Author
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masa remaja adalah suatu masa dimana individu dalam proses pertum-
buhannya (terutama fisik) telah mencapai kematangan. Periode ini menunjukkan
suatu masa kehidupan dimana kita sulit untuk memandang remaja itu sebagai
anak-anak, namun juga tidak sebagai orang dewasa. Miller (1993) mengatakan …
may be seen in the descriptive label given in this periode of life as a “storm and
stress” period. Pada masa remaja, seseorang mengalami beberapa perubahan,
baik secara fisik maupun secara psikis. Pada masa ini, terjadi perubahan dalam
proses biologis, psikologis, sosiologis, budaya, dan historis (Lerner, 2002).
Eisenstadt (1975:5) memandang remaja secara kultural yang digambarkan
sebagai:
The transition from childhood and adolescence to adulthood, the develop-ment of personal identity, psychological autonomy and self regulation, the attempt to link personal temporal transition to general cultural image and to cosmic rhytms, and to link psychological maturity to the emulsion of definite role models – these constitute the basic elements of any archetypal image of youth. However, the way in which these various elements of any archetypal image of youth. However, the way in which these various element become crystallized in concrete figurations differ greatly from society and within of the same society.
Berdasarkan pemikiran di atas, proses perkembangan yang dialami
remaja merupakan proses pematangan fisik dan pematangan sosial. Masa transisi
yang dialami remaja, menuntut remaja untuk berjuang menemukan jati dirinya,
kemandiriannya, dan self-regulasinya. Mereka hidup bersama orang dewasa, di-
dalam masyarakat orang dewasa, mereka harus menyesuaikan diri dengan
2
kehidupan, dimana pembatasan-pembatasan dan peraturan-peraturan yang berlaku
sering dirasakan remaja sebagai suatu peraturan yang sangat berat.
Bagi kebanyakan remaja, periode ini merupakan periode yang amat
kritis, yang mungkin merupakan the best time atau the worst time. Jika remaja
mampu mengatasi berbagai tuntutan yang dihadapinya secara integratif, maka ia
akan menemukan jati dirinya. Sebaliknya bila gagal, ia akan berada pada krisis
identitas yang berkepanjangan (Miller, 1993).
Dreyer (dalam Archer & Waterman, 1983) mengemukakan bahwa masa
remaja ditandai dengan kapabilitas intelektual yang lebih tinggi seperti logika
formal operasional, penalaran analitis, kognisi sosial, penalaran moral, komitmen
intelektual dan etik. Kesemua pendekatan ini menggambarkan bahwa pemikiran
remaja ditandai oleh peningkatan pemikiran abstrak, mempertimbangkan sudut
pandang yang berbeda ketika berusaha memecahkan masalah, dan menilai secara
logis alternatif-alternatif ketika berusaha mencari jalan keluar dari dilema.
Menurut Marcia (1980), pembentukan identitas merupakan tugas rumit
yang harus diselesaikan secara bertahap, dan tanpa disadari. Masa remaja yang di-
gunakan dalam penelitian ini adalah masa remaja akhir yang dikemukakan oleh
Marcia (dalam Archer 1989), yaitu remaja berusia 18-22 tahun, mereka sudah
memasuki perguruan tinggi, dan berada diantara SEMESTER 1 sampai 5.
Dalam teori epigenetic Erikson (1968), masa remaja berada pada tahap
kelima yaitu identity versus identity diffusion, yang menurut Erikson (dalam
Miller, 1993) dijelask,an bahwa masa remaja merupakan masa terjadinya per-
ubahan fisiologis yang cepat pada dirinya. Perubahan ini disertai dorongan sosial
untuk memenuhi keputusan dalam masalah pendidikan dan kerja, memaksa
3
mereka untuk mempertimbangkan berbagai peran. “The overall task of the
individual is to acquire a positive ego identity as her or he moves from one stage
to the next”. Tugas dasar remaja adalah mengintegrasikan berbagai identifikasi
yang dibawanya dari masa kanak-kanak kedalam situasi identitas yang lebih utuh
(Erikson, dalam Rice,1996).
Bila remaja tidak dapat mengintegrasikan identifikasi dan peran-peran-
nya, ia akan menghadapi ‘kekaburan identitas’ (identity diffusion), memiliki
kepribadian yang labil, tidak memiliki sikap bagi masa depannya, dan bahkan
menunjukkan ketidaktertarikan dalam berbagai hal. Erikson memandang identitas
sebagai suatu konsep integratif antara individu dengan lingkungannya. Menurut
Marcia (dalam Archer,1989), disebutkan bahwa identitas adalah proses dimana
individu menempatkan dirinya dalam dunia sosial.
Masih menurut Marcia (1980), pembentukan identitas secara operasional
dan konkrit didasarkan pada teori psikososial Erikson yaitu individu membuat
suatu komitmen setelah melewati eksplorasi berbagai kemungkinan yang ada.
Komitmen adalah titik kulminasi dari pembentukan identitas.
Remaja harus menetapkan identitas dirinya, siapa saya saat ini, ingin
menjadi apa saya dimasa dewasa nanti. Untuk menetapkan identitas dirinya
remaja harus mencari informasi berbagai alternatif-alternatif pekerjaan untuk
pencapaian status identitas vokasional, dan harus memilih serta menetapkan salah
satu pekerjaan yang menjadi minatnya (komitmen), dengan demikian remaja
tersebut memiliki identitas achievement dalam bidang vokasional.
Ada dua hal yang menentukan apa identitas diri remaja, yaitu eksplorasi
dan komitmen. Menurut Marcia (dalam Archer 1989), eksplorasi identitas adalah
4
aktivitas eksplorasi pada remaja akhir yang mengacu pada aktivitas kognitif dan
tingkah laku. Eksplorasi adalah usaha yang dilakukan remaja akhir secara aktif
untuk mencari dan memahami masalah-masalah yang menyangkut pekerjaan,
agama, dan politik sehingga sampai pada sebuah keputusan.
Archer (1989) mengemukakan bahwa komitmen merupakan titik akhir
dari proses eksplorasi sebagai usaha pembentukan identitas. Komitmen merupa-
kan aktifitas yang relatif tegas dan menarik tentang elemen-elemen identitas
remaja, berperan sebagai pengarah menuju tindakan penuh arti pada sesuatu, yang
dipilih dengan disertai keyakinan, kesetiaan, dan sulit untuk digoyang atau dipe-
ngaruhi. Ketidakadaan komitmen menunjukkan bahwa remaja memiliki komitmen
lemah dan mudah dipengaruhi serta mudah berubah.
Ada empat tipe identitas diri yaitu: 1) confusion/diffusion (tidak melaku-
kan eksplorasi dan tidak membuat komitmen), 2) foreclosure (tidak melakukan
eksplorasi, tetapi membuat komitmen, biasanya hal ini dipengaruhi oleh orang
tua), 3) moratorium (melakukan eksplorasi, tetapi tidak membuat komitmen),
serta 4) achievement (melakukan eksplorasi dan membuat komitmen).
Identitas diatas lebih fokus kepada pekerjaan, karir, sekolah atau prestasi
yang berkaitan dengan materi. Ada pertanyaan yang bisa dimunculkan berkaitan
dengan identitas diri remaja ini, yaitu berkaitan dengan pengalaman remaja
tentang hal yang bersifat spiritual. Spiritual adalah perasaan yang berkaitan
dengan hal-hal yang bersifat gaib yang tidak kasat mata. Sesuatu yang gaib ini
dianggap sebuah realita sehingga manusia harus menemukan identitasnya dalam
hal ini (Kiesling dkk., 2006).
5
Dalam konteks status identitas menurut Marcia, diterangkan bahwa status
identitas ada empat kategori yaitu achievement, moratorium, diffusion, dan
foreclosure. Empat tipe ini bergantung kepada eksplorasi dan komitmen mereka.
Eksplorasi dan komitmen adalah dua proses yang ada dalam pembentukan iden-
titas diri. Apakah mungkin dalam spiritualitas, remaja juga mengalami empat tipe
status identitas ini? Misalnya, remaja yang secara spiritual diffusion, dia tidak
melakukan eksplorasi dan tidak melakukan komitmen dalam pengalaman spi-
ritualitasnya. Pertanyaan diatas adalah yang mendorong dibuatnya proposal pene-
litian ini. Artinya tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah remaja
yang identitas dirinya moratorium, secara spiritual juga memiliki identitas
moratorium? Apakah remaja yang identitas dirinya achievement, secara spiritual
juga memiliki identitas achievement? Apakah remaja yang identitas dirinya
foreclosure, secara spiritual juga memiliki identitas foreclosure? Apakah remaja
yang identitas dirinya diffusion, secara spiritual juga memiliki identitas diffusion?
Kiesling dkk. (2006) menemukan bahwa hanya ada tiga tipe status
identitas spiritual, yaitu achievement, foreclosure, dan moratorium. Orang yang
secara spiritual forclosured merasa bahwa keyakinan mereka ada sebelum mereka
mendalaminya, sehingga mereka merasa mereka terpaksa untuk memeluknya.
Orang yang secara spiritual achieved memiliki keyakinan dan pengalaman yang
berbeda dengan orangtua mereka. Mereka juga merasa telah menemukan
keyakinan dan pengalaman yang benar atau sesuai dengan mereka.
6
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah ada hubungan eksplorasi dan komitmen dengan spiritualitas?
2. Apakah ada hubungan empat status identitas dan spiritualitas dengan
variabel demografis: jenis kelamin, usia, tingkatan kuliah, perasaan
akan pentingnya menjadi religius, perasaan akan pentingnya menjadi
spiritual.
3. Apakah ada perbedaan pengalaman spiritualitas antara remaja dengan
status identitas yang berbeda?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui hubungan status identitas dengan spiritualitas.
2. Mengetahui hubungan status identitas dan spiritualitas dengan variabel
demografis: jenis kelamin, usia, tingkatan kuliah, perasaan akan pen-
tingnya menjadi religius, perasaan akan pentingnya menjadi spiritual.
3. Mengetahui perbedaan pengalaman spiritualitas antar remaja dengan
status yang berbeda.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat bagi Pengembangan Teori
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengayaan
teori psikologi perkembangan dan psikologi remaja.
2. Manfaat Praktis
Apabila penelitian ini berhasil menemukan gambaran status identitas dan
spiritualitas pada remaja, maka manfaatnya bisa diaplikasikan dalam pembinaan
7
remaja oleh Guru Konselor atau Psikolog di sekolah-sekolah jenjang SMU/SMK
sehingga aspek spiritualitas remaja berkembang ke arah status identitas
achievement.
���
8
BAB II
STATUS IDENTITAS DAN SPIRITUALITAS REMAJA AKHIR
A. TUGAS PERKEMBANGAN DAN KARAKTERISTIK REMAJA AKHIR
Para ahli perkembangan membagi masa remaja menjadi beberapa fase.
