25
Pemerolehan Bahasa Kedua PENDAHULUAN Semua manusia termasuk mereka yang hidup didalam hutan rimba dan pulau- pulau terpencil menggunakan bahasa untuk saling berkomunikasi. Apapun yang dilakukan oleh manusia ketika berinteraksi dengan sesamanya, entah itu ketika bermain, berkelahi, bercinta atau melakukan transaksi jual beli, mereka berbicara dengan tatap muka, terkadang juga kita berbicara melalui telepon. Terkadang kita bicara dengan menggunakan kata-kata lisan, terkadang cukup dengan menggunakan fasilitas sms di handpone kita. Singkat kata dalam kehidupan kita hampir tidak ada waktu berlalu tanpa kita berbicara, bahkan dalam tidur pun terkadang kita masih berbicara. Sebagian dari kita malah berbicara kepada hewan peliharaan, sebagian lagi malah senang berbicara sendiri. Kajian dan Fenomena Bahasa Kedua ini pertama kali dilakukan oleh Thomas Mowbray setelah Raja Richard memindahkan dia dari Inggris ke Perancis. Dalam perkataan Thomas Mowbray kita dapatkan kekhawatiran umum bagi yang harus meninggalkan bahasa aslinya dan kebudayaan asli guna menyesuaikan ke dalam sekelilingnya dan menguasai bahasa yang baru. Sebab periode itu Mowbray merasa tidak mampu untuk mengekspresikan dirinya dalam bahasa baru seperti bahasa aslinya sendiri. Problem Mowbray ini bersifat umum. Mempelajari bahasa kedua terjadi di seluruh dunia karena berbagai sebab seperti imigrasi, kebutuhan perdagangan dan ilmu pengetahuan serta pendidikan. Belajar bahasa lain mungkin menjadi penting dalam aktivitas intelektual manusia setelah menguasai bahasa ibu. Oleh karena itu tidaklah heran bahwa riset di bidang ini menjadi sangat menarik dalam ilmu pengetahuan kognitif. Sebab begitu kompleksnya dalam penguasaan bahasa kedua[1] . Sejak zaman dahulu, Negara inggris dikenal sebagai kerajaan dengan kesenian yang memiliki kebudayaan dan kesenian yang menarik serta cara dan perilaku yang sopan dalam kehidupan sehari-harinya pada abad ke

Pemerolehan Bahasa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

teori belajar bahasa indonesia

Citation preview

Page 1: Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan Bahasa Kedua

PENDAHULUAN

Semua manusia termasuk mereka yang hidup didalam hutan rimba dan pulau-pulau terpencil

menggunakan bahasa untuk saling berkomunikasi. Apapun yang dilakukan oleh manusia ketika

berinteraksi dengan sesamanya, entah itu ketika bermain, berkelahi, bercinta atau melakukan transaksi jual

beli, mereka berbicara dengan tatap muka, terkadang juga kita berbicara  melalui telepon. Terkadang kita

bicara dengan menggunakan kata-kata lisan, terkadang cukup dengan menggunakan fasilitas sms di

handpone kita. Singkat kata dalam kehidupan kita hampir tidak ada waktu berlalu tanpa kita berbicara,

bahkan dalam tidur pun terkadang kita masih berbicara. Sebagian dari kita malah berbicara kepada hewan

peliharaan, sebagian lagi malah senang berbicara sendiri. Kajian dan Fenomena Bahasa Kedua ini pertama

kali dilakukan oleh Thomas Mowbray setelah Raja Richard memindahkan dia dari Inggris ke Perancis.

Dalam perkataan Thomas Mowbray kita dapatkan kekhawatiran umum bagi yang harus meninggalkan

bahasa aslinya dan kebudayaan asli guna menyesuaikan ke dalam sekelilingnya dan menguasai bahasa

yang baru. Sebab periode itu Mowbray merasa tidak mampu untuk mengekspresikan dirinya dalam bahasa

baru seperti bahasa aslinya sendiri. Problem Mowbray ini bersifat umum. Mempelajari bahasa kedua

terjadi di seluruh dunia karena berbagai sebab seperti imigrasi, kebutuhan perdagangan dan ilmu

pengetahuan serta pendidikan. Belajar bahasa lain mungkin menjadi penting dalam aktivitas intelektual

manusia setelah menguasai bahasa ibu. Oleh karena itu tidaklah heran bahwa riset di bidang ini menjadi

sangat menarik dalam ilmu pengetahuan kognitif. Sebab begitu kompleksnya dalam penguasaan bahasa

kedua[1].

Sejak zaman dahulu, Negara inggris dikenal sebagai kerajaan dengan kesenian yang memiliki kebudayaan

dan kesenian yang menarik serta cara dan perilaku yang sopan dalam kehidupan sehari-harinya pada abad

ke XVI-XIX, pelatihan untuk berbagai tatacara serta etika hanya bisa didapatkan oleh kalangan tertentu

saja, teutama dikalangan para bangsawan inggris, sehingga terbentuk kesenjangan social yang sangat

mencolok antar kalangan atas dan kalangan menengah bawah. Pada abad ke XX barulah pelatihan etika

tersebut mulai oleh berbagai kalangan masyarakat inggris termasuk berbagai masyarakat yang berasal dai

kalangan menengah ke bawah[2].. Jika dilihat dari segi tatacara dan etika dalam kehidupan sehari-hari,

Negara kerajaan Inggris merupakan salah satu negara benua eropa yang diakui secara internasional

memiliki etika yang dianggap sebagai sifat sopan. Oleh karena itu banyak usaha dilakukan oleh berbagai

kalngan masyarakat dari berbagai Negara untuk mempelajari kebudayaan dan etika dari masyarakat

Negara kerajaan Inggris. Dalam hal ini, baik Inggris maupun Indonesia telah bertindak secara suka-suka

didalam membuat kesepakatan umum mengenai kata-kata penyebutan benda-benda hasil kebudayaan yaitu

table (meja) dan chair (kursi) didalam bahasanya masing-digunakan oleh manusia adalah faktor cuaca dan

budaya. Penggunaan bahasa dikalangan umat manusia merupakan suatu fenomena yang bersifat universal

dan jumlah bahasa yang digunakan sangat banyak, yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Perbedaan diantara bahasa-bahasa yang digunakan ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya karena

