10
297 PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM (JUDGE-MADE-LAW) ; SUATU KEGIATAN BERPIKIR ILMIAH ________ Oleh : I Nyoman Nutjaya _______ _ "The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not discovery but crea- . tion " (Cordozo). Pendahuluan "Banyak keajaiban di dunia ini, te- tapi tidak ada sesuatu yang lebih ajaib dari pada manusia", demikian kata drarr.awan Yunani Sopokles (abad) ke-5 Sebelum Masehi) dalam sebuah karya tragedi yang berjudul Antigone. Berbicara ten tang manusia; hidup, arti dan peranan eksistensinya akan selalu aktuil, sebab selain manusia itu sendiri selalu menjadi pokok permasalahan, dapat juga dilihat bahwa peristiwa be- sar apapun terjadi di dunia, masalah apa pun yang harus dipecahkan di bumi pacta intinya dan akhirnya ber- tautan juga dengan manusia (Soerjan- to, 1978). Manusia adalah mahluk yang berha- dapan dengan dirinya sendiri dalam dunianya; tidak hanya berhadapan te- tapi juga menghadapi dalam arti yang mirip dengan menghadapi persoalan, kesukaran dan sebagainya. Jadi, dia melakukan, dia mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sen- diri - dia bersatu dan berjarak dengan diri sendiri: Karena itu, manusia adalah mahluk hidup yang tumbuh dan dinamis dan sebagai dinamika manusia terus berge- rak, tidak pernah berhenti, selalu aktif dalam menghadapi persoalan, tantang- an diri, alam dan jaman dalam duIiia- nya (Drijarkara, 1978). Namun, siapakah manusia itu sebe- narnya ? Dalam hubungan ini Notoha- midjojo memberi pandangan terhadap manusia dari sisi filosofis dan anthro- pologis seperti berikut (Notohamidjo' jo,1975): Manusia menunjukkan tiga aspek esen- sial yang mewujudkan manusia sebagai obyek, subyek dan relasi. pertama, manusia sebagai obyek me- nyangkut segi lahir dari kemanusiaan. Manusia itu mengisi ruang, mempunyai berat, dapat dilihat, ma- kan dan minum, dapat dicandra dan didetenninasikan secara badaniah maupun rohaniah; kedua, manusia sebagai subyek ber- arti manusia sebagai aku. Ia hidup di dunia tidak hanya ditentukan tetapi juga menentukan, memilih dan menen- tukan pilihan secara bebas - manusia bukan suatu alat atau mesin, melain- kan kepribadian yang tidak dapat di- determinasikan, mempunyai kehendak dan mengambil keputusan bebas; ketiga, manusia sebagai relasi atau per- hubunglm. Manusia sebagai subyek maupunsebagai obyek dialami di da- lam relasi, sebab manusia bukan se- suatu yang mandiri melainkan sen an- tiasa berada dalam perhubungan nyata. Bukan pula kebebasan tanpa kendall tetapi kebebasan dengan keterikatan dan tanggung jawab. Manusia hidup dalam relasi aku - kau, kata Martin Buber. Re1asi adalah pri- mer malah fundamental dan tidak da- pat dihindari. Pernahkah anda melihat patung ter- -

PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

297

PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM

(JUDGE-MADE-LAW) ; SUATU KEGIATAN BERPIKIR ILMIAH

________ Oleh : I Nyoman Nutjaya _______ _

"The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not discovery but crea- . tion " •

(Cordozo).

Pendahuluan "Banyak keajaiban di dunia ini, te­

tapi tidak ada sesuatu yang lebih ajaib dari pada manusia", demikian kata drarr.awan Yunani Sopokles (abad) ke-5 Sebelum Masehi) dalam sebuah karya tragedi yang berjudul Antigone. Berbicara ten tang manusia; hidup, arti dan peranan eksistensinya akan selalu aktuil, sebab selain manusia itu sendiri selalu menjadi pokok permasalahan, dapat juga dilihat bahwa peristiwa be­sar apapun terjadi di dunia, masalah apa pun yang harus dipecahkan di bumi pacta intinya dan akhirnya ber­tautan juga dengan manusia (Soerjan­to, 1978).

Manusia adalah mahluk yang berha­dapan dengan dirinya sendiri dalam dunianya; tidak hanya berhadapan te­tapi juga menghadapi dalam arti yang mirip dengan menghadapi persoalan, kesukaran dan sebagainya. Jadi, dia melakukan, dia mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sen­diri - dia bersatu dan berjarak dengan diri sendiri:

Karena itu, manusia adalah mahluk hidup yang tumbuh dan dinamis dan sebagai dinamika manusia terus berge­rak, tidak pernah berhenti, selalu aktif dalam menghadapi persoalan, tantang­an diri, alam dan jaman dalam duIiia­nya (Drijarkara, 1978).