Rentang usia remaja dapat berbeda-beda tergantung pada latar belakang sejarah
dan budaya (Santrock, 2007), tetapi di Amerika dan kebanyakan budaya pada saat
ini, usia remaja dimulai pada usia 10/13 tahun dan berakhir antara usia 18/22
tahun. Monks, Knoers, dan Haditono (1999) mengemukakan, secara global masa
remaja berlangsung antara usia 12 sampai dengan 21 tahun, dengan pembagian
yaitu: masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun),
dan masa remaja akhir (18-21 tahun).
Pada masa remaja ini, ada sejumlah ciri yang membedakan remaja
dengan masa perkembangan yang lain. Hurlock (1980) mengungkapkan ciri-ciri
masa remaja, yaitu: (1) masa remaja sebagai periode yang penting, (2) masa
remaja sebagai periode pealihan, (3) masa remaja sebagai periode perubahan,
(4) masa remaja sebagai usia bermasalah, (5) masa remaja sebagai masa mencari
identitas, (6) masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, (7) masa
remaja sebagai masa yang tidak realistik, dan (8) masa remaja sebagai ambang
masa dewasa.
Khusus pada remaja akhir, Pikunas (dalam Agustiani, 2006) mengemuka-
kan adanya tujuh tugas-tugas perkembangan yang penting dan harus dilalui secara
baik, dimana empat diantaranya adalah: (1) mencapai kemandirian emosional dari
9
orangtua dan figur-figur otoritas, (2) menemukan model untuk identifikasi, (3)
menerima diri sendiri, mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada
pada dirinya, (4) memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-
prinsip yang ada.
Dimjati (2000:152-153) menambahkan, pada masa remaja akhir, sese-
orang memperoleh keseimbangan kembali dalam hidupnya. Ia mulai membuat
rencana hidup yang akan dijadikan pedoman dalam perbuatan selanjutnya untuk
mencapai cita-citanya. Pada masa ini, remaja akhir telah mengetahui apa yang ia
kehendaki, cita-cita mana yang akan dicapai, dan nilai hidup mana yang menjadi
pedoman hidupnya. Oleh karena itu, norma-norma yang telah mereka alami
sangat menentukan untuk pilihan norma mana yang akan diteruskan.
B. IDENTITAS DIRI (EGO IDENTITY)
Erikson (1958, 1959, 1963, 1968, 1969) merupakan orang yang pertama
kali memperkenalkan krisis identitas (identity crisis). Istilah ini dikemukakannya
bahwa ”Identity as the general picture one has of oneself” dan juga “identity as a
state toward which one strive”. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Miller (1993) bahwa dalam tugas perkembangan remaja, identitas merupakan
struggle of adolescence. Remaja harus berjuang mempelajari perilaku-perilaku
baru, ide-ide baru mengenai dirinya dan orang lain, membuat keputusan yang
penting yang akan berpengaruh terhadap kehidupannya.
Membuat keputusan merupakan hal yang penting dalam pencapaian
identitas, untuk itu remaja harus berani mengambil keputusan yang sesuai dengan
10
apa yang mereka yakini. Atas dasar itu maka peluang-peluang untuk memainkan
peran sosial baru, terbuka luas.
Bagi remaja identitas dapat dipandang sebagai hasil coba-coba yang
pada akhirnya mereka dapat menetukan peran mana yang paling cocok bagi
dirinya. Apabila mereka menemukan perannya dalam membuat suatu keputusan,
maka ia disebut telah mencapai sence of identity. Erikson (dalam Dacey,
1997:185) mengemukakan ” if you were in state of identity, the various aspect of
your self-concept would be in agreement other, they would be identical.”
1. Pembentukan Identitas Diri
Marcia (1993) mengemukakan bahwa pembentukan identitas merupakan
peristiwa besar dalam perkembangan kepribadian. Peristiwa ini terjadi selama
masa remaja akhir, dan merupakan tanda akhir dari masa kanak-kanak, serta
diawalinya masa kedewasaan seseorang. Pembentukan identitas merupakan
sintesis berbagai keterampilan, keyakinan, dan identitas masa kanak-kanak men-
jadi bentuk keseluruhan yang unik dan mantap yang memberi ciri memadukan
berlangsungnya masa lampau dan merupakan arah menuju masa depan.
Pembentukan identitas merupakan proses yang rumit, mencakup komit-
men terhadap orientasi seksual, penetapan ideologi dan pekerjaan. Proses pem-
bentukan berjalan bertahap, tidak disadari, dan mungkin dianggap hal yang biasa.
Awal pembentukan identitas terjadi/diawali saat bayi mengenal ibunya dan
merasa dikenali ibunya, dan hal ini berlangsung selama rentang kehidupan dan
mencapai krisisnya pada masa remaja (Miller, 1993). Pada masa remaja dia harus
menyesuaikan pengalaman-pengalaman dan memori masa kanak-kanak dengan
11
realitas sekarang sebagai seorang pemuda yang matang, bukan sebagai kanak-
kanak.
a. Eksplorasi
Menurut Marcia (dalam Archer, 1994), eksplorasi identitas adalah
aktivitas eksplorasi pada remaja akhir yang mengacu pada aktivitas kognitif dan
tingkah laku. Eksplorasi adalah usaha yang dilakukan remaja akhir secara aktif
untuk mencari dan memahami masalah-masalah yang menyangkut pekerjaan,
agama, dan politik sampai pada keputusan. Exploration (crisis) pertains to the
examination of alternatives with the attention of establishing a firm of
commitment in the near future (Archer dalam Marcia, 1993:178).
Erikson (dalam Dacey, 1997:185), mengemukakan bahwa identity as a
state toward which one strives. Remaja harus berusaha secara proaktif mencari
berbagai informasi atau inisiatif dan motivasional dari dalam dirinya sendiri, serta
harus dapat mempertimbangkan berbagai informasi yang dia peroleh dan
memutuskan mana yang terbaik bagi dirinya atas dasar keyakinan pribadi.
b. Komitmen identitas
Archer (1994) mengemukakan bahwa komitmen merupakan titik akhir
dari proses eksplorasi sebagai usaha pembentukan identitas. Waterman (dalam
Archer, 1994:164) mengemukakan “commitment involves making a relativity firm
choice about identity elements and anganging in significant activity directed
toward implementation of that choice”.
Komitmen merupakan aktifitas yang relatif tegas dan menarik tentang
elemen-elemen identitas remaja, berperan sebagai pengarah menuju tindakan
12
penuh arti pada sesuatu yang dipilih dengan disertai keyakinan, kesetiaan, dan
sulit untuk digoyang atau dipengaruhi. Ketidakadaan komitmen menunjukkan
bahwa remaja memiliki komitmen lemah dan mudah dipengaruhi serta mudah
berubah.
c. Status Identitas
Berdasarkan pada gagasan teoritik Erikson mengenai pembentukan
identitas pada masa remaja, Marcia (1960, 1980) adalah orang pertama yang
menggunakan istilah status identitas. Marcia percaya bahwa dalam pembentukan
identitas ada dua faktor yang sangat esensial yaitu “crisis and commitment”.
Untuk pilihannya Marcia mengajukan empat kemungkinan kategori ‘status’, dua
status (Achievement dan Moratorium) merupakan status yang lebih tinggi dan
kompleks daripada dua status yang lain (Diffusion dan Foreclosure). Kategori
tersebut digambarkan dalam sebuah kuadran sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kategori Status Identitas
13
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Status Identitas Diffusion
Identity confusion/diffusion. “No crisis has been experienced, but
commitment have been made” (Tidak melakukan eksplorasi, dan tidak mem-
buat komitmen). Waterman (1988) menyatakan bahwa klasifikasi ini tidak
menyatakan bahwa individu yang memiliki identitas diffusion tidak punya
identitas tapi hanya pikiran atau gagasan mereka secara kebetulan tertahan
dan perasaan identitas mereka hanya mempunyai peran yang tidak besar
dalam mengarahkan mereka di berbagai bidang. Ada kesepakatan antar para
pemerhati status identitas bahwa ada beberapa subtipe dalam staus identitas
diffusion, tapi secara sistematis subtipe belum bisa dijelaskan (Waterman,
1988;192). Sekalipun beda subtipe tapi mereka pada dasarnya memiliki level
perkembangan yang sama (Marcia, 1980; Waterman, 1988).
2. Status Identity Foreclosure
“No crisis has been experienced, but commitment have been made,
usually forced on the person by the parent” (Tidak melakukan eksplorasi,
tetapi membuat komitmen, biasanya hal ini dipengaruhi oleh orang tua). Indi-
vidu dengan status ini memiliki komitmen yang kuat akan keyakinan-
keyakinannya tapi tidak banyak membuat alternatif dalam keyakinan-
keyakinannya. Keyakinan yang dipegang kuat atau diberi komitmen yang
tinggi biasanya adalah keyakinan yang pertama dipegang dan datang dari
keluarga. Orang ini menjaga komitmennya karena merasa mendapat reward
dan memperoleh arti sehingga tidak ada keinginan untuk mempertanyakan
14
nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan keyakinan yang dipegang. Ada beberapa alasan
lain mengapa mereka kurang melakukan refleksi adalah a) karena dia tidak
membayangkan keyakinan itu bisa dipertanyakan, b) karena masyarakatnya
tidak memberikan pilihan lain, c) karena menurutnya tantangan tidak harus
datang dengan menentang keyakinan orang tua (Waterman 1988). Menurut
beberapa penelitian orang dengan identitas ini sangat konformis dengan
masyarakat (Baumeister, 1986).
3. Status Identity Moratorium
“Considerable crisis is being experienced, but no commitment are yet
made” (Melakukan eksplorasi, tetapi tidak membuat komitmen). Orang de-
ngan status identitas ini banyak melakukan pencarian terhadap banyak pilih-
an keyakinan, nilai-nilai, dan tujuan tapi tidak secara penuh berkomitmen
terhadap satu keyakinanpun. Individu dengan identitas moratorium dianggap
berada dalam krisis. Krisis ini ditunjukkan dengan banyaknya melakukan
eksplorasi pemikiran, kesadaran, dan intelektual terhadap elemen-elemen
identitas dan ditandai dengan memiliki perilaku yang banyak berhubungan
dengan orang-orang lain. Tingkat kecemasan dan jumlah pilihan dalam krisis
ini sangat berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Marcia (1980)
menemukan bahwa orang yang moratorium memiliki kecemasan dan ke-
bebasan yang tinggi.
4. Status Identitas Achievement
. “Numerous crisis have been experienced and resolved, and relatively
permanent commitment have been made” (Melakukan eksplorasi dan mem-
15
buat komitmen). Identitas ini tidak diteorikan sebagai identitas yang per-
manen, tetap, dan tidak tergantikan, tapi identitas ini adalah identitas terkini
yang dimiliki individu. Keadaan dimana keyakinan, tujuan, dan keyakinan
dirasakan nyaman dan bermakna bagi dirinya dan dorongan untuk berubah
tidak diberi ruang untuk terjadi (Marcia, 1980). Orang yang achievement
cenderung lebih reflektif dan memiliki stress yang rendah.
