Penanganan Perdarahan Saat Operasi Nindya-mega

  • Upload
    nassyfa

  • View
    573

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

REFERAT PENANGANAN PERDARAHAN SAAT OPERASI

Dosen Pembimbing: dr. Hermin P, Sp.An

Disusun oleh:1.

2.

Nindya Meetasari NIM.G1A209167 Mega Maharani W. NIM.G1A209173

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN SMF ANESTESI DAN REANIMASI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO PURWOKERTO 2011

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT PENANGANAN PERDARAHAN SAAT OPERASI

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal: Februari 2011

Disusun oleh:1.

2.

Nindya Meetasari NIM.G1A209167 Mega Maharani W. NIM.G1A209173

Purwokerto,

Februari 2011

Dosen Pembimbing,

dr. Hermin P, Sp.An NIP.

PENDAHULUAN Perdarahan adalah masalah yang penting untuk diperhatikan, kehilangan darah yang masif dan berkelanjutan dapat berakibat fatal dalam menit sampai jam. Tujuan utama penatalaksanaan syok perdarahan adalah mengenali secara dini terjadinya perdarahan, menghentikan perdarahan dan mengembalikan sirkulasi dan perfusi dalam batas normal. Terlambat dalam mengenal dan melakukan terapi pada penderita syok mengakibatkan progresi dari syok yang terkompensasi dan reversibel hingga terjadinya multiple organ failure dan kematian. Morbiditas dapat luas meliputi, gagal ginjal, kerusakan otak, iskemia usus, gagal hati, gangguan metabolik, disseminated intravascular coagulation (DIC), systemic inflammatory response syndrome (SIRS), gagal jantung dan kematian. FISIOLOGI DASAR JANTUNG Definisi curah jantung (cardiac output) adalah volume darah permenit yang dipompa oleh jantung, dan ditentukan oleh hasil detak jantung dan volume sekuncup (stroke volume). Curah Jantung atau jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi jantung secara klasik ditentukan oleh (1) Pra beban (pre load) , (2) Kontraksi miokard, dan (3) Paska beban (after load). Pra beban berarti volume pengembalian darah ke jantung dan ditentukan oleh pengisian vena, keadaan volume darah dan perbedaan antara tekanan sistemik vena rata-rata dan tekanan atrial kanan. Volume darah vena yang dikembalikan ke jantung menentukan panjang serabut otot jantung setelah pengisian ventrikel pada akhir diastole. Panjang serabut otot berhubungan dengan sifat-sifat kontraktilitas otot jantung menurut hukum Starling. Kontraktilitas jantung adalah pompa yang menjalankan sistem ini. Paska beban adalah tahanan pembuluh darah sistemik (perifer) atau dengan kata lain, tahanan terhadap arus darah ke perifer. Perdarahan didefinisikan sebagai kehilangan akut dari volume sirkulasi darah, menyebabkan penurunan pada venous return ke jantung. Penurunan venous return akan menyebabkan penurunan pengisian jantung dengan hasil penurunan pada volume akhir diastole. Volume akhir diastole menentukan pemanjangan serabut otot jantung saat akhir diastole, yang berkaitan dengan daya kontraktilitas otot jantung (hukum Starling), hasil akhir adalah penurunan dari daya kontraksi otot jantung yang menyebabkan volume sekuncup berkurang dan menurunkan curah jantung.

Penurunan pada volume sirkulasi darah selama perdarahan hebat dapat mendepresi curah jantung dan menyebabkan rendahnya tekanan perfusi organ. Perdarahan yang hebat akan mengganggu oxygen delivery dan nutrisi yang diperlukan jaringan dan menyebabkan terjadinya syok. Oxygen delivery (DO2) ke jaringan tergantung pada Q (Cardiac Output) dan arterial O2 content (CaO2) yang tampak pada persamaan 1 di bawah. Komponen Q dapat dipengaruhi dengan meningkatkan baik stroke volume (SV) atau laju jantung (HR) (persamaan 2). CaO2 terdiri dari konsentrasi hemoglobin [Hgb] g/dL, jumlah dari O2 yang diikat oleh Hemoglobin (umumnya, 1.34 mL O2/g Hgb) dikalikan dengan SaO2; dan jumlah O2 yang terlarut dalam plasma (0.003 x PaO2).

Kejadian yang menyebabkan stress pada tubuh, seperti pada trauma, luka bakar, sepsis dan lainnya akan meningkatkan kebutuhan O2. Konsumsi O2 (VO2) biasanya akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, sejauh DO2 dapat diberikan sesuai kebutuhan. Jika DO2 gagal untuk meningkat secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan O2 jaringan, iskemi jaringan, kematian sel dan disfungsi organ akan terjadi. KOMPARTEMEN CAIRAN TUBUH Sistem peredaran darah yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu jantung, pembuluh darah dan darah. Dalam tubuh manusia darah relatif selalu berada dalam pembuluh darah kecuali pada saat masuk dalam jaringan untuk melakukan pertukaran bahan makanan dan oksigen dengan zat sisa pembakaran tubuh dan karbondioksida. Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat - 40 % berat badan dan zat cair - 60 % berat badan; zat cair terdiri dari:cairan intraseluler - 40 % berat badan dan cairan ekstraseluler - 20 % berat badan; sedangkan cairan ekstraseluler terdiri dari : cairan intravaskuler - 5 % berat badan dan cairan interstisial - 15 % berat badan. Ada pula cairan limfe dan cairan transeluler yang termasuk cairan ekstraseluler. Cairan transeluler sekitar 1-3 % berat badan, meliputi sinovial, pleura, intraokuler dan lain-lain. Cairan intraseluler dan ekstraseluler dipisahkan oleh membran semipermeabel.

