatat

literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tesis ini.

4. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan

cara mengumpulkan data-data yang relevan dengan penelitian serta diambil

kesimpulan dari data yang terkumpul. Peneliti menggunakan metode ini

Page 51: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

39

untuk memperoleh data dari berbagai sumber teks, seperti buku, jurnal, dan

artikel ilmiah yang relevan dengan penelitian yang sedang dikerjakan.

5. Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari lapangan dan literatur-literatur. Selain itu analisis

data bertujuan menyusun data dalam cara yang bermakna sehingga dapat

dipahami (Sitorang, 2010: 9). Senada dengan Nana Sudjana, menurutnya

analisis data merupakan proses pencarian dan penyusunan secara sistematis

terhadap transkip wawancara, dan bahan-bahan lain yang terkumpul. Hal ini

dilakukan dalam upaya meningkatkan pemahaman tentang data serta

menyajikan apa yang telah ditemukan kepada orang lain (Sudjana, 1989: 64).

Karena menganalisa pemikiran tokoh yang pernah hidup di masa yang telah

lewat, maka secara metodologis penelitian ini akan menggunakan tinjauan

kesejarahan yang dikenal dengan istilah historical approach (Notosusanto,

1978: 36). Dengan pendekatan ini, dimaksudkan untuk merekonstruksi

kejadian-kejadian masa lampau yang mungkin mempengaruhi pemikiran

Jalaluddin Rumi.

Page 52: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

40

BAB IV

KONSEP PENDIDIKAN CINTA KASIH JALALUDDIN RUMI

A. Biografi Jalaluddin Rumi

1. Riwayat Hidup Jalaluddin Rumi

Nama asli Jalaluddin Rumi adalah Muhammad Jalaluddin.

Kemudian ia lebih dikenal dengan sebutan maulana (mevlevi) Rumi.

Namun orang-orang Afghan dan Persia tetap lebih suka memanggilnya

dengan sebutan Jalaluddin al-Balkhi, karena keluarganya tinggal di

Balkhi sebelum berhijrah ke arah Barat (Schimmel, 2016: 25). Balkh

adalah sebuah kota kuno di Asia Tengah yang pernah menjadi pusat

Buddhisme dan Zoroasterisme. Marcopolo mengatakan, bahwa Balkh

sebagai “noble and great city” (Djamaluddin, 2015: 14). Balkh terkenal

sebagai pusat peradaban, posisi Balkh yang strategis membuatnya

menjadi tempat berkumpul tiga tradisi besar, yakni peradaban

Transoksiana, Persia, dan Hindia. Oleh karena itu, Balkh dijuluki sebagai

ummul bilad (ibu berbagai negeri). Ia dilahirkan pada tanggal 6 Rabi‟ul

Awwal 604 H atau tanggal 30 September 1207 M di Balkh, termasuk

wilayah kerajaan Khawarizm, di Persia Utara (Ni‟am, 2001: 30).

Ayahnya bernama Bahauddin Walad dan Kakek Rumi bernama Husen

al-Katibi. Kakek Rumi ini yang kemudian menikah dengan putri raja

Alauddin Muhammad al-Khawarizmi. Garis keturunan ayah Rumi

sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dan jalur dari pihak Ibu, Rumi

bertemu dengan Ali bin Abu Thalib (Ni‟am, 2001: 31). Ayahnya,

Bahauddin Walad adalah seorang khatib, faqih, dan sufi terhormat juga

terkenal yang silsilah spiritualnya bersambung kepada Syaikh Ahmad al-

Ghazali. Ia digelari “sultan al-ulama” dan Bahauddin ialah pengikut

Page 53: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

41

Sunni yang sangat setia mempertahankan nilai-nilai tradisional Islam,

dan termasuk pengikut aliran Asy‟ariyah.

Rumi dianggap sebagai seorang penulis yang memperoleh ilham

di antara para mistikus Islam. Dikisahkan bahwa ia mendiktekan sajak-

sajaknya dalam keadaan gairah dan mabuk ruhani (sukr) (Schimmel,

2000: 402). Rumi adalah seorang manusia yang dilahirkan untuk seluruh

umat manusia yang berbicara dengan bahasa cinta, murid-murid Rumi

telah memandangnya sebagai jendela untuk melihat Nabi Muhammad

dan Allah swt. Pada saat yang sama, orang-orang Nasrani melihat Rumi

sebagai Nabi Isa dan Nabi Musa bagi orang-orang Yahudi. Pada 1219

Masehi, pasukan Mongol melakukan invasi ke Balkh, sehingga memaksa

orang tua Rumi beserta keluarganya hijrah menuju Mekah. Sedangkan

pendapat lain mengatakan, bahwa sebab hijrahnya adalah karena

Bahauddin tengah perang dingin dengan seorang ulama teolog, bernama

Imam Fakhruddin ar-Razi. Namun pendapat yang kedua ini ditolak oleh

Annemarie Schimmel (Zaairul Haq, 2011: 14). Pada kenyataanya, di

dalam kitab Fihi Ma Fihi Rumi menjelaskan bahwa raja Khawarizmi

menolak orang-orang Mongol dan membunuh beberapa pedagang

Mongol. Akibat tindakan raja Khawarizmi, Jengis Khan mengirim

pasukannya untuk menaklukkan Iran dan sekitarnya. Sedangkan menurut

Mulyadhi Kartanegara, hijrahnya Bahauddin dan keluarga ke Mekah

karena memang didasari niat untuk melaksanakan ibadah haji. Namun

tidak kembali lagi karena ayah Rumi telah mendengar kabar tentang

invasi pasukan Mongol ke arah Balkh (Zaairul Haq, 2011: 15).

Pada saat Rumi berusia 12 tahun, ayahnya tiba-tiba bersama

keluarganya meninggalkan Balkh dan melakukan perjalanan ke berbagai

kota. Kota pertama yang dia singgahi ialah Nishapur, dan di sinilah Rumi

Page 54: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

42

bertemu dengan Fariduddin al-Attar pengarang kitab tasawuf Mantiq at-

Tayr dan Tadzkirah al-Awliya. Pada saat rombongan Rumi bersiap-siap

pergi melanjutkan perjalanannya, Rumi berjalan dibelakang ayahnya, dan

Attar berkata, “Perhatikan situasi aneh ini, lautan mengalir diikuti

samudra” (Jamnia, 1997: 140). Attar telah melihat samudra pada diri

Rumi muda, dan karena rasa simpatinya kepada Rumi, Attar memberikan

sebuah karya mistisnya sebagai hadiah, yaitu “Asrar Nameh” (Kitab

Rahasia), dan meramalkan masa depan Rumi sebagai tokoh spiritual

yang agung. Attar berkata pada ayah Rumi, “Sebentar lagi putramu akan

menjadi api yang membakar para pencinta di seluruh jagat.” (Zaairul

Haq, 2011: 17). Karya tulis Attar itu mengajarkan nilai-nilai sufisme

melalui kisah dan fabel, yang dikemudian hari menjadi salah satu kitab

yang banyak memengaruhi karya-karya Rumi. Kemudian, keluarga Rumi

pindah ke Baghdad dan terus ke Mekah. Dari Mekah mereka pindah ke

Malthiyah dan tinggal di sana selama empat tahun. Lalu mereka ke

Laranda (kini Kerman), dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di kota

ini, di mana Ibu Rumi, Mu‟min Khatun meninggal dunia. Pada saat itu

Rumi berusia 19 tahun dan menikahi seorang putri Lala Syarafuddin as-

Samarkandi, bernama Jauhar Katun (Kartanegara, 1986: 19).

Pernikahannya dengan Jauhar Katun, Rumi mempunyai anak yang

bernama Sultan Walad dan Alauddin, setelah Jauhar Katun meninggal

dunia, Rumi menikah lagi dengan seorang janda bernama Karra Katun,

darinya Rumi memiliki anak yang bernama Amir Muzaffar al-Chelebi

(Subhan, 2018).

Kemudian dari Laranda lalu pindah ke Qunyah (Konya), yang

pada saat itu menjadi ibukota Dinasti Bani Saljuk di Asia dengan

sultannya Alauddin as-Saljuqi. Di kota inilah ayah Rumi wafat di tahun

Page 55: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

43

628 H (Ahmed, 1994: 127). Pada tahun 634 H. Rumi kembali ke Konya,

dan aktif sebagai pengajar, memberikan kuliah dan fatwa. Di madrasah

yang dipimpin Rumi ramai, tidak kurang 4.000 murid belajar di situ.

Pada tahun Jumadil Akhir 642 H, seorang laki-laki beraliran sufi dari

Tabriz namanya Muhammad bin Ali bin Malik Da‟ad, tetapi lebih

dikenal dengan Syamsuddin at-Tabriz datang berkunjung pada Rumi.

Dan mulai saat itu Rumi belajar kepada Syams at-Tabriz, dan

diriwayatkan Rumi selama enam bulan mengasingkan dirinya di dalam

kamar Shalahuddin Zarkub ad-Dukak (Ni‟am, 2001: 35). Kedatangan

Syams di Konya menurut Aflaki, terjadi pada tanggal 29 November 1244

(Okuyucu, 2018: 37). Bagi Rumi, Syams at-Tabriz adalah segala-

galanya. Dalam sajaknya Rumi mengatakan, “Sesungguhnya Syams

Tabriz itulah yang telah menunjukiku jalan kebenaran. Dialah yang

mempertebal keyakinan dan keimananku” (An-Nadwi, 1997: 3).

Sebelumnya Syams telah melayani Syaikh Abu Bakar al-Salabaf,

dan dia bertemu dengan banyak tokoh sufi meski tidak memuaskan

pengetahuannya. Di Damaskus, dia mengungkapkan kekecewaannya

terhadap Awhaduddin Kirmani dan dia diragukan oleh Muhyiddin Ibnu

„Arabi. Saat itu Syams berusia 60 tahun dan terus mengembara mencari

sebuah api yang besar untuk bersenyawa dengan api yang ada di dalam

dirinya sendiri (Okuyucu, 2018: 36). Kemudian, setelah dipertemukan

dengan Rumi, Syams merasa Rumi-lah yang dapat memahami dirinya,

dan semakin hari persahabatannya dengan Rumi semakin akrab dan

menimbulkan kecemburuan pada sahabat dan murid-murid Rumi yang

merasa diabaikan. Sehingga Syams pergi meninggalkan Rumi secara

diam-diam pada tanggal 21 Syawal 643 H/19 Juni 1246 M. selama

tinggal bersama 16 bulan lamanya (Ni‟am, 2001: 36). Perpisahan ini

Page 56: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

44

menyusahkan Rumi dan menimbulkan tekanan batin yang begitu

mendalam dan timbullah rasa rindu sehingga Rumi mulai menulis surat

dan syair-syair kepada Syams at-Tabriz, dan dikenal sekarang dengan

kitab Diwan-i Syamsi Tabrizi.

Sebagai seorang sufi, Rumi menempa dirinya dengan ibadah yang

ketat, kehidupannya yang zuhud, dan akhlaknya yang mulia, patut

diteladani oleh setiap muslim. Rumi sangat zuhud (tidak cinta dunia),

beberapa kali sultan memberinya hadiah, namun hadiah-hadiah itu dia

bagikan kepada orang lain. Rumi juga sangat wara‟ dan senantiasa

menjaga dirinya dari harta yang syubhat apalagi yang haram. Dikisahkan

pula Rumi memiliki hubungan yang baik dengan beberapa pejabat seperti

Mu‟inuddin Parwani, namun ia tidak suka memanfaatkan hubungannya

itu untuk menjilat. Bahkan tak ditemukan satu pun dalam syair-syairnya

puja puji kepadanya (Djamaluddin, 2015: 64-64). Dalam suatu riwayat,

Abu al-Hasan an-Nadwi berkata; bahwa Rumi tidak mau membangunkan

seekor anjing yang tidur di tengah sempitnya gang yang hendak ia lewati.

Ia tidak ingin menganggu dan menyakiti anjing tersebut, sehingga ia

lebih memilih untuk menunggu hingga anjing itu bangun dengan

sendirinya (an-Nadwi, 1974: 14). Demikianlah, kasih sayang Rumi

kepada makhluk ciptaan Allah, bahkan yang dianggap najis sekalipun.

Seorang sahabat Rumi, bernama Sabah Salar berkata: “Saya sama sekali

tidak pernah melihatnya memiliki sehelai hamparan alas tidur dan

tongkat, kalau rasa kantuk menyerangnya, ia bisa lelap dalam keadaan

duduk.” (an-Nadwi, 2015: 11).

Pengaruh Syams sangatlah besar bagi kehidupan spiritual Rumi,

bahkan Rumi mendesak Syams agar dia tinggal serumah dan

mengawinkannya dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam

Page 57: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

45

keluarganya (anak angkat Rumi bernama Kimya) (Schimmel, 2016: 33).

Seandainya Syams tidak pernah hadir di hadapan Rumi, maka tidak akan

pernah ada Matsnawi di tangan Rumi. Syams tidak pernah kembali lagi,

dan Rumi menyadari bahwa ia memang gagal menemukan gurunya itu,

namun ia akhirnya berhasil menemukan sesuatu yang lebih berharga

dalam hidupnya, yaitu pencerahan spiritual di dalam dirinya.

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H/17 Desember 1273 M.,

dalam usia sekitar 66 tahun Rumi meninggalkan dunia yang fana ini, dan

setiap orang di Konya, baik Kristen, Yahudi maupun Muslim menghadiri

pemakamannya, seperti yang dikatakan putranya Sultan Walad:

“Penduduk kota, tua dan muda semuanya meratap, menangis, mengeluh

keras. Orang-orang desa, orang-orang Turki dan Yunani, mereka

mencabik-cabik pakaian mereka karena perasaan sedih atas

meninggalnya orang yang agung ini. Ia adalah Musa, kata orang-orang

Yahudi”. Kucing Rumi pun sedih dan bunyi meongnya diterjemahkan

sebagai suatu ekspresi kerinduan seekor binatang akan tempat asalnya.

Kucing itu tidak mau makan setelah Rumi wafat, dan ia pun mati

seminggu kemudian. Malika Khatun, putri Rumi yang menguburkannya

di dekat makam ayahnya (Schimmel, 2016: 50). Dalam Matsnawi, Rumi

mengatakan: “Aku sudah terlepas dari tubuh ini, tubuh sebagai karya

dari imajinasi. Sekarang, aku berayun ke atas, menikmati kesenangan

dari pertemuan kembali.” (Okuyucu, 2018: 71).

2. Pendidikan Jalaluddin Rumi

Pada awalnya Rumi belajar di bawah asuhan ayahnya Bahauddin

Walad (w. 1231 M). Al-Aflaki dalam Manaqib al-‘Arifin mengatakan

bahwa Bahauddin Walad memiliki pengaruh yang sangat kuat, kalimat-

kalimatnya yang fasih dan menyentuh membuat masyarakat

Page 58: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

46

mencintainya dan menaati nasihat-nasihatnya. Setelah memberikan

nasihat, Bahauddin menuju sebuah kamar khusus pada malam harinya

untuk qiyamul lail, berzikir dan membaca wirid-wirid rutinnya (Iblagh

al-Afghaniy, 1987: 63). Bahauddin Walad adalah seorang sufi besar,

seorang murid utama dari Syaikh Najmuddin Kubra, pendiri Tarekat

Kubrawiyah. Hal ini karena kitab Bahauddin, al-Ma’arif memiliki

banyak kesamaan dengan karya-karya Syaikh Najmuddin Kubra, dan di

sisi lain Bahauddin pernah menjadi mursyid Tarekat Kubrawiyah (Syatta,

1996). Demikianlah, Rumi lahir dan tumbuh dalam keluarga ulama yang

terkenal dengan kealiman dan kezuhudannya.

Sepeninggal ayahnya, Rumi lalu belajar kepada sahabat ayahnya

bernama Burhanuddin Muhaqqiq at-Tirmidzi (w. 1245 M). Kedatangan

Burhanuddin menjadi kabar gembira bagi Rumi, ia mendapat guru yang

ahli dalam ‘irfan (ilmu tasawuf). Rumi pun mendapat banyak petunjuk

dari Burhanuddin, khususnya ketika membaca kembali karya ayahnya,

al-Ma’arif (Syatta, 1996: 12). Burhanuddin juga membawa Rumi

mempraktikkan jalan tasawuf dalam tradisi arba’iniyyah (berkhalwat

kepada Allah selama 40 hari tanpa putus). Di samping itu, Burhanuddin

juga memperkenalkan syair-syair Hakim as-Sana‟i untuk mengasah

kelembutan hatinya (Syatta, 1996: 13). Ketika Rumi pergi ke Damaskus

tempat sufi besar tinggal Muhyiddin Ibnu „Arabi, namun tidak ada

riwayat yang menjelaskan pertemuan Rumi dengan Ibnu „Arabi.

Meskipun ada yang menceritakan, bahwa ketika dari Haleb, Rumi pindah

ke Damaskus dan di sana ia memasuki sekolah al-Muqaddasiyah. Di sini

ia bertemu dengan Ibnu „Arabi, Sa‟aduddin al-Hamawi, Utsman ar-

Rumi, Awhaduddin al-Kirmani, dan Sadruddin al-Qunawi (An-Nadwi,

1997). Setelah Burhanuddin Muhaqqiq meninggal dunia, Rumi pun

Page 59: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

47

menggantikannya sebagai guru di Konya. Di bawah bimbingan dan

anjuran Burhanuddin, Rumi melanjutkan pengembaraan intelektualnya

ke Aleppo (Haleb) dan Damaskus. Di sini Rumi tinggal di Madrasah

Halawiyah dan diasuh dibawah bimbingan Kamaluddin bin al-„Azhim

(Kartanegara, 1986: 20).

Jalaluddin Rumi-lah yang kemudian menggantikan ayahnya dan

menjadi penerusnya dalam mengajar teologi tradisional, dan

membentangkan dakwah, mempopulerkan nasihat dan keputusan hukum

(Schimmel, 2016: 28). Seorang penguasa bernama Badruddin Kahartasy,

kemudian membangun sekolah untuk Rumi, nama sekolah itu

khadawandahar (Hudavendigar). Pada tahun Jumadil Akhir 642 H,

Rumi bertemu dengan seorang sufi dari Tabriz namanya Muhammad bin

Ali bin Malik Da‟ad, tetapi lebih dikenal dengan Syams at-Tabriz. Dan

mulai saat itu Rumi belajar kepada Syams at-Tabriz, dan diriwayatkan

Rumi selama enam bulan mengasingkan dirinya di dalam kamar

Shalahuddin Zarkub ad-Dukak (Ni‟am, 2001: 35). Bagi Rumi, Syams at-

Tabriz adalah segala-galanya, dialah matahari Rumi yang mencairkan

kebekuan intelektual dan spiritual Maulana Rumi. Rumi pun terinspirasi

dengan seorang penyair sufi Sana‟i dari Ghazna, karyanya Hadi>qah al-

Haqi>qah merupakan contoh dari semua Matsnawi> yang bersifat mistik.

Rumi bahkan mengambil sebaris dari karya Sana‟i dan mengerjakannya

kembali menjadi sebuah nyanyian sedih mengenai sang guru yang telah

meninggal dunia lebih dari seratus tahun sebelumnya (Schimmel, 2016:

29).

Setelah Rumi tenggelam dalam jiwa Syams, Rumi memasuki

masa ketenangan spiritual dan dia memerlukan sahabat yang bisa diajak

berbagi pengalaman spiritual. Rumi bertemu dengan Sadruddin al-

Page 60: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

48

Qunawi (w. 1274 M), anak tiri Ibnu „Arabi sekaligus murid

kesayangannya dan pengulas terbaik karya-karya Ibnu „Arabi seperti

Futuhah al-Makkiyah dan Fusush al-Hikam. Sadruddin lebih tua

beberapa tahun dari Rumi, mereka saling menghormati dan saling

berbagi pengalaman spiritual sejak pertemuannya itu. Pada suatu ketika,

Rumi berjalan-jalan di suatu pasar pembuat emas, dan ketika suara palu

terdengar di telinganya, membuat Rumi mengalami ekstase (mabuk

spiritual). Pembuat emas itu ialah Shalahuddin Zarkub (w. 1258 M), guru

sekaligus sahabat lama Rumi (Schimmel, 2016: 40). Shalahuddin

Zarkub, juga ialah murid dari Burhanuddin Muhaqqiq, namun ia kembali

ke kampung halamannya. Pertemuan antara Rumi dan Syams kadang-

kadang terjadi di rumah atau di tokonya. Shalahuddin yang buta huruf ini

menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual Rumi, yang ia

anggap sebagai cermin sejati untuk menemukan kembali diri yang sejati.

Jalaluddin Rumi memiliki hubungan dengan Fakhruddin Iraqi

(w. 1289 M), seorang penyair sufi yang tinggal selama dua puluh lima

tahun di Multan, Punjab Selatan. Fakhruddin telah sampai di Konya pada

1267, dan menjalin hubungan yang akrab dengan Shadruddin Qunawi.

Syair-syair Persianya telah menggerakkan Rumi dalam beberapa ghazal

Rumi (Schimmel, 2016: 48). Syams meninggalkan Rumi saat Rumi

berusia 40 tahun, usia yang biasa dianggap sebagai simbol dari

kematangan spiritual, juga karena pada usia itu Muhammad diangkat

sebagai Nabi. Syams menemani Rumi selama tiga tahun, meski sumber

lain mengatakan empat tahun. Coleman Barks menyebutkan bahwa

Syams menghilang (meninggalkan Rumi) pada 5 Desember 1248

(Subhan, 2018: 6). Syams sengaja meninggalkan Rumi karena merasa

Rumi telah mencapai kematangan spiritual dan dengan jalan

Page 61: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

49

perpisahanlah Rumi akan menemukan kesejatian diri. Menurut Leslie

Wines, bahwa hubungan Rumi dan Syams merupakan suatu tradisi dalam

ilmu tasawuf yang lahir dari rasa cinta spiritual Rumi kepada gurunya

(Wines, 2004: 18). Emerson (w. 1882 M) dalam sajaknya Give All to

Love, menggambarkan perpisahan ini dengan berkata: “Ketika ia yang

setengah dewa pergi, dewa pun memunculkan diri.”

3. Tarekat Jalaluddin Rumi

Setelah Rumi wafat, sahabat sekaligus muridnya Husamuddin

Chelebi diangkat menjadi pemimpin tarekat, dan putra Rumi, Sultan

Walad menjadi pimpinan tarekat setelah Husamuddin wafat pada 1284

M, dan dialah yang mengorganisasikan murid-murid menjadi sebuah

tarekat sufi yang sejati dan menyusun aturan untuk tarian mistik atau

whirling dervish (sama>). Sultan Walad membuka pondok sufi Mevlevi

(khanaqah atau zawiya) di Konya dan beberapa daerah di Anatolia.

Golongan ini terus berkembang pada periode Ottoman dan tersebar di

seluruh Anatolia, Semenanjung Balkan, dan Semenanjung Arab

(Okuyucu, 2018: 99). Ketika Husamuddin wafat pada 1312 M, tarekat

Maulawiyah sudah mempunyai bentuk yang baku dan dalam waktu yang

singkat telah menjadi salah satu tarekat sufi yang sangat berpengaruh di

Turki, dan pemimpinnya berhak melantik setiap sultan Utsmani yang

baru (Schimmel, 2016: 51). Dalam tarekat Maulawiyah, dikenal dengan

istilah Syab-i Aru>s yaitu perkawinan spiritual, sebutan untuk hari

peringatan wafatnya seorang waliyullah., dan dimulai dengan tarian

mistik (sama>). Ritual Maulawi ini dilarang sejak Mustafa Kemal Ataturk

menutup pondok-pondok sufi pada 1925. Tarian mistik ini dilakukan

oleh laki-laki yang berputar-putar seolah mengitari matahari

Page 62: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

50

(melambangkan Syams at-Tabriz), kadang juga disebut sebagai tarian

langit (sama>-i sama>wi>).

Dengan berdirinya tarekat Maulawi ini, pembacaan kitab

Matsnawi dijadikan aktivitas rutin. Kaum Maulawi dikenal sebagai

darwis-darwis yang berputar. Tarian sufi yang diiringi musik dengan

berputar-putar sebenarnya bukanlah ciptaan Maulana Rumi. Sebenarnya

kaum sufi sudah mulai mengadakan tarian ini pada awal paruh kedua di

abad ke-19, ketika balairung pertama untuk sama> didirikan di Baghdad.

