Upload
dinhduong
View
279
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBAGIAN WARISAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Ag)
Oleh:
Maringo
NIM: 1110034000019
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/ 1438 H
v
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا هللا مسبSegala puji dan syukur penulis haturkan pada Allah swt., atas segala nikmat
dan pertolongan yang telah dan akan selalu Dia berikan kepada penulis. Kepada-
Nya lah penulis mengadu ketika semangat mengendur, ketika pikiran dan hati
merasa lelah. Ṣalawāt serta salam kepada baginda Nabi Muḥammad saw., yang
telah membawa manusia ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Penulis sangat menyadari jika skripsi yang berjudul “PEMBAGIAN
WARIS ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN” ini tidak akan rampung
dengan daya penulis sendiri. Ada banyak sosok, keluarga, dosen pembimbing,
teman-teman, orang spesial yang secara langsung maupun tidak langsung telah
banyak membantu penulis. Mereka adalah pembakar semangat penulis untuk
menyelesaikan penelitian ini. Maka dengan kerendahan hati, penulis
mengungkapkan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku ketua jurusan Tafsir-Hadis dan Dra.
Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis bersama
para pengurus Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan kemudahan
administrasi perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Abd Moqsith, MA., yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih ibu sudah sangat sabar dalam
memberikan pengarahan untuk menyelesaikan penelitian ini.
vi
4. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu
yang diberikan bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para
pimpinan dan staf perpustakaan baik perpustakaan utama maupun
perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
5. Kedua orang tua tercinta, Gustomo dan Sumarti, yang karena mereka penulis
bisa belajar di UIN Jakarta. Berkat do’a dan motivasi dari mereka penulis
bisa menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga kakak penulis, Pujianto
dan adik-adik penulis.
6. Teman-teman Shahibul Menara (Serpin, Raja Usman, Gusti Rahmat,
Muhammad Hanif, dan Ahmad Arifuz Zaki), mereka adalah teman yang
membuat penulis tidak pernah merasa sepi hidup di kota orang. Terima kasih
kepada seluruh teman-teman TH (A,B,C,D), terkhusus TH.A. Terima kasih
juga untuk yang lainnya, yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu.
7. Keluarga Besar HM MADINA (Himpunan Mahasiswa Mandailing Natal)
Ciputat yang selalu menemani selama studi dan memberikan pengalaman
berharga.
8. Keluarga besar masjid jami’ Ar-Rahmah rempoa, yang telah mengizinkan
penulis untuk belajar dan mengajar di TPQ Ar-Rahmah Rempoa.
Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan atas semua bantuan
baik itu moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
Mudah-mudahan Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Amin.
Ciputat, 23 Oktober 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
Waris merupakan peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
kepada orang yang dirtinggalkannya. Pada zaman jahiliyah sistem kewarisan
hanya diberikan kepada laki-laki dan orang dewasa saja, tanpa memberikan
haknya kepada perempuan dan anak-anak. Karena perempuan tidak ikut
berkontribusi dalam peperangan. Setelah datangnya Islam sistem pembagian harta
warisan tidak hanya diberikan kepada laki-laki saja, tapi juga diberikan kepada
perempuan. Pemberlakuan hukum waris ini harus diterapkan oleh setiap orang
yang berpegang teguh kepada al-Qur’ān dan al-Sunnah.
Skripsi ini menganalisa tentang pandangan Sayyid Quṭb terhadap
pembagian waris dua banding satu antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaan
utama dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Sayyid Quṭb dalam tafsir Fī
Ẓilāl al-Qur’ān terhadap pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan?,
serta dijelaskan argumentasi tentang keadilan dalam proses pembagian warisan
dan relevansi hukum waris pada masa sekarang.
Skripsi ini menggunakan metode tafsir mauḍū’ī (tematik) dengan
menggunakan kata li ażżakari mislu ḥaẓẓ al-unṡayain. Kemudian penulis akan
mengumpulkan dan mengkaji kata tersebut yang relevan dengan masalah yang
akan penulis teliti. Di dalam al-Qur’ān penulis menemukan dua ayat yang
membahas kata tersebut. Ayat-ayat al-Qur’ān yang dibahas terdapat dalam surat
al-Nisā’ ayat 11 dan 176.
Kesimpulan skripsi ini menegaskan bahwa argumen Sayyid Quṭb
mengenai waris sesuai yang tertera di dalam al-Qur’ān berkaitan dengan
pembagian waris dua berbanding satu antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam
Tafsir Fī Ẓilal al-Qur’ān, Sayyid Quṭb menerangkan bahwa masalah 2 berbanding
1 bagi laki-laki dan perempuan merupakan sebuah keadilan dikarenakan
kewajiban laki-laki dinilai lebih berat daripada kewajiban seorang perempuan,
baik segi pembayaran mas kawin maupun masalah penafkahan keluarga.
Penetapan yang menunjukkan keseimbangan dengan dasar berbedanya tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan.
Argumen Sayyid Quṭb mengenai waris merupakan sistem yang relevan
untuk segala zaman, dan mengandung prinsip keadilan, dan tidak menganut sikap
pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. Sayyid Quṭb menolak menyamakan
pembagian waris anak laki-laki dan perempuan seperti di dalam hukum waris
sekuler dengan alasan karena kewajiban laki-laki di dalam Islam lebih berat
daripada perempuan.
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
1 ا tidak dilambangkan 16 ط ṭ
2 ب b 17 ظ ẓ
3 ت t 18 ع ʻ
4 ث ṡ 19 غ g
5 ج j 20 ف f
6 ح ḥ 21 ق q
7 خ kh 22 ك k
8 د d 23 ل l
9 ذ ż 24 م m
10 ر r 25 ن n
11 ز z 26 و w
12 س s 27 ه h
13 ش sy 28 ء ’
14 ص ṣ 29 ي y
15 ض ḍ
LatinNo. Arab Latin No. Arab
2. Vokal Pendek
-- - = a ك ت ب kataba
-- - = i سئ ل su’ila
x
-- - = u يذهب yażhabu
3. Vokal Panjang
a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a garis di atas)
ditulis jāhiliyyah جاهلية
b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a garis di atas)
ditulis yasʻā يسعى
c. Kasrah + yā’ mati, ditulis ī (i dengan garis di atas)
ditulis majīd مجيد
d. Ḍammah + wāu mati, ditulis ū (u dengan garis di atas)
ditulis furūd فروض
4. Diftong
kaifa = كيف ai = اي
ḥaula = حول au = او
5. Kata Sandang (ال)
Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-’, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah.
6. Tasydid ( -- - )
Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang
diberi syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
xi
syiddah tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
al-syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis الضرور ة aḍ-ḍarūrah melainkan al-
ḍarūrah.
7. Tā’ Marbūṭah
a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi
naʻt atau sifat, ditulis h
Contoh:
ditulis jizyah جزية
ditulis al-jāmiʻah al-islāmiyyah الجامعةاإلسالمية
(ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa
Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafal aslinya)
b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t
Contoh:
ditulis niʻmat Allāh نعمةالله
ditulis zakāt al-fiṭr زكاةالفطر
8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut
penulisannya, contoh:
ditulis żawī al-furūḍ ذويالفروض
ditulis ahl al-sunnah اهلالسنة
xii
9. Singkatan
swt. = subḥānah wa taʻālā
saw. = ṣallā Allāh ‘alaih wa salam
as. =‘alaih al-salām
ra. = raḍiya Allāh ‘anh
QS. = Quran Surat
M = Masehi
H = Hijriah
w. = Wafat
h. = Halaman
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
PEDOMAN TRANLITERASI ...................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 10
E. Metodologi Penelitian ............................................................. 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 13
BAB II SEKILAS MENGENAI HUKUM WARIS
A. Pengertian Waris .................................................................... 16
B. Sejarah Hukum Waris ............................................................ 20
C. Pandangan Ulama Mengenai Waris ....................................... 26
xii
BAB III HUKUM WARIS DALAM AL-QUR’AN
A. Tujuan Waris Dalam al-Qur’an .............................................. 31
B. Ahli Waris Dalam al-Qur’an .................................................. 33
1. Golongan laki-laki yang berhak menerima waris ............ 34
2. Golongan perempuan yang berhak menerima waris ........ 35
C. Sebab-sebab dan penghalang menerima warisan ................... 41
1. Sebab-sebab menerima warisan ....................................... 41
2. Penghalang menerima warisan ......................................... 44
BAB IV ANALISA PENAFSIRAN SAYYID QUṬB TERHADAP AYAT-
AYAT WARIS
A. Pembagian Warisan Anak Laki-Laki Dan Perempuan .......... 48
B. Pembagian Warisan Saudara Laki-Laki Dan Perempuan ...... 58
C. Keterkaitan asbab al-nuzul dengan ketetapan hak waris........ 60
D. Analisa Penafsiran Terhadap Surat al-Nisā’ Ayat 11 dan 176 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 65
B. Saran-saran ............................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Ia menjadi pedoman hidup
manusia. Di dalamnya ada ketentuan-ketentuan hukum dan aturan kehidupan
manusia baik secara vertikal maupun horizontal.1Salah satu masalah yang
dibicarakan al-Qur’an adalah kewarisan.
Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum
perkawinan dan hukum kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan
sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum
perdata.2
Hukum Islam bukanlah spesial untuk laki-laki atau perempuan saja,
tetapi untuk kedua-duanya sesuai dengan peran masing-masing selaku insan
Allah swt yang telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan
perempuan.3 Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas
perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban atas
kaum laki-laki.4
Sesuai dengan firman Allah:
ن ذكر ي ها ٱلناس إن خلقنكم م كم وأنثى يأ وق باأئل شعواب وجعلن لت عارف وأا
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
1 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kemenag RI, 2011) h. 8 2 Ali Parman, Kewarisan dalam al-Qur’ān: suatu kajian hukum dengan pendekatan
tafsir tematik (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995), ed. 1., Cet. 1., h. 2.
3 Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan
syariat Islam Tentang Kehidupan Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) h. 11.
4 Mansour Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam
(Suarabaya: Risalah Gusti,1996) h. 49
2
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Q.S.
al-Hujurat: 13)
Dari segi kemanusiaan dan pandangan Islam terhadap laki-laki
dan perempuan adalah sama.5 Sama hak dan sama kewajibannya.
6
Aturan tentang kewarisan tersebut di atas telah ditetapkan oleh
Allah melalui firmannya yang terdapat dalam al-Qur’an, terutama Surah Al-
Nisā’ ayat 11:
ف وق يوصيكم ٱلل فأ أولدكم للذكر مثل حظ ٱلنث ي ي فإن كن نساأء ن ت ي ف لهن ث لثا ما ت رك ٱث
حدة هما ٱلنصف ولب ويو لكل وحد ف لها وإن كانت و ن ٱلسدس ما ت رك إن كان لوۥ ولد مو ٱلث لث فإن كان لوۥأ إخوةوورثو ۥ ولد لو يكن ل فإن و ۥأ أب واه فلم ٱلسدس من ب عد وصية فلم
ناأؤكم ءاابأؤكم دين أو باأ يوصي رب لكم ن فعأي تدرون ل وأب ن فريضة ا هم أق إن ٱلل كان م ٱلل ١١ اعليما حكيم
Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.7
5 ‘Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan
syariat Islam Tentang Kehidupan Perempuan, h. 11 6 Musthafa As-Siba’y, Perempuan Di antara Hukum Islam dan Perundang-
undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h. 39 7 Kementrian Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir, 2012) h. 101
3
Selain surat al-Nisā’ ayat 11, tentang masalah waris juga dibahas
dalam ayat 7, 8, 12, 176.8 Begitu juga ḥadīts Nabi Muhammad yang secara
langsung mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut :
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah
menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami
Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma,
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah bagian
fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka
bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat
(nasabnya)”.(HR. Al-Bukhāri: 6732)9
Surat al-Nisā’, sebagaimana surat-surat lainnnya yang diturunkan
di Madinah, mengandung banyak peraturan hidup dan undang-undang.
Terutama dalam surat ini banyak dibicarakan soal pembagian warisan,
tentang hukum nikah dan siapa-siapa perempuan yang haram dinikahi,
apa kewajiban perempuan terhadap laki-laki dan apa kewajiban laki-laki
terhadap perempuan.10
Menurut mayoritas ulama surat al-Nisā’ termasuk
dalam kategori qaṭ’i11
, yang keberlakuannya bersifat absolut dan tidak
terbantahkan.
Pada zaman masyarakat Arab pra Islam atau yang dikenal dengan
zaman jahiliyah, seorang anak perempuan tidak berhak mewarisi sesuatu dari
harta ayahnya. Seorang janda selain tidak mempunyai hak waris, juga
8 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987)
h. 5 9 Al-Imam Zainuddin Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Lathif Az-Zubaidi, Ringkasan
Shahih Bukhari, terj: Arif Rahman Hakim (Surakarta : Insan Kamil, 2012), h. 948 10
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran, h. 27 11
Qath‟iy adalah sesuatu yang pasti dan meyakinkan sehingga tidak ada lagi kemungkinan lain untuknya kecuali yang telah dipilih dan ditetapkan. Lihat: M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut anda ketahui dalam memahami al-Qur’ān, (Jakarta: Lentera Hati, 2013) h. 156
4
diperlakukan sebagai barang bergerak yang bisa diwariskan.12
Perempuan
dianggap sebagai budak atau barang. Jika suaminya meninggal maka wali
suaminya akan datang dan mengenakan pakaiannya, dengan begitu si
perempuan tidak dapat menikah kecuali disetujui oleh wali itu atau kecuali ia
bisa menebus dirinya dengan harta.13
Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra
Islam, kelahiran bayi perempuan tidak disukai karena dianggap pembawa sial.
Setelah bayi perempuan dilahirkan, bangsa Arab jahiliyah langsung
mengubur hidup-hidup bayi tersebut. Adat kebiasaan yang tidak manusiawi
ini kebanyakan terjadi di antara suku-suku Quraisy dan Kendah.14
Namun setelah Islam datang, Islam menghormati perempuan dengan
penghormatan yang sangat luhur, mengangkat martabatnya dari sumber
keburukan dan kehinaan serta dari penguburan hidup-hidup dan perlakuan
buruk ke kedudukan yang terhormat dan mulia.15
Islam menyamakan hak
perempuan dengan laki-laki dalam beberapa masalah, seperti warisan bapak-
ibu beserta anak.16
Syariat tentang warisan adalah salah satu bentuk kepedulian Islam
12
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Penerjemah: Adang Affandi
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005) h. 401 13
Muahammad Albar, Perempuan Karir dalam Timbangan Islam: Kodrat
Keperempuanan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, Penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin
(Jakarta: Pustaka Azzam, 1998) h. 7 14
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Penerjemah: Adang Affandi. H.
447. 15
Muhammad Ali Al-bar, Perempuan Karir dalam Timabangan Islam: Kodrat
Keperempuanan, Emansipasi dan Pelecehan Seksusal, h. 16. 16
Al-Thahir al-Hadad, Perempuan Dalam Syariat dan Masyarakat, Penerjemah: M.
Adib Bisri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) cet, IV, h. 35.
5
dalam pendistribusian harta.17
Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan
dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya. Namun, masih
banyak dari kalangan umat Muslim yang belum tahu tentang penjelasannya
dan pelaksanaannya.
Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelahiran hukum waris
disamping bukan sekedar untuk merespon problem di zaman jahiliyah yang
telah disebut di atas, tetapi hukum waris juga dipresentasikan dalam teks-teks
yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis sehingga menutup kemungkinan
akan adanya multi interpretasi. Hal ini diakui oleh para ahli hukum sebagai
suatu keistimewaan tersendiri, karena dari sekian banyak ayat-ayat tentang
hukum (ayat ahkam) dalam al-Qur’an yang menurut Abdul Wahhab Khallaf
berjumlah 228, tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis diyakini
sebagai model hukum yang canggih dan lengkap selain daripada hukum
waris tersebut.18
Dalam kasus waris, al-Qur’an telah menjelaskan perbandingan
pembagian waris 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan secara sarih,
sementara kondisi obyektif masyarakat menginginkan pembagian yang lebih
adil. Namun ada baiknya membandingkan pendapat mufassir yang
menyatakan bahwa formula 2:1 sudah memenuhi asas keadilan dan tidak
diskriminatif terhadap perempuan, dengan pandangan Munawir Syadzali
yang secara tajam mempersoalkan ketentuan kewarisan formula 2:1
17
O. Solihin, Yes! I am Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007) H. 178. 18
Milki Barokah, Disparitas Putusan Perkara Waris, (Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) h. 2.
6
tersebut.19
Menurut Munawir Syadzali formula 2:1 untuk konteks sekarang
tidak memenuhi unsur keadilan dan perlu untuk dipertimbangkan. Dalam
artian bahwa bagian yang diterima oleh laki-laki dan perempuan tidak
selamanya 2:1, adakalanya anak perempuan memperoleh bagian yang sama
seperti yang diterima anak laki-laki. Namun demikian kita sebagai umat
muslim sepatutnya harus kembali lagi kepada 2 sumber pokok dasar hukum
Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.20
Syafruddin Prawiranegara menjelaskan makna keadilan dalam
warisan sebenarnya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah antara
seluruh ahli waris yang berhak mendapat warisan. Musyawarah dapat
dilakukan karena ketentuan pembagian warisan dalam surat al-Nisā’ ayat 11
termasuk golongan hukum voluntary law (hukum yang berlaku kalau yang
berkepentingan tidak mempergunakan alternatif lain yang tersedia), bukan
convulsary law (hukum yang mutlak berlaku). Para ahli waris dapat
memusyawarahkan terlebih dahulu sebelum menetukan ahli waris jika
memang ada kasus yang perlu jadi perhatian seperti yang dikemukakan oleh
Munawir Sadzali.21
Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan, dapat diketahui bahwa
masalah kewarisan dalam al-Qur’an bukanlah masalah yang sangat gampang dan
tidaklah sederhana pemecahannya. Masalah warisan memang cukup sensitif,
19
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran, h. 282 20
Neneng Fatimah, Konsep Waris Dalam Perspektif Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) h. 10
21 Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran, h. 284
7
untuk itu perlu kita pahami bersama agar tidak terjadi masalah di kemudian
hari.22
Pada kajian ini, penulis akan menampilkan sosok Sayyid Quṭb, salah
seorang ulama terkemuka Ikhwan al-Muslimin,23
dan seorang pembaharu
dalam pemikiran Islam yang lahir di abad ke-20. Sayyid Quṭb menjelaskan
tentang pembagian waris 2:1 tidak berarti merendahkan salah satu jenis
kelamin, tetapi terkait dengan keadilan dan keseimbangan antara beban yang
dipikul oleh laki-laki dan permpuan baik dalam rumah tangga maupun
kemasyarakatan. Laki-laki setelah menikah akan menanggung segala nafkah
anak dan istrinya. Sedangkan perempuan sebelum dan sesudah menikah
justru menjadi tanggung jawab orang lain.24
Warisan tidak hanya terikat dengan peristiwa masa lalu, tetapi juga
peristiwa masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu,
penjabaran ide kewarisan yang terdapat dalam al-Qur’an harus didukung oleh
dimensi intelektual umat Islam. Bahkan ia merupakan bagian esensial dari
ajaran Islam.
Berangkat dari kenyataan dan permasalahan pokok di atas, maka
peneliti ingin membahas dengan judul “PEMBAGIAN WARIS ANTARA
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
22
Ahmad Gozali, 70 Solusi keuangan: Learn from the Expert, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2008) h. 83 23
Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’ān Kontemporer: Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002) h. 110. 24
Sayyid quṭb, Tafsir Fî Ẕilâl al-Qur‟an: di bawah naungan al-Qur’ān,
penerjemah: As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h. 290.
8
1. Pembatasan Masalah
Aturan tentang kewarisan telah ditetapkan oleh Allah melalui
firmannya yang terdapat dalam al-Qur’an, terutama Surah Al-Nisā’ ayat
7, 8, 11, 12, 176, yang mengatakan bahwa bagian anak laki-laki berbeda
dengan bagian anak perempuan. Ketentuannya, bagian anak laki-laki dua
kali lipat bagian anak perempuan. Permasalahan mengenai waris serta
pembagiannya dalam keluarga merupakan suatu hal yang sangat rumit
dan riskan. Dimanapun dan kapanpun masalah warisan menjadi persoalan
yang sangat polemik. Tak seorang pun berbuat dengan adil. Oleh sebab
itu, untuk menghindari melebarnya pembahasan berdasarkan pada uraian
latar belakang yang telah dikemukakan maka batasan masalah pokok yang
akan dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah Pemikiran Sayyid Quṭb
terhadap bagian harta untuk masing-masing anak laki-laki dan anak
perempuan yang terdapat dalam surat al-Nisā’ ayat 11 dan 176.
2. Perumusan Masalah
Dengan pembatasan masalah tersebut di atas, maka dikemukakan
perumusan masalah untuk mempermudah pembahasan ini sebagai
berikut:
Bagaimana konsep waris yang telah dikemukakan oleh Sayyid Quṭb
terhadap bagian masing-masing anak laki-laki dan anak perempuan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Diharapkan, dengan penelitian ini dapat terdapai tujuan-tujuan
9
sebagai berikut:
1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah jakarta.
2. Memahami makna waris
3. Untuk mengetahui cara menerapkan konsep waris terhadap bagian
anak laki-laki maupun perempuan dalam perspektif Sayyid Quṭb.
2. Manfaat Penelitian
Secara umum dengan adanya karya tulis ini diharapkan dapat
membawa khazanah ilmu pengetahuan untuk dapat di telaah lebih lanjut
sehingga dapat di adakan kajian lanjutan. Dan diharapkan dapat membawa
manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
1. Dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan yang
lebih mendalam bagi penyusun tentang semua masalah yang berkaitan
dengan waris.
2. Membuka wawasan tentang konsep dan gagasan Sayyid Quṭb tentang
masalah waris.
3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapakan sebagai
sumbangan yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang
lingkup karya-karya ilmiah.
D. Kajian Pustaka
Uraian singkat hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya
tentang masalah sejenis, sehingga diketahui secara jelas posisi dan kontribusi
peneliti, adalah pengertian dari telaah pustaka. Untuk menghasilkan suatu
10
hasil penelitian yang konprehensif, dan tidak adanya pengulangan dalam
penelitian, maka sebelumnya dilakukan sebuah pra-penelitian terhadap objek
penelitiannya, dalam hal penelitian tentang waris dalam perspektif Sayyid
Quṭb.
Kajian tentang waris bukanlah hal yang baru lagi. Sudah banyak
pemikir yang mengupas makna waris dari berbagai sudut pandang. Namun
menurut sepengetahuan penulis belum ada secara khusus yang menulis waris
dalam pandangan Sayyid Quṭb. Ada beberapa penelitian yang telah
membahas dan mengkaji mengenai sistem pembagian waris, di antaranya
ialah:
1. Fachrurodzy, Mahasiswa jurusan hukum keluarga, fakultas syariah dan
hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta tahun 2015. Skripsinya berjudul
“Hak Waris dalam Kandungan Perspektif Fikih Konvensional dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Menjelaskan bahwa dalam fikih
konvensional, anak dalam kandungan adalah ahli waris yang berhak
menerima warisan jika padanya terdapat sebab-sebab menerima waris.
Dan segera menyelesaikan perkara pembagian waris anak dalam
kandungan, jika ada perkara pembagian warisan yang kemungkinan ahli
warisnya anak dalam kandungan.
2. Laila Rahmawati, Mahasiswa Ahwal Syahsiyah, fakultas syariah IAIN
Walisongo Semarang tahun 2009, Skripsinya berjudul hak dan kewajiban
ahli waris (studi komparatif hukum islam dan kuh perdata). Menjelaskan
bahwa dalam KUH Perdata, ahli waris boleh melepaskan diri dari
11
tanggung jawab terhadap beban warisan dari pewaris, maka kemudian
hukum Islam memerintahkan kepada ahli waris bahwa sebelum warisan
dibuka dan dibagikan maka harus dibersihkan lebih dahulu dari segala
pembiayaan pihak pewaris yang wafat. Dengan demikian secara prinsip
bahwa persamaan antara KUIH Perdata dan Hukum Islam terhadap hak
dan kewajiban ahli waris yaitu kedua sistem hukum tersebut pada
prinsipnya meletakkan hak dan kewajiban kepada ahli waris. Adapun
perbedaannya yaitu bahwa dalam hukum Islam yang diterima ahli waris
adalah harta warisan bersih setelah dikurangi segala beban. Sedangkan
dalam perspektif KUH Perdata bahwa harta peninggalan yang diterima
ahli waris adalah seluruh harta warisan kotor yaitu berikut beban yang
harus dipikul ahli waris. Persamaan antara Perdata dan Hukum Islam
bahwa sebelumnya baik KUH Perdata maupun hukum Islam
membebankan kepada ahli waris untuk bertanggung jawab secara penuh
terhadap beban-beban warisan dari pewaris, akan tetapi kemudian KUH
Perdata dan hukum Islam berbeda dalam menyikapi saat terbukanya
warisan.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.25
Dalam suatu
penelitian, ketetapan penggunaan metode sangat penting untuk menentukan
arah penelitian dan analis terhadap permasalahan yang diangkat di dalamnya.
25
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung : Alfabeta, CV,1999) h. 1.
12
Ketetapan penggunaan metode mengantarkan hasil penelitian yang teratur
dan sistematis sekaligus dapat dipertanggungjawabkan problem solving dan
kesimpulannya.
Metode dapat diartikan dengan cara utama yang dipergunakan untuk
mencapai suatu tujuan.26
Sedangkan penelitian adalah salah satu usaha untuk
menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan
yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.27
Untuk menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan metode
tertentu yang kemudian penulis membaginya menjadi tiga bagian. Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Metode Pengumpulan Data
Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan beberapa metode, yang
diantaranya adalah penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang
menitik beratkan pada literatur dengan cara menganalisis muatan isi dari
literatur-literatur yang terkait dengan penelitian baik dari sumber data primer
maupun sekunder.28 Adapun sumber data primer yang dilakukan untuk
penelitian ini adalah al-Qur’an, baik berupa mushaf maupun perangkat lunak
(sofware) komputer, kitab tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an karya Sayyid Quṭb, dan
ḥadīṡ Nabi SAW, baik berupa kitab maupun perangkat lunak (sofware)
komputer. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan antara lain
adalah buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-Qur’an, buku-
26
Winarno Surahman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung : Tarsitio, 1998), h. 131. 27
Sutrisno Hadi, Metodologi Research,Jilid 1 (Yogyakarta : Andi Offset, 2001) h. 4. 28
Hadi, Metodologi Research,Jilid 1, h, 3.
13
buku Islam yang membahas tentang waris, dan sumber-sumber lain yang
relevan dengan topik pembahasan.
2) Metode Pembahasan
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni menuturkan,
menggambarkan dan mengklasifikasi secara objektif data yang dikaji
sekaligus menginterpretasikan dan menganalisa data.29
3) Teknik Penulisan
Adapun penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan buku
pedoman akademik penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah tahun 2010.30
F. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan ini merupakan rangkaian pembahasan yang
termuat dalam isi skripsi, dimana antara yang satu dengan yang lainnya saling
terkait sebagai suatu kesatuan yang utuh. Ini merupakan deskripsi sepintas
yang mencerminkan urutan dalam setiap bab. Agar penelitian ini dapat
dilakukan secara runtut, terarah dan dapat dengan mudah dipahami oleh para
pembaca, maka penyusunan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang disusun
berdasarkan sistematika sebagai berukut :
BAB I, adalah pendahuluan yang terdiri dari enam sub bab. Sub bab
pertama, membahas tentang latar belakang masalah yang merupakan pokok
masalah mengapa penelitian / skripsi ini disusun. Sub bab kedua pembatasan
29
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode penelitian (Jakarta : Bumi Aksara,
2011). Cet III, h, 44. 30
Amsal Bakhtiar, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2010-2011 (Ciputat : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
14
dan perumusan masalah yang merupakan pertanyaan yang menjadi titik tolak
penelitian selanjutnya. Sub bab ketiga, tujuan dan manfaat /kegunaan tentang
penelitian ini. Sub bab keempat, adalah kajian/telaah pustaka adalah upaya
penelusuran atau penelitian pendahuluan yang berkaitan dengan topik utama.
Sub ban kelima adalah metode penelitian yang merupakan langkah-langkah
pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang ditempuh dalam
penyusunan penelitian. Kemudian terakhir adalah sub keenam tentang
sistematika pembahasan.
BAB II, adalah pembahasan yang membahas tentang hukum waris,
termasuk di dalamnya pengertian waris, sejarah hukum waris, dan pandangan
ulama mengenai waris. Penulisan ini penting untuk mendukung terkait
mengenai hukum waris, karena dengan penjelasan makna, histori dan
pemikiran ulama tentang waris maka akan mempermudah penelitian analisa
hukum waris sebagai langkah awal penelitian.
BAB III, adalah membahas tentang hukum waris dalam al-Qur’an,
yang meliputi tujuan waris dalam al-Qur’an, ahli waris dalam al-Qur’an, serta
sebab-sebab menerima dan penghalang menerima warisan. Dengan adanya
pembahasan ini akan diketahui sebab-sebab kewarisan.
Bab selanjutnya, adalah BAB IV, yaitu bab inti yakni penafsiran Sayyid
Quṭb terhadap ayat-ayat waris, yang meliputi penafsiran surat al-Nisā’(4) ayat
11 dan 176 yang menjadi puncak dari penelitian skripsi ini.
15
Dan yang terakhir adalah BAB V, berisi tentang kesimpulan dari
uraian-uraian bab sebelumnya yang merupakan jawaban dari rumusan
masalah dalam penelitian ini. Serta saran-saran bagi para pembaca skripsi ini.
