88
PEMBAGIAN WARISAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Ag) Oleh: Maringo NIM: 1110034000019 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M/ 1438 H

PEMBAGIAN WARISAN ANTARA LAKI-LAKI DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37190...PEMBAGIAN WARISAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi

Embed Size (px)

Citation preview

PEMBAGIAN WARISAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Ag)

Oleh:

Maringo

NIM: 1110034000019

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017 M/ 1438 H

v

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا هللا مسبSegala puji dan syukur penulis haturkan pada Allah swt., atas segala nikmat

dan pertolongan yang telah dan akan selalu Dia berikan kepada penulis. Kepada-

Nya lah penulis mengadu ketika semangat mengendur, ketika pikiran dan hati

merasa lelah. Ṣalawāt serta salam kepada baginda Nabi Muḥammad saw., yang

telah membawa manusia ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Penulis sangat menyadari jika skripsi yang berjudul “PEMBAGIAN

WARIS ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN” ini tidak akan rampung

dengan daya penulis sendiri. Ada banyak sosok, keluarga, dosen pembimbing,

teman-teman, orang spesial yang secara langsung maupun tidak langsung telah

banyak membantu penulis. Mereka adalah pembakar semangat penulis untuk

menyelesaikan penelitian ini. Maka dengan kerendahan hati, penulis

mengungkapkan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku ketua jurusan Tafsir-Hadis dan Dra.

Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis bersama

para pengurus Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan kemudahan

administrasi perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. Abd Moqsith, MA., yang telah membimbing penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih ibu sudah sangat sabar dalam

memberikan pengarahan untuk menyelesaikan penelitian ini.

vi

4. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu

yang diberikan bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para

pimpinan dan staf perpustakaan baik perpustakaan utama maupun

perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini.

5. Kedua orang tua tercinta, Gustomo dan Sumarti, yang karena mereka penulis

bisa belajar di UIN Jakarta. Berkat do’a dan motivasi dari mereka penulis

bisa menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga kakak penulis, Pujianto

dan adik-adik penulis.

6. Teman-teman Shahibul Menara (Serpin, Raja Usman, Gusti Rahmat,

Muhammad Hanif, dan Ahmad Arifuz Zaki), mereka adalah teman yang

membuat penulis tidak pernah merasa sepi hidup di kota orang. Terima kasih

kepada seluruh teman-teman TH (A,B,C,D), terkhusus TH.A. Terima kasih

juga untuk yang lainnya, yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu.

7. Keluarga Besar HM MADINA (Himpunan Mahasiswa Mandailing Natal)

Ciputat yang selalu menemani selama studi dan memberikan pengalaman

berharga.

8. Keluarga besar masjid jami’ Ar-Rahmah rempoa, yang telah mengizinkan

penulis untuk belajar dan mengajar di TPQ Ar-Rahmah Rempoa.

Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan atas semua bantuan

baik itu moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

vii

Mudah-mudahan Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

Amin.

Ciputat, 23 Oktober 2017

Penulis

viii

ABSTRAK

Waris merupakan peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal

kepada orang yang dirtinggalkannya. Pada zaman jahiliyah sistem kewarisan

hanya diberikan kepada laki-laki dan orang dewasa saja, tanpa memberikan

haknya kepada perempuan dan anak-anak. Karena perempuan tidak ikut

berkontribusi dalam peperangan. Setelah datangnya Islam sistem pembagian harta

warisan tidak hanya diberikan kepada laki-laki saja, tapi juga diberikan kepada

perempuan. Pemberlakuan hukum waris ini harus diterapkan oleh setiap orang

yang berpegang teguh kepada al-Qur’ān dan al-Sunnah.

Skripsi ini menganalisa tentang pandangan Sayyid Quṭb terhadap

pembagian waris dua banding satu antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaan

utama dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Sayyid Quṭb dalam tafsir Fī

Ẓilāl al-Qur’ān terhadap pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan?,

serta dijelaskan argumentasi tentang keadilan dalam proses pembagian warisan

dan relevansi hukum waris pada masa sekarang.

Skripsi ini menggunakan metode tafsir mauḍū’ī (tematik) dengan

menggunakan kata li ażżakari mislu ḥaẓẓ al-unṡayain. Kemudian penulis akan

mengumpulkan dan mengkaji kata tersebut yang relevan dengan masalah yang

akan penulis teliti. Di dalam al-Qur’ān penulis menemukan dua ayat yang

membahas kata tersebut. Ayat-ayat al-Qur’ān yang dibahas terdapat dalam surat

al-Nisā’ ayat 11 dan 176.

Kesimpulan skripsi ini menegaskan bahwa argumen Sayyid Quṭb

mengenai waris sesuai yang tertera di dalam al-Qur’ān berkaitan dengan

pembagian waris dua berbanding satu antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam

Tafsir Fī Ẓilal al-Qur’ān, Sayyid Quṭb menerangkan bahwa masalah 2 berbanding

1 bagi laki-laki dan perempuan merupakan sebuah keadilan dikarenakan

kewajiban laki-laki dinilai lebih berat daripada kewajiban seorang perempuan,

baik segi pembayaran mas kawin maupun masalah penafkahan keluarga.

Penetapan yang menunjukkan keseimbangan dengan dasar berbedanya tanggung

jawab antara laki-laki dan perempuan.

Argumen Sayyid Quṭb mengenai waris merupakan sistem yang relevan

untuk segala zaman, dan mengandung prinsip keadilan, dan tidak menganut sikap

pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. Sayyid Quṭb menolak menyamakan

pembagian waris anak laki-laki dan perempuan seperti di dalam hukum waris

sekuler dengan alasan karena kewajiban laki-laki di dalam Islam lebih berat

daripada perempuan.

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K

Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987

1. Konsonan

1 ا tidak dilambangkan 16 ط ṭ

2 ب b 17 ظ ẓ

3 ت t 18 ع ʻ

4 ث ṡ 19 غ g

5 ج j 20 ف f

6 ح ḥ 21 ق q

7 خ kh 22 ك k

8 د d 23 ل l

9 ذ ż 24 م m

10 ر r 25 ن n

11 ز z 26 و w

12 س s 27 ه h

13 ش sy 28 ء ’

14 ص ṣ 29 ي y

15 ض ḍ

LatinNo. Arab Latin No. Arab

2. Vokal Pendek

-- - = a ك ت ب kataba

-- - = i سئ ل su’ila

x

-- - = u يذهب yażhabu

3. Vokal Panjang

a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a garis di atas)

ditulis jāhiliyyah جاهلية

b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a garis di atas)

ditulis yasʻā يسعى

c. Kasrah + yā’ mati, ditulis ī (i dengan garis di atas)

ditulis majīd مجيد

d. Ḍammah + wāu mati, ditulis ū (u dengan garis di atas)

ditulis furūd فروض

4. Diftong

kaifa = كيف ai = اي

ḥaula = حول au = او

5. Kata Sandang (ال)

Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-’, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah.

6. Tasydid ( -- - )

Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang

diberi syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda

xi

syiddah tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf

al-syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis الضرور ة aḍ-ḍarūrah melainkan al-

ḍarūrah.

7. Tā’ Marbūṭah

a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi

naʻt atau sifat, ditulis h

Contoh:

ditulis jizyah جزية

ditulis al-jāmiʻah al-islāmiyyah الجامعةاإلسالمية

(ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa

Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali

dikehendaki lafal aslinya)

b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t

Contoh:

ditulis niʻmat Allāh نعمةالله

ditulis zakāt al-fiṭr زكاةالفطر

8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut

penulisannya, contoh:

ditulis żawī al-furūḍ ذويالفروض

ditulis ahl al-sunnah اهلالسنة

xii

9. Singkatan

swt. = subḥānah wa taʻālā

saw. = ṣallā Allāh ‘alaih wa salam

as. =‘alaih al-salām

ra. = raḍiya Allāh ‘anh

QS. = Quran Surat

M = Masehi

H = Hijriah

w. = Wafat

h. = Halaman

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

ABSTRAK ...................................................................................................... viii

PEDOMAN TRANLITERASI ...................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 9

D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 10

E. Metodologi Penelitian ............................................................. 12

F. Sistematika Penulisan ............................................................. 13

BAB II SEKILAS MENGENAI HUKUM WARIS

A. Pengertian Waris .................................................................... 16

B. Sejarah Hukum Waris ............................................................ 20

C. Pandangan Ulama Mengenai Waris ....................................... 26

xii

BAB III HUKUM WARIS DALAM AL-QUR’AN

A. Tujuan Waris Dalam al-Qur’an .............................................. 31

B. Ahli Waris Dalam al-Qur’an .................................................. 33

1. Golongan laki-laki yang berhak menerima waris ............ 34

2. Golongan perempuan yang berhak menerima waris ........ 35

C. Sebab-sebab dan penghalang menerima warisan ................... 41

1. Sebab-sebab menerima warisan ....................................... 41

2. Penghalang menerima warisan ......................................... 44

BAB IV ANALISA PENAFSIRAN SAYYID QUṬB TERHADAP AYAT-

AYAT WARIS

A. Pembagian Warisan Anak Laki-Laki Dan Perempuan .......... 48

B. Pembagian Warisan Saudara Laki-Laki Dan Perempuan ...... 58

C. Keterkaitan asbab al-nuzul dengan ketetapan hak waris........ 60

D. Analisa Penafsiran Terhadap Surat al-Nisā’ Ayat 11 dan 176 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 65

B. Saran-saran ............................................................................. 66

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Ia menjadi pedoman hidup

manusia. Di dalamnya ada ketentuan-ketentuan hukum dan aturan kehidupan

manusia baik secara vertikal maupun horizontal.1Salah satu masalah yang

dibicarakan al-Qur’an adalah kewarisan.

Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum

perkawinan dan hukum kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan

sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum

perdata.2

Hukum Islam bukanlah spesial untuk laki-laki atau perempuan saja,

tetapi untuk kedua-duanya sesuai dengan peran masing-masing selaku insan

Allah swt yang telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan

perempuan.3 Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas

perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban atas

kaum laki-laki.4

Sesuai dengan firman Allah:

ن ذكر ي ها ٱلناس إن خلقنكم م كم وأنثى يأ وق باأئل شعواب وجعلن لت عارف وأا

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-

1 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kemenag RI, 2011) h. 8 2 Ali Parman, Kewarisan dalam al-Qur’ān: suatu kajian hukum dengan pendekatan

tafsir tematik (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995), ed. 1., Cet. 1., h. 2.

3 Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan

syariat Islam Tentang Kehidupan Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) h. 11.

4 Mansour Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam

(Suarabaya: Risalah Gusti,1996) h. 49

2

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Q.S.

al-Hujurat: 13)

Dari segi kemanusiaan dan pandangan Islam terhadap laki-laki

dan perempuan adalah sama.5 Sama hak dan sama kewajibannya.

