22
PENDIDIKAN AKHLAK ALA AL-GHAZALI

PENDIDIKAN AKHLAK ALA AL-GHAZALI

Embed Size (px)

Citation preview

PENDIDIKAN AKHLAK

ALA AL-GHAZALI

Tulisan ini merupakah hasil kliping dari artikel-artikel

maupun buku yang membahas mengenai pemikiran Al-

Ghazali tentang pendidikan. Penulis hanya melakukan

elaborasi pendapat maupun pernyataan dari sumber

pustaka dan berusaha meminimalisir pendapat pribadi

penulis dalam tulisan hasil kliping ini.

Pendahuluan

Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh

Ibn Miskawaih (Nata, 2003), merupakan upaya ke arah

terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara

spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik

dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria

benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul

merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber

tertinggi dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka

pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan

moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih

dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan

oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu

Miskawaih, al-Qabisi, Ibn Sina, al-Ghazali dan al-

Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan

akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam

perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah

penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan

manusia. Namun demikian dalam implementasinya,

pendidikan akhlak yang dimaksud memang masih tetap

cenderung pada pengajaran benar dan salah seperti

halnya pendidikan moral. Menjamurnya lembaga-

lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan

pendidikan akhlak sebagai trade mark di satu sisi, dan

menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja

di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak

dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam sepertinya

masih belum optimal.

Pandangan Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh

pendidikan Islam dianggap sangat menarik untuk

diangkat karena dalam ruang-ruang kuliah studi Islam

selama ini diajarkan bahwa al-Ghazali adalah biang

keladi kemunduran umat Islam, seperti banyak terdapat

pada sebagian referensi tentang al-Ghazali (Husaini,

2007). Boleh jadi pada sebagian pemikiran al-Ghazali

terdapat kekeliruan, namun tidaklah adil jika hal itu

kemudian menjadi dasar untuk menyudutkan al-Ghazali

karena ia juga berandil dalam menginspirasi kemajuan

umat Islam.

Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih

cenderung pada pendidikan moral dengan pembinaan

budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada

anak didik. Sebagaimana rumusannya tentang akhlak

sebagai sifat yang mengakar dalam hati yang mendorong

munculnya perbuatan tanpa pertimbangan dan

pemikiran, sehingga sifat yang seperti itulah yang telah

mewujud menjadi karakter seseorang. Konsep

pendidikan ini erat sekali hubungannya dengan tujuan

pendidikan untuk membentuk karakter positif dalam

perilaku anak didik dimana karakter positif ini tiada lain

adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam

kehidupan manusia.

Riwayat Hidup Al-Ghazali

Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H (1058

M) di desa Thus wilayah Khurasan yang sekarang

termasuk wilayah Iran. Al-Ghazali memulai pendidikan

dasarnya dengan belajar agama pada seorang ustadz

setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi. Selanjutnya

ia menjadi santri Abu Nashr al-Isma’il di Jurjan dan lalu

belajar ilmu kalam, ilmu ushul, madzab figh, retorika,

logika, tasawuf, dan filsafat pada al-Juwainy.

Keunggulan ilmu al-Ghazali membuatnya menjadi

sangat tersohor sehingga pada tahun 484 H (1091 M), ia

diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas

Nidhamiyah di Baghdad. Setahun setelah ia berusia 34

tahun, al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor)

pada universitas tersebut karena prestasinya yang begitu

luar biasa. Selama menjadi rektor, al-Ghazali banyak

menulis buku di bidang fiqh, ilmu kalam, dan buku-buku

sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah,

dan filsafat. Setelah 4 tahun menjadi rektor di universitas

tersebut, ia mengalami krisis keraguan yang meliputi

akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia

melanglang buana antara Syam, Baitul Maqdis, dan

Hijaz selama kurang lebih 10 tahun dan menghabiskan

waktunya untuk khalwat, ibadah, i’tikaf, dan

menjalankan ibadah haji serta berziarah ke makam nabi-

nabi. Setelah dibujuk untuk kembali mengajar di

universitasnya, akhirnya al-Ghazali kembali menjadi

dosen pada tahun 499 H (1106 M). Tetapi, tidak lama

setelah itu, ia kembali ke tempat asalnya di desa Thus

dan menghabiskan sisa umurnya untuk membaca al-

Qur’an dan hadist serta mengajar. Di samping rumahnya,

al-Ghazali mendirikan madrasah untuk para santri yang

mengaji dan sebagai tempat berkhalwat bagi para sufi.