16
BAB II
SEKILAS MENGENAI HUKUM WARIS
A. Pengertian Waris
Al-Qur‟an itu adalah utuh dan tidak terbagi-bagi; ajaran-ajaran dan
hukum-hukumnya adalah saling terkait dan saling melengkapi.1 Al-Qur‟an
diturunkan untuk kebaikan alam semesta. Ia menjadi way of life umat
manusia, khususnya umat Islam. Al-Qur‟an diwahyukan kepada Nabi
Muhammad mengikuti kebutuhan dan tuntutan permasalahan yang dihadapi,
artinya ia tidak turun sekaligus.2 Salah satu yang sangat dibanggakan umat
Islam dari dahulu sampai saat ini adalah keotentikan al-Qur‟an yang
merupakan warisan intelektual Islam terpenting dan paling berharga.3 Umat
Islam hendaknya menyadari, al-Qur‟an bukan sekedar memuat petunjuk
tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya (ḥablum min Allāh wa ḥablum min al-nās),
bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.4 Syariat Islam
menetapkan ketentuan waris dengan sistematis, teratur, dan penuh dengan
nilai-nilai keadilan. Di dalamnya ditetapkan hak-hak kepemilikan bagi setiap
manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan
hukum. Syariat Islam juga menetapkan hak-hak kepemilikan seseorang
sesudah ia meningal dunia yang harus diterima seluruh kerabat dan nasabnya,
1 Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang
Pilar-pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, Penerjemah: Setiawan
Budi Utomo (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997) h. 373 2 Ahmad Syarbani, Dimensi-Dimensi Kesejatian al-Qur‟ān, penerjemah: Ghajali
Mukri dan Ruslan Fariadi (Yogyakarta: Ababil, 1996) h. 9 3 Abdul Halim, Al-Qur‟ān Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002) h. 15 4 Abdul Halim, Al-Qur‟ān Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 3
17
dewasa atau anak kecil, semua mendapat hak secara legal.5 Ungkapan yang
digunakan al-Qur‟an untuk menunjukkan adanya kewarisan dapat dilihat pada
tiga jenis, yaitu al-irṡ, al-farāiḍ, dan al-tirkah.6
1. Al-Irṡ
Al-Irṡ dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata wariṡa,
yariṡu, irṡan. Bentuk masdarnya bukan hanya kata irṡan, melainkan
termasuk juga kata wirṡan, turāṡan, dan wirāṡatan. Kata-kata itu berasal
dari kata asli wariṡa, yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan ṡa
yang bermakna dasar perpindahan harta milik, atau perpindahan pusaka.7
Kata al-irṡ juga semakna dengan kata mīrāṡ, turāṡ, dan tirkah, yang
artinya warisan.8
2. Al-Farāiḍ
Kata faraid berasal dari kata al-farāiḍ yang merupakan bentuk
jamak dari kata tungal الفريضة (al-farīḍah) yang bermakna المفروضة (al-
mafrūḍah) atau sesuatu yang diwajibkan.9 Kata farīḍah sendiri berasal
dari kata farada, yang berarti ketetapan atau ketentuan (al-taqdīr) dari
Allah Swt.10
Kata farīḍah (فريضة ) dan yang seasal dengannya terulang 18
kali dalam al-Qur‟an. 8 kali dalam bentuk kata kerja masa lalu, di
5 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006) h. 204-205. 6 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur‟ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995) h. 23. 7 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur‟ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, h. 23 8 Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-
Indonesia (Ciputat: Ciputat Press Group, 2009) h. 45. 9 Imron Abu Amar, Fathul Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1983) h. 2
10 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,
1996) h. 307
18
antaranya pada QS. Al-Baqarah [2]: 197, QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 85, serta
QS. Al-Aḥzāb [33]: 38 dan 50. Satu kali disebut dalam bentuk kata kerja
masa sekarang dan masa yang akan datang, seperti dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 236. Di dalam bentuk masdar (kata yang menunujuk kepada
nama benda dan perbuatan) terulang sembilan kali, di antaranya di dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 237, QS. Al-Nisā‟ [4]: 11 dan 24, serta ada juga
yang disebut dalam bentuk-bentuk lainnya.11
Menurut bahasa, lafal farīḍah diambil dari kata الفرض (al-farḍ) atau
kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara
etimologis, kata al-farḍ memiliki beberapa arti, di antaranya adalah: al-
qaṭ„, al-taqdīr, al-inzāl, al-tabyīn, al-ihlāl, dan al-„aṭa‟.12
Untuk lebih
jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a. al-Qaṭ„, yaitu ketetapan yang pasti. Misalnya dalam sebuah ungkapan
لفلن كذا من المال أى قطعت فرضت “Aku telah menetapkan dengan pasti
bagian harta untuk si Fulan” Sebagaimana firman Allah SWT dalam
Surat Al-Nisā‟:
ا للرجال نصيب ربون وللنساء نصيب ت رك م لدان وٱلق ا ٱلو ربون ت رك م لدان وٱلق ٱلوفروضا ) اأو كث ر نصيب ما قل منه ( ٧ م
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”. (QS. Al-Nisā‟ (4): 7).
11
Sahabuddin, Ensiklopedi Al-Qur‟ān: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera hati, 2007)
h. 216-217 12
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, penerjemah:
Addys aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,2004) h. 12
19
b. al-Taqdīr, yaitu suatu ketentuan. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah:
ف رضتم ما فنصف وقد ف رضتم لن فريضة“Padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”. (QS.
Al-Baqarah(2): 7).
c. al-Inzāl, yaitu menurunkan. Seperti firman Allah dalam surat al-
Qaṣaṣ:
قل إن ٱلذي ف رض عليك ٱلقرءان لرادك إل معاد ب ٱلدى ومن هو ب جاء من لم أع رل بني ف ضل )٥٨( م
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al
Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.
Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan
orang yang dalam kesesatan yang nyata". (QS. Al-Qaṣaṣ (28): 85)
d. al-Tabyīn, yaitu penjelasan. Seperti firman Allah dalam surat at-
Tahrim:
كم وهو ٱلعليم ٱلكيم مولى لة أينكم وٱلل لكم ت ) ٢(قد ف رض ٱلل
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian
membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu
dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Taḥrīm
(66): 2)
e. al-Iḥlāl, yaitu menghalalkan sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Aḥzāb:
ا كان على ٱلنب من حرج لهۥ ف رض فيمام سنة ٱلل ف ٱلذين خلوا من ق بل وكان ٱللقدورا اأمر ٱلل قدر ٨٥ م
“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah
baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-
nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan
yang pasti berlaku”. (QS. Al-Aḥzāb (33): 38)
20
f. al-„Atha‟, yaitu pemberian. Seperti dalam pepatah bangsa Arab yang
berbunyi, ل أصبت منه ف رضا ول ق رضا أى عطاء “aku tidak mendapatkan
pemberian ataupun pinjaman darinya”.
3. Al-Tirkah
Kata Al-Tirkah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari
kata taraka, artinya yang ditinggalkan.13
Keseluruhan kata taraka yang
terdapat dalam surat Al-Nisā‟ (4): 7, 11, 12, 33, dan 176 adalah
berbentuk tunggal māḍi, rahasia terbentuknya kata-kata taraka dalam
bentuk māḍi untuk kelima ayat dalam surat Al-Nisā‟ itu karena yang
meninggal dunia adalah seorang pewaris. Tirkah yang akan dijadikan
pusaka oleh pewaris dapat berupa benda dan sifat-sifat yang memiliki
nilai kebendaan. Seperti benda bergerak, benda tidak dapat bergerak,
kredit, dan lain-lain. Dengan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa
konsep kewarisan yang terdiri dari al-irṡ, al-farāiḍ, dan tirkah,
mempunyai unsur yang berbeda. Istilah yang pertama mengacu kepada
sebab terjadinya kewarisan dengan unsur utamanya adalah perkawinan
hubungan nasab, dan hubungan wala‟. Istilah yang kedua mengacu
kepada format saham yang akan diterima ahli waris. Dan istilah ketiga
mengacu kepada kewajiban pewaris yang harus dipenuhi ahli warisnya
sebelum harta pusakanya dibagi habis oleh ahli warisnya.14
B. Sejarah Hukum Waris
a. Hak Waris Perempuan Sebelum Islam
13
S. Askar, Kamus Arab-Indonesia: Terlengkap, Mudah, dan Praktis,(Jakarta:
Senayan Publising, 2011) h. 133. 14
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur‟ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, h. 30-32
21
Para ahli sejarah menyebut masa sebelum kehadiran Islam yang
dibawa Nabi Muhammad saw, sebagai masa jahiliyah.15
Bangsa Arab
pada zaman jahiliyah tergolong salah satu bangsa yang gemar
mengembara dan berperang.
Kondisi daerahnya selalu diasosiasikan dengan padang pasir,
kurma, unta, kering dan tandus mengharuskan mereka menjalani hidup
penuh keberanian dan kekerasan.16
Mata pencarian mereka yang utama adalah berdagang yang
dilakukan dengan cara menempuh perjalanan jauh dan berat. Permusuhan
antara kabilah dengan kabilah lainnya seringkali menyebabkan
peperangan, yang menang berhasil membawa harta rampasan. Beberapa
hal tersebut memengaruhi kematangan cara berpikir mereka yang serba
mengandalkan kekuatan fisik.17
Tradisi pembagian waris orang Arab jahiliyah mempergunakan
sistem hukum waris umat sebelum mereka.18
Atau berpegang teguh pada
tradisi yang telah diwariskan nenek moyang atau leluhur mereka.
Hukum kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem
sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada. Sebelum Islam datang,
anak-anak dan kaum perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk
15
Abu Su„ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradababn Umat
Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) h. 16 16
Abu Su„ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradababn Umat
Manusia, h. 7. 17
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam sebagai pembaharu
hukum positif di Indonesia, h. 32 18
. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006) h. 195
22
menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua atau kerabatnya).
Dengan dalih bahwa anak-anak dan kaum perempuan tidak dapat ikut
berperang membela kaum dan sukunya.19
Mereka mengkhususkan harta
warisan mereka kepada orangorang yang ikut berperang, bukan kepada
keturunan mereka.20
Perempuan juga diperlakukan tidak lebih dari
barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat
diwariskan sebagaimana harta benda.21
Bangsa Arab jahiliyah dengan
tegas menyatakan, “bagaimana mungkin kami memberikan warisan
(harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah
menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula
berperang melawan musuh?”.22
Tradisi pembagian waris pada zaman jahiliyah, berpegang teguh
pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur
mereka. Mereka mengharamkan kaum perempuan menerima harta
warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak
kecil.23
Adapun sebab-sebab orang Arab sebelum Islam (Jahiliyah) berhak
menerima warisan adalah sebagai berikut:
19
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 5, penerjemah: Ahmad Rijali
Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 147. 20
Abu Ja„far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabārī, Tafsīr al-Ṭabārī, Jilid 6, Penerjemah:
Akhmad Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 533. 21
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran,h. 33. 22
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam sebagai pembaharu
hukum positif di Indonesia, h. 32. 23
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, penerjemah: A.M.
Basalamah, h. 21.
23
1. Karena hubungan kerabat, sebab mewaris karena kekerabatan tidak
cukup kalau tidak disertai dengan tiga syarat yaitu laki-laki, sudah
dewasa dan yang kuat dalam berperang.24
2. Karena janji setia, perjanjian dua pihak dalam hal tertentu dapat
memperkuat mereka sebagai ahli waris.25
Perjanjian terjadi antara
dua pihak yang saling berhadapan dengan mengucapkan “hidupku
adalah hidupmu, matimu merupakan matiku juga, aku mewarisimu
dan kamu pun mewarisiku, perjuanganku perjuanganmu juga”. Jika
pihak lain menerima apa yang diucapkan itu, maka sahlah sumpah di
antara keduanya.26
3. Karena pengangkatan anak, pengangkatan anak-anak orang lain
menjadi anak sendiri yang kemudian dijadikan ahli waris,
merupakan salah satu program utama orang Arab jahiliyah untuk
tujuan kekuatan perang.27
Dalam arti, salah satu dari mereka
menganggap anak orang lain sebagai anaknya menggantikan
anaknya sendiri.28
Kehadiran anak angkat dimasukkan sebagai
keluarga besar bapaknya yang status hukumnya sama dengan anak
kandung termasuk sebagai ahli waris. Sedangkan hubungan dengan
24
Pada zaman ini, tidak diberikan hak waris kepada anak laki-laki yang lemah dan
bahkan kaum perempuan tidak sedikitpun mendapatkan harta warisan dari indikasi ini terlihat
bahwa laki-laki lebih dominan dari perempuan, dengan urutan prioritas bahwa anak, suami,
saudara laki-laki, kakek, dan paman merupakan ahli waris utama. Lihat Ahmad Musthafa al-
Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,Jilid: 4 (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1974) h. 345 25 25
QS An-Nisā : 33. 26
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 197. 27
QS Al-Ahzāb: 5. 28
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, penerjemah: Faisal Saleh,
dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2006) h. 415.
24
ayah kandungnya terputus.29
Tradisi mengangkat anak telah ada pada
masyarakat sebelum Islam, bahkan itu merupakan budaya yang
masih berkembang di kebanyakan negara-negara Timur Tengah dan
Eropa hingga sekarang.30
Sayyid Qutb31
menjelaskan bahwa masalah
adopsi dan panggilan anak-anak selain dengan nama bapak-bapak
kandung mereka, timbul dari kekacauan dalam pembinaan rumah
tangga dan pembinaan masyarakat secara keseluruhan.
b. Pembagian Waris Pada Awal Islam
Pada masa pra Islam, perempuan tidak memiliki otonomi terhadap
dirinya sendiri. Terhadap perempuan mereka menunjukkan sikap yang
negatif, hak-haknya dirampas, sehingga setiap kelahiran anak perempuan
akan dikubur hidup-hidup karena dianggap memalukan martabat
keluarga. Orang quraisy dikenal sebagai komunitas yang tidak
menghendaki kehadiran anak perempuan. Ia diperjualbelikan layaknya
budak belian. Ia mewariskan, tapi tidak mendapat hak waris, bahkan
beberapa di antaranya diperlakukan seperti benda mati, tidak bernyawa,
29
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008) h. 128. 30
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 198. 31
Nama Asli beliau adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili, beliau dilahirkan
pada tahun 1906 di kampung Mausya, Kota Asyut, Mesir Tengah. Beliau adalah anak sulung
dari lima bersaudara, dengan seorang saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Saudara
kandung yang pertama adalah Nafisah, kedua, Aminah, ketiga hamidah. Hamidah adalah
adik perempuan Sayyid Qutb yang paling bungsu. Dan yang keempat adalah Muhammad
Qutb, selisih umurnya sekitar 13 tahun lebih mudah. Nuim Hidayat, Sayyid Quthb: Biografi
dan Kejernihan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) h. 15-16. Salah satu karya
Sayyid Qutb adalah Tafsir Fî Ẕilâl al-Qur‟ân. Sayyid Qutb menafsirkan al-Qur‟ān dengan
metode Tahlīlī dan menggunakan metode Mawḏû„î. Al-khalidi mengkategorikan corak
penafisran Fi Zilal Al-Qur‟ān dengan corak baru yang unik di antara corak-corak tafsir yang
ada. Serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Yaitu yang diistilahkan dengan pendekatan
pergerakan (manhaj haraki). Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi
Zhilalil Qur‟ān, Penj: Salafuddin Abu Sayyid, h. 364
25
musnah begitu ia mati, dikeluarkan dari “hukum keabadian”. Pada
dasarnya, ia dianggap berbeda dengan laki-laki.32
Kedudukan perempuan dalam pandangan masyarakat pra Islam
sangat rendah dan hina dina, mereka tidak menganggapnya sebagai
manusia yang mempunyai roh, atau hanya menganggapnya dari roh yang
hina. Bagi mereka, perempuan adalah pangkal keburukan dan sumber
bencana.33
Islam pada hakikatnya merupakan sebuah revolusi kemanusiaan
(humanisme) yang besar, sebuah revolusi untuk membebaskan manusia
dari penghambaan dan ketundukan kepada selain Penciptanya. Sebuah
revolusi di dunia pemikiran, hati dan perasaan, dan merupakan sebuah
revolusi di sunia kenyataan (realita) dan pelaksanaan (aplikasi).34
Di awal sejarah Islam, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan
dan suasana batin yang cerah.35
Dalam naungan Islam, perempuan
menempati kedudukan yang belum pernah didapatkan dalam sistem
manapun sebelumnya.36
Islam diturunkan untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya, baik
masa jahiliyah maupun masa awal Islam diturunkan. Hukum kewarisan
pada masa awal Islam belum mengalami perubahan, karena pada masa
32
Muhammad Anas Qasim Ja„far, Mengembalikan Hak-hak Politik Perempuan:
Sebuah Perspektif Islam, penerjemah: Mujtaba Hamdi (Jakarta: Azan, 2001) h. 1. 33
Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Timbangan Islam: Kodrat kewanitaan,
Emansipasi, dan Pelecehan Seksual, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998) h. 1. 34
Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang
Pilar-pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, h. 47. 35
Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio-
Kultural dan Politik Peran Perempuan, (Ciputat: el-KAHFI, 2002) h. Xi. 36
Abdul Hakam Ash-Sha„idi, Menuju Keluarga Sakinah, Penerjemah: Abdul Hayyie
al-Kattani (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005) h. 29.