Kecintaan Rumi pada musik disebutkan dalam banyak hikayat sufi. Di

kisahkan ketika Rumi masuk ke kamarnya, dia melihat murid-muridnya

sedang membahas kitab opus Ibnu „Arabi, Futu>ha>h al-Makiyyah.

Kemudian Abu Bakar pemain raba>b masuk lalu memainkan raba>b-nya,

Rumi kemudian tersenyum dan berkata: “Bukankah Futu>ha>h

(pembukaan)-nya Abu Bakar raba>bi> lebih baik dibanding Futu>ha>h al-

Makkiyyah?” (Schimmel, 2016: 257). Bagi Rumi, pengalaman langsung

ilahiah melalui suara musik itu lebih dekat dengan hatinya dibanding

membaca karya agung Ibnu „Arabi.

Sama>’ (tarian mistik) membuka pintu gerbang surga. Oleh karena

itu, sama>’ menjadi aspek terpenting bahkan menjadi poros utama dari

syair Rumi. Kekuatan rahasia yang ada di balik sama>’ adalah kehadiran

badani dan ruhani seorang pencinta. Dalam syair Rumi, sama>’ tampil

dalam pakaian berbagai amsal. Sama>’ adalah perumpamaan dari tangga

menuju langit, yaitu tangga yang dapat digunakan jiwa yang merindu

untuk mencapai penyatuan dengan Sang Kekasih. Rumi berkata: “Jibril

menari karena cinta pada keindahan Tuhan, Jin paling hina, Ifrit juga

menari karena cinta kepada jin perempuan” (Schimmel, 2016: 259).

Penciptaan itu sendiri bahkan digambarkan oleh Rumi sebagai tarian

Page 63: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

51

mistis makhluk-makhluk, karena merindukan eksistensialisasi walaupun

masih berada di alam universal. Bagi Rumi, hati setiap individu juga

mulai menari ketika Sang Kekasih menatapnya. Rumi mengatakan:

“Ketika Syamsi Tabriz menatap kitab al-Qur‟an, tanda-tanda baca mulai

menari menjejak-jejakkan kakinya” (Schimmel, 2016: 259).

Kebanyakan tradisi religius memang memandang tarian sebagai

jalan untuk melepaskan diri dari gravitasi bumi dan untuk menunggal

dengan dunia metafisik. Ritual tarekat Maulawiyah, mengajarkan para

darwis berputar mengelilingi poros mereka yaitu guru (mursyid), yang

menggambarkan butir-butir atom atau debu yang bergerak mengitari

matahari. Para darwis ditarik dan disatukan oleh kekuatan gravitasi dari

wujud cahaya sentral dan mengumpulkan mereka sedemikian rupa

sehingga menjadi satu gerakan tunggal, yang sepenuhnya bergantung

pada Sang Matahari. Sebagaimana menurut Zaki Sitoprak, bahwa tarian

berputar Rumi muncul karena adanya pandangan tentang kondisi dasar

semua yang ada di dunia ini ialah berputar. Begitu pun dengan manusia

yang berputar dari yang tidak ada, menjadi ada, dan kelak tidak lagi ada

(Andriyani, 2017: 93). Oleh karena itu, keadaan kemabukan cinta yang

dibangun Rumi dengan berputar-putar menandakan sikap kepasrahan

dalam cinta Ilahi namun tetap mempertahankan kepatuhan. Margareth

Smith mengatakan bahwa Rumi adalah pencinta yang menciptakan

gerakan-gerakan mistis yang merupakan simbol revolusi planet-planet

yang mengitari matahari, yang pada akhirnya menjadi pencetus

berdirinya „Tarekat Darwis-Darwis yang Menari‟ atau The Brethren of

Love (Persaudaraan Cinta) (Zaairul Haq, 2011: 62).

Dalam sama>’ juga menyimbolkan gerakan bumi dan benda-benda

angkasa mengitari kutubnya (heliocentric). Sama>’ juga diinterpretasikan

Page 64: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

52

sebagai tarian kematian dan kebangkitan. Para darwis awalnya memakai

jubah hitam panjang, lalu berjalan tiga kali mengitari meydan, tempat

sang guru berada untuk mencium tangannya. Kemudian, begitu karakter

musik berubah, para darwis pun melepaskan jubah hitam mereka,

lambang jasad lempung yang fana‟ dan muncul gaun putih sebagai

lambang jasad spiritual. Sama>’ merupakan lambang kematian dan

kebangkitan dalam Cinta, suatu proses kembali ke Mata Air Kehidupan,

yang dimulai dengan lagu pujian kepada baginda Nabi Muhammad saw,

di mana orang kepercayaannya yang paling dekat ialah Syams at-Tabriz,

dan diakhiri dengan doa yang panjang serta seruan mengucapkan Hu>

(Dia), sebagai pengakuan bahwa Dia-lah satu-satunya yang hidup, yang

dari-Nya cinta datang, segalanya datang dan kepada-Nya segalanya akan

kembali. Menurut Golpinarli, Husamuddin Chelebi yang menjadi

mursyid tarekat Maulawi selama 39 tahun yang memberikan bentuk

terakhir sama’ seperti yang terlihat sampai hari ini (Okuyucu, 2018:

103).

Dalam ritual tarekat Maulawiyah, keempat salam pada sama’

menandai empat fase yang berbeda: pertama, pengenalan posisi

seseorang sebagai hamba Allah; kedua, penyembahan di hadapan

kebesaran Allah; ketiga, transformasi dari kekaguman cinta Ilahi dan

penyerahan total kepada Allah; dan keempat, kembali ke tujuan

penciptaan yaitu sebagai hamba Allah (Okuyucu, 2018: 105).

Singkatnya, sama’ ialah keadaan seorang hamba yang menanggalkan diri

jasmaniahnya dan memusnahkan egonya dalam ego (diri) Tuhan.

Seorang pakar psikologi humanistik, Helen Graham menyebut sama’

sebagai salah satu meditasi yang mempunyai pengaruh sangat kuat

Page 65: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

53

terhadap pelakunya, di mana penari “kehilangan” dirinya, dan dengan

demikian menyatu dengan segala sesuatu (Zaairul Haq, 2011: 37).

4. Karya-Karya Jalaluddin Rumi

Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam pengantarnya untuk The

Sufi Doctrine of Rumi, bahwa Rumi tidak menulis eksposisi metafisis

langsung seperti yang dilakukan oleh Ibnu „Arabi atau Sadruddin al-

Qunawi. Namun Rumi, adalah seorang ahli metafisika tingkat tinggi dan

menggarap hampir semua pertanyaan metafisik dalam bentuk

perumpamaan, narasi atau bentuk lain dari perangkat sastra dan simbol

puitis (Bagir, 2019: 19). Memang dalam banyak kesempatan, Rumi

menyatakan dengan jelas bahwa tujuannya ialah membimbing, bukan

untuk menjelaskan.

Rumi telah meninggalkan sejumlah karya yang sangat berharga,

khususnya dalam dunia spiritualisme Islam. Menurut, Dr. Muhammad

Sa‟id Jamaluddin, sebelum bertemu dengan Syams at-Tabriz, Rumi sama

sekali belum pernah menghasilkan karya berupa sajak. Meskipun pada

saat itu Rumi telah membaca sajak-sajak al-Attar dan as-Sana‟i

(Jamaluddin, 2008: 30). Rumi mencapai puncak spiritualnya ketika

ditinggalkan oleh Syams at-Tabriz, dan terlihat melalui karya-karyanya.

Annemarie Schimmel menggambarkan Rumi sebagai berikut, “Setiap

batu dan pohon tampak menafsirkan pesan-pesan Rumi ke dalam

bahasanya sendiri, bagi orang yang mempunyai pendengaran dan

penglihatan” (Schimmel, 2016: 54). Sementara menurut Nicholson,

dalam diri Rumi-lah kecakapan mistik orang-orang Persia mencapai

keunggulan ekspresinya. Bagi orang-orang Barat, secara perlahan telah

menyadari kemampuan Rumi yang begitu besar, karena pengaruh

Page 66: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

54

perumpamaannya, gagasan dan bahasanya dirasakan sangat indah dan

kuat selama beberapa abad berturut-turut (Nicholson, 2008).

Karya warisan Rumi yang terbesar adalah Matsnawi yang dipuji

sebagai al-Qur‟an yang berbahasa Parsi (Iqbal, 1983: 175). Karya ini

terdiri dari lebih kurang 2.500 lirik, dalam enam jilid buku Matsnawi

sekitar 25.000 bait syair menurut Nicholson, sedang menurut Iqbal

terdapat 25.700. Adapun Bayat dan Jamnia hanya mengatakan lebih dari

15.700 bait syair (Ni‟am, 2001: 48). Syair-syair di dalamnya merupakan

filsafat etik dan moral yang bersifat praktis dengan tujuan membawa

kebahagiaan (Arberry, 1970: 626). Ceritanya memiliki tiga tingkatan;

naratif, moral dan metafisik (Hodgson, 1974: 246). Matsnawi

memberikan kepada para pembacanya apa yang dia kehendaki. Idries

Shah berkata, bahwa Matsnawi memberikan puisi bagi yang memilih

puitiknya, memberikan hiburan bagi yang menyukai ceritanya, dan

memberi semangat intelektual bagi orang yang menghargai keilmuan

(Shah, 1999).

Maulana Rumi sendiri menggambarkan Matsnawi sebagai

berikut: “Matsnawi adalah jalan cahaya bagi mereka yang ingin

mencapai kebenaran, memahami rahasia-rahasia ilahi, dan menjadi

terbiasa dengan rahasia-rahasia tersebut.” (Topbas, 2015: 13). Matsnawi

adalah personifikasi puitis Jalaluddin Rumi dari alam batinnya yang

terefleksikan dalam sajak-sajak dan merupakan kitab yang penuh berkah

dan anugerah. Mastnawi adalah sebuah lautan dengan kedalaman tidak

berujung, makna yang tidak terbatas, dan kandungan rahasia yang tidak

terhitung. Terdapat kisah mistis yang menarik dari Syaikh al-Islam Ibnu

Kemal Pasha tentang Matsnawi. Dia menceritakan bahwa di dalam

tidurnya ia bermimpi melihat Rasulullah saw. Beliau memegang kitab

Page 67: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

55

Matsnawi dan berkata: “Begitu banyak buku spiritual yang ditulis.

Namun, di antara buku-buku tersebut, tidak ada yang sebanding dengan

Matsnawi.” (Topbas, 2015: 12). Marshall G.S. Hodgson mengatakan

bahwa; “Matsnawi merupakan rangkaian anekdot (cerita) tanpa akhir

yang diselingi dengan pandangan-pandangan moral (spiritual), suatu

bentuk yang sangat mirip dengan gaya al-Qur‟an. Kekuatannya bukan

hanya terletak pada keindahan kata-kata yang dipilihnya, namun juga

pada perubahan alur cerita dan arti yang menantang yang harus

dipahami” (Hodgson, 1974: 246).

Secara rinci, karya-karya Jalaluddin Rumi dapat diklasifikasikan

oleh Mulyadi Kartanegara, dalam bukunya Renungan Mistik Jalaluddin

Rumi, yang terdiri dari enam buah karya. Karya-karya tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Matsnawi Jalaluddin Rumi, merupakan masterpiece Rumi (enam

jilid), berisi lebih kurang 25.700. karya ini digarap selama lima belas

tahun terakhir dari hidupnya, dan murid Rumi, Husamuddin Chelebi

yang menuliskannya (didiktekan oleh Rumi). Penulisan Matsnawi

dimulai sekitar 1256, dan setelah wafat istri Husamuddin, terjadi

kevakuman selama empat tahun. Baru pada tahun 1262, dibuat

volume kedua. Matsnawi memuat ajaran-ajaran pokok tasawuf yang

sangat mendalam, yang disampaikan secara puitis dan kreatif melalui

anekdot, fabel, legenda dan sebagainya.

2. Maqalat Syams-i Tabrizi (wejangan-wejangan Syams Tabriz), yang

merupakan buah perkataan Rumi dengan Syams yang intim. Karya

ini berisi dialog mistis antara Rumi dan Syams yang bertindak

sebagai guru Rumi.

Page 68: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

56

3. Diwan-i Syams-i Tabrizi (lirik-lirik Syams Tabriz), karya ini disusun

oleh Rumi pada saat detik-detik perpisahannya dengan Syams dan

untuk mengenang sahabat sekaligus guru yang sangat dicintainya itu.

Karya ini merupakan kumpulan-kumpulan bait mistis, yang

mengandung sekitar 2.500 lirik. Menurut Seyyed Hossein Nasr, karya

ini secara khusus berisi beberapa sajak yang indah dan mendalam

dalam bahasa Parsi tentang tugas dan fungsi guru spiritual dan

tentang hubungan antara guru dan murid (Nasr, 1972: 46).

4. Fihi ma Fihi (inilah Apa yang Sesungguhnya), karya ini merupakan

kumpulan ceramah tasawuf Maulana Rumi kepada para pengikutnya

yang tergabung dalam tarekat Maulawiyah. Buku ini memuat 71

pasal dalam memperjelas pendapatnya dengan berbagai contoh dan

kisah yang menjadi pelengkap untuk membantu banyak dalam

memahami pemikiran sufisme Rumi.

5. Ruba‟iyyat adalah karya puitis Rumi. Sebuah antologi puisi Rumi

yang terdiri dari 3318 bait yang memuat pesan-pesan tasawuf yang

begitu mendalam melalui puisi, dan meliputi 1659 ruba>’iyah

(kumpulan empat bait dalam bentuk sajak).

6. Maktubat (korespondensi), karya ini berupa kumpulan surat-surat

Rumi kepada rekan-rekan sahabatnya, para pengikutnya, dan

keluarganya. Meski sebagian besar suratnya ini ditulis kepada para

penguasa untuk menyampaikan tuntutan atas kebutuhan masyarakat.

Versi surat-surat Rumi ini yang paling dipercaya ialah yang

diterbitkan oleh Taufik Subhani, pada tahun 1992 (Okuyucu, 2018:

119).

7. Kwarizm adalah karya Rumi yang menggambarkan rumah masa

kecilnya, muncul sebagai metafor yang melambangkan kemiskinan

Page 69: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

57

spiritual (faqr), hati sang pencari yang terpuji, dan rumah yang begitu

indah. Karya ini ditulis sebagai kenangan Rumi ketika ayahnya hijrah

ke Samarkand, meninggalkan ibunya yang sudah tua, dan pada saat

yang sama kota itu kemudian dikepung oleh Khwarizmsyah yang

ingin memperluas wilayahnya ke seluruh Transoksiana sampai ke

Hindu Kusy (Schimmel, 2016: 26).

8. Al-Majalis as-Sab‟ah adalah karya Rumi berbentuk prosa. Kitab ini

merupakan kumpulan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan

nasehatnya di berbagai majelis keagamaan, sebelum ia bertemu

dengan Syams at-Tabriz (Djamaluddin, 2015: 78).

9. Al-Makatib juga karya Maulana Rumi yang berbentuk puisi dan

prosa. Kitab ini menghimpun surat-surat Rumi kepada para sahabat

dekatnya, khususnya kepada Shalahuddin Zarkub, sehingga beberapa

kalangan juga menyebut kitab ini dengan judul ar-Rasa’il (surat-

surat). Dalam kitab ini Rumi lebih banyak mengungkapkan

kehidupan spiritualnya sebagai seorang sufi, dan juga menyampaikan

nasihat-nasihatnya kepada para muridnya yang hendak mendalami

ilmu tasawuf (Djamaluddin, 2015: 78).

Selain buku-buku tersebut, ada dua buku doa yang dianggap telah

disusun oleh Rumi: Awradi Kabir dan Awradi Saghiri Hazreti Mevlana

(Okuyucu, 2018: 119). Demikianlah sekilas tentang karya-karya Maulana

Jalaluddin Rumi. Puisi-puisi Rumi hadir menemui siapapun dan kapanpun

tanpa batas kategorisasi. Di Barat, pembaca Rumi terus meningkat sampai

melampaui Rubaiyat Umar Khayyam, sementara Annemarie Schimmel

dalam pengantar buku Me & Rumi: The Autobiography of Syams-i Tabrizi

mengatakan bahwa Rumi menjadi salah satu penyair terlaris di Amerika

Utara. Puisi-puisi Rumi dijadikan lirik-lirik lagu, tarian-tariannya

Page 70: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

58

dipelajari, dan bahkan ditemukan puisi-puisi Rumi dalam wujud kartu

Tarot (Subhan, 2018: 4). Secara umum yang ingin disampaikan dalam

beberapa karya Rumi ialah Cinta sebagai penggerak utama manusia dalam

menuju Tuhannya. Muhammad Iqbal, memuji Rumi dengan berkata:

“Rumi benar-benar wujud cinta dan api. Dan aku adalah debu dari api

ini”. Irene Melikoff, juga memuji karya Rumi: “Jika bangsa-bangsa di

dunia menerjemahkan karya-karya Rumi ke dalam bahasa mereka sendiri

dan membacanya, tidak akan ada perang, dendam, atau pun kebencian di

dunia ini.” (Okuyucu, 2018: 120 & 122).

B. Pendidikan Cinta Kasih Perspektif Jalaluddin Rumi

1. Konsep Pendidikan Cinta Kasih Rumi

Menurut Muhammad Iqbal, Rumi ialah Raushan Damir, yaitu orang

yang memiliki penglihatan ruhani yang tajam sehingga mampu membaca

rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang tersembunyi,

dan dari Rumi seseorang dapat memetik pelajaran tentang bagaimana

membenahi umat yang sedang kusut, sebab pikiran-pikiran Rumi yang

profetik (mengandung pesan kenabian) memiliki tenaga pembebasan dan

pencerahan (Hadi, W.M, 2013). Pada dasarnya, konsep tasawuf Rumi adalah

taraqqi ilalla>h (mendaki menuju Allah). Rumi berpandangan bahwa untuk

mengenal (makrifah) Allah harus ditempuh dengan jalan cinta (mahabbah).

Membaca Rumi memang rumit bila tidak dengan hati, Rumi selalu

mengantarkan kepada penyingkapan-penyingkapan pemahaman akan

rahasia-rahasia yang pada dasarnya sangat nyata di depan mata namun sering

terlalaikan oleh pandangan karena tebalnya debu yang menyelubungi hati.

Franklin Lewis dalam bukunya Rumi; Past and Present, East and West,

menyatakan bahwa Rumi salah satu tokoh yang paling digemari di dunia

Barat, terkhusus di Amerika (Jabir, 2018: 12). Karya agung Jalaluddin Rumi,

Page 71: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

59

Matsnawi dikenal sebagai lautan makna tidak bertepi yang sarat dengan

mutiara-mutiara hikmah bagi salik (murid) yang rindu kepada ilahi.

Matsnawi adalah sebuah lautan dengan kedalaman yang tidak berujung,

maknanya tidak terbatas, dan kandungan rahasia yang tidak terhitung.

Melalui berbagai kisah, syair, dan persoalan-persoalan spiritual yang sulit

dipahami akal dapat mengisi kedalaman hati orang yang membacanya.

Matsnawi adalah personifikasi puitis dari alam batin Rumi yang

terefleksikan dalam sajak-sajak dan merupakan kitab hikmah yang penuh

berkah. Rumi sendiri menggambarkan Matsnawi sebagai “Jalan cahaya bagi

mereka yang ingin mencapai kebenaran, memahami rahasia-rahasia ilahi,

dan menjadi terbiasa dengan rahasia-rahasia tersebut”. Rumi mewariskan

sumbangan yang sangat besar bagi peradaban manusia dengan merekam

perjalanan spiritualnya yang dipenuhi cahaya dan cinta kasih dalam bentuk

buku. Dalam Matsnawi Rumi bersenandung: “Jika engkau memiliki hati,

bertawaflah mengelilinginya. Secara spiritual, Ka‟bah sejati adalah hati,

bukan bangunan fisik dari batu dan tanah. Allah mewajibkan tawaf

mengelilingi fisik Ka‟bah untuk mendapatkan Ka‟bah hati yang bersih dan

murni” (Topbas, 2015: 14).

Konsep pendidikan ruhani Rumi; Pertama, mahabbah atau

determinisme cinta (kemutlakan cinta) sebagai kendaraan menuju Allah,

yaitu totalitas murid dalam mengabdi kepada Allah dengan jalan cinta;

Kedua, ‘isyq yaitu mahabbah dalam peringkat yang lebih tinggi yang

membakar kerinduan murid untuk segera berjumpa dengan-Nya, sehingga ia

bersedia menempuh perjalanan jauh demi bersatu dengan Kekasihnya yaitu

Allah swt; Ketiga, kondisi fana>’ (peleburan diri dalam diri Allah) yaitu

keadaan hati murid yang telah kosong dari segala penyakit hati, karena

berhasil membersihkan dirinya dari segala kotoran dan hanya ada Allah

Page 72: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

60

semata. Dengan demikian, setelah murid melalui ketiga tahapan tersebut

barulah dia merasakan buah dari mahabbah, yaitu syauq (kerinduan), al-Uns

(keintiman), ridha (rela). Sebagaimana Ruzbihan al-Baqli, yang menjelaskan

cinta sebagai salah satu sifat Tuhan. Para sufi menyakini bahwa seluruh

realitas tercipta karena hubbu dz-dzat (cinta Ilahi atas Dzat diri-Nya sendiri)

(Jabir, 2018: 47).

Rumi memang mengungkapkan pemikirannya melalui syair, dan

nyanyian dari dalam jiwanya dengan menggunakan musik dan tarian, yang

paling terkenal adalah sajak pembukaan dalam Matsnawi “Nyanyian

Rumpun Bambu”. Seruling bambu mengeluh bahwa ia telah dipotong dari

rumpunnya dan rindu akan pulang ke rumahnya, menceritakan tentang

rahasia kesatuan ilahi dan kebahagiaan abadi kepada siapa saja yang ingin

berjumpa dengan-Nya. Oleh karena itu, Annemarie Schimmel mengatakan

bahwa kekuatan kata-kata dalam syair Rumi itu terbentuk karena kenyataan

bahwa baginya segala sesuatu mengandung keagungan Tuhan (Schimmel,

2016). Bagi penulis, kekuatan Rumi adalah kasihnya, suatu pengalaman

eksistensial dalam makna manusiawi yang didasarkan pada Tuhan, sebab

cinta yang mendalam bagi Rumi adalah penyatuan dengan Sang Kekasih.

Rumi berseru: “Dari mana asal cinta, lihatlah ke dalam hatimu dan kau

akan paham dari mana asal cinta. Itu adalah kebenarannya, bukan tentang

apa yang mereka katakan” (Barks, 2003: 6).

Rumi mengajak kita untuk melihat ke dalam diri bukan di luar diri,

dengan demikian pendidikan cinta kasih adalah upaya untuk menjadikan

seseorang mengenal hakikat dirinya dan menginternalisasi cinta kasih

sehingga seseorang memiliki perasaan yang halus sebagai pecinta yang akan

mengarah kepada al-Insa>n al-Kami>l (manusia paripurna). Jalaluddin Rumi

mengajak manusia memasuki dimensi spiritual yang tidak mampu dipahami

Page 73: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

61

hanya dengan menggunakan analisis logika formal, namun diperlukan

adanya pendekatan intuitif (spiritual tasting). Inilah yang disebut

determinisme cinta yang menjadi al-Ilm> dzauqi>, rasa dan pengetahuan

spiritual. Oleh karena itu, pendekatan sufisme bersifat intuitif berbeda

dengan pendekatan filsafat yang bersifat analisis.

Syekh Hisyam Kabbani mengaitkan istilah sufisme dengan ahl al-

Shuffa>h (penghuni serambi), yaitu mereka yang tinggal di serambi masjid

Nabi saw selama beliau masih hidup. Merekalah yang dirujuk dalam al-

Qur‟an surah al-Kahfi ayat 28: “(Wahai Muhammad), bersabarlah bersama

orang-orang yang selalu menyeru Tuhan mereka di siang dan malam hari

semata-mata mengharapkan rida-Nya. Jangan memalingkan pandangan

dari mereka karena mengharap kemewahan dunia, dan jangan mengikuti

orang-orang yang hatinya Aku biarkan lalai dari mengingat-Ku dan lebih

mengikuti ajakan nafsunya sehingga perbuatannya melampaui batas”

(Kabbani, 2015: 16-17). Ayat tersebut menegaskan betapa orang beriman

harus menjaga dirinya tetap dalam keadaan mengingat Allah dengan lisan,

pikiran, dan hatinya.