Neonatus Cairan Intraseluler Cairan Ekstraseluler Plasma Interstisial Jumlah cairan 5% 35 % 80 % bb 40 %

Bayi 3 bulan 40 % 5% 25 % 70 % bb

Volume kompartemen cairan sangat dipengaruhi oleh Natrium dan protein plasma. Natrium paling banyak terdapat di cairan ekstraseluler, di cairan intravaskuler (plasma) dan interstisial kadarnya sekitar 140 mEq/L. Pergerakan cairan antar kompartemen terjadi secara osmosis melalui membrane semipermeabel, yang terjadi apabila kadar total solute di kedua sisi membran berbeda. Air akan berdifusi melalui membran untuk menyamakan osmolalitas. Pergerakan air ini dilawan oleh tekanan osmotik koloid. Tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik sangat dipengaruhi oleh albumin. Apabila kadar albumin rendah, maka tekanan onkotik rendah sehingga tekanan hidrostatik dominan mengakibatkan ekstravasasi dan terjadi edema. Cairan ekstraseluler adalah tempat distribusi Na +, sedangkan cairan intravaskuler adalah tempat distribusi protein plasma dan koloid; juga tempat distribusi K Elektrolit terpenting di dalam cairan intraseluler: K Na + dan Cl. Kebutuhan air dan elektrolit perhari: Dewasa: Air Air 30-35 ml/kg Setiap kenaikan suhu 1o C diberi tambahan 10-15 % K+ 1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g ) Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g ) :0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g ); (1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg); > 20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 Kg+ +

, PO4.

dan PO4 - dan di cairan ekstraseluler:

Bayi dan Anak: 10-20 kg : 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg

K+ Na+

:2 mEq/kg (2-3 mEq/kg) :2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)

Hasil metabolisme: Dewasa = 5 ml/kg/hari Anak = 12-14th = 5-6 ml/kg/hari 7-11th = 6-7 ml/kg/hari 5-7th = 9-8,5 ml/kg/hari Balita = 8ml/kg/hari Cairan keluar: Urin Feses : normal > 0,5 1 ml/kg/jam : 1ml/hari Anak = 30-usia (th) ml/kg/hari Perpindahan cairan tubuh dipengaruhi oleh: 1. Tekanan hodrostatik2. Tekanan onkotik

Insensible water loss : dewasa = 15 ml/kg/hari

mencapai keseimbangan

3. Tekanan osmotic Osmolaritas adalah konsentrasi osmolal suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol per liter larutan (osm/L). Osmolalitas adalah konsentrasi osmolal suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol per kilogram air (osm/kg). Tonisitas merupakan osmolalitas relatif suatu larutan. Osmolaritas total setiap kompartemen adalah 280-300 mOsm/L. Larutan dikatakan isotonik, jika tonisitasnya sama dengan tonisitas serum darah yaitu 275 295 mOsm/kg. Osmosis adalah bergeraknya molekul ( zat terlarut ) melalui membran semipermeabel dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar tinggi sampai kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh di seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel dapat dilalui air ( pelarut ), tetapi tidak dapat dilalui zat terlarut. Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan akan bergerak dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik di dalam

pembuluh darah akan mendorong air secara difusi masuk melalui pori-pori. Difusi tergantung kepada tekanan hidrostatik dan perbedaan konsentrasi. Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi; mekanisme transpor aktif membutuhkan energi berkaitan dengan Na-K Pump yang membutuhkan energi ATP. Kalium- Sodium pump adalah pompa yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat yang bersamaan memompa ion kalium ke dalam sel. Bekerja untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel. CAIRAN UNTUK RESUSITASI Cairan untuk resusitasi umumnya bersifat isotonis atau tergantung kompartemen yang akan diresusitasi. Golongan Kristaloid BM rendah ( < 8000 Dalton ) dengan atau tanpa glukosa Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler Mengandung elektrolit: Ringer lactate, Ringer's solution, NaCl 0,9 % Tidak mengandung elektrolit: Dekstrosa 5 %

1. Ringer's Lactate Cairan paling fisiologis jika diperlukan volume besar. Banyak digunakan sebagai terapi cairan pengganti (resusitasi atau replacement therapy), misalnya pada: syok hipovolemik, diare, trauma dan luka bakar. Laktat dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk memperbaiki keadaan, misal asidosis metabolik. Kalium dalam RL tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium. untuk mencegah ketosis. Pemberian maksimal 2000 ml per hari. 2. NaCl 0,9 % ( Normal saline ) Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement therapy ), terutama pada kasus: kadar Na+ rendah jika RL tidak cocok (alkalosis, retensi K+) cairan terpilih untuk trauma kepala untuk mengencerkan eritosit sebelum transfusi Tidak mengandung glukosa, sehingga sebagai cairan rumatan (maintenance) harus ditambah glukosa

Mempunyai kekurangan: tidak mengandung HCO3 tidak mengandung K+ kadar Na+ dan Cl relatif tinggi, sehingga dapat terjadi asidosis hiperkloremia, asidosis dilusional, dan hipernatremia. Pemberian maksimal 1500 ml per hari 3. Dekstrosa 5 % Dipergunakan sebagai cairan rumatan (maintenance) pada pasien dengan pembatasan asupan natrium atau sebagai cairan pengganti pada pure water deficit. Penggunaan perioperatif: berlangsungnya metabolisme menyediakan kebutuhan air mencegah hipoglikemi mempertahankan protein yang ada; dibutuhkan minimal 100 g karbohidrat untuk mencegah dipecahnya kandungan protein tubuh menurunkan kadar asam lemak bebas dan keton mencegah ketosis, dibutuhkan minimal 200 g karbohidrat Cairan infus mengandung dekstrosa, khususnya Dekstrosa 5 % tidak boleh diberikan pada pasien trauma kepala (neuro-trauma) karena dekstrosa dan air akan berpindah secara bebas ke dalam sel otak. Di dalam sel otak (intraseluler), dekstrosa akan dimetabolisir yang akan menyebabkan edema otak. Golongan Koloid BM tinggi ( > 8000 Dalton ) Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler Termasuk golongan ini: Albumin, Plasma protein fraction: Plasmanat, Produk darah : sel darah merah, Koloid sintetik: Dekstran, Hydroxyethyl starch 1. Plasma protein fraction: plasmanant 2. Blood product: RBC 3. Koloid sintetik: Dekstran, hetastarch 4. Albumin Cairan Khusus Dipergunakan untuk indikasi khusus atau koreksi; misal: NaCl 3 %, Sodium-

