65
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan diklat Sisimeni Sanam sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk kediklatan memiliki karakteristik yang mirip seperti daerah lain di Provinsi NTT pada umumnya. Dengan curah hujan yang rendah, tutupan vegetasi yang tidak terlalu rapat serta tipe tanah lempung yang mudah tererosi, sebagian wilayahnya merupakan areal terbuka berupa savanna atau hutan sekunder. Kondisi biofisik yang rentan ini menjadikan kawasan hutan diklat berpotensi menjadi lahan kritis jika tidak dikelola dengan tepat. Tekanan dari masyarakat sekitar hutan diklat juga turut menambah potensi kerentanan tersebut dan dapat menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan. Pola penggembalaan ternak milik masyarakat, khususnya ternak sapi, yang dibiarkan bebas memasuki kawasan hutan merusak tumbuhan bawah dan anakan beberapa jenis pohon. Pembukaan lahan dengan cara dibakar juga berpotensi ikut terbakarnya kawasan hutan yang letaknya berdekatan dengan ladang masyarakat. Pencurian bambu untuk tujuan komersil juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di htan diklat. Hingga penelitian ini dilakukan, kondisi dan tingkat kekritisan kawasan hutan diklat sisimeni sanam belum dipetakan. Padahal pemetaan kondisi kawasan berdasarkan Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 1

Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran lahan kritis dan alternatif pengelolaan di hutan diklat Sisimeni Sanam(Balai Diklat Kehutanan Kupang)Heru Budi Santoso, S.Hut., M.Sc.

Citation preview

Page 1: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hutan diklat Sisimeni Sanam sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk

kediklatan memiliki karakteristik yang mirip seperti daerah lain di Provinsi NTT pada

umumnya. Dengan curah hujan yang rendah, tutupan vegetasi yang tidak terlalu rapat serta

tipe tanah lempung yang mudah tererosi, sebagian wilayahnya merupakan areal terbuka

berupa savanna atau hutan sekunder. Kondisi biofisik yang rentan ini menjadikan kawasan

hutan diklat berpotensi menjadi lahan kritis jika tidak dikelola dengan tepat.

Tekanan dari masyarakat sekitar hutan diklat juga turut menambah potensi kerentanan

tersebut dan dapat menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan. Pola penggembalaan ternak

milik masyarakat, khususnya ternak sapi, yang dibiarkan bebas memasuki kawasan hutan

merusak tumbuhan bawah dan anakan beberapa jenis pohon. Pembukaan lahan dengan cara

dibakar juga berpotensi ikut terbakarnya kawasan hutan yang letaknya berdekatan dengan

ladang masyarakat. Pencurian bambu untuk tujuan komersil juga dapat mengganggu

keseimbangan ekosistem di htan diklat.

Hingga penelitian ini dilakukan, kondisi dan tingkat kekritisan kawasan hutan diklat sisimeni

sanam belum dipetakan. Padahal pemetaan kondisi kawasan berdasarkan tingkat

kekritisannya perlu dilakukan sebagai salah satu tool untuk mempermudah pengambilan

keputusan dalam kegiatan pengelolaan kawasan.

Selain memiliki fungsi ekologi, hutan diklat sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus

kediklatan juga memiliki fungsi sebagai sarana pendukung proses pembelajaran dalam diklat.

Beberapa jenis diklat, khususnya yang terkait dengan kegiatan perencanaan hutan seperti:

diklat Rancangan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), diklat inventarisasi hutan, dan diklat

Sistem Informasi geografis bagi Analis, juga memanfaatkan keberadaan HD Sisimeni Sanam

sebagai lokasi praktik.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 1

Page 2: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Namun kawasan hutan diklat sisimeni sanam belum memberi kontribusi yang optimal

sehingga proses pembelajaran pun berjalan kurang optimal. Hal ini disebabkan karena data

spasial kawasan hutan diklat yang detail dan akurat belum tersedia. Kalau pun ada sifatnya

masih sangat umum.

Berdasarkan kedua masalah tersebut di atas, diperlukan suatu penelitian yang mengkaji

kondisi biofisik kawasan hutan diklat yang lebih spesifik, khususnya yang berkaitan dengan

tingkat kekritisan lahan, sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan dan

lokasi praktek pembelajaran. Selain itu Informasi yang diperoleh juga dapat digunakan

sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan kawasan

hutan diklat.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengetahui tingkat kekritisan lahan di Hutan Diklat Sisimeni Sanam

2) Memberikan rekomendasi pemanfaatan data spasial untuk kegiatan pembelajaran serta

pengelolaan lahan kritis di Hutan Diklat Sisimeni Sanam

C. MANFAAT

Hasil yang didapat dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk:

1) Bahan pertimbangan dalam melakukan pengelolaan kawasan

2) Sumber data dan informasi spasial kawasan Hutan Diklat untuk kegiatan diklat yang

relevan (RHL, Konservasi Tanah, GIS bagiAnalis, dan sebagainya)

3) Data awal untuk kegiatan penelitian lain/lanjutan

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan tujuan serta manfaat penelitian yang ingin dicapai, beberapa rumusan masalah

yang dapat ditarik antara lain:

1) Bagaimana kondisi tingkat kekritisan lahan di Hutan Diklat saat ini ?

2) Bagaimana langkah tindak lanjut pengelolaan kawasan dan rekomendasi pemanfaatan

data spasial untuk kegiatan pembelajaran ?

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 2

Page 3: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

E. BATASAN PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada penilaian tingkat kekritisan lahan Hutan Diklat Sisimeni

Sanam yang mengacu pada Permenhut No 32 Tahun 2009 tentang cara penyusunan

RTkRHL – DAS. Beberapa istilah untuk penamaan penutupan lahan mengikuti penamaan

yang diberikan oleh Bakosurtanal (Badan Informasi dan Geo-spasial).

F. PENGERTIAN DAN ISTILAH

Beberapa pengertian dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperti yang

dijelaskan sebagai berikut:

1. Lahan Kritis

Lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kehilangan atau

berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata air). Menurunnya fungsi tersebut

disebabkan oleh penggunaan lahan yang kurang atau tidak memperhatikan teknik

konservasi tanah, tata air dan lingkungan

2. Penutup Lahan

Penutup lahan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu kenampakan

lahan secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan manusia.

3. Hutan

Lahan di mana pohon mendominasi tipe vegetasi di dalamnya

4. Hutan Lahan Kering

Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan

dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi

5. Semak Belukar

Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen

dan homogen dengan tingkat kerapatan jarang sampai rapat. Kawasan tersebut didominasi

vegetasi rendah (alami)

6. Permukiman/Lahan Terbangun

Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan

hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan orang.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 3

Page 4: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

7. Overlay

Proses menumpangsusunkan (mengombinasikan) dua input data layer untuk

menghasilkan sebuah layer baru (layer ke tiga)

8. Erosi

Proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari satu tempat ke

tempat lain oleh media alami (air atau angin)

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 4

Page 5: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Diklat bidang perencanaan belum berjalan optimal Tekanan masyarakat terhadap keberadaan kawasan hutan diklat cukup tinggi

Kondisi dan tingkat kekritisan kawasan hutan diklat saat ini belum terpetakanData spasial dalam mendukung pembelajaran belum tersedia

Biofisik kawasan Hutan Diklat potensial kritis

G. KERANGKA PEMIKIRAN

Latar Belakang

Rumusan Masalah

Analisis

Hasil Penelitian

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 5

Data spasial peta lahan kritis

Rekomendasi untukPengelolaan kawasan

Rekomendasi pemanfaatandata spasial untuk

kegiatan pembelajaran

Tingkat kekritisan lahan

Kelerengan Penutupan lahan Tingkat erosi Manajemen kawasan

1. Bagaimana kondisi tingkat kekritisan lahan di Hutan Diklat saat ini?2. Bagaimana langkah tindak lanjut dan rekomendasi pengelolaan selanjutnya?