Orang-orang yang ketika diukur memiliki salah satu empat status
identitas itu, tidak berarti selamanya akan memiliki status identitas itu. bisa
jadi status identitas mereka berubah menjadi lebih baik atau menjadi lebih
buruk atau mengalami penurunan. Ada tiga kemungkinan untu setiap status
identitas. Untuk orang yang memiliki status diffusion: (a) bisa saja mening-
kat usaha eksplorasi sehingga berubah ke status diffusion (D→M), (b) bisa
berubah dengan menerima atau melakukan komitemen terhadap alternatif
awal dan berubah menjadi foreclosure (D→F), atau (c) akan tetap dalam
status diffusion (D→D). Status foreclosure: (b) bisa mulai mempertimbang-
kan atau merubah komitmen yang dipegangnya semula (F→M), (b) tetap
menjadi foreclosure (F→F), atau (c) turun ke status diffusion jika dia tidak
melakukan komitmen yang baru untuk mengganti komitmen yang sebelum-
nya. Untuk morartorium: (a) bisa meningkatkan komitmennya sehingga men-
jadi achievement (M→A), (b) bisa saja berhenti melakukan eksplorasi
sehingga menjadi diffusion (M→D), atau (c) menghentikan eksplorasi alter-
natif sehingga menjadi diffusion (M→D). Untuk identitas achievement: (a)
bisa tetap mempertahankan identitasnya (A→A), (b) memikirkan kembali
16
komitmen sebelumnya dan mulai eksplorasi yang baru sehingga menjadi
moratorium (A→M), atau (c) atau jatuh ke status diffusion jika tidak me-
nemukan komitmen yang baru. (A→D) (Waterman, 1982). Status identitas
menurut banyak penelitian sebelumnya seperti self esteem dan kemandirian.
C. SPIRITUALITAS
Ada tiga peteori utama mengenai spiritualitas yang menggambarkan
proses spiritualitas. Pertama, James W. Fowler (1981), Daniel Helminiak (2001),
dan Ken Wilber (2000). Fowler (1981) menciptakan model perkembangan spirit-
ualitas berdasarkan kepada model ego, moral, kogntif, dan perkembangan
psikososial, serta melakukan penelitian empiris. Helminiak (2001) juga men-
dasarkan teori perkembangan spiritualnya kepada teori perkembangan manusia
dan teologi, tetapi tidak melakukan penelitian empiris. Wilber (2000)
menciptakan modelnya dengan melakukan penggabungan model-model yang ada
sebelumnya dalam spiritual (termasuk Fowler dan Helminiak), juga berdasarkan
kepada bidang filsafat, mistik, dan perkembangan. Dalam penelitian ini
difokuskan hanya kepada teori yang dikembangkan oleh Fowler (1981).
a. Teori Fowler
James Fowler sangat dikenal di bidang kepercayaan dan spiritual. Fowler
pada awalnya mengikuti model perkembangan psikososial Erikson, tapi kemudian
menggabungkan aspek-aspek perkembangan struktural Kohlberg dan Piaget
dalam membentuk penalaran kognisi dan moral (Fowler, 1981). Menurut model
17
strukturalis, pendewasaan struktur secara bertahap mendorong perubahan kuali-
tatif dalam proses berfikir seseorang.
Di bidang teologis, dia sangat mengikuti teologi multidimensional
Richard Niebuhr. Bagi Niebuhr (1989), kepercayaan tidak terbatas pada konteks
religius. Niebuhr menjelaskan bahwa struktur relasional kepercayaan, di samping
mengenai ikatan kepercayaan dan kesetiaan antara orang dan kelompok yang
bersedia menyertakan dirinya untuk terlibat dalam sebuah kelompok yang
memiliki nilai dan kekuatan yang sama.
Teori Fowler terbentuk melalui penelitian empiris yang bersumber dari
259 wawancara dengan anak-anak dan orang dewasa, yang awalnya dilakukan di
Amerika (Fowler, 1981; Fowler & Dell, 2004). Persentase perbedaan jenis
kelamin responden adalah setara (50% laki-laki dan 50% perempuan). Namun
pemeluk agamanya kurang seimbang dalam mewakili populasi Amerika. Dalam
sampel awalnya, yang beragama Protestan sebanyak 45% subyek, 36,5% Katolik,
11,2% Yahudi, 3,6% Kristen Ortodoks, dan 4,6% yang lain-lainnya (Fowler &
Dell, 2004).
Fowler (1981) mendasarkan modelnya tentang kepercayaan karena dia
meyakini bahwa kepercayaan, dibanding dengan keimanan atau agama, adalah
kategori yang paling fundamental dalam pencarian orang berkaitan dengan hal
yang transenden. Kepercayaan, secara umum merupakan istilah universal bagi
semua manusia, yang di mana-mana memiliki kemiripan, sekalipun bentuk dan isi
praktisnya sangat beragam.
Fowler mengembangkan teori tentang tahap perkembangan dalam ke-
yakinan seseorang (stages of faith development) sepanjang rentang kehidupan
18
manusia. Menurutnya, kepercayaan merupakan orientasi holistik yang menun-
jukkan hubungan antara individu dengan alam semesta. Perkembangan tahap
spiritualitas yang dia teorikan dia yakini pasti dialami oleh manusia. Selain itu dia
menyatakan bahwa penentuan tahap perkembangan spiritual seseorang tidak ber-
kaitan dengan penilaian terhadap kepercayaan seseorang (Fowler & Dell, 2005).
Tahap awal spiritual Fowler adalah tahap awal yang terjadi mulai dari
bayi dalam kandungan sampai usia dua tahun. Kepercayaan yang samar adalah
ciri “mutualitas dan kepercayaan/trust” atau “tidak adanya kepercayaan” yang
berkembang dalam tahap ini; yang mengendalikan perkembangan kepercayaan
(Fowler 1981). Selama periode ini, perkembangannya lebih kepada neurologis
dan fisikal dibanding dengan tahap-tahap lainnya. Masa transisi ke tahapan
selanjutnya bermula ketika bayi mulai menggunakan bahasa, cerita, dan
permainan ritual (Fowler, 1981).
Teori perkembangan spiritual Fowler terbagi atas enam tahap, yaitu (a)
kepercayaan intuitif-proyektif (intuitive-projective faith) yang terjadi pada masa
anak-anak awal, usia 2 sd. 6 tahun; (b) kepercayaan mitikal-literal (mythic-literal
faith) terjadi pada masa anak-anak akhir, usia 7 sd. 11 tahun; (c) kepercayaan
sintetik konvensional (synthetic-conventional faith) terjadi pada masa remaja, usia
12 sd. 20; (d) kepercayaan individuatif-reflektif (individuation/ reflective faith)
terjadi pada masa dewasa awal, usia 20 sd. 40; (e) kepercayaan konjungtif
(conjungtive faith) terjadi pada masa dewasa hingga tua, usia 40 sd. 60 tahun; dan
(f) kepercayaan universal (universalizing faith) terjadi pada masa tua hingga
meninggal, usia lebih dari 60 tahun.
19
Pada tahap pertama, kepercayaan intuitif-proyektif (usia anak-anak awal
atau 2-6 tahun), masih terdapat karakter kejiwaan yang belum terlindungi dari
ketidaksadaran. Anak masih belajar untuk membedakan khayalannya dengan
realitas yang sesungguhnya. Anak-anak dalam tahapan ini menggabungkan
elemen-elemen cerita dan gambar yang mereka terima dari lingkungannya yaitu
keluarga dan budaya, untuk menciptakan cara imajinatif mereka sendiri gambaran
tentang Tuhan dan apa yang dia takutkan (Fowler, 1981). Hal ini juga terjadi
waktu di mana pemerolehan makna didasarkan kepada pengamalan emosional dan
perseptual mulai muncul sebagai peningkatan penguasaan dan penggunaan bahasa
(Fowler & Del, 2004). Selain itu anak-anak pada tahap ini mulai mengalami
pengalaman eksistensial berkaitan dengan kematian dan bahaya, kurang mampu
mengambil persepktif yang sederhana, dan tidak bisa membedakan antara fantasi
dan realitas. Dalam tahap ini perasaan yang dalam kepada kepercayaan atau
perkembangan religius dapat terinternalisasi dan bertindak sebagai agen yang
memberi informasi secara positif atau negatif di sepanjang hidup.
Pada tahap kedua, kepercayaan mythikal-literal (usia sekolah, 7-12
tahun), seseorang telah mulai mengembangkan kepercayaan yang kuat dalam
kepercayaannya. Anak juga sudah mengalami prinsip saling ketergantungan
dalam alam semesta, namun ia masih melihat kekuatan kosmik dalam bentuk
seperti yang terdapat pada manusia (anthropomorphic). Dalam tahap ini, anak
mengekspresikan pemaknaan dan pemahaman melalui cerita dan dongeng, karena
mereka mencoba membedakan mana yang nyata dan mana yang harus dipercayai.
Dalam tahapan ini, keyakinan, moral, dan simbol dimaknai dengan cara inter-
pretasi literal. Pandangan sederhana mulai muncul, tapi kemampuan mengenali
20
perasaan, sikap, dan pengendalian diri belum berkembang (Fowler & Del, 2004).
Selain itu, pandangan mereka tentang Tuhan (kekuatan yang lebih besar) bekerja
dalam konteks peraturan atau orang tua yang menerapkan keadilan dan hukuman.
Faktor pertama yang membawa kepada tahap ketiga adalah kontradiksi dalam
cerita-cerita yang memancing pemikiran atas makna-makna.
Pada tahap ketiga, kepercayaan sintetik-konvensional (usia remaja), se-
seorang mengembangkan karakter kepercayaan terhadap kepercayaan yang di-
milikinya. Ia mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain di sekitarnya,
namun masih terbatas pada sistem kepercayaan yang sama. Sekalipun tahap ini
muncul ketika remaja, bisa saja akan menetap dan permanen di sepanjang masa
dewasa jika keseimbangan dalam tahap ini tidak pernah terganggu (Fowler, 1981).
Menurutnya (1981) tahap tiga adalah sebuah tahap konformitas dimana mereka
sangat menuntut harapan dan penilaian yang kuat dari oang lain dan belum cukup
jelas identitas dan penilaian mandiri mereka untuk membangunn dan menjaga
pandangan yang independen.
Dalam tahap sintetis-konvensional, pandangan interpersonal mulai mun-
cul. Kapasitas untuk menilai pandangan orang lain, dan khususnya teman sebaya
mereka, dapat membuat remaja sangat sensitif dengan pandangan orang lain.
Pada tahap keempat, kepercayaan individuatif-reflektif (usia dewasa),
merupakan tahap percobaan dan pergolakan, dimana individu mulai mengem-
bangkan tanggung jawab pribadi terhadap kepercayaan dan perasaannya. Individu
memperluas pandangannya untuk mencapai jalan dalam kehidupannya. Diri
(identitas) dan pandangan berbeda dengan orang lain dan menjadi faktor utama
dalam mereaksi, menginterpretasi, dan menilai tindakan diri sendiri atau orang
21
lain. Menurut Fowler, ada dua faktor penting yang menandai tahapan ini.
