32
PENDAHULUAN Prevalensi penyakit hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan terminal patologi pada mayoritas penyakit hepar, didapatkan + 5% pada otopsi pada seluruh insidens. Sirosis merupakan penyebab utama kematian pada laki-laki dekade ke 4 dan ke 5, serta mortality ratenya meningkat. Pasien dengan penyakit hepar, + 10% nya mendapatkan operasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kehidupannya. Hepar memiliki fungsi yang luar biasa dan manifestasi klinik dari penyakit hepar sering tidak tampak sampai terjadi kerusakan yang luas. Sebagai akibatnya, ketika datang ke ruang operasi, beberapa efek dari anastesi dan pembedahan dapat memicu dekompensasi hepar yang lebih lenjut menuju ke arah gagal hepar. Pasien dengan sirosis hepatis sering kali harus menjalani operasi. Diperkirakan 1 di antara 700 pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani operasi elektif memiliki gambaran fungsi hati yang abnormal. Penderita sirosis hati saat ini kelangsungan hidupnya menjadi lebih lama karena faktor penyulit seperti varises esofagus, koagulopati, masalah gizi dan asites relatif sudah dapat ditangani lebih baik. Sebelum klinisi memutuskan apakah pasien dengan gangguan sirosis hepatis layak atau tidak dilakukan operasi maka sebelumnya harus dilakukan penilaian preoperatif sehingga dapat diprediksi risiko morbiditas dan mortalitasnya. Masalah yang muncul adalah sampai saat ini belum ada parameter sensitif yang dapat

Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat Anestesi

Citation preview

Page 1: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

PENDAHULUAN

Prevalensi penyakit hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan

terminal patologi pada mayoritas penyakit hepar, didapatkan +   5% pada otopsi pada

seluruh insidens. Sirosis merupakan penyebab utama kematian pada laki-laki dekade ke 4

dan ke 5, serta mortality ratenya meningkat. Pasien dengan penyakit hepar, + 10% nya

mendapatkan operasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kehidupannya. Hepar memiliki

fungsi yang luar biasa dan manifestasi klinik dari penyakit hepar sering tidak tampak

sampai terjadi kerusakan yang luas. Sebagai akibatnya, ketika datang ke ruang operasi,

beberapa efek dari anastesi dan pembedahan  dapat memicu dekompensasi hepar yang

lebih lenjut menuju ke arah gagal hepar.

Pasien dengan sirosis hepatis sering kali harus menjalani operasi.

Diperkirakan 1 di antara 700 pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani

operasi elektif memiliki gambaran fungsi hati yang abnormal. Penderita sirosis

hati saat ini kelangsungan hidupnya menjadi lebih lama karena faktor penyulit

seperti varises esofagus, koagulopati, masalah gizi dan asites relatif sudah dapat

ditangani lebih baik.

Sebelum klinisi memutuskan apakah pasien dengan gangguan sirosis hepatis

layak atau tidak dilakukan operasi maka sebelumnya harus dilakukan penilaian

preoperatif sehingga dapat diprediksi risiko morbiditas dan mortalitasnya.

Masalah yang muncul adalah sampai saat ini belum ada parameter sensitif yang

dapat menggambarkan korelasi yang kuat antara hasil pemeriksaan biokimiawi

dengan derajat kerusakan hati. Penilaian preoperatif pada pasien dengan sirosis

hepatis sangat penting karena semakin luas tingkat kerusakan hati semakin besar

pula risiko kematian. Jenis tindakan operasi dan sifat operasi (emergensi atau

tidak) juga sangat berpengaruh pada risiko mortalitas.

Pasien dengan gangguan sirosis hepatis secara hemodinamik sangat rentan

terhadap penurunan pasokan darah ke hati (hepatic blood flow). Tindakan operasi

dan anestesi yang dapat menurunkan pasokan darah ke hati menimbulkan

komplikasi pasca-operasi. Dengan demikian manajemen perioperatif yang optimal

pada pasien dengan sirosis hepatis yang akan menjalani operasi sangat penting

karena dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Penilaian preoperatif

yang baik dapat memprediksi kelangsungan hidup pasien dengan akurasi 90%

pada pasien sirosis yang menjalani operasi abdomen.

Page 2: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

ISI

Sirosis Hepatis                          

Sirosis adalah penyakit  yang serius dan progresif yang disebabkan oleh

kegagalan hepar. Penyebab sirosis yang paling umum di Amerika adalah alcohol

(Lachnac’s cirrhosis). Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif

(postnecrosis cirrhosis), cardiac cirrhosis, hemochromatosis, penyakit Wilson, dan

defesiensi a1-antitrypsin. Tanpa mengindahkan penyebabnya, necrosis hepatosit

diikuti oleh regenerasi fibrosis dan nodular. Distorsi sel hepar normal dan susunan

vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan hipertensi portal,

sementara kerusakan pada sintesis normal hepar dan fungsi metabolisme berbeda

lainnya disebabkan oleh penyakit multisystem. Secara klinis, tanda dan symptom

tidak berhubungan dengan keganasan penyakit. Tanda-tanda nyata biasanya tidak

terlihat pada awalnya, tapi ikterus dan asites pada akhirnya akan berkembang pada

kebanyakan pasien. Tanda-tanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris,

ginekomasti, dan splenomegali.