Page 2: Pemerolehan Bahasa

bahasa itu merupakan suatu convention (kesepakatan umum) yang bersifat arbitrary (suka-suka). Setiap

orang biasanya hanya mampu berbicara dengan menggunakan satu bahasa saja yaitu, bahasa yang ia

peroleh secara otomatis dan wajar karena biasa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh orang-

orang yang berada diluar lingkungan kelompok masyarakatnya. Ia tidak memahami bahasa-bahasa yang

digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang yang berada diluar lingkungan kelompok

masyarakatnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh seseorang didalam

lingkungan kelompok masyarakatnya, yang dia peroleh secara alamiah dan wajar sejak lahir disebut bahsa

ibu atau bahasa pertamaorang tersebut, sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkominikasi oleh

orang-orang di luar lingkungan kelompok masyarakatnya dinamakan bahasa asing yang apabila dipelajari

oleh orang tersebut akan menjadi bahasa keduanya. Istilah bahasa kedua atau second language digunakan

untuk menggambarkan bahasa-bahasa apa saja yang pemerolehannya/penguasaannya dimulai setelah masa

anak-anak awal (early childhood), termasuk bahsa ketiga atau bahasa-bahasa lain yang dipelajari

kemudian. Melihat keadaan dunia sekarang yang semakin go internasional dimana teknologi mengalami

perkembangan yang cukup pesat, sehingga banyak teknologi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Hal ini menyebabkan terjadinya interaksi antara Negara yang satu dan Negara lainnya semakin bebas dan

terbuka, maka akan lebih baik jika masyarakat mempelajari suatu hal yang bersifat diakui secara

internasional seperti halnya bahasa inggris yang digunakan dan dipelajari di setiap Negara yang bahasa

internasional, maka akan bermanfaat juga bagi masyarakat jika mempelajari kebudayaan serta etika yang

juga diakui secara internasional sebagai kepribadian yang sopan.

PEMBAHASAN

Pengertian Pemerolehan Bahasa Kedua

Sebelum membahas pengertian pemerolehan bahasa kedua, pertama-tama yang harus diketahui adalah

istilah pemerolehan. Menurut Dardjowidjojo[3] dalam bukunya “Psikolinguistik”, istilah pemerolehan

dipakai untuk menerjemahkan bahasa Inggris acquisition, yang diartikan sebagai proses penguasaan

bahasa secara alami dari seorang anak saat ia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini berbeda

dari istilah pembelajaran yang dalam bahasa Inggris adalah learning. Dalam pengertian pembelajaran,

proses itu berada dalam suasana yang formal, belajar di kelas serta ada seorang guru yang mengajar.

Sehingga dapat dikatakan bahwa proses seorang anak belajar menguasai bahasa ibunya adalah

pemerolehan, sedangkan proses orang dewasa yang belajar di kelas adalah pembelajaran.

Menurut Wikipedia[4], pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang belajar bahasa kedua

disamping bahasa ibu mereka. Pemerolehan bahasa kedua merujuk kepada apa yang siswa lakukan dan

tidak merujuk kepada apa yang guru lakukan. Penelitian pemerolehan bahasa kedua mempelajari psikologi

dan sosiologi dari proses pembelajaran. Terkadang istilah “pemerolehan” dan “pembelajaran” tidak

diperlakukan sebagai sinonim tapi justru mengacu pada aspek sadar dan bawah sadar dari masing-masing

Page 3: Pemerolehan Bahasa

proses. Bahasa kedua atau B2 biasanya mengacu pada semua bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu

mereka, yang juga disebut bahasa pertama, B1.

Di Indonesia, bahasa pertama dari seorang anak yang tinggal di Jawa Tengah, bisa jadi bahasa daerahnya,

yaitu bahasa Jawa. Dalam bukunya “Sosiolinguistik”, Chaer dan Agustina[5] menulis bahwa pada

umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing karena bahasa

Indonesia baru dipelajari ketika anak masuk sekolah dan ketika ia sudah menguasai bahasa ibunya.

Menurut sebuah blog di dalam sebuah situs[6], elemen-elemen dari sebuah bahasa yang baru, seperti

perbendaharaan kata, komponen fonologi dan struktur tata bahasa dikembangkan serupa dengan tahap

pembelajaran yang bayi tempuh ketika memperoleh bahasa pertama: babbling (bababa), perbendaharaan

kata (milk lalu kemudian milk drink), penolakan (no play) dan membentuk pertanyaan ( where she go).

Pada usia 6 sampai 7 tahun ke atas, anak mulai membagi kedua bahasa tersebut. Dibandingkan dengan

pemerolehan bahasa pertama, proses pemerolehan bahasa kedua tidak linear, tapi lebih seperti jalan yang

zigzag. Menurut Krashen seperti yang dikutip oleh blog tersebut, untuk anak-anak ini, bahasa kedua adalah

hal yang dipelajari daripada diperoleh. Dalam beberapa kasus, bahasa kedua diajarkan lewat instruksi

formal dan dipelajari lewat proses sadar yang berakhir dengan “mengetahui tentang bahasa”. Di samping

itu, gangguan dari bahasa ibu seperti: fonologi, morfologi dan sintaks memengaruhi bahasa kedua mereka

dan menciptakan kesulitan. Mereka mungkin saja kesulitan mengenali beberapa suara dari bahasa baru

atau kesulitan menggerakkan mulut dan lidah mereka dalam cara yang tidak biasa (sehingga

mengakibatkan aksen yang berbeda). Lebih lanjut, kesadaran diri dan motivasi pelajar ketika mencoba

bahasa baru mungkin juga menjadi masalah dalam proses pemerolehan. Karena itu, untuk mencapai

pemerolehan, anak harus terus menerus mendapat penerapan bahasa kedua yang benar dalam banyak

konteks linguistik yang berguna bagi mereka.

Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Usia 0-6 tahun

Age Language Developments

Birth to 1 month Infant communicates by crying and recognizes sounds heard in

womb

1-6 months Infant coosv  Infant recognizes familiar words

6-12 months Infant recognizes sounds in native languagev  Infant babbles, 

then imitates language sounds. Infant may say first words

12-18 months Toddler overextends word meanings

18-30 months Naming explosion takes placev  First sentences are often           

telegraphicv  Child begins to engage in conversationsChild

overregularizes language rules

30-36 months Child learns new words almost dailyv  Child combines three or

more words, and can say up to 1,000 wordsv  Child uses past

Page 4: Pemerolehan Bahasa

tense

3-4 years Vocabulary, grammar and syntax are improving and more

complexv  Emergent literacy skills are developingv  Private

speech increases

5-6 years Speech is almost adultlike, and spoken vocabulary is about

2,600 wordsv  Child understands about 20,000 wordsv  Child

can retell plots

Karakteristik ini diambil dari Human Development[7].