6

Aturan tentang kewarisan tersebut di atas telah ditetapkan oleh

Allah melalui firmannya yang terdapat dalam al-Qur’an, terutama Surah Al-

Nisā’ ayat 11:

ف وق يوصيكم ٱلل فأ أولدكم للذكر مثل حظ ٱلنث ي ي فإن كن نساأء ن ت ي ف لهن ث لثا ما ت رك ٱث

حدة هما ٱلنصف ولب ويو لكل وحد ف لها وإن كانت و ن ٱلسدس ما ت رك إن كان لوۥ ولد مو ٱلث لث فإن كان لوۥأ إخوةوورثو ۥ ولد لو يكن ل فإن و ۥأ أب واه فلم ٱلسدس من ب عد وصية فلم

ناأؤكم ءاابأؤكم دين أو باأ يوصي رب لكم ن فعأي تدرون ل وأب ن فريضة ا هم أق إن ٱلل كان م ٱلل ١١ اعليما حكيم

Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan

bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya

perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta

yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia

memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi

masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka

ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat

atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan

anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang

lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari

Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.7

5 ‘Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan

syariat Islam Tentang Kehidupan Perempuan, h. 11 6 Musthafa As-Siba’y, Perempuan Di antara Hukum Islam dan Perundang-

undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h. 39 7 Kementrian Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan

Penyelenggara Penerjemah/Penafsir, 2012) h. 101

3

Selain surat al-Nisā’ ayat 11, tentang masalah waris juga dibahas

dalam ayat 7, 8, 12, 176.8 Begitu juga ḥadīts Nabi Muhammad yang secara

langsung mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut :

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah

menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami

Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma,

dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah bagian

fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka

bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat

(nasabnya)”.(HR. Al-Bukhāri: 6732)9

Surat al-Nisā’, sebagaimana surat-surat lainnnya yang diturunkan

di Madinah, mengandung banyak peraturan hidup dan undang-undang.

Terutama dalam surat ini banyak dibicarakan soal pembagian warisan,

tentang hukum nikah dan siapa-siapa perempuan yang haram dinikahi,

apa kewajiban perempuan terhadap laki-laki dan apa kewajiban laki-laki

terhadap perempuan.10

Menurut mayoritas ulama surat al-Nisā’ termasuk

dalam kategori qaṭ’i11

, yang keberlakuannya bersifat absolut dan tidak

terbantahkan.

Pada zaman masyarakat Arab pra Islam atau yang dikenal dengan

zaman jahiliyah, seorang anak perempuan tidak berhak mewarisi sesuatu dari

harta ayahnya. Seorang janda selain tidak mempunyai hak waris, juga

8 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987)

h. 5 9 Al-Imam Zainuddin Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Lathif Az-Zubaidi, Ringkasan

Shahih Bukhari, terj: Arif Rahman Hakim (Surakarta : Insan Kamil, 2012), h. 948 10

Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam

Penafsiran, h. 27 11

Qath‟iy adalah sesuatu yang pasti dan meyakinkan sehingga tidak ada lagi kemungkinan lain untuknya kecuali yang telah dipilih dan ditetapkan. Lihat: M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut anda ketahui dalam memahami al-Qur’ān, (Jakarta: Lentera Hati, 2013) h. 156

4

diperlakukan sebagai barang bergerak yang bisa diwariskan.12

Perempuan

dianggap sebagai budak atau barang. Jika suaminya meninggal maka wali

suaminya akan datang dan mengenakan pakaiannya, dengan begitu si

perempuan tidak dapat menikah kecuali disetujui oleh wali itu atau kecuali ia

bisa menebus dirinya dengan harta.13

Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra

Islam, kelahiran bayi perempuan tidak disukai karena dianggap pembawa sial.

Setelah bayi perempuan dilahirkan, bangsa Arab jahiliyah langsung

mengubur hidup-hidup bayi tersebut. Adat kebiasaan yang tidak manusiawi

ini kebanyakan terjadi di antara suku-suku Quraisy dan Kendah.14

Namun setelah Islam datang, Islam menghormati perempuan dengan

penghormatan yang sangat luhur, mengangkat martabatnya dari sumber

keburukan dan kehinaan serta dari penguburan hidup-hidup dan perlakuan

buruk ke kedudukan yang terhormat dan mulia.15

Islam menyamakan hak

perempuan dengan laki-laki dalam beberapa masalah, seperti warisan bapak-

ibu beserta anak.16

Syariat tentang warisan adalah salah satu bentuk kepedulian Islam

12

Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Penerjemah: Adang Affandi

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005) h. 401 13

Muahammad Albar, Perempuan Karir dalam Timbangan Islam: Kodrat

Keperempuanan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, Penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin

(Jakarta: Pustaka Azzam, 1998) h. 7 14

Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Penerjemah: Adang Affandi. H.

447. 15

Muhammad Ali Al-bar, Perempuan Karir dalam Timabangan Islam: Kodrat

Keperempuanan, Emansipasi dan Pelecehan Seksusal, h. 16. 16

Al-Thahir al-Hadad, Perempuan Dalam Syariat dan Masyarakat, Penerjemah: M.

Adib Bisri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) cet, IV, h. 35.

5

dalam pendistribusian harta.17

Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan

dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya. Namun, masih

banyak dari kalangan umat Muslim yang belum tahu tentang penjelasannya

dan pelaksanaannya.

Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelahiran hukum waris

disamping bukan sekedar untuk merespon problem di zaman jahiliyah yang

telah disebut di atas, tetapi hukum waris juga dipresentasikan dalam teks-teks

yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis sehingga menutup kemungkinan

akan adanya multi interpretasi. Hal ini diakui oleh para ahli hukum sebagai

suatu keistimewaan tersendiri, karena dari sekian banyak ayat-ayat tentang

hukum (ayat ahkam) dalam al-Qur’an yang menurut Abdul Wahhab Khallaf

berjumlah 228, tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis diyakini

sebagai model hukum yang canggih dan lengkap selain daripada hukum

waris tersebut.18

Dalam kasus waris, al-Qur’an telah menjelaskan perbandingan

pembagian waris 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan secara sarih,

sementara kondisi obyektif masyarakat menginginkan pembagian yang lebih

adil. Namun ada baiknya membandingkan pendapat mufassir yang

menyatakan bahwa formula 2:1 sudah memenuhi asas keadilan dan tidak

diskriminatif terhadap perempuan, dengan pandangan Munawir Syadzali

yang secara tajam mempersoalkan ketentuan kewarisan formula 2:1

17

O. Solihin, Yes! I am Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007) H. 178. 18

Milki Barokah, Disparitas Putusan Perkara Waris, (Skripsi S1 Fakultas Syariah

dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) h. 2.

6

tersebut.19

Menurut Munawir Syadzali formula 2:1 untuk konteks sekarang

tidak memenuhi unsur keadilan dan perlu untuk dipertimbangkan. Dalam

artian bahwa bagian yang diterima oleh laki-laki dan perempuan tidak

selamanya 2:1, adakalanya anak perempuan memperoleh bagian yang sama

seperti yang diterima anak laki-laki. Namun demikian kita sebagai umat

muslim sepatutnya harus kembali lagi kepada 2 sumber pokok dasar hukum

Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.20

Syafruddin Prawiranegara menjelaskan makna keadilan dalam

warisan sebenarnya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah antara

seluruh ahli waris yang berhak mendapat warisan. Musyawarah dapat

dilakukan karena ketentuan pembagian warisan dalam surat al-Nisā’ ayat 11

termasuk golongan hukum voluntary law (hukum yang berlaku kalau yang

berkepentingan tidak mempergunakan alternatif lain yang tersedia), bukan

convulsary law (hukum yang mutlak berlaku). Para ahli waris dapat

memusyawarahkan terlebih dahulu sebelum menetukan ahli waris jika

memang ada kasus yang perlu jadi perhatian seperti yang dikemukakan oleh

Munawir Sadzali.21

Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan, dapat diketahui bahwa

masalah kewarisan dalam al-Qur’an bukanlah masalah yang sangat gampang dan

tidaklah sederhana pemecahannya. Masalah warisan memang cukup sensitif,

19

Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam

Penafsiran, h. 282 20

Neneng Fatimah, Konsep Waris Dalam Perspektif Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) h. 10

21 Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam

Penafsiran, h. 284

7

untuk itu perlu kita pahami bersama agar tidak terjadi masalah di kemudian

hari.22

Pada kajian ini, penulis akan menampilkan sosok Sayyid Quṭb, salah

seorang ulama terkemuka Ikhwan al-Muslimin,23

dan seorang pembaharu

dalam pemikiran Islam yang lahir di abad ke-20. Sayyid Quṭb menjelaskan

tentang pembagian waris 2:1 tidak berarti merendahkan salah satu jenis

kelamin, tetapi terkait dengan keadilan dan keseimbangan antara beban yang

dipikul oleh laki-laki dan permpuan baik dalam rumah tangga maupun

kemasyarakatan. Laki-laki setelah menikah akan menanggung segala nafkah

anak dan istrinya. Sedangkan perempuan sebelum dan sesudah menikah

justru menjadi tanggung jawab orang lain.24

Warisan tidak hanya terikat dengan peristiwa masa lalu, tetapi juga

peristiwa masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu,

penjabaran ide kewarisan yang terdapat dalam al-Qur’an harus didukung oleh

dimensi intelektual umat Islam. Bahkan ia merupakan bagian esensial dari

ajaran Islam.

Berangkat dari kenyataan dan permasalahan pokok di atas, maka

peneliti ingin membahas dengan judul “PEMBAGIAN WARIS ANTARA

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

22

Ahmad Gozali, 70 Solusi keuangan: Learn from the Expert, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2008) h. 83 23

Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’ān Kontemporer: Wacana

Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002) h. 110. 24

Sayyid quṭb, Tafsir Fî Ẕilâl al-Qur‟an: di bawah naungan al-Qur’ān,

penerjemah: As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h. 290.

8

1. Pembatasan Masalah

Aturan tentang kewarisan telah ditetapkan oleh Allah melalui

firmannya yang terdapat dalam al-Qur’an, terutama Surah Al-Nisā’ ayat

7, 8, 11, 12, 176, yang mengatakan bahwa bagian anak laki-laki berbeda

dengan bagian anak perempuan. Ketentuannya, bagian anak laki-laki dua

kali lipat bagian anak perempuan. Permasalahan mengenai waris serta

pembagiannya dalam keluarga merupakan suatu hal yang sangat rumit

dan riskan. Dimanapun dan kapanpun masalah warisan menjadi persoalan

yang sangat polemik. Tak seorang pun berbuat dengan adil. Oleh sebab

itu, untuk menghindari melebarnya pembahasan berdasarkan pada uraian

latar belakang yang telah dikemukakan maka batasan masalah pokok yang

akan dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah Pemikiran Sayyid Quṭb

terhadap bagian harta untuk masing-masing anak laki-laki dan anak

perempuan yang terdapat dalam surat al-Nisā’ ayat 11 dan 176.