Pertama, individu harus mampu merefleksikan secara kritis keyakinan, nilai, dan
komitmen yang telah dibentuk pada tahap sebelumnya, sintetik-konvensional.
Kedua, individu harus berjuang di sepanjang masa moratorium (mengambil istilah
Marcia) untuk mengembangkan identitas diri yang didasarkan kepada kemampuan
untuk berfikir secara independen pandangan-pandangan yang ditanam sebelum-
nya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama tahapan ini sama dengan per-
tanyaan eksistensial yang dihadapi oleh individu selama moratorium: Siapa kamu
jika kamu bukan anak, siswa, teman, pekerja, dan seterusnya? Semua keyakinan
yang dipegang sebelumnya dipertanyakan, keyakinan dan kepercayaan lain mulai
dilihat untuk mempertimbangkan kemungkinan apakah nilai-nilai tersebut layak
dipegang. Setelah terjadi eksplorasi ini, kepercayaan awal individu bisa saja di-
tinggalkan atau ditolak, tapi jika dipertahankan, maka akan disertai dengan pilihan
intensional (Fowler & Dell, 2004). Pengalaman spiritual remaja pada tahap ketiga
dan sebagian tahap keempat akan diteliti dalam penelitian ini.
Pada tahap kelima, kepercayaan konjungtif (dewasa hingga tua), sese-
orang mulai mengenali berbagai pertentangan yang terdapat dalam realitas keper-
cayaannya. Terjadi transendensi terhadap kepercayaan dibalik simbol-simbol yang
diwariskan oleh sistem. Tahap ini menggabungkan diri dan pandangan-pandangan
yang banyak menekan dan tidak dikenali dalam beradaptasi dengan realitas secara
afektif dan kognitif yang ada pada tahap empat. Tahap ini dicirikan dengan
kematangan dan pola pikir dewasa yang mampu melihat kebenaran di semua jenis
kepercayaan dan pandangan serta memiliki kemampuan, keinginan, dan keter-
bukaan untuk ikut serta berdiskusi dengan kepercayaan lain yang berbeda untuk
22
memantapkan perkembangan dan pemahaman (Fowler & Dell, 2004). Gambaran
singkatnya tahap ini adalah kemampuan untuk menghadapi dan memahami
paradoks di sepanjang hidup. Pemahaman ini seringkali memunculkan keinginan
untuk berhubungan dengan Tuhan (atau kekuatan yang lebih tinggi) dengan cara-
cara yang baru dan berbeda.
Pada tahap keenam, kepercayaan universal (usia tua hingga meninggal),
terjadi sesuatu yang disebut pencerahan. Manusia mengalami transendensi pada
tingkat pengalaman yang lebih tinggi sebagai hasil dari pemahamannya terhadap
lingkungan yang konfliktual dan penuh paradoksial. Orang yang pada tahap ini
melihat semua orang sebagai makhluk yang harus ditolong dan diasuh, tidak per-
duli jenis kelamin, etnis, usia, kelas sosial, agama, keyakinan politik, dan status
ekonominya. Dia datang sebagai rahmatan lil alamin (mengambil istilah Islam).
Orang ini tetap hidup sebagai manusia yang memiliki keterbatasan dan inkon-
sistensi, tapi keinginan dan tindakannya sangat berbeda yaitu melihat semua orang
bahagia. Tahap enam ini dianggap luar biasa, hanya beberapa orang saja yang
mencapai tahapan ini, seperti Gandhi, Martin Luther King, dan Ibu Teresa
(Fowler, 1981). Menurut Fowler, kebanyakan manusia berhenti pada tahap 4, dan
kebanyakan tidak pernah mencapai tahap 5 dan tahap 6 (Hasan, 2006: 298).
b. Teori Daniel Helmeniak
Daniel Helmeniak juga sangat berpengaruh di bidang perkembangan
spiritual. Dia seorang mantan pendeta, pendidik, professor dan filosuf yang minat
terkininya adalah perkembangan spiritual homoseksual. Helmeniak (1987) men-
dasarkan model perkembangan spiritualnya pada model perkembangan ego
23
Loevinger dan model perkembangan kepercayaan Fowler. Helmeniak (1987)
menyatakan, teori perkembangan Fowler dan Loevinger mencakup aspek-aspek
perkembangan manusia yang sangat luas dan pengantar yang jelas tentang empat
karakteristik perkembangan spiritual yang dia ciptakan tidak bertentangan dengan
teori keduanya, tapi melengkapi dan menegaskan teori Fowler dan Loevinger. Dia
meyakini bahwa perkembangan spiritual harus dilihat dengan kacamata yang
sama dengan model perkembangan lain seperti perkembangan ego dan perkem-
bangan moral.
Helmeniak (1987) mendefinisikan perkembangan spiritual dengan empat
karakteristik: 1) prinsip intrinsik transendensi-diri yang otentik, 2) keterbukaan
subyek terhadap prinsip ini, 3) integritas atau keutuhan subyek dalam bertanya,
dan 4) seorang dewasa yang kritis dan tanggung jawab. Love (2002) lebih jauh
menjelaskan bahwa yang dimaksud Helemeniak “otentik” adalah orang yang
selalu berkomitmen untuk terbuka, bertanya, jujur, dan memiliki niat yang baik”.
Seperti Fowler, Helmeniak (1987) menyatakan spiritualitasnya bukan sebuah
fenomena agama, tapi sebuah fenomena manusia. Dia menyadari bahwa Tuhan
adalah sentral dalam spiritualitas sebagian besar orang, tapi dia menekankan
bahwa spiritualitas adalah komponen dasar manusia dan beragam agama hanyalah
beragam cara dalam mengekspresikannya (Helmeniak, 1996).
Helmeniak (1987) menjelaskan dalam beberapa kesempatan bahwa per-
kembangan spiritual hanya fenomena orang dewasa. Dia memberi penjelasan
bahwa level perkembangan, bukan usia kronologis, yang membedakan apa yang
dimaksud dengan “dewasa”. Titik awal perkembangan spiritual adalah “tahap
24
konformis”. Tahap ini dicirikan dengan perasaan yang mendalam dan pandangan
yang sangat rasional, menerima dasar otoritas eksternal dan didukung oleh pene-
rimaan orang lain. Ciri ini menyebabkan adanya keterbukaan kepada konsep
bahwa remaja dapat mengalami pengalaman spiritual.
Teori spiritual Helmeniak mencakup lima tahap: Conformist, Conscien-
tious/Conformist, Conscientious, Compassionate, dan Cosmic. Helmeniak
(1987:78) percaya bahwa “perkembangan spiritual bisa muncul jika mulai me-
ninggalkan Tahap Konformis (teori Loevinger, 1976) atau Synthetic-Conventional
(teori Fowler, 1981), tapi perpindahan tahap itu sulit dan beresiko. Menurut teori
Helmeniak perpindahan ini idealnya terjadi di masa dewasa awal, tapi jarang
sekali terjadi ada pengabaian spiritual hingga usia baya.
Jarang juga terjadi orang terus berada pada Tahap Conformist atau
Synthetic Convenstional atau terus berada pada level transisi (Conscienti-
ous/Conformist) atau Self Aware (Loevinger) atau Tahap 3 dan 4 di sepanjang
hidupnya. Tahap ini dicirikan dengan kemampuan seseorang untuk memegang
teguh agama warisan dan mulai mempertanyakan dan mengambil tanggung jawab
atas tindakan dan keyakinan. Menurut Love (2002:361-362) dua tahap ini me-
wakili pengalaman remaja yang bergerak dari tahap pencarian pengakuan dan
pengarahan dari lingkungan eksternal dalam pembuatan pemaknaan menuju
kesadaran diri dan kebebasan diri.
c. Ken Wilber: Model Integral
Ken Wilber bagi banyak orang dikenal sebagai pendiri Psikologi Trans-
personal (Bidwell, 1999) dan juga sangat berpengaruh di bidang perkembangan
25
spiritual. Sekalipun dianggap memiliki pandangan filosofis yang sangat kuat, dia
telah memancing pendukung dan kritikus sekaligus terhadap karya-karyanya.
Model integral Wilber adalah sebuah model yang kompleks yang menggabungkan
beberapa model dari beberapa bidang dan dikumpulkan menjadi lima bagian:
kuadran, garis, tipologis, kondisi, dan level/tahap (Wilber, 2000).
Wilber menjelaskan bahwa tidak hanya ada satu garis perkembangan
seperti ego atau kognitif, tapi ada sekitar dua lusin garis seperti kognisi, moralitas,
kreativitas, emosi, ego, identitas kelamin, dan spiritualitas dan tidak ada satu
garispun yang bisa diklaim lebih berpengaruh daripada yang lainnya. Menurut
Wilber, garis-garis ini relatif independen, yang berarti bahwa bagi sebagian besar
orang dapat saling berkembang satu sama lain, pada level yang berbeda, dengan
dinamika yang berbeda, dan pada waktu yang berbeda. Pada dasarnya orang bisa
memiliki taraf tinggi secara kognitif, sedang pada kreativitas, dan rendah secara
emosional pada saat yang sama. Sekalipun masing-masing garis independen, tapi
garis-garis itu saling berhubungan.
Wilber (2000) mengambil kesimpulan bahwa sebagai manusia, orang
bisa sampai ke tahap yang berbeda pada garis perkembangan yang berbeda, bisa
juga mengalami kondisi yang mengkhawatirkan atau luar biasa (seperti peng-
alaman hampir mati) pada setiap tahap kehidupan. Dia menjelaskan bahwa “cara
kondisi atau realitas itu dialami dan diinterpretasi tergantung kepada sejauhmana
tingkat perkembangan orang itu mencapai pengalaman puncak. Dengan kata lain,
anak usia 15 tahun bisa memiliki pengalaman spiritual puncak tapi akan
memahami dan menginterpretasinya dari orang yang dominan baginya yang
26
memiliki tahap perkembangan yang lebih stabil. Teori ini membuka peluang bagi
remaja untuk memiliki pengalaman spiritual yang lebih tinggi yang mungkin tidak
dialami oleh orang yang sudah sampai kepada tahap spiritual yang lebih atas.
D. SPIRITUALITAS REMAJA
Spiritualitas remaja, menurut Fowler (1981), berada dalam tahap tiga
atau synthetic-conventional faith. Dalam tahapan ini yang dimulai pada masa
remaja, keyakinan remaja bisa menjadi permanen pada masa dewasa jika tidak
ada tantangan atau hambatan dalam masa remaja. Menurut Fowler (1981) tahapan
ketiga ini adalah tahapan seorang yang konformis. Remaja menjalani keyakin-
annya karena ada tuntutan dan penilaian orang lain dan belum memiliki pegangan
yang kuat sebagai individu yang mandiri yang menjadi identitas dirinya. Dalam
tahapan ini pandangan interpersonal sangat kuat sekali mengambil peran.