Sufisme juga disebut sebagai tazkiyatun nafs, yakni membersihkan

diri dari dosa, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-

sifat tercela. Singkatnya, mengamalkan sufisme berarti memberikan

perhatian penuh pada diri untuk berupaya mensucikan jiwa dari penyakit hati

dan menjalin hubungan cinta kasih kepada Allah swt. Rumi berseru: “Dalam

cahayaMu, aku belajar mencintai. Dalam keindahanMu, aku tahu cara

membuat puisi. Kau menari di dalam dadaku dimana tak seorangpun

melihatnya, tapi terkadang aku melakukannya dan itulah yang kusebut seni”

(Barks, 2003: 7). Dengan pendidikan cinta kasih mengajak murid

menanamkan akhlak mulia berlandaskan cinta dan kasih sayang kepada

Page 74: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

62

sesama dan kesabaran dalam menanggung beban orang lain untuk mencapai

ridha Allah. Sebagaimana Rumi berseru: “Pusat menuntun pada cinta, jiwa

membuka inti penciptaan. Mempertahankan rasa sakit kita, hal itu dapat

membawa kita pada Tuhan” (Barks, 2003: 51). Dengan menanggung

penderitaan ketika sulitnya belajar dan menanggung beban orang lain,

seorang murid akan dituntun menuju jalan cinta yang akan membawanya

sampai kepada Allah swt.

Jalaluddin Rumi berkata: “Semua penderita penyakit tertentu

mengharapkan kesembuhan, kecuali para penderita sakit cinta, justru

mereka ingin terus menanggungnya” (an-Nadwi, 2015: 46). Bagi Rumi, cinta

adalah penyakit, dan cinta memang termasuk jenis penyakit yang mampu

menyembuhkan segala penyakit. Jika manusia ditimpa penyakit ini, maka ia

selamanya tidak akan pernah tertimpa penyakit apa pun. Ketika cinta ilahi

telah menguasai diri seseorang maka tidak ada apa pun selain Dia, sehingga

ke manapun mereka menghadap di situ ada Allah yang Maha Indah. Para

sufi adalah orang yang berkonsentrasi pada batin dalam mendekatkan diri

kepada Allah. Kaum sufi adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh

umat manusia, kebanyakan orang mencari karunia Tuhan, sementara sufi

mencari Dia semata, yang lain puas dengan pemberian-Nya, kaum sufi hanya

puas dengan Dia (Javad Nurbakhsh, 2002:4). Tujuan pendidikan cinta kasih

adalah membantu murid agar mampu memasuki realitas batinnya, dan

menjadikan cinta sebagai nilai utama murid dalam menjalani kehidupan,

serta menjauhkan dirinya dari segala bentuk intoleransi, fanatisme,

radikalisme, esktrimisme, terorisme, kekerasan, kebencian, dan permusuhan

di antara manusia.

Penanaman cinta kasih akan melahirkan siswa didik yang bermental

sufi yaitu seseorang yang moderat, terbuka, tasamuh, tawazun, dan ramah,

Page 75: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

63

terhadap orang lain. Sebab hampir tidak ada peristiwa peperangan antara

kelompok sufi atau tarekat dengan kelompok tarekat lainnya. Demikian para

sufi yang menjunjung tinggi cinta kasih, cinta kepada sesama ciptaan Tuhan.

Jalaluddin Rumi (w. 1273) menggambarkan dahsyatnya cinta dalam

syairnya: “Melalui cinta langit-langit dalam keselarasan, tanpa cinta

bintang-bintang akan lenyap” (Schimmel, 2005: 130). Menurut Mulyadi

Kartanegara, Rumi adalah salah satu wali-sufi yang menyakini bahwa cinta

adalah makhluk Tuhan yang pertama kali diciptakan, cintalah yang

memberikan kesatuan pada partikel-partikel materi. Cinta juga yang

membuat hewan bergerak dan berkembang biak (Kartanegara, 1986:53).

Dimensi cinta dalam tasawuf inilah yang melahirkan banyak penyair sufi

yang menjadi sumber inspirasi para pecinta sejak dulu hingga nanti, seperti;

Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 801), Ahmad al-Ghazali (w. 1126), Sana‟i (w.

1131), al-Atthar (w. 1221), Ibnu Arabi (w. 1240), dan Ibnu Faridh (w. 1234),

Rumi (w. 1273).

Sufisme adalah ruh kehidupan Islam, sufisme adalah tindakan dan

realisasi yang merupakan proses penyucian jiwa yang menumbuhkan cinta

kasih sebagai jalan menuju Allah. Rumi berkata: “dalam ragamu ada harta

tak ternilai, sebuah hadiah dari Yang Selalu Bermurah Hati. Carilah hadiah

itu di dalam dirimu” (Johnson, 2005: 79). Seluruh sasaran pencarian

manusia adalah hadiah yang tak ternilai itu yang ada di dalam tubuh. Dalam

tubuh setiap manusia, menurut Rumi tersimpan hadiah penyatuan yang tak

ternilai sebagai penggerak kesadaran menuju ilahi. Dengan kesadaran ini,

murid diajak berupaya untuk menemukan hadiah yang berharga yang

tersimpan di dalam tubuhnya agar mampu mencapai penyatuan, kemudian

mampu mewujudkan sifat ilahi ke dalam dirinya agar tercipta proses belajar

yang berimplikasi pada kebaikan akhlak, moral, karakter dalam kehidupan

Page 76: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

64

bermasyarakat, berbangsa dan beragama. Sebab, tujuan akhir dalam

kehidupan seorang sufi adalah mewujudkan akhlak Allah menjadi akhlak diri

sendiri. Satu-satunya yang menjadi sumber pemahaman murid hanyalah

Allah dan apabila ia berfikir hanya tentang Allah maka pikirannya

tersucikan, dan di sinilah ia mendapati dirinya bersatu dengan Allah (ittihad)

dan hubungannya dengan hal-hal lain terputus kecuali dengan Allah semata

(fana’ fillah).

Sufi selalu memfokuskan hatinya kepada Allah, sejatinya manusia

selalu merindukan penyatuan kepada kekasihnya sejak diciptakan,

sebagaimana pasangan suami-istri jika cinta meluap, maka akan muncul rasa

ingin menyatu. Manusia sempurna dalam tasawuf disebut insa>n al-kami>l atau

Nei dalam bahasa Rumi. Nei adalah simbol dari manusia sempurna, juga

sebagai seruling bambu yang mengalami keterpisahan dari rumpun bambu

(asal-muasalnya, yakni Allah swt). Dengan demikian, Rumi berkata:

“Dengarkanlah Nei ini yang sedang melirih atas kisah derita

keterpisahannya” (Jabir, 2018: 31). Seorang sufi telah mengalami

penderitaan karena keterpisahan dari Sang Kekasih, dan sesungguhnya

manusia selalu rindu untuk bertemu dengan-Nya. Akan tetapi, jiwa tertutupi

oleh debu yang semakin tebal sehingga tidak nampak secara jelas apa yang ia

rindukan. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik harus berusaha membuka

jalan kepada murid untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel

dihatinya, agar nampak segala keindahan-Nya yang akan melahirkan

keluhuran budi dalam diri murid, serta memancarkan cinta dan kasih sayang,

welas asih (compassion), berakhlak mulia kepada sesama manusia, alam, dan

diri sendiri.

Dalam Matsnawi Rumi berseru: “Bagaikan pintu gerbang kebenaran,

matsnawi terbuka bagi semua orang untuk selama-lamanya. Tetapi, jika

Page 77: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

65

mata seseorang tertutup, dia tetap saja tidak melihatnya. Dan yang membuat

mata tertutup adalah perban hawa nafsu pembalut keinginan” (Krishna,

2000: 2). Maksud Rumi adalah “keinginan untuk memamerkan

pengetahuan”. Jika seseorang sudah mulai menikmati kondisi seperti itu, dia

tidak akan punya waktu untuk mengalami spiritualitas. Waktu dia akan

tersita sepenuhnya untuk memamerkan pengetahuannya, yang sebenarnya

belum menjadi pengalamannya. Dengan demikian, bila mata hati murid

tertutup oleh perban hawa nafsu, maka ia tidak akan mampu melihat gerbang

kebenaran Ilahi dengan terang dan jelas, begitu pun dengan seorang guru

yang berbangga diri pada ilmunya, sehingga setiap penyampaiannya kepada

murid tidak akan sampai dengan baik. Dengan cinta kasih akan melemahkan

hawa nafsu, seperti hilangnya kehendak anak dihadapan ibunya karena tidak

ada sesuatu yang lebih mulia selain cinta yang bersinar dalam diri seseorang.

Sebagaimana Rumi berseru: “Cinta adalah cara pembawa pesan, misteri

cinta bercerita tentang banyak hal. Cinta adalah ibu dan kami adalah anak-

anaknya. Dia bersinar dalam diri kita, antara (cahaya-Nya) nampak atau

tidak. Karena ketika kita merasa kehilangan, ia akan dapat tumbuh lagi”

(Barks, 2003: 89).

Rumi menggambarkan kehidupannya yang meliputi tiga fase dalam

tiga ungkapannya: “Aku mentah, aku ditempa, dan aku lebur terbakar”.

Dalam tasawuf, ungkapan yang terakhir ini biasa disebut “fana fillah” (lebur

dalam Allah) dan “baqa’ billah” (abadi bersama Allah) (Topbas, 2015: 24).

Seorang salik yang berada pada kondisi “fana’ fillah” sepenuhnya harus

meninggalkan egonya yang membawa kepada sifat keburukan. Sedangkan,

pada level “baqa’ fillah” memasuki kondisi cinta terhadap Allah yang

menguasai seluruh isi hati, dan cahaya Ilahi menyinari hati setiap hamba

yang berada pada tingkatan ini. Manusia adalah manifestasi Ilahi di muka

Page 78: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

66

bumi yang memancarkan keagungan-Nya, karena manifestasi kemurahan

hati Tuhan yang tak terbataslah sehingga beberapa individu diberikan

kemampuan untuk mendekati zona keagungan eksistensi kemanusiaannya.

Oleh karena itu, ungkapan Rumi “Aku mentah” ialah kondisi dimana Rumi

belum memperoleh pencerahan ruhani (belum berjumpa dengan Syamsuddin

at-Tabriz), lalu “Aku ditempa” Rumi telah memasuki penyucian batin dengan

riyadhah atau latihan-latihan spiritual di bawah bimbingan gurunya,

kemudian “Aku lebur terbakar” Rumi mengalami kondisi ekstase atau

mabuk ruhani yang membuatnya fana>’.

Rumi berkata: “Aku tadinya mati tetapi menjadi hidup, aku tadinya

air mata tetapi menjadi senyum, aku mengarungi lautan cinta, dan aku

meraih kebahagiaan abadi” (Topbas, 2015: 20). Dengan mengarungi lautan

cinta, murid akan meraih kebahagiaan yang memunculkan keterampilan

reflektif (husn al-tadbi>r), ketepatan pemahaman (jaudat al-dzihn), ketajaman

pikiran (tsaqa>bat al-ra’i), kebenaran pendirian (isha>bat al-zhann), dan

kecerdasan menangkap realitas keburukan-keburukan jiwa yang

tersembunyi. Sedangkan, tanpa mengarungi lautan cinta, muncullah

kecurangan, penipuan, kebohongan, kelicikan, kebodohan, sikap ceroboh,

dan kegilaan. Oleh karena itu, pendidikan cinta kasih bertujuan untuk

membentuk sikap dan ucapan murid dengan landasan cinta dan kasih sayang.

Dengan demikian, cintalah yang menyatukan segala perbedaan, kasihlah

yang menjernihkan segala kekeruhan. Tanpa cinta dan kasih, tiadalah

penyatuan dan kejernihan.

2. Implementasi Pendidikan Cinta Kasih Rumi

Cinta adalah sesuatu yang kita cari dalam hidup dan yang paling

pertama kita cari. Seperti lautan, cinta memandu kita dan membawa diri ke

suatu tempat yang agung. Dengan bimbingan cinta, kita akan berjalan

Page 79: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

67

menuju tempat di mana kita berasal dan cinta membawa jiwa kita untuk

selalu fokus pada apa yang dituju. Bagi Rumi, cinta haruslah bebas, tanpa

kebebasan cinta bukanlah cinta melainkan tugas dan kewajiban. Seperti kata

Rumi, “Cinta tidak mengenal perhitungan” (Breton, 2003: 32). Dalam

beribadah kepada Allah, hanya mengharapkan cinta-Nya bukan karena ingin

mendapatkan amal ibadah dan mengharap surga-Nya. Seorang murid harus

memiliki kesadaran Ilahi, sehingga dalam setiap aktivitas belajar, murid

hanya mengharapkan ridha Allah semata bukan untuk mendapatkan nilai

yang tinggi.

Implementasi dari konsep cinta kasih Rumi, ialah memperoleh

hubungan langsung dengan Allah swt. Sebab, tujuan perjalanan spiritual

Rumi ialah semata-mata untuk memperoleh kedekatan dan keintiman dengan

Allah. Adapun kesadaran kedekatan manusia dengan Allah ini mengambil

tiga bentuk, yaitu ittiha>d (penyatuan), hulu>l (peleburan), mahabba>h (cinta).

Perwujudan dari tiga bentuk hanya bisa diperoleh melalui pengasingan diri

(uzlah) atau berkontemplasi, tanpa terapi ini sulit kiranya untuk

mendapatkan keintiman dengan Allah swt. Persoalan cinta (mahabba>h)

adalah menyangkut aspek esoterisme (batin) yaitu upaya untuk

membersihkan diri dari penyakit hati seperti riya‟, sum‟ah, iri hati, dengki,

sombong, dan merasa mulia daripada orang lain. Menumbuhkan aspek

esoterik adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan

mahabba>h ini merupakan tingkatan tertinggi dalam pencapaian menuju

singgasana-Nya. Seorang murid harus membersihkan segala penyakit hati,

sehingga yang ada hanya cinta kasih yang berimplikasi pada kebaikan

karakter, moral-spiritual kepada sesama.

Dalam memasuki kehidupan spiritual, seorang murid harus memiliki

guru yang membimbingnya dalam menghindari godaan dan hambatan dalam

Page 80: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

68

perjalanannya. Sebab sejatinya murid bagaikan seekor elang yang siap

terbang, dan guru membantu memutus rantai yang mengikat kakinya agar

mampu terbang menuju cakrawala. Dalam sajaknya Rumi berkata,

“Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang telah menunjuki aku jalan

kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku” (An-

Nadwi, 1997: 3). Oleh karena itu, betapa pentingnya guru bagi Rumi,

sekiranya Rumi tidak pernah berjumpa dengan Syams Tabriz, mungkin ia

tidak akan pernah menggubah syair dan tidak akan pernah ada kitab

Matsnawi. Sebagaimana kata William Chittick, “Pengaruh Syams-lah yang

melahirkan berbagai bentuk keadaan kontemplatif batiniah Rumi dalam

bentuk puisi dan menggerakkan samudera wujudnya yang menghasilkan

gelombang besar yang mengubah sejarah kesusastraan Persia” (Chittick,

1983: 3).

Perwujudan dari cinta kasih haruslah melalui proses yang panjang,

yaitu melalui banyak maqam (tingkatan) seperti yang dinyatakan oleh Imam

al-Ghazali (w. 1111 M), bahwa cinta kepada Allah adalah maqam yan paling

tinggi dari seluruh derajat yang paling luhur. Setelah mahabba>h tidak ada

lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya, seperti rindu

(syauq), intim (uns), dan ridha. Adapun tahapan pertama sebelum memasuki

cinta ialah taubat yaitu membersihkan diri dari segala dosa dan berjanji tidak

mengulanginya. Para sufi mengatakan bahwa taubat adalah bagian penting

dalam kehidupan spiritual. Al-Hujwiri (w. 1077 M) mengatakan, “Tidak ada

ibadah yang benar apabila tidak disertai dengan rasa pertobatan”. Taubat

adalah tahap pertama di dalam jalur ini. Ia berpendapat bahwa terdapat tiga

hal yang termasuk dalam taubat: Pertama, taubat karena ketidaktaatannya,

kedua, memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi, dan ketiga, segera

meninggalkan perbuatan dosa itu (al-Hujwiri, 2015: 285).

Page 81: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

69

Menurut Ibnu „Arabi (w. 1240 M), mahabba>h itu akan menjadi

sempurna bila mengetahui tujuh objek pengetahuan; yaitu Pertama,

mengetahui Asma’ Ilahi; Kedua, mengetahui Tajalli Ilahi; Ketiga,

mengetahui taklif Tuhan terhadap hamba-Nya; Keempat, mengetahui

kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta; Kelima, mengetahui diri

sendiri; Keenam, mengetahui akhirat; Ketujuh, mengetahui sebab dan obat

penyakit batin (Ali, 1997: 3). Rumi pernah berkata, “Hanya mereka yang

berhati bersih dan mengenal kebenaran yang diizinkan menyentuh

Matsnawi”. Di sisi lain, untuk menemukan Rumi memang harus menjadi

Rumi terlebih dahulu yaitu menemukan diri sendiri dengan jalan cinta yang

di dalamnya ada penderitaan dan kebahagiaan, karena orang awam tidak

akan bisa memahami ucapannya, sebab kekasih hanya bisa dibaca oleh

kekasih juga. Seorang murid harus menempuh perjalanan spiritual ini

berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk mencapai

tingkatan mahabba>h.

Rumi sendiri telah melalui proses yang panjang hingga sampai

melihat alam semesta sebagai perwujudan dari cinta itu sendiri, ia melihat

alam sebagai medan kegiatan kreatif Tuhan, sehingga alam berada dalam

keadaan terus-menerus berubah dan diperbaharui setiap saat. Menurut Rumi,

yang pertama diciptakan Tuhan adalah cinta. Cinta itulah yang bertanggung

jawab atas pertumbuhan alam dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih

tinggi. Cintalah yang memberi kesatuan pada partikel materi, yang membuat

tumbuh-tumbuhan berkembang dan yang menyebabkan hewan bergerak dan

berkembang biak (Nicholson, 1996: 55). Oleh karena itu, alam menurut

Rumi adalah sebuah media untuk mengenal Allah, tanpa alam tampaknya

sulit untuk mengenal-Nya. Sejalan dengan konsep Ibnu „Arabi yang

Page 82: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

70

memandang bahwa cinta adalah sebab dari penciptaan alam, karena atas

dasar cintalah Tuhan ber-tajalli pada alam (Ni‟am, 2001: 83).

Bagi Rumi, perwujudan cinta kasih harus dimulai pada tahap

Pertama, yaitu taubat; jika seorang murid belum membersihkan dirinya dari

dosa, sulit baginya untuk menumbuhkan cinta kasih di dalam dirinya. Kedua,

sabr; seorang murid perlu melatih dirinya untuk sabar dalam menjalani

perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, syukur; murid harus selalu

bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan kepadanya dan bersyukur

atas apa yang telah ada maupun yang belum ada. Keempat, raja’; seorang

murid hatinya harus terpaut kepada sesuatu yang diinginkannya dan

bergantung kepada Allah, sebab tanda ketaatan ialah adanya harapan kepada

Allah bukan sekain-Nya. Kelima, khauf; murid harus mengendalikan dirinya

dari setiap keinginan berbuat maksiat dan merasa selalu diawasi oleh Allah.

Keenam, faqr; murid hendaknya merasa fakir dan butuh hanya kepada Allah,

serta tidak memohon kepada siapa pun selain kepada-Nya. Ketujuh, zuhud;

seorang murid harus menolak segala bentuk gemerlap kenikmatan dunia

yang melalaikannya untuk sampai kepada-Nya. Kedelapan, mahabbah

ma’rifah; pada tahap inilah seorang murid mencapai maqom tertinggi yaitu

hati yang dipenuhi oleh cinta kepada Allah dan mengenal hakikat-Nya secara

sempurna (Ni‟am, 2001). Oleh karena itu, bagi Rumi cinta adalah perjalanan

akhir bagi murid yang ingin mengenal hakikat Allah swt. dengan cintalah

seorang murid mampu membakar semua nafsu dan keinginan duniawi yang

ada di hati mereka. Sebagaimana Rabi‟ah al-Adawiyah yang telah sampai

kepada tahapan mahabbah, maka dia sekaligus juga berada pada tahap

ma’rifah kepada Allah swt. Oleh karena itu, mahabbah adalah puncak ajaran

Rabi‟ah (Ni‟am, 2001: 75).

Page 83: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

71

Hal ini senada dengan pendapat Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w.

1111 M) dalam karyanya Minhajul „Abidin yang membagi tujuh tahapan

bagi murid untuk memperoleh mahabba>h; yaitu dengan ilmu, taubat, khauf,

raja‟, muhasabah, muraqabah, dan syukur (al-Ghazali, 2016). Sedangkan

menurut Syekh Ibrahim bin Ismail al-Zarnuji (w. 1223 M), bahwa

keberhasilan dalam mencari ilmu yaitu cerdas, rasa ingin tahu yang tinggi,

sabar, biaya, petunjuk dari guru, dan waktu yang lama. Sebagaimana dalam

syairnya berbunyi: “Tidak akan berhasil seseorang dalam mencari ilmu

kecuali dengan enam syarat, maka akan aku sampaikan kepadamu

keseluruhan syarat-syarat tersebut dengan jelas; cerdas, rasa ingin tahu

yang tinggi, sabar, mempunyai harta, adanya petunjuk dari seorang guru,

dan dalam waktu yang lama” (Iqbal, 2015: 381).

Hal ini juga senada dengan pemikiran KH. Hasyim Ays‟ari (w. 1947

M), dalam karya monumentalnya berjudul Adab al-„Alim wa al-Muta‟alim

yang menjadi pedoman murid dalam mencari ilmu dan perjalanan menuju

Allah; Pertama, membersihkan hati terlebih dahulu sebelum mengawali

proses mencari ilmu (taubat); Kedua, membangun niat yang luhur; Ketiga,

rela, sabar, dan menerima keterbatasan dalam masa-masa pencarian ilmu

(qanaah), baik menyangkut makanan, minuman, dan pakaian; Keempat,

bersikap wara‟ (waspada); Kelima, menjauhkan diri dari pergaulan yang

tidak baik; Keenam, tidak banyak tidur; Ketujuh, memuliakan guru;

Kedelapan, beretika dalam menggunakan literatur yang merupakan alat

belajar. Sementara menurut Sa‟id Hawwa (w. 1989 M), dalam perjalanan

menuju Allah, seorang murid harus menempuh jalan; ilmu pengetahuan,

riyadhah (latihan-latihan spiritual), wirid, mujahadah al-nafs, uzlah

(mengasingkan diri), al-Shamt (diam), al-Ju’ (menahan lapar), al-Sahr (tidak

tidur di waktu malam), berjama‟ah, al-Insyad (bersenandung), dan menelaah

Page 84: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

72

buku-buku tasawuf atau kisah-kisah orang saleh (Hawwa, 2006). Sementara

menurut KH. Abdurrahman Wahid (w. 2009 M), perjalanan spiritual

ditempuh dengan berbagai kedisiplinan diri, anatara lain; bertauhid,

pengosongan diri (fana>’), taubat, shalat malam, dzikir langgeng, mencintai

Nabi, pelayanan (futuwwah), ziarah makam, ikhlas, sabar dan syukur,

memaafkan, tawakkal, qana‟ah, cinta dan kasih sayang, serta mengambil

berkah dari guru (ngalap berkah) (Ridwan, 2013 :11).

Secara umum, langkah untuk mewujudkan karakter cinta kasih pada

murid adalah dengan proses bertakhalli dengan membersihkan hati dari sifat

keburukan dan keterikatan pada dunia melalui taubat atau juga disebut

dengan penarikan diri (menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan

perhatiannya dari Allah), lalu bertahalli sebagai proses pengisian hati yang

telah dikosongkan tersebut, hati ini diisi dengan sabar, syukur, qana‟ah

(hidup sederhana), tawadhu, zuhud, tawakkal, ridha, dan tahalli juga adalah

berhias dengan sifat-sifat Allah. Kemudian pada puncaknya murid mencapai

tajalli> yaitu tahapan kebahagiaan yang sejati karena telah dibukakan tabir

antara dirinya dengan Tuhan atau penyingkapan diri, yaitu Allah

menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada mahkluk-Nya.

Menurut Rumi, sesungguhnya cinta hanya dapat dirasakan, tidak

dapat diberikan. Rumi sendiri mengatakn, “Apapun yang kuceritakan tentang

cinta, ketika kualami sendiri cinta itu, aku malu lantaran pemberian itu.”