2. Perumusan Masalah

Dengan pembatasan masalah tersebut di atas, maka dikemukakan

perumusan masalah untuk mempermudah pembahasan ini sebagai

berikut:

Bagaimana konsep waris yang telah dikemukakan oleh Sayyid Quṭb

terhadap bagian masing-masing anak laki-laki dan anak perempuan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Diharapkan, dengan penelitian ini dapat terdapai tujuan-tujuan

9

sebagai berikut:

1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1 Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah jakarta.

2. Memahami makna waris

3. Untuk mengetahui cara menerapkan konsep waris terhadap bagian

anak laki-laki maupun perempuan dalam perspektif Sayyid Quṭb.

2. Manfaat Penelitian

Secara umum dengan adanya karya tulis ini diharapkan dapat

membawa khazanah ilmu pengetahuan untuk dapat di telaah lebih lanjut

sehingga dapat di adakan kajian lanjutan. Dan diharapkan dapat membawa

manfaat dan kegunaan sebagai berikut:

1. Dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan yang

lebih mendalam bagi penyusun tentang semua masalah yang berkaitan

dengan waris.

2. Membuka wawasan tentang konsep dan gagasan Sayyid Quṭb tentang

masalah waris.

3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapakan sebagai

sumbangan yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang

lingkup karya-karya ilmiah.

D. Kajian Pustaka

Uraian singkat hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya

tentang masalah sejenis, sehingga diketahui secara jelas posisi dan kontribusi

peneliti, adalah pengertian dari telaah pustaka. Untuk menghasilkan suatu

10

hasil penelitian yang konprehensif, dan tidak adanya pengulangan dalam

penelitian, maka sebelumnya dilakukan sebuah pra-penelitian terhadap objek

penelitiannya, dalam hal penelitian tentang waris dalam perspektif Sayyid

Quṭb.

Kajian tentang waris bukanlah hal yang baru lagi. Sudah banyak

pemikir yang mengupas makna waris dari berbagai sudut pandang. Namun

menurut sepengetahuan penulis belum ada secara khusus yang menulis waris

dalam pandangan Sayyid Quṭb. Ada beberapa penelitian yang telah

membahas dan mengkaji mengenai sistem pembagian waris, di antaranya

ialah:

1. Fachrurodzy, Mahasiswa jurusan hukum keluarga, fakultas syariah dan

hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta tahun 2015. Skripsinya berjudul

“Hak Waris dalam Kandungan Perspektif Fikih Konvensional dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Menjelaskan bahwa dalam fikih

konvensional, anak dalam kandungan adalah ahli waris yang berhak

menerima warisan jika padanya terdapat sebab-sebab menerima waris.

Dan segera menyelesaikan perkara pembagian waris anak dalam

kandungan, jika ada perkara pembagian warisan yang kemungkinan ahli

warisnya anak dalam kandungan.

2. Laila Rahmawati, Mahasiswa Ahwal Syahsiyah, fakultas syariah IAIN

Walisongo Semarang tahun 2009, Skripsinya berjudul hak dan kewajiban

ahli waris (studi komparatif hukum islam dan kuh perdata). Menjelaskan

bahwa dalam KUH Perdata, ahli waris boleh melepaskan diri dari

11

tanggung jawab terhadap beban warisan dari pewaris, maka kemudian

hukum Islam memerintahkan kepada ahli waris bahwa sebelum warisan

dibuka dan dibagikan maka harus dibersihkan lebih dahulu dari segala

pembiayaan pihak pewaris yang wafat. Dengan demikian secara prinsip

bahwa persamaan antara KUIH Perdata dan Hukum Islam terhadap hak

dan kewajiban ahli waris yaitu kedua sistem hukum tersebut pada

prinsipnya meletakkan hak dan kewajiban kepada ahli waris. Adapun

perbedaannya yaitu bahwa dalam hukum Islam yang diterima ahli waris

adalah harta warisan bersih setelah dikurangi segala beban. Sedangkan

dalam perspektif KUH Perdata bahwa harta peninggalan yang diterima

ahli waris adalah seluruh harta warisan kotor yaitu berikut beban yang

harus dipikul ahli waris. Persamaan antara Perdata dan Hukum Islam

bahwa sebelumnya baik KUH Perdata maupun hukum Islam

membebankan kepada ahli waris untuk bertanggung jawab secara penuh

terhadap beban-beban warisan dari pewaris, akan tetapi kemudian KUH

Perdata dan hukum Islam berbeda dalam menyikapi saat terbukanya

warisan.

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.25

Dalam suatu

penelitian, ketetapan penggunaan metode sangat penting untuk menentukan

arah penelitian dan analis terhadap permasalahan yang diangkat di dalamnya.

25

Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung : Alfabeta, CV,1999) h. 1.

12

Ketetapan penggunaan metode mengantarkan hasil penelitian yang teratur

dan sistematis sekaligus dapat dipertanggungjawabkan problem solving dan

kesimpulannya.

Metode dapat diartikan dengan cara utama yang dipergunakan untuk

mencapai suatu tujuan.26

Sedangkan penelitian adalah salah satu usaha untuk

menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan

yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.27

Untuk menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan metode

tertentu yang kemudian penulis membaginya menjadi tiga bagian. Adapun

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Metode Pengumpulan Data

Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan beberapa metode, yang

diantaranya adalah penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang

menitik beratkan pada literatur dengan cara menganalisis muatan isi dari

literatur-literatur yang terkait dengan penelitian baik dari sumber data primer

maupun sekunder.28 Adapun sumber data primer yang dilakukan untuk

penelitian ini adalah al-Qur’an, baik berupa mushaf maupun perangkat lunak

(sofware) komputer, kitab tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’an karya Sayyid Quṭb, dan

ḥadīṡ Nabi SAW, baik berupa kitab maupun perangkat lunak (sofware)

komputer. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan antara lain

adalah buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-Qur’an, buku-

26

Winarno Surahman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung : Tarsitio, 1998), h. 131. 27

Sutrisno Hadi, Metodologi Research,Jilid 1 (Yogyakarta : Andi Offset, 2001) h. 4. 28

Hadi, Metodologi Research,Jilid 1, h, 3.

13

buku Islam yang membahas tentang waris, dan sumber-sumber lain yang

relevan dengan topik pembahasan.

2) Metode Pembahasan

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni menuturkan,

menggambarkan dan mengklasifikasi secara objektif data yang dikaji

sekaligus menginterpretasikan dan menganalisa data.29

3) Teknik Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan buku

pedoman akademik penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi UIN Syarif

Hidayatullah tahun 2010.30

F. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan ini merupakan rangkaian pembahasan yang

termuat dalam isi skripsi, dimana antara yang satu dengan yang lainnya saling

terkait sebagai suatu kesatuan yang utuh. Ini merupakan deskripsi sepintas

yang mencerminkan urutan dalam setiap bab. Agar penelitian ini dapat

dilakukan secara runtut, terarah dan dapat dengan mudah dipahami oleh para

pembaca, maka penyusunan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang disusun

berdasarkan sistematika sebagai berukut :

BAB I, adalah pendahuluan yang terdiri dari enam sub bab. Sub bab

pertama, membahas tentang latar belakang masalah yang merupakan pokok

masalah mengapa penelitian / skripsi ini disusun. Sub bab kedua pembatasan

29

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode penelitian (Jakarta : Bumi Aksara,

2011). Cet III, h, 44. 30

Amsal Bakhtiar, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2010-2011 (Ciputat : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).

14

dan perumusan masalah yang merupakan pertanyaan yang menjadi titik tolak

penelitian selanjutnya. Sub bab ketiga, tujuan dan manfaat /kegunaan tentang

penelitian ini. Sub bab keempat, adalah kajian/telaah pustaka adalah upaya

penelusuran atau penelitian pendahuluan yang berkaitan dengan topik utama.

Sub ban kelima adalah metode penelitian yang merupakan langkah-langkah

pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang ditempuh dalam

penyusunan penelitian. Kemudian terakhir adalah sub keenam tentang

sistematika pembahasan.

BAB II, adalah pembahasan yang membahas tentang hukum waris,

termasuk di dalamnya pengertian waris, sejarah hukum waris, dan pandangan

ulama mengenai waris. Penulisan ini penting untuk mendukung terkait

mengenai hukum waris, karena dengan penjelasan makna, histori dan

pemikiran ulama tentang waris maka akan mempermudah penelitian analisa

hukum waris sebagai langkah awal penelitian.

BAB III, adalah membahas tentang hukum waris dalam al-Qur’an,

yang meliputi tujuan waris dalam al-Qur’an, ahli waris dalam al-Qur’an, serta

sebab-sebab menerima dan penghalang menerima warisan. Dengan adanya

pembahasan ini akan diketahui sebab-sebab kewarisan.

Bab selanjutnya, adalah BAB IV, yaitu bab inti yakni penafsiran Sayyid

Quṭb terhadap ayat-ayat waris, yang meliputi penafsiran surat al-Nisā’(4) ayat

11 dan 176 yang menjadi puncak dari penelitian skripsi ini.

15

Dan yang terakhir adalah BAB V, berisi tentang kesimpulan dari

uraian-uraian bab sebelumnya yang merupakan jawaban dari rumusan

masalah dalam penelitian ini. Serta saran-saran bagi para pembaca skripsi ini.

16

BAB II

SEKILAS MENGENAI HUKUM WARIS

A. Pengertian Waris

Al-Qur‟an itu adalah utuh dan tidak terbagi-bagi; ajaran-ajaran dan

hukum-hukumnya adalah saling terkait dan saling melengkapi.1 Al-Qur‟an

diturunkan untuk kebaikan alam semesta. Ia menjadi way of life umat

manusia, khususnya umat Islam. Al-Qur‟an diwahyukan kepada Nabi

Muhammad mengikuti kebutuhan dan tuntutan permasalahan yang dihadapi,

artinya ia tidak turun sekaligus.2 Salah satu yang sangat dibanggakan umat

Islam dari dahulu sampai saat ini adalah keotentikan al-Qur‟an yang

merupakan warisan intelektual Islam terpenting dan paling berharga.3 Umat

Islam hendaknya menyadari, al-Qur‟an bukan sekedar memuat petunjuk

tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan

manusia dengan sesamanya (ḥablum min Allāh wa ḥablum min al-nās),

bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.4 Syariat Islam

menetapkan ketentuan waris dengan sistematis, teratur, dan penuh dengan

nilai-nilai keadilan. Di dalamnya ditetapkan hak-hak kepemilikan bagi setiap

manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan

hukum. Syariat Islam juga menetapkan hak-hak kepemilikan seseorang

sesudah ia meningal dunia yang harus diterima seluruh kerabat dan nasabnya,

1 Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang

Pilar-pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, Penerjemah: Setiawan

Budi Utomo (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997) h. 373 2 Ahmad Syarbani, Dimensi-Dimensi Kesejatian al-Qur‟ān, penerjemah: Ghajali