Penelitian tingkat kekritisan lahan di kawasan hutan diklat

Data spasial tingkat kekritisan lahan di kawasan Hutan Diklat dibutuhkan untuk pengelolaan dan mendukung diklat

Page 6: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lahan

Pengertian lahan menurut FAO and IIRR (1995) adalah suatu daerah dipermukaan

bumi dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi,

hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan sekarang,

sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti

terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang.

Menurut FAO and IIRR (1995), lahan memiliki banyak fungsi yaitu :

a. Fungsi Produksi

Sebagai basis bagi berbagai sistem penunjang kehidupan, melalui produksi biomassa

yang menyediakan makanan, pakan ternak, serat, bahan bakar kayu dan bahan-bahan

biotik lainnya bagi manusia, baik secara langsung maupun melalui binatang ternak

termasuk budidaya kolam dan tambak ikan.

b. Fungsi Lingkungan Biotik

Lahan merupakan basis bagi keragaman daratan (terestrial) yang menyediakan habitat

biologi dan plasma nutfah bagi tumbuhan, hewan dan jasad mikro diatas dan dibawah

permukaan tanah.

c. Fungsi Pengatur Iklim

Lahan dan penggunaannya merupakan sumber (source) dan rosot (sink) gas rumah kaca

dan menentukan neraca energi global berupa pantulan, serapan dan transformasi energi

radiasi matahari dan daur hidrologi global.

d. Fungsi hidrologi

Lahan mengatur simpanan dan aliran sumberdaya air tanah dan air permukaan serta

mempengaruhi kualitasnya.

e. Fungsi penyimpanan

Lahan merupakan gudang (sumber) berbagai bahan mentah dan mineral untuk

dimanfaatkan oleh manusia.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 6

Page 7: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

f. Fungsi pengendali sampah dan polusi

Lahan berfungsi sebagai penerima, penyaring, penyangga dan pengubah senyawa-

senyawa berbahaya.

g. Fungsi ruang kehidupan

Lahan menyediakan sarana fisik untuk tempat tinggal manusia, industri, dan aktifitas

sosial seperti olahraga dan rekreasi.

h. Fungsi peninggalan dan penyimpanan

Lahan merupakan media untuk menyimpan dan melindungi benda-benda bersejarah dan

sebagai suatu sumber informasi tentang kondisi iklim dan penggunaan lahan masa lalu.

i. Fungsi penghubung spasial

Lahan menyediakan ruang untuk transportasi manusia, masukan dan produksi serta untuk

pemindahan tumbuhan dan binatang antar daerah terpencil dari suatu ekosistem alami.

Sifat-sifat lahan terdiri dari beberapa bagian yaitu karakteristik lahan, kualitas lahan,

pembatas lahan, persyaratan penggunaan lahan, perbaikan lahan (Jamulya, 1991:2 dalam

Mahfudz, 2001).

a. Karakteristik lahan

Karakteristik lahan adalah suatu parameter lahan yang bisa diukur atau diestimasi,

misalnya kemiringan lahan, curah hujan, tekstur tanah dan struktur tanah. Satuan

parameter lahan dalam survey sumberdaya lahan pada umumnya disertai deskripsi

karakteristrik lahan.

b. Kualitas lahan

Kualitas lahan mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu.

Kualitas lahan dinilai atas dasar karakteristrik lahan yang berpengaruh pada suatu

kualitas lahan tertentu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada kualitas lahan lainnya.

c. Pembatas lahan

Pembatas lahan merupakan faktor pembatas jika tidak atau hampir tidak dapat memenuhi

persyaratan untuk memperoleh produksi yang optimal dan pengelolaan dari suatu

penggunaan lahan tertentu. Pembatas lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1)

pembatas lahan permanen, pembatas lahan yang tidak dapat diperbaiki dengan usaha-

usaha perbaikan lahan (land improvement). (2) pembatas lahan sementara, pembatas

lahan yang dapat diperbaiki dengan cara pengelolaan lahan.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 7

Page 8: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

d. Persyaratan penggunaan lahan

Persyaratan penggunaan lahan dapat dikelompokkan beberapa bagian, yaitu :

(1) Persyaratan ekologikal, contohnya ketersediaan air, ketersedian unsur hara,

ketersedian oksigen, resiko banjir, lingkup temperatur, kelembaban udara dan periode

kering.

(2) Persyaratan pengelolaan, contohnya persiapan pembibitan dan mekanisasi selama

panen.

(3) Persyaratan konservasi, contohnya kontrol erosi, resiko komplen tanah, resiko

pembentukan kulit tanah.

(4) Persyaratan perbaikan, contohnya pengeringan lahan, tanggap terhadap pemupukan.

e. Perbaikan lahan

Perbaikan lahan adalah aktifitas yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas lahan pada

sebidang lahan untuk mendapatkan keuntungan dalam meningkatkan produksi pertanian.

Perbaikan lahan mutlak dilakukan agar kualitas lahan dapat terus terjaga dan bermanfaat

bagi generasi yang akan datang.

B. Evaluasi Lahan

a. Konsep Dasar

Evaluasi Lahan adalah proses pengukuran, pencatatan dan pengumpulan

keterangan mengenai suatu areal tanah untuk mengevaluasi kegunaannya.

Evaluasi lahan umumnya merupakan kegiatan lanjutan dari survei dan pemetaan

tanah atau sumber daya lahan lainnya, melalui pendekatan interpretasi data tanah serta

fisik lingkungan untuk suatu tujuan penggunaan tertentu. Sejalan dengan dibedakannya

macam dan tingkat pemetaan tanah, maka dalam evaluasi lahan juga dibedakan menurut

ketersediaan data hasil survei dan pemetaan tanah atau survei sumber daya lahan lainnya,

sesuai dengan tingkat dan skala pemetaannya.

Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu biasanya dievaluasi dengan

karakteristrik lahan atau kualitas lahan. Karakteristrik lahan merupakan kelengkapan

lahan itu sendiri, yang dapat dihitung atau diperkirakan seperti curah hujan, tekstur tanah

dan ketersediaan air, sedangkan kualitas lahan lebih merupakan sifat tanah yang lebih

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 8

Page 9: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

kompleks, seperti kesesuaian kelembaban tanah, ketahanan terhadap erosi dan bahaya

banjir (FAO, 1977 dalam Nasution, 2005).

Dent and Young (1987) dalam Nasution (2005) menyatakan bahwa evaluasi lahan

suatu proses untuk memprakirakan potensi lahan untuk penggunaan tertentu termasuk

didalamnya penggunaan lahan untuk tanaman pangan, perkebunan, daerah turis,

pemukiman dan daerah konservasi. Dengan demikian dengan mengevaluasi lahan

diperlukan banyak ahli dalam bidangnya masing-masing, sebagai contoh dalam evaluasi

lahan untuk pertanian memerlukan ahli dalam bidang tanah, agronomi, hidrologi, biologi

dan ekologi yang dibentuk menjadi satu tim yang akan mengambil keputusan dalam

menentukan kesesuaian lahan.

b. Prinsip-prinsip Evaluasi Lahan

Dasar prinsip dari kerangka kerja evaluasi lahan adalah : 1) Kesesuaian lahan

dinilai dan diklasifikasikan sesuai dengan penggunaan lahan yang direncanakan, 2)

Evaluasi memerlukan suatu perbandingan antara keuntungan yang akan diperoleh dan

masukan yang diberikan terhadap lahan, 3) Pendekatan multi disiplin, 4) Evaluasi

dilaksanakan dengan pertimbangan berbagai faktor fisik, kimia tanah, ekoomi dan sosial,

5) Kesesuaian telah memperhitungkan keberlanjutan penggunaan lahan, dan 6) Evaluasi

meliputi berbagai pilihan penggunaan lahan.

C. Lahan Kritis

a. Definisi

Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kemerosotan kesuburannya atau

lahan yang dalam proses kemunduran kesuburan baik secara fisik maupun kimia dan

biologi. Sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan

peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air.