bikarbonat, Mannitol, Natrium laktat hipertonik. Ada pula cairan kombinasi, misal: Ringer dan Dekstrosa 5 %; NaCl 0,45 % dan Dekstrosa 5 %. SYOK Syok adalah suatu kondisi ketidakcukupan sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Syok perdarahan didefinisikan sebagai kehilangan secara akut volume sirkulasi darah (lebih dari 30%) di kompartemen intravaskular sehingga menyebabkan pengurangan venous return ke jantung dan penurunan pada cardiac output. Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada: 1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu. 2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 5001000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 10001500 ml perdarahan. 3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada: 1. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis. 2. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison. 3. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis. Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus

dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan. Tiga faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal: a. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien. b.Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri dan kapilerkapiler jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh jaringan, sistem vena akan mengumpulkan darah dari jaringan dan mengalirkan kembali ke jantung. Apabila volume sirkulasi berkurang maka dapat terjadi syok. c. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah kecil, yaitu arteriole-arteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh darah perifer meningkat, artinya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kecil. Bila tahanan pembuluh darah perifer rendah, berarti terjadi vasodilatasi. Rendahnya tahanan pembuluh darah perifer dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah. Darah akan berkumpul pada pembuluh darah yang mengalami dilatasi sehingga aliran darah balik ke jantung menjadi berkurang dan tekanan darah akan turun. Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri): (a) Penyakit jantung iskemik, seperti infark; (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; dan (c) Gangguan irama jantung. b.Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): (a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan; (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; dan (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus). c. Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung): (a) Tamponade jantung; (b) Pneumotorak; dan (c) Emboli paru. d.Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): (a) Syok neurogenik; (b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e) Syok septik; serta (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer.

Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat : 1. tahap 1 syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya respon kompensatorik. Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan reflex simpatis, sehingga terjadi: a. resistensi sistemik meningkat distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (jantung, paru, otak) resistensi arteriol meningkat diastolic presur meningkat b.heart rate meningkat cardiac output meningkat c.secret vasopressin, rennin-angiotensin-aldosteron meningkat ginjal menahan air dan sodium di dalam sirkulasi 2. tahap 2, stadium dekompensasi Pada stadium ini telah terjadia)

Perfusi jaringan buruk O2 sangat turun metabolism anaerob laktat meningkat

laktat asidosis diperberat oleh penumpukan CO2, dimana CO2 menjadi asam karbonat. Asidemia akan menghambat kontraktilitas miokardium dan respons terhadap katekolaminb)

Gangguan metabolism energy dependent Na+/K+ pump ditingkat seluler integritas

membrane sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria memburuk kerusakan sel c)d)

Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta system koagulasi, akan diperburuk Pelepasan mediator vaskuler: histamine, serotonin, cytokins(TNFalfa dan interleukin I). Xanthin oksidase membentuk oksigen radikal serta platelets aggregating factor. Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler meningkat venous return turun preload turun cardiac output turun Manifestasi klinis: takikardi, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer buruk, asidosis, oligouria dan kesadaran turun.

dengan terbentuknya agregasi trombosit dan pembentukan thrombus disertai tendensi perdarahan

3. tahap 3, tahap refrakter (irreversible ) yaitu tahap kerusakan sel yang hebat tidak dapat lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada kematian. Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel multiple organ failure. Cadangan phosphate berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar tubuh kehabisan energy. Manifestasi klinis: nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur. Anuria dan tandatanda kegagalan organ

Patofisiologi kehilangan darah Respon pertama terhadap kehilangan darah adalah terjadinya formasi penjendalan darah pada lokasi terjadinya perdarahan. Sesuai dengan progresifitas perdarahan yang terjadi, katekolamin, antidiuretik hormon, dan atrial natriuretik reseptor merespon terhadap kehilangan volume dengan vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral dengan meningkatkan laju jantung dan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure). Hal ini akan menjamin adekuatnya arus darah ke ginjal, jantung dan otak. Tujuan dari kompensasi ini adalah meningkatkan cardiac output dan mempertahankan tekanan perfusi. Pemburukan pada hipovolemia dan adanya hipoksia jaringan menyebabkan peningkatan ventilasi untuk kompensasi terjadinya asidosis metabolik. Penurunan pada tekanan perfusi koroner menyebabkan gangguan pada kontraktilitas miokard dan penurunan aliran darah serebral menyebabkan penurunan kesadaran, koma hingga kematian.

Gambar 1: Shock cascade ,Iskemia pada beberapa region dari tubuh akan menstimulasi respon inflamasi yang mempunyai efek pada non iskemik organ, bahkan dengan perfusi sistemik yang adekuat setelah resusitasi (Dutton&McCunn,2005). Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjainya syok, termasuk histamin, bradikinin, beta endorpin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin lain. Sel yang iskemik juga akan memproduksi dan melepaskan berbagai faktor

inflamasi seperti, prostacyclin, thromboxane, prostaglandin, leukotrienes, endothelin, complement, interleukin, tumor necrosis faktor dan lainnya. Gambar 1 di atas menunjukkan respon inflamasi terhadap syok dan menunjukkan proses yang terjadi saat imun sistem terpacu, di mana saat respon infalamasi terjadi, berkembang menjadi penyakit yang prosesnya terpisah dari asalnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pasien mungkin meninggal dikarenakan multipel organ failure setelah perdarahan, bahkan setelah perdarahaan dapat dikontrol dan pasien yang diresusitasi kembali ke tanda vital dan perfusi yang normal.