Mukri dan Ruslan Fariadi (Yogyakarta: Ababil, 1996) h. 9 3 Abdul Halim, Al-Qur‟ān Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat

Pers, 2002) h. 15 4 Abdul Halim, Al-Qur‟ān Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 3

17

dewasa atau anak kecil, semua mendapat hak secara legal.5 Ungkapan yang

digunakan al-Qur‟an untuk menunjukkan adanya kewarisan dapat dilihat pada

tiga jenis, yaitu al-irṡ, al-farāiḍ, dan al-tirkah.6

1. Al-Irṡ

Al-Irṡ dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata wariṡa,

yariṡu, irṡan. Bentuk masdarnya bukan hanya kata irṡan, melainkan

termasuk juga kata wirṡan, turāṡan, dan wirāṡatan. Kata-kata itu berasal

dari kata asli wariṡa, yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan ṡa

yang bermakna dasar perpindahan harta milik, atau perpindahan pusaka.7

Kata al-irṡ juga semakna dengan kata mīrāṡ, turāṡ, dan tirkah, yang

artinya warisan.8

2. Al-Farāiḍ

Kata faraid berasal dari kata al-farāiḍ yang merupakan bentuk

jamak dari kata tungal الفريضة (al-farīḍah) yang bermakna المفروضة (al-

mafrūḍah) atau sesuatu yang diwajibkan.9 Kata farīḍah sendiri berasal

dari kata farada, yang berarti ketetapan atau ketentuan (al-taqdīr) dari

Allah Swt.10

Kata farīḍah (فريضة ) dan yang seasal dengannya terulang 18

kali dalam al-Qur‟an. 8 kali dalam bentuk kata kerja masa lalu, di

5 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2006) h. 204-205. 6 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur‟ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir

Tematik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995) h. 23. 7 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur‟ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir

Tematik, h. 23 8 Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-

Indonesia (Ciputat: Ciputat Press Group, 2009) h. 45. 9 Imron Abu Amar, Fathul Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1983) h. 2

10 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,

1996) h. 307

18

antaranya pada QS. Al-Baqarah [2]: 197, QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 85, serta

QS. Al-Aḥzāb [33]: 38 dan 50. Satu kali disebut dalam bentuk kata kerja

masa sekarang dan masa yang akan datang, seperti dalam QS. Al-

Baqarah [2]: 236. Di dalam bentuk masdar (kata yang menunujuk kepada

nama benda dan perbuatan) terulang sembilan kali, di antaranya di dalam

QS. Al-Baqarah [2]: 237, QS. Al-Nisā‟ [4]: 11 dan 24, serta ada juga

yang disebut dalam bentuk-bentuk lainnya.11

Menurut bahasa, lafal farīḍah diambil dari kata الفرض (al-farḍ) atau

kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara

etimologis, kata al-farḍ memiliki beberapa arti, di antaranya adalah: al-

qaṭ„, al-taqdīr, al-inzāl, al-tabyīn, al-ihlāl, dan al-„aṭa‟.12

Untuk lebih

jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. al-Qaṭ„, yaitu ketetapan yang pasti. Misalnya dalam sebuah ungkapan

لفلن كذا من المال أى قطعت فرضت “Aku telah menetapkan dengan pasti

bagian harta untuk si Fulan” Sebagaimana firman Allah SWT dalam

Surat Al-Nisā‟:

ا للرجال نصيب ربون وللنساء نصيب ت رك م لدان وٱلق ا ٱلو ربون ت رك م لدان وٱلق ٱلوفروضا ) اأو كث ر نصيب ما قل منه ( ٧ م

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah

ditetapkan”. (QS. Al-Nisā‟ (4): 7).

11

Sahabuddin, Ensiklopedi Al-Qur‟ān: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera hati, 2007)

h. 216-217 12

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, penerjemah:

Addys aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,2004) h. 12

19

b. al-Taqdīr, yaitu suatu ketentuan. Sebagaimana firman Allah SWT

dalam surat al-Baqarah:

ف رضتم ما فنصف وقد ف رضتم لن فريضة“Padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka

bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”. (QS.

Al-Baqarah(2): 7).

c. al-Inzāl, yaitu menurunkan. Seperti firman Allah dalam surat al-

Qaṣaṣ:

قل إن ٱلذي ف رض عليك ٱلقرءان لرادك إل معاد ب ٱلدى ومن هو ب جاء من لم أع رل بني ف ضل )٥٨( م

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al

Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.

Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan

orang yang dalam kesesatan yang nyata". (QS. Al-Qaṣaṣ (28): 85)

d. al-Tabyīn, yaitu penjelasan. Seperti firman Allah dalam surat at-

Tahrim:

كم وهو ٱلعليم ٱلكيم مولى لة أينكم وٱلل لكم ت ) ٢(قد ف رض ٱلل

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian

membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu

dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Taḥrīm

(66): 2)

e. al-Iḥlāl, yaitu menghalalkan sebagaimana firman Allah dalam surat

al-Aḥzāb:

ا كان على ٱلنب من حرج لهۥ ف رض فيمام سنة ٱلل ف ٱلذين خلوا من ق بل وكان ٱللقدورا اأمر ٱلل قدر ٨٥ م

“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah

baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-

nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan

yang pasti berlaku”. (QS. Al-Aḥzāb (33): 38)

20

f. al-„Atha‟, yaitu pemberian. Seperti dalam pepatah bangsa Arab yang

berbunyi, ل أصبت منه ف رضا ول ق رضا أى عطاء “aku tidak mendapatkan

pemberian ataupun pinjaman darinya”.

3. Al-Tirkah

Kata Al-Tirkah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari

kata taraka, artinya yang ditinggalkan.13

Keseluruhan kata taraka yang

terdapat dalam surat Al-Nisā‟ (4): 7, 11, 12, 33, dan 176 adalah

berbentuk tunggal māḍi, rahasia terbentuknya kata-kata taraka dalam

bentuk māḍi untuk kelima ayat dalam surat Al-Nisā‟ itu karena yang

meninggal dunia adalah seorang pewaris. Tirkah yang akan dijadikan

pusaka oleh pewaris dapat berupa benda dan sifat-sifat yang memiliki

nilai kebendaan. Seperti benda bergerak, benda tidak dapat bergerak,

kredit, dan lain-lain. Dengan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa

konsep kewarisan yang terdiri dari al-irṡ, al-farāiḍ, dan tirkah,

mempunyai unsur yang berbeda. Istilah yang pertama mengacu kepada

sebab terjadinya kewarisan dengan unsur utamanya adalah perkawinan

hubungan nasab, dan hubungan wala‟. Istilah yang kedua mengacu

kepada format saham yang akan diterima ahli waris. Dan istilah ketiga

mengacu kepada kewajiban pewaris yang harus dipenuhi ahli warisnya

sebelum harta pusakanya dibagi habis oleh ahli warisnya.14

B. Sejarah Hukum Waris

a. Hak Waris Perempuan Sebelum Islam

13

S. Askar, Kamus Arab-Indonesia: Terlengkap, Mudah, dan Praktis,(Jakarta:

Senayan Publising, 2011) h. 133. 14

Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur‟ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir

Tematik, h. 30-32

21

Para ahli sejarah menyebut masa sebelum kehadiran Islam yang

dibawa Nabi Muhammad saw, sebagai masa jahiliyah.15

Bangsa Arab

pada zaman jahiliyah tergolong salah satu bangsa yang gemar

mengembara dan berperang.

Kondisi daerahnya selalu diasosiasikan dengan padang pasir,

kurma, unta, kering dan tandus mengharuskan mereka menjalani hidup

penuh keberanian dan kekerasan.16

Mata pencarian mereka yang utama adalah berdagang yang

dilakukan dengan cara menempuh perjalanan jauh dan berat. Permusuhan

antara kabilah dengan kabilah lainnya seringkali menyebabkan

peperangan, yang menang berhasil membawa harta rampasan. Beberapa

hal tersebut memengaruhi kematangan cara berpikir mereka yang serba

mengandalkan kekuatan fisik.17

Tradisi pembagian waris orang Arab jahiliyah mempergunakan

sistem hukum waris umat sebelum mereka.18

Atau berpegang teguh pada

tradisi yang telah diwariskan nenek moyang atau leluhur mereka.

Hukum kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem

sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada. Sebelum Islam datang,

anak-anak dan kaum perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk

15

Abu Su„ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradababn Umat

Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) h. 16 16

Abu Su„ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradababn Umat

Manusia, h. 7. 17

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam sebagai pembaharu

hukum positif di Indonesia, h. 32 18

. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2006) h. 195

22

menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua atau kerabatnya).

Dengan dalih bahwa anak-anak dan kaum perempuan tidak dapat ikut

berperang membela kaum dan sukunya.19

Mereka mengkhususkan harta

warisan mereka kepada orangorang yang ikut berperang, bukan kepada

keturunan mereka.20

Perempuan juga diperlakukan tidak lebih dari

barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat

diwariskan sebagaimana harta benda.21

Bangsa Arab jahiliyah dengan

tegas menyatakan, “bagaimana mungkin kami memberikan warisan

(harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah

menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula

berperang melawan musuh?”.22

Tradisi pembagian waris pada zaman jahiliyah, berpegang teguh

pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur

mereka. Mereka mengharamkan kaum perempuan menerima harta

warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak

kecil.23

Adapun sebab-sebab orang Arab sebelum Islam (Jahiliyah) berhak

menerima warisan adalah sebagai berikut:

19

Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 5, penerjemah: Ahmad Rijali

Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 147. 20

Abu Ja„far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabārī, Tafsīr al-Ṭabārī, Jilid 6, Penerjemah:

Akhmad Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 533. 21

Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam

Penafsiran,h. 33. 22

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam sebagai pembaharu

hukum positif di Indonesia, h. 32. 23

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, penerjemah: A.M.

Basalamah, h. 21.

23

1. Karena hubungan kerabat, sebab mewaris karena kekerabatan tidak

cukup kalau tidak disertai dengan tiga syarat yaitu laki-laki, sudah

dewasa dan yang kuat dalam berperang.24

2. Karena janji setia, perjanjian dua pihak dalam hal tertentu dapat

memperkuat mereka sebagai ahli waris.25

Perjanjian terjadi antara

dua pihak yang saling berhadapan dengan mengucapkan “hidupku

adalah hidupmu, matimu merupakan matiku juga, aku mewarisimu

dan kamu pun mewarisiku, perjuanganku perjuanganmu juga”. Jika

pihak lain menerima apa yang diucapkan itu, maka sahlah sumpah di

antara keduanya.26

3. Karena pengangkatan anak, pengangkatan anak-anak orang lain

menjadi anak sendiri yang kemudian dijadikan ahli waris,

merupakan salah satu program utama orang Arab jahiliyah untuk

tujuan kekuatan perang.27

Dalam arti, salah satu dari mereka

menganggap anak orang lain sebagai anaknya menggantikan

anaknya sendiri.28

Kehadiran anak angkat dimasukkan sebagai

keluarga besar bapaknya yang status hukumnya sama dengan anak

kandung termasuk sebagai ahli waris. Sedangkan hubungan dengan

24

Pada zaman ini, tidak diberikan hak waris kepada anak laki-laki yang lemah dan

bahkan kaum perempuan tidak sedikitpun mendapatkan harta warisan dari indikasi ini terlihat

bahwa laki-laki lebih dominan dari perempuan, dengan urutan prioritas bahwa anak, suami,

saudara laki-laki, kakek, dan paman merupakan ahli waris utama. Lihat Ahmad Musthafa al-

Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,Jilid: 4 (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1974) h. 345 25 25

QS An-Nisā : 33. 26

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 197. 27

QS Al-Ahzāb: 5. 28

Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, penerjemah: Faisal Saleh,

dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2006) h. 415.

