21
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. Tabel 2.8 Rencana Tatalaksan Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya Deraja t LFG(ml/mnt/ 1,73m 2 Rencana Tatalaksana 1 2 3 4 5 > 90 60-89 30-59 12-29 <15 - Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid evaluasi pemburukan (progression) Fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler - Menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal - Evaluasi dan terapi komplikasi - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

PENATALAKSANAAN GGK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gagal ginjal kronis

Citation preview

Page 1: PENATALAKSANAAN GGK

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum

terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran

ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi

ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila

LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap penyakit dasar sudah

tidak banyak bermanfaat.

Tabel 2.8 Rencana Tatalaksan Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan

Derajatnya

Derajat LFG(ml/mnt/1,73m2 Rencana Tatalaksana

1

2

3

4

5

> 90

60-89

30-59

12-29

<15

- Terapi penyakit dasar, kondisi

komorbid evaluasi pemburukan

(progression) Fungsi ginjal,

memperkecil resiko kardiovaskuler

- Menghambat pemburukan

(progression) fungsi ginjal

- Evaluasi dan terapi komplikasi

- Persiapan untuk terapi pengganti

ginjal

- Terapi Pengganti Ginjal

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada passien

penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed

factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara

lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol infeksi traktus

urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas

penyakit dasarnya.

3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

Page 2: PENATALAKSANAAN GGK

Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya

hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis pemburukan fungsi ginjal

dapat dilihat pada gambar 1.

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:

Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada

LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak

selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 kg.bb/hari, yang 0,35 – 0,50 gr

diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan

sebesar 30 -35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status

nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat

ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak

disimpan dalam tubuh tapi dipecah dipecah menjadi urea dan subtansi nitrogen lain ,

yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi

protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan

subtansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan

metabolik yang disebut uremia.’

Tabel 2.9 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit

Ginjal Kronik

LFG

ml/menit

Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari

>60

25 – 60

5-25

<60

Tidak dianjurkan

0,6-0,8/kg/hari, termasuk >

0,35 gr/kg/hari nilai biologi

tertinggi

0,6-0,8/kg/hari, termasuk >

0,35 gr/kg/hari protein nilai

biologi tertinggi atau

tambahan 0,3 g asam amino

esensial atau asam keton

0,8/kg/hr(+ 1 gr protein /g

proteinuria atau 0,3 gr/kg

Tidak di batasi

< 10 g

< 10 g

< 9 gram

Page 3: PENATALAKSANAAN GGK

(sindrom

nefrotik)

tambahan asam amino

esensial asam keton

Dengan demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan

berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah supan protein berlebih

(protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa

peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus

hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena

protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu

untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Terapi Farmakologis. Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.

Pemakaian obat anti hipertenasi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko

kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan

nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.

Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah mempunyai peran

yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil

hipertensi intraglomerulus dan hipertrogi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi

farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas

bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan

kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada

penyakit ginjal kronik.

Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Komveting

Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai

studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi

lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap kardiovaskular merupakan hal yang penting,

karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit

kaediovaskular adalah, pengedalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian

dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi

terhadap kelebihan cairan dengan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini

Page 4: PENATALAKSANAAN GGK

terkait dengan penncegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik

secara keseluruhan.

5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya

sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.

Tabel 2.10 Komplikasi Penyakit Ginjal Klinik

Derajat Penjelasan LFG

(ml/mnt)

Komplikasi

1

2

3

4

5

Kerusakan Ginjal

dengan LFG normal

Kerusakan Ginjal

dengan penurunan LFG

ringan

Penurunan LFG sedang

Penurunan LFG berat

Gagal ginjal

> 90

60-89

30-59

15-29

<15

- Tekanan darah mulai

- Hiperfosfatemia

- Hipokalcemia

- Anemia

- Hiperparatiroid

- Hipertensi

- Hiperhomosistinemia

- Malnutrisi

- Asidiosis Metabolik

- Cenderung Hiperkalemia

- Dislipedemia

- Gagal Jantung

- Uremia

Anemia. Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada

penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Hal – hal yang ikut

berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi kehilangan darah (missal;

Page 5: PENATALAKSANAAN GGK

pendarahan saluran cerna, hematuri) masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya

hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses

inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10

g % atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besis serum/serum

iron, kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber

pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila

ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian

EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam

mekanisme kerjanya. Pemberian tansfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara

hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang

dilakukan secraa tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan

pemburukan fungsi ginjal sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12

g/dl.