Gambar 2 (Potensial outcome shock) Gambar 2. Menunjukkan syok perdarahan dan potensial outcome dari pasien. Pada syok tahap dini hanya terjadi penurunan yang minimal pada oxygen delivery yang dapat dikompensasi oleh sistem kardiovaskular. Dekompensasi syok ditandai dengan akselerasi defek pada oxygen delivery (kurva B). Jika kehilangan darah (dan kemudian kehilangan kapasitas oxygen delivery) dapat dilakukan resusitasi sebelum terjadi cascade inflamasi, pasien akan selamat. Resusitasi secara adekuat akan menyebabkan terjadinya konsumsi oksigen yang lebih dari normal (hypermetabolic state) selama jam atau hari setelah perlukaan akut (ditunjukkan pada kurva C). Beberapa menit terlambat dilakukan resusitasi maka akan terjadi subakut irreversible shock (kurva D), perdarahan mungkin terkontrol, vital sign dapat normal (hypernormal), tetapi kerusakan terjadi pada tingkat seluler. Iskemik jaringan akan berlanjut akibat terjadi kegagalan reflow (no reflow) yang disebabkan pembengkakan sel dan obstruksi mikrosirkulasi. Pengeluaran toksin dan faktor inflamasi sama berbahayanya dengan perdarhaan itu sendiri, pasien berkembang menjadi adult respiratory distress syndrome, gagal ginjal akut, disfungsi dari usus, supresi imun, gagal jantung dan kematian akibat multipel organ system failure. Kurva E menunjukkan akut irreversible traumatic shock. Prolonged hipotension diikuti dengan vasodilatasi progresif, kehilangan respon terhadap cairan dan katekolamin, kebocoran kapiler, gangguan koagulopati yang difus, disfungsi jantung dan kematian (Smith, 2008)

Pada tingkat seluler, sel dengan pefusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme anaerobik, yang mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembangnya asidosis metabolik. Bila syok berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphate) tidak memadai (uncompensated shock), maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan gradien elektrik normal menjadi hilang. Pembengkakan retikulum endoplasmik merupakan tanda pertama dari hipoksia seluler, setelah itu diikuti oleh cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan melepasklan enzim yang mencerna struktur intraseluler lainnya. Natrium (Na) dan air memasuki sel, dan terjadilah pembengkakan sel. Juga terjadi penumpukan kalsium intraseluler. Bila proses ini berjalan terus, akan terjadi cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Tanda dan Gejala Syok Sistem Kardiovaskuler - Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. - Nadi cepat dan halus. - Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah. - Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik. - CVP rendah. - Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok. Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi. Sistem Respirasi

Pernapasan cepat dan dangkal. Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama. Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi berat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,07,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4% selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan rumus 2/2 x berat badan x kelebihan basa. Sistem saraf pusat Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan. Sistem Saluran Cerna Bisa terjadi mual dan muntah. Sistem Saluran Kencing Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam (1/5-1 ml/kg/jam). PENANGGULANGAN SYOK Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu

tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi. Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi syok: Pertahankan Respirasi 1.Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.2. Tengadah

kepala-topang

dagu,

kalau

perlu

pasang

alat

bantu

jalan

nafas

(Gudel/oropharingeal airway). 3.Berikan oksigen 6 liter/menit4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup (Ambu

bag) atau ETT. Pertahankan Sirkulasi Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP). Cari dan Atasi Penyebab Syok Hipovolemik Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk.

Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tandatanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang. Penanggulangan Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Kehilangan cairan

Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah. Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki volume sirkulasi, agar tidak terjadi gangguan perfusi jaringan dan oksigenasi sel, sehingga dapat mencegah iskemi jaringan dan gagal organ. Pemilihan jenis cairan harus atas dasar pertimbangan kompartemen yang terganggu atau yang mengalami defisit. Defisit cairan jika tidak segera diresusitasi cairan akan menyebabkan syok dengan segala akibatnya. Defisit cairan intraseluler Kadar natrium yang tinggi, menunjukkan defisit cairan intraseluler. Larutan elektrolit hipotonis akan mengisi kompartemen intraseluler lebih banyak daripada kompartemen intravaskuler dan interstisial sehingga lebih tepat diberikan pada keadaan dehidrasi yang telah berlangsung lama. Konsentrasi Na+ larutan ini lebih rendah daripada konsentrasi Na+ plasma. Glukosa ditambahkan untuk membuat agar larutan menjadi isotonik. Di dalam tubuh, glukosa dari cairan infus akan cepat mengalami metabolisme menjadi air sehingga tekanan osmotiknya menjadi lebih rendah dari plasma. Pada defisit cairan intraseluler dapat diberi cairan hipotonis seperti D5W (5% Dextrose in water) atau cairan yang banyak mengandung K+, Mg++, HPO4-. Cairan hipotonis mempunyai osmolaritas lebih rendah dari serum ( kadar Na+ lebih rendah) sehingga

pemberiannya akan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan akan "ditarik" dari dalam pembuluh darah ke jaringan sekitar ( prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi ) sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. DEHIDRASI Derajat dehidrasi: Dewasa Dehidrasi ringan Dehidrasi sedang Dehidrasi berat Tanda klinis dehidrasi : Ringan Defisit Hemodinamik 3-5 % takikardia nadi lemah Sedang 6-8 % takikardia nadi sangat lemah volum collaps hipotensi ortostatik Jaringan lidah kering turgor turun Urin SSP Tindakan: 1. Tentukan defisit 2. Atasi syok: cairan infus 20 ml/kg dalam - 1 jam, dapat diulangi 3. Sisa defisit: - 50 % dalam 8 jam pertama - 50 % dalam 16 jam berikutnya Cairan: Ringer Lactate (RL) atau NaCl 0,9 % (RL adalah cairan paling fisiologis untuk tubuh) Telah rehidrasi bila urin: 0,5-1 ml/kg/jam Urin pekat mengantuk lidah keriput turgor kurang jumlah turun apatis Berat 10 % takikardia nadi teraba akral dingin sianosis atonia turgor buruk oliguria koma tak 4 % bb 6 % bb 8 % bb Bayi dan Anak 5 % bb 10 % bb 15 % bb