Lahan kritis memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam tergantung pada

penyebab kerusakan lahan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi lahan kritis

menyebabkan tanaman tidak cukup mendapatkan air dan unsur hara, kondisi fisik tanah

yang tidak memungkinkan akar berkembang dan proses infiltrasi air hujan, kandungan

garam yang tinggi akibat akumulasi garam sekunder atau intrusi air laut yang

menyebabkan plasmolisis, atau tanaman keracunan oleh unsur toksik yang tinggi. Lahan

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 9

Page 10: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

kritis ditandai oleh rusaknya struktur tanah, menurunnya kualitas dan kuantitas bahan

organik, defisiensi hara dan terganggunya siklus hidrologi, perlu direhabilitasi dan

ditingkatkan produktivitasnya agar lahan dapat kembali berfungsi sebagai suatu

ekosistem yang baik atau menghasilkan sesuatu yang bersifat ekonomis bagi manusia.

b. Faktor Penyebab Lahan Kritis

1.     Perambahan hutan

2.      Penebangan liar (illegal logging)

3.      Kebakaran hutan

4.      Pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak berazaskan kelestarian

5.      Penataan zonasi kawasan belum berjalan

6.      Pola pengelolaan lahan tidak konservatif

7.      Pengalihan status lahan (berbagai kepentingan)

Penebangan hutan yang tidak terkendali yang diikuti perladang berpindah akan

berakibat; (a) Lahan terbuka, sehingga butiran hujan akan langsung menerpa tanah dan

butiran tanah akan hancur dan terlepas; (b) Aliran permukaan akan menghanyutkan

butiran tanah yang terlepas, sekaligus membawa humus dan unsur hara; (c) Hanyutnya

butiran tanah, humus dan unsur hara akan menurunkan kesuburan tanah; dan (d)

Pengelolaan lahan dengan tanaman yang sama terus menerus tanpa adanya usaha

mengembalikan unsur hara yang terbawa dari hasil panen akan mengakibatkan

pengurasan hara tertentu yang akan mengganggu  keseimbangan hara dalam tanah, hal ini

akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

Pembakaran yang tidak terkontrol terutama dalam persiapan lahan akan

mengakibatkan: (a) Hilangnya sumber bahan organik dan humus tanah; (b)

Terganggunya kehidupan dan kegiatan jasad renik; (c) Hilangnya unsur hara tertentu

seperti Nitrogen; dan (d) Menurutnya fungsi penyimpangan dan penyediaan air serta

hara.

Erosi merupakan peristiwa pelepasan butiran tanah dan pengangkutan butiran tanah

oleh air dan angin. Erosi tanah mirip dengan merantau, hanya saja tanah yang merantau

tidak pulang atau kembali ketempat semula. Erosi yang tidak terkendali mengakibatkan;

(a) Hilangnya lapisan atas tanah; (b) Hanyutnya unsur hara tanah; (c) Terjadinya

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 10

Page 11: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

pendangkalan sungai, waduk dan muara suangai; dan (d) Polusi lingkungan akibat bahan

beracun yang terakumulasi.

Modal yang kurang akan mempengaruhi kemampuan petani untuk membeli saprodi

usahataninya, terutama pupuk. Kurangnya pupuk yang diberikan maka akan terjadi

pengurasan hara setia panen. Hal ini akan mempercepat mundurnya kesuburan tanah,

sehingga secara perlahan-lahan akan menjadi kritis.

Ilmu/informasi yang kurang menyebabkan lahan dikelola secara tradisional atau

seadanya, sehingga produktivitas menjadi berkurang. Bahaya kemunduran kesuburan

akan semakin tinggi akibat kurang tepatnya pengelolaan tanah dan tanaman, terutama

dalam usaha menekan erosi dan pengembalian biomas/sisa tanaman.

Sosial/faktor dan status tanah yang komplek, kesadaran dan motivasi yang kurang

juga akan mempercepat lahan menjadi kritis. Tanah ulayat/tanah nagari sering tidak

dikelola secara baik. Ini disebabkan banyak hal, terutama kekurangan tenaga penggarap,

sehingga lahan tersebut dibiarkan terbuka. Belum adanya aturan yang jelas tentang

pembagian hasil bila seseorang menanam tanaman keras/ tahunan pada tanah

ulayat/nagari sehingga penggarap hanya mau menanam tanaman semusim. Secara umum,

tanah ulayat dan nagari ini mempunyai kelerengan yang tajam yang selalu terancam erosi

dimusim hujan bila tidak ada tanaman tahunan sebagai pengendali erosi.

c.  Karakteristik Lahan Kritis

Ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-

batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng

curam (Hakim, 1985). Tingkat produktivitas rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat

kemasaman tanah, kekahatan hara P, K, C dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation

(KT), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, tingginya kadar Al dan Mn, yang

dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis

ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasinya dengan sifat-sifat lahan

padang alang-alang memiliki pH tanah relatif rendah sekitar 4,8-6,2, mengalami

pencucian tanah tinggi, ditemukan rizoma dalam jumlah banyak yang menjadi hambatan

mekanik dalam budidaya tanaman, terdapat reaksi alelopati dari akar rimpang alang-

alang yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada lahan tersebut.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 11

Page 12: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Pada umumnya, penduduk yang tinggal di daerah tersebut relatif miskin (sedikit

kesempatan untuk memperoleh income), yang disebabkan pemberdayaan tanah kritis

tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan penduduknya, tingginya

kepadatan populasi, kecilnya luas lahan, kesempatan kerja terbatas dan lingkungan yang

terdegradasi. Oleh karena itu perlu diterapkan sistem pertanian berkelanjutan dengan

melibatkan penduduk dan kelembagaan.

d. Akibat dari lahan kritis

1. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang

yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau.

2. Terjadinya arus permukaan tanah pada waktu musim hujan yang mengakibatkan

bahaya banjir dan longsor.

3. Menurunnya kesuburan tanah, dan daya dukung lahan serta keanekaragaman hayati

4. Krisis air bersih

5. Meluasnya penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah, dan diare

6. Kebakaran hutan

7. Hilangnya jutaan spesies flora dan fauna karena tidak mampu beradaptasi dengan

perubahan suhu bumi.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 12

Page 13: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kawasan Hutan Diklat Sisismeni Sanam,

Camplong, Kabupaten Kupang pada bulan September-November 2013. Luas hutan diklat

Sisimeni Sanam sebesar 2.973,2 ha. Berdasarkan batas administrasi desa, Hutan Diklat

Sisimeni Sanam terdiri dari 5 (lima) yaitu Desa Benu, Ekateta, Sillu, Oesusu dan Desa

Camplong II. Berikut ini proporsi luas kawasan hutan diklat berdasarkan batas administrasi

desa ;

Gambar 1. Proporsi luas kawasan hutan diklat berdasarkan batas desa

B. Alat dan Bahan

a) Komputer

b) Software ArcGIS 10

c) Peta Penggunaan Lahan

d) Peta jenis tanah

e) Citra ASTER GDEM

f) Citra Google Earth

g) GPS

h) Blangko pengukuran lapangan

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 13

Page 14: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan atau analisis

data, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber/instansi maupun penelitian

terdahulu.

Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Penelitian

No Jenis Data Cara Pengumpulan Sumber Data

1 Peta Penggunaan Lahan Data Sekunder BAKOSURTANAL, Peta RBI

2 Peta Jenis Tanah Data Sekunder BPDAS Benanin Noelmina

3 Peta kelas lereng Data Primer Citra Aster GDEM

4 Erosi Data Primer Analisis Data

5 % Penutupan Tajuk Data Primer Peta Penggunaan Lahan

6 Manajemen Data Primer Wawancara

D. Teknik Penelitian

Konsep dasar penelitian evaluasi lahan adalah mengelompokkan unit terkecil dari

suatu lahan yang memiliki karakteristik biofisik yang sama. Kesamaan karakteristik biofisik

ini akan menjadi dasar dalam pengelolaannya. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka

(2007), unit lahan yang memiliki karakteristik biofisik yang sama akan memiliki kesamaan

dalam hal : (a) kemampuan memproduksi tanaman (b) tindakan konservasi dan pengelolaan

(c) tanaman yang ditanam pada lahan tersebut dengan pengelolaan yang sama akan

memberikan hasil yang kurang lebih sama. Penelitian ini akan menilai tingkat kekritisan

lahan dengan mempertimbangkan faktor kelerengan, erosi, penutupan lahan dan

manajemen/pengelolaan kawasan. Penentuan kekritisan lahan tersebut mengacu pada

Permenhut No.32 Tahun 2009 tentang tata cara penyusunan RTkRHL-DAS. Berdasarkan

kriteria tersebut, kemudian dilakukan pembobotan untuk menentukan tingkat kekritisan lahan.

