39
PENANGANAN PRAKTIS HELLP SYNDROME, MENDELSON SYNDROME, KRISIS TYROID, ASTHMA ATTACK ABTRACT HELLP Syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma Attack is often faced by anesthesiologists that can lead to complications both during preoperative , durante , and post- operative , thus increasing morbidity and mortality in patients with post -operative . Emergency conditions can happen anytime and anywhere , thus requiring rapid handling , precise and meticulous . However, the lack of knowledge of the practical handling of the HELLP syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma Attack resulted in many casualties were late saved . Management of HELLP Syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma Attack starting recognize clinical signs of disease and the actions that need to be done when the preoperative , durante , and post- operative of any kind of disease . Keyword :Management , HELLP Syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma Attack ABSTRAK Sindroma HELLP, Sindroma Mendelson, Krisis Tiroid,Asthma Attack seringkali dihadapi oleh ahli anestesi yang dapat mengakibatkan penyulit baik pada waktu preoperative, durante, dan pasca operatif, sehingga meningkatkan kesakitan dan kematian pada pasien pasca operatif. Kondisi gawat darurat dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, sehingga memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan cermat. Namun kurangnya pengetahuan penanganan praktis mengenai Sindroma HELLP, Sindroma Mendelson, Krisis Tiroid, Asthma Attackmengakibatkan banyak korban yang terlambat terselamatkan. Penangan mengenai Sindroma HELLP, Sindroma Mendelson, Krisis Tiroid, Asthma Attackyang dimulai dari mengenal gejala klinis 1

Penanganan Praktis Hellp Syndrome, Mendelson Syndrome, Krisis Tyroid, Asthma Attack

Embed Size (px)

DESCRIPTION

HELLP syndrom

Citation preview

PENANGANAN PRAKTIS HELLP SYNDROME, MENDELSON SYNDROME, KRISIS TYROID, ASTHMA ATTACKABTRACTHELLP Syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma Attack is often faced by anesthesiologists that can lead to complications both during preoperative , durante , and post- operative , thus increasing morbidity and mortality in patients with post -operative .Emergency conditions can happen anytime and anywhere , thus requiring rapid handling , precise and meticulous . However, the lack of knowledge of the practical handling of the HELLP syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma Attack resulted in many casualties were late saved .Management of HELLP Syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma Attack starting recognize clinical signs of disease and the actions that need to be done when the preoperative , durante , and post- operative of any kind of disease .

Keyword :Management , HELLP Syndrome , Mendelson Syndrome , Thyroid crisis , Asthma AttackABSTRAKSindroma HELLP, Sindroma Mendelson, Krisis Tiroid,Asthma Attack seringkali dihadapi oleh ahli anestesi yang dapat mengakibatkan penyulit baik pada waktu preoperative, durante, dan pasca operatif, sehingga meningkatkan kesakitan dan kematian pada pasien pasca operatif. Kondisi gawat darurat dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, sehingga memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan cermat. Namun kurangnya pengetahuan penanganan praktis mengenai Sindroma HELLP, Sindroma Mendelson, Krisis Tiroid, Asthma Attackmengakibatkan banyak korban yang terlambat terselamatkan.Penangan mengenai Sindroma HELLP, Sindroma Mendelson, Krisis Tiroid, Asthma Attackyang dimulai dari mengenal gejala klinis penyakit dan tindakan yang perlu dilakukan disaat preoperative, durante, dan pasca operatif dari setiap jenis penyakit.Kata kunci : Penanganan, Sindroma HELLP, Sindroma Mendelson, Krisis Tiroid, Asthma Attack*Coassistant Anestesiologi FK UNTAR**Dokter spesialis anestesiologi BLUD RSUD Kota SemarangPENDAHULUANKegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana diperlukan pelayanan medis segera dan tidak dapat ditunda dalam waktu 12 jam untuk menyelamatkan jiwa atau mencegah terjadinya cacat tubuh atau cacat fungsi yang permanen. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak, kecelakaan, atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan penanganan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pertolongan selanjutnya secara cepat, tepat dan cermat di rumah sakit.Anestesi dikenal sehari-hari sebagai bius. Obat atau agen anestesi akan menghilangkan sebagian atau seluruh perasaan. Ada tiga jenis anestesi: umum, regional dan lokal. Ketika seorang pasien diberikan anestesi umum, mereka akan sepenuhnyakehilangan kesadaran.Anestesi umum dapat diberikan dalam beberapa metode. Metode yang paling umum adalah dengan menyuntikkan obat ke dalam pembuluh darah, dan dengan gas anestesi yang diberikan melalui masker. Terkadang juga dua metode ini diterapkan secara bersamaan pada pasien.Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain: keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindak gawat darurat atau efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien.Di bidang anestesi ada hal yang dapat mempersulit dalam proses operasi, penyakit penyerta pasien salah satunya.HELLP Syndrome , Mendelson Syndrome , Krisis Tyroid , Asthma Attackadalah beberapa penyakit yang membutuhkan penanganan khusus dalam bidang anestesi.

