12
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131 Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 1 PEMBERIAN IZIN DARI SUAMI TERHADAP ISTRI YANG BEKERJA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM *Oleh: Susiana, MA Abstract : This journal was conducted to determine how the wife against the husband’s permission to work. In other words how to know Islamic legal review of the lagality of permits husbands against wives who work happens to be an issue that is considered cause diffrences among scholars, some think a wife should work outside the home and there are thought not be in this case the frequent conflicts in the household. The legality oh the husband’s permission is in need at the time of wives out of the house, therefore examines the concept of Islamic law permits a husband to a wife who works. The legality of the permit is in accordance with Islamic law. Keyword : Wives, Legality, and career woman Pendahuluan Dalam Islam pembentukan sebuah keluarga dengan menyatukan seorang pria dan wanita diawali dengan suatu ikatan suci, yakni ikatan perkawinan. Al-Qur’an menamainya dengan kata mitsaqan ghalizhan (janji yang kuat). Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari pasangan suami isteri serta perwujudan dan hak-hak serta kewajiban bersama. Hak dan kewajiban seorang suami istri merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga. Mengingat keharmonisan sebuah rumah tangga sangat ditentukan sejauhmana kedua pasangan tersebut dapat melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. Keharmonisan dalam rumah tangga akan terelalisasi selama suami dan istri melaksanakan dan tetap konsisten dengan kewjiban masing-masing. Selama ini gagalnya rumah tangga terjadi lantaran masing-masing tidak mengetahui apa kewajiban dan apa haknya, sehingga karena ketidaktahuan itulah baik suami maupun istri kurang memahami secara jelas apa yang harus dilakukannya. Demikian juga, gagalnya suatu rumah tangga juga disebabkan kedua pasangan hanya memperhatikan hak-haknya saja tampa memperhatikan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Yang terjadi kemudian adalah ketimpangan dan ketidakseimbangan, lantaran hak lebih besar dituntut daripada kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, banyak sekali ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami istri, dimana budaya patriarkhi yang masih mendominasi dunia membuat kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami dan istri belum dapat terpenuhi dalam arti yang seimbang. Masih tetap saja terjadi ketidaksimbangan antara keduanya. Dewasa ini, banyak perkembangan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Banyak problematika yang terjadi dalam hubungan suami istri. Dalam perkembangannya Keberadaan dan eksistensi seorang istri tidak hanya dalam wilayah domestik keluarga (kegiatan rumah tangga). Namun, realitas yang berkembang seorang istri banyak yang mengisi hari-harinya dengan aktifitas diluar rumah, baik dalam urusan kerja maupun kegiatan sosial. Dari perkembangan yang cukup signifikan mengenai keberadaan dan peran serta seorang wanita dalam dunia kerja. Secara tidak langsung akan menimbulkan dampak bagi keutuhan rumah tangga yang dijalin. Apalagi ketika menghadapi kenyataan bahwa pendapatan seorang istri lebih besar dari pada seorang suami, dan istri yang lebih banyak mengeluarkan uang untuk menopang biaya kehidupan rumah tangga.

PEMBERIAN IZIN DARI SUAMI TERHADAP ISTRI YANG … · yang terjadi dalam hubungan suami istri. Dalam perkembangannya Keberadaan dan eksistensi seorang istri tidak hanya dalam wilayah

  • Upload
    lekhanh

  • View
    258

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 1

PEMBERIAN IZIN DARI SUAMI TERHADAP ISTRI YANG BEKERJA

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

*Oleh: Susiana, MA

Abstract :

This journal was conducted to determine how the wife against the husband’s permission to work. In other words how to know Islamic legal review of the lagality of permits husbands against wives who work happens to be an issue that is considered cause diffrences among scholars, some think a wife should work outside the home and there are thought not be in this case the frequent conflicts in the household. The legality oh the husband’s permission is in need at the time of wives out of the house, therefore examines the concept of Islamic law permits a husband to a wife who works. The legality of the permit is in accordance with Islamic law.

Keyword : Wives, Legality, and career woman

Pendahuluan

Dalam Islam pembentukan sebuah

keluarga dengan menyatukan seorang pria dan

wanita diawali dengan suatu ikatan suci, yakni

ikatan perkawinan. Al-Qur’an menamainya

dengan kata mitsaqan ghalizhan (janji yang

kuat). Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari

pasangan suami isteri serta perwujudan dan

hak-hak serta kewajiban bersama. Hak dan

kewajiban seorang suami istri merupakan hal

penting yang harus diperhatikan dalam

kehidupan berumah tangga. Mengingat

keharmonisan sebuah rumah tangga sangat

ditentukan sejauhmana kedua pasangan

tersebut dapat melaksanakan tugas dan

kewajiban masing-masing. Keharmonisan

dalam rumah tangga akan terelalisasi selama

suami dan istri melaksanakan dan tetap

konsisten dengan kewjiban masing-masing.