Tiga komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1) perdarahan varises, akibat

hipertensi portal, (2) retensi cairan, dalam bentuk asites dan sindrom hepatorenal,

(3) encephalopathy hepatic atau koma. + 10% pasien juga mengalami setidaknya

satu rangkaian peritonitis bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami

carcinoma hepatoseluler pada akhirnya.

Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis

hepatoseluler atau regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi

portal dan dihubungkan dengan komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu

dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk didalamnya schistosomiasis, fibrosis

portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic congenital. Obstruksi

pembuluh darah hepar atau vena cava inferior (Budd-Chiari syndrome) juga dapat

menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena

(hypercoaguable state), tumor thrombus (renal carcinoma), atau penyakit oklusi

pembuluh darah hepar sublobular.

Page 3: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

Pengaruh Operasi dan Anestesi Pada Pasien Sirosis Hepatis

Hati merupakan salah satu organ vital tubuh. Fungsi utama hati terutama

bertanggungjawab terhadap metabolisme glukosa dan lemak, sistesis protein

(albumin, globulin, dan faktor koagulan), ekskresi bilirubin, metabolisme obat dan

hormon dan detoksifikasi. Organ hati memegang peran penting dalam pengaturan

sirkulasi darah karena sekitar 25% curah jantung akan bersirkulasi melalui hati.

Aliran darah di hati melalui dua pembuluh darah, yaitu arteri hepatika

bertanggungjawab terhadap 25 - 30% total aliran darah hati (namun memberikan

50% pasokan oksigen ke hati), dan vena porta menyumbangkan 75% dari total

aliran darah ke hati. Aliran vena porta menerima darah dari lambung, limpa,

pankreas dan usus yang kaya akan nutrien, namun pasokan oksigen ke hati tidak

lebih dari 50 - 55%.

Pada pasien yang tidak memiliki gangguan fungsi hati, pemberian obat

anestesi, analgetik, sedatif, dan tindakan pembedahan dapat meningkatkan kadar

transaminase, alkali fhosfhatase, dan kadar bilirubin, namun umumnya bersifat

sementara. Sebaliknya pasien dengan penyakit hati penurunan pasokan darah ke

hati akibat tindakan operasi maupun anestesi dapat memicu dekompensasi hati.

Kerusakan hati yang berat pada sirosis hati dapat menimbulkan hipoalbuminemia,

trombositopenia, koagulopati, menurunnya imunitas, intoksikasi, perubahan

hemodinamik, ensefalopati dan sindrom hepatorenal. Keadaan tersebut menjadi

faktor penyulit pada saat tindakan operasi dan anestesi.

Hati berfungsi sebagai organ sintesis protein albumin dan globulin. Pada

pasien dengan gangguan hati dapat terjadi hipoalbuminemia. Kondisi

hipoalbuminemia sangat menghambat proses penyembuhan luka. Penurunan

sintesis globulin di hati menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap infeksi

karena sistem imunitas tubuh secara fungsional kemampuannya menurun. Pada

disfungsi hati yang berat metabolisme glukosa juga terganggu. Terganggunya

penggunaan glukosa dan meningkatnya kadar hormon pertumbuhan dan glukagon

dapat memicu intoleransi glukosa. Sintesis faktor pembekuan darah yang

diproduksi di hati mengalami penurunan pada pasien yang mengalami disfungsi

hati. Koagulopati dan trombositopenia (akibat hipertensi portal) meningkatkan

risiko perdarahan baik pre maupun pasca-operasi. Gangguan faktor pembekuan

Page 4: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

darah terjadi akibat menurunnya sintesis faktor prokoagulan dan antikoagulan,

terganggunya pembersihan faktor koagulasi yang teraktifasi, defisiensi nutrisi

(vitamin K, asam folat), splenomegali, defek kualitatif trombosit dan akibat

penekanan trombopoiesis sumsum tulang.

Pada pasien sirosis, umumnya mengalami perubahan pola hemodinamik yang

bersifat hiperdinamik berupa peningkatan curah jantung, menurunnya resistensi

vascular sistemik dan meningkatnya volume intravaskular. Perfusi jaringan

menurun karena adanya shunting arterio-venosa. Respons sistem kardiovaskular

terhadap simpatomimetik eksogen dan endogen menurun. Shunting intra-

pulmomal, meningkatnya cairan ekstravaskular, diafragma yang mengalami

elevasi karena desakan asites menyebabkan timbulnya mismatch rasio ventilasi

terhadap aliran darah, hipoksemia dan hipoventilasi. Aliran darah ke ginjal juga

cenderung menurun sehingga risiko terjadinya sindrom hepatorenal meningkat.