Namun, siapakah manusia itu sebe­narnya ? Dalam hubungan ini Notoha-

midjojo memberi pandangan terhadap manusia dari sisi filosofis dan anthro­pologis seperti berikut (Notohamidjo' jo,1975):

Manusia menunjukkan tiga aspek esen­sial yang mewujudkan manusia sebagai obyek, subyek dan relasi. pertama, manusia sebagai obyek me­nyangkut segi lahir dari kemanusiaan. Manusia itu ~buh, mengisi ruang, mempunyai berat, dapat dilihat, ma­kan dan minum, dapat dicandra dan didetenninasikan secara badaniah maupun rohaniah; kedua, manusia sebagai subyek ber­arti manusia sebagai aku. Ia hidup di dunia tidak hanya ditentukan tetapi juga menentukan, memilih dan menen­tukan pilihan secara bebas - manusia bukan suatu alat atau mesin, melain­kan kepribadian yang tidak dapat di­determinasikan, mempunyai kehendak dan mengambil keputusan bebas; ketiga, manusia sebagai relasi atau per­hubunglm. Manusia sebagai subyek maupunsebagai obyek dialami di da­lam relasi, sebab manusia bukan se­suatu yang mandiri melainkan sen an­tiasa berada dalam perhubungan nyata. Bukan pula kebebasan tanpa kendall tetapi kebebasan dengan keterikatan dan tanggung jawab. Manusia hidup dalam relasi aku - kau, kata Martin Buber. Re1asi adalah pri­mer malah fundamental dan tidak da­pat dihindari.

Pernahkah anda melihat patung ter-

-

Page 2: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

.298

mashur dari Auguste Rodin; seorang manusia yang sedang tekun berpikir ? Va, dialah lam bang kemanusiaan kita, "homo sapiens" mahluk yang berpikir. Sejak dia lahir sampai masuk liang la­hat dia tak pernah berhenti berpikir -setiap saat dari hidupnya selalu berpi­kir.

Berpikir itulah yang mencirikan ha­kekat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia - "cogito ergo sum ", kata Descartes. Namun, manu­sia bukan semata-mata mahluk yang berpikir atau sekedar homo sapiens yang steril. Manusia adalah mahluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Berpikir pada dasarnya merupakan se­buah proses yang membuahkan penge­tahuan yakni merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti ja­Ian pemikiran tertentu dan akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan.

Pengetahuan sebagai produk kegiat­an berpikir adalah obor dan semen peradaban di mana manusia menemu­kan dirinya dan menghayati hidup de­ngan lebih sempurna. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengem­bangkan pengetahuan secara sungguh-.-sungguh, karena dalam hidupnya mem-punyai tujuan tertentu yang lebih ting­gi dari sekedar mempertahankan ke­langsungan hidupnya. Inilah yang me­nyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini pula yang mendorong manusia men­jadi mahluk yang mempunyai sifat khas di muka bumi ini.

Manusia mempunyai kemampuan untuk mengem bangkan pengetahuan ini disebabkan oleh dua- hal seperti be­rikut: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan in­fOIIllasi dan jalan pikiran yang menjadi latar belakang informasi itu; kedua, manusia mempunyai kemam-

Hukum dan Pembangunan

puan untuk berpikir menurut alur ke­rangka berpikir tertentu yang disebut "penalaran" . Dua keltlbihan inilah yang memungkin­kinkan manusia mengem bangkan pe­ngetahuannya, yakni bahasa yang ko­munikatif dan pikiran yang mampu menalar.

Bahwa pemikiran keilmuan bukan­lah suatu pemikiran yang biasa, me­lainkan pemikiran yang guh; artinya suatu cara berpikir yang berdisiplin, di mana seorang yang ber­pikir sungguh-sungguh tidak akan mem biarkan idea dan konsep yang se­dang dipikirkan berkelana tanpa arah melainkan semua itu diarahkan pada suatu tujuan tertentu yaitu pengeta­huan. J adi, berpikir keilmuan adalah cara berpikir yang' berdisiplin dan di­arahkan kepada pengetahuan.

"Ubi societas ibi ius", demikian kata ahli pemikir ternama tentang ne­gara dan hukum bangsa Romawi Ci­cero - di mana ada masyarakat, di sana terdapat hukum. Hukum hanya terdapat di dalam masyarakat manu­sia dan hukum harus dilaksanakan. Kalau terjadi pelanggaran maka hukum harus dipulihkan, ditegakkan dan di­pertahanakan ' untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.

Peradilan merupakan salah satu cara pelaksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak yang diselenggarakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh siapapun dengan cara memberi putusan yang bersifat meng­ikat dan berwibawa (Sudikno Merto­Kusumo, 1977).