24

ayah kandungnya terputus.29

Tradisi mengangkat anak telah ada pada

masyarakat sebelum Islam, bahkan itu merupakan budaya yang

masih berkembang di kebanyakan negara-negara Timur Tengah dan

Eropa hingga sekarang.30

Sayyid Qutb31

menjelaskan bahwa masalah

adopsi dan panggilan anak-anak selain dengan nama bapak-bapak

kandung mereka, timbul dari kekacauan dalam pembinaan rumah

tangga dan pembinaan masyarakat secara keseluruhan.

b. Pembagian Waris Pada Awal Islam

Pada masa pra Islam, perempuan tidak memiliki otonomi terhadap

dirinya sendiri. Terhadap perempuan mereka menunjukkan sikap yang

negatif, hak-haknya dirampas, sehingga setiap kelahiran anak perempuan

akan dikubur hidup-hidup karena dianggap memalukan martabat

keluarga. Orang quraisy dikenal sebagai komunitas yang tidak

menghendaki kehadiran anak perempuan. Ia diperjualbelikan layaknya

budak belian. Ia mewariskan, tapi tidak mendapat hak waris, bahkan

beberapa di antaranya diperlakukan seperti benda mati, tidak bernyawa,

29

Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta:

Kencana, 2008) h. 128. 30

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 198. 31

Nama Asli beliau adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili, beliau dilahirkan

pada tahun 1906 di kampung Mausya, Kota Asyut, Mesir Tengah. Beliau adalah anak sulung

dari lima bersaudara, dengan seorang saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Saudara

kandung yang pertama adalah Nafisah, kedua, Aminah, ketiga hamidah. Hamidah adalah

adik perempuan Sayyid Qutb yang paling bungsu. Dan yang keempat adalah Muhammad

Qutb, selisih umurnya sekitar 13 tahun lebih mudah. Nuim Hidayat, Sayyid Quthb: Biografi

dan Kejernihan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) h. 15-16. Salah satu karya

Sayyid Qutb adalah Tafsir Fî Ẕilâl al-Qur‟ân. Sayyid Qutb menafsirkan al-Qur‟ān dengan

metode Tahlīlī dan menggunakan metode Mawḏû„î. Al-khalidi mengkategorikan corak

penafisran Fi Zilal Al-Qur‟ān dengan corak baru yang unik di antara corak-corak tafsir yang

ada. Serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Yaitu yang diistilahkan dengan pendekatan

pergerakan (manhaj haraki). Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi

Zhilalil Qur‟ān, Penj: Salafuddin Abu Sayyid, h. 364

25

musnah begitu ia mati, dikeluarkan dari “hukum keabadian”. Pada

dasarnya, ia dianggap berbeda dengan laki-laki.32

Kedudukan perempuan dalam pandangan masyarakat pra Islam

sangat rendah dan hina dina, mereka tidak menganggapnya sebagai

manusia yang mempunyai roh, atau hanya menganggapnya dari roh yang

hina. Bagi mereka, perempuan adalah pangkal keburukan dan sumber

bencana.33

Islam pada hakikatnya merupakan sebuah revolusi kemanusiaan

(humanisme) yang besar, sebuah revolusi untuk membebaskan manusia

dari penghambaan dan ketundukan kepada selain Penciptanya. Sebuah

revolusi di dunia pemikiran, hati dan perasaan, dan merupakan sebuah

revolusi di sunia kenyataan (realita) dan pelaksanaan (aplikasi).34

Di awal sejarah Islam, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan

dan suasana batin yang cerah.35

Dalam naungan Islam, perempuan

menempati kedudukan yang belum pernah didapatkan dalam sistem

manapun sebelumnya.36

Islam diturunkan untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya, baik

masa jahiliyah maupun masa awal Islam diturunkan. Hukum kewarisan

pada masa awal Islam belum mengalami perubahan, karena pada masa

32

Muhammad Anas Qasim Ja„far, Mengembalikan Hak-hak Politik Perempuan:

Sebuah Perspektif Islam, penerjemah: Mujtaba Hamdi (Jakarta: Azan, 2001) h. 1. 33

Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Timbangan Islam: Kodrat kewanitaan,

Emansipasi, dan Pelecehan Seksual, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998) h. 1. 34

Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang

Pilar-pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, h. 47. 35

Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio-

Kultural dan Politik Peran Perempuan, (Ciputat: el-KAHFI, 2002) h. Xi. 36

Abdul Hakam Ash-Sha„idi, Menuju Keluarga Sakinah, Penerjemah: Abdul Hayyie

al-Kattani (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005) h. 29.

26

itu memprioritaskan ajarannya pada pembinaan akidah. Masyarakat Arab

jahiliyah tetap mempraktikkan tradisi awal mereka dalam soal

pernikahan, perceraian, dan warisan, hingga kemudian mereka diarahkan

agar mengikuti ketentuan-ketentuan baru yang digariskan oleh Allah.37

Jika pada masa sebelum Islam dasar pewarisan terdiri dari pertalian

darah, janji setia, dan pengangkatan anak, maka pada awal Islam, ketiga

dasar pewarisan tersebut tetap berlangsung ditambah dengan hijrah dari

Mekkah ke Madinah, bersumpah setia antara dua orang dan karena

mengikat tali persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar.38

Kemudian

dalam perkembangan lebih lanjut, satu per satu dari sebab-sebab warisan

tersebut dimansukhkan oleh syariat Islam, sehingga yang tinggal hanya

kekerabatan saja.39

Ketika Islam datang, dihilangkanlah segala bentuk

penganiayaan dan beban berat yang selama ini ditimpahkan kepada

perempuan, baik dari keluarga, kerabat suami, maupun masyarakat secara

keseluruhan.40

C. Pandangan Ulama Mengenai Waris

Prof. Dr. H. Mahmud Yunus41

menjelaskan apabila seorang muslim

meninggal dunia yang wajib diselenggarakan terlebih dahulu adalah hal yang

37

Abdul Qadir Manshur, Buku Pintar Fiqih Wanita: Segala Hal yang Ingin Anda

Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam, Penerjemah: Muhammad Zainal Abidin

(Jakarta: Zaman, 2012) h. 138 38

Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 128. 39

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 205. 40

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid 1, cet: 5, penerjemah: As„ad

yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 632. 41

Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899. Bertepatan dengan

tanggal 29 Ramadhan 1316 H di desa Sungayang Batu Sangkar Sumatera Barat. Ia dilahirkan

dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek dari suku

Mandailing dan ibunya bernama hafsah dari suku Caniago. Walaupun dilahirkan dari

27

berkaitan dengan si mayat, seperti membayar hutang, baik hutang terhadap

Allah, seperti zakat, atau terhadap sesama manusia. Setelah selesai

dibayarkan segala hutang-hutang itu, maka diselesaikanlah wasiat-wasiat42

mayat, umpamanya ia berwasiat supaya sebagian hartanya diwakafkan untuk

masjid atau madrasah atau untuk kemenakannya yang menjadi waris menurut

adat negerinya, tetapi tidak menjadi waris menurut hukum syara‟. Tetapi

wasiat itu hanya dapat dilaksanakan kalau tidak lebih dari 1/3 (sepertiga)

harta pusaka. Wasiat yang lebih dari 1/3 harta pusaka dapat dibatalkan

kelebihannya itu. Setelah selesai segalanya, barulah dibagi harta pusaka

mayat menurut Islam.43

Dalam pelaksanaan wasiat ulama fiqih mensyaratkan bahwa orang

yang menerima wasiat bukan salah seorang yang berhak mendapatkan

warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya

membolehkannya. Dengan demikian kebolehan wasiat kepada ahli waris

sangat tergantung kepada restu ahli waris lainnya. Dan wasiat yang dibuat

untuk kerabat dekat yang lain (yang bukan ahli waris) masih diperbolehkan.44

Menurut juris hukum Islam, larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah

keluarga yang sederhana, namun keluarga ini mempunyai tradisi keagamaan yang kuat. Sejak

berumur 7 tahun Mahmud Yunus belajar membaca al-Qur„an di bawah bimbingan kakeknya,

M. Thahir yang dikenal dengan nama Engku Gadang. Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia,

(Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013) h. 58-61. 42

Wasiat menurut etimologi berarti janji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu,

ketika hidup maupun setelah meninggal. Atau memberika harta untuk orang lain. Sedangkan

menurut terminologi, para ulama fiqih memberika definisi wasiat adalah penyerahan

kepemilikan yang disandarkan kepada saat setelah kematian melalui akad tabarru„ (derma),

baik berupa benda maupun nilai guna. Lihat: Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalah (Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2005) h. 180 43

Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: C.V. Al-Hidayah, 1974)

h. 5. 44

Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta:

INIS, 1998) h. 85.

28

ditentukan pembagian warisannya adalah agar tidak ada kesan bahwa wasiat

menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris yang pada

akhirnya dapat menyulut perselisihan di antara ahli waris yang ditinggalkan

orang yang wafat.45

Prof. Dr. H. Mahmud Yunus juga menjelaskan dalam ayat-ayat waris

bagaimana pembagian harta warisan si mayat, supaya setiap orang Islam

mengikutinya. Barang siapa yang mengikutinya akan berbahagia di dunia dan

akhirat, dan siapa yang melanggarnya akan dimasukkan kedalam neraka serta

kekal di dalamnya. Keterangan surat al-Nisā‟ ayat 11 mengenai bagian anak

laki-laki dua bagian anak perempuan, hikmahnya adalah karena anak laki-

laki harus membelanjai dirinya, istrinya dan anak-anaknya, sebab itu ia

mendapatkan dua bagian. Adapun anak perempuan hanya membelanjai

dirinya sendiri. Apabila ia menikah nafkahya dipikul oleh suaminya. Inilah

hikmahnya, maka bagian anak laki-laki lebih banyak dari bagian anak

perempuan.46

Namun, para ahli modern berupaya untuk melihat persoalan waris

perempuan ini sesuai dengan prinsip keadilan gender. Salah satunya adalah

Munawir Sjadzali yang menyatakan bahwa persoalan waris bagi perempuan

sama dengan persoalan perbudakan. Dalam syariat tradisional, Islam

mendukung penghapusan perbudakan. Tetapi hingga Nabi Muhammad wafat,

Islam belum menghapus perbudakan. Perbudakan masih dilegitimasi al-

45

Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam

(Jakarta: Kencana, 2008) h. 73. 46

Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur‟an al-Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004)

h. 107.