Hati berperan dalam metabolisme dan eliminasi berbagai jenis obat.

Metabolisme obat pada pasien dengan disfungsi berat akan terganggu karena

menurunnya jumlah hepatosit dan pasokan aliran darah hati. Waktu paruh

beberapa obat menjadi meningkat dan eliminasi menurun. Risiko intoksikasi obat

meningkat. Contohnya, kerja obat penyekat neuromuscular (neuromuscular

blocking) menjadi lebih panjang karena aktivitas enzim pseudokolinesterase

menurun pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati dipengaruhi oleh

faktor stres tindakan operasi dan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan

penyakit hati dipengaruhi oleh faktor stres tindakan operasi dan anestesi.

Tindakan operasi dan anestesi menurunkan pasokan aliran darah menuju hati.

Pasien dengan sirosis sangat peka terhadap perubahan hemodinamik. Semakin

banyak perdarahan semakin banyak penurunan pasokan darah ke hati. Pada

operasi abdomen, aliran darah hati regional menurun karena oklusi struktur

vaskular, terutama apabila arteri hepatika atau vena porta diklem untuk

mengurangi aliran darah selama reseksi hati. Penempatan refraktor di hati dan

manipulasi visera abdominal dapat menurunkan pasokan darah ke hati mencapai

50-60%. Pemberian obat anestesi secara regional maupun general dapat

menurunkan aliran darah hati sampai 30-50 %. Pada orang normal yang menjalani

Page 5: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

tindakan operasi dan anestesi penurunan aliran darah ke hati tidak menimbulkan

iskemia hepatik karena mekanisme kompensasi berupa penurunan kebutuhan

oksigen dan meningkatnya ekstraksi oksigen oleh sel hati. Pada seseorang yang

mengalami gangguan fungsi hati, mekanisme autoregulasi terganggu sehingga

penurunan aliran ke hati sedikit saja mempengaruhi fungsi dan integritas sel hati.

Ketidakcukupan pasokan oksigen merupakan penyebab utama dekompensasi hati

pasca-operatif.

Risiko Pembedahan pada Penyakit Hati

Luas disfungsi hati dan tipe operasi menentukan tingkat morbiditas dan

mortalitas pasien dengan gangguan fungsi hati. Pasien dengan tingkat kerusakan

hati minimal memiliki risiko mortalitas lebih kecil dibandingkan pasien yang

mengalami sirosis yang berat. Tipe operasi dan sifat operasi (emergensi atau

tidak) menentukan risiko mortalitas. Pada pasien sirosis hati yang menjalani

operasi abdomen terbuka memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan operasi

laparoskopi. Seperti disebutkan sebelumnya, penempatan refraktor di hati dan

manipulasi visera abdominal pada operasi abdomen terbuka dapat menyebabkan

penurunan pasokan darah ke hati sebesar 50-60%. Operasi abdomen terbuka

mortalitasnya dapat mencapai 57% dibandingkan laparoskopi yang hanya 20%.

Page 6: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

Operasi laparoskopi lebih aman dibandingkan operasi terbuka. Pada studi

retrospektif yang melibatkan 226 pasien sirosis (Child Pugh A atau B) yang

menjalani kolesistektomi laparoskopi, dilaporkan kematian hanya 2 orang

(0,88%). Operasi bedah emergensi dibandingkan operasi elektif lebih memberikan

risiko mortalitas. Pada pasien dengan sirosis hati operasi jantung emergensi

menyebabkan mortalitas sebesar 80% dibandingkan operasi elektif (3-46 %).

Tingkat kerusakan hati berkorelasi dengan mortalitas pasien. Pasien sirosis

hati dengan nilai prothrombine time (PT) di atas normal, 47% di antaranya

meninggal dibandingkan pasien yang memiliki PT normal yaitu 7%. Pasien sirosis

dengan kategori Child kelas A yang meninggal hanya 10% dibandingkan Child

kelas B 31% dan Child kelas C 76%.

Penilaian Preoperatif

Tujuan penilaian preoperatif pada pasien dengan penyakit hati adalah untuk

menentukan derajat disfungsi hati, menilai faktor risiko morbiditas dan mortalitas

Page 7: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

berkaitan dengan tindakan operasi, sehingga penanganan preoperatif dapat

diberikan secara lebih optimal dan komplikasi pascaoperasi dapat ditekan. Risiko

morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit hati tergantung pada derajat

disfungsi hati dan tipe operasi. Pemeriksaan biokimiawi konvensional yang

mencerminkan gangguan fungsi hati berkorelasi lemah dengan tingkat disfungsi

hati. Salah satu contoh, pasien dengan sirosis awal parameter biokimiawinya

masih mungkin dalam keadaan normal. Contoh lain, pada pasien dengan

peningkatan transaminase masih sulit untuk menilai apakah perjalanan gangguan

tersebut baru mulai atau sudah dalam perbaikan. Oleh sebab itu dalam

memberikan penilaian preoperatif diperlukan pengumpulan dan penilaian data

secara lebih teliti sehingga dapat direncanakan kapan saatnya tindakan operasi.