Selama ini gagalnya rumah tangga

terjadi lantaran masing-masing tidak

mengetahui apa kewajiban dan apa haknya,

sehingga karena ketidaktahuan itulah baik

suami maupun istri kurang memahami secara

jelas apa yang harus dilakukannya. Demikian

juga, gagalnya suatu rumah tangga juga

disebabkan kedua pasangan hanya

memperhatikan hak-haknya saja tampa

memperhatikan kewajiban yang seharusnya

dilaksanakan. Yang terjadi kemudian adalah

ketimpangan dan ketidakseimbangan,

lantaran hak lebih besar dituntut daripada

kewajiban yang seharusnya dilaksanakan.

Dalam pelaksanaannya, banyak sekali

ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan

hak dan kewajiban antara suami istri, dimana

budaya patriarkhi yang masih mendominasi

dunia membuat kesetaraan dalam pemenuhan

hak dan kewajiban antara suami dan istri

belum dapat terpenuhi dalam arti yang

seimbang. Masih tetap saja terjadi

ketidaksimbangan antara keduanya. Dewasa

ini, banyak perkembangan yang terjadi dalam

sebuah rumah tangga. Banyak problematika

yang terjadi dalam hubungan suami istri.

Dalam perkembangannya Keberadaan dan

eksistensi seorang istri tidak hanya dalam

wilayah domestik keluarga (kegiatan rumah

tangga). Namun, realitas yang berkembang

seorang istri banyak yang mengisi hari-harinya

dengan aktifitas diluar rumah, baik dalam

urusan kerja maupun kegiatan sosial.

Dari perkembangan yang cukup

signifikan mengenai keberadaan dan peran

serta seorang wanita dalam dunia kerja. Secara

tidak langsung akan menimbulkan dampak

bagi keutuhan rumah tangga yang dijalin.

Apalagi ketika menghadapi kenyataan bahwa

pendapatan seorang istri lebih besar dari pada

seorang suami, dan istri yang lebih banyak

mengeluarkan uang untuk menopang biaya

kehidupan rumah tangga.

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 2

Pengertian Izin (suami terhadap istri yang bekerja) Menurut Pendapat Para Ulama

Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak

hanya melingkupi dan mengatur perbuatan

manusia dalam hubungannya dengan dirinya

sendiri, sesama manusia dan alam, termasuk

di dalamnya tentang bekerja yang tampaknya

bersifat duniawi. Bekerja adalah segala usaha

maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat

gerak anggota tubuh ataupun akal untuk

menambah kekayaan, baik dilakukan secara

perseorangan ataupun secara kolektif, baik

untuk pribadi ataupun untuk orang lain

dengan menerima gaji (Yusuf Qardhawi,

1997:105).

Dalam dunia ekonomi, bekerja

merupakan sendi utama produksi selain alam

dan modal. Hanya dengan bekerja secara

disiplin dan etos yang tinggi, produktivitas

suatu masyarakat menjadi tinggi, semakin

tinggi produktivitas, semakin .besar

kemungkinannya bagi masyarakat itu untuk

mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

Manusia diciptakan Allah SWT. Sebagian

makhluk yang mempunyai kebutuhan berupa

makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan

keturunan. Sementara itu Allah SWT tidak

menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dalam

bentuknya yang siap makan, siap minum atau

siap pakai. Allah SWT menyediakan semua

kebutuhan itu, tetapi manusia harus bekerja

untuk mendapatkannya, tak terkecuali para

nabi. Firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat

20 yang berbunyi:

“Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sunnguh memakan makan dan berjalan di pasar-pasar, dan kami jadikan sebahagian kamu

cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20).

Namun sudah menjadi sunnatullah

bahwa rezeki semua makhluk hidup,

sebagaimana terungkap dalam firman Allah

SWT:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Laufu Mahfudz)”.

Namun sudah menjadi sunnatullah

bahwa rezeki itu baru bisa dicapai melalui

bekerja. Al-Qur’an Surat Al-Mulk ayat 15

secara eksplisit menegaskan hal ini:

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudqah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.