Hakim (pengadilan) di dalam meng­adili suatu perkara adalah melaksana­kan hukum. Untuk ini dia wajib meng­gall, mengikuti dan memahami nilai-ni-

lai hukum yang hidup di dalam masya-rakat (vide pasal 27 Un dang-Un dang nomor 14 Tahun 1970). Melalui pu-

Page 3: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

Judge Made Law

tusan-putusannya hakim menciptakan hukum (judge-made-iaw). Dengan de­mikian hakim tidak hanya menerapkan hukum saja, tidak sekedar mengadakan subsumsi saja" tetapi juga harus menemukan dan menciptakan.

Hakim adalah seorang manusiajuga, sebagai "homo sapiens" yang mempu­nyai kewajiban untuk melaksanakan, menemukan dan menciptakan hukum. Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dia dituntut untuk menggunakan penalarannya sebagai proses kegiatan berpikir ilmiahnya. Dalam kaitan ini­lah tulisan summir ini disajikan di m ana akan dicoba untuk mengungkap­kan proses kegiatan berpikir (ilmiah) hakim di dalam melaksanakan, mene­mukan dan menciptakan hukum lewat penalarannya.

Penalaran Sebagai Proses Berpikir (llmiah)

Manusia pada hakekatnya merupa­kan mahluk yang berpikir, merasa, ber­sikap dan bertindak . Sikap dan tindak­annya bersum ber pada pengetahuan yang diperoleh lewat kegiatan berpikir dan penalaran menghasilkan pengeta­huan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir ini. Meskipun patut disadari

bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Karena itu penalaran merupakan suatu proses kegiatan berpikir yang mempu­nyai karakteristik tertentu di dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang benar.

Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran memiliki ciri·dri ter­tentu seperti berikut ini : pertama, adanya pola berpikir yang se­cara luas dap at dise bu t ' 'logika'' . 1ni berarti bahwa kegiatan penalaran me­rupakan suatu proses berpikir logis. Berpikir logis di sini harus diartikan

sebagai kegiatan berpikir menurut

299

suatu pola tertentu atau menurut 10-gika tertentu; kedua, sifat analitik dari proses berpi­kirnya. Penalaran merupakan suatu ke­giatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis adalah logika penalaran yang bersang­kutan . 1ni berarti penalaran ilmiah me­.upakan kegiatan analisis yang mem­pergunakan logika ilmiah.

Dalam hubungan ini Bochenski menu­lis bahwa tanpa ada kecuali setiap pe­nalaran harus memenuhi dua persya­ratan, yaitu: pertama, harus adanya premis tertentu yang berupa pernyataan yang kebenar­annya telah diketahui atau dapat dite-

• nma; kedua, harus mempunyai cara di da­lam menarik kesimpulan (in[erens) (J .M. Bochenski, 1972).

Seperti telah dikemukakan bahwa .

tidak semua kegiatan berpikir menda-sarkan diri kepada penalaran. Jadi, ti­dak semua kegiatan berpikir mengan­dung sifat logis dan analitis . Dengan demikian cara berpikir yang tidak termasuk penalaran berarti tidak logis dan tidak analitik sifatnya. Kemudian dari kriteria ini maka dapat dibedakan secara garis besar ciri-ciri berpikir me­nurut penalaran dan ~erpikir bukan berdasar atas penalaran . Merasa misalnya, merupakan cara pe­ngembalian kesimpulan yang tidak me­nurut penalaran . Juga intuisi sebagai kegiatan berpikir yang non-analitik dan tidak berdasarkan pola berpikir tertentu . Dari ini semua secara luas dapat dika-

. takan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikatagorikan menjadi: berpikir analitik yang berupa penalaran dan cara berpikir yang non-analitik berupa perasaan dan intuisi.

Untuk melakukan kegiatan analisis maka penalaran harus diisi dengan ma-

Juli 1983

Page 4: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

300

teri pengetahuan yang bersum ber dari kebenaran, yaitu pengetahuan yang pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta. Bagi mereka yang berpen­dapat bahwa rasio merupakan sumber kebenaran, mengembangkan paham ra­sionalisme dan mereka yang menyata­kan bahwa fakta yang tertangkap le­wat pengalaman manusia sebagai sum­ber kebenaran mengembangkan paham

• • empmsme.

Kendatipun kedua paham ini mem­bawa konsekuensf lahirnya dua kutub yang saling bertentangan, namun pada akhirnya masing-masing penganut pa­ham rasionalisme dan empirisme saling menyadari akan kekurangan dan kele­bihannya.

