19
1 DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN PUSAT RENCANA DAN STATISTIK KEHUTANA PELATIHAN PENYUSUNAN PDRB HIJAU DAN PERENCANAAN KEHUTANAN BERBASIS PENATAAN RUANG Bogor, 4-10 Juni 2006 Modul PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN Oleh : Dr Ir Setia Hadi, MS

Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

  • Upload
    gyunei

  • View
    43

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sebelumya minta maaf pdf beriku bukanlah asli milik saya tapi hanya untuk sekedar berbagi yan

Citation preview

Page 1: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

1

DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN PUSAT RENCANA DAN STATISTIK KEHUTANA

PELATIHAN PENYUSUNAN PDRB HIJAU DAN PERENCANAAN KEHUTANAN BERBASIS

PENATAAN RUANG

Bogor, 4-10 Juni 2006

Modul

PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN

Oleh :

Dr Ir Setia Hadi, MS

Page 2: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

2

PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN

1. Pendahuluan

Penataan ruang berdasarkan UU No 24 Tahun 199 2 terdiri atas :

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan

ruang. Selain itu juga dinyatakan ruang terbagi habis antara kawasan lindung

dan kawasan budi daya, sedang secara fungsional ruang terdiri atas kawasan

perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu.

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi setiap waktu

membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain ruang sifatnya

tetap dalam arti luas, namun dari sisi komposisi baik fisik, ekonomi dan sosial

akan selalu berubah seiring dengan perubahan pemanfaatan ruang. Perubahan

pemanfaatan ruang yang tidak memperhitungkan keseimbangan geobiofisik akan

berakibat kepada kemubaziran dan dampak bencana alam yang akan terjadi.

Sudah menjadi hal yang alami dan fitrah bahwa ruang diisi oleh tiga jenis

sumber daya yaitu sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya

manusia. Sumber daya alam terbagi atas sumber daya alam dapat pulih

(renewable resource) dan sumber daya alam tidak dapat pulih (non renewable

resource). Sumber daya alam dapat pulih diantaranya seperti sumber daya

hutan, sumber daya lahan, atau sumber daya perikanan laut bila dieksploitasi

melebihi daya regenerasinya akan berakibat kepunahan dan merusak

keseimbangan ekosistem.

Setiap sumber daya alam memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi

fisik/ekosistem atau ekologi dan fungsi ekonomi. Tidak jarang sumber daya

alam hanya dilihat dari satu fungsi saja yaitu fungsi ekonomi, sehingga fungsi

ekologi terabaikan. Hal ini didorong oleh kemampuan manusia untuk melihat

kedepan dan lebih cendrung bersifat myopic (jangka pendek dan sempit).

Semakin rendah SDM, kemiskinan, ketidakpastian, dan ketidakadilan akan

Page 3: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

3

mendorong manusia makin bersifat oportunis dan melihat kepentingan sesaat,

sehingga sumber daya alam banyak mengalami kerusakan dan ruang tidak ditata

dengan baik dan banyak pelanggaran terhadap produk rencana tata ruang.

Banyak faktor yang menentukan keberhasilan penataan ruang yaitu (1)

Produk rencana tata ruang yang akurat dan berkualitas; (2) Dinamika

pemanfaatan ruang yang mengacu produk rencana tata ruang; dan (3) Proses

pengendalian pemanfatan ruang yang konsisten dan tegas. Tentu ke tiga hal di

atas dapat diuraikan lebih rinci menjadi butir-butir yang harus diperhatikan

dalam penataan ruang.

Dengan demikian konsep penataan ruang adalah menginginkan ruang

yang tertata secara : serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Kebutuhan

ruang boleh meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan

pertumbuhan aktivitas ekonomi, namun ruang memiliki daya dukung yang

terbatas. Dengan demikian diperlukan rekomendasi penataan ruang yang selalu

diperbarui sesuai dengan perkembangan, tetapi tetap memperhatikan

keseimbangan ekosistem dalam ruang itu sendiri. Mekanisme ini dikenal dengan

proses revisi penataan ruang. Sayangnya proses revisi yang terjadi selama ini

buka untuk mengevaluasi dan kemudian mengendalikan penyimpangan rencana

tata ruang tetapi lebih kepada penyesuaian dan legetimasi penyimpangan

rencana tata ruang.

Dalam penataan ruang, posisi kawasan hutan bisa terdapat dalam

kawasan budi daya dan bisa pula dalam kawasan lindung. Kawasan hutan yang

masuk dalam kawasan budi daya adalah hutan-hutan produksi, baik itu hutan

alam maupun hutan tamanan, termasuk hutan rakyat, sedang kawasan hutan

yang masuk dalam kawasan lindung adalah hutan lindung yang bisa terdiri dalam

beberapa jenis hutan seperti : taman nasional, suaka marga satwa, cagar alam,

hutan pendidikan, dan lain-lain.