HELLP SyndromePreeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan tekanan darah sistolik 110 mmHg disertai dengan proteinuria lebih 5g/24jam.1Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsi, yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma.1Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets.Patogenesis sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.2Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi, total bilirubin > 1,2 mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase (AST) > 70 U/L, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Jumlah trombosit < 100.000/ml.2

HemolisisKelainan apusan darah tepiTotal bilirubin > 1,2 mg/dlLaktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/LPeningkatan fungsi hatiSerum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/LJumlah trombosit yang rendahHitung trombosit < 100.000/mm

Tabel 1. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (university of tenessee, Memphis)2

Klasifikasi Berdasarkan Jumlah TrombositBerdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasikan dengan nama klasifikasi Mississippi 1,21. kelas I kadar trombosit 50.000/ml LDH 600 IU/l AST dan atau ALT 40IU/l2. Kelas II Kadar trombosit antara >50.000 100.000/mm LDH 600 IU/l AST dan atau ALT 40IU/l3. Kelas III Kadar trombosit antara>100.000 150.000/mm LDH 600IU/l AST dan atau ALT 40IU/l

Klasifikasi ini telah digunakan dalammemprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum,keluaran maternal dan perinatal.Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas danmortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dankelas III.2

PenatalaksanaanPasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanankesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapisama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalahmenilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainanpembekuan darah.1,21. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu a. Jika ada DIC, atasi koagulopati b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4 c. Terapi hipertensi berat d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier e. Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati 2. Evaluasi kesejahteraan janin a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST) b. Profil biofisik c. USG 3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu a. Jika matur, segera akhiri kehamilan b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilanPasien sindroma HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.1,2,Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darahmenetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusioplasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankantekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yangsering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalamdosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampaitekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol, Normodynedan nifedipin juga digunakan dan memberikanhasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipindan MgSO4diberikan bersamaan. Diuretik dapat menggangguperfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.1,2Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraanbayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profilbiofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janinterhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segeramengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan padapasien tanpa risiko perdarahan.Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatanbayi di NICU(Neonatal Intensive Care Unit), menurunkaninsiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.2Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umurkehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwaparu janinsudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, makaterapi definitif ialahmengakhiri kehamilan. Jika tanpa buktilaboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapatdiberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan parujanin, dan kehamilan diakhiri 48 jamkemudian. Namun kondisiibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periodeini.2Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif denganistirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebutjuga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansivolume plasma ini akanmenguntungkan karena meningkatkanjumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatanjumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai denganpemberian prednison atau betametason.2Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yangdapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaankortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup, pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari100.000/mmatau mempunyai enzim hati yang normal. Dualaporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroidsaat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasillaboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.2Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkandengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametasontidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi jugamenstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengandeksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebihcepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) danpeningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatananti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vitaldan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapikortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual,muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darahstabil 50 ml/jam.2Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika adahal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpakontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam.Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin sepertiinduksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harusmemenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviksbelum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksiosesarea elektif merupakan cara terbaik.2Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv (25-50 mg) intermiten. Anestesi lokal infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio sesarea.3Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah masif, koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi segera. Pilihan tindakan pada laparatomi meliputi :packing & draining, ligasi segmen yang mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena dan atau penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat, kematian ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan pembekuan. Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.3 Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Penanganan sindrom HELLP post partum sama dengan pasiensindrom HELLP antepartum, termasukprofilaksis antikejang.Kontrol hipertensi harus lebih ketat.1,2