Evaluasi preoperatif dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Anamnesis selain menggali keluhan pasien juga diarahkan untuk mendapatkan

faktor risiko penyakit hati, seperti riwayat transfusi darah, minum alkohol

berlebih, penggunaan obat narkotika intravena dan hubungan seks yang berisiko

tinggi. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda hepatitis

akut/kronis seperti: pruritus, ikterus, hepato-splenomegali, asites, palmar eritem,

atrofi testis, spider nevi, dilatasi vena di dinding abdomen, ginekomasti, dan

sebagainya.

Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat lebih mengarahkan ada

tidaknya disfungsi hati sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perlu

tidaknya pemeriksaan labortorium dan pemeriksaan pendukung lainnya. Faktor

penyulit yang merupakan bentuk kegagalan fungsi hati primer, seperti asites,

koagulopati, ensefalopati, hipoalbuminemia, peningkatan kadar bilirubin, asites

dan malnutrisi harus diidentifikasi. Bentuk kegagalan fungsi hati sekunder yang

dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular, otak, sistem endokrin, ginjal dan

sistem imunitas juga harus dinilai dengan teliti.

Penilaian Resiko Operasi Pada Pasien Sirosis Hepatis

Penilaian menggunakan Chil-Pugh classification atau Pugh scoring system

dan Model of End State Liver Disease (MELD) score sering digunakan untuk

menilai risiko operasi pada pasien sirosis hati. Klasifikasi Child-Pugh (klas A, B

Page 8: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

atau C) menilai kombinasi 3 parameter biokimiawi (pro-thrombin time, albumin,

bilirubin) dan 3 parameter klinis (status nutrisi, ada/tidak asites, ensefalopati).

Sistem skor Pugh hampir sama dengan klasifikasi Child-Pugh hanya parameter

nutrisi tidak dinilai. Penilaiannya hampir sama, yaitu: Child kelas A identik

dengan skor Pugh 5-6, Child kelas B identiK dengan skor Pugh 7-9 dan Child C

identik dengan skor Pugh 10-15. Makin tinggi kelas atau skor makin besar

mortalitasnya.

MELD score pada awalnya dikembangkan dan divalidasi untuk menilai

prognosis pasien sirosis yang menjalani prosedur transjugular intrahepatic

portosystemic shunt (TIPS). Nilai skor terdiri atas 3 parameter objektif, yaitu

serum international normalized ratio (INR), bilirubin total dan kadar kreatinin.

Berdasarkan beberapa studi, MELD score, yang merupakan parameter objektif

dalam menilai derajat sirosis, sangat bermanfaat sebagai prediktor preoperatif

risiko mortalitas pada pasien sirosis yang menjalani operasi. Pasien sirosis dengan

skor >15 memiliki risiko mortalitas tinggi. Apabila operasi harus dilakukan maka

perlu dipilih alternatif metode operasi (misalnya, laparotomi terbuka diganti

dengan laparoskopi), atau operasi dilakukan secara hati-hati dan pasien dipantau

secara ketat. Pasien sirosis hati mempunyai risiko mortalitas tinggi apabila (1)

menjalani operasi emergensi, operasi abdomen (kolesistektomi, reseksi gaster,

kolektomi), operasi jantung dan reseksi hati, (2). Pasien memiliki penampilan

klinis seperti seperti: sirosis Child (C>B), asites, ensefalopati, infeksi, anemia,

malnutrisi, ikterus, hipoalbuminemia, hipertensi portal, pemanjangan waktu

protrombin >2,5 di atas normal yang tidak terkoreksi dengan vitamin K.

Page 9: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

Penatalaksanaan Perioperatif

Penyebab kematian utama pada pasien penyakit hati berat yang menjalani

operasi adalah perdarahan, sepsis, kegagalan hati (ensefalopati) dan sindrom

hepato-renal. Agar penanganan menjadi lebih optimal maka pasien penyakit hati

sebaiknya dirawat oleh tim multi disiplin yang terdiri dari ahli bedah, anestesi,

internist/hepatologist, cardiologist, ahli gizi medik, intencivist, dan disiplin ilmu

lain sesuai keperluan.