Tabel 2. Persentase Pembobotan Kriteria Lahan Kritis.

No Kriteria Pembobotan (%)

1 Penutupan Lahan 50%

2 Lereng 20%

3 Erosi 20%

4 Manajemen 10%

Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 14

Page 15: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Tabel 3. Klasifikasi tingkat kekritisan lahan

No Tingkat Kekritisan Lahan Besarnya Nilai

1 Sangat kritis 120-180

2 Kritis 181-270

3 Agak kritis 271-360

4 Potensial kritis 361-450

5 Tidak Kritis 451-500

Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009

E. Pengumpulan Data

1. Erosi :

Dalam persamaan penaksiran jumlah erosi dengan metode Universal Soil Loss

Equation (USLE) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju erosi adalah erosivitas

hujan (hujan), erodibilitas tanah (tanah), panjang dan kemiringan lereng (lereng),

faktor tanaman dan konservasi tanah (pengunaan lahan). Dengan mempertimbangkan

keterbatasan yang ada, pendekatan yang digunakan untuk menilai tingkat erosi dalam

penelitian ini, didasarkan hanya pada pada faktor kelerengan, jenis tanah serta

penutupan tanahnya saja. Faktor curah hujan diasumsikan sama karena areal hutan

diklat yang relatif kecil dan kompak, sedangkan teknik konservasi tanah diasumsikan

untuk semua unit lahan adalah sama karena pada umumnya di dalam kawasan hutan

tidak ada tindakan konservasi tanah layaknya di lahan pertanian.

Metode yang digunakan dalam penentuan tingkat erosi adalah dengan melakukan

skoring terhadap faktor lereng, tanah serta penggunaan lahannya. Hasil ketiga skor

tersebut kemudian ditambahkan. Range (jangkauan) dari nilai tersebut kemudian

dibagi menjadi 4 (jumlah kelas erosi), sehingga diperoleh empat kelas tingkat erosi

mengacu pada parameter erosi pada tingkat kekritisan lahan.

Tabel 4. Skor penilaian kelerengan untuk penentuan tingkat erosi

No Kelas Lereng Kriteria Skor

1 0-8% Datar 1

2 8-15% Landai 2

3 15-25% Agak curam 3

4 25-40% Curam 4

5 >40% Sangat curam 5

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 15

Page 16: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dan Permenhut No.32 Tahun 2009

Tabel 5. Skor penilaian kepekaan tanah terhadap erosi.

No Jenis Tanah Kriteria Skor

1 Aluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterit air tanah Tidak peka 1

2 Latosol Agak peka 2

3 Brown Forest Soil, Non Calcic Brown, Mediteran Kurang peka 3

4 Andosol, Laterik, Grumusol, Podsol, Podsolik Peka 4

5 Regosol, Litosol, Organosol, Rendzina Sangat peka 5

Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dan Permenhut No.32 Tahun 2009

Tabel 6. Skor penilaian penutupan tanah berdasarkan penggunaan lahan

No Penggunaan Lahan Skor

1 Hutan (Hutan alam) 1

2 Savana 2

3 Hutan lahan kering (Hutan tanaman) 3

4 Semak belukar 4

5 Pemukiman, Tanah kosong 5

Sumber : Analisis data dan pengamatan lapangan

Tabel 7. Skor penilaian tingkat erosi untuk penilaian lahan kritis

No Kelas Erosi Range Erosi Skor Lahan Kritis

1 Ringan 3-6 5

2 Sedang 6-9 4

3 Berat 9-12 3

4 Sangat Berat >12 2

Sumber : Analisis data dan Permenhut No.32 Tahun 2009

2. Penutupan lahan

Penutupan lahan didasarkan pada peta penggunaan lahan yang bersumber pada peta

Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000. Pada peta tersebut, Hutan Diklat

Sisimeni Sanam berada pada empat scene (lembar) yaitu Camplong. Ekateta, Oemofa,

serta Takari, seperti pada tabel berikut ini :

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 16

Page 17: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Tabel 8. Peta Rupa Bumi Indonesia untuk Hutan Diklat Sisimeni Sanam

No No.Scene Lokasi Tahun Survey RBI

1 2305-544 Camplong 1994

2 2306-222 Ekateta 1996

3 2306-311 Takari 1999

4 2305-633 Oemofa 1996

Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia

Penutupan lahan (persen tajuk) didekati dengan menggunakan peta penggunaan

lahan. Peta tersebut kemudian diverifikasi melalui pengamatan lapangan serta

perbandingan penutupan lahan dengan menggunakan citra Google Earth. Hasil dari

analisis tersebut kemudian digunakan untuk menentukan kelas penutupan lahan

sebagai parameter penentuan tingkat kekritisan lahan.

Tabel 9. Skor penilaian untuk kelas penutupan lahan

No Kelas Penutupan Lahan Kondisi Penutupan Skor Lahan Kritis

1 Sangat Baik > 80% 5

2 Baik 61-80% 4

3 Sedang 41-60% 3

4 Buruk 21-40% 2

5 Sangat Buruk < 20% 1

Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009

3. Manajemen kawasan hutan

Penilaian pada parameter ini didasarkan pada aspek : (a) Kejelasan status kawasan, (b)

Pengelolaan kawasan hutan, (c) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan

hutan. Sasaran wawancara adalah seksi sarana hutan diklat yang bertindak sebagai

pengelola kawasan hutan diklat Sisimeni Sanam. Hasil wawancara kemudian

diskoring dan dibuat kelas intervalnya, nilai maksimal untuk aspek manajemen adalah

12 dan minimal 0. Hasil tersebut kemudian digunakan sebagai dasar penentuan untuk

skoring lahan kritis..

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 17

Page 18: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Tabel 10. Skor penilaian untuk Manejemen

No Kelas Manejemen Range Manajemen Skor Lahan Kritis

1 Baik 8-12 5

2 Sedang 4-8 4

3 Buruk 0-4 3

Sumber : Analisis data dan Permenhut No.32 Tahun 2009

4. Kelerengan

Data kelerengan diperoleh dari pengolahan data citra Aster GDEM dengan

menggunakan program Global Mapper 11 dan Arc GIS 10. Citra Aster GDEM di

overlay dengan peta kawasan hutan diklat dan diekstrak dengan menggunakan

program Global Mapper, sehingga diperoleh data kontur dengan kelas interval 10

meter. Data kontur tersebut kemudian diolah dengan menggunakan fitur 3D Analyst

sehingga diperoleh peta lereng dengan jumlah 5 kelas. Peta lereng yang diperoleh

digunakan sebagai dasar skoring.