29

Qur‟an seperti QS. Al-Nisā‟: 3, QS. Al-Mu‟minūn: 4, QS. Al-Aḥzāb: 52, dan

QS. Al-Ma„arij: 30. Namun pada abad 20, ketika umat manusia sepakat

menghapus perbudakan, kaum muslimin juga sepakat untuk menghapus,

meskipun ayat yang berkaitan dengan perbudakan adalah qaṯ„i. Hingga hari

ini pun, tidak ada satu ulama modern yang melegitimasi perbudakan

berdasarkan ayat-ayat tadi. Sebab situasi modern berbeda dengan masa Nabi

Muhammad, di mana hak-hak sipil yang diakui dalam deklarasi HAM

mengharuskan tidak adanya diskriminasi berdasarkan kelamin, maka hak-hak

waris perempuan harusnya disamakan, yaitu satu orang perempuan

berbanding satu orang laki-laki.47

Hal ini sama dengan pendapat Nasr Hamid Abu Zayd.48

Pada

abstraksi pemikirannya, khususnya permasalahan hak kewarisan perempuan,

Abu Zayd mampu menghadirkan sebuah pemikiran yang berbeda dari ulama

lain dan tampak lebih realistis, dimana ia mensejajarkan posisi laki-laki dan

47

Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, Kontekstual Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H.

Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 23 Sukron Kamil, dkk, Syariah Islam

dan HAM: Dampak perda Syariah terhadap kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-

Muslim (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2007) h. 58. 48

Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan di desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada

10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah keluarga yang religius. Ayahnya seorang aktivis

ikhwan al muslim. Orangtuanya memberi nama Nashr dengan harapan agar dia selalu

membawa kemenangan atas lawan-lawannya. Sangat wajar karena kelahiran Abu Zayd

bertepatan dengan perang dunia II. Pada 1952, Mesir dilanda krisis kepemimpinan yang

melahirkan "Revolusi Juli," yakni pada 2 Juli 1952, sekaligus peralihan status dari Kerajaan

menjadi Republik—dari tangan Raja Faruq ke tangan Jamal 'Abdul Nashr. Situasi Perang

Dunia II, yang ditandai dengan pecahnya Revolusi Juli ditambah lagi dengan latarbelakang

keluarganya—dimana ayahnya seorang aktifis gerakan Ikhwanul Muslim yang pernah

dipenjara—telah membentuk kepribadiannya menjadi seorang sosok yang kritis, penuh

tantangan, dan bertanggungjawab. Lihat pengantar Hamka Hasan dalam Nasr Hamid Abu

Zayd, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas Dalam al Qur'an Menurut Mu'tazilah,

(Bandung: Mizan, 2003), h. 10.

30

perempuan (1:1).49

Pemaknaan terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan

kewarisan tidak hanya dilihat dari tekstual gramatikalnya saja, tetapi juga

harus ditinjau dari setting sosial dan semangat perubahan yang digalang al-

Qur‟an. Penentuan tentang pembagian kewarisan antara laki-laki dan

perempaun 2:1 harus dipahami sebagai perubahan dari ketidakadilan ke arah

persamaan derajat laki-laki dan perempuan. Kalau kemudian hak waris itu

dilandaskan pada kemampuan penguasaan sosial ekonomi, maka ketika hal

ini dilihat dalam kacamata kontemporer dimana peran serta antara laki-laki

dan perempuan sudah sebanding, pembagian yang sepadan (1:1) mutlak

diterapkan.50

49

Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa‟ir al Khouf: Qiro‟ah fi Khitab al- Mar‟ah;

penerjemah: Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta:

Samha, 2003) h. 159. 50

Moch Sholekan, Studi Analisis Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd Tentang Hak

Waris Perempuan Dalam Hukum Islam (Skripsi S1 Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo

Semarang) h. 6.

31

BAB III

HUKUM WARIS DALAM AL-QUR’AN

A. Tujuan Waris Dalam al-Qur’an

Islam mendorong umatnya mencari harta kekayaan karena harta

merupakan alat untuk mencapai kesenangan bidup di dunia dan kebahagiaan

di akhirat. Harta kekayaan memungkinkan seseorang memenuhi keperluan

hidupnya di dunia dan menunaikan tanggung jawab terhadap agama.1 Harta

adalah keperluan hidup, bukan tujuan hidup, dan hanyalah kenikmatan semu.

la hanyalah ujian dan fitnah bagi manusia.2 Sebagaimana firman Allah dalam

surat al- Anfāl ayat 28:

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan

dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang menjunjung tinggi perkara

harta dan menyuruh supaya memperoleh serta mengembangkannya melalui

jalan-jalan yang telah disyariatkan.3 Syariat lslam dalam menangani masalah

harta di arahkan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah penanganan harta

bidang ibadah seperti zakat, penanganan harta dalam bidang muamalat yaitu

dengan membuat peraturan yang pada intinya bahwa seseorang tidak boleh

mengambil hak orang lain ataupun membuat orang lain rugi, penanganan harta

1 Melvi Yendra, Ensiklopedi Untuk Anak-anak Muslim (Bandung: Grasindo, 2007) h.

31. 2 Akhmad Iqbal, Panen Pahala dengan Puasa (Yogyakarta: Jogja Great Publisher,

2009) h. 74. 3 Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur‟ān al-Karīm: pendekatan Syaltut dalam Menggali

Esensi al-Qur‟ān, Penerjemah: Herry Noer Ali (Jakarta: CV Diponegoro, 1989) h. 381.

32

dalam ahwal al-syahsiyah (hukum keluarga) seperti mengatur masalah wasiat,

waris dan lain-lain. Hukum waris dalam al-Qur‟an sangat rinci. Syariat Islam

juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal

dunia kepada ahli warisnya.4

Bukan tanpa sebab Allah menurunkan syariat waris kepada umat

Islam. Sebagaimana syariat lainnya, syariat waris diturunkan untuk

memberikan pengaturan bagi manusia dan memberikan rasa adil. Di antara

tujuan dan hikmah pembagian waris adalah:5

1. Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (ḥifẓ al-māl)

sehingga sampai kepada individu yang berhak menerima harta warisan.

Memberikan legalitas atas kepemilikan harta warisan. Hal ini sesuai

dengan salah satu tujuan syariat (maqaṣid al syariʻah)6 itu sendiri yaitu

memelihara harta.

2. Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.

3. Menghindari perselisihan antara ahli waris atau keluarga mayat yang

ditinggalkan. Menjaga silaturahmi keluarga dari ancaman perpecahan yang

di sebabkan harta warisan serta memberikan rasa aman dan adil

4. Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari

seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah

4 Ahmad Abdul Hadi, Al-Qur‟ān Berbicara Tentang Ibu, Penerjemah: Abdul Azis

salim Basyarahil (Jakarta. Gema Insani Press, 1998) h. 64. 5 Jaenal Arifin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syarʻi

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h. 130. 6 Dari segi bahasa maqaṣid al syariʻah berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum

Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai hikmah dan

ʻillat ditetapkannya suatu hukum. Lihat: Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 123.

33

Allah swt yang harus dipelihara dan tentunya harus

dipertanggungjawabkan kelak.

5. Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan

tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan

maupun kecemburuan sosial.

6. Melalui sistem waris dalam lingkup keluarga. Pembagian waris ini dapat

menimbulkan rasa kasih sayang antaranggota keluarga.

7. Selain itu harta warisan bisa juga menjadi media untuk seseorang

membersihkan diri dari harta yang bukan haknya.

8. Mewujudkan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan membedakan

jenis kelamin karena pada masa jahiliyah, kaum perempuan tidak

mendapatkan bagian waris.

9. Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak

merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi demi generasi dalam

masyarakat.

B. Ahli waris Dalam al-Qur’an

Ahli waris adalah orang yang berhak atas harta warisan yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal.7 Al-Qur‟an menjelaskan tentang

siapa saja yang berhak menerima warisan. Di antara ayat-ayat yang

menjelaskan mengenai hal itu terdapat pada surat al-Nisā‟ ayat 11 dan 12. Di

dalam kedua ayat ini telah ditentukan hukum kewarisan yang mudah dipahami

7 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Quran (Jakarta: AMZAH, 2006) h. 11.

34

dan jelas isi ketentuannya mengenai siapa saja yang berhak menjadi ahli

waris, bagian-bagian yang harus diperoleh oleh setiap ahli waris.8

Semua ayat yang berkenaan dengan warisan menunjukkan bahwa

Allah swt membatasi pemberian warisan hanya kepada golongan atau pihak

yang disebutkan saja. Dengan demikian, tidak sepantasnya seseorang

menambahkan peruntukkan warisan kepada golongan atau pihak yang tidak

disebutkan oleh Allah swt, tidak pula menguranginya.9

Dari penjelasan di atas dapat dirinci ahli waris berdasarkan jenis

kelamin menurut golongan Ahlu Sunnah sebagai berikut. Golongan-golongan

ahli waris yang berhak menerima waris dengan sebab yang telah disepakati

seperti di atas, berjumlah 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.10

Mereka adalah

A. Golongan laki-laki yang berhak menerima waris

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah

3. Ayah

4. Kakek

5. Saudara kandung

6. Saudara seayah

7. Saudara seibu

8 Syaikh Ahmad bin Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, Jilid 2, Penerjemah:

Fedrian Hasmand, dkk (Jakarta: Almahira, 2006) h. 38. 9 Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsīr al-Imām al-Syafiʻi, h. 36.