Pandangan orang lainlah yang menjadi dorongan mereka menjalani keyakinannya,
khususnya teman sebayanya. Nilai-nilai yang dimiliki teman-temannya sangat
mengusik remaja untuk memilikinya dan menerapkan nilai-nilai yang dimiliki
oleh para temannya (Fowler & Dell, 2004). Keadaan ini membuat para remaja
sangat tergantung kepada orang lain, kepada keyakinan dan prinsip-prinsip yang
dimiliki dan dijalankan oleh orang lain, terutama teman sebaya. Mereka melaku-
kan ini sebagai afirmasi identitas mereka (Fowler & Dell, 2004).
Jika dilihat dari pandangan teori status identitas, maka teori Fowler ini
masuk dalam status identitas foreclosure karena remaja membuat sebuah komit-
men untuk menjalankan keyakinannya dikarenakan ada faktor luar, baik oleh
orangtua atau teman sebaya, tanpa ada sebuah pencarian atau eksplorasi tentang
27
keyakinan atau spiritualitasnya. Mereka menjalankan keyakinan karena sudah
menjadi mafhum bahwa remaja harus menjalankannya tanpa harus ada bantahan
atau sifat kritis. Remaja yang foreclosure memiliki sebuah ideologi tapi tidak
pernah ada keinginan untuk mengkritisi ideologinya, bahkan tidak sadar akan
ideologi yang dia miliki.
Selain itu, Fowler (1981) meyakini bahwa banyak literatur mengenai
konversi remaja yang mengatakan bahwa dorongan religius remaja adalah untuk
mengenal Tuhan yang mengetahui, menerima, dan menasbihkan dirinya begitu
dalam, dan yang menjadi penjamin pasti dirinya dengan pembentukan mitos
identitas dan keyakinan personal. Dorongan ini juga dapat dikaitkan dengan
pengalaman seseorang dalam hal perasaan saling terikat dan percaya, positif atau
negatif, selama berada dalam tahapan keyakinan yang mantap. Transisi menuju
tahap keempat terjadi ketika ada perkembangan keyakinan atau ada potensi untuk
menjadi keyakinan yang menetap, yang merupakan sebuah proses sadar dan aktif.
Fowler (1981) mengatakan bahwa akan terjadi masa transisi ke tahapan keempat
jika nilai, norma, dan keyakinan remaja mulai tertantang atau terhalangi, atau
ketika status foreclosure remaja mulai berbenturan atau bertentangan dengan
pengalaman baru. Seringkali pengalaman berada di luar rumah, baik secara fisik
atau psikis, atau kedua-duanya, bisa membangkitkan eksplorasi diri, latar
belakang, dan nilai yang mendorong menuju kepada tahapan transisi (Fowler,
1981). Sekali lagi merujuk kepada teori status identitas Marcia (1966, 1980),
proses ini akan menjadi transisi ke arah status moratorium yang terjadi pada
permulaan eksplorasi personal, spiritual, dan psikologis yang mendalam.
28
E. TEMUAN TEORITIS DAN EMPIRIS HUBUNGAN IDENTITAS DAN SPIRITUALITAS
Para pencipta teori perkembangan seperti Erikson (1950), Fowler (1981),
Lerner dkk. (2003), Lerner & Alberts, dkk. (2005), Marcia (1980); semua
menyatakan bahwa sangat mungkin pada remaja untuk melakukan eksplorasi dan
komitmen kepada ideologi dan nilai-nilai seperti spiritualitas. Sebaliknya,
Helmeniak (1996) menyatakan bahwa spiritualitas tidak akan muncul sampai
masa dewasa. Selain itu, Lerner, Alberts dkk. (2005), Fowler (1981), Helmeniak
(1996), serta Wilber (2000) setuju bahwa seperti perkembangan identitas, spiritu-
alitas adalah perilaku manusia yang sangat jelas keberadaannya.
Satu cara untuk menghubungkan antara status identitas dan spiritualitas
adalah mengambil model status identitas Marcia dan mengaplikasikannya ke
dalam domain spiritualitas. Penelitian sebelumnya yang melakukan ini dalam
menghubungkan antara status identitas dan domain spiritualitas adalah penelitian
Griffith dan Griggs (2001) yang menulis artikel teoritis yang berjudul “Religious
Identity Status as a Model to Understand, Assess, and Interact with Client
Spirituality”. Kedua peneliti ini mengambil empat kategori identitas status dan
menerapkan kerangka konseptual yang didefinisikan dengan eksplorasi dan
komitmen dalam domain perkembangan identitas religius. Keduanya memberi
istilah model mereka dengan “identitas religius”. Apa yang mereka lakukan bisa
juga dilakukan pada domain spiritualitas. Griffith dan Griggs (2001) menyatakan
bahwa orang secara religius diffused tidak melakukan eksplorasi spiritualitas
mereka dan tidak juga ada usaha untuk melakukannya atau berkomitmen. Status
identitas religius forclosure adalah orang yang menjalani pengalaman
29
spiritualitas sebagai konformitas atau sekedar menjalani aturan yang ditetapkan
oleh agama yang dianutnya agar diterima oleh lingkungannya. Status identitas
religius moratorium dialami seseorang jika orang itu mulai mempertanyakan
keyakinan religius mereka. Eksplorasi dalam identitas religius moratorium sangat
penting dalam membentuk sebuah identitas yang terinternalisasi dan utuh.
Identitas status religius achievement terjadi jika seseorang melakukan eksplorasi
nilai dan keyakinan, kemudian nilai-nilai itu merasuk dan menyatu menjadi
dirinya. Perubahan dari satu identitas ke identitas yang lain tidak linier. Identitas
diffusion bisa langsung berubah ke achievement atau sebaliknya.
Penelitian yang selama ini dilakukan dalam psikologi lebih banyak me-
ngaitkan status identitas dengan religiusitas daripada spiritualitas. Sanders (1998)
meneliti hubungan antara identitas ego religius dan kematangan kepercayaan
religius pada 292 mahasiswa Kristen (M=19,8 tahun). Dellas Identity Status
Inventory-Religious Beliefs (DISI-R) dan the Faith Maturity Scale (FMS)
digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa orang dengan
identitas diffusion kurang matang dalam keyakinan religius daripada tiga status
yang lain. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya tentang status
identitas. Penelitian ini semuanya pada subyek Kristen yang mungkin berbeda
pada subyek dengan keyakinan berbeda. Penelitian lainnya dilakukan oleh
Markstorm-Adams, Hofstra, dan Dougher (1994) yang meneliti apakah ada
perbedaan identitas antara dua kelompok remaja religius minoritas, dan apakah
frekuensi kehadiran ke gereja sebagai bukti komitmen identitas. Penelitian ini
terdiri dari 38 remaja Mormon dan 47 non-Mormon (Katolik dan Protestan) yang
merupakan siswa SMA. Menurut penelitian ini, demografis religius 90% adalah
30
Mormon dan sisanya adalah religius kedaerahan yang lain. Dengan demikian
kereligiusan mereka tidak berdasarkan kepada Katolik dan Protestan. Mereka juga
menemukan bahwa kehadiran ke gereja bukan merupakan bukti komitmen iden-
titas mereka. Penelitian terakhir adalah Fulton (1997) yang meneliti hubungan
antara status identitas, orientasi religius, dan prasangka anti Kulit Hitam dan
Homoseksual pada 176 orang Kaukasia, lulusan S1 Christian Liberal Arts College
di California Utara. Penelitian ini menggunakan Extended Objective Measure of
Ego-Identity Status (EOM-EIS) (Adams dkk. 1989), The Revised Age Universal
Intrinsic-Extrinsic Measure (Gorsuch & McPherson, 1989). The Quest Scale (Q)
(McFarland, 1989) dan alat ukur sikap anti-Kulit Hitam dan antihomoseksual.
Peneliti ini mengajukan empat hipotesis: (a) partisipan dengan identitas achieved
akan memiliki skor Intrinsic yang tinggi, skor Quest yang rendah, dan skor
prasangka yang rendah daripada status identitas yang lain, (b) identitas mora-
torium akan memiliki skor Q yang tinggi, skor I yang rendah, dan skor prasangka
yang rendah, (c) identitas foreclosure akan memiliki social ekstrinsik (Es) dan
ekstrinsik personal (Ep) yang tinggi, skor Q yang rendah, dan skor prasangka
yang tinggi, dan (d) identitas diffusion akan memiliki skor I yang rendah dan skor
prasangka yang tinggi. Hasilnya hampir semua hipotesis di atas terbukti dalam
penelitian ini.
Berdasarkan penelitian di atas, maka selayaknya jika kita bisa mengambil
kesimpulan untuk melakukan penelitian tentang identitas spiritualitas mahasiswa.
Menurut penelitian-penelitian tadi, kaitan antara agama dan perkembangan
identitas telah terbukti, tapi belum ditemukan pengalaman spiritual dengan status
identitas.
31
Ada dua pendapat mengenai hubungan antara status identitas dan
spiritualitas. Pertama, Erikson (1950), Fowler (1981), Lerner dkk. (2003), Lerner,
Alberts dkk., (2005), dan Marcia (1980) yang berpendapat bahwa ada potensi
dalam remaja untuk memiliki komitmen dan eksplorasi dalam perkembangan
spiritualitas mereka. Sebaliknya, Helmeniak (1996) menyatakan bahwa tidak ada
eksplorasi dan komitmen pada remaja dalam hal spiritualitas. Dia berpendapat
bahwa pada masa dewasalah mulai berkembang spiritualitas yang sebenarnya.
Memang pada masa apapun akan berkembang spiritualitas, tapi spiritualitas yang
sebenar-benarnya berkembang ada pada masa dewasa.
F. KERANGKA BERPIKIR
Spiritualitas adalah konsep yang subyektif dalam hal pengalaman dan
oleh kerena itu sulit untuk dikonsepkan (Reed, 1992). Karena sifatnya yang
subyektif ini, ada beberapa cara untuk menghubungkan perkembangan identitas
dengan spiritualitas, yaitu: (a) spiritualitas adalah sikap yang dimiliki pada tahap
perkembangan manapun (Wilber, 2000), (b) spiritualitas berkembang dengan cara
yang sama secara kognitif dan emosional (Fowler, 1981), dan (c) spiritualitas
tidaklah tergantung kepada perkembangan kognitif tapi berhubungan dengannya
(Fowler, 1981; Wilber, 2000). Tiga peteori ini sepakat bahwa spiritualitas adalah
perilaku atau nilai manusia yang jelas, yang bisa dimiliki dan bisa berkembang
sebagai proses antarwaktu seperti identitas. Namun, tiga peteori ini tidak membuat
pembatasan yang jelas apakah mereka cenderung menilai spiritualitas sebagai
perilaku atau proses. Faktanya, definisi spuiritualitas masih tetap samar dengan
deskripsinya baik sebagai perilaku atau proses yang di lain waktu akan meng-
32
ancam validitas penelitian juga menciptakan kesulitan bagi penemuan validitas
konstruk. Hasil dari penelitian ini akan menambah pembahasan untuk pencarian
kejelasan yang lebih jauh. Untuk penelitian ini, hubungan antara identitas dan
spiritualitas dipahami saling berkaitan (Benson, Roehkepartin, & Rude, 2003) dan
begitu juga dengan konsep spiritualitas dan religiusitas, saling berkait, tapi tidak
sampai saling bergantung satu sama lain (Elkins, Hedstrom, Hughes, Leaf, &
Saunders, 1998).