Seiring dengan itu perlu

ditumbuhkankan suatu kesadaran akan

pentingnya kapasitas bekerja dengan berusaha

bagi setiap individu baik pria maupun wanita,

karena wujud kemitraan pria dan wanita

berhajat kepada adanya kerjasama dan

keterpaduan dalam memikul tanggung jawab

mereka. Setelah mencermati berbagai motif

bekerja bagi wanita maka penelusuran

selanjutnya diarah pada pandangan Islam

terhadap bekerja wanita. Sebagaimana

termaktub dalam uraian-uraian terdahulu,

bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban

yang sama dengan pria, wanita mempunyai

peluang bekerja sebagaimana pria. Cukup

banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadist Nabi

yang memberikan pemahaman esensial :

bahwa Islam mendorong wanita maupun pria

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 3

untuk bekerja. Dalam surat An-Nisa’ ayat 32

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu iru hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa

dalam beribadah maupun berkarya, wanita

memperoleh imbalan dan pahala yang tidak

berbeda dengan pria. Islam tidak

membedakan pengakuan dan apresiasi

terhadap kinerja atas dasar jenis kelamin.

Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan

dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal

diserta do’a. Dengan demikian, jelaskan

kiranya bahwa wanita bisa bekerja dan dapat

mencapai prestasi sama dengan pria atau

bahkan melabihi, bergantung pada usaha dan

do’anya. Penegasan Allah SWT bahwa wanita

dan pria diberi hak dan peluang yang sama

baik dalam beramal, bekerja maupun

berprestasi dapat disimak pula dalam surat

An-Nisa’ ayat 124:

”Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki mapun wanita sedang ia orang yang beriman, maka

mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”

Beberapa ayat al-qur’an tersebut cukup

menjadi bukti bahwa ajaran Islam menjunjung

tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan

motivasi yang kuat agar para muslimah

mampu bekerja di segala bidang sesuai dengan

kodrat dan martabatnya. Islam membebaskan

wanita dari belenggu kebodohan,

ketertinggalan dan perbudakan. Dengan

demikian, Islam memang agama pembebasan

dari perbudakan antar manusia maupun hawa

nafsunya. Konsep ini selaras dengan prinsip

kebebasan yang dianut. Hanya saja, melalui

Islam manusia dituntun hidup bebas yang

sesuai dengan tuntunan Tuhan (Amanat

Nasional, 1999).

Masalah yang timbul kini berkaitan

dengan keterlibatan wanita dalam dunia kerja

yang ruang geraknya di sektor publik,

sedangkan di sisi lain wanita sebagai ra’iyah fi

baiti zaujiha (penanggung jawab dalam

masalah-masalah intern rumah tangga).

Dalam hal legalitas izin suami terhadap istri

bekerja menimbulkan berbeda pendapat

ulama. Menurut Abbas Mahmud Al-Aqqa’d

misalnya tidak memperbolehkan wanita (istri)

bekerja di luar rumah. Alasannya karena pria

telah diberi kelebihan kemampuan dalam

menghadapi hidup dari para wanita. Karena

itu “kerajaan” wanita terletak di rumah tangga,

meskipun ia memiliki kesanggupan intelektual

maupun fisik yang sama dengan pria, namun

dalam kondisi tertentu wanita harus mundur

dariperjuangan hidup selama hamil,

melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila

wanita terpaksa harus mencari nafkah sendiri,

maka Al-Aqqa’d membolehkannya bekerja.

(Abbas Mahmud, Tt: 124). Mustafa al-Siba’i

sependapat sependapat dengan Al-Aqqad,

yakni membolehkan wanita bekerja manakala

tidak ada seseorang yang menjamin nafkah

padanya. Itupun hanya pekerjaan-pekerjaan

tertentu di rumah terutama bila yang

bersangkutan mempunyai anak. (Mustafa Al-

Siba’i, 1984: 64)

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 4

Dalam kegiatan sosial maupun politik,

meskipun tidak ada larangan secara eksplisit,

namun pada masa Rasul Saw dan masa

sahabat tidak ada wanita yang berprofesi

sebagai politikus. Keterlibatan mereka di

medan perang untuk menjadi perawat dan juru

masak sekedar partisipasi dan bukan

pemegang posisi strategis. Ia beranggapan

bahwa wanita yang bekerja di luar rumah,

lebih banyak mudharatnya dibandingkan

manfaat yang diraihnya, yaitu mendapatkan

fitnah yang dapat merusak sendi-sendi

kehidupan rumah tangganya. (Mustafa Al-

Siba’i,1984) Pendapat M. Muthabari meskipun

dengan reasoning yang berbeda. Pertama, ia

melakukan pemilihan fungsi suami dan istri

dalam rumah tangga. Suami berfungsi sebagai

pencari nafkah sedangkan istri harus tinggal di

rumah untuk mengatur urusan rumah tangga

dan pendidikan anak. Kedua, wanita

membutuhkan pria dalam masalah material

dan finansial, sedangkan pria membutuhkan

wanita dari aspek rohani, karena itu wanita

dilarang bekerja di luar rumah agar

kecantikannya tidak pudar guna

menyenangkan suami. (Murtaza Murthabari,

1985:182)