Universal bahasa: nature dan nurture

Dalam perbincangan mengenai proses pemerolehan bahasa terdapat perdebatan sengit di kalangan ahli

bahasa mengenai sifat pemerolehan bahasa yaitu mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dan

yang kedua adalah pemerolehan bahasa yang bersifat nature. Menurut para ahli bahasa, pemerolehan

bahasa yang bersifat nurture berarti bahwa pemerolehan bahasa seseorang itu ditentukan oleh lingkungan

sekitar dimana ia berada, sedangkan pemerolehan bahasa yang bersifat nature berarti bahwa pemerolehan

bahasa itu pada dasarnya merupakan suatu bekal yang telah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan ke

dunia. Para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nurture pada umumnya adalah para ahli bahasa

dari aliran behaviorisme sedangkan para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nature umumnya

adalah mereka yang berasal dari aliran nativisme. Oleh karena itulah, pembahasan mengenai nurture dan

nature ini tidak terlepas dari kedua aliran tersebut. Kedua sifat pemerolehan bahasa tersebut diatas

merupakan topik yang cukup menarik bagi penulis untuk dibahas disini karena menurut beberapa pihak

masalah nature dan nurture ini masih merupakan suatu kontroversi yang belum ditemukan jalan keluarnya

sedangkan menurut pihak lain, keduanya telah menjadi sesuatu yang sesungguhnya sama-sama diperlukan

dalam pemerolehan bahasa. Pada bagian pembahasan dari tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga  bagian

utama, yang pertama adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut

pandang para ahli yang mendukungnya, bagian kedua adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa

yang bersifat nature dari sudut pandang para ahli yang mendukungnya, dan bagian yang ketiga adalah

contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam

proses pemerolehan bahasa seseorang.

Nurture

Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut pandang beberapa ahli

yaitu Ivan Pavlov, John B. Watson dan B.F. Skinner. Pada intinya yang dimaksud dengan proses

pemerolehan bahasa yang bersifat nurture adalah bahwa proses pemerolehan bahasa seseorang itu

merupakan suatu kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses pengkondisian (Brown, 2000:34).  Anak-

anak memberikan respon kebahasaan melalui pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar

Page 5: Pemerolehan Bahasa

memahami ujaran dengan cara memberikan respon terhadap ujaran tersebut dan dengan cara mendapat

penguatan atas respon yang diberikannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli behaviorisme yang

sangat meyakini bahwa anak-anak hadir di dunia disertai dengan sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis yang

bersih tanpa ada pemahaman sebelumnya atas dunia maupun atas bahasa, dan bahwa anak-anak tersebut

kemudian dibentuk oleh lingkungan mereka dan perlahan-lahan terkondisikan melalui beragam jadwal

penguatan (Brown, 2000:22).

Ivan Pavlov

Ivan Pavlov adalah seorang ahli psikologi dari Rusia yang melaksanakan serangkaian eksperimen yang

kemudian terkenal dengan sebutan classical conditioning. Dalam eksperimennya tersebut Pavlov

menggunakan anjing sebagai subyek. Pavlov kemudian memeroleh kesimpulan bahwa stimuli netral awal

yang berupa suara dari garpu yang dibunyikan menghasilkan kekuatan yang mendatangkan respon yang

berupa pengeluaran air liur anjing yang pada mulanya dihasilkan dari stimuli lain yaitu penglihatan atau

bau makanan anjing. Dengan demikian maka Pavlov telah membuktikan bahwa proses belajar itu terdiri

dari pembentukan beragam asosiasi antara stimuli dan respon refleksif (Brown, 2000:80).

John B. Watson

John B. Watson adalah seorang psikolog yang menemukan istilah behaviorisme dan sekaligus menemukan

suatu aliran ilmu psikologi baru yang menyatakan bahwa para psikolog seharusnya hanya terfokus pada

perilaku yang dapat diamati secara langsung. Lebih jauh, menurut Watson, pada dasarnya pernyataan-

pernyataan ilmiah dapat selalu diverifikasi (atau dibantah) oleh siapapun yang mampu dan bersedia untuk

melakukan observasi yang diperlukan. Namun kemampuan ini tergantung pada kegiatan untuk memelajari

hal-hal yang dapat diamati secara obyektif. Menurutnya proses kejiwaan bukan merupakan sebuah subyek

yang tepat bagi studi ilmiah karena proses kejiwaan merupakan peristiwa pribadi yang tidak ada

seorangpun yang dapat melihat atau menyentuhnya. Sedangkan perilaku merupakan respon atau aktifitas

yang jelas atau dapat diamati oleh sebuah organisme. Maka Watson menegaskan bahwa para psikolog

dapat memelajari apapun yang dilakukan atau dikatakan orang –berbelanja, bermain catur, makan, memuji

seorang teman- namun mereka tidak dapat memelajari secara ilmiah pikiran, harapan, dan perasaan yang

mungkin menyertai perilaku tersebut.

Berangkat dari pandangan barunya terhadap psikologi tersebut dan dengan berpegangan pada temuan

Pavlov yaitu dengan menggunakan teori classical conditioning maka Watson menyatakan bahwa

penjelasan atas segala bentuk pembelajaran adalah dengan melalui proses pengkondisian maka manusia

membentuk sejumlah hubungan stimuli-respon, dan perilaku manusia yang lebih kompleks dipelajari

melalui cara membangun serangkaian atau rantai-rantai respon (Brown, 2000:80).

Dengan demikian Watson mengambil posisi yang ekstrim terhadap salah satu pertanyaan psikologi yang

tertua dan paling mendasar yaitu masalah mengenai nature dan nurture. Watson menyatakan bahwa setiap

Page 6: Pemerolehan Bahasa

orang itu dibentuk menjadi apa adanya mereka kemudian dan bukan dilahirkan. Ia mengabaikan

pentingnya keturunan, dengan menyatakan bahwa perilaku ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan.