Kemudian timbul gagasan untuk meng­gabungkan kedua pendekatan ini dan menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan penge­tahuan yang benar. Sebagai hasil ga­bungan pendekatan rasional dan empi­ris ini dinamakan "metode keilmuan", di mana rasionalisme memberikan ke­rangka pemikiran yang koheren dan 10-gis dan empirisme sebagai kerangka penguji dalam memastikan kebenaran.

Penalaran merupakan proses berpi­kir yang membuahkan pengetahuan, dan agar pengetahuan produk pena­laran ini mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus melalui cara-cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan dianggap sahih (valid) apabila prosesnya dilaku­kan menurut 10gika sebagai pengka­jian untuk berpikir secara sahih.

Tentang 10gika menurut sejarah su­dah dikenal dan dipelaj~ secara men­dalam sejak jaman Yunani Kuno de­ngan Aristoteles sebagai pelopornya. Pada jamannya, Aristoteles belum

istilah 10gika untuk me­nurunkan ajarannya tentang penalaran, selain istilah "analitika dan dialekti­ka". Analitika digunakan untuk mene-

Hukum dan Pembangunan

gaskan metode penalaran berdasar atas pernyataan yang benar, sedangkan dialektika untuk mengenalkan Cara pe­nalaran yang didasarkan pada pernya­taan yang belum pasti kebenarannya. Istilah 10gika mulai digunakan pad a abad kedua setelah masehi untuk mengganti istilah "organon" yaitu himpunan naskah ajaran-ajaran beliau yang dihimpun oleh para pengikutnya setelah meninggal.

Di dalam perkembangannya hingga dewasa ini 10gika sudah menjadi bi­dang pengetahuan yang tidak sekedar bersifat filsafati, melainkan juga berco­rak teknis dan ilmiah. Logika telah mencakup setiap penelaahan sistematis tentang metode untuk mencapai suatu kesimpulan dari fal<ta dalam semua bi­dang (The Liang Gie , et aI, 1980).

Penalaran ilmiah pada hakekatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan penalaran induktif, ka­rena itu dalam rangka mengkaji pena­laran ilmiah maka terlebih dulu harus ditelaah secara seksama penalaran de­duktif dan induktif tersebut.

Dalam hubungan ini telaah penalar­an ilmiah dihadapkan hanya pada dua jenis cara penarikan kesimpulan, yaitu 10gika induktif dan 10gika deduktif. "Logic is divided into two main branches deductive and inductive ", be­gitu tulis Louis Kattsoff. Logika induktif berkaitan dengan pe­narikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum, sedangkan 10gika deduktif mem bantu dalam mengam bil kesimpulan dari hal yang umum sifat­nya menjadi kasus yang bersifat indi­vidual. Dalam kaitan ini Mellone me­ngemukakan bahwa (Mellone, 1953): "The usual treatment of logic lays out the subject in two branches corresponding broadly to the distinction , which we have illu,strated, of reasoning "from general to particular" and ''from particular to gene· ral". The first branch of logic is called "De-

Page 5: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

Judge Made Law

ductive Logic" and the second branch is called 'Inductive Logic" ".

Penalaran secara induktif dimulai .

dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup khas dan terbatas dalam me­nyusun argumentasi dan diakhiri de­ngan pernyataan yang bersifat umum. Secara sederhana dapat dilukiskan se­bagai contoh berikut ini; ada fakta bahwa si Badu pada akhirnya mati de­mikian pula si Paimo, si Bejo, Tole, si Pariyem dan semua manusia lainnya padaakhirnya akan mati.

. Sedangkan penalaran deduktif me­rupakan kegiatan berpikir yang berto­lak dari pernyataah yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang khusus atau individual sifatnya. Untuk ini seperti biasanya digunakan pola berpikir yang disebut "silogisme" yang disusun dari dua pernyataan dan sebuah kesimpulan .

Tentang silogisme menurut tradisi Aristoteles ini ditegaskan oleh seorang ahli logika dewasa ini sebagai (W . Hal­berstadt, 1960):

"Any argument containing two premises with two terms each, and a conclusion with two terms, and having also the cha­racteristics that it contains three terms in all, each mentioned twice ".

Pernyataan yang mendukung silo­gisme ini disebut premis yang kemu­dian dipedakan menjadi premis mayor dan premis minor, sedangkan kesim­pUlan merupakan pengetahuan yang diperoleh dari penalaran deduktif di­dasarkan pada kedua premis ini. Menjadi lebih tuntas kalau dikemuka­kan contoh silogisme seperti berikut • • 1m:

Semua manusia mem- (premises mayor) punyai kepala

Si Paimo adalah ma- (premis minor) • nusra

Maka, si Paimo mempu- (kesimpulan) . nyai kepala

301

Dengan demikian kesimpulan yang be­rupa si Paimo mempunyai kepala ada­lah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan itu diperoleh secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Lantas, apakah kesimpulan itu sudah benar? Jawabannya harus dikemba­likan kepada ke benaran presmis-premis yang mendahuluinya. Jika kedua pre­mis yang mendukungnYlif sudah benar maka dapat dipastikan bahwa kesim­pulan itu benar adanya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kesim­pulan itu menjadi salah - meskipun kedua premisnya benar - karena cara penarikan kesimpulannya yang salah.