Selama ini dalam penataan ruang, luas kawasan hutan seakan-akan statis

karena dikaitkan masalah kewenangan sektor kehutanan, tidak perduli apakah

hutan tersebut bervegetasi atau tidak. Mestinya luas hutan ditetapkan dalam

Page 4: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

4

sistem dinamis yang mengaitkan fungsi hutan yang multi fungsi dengan dengan

sub-sistem biogeofisik, sub-sistem ekonomi, dan sub sistem sosial, budaya dan

kependudukan, bahkan hankam. Dengan demikian dapat ditentukan luas hutan

(bervegetasi) minimum yang harus ada di suatu wilayah (termasuk arahan

spatialnya) yang dapat menjamin keberlanjutan proses pembangunan dalam arti

mampu meminimalisir kemungkinan-kemingkinan bencana yang muncul. Apabila

terjadi suatu bencana, hal itu memang di luar perhitungan dari sisi ilmu

pengetahuan yang ada. Apabila susdah diketahui luas hutan minimum yang

harus ada, maka hal tersebut menjadi masukan utama dalam penataan ruang.

2. Evaluasi Mekanisme Penataan Ruang

Penataan ruang merupakan suatu keharusan yang tidak bisa terelakkan,

apabila menginginkan ruang yang serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan.

Hal ini juga menjamin keseimbangan dalam pembangunan antar wilayah. Sejak

diundangkan tahun 1992 (UU No 24/1992 tentang penataan ruang), setelah

melalui proses kajian yang panjang, maka telah disusun produk rencana tata

ruang dari tingkat nasional (RTRWN), tingkat propinsi (RTRWP), tingkat

kabupaten/kota (RTRW Kab/Kota), sampai ke tingkat Rencana Detil Tata Ruang

(RDTR).

Pada kenyataannya produk-produk rencana tata ruang tersebut belum

menjadi acuan pemanfaatan ruang. Dari evaluasi tim ahli Pusat Pengkajian

Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W), LPPM IPB, tahun 2005 terdapat

beberapa kelemahan dalam mekanisme penataan ruang selama ini (yang diatur

oleh UUPR No 24/1992) yaitu :

1. Tujuan yang dirumuskan dalam Mekanisme Penataan Ruang masih

terlalu sangat normatif,

Seyogyanya tujuan yang dirumuskan tidak terlalu normatif tetapi harus

eksplisit, kongkrit, terukur, dan memiliki dimensi yang jelas, sebagai contoh

di dalam dimensi ekonomi, tujuan penataan ruang adalah agar tercapainya

Page 5: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

5

produktifity total yang maksimum dalam pengelolaan resources yang ada di

dalam ruang tertentu, mengurangi aglomerasi ekonomi yang berlebihan, dan

membuat keterkaitan fungsional rural-urban (rural – urban lingkage) yang

saling memperkuat.

2. Kualitas produk perencanaan yang kurang memadai dan tidak jelas,

Selama ini penataan ruang cenderung bersifat pasif dalam arti selalu

tertinggal dengan perubahan. Tata ruang yang sangat dinamis sebagai akibat

dari perkembangan ekonomi wilayah dan Nasional, sehingga sering terjadi

terlebih dahulu pelanggaran – pelanggaran penataan ruang yang berakibat

pada terjadinya alih fungsi lahan yang tak dikehendaki, dan rusaknya

ekosistem sehingga mendatangkan kerugian ekonomi dan sosial (banjir,

longsor, kebakaran hutan, kabut, asap, penggusuran, dll) kemudian baru

disadari telah terjadi pelanggaran penataan ruang, kemudian mulai

direncanakan untuk mencegah dan memperbaikinya. Artinya, tindakan

(action) lebih dahulu dari planning, pada harusnya sebaliknya. kapasitas

pemerintahan daerah umumnya hanya baru terbatas hingga tersusunnya

rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang telah di-PERDA-kan, tetapi tidak

ditindaklanjuti dengan instrumen yang sistemik dalam actionnya, kampanye,

pendidikan, dan capacity building dalam tindak lanjutnya.

3. Bias wilayah administratif,

Selama ini basis ruang dalam sistem penataan ruang wilayah lebih berbasis

atas ruang atau wilayah administratif, padahal dalam konteks dan perspektif

penataan ruang, ruang dimaknai juga dengan wilayah berdasarkan

keterkaitan fungsional seperti wilayah yang berfungsi untuk kapasitas publik,

wilayah yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem (bio-region) seperti

kawasan pesisir dengan species hutan bakaunya, kawasan pergunungan

dengan kekayaan bio-diversitynya, kawasan DAS dan lain-lain. Oleh sebab

itu, diperlukan koordinasi di level pemerintah baik secara vertikal maupun

Page 6: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

6

secara horizontal, koordinasi untuk penentuan pengawasan, pemanfaatan,

dan upaya konservasi. Koordinasi untuk penyelesaian/resolusi konflik. Pada

dasarnya,mekanisme penataan ruang juga harus memberi pedoman pada

penataan ruang wilayah fungsional (DAS, hutan konservasi, dll).