Cinta bagi Rumi itu dapat dirasakan dan dihayati oleh setiap orang yang

sudah masuk ke dalam domain cinta tersebut, sehingga hakekat cinta baginya

tidak dapat didefinisakan (Kertanegara, 1986: 79).

Bagi Rumi, seorang murid harus melalui empat tahap mahabbah

untuk memperoleh cinta itu sendiri, yaitu pertama, mencintai Allah, dengan

mencintai Allah seorang murid akan selalu merasa diawasi oleh-Nya dan

Page 85: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

73

akan selamat dari siksa-Nya; kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah.

Jika belum mampu mencintai Allah, seorang murid bisa mencintai terlebih

dahulu apa-apa yang dicintai oleh Allah seperti Nabi dan Rasul-Nya, para

Kekasih-Nya, hamba-Nya dan alam semesta, sebab barangsiapa yang

mencintai kebaikan, keadilan, kebenaran dan keselamatan, berarti ia telah

mencintai Allah swt; ketiga, cinta untuk Allah dan kepada Allah, cinta ini

merupakan perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah

swt. Hendaknya seorang murid menumbuhkan rasa cinta untuk dan kepada

Allah semata dalam setiap aktivitasnya; keempat, cinta kudus, yaitu murid

telah menyucikan lahir dan batinnya dari segala sesuatu kecuali Allah.

Segala perbuatan lahirnya dinisbatkan kepada-Nya dan batinnya hanya

merasakan Dia semata. Dengan demikian, seorang murid akan mencapai

puncak mahabbah dan menjadi insan kami>l (perfect man).

Jalan menuju cinta pada dasarnya adalah jalan menuju Allah, karena

Allah Maha Pengasih, Penyayang dan juga Maha Cinta. Karena Allah adalah

Tuhan Yang Maha Suci, maka seorang murid yang ingin mendekati-Nya

juga harus dalam keadaan suci lahir dan batin. Suci secara lahiriah, ialah

seorang murid harus senantiasa membersihkan jasmaninya dari segala

kotoran, sedangkan suci secara batiniah, yaitu murid harus membersihkan

diri dari segala macam penyakit hati, seperti iri hati, sombong, riya‟, tamak

terhadap dunia, ghibah, dan sebagainya. Selama sifat-sifat tercela itu masih

menempel pada diri seorang murid, maka akan sulit untuk sampai kepada

maqam cinta, yang menghalanginya bertemu dengan Allah swt. Dengan

demikian, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengabdikan diri

kepada Allah swt. yaitu dengan jalan mencintai-Nya dengan cara

membersihkan lahir dan batin dari segala sesuatu kecuali Dia. Rumi

menempuh jalan cinta melalui proses yang panjang dan cukup melelahkan

Page 86: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

74

dengan berusaha menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh materi keduniaan,

dan membangun serta menjaga kesuburan jiwanya, agar Allah menyirami

jiwanya dan kebun mahabbah dapat tumbuh dengan subur di dalam diri

Rumi.

3. Langkah Pembinaan Pendidikan Cinta Kasih dalam Karya-Karya

Rumi

a. Matsnawi al-Maknawi

Al-Matsnawi ini merupakan karya Rumi yang terbesar, baik dalam

arti ketebalan bukunya maupun kedalaman isinya. Tebalnya mencapai

sekitar 2.000 halaman yang terbagi menjadi enam jilid. Matsnawi ini ditulis

untuk memenuhi permintaan Husamuddin Chelebi, seorang murid sekaligus

sahabat termuka Rumi. Sebagian orang menyebut Matsnawi dengan Husami

Namah (Kitab Husam) (Djamaluddin, 2015: 73). Manuskrip Matsnawi

memiliki beberapa versi, sehingga membuat pengkaji berbeda pendapat

tentang jumlah baitnya. Dalam buku Life and Works of Rumi (1956), Afzal

Iqbal menyebut Matsnawi terdiri dari 25.000 bait, sedangkan Encyclopaedia

Britanica (Vol. XIX, 1952) menyebutkan terdiri dari 40.000 bait. Sedangkan

Nicholson, menyebut 25.632 bait. Namun, manuskrip yang paling dapat

dipercaya ialah yang jumlah baitnya tidak lebih dari 25.000 bait

(Djamaluddin, 2015: 73-74). Matsnawi juga diterjemahkan oleh para sarjana

Eropa. Di antaranya George Rosen (menerjemahkan jilid I ke dalam bahasa

Jerman pada 1849), Sir James Redhouse (menerjemahkan ke dalam bahasa

Inggris, pada 1881), Edward Henry Whinfield (menerjemahkan 6 jilid ke

dalam bahasa Inggris pada 1887), dan yang paling terkenal ialah Reynold A.

Nicholson yang menghabiskan 25 tahun untuk mengkaji Rumi

(menerjemahkan 6 jilid ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1925) (al-

Kafafiy, 1966: 55).

Page 87: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

75

Manusia sempurna dalam tasawuf disebut insa>n al-kami>l atau Nei

dalam bahasa Rumi. Nei adalah simbol dari manusia sempurna, juga sebagai

seruling bambu yang mengalami keterpisahan dari rumpun bambu (asal-

muasalnya, yakni Allah). Rumi berkata: “Dengarkanlah Nei ini yang sedang

melirih atas kisah derita keterpisahannya” (Jabir, 2018: 31). Rumi

menggambarkan Seruling bambu yang mengeluh karena ia telah dipisahkan

dari rumpunnya dan rindu pulang ke rumahnya. Dengan jalan cinta, manusia

akan dituntun untuk sampai kepada-Nya. Sebab, setiap manusia mengalami

derita keterpisahan, oleh karena itu ia selalu merindukan kampung

halamannya, yaitu Allah swt.

Al-Qur‟an memulai dengan Iqra’ „Bacalah‟. Sedangkan Jalaluddin

Rumi, memulai Matsnawi dengan ucapan Nei „Dengarkanlah‟. Baik

Nicholson maupun Abdurrahman al-Jami, memaknai Nei sebagai manusia

sempurna atau Ruh al-A’zam. Jadi, makna dari nei ialah „dengarkanlah insan

kamil‟ (Jabir, 2018: 31). Sebagian penafsir mengatakan bahwa seluruh kisah

dalam Matsnawi sesungguhnya hanya menceritakan tentang hakikat insan

kamil. Imam al-Ghazali dan Sana‟i juga selalu menggunakan kata Nei. Nei

atau seruling bambu ditengahnya kosong (terdapat lubang). Dengan

demikian, di dalam diri insan kamil harus kosong dari hawa nafsu, sehingga

melahirkan kata-kata indah dari kebun hatinya ketika ditiup (diberi ilmu).

Namun, apabila di tengah seruling bambu terdapat suatu benda atau

penghalang (hawa nafsu), tentu tidak akan mengeluarkan suara yang indah.

Seorang guru harus membersihkan lubang yang ada pada diri seorang murid,

agar dapat memiliki karakter dan ucapan yang baik, yang lahir dari hati yang

bersih.

Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab

Matsnawi, sebagai berikut:

Page 88: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

76

a. Menumbuhkan Sikap Toleran

Rumi mengajak setiap murid agar memiliki sikap toleran dan

menyakini keberagamaan. Sebagaimana dalam syairnya: “Jangan tanya apa

agamaku. Aku bukanlah Yahudi, Zoroaster, Nasrani, bukan pula Islam.

Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti

yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.” (Jabir, 2018: 15). Rumi

memandang agama dalam perspektif batiniahnya yang hanya bisa dipahami

melalui hati yang suci, sebab inti agama ada pada batin agama tersebut. Dan

pada sisi batin agama, manusia akan akan menemukan korelasi diantara

agama-agama yang ada. Oleh karena itu, inti dari semua agama ialah Tuhan,

dan Tuhan hanya bisa dirasakan di dalam hati yang suci, dan dengan melalui

jalan cinta. Seorang murid yang telah mencapai kesucian hati akan

menampakkan cinta dan kasih sayang, sehingga ia memandang semua

manusia adalah baik dan berlaku lemah lembut serta rendah hati kepada

sesama, sebagaimana Rumi mengingatkan: “Betapa bahagia orang yang

memandang rendah nafsunya. Lihatlah sebuah gunung, memandang rendah

sekitar dan menilai tinggi dirinya. Ketahuilah, itu bentuk dari kesombongan,

menganggap rendah orang lain adalah racun yang mematikan. Dan orang-

orang bodoh meneguk anggur beracun itu sampai mabuk.” (Tarhan, 2016:

130). Seorang guru harus menumbuhkan sikap toleran murid, sebab

perbedaan adalah rahmat dan suatu keindahan yang Allah telah tetapkan

sejak azali. Rumi berpesan: “Mendengarlah dengan telinga yang toleran,

melihatlah dengan mata belas kasihan, dan berbicaralah dengan bahasa

cinta.”. Allah swt berfirman:

Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Q.S. Al-

Kafirun: 6).

Page 89: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

77

b. Tidak Rakus Terhadap Dunia

Rumi mengajak murid agar tidak rakus dengan kenikmatan dunia

yang dapat melalaikan seseorang dari Allah. Rumi berkata: “Mata orang-

orang rakus takkan pernah penuh. Betul, jika kerang tak pernah merasa

cukup dari air hujan, kerang takkan pernah dipenuhi mutiara.” (Jabir, 2018:

64). Kerang pada musim hujan dan dengan kondisi hujan tertentu, kerang

akan naik ke pinggir pantai dan membiarkan dirinya terhujani. Kerang tidak

menerima air hujan secara sembarangan, ada satu jenis hujan yang memiliki

spesifikasi tertentu yang nantinya akan menghasilkan mutiara. Jadi, Rumi

mengambil satu perumpamaan untuk menggambarkan sifat qana’ah atau

sifat merasa cukup yang harus dimiliki seorang murid, dan tidak

sembarangan menerima ilmu pengetahuan dari guru yang tidak ahli dalam

bidangnya. Sehingga, seorang murid yang merasa cukup dan tidak rakus

akan memperoleh mutiara (hikmah) di dalam dirinya, dan juga murid harus

membatasi dirinya untuk tidak rakus terhadap makanan, dan hanya memakan

makanan yang baik saja untuk menjaga kesucian jiwanya. Oleh karena itu,

hendaklah seorang murid menjaga dirinya dari sikap berlebih-lebihan untuk

menjaga kondisi spiritualnya. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar

berlebihan.” (Q.S Al-Aadiyat: 8).

c. Meluruskan Niat dalam Belajar

Dalam memperoleh pengetahuan sejati, seorang murid harus terlebih

dahulu meluruskan niat, sebab pencapaian seseorang tergantung dari apa

yang ia niatkan. Rumi memberi nasihat kepada muridnya, dalam syairnya

beliau berkata: “Lihatlah dua jenis Tawon dengan makanan yang sama.

Page 90: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

78

Tawon yang satu memberikan madu, dan Tawon yang lain memberikan

sengatan.” (Jabir, 2018: 94). Oleh karena itu, seorang guru tidak boleh

mengatakan semua murid sama, karena niat setiap murid berbeda-beda, ada

yang belajar karena ingin memperoleh nilai, ada pula karena ingin naik

kelas, juga karena mengharap ridha Allah swt. Seperti tawon, minum dari

bunga yang sama namun yang satu menghasilkan madu dan yang lain

menghasilkan sengatan, demikian juga dua orang murid yang makan dengan

makanan yang sama, murid yang satu menjadi hina, sedang murid yang lain

menjadi mulia, karena yang satu makan dengan niat ingin kenyang,

sedangkan yang lain dengan niat memenuhi hak tubuh karena khawatir tidak

bisa menjalankan kewajiban kepada Allah. Sehingga setiap murid harus

menyandarkan segala aktivitasnya dengan niat yang tulus dan hanya

mengharap ridha Allah swt, agar memperoleh kesuksesan di dunia maupun

di akhirat. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Perumpamaan kedua golongan (orang kafir dan mukmin),

seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan

mendengar. Samakah kedua golongan itu? Maka tidaklah kamu mengambil

pelajaran?” (Q.S. Hud: 42).

d. Pengorbanan Diri

Dalam memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah, seorang murid

harus siap merelakan dirinya untuk bersusah payah dalam menuntut ilmu

pengetahuan. sebab, tanpa pengorbanan diri sulit kiranya untuk memperoleh

cahaya ilmu. Seorang murid yang tidak siap menanggung derita lelahnya

belajar, akan menanggung perihnya kebodohan di kemudian hari. Rumi

Page 91: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

79

berkata: “Jalan jiwa awalnya akan meremukkan badan, selanjutnya akan

menyuburkannya. Orang yang membuat rumah dari batu, pertama akan

meruntuhkan batu, selanjutnya menyusunnya kembali dengan indah.” (Jabir,

2018: 101). Seseorang yang ingin menikmati nasi, harus merelakan beras

terlebih dahulu untuk menjadi nasi. Seorang murid tidak akan memperoleh

cahaya ilmu jika tidak menempa dirinya dalam lelahnya belajar, dan

kesabaran secara total. Benar kata Rumi, bahwa “Obat derita ada di dalam

derita”, yaitu terdapat cahaya (obat) yang tersembunyi dibalik setiap derita

(sakit). Pada hakikatnya, seorang manusia memiliki harta yang tersembunyi

di dalam dirinya hanya saja tertutupi oleh debu yang semakin tebal. Seorang

murid yang fasik tentu ia telah mencampakkan dirinya sendiri dan telah

tertipu oleh hawa nafsu. Sebagaimana Rumi menasihati: “Murid yang fasik

telah merusak hati mereka dan hanya mempelajari tipu daya. Mereka

mencampakkan harta sejati; kesabaran, pengorbanan diri, dan kemurahan

hati.” (Rahman, 2012: 149). Oleh karena itu, salah satu riyadhah (latihan

jiwa) yang bisa dilakukan seorang murid agar tidak merusak hatinya ialah

dengan berpuasa, sebab dalam puasa terdapat cahaya, begitu mulut (fisik)

ditutup maka mulut yang lain akan terbuka (mulut ruhani). Rumi berkata,

“Tahanlah air sejenak agar saluran air mudah dibersihkan” (Rumi, 2004:

138). Allah swt berfirman:

Artinya: “Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun

dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah.

Page 92: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

80

Yang demikian itu adalah lebih baik bagiku jika mengetahui.” (Q.S. At-

Taubah: 41).

e. Menjaga Kondisi Hati

Rumi mengajak murid untuk berjalan dengan hati, sebab jalan

menuju Tuhan bukan di langit, melainkan di hati. Bagi Rumi, perjalanan

ruhani bukan berjalan ke luar, namun perjalanan itu menuju ke dalam (hati).

Rumi berkata: “Bersihkanlah kolam hati, maka badan akan bersih dengan

sendirinya, penuhilah kolam itu dengan hal-hal yang baik. Dengan begitu

hilanglah rasa malu, keburukan pun akan lenyap dengan sendirinya.”

(Tarhan, 2016: 145). Seorang murid tidak akan menyakiti siapa pun jika ia

selalu menjaga kondisi hatinya dengan baik, dan murid selalu menyakini

bahwa hati adalah rumah Allah, sehingga ia tidak akan menyakiti atau

merendahkan makhluk-Nya. Ketika seorang murid telah mampu menjaga

kondisi hatinya, maka ia akan tersucikan dari sifat sombong, tamak, merasa

paling benar, merasa ahli surga, dan ia pun akan memperoleh kedamaian

yang sejati. Seorang guru yang sejati tentu akan selalu membimbing murid

agar menjaga kondisi hatinya, sehingga ia mencapai insan kami>l (perfect

man). Oleh karena itu, seorang murid hendaknya menjaga hati dan tidak

memiliki ruang sedikitpun untuk membenci orang lain. Rumi menasihati:

“Tetaplah bersama mereka yang memiliki ruang dalam hati. Mereka yang

memiliki dendam padamu, mengubahmu menjadi seorang murid baru.”

(Rumi, 2018: 269). Bagi Rumi, seorang murid seharusnya menjalin

hubungan dengan orang-orang yang memiliki hati, dan apabila di antara

mereka ada yang dendam, yang demikian itu hanyalah menjadi sebuah

pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih sabar bagi murid, karenanya

Rumi berkata, “Mereka yang memiliki dendam padamu, akan mengubahmu

menjadi seorang murid baru”. Oleh karena itu, setiap murid harus menjaga

Page 93: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

81

kebersihan hatinya agar kelak Allah menerimanya. Sebagaimana Allah swt

berfirman:

Artinya: “(Ingatlah) ketika dia datang kepada Tuhannya dengan hati

yang suci.” (Q.S. Ash-Shaffat: 84).

f. Memurnikan Tauhid

Seorang murid harus memurnikan tauhidnya kepada Allah, sebelum

memperoleh kedudukan yang mulia. Sebab, kunci utama dalam proses

pembelajaran ialah menyucikan diri dari segala sesuatu selain Allah swt.

Rumi berkata: “Dalam diri-Nya tak menampung dua aku, kau mengatakan

aku, Dia juga mengatakan Aku. Maka hanya ada dua pilihan, apakah

engkau mati dalam diri-Nya atau Dia yang mati di dalam dirimu. Tetapi,

karena Dia adalah hakikat hidup yang tak pernah mati, karena itu

engkaulah yang mati di sisi-Nya.” (Jabir, 2018: 116). Penyatuan dengan

Allah hanya bisa ditempuh dengan cara fana’ yaitu peniadaan diri atau

peniadaan ego, sehingga yang ada hanya akhlak dan perbuatan Allah swt.

Seorang murid harus menyerahkan diri sepenuhnya dihadapan bimbingan

seorang guru, seperti mayit dihadapan orang yang memandikannya, dan

sepenuhnya bergantung pada kehendak guru, sebab guru dianggap sebagai

perantara sebelum sampai kepada Yang Maha Suci. Seorang murid harus

mematikan egonya dihadapan seorang guru, agar lebih mudah memperoleh

ilmu pengetahuan, seperti seorang pencinta dihadapan kekasih-Nya. Kata

Rumi: “Bagaimanakah cara memperoleh tauhid? Membakar diri dan

mensirnakan diri di sisi Tuhan yang absolut, jika engkau mengiginkan bagai

siang yang terang benderang, bakarlah eksistensimu yang seperti malam

gelap gulita.” (Jabir, 2018: 155). Sebagaimana Allah swt berfirman:

Page 94: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

82

Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya

kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah: 5).

g. Mencari Guru yang Kompeten

Dalam tradisi sufisme, seorang mursyid atau pembimbing ruhani

sangat diperlukan. Bagi Rumi, seorang murid yang berjalan tanpa

bimbingan seorang guru akan tersesat, sebab perjalanan seorang murid akan

menemui banyak cobaan yang sarat dengan kepalsuan. Dalam

perjalanannya itu, seorang murid akan menemukan “fatamorgana

kebenaran” yang pada hakikatnya merupakan jalan setan. Dengan adanya

seorang guru, maka perjalanannya akan selalu terarah, karena guru

merupakan orang yang mengetahui setiap wilayah spiritual yang harus

dijelajahi oleh murid (Zaairul Haq, 2011: 56). Rumi berpesan kepada

muridnya agar segera mencari guru (pembimbing spiritual), sebab jalan

menuju Allah banyak rintangan, godaan, dan tipu muslihat setan,

sebagaimana Rumi berkata: “Seorang yang buta tidak akan tahu berapa

jauh jalan yang telah ia tempuh, meskipun dia telah berjalan seratus

tahun.” (Tarhan, 2016: 183). Oleh karena itu, seorang murid membutuhkan

kehadiran mursyid untuk membimbingnya menuju Allah, sebab seorang

mursyid meresapkan firman ilahi ke dalam dirinya. Tanpa bimbingan

seorang mursyid, perjalanan dua hari mungkin akan ditempuh oleh murid

selama dua puluh tahun. Sebagaimana dalam syairnya, Rumi berkata:

“Apabila bayangan ilahi (mursyid) menjadi pengasuhnya, pemburu itu

(murid) akan terbebaskan dari segala imajinasi dan bayangan. Bayangan

ilahi adalah hamba ilahi, ia telah mati dengan dunia dan menemukan

kehidupan bersama Tuhan. Segerakanlah dirimu berada dalam

pangkuannya, tak perlu ragu agar kau bebas dari fitnah akhir zaman.”

Page 95: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

83

(Rumi, 171: 2004). Setiap manusia tidak dapat menyaksikan akhir dari

suatu perbuatan, bisa saja ia akan terpeleset dan terperangkap dalam

kehinaan yang ia sangka itu adalah jalan yang benar. Rasulullah saw

bersabda; “Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya

maka tunggulah kehancurannya. (HR. Imam Bukhari)”. Oleh karena itu,

seorang guru harus ahli dalam bidangnya dalam meniti karir seorang murid

untuk meraih kesuksesan di dunia dan keselamatan di akhirat. Di sisi lain,

bagi Rumi, marah seorang guru adalah bentuk keindahan dan kasih sayang

kepada murid, sebagaimana amarah Allah kepada hamba-Nya adalah

teguran dan kepedulian Allah karena rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.

Rumi berkata: “Duhai Kekasih, amarahmu lebih indah dari segala musik,

sema, nada dan kecapi.” (Jabir, 2018: 170). Dalam syair Rumi yang lain

disebut bahwa marah Allah lebih indah dari segala kenikmatan dan

keindahan dunia. Sebab bagi para sufi, apa pun yang datang dari Allah

bahkan siksa sekalipun nampak indah. Oleh karena itu, seorang murid yang

memiliki konsentrasi tersebut, akan melihat segala hinaan yang datang

padanya sebagai sebuah keindahan semata. Sebagaimana Allah swt

berfirman:

Artinya: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu

adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila

orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina),

mereka mengucapkan, “salam”.” (Q.S. Al-Furqan: 63).

Page 96: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

84

h. Tidak Makan dan Minum Secara Berlebihan

Aflaki mengatakan bahwa Rumi makan sekali setiap tiga hari,

kadang seminggu sekali, dan dia menarik diri dari kehidupan sosial

dalam waktu yang lama untuk menunjukkan penghambaan sejati kepada

Allah (Okuyucu, 2018: 75). Dalam menempuh perjalanan spiritual, puasa

merupakan terapi yang baik untuk seorang murid. Makan dan minum

secara berlebihan bagian dari cinta dunia yang akan memberatkan murid

dalam perjalanan spiritualnya. Oleh karena itu, Rumi berpesan: “Rasa

manis yang tersembunyi ditemukan di dalam perut yang kosong ini.

Ketika perut kecapi telah terisi ia tidak dapat berdendang, baik dengan

nada rendah ataupun tinggi. Jika otak dan perutmu terbakar karena

puasa, api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam

dadamu. Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab

dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam

hasratmu” (Zaairul Haq, 2011: 213). Kenikmatan dalam kekosongan

perut akan melahirkan cahaya hikmah. Secara jasmani orang yang

berpuasa terpenjara, namun secara ruhani sayap-sayap jiwanya

menembus cakrawala. Bagi Rumi, dengan berpuasa akan membakar

segala hijab yang telah menghalangi masuknya cahaya Ilahi. Para sufi

menyakini bahwa tidak akan terbuka rahasia alam ruhani bagi orang yang

perutnya dalam keadaan kenyang. Sebab, rasa lapar menjadi kendaraan

yang mengantarkan tersingkapnya kegaiban di alam ruhani dan tubuh

yang ringan akan memudahkan seorang murid untuk melakukan

perjalanan menuju Allah. Sebagaimana Syaikh Junaid al-Baghdadi

berkata: “Bagaimana mungkin seorang yang menjadikan perutnya

keranjang makanan akan bisa merasakan lezatnya mengingat Allah?”

(Zaprulkhan, 73: 2015). Allah swt berfirman:

Page 97: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

85

Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus

pada setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan

berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-

lebihan.” (Q.S. Al-A‟raf: 31).

i. Memfokuskan Diri pada Batin

Rumi mengajak murid untuk tidak terlena pada penampilan luar

semata, sebab inti seorang manusia ada pada sisi batinnya. Sebagaimana

Allah swt hanya melihat hati hamba-Nya, bukan penampilan fisiknya

semata. Rumi berkata: “Jika menjadi manusia cukup dengan segala hal

yang hanya berhubungan dengan penampilan luar, Muhammad dan Abu

Jahal tidak akan berbeda.” (Okuyucu, 2018: 132). Secara fisik Nabi

Muhammad dan Abu Jahal memiliki tangan, kaki, kepala dan bentuk tubuh

yang mungkin terlihat sama, namun kondisi batinlah yang membedakan

keduanya, Nabi Muhammad adalah cahaya, sedang Abu Jahal adalah

kegelapan. Begitupula perbedaan antara Musa dan Fir‟aun, secara fisik

sama, namun Musa berada di tempat yang tinggi di surga, sedang Fir‟aun

berada di tempat yang terendah di neraka. Oleh karena itu, seorang guru

harus membimbing murid untuk selalu memperhatikan aspek batiniahnya,

dan tidak hanya terfokus pada penampilan luar. Sebab, jalan menuju Allah

tidak cukup dengan memperhatikan kondisi fisik semata. Allah swt

berfirman:

Page 98: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

86

Artinya: “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga

hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar?

Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di

dalam dada.” (Q.S. Al-Hajj: 46).

j. Tidak Lalai dengan Kenikmatan Dunia

Rumi mengingatkan agar seorang murid tidak lalai dengan segala

godaan dunia yang bersifat sementara. Sebab, hamba yang sejati tidak akan

menukar emas dengan batu biasa, yaitu menukar akhiratnya dengan dunia.

Seorang murid harus sabar untuk tidak tenggelam dalam kenikmatan

duniawi, sebab kenikmatan yang sejati telah menunggu dirinya di akhirat.

Rumi mengingatkan: “Wahai kalian yang tidak bisa menunjukkan cukup

kesabaran untuk menahan diri dari kesenangan duniawi. Bagaimana bisa

kalian menanggung kehidupan, yang merampas kehidupan akhiratmu dan

yang berhubungan dengan Sang Sahabat (Tuhan).” (Okuyucu, 2018: 157).

Bagi Rumi, dunia adalah kesenangan yang semu dan tipu muslihat, oleh

karena itu, mustahil seorang murid yang ingin bertemu dengan Allah

sementara di dalam dirinya terdapat cinta selain cinta kepada Allah swt.

Seorang murid hanya mengambil seperlunya di dunia untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, dan tidak berlebih-lebihan dalam makan, minum, dan

pakaian, sehingga ia menjadikan dunia menguasai hatinya dan akhirnya

terhijab hingga lupa kepada-Nya. Rumi berkata: “Keduniawian berarti

menjadi lupa dengan Yang Maha Kuasa, bukan berarti memiliki pakaian,

uang, atau keluarga.” (Okuyucu, 2018: 163). Bagi Rumi, bersifat duniawi

ialah menjadi lupa kepada Allah. Maka seorang murid boleh saja memiliki

pakaian, uang, dan keluarga. Akan tetapi, hatinya tidak boleh dikuasai oleh

segala perhiasan dunia, hingga terhijab dari Allah swt. Seorang murid

hendaknya tidak ambisius dan tamak terhadap dunia, sebagaimana Rumi

Page 99: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

87

menasihati: “Orang yang ambisius dan tamak adalah orang yang buta dan

tuli! Tidak ada alasan apa pun untuk keserakahan!” (Tarhan, 2016: 124).

Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan

senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-

orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (Q.S. Al-An‟am: 32).

b. Rubaiyat

Kitab ini mencakup sajak-sajak Maulana Rumi yang ditulis dalam

bentuk ruba‟i. Walaupun tidak setenar Matsnawi dan Diwan Syams Tabriz,

namun sajak-sajak dalam Rubaiyat ini juga sangat indah dan mendalam.

Menurut Badiuzzaman Farauzanfar, Rubaiyat Rumi terdiri dari 3.318 bait

puisi yang terkumpul dalam 1659 ruba‟i (puisi dalam empat bait)

(Djamaluddin, 2015: 77). Rubaiyat salah satu antologi puisi, di mana Rumi

menginterpretasikan dirinya sebagai seorang penyair sufi yang agung.

Kedalaman pesan dan keindahan bahasanya begitu mempesona. Dengan

demikian, wajar jika Rumi menjadi simbol kemajuan sastra Persia sekaligus

sosok yang sangat populer di kalangan sufisme.

Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab

Rubaiyat, sebagai berikut:

a. Mengisi Hari dengan Kebaikan

Seorang murid harus mengisi setiap hari-harinya dengan berbagai

amal saleh dan kebaikan, tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga

kepada hewan dan tumbuhan, sehingga sifat cinta kasih akan melekat pada

dirinya. Rumi berkata: “Di jalan Cinta, lihatlah aku menyala seperti lilin,

Page 100: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

88

momen yang satu itu mungkin selubungi seluruh momen hari-hariku.”

(Rumi, 2018: 15). Bagi Rumi, seseorang yang berada di jalan cinta akan

melihat dirinya seperti lilin yang terus menerus menyala hingga ia menutupi

momen hari-harinya yang lain (yang tidak berhubungan dengan cinta).

Dengan menyebarkan kebaikan secara kontinu, seorang murid akan

mencapai tingkatan atau kondisi mahabba>h. Oleh karena itu, seorang guru

wajib mengingatkan setiap muridnya agar selalu konsisten menebar cinta dan

kasih sayang untuk seluruh alam, hingga murid akan menghabiskan harinya

untuk berbuat kebaikan hingga hatinya menyala seperti lilin, yang akan

menerangi orang lain dengan cahaya cinta dan kasih sayang Allah. Dengan

demikian, seorang murid hendaklah menjaga dirinya dari sesuatu yang tidak

mendatangkan kebaikan dan amal saleh kepada diri sendiri dan orang di

sekitarnya sehingga ia lalai dari Allah swt. sebagaimana Allah swt

berfirman:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada

Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah

diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.

Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.

Al-Hasyr: 18).

b. Menyadari Potensi Diri

Rumi mengajak setiap manusia untuk menggali potensi dirinya yang

tersembunyi. Sebab, manusia adalah alam saghir (mikrokosmos), dan

makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Rumi berkata: “Kita adalah

harta karun misteri agung Tuhan. Lautan di mana sungguh bertempat

Page 101: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

89

mutiara-Nya yang menolak hitungan.” (Rumi, 2018: 24). Bagi Rumi,

manusia ialah misteri agung Allah dan lautan yang di dalamnya terdapat

mutiara yang tidak bisa dihitung. Setiap manusia adalah tajalli> (penampakan)

Allah di muka bumi, yang menampakkan keindahan wajah-Nya. Oleh karena

itu, seorang guru perlu membimbing murid untuk membuka hatinya, karena

setiap murid sejatinya adalah cermin Ilahi (mir’ah Alla>h) yang dapat

memantulkan mutiara-mutiara keindahan Allah, dan hanya dengan melalui

jalan kesucian, mutiara itu bisa disingkapkan. Dengan demikian, antara

murid dan guru harus saling memantulkan keindahan Allah, sebab manusia

ialah manifestasi ilahiyah yang berasal dari keagungan Allah yang hanya

dapat dipahami oleh hati yang suci atau yang tercerahkan. Sebagaimana

Allah swt berfirman:

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda

(kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,

sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur‟an itu adalah benar. Tidak

cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

(Q.S. Fushilat: 53).

c. Menerima Setiap Ujian Hidup

Rumi mengajak seorang murid untuk selalu menyiapkan diri dalam

menerima setiap ujian dalam hidup, sebab setiap ujian pasti mengandung

hikmah dan pelajaran. Semakin berat ujian hidup, maka semakin besar

keuntungan yang dapat diperoleh. Rumi berkata: “Tidaklah kain satin yang

menawan atau kekayaan kami pedulikan. Kami santai saat mengalami duka

lara, rasa derita sungguh kami suka.” (Rumi, 2018: 49). Bagi Rumi,

Page 102: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

90

keindahan dan kekayaan bukanlah sesuatu yang harus dipedulikan oleh

setiap murid yang menapaki jalan spiritual (walaupun kaya juga baik), justru

keberhasilan dalam hidup bisa diraih ketika murid menyukai (menerima)

setiap derita dan cobaan hidup yang datang padanya, dan menerima dengan

sikap santai setiap duka lara yang menghampiri, seperti menerima datangnya

kebahagiaan. Sebab, semakin seorang murid mengalami penderitaan, ia

semakin memperoleh pencerahan ruhani. Banyak murid yang pintar secara

akademik, dan memiliki nilai yang tinggi namun ketika ujian hidup

menempa dirinya, ia tidak mampu menyelesaikannya dan menjaga adab

kepada Allah hingga membuatnya mengalami depresi, bahkan bunuh diri.

Seorang guru perlu menyadarkan setiap murid bahwa setiap ujian hidup

mengandung hikmah dan mutiara. Bagi sufi, cobaan hidup seperti seorang

tamu yang datang berkunjung yang hanya mampir sejenak, dan tidak akan

tinggal lama. Hendaklah seorang murid belajar untuk menerima apa saja

yang datang dari Allah secara lapang dada, sebab semua yang datang dari-

Nya semuanya pasti baik dan indah. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan

hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji?”

(Q.S. Al-Ankabut: 2).

d. Menemukan Diri Sendiri

Perjalanan seorang murid menuju Tuhan pada dasarnya ialah

perjalanan menuju diri sendiri, sebab diri ialah cermin atau manifestasi

(bayangan) Allah di muka bumi, dan Nabi Muhammad saw ialah cermin

yang paling sempurna untuk memantulkan wajah Ilahi. Rumi berkata: “Kau

adalah satu bagian dalam kitab ilahi, cermin bagi kekuatan yang

Page 103: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

91

menciptakan semesta ini. Apa pun yang kau inginkan, mintalah pada dirimu

sendiri. Apa pun yang kau cari, hanya di dalam dirimu bisa ditemukan.”

(Rumi, 2018: 64). Bagi Rumi, manusia ialah penampakan wajah Allah di

alam semesta. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah adalah rahasia

manusia, dan rahasia itu ditemukan di dalam diri sendiri bukan di luar diri.

Sebab, barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka ia akan mengenal

Tuhannya, dan barangsiapa mengenal Tuhannya, ia akan mengetahui

rahasia-rahasia-Nya. oleh sebab itu, seorang guru perlu membimbing murid

untuk menemukan hakikat dirinya yang sejati, dan jalan untuk menemukan

hakikat diri bukanlah dengan jalan kepandaian dan kekayaan materi,

melainkan dengan jalan kesucian batin dan cinta kasih kepada sesama. Murid

sejati tidak mencari Allah di luar dari dirinya, sebab ia menyadari bahwa

Allah itu dekat dari urat leher, hanya saja tertutupi oleh debu yang semakin

tebal, sehingga tidak nampak apa yang ia rindukan. Tugas seorang guru-lah

yang akan membantu murid untuk membersihkan debu yang ada pada

cermin hatinya agar murid mengetahui hakikat dirinya sebagai hamba Allah.

Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar

mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat: 56).

e. Tidak Membuang-buang Waktu

Rumi mengingatkan seorang murid untuk tidak larut dalam kesedihan

yang mendalam, sehingga ia membuang-buang waktunya yang berharga.

Larut dalam kesedihan bukanlah sesuatu yang disukai oleh Nabi, kecuali

larut dalam mencintai Allah swt. Rumi berkata: “Jangan membuang waktu

dengan rindu akan masa lalu. Jangan terus menyesal akan beragam hal

Page 104: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

92

yang terjadi pada zaman dahulu. Jika kau biarkan masa lalu pergi, kau akan

menjadi seorang sufi.” (Rumi, 2018: 66). Bagi Rumi, seorang murid

seharusnya tidak membuang waktunya dengan rindu akan masa lalu yang

bisa membuatnya lalai dari mengingat Allah, dan tidak menyesali beragam

hal yang terjadi pada masa kemarin yang membuatnya putus asa menghadapi

masa depan. Jika seorang murid tidak terpenjara oleh masa lalu, maka ia bisa

menjadi seorang sufi. Sebab, sufi ialah anak waktu, yaitu seorang yang tidak

terpenjara oleh masa lalu, namun tetap optimis menatap ke depan dengan

menghabiskan waktu hanya kepada Allah semata. Seorang guru harus

mengajak muridnya agar tidak tenggelam dalam kesedihan (duniawi), dan

tidak menyesali apa saja yang tidak terjadi pada masa kemarin yang sangat

diinginkan oleh murid, dan membuatnya lupa kepada Allah. Sebagaimana

Allah swt berfirman:

Artinya: “Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling

menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (Q.S.

Al-Ashr: 1-3).

f. Tawadhu Kepada Guru

Bagi Rumi, tidak ada keberkahan apabila seorang murid merasa

sombong dan pintar dari gurunya, murid yang merasa lebih hebat dari

gurunya tidak akan pernah memperoleh berkah dan kebaikan apa pun.

Seorang murid tidak akan mencapai maqam mahabbah jika ia berlagak

hebat dan pintar di hadapan gurunya, sebab salah satu syarat untuk

memasuki tingkatan mahabbah, yaitu dengan merendahkan diri di hadapan

Page 105: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

93

seorang guru. Rumi mengingatkan: “Jangan jadi cendekia, jadilah bodoh

disebabkan cinta. Jika kau adalah rembulan di angkasa, jatuhlah dan

jadilah lumpur di jalan raya.” (Rumi, 2018: 75). Rumi menasihati murid

yang ingin memperoleh cinta, dengan cara merasa bodoh (tawadhu) di

hadapan gurunya dan jadilah debu di telapak kaki seorang guru, sebagaimana

seorang sufi yang menganggap dirinya hanyalah debu di jalan Mustofa

Muhammad saw. Dengan demikian, merasa bodoh berarti mengosongkan

diri, dan dengan cara demikian seorang murid siap untuk menerima ilmu

pengetahuan dari seorang guru. Seorang murid yang mampu menanamkan

sikap tawadhu akan memperoleh keberkahan dan cahaya ilmu dari guru,

hingga ia akan menjadi istimewa di dalam diri gurunya. Jika guru tersebut

termasuk kekasih Allah yang dipandangi hatinya oleh Allah, maka seorang

murid pun akan memperoleh cipratan keberkahan dari Allah swt. Seorang

murid juga harus tawadhu, tidak merasa suci dari murid lain (orang lain),

agar dapat mencapai hakikat ilmu pengetahuan, sebab tidak akan bisa

memperoleh pengetahuan apabila seorang murid selalu merasa dirinya suci

dari yang lain. Allah swt berfirman:

Artinya: “Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah

engkau menanyakan padaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku

menerangkannya kepadamu.” (Q.S. Al-Kahfi: 70).

g. Menjaga Ibadah Malam

Bagi para sufi, salah satu jalan menuju Allah ialah dengan

melaksanakan ibadah-ibadah di sepertiga malam, sebab hanya hamba sejati

yang merelakan tidur lelapnya demi berjumpa dengan Sang Kekasih. Rumi

berkata: “Cinta tak pernah istirahat, tidak juga tertidur lelap. Cinta tak

Page 106: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

94

pernah mencari mereka yang tertidur nyenyak.” (Rumi, 2018: 97). Bagi

Rumi, cinta Ilahi juga diperoleh dengan melaksanakan ibadah malam, yaitu

dengan shalat tahajud. Seorang murid yang ingin memperoleh cinta Ilahi

harus merelakan tidur lelapnya, sebab cinta hanya mencari orang-orang yang

terjaga dari kantuknya sehingga ia tidak lalai dari pertemuannya dengan

Allah swt. Seorang pencinta sejati tidak akan melewatkan satu malam pun

tanpa perjumpaan dengan Allah, sebab kunci kebahagiaan dan kesuksesan

ialah menjalin hubungan cinta kasih dengan Allah, yaitu dengan

melaksanakan ibadah-ibadah malam. Selain murid, seorang guru pun harus

merelakan tidur panjangnya demi memperoleh kedudukan yang terpuji di sisi

Allah. Memang perjalanan menuju hakikat sejati awalnya tidaklah

menyenangkan. Namun, jika seseorang terus menelusurinya, ia akan

merasakan manisnya. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud

(sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu

mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isra: 79).

h. Melapas Keinginan-Keinginan Hawa Nafsu

Rumi mengingatkan agar murid melepas segala keinginan-keinginan

hasrat dunianya, agar supaya ia tidak menjadi budak bagi dirinya sendiri.

Dunia ialah sesuatu yang lain, sedang cinta ialah sesuatu yang lain lagi. Jika

hati seorang murid dikuasai oleh dunia, maka cinta kepada Allah akan sulit

tumbuh, sebaliknya apabila hati seorang murid tidak dikuasai oleh dunia,

maka cintanya kepada Allah akan terus berkembang dan terbebas dari hawa

nafsu. Rumi berkata: “Jika kau biarkan Tuhan memburumu, kau akan bebas

dari segala dukamu. Tetapi jika kau sibuk memburu hasratmu, kau akan

Page 107: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

95

tetap menjadi budak bagi dirimu.” (Rumi, 2018: 116). Seorang murid yang

sibuk mengejar hasrat dunianya akan selalu menjadi budak bagi hawa

nafsunya sendiri, yang akan membuat dirinya sulit memahami keagungan

dan keindahan Allah. Dalam perjalanan mencari ilmu, murid hendaknya

tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya, dan tidak ambisius untuk meraih

kesuksesan dan kedudukan dunia secara instan. Rumi mengingatkan: “Hai

kalian semua! Orang yang ambisius tidak akan mendapat apa-apa. Jangan

berlari seperti mereka para ambisius yang mengejar duniawi. Berjalanlah

pelan.” (Tarhan, 2016: 118). Seorang guru harus membimbing muridnya

agar tidak berangan-angan pada urusan duniawi yang akan berbahaya bagi

nasib spiritualnya. Salah satu latihan jiwa ialah dengan memperbanyak puasa

dan sedekah, dengan begitu seorang murid tidak tenggelam dalam cinta

dunia. Bagi Rumi, ketika seorang murid beribadah kepada Allah dengan

sungguh-sungguh, maka rahmat Allah akan mendatangi (memburu) dirinya,

dan segala duka akan terbebas dari hidupnya, sebagaimana Rumi katakan,

“Jika kau biarkan Tuhan memburumu (mendatangi), kau akan bebas dari

segala dukamu”. Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran

Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh

surgalah tempat tinggalnya.” (Q.S. An-Nazi‟at: 40-41).

i. Meniadakan Diri di Hadapan Allah

Rumi menasihati muridnya agar tidak menganggap diri mampu dan

hebat dalam segala hal, terlebih merasa alim dan pintar di hadapan Allah swt.

Bagi Rumi, manusia ibarat debu yang beterbangan di muka bumi, dan hanya

Page 108: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

96

mengharap kasih sayang dari Allah, sekiranya bukan karena Allah, tentu

keimanan dan kecerdasan tidak akan bisa diperoleh. Segala sesuatu

bergantung pada Ilahi, bahkan seorang Nabi sekalipun tidak berdaya tanpa

pertolongan Allah. Seorang murid yang sedang melaksanakan proses belajar

seharusnya menundukkan egonya, hingga meniadakan dirinya di hadapan-

Nya, sebab Allah yang akan memberi pemahaman dan pencerahan kepada

dirinya. Rumi berkata: “Aku terbang menuju-Mu tanpa sayap sama sekali.

Setangkai jerami, itulah aku. Di dalam cahaya-Mu tenggelamlah aku.”

(Rumi, 2018: 118). Bagi Rumi, seorang murid yang sedang berjalan menuju

Allah, harus melepas sayapnya (egonya), sebab murid bagaikan setangkai

jerami. Apabila seorang murid telah meniadakan dirinya di hadapan Allah,

maka ia akan tenggelam di dalam cahaya-Nya (rahmat-Nya). Oleh karena

itu, pada dasarnya seorang murid ibarat gelas kosong, yang berharap

mendapatkan air kasih-Nya, jika gelas itu penuh maka ia mungkin tidak akan

lagi memperoleh kasih-Nya. Dengan meniadakan diri, seorang murid akan

mencapai kondisi fana’ hingga mencapai baqa’ dengan Allah. Allah swt

berfirman:

Artinya: “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,

melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar

ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar.” (Q.S. Al-Anfal: 17).

c. Fihi Ma Fihi

Kitab ini mengandung banyak hikayat, metafora, penafsiran al-

Qur‟an maupun uraian atas hadits Nabi. Berbeda dengan Matsnawi yang

cukup rumit untuk dipahami, Fihi Ma Fihi ditulis dengan bahasa yang lebih

ringan. Seakan-akan kitab ini sengaja ditulis oleh Rumi untuk kalangan

Page 109: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

97

umum dan para pemula di jalan sufi. Kitabini merupakan kumpulan

ceramah-ceramah Rumi atau percakapan kepada sahabatnya dan nasehat

untuk murid-muridnya, terkhusus tentang persoalan tasawuf. Kitab Fihi Ma

Fihi sangat indah makna-maknanya, jika ditelusuri segala rahasianya, maka

akan ditemukan mutiara-mutiara yang sangat berharga. Al-Allamah

Badiuzzaman mengungkapkan bahwa kata Fihi Ma Fihi diyakini diambil

dari syair Ibnu „Arabi.

Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab

Fihi Ma Fihi, sebagai berikut:

a. Sabar Menanggung Penderitaan Hidup

Rumi mengatakan bahwa rasa sakit mengantarkan Maryam kepada

pohon. Pohon yang kering itu seketika berbuah. Bagi Rumi, tubuh bagaikan

Maryam, setiap manusia memiliki Isa dalam dirinya. Jika timbul rasa sakit

dalam diri maka lahirlah Isa kita. Rumi berkata: “Ruh dalam penderitaan,

sementara tubuh dalam kemakmuran. Setan muntah-muntah karena

kenyang, sementara raja tidak memiliki bahkan sepotong roti.” (Rumi, 2016:

60). Seorang murid harus siap menanggung setiap cobaan dalam

perjalanannya mencari ilmu, sebab murid yang tidak memiliki cobaan, maka

ia tidak akan memperoleh suatu pelajaran atau hikmah. Sekiranya Maryam

tidak memperoleh penderitaan, ia tidak akan menuju pohon yang diberkahi

itu oleh Allah swt. Sabar berarti tabah menjalani penderitaan dan nestapa

ketika menghadapi berbagai kejadian yang sulit untuk dihadapi dan sulit

untuk dihindari (Fethullah Gulen, 2014: 189). Rumi berkata: “Hamba sejati

adalah yang memikul banyak musibah. Kayu yang bagus adalah yang

dibakar dengan baik” (Fethullah Gulen, 2014: 196). Oleh karena itu, seorang

murid di dalam perjalanannya tidak menemukan kesulitan, maka ia tidak

akan pernah berusaha untuk belajar bersabar, bersyukur, dan bertawakkal

Page 110: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

98

kepada Allah. Sebab, manusia yang tidak memiliki rasa sakit, maka tidak

akan muncul suatu gairah yang akan menuntun dirinya mendapatkan sesuatu

yang belum ia ketahui. Seorang murid akan memperoleh pencerahan ruhani,

apabila ia telah ditempa oleh beragam ujian dan penderitaan hidup seperti

yang terjadi pada Maryam. Allah swt berfirman:

Artinya: “Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya

(bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai,

betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak

diperhatikan dan dilupakan.” (Q.S. Maryam: 23).

b. Melihat Kekurangan Pada Diri Sendiri

Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Jika seorang

murid melihat kekurangan atau aib pada orang lain, hendaklah ia menyadari

bahwa ia juga memiliki aib dan cukuplah ia merahasiakannya. Tuntunlah

seekor gajah ke sumber air agar ia bisa minum, lalu gajah itu akan melihat

dirinya di dalam air, kemudian lari. Ia mengira bahwa ia melihat gajah lain,

tanpa menyadari bahwa ia lari dari dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki

sifat yang sombong, kikir, iri, dengki, ia merasa biasa saja. Namun, saat

melihat sifat-sifat itu pada orang lain, ia akan lari menjauhinya. Seorang guru

harus menyadarkan muridnya agar selalu melihat kekurangan-kekurangan

dirinya sendiri, bukan sibuk melihat kekurangan orang lain. Sebab, murid

akan dimintai pertanggungjawaban atas semua sifat-sifat baik dan buruknya

oleh Allah swt. Rumi menasihati: “Engkau lebih bernilai ketimbang dunia

dan akhirat. Apa yang dapat aku lakukan jika engkau tidak mengerti nilai

dirimu? Jangan jual dirimu dengan harga murah. Karena di mata Allah

Page 111: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

99

engkau sangat berharga.” (Rumi, 2016: 71). Setiap murid tidak boleh saling

mengisi rapor, sebab tugas gurulah yang memberi nilai. Oleh karena itu,

hendaklah murid sibuk dalam memperbaiki dirinya sendiri, hingga ia tidak

punya waktu untuk mencari-cari kekurangan murid lainnya, sebab murid

harus mengetahui nilai dirinya, bukan nilai orang lain dan janganlah ia

mencela dirinya sendiri karena merendahkan orang lain, sebab di mata Allah

setiap manusia sangat berharga, dan hendaklah seorang murid memohon

perlindungan kepada Allah. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan kamu sama sekali tidak dapat melepaskan diri (dari

azab Allah) baik di bumi maupun di langit, dan tidak ada pelindung dan

penolong bagimu selain Allah.” (Q.S. Al-Ankabut: 22). c. Mengikuti Pendapat Diri Sendiri

Rumi mengajarkan seseorang untuk tidak tenggelam pada taklid buta,

yaitu mengikuti sesuatu tanpa mengetahui ilmunya. Sebagaimana Rasulullah

bersabda; “Mintalah pendapat pada hati kalian, meski banyak orang yang

telah memberi pendapat kepada kalian.” Setiap murid memiliki kebenaran

yang ada di dalam dirinya sendiri, sehingga ia hanya mendiskusikan

pendapatnya kepada guru agar bisa mengikuti pendapat yang sesuai dengan

kebenaran yang ada di dalam dirinya itu. Sebab, setiap diri manusia ada

“dokter”nya yang bisa menyembuhkan segala penyakitnya. Namun, apabila

dokter itu lemah, maka ia membutuhkan dokter lain untuk menyembuhkan

dan menguatkan dirinya, yaitu para guru adalah dokter yang menawarkan

bantuan kepada seorang murid. Rumi berkata: “Ruh manusia mampu

menyingkap segala yang gaib, seperti air bening yang menampakkan segala

Page 112: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

100

sesuatu di dasarnya seperti batu, lumpur dan mencerminkan segala hal di

atasnya. Ini sesuatu yang alami. Tidak membutuhkan terapi atau

pengajaran. Namun, saat air itu tercampur debu atau warna-warna lain

maka sifat khas tersebut akan hilang dan terlupakan.” (Rumi, 2016: 112).