Dari kenyataan di atas maka kebe--naran suatu kesimpulan menjadi ter-gantung kepada tiga unsur, yaitu ke­benaran premis mayor, kebenaran pre­mis minor dan ke benaran penarikan kesimpulan . Kalau salah satu dari ke­tiga unsur tersebut ternyata salah maka kesimpulannya dapat dipastikan menjadi salah, demikian sebaliknya ka­lau kedua premis yang mendukung su­dah benar maka kesimpulan yang di­am bil menjadi benar.

Kemudian bagaimanakah proses pe­nalaran hakim dalam menciptakan hu­kum (judge-made-law) lewat putusan (pengadilan) yang disimpulkan dari perkara yang diadilinya? Nah, untuk ini penulis ajak: meniti lebih lanjut uraian yang tersaji berikut ini.

Penalaran Hakim di dalam Men­ciptakan Hukum (Judge-Made­Law)

Dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh para pencari keadil­an (justisiabelJ hakim adalah melaksa­nakan hukum . Untuk ini hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (vide pasal 27 Undang-lJn­dang Nomor 14 Tahun 1970). lni berarti bahwa hakim dalam me1ak-

Juli 1983

Page 6: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

302

sanakan hukum tidak semata-mata hanya merupakan kegiatan yang bersi­fat rutin dan mekanis saja. Tetapi juga harus mampu menggali, mengikuti dan memahami perkem bangan serta meng­hayati jiwa masyarakat. Dalam keada­aan seperti ini hakim dituntut untuk mampu berpikir logis dan kreatif da­lam tindakan.

Sesungguhnya dalam mengadili suatu perkara hakim tidak hanya seke­dar melaksanakan hukum saja, tidak sekedar melakukan subsumsi saja, te­tapi juga hams menemukan dan men­ciptakan hukum. Bahwa selain undang-undang sebagai hukum (tertulis) maka masih dikenal ujud lain dari hukum yaitu putusan hakim (judge-made-Iaw). Putusan ha­kim adalah hukum dan sebagai hukum pada umumnya putusan hakim harus ditaati karen a mempunyai kekuatan m engik at, terutama mengikat para pi­hak yang berperkara. Putusan hakim

ini hams selalu dianggap benar sampai dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi (res judicata pro veritate ha­betur). Karena itulah maka peradilan merupa­kan suatu unsur penting di dalam pem­bentukan hukum di negeri ini.

Adalah bukan merupakan tugas yang mudah bagi hakim dalam kegiat­an menciptakan hukum, sebab ' tugas

• dalam mengadili suatu perkara bukan sekedar menjadi terompet atau pe­nyambung lidah suatu undang-undang "an sich" (Ia bouche de la 100. Dalam mengadili perkara hakim ditun­tut untuk melakukan suatu aktivitas atau ''kegiatan juridis" sendiri dan tidak sekedar melakulcan silogisme be­laka (Sudikno Mertokusumo, 1975) .

Dalam kaitan ini maka kegiatan ju­ridis hakim adalah merupakan kegiatan berpikir dalam menentukan putusan atau dalam menentukan hukumnya. Untuk ini hakim melakukan kegiatan penalaran dalam menentukan pUtusan

Hukum dan Pembangunan

bagi perkara yang diadili - sebagai proses berpikir dalam menarik kesim­pulan berupa putusan hakim. Penalaran hakim dalam artian ini mem­buahkan putusan yang berupa hukum in konkrito lewat kegiatan berpikir­nya - berpikir merupakan kegiatan untuk memperoleh pengetahuan yang benar. J adi dalam hal ini penalaran hakim merupakan kegiatan berpikir untuk menentukan putusan yang be­nar.

Penalaran ilmiah merupakan kegiat­an analisis yang menggunakan logika ilmiah, karen a analisis pada hakekat­nya merupakan kegiatan berpikir ber­dasarkan langkah -langkah tertentu. Demikian juga dalam kegiatan juridis hakim dalam me,nciptakan hukum me­lalui proses peradilan didasarkan pada kegiatan berpikir logis dan analitis. Konkritnya dalam mengadili suatu per­kara sampai menetapkan kesimpulan yang berupa putusan hakim melaku­kan tiga kegiatan juridis seperti berikut • • In!.