Al-Ghazali menutup usianya pada tahun 505 H (1111 M)

yaitu pada usia 55 tahun.

Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan

Dalam memahami pemikiran al-Ghazali,

tentunya harus dilakukan banyak kajian terhadap

literatur yang mengupas riwayat hidupnya maupun

karya-karyanya yang sangat monumental dalam berbagai

disiplin ilmu. Berkaitan dengan profesinya sebagai

pemikir, al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan

kronologis minimal empat disiplin ilmu sehingga ia

menjadi ahli ilmu kalam atau teolog, filosof, seorang sufi

karena ilmu tasawufnya, dan juga seorang yang anti ilmu

kebatinan.

Pandangan al-Ghazali yang sangat terkenal

adalah pandangannya tentang hakekat manusia, yang

berlandaskan pada esensi manusia yaitu jiwanya yang

bersifat kekal dan tidak hancur. Ada empat istilah yang

sangat populer dikemukakan oleh al-Ghazali dalam

pembahasannya yang begitu mendalam tentang esensi

manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa (nafs), dan

akal (aql).

Mengenai tujuan hidup manusia, al-Ghazali

menyatakan bahwa:

“Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama

dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain

dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat

bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang

menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau

memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air

abadi.”

Dari pernyataannya dapat disimpulkan bahwa

manusia memiliki dua tujuan hidup. Yang pertama

adalah sebagai wakil Allah di dunia untuk melaksanakan

kehendakNya atau tujuan duniawi. Yang kedua adalah

tujuan akhirat, yaitu mendapatkan kenikmatan surgawi

yang berpuncak saat manusia dapat bertemu

Penciptanya.

Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, al-

Ghazali banyak mencurahkan perhatiannya. Analisisnya

terhadap esensi manusia mendasari pemikirannya pada

kedua bidang ini. Menurut al-Ghazali, manusia dapat

memperoleh derajat atau kedudukan yang paling

terhormat di antara sekian banyak makhluk di

permukaan bumi dan langit karena ilmu dan amalnya.

Sesuai dengan pandangan al-Ghazali terhadap manusia

dan amaliahnya, yaitu bahwa yang amaliah itu tidak

akan muncul dan kemunculannya hanya akan bermakna

kecuali setelah ada pengetahuan. Sehingga wajar bila

dalam karyanya yang sangat monumental, Ihya

Ulumiddin, al-Ghazali mengupas ilmu pengetahuan

secara panjang lebar dalam sebuah bab tersendiri,

Kitabul Ilmi. Dalam pembahasannya tentang ilmu, al-

Ghazali menggambarkannya dalam tatanan sosial

masyarakat, dalam artian bahwa sebuah ilmu atau profesi

tertentu diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-

kegiatan yang diwajibkan dalam tatanan tersebut. Secara

terperinci, ia menggunakan pendekatan epistemologi,

ontologi, dan aksiologi.

Ditilik dari Ihya Ulumiddin bab pertama, al-

Ghazali adalah penganut kesetaraan dalam dunia

pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut

ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada,

selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak

terkecuali siapapun. Ia juga termasuk penganut konsep

pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa

mewarnainya dengan hal-hal yang benar.

Pengertian Pendidikan

Sekalipun Ihya Ulumiddin dianggap sebagai

kitab intisari pemikiran al-Ghazali yang paling komplit,

pengertian pendidikan masih belum dirumuskan secara

jelas karena pembahasannya memang belum sampai

pada tahap tersebut. Tetapi walaupun demikian,

pengertian pendidikan menurut al-Ghazali dapat

ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan

melalui karyanya sebagaimana kutipan berikut:

“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri

kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan

diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran

dengan malaikat tinggi.”

“Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang

berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang

beku yang tidak berkembang.”

Pada kutipan pertama, kata ‘hasil’

menggambarkan proses, kata ‘mendekatkan diri kepada

Allah’ menunjukkan tujuan, dan kata ‘ilmu’

menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua

dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu

melalui pengajaran.