4. Aspek pemanfatan yang tidak tepat dan pengendalian yang lemah,

Hal ini terutama terhadap kapasitas kelembagaan yang akan menentukan dan

melaksanakan dokumen rencana tata ruang yang telah disusun. Aturan main

(rule of the game) terbentuk tidak melalui interaksi terus menerus dari para

agents yang memiliki kepentingan, tetapi lebih kepada melihat kepentingan

diri sendiri (self interest). Selain itu produk rencana tata ruang disusun

melalui mekanisme top-down yang menyebabkan dokumen tersebut menjadi

dokumen sakral belaka, tidak dipedomani sebagai petunjuk teknis dalam

pelaksanaan pemanfaatan ruang.

5. Bias Sektor

Meknisme penataan ruang selama ini sangat bias kepentingan sektor,

terutama di era pemerintahan yang sentralistik, sekotral, dan vertikal.

Produk rencana tata ruang seringkali dalam kedudukan yang lemah bila

dihadapkan dengan kepentingan sektor yang tidak jarang juga mempunyai

produk rencana spatialnya sendiri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya

konplik antar sektor dalam pemanfaatan ruang. Tidak jarang sektor yang

lebih mendatangkan keuntungan finansial jangka pendek lebih diutamakan

dibandingkan dengan sektor yang bertujuan menjaga kelestarian dan

keserasian ruang dan lingkungan yang berorientasi jangka panjang. Hal ini

sering mendatangkan pelanggaran rencana tata ruang, namun diabaikan,

yang kemudian direvisi yang akhirnya melegitimasi pelanggaran tata ruang

tersebut.

Page 7: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

7

6. Bias kontinental;

Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki wilayah matra laut yang lebih

dominan, baik di dalam resources-nya maupun di dalam skala luasnya.

Kekayaan sumber-sumber daya hayati seperti biota laut; ikan, udang, kerang,

tiram, maupun marine resources lainnya berupa barang tambang dan galian

bawah laut seperti minyak bumi, dll merupakan kekayaan (resources

endowment) yang sangat berlimpah dan tidak ternilai harganya, bahkan

mungkin jauh melebihi resources endowment pada matra kontinental, tetapi

resources endowment yang ada dilaut ini penataan ruangnya selama ini

terabaikan, baru disadari ketika sudah terdegradasinya lingkungan laut dan

perairan seperti rusaknya terumbu karang, pencurian ikan dan biota laut

lainnya yang bernilai tinggi oleh pihak asing, dan sengketa pemanfaatan

ruang laut antar daerah, serta sengketa perbatasan wilayah kepulauan

dengan negara tetangga, dsb.

Dari berbagai isu dan permasalahan mekanisme penataan ruang di atas

maka di rekomendasikan hal-hal yang diharapkan dapat menjadi masukan dalam

perbaikan mekanisme penataan ruang di masa yang akan datang yaitu ;

1. Penataan Kawasan Fungsional

Pada dasarnya ruang merupakan media 3 dimensi tempat berbagai

komponen lingkungan melekat dan saling berinteraksi di dalamnya. Karena

itu berbicara tentang masalah biogeofisik dan lingkungan dalam konteks

ruang akan terkait dengan pemahaman ruang sebagai suatu kesatuan sistem

yang saling terkait. Artinya komponen-komponen lingkungan yang tersebar

di dalam suatu ruang memiliki keterkaitan ekologi sehingga penataan ruang

seharusnya mampu mengakomodir ini dalam sebuah sistem ruang yang

saling terkait (Pendekatan system dinamik).

Page 8: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

8

Sayangnya mekanisme penataan yang diatur oleh UUPR No.24/1992 lebih

banyak mengatur masalah penataan ruang hanya dalam batas-batas

administratif, maka keterkaitan ekologi di dalam ruang seringkali menjadi

terabaikan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menjadi produk dari

setiap unit wilayah administratif umumnya tidak terkait satu sama lain

meskipun dalam UUPR dinyatakan bahwa penyusunan RTRW harus tetap

berada dalam kerangka RTRW wilayah administrasi di atasnya. Kejadian ini

merupakan suatu hal yang wajar mengingat bahwa sebenarnya RTRW

wilayah adminstrasi di atasnya lebih bersifat makro sehingga tidak

mempunyai kemampuan untuk melihat keterkaitan ekologis yang umumnya

lebih bersifat mikro antar kabupaten.