Erikson (1959) menyatakan bahwa selama masa remaja wacana pem-
bentukan identitas adalah proses yang mencakup pembentukan makna yang
abstrak. Dengan kata lain, proses perkembangan identitas adalah puncak dari
kemampuan untuk mencari dan menghubungkan zat yang berada di atas diri.
Lerner, Alberts dkk. (2005) memperluas rumusan teori Erikson bahwa proses ini,
pembuatan makna abstrak dan pembuatan makna abstrak dan menghubungkan
dengan zat yang lebih tinggi, pada dasarnya adalah spiritual.
Sama dengan Erikson (1950, 1959), Fowler (1981) menyatakan bahwa
teori stataus identitas Marcia (1980) berdasarkan kepada asumsi bahwa remaja
memiliki potensi untuk berkembang lebih sehat. Menurut Marcia (1980) teori
status identitas tidak menjelaskan proses linier, tapi sebuah cara untuk meng-
klasifikasikan remaja perkembangan identitas remaja yang tengah dijalani oleh
remaja waktu itu dan mungkin akan berubah lagi di waktu lain.
������������
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif. Metode yang digunakan
adalah metode survey dengan desain cross-sectional dan deskriptif dengan tiga
instrumen kuesioner yaitu 1) kuesioner untuk mengungkap informasi demografis
dari partisipan, 2) Ego Identity Process Questionnaire (EIPQ, Balistreri dkk.,
1995), dan 3) Human Spiritual Scale (Wheat, 1991). Desain survey meneliti
sebuah sampel dari sebuah populasi untuk memperoleh deskripsi kuantitatif
tentang kecenderungan, sikap, atau opini sebuah populasi. Survey digunakan di
banyak bidang ilmu, termasuk poendidikan, kesehatan, ekonomi, dan psikologi
(Fink, 2003). Survey yang baik memiliki enam karakter, tujuan yang bisa dicapai
dan spesifik, desain penelitian yang jelas, populasi dan sampel yang bisa di-
jangkau, instrumen yang reliabel dan valid, analisis yang tepat, dan pelaporan
hasil yang akurat (Fink, 2003).
Disini, alasan pengambilan metode survey sebagai metode penelitian
adalah karena dengan survey dapat dilakukan generalisasi pada sebuah populasi
dengan beradasarkan kepada sampel yang kecil dan dengan cepat dapat mem-
peroleh data yang besar dan beragam.
B. SUBYEK PENELITIAN
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa UPI dengan
rentang usia 18 sampai 22 tahun. Setiap fakultas diambil rata-rata 60 mahasiswa.
Berikut adalah gambaran mahasiswa yang menjadi subyek penelitian.
34
Tabel 3.1 Daftar Jumlah Subyek di Setiap Fakultas
Fakultas Subyek
Ilmu Pendidikan 74 orang
Pendidikan Ekonomi dan Bisnis 63 orang
Pendidikan Bahasa dan Seni 67 orang
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial 64 orang
Pendidikan Olahraga dan Kesehatan 60 orang
Pendidikan Tekonologi dan Kejuruan 70 orang
Pendidikan Mat. dan Ilmu Pengetahuan Alam 68 orang
C. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai bulan September 2009.
Lokasi penelitian adalah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
D. INSTRUMEN
Ada tiga kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu 1) kue-
sioner untuk mengungkap informasi demografis dari partisipan, 2) Ego Identity
Process Questionnaire (EIPQ, Balistreri dkk., 1995), yang telah diadaptasi ke
bahasa Indonesia yang digunakan untuk menentukan status identitas partisipan, 3)
Human Spiritual Scale (Wheat, 1991) yang juga telah diadaptasi ke bahasa
Indonesia yang didesain untuk mengukur seberapa tinggi tingkat spiritualitas
partisipan.
1. Kuesioner Demografis
Dalam skala demografis ini mahasiswa ditanya bagaimana sikapnya atau
seberapa penting berperilaku religius dan spiritual, dan bagaimana mereka menilai
35
diri mereka sendiri apakah religius atau spiritual dan kedua-duanya sekaligus.
Selain itu juga diminta informasi tentang jenis kelamin dan usia.
a. Ego Identity Process Quetionaire
Skala ini terdiri dari dua subskala yaitu skala eksplorasi dan komitmen.
Dalam dua skala tersebut akan ditentukan mahasiswa yang memiliki tingkat
eksplorasi rendah dan tinggi dan komitmen rendah dan tinggi. Skala ini terdiri
dari 32 item dengan msing-masing 16 item untuk subskala eksplorasi dan komit-
men. Skala menggunakan skala Likert dengan lima kategori jawaban.
Skala ini telah melalui analisis item dengan teknik korelasi item-total
terkoreksi dan analisis reliabilitas dengan metode Alpha. Item-item dalam
eksplorasi yang layak digunakan adalah 10 item dan demikian juga dengan item-
item dalam skala komitmen. Selain itu, reliabilitas kedua skala juga diperoleh
melalui SPSS dengan tingkat reliabilitas yang sedang. Berikut adalah korelasi
item total 10 item final dan estimasi reliabilitas skala ini:
1) Analisis Item dan Reliabilitas Skala Eksplorasi
Tabel 3.2 Analisis Item dan Reliabilitas Skala Eksplorasi
R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Mean Std Dev Cases 1. VAR00001 5.2022 1.3479 465.0 2. VAR00002 3.5892 1.7742 465.0 3. VAR00005 5.0366 .8934 465.0 4. VAR00008 4.1849 1.1672 465.0 5. VAR00009 4.3011 1.0746 465.0 6. VAR00010 4.8538 .8735 465.0 7. VAR00012 4.4323 .9332 465.0 8. VAR00013 3.3806 1.0982 465.0 9. VAR00014 4.5097 1.0131 465.0 10. VAR00016 3.3075 1.5278 465.0
36
N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 42.7978 37.5840 6.1306 10 Item-total Statistics Scale Scale Corrected Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted VAR00001 37.5957 30.8836 .3260 .6637
VAR00002 39.2086 28.3249 .3236 .6749
VAR00005 37.7613 32.5226 .4184 .6517
VAR00008 38.6129 31.2378 .3820 .6526
VAR00009 38.4968 32.8281 .2924 .6683
VAR00010 37.9441 31.6951 .5212 .6381
VAR00012 38.3656 32.6635 .3796 .6563
VAR00013 39.4172 32.9764 .2697 .6721
VAR00014 38.2882 32.3047 .3693 .6565
VAR00016 39.4903 29.7160 .3322 .6652
Reliability Coefficients N of Cases = 465.0 N of Items = 10 Alpha = .6830
Dari sepuluh item yang dipilih jadi item final ada beberapa item yang
memiliki korelasi item total yang lebih kecil dari 0,3. Item-item itu diambil karena
jika item tersebut dihapus maka itemnya tidak memadai untuk dipakai mengukur
eksplorasi. Item-item itu dimsukkan dengan pertimbangan bahwa item-item itu
tidak begitu jauh dari 0,3. Item-item itu berada diatas 0,25 yang merupakan nilai
yang bisa diterima jika kondisi mendesak.
Reliabilitas skala ini sebesar 0,683 yang cukup untuk dikatakan tinggi
untuk skala yang hanya berisikan 10 item.
37
2) Analisis Item dan Reliabilitas Skala Komitmen
Tabel 3.3 Analisis Item dan Reliabilitas Skala Komitmen
RELIABILITY ANALYSIS - SCALE (ALPHA)
Mean Std Dev Cases 1. VAR00001 5.0944 .8268 466.0 2. VAR00002 4.3820 1.0716 466.0 3. VAR00003 5.0365 .9116 466.0 4. VAR00005 5.1567 .8596 466.0 5. VAR00006 2.9464 1.2509 466.0 6. VAR00010 4.7511 .9494 466.0 7. VAR00012 3.9528 1.1958 466.0 8. VAR00013 4.1717 1.1624 466.0 9. VAR00015 4.4893 1.1307 466.0 10. VAR00016 3.9206 1.3361 466.0 N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 43.9013 29.7795 5.4571 10 Item-total Statistics Scale Scale Corrected Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted VAR00001 38.8069 25.7863 .3942 .6438
VAR00002 39.5193 24.9383 .3450 .6484
VAR00003 38.8648 26.3666 .2758 .6607
VAR00005 38.7446 26.1389 .3301 .6527
VAR00006 40.9549 24.9894 .2579 .6682
VAR00010 39.1502 25.3838 .3653 .6459
VAR00012 39.9485 24.5092 .3243 .6530
VAR00013 39.7296 23.3590 .4512 .6260
VAR00015 39.4120 24.5697 .3507 .6472
VAR00016 39.9807 23.9072 .3128 .6578
Reliability Coefficients N of Cases = 466.0 N of Items = 10 Alpha = .6741
Dari sepuluh item yang dipilih jadi item final ada beberapa item yang
memiliki korelasi item total yang lebih kecil dari 0,3. Item-item itu diambil karena
jika item tersebut dihapus maka itemnya tidak memadai untuk dipakai mengukur
eksplorasi. Item-item itu dimsukkan dengan pertimbangan bahwa item-item itu
tidak begitu jauh dari 0,3. Item-item itu berada diatas 0,25 yang merupakan nilai
38
yang bisa diterima jika kondisi mendesak. Reliabilitas skala ini sebesar 0,674
yang cukup untuk dikatakan tinggi untuk skala yang hanya berisikan 10 item.
Berdasarkan tingkat eksplorasi dan komitmen akan ditentukan status
identitas mereka dengan skema kuadran sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kuadran Status Identitas
Penentuan tingkat atau norma penyekoran eksplorasi sebagai berikut:
Tabel 3.4 Norma Skor Eksplorasi
Kategori Skoring
Tinggi > =M 43>
Rendah ≤ =M 43≤
Sedangkan, penentuan tingkat atau norma penyekoran komitmen adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.5 Norma Skor Komitmen
Kategori Skoring
Tinggi > =M 44>
Rendah ≤ =M 44≤
39
b. Human Spiritual Scale
Skala ini terdiri dari 16 item pernyataan dalam bentuk skala Likert yang
terdiri dari lima kategori jawaban. Skor skala ini adalah skor total dari 16 item
yang direspons oleh responden. Skala ini memiliki reliabilitas yang tinggi. Berikut
adalah tabel reliabilitas skala Human Spiritual Scale.