Namun pandangan Watson tersebut tidak pernah mendapat kesempatan untuk diuji lebih lanjut. Meskipun

demikian tulisan-tulisannya memberikan sumbangan yang cukup besar bagi elemen lingkungan yang

seringkali dihubungkan dengan behaviorisme.

B.F. Skinner

Seorang ahli bahasa lain yang juga berkecimpung dalam teori behaviorisme dan mengikuti jejak dan tradisi

Watson adalah B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika yang hidup pada tahun 1904 sampai dengan 1990.

Setelah memperoleh gelar doktor pada tahun 1931, Skinner menghabiskan sebagian besar karirnya di

Universitas Harvard tempat ia memeroleh kemasyuran atas penelitiannya terhadap pembelajaran pada

organisme rendah, sebagian besar pada tikus dan burung dara. Pada tahun 1950-an ia memperjuangkan

kembalinya pendekatan stimulus-respon milik Watson. Ia memiliki teori klasik yaitu Verbal Behavior

yang merupakan usaha lanjutan dari teori umum pembelajaran Skinner sendiri yang disebut dengan

pengkondisian operan (operant conditioning). Skinner melakukan eksperimen terhadap tikus dimana ia

melatih tikus untuk mendapatkan makanan dengan menekan pedal tertentu. Setelah tikus tersebut

mendapatkan pengetahuan bahwa jika ia ingin makan maka ia harus menekan pedal, kemudian proses

untuk memeroleh makanan dipersulit dengan menyalakan lampu dimana sebelum mendapatkan makanan

ia harus menekan pedal ketika lampu berkedi-kedip. Proses berikutnya adalah penekanan pedal sebanyak

dua kali ketika lampu berkedip-kedip yang juga dapat dipahami oleh tikus tadi (Dardjowidjojo, 2003:235).

Maka apa yang dimaksud dengan pengkondisian operan oleh Skinner adalah pengkondisian dimana

organisme (manusia) menghasilkan suatu respon, atau operan (sebuah kalimat atau ujaran atau aktifitas-

aktifitas yang beroperasi atas dasar lingkungan), tanpa adanya stimuli yang dapat diamati; operan tersebut

dijaga (dipelajari) melalui penguatan (reinforcement) (Brown, 2000:22-23). Teori Skinner ini

menerangkan bagaimana berbagai kecenderungan respon dicapai melalui pembelajaran. Jika respon diikuti

oleh konsekuensi yang menguntungkan atau disebut juga penguatan, maka respon tersebut menguat dan

jika respon menghasilkan konsekuensi negatif  atau hukuman), maka respon tersebut akan melemah.

Melalui eksperimennya tersebut, Skinner menemukan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk

pengetahuan mengenai bahasa merupakan kebiasaaan semata atau hal yang harus dibiasakan terhadap

subyek tertentu yang dilakukan secara terus-menerus dan bertubi-tubi (Dardjowidjojo, 2003:235).

Dalam bukunya Diluar Kebebasan dan Martabat (Beyond Freedom and Dignity) yang diterbitkan tahun

1971 Skinner menyatakan bahwa semua perilaku sepenuhnya diatur oleh rangsangan eksternal. Dengan

kata lain, perilaku manusia ditentukan oleh cara-cara yang dapat diprediksi oleh prinsip-prinsip hukum,

seperti halnya terbangnya anak panah yang diatur oleh hukum-hukum fisika. Maka, jika seseorang

meyakini bahwa tindakan-tindakannya merupakan hasil-hasil dari keputusan-keputusan secara sadar, maka

ia keliru. Menurut Skinner, semua manusia dikendalikan oleh lingkungannya, bukan oleh dirinya sendiri.

Page 7: Pemerolehan Bahasa

Selanjutnya, dengan mengikuti tradisi Watson, Skinner menunjukkan minat yang kecil terhadap apa yang

terjadi “di dalam” diri manusia. Ia menyatakan bahwa adalah sia-sia untuk berspekulasi terhadap proses-

proses kognitif pribadi yang tidak dapat diobservasi. Melainkan, ia memfokuskan pada bagaimana

lingkungan eksternal membentuk perilaku yang jelas. Ia menyatakan adanya determinisme, yang menilai

bahwa perilaku sepenuhnya ditentukan oleh stimuli lingkungan. Menurut pandangannya, orang cenderung

menunjukkan beberapa pola perilaku karena mereka memiliki kecenderungan-kecenderungan respon 

(response tendencies) yang stabil yang mereka capai melalui pengalaman. Kecenderungan-kecenderungan

respon tersebut dapat berubah di masa mendatang, sebagai hasil dari pengalaman baru, namun mampu

terus bertahan untuk menciptakan tingkat konsistensi tertentu dalam perilaku seseorang.

Lebih lanjut, Skinner memandang pribadi seorang individu sebagai sebuah kumpulan kecenderungan-

kecenderungan respon yang terikat pada berbagai situasi stimuli. Sebuah situasi tertentu dapat

dihubungkan dengan sejumlah kecenderungan respon  yang bervariasi dalam kekuatan tergantung pada

pengkondisian di masa lalu. Karena kecenderungan-kecenderungan respon secara konstan diperkuat atau

diperlemah oleh pengalaman-pengalaman baru, teori Skinner memandang perkembangan kepribadian

sebagai sebuah perjalanan yang berkelanjutan seumur hidup. Skinner tidak melihat alasan untuk membagi

proses perkembangan ke dalam beberapa tahap. Ia juga tidak memberikan importansi khusus pada

pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak.

Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, Skinner adalah seseorang yang mendukung nurture,

karena baginya, setiap ujaran yang diucapkan manusia sesungguhnya mengikuti satu bentuk yang bersifat

baik verbal maupun nonverbal dan perilaku bahasa semacam ini hanya dapat dipelajari manusia dari

lingkungan atau faktor-faktor eksternal yang ada di sekitarnya (Pateda, 1991:99). Dengan demikian ia

mempertegas dan memperjelas pandangan bahwa stimuli adalah hal yang terpenting dalam proses

pemerolehan bahasa karena pada dasarnya stimuli yang memengaruhi respon.