Kondisi ini menjadi lebih parah ketika kebijakan otonomi daerah selanjutnya

disikapi dengan munculnya arogansi dan ego daerah (inward looking)

Untuk itu dalam upaya mempertahankan kualitas biogeofisik dan lingkungan

dan keberlanjutan, maka penataan wilayah dalam konteks fungsional dan

lintas administrasi perlu diwadahi secara lebih jelas di dalam meknisme

penataan ruang yang akan datang. Ruang wilayah fungsional dalam konteks

keterkaitan ekologis lingkungan bisa dianggap sebagai satu wilayah

bioregion yang harus dibangun institusi pengelolaan ruangnya secara

terpadu dan independen. Keterpaduan yang dimaksudkan di sini adalah baik

keterpaduan lintas wilayah administratif, maupun lintas pelaku dan lintas

sector pembangunan

Dalam konteks matra ruang yang dikelola juga masih dirasakan bahwa

mekanisme penataan ruuang selama ini (UUPR No. 24/1992) ini lebih banyak

mengatur mengenai penataan ruang berdasarkan matra darat. Padahal

apabila berbicara mengenai keterkaitan ekologi maka secara jelas keterkaitan

antara matra darat, laut dan udara menjadi sangat penting. Karena itu

penataan ruang laut dan udara juga dirasa perlu untuk diatur secara eksplisit

dalam kaitannya untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologis secara

keseluruhan. Salah satu contoh dari keterkaitan antara matra darat dengan

Page 9: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

9

matra laut yang nyata dan saat ini menjadi permasalahan adalah kondisi

pesisir yang sangat terpengaruh oleh besarnya erosi dan sedimerntasi dari

wilayah hulu di atasnya. Karena itu penataan ruang pesisir tidak bisa berdiri

sendiri dan harus memperhatikan penataan ruang di wilayah hulunya.

Apalagi masalah pembuangan limbah dan sebagainya yang sangat terkait

dengan aktivitas nelayan dan kapasitas potensi biota laut seperti yang terjadi

dalam kasus Buyat, juga perlu menjadi perhatian dalam pengaturan ruang

aktivitas laut. Selama ini karena penataan ruang laut tidak pernah

diperhatikan maka sangat banyak berkembang berbagai aktivitas yang saling

tumpang tindih dan mengakibatkan terjadinya kerusakan dan konplik di laut.

2. Mekanisme Insentif dan Disinsentif

Selama ini hubungan eksternalitas yang terjadi karena adanya keterkaitan

ekologis belum banyak diatur dalam penataa ruang (UUPR). Karena itu tidak

terbangun suatu koordinasi yang cukup baik antar wilayah dalam satu

kawasan bioregion. Akibatnya selain terjadi degradasi kualitas lingkungan

juga muncul konflik antar wilayah. Sebagai contoh dalam kerangka wilayah

hulu-hilir, terjadinya banjir di wilayah hilir pasti diikuti dengan pernyataan

yang menyalahkan penataan ruang di kawasan hulu. Sementara wilayah

hulu sendiri juga tidak mau wilayahnya semata-mata hanya digunakan

sebagai wilayah konservasi karena penataan ruang seperti ini tidak akan

menghasilkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Karena itu mekanisme aliran biaya-manfaat dalam konteks hubungan

eksternalitas secara ekologis tersebut harus diwadahi dalam suatu bentuk

produk hukum UUPR agar biaya-biaya yang ditimbulkan oleh eksternalitas

negative bisa dinternalisasikan (salah satunya dengan menghitung PDRB

hijau). Artinya harus ada mekanisme insentif-disinesntif antara wilayah

konservasi dengan wilayah yang menerima manfaatnya.

Page 10: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

10

3. Pengaturan hak-hak komunal lokal

Keberlanjutan aspek lingkungan dan sumber daya alam di dalam suatu ruang

akan sangat terkait dengan aktivitas manusia yang memanfaatkannya.

Sedangkan aktivitas manusia itu sendiri juga menyebar di dalam ruang dan

untuk itu perlu diatur dalam bentuk penataan ruang. Karena penataan ruang

sangat mempengaruhi akses masyarakat terhadap ruang sebagai tempat

melekatnya komponen lingkungan dan sumber daya alam, maka penataan

ruang tanpa memperhatikan hak-hak komunal lokal hanya akan mendorong

terjadinya konflik dan justru bisa menurunkan kualitas lingkungan itu sendiri.

Sebagai contoh penetapan kawasan lindung yang tidak mengakomodir hak-

hak dan aktivitas komunal yang sudah sejak lama ada di dalamnya akan

medorong perubahan perilaku masyarakat dari memelihara menjadi perilaku

merusak.

Dengan demikian mekanisme penataan ruang (UUPR) ini harus bisa

menerjemahkan secara jelas hubungan antara fungsi kawasan dalam suatu

ruang dengan hak-hak masyarakat yang tinggal atau beraktivitas di dalam

kawasan.