Abdurrahman Taj berpendapat bahwa

seorang istri bekerjasehari penuh atau

sebagian waktu siang, kemudian pada malam

hari berada di rumah (suaminya) atau bekerja

di malam hari dan menggunakan sisa waktu

malamnya bersama suami maka apabila pihak

suami wajib memberinya (istri) nafkah,

sebaliknya manakala ia (suami)tidak rela maka

ia tidak (wajib) pikiran untuk mencegahnya

dan manakala istrinya menolak untuk berhenti

kerja, maka gugurlah kewajiban suami

memberi nafkah.

Rafi’at at-Tahtwi menyatakan bahwa

tidak perlu ada diskriminasi atau perbedaan

dalam memberikan kesempatan memperoleh

pendidikan antara anak wanita dan pria, agar

dalam mengarungi kehidupannya wanita

serasi mengimbangi pria terutama pasangan

hidupnya. Dengan pendidikan wanita

diharapkan dapat memperoleh pekerjaan yang

layak sesuai dengan kemampuan dan

kodratnya, sehingga hidupnya produktif, tidak

stress atau menjadi penghayal karena terlalu

banyak waktu luang yang ia lalui, sehingga

menimbulkan kejenuhan dan melahirkan

sikap-sikap negatif yang merugikan orang-

orang yang ada disekitarnya.

Menurut Al-Hatimi, wanita boleh saja

bekerja, bahkan dibolehkan pula menduduki

jabatan strategis atau peranan penting di

masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada

ajaran syari’at yang menghidupi kesuciannya

serta tidak menelantarkan peran utamanya

sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya ini

bertolak dari fakta historis tentang partisipasi

para wanita di zaman Nabi Saw. Dalam

peperangan, misalnya mengangkat atau

,menyediakan air minum para prajurit,

memasak, menyediakan makanan, menjaga,

merawat prajurit yang sakit, menjaga dan

memelihara kendaraan, memata-matai

musuh, menjahit pakaian dan sebagainya.

(Moenawar Khalil,1989:81)

Berikut beberapa Hadist Nabi yang

menikutserta aktivitas wanita pada zaman

Nabi Saw yang artinya:

”Hadist dari Aisyah r.a yang menyatakan,”Apabila Rasulullah Saw hendak pergi mengundi semua istri-istrinya, maka panah siapa yang keluar dialah yang diajak mendampingi beliau, pada suatu saat beliauy hendak pergi dalam suatu peperangan, keluarlah panah saya dalam undian itu, maka saya pergi mendampngi Rasulullah pada saat itu ayat hijab telah diturunkan.” (H.R.Bukhori dan Muslim)

“Dari Rubai binti Mua’awwiz berkata,”Kami pernah bersama-sama Nabi, untuk menyiapkan makan minum, mengobati tentara yang terluka, dan membawa pahlawan-pahlawan yang gugur pulang ke Madinah.” (HR. Bukhori dan Muslim)

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 5

Tokoh lain yang membolehkan wanita

bekerja diluar rumah adalah Al-Sakkhawi yang

menyatakan bahwa wanita-wanita yang

mempunyai keahlian atau kepandaian

tertentu, seharusnya diabdikan kepada

masyarakat agar manfaatnya menyebar

kepada orang banyak. Jamal Al-Din

Muhammad Mahmud sependapat dengan Al-

Sakhhawi bahwa wanita berhak mendapatkan

kesempatan untuk bekerja (di sektor publik)

apabila yang bersangkutan membutuhkan

orang-orang seperti dia (dalam keahlian

tertentu) bahwa seharusnya dibuat undang-

undang yang sesuai dengan hukum Islam

untuk melindungi dan menjamin

kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu. (Siti

Muriah,2010:191)

Dampak Legalitas Izin Suami Terhadap istri Yang Bekerja

Di masa lampau, wanita masih sangat

terikat dengan nilai-nilai tradisonal yang

mengakar di tengah-tengah masyarakat.