1) Analisis Item dan Reliabilitas Human Spiritual Scale
Tabel 3.6 Analisis Item dan Reliabilitas Human Spiritual Scale
R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Mean Std Dev Cases 1. VAR00002 2.2500 1.2634 464.0 2. VAR00003 3.4009 .9742 464.0 3. VAR00005 4.5625 .6063 464.0 4. VAR00006 4.2823 .7465 464.0 5. VAR00007 4.4375 .6134 464.0 6. VAR00008 3.9461 .7909 464.0 7. VAR00009 3.4698 .8664 464.0 8. VAR00010 4.3815 .6854 464.0 9. VAR00011 4.4784 .6436 464.0 10. VAR00012 4.1918 .6923 464.0 11. VAR00014 4.1207 .7569 464.0 12. VAR00015 3.1983 .9612 464.0 13. VAR00017 3.6573 .7948 464.0 14. VAR00018 3.9763 .7647 464.0 15. VAR00019 4.2198 .7253 464.0 16. VAR00020 3.6961 .8795 464.0 N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 62.2694 41.4499 6.4382 16 Item-total Statistics Scale Scale Corrected Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted VAR00002 60.0194 35.3538 .2995 .7986 VAR00003 58.8685 35.8164 .4017 .7828 VAR00005 57.7069 38.8642 .2934 .7894 VAR00006 57.9871 37.4296 .3791 .7840
40
VAR00007 57.8319 37.9069 .4193 .7825 VAR00008 58.3233 36.3532 .4688 .7775 VAR00009 58.7996 36.5278 .3983 .7826 VAR00010 57.8879 36.7347 .5110 .7760 VAR00011 57.7909 37.2931 .4761 .7788 VAR00012 58.0776 37.4324 .4177 .7818 VAR00014 58.1487 37.6215 .3506 .7859 VAR00015 59.0711 36.5068 .3460 .7875 VAR00017 58.6121 37.5425 .3363 .7870 VAR00018 58.2931 36.1990 .5071 .7750 VAR00019 58.0496 37.2956 .4096 .7821 VAR00020 58.5733 36.0205 .4410 .7792 RELIABILITY ANALYSIS - SCALE (ALPHA) Reliability Coefficients N of Cases = 464.0 N of Items = 16 Alpha = .7939
Penentuan tingkat atau norma penyekoran spiritualitas adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.7 Dasar Norma Skor Spiritualitas
Kategori Dasar Skoring
Tinggi 1+ ×
41
Dengan batasan itu maka akan diperoleh kategori skor sebagai berikut:
Tabel 3.8 Norma Skor Spiritualitas
Kategori Dasar Skoring
Tinggi 69>
Sedang 58 69−
Rendah 57≤
E. ANALISIS DATA
Ada beberapa analisis yang digunakan dalam penelitian ini:
1) Analisis deskriptif, yaitu menggambarkan dengan tabel frekuensi-
frekuensi, rata-rata, deviasi standar, yang berkaitan dengan data dalam beberapa
kelompok. Kelompok yang akan dideskripsikan adalah deskripsi tingkat univer-
sitas, fakultas dan setiap status identitas.
2) Uji korelasi, yaitu korelasi antara status identitas dan tingkat
spiritualitas. Statistik yang digunakan dalam uji korelasi ini adalah korelasi
kontingensi, karena dua variabel (status identitas) memiliki level pengukuran
nominal. Level pengukuran dua variabel itu nominal karena responden
dikelompokkan dalam empat kelompok status identitas dan tiga kelompok tingkat
spiritualitas.
3) Melakukan uji beda tingkat spiritualitas untuk antar status identitas,
jenis kelamin, usia, dan perasaan akan pentingnya religius dan spiritualitas.
Analisis ini akan menggunakan ujit t dan analysis of variance (ANOVA).
42
4) Analisis demografis. Analisis menggambarkan bagiamana kaitan
antara karakteristik demografis subyek berkaitan dengan variable eksplorasi,
komitmen, dan spiritualitas. Variabel demografis diantaranya usia, jenis kelamin,
perasaan pentingnya religiusitas, perasaan pentingnya spiritualitas, dan penilaian
diri apakah sebagai orang yang religius atau spiritualitas.
������������
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. GAMBARAN DEKSRIPTIF UNIVERSITAS DAN FAKULTAS
1. Universitas Pendidikan Indonesia
Tabel 4.1 Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS
Mean 42.7918 43.9013 62.8090
N 466 466 466
Std. Deviation
6.12536 5.45706 6.38041
Minimum 23.00 21.00 43.00
Maximum 60.00 59.00 80.00
Variance 37.520 29.779 40.710
Range 37 38 37
a. Eksplorasi
Rata-rata eksplorasi mahasiswa UPI sebesar 42,79 dengan skor paling
rendah sebesar 23 dan skor paling tinggi sebesar 60. Skor terendah yaitu 23 berarti
memililiki rata-rata skor item sebesar 2,3 dan skor ini jauh lebih tinggi dari skor
teoritis paling rendah yaitu 10. Skor tertinggi memiliki rata-rata skor item sebesar
6 atau skor paling maksimal yang bisa dicapai dalam skala eksplorasi yang jumlah
itemnya sebanyak 10 item dengan opsi jawaban sebanyak 6 dengan rentang skor 1
sampai 6.
b. Komitmen
Rata-rata komitmen mahasiswa UPI sebesar 42,79 dengan skor paling
rendah sebesar 21 dan skor paling tinggi sebesar 59. Skor terendah yaitu 21 berarti
44
memililiki rata-rata skor item sebesar 2,1 dan skor ini jauh lebih tinggi dari skor
teoritis paling rendah yaitu 10. Skor tertinggi memiliki rata-rata skor item sebesar
5,9 atau hanya berbeda 0,01 dengan skor paling maksimal yang bisa dicapai
dalam skala komitmen yang jumlah itemnya sebanyak 10 item dengan opsi
jawaban sebanyak 6 dengan rentang skor 1 sampai 6.
c. Spiritualitas
Rata-rata spiritualitas mahasiswa UPI sebesar 62,81 dengan skor paling
rendah sebesar 43 dan skor paling tinggi sebesar 80. Skor terendah yaitu 43
memiliki rata-rata skor item sebesar 2,6 dan skor ini jauh lebih tinggi dari skor
teoritis paling rendah yaitu 16. Skor tertinggi memiliki rata-rata skor item sebesar
5 atau berbeda 1 skor dengan rata-rata skor paling maksimal yang bisa dicapai
dalam skala spiritualitas yang jumlah itemnya sebanyak 16 item dengan opsi
jawaban sebanyak 6 dengan rentang skor 1 sampai 6.
Tabel 4.2 Frekuensi Tingkat Spiritualitas Mahasiswa UPI
99 21.2 21.2 21.2
294 63.1 63.1 84.3
73 15.7 15.7 100.0
466 100.0 100.0
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Sebagian besar mahasiswa UPI tingkat spiritualitasnya sedang, yaitu
sebesar 63 persen. Sebagian lain mereka memiliki tingkat spiritualitas rendah
yaitu sebesar 21,2 persen yang sedikit lebih banyak dari tingkat spiritualitas tinggi
yang sebesar 15,7 persen. Bahkan diantara mereka yang memiliki spiritualitas
tinggi ada yang memiliki skor sempurna yaitu 80.
45
d. Status Identitas
Tabel 4.3 Status Identitas Mahasiswa UPI
111 23.8 23.8 23.8
156 33.5 33.5 57.3
100 21.5 21.5 78.8
99 21.2 21.2 100.0
466 100.0 100.0
Achievement
Diffusion
Foreclosure
Moratorium
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Dari 466 mahasiswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini, paling
banyak status identitas mereka adalah diffusion, yaitu sebanyak 156 mahasiswa
atau sebesar 33,5 persen. Jumlah mahasiswa yang masuk ke status identitas
achievement sebanyak 111 mahasiswa atau sebesar 23,8 persen atau yang
terbanyak kedua setelah diffusion. Selanjutnya, status identitas foreclosure
sebanyak 100 mahasiswa atau sebesar 21,5 persen atau terbanyak ketiga dan ter-
banyak terakhir adalah status identitas moratorium, yaitu sebanyak 99 mahasiswa
atau 21,2 persen.
2. Fakultas Ilmu Pendidikan
Tabel 4.4 Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI
Fakultas Ilmu Pendidikan FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS
Mean 44.0000 42.6892 63.2027
N 74 74 74
Std. Deviation 5.56899 4.95991 6.64559
Minimum 24.00 30.00 43.00
Maximum 58.00 54.00 79.00
Variance 31.014 24.601 44.164
46
a. Eksplorasi
Rata-rata eksplorasi mahasiswa UPI Fakultas Ilmu Pendidikan sebesar
44,00 dengan skor paling rendah sebesar 24 dan skor paling tinggi sebesar 58.
Rata-rata skor ini lebih besar dua angka daripada rata-rata skor mahasiswa UPI.
Skor terendahnya berbeda 1 angka lebih besar dengan skor UPI, sementara itu
skor tertingginya berbeda 2 angka lebih rendah dari skor yang diperoleh maha-
siswa UPI.
b. Komitmen
Rata-rata skor komitmen mahasiswa UPI Fakultas Ilmu Pendidikan
sebesar 42,69 dengan skor paling rendah sebesar 30 dan skor paling tinggi sebesar
54. Rata-rata skor ini lebih kecil 1,3 dari rata-rata skor mahasiswa UPI. Skor
terendahnya sembilan angka lebih besar dari skor UPI, sementara itu skor
tertingginya lebih kecil enam angka dari skor yang diperoleh mahasiswa UPI.
c. Spiritualitas
Rata-rata skor spiritualitas mahasiswa UPI Fakultas Ilmu Pendidikan
sebesar 63,20 dengan skor paling rendah sebesar 43 dan skor paling tinggi sebesar
79. Rata-rata skor ini lebih besar 0,4 dari rata-rata skor mahasiswa UPI. Skor
terendahnya sama besarnya dengan skor UPI, sementara itu skor tertingginya
lebih kecil satu angka dari skor yang diperoleh mahasiswa UPI.
47
d. Status Identitas
Tabel 4.5 Status Identitas Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
27 36.5 36.5 36.5
19 25.7 25.7 62.2
13 17.6 17.6 79.7
15 20.3 20.3 100.0
74 100.0 100.0
Achievement
Diffusion
Foreclosure
Moratorium
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Dari 74 mahasiswa yang menjadi sampel dari Fakultas Ilmu Pendidikan,
paling banyak status identitas mereka adalah achievement, yaitu sebanyak 27
mahasiswa atau sebesar 36,5 persen. Jumlah mahasiswa yang masuk ke status
identitas diffusion sebanyak 19 mahasiswa atau sebesar 25,7 persen atau yang
terbanyak kedua setelah achievement. Selanjutnya, status identitas foreclosure
sebanyak 13 mahasiswa atau sebesar 17,6 persen atau terbanyak keempat dan
terbanyak ketiga adalah status identitas moratorium, yaitu sebanyak 15 mahasiswa
atau 20,3 persen.
3. Fakultas Pendidikan Mat. dan Ilmu Pengetahuan Alam
Tabel 4.6 Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI
Fakultas Pendidikan Mat. dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS
PENDIDIKAN MAT.