Dalam hubungannya dengan aliran behaviorisme sendiri, menurut Lyons (1977:122) terdapat prinsip atau

kecenderungan khusus yang menyatakan bahwa aliran ini cenderung memperkecil peran insting dan

dorongan-dorongan yang dibawa sejak lahir dan penekanan atas peran yang dimainkan oleh pembelajaran

dimana hewan dan manusia memperoleh pola-pola perilaku mereka; menekankan pada pemupukan

(nurture) dan bukan pada sifat alami (nature), lebih menekankan pada lingkungan ketimbang pada faktor

keturunan.

Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai

jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:

1.   Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi

memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang

tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.

Page 8: Pemerolehan Bahasa

2.   Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.

3.   Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.

4.   Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang

diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.

Nature

Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang beberapa ahli,

yaitu Noam Chomsky, Derek Bickerton dan David McNeill. Pada dasarnya yang dimaksud dengan proses

pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah bahwa proses pemerolehan bahasa ditentukan oleh

pengetahuan yang dibawa sejak lahir dan bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena dialami

atau dimiliki oleh semua manusia (Brown, 2000:34).

Noam Chomsky

Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan

seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat nurture

atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada

nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang

membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa

(language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada

anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236).

Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia menyama-ratakan proses pemerolehan

pengetahuan manusia dengan proses pemerolehan pengetahuan binatang, yaitu tikus dan burung dara yang

digunakan sebagai subyek dalam eksperimennya, karena menurut pendekatan nativis, bahasa bagi manusia

merupakan fenomena sosial dan bukti keberadaan manusia (Pateda, 1991:102). Selain itu ada pula alasan

lain mengapa pendekatan nativis merasa tidak setuju terhadap teori Skinner. Alasan tersebut berhubungan

dengan bahasa itu sendiri, yaitu menurut para nativis bahasa merupakan sesuatu yang hanya dimiliki

manusia sebab bahasa merupakan sistem yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan tergantung pada

struktur (Dardjowidjojo, 2003:236). Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan

bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak

dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan

pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).

Derek Bickerton

Page 9: Pemerolehan Bahasa

Pendukung lain dari proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah Derek Bickerton (Brown,

2000:35). Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai bekal yang dibawa manusia sejak lahir (innateness)

dan mendapatkan beberapa bukti yang cukup signifikan. Bukti-bukti tersebut mengungkapkan  bahwa

manusia itu sesungguhnya telah “terprogram secara biologis” untuk beralih dari satu tahap kebahasaan ke

tahap kebahasaan berikutnya dan bahwa manusia terprogram sejak lahir untuk menghasilkan sifat-sifat

kebahasaan tertentu pada usia perkembangan yang tertentu pula (Brown, 2000:35). Dengan demikian

pemerolehan bahasa tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan pada anak namun ditentukan oleh

proses yang berjalan dengan sendirinya sejak anak lahir ke dunia seiring dengan kematangan pengetahuan

bahasa dan usia anak tersebut.

David McNeill

Dalam Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD terdiri dari empat properti kebahasaan bawaan, yaitu:

1.   Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam

lingkungan

2.   Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang dapat diperhalus atau

diperbaiki di kemudian hari

3.   Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis

sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan

4.   Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaan yang terus

berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana dari masukan kebahasaan yang ada.

Sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia mempelajari bahasa, Bell (1981:24) juga berusaha

mengajukan beberapa pandangan Chomsky, yaitu:

1.   Aktivitas yang terjadi di dalam pikiranlah, misalnya cara memproses, menyimpan dan mengambil

pengetahuan dari simpanan tersebut, yang merupakan pusat perhatian utama dan bukan perwujudan secara

fisik dari pengetahuan.

2.   Pembelajaran merupakan masalah “penerimaan secara masuk akal” dari data yang diterima otak

melalui panca indera.

3.   Kemampuan individu untuk merespon situasi baru dimana jika hanya berbekal kebiasaan stimuli-

respon semata tidak akan dapat membuat individu tersebut siap.

4.   Pembelajaran merupakan suatu proses mental karena adalah lebih baik untuk mengetahui dan tidak

dapat mengungkapkannya dengan kata-kata daripada berkata-kata tanpa pemahaman.

Page 10: Pemerolehan Bahasa

Contoh Kasus Nature dan Nurture

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata

sama-sama diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa manusia.

1. Secara umum bayi memberikan reaksi dan menunjukkan aktivitas berbahasa terhadap lingkungan di

sekitarnya meskipun ia tidak menyadari aktivitas tersebut. Ia mencoba mengeluarkan sejumlah potensi

berupa bunyi bahasa atau kata dan secara teratur ia melakukan pengulangan. Jika tidak mendapat respon

berupa pengakuan dari lingkungannya, seperti ayah, ibu atau saudaranya, maka bayi mengubah potensi

tersebut dan mengulangi proses yang sama sampai ia mendapatkan pengakuan dari lingkungan (Pateda,

1991:102).

2.  Di sebuah desa di Perancis, pada tahun 1800, ditemukan anak laki-laki berusia 11-12 tahun yang tinggal

di hutan dan sering menyusup ke desa untuk mencari makan. Ketika tertangkap dan dididik oleh direktur

Institut Tuna Rungu yaitu Dr. Sicard, anak tersebut tidak dapat berbicara seperti manusia lain. Kemudian

ia dididik oleh ahli lain, Jean-Marc-Gaspard Itard. Dibawah asuhan dan didikan yang baru ini, pola laku

kehidupan Victor, nama yang diberikan pada anak laki-laki tersebut, dapat berubah namun tetap tidak

mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:236-237).

3.  Di Los Angeles, pada tahun 1970, ditemukan seorang anak perempuan yang disekap oleh orang tuanya

di gudang belakang rumahnya. Selama 13 tahun ia tinggal dan sering disiksa ayahnya di dalam gudang

tersebut, dan hanya diberi makan namun tidak pernah diajak berbicara oleh orang tuanya. Setelah

diselamatkan, anak perempuan tersebut diberi nama Ginie kemudian dilatih agar dapat berbahasa selama 8

tahun, namun ternyata sama halnya dengan Victor pada kasus sebelumnya, ia tetap tidak mampu

menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:237).