4. Resolusi Konflik atas Undang-Undang Sektoral

Pada hakekatnya ruang merupakan tempat dimana segala jenis sumberdaya

melekat dan saling berinteraksi di dalamnya. Karena itu kepentingan yang

terlibat di dalamnya bisa sangat banyak dan bermacam-macam. Penataan

ruang harusnya bisa menjadi suatu instrumen untuk melakukan pengaturan

dan sekaligus menjadi solusi bagi konflik kepentingan yang terjadi.

Selama ini UUPR No.24 / 1992 tidak berdaya dalam mengkoordinasikan UU

Pokok Agraria dan UU Pokok Kehutanan. Keduanya seperti berjalan sendiri-

sendiri dan bahkan saling tumpang tindih. Padahal keduanya ditujukan untuk

mengatur ruang yang yang sama. Ini tentunya akan membuat penataan

ruang sendiri menjadi tidak efektif karena tidak ada keterpaduan dalam

merumuskan kebijakan pentaan ruang itu sendiri.

Page 11: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

11

Dalam kondisi demikian maka sudah seharusnya UUPR mampu menjadi solusi

dan sekaligus menjadi suatu payung besar untuk medorong terjadinya

integrasi dan koordinasi dari berbagai kebijakan penataan ruang sektoral.

Apabila hal ini tidak bisa diwujudkan maka UUPR ini tidak akan pernah bisa

efektif karena setiap sektor yang menangani suatu kawasan melakukan

pengaturan sendiri-sendiri. Sehingga dalam suatu ruang yang sama tidak

akan pernah ada kebijakan penataan ruang yang konsisten karena banyaknya

penataan ruang yang bersifat sektoral.

5. Class Action Sebagai Bagian Dari Fungsi Pengendalian

Selama ini karena penataan ruang (UUPR) lebih bersifat top down dan

partisipasi masyarakat dalam penyusunananya juga lemah, maka aspek

pemanfaatan dan pengendalian ruang pada akhirnya juga menjadi tidak

efektif karena pemerintah sendiri yang mengawasinya. Apabila sejak awal

partisipasi masyarakat ini cukup kuat maka aspek pemanfaatan dan

pengendalian ruang yang dilakukan akan menjadi lebih efektif.

Karena itu institusi pemerintah pada akhirnya tidak bisa dianggap sebagai

suatu pihak yang selalu benar. Institusi pemerintah harus ditempatkan pada

posisi yang sama dengan stakeholder yang lain, sehingga apabila dalam

melakukan pembangunan dan perijinan institusi pemerintah justru melakukan

pelanggaran tata ruang maka institusi ini juga bisa dituntut oleh masyarakat.

Seperti halnya dalam UU Lingkungan Hidup yang membuka ruang bagi

masyarakat untuk melakukan class action maka akan lebih baik apabila dalam

penataan ruang (UUPR) juga dibuka peluang bagi masyarakat untuk

mengajukan gugatan dalam bentuk class action

6. Valuasi ekonomi sumberdaya

Selama ini nilai total sumberdaya di dalam sistem perhitungan neraca

perekonomian Nasional hanya dilihat secara total (gross national product )

tetapi tidak memperhitungkan nilai bersih sumberdaya. Akibatnya nilai

Page 12: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

12

manfaat sumberdaya menjadi besar, pada hal belum dikurangi dengan nilai

kerugian akibat bahaya dan pencemaran limbahnya (wasted). Sebagaimana

dalam pandangan teori entropy dalam hukum termodinamika tentang

sumberdaya alam, bahwa setiap sumberdaya alam yang renewable apalagi

yang non renewable akan menghasilkan energi yang bermanfaat dan energi

yang tidak bermanfaat yang menjadi limbah secara alamiah akan

membahayakan keberlanjutan dari sumberdaya alam itu sendiri. Jika

pengelolaan dan pengendalian limbah ini tidak dilakukan, maka justru

menyebabkan sumberdaya akan menjadi menurun kualitasnya (dissipation

resource) seperti nilai produktifitas lahan pertanian, harus dikurangi dengan

nilai alih fungsi lahan pertanian, sehingga akan diperoleh nilai produktifitas

pertanian yang sesungguhnya (truth) yang dapat mencerminkan tingkat

kemajuan dalam pembangunan pertanian terutama kemajuan dalam

pengadaan bahan pangan

Valuasi ekonomi sumberdaya alam perlu mendapat sorotan tajam, karena

hal ini menyangkut dengan titik tolak di dalam penanganan pengelolaan

sumberdaya pada fase berikutnya. Pandangan makro ekonomi yang selama

ini menjadi acuan ekonomi standar perlu diperbaiki dengan pandangan

valuasi ekonomi yang advanced dan applied, lebih sophisticated dan

accountable. Konsep valuation of resources economic itu sendiri dibedakan

antara market based technic dan non market tehnic. Oleh sebab itu valuasi

sumberdaya harus menjadi pertimbangan di dalam penataan ruang agar dari

sisi aspek lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, Penataan ruang

selama ini (UUPR) dapat memberikan arah pengaturan penataan

sumberdaya yang benar.