Sehingga jika ada wanita berkarir untuk

mengembangkan keahliannya diluar rumah,

maka mereka dianggap telah melanggar tradisi

sehingga mereka dikucilkan dari pergaulan

masyarakat dan lingkungannya. Dengan

demikian mereka kurang mendapat

kesempatan untuk mengembangkan diri di

tengah –tengah masyarakat. Sejalan dengan

perkembangan zaman, kaum wanita dewasa

ini khususnya mereka yang tinggal di kota-kota

besar cenderung untuk berperan ganda

bahkan ada yang multi fungsional karena

mereka telah mendapat kesempatan yang

seluas-luasnya untuk mengembangkan diri

sehingga jabatan dan pekerjaan penting di

dalam masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh

kaum laki-laki. Sudah tentu hal itu akan

berdampak terhadap sendi-sendi kehidupan

sosial, baik positif maupun negatif.

a. Dampak Positif

1. Terhadap Kondisi Ekonomi keluarga

Dalam kehidupan manusia,

kebutuhan ekonomi merupakan

kebutuhan primer yang dapat menunjang

kebutuhan yang lainnya. Kesejahteraan

manusia dapat tercipta manakala

kehidupannya ditunjang dengan

perekonomian yang baik pula. Dengan

berkarir, seorang wanita tentu saja

mendapatkan imbalan yang kemudian

dapat dimanfaatkan untuk menambah

dan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

2. Sebagai Pengisi Waktu

Pada zaman sekarang ini hampir

semua peralatan rumah tangga memakai

tekhnologi yang mutakhir, khususnya di

kota-kota besar. Sehingga tugas wanita

dalam rumah tangga menjadi lebih mudah

dan ringan. Belum lagi mereka di rumah

akan menjadi sangat berkurang. Hal ini

bisa menyebabkan wanita memiliki waktu

luang yang snagat banyak dan seringkali

membosankan. Maka untuk mengisi

kekosongan tersebut diupayakanlah suatu

kegiatan yang dapat dijadikan sebagai alat

untuk mengembangkan potensi yang ada

dalam diri mereka.

3. Peningkatan Sumber Daya Manusia

Kemajuan tekhnologi di segala

bidang kehidupan menuntut sumber

daya manusia yang potensial untuk

menjalankan tekhnologi tersebut. Bukan

hanya pria bahkan wanitapun dituntut

untuk bisa dapat mengimbangi

perkembangan tekhnologi yang makin

kian pesat.. jenjang pendidikan yang

tiada batas bagi wanita telah menjadikan

mereka sebagai sumber daya potensial

yang diharapkan dapat mampu

berpartisipasi dan berperan aktif dalam

pembangunan, serta dapat berguna bagi

masyarakat, agama, nusa dan

bangsanya.

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 6

4. Percaya Diri dan Lebih Merawat Penampilan

Biasanya seorang wanita yang

tidak aktif dinluar rumah akan malas

untuk berhias diri, karena ia merasa

tidak diperhatikan dan kurang

bermanfaat. Dengan berkarir, maka

wanita merasa dibutuhkan dalam

masyarakat sehingga timbullah

kepercayaan diri. Wanita karir akan

berusaha untuk mempercantik diri dan

penampilannya agar selalu enak

dipandang. Tentu hal ini akan

menjadikan kebanggan tersendiri bagi

suaminya, yang melihat istrinya tampil

prima di depan para relasinya.

5. Psikologis

Bekerja atau berkarir umumnya

diasosiasikan dengan kebutuhan

ekonomi-prodiktif. Namun sebenarnya

ada kebutuhan lain bagi setiap individu,

termasuk wanita yang dapat dipenuhi

dengan bekerja. Diantara kebutuhan itu

adalah kebutuhan akan pengakuan,

penghargaan, dan aktualisasi

diri.(Hamka,1973:11)

6. Sosiologis

Seringkali dijumpai di perusahaan,

adanya pegawai atau karyawan yang

menolak dipindahkan atau

diberhentikan butuh karena khawatir

kehilangan upah atau fasilitas tertentu,

tetapi karena tidak ingin berpisah

dengan teman kerjanya. Bahkan ia rela

tetap dibayar rendah, sedangkan

ditempat yang baru gajinya lebih tinggi.

Ini menunjukkan bahwa motif ekonomi

bukan satu-satunya faktor yang

melatarbelakangi seseorang bekrja dan

menekuni karir. Dengan bekerja, wanita

dapat menjalin ikatan dalam pola

interrelasi kemanusiaan. Interrelasi

yang merupakan salah satu

pengejawantahan fungsi sosial dan

status sosial tersebut merupakan unsur

penting bagi kesejahteraan lahir dan

batin manusia.

7. Religius

Berkaitan dengan perspektif

pertama (ekonomi), pekerjaan dan karir

bagi wanita dapat bernilai religius,

sebagai wujud ibadah atau amal saleh.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan

al-Tabrani, disebutkan:”Dari Ka’ab bin

Ajrah, ia berkata,”Nabi mendatangi

seorang pria dan para sahabat melihat

bahwa orang itu sangat tekun dan

bersemangat. Lalu mereka berkata,”Ya

Rasulullah, Apakah bekerjanya orang itu

fisabilillah. Kalau ia bekerja demi

mencukupkan kebutuhan kebutuhan

kedua orang tuanya yang tua renta maka

itu fi sabilillah, dan kalau untuk

kehormatan dirinya itu fi sabilillah.”