26
itu memprioritaskan ajarannya pada pembinaan akidah. Masyarakat Arab
jahiliyah tetap mempraktikkan tradisi awal mereka dalam soal
pernikahan, perceraian, dan warisan, hingga kemudian mereka diarahkan
agar mengikuti ketentuan-ketentuan baru yang digariskan oleh Allah.37
Jika pada masa sebelum Islam dasar pewarisan terdiri dari pertalian
darah, janji setia, dan pengangkatan anak, maka pada awal Islam, ketiga
dasar pewarisan tersebut tetap berlangsung ditambah dengan hijrah dari
Mekkah ke Madinah, bersumpah setia antara dua orang dan karena
mengikat tali persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar.38
Kemudian
dalam perkembangan lebih lanjut, satu per satu dari sebab-sebab warisan
tersebut dimansukhkan oleh syariat Islam, sehingga yang tinggal hanya
kekerabatan saja.39
Ketika Islam datang, dihilangkanlah segala bentuk
penganiayaan dan beban berat yang selama ini ditimpahkan kepada
perempuan, baik dari keluarga, kerabat suami, maupun masyarakat secara
keseluruhan.40
C. Pandangan Ulama Mengenai Waris
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus41
menjelaskan apabila seorang muslim
meninggal dunia yang wajib diselenggarakan terlebih dahulu adalah hal yang
37
Abdul Qadir Manshur, Buku Pintar Fiqih Wanita: Segala Hal yang Ingin Anda
Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam, Penerjemah: Muhammad Zainal Abidin
(Jakarta: Zaman, 2012) h. 138 38
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 128. 39
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 205. 40
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid 1, cet: 5, penerjemah: As„ad
yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 632. 41
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899. Bertepatan dengan
tanggal 29 Ramadhan 1316 H di desa Sungayang Batu Sangkar Sumatera Barat. Ia dilahirkan
dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek dari suku
Mandailing dan ibunya bernama hafsah dari suku Caniago. Walaupun dilahirkan dari
27
berkaitan dengan si mayat, seperti membayar hutang, baik hutang terhadap
Allah, seperti zakat, atau terhadap sesama manusia. Setelah selesai
dibayarkan segala hutang-hutang itu, maka diselesaikanlah wasiat-wasiat42
mayat, umpamanya ia berwasiat supaya sebagian hartanya diwakafkan untuk
masjid atau madrasah atau untuk kemenakannya yang menjadi waris menurut
adat negerinya, tetapi tidak menjadi waris menurut hukum syara‟. Tetapi
wasiat itu hanya dapat dilaksanakan kalau tidak lebih dari 1/3 (sepertiga)
harta pusaka. Wasiat yang lebih dari 1/3 harta pusaka dapat dibatalkan
kelebihannya itu. Setelah selesai segalanya, barulah dibagi harta pusaka
mayat menurut Islam.43
Dalam pelaksanaan wasiat ulama fiqih mensyaratkan bahwa orang
yang menerima wasiat bukan salah seorang yang berhak mendapatkan
warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya
membolehkannya. Dengan demikian kebolehan wasiat kepada ahli waris
sangat tergantung kepada restu ahli waris lainnya. Dan wasiat yang dibuat
untuk kerabat dekat yang lain (yang bukan ahli waris) masih diperbolehkan.44
Menurut juris hukum Islam, larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah
keluarga yang sederhana, namun keluarga ini mempunyai tradisi keagamaan yang kuat. Sejak
berumur 7 tahun Mahmud Yunus belajar membaca al-Qur„an di bawah bimbingan kakeknya,
M. Thahir yang dikenal dengan nama Engku Gadang. Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia,
(Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013) h. 58-61. 42
Wasiat menurut etimologi berarti janji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu,
ketika hidup maupun setelah meninggal. Atau memberika harta untuk orang lain. Sedangkan
menurut terminologi, para ulama fiqih memberika definisi wasiat adalah penyerahan
kepemilikan yang disandarkan kepada saat setelah kematian melalui akad tabarru„ (derma),
baik berupa benda maupun nilai guna. Lihat: Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalah (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2005) h. 180 43
Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: C.V. Al-Hidayah, 1974)
h. 5. 44
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta:
INIS, 1998) h. 85.
28
ditentukan pembagian warisannya adalah agar tidak ada kesan bahwa wasiat
menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris yang pada
akhirnya dapat menyulut perselisihan di antara ahli waris yang ditinggalkan
orang yang wafat.45
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus juga menjelaskan dalam ayat-ayat waris
bagaimana pembagian harta warisan si mayat, supaya setiap orang Islam
mengikutinya. Barang siapa yang mengikutinya akan berbahagia di dunia dan
akhirat, dan siapa yang melanggarnya akan dimasukkan kedalam neraka serta
kekal di dalamnya. Keterangan surat al-Nisā‟ ayat 11 mengenai bagian anak
laki-laki dua bagian anak perempuan, hikmahnya adalah karena anak laki-
laki harus membelanjai dirinya, istrinya dan anak-anaknya, sebab itu ia
mendapatkan dua bagian. Adapun anak perempuan hanya membelanjai
dirinya sendiri. Apabila ia menikah nafkahya dipikul oleh suaminya. Inilah
hikmahnya, maka bagian anak laki-laki lebih banyak dari bagian anak
perempuan.46
Namun, para ahli modern berupaya untuk melihat persoalan waris
perempuan ini sesuai dengan prinsip keadilan gender. Salah satunya adalah
Munawir Sjadzali yang menyatakan bahwa persoalan waris bagi perempuan
sama dengan persoalan perbudakan. Dalam syariat tradisional, Islam
mendukung penghapusan perbudakan. Tetapi hingga Nabi Muhammad wafat,
Islam belum menghapus perbudakan. Perbudakan masih dilegitimasi al-
45
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam
(Jakarta: Kencana, 2008) h. 73. 46
Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur‟an al-Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004)
h. 107.
29
Qur‟an seperti QS. Al-Nisā‟: 3, QS. Al-Mu‟minūn: 4, QS. Al-Aḥzāb: 52, dan
QS. Al-Ma„arij: 30. Namun pada abad 20, ketika umat manusia sepakat
menghapus perbudakan, kaum muslimin juga sepakat untuk menghapus,
meskipun ayat yang berkaitan dengan perbudakan adalah qaṯ„i. Hingga hari
ini pun, tidak ada satu ulama modern yang melegitimasi perbudakan
berdasarkan ayat-ayat tadi. Sebab situasi modern berbeda dengan masa Nabi
Muhammad, di mana hak-hak sipil yang diakui dalam deklarasi HAM
mengharuskan tidak adanya diskriminasi berdasarkan kelamin, maka hak-hak
waris perempuan harusnya disamakan, yaitu satu orang perempuan
berbanding satu orang laki-laki.47
Hal ini sama dengan pendapat Nasr Hamid Abu Zayd.48
Pada
abstraksi pemikirannya, khususnya permasalahan hak kewarisan perempuan,
Abu Zayd mampu menghadirkan sebuah pemikiran yang berbeda dari ulama
lain dan tampak lebih realistis, dimana ia mensejajarkan posisi laki-laki dan
47
Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, Kontekstual Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 23 Sukron Kamil, dkk, Syariah Islam
dan HAM: Dampak perda Syariah terhadap kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-
Muslim (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2007) h. 58. 48
Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan di desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada
10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga yang religius. Ayahnya seorang aktivis
ikhwan al muslim. Orangtuanya memberi nama Nashr dengan harapan agar dia selalu
membawa kemenangan atas lawan-lawannya. Sangat wajar karena kelahiran Abu Zayd
bertepatan dengan perang dunia II. Pada 1952, Mesir dilanda krisis kepemimpinan yang
melahirkan "Revolusi Juli," yakni pada 2 Juli 1952, sekaligus peralihan status dari Kerajaan
menjadi Republik—dari tangan Raja Faruq ke tangan Jamal 'Abdul Nashr. Situasi Perang
Dunia II, yang ditandai dengan pecahnya Revolusi Juli ditambah lagi dengan latarbelakang
keluarganya—dimana ayahnya seorang aktifis gerakan Ikhwanul Muslim yang pernah
dipenjara—telah membentuk kepribadiannya menjadi seorang sosok yang kritis, penuh
tantangan, dan bertanggungjawab. Lihat pengantar Hamka Hasan dalam Nasr Hamid Abu
Zayd, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas Dalam al Qur'an Menurut Mu'tazilah,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 10.
30
perempuan (1:1).49
Pemaknaan terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan
kewarisan tidak hanya dilihat dari tekstual gramatikalnya saja, tetapi juga
harus ditinjau dari setting sosial dan semangat perubahan yang digalang al-
Qur‟an. Penentuan tentang pembagian kewarisan antara laki-laki dan
perempaun 2:1 harus dipahami sebagai perubahan dari ketidakadilan ke arah
persamaan derajat laki-laki dan perempuan. Kalau kemudian hak waris itu
dilandaskan pada kemampuan penguasaan sosial ekonomi, maka ketika hal
ini dilihat dalam kacamata kontemporer dimana peran serta antara laki-laki
dan perempuan sudah sebanding, pembagian yang sepadan (1:1) mutlak
diterapkan.50
49
Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa‟ir al Khouf: Qiro‟ah fi Khitab al- Mar‟ah;
penerjemah: Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta:
Samha, 2003) h. 159. 50
Moch Sholekan, Studi Analisis Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd Tentang Hak
Waris Perempuan Dalam Hukum Islam (Skripsi S1 Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo
Semarang) h. 6.
31
BAB III
HUKUM WARIS DALAM AL-QUR’AN
A. Tujuan Waris Dalam al-Qur’an
Islam mendorong umatnya mencari harta kekayaan karena harta
merupakan alat untuk mencapai kesenangan bidup di dunia dan kebahagiaan
di akhirat. Harta kekayaan memungkinkan seseorang memenuhi keperluan
hidupnya di dunia dan menunaikan tanggung jawab terhadap agama.1 Harta
adalah keperluan hidup, bukan tujuan hidup, dan hanyalah kenikmatan semu.
la hanyalah ujian dan fitnah bagi manusia.2 Sebagaimana firman Allah dalam
surat al- Anfāl ayat 28:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang menjunjung tinggi perkara
harta dan menyuruh supaya memperoleh serta mengembangkannya melalui
jalan-jalan yang telah disyariatkan.3 Syariat lslam dalam menangani masalah
harta di arahkan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah penanganan harta
bidang ibadah seperti zakat, penanganan harta dalam bidang muamalat yaitu
dengan membuat peraturan yang pada intinya bahwa seseorang tidak boleh
mengambil hak orang lain ataupun membuat orang lain rugi, penanganan harta
1 Melvi Yendra, Ensiklopedi Untuk Anak-anak Muslim (Bandung: Grasindo, 2007) h.
31. 2 Akhmad Iqbal, Panen Pahala dengan Puasa (Yogyakarta: Jogja Great Publisher,
2009) h. 74. 3 Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur‟ān al-Karīm: pendekatan Syaltut dalam Menggali
Esensi al-Qur‟ān, Penerjemah: Herry Noer Ali (Jakarta: CV Diponegoro, 1989) h. 381.
32
dalam ahwal al-syahsiyah (hukum keluarga) seperti mengatur masalah wasiat,
waris dan lain-lain. Hukum waris dalam al-Qur‟an sangat rinci. Syariat Islam
juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya.4
Bukan tanpa sebab Allah menurunkan syariat waris kepada umat
Islam. Sebagaimana syariat lainnya, syariat waris diturunkan untuk
memberikan pengaturan bagi manusia dan memberikan rasa adil. Di antara
tujuan dan hikmah pembagian waris adalah:5
1. Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (ḥifẓ al-māl)
sehingga sampai kepada individu yang berhak menerima harta warisan.
Memberikan legalitas atas kepemilikan harta warisan. Hal ini sesuai
dengan salah satu tujuan syariat (maqaṣid al syariʻah)6 itu sendiri yaitu
memelihara harta.
2. Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
3. Menghindari perselisihan antara ahli waris atau keluarga mayat yang
ditinggalkan. Menjaga silaturahmi keluarga dari ancaman perpecahan yang
di sebabkan harta warisan serta memberikan rasa aman dan adil
4. Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari
seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah
4 Ahmad Abdul Hadi, Al-Qur‟ān Berbicara Tentang Ibu, Penerjemah: Abdul Azis
salim Basyarahil (Jakarta. Gema Insani Press, 1998) h. 64. 5 Jaenal Arifin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syarʻi
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h. 130. 6 Dari segi bahasa maqaṣid al syariʻah berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum
Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai hikmah dan
ʻillat ditetapkannya suatu hukum. Lihat: Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 123.
33
Allah swt yang harus dipelihara dan tentunya harus
dipertanggungjawabkan kelak.
5. Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan
tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan
maupun kecemburuan sosial.
6. Melalui sistem waris dalam lingkup keluarga. Pembagian waris ini dapat
menimbulkan rasa kasih sayang antaranggota keluarga.
7. Selain itu harta warisan bisa juga menjadi media untuk seseorang
membersihkan diri dari harta yang bukan haknya.
8. Mewujudkan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan membedakan
jenis kelamin karena pada masa jahiliyah, kaum perempuan tidak
mendapatkan bagian waris.
9. Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak
merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi demi generasi dalam
masyarakat.
B. Ahli waris Dalam al-Qur’an
Ahli waris adalah orang yang berhak atas harta warisan yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal.7 Al-Qur‟an menjelaskan tentang
siapa saja yang berhak menerima warisan. Di antara ayat-ayat yang
menjelaskan mengenai hal itu terdapat pada surat al-Nisā‟ ayat 11 dan 12. Di
dalam kedua ayat ini telah ditentukan hukum kewarisan yang mudah dipahami
7 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Quran (Jakarta: AMZAH, 2006) h. 11.
34
dan jelas isi ketentuannya mengenai siapa saja yang berhak menjadi ahli
waris, bagian-bagian yang harus diperoleh oleh setiap ahli waris.8
Semua ayat yang berkenaan dengan warisan menunjukkan bahwa
Allah swt membatasi pemberian warisan hanya kepada golongan atau pihak
yang disebutkan saja. Dengan demikian, tidak sepantasnya seseorang
menambahkan peruntukkan warisan kepada golongan atau pihak yang tidak
disebutkan oleh Allah swt, tidak pula menguranginya.9
Dari penjelasan di atas dapat dirinci ahli waris berdasarkan jenis
kelamin menurut golongan Ahlu Sunnah sebagai berikut. Golongan-golongan
ahli waris yang berhak menerima waris dengan sebab yang telah disepakati
seperti di atas, berjumlah 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.10
Mereka adalah
A. Golongan laki-laki yang berhak menerima waris
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara kandung
6. Saudara seayah
7. Saudara seibu
8 Syaikh Ahmad bin Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, Jilid 2, Penerjemah:
Fedrian Hasmand, dkk (Jakarta: Almahira, 2006) h. 38. 9 Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsīr al-Imām al-Syafiʻi, h. 36.