Osteodistrofi Renal. Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal

kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara

mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3).

Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat

fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien

dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi Hiperfosfatemia

a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien

penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah

garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti

susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang

terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.

b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipeke adalah, garam kalsium,

alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secra oral, untuk

menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak

dipake adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate table 9. Memperlihatkan

cara dan jenis pengikat fosafat, efikasi dan efek sampingnya.

c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini

dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid,

Page 6: PENATALAKSANAAN GGK

dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan

dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

Tabel 2.11 Fosfat, Efikasi dan Efek Sampingnya

Cara/Bahan Efikasi Efek Samping

Diet rendah fosfat

Al(OH)3

Ca CO3

Ca Acetat

Mg(OH)2/MgCO3

Tidak selalu mudah

Bagus

Sedang

Sangat Bagus

Sedang

Malnutrisi

Intosikasi Al

Hipercalcemia

Mual,muntah

Intoksikasi Mg

Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3)

Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi

pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium

disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium

carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik.Disamping itu juga dapat

mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu

pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone

paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.

Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.

Hal ini bertujuan untuk mencegahter jadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang

masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urine maupun

insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible water antara

500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubu), maka air yang masuk dianjurka 500-

800 ml ditambah jumlah urine.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan

kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh

karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium danmakanan yang tinggi kalium

(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt.

Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam

natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang

terjadi.

Page 7: PENATALAKSANAAN GGK

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Terapi pengganti ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG

kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal

dialysis atau transplantasi ginjal.

1. Hemodialisis (HD)

a. Indikasi untuk inisiasi terapi dialisis

Inisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksikazotemia,

dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis terlalu cepat pada pasien GGKyang belum tahap

akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Menurut hematpenulis keputusan untuk

inisiasi terapi dialisis berdasarkan pertimbangan klinisdan parameter biokimia.

Tidak jarang presentasi klinik retensi atau akumulasitoksin azotemia tidak sejalan

dengan gangguan biokimia.

Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila

LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

Pemeriksaan LFG (radionuklida) paling tepat untuk mencermin faal ginjal

yangsebenarnya, sesuai dengan klirens inulin. Pemeriksaan ini terbatas di RS

Rujukan. Untuk kepentingan klinis, estimasi klirens kreatinin dapat digunakan

formula Cockcroft dan Gault.

Tabel 2.12 Indikasi inisiasi terapi dialisis

1. Indikasi absolut

Periecarditis

Ensefalopati / neuropati azotemik

Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif

dengan diuretik

Hipertensi refrakter

Muntah persisten

Page 8: PENATALAKSANAAN GGK

BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %

2. Indikasi elektip

LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2

Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat

b. Persiapan untuk program dialisis regular

Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapatinformasi

yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.

Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular

a) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu

b) Psikoligis yang stabil

c) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak

terbatas sebelum transplantasi ginjal

d) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah

ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup

optimal

e) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :

- Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan

- Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis

f) Operasi A-V fístula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/% terutama

pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

2. Dialisis peritoneal ( DP )

Sejak diperkenalkan kateter peritoneal yang permanen oleh PALMER (1964), mesin

dialisis peritoneal oleh BOEN (1962), maka DP mulai dikembangkan untukpasien-

pasien gagal ginjal kronik. Mesin DP yang dirancang oleh TENCKHOFF (1969) mulai

digunakan untuk dialisis di rumah (home peritoneal dialysis).Pada saat ini mesin DP

yang otomatis sudah populer di pusat-pusat ginjal (renal center) di luar negeri seperti

Lasker peritoneal automatic cycler (LASKER, 1971) dan reverse osmosis (RO)

peritoneal dialysis (PD) machine (TENCKHOFF, 1972).

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di

pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Frekuensi dialisisperitoneal intermiten makin

meningkat, di Amerika 2-3% dan Kanada 10% dari semua pasien yang memerlukan

Page 9: PENATALAKSANAAN GGK

dialisis peritoneal intermiten. TENCKHOF (1974) telah meramalkan bahwa dari semua

pasien yang memerlukan dialisis kronik di Kanada (40-50%), diantaranya kira-kira 20-

25% akan memerlukan dialisis peritoneal kronik.