Mengenai keberlangsungan proses pendidikan,

al-Ghazali menerangkan bahwa batas awal

berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya

sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia.

Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah tidak

ada karena selama hayatnya manusia dituntut untuk

melibatkan diri dalam pendidikan sehingga menjadi

insan kamil. Ditambahkan pula bahwa pendidikan dapat

dipahami sebagai satu-satunya jalan untuk

menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan

martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan

kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada

sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan

pengajaran. Selain itu, pengajaran dan pendidikan harus

dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan

perkembangan psikis dan fisik anak.

Dari berbagai hadist yang dikutip oleh al-Ghazali

dalam bukunya dan juga beberapa pernyataannya tentang

pendidikan dan pengajaran, dapat dirumuskan sebuah

pengertian tentang pendidikan oleh al-Ghazali yaitu

“proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya

sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu

pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran

secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi

tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju

pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia

sempurna”.

Tujuan Pendidikan

Menurut al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya

haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah

dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk

mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan di dunia

dan akhirat. Sehingga tujuan pendidikan dirumuskan

sebagai pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk

membentuk manusia yang shalih, yang mampu

melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah

dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai

hambaNya.

Tujuan pendidikan jangka panjang yang

dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, dapat

dicapai dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah

serta mengkaji ilmu-ilmu fardhu ‘ain seperti ilmu

syariah. Sementara, orang-orang yang hanya menekuni

ilmu fardhu kifayat sehingga memperoleh profesi-profesi

tertentu dan akhirnya mampu melaksanakan tugas-tugas

keduniaan dengan hasil yang optimal sekalipun, tetapi

tidak disertai dengan hidayah al-din, maka orang tersebut

tidak akan semakin dekat dengan Allah.

Tujuan pendidikan jangka pendek menurut al-

Ghazali adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan

bakat dan kemampuannya dengan mengembangkan ilmu

pengetahuan yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayat.

Masalah kemuliaan duniawi bukanlah tujuan dasar dari

seseorang yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan.

Seorang penuntut ilmu seperti siswa, mahasiswa, guru,

atau dosen, akan memperoleh derajat, pangkat, dan

segala macam kemuliaan lain yang berupa pujian,

kepopularitasan, dan sanjungan manakala ia benar-benar

mempunyai motivasi hendak meningkatkan kualitas

dirinya melalui ilmu pengetahuan untuk diamalkan.

Sebab itulah, al-Ghazali menegaskan bahwa langkah

awal seseorang dalam proses pembelajaran adalah untuk

menyucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat

tercela, dan motivasi pertama adalah untuk

menghidupkan syariat dan misi Rasulullah.

Subyek Didik

Dalam pembahasan mengenai pendidikan,

manusia yang bergantung disebut murid dan yang

menjadi tempat bergantung disebut guru, sehingga

keduanya disebut sebagai subyek didik. Al-Ghazali

sangat mengagungkan posisi guru diatas segalanya

sebagaimana ungkapannya bahwa hak guru atas

muridnya lebih agung dibandingkan hak orang tua atas

anaknya karena orang tua hanya penyebab keberadaan

anaknya di alam fana dan guru lah penyebab hidupnya

yang kekal. Ia juga menambahkan bahwa makhluk yang

paling mulia di muka bumi adalah manusia, sedangkan

yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya, guru

atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan,

dan menyucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk

dekat kepada Allah.

Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru

profesional, al-Ghazali menyebutkan beberapa hal

sebagai berikut:

1) Guru adalah orang tua kedua bagi murid

2) Guru adalah pewaris ilmu nabi

3) Guru adalah penunjuk jalan dan pembimbing

keagamaan murid

4) Guru adalah sentral figur bagi murid

5) Guru adalah motivator bagi murid

6) Guru adalah seseorang yang memahami tingkat

perkembangan intelektual murid

7) Guru sebagai teladan bagi murid

Selanjutnya, al-Ghazali menguraikan hal-hal

yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar

mengajar sebagaimana berikut:

1) Belajar merupakan proses jiwa

2) Belajar menuntut konsentrasi

3) Belajar harus didasari sikap tawadhuk

4) Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap

pengetahuan dasarnya

5) Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu

pengetahuan yang dipelajari

6) Belajar secara bertahap

7) Belajar tujuannya adalah untuk berakhlakul karimah

Etika Belajar

Dalam hal etika belajar, al-Ghazali menjelaskan

ada 10 hal yang harus dilakukan oleh seorang pelajar

yaitu:

Pertama, membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan

keburukan sifat karena ilmu itu adalah ibadahnya hati,

shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.