Tabel 2. Penanganan Sindrom HELLP 2Mendelson SyndromeMendelsons syndrome atau aspirasi isi lambung yang terdiri dari asam lambung dan sisa makanan, merupakan salah satu penyulit anestesi yang dapat dihindari. Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anestesia yang dapat terjadi pada saat intubasi, pasca intubasi, selama anestesi dan pasca bedah. Walaupun angka kematiannya relatif rendah, namun ketidaktepatan penanganan akan menambah morbiditas.4Salah satu penyulit selama tindakan pembedahan dengan pembiusan umum adalah terjadinya aspirasi. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan aspirasi adalah masuknya benda asing melalui trakea ke paru. Benda asing tersebut dapat berasal dari lambung, esofagus, mulut dan hidung, serta dapat berupa makanan, darah, air ludah atau cairan lambung. Masuknya cairan lambung ke saluran napas dapat terjadi akibat muntah atau regurgitasi.Mendelsons syndrome merupakan kejadian yang sangat dikhawatirkan oleh anestetis karena dapat mengancam jiwa pasien.4

Manifestasi dan DiagnosisPasien yang mengalami aspirasi harus didiagnosis dengan tepat dan cepat agar dapat dilakukan penanganan yang adekuat sesegera mungkin. Gejala terjadinya aspirasi harus dapat cepat diidentifikasi. Mendelson mengklasifikasikan 2 kelompok gejala akibat aspirasi dari isi lambung. Kelompok pertama adalah gejala akibat dari bahan padat isi lambung yang mempunyai tanda dan gejala sianosis, suara wheezing, batuk-batuk, takipneu, hipotensi dan mediastinal shift serta pada foto rontgen thoraks tampak konsolidasi jaringan paru. Kelompok kedua adalah gejala dikenal dengan sindroma Mendelson klasik yaitu akibat dari aspirasi asam dengan gejala spasme bronchus, takhipneu, wheezing, sianosis dan rasa panas.4Berikutnya sejak diketahui bahwa aspirasi lebih mudah terjadi pasien obstetri, Mendelson menyatakan bahwa penyebab aspirasi antara lain adanya perubahan anatomi dan fisiologi pada ibu kehamilan, pengosongan lambung yang memanjang dan penurunan kekuatan ototsphincter- esophagus. Aspirasi isi lambung dapat dan harus dihindari oleh tim pembedahan, oleh karena itu sebagai anggota tim, seorang anestesiologis memerlukan penguasaan pengetahuan tentang apirasi ini dan ketrampilan teknik mengatasinya.