10 Muhammad Ibnu Hasan al-Ruhby, Matnu al-Ruhbiyyah (Surakarta: Maktabah
Saqofah, Tth) h. 3
35
8. Anak laki-laki saudara kandung
9. Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman kandung
11. Anak dari paman laki-laki sekandung
12. Anak dari paman laki-laki sebapak
13. Paman seayah
14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak
B. Golongan perempuan yang berhak menerima waris
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari laki-laki
3. Ibu
4. Ibu dari pihak ayah
5. Ibu dari pihak ibu
6. Saudara kandung
7. Saudara seayah
8. Saudara seibu
9. Istri
10. Orang perempuan yang memerdekakan budak
Tidak semua ahli waris yang disebutkan di atas mendapatkan bagian
harta warisan kerabatnya yang meninggal dunia. Seperti żawi al Arḥam
sebagaimana dikemukakan Muḥammad ʻAli al-Ṣābūnī dalam tafsirnya adalah
setiap kerabat bukan (tidak termasuk) aṣḥāb al-furūd dan bukan (golongan)
36
ahli waris ʻaṣabah (keturunan dari pihak ayah).11
Akan tetapi, dekat dengan si
pewaris, misalnya bibi dan paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak
laki-laki dari anak perempuan (cucu), anak laki-laki dari saudara perempuan
(keponakan) dan lain-lainnya semisal itu.12
Firman Allah mengenai żawi al-
arḥām adalah QS. Al-Anfāl: 75:
“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah”.13
Maka hendaklah mereka diberi sedikit rezeki dari harta yang kalian
terima. Memberikan harta kepada selain mereka adalah sebuah tindakan
meninggalkan orang yang lebih berhak dari selainnya, maka dari itu telah
jelas wajibnya harta warisan tersebut diberikan kepada żawi al-arham. Lalu
apabila telah pasti mereka, padahal telah diketahui bahwa mereka tidak
memiliki bagian tertentu dalam kitabullah. Dan bahwa antara mereka dengan
mayat ada penghubung hingga menjadikan mereka termasuk dalam sanak
11
Muḥammad ʻAli al-Ṣābūnī, Rawāiʻu al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Aḥkām min al-Qur‟ān,
Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) h. 280. 12
„Abdullah bin Muhammad bin ʻAbdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsīr ibnu
Katsir, Jilid 4, penerjemah: M. Abdul Ghoffar E. M (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafiʻi, 2004)
h. 87. 13
Sebab turunnya ayat ini adalah diriwayatkan dari Zubair ra bahwasanya ia berkata:
“ketika kami muslimin Quraisy datang di Madinah, kami tidak membawa harta benda
apapun, tetapi kami mendapati kaum Anṣar saudara-saudara yang baik. Lalu kami bersaudara
dengan mereka, kami mewarisi harta mereka dan mereka mewarisi harta kami. Abu Bakar
bersaudara dengan Kharijah bin Zaid dan aku sendiri bersaudara dengan Kaʻab bin Malik.
Demi Allah, seandainya ia meninggal dunia tidak seorang punyang mewarisi hartanya selain
aku, hingga Allah menurunkan firman-Nya: ولىاوا maka lalu kami بعض اولى بعضهم االرحام
kembali kepada waris-waris kami masing-masing.” Lihat: M. ʻAlī al-Ṣābūnī, Tafsir Ayat-ayat
Aḥkam dalam al-Qur‟ān, jilid 2 (Bandung: PT al-MaʻArif Bandung, 1977) h. 465-466.
37
family, maka mereka itu diposisikan seperti orang-orang yang menjadi
penghubung antara mereka dengan mayat.14
Beberapa orang di antara mereka yang lebih dekat kekerabatannya
dapat menghijab (menghalangi) yang lainnya dari memperoleh bagian harta
warisan tersebut, baik dengan mengurangi bagiannya (ḥajib muqṣān) atau
meniadakannya sama sekali (ḥajib ḥirmān).15
Jika ahli waris dari golongan laki-laki yang tersebut di atas semuanya
ada, yang mendapat warisan dari mereka hanya tiga orang: anak laki-laki,
suami, ayah. Begitu juga dengan golongan ahli waris perempuan. Jika ahli
waris yang tersebut di atas semuanya ada, yang mendapat warisan dari
mereka hanya lima orang: istri, anak perempuan, cucu dari anak laki-laki, ibu
dan saudara perempuan kandung.16
Żawi al-Furūd adalah ahli waris yang harta warisannya telah
ditentukan di dalam al-Qur'ān, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Adapun
pembagiannya adalah sebagai berikut:17
1. Yang mendapat setengah
a. Anak perempuan jika dia sendiri
b. Anak perempuan dari anak laki-laki atau tidak ada anak
14
Abdurrahman bin Nashir as-Saʻdi, Tafsīr al-Saʻdi, Penerjemah: Muhammad Iqbal,
juz 2 (Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 43. 15
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut al-Qur‟ān, As-Sunnah dan Pendapat
Para Ulama (Bandung: Karisma, 2008) h. 270. 16
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994) h.
7-8. 17
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqi, h. 64-65.
38
c. saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja, kalau saudara
perempuan sebapak seibu tidak ada, dan dia seorang saja.
d. Suami jika tidak punya anak (keturunan).
2. Yang mendapat seperempat
a. Suami, jika istri meninggalkan anak laki-laki/perempuan atau cucu.
b. Isteri, jika suami tidak ada anak dan tidak ada cucu. Kalau isteri lebih
dari satu maka dibagi rata.
3. Yang mendapat seperdelapan
a. Istri yang ditinggal mati suaminya dengan meninggalkan anak laki-
laki perempuan dan selanjutnya / menurun.
4. Yang mendapat dua pertiga
a. Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila anak
perempuan tidak ada.
5. Yang mendapat sepertiga
a. Ibu, jika tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak
ada pula dua orang saudara.
b. Dua orang saudara atau lebih dari saudara seayah atau seibu.
6. Yang mendapat seperenam
a. Ibu, jika beserta anak dari anak laki laki atau dua orang saudara atau
lebih.
b. Bapak, jika jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki.
c. Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.
39
d. Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) jika
bersama seorang anak perempuan. Bila anak perempuan lebih dari
satu maka cucu perempuan tidak mendapat harta warisan.
e. Kakek, jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, dan bapak
tidak ada.
f. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih). jika beserta
saudara perempuan seibu sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih
dari satu, maka saudara perempuan sebapak tidak mendapat warisan.
Al-Qurṭubī menjelaskan, kata furūḍ al muqaddarah: bagian-bagian
dari harta warisan yang telah ditentukan oleh syara' kepada ahlinya atau
kepada yang berhak telah tertera dalam al-Qur‟ān dan bagian itu ada enam,
yakni setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (23),
sepertiga (1/3), dan seperenam (I/6).18
Dalil setengah (1/2) adalah firman Allah swt, "Jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (QS. Al-Nisā': 11)
"Dan bagimu suami suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri
istrimu.” (QS. A-Nisā': 12); dan ayat "Jika seorang meninggal dunia. dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.
” (QS. Al-Nisā‟: 176).
18
Imām al-Qurṭubī, Al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, Jilid 5, Penerjemah: Fathurrahman,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) h. 152.
40
Dalil seperempat (1/4), adalah firman Allah swt, “Jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya”(QS. Al-Nisā‟: 12), dan ayat “Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak.” (QS. Al-Nisā‟: 12).
Dalil seperdelapan (1/8), adalah firman Allah, “jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan.” (QS. Al-Nisā‟: 12).
Dalil sepertiga (1/3), adalah firman Allah swt, “Jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga.” (QS. Al-Nisā‟: 11), dan ayat, “tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu”, (QS. Al-Nisā‟: 12).
Dalil dua pertiga (2/3) adalah firman Allah swt, “dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan.” (QS. Al-Nisā‟: 11) dan ayat, “tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal.” (QS. Al-Nisā‟: 176).
Dalil seperenam (1/6) adalah firman Allah swt, “Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”(QS. Al-Nisā‟: 11)
41
“Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam.” (QS. Al-Nisā‟: 11) dan ayat,“jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (QS. Al-Nisā‟: 12).19
C. Sebab-sebab Meneriman Warisan dan Penghalang Menerima Warisan
1. Sebab-sebab menerima warisan
Manakala peristiwa kematian terjadi seseorang yang meninggal
dunia juga meninggalkan sejumlah harta. Ada ketentuan syariat, orang
yang sudah meninggal dunia dinyatakan tidak menjadi subjek hukum,
yang menanggung beban melakukan kewajiban, sekaligus tidak
mendukung hak milik apapun.20
Seseorang tidak berhak menerima warisan dari orang lain, kecuali
karena memiliki sebab-sebab tertentu. Adapun sebab-sebab yang
menjadiakan seseorang mendapatkan warisan ada tiga, yaitu: nikah,
nasab, dan wala‟.21
a) Pernikahan
19
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004) h. 107-108). 20
Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta, h. 16-
17. 21
Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, penerjemah: Samson Rahman (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2003) h. 196. Lihat juga: Aḥmad ibn Sulaimān al-Jazūlī al-usmūkī, Īḍaḥ
al-Asrār al-Maṣūnah fī al-Maknūnah, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt) h. 6.
42
Pernikahan adalah akad (ikatan/kesepakatan) yang
menyebabkan halalnya hubungan antara laki-laki dan
perempuansesuai dengan aturan yang digariskan oleh syara‟.22
Akad
ini menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Itu
merupakan ikatan lahir antara dua orang, suami dan istri.dia antara
keduanya tidak ada hubungan darah, dan justru karena itu pula
keduanya dapat saling menikah, dan karena perkawinan itu mereka
saling dapat mewarisi, walaupun belum terjadi percampuran.23
b) Nasab (keturunan)
Secara etimologi, nasab berasal dari kata نسبا (nasaban) dan
merupakan masdar dari kata nasaba – yansibu – nasaban yang berarti
kerabat, keturunan, menetapkan keturunan.24
Al-Rāgib al-Aṣfahāni menjelaskan bahwa nasab adalah isytirāk
min jihhah aḥad al-abawain (persekutuan, hubungan,
keterkaitanantara anak dengan salah satu dari kedua orang tuanya).25
Sementara itu Muhammad bin Shalih al-„Usaimin menjelaskan
keturunan adalah memiliki tali persaudaraan. Yakni, hubungan tali
persaudaraan antara dua orang manusia melalui hasil keturunan baik
22
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Tafsir Ilmi, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012) h. 33 23
Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyridan Syari„, h.
129. 24
Ibn Mandzur, Lisān al-„Arab, (Kairo: Dār al-Ma„arif, tt) h. 4405. 25
Al-Rāgib al-Aṣfahāni, Mu„jam Mufradat al-faẓ al-Qur-ān, (Beirut: Dār al-Qur-ān,
2013), h. 545.
43
yang dekat maupun yang jauh.26
Hal ini berdasarkan firman Allah
swt:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) di dalam kitab Allah. (QS. Al-Anfāl: 75”).
Orang yang mengambil pusaka dengan jalan kekerabatan ada 3,
yaitu: (a) Aṣḥāb al-Furūḍ (ahli waris yang menerima bagian tertentu
dari harta warisan), (b) Aṣabah Uṣubah Nasabiyah (waris-waris yang
tidak mempunyai bagian tertentu), (c) Żawi al-Arḥām (waris-waris
yang tidak masuk ke dalam golongan Aṣḥab al-Furūḍ dan Aṣabahi).27
c) Wala‟
Wala‟ adalah seorang yang memerdekakan budak laki-laki atau
budak perempuan. Dengan memerdekakannya, maka ia berhak atas
wala‟nya (pemerdekaannya). Ia dapat menjadi walinya kalau yang
dimerdekakannya tidak mempunyai wali (karena keturunan). Jadi jika
budak yang dimerdekakannya itu meninggal dunia serta tidak
meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh orang yang
memerdekakannya.28
2. Penghalang Menerima Warisan
26
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris: Menurut al-
Qur‟ān dan as-Sunnah yang Shahih, (Bogor: Pustaka Ibnu katsir, 2006) h. 31. 27
Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyridan Syari„, h.
130. 28
Abu Bakar jabir al-Jaza‟iri, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, penerjemah:
Musthofa Aini Dkk (Jakarta: Darul Haq, 2006) h. 574. Lihat juga: Mālik ibn Ana al-Aḍaḥī,
Al-Mudawwanah al-Kubrā, juz 6 (Kairo: Dar al-Naṣri li al-ṭibā„ah al-Islāmiyah, 1422 H) h.
83.
44
Di samping itu terdapat beberapa sebab yang dapat menghalangi
seseorang mendapat warisan dari si mayit padahal semestinya yang
bersangkutan berhak atas warisan tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat
adanya tiga sebab, yaitu berbeda agama, pembunuh, perhambaan.29
Para
ulama telah sepakat bahwa status seseorang karena berbeda agama, sebab
membunuh, dan perbudakan merupakan penghalang terjadinya
pewarisan. Hanya mereka berbeda dalam merincikan.30
Penghalang
pusaka (warisan) dalam istilah ulama farāid adalah suatu sifat yang
menyebabkan orang yang bersifat dengan sifat itu, tidak dapat menerima
warisan, padahal cukup sebab-sebabnya dan cukup pula syarat-syartanya.
Apabila seseorang mempunyai sebab mendapat warisan seperti
perkawinan dan kekerabatan serta cukup pula terdapat syarat-syaratnya,
tetapi ada suatu penghalang dari penghalang-penghalang warisan, maka
orang itu tidak menerima warisan dari muwarisnya, karena ada yang
menghalangi dia menerima warisan, walaupun ada hal-hal yang
menghendaki ia mendapat warisan.31
Hal-hal yang menyebabkan seorang
ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut:
a. Berbeda agama Menurut
sebab yang pertama, seorang muslim tidak dapat mewarisi
orang kafir, begitu juga sebaliknya. Wahbah al-Zuhaili mengatakan
29
Sudarsono, sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) . h. 281. 30
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997) h. 29 31
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mqwaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaariat
Islam. H. 51-52.
45
secara tekstual kata aulād bersifat umum, seluruh anak berhak
mendapat warisan, baik yang muslim maupun yang kafir. Akan tetapi
hal ini ditegaskan di dalam sabda Nabi Muhammad saw. Yaitu:
سلم اليرث سلم الكافر وال الكافر الم الم
“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir
tidak mewarisi orang muslim”.
Berdasarkan hadiṡ ini, maka bisa diketahui bahwa yang
dikehendaki Allah di dalam ayat ini tidak seluruh anak secara mutlak,
akan tetapi menghendaki sebagian dan tidak menghendaki sebagian
yang lain. Maka berarti muslim tidak mewarisi kafir dan sebaliknya
kafir tidak mewarisi muslim.32
b. Pembunuh
Adapun menurut sebab yang kedua, apabila dengan sengaja
seseorang membunuh seorang yang akan mewariskan harta
kepadanya, maka ia tidak memperoleh harta warisan dari yang
dibunuh tadi. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad saw,
Yaitu
ئ شي ول المقت من القاتل يرث الا
“Orang yang membunuh tidak boleh mewarisi dari orang
yang dibunuhnya”.