Kalau ia bekerja demi mencukupkan

kebutuhan dirinya sendiri?Nabi

menjawab,”{Pekerjaan itu juga

fisabilillah. Tetapi kalau ia bekerja untuk

menyombongkan diri atau karena riya

maka itu fi sabil al-syaitan.(Janet

Zallinger,1978:5)

B. Dampak Negatif

Diantara dampak negatif yang

ditimbulkan, antara lain:

1. Terhadap Anak

Seorang wanita kerja biasanya pulang

ke rumah dalam keadaan lelah setelah

seharian bekerjaan diluar rumah, hal ini

secara psikologis akan berpengaruh

terhadap tingkat kesabaran yang

dimilikinya, baik dalam menghadapi

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 7

pekerjaan rumah tangga sehari-hari,

maupun dalam menghadapi anak-anaknya.

Jika hal itu terjadi maka sang ibu akan

mudah marah dan berkurang rasa

pedulinya terhadap anak. Survey yang

dilakukan di negara-negara Barat

menunjukkan bahwa banyak anak kecil

yang menjadi korban kekerasan orang tua

yang seharusnya tidak terjadi apabila

mereka memiliki kesabaran yang cukup

dalam mendidik anak. Hal lain yang lebih

bernahaya adalah terjerumusnya anak-

anak kepada hal yang negatif, seperti tindak

kriminal yang dilakukan sebagai akibat dari

kurangnya kasih sayang yang diberikan

orang tua, khususnya ibu terhadap anak-

anaknya.

2. Terhadap suami

Di kalangan para suami wanita karir,

tidaklah mustahil menjadi suatu kebanggan

bila mereka memiliki istri yang pandai,

aktif, kreatif, dan maju serta dibutuhkan

masyarakat, namun dilain sisi mereka

mempunyai problem yang rumit dengan

istrinya. Mereka juga akan merasa tersaingi

dan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai

suami. Sebagai contoh, apabila suatu saat

seorang suami memiliki masalah di kantor,

tentunya ia mengharapkan seseorang yang

dapat berbagai masalah dengannya, atau

setidaknya ia berharap istrinya akan

menyambutnya dengan wajah berseri

sehingga berkuranglah beban yang ada. Hal

ini tak akan terwujud apabila sang istri pun

mengalami hal yang sam. Jangankan untuk

mengatasi masalah suaminya, sedangkan

masalahnya sendiripun belum tentu dapat

diselasaikannya.

Apabila seorang istri tenggelam

dalam karirnya, pulang sangat lelah,

sementara suaminya di kantor tengah

menghadapi masalah dan ingin

menemukan istri di dalam rumah dalam

keadaan segar dan memancarkan

senyuman kemesraan, tetapi yang ia

dapatkan hanyalah istri yang cemberut

karena kelelahan. Ini akan menjadi masalah

yang rinyam dalam keluarga. Kebanyakan

suami yang istrinya berkarir merasa sedih

dan sakit hati apabila istrinya yang berkarir

tidak ada ditengah-tengah keluarganya

pada saat keluarganya membutuhkan

kehadiran mereka. Juga ada keresahan

pada diri suami, khususnya pasangan-

pasangan usia muda karena mereka selalu

menunda kehmailan dan menolak untuk

memiliki anak dengan alasan takut

menganggu karir yang tengah dirintis

olehnya.

3. Terhadap Rumah Tangga

Kemungkinan negatif lainnya yang

perlu mendapat perhatian dari wanita karir

yaitu rumah tangga. Kegagalan rumah

tangga seringkali dikaitkan dengan

kelalalaian seorang istri dalam rumah

tangga. Hal ini bisa terjadi apabila istri tidak

memiliki keterampilan dalam mengurus

rumah tangga, atau juga terlalu sibuk dalam

berkarir, sehingga segala urusan rumah

tangga terbengkalai.untuk mencapai

keberhasilan karirnya, sringkali wanita

menomorduakan tugas sebagai ibu dan

istri. Dengan demikian pertengkaran

bahkan perpecahan dalam rumah tangga

tidak bisa dihindarkan lagi.