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS
Mean 42.8088 43.6618 62.9706
N 68 68 68
Std. Deviation 4.68805 5.60546 6.66461
Minimum 31.00 27.00 48.00
Maximum 56.00 54.00 77.00
Variance 21.978 31.421 44.417
48
a. Eksplorasi
Rata-rata eksplorasi mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Mat. dan Ilmu
Pengetahuan Alam sebesar 42,81 dengan skor paling rendah sebesar 31 dan skor
paling tinggi sebesar 56. Rata-rata skor ini lebih tinggi 0,01 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya lebih tinggi delapan angaka dari skor terendah
UPI, sementara itu skor tertingginya berbeda empat angka lebih rendah dari skor
yang diperoleh mahasiswa UPI.
b. Komitmen
Rata-rata skor komitmen mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Mat. dan
Ilmu Pengetahuan Alam sebesar 43,66 dengan skor paling rendah sebesar 27 dan
skor paling tinggi sebesar 54. Rata-rata skor ini lebih kecil 0,3 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya enam angka lebih besar dari skor UPI,
sementara itu skor tertingginya lebih kecil lima angka dari skor yang diperoleh
mahasiswa UPI.
c. Spiritualitas
Rata-rata skor spiritualitas mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Mat. dan
Ilmu Pengetahuan Alam sebesar 62,97 dengan skor paling rendah sebesar 48 dan
skor paling tinggi sebesar 77. Rata-rata skor ini lebih tinggi 0,17 dari rata-rata
skor mahasiswa UPI. Skor terendahnya lima angka lebih besar dari skor UPI,
sementara itu skor tertingginya lebih kecil tiga angka dari skor yang diperoleh
mahasiswa UPI.
49
d. Status Identitas
Tabel 4.7 Status Identitas Mahasiswa
Fakultas Pendidikan Mat. dan Ilmu Pengetahuan Alam
14 20.6 20.6 20.6
26 38.2 38.2 58.8
16 23.5 23.5 82.4
12 17.6 17.6 100.0
68 100.0 100.0
Achievement
Diffusion
Foreclosure
Moratorium
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Dari 68 mahasiswa yang menjadi sampel dari Fakultas Pendidikan Mat.
dan Ilmu Pengetahuan Alam, paling banyak status identitas mereka adalah
diffusion, yaitu sebanyak 26 mahasiswa atau sebesar 38,2 persen. Jumlah maha-
siswa yang masuk ke status identitas achievement sebanyak 14 mahasiswa atau
sebesar 20,6 persen atau yang terbanyak ketiga setelah diffusion. Selanjutnya,
status identitas foreclosure sebanyak 16 mahasiswa atau sebesar 23,5 persen atau
terbanyak kedua dan yang paling sedikit adalah status identitas moratorium, yaitu
sebanyak 12 mahasiswa atau 17,6 persen.
4. Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
Tabel 4.8 Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI
Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
FAKULTAS
PENDIDIKAN
EKONOMI DAN BISNIS
EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS
Mean 40.5397 42.9683 60.9683
N 63 63 63
Std. Deviation 6.98345 5.09892 5.29445
Minimum 24.00 31.00 52.00
Maximum 56.00 59.00 75.00
Variance 48.769 25.999 28.031
50
a. Eksplorasi
Rata-rata eksplorasi mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Ekonomi dan
Bisnis sebesar 40,54 dengan skor paling rendah sebesar 24 dan skor paling tinggi
sebesar 56. Rata-rata skor ini lebih rendah 2,25 dari rata-rata skor mahasiswa UPI.
Skor terendahnya lebih tinggi satu angka dari skor terendah UPI, sementara itu
skor tertingginya sama dengan skor yang diperoleh mahasiswa UPI.
b. Komitmen
Rata-rata skor komitmen mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Ekonomi
dan Bisnis sebesar 42,97 dengan skor paling rendah sebesar 31 dan skor paling
tinggi sebesar 59. Rata-rata skor ini lebih kecil 0,93 dari rata-rata skor mahasiswa
UPI. Skor terendahnya sepuluh angka lebih besar dari skor UPI, sementara itu
skor tertingginya lebih kecil satu angka dari skor yang diperoleh mahasiswa UPI.
c. Spiritualitas
Rata-rata skor spiritualitas mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan
Ekonomi dan Bisnis sebesar 60,97 dengan skor paling rendah sebesar 52 dan skor
paling tinggi sebesar 75. Rata-rata skor ini lebih rendah 1,83 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya sembilan angka lebih besar dari skor UPI,
sementara itu skor tertingginya lebih kecil lima angka dari skor yang diperoleh
mahasiswa UPI.
51
d. Status Identitas
Tabel 4.9 Status Identitas Mahasiswa
Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
9 14.3 14.3 14.336 57.1 57.1 71.4
7 11.1 11.1 82.511 17.5 17.5 100.063 100.0 100.0
AchievementDiffusionForeclosureMoratoriumTotal
ValidFrequency Percent
ValidPercent
CumulativePercent
Dari 63 mahasiswa yang menjadi sampel dari Fakultas Pendidikan
Ekonomi dan Bisnis, paling banyak status identitas mereka adalah diffusion, yaitu
sebanyak 36 mahasiswa atau sebesar 57,1 persen. Jumlah mahasiswa yang masuk
ke status identitas achievement sebanyak 9 mahasiswa atau sebesar 14,3 persen
atau yang terbanyak ketiga setelah diffusion dan moratorium. Selanjutnya, status
identitas foreclosure sebanyak 7 mahasiswa atau sebesar 11,1 persen atau yang
paling sedikit dan yang terbanyak ketiga adalah status identitas moratorium, yaitu
sebanyak 11 mahasiswa atau 17,5 persen.
5. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Tabel 4.10 Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS
Mean 43.0625 44.7969 62.9688
N 64 64 64
Std. Deviation 5.57168 5.13988 6.46595
Minimum 30.00 34.00 47.00
Maximum 55.00 57.00 77.00
Variance 31.044 26.418 41.809
52
a. Eksplorasi
Rata-rata eksplorasi mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Ilmu Penge-
tahuan Sosial sebesar 43,06 dengan skor paling rendah sebesar 30 dan skor paling
tinggi sebesar 55. Rata-rata skor ini lebih tinggi 0,27 dari rata-rata skor mahasiswa
UPI. Skor terendahnya lebih tinggi tujuh angka dari skor terendah UPI, sementara
itu skor tertingginya lebih rendah tiga angka dari skor yang diperoleh mahasiswa
UPI.
b. Komitmen
Rata-rata skor komitmen mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial sebesar 44,79 dengan skor paling rendah sebesar 34 dan skor
paling tinggi sebesar 57. Rata-rata skor ini lebih tinggi 0,89 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya 13 angka lebih besar dari skor UPI, sementara
itu skor tertingginya lebih kecil tiga angka dari skor yang diperoleh mahasiswa
UPI.
c. Spiritualitas
Rata-rata skor spiritualitas mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial sebesar 62,97 dengan skor paling rendah sebesar 47 dan skor
paling tinggi sebesar 77. Rata-rata skor ini lebih tinggi 0,17 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya empat angka lebih besar dari skor UPI,
sementara itu skor tertingginya lebih kecil tiga angka dari skor UPI.
53
d. Status Identitas
Tabel 4.11 Status Identitas Mahasiswa
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
22 34.4 34.4 34.4
20 31.3 31.3 65.6
12 18.8 18.8 84.4
10 15.6 15.6 100.0
64 100.0 100.0
Achievement
Diffusion
Foreclosure
Moratorium
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Dari 64 mahasiswa yang menjadi sampel dari Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial, paling banyak status identitas mereka adalah achievement,
yaitu sebanyak 22 mahasiswa atau sebesar 34,4 persen. Jumlah mahasiswa yang
masuk ke status identitas diffusion sebanyak 20 mahasiswa atau sebesar 31,3
persen atau yang terbanyak kedua setelah achievement. Selanjutnya, status
identitas foreclosure sebanyak 12 mahasiswa atau sebesar 18,8 persen atau yang
terbanyak ketiga, dan yang paling sedikit adalah status identitas moratorium, yaitu
sebanyak 10 mahasiswa atau 15,6 persen.
6. Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
Tabel 4.12 Statistik Deksriptif Eksplorasi, Komitmen, dan Spiritualitas Mahasiswa UPI
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN
EKSPLORASI KOMITMEN SPIRITUALITAS
Mean 42.7333 46.0833 63.5500
N 60 60 60
Std. Deviation 5.04511 6.61352 6.42143
Minimum 25.00 21.00 50.00
Maximum 55.00 59.00 80.00
Variance 25.453 43.739 41.235
54
a. Eksplorasi
Rata-rata eksplorasi mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Olahraga dan
Kesehatan sebesar 42,73 dengan skor paling rendah sebesar 25 dan skor paling
tinggi sebesar 55. Rata-rata skor ini lebih rendah 0,06 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya lebih tinggi dua angka dari skor terendah UPI,
sementara itu skor tertingginya sama dengan skor tertinggi yang diperoleh
mahasiswa UPI.
b. Komitmen
Rata-rata skor komitmen mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Olahraga
dan Kesehatan sebesar 46,08 dengan skor paling rendah sebesar 21 dan skor
paling tinggi sebesar 59. Rata-rata skor ini lebih tinggi 2,1 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya sama dengan dari skor terendah UPI, semen-
tara itu skor tertingginya sama dengan skor yang diperoleh mahasiswa UPI.
c. Spiritualitas
Rata-rata skor spiritualitas mahasiswa UPI Fakultas Pendidikan Olah-
raga dan Kesehatan sebesar 63,55 dengan skor paling rendah sebesar 50 dan skor
paling tinggi sebesar 80. Rata-rata skor ini lebih tinggi 0,75 dari rata-rata skor
mahasiswa UPI. Skor terendahnya tujuh angka lebih besar dari skor terendah UPI,
sementara itu skor tertingginya sama dengan skor tertinggi UPI.
55
d. Status Identitas
Tabel 4.13 Status Identitas Mahasiswa
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
15 23.8 23.8 23.8
15 23.8 23.8 47.6
21 33.3 33.3 81.0
12 19.0 19.0 100.0
63 100.0 100.0
Achievement
Diffusion
Foreclosure
Moratorium
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Dari 63 mahasiswa yang menjadi sampel dari Fakultas Pendidikan
Olahraga dan Kesehatan, paling banyak status identitas mereka adalah fore-
closure, yaitu sebanyak 21 mahasiswa atau sebesar 33,3 persen. Jumlah maha-
siswa yang masuk ke status identitas diffusion dan achievement sebanyak 15
mahasiswa atau sebesar 23,8 persen atau yang terbanyak kedua setelah
foreclosure. Selanjutnya, status identitas yang paling sedikit adalah status identitas
moratorium, yaitu sebanyak 12 mahasiswa atau sebesar 19 persen.
B. PERBANDINGAN EKSPLORASI, KOMITMEN DAN SPIRITUALITAS ANTAR FAKULTAS
1. Analisis Varians Eksplorasi antar Fakultas
Dalam uji beda ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
H0: Tidak ada perbedaan eksplorasi yang signifikan antar mahasiswa di faklutas-fakultas UPI.
H0 : µ1 ≠ µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6
Uji hipotesis:
H0 ditolak jika nilai probabilitas ≤ 0,05.
H0 diterima jika nilai probabilitas > 0,