Tabel 11. Skor penilaian untuk Kelerengan

No Kelas Lereng Interval kelas Skor Lahan Kritis

1 Datar ≤ 8% 5

2 Landai 8-15% 4

3 Agak curam 15-25% 3

4 Curam 25-40% 2

5 Sangat curam >40% 1

Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 18

Page 19: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 2. Grafik persentase luas kawasan berdasarkan kelas lereng di Hutan Diklat Sisimeni Sanam

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kelerengan

Kelerengan diperoleh dengan menggunakan citra ASTER GDEM. Software yang

digunakan adalah program Global Mapper dengan tools Generate Contours dengan kontur

interval 10 meter. Kontur hutan diklat yang diperoleh kemudian dilakukan 3D Analyst

dengan menggunakan program ArcGis 10 untuk mendapatkan peta lereng. Kelerengan dibagi

menjadi lima kelas. Hasil analisis seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 12. Kelas lereng Hutan Diklat Sisimeni Sanam

No Kls_Leren

g Kriteria Luas Persen (%) Skor Kelerengan

1 0-8% Datar 1,305.90 41.54 5 2 8-15% Landai 845.77 26.90 4 3 15-25% Agak curam 644.11 20.49 3 4 25-40% Curam 216.36 6.88 2 5 > 40% Sangat curam 131.85 4.19 1

Jumlah 100.00

Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui bahwa sekitar 65% luasan hutan diklat

memiliki bentuk topografi yang datar sampai landai. Kondisi tersebut umumnya tersebar di

sekitar Desa Ekateta dan Desa Silu. Topografi agak

curam sampai curam banyak dijumpai disekitar Desa

Oesusu serta sekitar Kaut (pondok kerja), sedangkan

untuk areal yang sangat curam sebagian besar berada

pada batas Desa Ekateta dan Desa Benu, yang

bentuknya berupa perbukitan. Peta lereng seperti

dilihat pada gambar 3.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 19

Page 20: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 3. Peta Lereng Kawasan Hutan Diklat Sisimeni SanamPemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 20

Page 21: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

B. Penutupan Lahan

Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan tingkat penutupan lahan di Hutan Diklat

Sisimeni Sanam adalah dengan menggunakan data penggunaan lahan, groundcheck keadaan

di lapangan dan membandingkan penutupan tajuk dengan menggunakan citra google earth.

Ketiga data ini digunakan secara bersama-sama sehingga diperoleh keadaan penutupan lahan

yang terkatual di lapangan. Salah satu data groundcheck yang digunakan adalah data

identifikasi potensi hutan diklat tahun 2013. Selain data tersebut, groundcheck juga dilakukan

di sekitar Desa Ekateta, Oesusu dan Desa Benu.

Di Hutan Diklat Sisimeni Sanam jenis penggunaan lahan yang ada menurut Peta RBI

adalah hutan (hutan alam), ladang (hutan lahan kering), semak belukar, Savana serta

pemukiman. Penggunaan lahan berupa hutan dapat dijumpai di Desa Benu. Jenis pohon yang

ada antara lain, bonak (Tetrameles nudiflora), beringin (Ficus spp.), pangkal buaya

(Zanthoxylum rhetza),dll. Berdasarkan hasil identifikasi potensi hutan diklat tahun 2013, Desa

Benu merupakan daerah yang memiliki tingkatan jenis pohon paling banyak jika

dibandingkan dengan tingkatan pohon pada beberapa desa lain yang masuk didalam kawasan

hutan diklat. Pertumbuhan pohon di Desa Benu umumnya merupakan permudaan alam dan

memiliki struktur tajuk yang lengkap dan rapat. Jika dilihat dengan menggunakan google

earth penutupan tajuk di desa ini sangatlah kompak dan sangat berbeda dengan penutupan

lain di wilayah hutan diklat. Melihat kondisi tersebut, berdasarkan tingkat penutupan tajuknya

maka penggunaan lahan berupa hutan termasuk dalam kategori sangat baik dengan penutupan

tajuk > 80%.

Gambar 4. Penutupan lahan hutan dari citra google earth (kiri), struktur vegetasi hutan di Desa Benu (kanan)

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 21

Page 22: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 5. Penutupan hutan lahan kering (jati)di Hutan Diklat, Desa Oesusu.

Dalam jenis penggunaan lahan RBI, di hutan diklat Sisimeni Sanam terdapat jenis

penggunaan lahan dengan nomenklatur ladang. Setelah dilakukan groundchek, penggunaan

lahan ini di lapangan merupakan tegakan eks tanaman HTI dengan jenis tanaman adalah jati

(Tectona grandis) dan johar (Cassia siamea), sehingga istilah yang digunakan dalam

penelitian ini diganti dengan Hutan Lahan Kering. Peta RBI untuk wilayah hutan diklat terdiri

dari 4 scene (lembar) dimana tahun survey lapangan untuk keempat peta tersebut adalah pada

tahun 1994,1996 dan 1999, seperti yang disajikan dalam tabel 8. Munculnya penggunaaan

lahan berupa ladang kemungkinan tidak lepas dari kegiatan penanaman yang dilakukan pada

waktu tersebut dimana, pada awal penanaman tanaman eks HTI tersebut umumnya

ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian (jagung, kedelai, dll). Pada saat ini tanaman

tersebut telah berupa tegakan dengan diameter ± 25 cm dengan tinggi ± 18 meter. Hutan jati

dan johar yang ada di hutan diklat merupakan tanaman eks perhutani yang sengaja ditanam

untuk kepentingan produksi atau berorientasi bisnis. Oleh karena itu penampakan yang dapat

dilihat di lapangan, umumnya tegakan ini tersusun rapi dengan jarak tanam dan struktur yang

seragam.

Penutupan tajuk yang terlihat pada hutan lahan kering (tegakan jati & johar) dapat

dibedakan dengan keberadaan penggunaan lahan yang lain. Ciri umum yang dapat digunakan

sebagai dasar interpretasi adalah warna dari tajuk yang cenderung seragam, dan lokasinya

yang kompak (mengelompok). Dalam melakukan

interpretasi, sebagai bahan perbaikan data penggunaan

lahan, penampakan dari google earth di cross check

dengan hasil kegiatan identifikasi potensi hutan diklat

serta ground check yang dilakukan di Desa Ekateta,

Oesusu serta Benu. Dengan mempertimbangkan

kondisi tersebut, penutupan tajuk untuk penggunaan

lahan hutan lahan kering termasuk dalam kategori

baik.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 22

Page 23: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 6. (a) Penutupan Savana dari citra google earth, (b) dan (c) kondisi Savana di sekitar Desa Ekateta

Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional tentang SNI Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI),

semak belukar adalah lahan yang tertutup oleh tanaman hutan dengan ketinggian tanaman

rata-rata kurang dari 10 meter. Hasil analisis data penggunaan lahan seperti yang dapat dilihat

pada tabel 13, semak belukar merupakan jenis penggunaan lahan terbesar yang ada di hutan

diklat yaitu 51%. Kondisi yang ada di lapangan, jenis penggunaan lahan ini umumnya

didominasi oleh jenis-jenis semak, perdu maupun belukar dengan beberapa titik (spot)

ditemukan vegetasi tingkat pohon. Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada di lapangan

serta komposisi vegetasi yang menyusunnya maka untuk tingkat penutupan lahannya

termasuk dalam kategori sedang.

Jenis penggunaan keempat yang ada di hutan diklat adalah Savana. Di Hutan Diklat

Sisimeni Sanam, jenis penggunaan lahan ini paling banyak ditemui sekitar Desa Ekateta

bagian utara serta beberapa spot/titik di bagian utara Desa Silu. Savana di hutan diklat

umumnya banyak ditemui pada kelerengan datar sampai landai (<15%). Di kedua desa

tersebut, penggembalaan ternak yang dilepasliarkan paling sering dijumpai, umumnya adalah

jenis sapi. Kondisi di lapangan, jenis vegetasi yang mendominasi adalah jenis rumput-

rumputan dan pada beberapa titik dengan jumlah yang sangat jarang, ditemukan semak atau

pohon-pohonan. Skor penutupan lahan pada jenis penggunaan lahan ini dikategorikan buruk.

(b)

(a) (c)

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 23

Page 24: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Pemukiman yang ada dalam data penggunaan lahan RBI terletak di Desa Silu, yaitu

antara batas kawasan hutan diklat terluar sebelah tenggara. Luasnya kurang lebih 0,88 ha.

Karena keterbatasan yang ada, data ini belum dapat diverifikasi kebenarannya. Skor

penutupan lahan untuk pemukiman dikategorikan sangat buruk.