TERAPI CAIRAN DURANTE OPERASI Sebelum operasi pasien akan dipuasakan selama 6 jam (dewasa) atau 4 jam (bayi dan anak) Zat yang hilang selama puasa, setiap jamnya : Air 60 ml KH 2,6 g Na+ 1,8 mEq Lemak 5,6 g K+ 2,4 mEq Protein 6,4 g Durante operasi diberi cairan: Pengganti puasa 2 ml/kg/jam Pemeliharaan 2 ml/kg/jam Stres operasi: Dewasa Operasi kecil Operasi sedang Operasi besar 4 ml/kg/jam 6 ml/kg/jam 8 ml/kg/jam Anak 2 ml/kg/jam 4 ml/kg/jam 6 ml/kg/jam

Transfusi jika: pada dewasa perdarahan > 15 % EBV; pada bayi dan anak perdarahan > 10 % EBV. Jika menggunakan koloid, sesuai jumlah perdarahan; jika kristaloid, 3x jumlah perdarahan. Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi : 1. Cairan rumatan ( maintenance ). Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas < 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 % 2. Cairan pengganti ( resusitasi, substitusi ) Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut=CIS; no net water movement melalui membran sel semipermeabel.Tonisitas 275-295 mOsm/kg; misal: NaCl0,9%, Lactate Ringer's, koloid 3. Cairan khusus Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air keluar dari sel,

menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295 mOsm/kg; misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium-bikarbonat, Natrium laktat hipertonik. Resusitasi dinyatakan berhasil, apabila: MAP (Mean Arterial Pressure) 65 mmHg CVP (Central Venous Pressure) 8-12 mmHg Urine output 0,5 ml/kg/jam Central venous (vena cava superior) atau mixed venous oxygen saturation 70% Status mental normal, Red blood cells excess ( hemokonsentrasi ). Kadar hematokrit (Ht) 50% - 65%, bahkan sampai 80%. Keadaan ini dapat menyebabkan: trombosis, sludging dan restrictive circulation. Terapi: Albumin atau Kristaloid untuk menurunkan hematokrit maksimum 65%. Pemberian cairan adalah hal yang utama pada akut resusitasi. Volume intravaskular hilang dikarenakan proses perdarahan, uptake oleh sel yang iskemik, dan ekstravasasi ke dalam ruang interstitial. Pemberian cairan intravena akan meningkatkan cardiac output dan tekanan darah pada pasien dengan hipovolemia. Kurikulum ATLS (Advance Trauma Life Support) menyarankan pemberian infus secara cepat hingga 2 Liter dari cairan kristaloid isotonik yang dihangatkan pada pasien yang hipotensi dengan tujuan untuk mengembalikan tekanan darah dalam keadaan normal dan urine output yang adekuat. Pendekatan ini dipertanyakan pada beberapa tahun terakhir dikarenakan pada penelitian pada hewan coba dengan perdarahan yang tidak terkontrol, strategi ini secara seragam akan meningkatkan durasi dan volume dari perdarahan dan menurunkan angka harapan hidup. Mekanisme yang mendukung termasuk dilusi dari sel darah merah akan menurunkan oxygen delivery dan berkontribusi terhadap terjadinya hipotermia dan koagulopati. Peningkatan dari tekanan darah dapat menyebabkan peningkatan perdarahan akibat dari disrupsi penjendalan darah dan reversal dari kompensasi vasokonstriksi. Hal ini didukung oleh penelitan yang dilakukan oleh Bickel et al (1994) pada penderita dengan trauma penetrasi menyimpulkan bahwa, menunda (delayed) pemberian cairan resusitasi secara agresif sampai intervensi bedah akan meningkatkan outcome pasien. Hingga sekarang belum ada penelitian yang menunjukkan efek yang merugikan dari delayed atau hypotensif resuscitation pada survival, tetapi sejauh ini bukti keunggulan pendekatan ini pada trauma atau ruptur aneurisma abdominal aorta belum dapat dibuktikan.