Predisposisi Terjadinya AspirasiBerikut ini merupakan beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian aspirasi yaitu faktor pasien, faktor pembedahan, dan faktor anestesi.4A. Faktor pasienAdanya peningkatan isi lambung, seperti yang terjadi pada: 1) pasien dengan hipersekresi lambung pada kehamilan dan obesitas, 2) pembedahan emergensi yang waktu puasanya belum cukup, dan 3) pengosongan lambung yang memanjang terjadi pada kehamilan, obesitas, trauma, pemberian opioid, kelainan gastro intestinal (obstruksi usus, hambatan pada proses pengeluaran dari lambung dan pada perdarahan saluran pencernakan atas), neuropati anatomi karena diabetes dan kegagalan ginjal meningkatkan kemungkinan aspirasi.Selain itu kondisi seperti: 1) meningkatnya kecenderungan terjadinya regugurgitasi terjadi pada pasien dengan tonus sphincter esophagus yang menurun, misalnya pada kehamilan, obesitas dan hiatus hernia, adanya reflek gastro esophageal yang terjadi pada hiatus hernia dan kelainan GIT, kelainan esophagus misalnya penyempitan dan carcinoma esophagus dan pada usia lanjut; serta 2) inkompenten dari laring misalnya pasien yang tidak sadar, kelainan anatomi laring dan neuro muscular disorder akibat bulbar atau pseudobulbar palsy juga dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi.

B. Faktor pembedahanTehnik pembedahan yang harus diperhatikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya aspirasi diantaranya adalah: 1) manipulasi usus pada pembedahan abdomen atas dapat terjadi reflux dari lambung, 2) kenaikan tekanan intra-abdominal akibat pneumoperitoneum pada pembedahan laparoscopi, dan 3) posisi litotomi dan trendelenburg mendesak gaster ke arah proksimal menyebabkan terjadi regurgitasi.

C. Faktor anestesiHal yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya aspirasi sewaktu melakukan anestesi yang perlu diantisipasi adalah: (1) pemberian obat anestesi lokal disekitar trakhea pada saat intubasi, (2) belum kembalinya kemampuan batuk akibat pemberian obat pelumpuh otot (neuroblocking agent), (3) teknik anestesi yang tidak sesuai misalnya a) laringoskopi yang dilakukan pada tahap anestesi yang dangkal dan sudah diberikan obat pelumpuh otot menyebabkan timbulnya batuk, regurgitasi dan muntah, b) dilakukan ekstubasi sebelum kembalinya reflek untuk melindungi jalan napas dari muntah dan regurgitasi c) pemakaian laryngeal mask atau alat pembebas jalan napas yang berada di depan supraglotik menyebabkan penurunan tonus spinkter esofagus distal, serta (4) kesulitan manajemen jalan napas, misalnya kesulitan melakukan intubasi sehingga harus memberikan ventilasi tekanan positif dengan masker, tekanan cricoid yang tidak sempurna atau melepaskan tekanan sebelum endotracheal tube nya masuk dan pemasangan endotracheal tube yang masuk ke esofagus pada pasien dengan lambung penuh.

Pencegahan aspirasiAspirasi dapat terjadi setiap saat, sebelum, selama dan sesudah pemberian anestesia. Aspirasi isi lambung tanpa gejala terjadi pada 45% pasien tidur dan 75% pada pasien tidak sadar. Kecurigaan terjadi aspirasi apabila terdengar suara tambahan, terjadi kenaikan airway pressure atau pengeluaran sekret yang berlebih. Adanya suara napas tambahan berupa wheezing, rales yang menyeluruh, takhipneu, takhikardia, dan panas yang tidak tinggi merupakan gejala dari aspirasi isi lambung. Untuk diagnosa pasti dapat dilakukan dengan pemeriksaan invasif misalnya fibreoptic bronchoscopy, bronchoalveolar lavage. Aspirasi dapat terjadi pada keadaan peningkatan tekanan lambung, meningkatnya kecenderungan terjadinya regurgitasi dan adanya penurunan kompetensi laring. Pencegahan dilakukan dengan mengurangi produksi asam lambung dan keasaman lambung. Produksi asam lambung yang lebih dari 25ml (0,4 ml/kg) dan pH kurang dari 2,5 mempunyai resiko yang lebih besar. Apabila pH asam lambung kurang dari 1,5, kerusakan yang terjadi pada paru sangat hebat. Aspirasi dapat dicegah melalui: puasa pra pembedahan, pemberian obat-obatan untuk mengurangi volume dan keasaman lambung dan melakukan dengan teknik anestesi yang tepat.