Kalau hakim menghadapi suatu per­istiwa dalam perkara yang diadili -baik perkara perdata maupun perkara pidana - maka pertama-tama dia harus "mengkonstatir" peristiwa itu, dalam arti melihat , mengakui atau mem ben ark an telah terjadinya peris­tiwa tersebut . Tetapi untuk sampai pada konstateringnya dia hams mem­punyai kepastian terlebih dulu. Peris­tiwa yang dikonstatir harus pasti ke­benarannya, sehingga konstateringnya tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja. Un­tuk ini dia membutuhkan dan menggu­nakan sarana untuk mem buktikan ke­pastian dari kebenaran peristiwa yang dikonstatir itu.

Dengan demikian mengkonstatir peristiwa, selain melihat, mengakui dan membenarkan peristiwa yang di­adili, sekaligus juga berarti membukti­kan atau menganggap telah terbukti-

Page 7: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

Judge Made Law

nya peristiwa itu. Pada tingkat perta­rna ini kegiatan juridis yang dilakukan' semata-mata bersifat logis. ., Mengingat betapa pentingnya pe­ranan pembuktian untuk memperoleh kebenaran peristiwa maka sudah sela­yaknya kalau hakim harus benar-benar

menguasai hukum pembuktian pada khususnya dan hukum acara pada umumnya. Kurangnya penguasaan ha­kim terhadap hukum pembuktian ini selain dapat mengham bat jalannya per­adilan juga hanya akan menghasilkan konstatering yang tidak tepat (Sudik­no Mertokusumo, 1975).

Sesudah hakim berhasil dengan tepat mengkonstatir peristiwanya, maka kegiatan kedua yang dilakukan adalah "mengkualifisir" peristiwanya dalam arti menilai hubungan hukum peristiwa itu. Dengan kata lain mene­m ukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Untuk ini hakim melakukan penerapan hukum (rechts-

toe passing) terhadap peristiwa ke da-lam aturan-aturan hukum positif, se­. hingga diperoleh aturan hukum yang paling tepat dikenakan terhadap per­istiwa tersebut.

Kalau peristiwanya sudah terbukti dan aturan hukumnya sudah jelas lagi tegas maka penerapan hukumnya me­rupakan kegiatan yang boleh dikata

mudah. Dalam perkara pidana misal-nya, di mana aturan hukumnya sudah jelas maka hakim tinggal melakukan subsumsi saja. Mengenai subsumsi ini aturan-aturan hukum pidana yang ter­diri dari pasal-pasal dalam kitab un­dang-undang hukum pidana (KUHP) atau undang-undang pidana di luar KUHP diibaratkan sebagai suatu hotel yang mt:lllpunyai banyak kamar. Se­hingga kalau ada peristiwa yang sudah dikonstatir maka tinggal memasukkan saja ke dalam kamar atau pasal yang tepat untuk peristiwa itu. Kamar atau pasal tentang pencurian, pembunuhan,

.;303

perkosaan, penipuan dan sebagainya (Sudikno Mertokusumo, 1981).

Jadi di sini hanya hendak dikatakan bahwa kegiatan mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukum­nya dengan cara menerapkan peristiwa yang telah dikonstatir ke dalam aturan hukum yang ada - sebagai suatu ke­giatan yang umumnya bersifat logis.

Sesungguhnya menemukan ·hukum tidak hanya sekedar menerapkan hu­kum terhadap peristiwa saja, terlebih lagi kalau aturan hukumnya tidak jelas. Di lain pihak hakim harus meng­adili perkara yang diajukan kepada­nya; pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan menolak suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa aturan hukumnva tidak ada atau ku--rang jelas sekalipun (vide pasal 14 ayat

1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970). Untuk kenyataan ini hakim bukan lagi

. hanya menemukan hukum, melainkan juga harus menciptakan hukum sen­diri. Dalam hubungan ini Cordozo seorang hakim ternama dari Am erik a Serikat menulis seperti apa yang terpampang pada awal tulisan ini, bahwa (Alfred Denning, 1955);

''The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not dis­covery, but creation' '.