Pembunuhan yang dilakukan oleh calon ahli waris terhadap
pewarisnya akan memutuskan hubungan, baik karena darah maupun
perkawinan antara keduanya, karena pembunuh dengan yang
dibunuhnya. Dalam sistem kewarisan Islam dilarang mengalihkan
32
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munīr, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Jilid 2
(Jakarta: Gema Insani, 2013) h. 620.
46
harta peninggalan seseorang kepada ahli warisnya secara paksa,
apalagi dengan keji di luar proses yang lazim, yakni melalui kematian
biasa menurut ketentuan Allah.33
Berdasarkan pendapat Malik, jika ia
membunuhnya dengan tidak sengaja maka ia tidak mendapatkan
warisan dari diyatnya dan ia mendapatkan warisan dari harta orang
yang dibunuh.34
c. Perhambaan
Adapun menurut sebab ketiga adalah perhambaan. Para ulama
telah sepakat perhambaan merupakan penghalang kewarisan.35
Seorang hamba adalah milik tuannya secara mutlak, karena itu ia
tidak berhak memiliki harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang
yang mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapapun. Berdasarkan
adanya firman Allah swt
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimilik yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun” (QS. Al-Nahl:
75)
Menurut hemat penulis PRT (Pembantu Rumah Tangga) juga
tidak dapat mewarisi harta majikkannya karena pembantu rumah
tangga tidak termasuk dalam anggota keluarga, tidak ada ikatan yang
disebabkan oleh darah, pernikahan maupun wala‟, namun ia dapat
memperoleh wasiat dari majikannya.
33
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, h.
106. 34
Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurṭubi, Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir, jilid 5 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008) h. 151. 35
M. Yusuf Musa, Al Tirkah wa al Mirās fi al lslām, (Mesir: Dār al-Kitāb al-„Arabi,
1959) h. 161.
47
BAB IV
ANALISA PENAFSIRAN SAYYID QUṬB TERHADAP AYAT-AYAT
WARIS
Al-Qur‟an menjelaskan hukum syariat dengan cara universal bukan secara
rinci, dengan bentuk kulli bukan juzʻi yang mengindikasikan pada penelitian dan
penyelidikan ayat-ayat al-Qur‟an al-Karīm. Meskipun ada sebagian ayat, kita
menemukan hukum yang sudah terperinci, di antaranya hukum warisan dan
keluarga, karena itu hukum taʻabbudi yang tidak ada ruang untuk berijtihad atau
ada ruang tetapi kemaslahatannya sudah tetap, tidak dapat berubah karena
perubahan masa, tempat, keadaan dalam bentuk kulli, juzʻi, dan ijmali (global).1
Hukum waris merupakan hukum kekeluargaan yang bersifat intim dan
sakral, setelah seorang meninggal dunia, anggota keluarga yang lain mendapat
hak pembagian harta warisan yang ditinggalkannya.2 Bagi hemat penulis,
kesakralan ini disebabkan adanya ketentuan yang diberlakukan oleh syari‟at
dalam pemenuhan hak waris sehingga mewujudkan keadilan dan menghilangkan
kecemasan dalam kecemburuan pembagian hak waris.
1 Ahmad Muhammad al-Hushari, Tafsīr Ayat-ayat aẖkām: Telaah Tentang Ayat-ayat
Hukum yang Berkaitan dengan Ibadah, Muamalat, Pidana, dan Perdata, Penerjemah:
Abdurrahman Kasdi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 20. 2 Bustanuddin Agus, Al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993) h. 130.
48
Surat al-Nisā‟ adalah surat keempat pada paro pertama al-Qur‟an . Surat
tersebut dinamakan surat al-Nisā‟ karena banyak sekali mengandung penjelasan
yang berkaitan dengan hukum-hukum tentang perempuan.3
Amru Khalid memberikan penjelasan di dalam muqaddimah surat al-
Nisā‟, bahwa surat ini merupakan surat kasih sayang dan surat keadilan,
khususnya bagi kaum yang lemah (ḍāif). Surat ini juga menjelaskan siapa saja
yang harus mengemban tanggung jawab dalam menegakkan keadilan dan berlaku
kasih sayang terhadap orang-orang yang lemah. Oleh sebab itu, surat al-Nisā‟ ini
berbicara tentang hak-hak orang yang lemah, antara lain anak yatim, hamba
sahaya, para pembantu, dan orang-orang yang berhak menerima harta warisan.4
Hal tersebut juga disinggung oleh Muhammad Ali al-Shabuni yang
mengatakan bahwa Surat ini juga berbicara tentang hak-hak perempuan dari sisi
yang lebih spesifik, berkaitan dengan perempuan-perempuan yatim yang hidup di
dalam rumah wali atau pengasuhnya, sehingga perlu ada ketetapan hak-hak
mereka secara sempurna baik dalam masalah warisan, penghidupan, pernikahan,
wasiat dan lain sebagainya.5
Beberapa pandangan yang berkaitan dengan interpretasi surat al-Nisā‟
dapat penulis petakan dalam beberapa kategori:
1. Pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan
3Ukasyah Abdulmannan Athibi, Wanita Mengapa Melosot Akhlaknya, penerjemah:
Chairul halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1998) h. 59 4 Amru Khalid, Khawāṭir Qur‟āniyah: Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-Qur‟ān,
penerjemah: Khojin Abu Faqih (Jakarta: Al-I„tishom, 2011) h. 88. 5 Muhammad „Alī al-Ṣabūnī, Cahaya al-Qur‟ān, penerjemah: Kathur Suhardi (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2000) h. 185.
49
1. Penafsiran ulama modern
Sayyid Quṭb mengatakan bahwa intisari dari ilmu farāiḍ yakni ilmu
pembagian warisan terdapat di dalam tiga ayat yaitu ayat 11, 12 dan 176
surat al-Nisā‟. Sedangkan cabang-cabangnya dibicarakan dalam Sunnah,
dan yang lainnya merupakan hasil ijtihad para fuqaha di dalam
menerapkan gagasan ini.6
Mengenai surat al-Nisā‟ ayat 11, Sayyid Quṭb memberikan
penjelasannya dalam tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟an, tentang makna li ażżakari
mislu ḥaẓẓ al-unṡayain, ketika seseorang meninggal dunia tidak memiliki
ahli waris kecuali anak-anaknya saja, laki-laki dan perempuan, maka
pewarisnya mengambil semua harta peninggalannya. Dengan prinsip 2:1
yakni anak laki-laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan
mendapatkan satu bagian.7
Yang menjadi masalah terhadap ayat tersebut adalah ketentuan
bagian waris laki-laki dan perempuan dua berbanding satu. Mengapa al-
Qur‟ān memberikan hak waris kepada perempuan separuh dari bagian
laki-laki? Apakah ini bentuk diskriminasi Islam terhadap perempuan?
Terhadap ayat ini Sayyid Quṭb berpendapat bahwa kalimat ini tidak
berarti merendahkan salah satu jenis kelamin, tetapi terkait dengan
keseimbangan dan keadilan antara beban yang dipikul oleh laki-laki dan
6 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Iḥyā‟ al-ṭurāṡ al-„Arābi,
1967) h.259. 7 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 260.
50
perempuan baik dalam urusan rumah tangga maupun kemasyarakatan.
Laki-laki setelah menikah akan menanggung segala nafkah anak dan
istrinya. Sedangkan perempuan sebelum dan sesudah menikah hanya
mengurusi dirinya sendiri, bahkan menjadi tanggungan orang lain.8 Sayyid
Quṭb juga menyebutkan bahwa sistem kewarisan ini menerapkan sistem
yang adil dan juga relevan dengan realitas kehidupan keluarga dan
kemanusiaan dalam semua keadaan.9
Menurut Sayyid Quṭb pembagian waris 2:1 sudah sesuai dengan
konteks sekarang, modernisasi baginya adalah kemenangan Barat dan
kekalahan Islam. Islam merupakan sistem sosial menyeluruh yang
melayani semua kebutuhan, sistem yang berbeda secara mendasar dari
semua sistem lainnya. Masa lalu Islam harus dipakai lagi untuk melawan
Barat dan modernisasi.10
Sementara itu, Muhammad „Alī al-Ṣabūnī menuliskan dalam
bukunya, Qabas min Nūr al-Qur‟ān Dirāsah Tahliliyah Muwassa„ah bi
Ahdāf wa Maqāṣid as-Suwar al-Karīmah dia mengawali dengan sebuah
kalimat pertanyaan, Mengapa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan,
padahal perempuan lebih lemah dari laki-laki? Muḥammad „Alī al-Ṣabūnī
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, bahwa terdapat hikmat
yang menyebabkan perempuan hanya mendapatkan setengah dari laki-laki,
8 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 261.
9 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 269.
10 John Cooper dkk, Pemikiran Islam: Dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr Hamid Abu
Zayd, penerjemah: Wakhid Nur Effendi (Jakarta: Erlangga, 2000) h.Xviii.
51
antara lain; kebutuhan perempuan sudah tercukupi, perempuan tidak
dibebani tanggung jawab memberi nafkah kepada seseorang, laki-laki
harus memberikan mahar kepada calon istri dan wajib menyediakan
tempat tinggal serta memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.
Menurut al-Ṣabūnī perbandingan ini adalah sebuah keadilan karena beban
tanggung jawab seorang laki-laki lebih banyak dan bagian yang
diterimanya juga harus lebih banyak. 11
Dari interpretasi di atas, terlihat jelas akan sebuah gambaran bahwa
kesetaraan yang ditetapkan al-Qur‟an bukan semata-mata karena status
namun lebih kepada tanggung jawab dan sifat alami yang dimiliki
manusia. Baik laki-laki dan perempuan, penerimaan hak yang telah
ditetapkan menjadi sesuatu yang harus diterima sekaligus membawa
dampak yang lebih baik dalam sistem kekeluagaan.
Al-Qur‟an tidak menetapkan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan apalagi mendeskriminasikan antara keduanya. Ketetapan
tersebut dilakukan semata-mata karena untuk kemanfaatan manusia pula.
2. Penafsiran ulama Indonesia
Pada penelitian ini penulis menjadikan Quraish Shihab sebagai
referensi tokoh mufasir yang dinilai dapat mewakili dalam interpretasi ayat
di atas, mengingat bahwa Quraish Shihab merupakan salah seorang yang
membidangi kajian tafsir.
11
Muḥammad „Alī al-Ṣabūnī, Cahaya al-Qur‟ān, penerjemah: Kathur Suhardi (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2000) h. 191-192.
52
Quraish Shihab menjelaskan interpretasi surat al-Nisā‟ ayat 11
dengan mengawali keterangan yang berkaitan dengan asbab al-nuzūlnya,
bagi Quraish Shihab ayat ini merincikan sebuah ketetapan-ketetapan yang
mensyariatkan pembagian pusakan di antara kaum muslimin di mana
pembagian terhadap anak-anak menjadi prioritas yang kemudian
dilanjutkan dengan pembagian orang tua. Keprioritasan ini dilandaskan
dengan alasan bahwa anak-anak jauh lebih lemah dibandingkan orang
tua.12
Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa penggunaan kata żakara dalam
surat al-Nisā‟ 11 menunjukan adanya perbedaan makna antara żakara
dengan al-rijāl. Żakara diartikan sebagai anak-anak laki-laki atau
perempuan yang masih berusia dini atau bisa dikatakan sebagai anak yang
belum mencapai kedewasaan. Hal ini berbeda dengan pemaknaan al-rijāl
yang disandangkan untuk penggunaan anak laki-laki dewasa.13
Sedangkan
Buya Hamka menjelaskan bahwa “ayat ini menjadikan kewajiban atas
seseorang dalam menghargai anak yatim dan kaum perempuan dalam
penerimaan harta pusaka atau waris.”14
Perbedaan perbandingan
pembagian atas harta pusaka atau waris terhadap anak laki-laki dan
perempuan dilandaskan bahwa tanggung jawab laki-laki di dalam harta
benda jauh lebih berat dari pada tanggung jawab perempuan.15
12
Quraish Shihab, tafsīr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 360. 13
Quraish Shihab, tafsir al-Miṣbah, h. 361. 14
Hamka, tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 278. 15
Melihat hal demikian, menurut hemat penulis bahwa perbedaan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai kesenjangan antara laki-laki dan perempuan serta tidak dapat dikatakan pula
53
Melihat asbāb al-nuzūl, penulis menemukan bahwa pada masa
jahiliah ternyata anak-anak tidak mendapatkan harta pusaka sebagai
peninggalan atas kematian orang tuanya sebelum mereka dapat menghadiri
peperangan atau bisa dikatakan sudah mampu berperang. Maka di sini
terlihat bahwa surat al-Nisā‟ ayat 11 menegaskan adanya istinbaṭ (hukum)
bagi pembagian harta pusaka terhadap anak-anak.16
Untuk pembagian harta pusaka atau waris antara laki-laki dan
perempuan dijadikan adanya perbedaan di antara keduanya. Di mana
bagian laki-laki sama dengan dua kali bagian perempuan. Penggunaan
redaksi yang demikian dinilai Quraish Shihab sebagai penjelasan hak
perempuan memperoleh warisan, bukan seperti yang diberlakukan pada
masa jahiliah,17
Interpretasi yang dilakukan Qurais Shihab dilandaskan dengan
melihat karakter masa jahiliyah di mana perempuan tidak diizinkan sama
sekali untuk pemenuhan hak waris. Penulis menilai bahwa apa yang terjadi
pada masa jahiliyah menunjukkan bahwa kehadiran al-Quran semata-mata
guna memperbaiki tatanan atau sistem keluarga yang bobrok di mana saat
itu kaum laki-laki seolah menjadi hal yang utama. Padahal di sisi lain, ada
bahwa anak laki-laki menjadi hal utama dalam pembagian warisan. Mengingat bahwa hal ini
menjadi ketetapan yang diwahyukan Allah bagi umat Islam. Hal ini sebegaimana diketahui bahwa
pada masa jahiliah anak perempuan tidak mendapatkan bagian atas wafatnya orang tua. Adapun,
di antara yang berpendapat adanya kesenjangan hal ini juga menjadikan sesuatu hal yang wajar, di
mana mereka melihat tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kesetaraan
harta. Lihat: Hamka, tafsir al-Azhar, h. 279. 16
Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 63. 17
Quraish Shihab, tafsir al-Misbah, h. 361.
54
sesuatu yang perlu diperhatikan seperti hak istri dan anak selaku bagian
anggota keluarga.
3. Penafsiran tokoh-tokoh gender
Kesetaraan gender menjadi rumor yang ridak ada hentinya, perkara
ini berkenaan dengan kenyataan bahwa dalam praktik di negara-negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, peranan kaum laki-laki
lebih dominan daripada kaum perempuan.