Penanganan faktor penyulit seperti malnutrisi, koagulopati, asites,

ensefalopati, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit, perdarahan varises, serta

pemilihan teknik, obat anestesi dan pemantauan pasca-operasi harus dilakukan

secara optimal agar dapat menurunkan komplikasi dan kematian pasca-operasi.

I. Pertimbangan preoperatif

Pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi mengalami penurunan fungsi

hepar karena terbatasnya reservasi fungsional. Keberhasilan penanganan anestesi

pada apsien tergantung pada pengenalan sifat/jenis multisistem dari sirosis dan

mengontrol atau mencegah komplikasinya.

Page 10: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

Manifestasi Sirosis dan Penatalaksanaan Preoperatifnya

a.  Manifestasi Gastrointestinal

Hipertensi portal (>10mmHg) mengakibatkan berkembangnya saluran portal-

vena sistemik kolateral yang panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat

kolateral utama : gastroesofageal, hemorrhoidal, periumbilical, dan

retroperitoneal. Hipertensi portal sering muncul sebelum operasi seperti

dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada dinding abdominal  (caput

medusa). Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah penyebab

utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari

kehilangan banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada

daerah intestinal) dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic.

Endoskopi merupakan alat diagnosis dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap

tempat perdarahan sangat penting, karena pasien ini akan mengalami perdarahan

dari ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi berbeda.

Penanganan perdarahan varises umumnya secara suportif. Darah yang hilang

harus digantikan dengan cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk

didalamnya vasopressin (0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon

tamponade (dengan tube Sengstaken Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti

dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari varises. Vasopressin,

somatostatin, dan propanolol, mengurangi kehilangan darah. Vasopressin dalam

dosis tinggi dapat dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau miokardial

iskemik, infuse concomitant dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi

kemungkinan komplikasi, selain itu juga mengurangi pendarahan. Endoskopik

sclerosis atau ligasi dari varises biasanya efektif untuk menghentikan

perdarahan +   90% dari seluruh perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic

portosystemic shunts (TIPS) dapat menurunkan hipertensi portal dan perdarahan

(tapi, dapat meningkatkan luasnya jangkitan  encephalopathy). Pada saat

perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat harus

dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan

tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium.

Prosedur shunting umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan resiko

rendah, sedangkan pembedahan ablasi, transreseksi esophageal, dan

Page 11: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

devaskularisasi gaster direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non

selektif (portacaval dan proksimal splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada

shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir ini menekan varises tapi tidak

merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil kemungkinan

untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi.

Asites pada pasien sirosis harus dikendalikan, karena dapat mengganggu

ekspansi paru, menyebabkan herniasi dinding abdomen dan mengganggu

penyembuhan luka. Asites dapat dikurangi dengan pemberian diuretik atau

parasentesis sebelum operasi, atau drainase pada saat laparotomi. Parasentesis 4-5

liter tanpa pemberian albumin relatif aman. Total parasentesis yang mencapai 8-

10 liter perlu diimbangi dengan pemberian albumin infus. Cairan asites sebaiknya

diperiksa untuk mengetahui peritonitis bacterial spontan.

b.  Manifestasi Hematologi

Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan

muncul. Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya

kehilangan darah, meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum

tulang, dan defisiensi nutrisi. Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal)

memiliki peran yang sangat besar dalam trombositopenia dan leucopenia.

Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar. Fibrinolisis yang

bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat

berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfusi darah

sebelum operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen.

Protein yang tidak bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyak dapat

mempercepat encephalopathy. Tapi bagaimanapun, koagulopati harus

disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor pembekuan harus digantikan

dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan kriopresipitat.

Koagulopati dan trombositopenia pada pasien penyakit hati harus dikoreksi

karena berisiko perdarahan durante atau setelah operasi. Koagulopati dikoreksi

dengan pemberian vitamin K 10 mg secara parenteral, fresh frozen plasma (FFP)

setiap 12 jam dengan dosis 10-15 ml/kg. Dosis >30 mL/kg dalam 24 jam berisiko

terjadinya kelebihan volume (volume overload). Infus creopricipitate perlu

Page 12: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

diberikan apabila kadar fibrinogen <75 mg/dL. Bila kadar trombosit <

50.000/mm3 transfusi trombosit perlu diberikan.

c.  Manifestasi sirkulasi

Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik.

Cardiac output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan

muncul. Shunting arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan

pulmonal. Shunting arteriovenous bersama dengan penurunan dalam viskositas

darah karena anemia setidaknya berpengaruh 50% untuk cardiac output. Pasien

dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat meningkatkan kegagalan

jantung kongestif dengan mudah.

d.  Manifestasi respiratory

Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul

ventilasi mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis

respirasi. Umumnya terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40%

dari cardiac output). Shunting disebabkan oleh komunikasiarteriovenous

pulmonary (absolute) dan kesalahan ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma

dari asites yang menurunkan volume paru-paru, khususnya kapasitas residu

fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah yang sangat

besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang

meningkatkan kerja pernapasan.

Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna

sebelum operasi karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam

gejala klinisnya. Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites

massif dan pertimbangan pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati

karena perpindahan cairan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps

sirkulasi.

e. Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan

Pengaturan ulang keseimbangan cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai

asites, edema, gangguan elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting

yang berperan serta dalam timbulnya asites, yaitu :

Page 13: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

1. Hipertensi potal, yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan transudasi

cairan melewati usus

2. Hipoalbuminemia, yang menurunkan tekanan onkotik plasma dan

transudasi cairan

3. Perembesan cairan limfe yang kaya protein dari permukaan serosa hepar

menjadi distorsi dan obstruksi saluran limfe di hepar

4. Retensi natrium renal (dan seringkali air).

Kedua teori “underfilling” dan “overflow” telah diajukan untuk menjelaskan

retensi natrium. Teori “underfilling” menyatakan bahwa meskipun total cairan

ekstraseluleryang dapat diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan

asites meningkat, volume plasma efektif malah menurun; retensi natrium kurang

penting untuk hipovolemia relatif dan hiperaldosteronisme sekunder.

Ketidaksesuaian yang terlihat antara ukuran volume plasma efekstif dapat

dijelaskan dengan peningkatan volume darah splanchnic. Sebaliknya teori

“overflow” beranggapan bahwa abnormalitas yang utama adalah retensi natrium

oleh ginjal asites merepresentasikan transudasi menengah ke volume plasma yang

semakin meluas. Pasien dengan asites telah meningkatkan level sirkulasi

katekolamin, yang dianggap disebabkan oleh aliran simpatetik. Sebagai tambahan

untuk peningkatan rennin dan angiotensin II, pasien menunjukkan intensifitas

pada sirkulasi atrial natriuretic peptide.

Tanpa mengindahkan keterlibatan mekanisme, pasien sirosis dan asites telah

mengurangi perfusi renal, merubah hemodinamik intrarenal, memperbesar

reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan distal, dan gangguan pada klirens air

bebas. Hiponatremia dan hipokalemia sudah umum terjadi. Hiponatremia adalah

pengenceran, sedangkan hipokalemi disebabkan oleh kehilangan kalium melalui

urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme sekunder atau diuresis).

Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih buruk dapat terlihat

dengan berkembangnya sindroma hepatorenal.

Sindrom hepatorenal adalah suatu gangguan fungsi renal pada pasien sirosis

yang biasanya diikuti dengan perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis

atau pembedahan mayor. Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan

retensi natrium yang banyak, azotemia, intractable ascites, dan mortality rate yang

Page 14: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering tidak berhasil kecuali jika

dilakukan transplantasi hepar.

Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien

penyakit hepar tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi

tidak dapat terlalu mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat

berlebihan harus dihindari, dan deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi

denagn infuse koloid. Diuresis dari asites dan cairan edema harus diselesaikan

setelah beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan setelah pemberian

tindakan seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi spironolakton

dianggap tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk

mencegah pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang

menderita asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan

selama diuresis, sementara mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus

dihilangkan lebih dari 0,5 kg/d. Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga

harus diretriksi cairan, sedangkan deficit kalium harus diganti melalui preoperasi.

Infus manitol propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk mencegah kerusakan

renal, tapi hal ini belum dibuktikan secara pasti.

Menghindari obat-obatan yang bersifat nefrotoksik (obat anti inflamasi

nonsteroid, antibiotik golongan aminoglikosid) dan selalu memperhatikan

keseimbangan cairan tubuh dapat mengurangi risiko gagal ginjal akut. Tindakan

dialisis preoperatif perlu dilakukan apabila dengan cara konvensional azotemia

tidak terkoreksi.

f. Manifestasi Sistem Saraf Pusat

Encephalopaty hepatic ditandai dengan perubahan pada status mental dengan

tanda-tanda neurologist yang tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar

yang abnormal) dan perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggi-

simetris, aktivitas gelombang yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami

peningkatan tekanan intracranial. Encephalopaty metabolic berhubungan dengan

jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul maupun derajat shunting dari daerah

portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Akumulasi

substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara

normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia,

Page 15: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

methionine metabolit (mercaptans), rangkaian pendek nasam lemak, dan phenol.

Keabnormalan lainnya termasuk naiknya level darah dari asam amino aromatic,

menurunnya level darah dari asam amino rantai cabang, peningkatan penyerapan

oleh sawar darah otak, dan level tinggi yang abnormal dari g-aminobutiric acid

dalam otak. Faktor-faktor yang diketahui mempercepat encephalopathy hepatic

termasuk perdarahan gastrointestinal, meningkatkan pemasukan diet protein,

alkalosis hipokalemi (dari muntah-muntah atau diuresis), infeksi dan

memburuknya fungsi hepar.