Penekanan pada diagnosis yang cepat dengan kontrol perdarahan, disertai pemberian cairan secara titrasi dalam jumlah yang minimal masih mampu mencegah terjadinya perburukan iskemia. Deliberate hypotensive rescucitation, permissive hypotension merupakan pendekatan pemberian cairan secara titrasi untuk mempertahankan Sistolik blood Pressure dalam rentang 80-100 mm Hg. Resusitasi cairan pada perdarahan yang tidak terkontrol harus mempertimbangkan keseimbangan antara terlalu sedikit resusitasi akan memperburuk perfusi, dan terlalu banyak akan memperburuk perdarahan (too little worsening perfusion, and too much, worsening hemorrhage) (Hahn et al, 2007). Pendekatan hasil penelitian yang dilakukan Bickel et al (1994) ini harus diimplementasikan dengan kehatihatian. Kriteria inklusi hanya pasien dengan trauma tembus, dan waktu prehospital adalah sangat singkat (rata-rata 30 menit), hal ini mengimplikasikan bahwa tindakan definitif pembedahan juga harus sangat singkat. American Society of Surgeon dalam rekomendasinya yang terbaru (edisi revisi ATLS th 2008) menyatakan bahwa pemberian cairan secara hati-hati dengan reevaluasi yang ketat, untuk menjaga keseimbangan perfusi organ dengan resiko perdarahan dan menerima tekanan darah yang lebih rendah dari normal disebut dengan controlled resuscitation, balanced rescucitation. Pendekatan ini kurang direkomendasikan pada pasien dengan trauma tumpul terutama pada pasien dengan trauma kepala, pasien tua, dan dengan penyakit jantung iskemik. Hal ini lebih direkomendasikan pada trauma tembus. Penggunaan tabel kelas perdarahan untuk menilai dan memperkirakan perdarahan yang hilang dapat digunakan sebagai penunjuk untuk resusitasi awal, tetapi penggantian volume harus berdasarkan respon pasien terhadap resusitasi awal, tidak hanya berdasarkan klasifikasi awal kelas perdarahan pasien. Berdasarkan fisiologi tersebut di atas resusitasi pada perdarahan harus dipertimbangkan dalam 2 fase: Resusitasi awal (early): saat perdarahan masih berlanjut (aktif) Resusitasi lanjut (late): saat perdarahan sudah dapat dikontrol

Meskipun terdapat kontroversi terhadap waktu yang optimal untuk memulai pernggantian cairan, tidak ada argumen lain bahwa setelah perdarahan dapat dikontrol, harus dilakukan pengembalian volume intravaskular secepat mungkin untuk mengembalikan sirkulasi yang efektif dan mencegah iskemi jaringan. Hal yang krusial pada proses resustasi adalah kontrol perdarahan secara dini, sedangkan resusitasi cairan yang berkelanjutan pada perdarahan yang masih berlangsung akan

menyebabkan anemia dilusi, trombositopenia, dan memperburuk hipotermia yang akan mengakibatkan perdarahan menjadi sulit dikontrol dan pengembalian sirkulasi menjadi tidak efektif sehingga meningkatkan terjadinya mortalitas. Dutton & McCunn (2005) merekomendasikan tatalaksana dan tujuan resusitasi awal (early) berdasarkan fisiologi tersebut di atas yang terangkum dalam algoritma dan tabel di bawah ini seperti di bawah ini:

Algoritma Resusitasi Awal (Early Rescucitation) Tujuan dari Resusitasi awal (Early rescucitation) Mempertahankan tekanan darah sistolik 80-100 mmHg Mempertahankan hematokrit pada 25%-30% Mempertahankan protrombin time dan partial thromboplastin time pada rentang normal Mempertahankan angka trombosit > 50.000 Mempertahankan serum calcium dalam rentang normal Mempertahankan fungsi dari pulse oximeter Mencegah peningkatan serum laktat Mencegah asidosis dari perburukan Tabel 3: Tujuan Resusitasi Awal (Early Rescucitation) (Dutton & Mc Cunn, 2005)

Adekuatnya resusitasi tidak dapat dinilai dari hasil vital sign yang normal tetapi dari adekuatnya organ dan perfusi jaringan. Seorang ahli anestesi ataupun intensif care harus mampu mengenali adanya syok yang masih berlanjut setelah trauma perdarahan dan melakukan resusitasi pada pasien dengan pilihan cairan, jumlah dan waktu yang sesuai dengan kondisi pasien. Marker yang tradisional seperti tekanan darah, nadi, dan urin output tidak sensitif untuk menilai adekuatnya resusitasi. Occult hypoperfusion syndrome sering dijumpai pada post operatif trauma pasien terutama yang berusia muda. Sindrom ini meliputi tekanan darah yang normal, yang dipertahankan oleh vasokonstriksi sistemik, volume intravaskular yang kurang, cardiac output yang berkurang, dan iskemik organ akan terjadi. Pasien seperti ini akan berpotensi mengalami gagal organ multipel jika tidak diterapi. Algoritme dan tujuan resusitasi lanjut terangkum dalam algoritme dan tabel di bawah ini:

Gambar: Algoritme Resusitasi lanjut (Late Rescucitation) Tujuan dari resusitasi lanjut (late resuscitation) Mempertahankan tekanan darah sistolik > 100 mm Hg

Mempertahankan hematokrit di atasi ambang tranfusi individual Menormalkan status koagulasi Menormalkan keseimbangan elektrolit Menormalkan temperatur tubuh Mengembalikan urin output normal Memaksimalkan cardiac output dengan monitoring invasive maupun non

invasive Tabel 4: Tujuan dari Resusitasi lanjut (Late resuscitation) Pemilihan cairan resusitasi Guidelines dari ASA terbaru merekomendasikan secara umum untuk melakukan tranfusi darah apabila Hb < 6g/dl dan menghindari tranfusi darah apabila Hb> 10 g/dl, dan pertimbangkan faktor lain untuk mempertimbangkan tranfusi pada pasien dengan Hb antara 6 hingga 10 g/dl (tabel 5). Monitoring kadar kalsium penting untuk dilakukan, sitrat pada PRBCs akan mengikat kalsium. Penggantian kalsium akan dapat memperbaiki koagulopati dan hipotensi yang dihubungkan dengan hipokalsemia. 1. Tranfusi RBCs jika hemoglobin < 6 g/dl 2. Tidak melakukan tranfusi RBCs jika hemoglobin > 10 g/dl 3. Keputusan berdasarkan: Adanya iskemik organ (gangguan status mental, iskemik

tranfusi

RBCs

harus

dilakkukan

secara

individual

miokard, asidosis, low mixed vonous oxygen saturation) Laju dan beratnya perdarahan Status volume intravaskular Cadangan kardiopulmonar Tabel 5: rekomendasi tranfusi darah berdasarkan American Society of Anesthesiologist Practice Guideline dan review literatur (Smith, 2008). FFP (Fresh frozen plasma) diindikasikan jika kehilangan darah melebihi 40% dari estimasi volume darah dengan komplikasi koagulopati (PT atau PTT melebihi 1,5 kontrol), dosis awal yang direkomendasikan adalah 10-15 ml/kg, tetapi dosis yang lebih besar mungkin diperlukan. Tranfusi trombosit direkomendasikan untuk mempertahankan jumlah trombosit