Indikasi medik CAPD:

- pasien anak-anak dan orang tua, umur lebih dari 65 tahun

- pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskuler, misal infark

miokard atau iskemi koroner

- pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan

hemodialisis.

- kesulitan pembuatan AV shunting

- pasien dengan stroke

- pasien GGT dengan residual urin masih cukup

- pasien neropati diabetik disertai co-morbiditi dan co-mortaliti

Indikasi non-medik :

- Keinginan pasien sendiri

- Tingkat intelektual tinggi untuk melaksanakan sendiri (mandiri)

- Di daerah yang jauh dari pusat ginjal

Tabel 2.13 Efek Hemodialisis Pada Syndrome Azotemia

Gambaran klinik Efek hemodialisis

Mual dan muntah

Anoreksia dan penurunan berat badan

Pruritus

Pigmentasi

Anemianormokrom normositer

Kecenderungan perdarahan

Peka terhadap infeksi

Amenorrhoe

Penurunan libido atau impoten

Kejang-kejang

Kelainan psikis

Cepat menghilang

Umumnya akan kembali normal

Kadang-kadang hilang / menetap

Cepat menghilang

Pada permulaan HD terdapat penurunan

Hb, kemudian naik kembali

Biasanya dapat dikendalikan

Sebagian hilang

Periode latent cepat kembali, tetapi

ovulasi jarang kembali normal lagi

Mungkin terdapat perbaikan

Umumnya dapat dihindarkan

Perbaikan/sembuh/memburuk

Page 10: PENATALAKSANAAN GGK

Kelainan EEG

Insomnia

Muscle twiching, restless syndrome

Neropati perifir

Kejang otot

Kalsifikasi metastatik

Osteodistrofi renal

Miopati

Perikarditis

Hipertensi

Kembali normal

Seringkali menetap

Perbaikan / penyembuhan

Perbaikan lambat

Menetap

Deposit-deposit kalsium pada jaringan

hilang tetapi kalsifikasi metastatik

mengenai pembuluh darah menjadi lebih

buruk

Perbaikan / menetap / memburuk

Diikuti oleh kenaikan tulang

Tidak selalu dapat dihindarkan

Mungkin dapat dikontrol

Keuntungan program CAPD :

(a) Eleminasi toksin azotemia kontinu setiap hari, tidak fluktuasi seperti hemodialisis

(b) Jarang mendapat tranfusi darah sehingga terhindar infeksi hepatitis B atau non-A

non-B

(c) Menghadapi kedaruratan medik dapat mengatasi sendiri berdasarkan panduan yang

telah ditetapkan:

- Overhydration dengan bendungan paru akut

- Hiperkalemia

- Gejala dini peritonitis

(d) Pembatasan konsumsi air dan makanan tidak ketat

(e) Terhindar dari komplikasi toksin middle molekules dan angiotensin-H

(f) Pasien lebih bebas dalam tugas sehari-hari, tidak terikat jadwal hemodialisis di

Rumah Sakit

Kendala program CAPD di Indonesia :

- Biaya CAPD per bulan masih lebih mahal dari HD.

- Sanitasi lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien merupakan

faktor yang tidak menunjang program CAPD.

Prognosis pasien dialisis

Page 11: PENATALAKSANAAN GGK

Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor terutama

seleksi pasien dan saat rujukan.

1. Umur

Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih panjang,

mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun kemungkinan terdapat

komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar.

2. Saat rujukan

Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat seperti koma,

perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD.

3. Etiologi GGT

Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat

mempengaruhi masa hidup.

Hal ini berhubungan dengan penyakit dasarnya sudah berat maupun kemungkinan

timbul komplikasi akut atau kronik selama HD.

4. Hipertensi

Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko vaskuler

(kardiovaskuler dan serebral)

5. Penyakit sistem kardiovaskuler

Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan faktor risiko

tindakan HD.

Program CAPD merupakan faktor pilihan / alternatif yang paling aman.

6. Kepribadian dan personalitas

Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT dengan program

HD kronik.

7. Kepatuhan (complience)

Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik misal

kepribadian, finansial dan lain-lain.

3. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).

Pertimbangan program transplantasi ginjal :

(a) Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal

ginjal,sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal ginjal alamiah.