Encephalopaty seharusnya ditangani secara agresif preoperative. Hal-hal yang

bias memicunya harus dikoreksi. Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500

mg 96h berguna untuk menurunkan penyerapan ammonia intestinal. Laktulosa

berperan sebagai osmotic laxative dan seperti neomycin mungkin menghalangi

produksi ammonia dan bakteri intestinal. Pencegahan sedative pada pasien dengan

encephalopathy dianjurkan.

g. Manifestasi Malnutrisi

Pasien dengan sirosis yang mengalami malnutrisi memiliki risiko mortalitas

yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami gangguan nutrisi.

Malnutrisi meningkatkan kebutuhan transfusi sel darah merah, FFP, memperlama

penyembuhan dan perawatan. Pada pasien penyakit hati tingkat lanjut, pemberian

nutrisi parenteral atau enteral harus segera dimulai pada preoperatif karena pasca-

operatif terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi. Pemilihan nutrisi harus

mengandung karbohidrat dan lemak lebih tinggi serta mengurangi asam amino

aromatik.

II. Pertimbangan Intraoperatif

a.  Respon Obat

Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis.

Perubahan pada kepekaan system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein,

metabolisme obat, dan eliminasi obat sudah umum. Banyak pasien yang

menunjukkan peningkatan kepekaan system saraf pusat ke thiopental, sementara

beberapa dengan sejarah alkoholik akan terlihat menunjukkan toleransi.

Page 16: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan dengan ion tinggi, misalnya

neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan oleh

meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat dapat diobservasi,

membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal. Bagaimanapun, dosis

yang lebih kecildari yang dibutuhkan oleh anti neuromuscular blocking agent

bergantung pada eliminasi di hepar (pancuronium, recuroniam, dan vecuronium)

juga diperlukan. Ini merupakan waktu penanganan yang lama untuk

succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level pseudocholinesterase, tapi

jarang bermanifestasi klinis.

b. Teknik Anestesi

Anestesi regional maupun umum menurunkan aliran darah hati sampai 30-

50%. Penurunan aliran darah ke hati disebabkan pengaruh intermittent positive

presure ventilation dan efek obat anestesi yang mempengaruhi tekanan darah serta

curah jantung dapat memicu dekompensasi hati dan ensefalopati. Pada induksi

anastesi apabila diperlukan dosis tiopental harus diturunkan. Pemberian ketamine

drip pada 151 pasien yang mengalami gangguan fungsi hati bersifat aman dan

tidak mengganggu fungsi hati. Tidak jelas manakah yang lebih baik antara

anestesi regional atau umum, namun anestesi regional sebaiknya dihindari pada

pasien yang mengalami trombositopeni terkait hipersplenik. Apabila

menggunakan anestesi umum dosis sebaiknya dititrasi. Penggunaan isofluran

relatif memberikan risiko lebih kecil dibandingkan preparat lain karena efek

penurunan aliran darah ke hati lebih minimal.

Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat

bergantung pada perfusi arteri hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic

dan pencegahan terhadap agen yang memiliki kemungkinan memberikan efek

yang merugikan fungsi hepar harus kritis. Anestesi regional bisa dilakukan pada

pasien tanpa trombositopenia atau koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas

normal harus diarahkan untuk menghindari hipotensi. Induksi barbiturate diikuti

dengan isofluran dalam oksigen atau campuran oksigen-nitrous oxide adalah yang

paling umum digunakan dalam anestesi pada umumnya. Penggunaan halotan

biasanya dihindari supaya tidak mengacaukan diagnosis jika tes hepar memburuk

post operasi. Penambahan opioid mengurangi dosis anestesi inhalasi yang

Page 17: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama. Cisatracurium bisa jadi agen

yang memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang

unik.

Mual sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi

abdomen yang diakibatkan oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi

yang terencanakan dengan baik. Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering

dengan tekanan cricoid sangat sering dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil

dan mereka dengan perdarahan aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau induksi

yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan ketamine (ethiomidate) dan

succyniocholine.

c.  Monitoring

Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting

bagi pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada

pasien yang diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard,

vasokonstriksi koroner. Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan

pengukuran gas darah arteri untuk mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan

shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang besar tidak dapat mentoleransi

penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan positif akhir ekspirasi

(PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan hipoksemia yang

mungkin akan terjadi.

Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap

kebanyakan pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai

akibat dari perdarahan yang sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental

yang sering dan manipulasi pembedahan. Status volume intravascular seringkali

sulit ditentukan tanpa ada monitoring, juga pada vena sentral atau tekanan arteri

pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin kritis untuk mencegah sindrom

hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat, mannitol atau

dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh urinary

output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.