>50.000. Pada keadaan perdarahan yang terus berlanjut dipertimbangkan pemberian activated clotting factor VII (VIIa). Skema pada gambar di bawah memberikan panduan secara detail bagi ahli anestesia untuk memperkirakan kehilangan darah di kamar operasi (Wilson et al, 2007)

Estimasi kehilangan darah. Penilaian kehilangan darah di kamar operasi termasuk observasi secara langsung maupun penggunaan parameter fisiologis. Observasi secara langsung termasuk estimasi dari perdarahan pada lapang pembedahan, kanister suction dan kain kasa. Penilaian parameter fisiologis termasuk kuantifikasi penurunan tekanan arterial sistemik (PSA), vena sentral (PCV) , arteri pulmonary (Ppa), pulmonary capillary wedge (Ppaw) , cardiac output (Qt), Hb: hemoglobin; HCT: hematokrit, dan SVR: systemic vascular resistance (Wilson et al, 2007) Respon penderita pada resusitasi awal merupakan kunci untuk menentukan terapi berikutnya apakah pasien kehilangan darah lebih besar dari yang diperkirakan, dan perdarahannya berlanjut yang memerlukan pengendalian perdarahaan internal melalui operasi. Pola respon terhadap resusitasi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: Respon cepat, respon sementara dan respon minimum (tidak respon) seperti yang dijelaskan pada tabel 7 di bawah ini:

Tabel 6: Respon pasien terhadap resusitasi (ATLS, 2004).

Perdarahan TRANSFUSI Tujuan transfusi adalah untuk memperbaiki sirkulasi volume darah dan oxygen carrying capacity. Transfusi darah masih berperan penting pada penanganan syok hemoragik dan diperlukan bila kehilangan darah mencapai 25% volume darah sirkulasi.Pada syok lain darah berguna mengembalikan curah jantung bila hematokrit rendah atau bila cairan gagal mempertahankan perfusi. Kadar Hb 8 g% masih efektif untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Pada pasien kritis transfusi sel darah merah (red blood cells) diberikan bila Hb < 7 g %, kecuali terdapat : penyakit arteri koroner, perdarahan akut atau asidosis laktat. Ambilan oksigen (oxygen uptake) adalah petunjuk lebih rasional saat diperlukannya transfuse daripada kadar hemoglobin. Ambilan oksigen akan menjadi flow dependent bila ekstraksi oksigen (oxygen extraction) tidak berubah sebagai respon terhadap aliran darah. Keadaan flow dependent ini terutama terjadi pada penyakit serius, sehingga lebih baik mempertahankan curah jantung untuk mempertahankan suplai oksigen ke jaringan. Risiko transfusi: Acute: overload, reaksi alergi, reaksi hemolitik, demam, emboli udara. Delayed: infeksi dan imunosupresi. Transfusi dapat menggunakan whole blood atau packed red cells. Pada perdarahan akut harus diberikan whole blood. Kriteria transfusi dengan packed red cells: Hb < 8 g/dL Hb 8-10 g/dL, normovolemik disertai tanda-tanda gangguan miokardium, serebral dan respirasi Perdarahan hebat: 10 ml/kg pada 1 jam pertama atau >5 ml/kg pada 3 jam pertama Untuk meningkatkan Hb, transfusi dengan: Whole blood: ( Hb x - Hb pasien ) x BB x 6 = ml Packed red cells: ( Hb x- Hb pasien ) x BB x 3 = ml Volume darah adalah volume plasma (5% BB) ditambah eritrosit (2% BB), sehingga volume darah adalah 7% berat badan. Cara lain menghitung volume darah, berdasarkan estimated blood volume (EBV): Neonatus 90 ml/kg

Bayi dan Anak Dewasa Gangguan koagulasi:

80 ml/kg 70 ml/kg

Prothrombin Time dan Partial Thromboplastin Timememanjang, berikan Fresh Frozen Plasma:10 ml/kg ACT > 120 detik, berikan Protamine: 1 mg/kg Trombositopenia, berikan Faktor trombosit Fibrinogen < normal, berikan Kriopresipitat: 5 ml/kg Perdarahan Variabel Sistolik (mmHg) Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Mental Kehilangan darah Kelas I > 110 < 100 16 anxious 750 ml < 15 % Kelas II > 100 > 100 16-20 agitated 750-1500 ml 15-30% Kelas III > 90 > 120 21-26 confused 1500-2000 ml 30-40 % Kelas IV < 90 > 140 > 26 lethargy > 2000 ml > 40 %

Tabel 6: Perkiraan kehilangan cairan dan darah (ATLS, 2004) Rata-rata volume darah pada pasien dewasa adalah 7% dari berat badan (atau 70 ml/kg berat badan). Estimasi dari volume darah pada pasien dengan berat badan 70 kg adalah sekitar 5 liter Penggantian cairan menggunakan cairan kristaloid menggunakan kaidah 3:1, yaitu pemberian 300 ml cairan kristaloid untuk setiap 100 ml perdarahan. terjadinya perdarahan (ATLS, 2004). Maximal allowable blood loss: {( Ht - 30 ) : Ht } x EBV.