Page 13: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

13

7. Partisipasi Masyarakat Komunal Lokal Di Dalam Penyusunan Tata Ruang

Dalam penyusunan undang-undang penataan ruang, harusnya tetap

mengacu dan melibatkan secara aktif (perencanaan penataan ruang

partisipatori) kelembagaan masyarakat komunal lokal seperti hukum

adat masyarakat komunal lokal, yang telah teruji sepanjang zaman

keampuhannya di dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya lokal

mereka. Penataan ruang dalam hal ini adalah penataan pemanfaatan

resource bagi kepentingan masyarakat umumnya yang dekat dengan

sumberdaya yang tersedia telah dilakukan sesuai dengan tradisi dan

kebiasaan masyarakat lokal, dalam bentuk kearifan-kearifan lokal

(wisdom), kebiasaan, aturan dan pamali lokal ini sebagai pengetahuan

lokal (indigenous knowledge) harus menjadi acuan di dalam

penyusunan undang-undang penataan ruang ini. Sehingga UU

penataan ruang sebagai kekuatan hukum formal tidak berbenturan

dengan hukum-hukum adat lokal yang telah memiliki kearifan dan

diwarisi secara turun temurun.

8. Penguatan kapasitas aturan main dan kelembagaan lokal;

Dengan menyadari adanya keterbatasan dari kemampuan institusi formal

pemerintah dan keterbatasan dari cara pendekatan tradisional yang “top-

down” dalam pembangunan, dan merasakan pentingnya pemerataan dan

mengurangi jumlah kemiskinan yang makin meningkat, maka perhatian

sekarang sebaiknya ditujukan kepada perlu adanya pergeseran ke arah

menggali potensi yang besar dari peranan partisipasi masyarakat komunal

(the participation of communities) dalam perencanaan dan manajemen sektor

publik dan penyediaan serta penyampaian pelayanan jasa-jasa kepada

masyarakat di tingkat lokal (lokal level). Agar dapat memanfaatkan potensi

Page 14: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

14

dari masyarakat komunal lokal secara efektif untuk pembangunan, maka kita

membutuhkan adanya pemahaman terhadap dinamika dari komunitas dan

pemerintahan lokal (lokal administrations), untuk mendorong interaksi yang

terjadi antar mereka dengan pemerintahan diatasnya. Maka suatu

pemahaman yang lebih baik tentang kendala-kendala dari para pemain

(actors, players) dalam tindakan pembangunan sangat penting untuk

membangun suatu institusi yang mempunyai hubungan lebih sinergistik

antara pemerintah dan masyarakat. Penataan ruang (UUPR) selama ini

sering mengabaikan kelembagaan lokal dan aturan main yang melekat.

Dengan memperhatikan kelembagaan lokal, maka Penataan Ruang disetiap

wilayah tidak bisa lagi dalam format homogen tetapi harus menyesuaikan

dengan kondisi setempat.

3. Hubungan Penataan Ruang dengan Penataan Kawasan Hutan

Seperti disebutkan di atas, sumberdaya hutan merupakan sumberdaya

dapat pulih (renewable resources). Apabila eksploitasi dilakukan dengan

memperhitungkan kemampuan regenerasi, maka akan diperoleh manfaat secara

berkelanjutan. Sumberdaya hutan hujan tropis Indonesia, dimana terdapat

tingkat heterogenitas yang tinggi dari pohon hutan, maka perhitungan daya

regenerasi menjadi lebih rumit. Disamping itu fungsi hutan yang multiguna

menyebabkan kegiatan eksploitasi hutan menyebabkan degradasi sumberdaya

hutan, termasuk hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan.

Dalam konteks penataa ruang, sumber daya hutan memiliki peran ganda

yaitu sebagai peran untuk memperoleh manfaat ekonomi yang didefinisikan

dalam kawasan hutan produksi dan manfaat ekologi yang didelinasi sebagai

kawasan hutan lindung dan hutan yang masuk dalam kasan lindung lainnya

seperti cagar alam, taman nasional, suaka marga satwa, dan lain-lain. Fungsi

sumber daya hutan yang sedemikian membawa konsekuensi pengelolaan hutan

yang konprehensif dan melibatkan seluruh stakeholders, khususnya masyarakat

yang berada disekitar hutan itu sendiri.