Informasi itu memberi motivasi untuk meninjau secara cermat
apakah aturan dalam Islam memang pada dasarnya menentukan
diskriminasi terhadap perempuan. Apakah secara normatif perbedaan jenis
kelamin merupakan takaran untuk menerapkan hukum yang berbeda?18
Berkenaan dengan itu pada penelitian ini penulis mengkaji
pemikiran Muḥammad Shaḥrūr19
karena dalam beberapa karyanya
berupaya menawarkan konsep-konsep alternatif metodologi pembaharuan
untuk menjawab tantangan kemodrenan. Shaḥrūr berupaya melakukan
pembaharuan hukum Islam dan concerned merumuskan metodologi tafsir
dengan menggunakan terori batas yang diharapkan tumbuh berkembang,
berkeadilan, dan mampu menjadi alternatif bagi model penafsiran
kontemporer yang objektif dan ilmiah.20
18
Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam: Kajian
Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: LkiS, 2010) h. 208. 19
Muḥammad Shaḥrūr lahir di Damaskus, Suriah pada tahun 11 April 1938. Shaḥrūr
adalah seorang revolusioner dan penentang kaum Muslim fundamentalis. Ayahnya bernama Dayb
dan ibunya bernama Ṣiddīqah binti Ṣalīh Filyūn. Lihat: Abdou Filali Ansary, Pembaharuan Islam:
Dari Mana dan Hendak Kemana? Penerjemah: Machasin (Bandung: Mizan, 2009) h. 200, lihat
juga: Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet III (Yogyakarta: LkiS, 2012) h. 92. 20
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 127.
55
Shaḥrūr mengatakan bahwa HAM (Hak Asasi Manusia)
disalahgunakan di berbagai negara serta kekejaman politik merupakan
kezaliman utama. Ditinjau dari perspektif sejarah yang murni, kaum
perempuan jatuh ke dalam penindasan.21
Dan kekerasan, penindasan,
ketidakadilan dan kekejaman merupakan penyimpangan-penyimpangan
yang wajib kita lawan.22
Muḥammad Shaḥrūr memaparkan interpretasi manusia atas al-
Qur‟an akan terus berkembang dan lebih maju untuk mengungkap sisi-sisi
tersembunyi yang belum bisa diungkap pada masa lalu oleh para mufassir,
karena al-Qur‟an mengandung metode yang bisa disesuaikan dengan
segala dimensi waktu dan tempat.23
Pembagian warisan menurut Shaḥrūr, termasuk dalam batas-batas
hukum yang telah ditentukan oleh Allah dimana dalam firman-Nya: tilka
ḥudūd Allāh yang berada di dalam surat al-Nisā‟ ayat 13 setelah Allah
menetapkan dan menjelaskan batasan-batasan hukum waris pada ayat 11
dan 12. Adapun batas-batas hukum Allah dalam pembagian warisan,
Shaḥrūr menyusun menjadi tiga batas-batas hukum.
Dalam menetapkan hukum waris li ażżakar miṡl ḥaẓẓ al-unṡayaini
Shaḥrūr menggunakan teori batas maksimal dan batas minimal secara
bersamaan, diamana daerah hasilnya berupa kurva gelombang yang
21
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-
isu global, penrejemah: Bahrul Ulum (Jakarta: paramadina, 2001) h. 211. 22
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-
isu global, h. 212. 23
Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan
Fenimisme, penerjemah: Kamran Asad Irsyadi (Yogyakarta: LkiS, 2004) h. 92.
56
memiliki sebuah titik balik maksimum dan minimum. Menurut Syaḥrūr
jika seluruh beban ekonomi keluarga ditanggung pihak laki-laki,
sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat, dalam kondisi ini
batasan hukum Allah dapat diterapkan, yaitu yaitu memberikan dua bagian
kepada laki-laki dan satu bagian kepada perempuan. Dari segi presentasi,
bagian minimal bagi perempuan adalah 33,3 % sedangkan bagian
maksimal bagi laki-laki adalah 66,6 %. Oleh karena itu jika kita memberi
laki-laki sebesar 75 % dan perempuan diberi 25 % kita telah melanggar
batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. Namun jika kita membagi 60 %
bagi laki-laki dan 40 % bagi perempuan, kita ridak melanggar batasan
hukum Allah karena kita masih berada di antara batasan-batasan hukum
Allah.24
Amina Wadud Muhsin25
senada hal ini mengatakan: arti penting
teks al-Qur‟an adalah ketidakterikatannya pada waktu dan ungkapannya
tentang nilai-nilai abadi. Dengan begitu, konteks berbagai komunitas
Muslim belum mencapai tingkatan yang dikehendaki al-Qur‟an . Bukan
teks al-Qur‟an yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran
terhadap teks itulah yang dianggap lebih penting daripada al-Qur‟an
sendiri yang membatasinya. Dalam agama lain, kaum feminis masih harus
memasukkan perempuan ke dalam wacana agar mereka mendapatkan
legitimasi. Sementara, perempuan Muslim hanya perlu memahami al-
24
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet III (Yogyakarta: LkiS, 2012)
h. 202-203. 25
57
Qur‟an saja; yakni tidak terbelenggu oleh penafsiran-penafsiran yang
eksklusif dan mengekang bila mereka ingin mendapatkan kebebasan yang
tak terbantahkan.26
Amina Wadud mengatakan dalam bukunya bahwa bagian
perempuan setengah dari bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model
pembagian harta, akan tetapi salah satu dari beberapa penetapan
proporsional yang bisa dilakukan. Dengan kata lain pembagian warisan
bersifat fleksibel asal memenuhi asas keadilan dan naf„un (manfaat).
Dengan demikian bisa berubah sesuai realitas zaman. Formula pembagian
waris dua banding satu diperkokoh melalui penyederhanaan berlebihan
terhadap pembahasan al-Qur‟an berhubungan waris merupakan kesalahan.
Meskipun pernyataan al-Qur‟an dalam surat al-Nisā‟ ayat 11-12,
menetapkan “bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan
(saudara kandung)”, akan tetapi analisis yang lengkap terhadap ayat ini
menjabarkan variasi pembagian yang proporsional antara laki-laki dan
perempuan.27
Di dalam pengantarnya Amina Wadud menjelaskan tentang
perempuan dalam al-Qur‟an mempunyai dua konotasi penting. Pertama,
al-Qur‟an harus terus-menurus ditafsir ulang, agar al-Qur‟an relevan
dengan kondisi zaman dan waktu. Kedua, kejayaan kebudayaan tercermin
26
Amina Wadud, Qur‟ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan
Semangat Keadilan, penerjemah: Abdullah Ali (jakarta: Serambi, 2006) h. 13. 27
Amina Wadud, Qur‟ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan
Semangat Keadilan, h. 150.
58
dari tingkat partisipasi perempuan dalam masyarakat dan pengakuan atas
pentingnya sumber daya perempuan.28
2. Pembagian warisan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan
Dalam al-Qur‟an, kata li ażżakar misl ḥaẓẓ al-unṡaini tersebut dua kali.
Yang semuanya dalam surat al-Nisā‟, yang pertama ayat 11 dan yang kedua
ayat 176 (ayat terakhir dari surat ini). Yang menjadi perbedaan antara dua
ayat ini adalah pada surat al-Nisā‟ ayat 11 laki-laki mendapat bagian lebih
banyak daripada perempuan karena tanggungjawab suami untuk menafkahi
anak-anak dan istrinya, sedangkan pada surat al-Nisā‟ ayat 176 merupakan
ayat tentang kalālah29
(apabilah seseorang meninggal dunia tidak
meninggalkan anak dan tidak juga ayah, namun memiliki saudara. Dan
saudara laki-laki mendapat bagian 2:1 dari saudara perempuan, karena
saudara perempuan menjadi tanggungjawab saudara laki-laki.
Al-Khaṭṭabī menjelaskan, Allah swt menurunkan dua ayat tentang
kalālah, salah satunya turun di musim dingin, yaitu ayat di awal surat al-
Nisā‟ secara umum, yaitu firman Allah swt,
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja).” (al-Nisā‟: 12)
28
Amina Wadud, Qur‟ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan
Semangat Keadilan, h. 12-13. 29
Kalālah adalah seseorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (laki-laki
maupun perempuan) dan tidak juga ayah. Lihat: M. Quraish Shihab, Al-Lubāb: Makna, tujuan,
dan pelajaran dari surat-surat al-Qur‟ān, cet I (Ciputat: Lentera Hati, 2012) h. 242.
59
Selanjutnya ayat yang kedua turun di musim panas. Ayat ini
menjelaskan secara komplit. Salah satu pendapat menyatakan, ini adalah ayat
yang terakhir turun, yaitu firman Allah swt,30
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Jika saudara laki-laki dan perempuan yang ditinggalkan oleh pewaris
dengan jumlah yang banyak. Pada pembagian saudara-saudara tersebut
Sayyid Quṭb berpendapat kalau yang menerima waris beberapa saudara laki-
laki dan perempuan, maka saudara laki-laki mendapat bagian dua kali bagian
perempuan, sesuai dengan pedoman umum dalam warisan.31
Pendapat Quṭb
tersebut memiliki persamaan dengan mufassir lainnya, baik ulama sebelum
30
Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ, h. 373 31
Sayyid Quṭb, tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, Jilid 5. H. 53.
60
maupun penerusnya. Yakni diantaranya al-Syanqiṭi berpendapat di dalam
tafsirnya jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan
perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan.32
Lalu al-Sa‟di berpendapat jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, dengan
berkumpulnya saudara laki-laki kandung atau seayah bersama saudara
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan.33
Berikutnya imam Syafi‟i berpendapat jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan,
maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan.34
3. Keterkaitan asbab al-Nuzul dengan ketetapan hak waris
1. Sebab turunnya ayat35
surat al-Nisā‟ ayat 11:
Terdapat perbedaan pendapat tentang riwayat sebab turunnya ayat
warisan ini. Salah satunya adalah riwayat dari al-Bukhārī, Muslim, Abū
Daud, al-Tirmidzi, al-Nasāi, dan Ibn Majah meriwayatkan bahwa Jabir
ibn „Ābdillah berkata, “Ketika saya sakit, Rasul Allah saw dan Abū Bakr
32
Al-Syanqiṭi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan, penerjemah: Fathurazi (Jakarta: Pustaka Azzam,
2006) h. 629. 33
Abdul Raḥmān ibn Naṣīr al-Sa‟di, Tafsir AL-Sa‟di, penerjemah: Muhammad Iqbal dkk
(Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 279. 34
Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, jilid 2, penerjemah: Fedrian Hasmand
dkk (Jakarta: Al-Mahira, 2007) h. 271. 35
Pengertian Asbab al-Nuzūl adalah bentuk iḍofah dari kata asbab dan nuzul. Secara
etimologi Asbab al-Nuzūl adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa defenisi yang dapat dikemukakan, diantaranya
menurut al-Zarqanī: يت تحدثةة نن او تبننة لدمه ييت ووون سبب النزول هو نزلت االية او اال artinya: Sebab
turun ayat adalah yang oleh karenanya sepotong atau beberapa ayat diturunkan untuk
membicarakan atau menerangkan hukumnya sesuatu (yang terjadi) pada saat terjadinya. Lihat: Ali
al-Sahbuny: Kamus al-Qur‟ān : Quranic Explorer, (Jakarta: Dār al-Sunnah, tth) h. 59-60
61
menjenguk saya di bani Salamah dengan berjalan kaki. Ketika sampai
mereka mendapati saya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Lalu Rasul
Allah saw minta diambilkan air kemudian berwudhu lalu memercikkan air
di wajah saya, setelah itu saya sadarkan diri. Lalu saya bertanya kepada
beliau, „apa yang harus saya lakukan terhadap harta saya wahai Rasul
Allah?‟ Maka turunlah firman Allah,
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan.”
Ayat ini turun untuk menghapus ketentuan waris yang
berlangsung pada masyarakat jahiliyah, dimana mereka tidak memberikan
hak waris kepada kaum perempuan dan anak-anak.36
2. Sebab turunnya ayat37
surat al-Nisā‟ ayat 11:
An-Nasāiʻi meriwayatkan dari jalur Abū Zubair bahwa Jabir
berkata, “Ketika saya sakit, Rasul Allah saw menjenguk saya. Lalu saya
katakan kepada beliau,„ Wahai Rasul Allah, saya ingin mewasiatkan
untuk saudara-saudara perempuanku sepertiga harta saya.‟ Beliau
bersabda, „Bagus.‟Lalu saya katakan lagi, “Bagaimana kalau saya
36
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta:
AMZAH, 2013) h. 284. 37
Pengertian Asbab al-Nuzūl adalah bentuk iḍofah dari kata asbab dan nuzul. Secara
etimologi Asbab al-Nuzūl adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa defenisi yang dapat dikemukakan, diantaranya
menurut al-Zarqanī: ة لدمه ييت ووون سبب النزول هو نزلت االية او االيت تحدثةة نن او تبنن artinya: Sebab
turun ayat adalah yang oleh karenanya sepotong atau beberapa ayat diturunkan untuk
membicarakan atau menerangkan hukumnya sesuatu (yang terjadi) pada saat terjadinya. Lihat: Ali
al-Sahbuny: Kamus al-Qur‟ān : Quranic Explorer, (Jakarta: Dār al-Sunnah, tth) h. 59-60
62
wasiatkan setengah dari harta saya?‟Beliau menjawab, „Bagus.‟Kemudian
beliau keluar dan beberapa saat kemudian beliau masuk lagi lalu
bersabda,
ي ث ا له اث ن لاه لا عا جا فا كا ان وا خ ل ي ذ ا ف لا زا ن ا د قا للاا ن ا ا وا ذا ها كا ه ج وا ن ا م ت ي ما اكا را ا ا ن ا
“Saya tidak melihat engkau akan meninggal dunia pada sakitmu
ini. Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku dan
menjelaskan bahwa untuk seluruh saudara perempuanmu adalah
dua pertiga dari hartamu”
4. Analisa penafsiran terhadap surat al-Nisā’ ayat 11 dan 176
Sayyid Quṭb mengemukakan pendapat apabila seseorang meninggal
dunia dan hanya meninggalkan anak laki-laki dan perempuan saja, maka
pembagian warisnya adalah anak laki-laki mendapat dua bagian dari anak
perempuan.
Dengan pembagian 2:1 maka tampaklah keadilan dalam kewarisan.
Sebab laki-laki apabila dia menikah, maka harta warisan yang dia peroleh
dari orang tuanya akan digunakan untuk membayar mahar dan menafkahi
istri dan anaknya, sementara anak perempuan jika dia menikah, maka harta
warisan yang diperoleh dari orang tuanya tidak terpakai karena dia mendapat
nafkah dan mahar dari suaminya.
Bahkan menurut hemat penulis, pembagian waris 2:1 pada hakikatnya
tidaklah secara global harus demikian. Namun dapat diselesaikan dengan
jalan musyawarah antara seluruh ahli waris yang berhak mendapatkan
warisan.
63
Yang dikemukakan oleh Sayyid Quṭb adalah ketentuan legal formal,
tapi dalam kenyataan sosial pembagian waris itu bisa
dibicarakan/dimusyawarahkan. Karena si anak perempuan adalah yang paling
miskin, suaminya tidak banyak membantu secara ekonomi, sementara anak
laki-laki lebih kaya, maka ketentuan waris dua banding satu dalam ketentuan
legal formal bisa dibicarakan dengan alasan harus dimusyawarahkan tidak
boleh di dalam tekanan. Sama halnya dengan Amina Wadud, ia mengatakan
bahwa bagian perempuan setengah dari laki-laki bukanlah satu-satunya
model pembagian warisan, akan tetapi salah satu dari beberapa penetapan
proporsional yang bisa dilakukan. Jadi dalam praktiknya pembagian waris
dua banding satu bisa ditafsirkan berbeda, apabila terjadi perdamaian. Bisa
saja bahwa perempuan mendapat bagian yang sama besar dengan laki-laki.