(b) Kualitas hidup normal kembali

Page 12: PENATALAKSANAAN GGK

(c) Masa hidup (survival rate) lebih lama

(d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat

imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

(e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

Persiapan program transplantasi ginjal

(a) Pemeriksaan imunologi

- Golongan darah ABO

- Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )

(b) Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

Pemeriksaan imunologi merupakan kunci keberhasilan program transplantasi ginjal.

(a) Golongan darah ABO

- Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor menyebabkan

reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate rejection)

- Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.

(b) Tissue typing HLA (human leucocyte antigen).

Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex) :

- Kelas (I) antigen : * HLA – A

* HLA – B

* HLA-C

- Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)

Data hubungan antara antigen MCH dan graft survival

1. Transplantasi antara saudara kembar (identical twin) atau isograft memberikan hasil

sempurna

2. Graft survival antara saudara kandung dengan HLA identik; misal 2 haplotype

matches akan menyerupai isograft

3. Graft survival mencapai 75% (tahun ke 3) dari ginjal cangkok saudara kandung

dengan 1 haplotype

4. Graft survival mencapai 60% (tahun ke 3) dari ginjal cangkok saudara kandung

dengan tanpa haplotype.

Page 13: PENATALAKSANAAN GGK

5. Analisis data graft survival dari cadaver sulit karena tanpa pemeriksaan HLA - D

(DR).

Penelitian memperlihatkan bahwa HLA-C tidak berperan untuk graft survival, sebaliknya

identifikasi HLA - D (DR) sangat menentukan hasil graft survival.

Seleksi resipien

Kriteria untuk dipertimbangkan program transplantasi :

(a) Umur ideal resipien antara 12-55 tahun dan tersedia donor hidup keluarga (living

related donor):

Saudara kembar (idential twin)

Saudara kandung (sibling) dengan HLA identik

Morbiditas dan mortalitas meningkat bila umur resipien > 55 tahun

(b) Tidak dianjurkan program transplantasi ginjal bila menderita ateroma berat, sepsis

kronik, keganasan.

(c) Diabetes mellitus dan penyakit amiloid tidak merupakan indikasi kontra mutlak

program transplantasi ginjal asal kondisi jantung normal

(d) Program transplantasi ginjal ditangguhkan bila resipien menderita infeksi saluran

kemih akut, tuberkulosis paru, dan herpes simpleks.

(e) Mempunyai kemampuan finansial cukup untuk mendapat terapi imunosupresif jangka

lama

Kontra indikasi mutlak

(a) Golongan darah ABO tidak serasi

(b) Reaksi silang (crossmatch) positif kecuali untuk B-cell atau D-locus

(c) Sitotoksik antibodi pada resipien terhadap HLA antigen donor

(d) Infeksi aktif

Disseminated histoplasmosis / coccidioidomycosis

Tuberkulosis paru

ISK akut/kronik

Hepatitis B

(e) Ulkus peptikum masih aktif

Kontra indikasi relatif

Page 14: PENATALAKSANAAN GGK

(a) Untuk transplantasi ulang masih mengandung HLA donor sebagai penyebabreaksi

penolakan.

(b) Antiglomerular basement membrane antibody

(c) Keganasan pada resipien dalam 2 tahun terakhir

(d) Keadaan umum resipien buruk :

- Malnutrisi

- Debilitas

(e) Antibodi sitotoksik > 50%

(f) Kelainan yang sulit dikoreksi dari kandung kencing dan atau uretra

(g) Divertikulosis

(h) Penyakit ulkus peptikum (rekuren)

(i) Donor mengandung antibodi CMV (cytomegalovirus)

Sumber ginjal (donor)

Sumber ginjal sangat penting karena menentukan graft survival dan biaya obat

imunosupresif (prednison, azathioprin, siklosforin atau OKT3 dan lain-lain).

Sumber ginjal:

(a) Cadaver (mayat)

Berlaku di semua negara, kecuali negara islam atau mayoritas penduduknya islam

seperti Indonesia.

(b) Donor hidup

Saudara kandung / sibling

Berlaku di semua negara termasuk Indonesia

Orang tua ( ayah & ibu )

Berlaku di semua negara termasuk Indonesia

Bukan keluarga (living non related donor)

Tidak berlaku di semua negara.