Bagi Rumi, manusia ialah makhluk yang agung juga sebagai alam al-shagi>r

(alam mikrokosmos), yang di dalam dirinya telah tertulis segala sesuatu.

Namun, karena terhijab oleh debu, maka cahaya tersebut tidak dapat

terpancar dengan sempurna, sehingga tidak dapat membaca apa yang ada di

dalamnya. Hijab kegelapan bisa berupa kesombongan ilmu dan amal, tamak,

iri hati, merasa suci dan lain-lain. Oleh karena itu, tugas seorang guru ialah

membimbing murid untuk menjaga dan membersihkan jiwanya dari debu

dan noda yang akan menutupinya. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),

dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10).

d. Memuliakan Guru

Bagi Rumi, salah satu syarat bagi murid agar mudah memperoleh

ilmu pengetahuan ialah memuliakan dan menghormati gurunya. Sebab,

memuliakan guru ialah kunci keberhasilan seorang murid dalam

perjalanannya mencari ilmu dan hikmah. Seorang murid harus memposisikan

gurunya sebagai representasi dari ilmu itu sendiri. Dengan memuliakan guru

akan menjadi wasilah atau perantara bagi seorang murid dalam mengenal

Nabi dan Allah swt. Apabila seorang murid tidak memuliakan gurunya,

maka ia akan jauh dari keberhasilan dan keberkahan hidup. Rumi berkata:

“Ketika Bani Israil taat kepada Nabi Musa, dibukakan jalan-jalan untuk

mereka, bahkan lautan terbelah hingga mereka bisa melaluinya. Ketika

mereka mulai menentang, mereka jadi terlunta-lunta bertahun-tahun di

Page 113: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

101

tengah padang pasir.” (Rumi, 2016: 115). Ketika Bani Israil mulai

menentang Nabi Musa, mereka kehilangan berkah dan akhirnya mengalami

kesengsaraan hidup selama bertahun-tahun. Seorang murid bisa saja

mengalami hal seperti itu apabila ia tidak memuliakan gurunya. Sebab, kunci

kemudahan dalam memahami ilmu ialah dengan cara memuliakan guru.

Menurut KH. Hasyim Asy‟ari dalam karyanya berjudul Adab al-‘Alim wa

al-Muta’allim menyatakan bahwa sudah seharusnya seorang murid

memuliakan gurunya, karena setiap yang mengajari pengetahuan dan akhlak

wajib untuk dimuliakan, dan dari rasa memuliakan inilah, seorang akan

mendapatkan keberkahan ilmu (Hariyanto, 2018). Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),

melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka

bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui.” (Q.S. An-Nahl: 43).

e. Bersikap Tawadhu

Rumi mengajarkan seorang murid untuk selalu memelihara sifat

tawadhu. Seorang murid akan merasakan manisnya iman, apabila ia tawadhu

kepada siapa pun yang ia temui, tawadhu akan menjaga kondisi hati seorang

murid agar tidak merasa sombong dan tahu segala hal. Rumi berkata:

“Jadilah tanah supaya kau bisa menumbuhkan bunga-bunga beraneka

warna. Selama ini kau telah menjadi batu yang mematahkan hati. Sesekali,

cobalah untuk menjadi tanah!” (Rahman, 2012: 38). Seorang murid yang

ingin memperoleh ilmu pengetahuan harus menganggap dirinya tidak tahu

apa-apa dihadapan guru. Semakin banyak ilmu yang diperoleh, semakin

Page 114: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

102

murid tawadhu kepada siapa pun. Namun, jika semakin banyak ilmu yang

diperoleh, membuat dirinya sombong, maka ia akan terputus dari hakikat

ilmu tersebut. Rumi berkata: “Jika dahan sebuah pohon digelantungi banyak

buah maka buah-buahan itu akan membuatnya merendah, sementara dahan

yang tidak berbuah akan tetap tegak. Ketika buah pada dahan itu sangat

banyak, orang akan memasang tiang penopang di bawahnya agar tidak

roboh.” (Rumi, 2016: 208). Rasulullah saw adalah manusia yang sangat

rendah hati karena buah dunia dan buah akhirat berkumpul pada dirinya.

Sehingga tidaklah beliau berjumpa dengan orang lain, kecuali beliau

mengucapkan salam terlebih dahulu. Seorang murid harus mengikuti

Rasulullah dalam hubungan sosial, yaitu mengucapkan salam kepada siapa

pun. Seorang murid yang memiliki ilmu harus selalu merendahkan dirinya

kepada orang lain, semakin banyak buah yang ia peroleh, semakin rendahlah

dirinya. Sementara, murid yang tidak tawadhu ialah dia yang tidak memiliki

ilmu pengetahuan sama sekali dan ia akan berjalan dengan kepala tegak

(bangga diri). Bagi Rumi, murid yang telah mampu memelihara sikap

tawadhu, akan dihormati dan dimuliakan oleh orang lain, sebagaimana

ucapan Rumi, “Ketika buah pada dahan itu sangat banyak, orang akan

memasang tiang penopang di bawahnya agar tidak roboh”. Seorang murid

akan mendapatkan perlakuan, pertolongan dan perlindungan khusus, dan

dijaga oleh orang karena sifat tawadhu, hal demikian merupakan karunia

yang Allah anugerahkan kepada murid melalui perantara hamba-Nya. Allah

swt berfirman:

Page 115: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

103

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia

(karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh,

Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

(Q.S. Luqman: 18).

f. Bermunajat kepada Allah

Rumi mengatakan bahwa: “Allah akan mendatangkan pertolongan

jika kita bersungguh-sungguh memohon dan bermunajat kepada-Nya.”

(Tarhan, 2016: 152). Rumi mengingatkan murid untuk selalu terhubung

kepada Allah, agar hati merasakan kedekatan dan keintiman. Berdoa kepada

Allah bukan semata-mata untuk mengharap pengabulan, melainkan hanya

untuk menjalin komunikasi secara terus-menerus, adapun pengabulan hanya

sebagai buah dari keintiman dengan-Nya. Bermunajat kepada Allah bukan

karena mengharap sesuatu, namun sebagai tanda kelemahan dan

ketidakberdayaan di hadapan-Nya. Rumi berkata: “Kadang kenikmatan batin

lenyap jika tidak merintih, tergantung keadaan. Jika tidak begitu, tentu Al-

Haqq tidak akan berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah orang yang

banyak merintih (berdoa) dan penyantun. (QS. Al-Taubah: 114).” (Rumi,

2016: 293). Bagi Rumi, seorang murid harus banyak merintih sebab Allah

sangat menyukai suara rintihan hamba-Nya. seorang murid perlu menjaga

koneksi dengan Allah swt, sebab kenikmatan batin bisa saja akan lenyap jika

ia terputus dari mengingat-Nya. Oleh karena itu, berdoa akan mendatangkan

kenikmatan batin, sebagaimana Nabi Ibrahim yang selalu merintih kepada

Tuhan-Nya. Ketika seorang murid menyakini Allah maha pemberi, maka

seharusnya ia meminta hanya kepada-Nya, dan apabila seorang murid

mengalami kesulitan dalam memahami suatu ilmu, hendaklah meminta

kepada Allah yang mengetahui segala sesuatu agar diberikan pemahaman

yang mendalam. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Page 116: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

104

Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman; “Berdoalah kepada-Ku, niscaya

akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong

tidak mau menyembah-Ku akan masuk ke neraka jahannam dalam keadaan

hina dina.” (Q.S. Ghafir: 60).

g. Berbuat Kebaikan kepada Sesama

Rumi mengingatkan bahwa ketika seorang manusia membicarakan

kebaikan manusia lain, pada hakikatnya kebaikan itu akan kembali kepada

dirinya sendiri. Seorang murid yang berbuat kebaikan kepada orang lain

ibarat seorang yang berkebun dan menanam bunga di sekitar rumahnya, ia

akan menikmati keharuman dan keindahannya setiap kali ia mendatangi

kebunnya. Sebaliknya, ia yang berbuat jahat seperti seseorang yang

mengembara siang dan malam di gurun pasir penuh ular. Rumi berkata:

“Setiap orang yang menyebut kami dengan kata-kata yang baik, alam pun

akan menyebutnya dengan kata-kata yang baik pula.” (Rumi, 2016: 371).

Bagi Rumi, membenci orang lain hakikatnya ialah membenci diri sendiri,

sebab segala yang dilakukan oleh manusia hakikatnya akan kembali kepada

dirinya sendiri. Ketika seorang murid melakukan kebaikan untuk orang lain,

ia akan menjadi temannya, dan kapan pun ia berpikir tentang dirinya, ia akan

melihatnya sebagai seorang teman dan pikiran seorang teman akan

memberikan kedamaian bagaikan bunga di taman. Sebaliknya, ketika ia

berbuat keburukan kepada orang lain, maka ia akan berteman dengan

keburukan dan setiap ia melihatnya, tidak akan mendatangkan kedamaian di

dalam hati. Di jalan cinta, murid yang terbaik ialah yang bermanfaat bagi

murid lainnya, sebagaimana Rumi mengatakan: “Manusia terbaik adalah

Page 117: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

105

mereka yang membantu orang lain. Saat Anda menjadi hamba sejati

pelayanan, Cahaya membelai Anda, dan Anda pun memancar! Anda

menjadi lampu ilahi. Anda tidak khawatir apakah Anda berada di posisi

tinggi atau rendah.” (Rahman, 2012: 213). Seorang murid harus selalu

menolong dan melayani orang lain, hingga ia menjadi lampu Ilahi. Allah swt

berfirman:

Artinya: “Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya)

untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya)

menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak

menzalimi hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fushilat: 46).

d. Diwan-i Syams Tabrizi

Menurut William C. Chittick, Diwan Syams Tabrizi ialah pantulan

dari kilauan cahaya kehidupan spiritual Rumi. Setiap puisinya merupakan

gambaran simbolis kondisi sufistik yang dialami dalam mencapai jalan

menuju Tuhan (Kusuma Jaya, 2016). Diwan adalah istilah untuk menyebut

buku yang berisi kumpulan puisi. Oleh karena itu, Diwan Syams Tabriz

berarti kumpulan puisi Syams Tabriz atau nyanyian cinta Rumi terhadap

Syams. Rumi menisbatkan judul kitabnya dengan nama gurunya, tidak lain

karena rasa hormat dan cintanya kepada Syams at-Tabriz yang telah

membuka mata batinnya. Dengan Diwan-nya itu, Rumi menunjukkan jalan

“Cinta Ilahi” sebagai jalan alternatif yang lebih ramah terhadap kehidupan

dunia namun tidak melupakan kehidupan akhirat. Kitab ini terdiri dari

36.000 bait puisi, namun Badiuzzaman Farauzanfar, seorang ulama Persia

yang fokus pada kajian tentang Rumi, menyebut jumlah bait Diwan Syams

Tabriz mencapai 42.000 bait (Djamaluddin, 2015: 73). Sosok Syams-lah

yang memberikan pengaruh yang kuat terhadap perubahan Rumi sehingga ia

Page 118: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

106

dikenal sebagai penyair sufi terbesar sepanjang sejarah sufisme. Syams

Tabriz membimbing Rumi dan mengajarkannya ilmu hakikat sehingga

mengubah kehidupannya. Hubungan Syams dan Rumi menggambarkan

keterikatan antara guru dan murid dalam perjalanan mencari Allah. Coleman

Barks dalam bukunya berjudul The Books of Love: Poems of Ecstacy and

Longing, mengatakan bahwa hubungan antara Rumi dan Syams tidak dapat

dipastikan siapakah yang murid dan siapakah yang guru. Mereka tampaknya

sering bertukar posisi sebagai guru dan murid (Subhan, 2018: 1). Pengaruh

Syams at-Tabriz begitu besar terhadap Rumi, dialah yang menyebabkan

Rumi berubah dari seorang ahli hukum yang tenang menjadi seorang

pencinta yang mabuk. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada yang

mengatakan bahwa tanpa kehadiran Syams, Rumi tidak akan pernah dikenal

(Chittick, 2003: 4).

Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab

Diwan-i Syams Tabrizi, sebagai berikut:

a. Taklid kepada guru

Rumi menasihati murid untuk menenggelamkan dirinya di hadapan

seorang guru, hanya dengan cara itu murid akan memperoleh hikmah. Sebab,

tidak ada hikmah tanpa pengabdian yang tulus. Rumi berkata: “Tutuplah

mulutmu seperti seorang penyelam di kedalaman samudra, hanya di bawah

airlah seekor ikan tetap bebas merdeka.” (Rumi, 2018: 23). Bagi Rumi,

murid ibarat seorang penyelam dan guru ibarat samudra, seorang murid

harus menutup mulutnya (egonya) di hadapan guru, sebab dengan cara

seperti ini murid akan memperoleh hikmah. Dalam tradisi sufisme, guru

dianggap sebagai manifestasi Ilahi yang akan membimbing seorang murid

agar dapat sampai kepada-Nya. Tanpa seorang pembimbing, murid akan

kesulitan atau bahkan tersesat dari jalan. Apabila seorang murid tidak

Page 119: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

107

menemukan guru yang dapat membimbingnya, maka ia harus kembali pada

hatinya sendiri, sebab hati adalah pembimbing yang juga sangat dibutuhkan

dalam menempuh perjalanan ruhani. Oleh karena itu, seorang murid yang

merelakan egonya di hadapan seorang guru akan menemukan dirinya yang

baru, sebab ruhnya telah terbang dalam cinta dan pengabdian tanpa batas.

Bagi Rumi, guru adalah pembawa kesembuhan dan kesenangan dari rasa

sakit yang dipikul murid, dan akan merasa aman dan nyaman jika

menenggelamkan dirinya dalam cinta kepada guru. Robert Frager

mengatakan bahwa guru merupakan matahari dan para murid adalah planet.

Guru juga merupakan sebuah cermin atau pemancar yang senantiasa

memancarkan cahaya dan rahmat yang pada hakikatnya bersumber dari

Allah (Frager, 2002). Rumi berkata: “Kau adalah rajaku, kau adalah

rembulanku juga. Kau adalah perhiasan dan sumber yang memberiku

sayap.” (Rumi, 2018: 102). Rumi menjadikan dirinya sebagai budak dan

Syams sebagai rajanya (guru), yang dia anggap dapat membawanya menuju

singgasana Allah. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),

melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka

bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui.” (Q.S. An-Nahl: 43).

b. Zuhud dari Dunia

Dalam sufisme, zuhud ialah menarik diri dari kenikmatan duniawi

yang melalaikan, seorang murid harus meninggalkan segala pesona dunia

yang membuatnya lupa kepada Allah swt, seperti makan, pakaian, dan harta

Page 120: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

108

yang berlebihan. Rumi mengingatkan: “Tinggalkan semua rembulan di

belakang sana, keluarkan gula dari dalam pikiranmu. Segera pada-Nya dan

yang lain kau akan temukan. Dia membuat jenis butir yang lain.” (Rumi,

2018: 34). Bagi Rumi, Allah telah menyediakan kenikmatan yang lain bagi

hamba-Nya yang segera menuju kepada-Nya. Oleh karena itu, seorang murid

yang meninggalkan pesona dunia (rembulan) dan tidak memikirkan segala

kenikmatan dunia (mengeluarkan gula dari dalam pikirannya), akan

memperoleh jenis kenikmatan lain yang telah Allah siapkan untuknya, yaitu

kenikmatan ruhani (batin) dan penyaksian (melihat Allah) di akhirat kelak.

Seorang murid sejati tidak menghabiskan waktunya dalam panjang angan

dan tidak ambisius dalam mengejar harta, perhiasan, dan kedudukan

duniawi, sebagaimana Rumi berpesan; “Orang-orang yang membisiki ambisi

kepadamu bagaikan suara serigala yang sedang menggigit mangsanya.”

(Tarhan, 2016: 110). Seorang guru, harus selalu membimbing murid untuk

tidak terpesona dengan keindahan semu, dan segera kembali kepada

keindahan sejati, yaitu Allah. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Katakanlah; Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan

akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala

turut berperang), dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.” (Q.S. An-Nisa:

77).

c. Berguru Kepada Guru Yang Lembut

Dalam perjalanan ruhani, seorang murid hendaknya mencari guru

yang memiliki hati yang lembut yang terpancar dari wajahnya. Sebab, buah

akan menjadi rusak apabila disimpan pada suhu yang panas. Rumi berkata:

“Jika yang kau cari adalah rumah jiwa, lihatlah pada cermin wajah yang

Page 121: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

109

lembut.” (Rumi, 2018: 43). Dengan demikian, tidak ada yang bisa diperoleh

dari seorang guru yang kasar dalam ucapan dan keras dalam tindakan. Sebab

bagi Rumi, seorang murid yang mencari rumah jiwa, harus melalui guru

yang menampilkan kelembutan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, janganlah

seorang murid mempercayai seorang guru yang berganti dari cinta jadi benci,

dari lembut jadi kasar, dari kedamaian jadi permusuhan. Sebab, jalan menuju

Sang Kekasih tidak ditempuh dengan cara kekerasan, permusuhan, dan

kekasaran, melainkan ditempuh dengan kelembutan, perdamaian, dan cinta.

Allah swt berfirman:

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku

lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras dan berhati

kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu

maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan

bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila

engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.

Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal.” (Q.S. Ali Imran: 159).

d. Menenggelamkan Diri Pada Aspek Ruhani

Dalam dunia sufisme, pengetahuan intuitif (dzauq) lebih

mendapatkan porsi ketimbang pengetahuan yang diperoleh melalui nalar.

Akal memang sangatlah terbatas, sedang ruh tidaklah terbatas, ia mampu

menembus alam realitas fisik dan mencapai alam metafisik. Bagi Rumi,

Page 122: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

110

seorang murid harus selalu berupaya mendayagunakan kemampuan

intuisinya yang lebih menekankan pada aspek batin (esoterisme). Rumi

berkata: “Tutuplah mata yang kritis, mohonlah pada penglihatan ruhani.

Dari dirimu sendiri pergilah cepat, Sang Kekasih akan muncul dekat.”

(Rumi, 2018: 104). Dengan pendekatan rasional (eksoterik), tentu akan sulit

bagi seorang murid untuk memperoleh pencerahan ruhani, kecuali dengan

melatih diri dalam pendekatan rasa (esoterik). Sebab, akal sangatlah terbatas

dan sesuatu yang terbatas tidak akan mampu mencapai Dzat Yang Maha Tak

Terbatas, oleh karena itu dengan penglihatan ruhani-lah seorang murid bisa

menempuh jalan spiritual ini dan mampu merasakan kehadiran-Nya dalam

kondisi apapun. Seorang gurulah yang akan membimbing murid untuk

membuka penglihatan ruhaninya, dengan riyadhah, mujahadah, dan ibadah

secara disiplin. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka

Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu

pada hari ini sangat tajam.” (Q.S. Qaf: 22).

e. Membersihkan Hati

Rumi mengingatkan murid agar senantiasa membersihkan hatinya

dari segala kotoran dan penyakit hati, yang menghambat dirinya dalam

menempuh perjalanan spiritual. Hati ibarat air di permukaan sungai, jika air

itu jernih, maka ia dapat memantulkan segala hal yang ada di dalamnya.

Sebaliknya, jika air itu keruh, maka segala yang ada di dalamnya akan sulit

terlihat. Rumi berkata: “Kau tidak akan melihat rembulan atau langit pada

air yang keruh. Mentari dan rembulan bersembunyi ketika udara menjadi

gelap.” (Rumi, 2018: 128). Bagi Rumi, seorang murid yang hatinya terdapat

debu dan kotoran tidak akan bisa memantulkan keindahan Allah, terlebih

Page 123: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

111

ketika hatinya telah gelap, maka sedikitpun tidak akan mampu memancarkan

cahaya-Nya. Akibatnya, dia tidak akan mampu membedakan antara

kebenaran dan kebatilan. Dengan demikian, seorang murid harus

memperoleh bimbingan dari guru untuk membersihkan hatinya dari segala

penyakit hati seperti; iri hati, sombong, cinta dunia, riya, rakus, kufur

nikmat, tidak sabar, dan lain-lain. Seorang murid dapat mengobati penyakit

hati dengan cara taubat, memperbanyak zikir, memohon ampun, berdoa, dan

berpuasa. Dalam sufisme, dikenal istilah takhalli> sebelum memasuki tahalli>

dan tajalli>, yaitu upaya untuk membersihkan dan mengosongkan diri dari

sifa-sifat tercela baik secara lahir maupun batin untuk memperoleh

pencerahan spiritual dari-Nya. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai

orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah: 222).

f. Menjaga Silaturahim Kepada Sesama

Dalam ajaran Islam, tentu menjaga silaturahim akan memanjangkan

umur dan memudahkan rezeki seseorang. Bagi Rumi, seorang murid

memerlukan pergaulan, selama pergaulan itu bermanfaat bagi nasib

spiritualnya. Seorang murid seharusnya tidak membuang-buang waktunya

dalam bergaul, jika di dalamnya tidak ada pembicaraan tentang ilmu dan

Allah swt., sebab itu termasuk kelalaian. Pergaulan yang baik hanya untuk

dakwah dan dalam rangka menyampaikan ilmu pengetahuan, nasihat cinta

dan perdamaian. Pada dasarnya, semua manusia bersaudara dan lahir dari

satu sumber, yaitu Allah. Namun, dalam perkembangannya sebagian menjadi

lalai, sewenang-wenang, keras, sombong, saling bermusuhan, saling bertikai

dan lain-lain sehingga melupakan kesejatian dirinya yaitu, menyebar rahmat

Page 124: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

112

kepada sesama. Rumi berkata: “Jika gambar-gambar itu tahu mereka semua

lahir dari Pena yang sama, tentu mereka akan bergaul baik satu sama

lainnya.” (Rumi, 2018: 159). Rumi mengingatkan manusia untuk berlaku

baik satu sama lain, sebab mereka berasal dari sumber yang satu. Seorang

murid dengan murid lainnya tidak boleh saling bertikai, memfitnah, adu

domba, dan menebar kebencian hingga terjadi perang dan kerusakan yang

akan mencederai kemanusiaan, bangsa dan agama. Seorang guru harus

membuka pandangan murid tentang kesejatian dirinya, bahwa semua

manusia bersaudara dan saling tolong menolong dan bekerjasama dalam

kebaikan, tanpa melihat latar belakang suku, bangsa, ras dan agama demi

tercapainya kedamaian dan kerukunan antar sesama. Sebagaimana Allah swt

berfirman:

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan

kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang

paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Al-

Hujurat: 13).

g. Menjaga Zikir

Bagi sufi, tidak ada kesenangan yang melebihi kesenangan dalam

mengingat Allah swt. Seorang murid yang hatinya sibuk dengan pesona

dunia, akan lalai dari kenikmatan dalam mengingat Allah. Sebaliknya, murid

yang tenggelam dalam kenikmatan mengingat Allah, hatinya tidak akan

terpaut oleh kenikmatan duniawi. Rumi berkata: “Laba-laba yang sibuk

Page 125: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

113

menganyam jaringnya, tak akan memiliki kesenangan apapun selain

kesenangan menganyam jaring laba-labanya.” (Rumi, 2018: 272). Rumi

memberikan perumpamaan dengan seekor laba-laba yang sibuk menganyam

jaringnya hingga ia tidak memiliki kesenangan apapun selain menganyam

jaringnya tersebut. Seorang murid yang hatinya sibuk mengingat Allah, akan

menemukan suatu kondisi di mana ia tidak akan memikirkan hal yang lain

kecuali Allah semata. Dalam dunia sufisme, seseorang yang menyibukkan

dirinya pada satu hal, maka ia akan memasuki kondisi ekstase, yaitu

kemabukan spiritual karena tenggelam dalam pesona Allah dan secara

otomatis akan melupakan sesuatu yang lain (lawannya). Apabila seorang

murid tenggelam dalam mengingat Allah, maka ia akan lupa dengan selain-

Nya, sebaliknya jika ia tenggelam dengan cinta dunia, maka ia akan lalai dari

mengingat-Nya. Oleh karena itu, seorang guru harus membimbing murid

untuk selalu menjaga kondisi hatinya agar tidak lalai dalam mengingat Allah.