4.   Di Ohio, seorang anak perempuan berusia 6,5 tahun, yaitu Isabelle, diasuh oleh ibunya yang tuna

wicara. Ia kemudian diasuh oleh Marie Mason, seorang pimpinan rumah sakit, dengan cara yang normal,

dan ternyata Isabelle mampu menggunakan bahasa seperti anak-anak normal lainnya (Dardjowidjojo,

2003:237). Pada contoh kasus pertama yang berhubungan dengan bayi pada umumnya, tampak bahwa

memang manusia mempunyai bekal bawaan atau nature untuk menguasai bahasa dan dengan dibantu

nurture maupun pengaruh dari lingkungan seperti orang tua atau saudaranya, bayi tersebut mampu

mengembangkan bekal bawaannya tersebut sampai akhirnya ia dapat menggunakan bahasa dengan

sempurna. Sedangkan pada contoh kasus kedua dan ketiga, meskipun Victor dan Isabelle juga memiliki

kemampuan bawaan untuk menguasai bahasa atau nature, namun karena tidak adanya pengaruh dari

lingkungan semenjak mereka dilahirkan atau nurture, Victor tinggal di hutan dan Ginie yang meskipun

tinggal dengan orangtuanya sendiri namun hanya disiksa dan tidak pernah diajak bicara, maka usaha yang

diupayakan ketika mereka telah berusia lebih dari 10 tahun agar kedua anak tersebut dapat menggunakan

bahasa menjadi sia-sia belaka. Untuk kasus keempat, yaitu Isabelle, proses pemerolehan bahasa yang

Page 11: Pemerolehan Bahasa

bersifat nurture yang diberikan di usia yang tergolong lebih muda daripada Victor dan Ginie, yaitu 6,5

tahun, ternyata memberikan bantuan yang cukup besar terhadap kemampuan bawaannya atau nature

sehingga ia mampu menggunakan bahasa. Dengan demikian tampak bahwa antara sifat pemerolehan

bahasa nature dan nurture ternyata yang satu tidaklah lebih penting dari yang lain karena tanpa satu sama

lain, pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dapat menemui kegagalan.

Universal dalam pemerolehan bahasa

Pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan dengan konsep universal. Ada tiga komponen yang universal,

yaitu: komponen fonologi, sintaksis dan semantik.

1. Universal pada komponen fonologi

Menurut Roman Jakobson, seperti yang dikutip oleh Dardjowidjojo, dalam hal vokal bunyi pertama yang

keluar waktu anak mulai berbicara adalah bunyi /a/, /i/, dan /u/. Hal ini dikarenakan ketiga bunyi ini

membentuk sistem vokal minimal (minimal vocalic system), sehingga bahasa manapun di dunia ini pasti

memiliki minimal tiga vokal ini. Dalam hal konsonan, yang pertama muncul adalah oposisi antara bunyi

oral dengan bunyi nasal (/p-b/ dan /m-n/) lalu bunyi bilabial dengan dental (/p/-/t/). Sistem ini dinamakan

sistem konsonantal minimal (minimal consonantal system).

Laws of Irreversible Solidarity yang diajukan Jakobson, seperti yang ditulis Dardjowidjojo, sebagai

berikut:

a. Bila suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat

dental dan bilabial. Contoh: bila bahasa X memiliki bunyi /k/ dan /g/, bahasa tersebut pasti memilki /t/-/d/

dan /p/-/b/.

b. Bila suatu bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat. Contoh:

bahasa Y memiliki /f/ dan /v/, bahasa itu pasti memiliki /p/-/b/, /t/-/d/ dan /k/-/g/.

c. Bila suatu bahasa memiliki konsonan afrikat, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan frikatif dan

konsonan hambat. Contoh: bahasa Z memiliki /c/-/j/, bahasa itu pasti memiliki /s/, /t/ dan /d/.

Bunyi yang dikuasai anak mengikuti urutan universal di atas. Karena /m/ dan /a/ lebih mudah, maka bunyi

ini akan keluar awal dari anak. Itulah sebabnya kata awal yang keluar dari anak adalah /mama/, yang

diartikan sebagai ayah dan ibu.

2. Universal pada komponen sintaktik dan semantik

Pada komponen sintaktik ada pola kalimat yang diperoleh secara universal. Dimanapun anak itu berada, ia

akan selalu mulai dengan ujaran satu kata, kemudian berkembang menjadi dua kata, setelah itu, tiga kata

Page 12: Pemerolehan Bahasa

atau lebih. Pada komponen semantik, macam kata yang dikuasai dan berapa jumlahnya tergantung pada

keadaan masing-masing anak. Anak petani di desa mungkin lebih awal menguasai kata cangkul dan sabit

dibandingkan kata komputer atau kamera. Jumlah kata yang akan dikuasai mungkin tidak sebanyak anak

perkotaan dari keluarga mampu yang dapat membelikan buku, mainan untuk anaknya. Urutan universal

dalam komponen ini adalah prinsip sini dan kini (here and now). Maksudnya, dimanapun juga kosakata

yang dikuasai anak adalah objek yang ada di sekelilingnya dan yang saat itu ada. Anak belum dapat

membayangkan benda yang tidak ada, atau peristiwa yang sudah atau belum terjadi. Anak juga mengikuti

prinsip universal yang disebut: penggelembungan makna (overextension). Jika ia diperkenalkan dengan

suatu benda yang bundar dan disebut bahwa itu bulan, maka sewaktu ia melihat jam atau gambar matahari,

ia akan menamakannya bulan.

Pemerolehan Bahasa Kedua dan Bilingual

Istilah bilingual erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa kedua. Diebold, seperti dikutip oleh Chaer dan

Agustina, menyatakan bahwa bilingualisme pada tingkat awal atau disebut incipient bilingualism adalah

bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, atau lebih spesifiknya anak-anak, yang sedang mempelajari

bahasa kedua pada tahap awal. Pada tahap ini, walaupun bilingualisme masih sangat sederhana tapi tidak

dapat diabaikan karena pada tahap inilah letak dasar bilingualisme selanjutnya. Lebih lanjut diuraikan oleh

Chaer dan Agustina bahwa bilingualisme adalah rentangan bertahap yang dimulai dari menguasai B1

ditambah mengetahui sedikit akan B2, lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap, sampai pada

akhirnya menguasai B2 sama baiknya dengan B1. Menurut Perez & Torrez-Guzman, seperti yang dikutip

dalam sebuah blog yang ditulis oleh Beverly Clark[8], tidak ada dampak buruk bagi anak-anak yang

bilingual. Perkembangan pola bahasa mereka sama dengan anak-anak yang monolingual. Dikatakan lebih

lanjut bahwa anak-anak yang mengembangkan kecakapannya dalam menggunakan bahasa ibu mereka

untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, memecahkan masalah dan berpikir dapat dengan mudah

mempelajari bahasa kedua dalam cara yang sama.