10 Muhammad Ibnu Hasan al-Ruhby, Matnu al-Ruhbiyyah (Surakarta: Maktabah

Saqofah, Tth) h. 3

35

8. Anak laki-laki saudara kandung

9. Anak laki-laki saudara seayah

10. Paman kandung

11. Anak dari paman laki-laki sekandung

12. Anak dari paman laki-laki sebapak

13. Paman seayah

14. Suami

15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak

B. Golongan perempuan yang berhak menerima waris

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan dari laki-laki

3. Ibu

4. Ibu dari pihak ayah

5. Ibu dari pihak ibu

6. Saudara kandung

7. Saudara seayah

8. Saudara seibu

9. Istri

10. Orang perempuan yang memerdekakan budak

Tidak semua ahli waris yang disebutkan di atas mendapatkan bagian

harta warisan kerabatnya yang meninggal dunia. Seperti żawi al Arḥam

sebagaimana dikemukakan Muḥammad ʻAli al-Ṣābūnī dalam tafsirnya adalah

setiap kerabat bukan (tidak termasuk) aṣḥāb al-furūd dan bukan (golongan)

36

ahli waris ʻaṣabah (keturunan dari pihak ayah).11

Akan tetapi, dekat dengan si

pewaris, misalnya bibi dan paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak

laki-laki dari anak perempuan (cucu), anak laki-laki dari saudara perempuan

(keponakan) dan lain-lainnya semisal itu.12

Firman Allah mengenai żawi al-

arḥām adalah QS. Al-Anfāl: 75:

“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak

terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah”.13

Maka hendaklah mereka diberi sedikit rezeki dari harta yang kalian

terima. Memberikan harta kepada selain mereka adalah sebuah tindakan

meninggalkan orang yang lebih berhak dari selainnya, maka dari itu telah

jelas wajibnya harta warisan tersebut diberikan kepada żawi al-arham. Lalu

apabila telah pasti mereka, padahal telah diketahui bahwa mereka tidak

memiliki bagian tertentu dalam kitabullah. Dan bahwa antara mereka dengan

mayat ada penghubung hingga menjadikan mereka termasuk dalam sanak

11

Muḥammad ʻAli al-Ṣābūnī, Rawāiʻu al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Aḥkām min al-Qur‟ān,

Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) h. 280. 12

„Abdullah bin Muhammad bin ʻAbdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsīr ibnu

Katsir, Jilid 4, penerjemah: M. Abdul Ghoffar E. M (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafiʻi, 2004)

h. 87. 13

Sebab turunnya ayat ini adalah diriwayatkan dari Zubair ra bahwasanya ia berkata:

“ketika kami muslimin Quraisy datang di Madinah, kami tidak membawa harta benda

apapun, tetapi kami mendapati kaum Anṣar saudara-saudara yang baik. Lalu kami bersaudara

dengan mereka, kami mewarisi harta mereka dan mereka mewarisi harta kami. Abu Bakar

bersaudara dengan Kharijah bin Zaid dan aku sendiri bersaudara dengan Kaʻab bin Malik.

Demi Allah, seandainya ia meninggal dunia tidak seorang punyang mewarisi hartanya selain

aku, hingga Allah menurunkan firman-Nya: ولىاوا maka lalu kami بعض اولى بعضهم االرحام

kembali kepada waris-waris kami masing-masing.” Lihat: M. ʻAlī al-Ṣābūnī, Tafsir Ayat-ayat

Aḥkam dalam al-Qur‟ān, jilid 2 (Bandung: PT al-MaʻArif Bandung, 1977) h. 465-466.

37

family, maka mereka itu diposisikan seperti orang-orang yang menjadi

penghubung antara mereka dengan mayat.14

Beberapa orang di antara mereka yang lebih dekat kekerabatannya

dapat menghijab (menghalangi) yang lainnya dari memperoleh bagian harta

warisan tersebut, baik dengan mengurangi bagiannya (ḥajib muqṣān) atau

meniadakannya sama sekali (ḥajib ḥirmān).15

Jika ahli waris dari golongan laki-laki yang tersebut di atas semuanya

ada, yang mendapat warisan dari mereka hanya tiga orang: anak laki-laki,

suami, ayah. Begitu juga dengan golongan ahli waris perempuan. Jika ahli

waris yang tersebut di atas semuanya ada, yang mendapat warisan dari

mereka hanya lima orang: istri, anak perempuan, cucu dari anak laki-laki, ibu

dan saudara perempuan kandung.16

Żawi al-Furūd adalah ahli waris yang harta warisannya telah

ditentukan di dalam al-Qur'ān, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Adapun

pembagiannya adalah sebagai berikut:17

1. Yang mendapat setengah

a. Anak perempuan jika dia sendiri

b. Anak perempuan dari anak laki-laki atau tidak ada anak

14

Abdurrahman bin Nashir as-Saʻdi, Tafsīr al-Saʻdi, Penerjemah: Muhammad Iqbal,

juz 2 (Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 43. 15

Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut al-Qur‟ān, As-Sunnah dan Pendapat

Para Ulama (Bandung: Karisma, 2008) h. 270. 16

M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994) h.

7-8. 17

M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqi, h. 64-65.

38

c. saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja, kalau saudara

perempuan sebapak seibu tidak ada, dan dia seorang saja.

d. Suami jika tidak punya anak (keturunan).

2. Yang mendapat seperempat

a. Suami, jika istri meninggalkan anak laki-laki/perempuan atau cucu.

b. Isteri, jika suami tidak ada anak dan tidak ada cucu. Kalau isteri lebih

dari satu maka dibagi rata.

3. Yang mendapat seperdelapan

a. Istri yang ditinggal mati suaminya dengan meninggalkan anak laki-

laki perempuan dan selanjutnya / menurun.

4. Yang mendapat dua pertiga

a. Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.

b. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila anak

perempuan tidak ada.

5. Yang mendapat sepertiga

a. Ibu, jika tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak

ada pula dua orang saudara.

b. Dua orang saudara atau lebih dari saudara seayah atau seibu.

6. Yang mendapat seperenam

a. Ibu, jika beserta anak dari anak laki laki atau dua orang saudara atau

lebih.

b. Bapak, jika jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki.

c. Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.

39

d. Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) jika

bersama seorang anak perempuan. Bila anak perempuan lebih dari

satu maka cucu perempuan tidak mendapat harta warisan.

e. Kakek, jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, dan bapak

tidak ada.

f. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih). jika beserta

saudara perempuan seibu sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih

dari satu, maka saudara perempuan sebapak tidak mendapat warisan.

Al-Qurṭubī menjelaskan, kata furūḍ al muqaddarah: bagian-bagian

dari harta warisan yang telah ditentukan oleh syara' kepada ahlinya atau

kepada yang berhak telah tertera dalam al-Qur‟ān dan bagian itu ada enam,

yakni setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (23),

sepertiga (1/3), dan seperenam (I/6).18

Dalil setengah (1/2) adalah firman Allah swt, "Jika anak perempuan

itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (QS. Al-Nisā': 11)

"Dan bagimu suami suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri

istrimu.” (QS. A-Nisā': 12); dan ayat "Jika seorang meninggal dunia. dan ia

tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi

saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.

” (QS. Al-Nisā‟: 176).

18

Imām al-Qurṭubī, Al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, Jilid 5, Penerjemah: Fathurrahman,

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) h. 152.

40

Dalil seperempat (1/4), adalah firman Allah swt, “Jika isteri-

isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta

yang ditinggalkannya”(QS. Al-Nisā‟: 12), dan ayat “Para isteri

memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak

mempunyai anak.” (QS. Al-Nisā‟: 12).

Dalil seperdelapan (1/8), adalah firman Allah, “jika kamu

mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta

yang kamu tinggalkan.” (QS. Al-Nisā‟: 12).

Dalil sepertiga (1/3), adalah firman Allah swt, “Jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),

Maka ibunya mendapat sepertiga.” (QS. Al-Nisā‟: 11), dan ayat, “tetapi

jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu

dalam yang sepertiga itu”, (QS. Al-Nisā‟: 12).

Dalil dua pertiga (2/3) adalah firman Allah swt, “dan jika anak itu

semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan.” (QS. Al-Nisā‟: 11) dan ayat, “tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan oleh yang meninggal.” (QS. Al-Nisā‟: 176).

Dalil seperenam (1/6) adalah firman Allah swt, “Dan untuk dua

orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”(QS. Al-Nisā‟: 11)

41

“Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya

mendapat seperenam.” (QS. Al-Nisā‟: 11) dan ayat,“jika seseorang mati,

baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)

atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing

dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (QS. Al-Nisā‟: 12).19

C. Sebab-sebab Meneriman Warisan dan Penghalang Menerima Warisan

1. Sebab-sebab menerima warisan

Manakala peristiwa kematian terjadi seseorang yang meninggal

dunia juga meninggalkan sejumlah harta. Ada ketentuan syariat, orang

yang sudah meninggal dunia dinyatakan tidak menjadi subjek hukum,

yang menanggung beban melakukan kewajiban, sekaligus tidak

mendukung hak milik apapun.20

Seseorang tidak berhak menerima warisan dari orang lain, kecuali

karena memiliki sebab-sebab tertentu. Adapun sebab-sebab yang

menjadiakan seseorang mendapatkan warisan ada tiga, yaitu: nikah,

nasab, dan wala‟.21

a) Pernikahan

19

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan

Abadi Publishing, 2004) h. 107-108). 20

Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta, h. 16-

17. 21

Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, penerjemah: Samson Rahman (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2003) h. 196. Lihat juga: Aḥmad ibn Sulaimān al-Jazūlī al-usmūkī, Īḍaḥ

al-Asrār al-Maṣūnah fī al-Maknūnah, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt) h. 6.

42

Pernikahan adalah akad (ikatan/kesepakatan) yang

menyebabkan halalnya hubungan antara laki-laki dan

perempuansesuai dengan aturan yang digariskan oleh syara‟.22

Akad

ini menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Itu

merupakan ikatan lahir antara dua orang, suami dan istri.dia antara

keduanya tidak ada hubungan darah, dan justru karena itu pula

keduanya dapat saling menikah, dan karena perkawinan itu mereka

saling dapat mewarisi, walaupun belum terjadi percampuran.23

b) Nasab (keturunan)

Secara etimologi, nasab berasal dari kata نسبا (nasaban) dan

merupakan masdar dari kata nasaba – yansibu – nasaban yang berarti

kerabat, keturunan, menetapkan keturunan.24

Al-Rāgib al-Aṣfahāni menjelaskan bahwa nasab adalah isytirāk

min jihhah aḥad al-abawain (persekutuan, hubungan,

keterkaitanantara anak dengan salah satu dari kedua orang tuanya).25

Sementara itu Muhammad bin Shalih al-„Usaimin menjelaskan

keturunan adalah memiliki tali persaudaraan. Yakni, hubungan tali

persaudaraan antara dua orang manusia melalui hasil keturunan baik

22

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Tafsir Ilmi, (Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012) h. 33 23

Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyridan Syari„, h.

129. 24

Ibn Mandzur, Lisān al-„Arab, (Kairo: Dār al-Ma„arif, tt) h. 4405. 25

Al-Rāgib al-Aṣfahāni, Mu„jam Mufradat al-faẓ al-Qur-ān, (Beirut: Dār al-Qur-ān,

2013), h. 545.

43

yang dekat maupun yang jauh.26

Hal ini berdasarkan firman Allah

swt:

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu

sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang

bukan kerabat) di dalam kitab Allah. (QS. Al-Anfāl: 75”).