Teknik anestesiAspirasi paling sering terjadi pada saat induksi dan laringoskopi. Kemungkinan terjadinya aspirasi ini dapat dikurangi dengan mengisolasi jalan napas dengan tractus gastrointestinal. Pemasangan endotrakheal secara sadar atau dilakukan rapid sequence induction dengan cricoid pressureakan mengurangi terjadinya aspirasi. Sellick mengemukakan dengan dilakukan penekanan pada cricoid pada pasien yang telentang dan kepala lebih rendah(slight head down) akan mengakibatkan isi lambung yang keluar tidak dapat masuk dalam jalan napas. Posisi head up 450 pada saat intubasi untuk menghindari terjadinya aspirasi. Laringokopi yang dilakukan dengan kedalaman anestesi yang tidak cukup akan mengakibatkan batuk, bucking, muntah dan spasme laring. Keadaan ini akan menyulitkan intubasi sehingga akan memperbesar kemungkinan terjadi aspirasi. Pemakaian LMA tidak mengisolasi jalan napas dengan tractus gastrointestinal. Hasil meta analisis menunjukkkan bahwa 2 dari 10.000 yang dilakukan dengan LMA mengalami aspirasi.Manajemen AspirasiAspirasi merupakan resiko dari tindakan anesthesia dan pemberian obat-obatan yang mengurangi reflek proteksi jalan napas. Aspirasi dapat menyebabkan pneumonitis, meningkatkan kejadian pneumonia dan adult respiratory distress syndrome (ARDS). Tindakan segera setelah diketahui terjadi aspirasi, pertama adalah terapi suportif dengan, pasien diposisikan head down untuk meminimalkan kontaminasi isi lambung dengan paru. Mulut dan faring segera dibersihkan dengan menekan cricoid. Pembersihan jalan napas melalui endotrakheal dapat dilakukan dengan mengisap intratrakheal yang sebelumnya diberikan oksigen 100% dengan PPV. Tindakan selanjutnya adalah melakukan bronkoskopi untuk membuang partikel dari aspirat. Pemasangan oro/nasogastro ditujukan untuk mengosongkan lambung dan mengukur derajat keasaman lambung. Terapi oksigen dan bronkodilator diberikan sesuai dengan keadaan klinis dari pasien tersebut. Setelah diagnosis aspirasi ditegakkan kelanjutan dari tindakan pembedahan dapat dibicarakan dan disesuaikan dengan keadaan pasien. Setelah pembedahan berakhir dilihat keadaan klinik dalam 2 jam setelah aspirasi, apakah pasien perlu dilakukan tindakan lanjutan di ruang perawatan intensif.4Krisis Tiroid Krisis tiroid adalah keadaan hipertiroid yang mengalami eksaserbasi sehingga mengancam kehidupan yang di tandai dengan dekompensasi dari satu atau lebih organ, dengan keadaan status hipermetabolik.5Gambaran klinis krisis tiroid1. Demam 2. Sinus takikardia atau variasi aritmia supraventrikular dan dapat dijumpai gagal jantung kongestif 3. Gejala susunan saraf pusat (agitasi, kegelisahan, kebingungan, delirium dan koma)4. Gejala gastrointestinal yang kebanyakan berupa muntah dan diare5,6

PenatalaksanaanTujuan :1. menghentikan sintesis hormon yang baru di kelenjar tiroid2. menghambat pelepasan hormon yang disimpan dari kelenjar tiroid3. menghambat efek hormon tiroid dijaringan perifer dengan cara pencegahan konversi dari T4 menjadi T34. mengendalikan/mengontrol simptom adrenergik yang berhubungan dengan tirotoksikosis