Bahkan anak perempuan bisa mendapatkan bagian lebih besar daripada anak
laki-laki. Misalnya karena anak perempuan inilah yang selama almarhum
hidup sering membantu dan merawat, khususnya saat almarhum pewaris sakit
sebelum meninggal. Sementara itu anak laki-lakinya yang tidak tahu apa-apa,
berada di luar kota, tiba-tiba datang dan menuntut mendapatkan dua bagian
atau bagian yang lebih besar dari perempuan. Jadi hukum waris bisa sangat
fleksibel dan tidak kaku, meskipun memang harus memenuhi syariat.
Warisan diberikan ketika orang tua sudah meninggal dunia, kalau
pembagian diberikan ketika orang tua masih hidup itu dinamakan hibah. Dan
di dalam ketentuan hibah tidak harus dua banding satu, dua banding satu
berlaku setelah orang tua meninggal. Sebelum warisan dibagikan maka harus
64
dipenuhi hak-hak yang terkait dengan peninggalan, seperti biaya perawatan,
penguburan, utang piutang, dan wasiat. Tidak dibenarkan membagikan harta
warisan selama utang dan wasiat belum ditunaikan, oleh sebab itu jika salah
seorang meninggal maka diambillah harta yang ditinggalkannya untuk
menunaikan kewajiban dan haknya, kemudian mengkafani dan
mengkuburkannya, lalu menunaikan utang-utangnya, setelah itu baru
menunaikan wasiatnya (tidak lebih dari 1/3) hartanya dan sisa harta
dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Persoalan-persoalan mengenai harta dapat diselesaikan dengan menggunakan
hukum waris. Karena hukum waris yang mengatur peralihan harta benda dan hak-hak
material dari yang mewariskan, setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Proses
pewarisan ini terjadi apabila telah dipenuhi kebutuhan mayit,
Sayyid Quṭb mencoba merasionalisasi pembagian waris laki-laki dan
perempuan ukuran dua banding satu di dalam al-Qur’ān, alasan kewajiban laki-laki
lebih besar daripada perempuan itu adalah argumen tambahan, yang diberikan Sayyid
Quṭb ketika al-Qur’ān tidak bicara mengenai argumen dua banding satu. Ia beralasan
bahwa masalah 2 berbanding 1 bagi laki-laki dan perempuan merupakan sebuah
keadilan dikarenakan kewajiban laki-laki dinilai lebih berat daripada kewajiban
seorang perempuan. Dari segi pembayaran mas kawin ataupun masalah penafkahan
keluarga. Penetapan yang menunjukkan keseimbangan dengan dasar berbedanya
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
Argumen Sayyid Quṭb mengenai waris merupakan sistem yang relevan untuk
segala zaman, dan mengandung prinsip keadilan, dan tidak menganut sikap pilih
kasih berdasarkan jenis kelamin. Sayyid Quṭb menolak menyamakan pembagian
waris anak laki-laki dan perempuan seperti di dalam hukum waris sekuler dengan
alasan karena kewajiban laki-laki di dalam Islam lebih berat daripada perempuan.
Sayyid Quṭb tidak mengajukan sistem kewarisan baru yang berbeda dengan al-
Qur’ān, dia merasionalisasi kenapa dua banding satu penting diterapkan yang
66
berbeda dengan hukum waris perdata sekuler, yang menyamakan antara anak laki-
laki dan perempuan.
B. Saran-saran
Dari hasil penelitian ini penulis hanya akan memberikan beberapa saran yaitu:
1. Dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan pada permasalahan
pembagian waris 2 banding 1 dalam tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Maka dari itu
penulis berharap di kemudian hari ada penulis yang lain menyempurnakan
penelitian ini dengan pembahasan yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar
kesimpulan akhir dari penelitian ini tidak menutup kemungkinan ada
kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis.
2. Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif,
terhadap pembagian waris 2 banding 1 dan tidak hanya menggunakan tafsir Fī
Ẓilāl al-Qur’ān.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam dalam Wawasan Fiqih, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2002.
Agus, Bustanuddin, Al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata
Ajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.
Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.
Askar, S., Kamus Arab-Indonesia: Terlengkap, Mudah, dan Praktis,Jakarta:
Senayan Publising, 2011.
Amar, Imron Abu, Fathul Qorib, Kudus: Menara Kudus, 1983.
Ansary, Abdou Filali, Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak Kemana?
Penerjemah: Machasin, Bandung: Mizan, 2009.
Aripin, Jaenal dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyridan Syari’.
Ahmad syarbani, Dimensi-Dimensi Kesejatian al-Qur’ān, penerjemah: Ghajali
Mukri dan Ruslan Fariadi, Yogyakarta: Ababil, 1996.
al-Aḍaḥī, Mālik ibn Ana, Al-Mudawwanah al-Kubrā, juz 6, Kairo: Dar al-Naṣri li
al-ṭibā‘ah al-Islāmiyah, 1422 H.
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Ali, Mohammad Daud dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia.
Alim, Muhammad, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam: Kajian
Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LkiS, 2010
Athibi, Ukasyah Abdulmannan, Wanita Mengapa Melosot Akhlaknya,
penerjemah: Chairul halim Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II: Menurut al-Qur’ān, As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, Bandung: Karisma, 2008.
Bakhtiar, Amsal, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2010-2011, Ciputat : UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010
Barokah, Milki, Disparitas Putusan Perkara Waris, Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
68
al-Baghdadi, ‘Abdurrahman, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan
syariat Islam Tentang Kehidupan Perempuan, Jakarta: Gema Insani Press,
1992.
Al-bar, Muhammad Ali, Perempuan Karir dalam Timabangan Islam: Kodrat
Keperempuanan, Emansipasi dan Pelecehan Seksusal, Penerjemah: Amir
Hamzah Fachruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 1994.
al-Barudi, Imam Zaki, Tafsir Wanita, penerjemah: Samson Rahman, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2003.
Cooper, John dkk, Pemikiran Islam: Dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr
Hamid Abu Zayd, penerjemah: Wakhid Nur Effendi, Jakarta: Erlangga,
2000.
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,
1996.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Fakih, Mansour, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,
Suarabaya: Risalah Gusti,1996.
Fatimah, Neneng, Konsep Waris Dalam Perspektif Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,
Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
al-Farran, Ahmad Musthafa, Tafsir Imam Syafi’i, jilid 2, penerjemah: Fedrian
Hasmand dkk, Jakarta: Al-Mahira, 2007.
Ghanim, Muhammad Salman, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan
Fenimisme, penerjemah: Kamran Asad Irsyadi, Yogyakarta: LkiS, 2004.
Gozali, Ahmad, 70 Solusi keuangan: Learn from the Expert, Jakarta: Gema Insani
Press, 2008.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kemenag RI, 2011.
Hadi, Ahmad Abdul, Al-Qur’ān Berbicara Tentang Ibu, Penerjemah: Abdul Azis
salim Basyarahil, Jakarta. Gema Insani Press, 1998.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research,Jilid 1, Yogyakarta : Andi Offset, 2001.
Halim, Abdul, Al-Qur’ān Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat
Pers, 2002.
Hamka, tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
69
Harjono, Anwar, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
al-Hadad, Al-Thahir, Perempuan Dalam Syariat dan Masyarakat, Penerjemah: M.
Adib Bisri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
al-Hushari, Ahmad Muhammad, Tafsīr Ayat-ayat aẖkām: Telaah Tentang Ayat-
ayat Hukum yang Berkaitan dengan Ibadah, Muamalat, Pidana, dan
Perdata, Penerjemah: Abdurrahman Kasdi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2014.
Hidayat, Nuim, Sayyid Quthb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Jakarta:
Gema Insani Press, 2005.
Iqbal, Akhmad, Panen Pahala dengan Puasa, Yogyakarta: Jogja Great Publisher,
2009.
Ismail, Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran,
Ja’far, Muhammad Anas Qasim, Mengembalikan Hak-hak Politik Perempuan:
Sebuah Perspektif Islam, penerjemah: Mujtaba Hamdi, Jakarta: Azan,
2001.
Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad, Indahnya Syariat Islam, penerjemah: Faisal Saleh,
dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
al-Jashshosh, Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali al-Razy, Aḥkamul Qur’ān. Juz 3,
Mesir: Darul Musḥaf, tt.
al-Jaza’iri, Abu Bakar jabir, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, penerjemah:
Musthofa Aini Dkk, Jakarta: Darul Haq, 2006.
Kamil, Sukron, dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak perda Syariah terhadap
kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta: CSRC
UIN Jakarta, 2007.
al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’ān,
Penj: Salafuddin Abu Sayyid. tt.
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Tafsir Ilmi, Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir, 2012.
Khalid, Amru, Khawāṭir Qur’āniyah: Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-
Qur’ān, penerjemah: Khojin Abu Faqih, Jakarta: Al-I‘tishom, 2011.
70
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,
penerjemah: Addys aldizar dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi
Publishing,2004.
Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang
isu-isu global, penrejemah: Bahrul Ulum, Jakarta: paramadina, 2001.
Kuzari, Achmad, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Kuzari, Achmad, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta.
Lathif, Azharuddin, Fiqih Muamalah Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Lathif, Jaenal Arifin dan Azharudin, Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syarʻi,
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Lukito, Ratno, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta:
INIS, 1998.
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Penerjemah: Adang Affandi,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.
Manshur, Abdul Qadir, Buku Pintar Fiqih Wanita: Segala Hal yang Ingin Anda
Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam, Penerjemah:
Muhammad Zainal Abidin, Jakarta: Zaman, 2012.
Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Marjuni, Kamaluddin Nurdin, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim
Arab-Indonesia, Ciputat: Ciputat Press Group, 2009.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi,Jilid: 4, Mesir: Musthafa al-Bab
al-Halabi, 1974.
al-Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2005.
Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam sebagai pembaharu
hukum positif di Indonesia.
Mujieb, M. Abdul dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994.
71
Musa, M. Yusuf, Al Tirkah wa al Mirās fi al lslām, Mesir: Dār al-Kitāb al-‘Arabi,
1959. Sudjana, Eggi, Islam Fungsional, Jakarta: Rajawali, 2008.
Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’ān Kontemporer:
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2002
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet III, Yogyakarta: LkiS,
2012.
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta:
Kencana, 2008.
Nafis, Muhammad Wahyuni, dkk, Kontekstual Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr.
H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta: Paramadina, 1995.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metode penelitian, Jakarta : Bumi Aksara,
2011.
Parman, Ali, Kewarisan dalam Al-Qur’ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Parman, Ali, Kewarisan dalam al-Qur’ān: suatu kajian hukum dengan
pendekatan tafsir tematik, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid 1, cet: 5, penerjemah: As’ad
yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Qardhawy, Yusuf, Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang
Pilar-pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam,
Penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997.
Quṭb, Sayyid, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Jilid 4, Beirut: Dar al-Iḥyā’ al-Turāṡ al-
‘Arabī, 1967.
al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 5, penerjemah: Ahmad Rijali
Kadir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
al-Ruhby, Muhammad Ibnu Hasan, Matnu al-Ruhbiyyah, Surakarta: Maktabah
Saqofah, tt.
Sahabuddin, Ensiklopedi Al-Qur’ān: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera hati,
2007.
Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
72
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Al-Miṣbaḥ al-fī Tahżīb Tafsīr ibn Kaṡīr,
penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2015.
Shihab, M. Quraish, Al-Lubāb: Makna, tujuan, dan pelajaran dari surat-surat al-
Qur’ān, cet I, Ciputat: Lentera Hati, 2012.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut
anda ketahui dalam memahami al-Qur’ān, Jakarta: Lentera Hati, 2013.
Sholekan, Moch, Studi Analisis Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd Tentang Hak
Waris Perempuan Dalam Hukum Islam, Skripsi S1 Fakultas Syari'ah IAIN
Walisongo Semarang.
Ṣihab, Quraiṣ, tafsīr al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Solihin, O., Yes! I am Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
Su’ud, Abu, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradababn
Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Subhan, Zaitunah, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio-
Kultural dan Politik Peran Perempuan, Ciputat: el-KAHFI, 2002.
Sudarsono, sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung : Alfabeta, CV,1999.
Surahman, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung : Tarsitio, 1998.
Syaikh, ʻAbdullah bin Muhammad bin ʻAbdurrahman bin Ishaq Alu, Tafsīr ibnu
Katsir, Jilid 4, penerjemah: M. Abdul Ghoffar E. M, Bogor: Pustaka Imam
asy-Syafiʻi, 2004.
Syaltut, Mahmud, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm: pendekatan Syaltut dalam
Menggali Esensi al-Qur’ān, Penerjemah: Herry Noer Ali, Jakarta: CV
Diponegoro, 1989.
Syarifuddin, Amir, Hukum kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008. al-Sa’di,
Abdul Raḥmān ibn Naṣīr, Tafsir al-Sa’di, penerjemah: Muhammad Iqbal
dkk, Jakarta: Darul Haq, 2007.
al-Ṣābūnī, M. ʻAlī, Tafsir Ayat-ayat Aḥkam dalam al-Qur’ān, jilid 2, Bandung:
PT al-MaʻArif Bandung, 1977.
al-Ṣabūnī, Muhammad ‘Alī, Cahaya al-Qur’ān, penerjemah: Kathur Suhardi,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.
73
al-Ṣābūnī, Muḥammad ʻAli, Rawāiʻu al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Aḥkām min al-
Qur’ān, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Sahbuny, Ali: Kamus al-Qur’ān : Quranic Explorer, Jakarta: Dār al-Sunnah, tt.
Al-Syanqiṭi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, penerjemah: Fathurazi, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006.
as-Saʻdi, Abdurrahman bin Nashir, Tafsīr al-Saʻdi, Penerjemah: Muhammad
Iqbal, juz 2, Jakarta: Darul Haq, 2007.
As-Siba’y, Musthafa, Perempuan Di antara Hukum Islam dan Perundang-
undangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Ash-Sha’idi, Abdul Hakam, Menuju Keluarga Sakinah, Penerjemah: Abdul
Hayyie al-Kattani, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, penerjemah:
A.M. Basalamah.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mqwaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaariat
Islam
al-Ṭabārī, Abu Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabārī, Tafsīr, penerjemah:
Akhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
al-Ṭabārī, Abu Ja’far Muḥammad ibn Jarīr, Tafsīr al- Ṭabārī, juz 7 penerjemah:
Akhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
al-Usmūkī, Aḥmad ibn Sulaimān al-Jazūlī, Īḍaḥ al-Asrār al-Maṣūnah fī al-
Maknūnah, Beirut: Dar al-Fikr, Tt
Wadud, Amina, Qur’ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci
dengan Semangat Keadilan, penerjemah: Abdullah Ali, Jakarta: Serambi,
2006.
Yendra, Melvi, Ensiklopedi Untuk Anak-anak Muslim, Bandung: Grasindo, 2007.
Yunus, Mahmud, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: C.V. Al-Hidayah, 1974.
Yunus, Mahmud, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
2004.
74
Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Ahkam, Jakarta:
AMZAH, 2013.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Dawa’ir al Khouf: Qiro’ah fi Khitab al- Mar’ah; trj:
Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan Dalam Islam,
Yogyakarta: Samha, 2003.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas Dalam al Qur'an
Menurut Mu'tazilah, Bandung: Mizan, 2003.
Az-Zubaidi, Al-Imam Zainuddin Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Lathif,
Ringkasan Shahih Bukhari, terj: Arif Rahman Hakim, Surakarta : Insan
Kamil, 2012.
al-Zuhaili, Wahbah, Tafsīr al-Wasīṭ.