Page 15: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

15

Pengelolaan hutan di Indonesia yang sudah memperhitungkan semua

fungsi hutan di atas, tampaknya mengalami kegagalan akibat sumber daya hutan

lebih dilihat sebagai fungsi ekonomi yang sempit (hasil kayu) dan statis yaitu

melihat sumber daya hutan (kawasan hutan) sebagai suatu batas kewenangan

instansi sektor kehutanan, dengan mengabaikan bahwa kawasan hutan adalah

sebagai bagian dari suatu sistem dinamis yang terkait dengan sistem

keseluruhan. Hal ini diperparah dengan pandangan sektor/intansi lain terhadap

kawasan hutan yang juga tidak melihat peran kawasan dan sumber daya hutan

secara konprehensif. Akibatnya adalah pengutamaan kepentingan jangka

pendek dan terjadinya degradasi sumber daya hutan dan deforestasi kawasan

hutan yang semakin parah.

Walaupun ada ketetapan hutan yang berfungsi lindung, namun akibat

ketidakadilan pemanfaatan hutan yang banyak mengabaikan kepentingan

masyarakat dan lemahnya penegakkan hukum, khususnya setelah era reformasi,

maka banyak sumber daya hutan yang mengalami degradasi bahkan deforestasi.

Saat ini banyak kawasan hutan yang masih diklaim sebagai kawasan hutan,

tetapi sudah tidak memiliki penutupan sama sekali alias gundul. Hal ini tidak

jatang justru terdapat di kawasan-kawasan taman nasional, seperti Taman

Nasional Kutai, Taman Nasional Gede Pangrango, dan lain-lain

Setelah hampir 40 tahun eksploitasi sumber daya hutan, maka saat ini

paradigma pembangunan kehutanan, bukan lagi berpikir bagaimana menebang

pohon hutan tetapi sebaliknya adalah bagaimana menanam pohin hutan, baik itu

hutan tanaman industri di kawasan hutan produksi maupun reboisasi di kawasan

hutan lindung. Ilmu kehutanan adalah harus berfokus dari paradigma berburu

(hunting pohon), tetapi sekarang berbudi daya pohin hutan (silvikultur).

Dengan tekanan internasional, sebenarnya pemerintah Indonesia telah

berupaya memperbaiki keragaan kehutanan dengan upaya perlindungan dan

rehabilitasi hutan dimulai dari kegiatan reboisasi kawasan hutan, penghijauan

areal di luar kawasan hutan, dan selanjutnya pembangunan hutan tanaman

industri mulai tahun 1984, disamping program penanaman sejuta pohon.

Page 16: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

16

Program reboisasi dan penghijauan secara nasional telah dilakukan sejak awal

tahun 1970-an atau awal masa beroperasinya HPH. Upaya pelestarian

sumberdaya hutan sudah ada sejak awal masa eksploitasi hutan, tetapi karena

belum banyak dikuasasi teknologi budidaya tanaman hutan menyebabkan

banyak kegagalan pelaksanaan kedua program ini, disamping faktor non teknis

yaitu terjadinya korupsi dana reboisasi dan penghijauan.

Sampai saat ini program-program pemerintah di sektor kehutanan yang

dapat dikategorikan ke dalam upaya rehabilitasi sumberdaya hutan, yaitu : 1)

Kelompok program perlindungan seperti penetapan dan pemeliharaan kawasan

lindung (hutan lindung, suakan margasatwa, dan sebagainya); 2) Kelompok

program rehabilitasi yang bertujuan memperbaiki kondisi sumberdaya hutan

yang rusak dan lahan kritis; 3) Kelompok program pembinaan masyarakat

sekitar hutan dan peningkatan sumberdaya manusia kehutanan secara

keseluruhan, dalam kelompok ini termasuk pembinaan hutan rakyat, peladang

berpindah, dan sebagainya.

Dari ketiga kelompok tersebut di atas secara operasional, Departemen

Kehutanan telah melaksanakan program sebagai berikut : 1) program reboisasi

dan rehabilitasi hutan; 2) program penghijauan; 3) program hutan tanaman

industri (HTI); 4) program konservasi tanah; 5) program perlindungan hutan

dan pelestarian alam; 6) pembinaan perladangan berpindah; dan 7) hutan

kemasyarakatan. Berbagai upaya di atas menunjukkan adanya kesungguhan

dari pemerintah untuk melestarikan sumberdaya hutan dan pemanfaatannya

secara berkelanjutan.

Sayangnya program pelestarian dan rehabilitasi tersebut tidak diikuti

dengan revisi mendasar dalam aspek pengurusan sumber daya hutan yaitu

yang memperhatikan karakteristik dasar hutan alam tropik luar Jawa. Dengan

pendekatan yang sentralistik pada masa orde baru, maka program perencanaan

pengurusan hutan dilakukan di pusat yang tidak jarang kurang sesuai dengan

permasalahan sumber daya hutan yang berbeda untuk tiap daerah. Kondisi ini

tidak jarang menjadi semacam pemborosan biaya dan tidak lestari. Di sisi lain

Page 17: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

17

keterlibatan masyarakat lokal dan memperhatikan kembali kearifan yang pernah

mereka miliki tidak dilakukan.