Dua spesifik kelas obaat antitiroid adalah tiourasil dan imidazole. Propiltiourasil (PTU) adalah tiourasil, sementara methimazole dan karbimazole adalah imidazole. Metimazol waktu paruh yang lebih panjang dari PTU frekuensi pemberiannya lebih sedikit. PTU mempunyai efek tambahan yaitu menghambat konversi dari T4 menjadi T3. Durasi aksi metimazole lebih panjang, sehingga dapat diberikan dengan frekuensi lebih sedikit, dibandingkan dengan pemberian 3-4x PTU. Formula oral dari iodine inorganik termasuk larutan lugol dan saturated solution of potassium iodide. Dosisnya 0.2 sampai 2 gr/hari, dengan 4-8 tetes larutan lugol (20 drops/ml, 8 mg iodine/tetes) setiap 6-8 jam dan 5 tetes saturated solution of potassium iodide (20 tetes/mL, 38 mg iodide/tetes) setiap 6 jam Beta blocker mengontrol aksi perifer dari hormon tiroid. Penggunaan antagonis reseptor beta-adrenergik dalam penatalaksanaan krisis tiroid pertama kali dengan menggunakan obatobatan pronetalol. Tidak lama kemudian, propanolol menjadi obat beta bloker yang paling sering digunakan. Digunakan dalam dosis 60-80 mg setiap 4 jam, atau 80-120 mg setiap 4 jam. Untuk efek lebih cepat,propranolol dapat diberikanparenteral, dengan bolus 0.5 sampai 1 mg dalam 10 menit diikuti dengan 1 sampai 3mg dalam waktu 10 menit. Glukokortikoid, termasuk dalam hal ini deksametason dan hidrokortison, juga telah digunakan untuk mengobati krisis tiroid, oleh karena obat ini mempunyai efek menghambat konversi dari T4 menjadi T3. Terapi suportif sangat penting dalam pendekatan terapi multi sistem pada krisis tiroid. Karena demam merupakan gejala yang umum pada krisis tiroid maka antipiretik asetaminofen merupakan pilihan yang dianjurkan. Salisilat harus dihindari pada tirotoksikosis karena salisilat dapat menurunkan thyroid protein binding, sehingga menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid. Kehilangan cairan dehidrasi juga sering dijumpai pada krisis tiroid. Cairan intravena dengan dekstrosa (normal salin dengan dekstrosa 5% atau 10%) dapat diberikan untuk menggantikan glikogen yang terpakai. Pengobatan faktor pencetus krisis tiroid merupakan bagian yang penting. Manajemen preoperasi pasien tirotoksik, dibagi menjadi dua kategori:1. Persiapan untuk operasi elektif(nonurgensi)terapi dengan tionamid direkomendasikan yang akan memfasilitasi timbulnya eutiroid dalam beberapa minggu. Penggunaan iodinmetode untuk menurunkan vaskularitas tiroid sebelum operasi tiroid.2. Persiapan untuk prosedur emergensi. Pada kasus persiapan preoperatif emergensi, waktu merupakan hal yang sangat penting. Menurunkan kadar hormon tiroid dengan cepat, mengendalikan pelepasan hormon tiroid, dan mengontrol manifestasi klinis dari hormon tiroid. Terapi jangka panjang Terapi definit jangka panjang dipertimbangkan setelah aspek yang mengancam kehidupan dari krisis tiroid sudah diatasi. Perbaikan gejala klinis biasanya muncul dalam waktu 24-72 jam setelah pengobatan. Glukokortikoid dapat diturunkan dosisnya. Terapi tionamid, diturunkan dosisnya secara bertahap, dan biasanya membutuhkan waktu minggu sampai bulanan untuk mencapai keadaan eutiroid setelah krisis tiroid. Antagonis respetor sel beta-adrenergik masih dibutuhkan ketika pasien masih tirotoksik.

Asthma AttackPenyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan inflamasi saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernafasan.7Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.8 Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas cabang-cabang tracheobronchial terhadap berbagai jenis rangsang. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme.

Gejala Dan Tanda Asma Mengi saat ekspirasi Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas tersengal-sengal. Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari. Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan terhadap alergan, dan peruahan musim. Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.