Mengadakan kualifikasi peristiwa dapat dikatakan jauh lebih sulit dari pada mengkonstatir peristiwa, karena mengkonstatir berarti hanya melihat peristiwa konkrit sedang mengkualifi­kasi berarti mengabstraksi peristiwa konkrit tersebut. Contoh klasik untuk menjelaskan da­pat dikemukakan kasus pengam bilan aliran listrik negara dengan cara meng­gantol untuk kepentingan sendiri se­cara melawan hukum. Setelah peris­tiwanya dibuktikan, harus dikonstatir

Julll983

Page 8: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

304

kebenarannya oleh hakim dan kemu­dian diabsrahir menjadi "mengambil barang orang lain dengan maksud un­tuk dimiliki sendiri secara melawan hukum", dikualifikasi sebagai tindak pidana "pencurian" sebagai dimaksud dalam pasal 362 kitab undang-undang

hukum pidana (Arrest Hoge Raad Ter­tanggal23 Mei 1921). •

Di sini hakim melakukan interpre­tasi atau penafsiran yang berarti me­nilai dan menilai merupakan pertim­bangan yang tidak semata-mata bersi­fat logis - seperti dalam mengkon­statir - tetapi juga mengandung

. makna kreatif sekaligus berarti meleng­kapi undang-undang. Karena itu peran­an "daya cipta" hakim mempunyai arti yang besar teristimewa dalam menghadapi kekosongan-kekosongan hukum sebagai akibat banyak un dang­undang yang belum dibuat aturan pelaksanaannya.

Dalam hal ini bukankah juga berarti bahwa hakim telah mengamaikan "heuristik" di dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya oleh para pencari keadilan ?

Kegiatan ketiga yang dilakukan ha­kim adalah "mengkonstituir" atau memberikan konstitusinya. Ini berarti bahwa hakim menentukan hukumnya - memberi putusan atau memberi ke­adilan yang didambakan para pencari keadilan. Untuk ini hakim mengamaikan "pena­laran deduktif" (deductive reasoning) dengan bekal pola berpikir yang dise­but silogisme; menetapkan kesimpulan dari adanya dua premis - premis mayor berupa attiran hukumnya dan premis minor berupa peristiwanya. Secara sederhana dapat dikemukakan contoh berikut ini:

Barang siapa mela· kukan pencurian dipidana

(premis mayor)

Hukum dan Pembangunan

Si Beruk terbukti melakukan pen­curian

Maka, si Beruk ha-rus dipidana

(premis minor)

(kesimpulan)

Dalam hubungan ini Alfred Den­ning seorang hakim terkenal di Ing­geris mengatakan bahwa kendatipun kegiatan itu merupakan pola berpikir silogisme, tetapi bukan semata-mata logika saja yang menjadi landasan kon­stitueringnya_ Keadilan bukan hanya produk dari intelektual hakim "but o f his spirit ", kata beliau lebih lanjut (Alfred Denning, 1955).

Demikian kegiatan juridis hakim di dalam menciptakan hukum (fudge­made-law) lewat proses peradilan yang didasarkan pada kegiatan berpikir logis dan analitis 'sebagai suatu penalaran ilmiah.

Menjadi lebih tuntas manakala da­lam tulisan ini disajikan secara summir eksistensi dua sistem peradilan yang di­kenal dalam dunia ilmu pengetahuan hukum , seperti berikut ini: pertama , sistem Anglo-Amerika yang mengikat hakim pada precedent, yakni hakim wajib mengikuti putusan-putus­an terdahulu mengenai perkara sejenis . Ini dikenal sebagai asas "the binding forc e o f precedent" atau asas "stare decesis ". Hakim Anglo-Amerika ini m kan pola berpikir induktif -

a­hakim

mendestilir aturan-aturan yang dijadi­kan dasar pertimbangan putusannya dari sederetan putusan mengenai per­kara sejenis sebelumnnya. Mendestilir berarti mengabstrahir pu­tusan-putusan sebelumnya sehingga menghasilkan putusan baru sebagai aturan umum. Untuk ini hakim tidak berpedoman oada undang-undang, me­lainkan langsung pada peristiwanya. Dengan demikian metode yang diguna­kan hakim pada sistem Anglo-Ame­rika adalah metode analogi, tegasnya metode "reasoning by analogy or re-

Page 9: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

Judge Made Law

asoning by case to case". Kedua, sistem Kontinental yang meng­ikat hakim pada aturan undang-undang dalam setiap memberi putusan suatu perkara. Di sini hakim menggunakan pola berpikir deduktif di mana hakim harus mengabstrahir peristiwa dan mengkonkritisasi aturan hukumnya. Sebagai ciri khas pola berpikir seperti ini adalah subsumsi dan silogisme.

Pada asasnya negara hukum Indone­sia menganut sistem kontinental de­ngan "deductive reasoning" nya. Na­mun di dalam praktek dapat diketa- · hui bahwa hakim kadangkala berkiblat pada putusanilutusan terdahulu me­ngenai perkara yang sejenis. Terutama jurisprudensi Mahkamah Agung dijadi­kan referensi guna mendukung putus­annya mengenai perkara yang sejenis, sekalipun tidak tertutup kemungkinan menyimpang dari putusan-putusan Mahkamah Agung (Sudikno Mertoku­sumo, 1980).