Walaupun demikian ada beberapa variasi dalam seberapa baiknya dan seberapa cepatnya seseorang

menguasai bahasa kedua. Tidak ada bukti bahwa dalam mempelajari bahasa kedua, anak mendapat lebih

banyak keuntungan dibandingkan orang dewasa. Ketika seorang anak belajar bahasa kedua, ia akan tetap

kesulitan dalam pengucapan, tata bahasa, perbendaharaan kata dan mungkin saja tidak akan pernah benar-

benar fasih dalam bahasa tersebut. Tidak ada cara yang mudah untuk menjelaskan mengapa seseorang

dapat dengan mudah menguasai bahasa kedua dan mengapa yang lain tidak. Bialystok, menurut Clark,

menyatakan bahwa pendidikan, sosial, perbedaan individual, kepribadian, usia dan motivasi dapat

memengaruhi pembelajaran bahasa.

Linda M. Espinosa[9] dalam makalahnya, mengutip Bialystok, Genesee dan Hakuta & Pease-Alvarez,

menyatakan bahwa adanya peningkatan dalam penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yang

Page 13: Pemerolehan Bahasa

memperlihatkan bahwa banyak anak mampu belajar dua bahasa dan kemampuan bilingual yang mereka

miliki memberi keuntungan dalam hal kognitif, budaya dan ekonomi.

Lebih lanjut Espinosa, yang masih mengutip pendapat Bialystok, menulis bahwa kemampuan bilingual

telah dikaitkan dengan kesadaran yang lebih besar dan kesensitivitasan pada struktur linguistik, sebuah

kesadaran yang ditransfer dan digeneralisasi pada literasi awal dan kemampuan nonverbal. Anak-anak

yang mempunyai kesempatan untuk bicara dua bahasa harus didukung untuk tetap menjaga keduanya,

sehingga mereka dapat menikmati keuntungan status bilingual. Anak-anak yang di rumahnya tidak

menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu harus didukung untuk mengolah bahasa rumah mereka

sebaik bahasa Inggris. Menjaga bahasa rumah bukan hanya penting untuk akademik dan perkembangan

kognitif anak di masa mendatang, tapi juga kemampuan anak untuk menciptakan identitas budaya yang

kuat, mengembangkan dan melanjutkan ikatan yang kuat dengan keluarga, dan maju dalam dunia yang

multilingual dan global ini.

Simultaneous vs. Sequential dalam Pemerolehan Bahasa Kedua

Barry McLaughlin, seperti yang dikutip Espinosa, telah membuat perbedaan antara anak yang belajar

bahasa kedua simultaneously or sequentially. Ketika seorang anak belajar dua bahasa simultaneously,

contohnya: sebelum usia tiga tahun, jalur perkembangan mirip dengan bagaimana anak monolingual

memperoleh bahasa. Tetapi, ada beberapa ketidaksetujuan dalam literatur tentang hasil kemampuan

bilingual yang lebih rendah dalam perkembangan kosakata, dibandingkan anak yang mempelajari bahasa

tunggal. Ketika anak memeroleh dua bahasa dan menjadi bilingual, salah satu bahasa mendominasi yang

lainnya. Ini adalah hal yang normal. Hal yang jarang terjadi ketika kedua bahasa menjadi seimbang di

dalam perkembangannya.

Perkembangan bahasa dari anak yang mempelajari bahasa kedua setelah usia tiga tahun, atau sequentially,

mempunyai tahapan-tahapan yang berbeda dan sangat tergantung dengan karakteristik serta lingkungan

belajar bahasa anak. Pada tingkat perkembangan ini, dasar-dasar bahasa pertama telah anak kuasai. Mereka

mengetahui struktur dari satu bahasa, tapi sekarang mereka harus mempelajari tata bahasa, perbendaharaan

kata, dan sintaks yang spesifik dari sebuah bahasa yang baru. Menurut Tabors dan Snow seperti yang

ditulis Espinosa, sequential pemerolehan bahasa kedua mengikuti perkembangan empat tahapan yang

berkesinambungan:

1. Penggunaan bahasa rumah

Ketika seorang anak telah menjadi kompeten dalam satu bahasa dan diperkenalkan pada sebuah suasana

dimana semua orang berbicara dalam bahasa yang berbeda, misalnya seorang anak  yang sedang belajar

bahasa Inggris (English Language Learner) memasuki kelas pra-sekolah yang didominasi oleh anak-anak

yang berbahasa Inggris, anak tersebut akan sering menggunakan bahasa rumahnya walaupun  yang lain

Page 14: Pemerolehan Bahasa

tidak mengerti. Periode ini bisa pendek atau dalam beberapa kasus, anak tersebut akan terus berusaha

membuat yang lain mengerti apa yang dia bicarakan untuk beberapa bulan ke depan.

a. Periode nonverbal

Setelah anak menyadari bahwa berbicara dalam bahasa rumahnya tidak akan berguna, mereka memasuki

sebuah periode dimana mereka jarang berbicara dan menggunakan cara nonverbal untuk berkomunikasi.

Ini adalah periode pembelajaran bahasa aktif untuk anak tersebut; ia sibuk mempelajari suara dan kata-kata

bahasa baru (receptive language) tapi tidak secara verbal menggunakan bahasa yang baru untuk

berkomunikasi. Ini adalah tahap yang paling penting dari pembelajaran bahasa kedua yang mungkin

bertahan lama atau sebentar. Asesmen bahasa manapun yang dilakukan pada tahap perkembangan ini

dapat menghasilkan informasi menyesatkan yang merendahkan kapasitas kemampuan bahasa anak

sesungguhnya.

b. Telegraphic and Formulaic Speech

Sekarang anak siap untuk menggunakan bahasa baru dan melakukannya lewat telegraphic speech yang

melibatkan penggunaan formula. Ini mirip dengan anak monolingual yang sedang mempelajari kata-kata

atau frase yang mudah untuk mengungkapkan keseluruhan pemikirannya. Misalnya saja, seorang anak

mungkin saja mengatakan, “me down” mengindikasikan bahwa ia ingin turun ke bawah. Formulaic speech

merujuk pada potongan kata-kata yang belum dianalisa atau bahkan terkadang suku kata yang dirangkai

yang merupakan pengulangan yang telah didengar anak. Misalnya saja, Tabors (1997) melaporkan bahwa

anak  English Language Learner (ELL) dalam sebuah Kelompok Bermain, yang ia sering amati,

menggunakan frase “Lookit” untuk mengajak anak yang lain bermain. Ini adalah frase yang anak-anak

dengar dari orang lain yang membantu tercapainya tujuan sosial mereka, walaupun anak-anak tersebut

tidak mengerti arti dari kata2 tersebut.

c. Bahasa yang produktif

Sekarang anak sudah mulai meninggalkan telegraphic atau formulaic utterances untuk menciptakan frase

dan pemikiran mereka sendiri. Anak dapat menggunakan tata bahasa yang paling mudah seperti “I wanna

play”, tapi setelah itu ia akan memperoleh kontrol pada struktur dan perbendaharaan kata dari bahasa baru.