Kedua, menyedikitkan hubungannya dengan sanak

keluarga dari hal keduniawian dan menjauhi keluarga

serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali

agar seorang pelajar bisa konsentrasi dalam apa yang

menjadi fokusnya.

Ketiga, tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi

tindakan tidak terpuji terhadap guru. Bahkan menurut al-

Ghazali seorang pelajar haruslah menyearhkan segala

urusannya pada sang guru seperti layaknya seorang

pasien yang menyerahkan segala urusannya pada dokter.

Keempat, menjaga diri dari mendengarkan perselisihan

yang terjadi diantara manusia, karena hal itu dapat

menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap

selanjutnya dapat menyebabkan pada kemalasan.

Kelima, tidak mengambil ilmu terpuji selain

mendalaminya hingga selesai dan mengetahui

hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu

itu adalah menyelami (tabahhur) dalam sesuatu yang

dikerjakannya.

Keenam, janganlah mengkhususkan pada satu macam

ilmu kecuali untuk tertib belajar.

Ketujuh, janga terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali

kita telah menguasai ilmu yang telah dipelajari

sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah

sistematik, satu bagian saling terkait dengan bagian yang

lainnya.

Kedelapan, harus mengetahui sebab-sebab lebih

mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang lainnya.

Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan

akan pilihan prioritas ilmu yang akan dipelajari.

Kesembilan, pelurusan tujuan pendidikan hanya karena

Allah dan bukan karena harta dan lain sebagainya.

Kesepuluh,harus mengetahui mana dari suatu disiplin

ilmu yang lebih penting (yu’atsar al-rafi’ al-qarib ‘ala al-

ba’id)

Etika Mengajar

Dalam hal etika mengajar, al-Ghazali

mengungkapkan bahwa ada 8 hal yang harus

diperhatikan oleh seorang guru, sebagaimana berikut:

Pertama, memperlakukan para murid dengan kasih

sayang seperti anaknya sendiri.

Kedua, mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah,

balasan ataupun ucapan terima kasih (ikhlas).

Ketiga, jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal

yang baik.

Keempat, jangan lupa menasehati murid dan

mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-

terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa

untuk mengerjakannya terlebih dahulu karena

pendidikan dengan sikap dan perbuatan jauh lebih efektif

daripada perkataan

Kelima, jangan menghina disiplin ilmu lain.

Keenam, terangkanlah dengan kadar kemampuan akal

murid. (Hal inilah yang dibut dalam balaghah sebagai

kefashihan).

Ketujuh, hendaknya seorang guru harus mengajar

muridnya yang pemula dengan pelajaran yang simpel

dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu

muluk-muluk maka hal tersebut akan membuat murid

merasa minder dan tidak percaya diri.

Kedelapan, seorang guru harus menjadi orang yang

mengamalkan ilmunya.

Kurikulum Pendidikan

Dalam menguraikan pengertian kurikulum

menurut al-Ghazali, ada dua hal yang sangat menarik

yaitu klasifikasinya terhadap ilmu pengetahuan dengan

sangat terperinci sebagaimana skema yang telah

digambarkan pada halaman sebelumnya, dan

pemikirannya tentang manusia berikut segala potensi

yang dimilikinya sejak ia dilahirkan. Ditambahkan

olehnya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan

selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan

pertumbuhan dan perkembangan psikisnya, sehingga

pelajaran harus disampaikan secara bertahap dengan

memperhatikan teori, hukum, dan periodisasi

perkembangan anak. Pentahapan dalam kurikulum yang

dilakukan olehnya, sangat sesuai dengan proses

pendidikan anak yang diajarkan oleh nabi Muhammad

seperti diriwayatkan melalui hadist. Jika dijabarkan,

perkembangan usia anak berdasarkan didaktis menurut

Rasulullah adalah:

1) Usia 0-6 tahun

2) Usia 6-9 tahun

3) Usia 9-13 tahun

4) Usia 13-16 tahun

5) Usia 16 tahun dan seterusnya

Implikasi dari hadist tersebut, pertama yaitu bahwa

usia 16 adalah batas minimal bagi orang tua untuk

mendidik dan membimbing anaknya agar dapat mandiri;

kedua, anak pada hakekatnya sudah dapat dilepas oleh

orang tua sehingga tidak boleh lagi menggantungkan diri

pada orang tua untuk menghidupi kehidupannya sendiri.

Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali

Pentahapan dalam kurikulum pendidikan telah

melahirkan pada penekanan metodik khusus pendidikan

menurut al-Ghazali. Dan tampak sekali bahwa al-Ghazali

juga melakukan penekanan pada pendidikan agama dan

akhlak. Berikut ini adalah metodik khusus pendidikan

menurut al-Ghazali:

1) Metodik khusus pendidikan agama

2) Metodik khusus pendidikan akhlak

Evaluasi Pendidikan

Dalam bahasa Arab, kata yang paling dekat

dengan kata evaluasi adalah muhasabah, yang berarti

menghitung atau memperkirakan. Al-Ghazali

menggunakan kata tersebut dalam menjelaskan tentang

evaluasi diri setelah melakukan aktivitas. Surat al-Hasyr

ayat 18 dijadikan landasan berpijak oleh al-Ghazali

dalam menguraikan tentang evaluasi diri, sebagaimana

dikutip dalam karyanya. Sehingga dapat dirumuskan

bahwa pengertian evaluasi adalah suatu usaha

memikirkan, memperkirakan, membandingkan,

menimbang, mengukur, dan menghitung aktivitas diri

dan orang lain yang telah dikerjakan terkait dengan

tujuan yang telah dicanangkan untuk meningkatkan

usaha dan aktivitas menuju tujuan yang lebih baik di

waktu mendatang. Subyek evaluasi yang terlibat dalam

proses kependidikan tersebut dapat meliputi pimpinan

lembaga, subyek didik, wali murid, dan tenaga

administrasi.

Tujuan evaluasi secara umum, sebagaimana

kutipan sabda Nabi yang dikutip oleh al-Ghazali, adalah

sebagai berikut:

“Jika kau telah merencanakan suatu pekerjaan atau

suatu program kerja, maka pikirkanlah akibat atau

hasil akhirnya. Jika kemungkinan benar

(menguntungkan) maka teruskan, tapi jika

kemungkinan sesat (merugikan) maka hentikan

rencana itu.”

Sehingga tujuan dari evaluasi pendidikan dapat

dirumuskan sebagai suatu upaya untuk mengontrol

efektivitas dan efisiensi usaha dan sarana; mengetahui

segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya

proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang

mendukung dikembangkan, dan segi-segi yang

menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau

sarana lain yang lebih menguntungkan.

Sebagaimana sabda Nabi yang dikutip oleh al-

Ghazali berikut ini, bahwa aktivitas kependidikan dalam

satuan waktu yang telah ditentukan secara periodik,

seperempat dari satuan waktu tersebut digunakan untuk

mengadakan evaluasi:

“Seyogyanya bagi orang yang berakal mempunyai

empat bagian waktu, dan satu bagian waktu darinya

digunakan untuk mengevaluasi dirinya.”

Pendekatan Pendidikan Al-Ghazali

Al-Ghazali menjelaskan bagaimana seorang

pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya. Ia

mengemukan metode belajar dan metode mengajar. Dan

apa yang telah dikemukakan al-Ghazali tersebut adalah

lebih moderat ketimbang apa yang kemudian

diterjemahkan ulang dan banyak penambahan di sana

sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang

lebih berorientasi pada etika murid pada dunia tasawuf

dan tarekat.

Penjelasan al-Ghazali juga menyinggung metode

pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia

juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah

satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal

ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika

seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru

mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar

hendaklah diperingatkan. Tetapi bentuk pengapresiasian

gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan

behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan

reward and punishment-nya dalam bentuk kebendaan

dan simbol-simbol materi. Al-Ghazali menggunakan

tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and

punishment-nya.

Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-

Ghazali juga mengelaborasi dengan pendekatan

humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus

memandang anak didik sebagai manusia secara holistik

dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-

Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru

harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih

sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak

kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-

Ghazali menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik

oleh guru.

Dalam pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak

semata-mata suatu proses yang dengannya guru

menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang

setelah proses itu masing-masing guru dan murid

berjalan di jalan mereka yang berlainan. Tetapi lebih dari

itu, yaitu sebuah interaksi yang saling mempengaruhi

dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran

yang relatif sama, yang pertama mendapatkan jasa

karena memberikan pendidikan dan yang terakhir

mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.

Tetapi hal yang paling nampak dalam kacamata

al-Ghazali tentang pendidikan adalah bagaimana ia

membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten

dalam masalah etika pendidikan. Pembahasan masalah

ahklak atau etika tidak saja tampak dalam Ihya

Ulmuddin tapi juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-

Amal dan Bidayah al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir

ini persinggungan al-Ghazali dengan tasawuf sangat

kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab ini al-

Ghazali menggunakan gaya narasi untuk

mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak

Tahafut al-Falasifah, ia tak segan menggunakan kata

pengganti pertama berupa ‘aku’ atau ‘kita’. Malah dalam

Ayyuha al-Walad, al-Ghazali menggunakan kata

pengganti ‘engkau’ untuk menyapa pembacanya. Gaya

penyusunan seperti ini kemudian banyak diadopsi oleh

para pendidik sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja

dalam kitab Akhlaq lil Banin dan Ahklaq lil Banat.

Mungkin inilah metode yang terbaik menurut al-Ghazali

tentang proses belajar dan mengajar.

Penutup

Al-Ghazali yang berorientasi humanistik spiritual

ini dapat dipandang sebagai tokoh pendidikan yang 6

abad lebih awal daripada Johan Benhard Basedow

(tokoh philanthropinisme), John Locke dan Francis

Bacon (tokoh empiris), Shcopenhauer (tokoh nativis),

William dan Clora Stern (tokoh konvergensi), serta

tokoh pendidikan dan psikolog dari Barat lainnya. Ia

dianggap sebagai guru yang benar-benar berkepribadian

guru; tokoh nativis yang tidak pesimis terhadap

keberhasilan pendidikan, tokoh empiris yang tetap

menaruh perhatian besar terhadap pembawaan.

Walaupun demikian, konsep kepribadian ideal al-

Ghazali lebih cenderung menghasilkan pendidikan yang

beraliran konvergensi, meskipun ketiga aliran tersebut

juga dapat terlihat dari pemikiran-pemikirannya.

SUMBER PUSTAKA:

Husaini, Adian. (2007). Ulama Di Buku Pelajaran.

Harian Republika,

Jumat, 21 Desember 2007.

http://www.republika.co.id/koran_ detail.

asp?id=317533&kat_id=16. Diakses pada tanggal 18

Januari 2007.

Ilyas, R. Marpu Muhidin. (2007). Pendidikan Karakter:

Isu dan Prioritas yang Terabaikan. Tugas Akhir Mata

Kuliah Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Islam. Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

http://kajiislam.wordpress.com/ 2008/01/17/pendidikan-

karakter-isu-dan-priritas-yang-terlupakan/. Diakses pada

tanggal 18 Januari 2008.

Ilyas, R. Marpu Muhidin. (2007). Konsep Kepribadian

Menurut Al-Ghazali dan Erich Fromm: Analisa Teori

Kepribadian Timur dan Barat (Sebuah Pendekatan

Psikologis). Critical Review Thesis. Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

http://kajiislam.wordpress.com/category/tesisku/.

Diakses pada tanggal 18 Januari 2008.

Maulana, Ihsan. (2007). Pendidikan Dalam Kacamata

Al-Ghazali.

http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/12/13/pendidik

an-dalam-kacamata-al-ghazali/. Diakses pada tanggal 28

Januari 2008.

Nata, Abudin. (2003). Pemikiran Para Tokoh

Pendidikan Islam.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rusn, Abidin Ibnu. (1998). Pemikiran Al-Ghazali

Tentang Pendidikan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.