Pada era otonomi daerah dan dengan adanya hak pengurusan hutan di

daerah kabupaten, bukannya revisi yang dilakukan tetapi semacam tindakan

balas dendam dari masyarakat dan Pemda yang mengeksploitasi sumber daya

hutan lebih intensif, karena terkekang selama 32 tahun. Hal ini tidak bijaksana

kalau dipersalahkan secara sempit dengan menarik kembali kewenangan

tersebut, tetapi yang terbaik adalah memberikan masukan dan arahan yang lebih

baik akan pengurusan hutan yang benar.

Dengan demikian, pendekatan yang menyeluruh dan mengidentifikasi

variabel-variabel terpenting akan dicoba untuk melakukan optimasi penataan

yang diharapkan dapat memantapkan kawasan hutan itu sendiri. Hal ini

dilakukan dengan pendekatan sistem dinamik yang memperhitungkan sedapat

mungkin seluruh sub sistem yang terkait baik itu sub sistem biogeofisik,

subsistem ekonomi, dan subsistem sosial, budaya dan kependudukan.

Acuan yang selama ini dalam penataan ruang yang belum mengakomodir

kelemahan-kelamahan yang telah diterangkan di atas akan berakibat semakin

menurunnya kondisi sumber daya hutan. Untuk itu harus dicoba model

pendekatan dalam penyusunan produk rencana tata ruang dengan

menggunakan sistem dinamik yang sekaligus juga mengintegrasikan pendekatan

spatial yang dapat memberikan arahan lokasi dan luas hutan minimum yang

dubutuhkan.

Dalam pendekatan ini akan dilihat fungsi hutan secara konprehensif (baik

fungsi ekologi, ekonomi, maupun sosial) dalam model sistem dinamik, sehingga

dapat disimulasikan dengan skenario ekonomi tertentu akan diperlukan seberapa

luas (minimum yang diperlukan) kawasan hutan total(dalam berbagai jenis) dan

arahan lokasinya. Jadi arahan bahwa luas hutan minimum dalam suatu wilayah

adalah 30 %, menjadi sangat tidak realistis bila dilihat dari satu sisi sub sisten

saja yaitu sub sisten ekologi. Sudah menjadi maklum bahwa terdapat

keragaman wilayah. Secara sederhana saja wilayah yang relatuf datas tentu

Page 18: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

18

membutuhkan luas hutan minimum yang lebih rendah dibandingkan dengan

wilayah yang bergunung-gunung. Belum lagi bicara hal lain seperti : jenis tanah,

curah hujan, keanekaragaman hayati, dan lain-lain.

Pendekatan ini akan memberi rekomendasi yang sangat obyektif yang

dapat menghindari adanya kepentingan sesaat, baik itu sektoral, individual

maupun golongan.

4. Penutup.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapoa butir kesimpulan sebagai

penutup makalah ini yaitu :

1. Penataan ruang yang ada selama ini yang mengacu kepada UUPR No

24/1992 sudah saatnya diubah, seiring dengan banyaknya kelemahan

yang terjadi, baik dari aspek pengaturan, pelaksanaan, maupun aspek

pengendalian yang menyebabkan proses pembangunan dalam

pemanfaatan ruang banyak menyimpang dari produk rencana tata ruang,

sehingga dampak dalam berbagai bentuk telah terjadi diantaranya :

bencana alam, ketimpangan wilayah, konplik, dan lain-lain

2. Kawasan hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya adalah

unsur ruang yang sangat penting, khususnya dalam matra ruang darat

yang sangat berpengaruh terhadap matra ruang lainnya (laut dan udara).

Penataan ruang yang ada selama ini bisa disimpulkan mengalami

kegagalan total di dalam memberi arahan di dalam pengelolaan kawasan

hutan. Buktinya adalah kawasan hutan mengalami proses degradasi yang

parah dan juga mengalami deforestasi yang luas.

3. Diperlukan pendekatan yang baru dalam penataan ruang dalam kaitannya

dengan pengelolaan kawasan hutan dan sumber daya yang terkandung di

dalamnya dengan melakukan perbaikan pengaturan dalam penataan

ruang diantaranya : melihat ruang dalam konteks bioregion, keterlibatan

masyarakat, dan lain-lain.

Page 19: Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan Dr -20setia Hadi

19

4. Secara metodologi penyusunan rencana penataan ruang disarankan

dengan pendekatan sistem dinamik yang juga memasukkan input variabel

spatial, sehingga dalam konteks pengelolaan kawasan hutan bisa

disimulasikan berapa luas minimum hutan dan dimana lokasinya dalam

menunjang tujuan pembangunan tertentu.