DO2 = CO x CaO2 = 640 - 1400 ml/menit. CaO2 (kandungan oksigen arterial) berkaitan dengan saturasi oksigen arterial (SaO 2) dan Hb. VO2 (oxygen uptake = demand = consumption) atau ambilan oksigen dapat digunakan untuk menilai oksigenasi jaringan yang adekuat. VO2 meningkat setelah curah jantung meningkat, tetapi VO2 tidak akan meningkat setelah peningkatan hematokrit pasca transfusi darah. Ini menunjukkan bahwa ambilan oksigen (VO2) lebih rasional dipakai sebagai petunjuk perlunya transfusi dibanding hemoglobin serum secara individual. VO2 = CO x ( CaO2 -CvO2 ) x 10 = 180 -280 ml/menit. CaO2 = ( Hb x 1,37 x SaO2 ) + ( 0,003 x PaO2 ) CvO2 = ( Hb x 1,37 x SvO2 ) + ( 0,003 x PvO2 ) SaO2 = 93 - 98 % SvO2 = 65 - 75 % Rasio ekstraksi oksigen ( O2 ER ) = VO2 / DO2 x 100 O2 ER = 0,25 - 0,30 Menurut teori keseimbangan asam-basa Stewart, hiperkloremia akan menurunkan strong ion difference ( SID ). SID dan PaCO2 merupakan independent variable, sedangkan konsentrasi ion hidrogen dan bikarbonat merupakan dependent variable. Larutan Ringer Laktat banyak digunakan sebagai cairan pengganti. Ringer Laktat tidak menambah asidosis, sebab jika sirkulasi pulih kembali, produksi asam laktat akan berkurang. Di samping itu, sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati, yang melalui siklus Krebs akan dibuffer oleh bikarbonat menjadi asam karbonat yang dilepas melalui paru-paru. Koloid banyak digunakan untuk mempertahankan volume darah sirkulasi. Produk Hextend merupakan plasma volume expander yang mengandung 6% hetastarch di dalam larutan elektrolit berimbang, laktat dan glukosa (hetastarch 60g/L, natrium 143 mmol/L, klorida 124 mmol/L, kalsium 2,5 mmol/L, kalium 3 mmol/L, magnesium 0,45 mmol/L, glukosa 0,99 g/L, laktat 28 mmol/L). Syok hemoragik dapat menyebabkan hypercoagulable state yang berkaitan dengan komplikasi hemoragik dan trombotik pada periode pasca operasi. Hextend dapat menurunkan aktivitas heparin dan antitrombin II, sehingga terjadi percepatan inisiasi pembekuan

darah. Strategi untuk rehidrasi harus memperhitungkan: defisit cairan, cairan rumatan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Cara rehidrasi: 1. Hitung derajat dehidrasi Jumlah cairan yang diberikan = derajat dehidrasi ( % ) x BB x 1000 ml 2. Hitung cairan rumatan. Bayi dan Anak: rumus 4,2,1 Dewasa: 40 ml/kg/24 jam atau rumus 4,2,1 3. Pemberian cairan (Guillot). 6 jam I = dari jumlah cairan yang diberikan + cairan rumatan 18 jam II = cairan yang diberikan + cairan rumatan 8 jam I = cairan yang harus diberikan + cairan rumatan 16 jam II = cairan yang harus diberikan + cairan rumatan

KESIMPULAN

Perdarahan adalah masalah yang penting untuk diperhatikan, kehilangan darah yang masif dan berkelanjutan dapat berakibat fatal dalam menit sampai jam. Tujuan utama penatalaksanaan syok perdarahan adalah mengenali secara dini, menghentikan perdarahan dan mengembalikan sirkulasi dan perfusi dalam batas normal. Secara umum penanganan syok perdarahan terbagi dalam 2 fase yaitu, fase resusitasi awal dan fase resusitasi lanjut. Pendekatan hipotensif atau delayed rescucitation masih menjadi kontroversi, rekomendasi mempertahankan sistolik blood pressure 80-100 mmHg, hingga kontrol perdarahan adalah berdasar dari opini ahli, belum berdasarkan oleh bukti yang kuat. Ada tiga tahapan syok yaitu stadium kompensata, stadium dekompensata dan stadium ireversible. Semua stadium harus diawasi dan diberikan terapi cairan segera baik dalam bentuk cairan kristaloid, koloid, maupun plasma yang sesuai dengan indikasi pemberian.

DAFTAR PUSTAKA

Advanced Trauma Life Support for Doctors, 2004, Student Course Manual, 7th ed. American College of Surgeons, Committee on Trauma. Chicago, 88-113. Bickell, WH, Wall, MJ Jr, Pepe PE (1994), Immediate versus delayed fluid resuscitation for hypotensive patients with penetrating torso injuries. N Engl J Med, 331:11051109. Bready, LL, Dillman, D, Noorily, SH, 2007 , Decision Making in Anesthesiology, 4th edition, Elsevier, Philadelpia, 558-561. Dutton, RP, McCunn, M, 2005, Anesthesia for trauma. In Miller RD, editor: Millers anesthesia, ed 6. Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone. 2451-2468. Gutierrez, G, Reines, HD, Wulf, ME, 2004 ,Clinical Review: Hemorrhagick Shock, Critical Care 8:373-381. Hahn, RG, Donald, SP, Svensen, CH, 2007, Perioperative Fluid Therapy, Informa Health care, New York, 321-331. Kwan, I, Bunn, F, Robert I, 2003, Timing and volume of fluid administration for patiens with bleeding. Cochrane Database syst Rev. Megan, L, Germann, CA, 2009, ATLS Update, Hospital Peer Review, Portland. Pascoe, S, Lynch, J, 2007, Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Management of Hypovolaemick Shock in the Trauma Patient, NSW institute fo Trauma and Injury Management, Liverpool, 1-51 Smith, CE, 2008, Trauma Anesthesia, Cambridege University Press, New York, 55-65. Wilson, WC, Grande, CM, Hoyt, B, 2007, Trauma: Emergency Resuscitation Perioperative Anesthesia Surgical Management , Informa Healthcare, New York, 365-381 .