Sebab, siapa saja yang hati dan pikirannya dipenuhi oleh Allah, maka ia akan

senantiasa merasa dalam pengawasan Allah dan akan dijauhkan dari

perbuatan-perbuatan yang tercela. Sebagaimana Allah swt berfirman:

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka

menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan

mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra‟d: 28).

4. Kontribusi Jalaluddin Rumi dalam Pendidikan Agama Islam

Jalaluddin Rumi ialah seorang sufi sekaligus penyair besar yang

membaktikan hidupnya untuk mencari kebenaran sejati dan menuangkan

pikiran-pikirannya melalui syair-syair mistis. Di setiap karyanya, Rumi

menyebarkan gagasan, dan renungannya dalam bentuk untaian sajak yang

indah, menggunakan metafora, sastra, kisah-kisah, dan perumpamaan

Page 126: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

114

(tamsil). Diakui atau tidak, karya-karya Rumi adalah kontribusi besar bagi

dunia sastra, budaya, dan pendidikan khususnya pada dunia Islam. Melalui

karyanya, Rumi mengajak seorang murid bahwa untuk mencapai Allah tidak

semata-mata dengan kerja fisik, melainkan diraih melalui kerja batin, yaitu

cinta kasih. Dalam berbagai kesempatan, Rumi pun mengingatkan bahwa

Tuhan merupakan satu-satunya tujuan dan tidak ada yang menyamai-Nya.

Will Johnson dalam pengantar buku The Rubais of Rumi: Insane With

Love, mengatakan bahwa mengapa Rumi tetap populer karena ia

mengungkapkan kebenaran paling kuat dan rumit dalam bahasa yang paling

indah dan sederhana. Kebenaran ini dianggap sebagai obat untuk hati dan

jiwa. Rumi menunjukkan jalan kepada manusia agar dapat sembuh dari

kekecewaan, dan kegelisahan serta mengajak manusia untuk kembali kepada

diri mereka sendiri (Abdul Kholiq, 2016). Lantas apa kontribusi dan

relevansi karya-karya Rumi bagi dunia modern, khususnya bagi umat Islam

yang ada di Indonesia? Abdul Hadi W.M dalam artikelnya berjudul “Pesan

Profetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rumi” mengemukakan jawaban

dari apa yang ia kutip dalam sajak Muhammad Iqbal “Kepada Matahari

Yang Menerangi Dunia”, di mana Iqbal menyebut Rumi sebagai Rausan

Damir, yaitu orang yang memiliki rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa

kemanusiaan yang tersembunyi, dan dari Rumi manusia dapat memetik

pelajaran tentang bagaimana membenahi jiwa yang sedang hancur (Hadi,

W.M, 2013).

Bagi dunia modern, tampaknya nasihat-nasihat spiritual Maulana

Rumi untuk kembali ke jalan cinta menjadi sebuah kebutuhan yang

mendesak, khususnya di dalam dunia pendidikan Islam kita di Indonesia.

Rumi telah berjuang untuk menyebarkan keindahan dan kebijaksanaan

selama hidupnya di dalam karya-karyanya. Tujuan utama Rumi ialah

Page 127: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

115

memanusiakan manusia agar mencapai kesejatian diri yang akan

mengantarkannya mencapai cinta Ilahi. Para sufi menjalani kehidupan

dengan penuh gairah demi penyaksian keagungan Allah yang selalu

menggetarkan jiwanya, mereka menanggung derita untuk menjemput

kebahagiaan sejati hingga ditelan oleh cinta Ilahi. Bagi Andrew Harvey,

“Tradisi sufi tidak hanya menawarkan kesaksian dahsyat tentang ekstase dan

gairah jalan cinta, tapi juga memadukan esktase dan gairah dengan tuntutan

hidup sehari-hari. Peleburan kemabukan dan ketenangan, ialah jenis makrifat

tertinggi dan paling hebat dengan pemahaman tentang bagaimana

memadukan keseharian dengan Kebenaran Ilahiah. Itulah yang membuat

sufisme menjadi salah satu tradisi mistik yang paling dicari di dunia, tradisi

yang menawarkan segalanya bagi para pencari dari bermacam-macam

kalangan, khususnya di zaman modern.” (Harvey, 2018).

Jalaluddin Rumi menegaskan bahwa cintalah yang mengubah

segalanya, yang mengubah air yang kotor menjadi air yang jernih, yang

mengubah orang yang berwatak keras menjadi lembut, mengubah orang

yang lemah tidak berdaya menjadi kuat dan bersemangat. Energi cinta

sedemikian dahsyat dalam mengubah dan memengaruhi kehidupan manusia.

Rumi mengajak manusia untuk lebih menggunakan rasa dalam

menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab bagi Rumi, cinta

ialah pintu masuk untuk memahami eksistensi Tuhan, yang berimplikasi

dengan kebaikan moral manusia. Oleh karena itu, dengan konsep cinta Rumi,

seseorang bisa menyadari hakikat sejati dari Islam itu sendiri, yaitu

ketundukan mutlak dan kedamaian dalam cinta kepada sesama manusia,

alam semesta, binatang, tumbuhan dan kepada Tuhan. Sebagaimana

Annemarie Schimmel mengungkapkan bahwa seluruh karya Rumi lebih

banyak menjelaskan soal cinta, sebab cinta digunakan oleh Rumi sebagai

Page 128: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

116

dasar utama untuk melukiskan misteri-misteri Ilahi (Muhibbuddin, 2018:

220). Bagi Rumi, siapa pun yang telah memasuki jalan cinta dan tenggelam

dalam kemabukan cinta, maka ia akan menjadi manusia sempurna atau insan

kamil di mata Allah swt.

Jalaluddin Rumi berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan

asal-usul kewujudan dirinya, manusia mesti menggunakan jalan cinta, bukan

hanya dengan jalan pengetahuan (Zaairul Haq, 2011: 48). Sebab, cinta

menurut pandangan Rumi merupakan cahaya kehidupan dan nilai

kemanusiaan. Cinta itu kekal dan hanya harus dipersembahkan kepada Yang

Maha Kekal, dan tidak layak diberikan kepada sesuatu yang fana>‟ atau

binasa. Disinilah Rumi menekankan pentingnya seorang murid bergerak ke

ranah batin, bukan bergerak di ranah fisik semata, sebab kebenaran yang

sejati tidak didasarkan pada logika. Seorang murid tetap tidak boleh

mengabaikan tugasnya dalam bekerja dan mencari penghidupan, namun

hatinya tetap bergantung pada Allah. Seorang guru sangatlah penting dalam

membimbing murid untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sebab

kehadiran manusia spiritual dapat menciptakan perubahan pada diri murid,

walaupun pada awalnya seorang guru membimbing murid, dan setelah

memungkinkan bagi murid untuk berjalan sendiri, guru melepaskan agar ia

mampu memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja

dirinya (Shah, 2000: 129).

Dalam dunia pendidikan Islam, Rumi hendak membawa seorang

salik (murid) ke dalam suatu kesadaran ruhani atau pemahaman tentang

dimensi batiniah yang ada di luar realitas fisik, dengan memberikan konsep

jalan cinta atau determinisme cinta (kemutlakan cinta). Rumi mengajarkan

bahwa setiap murid sebenarnya tidak mengetahui apa sebenarnya yang

mereka inginkan, mereka hanya menduga bahwa semua yang ia inginkan

Page 129: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

117

dianggap sebagai kebutuhan mereka (Shah, 2000: 131). Oleh karena itu,

pendidikan dan guru sangatlah dibutuhkan untuk membantu setiap murid

dalam menemukan kesejatian dirinya, dan pendekatan konsep mahabbah

sebagai alternatif bagi Rumi dapat diterapkan dalam proses pembelajaran.

Oleh karena itu, disinilah letak ruh pendidikan agar mampu berjalan sesuai

visi dan misi agama Islam. Rumi memandang bahwa segala sesuatu perlu

dilihat dari aspek batiniahnya, sebab aspek batinlah sebagai penggerak utama

untuk menumbuhkan kebaikan moral pada aspek lahiriah.

Jalaluddin Rumi memproyeksikan ajaran-ajaran mistiknya melalui

seni, seperti musik, tarian, dan puisi yang digunakan dalam berbagai

pertemuan dalam tarekatnya. Pengubahan melalui berbagai latihan mental

dan fisik dirancang untuk membuka pikiran murid agar dapat membuka

potensinya yang lebih besar (Shah, 2000: 140). Dengan pendekatan seni,

seorang murid akan memasuki realitas batin yang lebih dalam, sebab dalam

seni ada musik dan bunyi yang dapat mengantarkan seseorang pada

ketenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana Hazrat Inayat Khan mengatakan

bahwa, “Semakin kita menembus misteri bunyi, semakin kita mampu melacak

kaitan yang menghubungkan segala bunyi. Hubungan inilah yang disebut

oleh pemusik sebagai harmoni, dan dalam harmoni ini tersembunyi rahasia

ketenangan dan kebahagiaan” (Inayat Khan, 2002: 32). Pemanfaatan musik

bagi Rumi sangatlah berpengaruh bagi nasib spiritual seorang murid. Sebab,

di antara banyak jalan dalam pengembangan kecerdasan otak dan batin, para

sufi menggunakan metode ini, yang bagi Rumi disebut sebagai sama’ atau

tari sufi (whirling dervish). Dengan pendekatan sama‟, seorang murid akan

memasuki keadaan mistikal yang akan membuka jiwa dan ruhnya pada

kelembutan dan ketenangan, karena musik menyentuh mereka dengan cara

yang berbeda yaitu menyentuh kedalaman diri mereka (Inayat Khan, 2002:

Page 130: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

118

73-74). Oleh karena itu, bagi Rumi, pada hakikatnya seluruh kehidupan

dalam segala aspeknya ialah sebuah musik dan murid yang mampu

menyelaraskan dirinya dengan harmoni musik secara sempurna adalah

sebuah pencapaian spiritual yang sejati.

Menurut Hartoyo Andangjaya, bahwa latar belakang keulamaan

Rumi yang kuat membukakan baginya kepustakaan yang luas di luar sastra

dan puisi. Ia pun sangat akrab dengan al-Qur‟an dan tafsirnya, hadits nabi,

hukum agama dan pengurai-pengurainya yang piawai, belum disebut pula

ilmu-ilmu asing, termasuk filsafat dan riwayat hidup serta ajaran para wali

dan para sufi, semua itu terbias dalam puisi Rumi (Andangjaya, 2017).

Pesan-pesan Rumi membawa kedamaian bagi pembacanya baik di bagian

Timur maupun Barat, hingga badan PBB untuk pendidikan, kebudayaan, dan

ilmu pengetahuan (UNESCO) menetapkan 2007 sebagai tahun Rumi, yang

bertepatan dengan peringatan 800 tahun kelahirannya (Okuyucu, 2018: 4).

Dalam khazanah kesusastraan Islam, nama Rumi dianggap sebagai salah satu

penyair atau mistikus Islam terbesar, bahkan dunia Barat pun terpesona pada

syair-syairnya. Karya-karya Rumi telah diterjemahkan dan dibaca oleh

banyak orang diberbagai negara. Rumi berhasil menembus batas-batas genre,

dan visinya tentang cinta ilahi atau cinta universal berhasil membawa angin

segar bagi dunia modern saat ini. Bahkan seorang orientalis memuji karya

Rumi, Irene Melikoff dengan berkata: “Jika bangsa-bangsa di dunia

menerjemahkan karya-karya Rumi ke dalam bahasa mereka sendiri dan

membacanya, tidak akan ada perang, dendam, atau pun kebencian di dunia

ini.” (Okuyucu, 2018: 122).

Salah satu kontribusi berharga Rumi bagi dunia Islam ialah Rumi

berhasil menyegarkan kembali keindahan Islam pada dunia, khususnya di

Barat yang terkena virus Islamphobia. Dengan Perayaan Shab-i Arus (tahun

Page 131: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

119

wafatnya Rumi), Rumi mampu menyatukan orang-orang dari berbagai latar

belakang agama, suku, budaya, dan bangsa dalam sebuah keindahan,

keragaman, dan toleransi. Hal inilah sesungguhnya yang hendak ingin

disampaikan oleh ajaran agama Islam kepada masyarakat dunia, bahwa

kerukunan, toleransi, keragaman sebagai ruh dari ajaran Islam dan misi

diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai rahmat untuk seluruh alam.

Sedangkan kepada murid, Rumi tampaknya berpesan agar fokus spiritual

kepada Allah akan memperkuat hubungan antar sesama manusia. Dalam

berbagai karya Rumi, seorang murid diajak untuk melihat dan menghargai

keindahan dan keagungan ciptaan Allah swt. Sebab bagi Rumi, seorang

murid yang ingin menikmati keindahan ciptaan Allah harus memiliki cinta

yang terpancar dari dalam hati, dan murid yang bisa merasakan kedamaian

tersebut akan mampu melihat keindahan di seluruh sudut bumi mana pun.

Sebaliknya, jika seorang murid menumbuhkan dendam dan benci dalam

dirinya, maka sejauh ia memandang hanya akan melihat keburukan semata.

Oleh karena itu, dengan pendekatan mahabbah, Rumi telah berhasil

memberikan suatu konsep dalam beragama, yaitu dengan cinta Ilahi sebagai

nilai dasar pergerakan dalam menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil,

toleran, moderat, damai, dan terbuka.

Dalam dunia pendidikan Islam, yang menjadi tujuan utama dan

ukuran keberhasilan sebuah universitas, lembaga atau sekolah ialah

melahirkan peserta didik atau murid yang mampu menerapkan nilai-nilai

cinta kasih, seperti saling menghormati, terbuka, memberi rasa aman, adil,

toleran dan moderat kepada alam semesta dan sesama manusia yang

berlandaskan cinta kepada Allah swt. Bagi Rumi, seorang murid tidak dapat

didorong menjadi aktif tanpa ada yang disebut sebagai sukr atau junon, yaitu

keadaan jiwa dan pikiran yang diliputi rasa mabuk kepayang atau

Page 132: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

120

anthusiasme ketuhanan (gottesfulle), sebagai keadaan jiwa dan pikiran yang

menguasai diri seorang murid yang keduanya timbul akibat dorongan cinta

yang kuat, sehingga ia menjadi berani menggapai cita-citanya walaupun

harus menempuh berbagai kesulitan serta menuntut pengurbanan diri (Hadi,

W.M, 2013). Sebab, cinta ialah keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu,

yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (berjumpa dengan

Allah swt). Oleh karena itu, Rumi mengajarkan bahwa pikiran yang tidak

bermanfaat ialah apabila tidak didasari oleh spiritualitas. Seorang murid yang

tidak memperoleh ketenteraman spiritual, tidak akan disebut berhasil

meskipun ia mencapai kesuksesan di dunia.

Rumi mengingatkan bahwa masyarakat yang sedang mengalami

krisis multi-dimensi perlu mempelajari kembali nilai-nilai keruhanian dari

agama, bukan hanya bentuk formal dan ritual doa, yaitu dengan pendekatan

cinta kasih sebagai ruh agama-agama dunia. Sebagaimana Happold (1960)

memasukkan Rumi sebagai tokoh terkemuka mistisisme cinta dan persatuan

mistis (unio mystical). Konsep mistisisme Rumi ialah berusaha

membebaskan manusia dari rasa terpisah dengan menyatukan diri dengan

alam dan Tuhan, yang akan membawa rasa damai dan kepuasan pada jiwa

(Hadi W.M, 2013). Bagi Rumi, seorang mistikus cinta berusaha

meninggalkan „diri fisik‟ yang rendah dan pergi menuju „diri batin‟ yang

tinggi. Sebab, tujuan mistikus cinta ialah melakukan perjalanan ruhani

menuju hakikat dirinya, di mana Tuhan bersemayam. Rumi sebagaimana

berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan asal-usul ketuhanan,

seorang murid dapat melakukannya dengan jalan cinta, tidak semata-mata

dengan jalan pengetahuan. Sebab, Rumi menyamakan cinta dengan

pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan, yang

pada puncaknya ialah haqq al-yaqi>n atau keyakinan yang penuh kepada

Page 133: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

121

Allah. Cinta yang sejati dapat membawa seorang murid mengenal hakikat

sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik

bentuk-bentuk formal kehidupan (Hadi, W.M, 2013). Bagi Rumi, apabila

seseorang telah terjebak pada bentuk-bentuk formal kehidupan dan berhenti

menjadi makhluk ruhani, maka ia akan mudah dilanda nihilisme dan

keputusasaan apabila krisis datang, sebab ia telah kehilangan kesejatian

dirinya.

Rumi berprinsip bahwa kata-kata yang benar dan kuat bagaikan

pohon yang akarnya tertanam di bumi, dan daun-daunnya melambai indah di

angkasa. Kata-kata yang benar adalah yang menunjuk sumbu kehidupan,

sumbu penciptaan, yaitu Allah swt (Hadi W.M, 2016: 18-19). Melalui puisi-

puisinya, Rumi mengatakan bahwa pemahaman terhadap dunia hanya bisa

dipahami melalui jalan cinta, bukan semata-semata dengan kerja rasional.

Rumi juga menyatakan bahwa Tuhan sebagai satu-satunya tujuan, hanya bisa

dialami melalui sentuhan spiritual. Menurut Rumi, manusia senantiasa dalam

keadaan tidak puas, nafsu selalu mengajak untuk memenuhi segala macam

kenikmatan duniawi. Karena itu, hanya dengan cinta Ilahi, seorang manusia

baru memperoleh kepuasan dan kebahagiaan sejati. Cinta Ilahi yang

dimaksud Rumi di sini ialah kesatuan sempurna dengan Sang Kekasih,

sehingga ia lenyap dari keinginan-keinginan semu dan beralih ke dalam

kebahagiaan yang abadi, yaitu bersama Allah swt.

Jalaluddin Rumi merupakan seorang tokoh yang mengajarkan

kebijaksanaan yang tidak diragukan keilmuan dan kealimannya. Pengaruh

positif bagi masyarakat dan budaya pada masa itu terus membekas sampai

sekarang, dan dampak positif itu sangat kuat sehingga membentuk pola pikir

dan kedalaman emosi (olah rasa) yang berpengaruh kepada masyarakat

(Tarhan, 2016: 20). Secara praksis, Rumi telah berhasil menjawab

Page 134: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

122

pertanyaan dan permasalahan yang muncul pada zamannya, juga

permasalahan-permasalahan pada zaman sekarang ini melalui puisi-puisinya.

oleh karena itu, karya-karya Rumi mempunyai hikmah dan manfaat yang

sangat besar bagi dunia Islam, khususnya pendidikan dan kebudayaan

sebagai pusat informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Barat dan

kebijaksanaan Timur. Rumi berhasil memberikan suatu sistem berpikir, yaitu

berpikir ke dalam diri, bagi orang-orang yang ingin berkembang secara

spiritual. Sebab, hanya dengan melakukan seperti itu manusia dapat

menyelam dan menemukan mutiara-mutiara kemanusiaan dan spiritualitas

yang selama ini terpendam. Dengan membaca secara utuh karya-karya Rumi,

seseorang akan menemukan bahwa pikiran-pikiran Rumi didasarkan pada

pengetahuan tentang pengenalan diri sendiri (Tarhan, 2016: 28).

Kontribusi Maulana Jalaluddin Rumi dalam dunia pendidikan Islam

terlihat jelas dalam karyanya yang berjudul Diwan Syams Tabriz, di mana

Rumi mengajak seorang murid untuk menempatkan guru di tempat yang

mulia, sebab guru ialah cermin untuk melihat keindahan Tuhan. Bagi Rumi,

hubungan murid dan guru juga merupakan hubungan persahabatan spiritual

(suhbah) yang penuh dengan cinta Ilahi. Di sisi lain, Rumi mengajarkan

seorang murid untuk menjalin keakraban dengan murid yang lain,

sebagaimana tercermin dalam persahabatannya dengan Shalaluddin Zarkub,

yang mampu mengantarkan Rumi pada penulisan karya-karyanya yang

indah. Oleh karena itu, guru dan sahabat sangat diperlukan untuk mencapai

kematangan ruhani, sebab dalam diri seorang guru dan sahabat, seorang

murid dapat menerima pantulan keindahan Ilahi. Bagi Rumi, memang

seorang sahabat bisa menjadi guru yang menjadi cermin pemantul cinta ilahi.

Dalam hubungan persahabatannya dengan Husamuddin, Rumi berhasil

menyelesaikan kitab Matsnawi, sekiranya tidak pernah ada Husamuddin,

Page 135: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

123

tentu karya besar itu tidak pernah ada. Sebab, Husamuddin-lah yang

menyarankan kepada Rumi untuk menuliskan syair-syairnya. Sejalan dengan

apa yang dikatakan oleh Ashad Kusuma Jaya bahwa petunjuk pencerahan

sufistik bisa saja lahir dari seorang sahabat, dan di dalamnya tidak tercermin

wujud “penyembahan” murid pada sang guru yang sangat feodalistik.

Hubungan guru-murid bagi Rumi merupakan kisah percintaan dua sahabat

yang di dalamnya murid dan guru saling meniadakan dirinya hanya untuk

mencintai Allah (Kusuma Jaya, 2016). Sedangkan bagi guru-guru palsu yang

menyesatkan murid, menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa penggunaan akal

sangat dibutuhkan sebelum menerima pengajaran dari seseorang yang bukan

ahlinya, karena hal itu dapat merusak ruhani juga membuka jiwa terhadap

pengaruh-pengaruh setan yang sangat berbahaya. Terkait dengan guru palsu,

Rumi mengatakan: “Manusia rendah mencuri kata-kata kaum darwis untuk

menipu orang-orang yang berpikiran sederhana.” (Kusuma Jaya, 2016).

Page 136: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

124

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa dan pembahasan pada bab empat, serta melihat

perumusan masalah mengenai konsep pendidikan cinta perspektif Jalaluddin

Rumi, maka dapat disimpulkan:

Menurut penulis, konsep pendidikan cinta kasih Jalaluddin Rumi

sebagai ajaran tentang pengalaman sufi yang menekankan cinta sebagai

penggerak utama manusia menuju Allah swt. Sebab bagi Rumi, tasawuf

bukan lari dari dunia, zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, karena fokus

spiritual adalah hati yang harus terisi oleh cinta Ilahi. Oleh karena itu,

pendidikan cinta kasih bertujuan untuk membentuk sikap dan ucapan murid

dengan landasan cinta dan kasih sayang kepada Allah swt. dan Rasulullah

saw. Sebab, tujuan pendidikan cinta kasih adalah membantu murid agar

mampu memasuki realitas batinnya, dan menjadikan cinta sebagai nilai

utama murid dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, dengan metode

penyucian jiwa (takhalli>) dari penyakit hati, lalu pengisian nilai-nilai

kebaikan (tahalli>), seorang murid akan memperoleh pencerahan ruhani

(tajalli>). Proses ini tidaklah diraih secara instan dan mudah, akan tetapi harus

melalui proses riyadhah (latihan-latihan spiritual) yang membutuhkan

banyak waktu dan pengorbanan serta dalam bimbingan seorang guru

spiritual (mursyid).