Page 18: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

d.  Pemberian  cairan

Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun

pada intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output

lebih diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk

menghindari berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan

onkotik. Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan

hebat dan perpindahan cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur

abdominal. Venous engorgement dari hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah

pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang menyebabkan perdarahan hebat

selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur pembedahan yang

berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar.

Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi

yang dalam dan gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan

asites. Karena sebagian besar pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum

operasi, transfusi merupakan hal yang sering dilakukan. Transfusi penting, bisa

memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat, merupakan antikoagulan dalam

persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme dalam hepar

dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena

mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium

mengakibatkan hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk

menghilangkan efek negative inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion

darah.

III. Pertimbangan Post operatif

Pasca-operasi pasien dengan gangguan fungsi hati harus dipantau secara

ketat. Jika preoperatif pasien memiliki faktor risiko tinggi maka pemantauan di

ICU diperlukan. Pasien harus dipantau secara teliti adanya tanda - tanda

dekompensasi hati, yaitu peningkatan kadar bilirubin dibandingkan preoperasi,

koagulopati, tanda - tanda disseminated intravascular coagulation (DIC),

ensefalopati dan asites. Fungsi renal harus dipantau untuk mengantisipasi risiko

sindrom hepato-renal. Kadar glukosa juga perlu dipantau karena pada

dekompensasi hati sering terjadi hipoglikemia. Tidak kalah penting adalah selalu

Page 19: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

menjaga stabilitas hemodinamik dan melakukan tindakan medis secara steril

untuk mengurangi risiko infeksi.

KESIMPULAN

Pasien dengan sirosis hepatis, yang mengalami gangguan sintesis,

metabolisme, perubahan hemodinamik dan koagulopati memiliki risiko tinggi

mengalami morbiditas dan mortalitas akibat stres tindakan bedah dan anestesi.

Tipe operasi dan luasnya disfungsi hati menentukan tingkat morbiditas dan

mortalitas pasien dengan gangguan sirosis hati. Pasien dengan operasi abdomen

terbuka dan bersifat emergensi memiliki risiko mortalitas yang tinggi.

Penatalaksanaan perioperatif mulai dari pre, intra, dan post operatif sangat penting

diperhatikan. Penilaian preoperatif dan persiapan yang optimal pada pasien sirosis

dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pascaoperasi. Penanganan

faktor penyulit (malnutrisi, koagulopati, asites, ensefalopati, hipoalbuminemia,

perdarahan varies), penanganan intraoperatif, dan pemantauan pasca-operasi harus

dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian

pascaoperasi.

Page 20: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

DAFTAR PUSTAKA

Garrison RN, Cryer HM, Howard DA, Polk HC. Clarification of risk factors for

abdominal operations in patients with hepatic cirrhosis. Ann Surg

1984;199(6):648-54.

Haranath SP. Perioperative management of the patient with liver disease. Loist

updated: 2006. Acsessect February 2007. Available from

http://www.emedicine.com.

Ziser A, Plevak DJ. Morbidity and mortality in cirrhotic patients undergoing

anesthesia and surgery. Current Opinion in Anaesthesiology 2001;14:707-11.

Pannen BHJ. Hepatic blood flow during anaesthesia and surgery. Europian

Society of Anaesthesiologist 2000. Available from

http:/www.euroanesthesia.org/rc-vienna/04rcl.HTM.

Friedman L.S. The risk of surgery in patients with liver disease. Hepatology 1999;

29(6):1617-23.

Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad

Med 1999;106(4):187-95.

Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:264-

75.

Yeh CN, Chen MF, Jan YY. Laparoscopic cholecystectomy in 226 cirrhotic

patients. Experience of a single center in Taiwan. Surg Endosc 2002;16:

1583-7.

Suman A., Carey W. Assessing the risk of surgery in patients with liver disease.

Cleveland Clinic J of Medicine 2006;73(4):398-404.

Patel T. Surgery in he patient with liver disease. Mayo Clin Prac 1999;74:593-9.

Wiklund RA. Preoperative preparation of patients with advanced liver disease.

Crit Care Med 2004;32(4,Suppl):S106-S115.

Northup PG, Wanamaker RC, Lee VD, Adams RB, Berg CL. Ann Surgery 2005;

242:244-51.

Lu W, Wai CT. Surgery in patients with advanced liver cirrhosis : a Pandora’s

box. Singapore Med J 2006;47(2):152-5.

Page 21: Penatalaksanaan Perioperatif Sirosis Hepatis

Keegan MT, Plevak DJ. Preoperative assessment of the patient with liver disease.

Am J Gastroeterol 2005;100:2116-27

Heidelbaugh JL, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure: Part II.

Complication and treatment. Am Fam Physician 2006;74(5):767-76.

Clarke P, Bellamy MC. Anaesthesia for patients with liver disease. Bulletin 4 The

Royal College of Anaesthetists 2000;158-61.