Penutup

Pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang berpikir, merasa, bersi­kap dan bertindak. Sikap dan tindakan ini bersumber pada pengetahuan yang diperoleh lewat.kegiatan berpikir.

Hukum merupakan salah satu pro­duk kegiatan berpikir manusia untuk melindungi kepentingan manusia se­cara individual maupun kolektif. Hu­kum hanya terdapat dalam masyara­kat manusia karena hanya manusia mampu menalar dalam mengembang­kan pengetahuan.

Hukum bukan sekedar berupa sede­retan hurup yang mati (black-Ietter­law) atau sekedar rherupakan pedo-

man bertingkah-laku agar kepentingan-,nya terlindungi, tetapi harus dilaksa­nakan. Justru karen a fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hu­kum harus dilaksanakan, tidak boleh dilanggar dan kalau teIjadi pelanggaran

305

hukum harus dipulihkan atau dite­gakkan melalui pengadilan.

Peradilan merupakan salah satu pe­laksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak yang konkrit. Adalah menjadi tugas hakim melaksanakan hu­kum dalam peradilan. Hakim adalah seorang manusia yang mampu menalar dalam arti berpikir logis dan analitis dan melalui pena­laran ini pula dia melakukan kegiatan juridis dalam mengadili perkara.

Untuk ini hakim tidak hanya seke­dar menerapkan hukum, melainkan juga menemukan dan bahkan mencip­takan hukum. Putusan hakim adalah hukum (judge-made-Iaw) karen a itu mempunyai kekuatan mengikat ter­utama bagi para pihak yang berper­kara - dalam arti harus dianggap be­nar sampai dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi, sekalipun secara materill putusan itu tidak benar (res judicata pro veritate ha"etur).

Dengan demikian di samping pemben­tuk undang-undang sebagai pencipta hukum yang obyektif-abstrak, maka hakim juga merupakan pencipta hu­kum "in casu" hukum in konkrito.

Peradilan merupakan tumpuan ha­rapan terakhir para pencari keadilan dan peradilan diselenggarakan "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Karena itu hakim sebagai ahli hukum senantiasa harus menya­dari beban tanggung-jawabnya terha­dap sesama manusia dan terutama ke­pada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam hubungan ini almarhum No­tonagoro mengintrodusir tiga sifat khas yang harus dimiliki oleh setiap ahli hukum, seperti berikut ini (Sri Budiyan, 1981): pertama, sifat "homo juridicus" yaitu harus dapat merumuskan aturan-atur­an hukum secara juridis inklusif men­jelaskan dan memaparkan secara juri­dis ' ,

Juli 1983

Page 10: PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM …

'" 2 at 122 "."" • • • •

306

kedua, sifat "homo politicus" yakni hams mampu bersikap terbuka terha­dap kritik maupun inovasi atau pemba­haruan serta dapat menyesuaikan diri dalam dinamika masyarakat;

ketiga, sifat "homo ethicus" yaitu hams selalu berpedoman kepada ethik hukum dalam sikap maupun tindakan.

Demikian juga Notohamidjojo mengingatkan bahwa tanggung-jawab jurist atau hakim meliputi lima asas, yaitu (Notohamidjojo, 1975):

pertama, setiap jurist dipanggil untuk melakukan "justisialisasi" yakni mem­beri keadilan dalam setiap putusan yang diambilnya; kedua, "penjiwaan hukum" yakni se­nantiasa meresapi dengan penuh penji­waan terhadap hukum yang dilaksana­kan, sehingga putusannya mencermin-

• ' " , ,,,,:c, , •

Hukum dan Pembangunan

kan penjiwaan sebagai penggembala hukum yang baik; ketiga, "pengintegrasian hukum" yaitu harus mampu mengintegrasikan putus­an yang diambil ke dalam dinamika sistem hukum melalui undang-undang, peradilan ataupun kebiasaan; keempat, "totalisasi hukum" yaitu da­pat menempatkan setiap putusannya dalam seluruh kenyataan dengan mem­perhatikan faktor-faktor non juridis dalam pertimbangan putusannya; kelima , "personalisasi hukum" artinya hakim dipanggil untuk benar-benar memberi pengayoman kepada para pencari keadilan. Senantiasa sadar untuk menghormati harkat dan marta- ' bat manusia tanpa pandang bulu, ka­rena yang dihadapi adalah manusia pribadi yang memiliki keluhuran se­pertijuga dirinya.

Seluruh anggota Dewan Redaksi, Redaktur Pelaksana serta Staf Redaksi "Hukum dan Pembangunan" mengucapkan selamat atas berhasilnya rekan kami saudara :

HIZBULAH "' meraih gelar Satjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas In-

donesia dan telah dilantik pada tanggal 13 Agustus 1983 yang lalu.