Tabel 13. Tingkat penutupan lahan dan luas penggunaan lahan di hutan diklat Sisimeni Sanam No Keterangan Luas

Persen (%)

Kelas Penutupan

Skor Penutupan Lahan

1 Hutan 132.29 4% Sangat baik 52 Hutan Lahan Kering 929.35 29% Baik 43 Semak Belukar 1,604.10 51% Sedang 34 Savana 485.49 15% Buruk 25 Pemukiman 0.88 0% Sangat buruk 1

100%

C. Erosi

o Jenis Tanah

Pendekatan yang digunakan untuk menaksir erosi adalah dengan mempertimbangkan

faktor jenis tanah, lereng serta penutupan tanahnya. Ketiga faktor tersebut kemudian

dioverlay dan diskoring seperti pada tabel 4-6. Berdasarkan jenis tanahnya, hutan diklat

Sisimeni Sanam didominasi jenis tanah Kambisol (39%), kemudian diikuti dengan jenis tanah

Rendzina (35%) dan Latosol (26%). Menurut Hardjowigeno (2003), kambisol merupakan

tanah dengan horizon kambik (horizon bawah telah terbentuk struktur tanah) dan tidak ada

gejala-gejala hidromorfik (pengaruh air). Padanan nama tanah kambisol dalam USDA Soil

Taxonomy adalah Inceptisol, yaitu tanah muda dengan penciri utama horizon kambik. Karena

tanah belum berkembang lanjut kebanyakan tanah ini cukup subur. Jenis tanah ini

membentang mulai dari Desa Benu, Desa Ekateta bagian barat, Desa Oesusu serta Desa Silu

bagian utara. Seperti yang disajikan pada gambar 8. Nama padanan lain dalam sistem Dudal,

tanah ini termasuk dalam brown forest soil.

Dalam klasifikasi kepekaan jenis tanah terhadap erosi menurut Hardjowigeno dan

Widiatmaka (2007), Rendzina termasuk ke dalam kelas sangat peka terhadap erosi. Bahkan

untuk jenis tanah rendzina yang berada pada kelerengan lebih dari 15% dapat langsung

dikategorikan termasuk dalam kawasan lindung. Darmawijaya (1990) menyatakan bahwa

tanah Rendzina banyak mengandung bahan organik dari vegetasi rumput. Di Indonesia jenis

tanah ini banyak dijumpai di kepulauan nusa tenggara.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 24

Page 25: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 7. Luas kawasan hutan diklat berdasarkan jenis tanah

Tanah Latosol merupakan jenis tanah yang telah

mengalami pelapukan yang intensif dan perkembangan

lebih lanjut sehingga terjadi pelindian unsur basa dan

bahan organik. Ciri morfologi yang umum ialah tekstur

lempung sampai geluh, struktur remah sampai gumpal

lemah dan konsistensi gambur. Warna tanah cenderung

merah (Darmawijaya, 1990). Jenis tanah ini menurut

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) termasuk dalam

kategori agak peka terhadap erosi.

o Penutupan Tanah

Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan tingkat penutupan tanah adalah dengan

berdasarkan data penggunaan lahan yang telah dilakukan ground check terkait dengan

tumbuhan bawah serta jenis tanaman atau vegetasi yang mendominasi. Tingkat penutupan

tanah akan menentukan besar kecilnya laju erosi yang terjadi. Tanah yang tertutupi oleh

tumbuhan bawah atau seresah akan terlindungi dari energi kinetik yang dihasilkan oleh air

hujan, sehingga peluang terjadinya penglupasan dan penghancuran partikel tanah akan dapat

diminimalisir.

Berdasarkan hasil groundcheck dan pengamatan terkait kondisi penutupan tanah, hutan

merupakan jenis penggunaan lahan yang paling baik dalam melindungi tanah dari erosi.

Selain penutupan tajuk yang rapat, keberadaan tumbuhan bawah yang rapat dan tumpukan

seresah yang ada mampu meminimalisir energi kinetik yang dihasilkan oleh air hujan. Savana

yang banyak ditemui disekitar Desa Ekateta dan Desa Silu juga mampu mengurangi

kerusakan tanah akibat energi yang dihasilkan oleh air hujan. Penutupan rumput yang rapat

mampu memberikan perlindungan terhadap tanah. Untuk penutupan tanah pada hutan lahan

kering, perlindungan yang diberikan masih lebih rendah daripada penggunaan lahan hutan

maupun Savana. Jenis tanaman yang monokultur dengan jenis jati dan johar mengakibatkan

keberadaan tumbuhan bawah relatif jarang. Pelindung tanah umumnya hanya seresah daun

maupun cabang yang jatuh ke tanah. Struktur dan tingkatan tajuk yang seragam

mengakibatkan tidak adanya gradasi/perlindungan bertingkat yang diberikan oleh tajuk untuk

menahan air hujan. Tingkatan selanjutnya adalah semak belukar dan pemukiman.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 25

Page 26: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 8. Peta Jenis Tanah Kawasan Hutan Diklat Sisimeni SanamPemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 26

Page 27: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan Kawasan Hutan Diklat Sisimeni SanamPemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 27

Page 28: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 11. Luas kawasan hutan diklat berdasarkan tingkat erosi

Semak belukar memiliki skor penutupan tanah yang rendah karena hasil pengamatan

dilapangan, umumnya dibawah tanaman semak tersebut tidak ada seresah yang melindungi

tanah. Selain itu hasil pengamatan di lapangan, keberadaan semak belukar ini dilapangan

umumnya berupa titik-titik/spot yang letaknya menyebar kurang rapat.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 10. Penutupan tumbuhan bawah, (a) Hutan, (b) Hutan Lahan Kering (jati), (c) Semak belukar, (d) Savana

o Lereng

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar kelerengan di hutan diklat

adalah datar sampai landai (0-15%). Menurut Arsyad (2006), selain dari memperbesar jumlah

aliran permukaan, semakin curam lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan

dengan demikian memperbesar energi angkut aliran permukaan. Selain daripada itu, dengan

semakin miringnya lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bagian bawah

lereng oleh tumbukan butir-butir hujan akan semakin banyak. Berdasarkan asumsi tersebut,

kelerengan menjadi salah satu faktor penting penentu erosi.

Tingkat Erosi

Ketiga parameter di atas yaitu tanah, penutupan tanah dan lereng kemudian diskoring

sesuai dengan pengaruhnya terhadap erosi. Langkah selanjutnya adalah melakukan overlay

antara ketiga peta di atas sehingga diperoleh satuan

lahan yang memiliki karakteristik yang sama. Hasil

overlay ketiga faktor tersebut dapat dilihat pada

lampiran 1. Hasil analisis data diketahui bahwa tingkat

erosi di Hutan Diklat Sisimeni Sanam 40% berada pada

tingkat berat dan hanya 12% saja yang dalam kondisi

ringan. Seperti yang disajikan dalam gambar

disamping.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 28

Page 29: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Dari 40% atau 1.239, 16 ha areal yang berada dalam kondisi berat, 70% nya atau 874,42

ha disumbang dari penggunaan lahan berupa semak belukar. Selain faktor penggunaan lahan

faktor tanah dengan jenis Rendzina serta kelerengan yang umumnya berada >15% menjadi

penyebab tingginya tingkat erosi di hutan diklat. Tingkat erosi sangat berat terdapat pada

jenis tanah rendzina, dengan penggunaan lahan semak belukar dan pada kelerengan 25-40%

dengan luas 5,46 ha. Berikut ini analisis data sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi

yang terjadi di Hutan Diklat Sisimeni Sanam.

Gambar 12. Sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi ringan

Gambar 13. Sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi sedang

Gambar 14. Sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi berat

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 29

Page 30: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 15. Peta Tingkat Erosi Kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 30

Page 31: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

D. Manajemen

Aspek manajemen merupakan salah satu aspek penting yang digunakan untuk menilai

tingkat kekritisan lahan. Satuan penilaian menggunakan desa, dimana pada setiap desa yang

masuk dalam kawasan hutan diklat dinilai bagaimana kejelasan status kawasan yang masuk

ke dalam desa tersebut, pengelolaan kawasan yang telah dilakukan serta bagaimana

partisipasi atau pelibatan masyarakat pada tiap desa dalam ikut mengelola kawasan hutan.

Kriteria tersebut kemudian diskoring dan dikelaskan berdasarkan tingkat manajemen kawasan

hutan diklat pada satuan desa. Berikut ini kriteria dan indikator yang digunakan sebagai

penilaian pada aspek manajemen.