4. Terhadap Masyarakat

Hal negatif yang ditimbulkan oleh

adanya wanita karir tidak hanya berdampak

terhadap keluarga dan rumah tangga, tetapi

juga terhadap masyarakat sekitarnya,

seperti hal-hal berikut:

a. Dengan bertambahnya jumlah wanita

yang mementingkan karirnya

diberbagai sektor lapangan pekerjaan,

secara langsung maupun tidak

langsung telah mengakibatkan

meningknya jumlah pengangguran di

kalangan pria, karena lapangan

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 8

pekerjaan yang ada telah diisi oleh

wanita. Sebagai contoh, yang sering

kita lihat di pabrik-pabrik. Perusahaan

lebih memilih pekerja dari kalangan

wanita ketimbang pria, karena selain

upah yang relatif minim dan murah

dari pria, juga karena wanita tidak

terlalu banyak menuntut dan mudah

diatur.

b. Kepercayaan diri yang berlebihan dari

seorang wanita karir seringkali

menyebabkan mereka terlalu memilih-

milih dalam urusan perjodohan. Maka

seringkali kita lihat seorang wanita

karis masih hidup melajang pada usia

yang seharusnya dia telah layak untuk

berumah tangga bahkan memiliki

keturunan. Selain itu banyak pria yang

malu untuk menjadikan wanita karir

sebagai istri mereka karena beberapa

faktor; seperti pendidikan wanita karir

dan penghasilannya yang seringkali

membuat pria berpikir dua kali untuk

menjadikannya sebagai pendamping

hidup. Sementara itu dilain sisi pria-

pria yang menjadi dambaan wanita

karir ini kemungkinan karena terlalu

tinggi kriterianya sehingga telah

berkeluarga dan membina rumah

tangga dengan wanita lain. Hal inilah

mungkin yang menyebabkan

timbulnya enggapan dalam masyarakat

bahwa semakin tinggi jenjang

pendidikan yang dapat diraih oleh

wanita maka semakin sulit pula

baginya untuk mendapatkan

pendamping hidup.

Hikmah Legalitas Izin Suami Terhadap istri Yang Bekerja

1. Meemahami Lingkungan Pekerjaan

Setiap wanita yang memiliki karir akan

mengerti kesulitan ketika bekerja. Tidak

hanya itu, mereka juga akan memahami bila

suami pulang malam karena tuntutan

profesi. Pria merasa senang ketika istri

mengerti keadaannya. Berbeda dengan istri

yang lebih sering berada di rumah, dia bisa

mudah curiga karena suami terlambat pulang

2. Berbagi Pendapatan

Salah satu keuntungan wanita yang

bekerja adalah bisa berbagi pendapatan. Istri

yang bekerja dapat membantu suaminya

menangani masalah keuangan rumah tangga.

Hal itu juga bisa mengurangi tekanan

terhadap suami agar bekerja lebih keras.

Selama tidak melupakan tugasnya sebagai

istri dan ibu, istri yang berkarir bisa

membuat pernikahan menjadi lebih baik.

3. Tabungan yang Bertambah

Bila ada dua penghasilan dalam satu

keluarga, otomatis akan menambah

tabungan masa depan pasangan. Ini

merupakan salah satu alasan pria senang bila

istrinya memiliki pendapatan sendiri.

4. Pintar Mengatur Keuangan

Wanita yang mempunyai pekerjaan,

lebih bisa mengatur keuangannya sendiri

serta cenderung tidak menghambur-

hamburkan uang karena mereka tahu

sulitnya mendapatkan penghasilan. Hal ini

tidak hanya berpengaruh terhadap

kepribadian istri, tapi juga hubungan istri

dan suami. Suami akan senang bahwa istri

menghargai uang hasil jerih payah sendiri

bukan dari orang lain.

Perbedaan para ulama terhadap firman

Allah SWT:

....

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu……”(Q.S. Al-Ahzab : 33)

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 9

Ayat ini sering kali dijadikan dasar

untuk menghalangi wanita bekerja di luar

rumah. Menurut Al-Qurthubi (671 H) dalam

tafsirnya mengatakan, “makna ayat di atas

adalah perintah untuk menetap di rumah

bagi wanita, dan tidak boleh keluar rumah

kecuali dalam keadaan darurat” (Novi

Hadayati,2010:20). Sebagai agama yang

kaffah, Islam tidak hanya melingkupi dan

mengatur perbuatan manusia dalam

hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama

manusia dan alam, termasuk didalamnya

tentang bekerja yang tampaknya bersifat

duniawi. Manusia diciptakan Allah SWT

bagian makhluk yang mempunyai kebutuhan

berupa makan, minum, pakaian, tempat

tinggal, dan keturunan.

Seiring dengan itu perlu ditumbuhkan

suatu kesadaran akan pentingnya kapasitas

bekerja dengn berusaha bagi setia individu

baik pria maupun wanita, karena wujud

kemitraan pria dan dan wanita berhajat

kepada adanya kerjasama dan keterpaduan

dalam memikul tanggung jawab mereka.