Klasifikasi AsmaDitinjau Dari Gejala Klinis 1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari. 2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari. 3. Serangan asma berat :dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoskus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.

Terapi : Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan Farmakologi dengan menggunakan obat Short acting 2 agonsts (salbutamol, terbutalin) Antiklinergik Kortikosteroid

PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIFEvaluasi PreoperatifEvalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen thorax.7

1. Riwayat PenyakitMeliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya.9 Bila baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.102. Pemeriksaan FisikTanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi memanjang, Palpasi takikardi. Perkusi hipersonor, auskultasi wheezing, ronchi.9 Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada wheezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan wheezing menurun).113. Pemeriksaan LaboratoriumPada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.94. Pemeriksaan Rontgen ThoraxPada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperlusen.105. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator).6. Pemeriksaan Analisa gas darahPemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi paru-paru.7. Fisioterapi dada.Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat lemah.

Pengelolaan preoperatifLangkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor.Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator yang berisi -adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan kortikosteroid.11Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.Terapi medis Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik.1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi -bloker hendaknya bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.92) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin (adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung. Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan, dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik. Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan peningkatan tekanan darah sistemik. b. Parasimpatolitik Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi. Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer. Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat menyebabkan takikardi. c. Metilxantin Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien dengan gejala nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang sempit, level terapi dalam darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah mungkin efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara intravena. d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi. Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8 jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkiale dan dosis lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik. e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada asma. Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan pelesan akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut bronkospasme. f. Mukolitik Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas mukus dengan memecahkan ikatan disulfide pada mukoprotein. Premedikasi Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas. a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.b. Narkotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanilc. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi. Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.11d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan bronkokonstriksi.11e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau kortikosteroid inhaler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama 1-3 hari post operasi.11f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT. Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter

PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIFSesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri postoperatif. A. Regional AnestesiSpinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ekstremitas bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelektasis. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.B. Anestesi Umum Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.Penggunaan laryngeal mask airway(LMA) menurunkan bronkospasme, tapi tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat mengatasi keterbatasan itu.1. Agent InhalasiAgent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Agen inhalasi halothane lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan dengan isofluran, namun bila dibandingkan dengan desfluran, desfluran dapat menyebabkan batuk dan dapat mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak ideal pada pasien yang menderita kelainan jantung karena halotan dapat mengakibatkan disaritmia karena efek katekolamin release. Alternatif lain untuk menurunkan reflek pada jalan nafas dapat diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit sebelum intubasi.2. Obat-Obat Induksi IntravenaUntuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton, propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf simpatis sehingga berefek bronkodilatasi.Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui reseptor 2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan)propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif. Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi wheezing setelah intubasi dibanding dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan akhit cepat pula.Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva dan trakeobronkial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue seperti atropin ataupun gycopyrrolate.Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2 mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi. Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus pelepasan histamin.3. Muscle RelaxantFaktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama maintenance sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat yang histamine release seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi neuromuscular menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan bronkospasme.12

Terapi Bronkospasme IntraoperatifBronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronkial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme.11 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan pembacaan massa spectrometer). Hidrokortison intervena (1,5-2 mg / kg) dapat diberikan, terutama pada pasien dengan riwayat terapi glukokortikoid.11Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus dilakukan12 : Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10g=0,1 ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat Hidrokortison 200 mg i.v.Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan partial oksigen dalam alveoli.Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.11

PENANGANAN POST OPERATIFKontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka.Pada akhir pembedahan pasien harus bebas wheezing, Reversal pemblok neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme. Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada nervus phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.9Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support2. FEV atau PEV < 50%3. PCO2> 50 mmHg4. PO2 < 50 mmH

KESIMPULAN

Sindroma HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertaitimbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. H (Hemolisis) EL (Elevated Liver Enzyme), LP (Low Platelete Count).lnsiden sindrom inijugalebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupunpada 11% pasien muncul pada umur kehamilan