Tabel 14. Kriteria dan indikator penilaiaian aspek manajemen

No Kriteria Indikator

1 Kejelasan Status Kawasan

SK Penetapan KawasanKonflik terkait batas kawasanKondisi PalSosialisasi status kawasan

2 Pengelolaan Kawasan

Pengamanan KawasanKegiatan Penyuluhan Kegiatan Rehabilitasi Hutan & LahanPemeliharaan palPerlindungan hutan

3 Partisipasi masyarakat

Bantuan dalam rangka pemberdayaan Masy.Peningkatan pengetahuan/ikut kegiatan diklatPelibatan massa dalam pengelolaan hutan (pengamanan & perlindungan hutan, rehabilitasi, dll)

Berdasarkan wawancara dengan pengelola hutan diklat diperoleh hasil sebagai berikut ;

Tabel 15. Skoring penilaian aspek manajemen pada tiap desa

Skor Penilaian Nilai Maks

No Kriteria Desa BenuDesa Sillu Desa Ekateta Desa Oesusu Desa Camplong II

1 Kejelasan Status Kawasan 3 4 2 3 4

4

2 Pengelolaan Kawasan 3 5 2 4 2 5

3 Partisipasi masyarakat 2 2 2 3 1 3

Jumlah 8 11 6 10 7Keterangan : Nilai maksimal penilaian =12, minimal = 0. Kelas penilaian dapat dilihat pada tabel 10.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 31

Page 32: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Berdasarkan hasil pada tabel 15, diperoleh bahwa tingkat manajemen kawasan hutan

diklat pada tiap desa berada pada tingkat sedang sampai baik. Seperti yang disajikan dalam

tabel 16. Dari kelima desa yang masuk dalam kawasan hutan diklat, Desa Ekateta merupakan

desa dengan skor penilaian manajemen terendah yaitu 6 (enam). Desa ekateta merupakan

desa enclave yang ada di Hutan Diklat Sisimeni Sanam. Lokasi desa ini sangat strategis

karena dekat dengan akses jalan nasional. Jumlah penduduk desa ini semakin lama semakin

bertambah banyak, hal tersebut ditandai dengan rencana pemekaran desa yang akan

dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola hutan diklat, salah satu

permasalahan yang ada pada desa tersebut adalah terkait konflik terkait batas kawasan.

Berdasarkan data identifikasi potensi hutan diklat tahun 2013, kondisi pal batas kawasan yang

paling banyak mengalami rusak maupun hilang berada pada kawasan yang masuk dalam

Desa Ekateta. Selain itu pada kawasan hutan di Desa Ekateta banyak ditemukan aktivitas

masyarakat membuka ladang/kebun di dalam kawasan serta kejadian bekas penebangan

pohon.

Secara keseluruhan, manajemen pengelolaan kawasan hutan diklat tergolong baik. Hal

ini penting diketahui karena selain faktor biofisik, tingkat kekritisan lahan sangat terkait

dengan pola masyarakat sekitar kawasan dalam mengelola atau memanfaatkan hutan.

Semakin tinggi ketergantungan masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan maka

potensi terjadinya lahan kritis juga alkan semakin tinggi. Oleh karena itu diperlukan

pengarahan dan pelibatan masyarakat sekitar kawasan dalam ikut mengelola hutan baik dalam

kegiatan rehabilitasi, perlindungan dan pengamanan, dan lain-lain sehingga mereka merasa

ikut memiliki dan menjaga kelestarian hutan.

Tabel 16. Skoring penilaian tingkat manajemen pada tiap desa di Hutan Diklat Sisimeni Sanam

No Nama DesaTingkat

ManejemenSkor Manajemen Lahan Kritis

1 Benu Sedang 42 Sillu Baik 53 Ekateta Sedang 44 Oesusu Baik 55 Camplong II Sedang 4

Sumber : Wawancara dan analisis data

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 32

Page 33: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 33

Page 34: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 16. Peta Tingkat Manajemen Kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 34

Page 35: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

E. Lahan Kritis

Langkah akhir untuk mengetahui sebaran lahan kritis adalah dengan melakukan

overlay (tumpang susun) antara peta lereng, peta penggunaan lahan, peta tingkat erosi serta

peta manajemen kawasan. Tingkat kekritisan lahan diperoleh dengan cara menjumlahkan

semua skor dari masing-masing peta tersebut. Hasilnya diklasifikasikan sesuai dengan tabel 3.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebagian besar kawasan hutan diklat

dalam kondisi agak kritis (62%). Kondisi ini merupakan tingkatan ketiga dari lima tingkatan

kondisi kekritisan lahan. Kondisi tertinggi kedua adalah potensial kritis. Potensial kritis

merupakan kondisi dimana lahan tersebut memiliki potensi atau kemungkinan untuk menjadi

kritis jika salah satu atau lebih faktor yang menyusunnya berubah menjadi turun

tingkatannya. Luas lahan yang dalam kondisi potensial kritis sekitar 32%. Areal ini banyak

terdapat di Desa Benu dan Desa Sillu. Urutan ketiga adalah kondisi kritis, yaitu sebesar 4%.

Areal ini menyebar di Desa Benu, Ekateta dan Sillu, dengan luasan 3 - 42 hektar. Untuk

kondisi tidak kritis hanya sebesar 2% atau seluas ± 70 ha. Areal tersebut terletak di Desa

Benu dan Desa Silu. Penggunaan lahanya berupa hutan dengan kelerengan 0-15% dan tingkat

erosi ringan. Di Hutan Diklat Sisimeni Sanam tidak didapatkan areal dengan kondisi sangat

kritis. Hasil lengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 17. Grafik Tingkat Kekritisan Lahan di Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 35

Page 36: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 18. Peta Indikatif Sebaran Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni SanamPemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 36

Page 37: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

F. Rekomendasi untuk kegiatan pembelajaran

No Jenis Data Spasial Nama Diklat Mata Diklat Keterangan

1 Peta/lokasi lahan kritis

Penyusunan Rancangan RHL

Pengukuran dan Pemetaan lokasi RHL

o Sebagai lokasi pengukuran areal yang

representatif untuk contoh lokasi rehabilitasi.

o Luasan lokasi yang akan diukur dapat

dipilih sesuai dengan kebutuhan dan skenario diklat.

2 Lereng/Kontur Penyusunan Rancangan RHL

Penyusunan Rancangan Kegiatan RHL

o Data kontur digunakan sebagai dasar

penyusunan rencana dalam kegiatan penanaman (arah kontur dan jumlah tanaman), perencanaan bangunan sipil teknis (teras).

3 Penggunaan Lahan Inventarisasi Hutan

Inventarisasi hutan

o Potensi hutan tanaman eks HTI/hutan lahan

kering (jati & johar) dapat digunakan sebagai dasar atau contoh pelaksanaan inventarisasi hutan tanaman (kayu).

o Penggunaan lahan hutan dapat digunakan

sebagai contoh praktek inventarisasi hutan alam (kayu).

4 Data lahan kritis (Lereng, penutupan lahan, manajemen, tingkat erosi)

SIG Analyst Spasial analyst dan pemodelan spasial

o Studi kasus pembuatan peta lahan kritis.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai contoh/data dasar dalam pembuatan peta lahan kritis.

o Memodelkan alur analis spasial

G. Rekomendasi Pengelolaan

Berdasarkan hasil analisis di atas, ada dua hal yang bisa ditindaklanjuti dalam

pengelolaan kawasan hutan diklat. Pertama, untuk areal dengan kondisi tidak kritis dan

potensial kritis hal yang perlu dilakukan adalah menjaga kelestarian dan kondisi biofisik

kawasan. Secara umum areal dengan kondisi tidak kritis dan potensial kritis memiliki jenis

penggunaan lahan hutan dan hutan lahan kering. Artinya dari sisi vegetasi kedua jenis

penggunaan lahan tersebut telah terdapat vegetasi tingkat pohon, yang membedakannya

adalah faktor lain yang menyebabkan tingkat kekritisan lahan, yaitu tingkat erosi, manajemen

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 37

Page 38: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

dan kelerengan. Berdasarkan sebarannya areal dengan kondisi potensial kritis paling banyak

berada di Desa Sillu, seperti yang disajikan dalam gambar berikut ini :

Gambar 19. Grafik luas kawasan potensial kritis & tidak kritis berdasarkan batas desa

Dari aspek manajemen, pengelolaan kawasan di Desa Sillu sudah dikategorikan baik,

akan tetapi hal tersebut harus terus dijaga dan dipertahankan, khususnya terkait dengan

kondisi penggunaan lahannya. Jika penggunaan lahan tersebut mengalami perubahan maka

status tingkat kekritisan lahan juga akan mengalami perubahan. Penggunaan lahan berupa

hutan secara langsung akan mampu meningkatkan ketersediaan sumber mata air. Berdasarkan

hasil identifikasi potensi hutan diklat, ditemukan 3 sumber mata air yang ada di dalam

kawasan yang masuk kedalam Desa Silu dan 2 sumber mata air di Desa Benu. Oleh karena itu

kondisi hutan harus tetap dijaga kelestariannya, karena jika penggunaan lahan ini berubah

maka tingkat kekritisan lahan juga akan mengalami perubahan, dampaknya fungsi lahan

dalam mendukung fungsi hidroorologi akan terganggu.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah lahan dengan kondisi agak kritis dan kritis.

Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, pengelolaan lahan yang perlu diprioritaskan adalah

lahan dengan kondisi sangat kritis dan kritis. Hasil analisis, di Hutan Diklat Sisimeni Sanam

tidak ditemukan lahan dengan kondisi sangat kritis, sedangkan lahan kondisi kritis sebesar ±

120 ha.

Pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2013, Hutan Diklat Sisimeni Sanam telah

melakukan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan total luasan sebesar 1000 ha.

Kegiatan tersebut dilaksanakan di Desa Silu, Camplong II dan Ekateta. Sebaran kegiatan

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 38

Page 39: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

tersebut dapat dilihat pada gambar 21. Hasil overlay kegiatan RHL 2011-2013 dengan

sebaran lahan kritis, lahan dengan kondisi kritis yang telah direhabilitasi sebesar ± 40 ha. Sisa

nya ± 80 ha masih dalam kondisi kritis, dengan jenis penggunaan lahan berupa Savana dan

semak belukar dengan kelerengan > 15%. Sebagai rekomendasi pengelolaan areal ini perlu

diprioritaskan untuk direhabilitasi melalui kegiatan penanaman jenis-jenis yang memiliki

perakaran yang dalam, mengingat kelerengannya > 15%. Untuk lahan dengan kondisi agak

kritis telah telah direhabilitasi sebesar ± 700 ha. Jenis penggunaan lahan yang direhabilitasi

umumnya Savana dan semak belukar.

Terkait dengan potensi Savana yang ada di hutan diklat, hasil kegiatan identifikasi

potensi hutan diklat tahun 2013 serta identifikasi demplot RHL diketahui bahwa salah satu

permasalahan yang ada di hutan diklat adalah adanya penggembalaan liar yang dilakukan

oleh masyarakat. Menurut informasi petugas hutan diklat di sekitar lokasi RHL tahun 2011

dan 2012 terdapat ± 20 titik lokasi kandang sapi. Rata-rata 1 kandang sapi mampu

menampung ± 20 ekor sapi. Menurut informasi yang diperoleh, ternak sapi yang dilepas

tersebut merupakan milik masyarakat dari 4 Desa yaitu Silu, Ekateta, Camplong serta Oesusu

yang terkonsentrasi di Desa Sillu dan Ekateta. Dua desa tersebut memiliki potensi Savana

yang cukup tinggi. Melihat kondisi tersebut, untuk lahan dengan kondisi agak krtitis,

khususnya yang memiliki jenis penggunaan berupa Savana perlu dipertahankan dan

dikombinasikan dengan tanaman yang dapat berfungsi sebagai Hijauan Makan Ternak

(HMT). Lahan dengan kondisi agak kritis yang masih ada di Desa Ekateta dan Sillu perlu

dikembangkan menjadi blok silvopasture yang bertujuan untuk memproduksi tanaman untuk

pakan ternak.

Berdasarkan hasil analisis, areal yang direkomendasikan sebagai potensi

pengembangan blok silvopasture adalah lahan yang tidak termasuk rehabilitasi tahun 2011-

2013, memiliki jenis penggunaan lahan berupa Savana dan memiliki tingkat kekritisan lahan

agak kritis. Hasilnya terdapat ± 130 ha lahan yang memenuhi syarat diatas. Dari luas tersebut

55% (74,1 ha) berada di Desa Benu, 38% (50,96 ha) di Desa Ekateta dan 4% (5,9 ha) di Desa

Silu, sisanya ada di Desa Oesusu. Seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 39

Page 40: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 20. Luas potensi blok silvopasture berdasarkan batas desa

Jenis-jenis yang dapat direkomendasikan antara lain lamtoro, turi, rumput gajah serta

kabesak. Pembuatan blok silvopasture, harapannya dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak

sehingga ternak-ternak tersebut tidak dilepasliarkan lagi. Hal tersebut tetap juga harus

didukung oleh kesadaran masyarakat untuk tidak melepasliarkan ternaknya di dalam kawasan

hutan.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 40

Page 41: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 21. Peta Sebaran Lahan Kritis dan Lokasi RHL Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 41

Page 42: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

Gambar 22. Peta Potensi Blok Silvopasture Hutan Diklat Sisimeni SanamPemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 42

Page 43: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Tingkat kekritisan lahan, di Hutan Diklat Sisimeni Sanam terdapat 71,22 ha (2%) tidak

kritis, 999,89 ha (32%) potensial kritis, 1.944 (62%) agak kritis, 128,24 (4%) dalam

kondisi kritis dan tidak didapatkan lahan dengan kondisi sangat kritis (0%).

2) Data spasial yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mendukung

pembelajaran pada diklat Penyusunan Rancangan RHL, Inventarisasi Hutan serta SIG

bagi analis.

3) Lahan dengan tingkatan tidak kritis & potensial kritis perlu dijaga kondisi biofisiknya,

agak kritis, dapat dijadikan sebagai blok silvopasture, sedangkan lahan dengan tingkat

kritis dapat diprioritaskan untuk kegiatan penanaman

B. Saran

1) Penelitian ini hanya menilai tingkat kekritisan lahan, perlu ada penelitian lebih lanjut

untuk mengetahui kesesuaian jenis serta bentuk pengelolaan kawasan yang tepat dengan

mempertimbangkan hasil penelitian ini sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan

untuk kepentingan pembelajaran bagi diklat lainnya.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 43

Page 44: Pemetaan Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam

DAFTAR PUSTAKA

-------. 2009. Permenhut No.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTKRHL-DAS). Kementerian Kehutanan.

---------. 2011. Membumikan RHL DAS Benain Noelmina Berbasis Rencana Teknik RHL. BPDAS Benain Noelmina, Kupang.

-------. 2013. Identifikasi Potensi Hutan Diklat Sisimeni Sanam. Balai Diklat Kehutanan Kupang. Kupang (Tidak dipublikasikan).

Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press : Bogor.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2010. SNI : Spesifikasi penyajian peta rupa bumi - bagian 2 : Skala 1:25.000. Jakarta.

Darmawijaya, M. Isa. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

FAO and IIRR. 1995. Resource management for upland area in Southeast Asia. Rapa Publication : 1995/12

Hakim, N. 1985. Pengaruh sisa pupuk hijau, kapur, pupuk P dan Mg oada tanah podsolik terhadap produksi jagung. Makalah Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi. Bandung, 25-28 Februari 1985. Ditjen Dikti Depdikbud.

Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo : Jakarta.

Hardjowigeno, Sarwono dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Mahfudz. 2001. Peningkatan Produktivitas Lahan Kritis Untuk Pemenuhan Pangan Melalui Usahatani Konservasi. Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor.

Nasution, Z. 2005. Evaluasi Lahan Daerah Tangkapan Hujan Danau Toba Sebagai Dasar Perencanaan Tata Guna Lahan Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Survey Tanah dan Evaluasi Lahan pada Fakultas Pertanian. Medan, 26 Mei 2005. Universitas Sumatera Utara.

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 44