Dengan pendekatan mahabbah, Rumi telah berhasil memberikan suatu

konsep dalam beragama, yaitu dengan cinta Ilahi sebagai nilai dasar

pergerakan dan perjuangan batin untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan

yang adil, toleran, moderat, damai, dan terbuka. Sebab, dalam dunia

pendidikan Islam yang menjadi tujuan utama dan ukuran keberhasilan

Page 137: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

125

sebuah universitas, lembaga atau sekolah ialah melahirkan peserta didik atau

murid yang mampu menerapkan nilai-nilai cinta kasih, seperti saling

menghormati, terbuka, memberi rasa aman, adil, toleran dan moderat. Bagi

Rumi, karena tiadanya cinta kasih di dalam diri, maka manusia melahirkan

watak yang keras atau sumbu pendek yang akan memicu tumbuhnya

tindakan intoleransi, radikalisme, anarkisme, esktrimisme, hingga terorisme.

Konsep pendidikan cinta kasih Rumi; Pertama, mahabbah atau

determinisme cinta (kemutlakan cinta) sebagai kendaraan menuju Allah,

yaitu totalitas murid dalam mengabdi kepada Allah dengan jalan cinta;

Kedua, ‘isyq yaitu mahabbah dalam peringkat yang lebih tinggi yang

membakar kerinduan murid untuk segera berjumpa dengan-Nya, sehingga ia

bersedia menempuh perjalanan jauh demi bersatu dengan Kekasihnya yaitu

Allah swt; Ketiga, kondisi fana>’ (peleburan diri dalam diri Allah) yaitu

keadaan hati murid yang telah kosong dari segala penyakit hati, karena

berhasil membersihkan dirinya dari segala kotoran dan hanya ada Allah

semata. Dengan demikian, setelah murid melalui ketiga tahapan tersebut

barulah dia merasakan buah dari mahabbah, yaitu syauq (kerinduan), al-Uns

(keintiman), ridha (rela).

Langkah untuk mewujudkan sifat cinta kasih pada murid adalah

dengan cara bertakhalli dengan membersihkan hati dari sifat keburukan dan

keterikatan pada dunia melalui taubat atau juga disebut dengan penarikan diri

(menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah),

lalu bertahalli sebagai proses pengisian hati yang telah dikosongkan tersebut,

hati ini diisi dengan sabar, syukur, qana‟ah (hidup sederhana), tawadhu,

zuhud, tawakkal, ridha, dan tahalli juga adalah berhias dengan sifat-sifat

Allah. Kemudian pada puncaknya murid mencapai tajalli> yaitu tahapan

kebahagiaan sejati karena telah dibukakan tabir antara hamba dan Tuhan atau

Page 138: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

126

penyingkapan diri, yaitu Allah menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada

mahkluk-Nya.

Pendidikan cinta kasih ialah jalan alternatif yang efektif, karena

sifatnya yang menekankan pada pembinaan spiritual yang bermuara pada

kedekatan manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri,

manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Dengan jalan cinta kasih,

dapat menumbuhkan perasaan yang damai, tenteram, bahagia, welas asih,

dan rendah hati kepada sesama yang akan melahirkan sikap inklusif, cinta,

kasih sayang, menghargai perbedaan, menyebarkan perdamaian, moderat,

dan toleran.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan

berupa saran-saran di bawah ini sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat, khususnya bagi orang tua sebagai pendidik utama

anak dalam keluarga, dan guru/dosen sebagai pendidik kedua dalam

sekolah/universitas yang berperan penting dalam membentuk

karakter anak didik. Penulis menitikberatkan kepada orang tua dan

guru untuk mengenalkan anak didik pada dunia tasawuf dan

menyampaikan kisah-kisah hikmah para tokoh sufi seperti Rumi,

Ibnu Arabi, Imam al-Ghazali, Syaikh Ibnu Athaillah, Syaikh Abdul

Qadir al-Jilani dan lain-lain. Dengan demikian, anak didik akan

memperoleh kesadaran spiritual yang akan melahirkan sifat toleran,

welas asih, cinta kasih dan ketenangan jiwa.

2. Bagi sekolah dan universitas, bahwa konsep pendidikan karakter

berbasis sufistik sangat layak dijadikan sebagai salah satu model dan

program unggulan untuk mengisi kekosongan dalam dunia

pendidikan Islam, khususnya di Indonesia yang kerap melahirkan

Page 139: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

127

anak didik yang berwatak keras, kaku, close minded, merasa paling

benar dan selamat, sumbu pendek, eksklusif, intoleran dan radikal.

3. Bagi pemerintah, bahwa perlu mengeluarkan kebijakan terkait

pengembangan pendidikan karakter berbasis sufistik di setiap sekolah

atau universitas-universitas sebagai pengarusutamaan konten

moderat-pluralistik untuk membendung gerakan intoleran-radikalistik

demi menjaga kebhinekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

4. Penulis mengajak setiap mubaligh, da‟i, ustadz, guru/dosen atau

pendidik lainnya membaca tesis penulis ini untuk menambah

wawasan terkait konsep, model, dan metode dalam menerapkan

pendidikan cinta kasih berbasis sufistik.

5. Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang dilakukan ini sangatlah

terbatas, mengingat ada ribuan syair-syair Jalaluddin Rumi yang

tertuang dalam karya-karyanya, dan kiranya peneliti-peneliti yang

lain akan melanjutkan apa yang tidak sempat dikaji oleh penulis.

Page 140: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

128

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Islam dan Keindonesiaan dalam Buku Kontroversi

Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. (Cet I; Bandung: Mizan, 2014).

Abdullah, Idi. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan

Pendidikan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011).

Abdul, Kholiq. Pengantar The Meaningful Life with Rumi. (Cet I;

Yogyakarta: Forum, 2016).

Aboebakar Atjeh. Pendidikan Sufi: Sebuah Upaya Mendidik Akhlak

Manusia. (Cet II; Semarang: CV. Ramadhani, 1985).

Ahmed, Nur. Forty Great Men and Women in Islam. (Delhi:

Shandarmarket, Chitli Qabar, 1994).

Albertus, Doni Kusuma. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik

Anak di Zaman Global. (Jakarta: Grasindo, 2010).

Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar.

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).

Ali, Yunasril. Cinta Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn

Arabi oleh al-Jili. (Jakarta: Paramadina, 1997).

Al-Buthy, Syaikh Ramadhan. Kitab Cinta: Menyelami Bahasa Kasih

Sang Pencipta. (Cet. I; Jakarta: Noura Books, 2013).

Al-Ghazali. Kimia Kebahagiaan, Terj. Haidar Bagir. (Cet XIII;

Bandung: Mizan, 1995).

Al-Ghazali. Minhajul „Abidin, Terj. M. Rofiq. (Cet I; Yogyakarta:

Diva Press, 2016).

Al-Hujwiri, Ali Ibn Usman Al-Jullabi. Keajaiban Sufi. (Cet I;

Jakarta: Diadit Media, 2008).

Al-Hujwiri, Ali Ibn Usman Al-Jullabi. Kasyful Mahjub. (Cet I;

Bandung: Mizan Pustaka, 2015).

Page 141: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

129

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Miftah Darus Sa‟adah, terj. Abdul Matin

dan Salim Rusydi Cahyono. (Solo: Tiga Serangkai, 2009).

Al-Kafafiy, Muhammad Abdussalam. Matsnawi Jalaluddin Rumi.

(Beirut: Maktabah „Ashriyyah, 1966).

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim. Risalah al-Qusyairiyah: Induk Ilmu

Tasawuf. (Cet III; Surabaya: Risalah Gusti, 1999).

Andangjaya, Hartoyo. Kasidah Cinta Jalaluddin Rumi. (Cet I;

Yogyakarta: Narasi, 2017).

An-Nadwi, Abu al-Hasan. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar.

Terj. M. Adib Bisri (Cet II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

An-Nadwi, Abu al-Hasan. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar.

Terj. M. Adib Bisri (Cet III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).

An-Nadwi, Abu al-Hasan. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar.

Terj. M. Adib Bisri (Cet XI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015).

An-Nadwi, Abu al-Hasan. Maulana Jalaluddin Rumi. (Cet II; Kairo:

al-Mukhtar al-Islami, 1974).

Andriyani, Chindi. Jejak Langkah Sang Sufi Jalaluddin Rumi. (Cet I;

Yogyakarta: Mueeza, 2017).

Anwar, M. Syafi‟i. Kata pengantar “Membingkai Potret Pemikiran

Politik KH. Abdurrahman Wahid” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita.

(Cet I; Jakarta: The Wahid Institute, 2006).

Arberry, A.J. Mysticism, dalam P.M Holt, The Cambidge History of

Islam, Vol. II, (Cambridge: Cambridge at The University Press, 1970).

Ardani, Moh. Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam

Ibadat dan Tasawuf. (Cet II; Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005).

Bagir, Haidar. Dari Allah menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi.

(Cet I; Jakarta: Noura Books, 2019).

Page 142: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

130

Baidhawy, Zakiyuddin. Ambivalensi Agama Konflik dan

Nirkekerasan. (Cet I; Yogyakarta: LESFI, 2002).

Barks, Coleman. Rumi: The Book of Love. (HarperCollins e-Books,

2003).

Bentounes, Syekh Khaled. Tasawuf Jantung Islam: Nilai-Nilai

Universal dalam Tasawuf. (Cet I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003).

Breton, Denise. Cinta, Jiwa, dan Kebebasan di Jalan Sufi: Menari

Bersama Rumi. (Cet I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2003).

Chittick, William C. The Sufi Path of Love: The Spiritual Teaching of

Rumi. Terj. M. Sadad Ismail dan Achmad Nidjam. (Cet V; Yogyakarta:

Penerbit Qalam, 2003).

Damopolii, Muljono. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim

Modern. (Cet I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011).

Djamaluddin, Mahbub. Jalaluddin Rumi: Sang Maestro Cinta Ilahi.

(Cet I; Jakarta: Senja Publishing, 2015).

Djumransjah, M. Pengantar Filsafat Pendidikan. (Malang:

Bayumedia Publishing, 2004).

Ernst, Carl W. Ajaran dan Amaliah Tasawuf. (Cet I; Yogyakarta:

Pustaka Sufi, 2003).

Fakih, Mansour. Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis

Pemikiran Tokoh Pendidikan. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).

Fattah Jalal, Abdul. Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Herry Noer

Ali. (Bandung: Diponegoro, 1988).

Fethullah Gulen, Muhammad. Tasawuf Untuk Kita Semua. (Cet I;

Jakarta: Republika, 2014).

Frager, Robert. Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi untuk Transformasi.

(Jakarta: Serambi, 2002).

Page 143: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

131

Hadi W.M, Abdul. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas.

(Yogyakarta: Matahari, 2004).

Hadi W.M, Abdul. Matsnawi: Senandung Cinta Abadi Jalaluddin

Rumi. (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2013).

Hamid Hasan, Said. “Pendidikan Indonesia: Untuk Siapa dan Mau

Ke Mana?” dalam Pendidikan Nasional: Arah Ke Mana?. (Jakarta: Kompas,

2012).

Hariyanto, Nur Budi. Mengapa Kita Harus Memuliakan Guru?.

https://islami.co/mengapa-kita-harus-memuliakan-guru dimuat pada 3

Desember 2018. Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda

Indonesia, edisi 46/Jum‟at, 30 November 2018.

Harvey, Andrew. Seribu Ilham Kearifan Sufi. (Cet I; Jakarta: Alifia

Books, 2018).

Hawwa, Sa‟id. Pendidikan Spiritual Terj Abdul Munip M Ag. (Cet.

I; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006).

Hutchins, Robert Mayhand. Pendidikan Liberal Sejati dalam buku

Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. (Cet

VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).

Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam, Vol. II, (Chicago: The

University of Chicago Press, 1974).

Hozhabrossadat, Sepideh. Sacrificing the Bull: Conseptualisations of

Fana (Spiritual Death) in Rumi‟s Mathnavi. (Monash University:

International Jurnal of English and Literature, 2018).

Iblagh al-Afghaniy, Inayatullah. Jalaluddin ar-Rumi baina ash-

Shufiyyah wa „Ulama al-Kalam. (Kairo: Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah,

1987).

Page 144: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

132

Iqbal, Abu Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam. (Cet. I;

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).

Iqbal, Afzal. The Life and Work of Jalaluddin Rumi. (London: The

Octagon Press, 1983).

Inayat Khan, Hazrat. The Heart of Sufism. (Cet I; Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2002).

Inayat Khan, Hazrat. Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. (Yogyakarta:

Pustaka Sufi, 2002).

Jabir, Muhammad Nur. Road to Return: Tafsir Sufistik Syair-Syair

Maulana Jalaluddin Rumi. (Cet I; Makassar: Rumi Press, 2018).

Jabir, Muhammad Nur. Kado Cinta Rumi. (Cet I; Makassar: Rumi

Press, 2019).

Jallaludin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan

Pengembangan Pemikirannya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).

Jamaluddin, Muhammad Sa‟id. Tahqiq fi Qashaid al-Mukhtarah min

Diwan Syams Tabriz. (Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-„Ammah lil Kitab,

2008).

Jamnia, Muhammad Ali. Tales From The Land of The Sufis, Terj.

M.S. Nasrullah, Negeri Sufi: Kisah-Kisah Terbaik. (Cet I; Jakarta: Lentera,

1997).

Johnson, Will. Rumi: Menatap Sang Kekasih. (Cet I; Jakarta: PT

Serambi Ilmu Semesta, 2005).

Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam. Tasawuf dan Ihsan. (Cet III;

Jakarta: Serambi, 2015).

Kaelan. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner.

(Yogyakarta: Paradigma, 2010).

Page 145: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

133

Kartanegara, Mulyadi. Renungan Mistik Jalaluddin Rumi. (Cet I;

Jakarta: Pustaka Jaya, 1986).

Kaya, Cinar. Rumi from the Viewpoint of Spiritual Psychology and

Counseling. (Marmara University: Jurnal Spiritual Psychology and

Counseling, 2016).

Khan, Yahya. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. (Cet I;

Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010).

Krishna, Anand. Masnawi: Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki

Pintu Gerbang Kebenaran. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000).

Kusuma Jaya, Ashad. Pengantar Kisah Keajaiban Cinta:Renungan

Sufistik Mutiara Diwan-i Syams-i Tabriz. (Cet VIII; Bantul: Kreasi Wacana,

2016).

Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa

Psikologi dan Pendidikan. (Cet III; Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995).

Mahmud, Abdul Qadir. Al-Falsafah ash-Shufiyah fil-Islam. (Kairo:

Dar al-Fikr al-Arabi, 1967).

Mansir, Firman. Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi

Islam (Studi Pada UMI dan UIN Alauddin Makassar). (Cet I; Cirebon: Nusa

Litera Inspirasi, 2018).

Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: PT. Al-

Ma‟arif, 1990).

Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2004).

Miswari. Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi

Jalaluddin Rumi. (Al-Mabhats: Jurnal Penelitian Sosial Agama Vol. 3 No. 1

2018).

Page 146: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

134

Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan

Pendidikan Agama Islam di Sekolah. (Cet. IV; Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2008).

Muhibbuddin, Muhammad. Kitab Cinta Ulama Klasik Dunia:

Menyelami Rahasia Cinta Para Sufi Dunia. (Cet I; Yogyakarta: Araska,

2018).

Muhyi Batubara, Abdul. Sosiologi Pendidikan. (Jakarta: PT Ciputat

Press, 2004).

Muttaqin, Farid. Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-

Islam. (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2001).

Nasution, Harun. Falsafah Islam dan Mistisisme dalam Islam.

Jakarta: Bulan Bintang. 1992.

Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2000).

Nata, Abuddin. Menggagas Pendidikan Islam Holistik dalam Jurnal

Didaktika Islamika: Jurnal Kependidikan dan Keguruan. (Jakarta: Jurusan

Kependidikan Islam, Vol. XI, No.2 Desember 2011).

Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. (Cet III; Jakarta: Kencana,

2016).

Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Kancah Dunia Modern, terj.

Lukman Hakim. (Cet I; Bandung: Pustaka, 1994).

Nasr, Seyyed Hossein. Sufisme Persia Awal. (Cet I; Yogyakarta:

Pustaka Sufi, 2003).

Nasr, Seyyed Hossein, The Garden of Truth: The Vision and Promise

of Sufism, Islam‟s Mystical Tradition. (Cet. I; Bandung: Mizan Pustaka,

2010).

Page 147: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

135

Nasr, Seyyed Hossein. Living Sufism. (London: Unwin Paperbacks,

1972).

Ni‟am, Syamsun. Tasawuf Studies. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2014).

Ni‟am, Syamsun. Cinta Ilahi: Perspektif Rabi‟ah al-Adawiyah dan

Jalaluddin Rumi. (Cet I; Surabaya: Risalah Gusti, 2001).

Nicholson, Reynold A. Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman

Sufi. Terj. Sutejo (Cet I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

Nicholson, Reynold A. Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman

Sufi. Terj. Sutejo (Cet XI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).

Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer.

(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978).

Nurbakhsh, Javad. Ciri-ciri Khas Sufisme dalam Periode Awal Islam,

dalam Warisan Sufi; Sufisme Persia Klasik dari Permulaan hingga Rumi

(700-1300 M). (Cet I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002).

Nurcholish, Ahmad. Peace Education dan Pendidikan Perdamaian

Gus Dur. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015).

Okuyucu, Cihan. Rumi: Biography and Message. Terj. Eka Oktaviani

(Cet I; Yogyakarta: Basabasi, 2018).

Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. (Cet XX;

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011).

Rahman, Fazlur. “The Qur‟anic Solution of Pakistan‟s Educational

Problems” dalam Islamic Studies, Vol. 6, Nomor 4.

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi

Intelektual. (Bandung: Pustaka Mizan, 1995).

Page 148: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

136

Rahman, Jamal. The Fragrance of Faith: The Enlightened Heart of

Islam, Terj. Satrio Wahono, Wajah Sejuk Agama. (Cet I; Jakarta: Zaman,

2012).

Rawls, John. A Theory of Justice. (Cambridge, Massachusetts: The

Belknap Press, 1999; Harvard University Press, 2009).

Ridwan, Nur Khalik. Suluk Gus Dur: Bilik-Bilik Spiritual Sang Guru

Bangsa. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013).

Riyadi, Abdul Kadir. Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia

Spiritual dan Pengetahuan. (Cet I; Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014).

Rumi, Jalaluddin. Samudra Rubaiyat: Menyelami Pesona Magis dan

Rindu. Terj. Cep Subhan. (Cet. I; Yogyakarta: Forum, 2018).

Rumi, Jalaluddin. Kitab Fihi Ma Fihi. Terj. Abu Ali dan Taufik

Damas. (Cet. I; Jakarta: Zaman, 2016).

Rumi, Jalaluddin. Matsnawi Maknawi Vol I, Pensyarah Karim

Zamani. (Cet. I; Teheran: Ittila‟at, 2004).

Sapiuddin. Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran

Tokoh Pendidikan. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).

Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2000).

Schimmel, Annemarie. Menyingkap Yang Tersembunyi: Misteri

Tuhan dalam Puisi-Puisi Mistis Islam. (Cet I; Bandung: Mizan, 2005).

Schimmel, Annemarie. Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan

Karya Jalaluddin Rumi. (Cet I; Bandung: Mizan, 2016).

Shah, Idries. Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma‟rifat. (Surabaya:

Risalah Gusti, 1999). Judul Asli: The Way of the Sufi (The Octagon Press

Ltd., London N6 4EW, England; Third Impression, 1989).

Page 149: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

137

Shah, Idries. Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi. (Cet I;

Surabaya: Risalah Gusti, 2000).

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an. (Bandung: Mizan

Pustaka, 2004).

Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial. (Cet. IV; Jakarta:

SAS Foundation, 2012).

Siradj, Said Aqil. Pengantar Kitab Cinta: Menyelami Bahasa Kasih

Sang Pencipta. (Cet. I; Jakarta: Noura Books, 2013).

Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali.

(Cet. I; Jakarta: Riora Cipta, 2000).

Subhan, Cep. Matahari Diwan Syams Tabrizi. (Cet. I; Yogyakarta:

Forum, 2018).

Suparta, Mundzier. Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi

atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia. (Cet II; Jakarta: Al-Fatihah,

2010).

Sutrisno & Muhyidin Albarobis. Pendidikan Islam Berbasis Problem

Sosial. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).

Sokhi, Huda. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah.

(Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2008).

Sonia Nieto. Affirming Diversity: The Sosiopolitical Context of

Multicultural Education. (New York: Longman, 1996).

Syatta, Ibrahim ad-Dasuqiy. Matsnawi Maulana Jalaluddin ar-Rumi.

(Kairo: al-Hai‟ah „Ammah li Syu‟un al-Mathabi‟ al-Amiriyyah, 1996).

Tarhan, Nevzat. Terapi Matsnawi. (Cet. I; Jakarta: Qaf, 2016).

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 1152.

Page 150: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

138

Tibi, Bassam. Islam and the Cultural Accomodation of Social

Change. (Boluder: Westview Press, 1991).

Topbas, Osman Nuri. Tears of The Heart (Ratapan Kerinduan Rumi).

(Cet. I; Bandung: Mizan Pustaka, 2015).

Trimingham, Spencer. The Sufi Order In Islam. (New York: Oxford

University, 1971).

Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan. (Jakarta: The Wahid

Institute, 2007).

Waters, Stewart. The Case for Character Education: A

Developmental Approach, Journal of Research in Character Education

(2009), Vol.7. No.1.

Wibowo, Tri. Akulah Debu di Jalan Al-Musthofa: Jejak-Jejak Awliya

Allah. (Jakarta: Prenada Media, 2015).

Wijaya, Aksin. Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia; Kritik

Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan. Kata pengantar; Sakralisasi

Kemanusiaan, Religionisasi Perdamaian. (Cet. I; Bandung: PT Mizan

Pustaka, 2018).

Wines, Leslie. Menari Menghampiri Tuhan: Biografi Spiritual Rumi.

(Cet I; Bandung: Arasy Mizan, 2004).

Zaairul Haq, Muhammad. Jalaluddin Rumi: Terbang Menuju

Keabadian Cinta hingga Makna di Balik Kisah. (Cet I; Bantul: Kreasi

Wacana, 2011).

Zainul Bahri, Media. Tasawuf Mendamaikan Dunia. (Cet I; Jakarta:

Erlangga, 2010).

Zaprulkhan. Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik. (Cet I; Jakarta:

Rajawali Pers, 2016).

Page 151: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

139

Zaprulkhan. Mukjizat Puasa: Menggapai Pencerahan Spiritual

Melalui Ibadah Puasa dan Ramadhan. (Jakarta: PT Gramedia, 2015).

Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif

Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti secara

Kontekstual dan Futuristik. (Jakarta: Bumi Aksara, 2015).

Page 152: PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF JALALUDDIN RUMI

RIWAYAT HIDUP

Hisnuddin, lahir di Makassar 13 Juni 1992. Ayahanda Dr. KH. Baharuddin

HS. M.A. dan Ibunda Hj. Nurhaedah Djibo. Riwayat pendidikan penulis

tamat di TK Nurul Qalam, lalu menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri

Tamalanrea Makassar. Kemudian penulis melanjutkan SMP dan MA selama

6 tahun di Pondok Pesantren Modern Pendidikan Al-Qur’an IMMIM Putra

Makassar dan tamat pada 23 April 2010. Pada tahun yang sama penulis

terdaftar sebagai Mahasiswa angkatan 2010 pada Jurusan Pendidikan Agama

Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Alauddin

Makassar, dan menyelesaikan program Magister pada jurusan yang sama

Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Penulis pernah menjadi anggota PMII Gowa Komisariat UIN

Alauddin Makassar, dan sekarang penulis aktif di beberapa lembaga kajian,

seperti Rumi Institute, Gusdurian, Nurcholish Madjid Society, Islam

Nusantara Center, Nasaruddin Umar Office, Lingkar Santri Cendekia,

Majelis Masyarakat Maiyah, dan sekarang menjabat sebagai direktur

Alfilosufiyah Institute dan Foucaultfreire Institute.

Diskusi melalui: Instagram @Alfilosufiyah_Institute