Kesalahan penggunaan bahasa adalah hal yang biasa dalam periode ini karena anak-anak sedang

bereksperimen dengan bahasa baru mereka dan mempelajari aturan dan strukturnya.

Seperti perkembangan manapun yang berkesinambungan, tahapan2 ini fleksibel dan tidak mengikat.

McLaughlin dkk (McLaughlin, Blanchard, Osanai, 1995) memilih untuk mendeskripsikan proses ini

seperti gelombang, “….bergerak ke dalam dan ke luar, umumnya bergerak menuju satu arah, tapi

melambat, lalu kemudian bergerak maju lagi.

Page 15: Pemerolehan Bahasa

Anak-anak sequential bilingual dapat mempunyai pola perkembangan yang berbeda dibandingkan

monolingual dalam beberapa aspek perkembangan bahasa. Ini termasuk perbendaharaan kata, kemampuan

membaca serta menulis dan komunikasi interpersonal. Anak ELL (English Language Learner) biasanya

mempunyai perbendaharaan kata yang lebih sedikit dalam bahasa Inggris dan bahasa rumah mereka

dibandingkan anak yang monolingual. Ini mungkin saja terjadi karena kapasitas memori mereka yang

terbatas. Jika mereka menggunakan bahasa ibu di rumah dan menggunakan bahasa Inggris di sekolah, anak

mungkin mengetahui beberapa kata dalam bahasa yang satu tapi tidak di bahasa lainnya. Misalnya,

seorang anak mungkin mempelajari kata-kata: chalk, line, recess, dsb. dalam bahasa Inggris di sekolah,

tapi tidak mengetahui padanan katanya dalam bahasa Indonesia karena di rumah tidak pernah

membicarakan hal itu. Tapi ketika total seluruh kata dalam kedua bahasa dijadikan satu, ini dapat jadi

sama dengan jumlah kata yang anak-anak monolingual ketahui.

Code Switching dan Language Mixing

Penting diketahui oleh para pendidik bahwa code switching (mengganti bahasa dalam satu kalimat ke

kalimat lain) dan language mixing (memasukkan satu kata dalam bahasa lain ketika berbicara dalam

bahasa yang lain) adalah normal dalam pemerolehan bahasa kedua. Ini tidak berarti anak tidak dapat

membedakan kedua bahasa, tapi karena anak mungkin saja kekurangan kata dalam bahasa yang satu atau

kedua-duanya sehingga sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka ucapkan. Penelitian

menunujukkan bahwa orang dewasa mencampurkan kedua bahasa untuk memperlihatkan dan menekankan

identitas kebudayaan mereka. Code switching dan language mixing adalah hal yang normal dan alami

dalam pemerolehan bahasa kedua sehingga orang tua maupun pendidik tidak perlu khawatir tentang hal

ini. Yang ditekankan disini bukanlah tentang aturan bahasa yang kaku tapi tentang bagaimana

meningkatkan komunikasi dalam bahasa-bahasa tersebut.

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:

Istilah pemerolehan berbeda dari pembelajaran, tetapi hal ini harus dilihat dari beberapa hal seperti:

suasana belajar, usia anak sewaktu memeroleh bahasa kedua dan kesadaran anak akan pembelajaran. Baik

nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama penting karena yang satu mendukung

keberadaan yang lain. Memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature

semata tidak banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan. Sebaliknya, tanpa

nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh jika manusia tidak dibekali

dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa. Namun tentunya kenyataan bahwa baik nature

maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting dalam pemerolehan bahasa

manusia sebaiknya memerlukan lebih banyak lagi pembuktian baik melalui penelitian maupun eksperimen

terhadap manusia, khususnya terhadap bagaimana manusia memelajari bahasa yang merupakan salah satu

Page 16: Pemerolehan Bahasa

ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Perkembangan bahasa anak yang bilingual

tidak jauh berbeda dari yang monolingual. Tapi mereka harus tetap didorong untuk menjaga kefasihan

kedua bahasa tersebut. Anak yang belajar dua bahasa simultaneously, jalur perkembangannya mirip

dengan anak monolingual memperoleh bahasa. Sedangkan perkembangan bahasa dari anak yang

mempelajari bahasa kedua sequentially, mempunyai tahapan-tahapan yang berbeda dan tergantung dengan

karakteristik serta lingkungan belajar bahasa anak.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

http://ceep.crc.uiuc.edu/pubs/katzsym/clark-b.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Second_language_acquisition

http://sccac.lacoe.edu/cpin/network_meetings/2007Jan18/From%20Caterpillar%20to%20Butterfly/SecondLanguageAcquisitionLEspinosa.pdf

http://www.best4future.com/blog/how-children-acquire-second-languages

[1] http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/sebuah_paradigma_kajian_bahasa_kedua.pdf.

[2] http://www.learnenglish.de/britishnutre/formemanner

[3] Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Second_language_acquisition

[5] Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

[6] http://www.best4future.com/blog/how-children-acquire-second-languages

[7] Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R.D. 2008. Human Development. New York: McGraw-Hill

[8] http://ceep.crc.uiuc.edu/pubs/katzsym/clark-b.html

[9] http://sccac.lacoe.edu/cpin/network_meetings/2007Jan18/From%20Caterpillar%20to%20Butterfly/SecondLanguageAcquisitionLEspinosa.pdf

Dari website : http://abdiplizz.wordpress.com/2011/03/04/pemerolehan-bahasa-kedua/