Berbagai motif bekerja bagi wanita diarahkan

pada pandangan Islam terhadap pekerja

wanita. Sebagaimana termaktub dalam

uraian, bahwa wanita mempunyai hak,

kewajiban yang sama dengan pria, wanita

mempunyai peluang bekerja sebagaimana

pria. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 32:

”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahuia segala sesuatu.”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa

dalam beribadah maupun berkarya, wanita

memperoleh imbalan dan pahala yang tidak

berbeda dengan pria. Islam tidak

memebedakan pengakuan dan apresiasi

terhadap kinerja atas dasar jenis kelamin.

Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan

dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal

diserta do’a. Dengan demikian, jelas bahwa

wanita bisa bekerja dan dapat mencapai

prestasi sama dengan pria atau bahkan

melebihi, tergantung pada usaha dan

do’anya.

Penegasan Allah SWT bahwa wanita

dan pria diberi hak dan peluang yang sama

baik dalam beramal, bekerja maupun

berprestasi dapat disimak pula dalam Al-

Nisa’ ayat 124:

”Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal sholeh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surge dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”

Beberapa ayat Al-Qur’an tersebut

cukup menjadi bukti bahwa ajaran Islam

menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam

memberikan motivasi yang kuat agar para

muslimah mampu bekerja di segala bidang

sesuai dengan kodrat dan martabatnya.

Menurut Mustafa al-Siba’i sependapat

dengan al-Aqqad, yakni membolehkan

wanita bekerja manakala tidak ada seseorang

yang menjamin nafkah padanya. Itupun

hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang

relative mudah wajar wajar dan tidak

mengandung resiko. Bagi wanita lebih

terhormat untuk tinggal dirumah terutama

bila yang bersangkutan mempunyai anak.

(Mustafa Al-Siba’i,1984:153)

Abdurrahman Taj berpendapat bahwa

apabila seorang istri bekerja sehari penuh

atau sebagian waktu siang, kemudian pada

malam hari berada di rumah (suaminya) atau

bekerja di malam hari dan menggunakan sisa

waktu malamnya bersama suami maka

apabila pihak suami rela dengan keadaan

tersebut, gugurlah haknya dalam menahan

istri agar tinggal di rumah dan ia wajib

memberinya (istri) nafkah, sebaliknya

manakala ia (suami) tidak rela maka ia tidak

(wajib) memberinya (istri) nafkah. Bahkan

apabila suami pada mulanya rela istri bekerja

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 10

lantas berubah pikiran untuk mencegahnya

dan manakala istrinya menolak untuk

berhenti kerja, maka gugurlah kewajiban

suami member nafkah.(Murtaza Muthabari)

Sementara itu, Al-Hatimi menyatakan

bahwa wanita boleh bekerja, bahkan

dibolehkan pula menduduki jabatan

strategis/ peranan penting di masyarakat

dengan catatan tetap tunduk pada ajaran

syari’at yang menghidupi kesuciannya serta

tidak menelantarkan peran utamanya

sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya ini

bertolak dari fakta historis tentang

partisipasi para wanita dizaman Nabi SAW.

Dalam peperangan, misalnya, ”mengangkat

atau menyediakan air minum para prajurit,

memasak, menyediakan makanan, menjaga,

merawat prajurit yang sakit, menjaga dan

memelihara kendaraan, memata-matai

musuh, menjahit pakaian dan sebagainya

(Moenaar Khalil, 1989: 81).

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 11

Daftar Pustaka

Abbas Mahmud, Al-Aqqad, al-Mar’ah Fi Al-

Qur’an, Mesir: Darel Ma’rifat,Tt

Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam,

Cet.I,Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973

Janet Zallinger Giele, Women and The Future,

New York: The Free Press, 1978

Majalah Amanat Nasional, Edisi Xv tanggal 28

Januari 1999

Moenawar Khalil, Nilai Wanita, Cet.IX, Solo:

Ramadhani, 1989

Mustafa Al-Siba’i, Al-Mar’ab Bain Al-Fiqh wa

Al-Qanun, Cet.IV, Beirut: Al-Maktab al-

Islami, 1984

Novi Hidayati, Ternyata Wanita Bukan

Makhluk Lemah, Bandung: Kawan

Pustaka, 2010

Siti Muri”ah, Wanita Karir Dalam Bingkai

Islam, Bandung, Angkasa, 2010

Yusuf Qardhawi, Bicara Soal Wanita,

Bandung: Arasy, 2003

Yusuf Qardhawi, Wanita Dalam Fiqh Al-

Qardhawi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2009

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika ekonomi

Islam, Gema Insani Press, 1997

VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015 ISSN : 2477 - 3131

Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1 12