Orang yang mengambil pusaka dengan jalan kekerabatan ada 3,

yaitu: (a) Aṣḥāb al-Furūḍ (ahli waris yang menerima bagian tertentu

dari harta warisan), (b) Aṣabah Uṣubah Nasabiyah (waris-waris yang

tidak mempunyai bagian tertentu), (c) Żawi al-Arḥām (waris-waris

yang tidak masuk ke dalam golongan Aṣḥab al-Furūḍ dan Aṣabahi).27

c) Wala‟

Wala‟ adalah seorang yang memerdekakan budak laki-laki atau

budak perempuan. Dengan memerdekakannya, maka ia berhak atas

wala‟nya (pemerdekaannya). Ia dapat menjadi walinya kalau yang

dimerdekakannya tidak mempunyai wali (karena keturunan). Jadi jika

budak yang dimerdekakannya itu meninggal dunia serta tidak

meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh orang yang

memerdekakannya.28

2. Penghalang Menerima Warisan

26

Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris: Menurut al-

Qur‟ān dan as-Sunnah yang Shahih, (Bogor: Pustaka Ibnu katsir, 2006) h. 31. 27

Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyridan Syari„, h.

130. 28

Abu Bakar jabir al-Jaza‟iri, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, penerjemah:

Musthofa Aini Dkk (Jakarta: Darul Haq, 2006) h. 574. Lihat juga: Mālik ibn Ana al-Aḍaḥī,

Al-Mudawwanah al-Kubrā, juz 6 (Kairo: Dar al-Naṣri li al-ṭibā„ah al-Islāmiyah, 1422 H) h.

83.

44

Di samping itu terdapat beberapa sebab yang dapat menghalangi

seseorang mendapat warisan dari si mayit padahal semestinya yang

bersangkutan berhak atas warisan tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat

adanya tiga sebab, yaitu berbeda agama, pembunuh, perhambaan.29

Para

ulama telah sepakat bahwa status seseorang karena berbeda agama, sebab

membunuh, dan perbudakan merupakan penghalang terjadinya

pewarisan. Hanya mereka berbeda dalam merincikan.30

Penghalang

pusaka (warisan) dalam istilah ulama farāid adalah suatu sifat yang

menyebabkan orang yang bersifat dengan sifat itu, tidak dapat menerima

warisan, padahal cukup sebab-sebabnya dan cukup pula syarat-syartanya.

Apabila seseorang mempunyai sebab mendapat warisan seperti

perkawinan dan kekerabatan serta cukup pula terdapat syarat-syaratnya,

tetapi ada suatu penghalang dari penghalang-penghalang warisan, maka

orang itu tidak menerima warisan dari muwarisnya, karena ada yang

menghalangi dia menerima warisan, walaupun ada hal-hal yang

menghendaki ia mendapat warisan.31

Hal-hal yang menyebabkan seorang

ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut:

a. Berbeda agama Menurut

sebab yang pertama, seorang muslim tidak dapat mewarisi

orang kafir, begitu juga sebaliknya. Wahbah al-Zuhaili mengatakan

29

Sudarsono, sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) . h. 281. 30

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997) h. 29 31

Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mqwaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaariat

Islam. H. 51-52.

45

secara tekstual kata aulād bersifat umum, seluruh anak berhak

mendapat warisan, baik yang muslim maupun yang kafir. Akan tetapi

hal ini ditegaskan di dalam sabda Nabi Muhammad saw. Yaitu:

سلم اليرث سلم الكافر وال الكافر الم الم

“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir

tidak mewarisi orang muslim”.

Berdasarkan hadiṡ ini, maka bisa diketahui bahwa yang

dikehendaki Allah di dalam ayat ini tidak seluruh anak secara mutlak,

akan tetapi menghendaki sebagian dan tidak menghendaki sebagian

yang lain. Maka berarti muslim tidak mewarisi kafir dan sebaliknya

kafir tidak mewarisi muslim.32

b. Pembunuh

Adapun menurut sebab yang kedua, apabila dengan sengaja

seseorang membunuh seorang yang akan mewariskan harta

kepadanya, maka ia tidak memperoleh harta warisan dari yang

dibunuh tadi. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad saw,

Yaitu

ئ شي ول المقت من القاتل يرث الا

“Orang yang membunuh tidak boleh mewarisi dari orang

yang dibunuhnya”.

Pembunuhan yang dilakukan oleh calon ahli waris terhadap

pewarisnya akan memutuskan hubungan, baik karena darah maupun

perkawinan antara keduanya, karena pembunuh dengan yang

dibunuhnya. Dalam sistem kewarisan Islam dilarang mengalihkan

32

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munīr, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Jilid 2

(Jakarta: Gema Insani, 2013) h. 620.

46

harta peninggalan seseorang kepada ahli warisnya secara paksa,

apalagi dengan keji di luar proses yang lazim, yakni melalui kematian

biasa menurut ketentuan Allah.33

Berdasarkan pendapat Malik, jika ia

membunuhnya dengan tidak sengaja maka ia tidak mendapatkan

warisan dari diyatnya dan ia mendapatkan warisan dari harta orang

yang dibunuh.34

c. Perhambaan

Adapun menurut sebab ketiga adalah perhambaan. Para ulama

telah sepakat perhambaan merupakan penghalang kewarisan.35

Seorang hamba adalah milik tuannya secara mutlak, karena itu ia

tidak berhak memiliki harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang

yang mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapapun. Berdasarkan

adanya firman Allah swt

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang

dimilik yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun” (QS. Al-Nahl:

75)

Menurut hemat penulis PRT (Pembantu Rumah Tangga) juga

tidak dapat mewarisi harta majikkannya karena pembantu rumah

tangga tidak termasuk dalam anggota keluarga, tidak ada ikatan yang

disebabkan oleh darah, pernikahan maupun wala‟, namun ia dapat

memperoleh wasiat dari majikannya.

33

Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, h.

106. 34

Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurṭubi, Penerjemah: Ahmad Rijali Kadir, jilid 5 (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008) h. 151. 35

M. Yusuf Musa, Al Tirkah wa al Mirās fi al lslām, (Mesir: Dār al-Kitāb al-„Arabi,

1959) h. 161.

47

BAB IV

ANALISA PENAFSIRAN SAYYID QUṬB TERHADAP AYAT-AYAT

WARIS

Al-Qur‟an menjelaskan hukum syariat dengan cara universal bukan secara

rinci, dengan bentuk kulli bukan juzʻi yang mengindikasikan pada penelitian dan

penyelidikan ayat-ayat al-Qur‟an al-Karīm. Meskipun ada sebagian ayat, kita

menemukan hukum yang sudah terperinci, di antaranya hukum warisan dan

keluarga, karena itu hukum taʻabbudi yang tidak ada ruang untuk berijtihad atau

ada ruang tetapi kemaslahatannya sudah tetap, tidak dapat berubah karena

perubahan masa, tempat, keadaan dalam bentuk kulli, juzʻi, dan ijmali (global).1

Hukum waris merupakan hukum kekeluargaan yang bersifat intim dan

sakral, setelah seorang meninggal dunia, anggota keluarga yang lain mendapat

hak pembagian harta warisan yang ditinggalkannya.2 Bagi hemat penulis,

kesakralan ini disebabkan adanya ketentuan yang diberlakukan oleh syari‟at

dalam pemenuhan hak waris sehingga mewujudkan keadilan dan menghilangkan

kecemasan dalam kecemburuan pembagian hak waris.

1 Ahmad Muhammad al-Hushari, Tafsīr Ayat-ayat aẖkām: Telaah Tentang Ayat-ayat

Hukum yang Berkaitan dengan Ibadah, Muamalat, Pidana, dan Perdata, Penerjemah:

Abdurrahman Kasdi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 20. 2 Bustanuddin Agus, Al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran

Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993) h. 130.

48

Surat al-Nisā‟ adalah surat keempat pada paro pertama al-Qur‟an . Surat

tersebut dinamakan surat al-Nisā‟ karena banyak sekali mengandung penjelasan

yang berkaitan dengan hukum-hukum tentang perempuan.3

Amru Khalid memberikan penjelasan di dalam muqaddimah surat al-

Nisā‟, bahwa surat ini merupakan surat kasih sayang dan surat keadilan,

khususnya bagi kaum yang lemah (ḍāif). Surat ini juga menjelaskan siapa saja

yang harus mengemban tanggung jawab dalam menegakkan keadilan dan berlaku

kasih sayang terhadap orang-orang yang lemah. Oleh sebab itu, surat al-Nisā‟ ini

berbicara tentang hak-hak orang yang lemah, antara lain anak yatim, hamba

sahaya, para pembantu, dan orang-orang yang berhak menerima harta warisan.4

Hal tersebut juga disinggung oleh Muhammad Ali al-Shabuni yang

mengatakan bahwa Surat ini juga berbicara tentang hak-hak perempuan dari sisi

yang lebih spesifik, berkaitan dengan perempuan-perempuan yatim yang hidup di

dalam rumah wali atau pengasuhnya, sehingga perlu ada ketetapan hak-hak

mereka secara sempurna baik dalam masalah warisan, penghidupan, pernikahan,

wasiat dan lain sebagainya.5

Beberapa pandangan yang berkaitan dengan interpretasi surat al-Nisā‟

dapat penulis petakan dalam beberapa kategori:

1. Pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan

3Ukasyah Abdulmannan Athibi, Wanita Mengapa Melosot Akhlaknya, penerjemah:

Chairul halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1998) h. 59 4 Amru Khalid, Khawāṭir Qur‟āniyah: Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-Qur‟ān,

penerjemah: Khojin Abu Faqih (Jakarta: Al-I„tishom, 2011) h. 88. 5 Muhammad „Alī al-Ṣabūnī, Cahaya al-Qur‟ān, penerjemah: Kathur Suhardi (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2000) h. 185.

49

1. Penafsiran ulama modern

Sayyid Quṭb mengatakan bahwa intisari dari ilmu farāiḍ yakni ilmu

pembagian warisan terdapat di dalam tiga ayat yaitu ayat 11, 12 dan 176

surat al-Nisā‟. Sedangkan cabang-cabangnya dibicarakan dalam Sunnah,

dan yang lainnya merupakan hasil ijtihad para fuqaha di dalam

menerapkan gagasan ini.6

Mengenai surat al-Nisā‟ ayat 11, Sayyid Quṭb memberikan

penjelasannya dalam tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟an, tentang makna li ażżakari

mislu ḥaẓẓ al-unṡayain, ketika seseorang meninggal dunia tidak memiliki

ahli waris kecuali anak-anaknya saja, laki-laki dan perempuan, maka

pewarisnya mengambil semua harta peninggalannya. Dengan prinsip 2:1

yakni anak laki-laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan

mendapatkan satu bagian.7

Yang menjadi masalah terhadap ayat tersebut adalah ketentuan

bagian waris laki-laki dan perempuan dua berbanding satu. Mengapa al-

Qur‟ān memberikan hak waris kepada perempuan separuh dari bagian

laki-laki? Apakah ini bentuk diskriminasi Islam terhadap perempuan?

Terhadap ayat ini Sayyid Quṭb berpendapat bahwa kalimat ini tidak

berarti merendahkan salah satu jenis kelamin, tetapi terkait dengan

keseimbangan dan keadilan antara beban yang dipikul oleh laki-laki dan

6 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Iḥyā‟ al-ṭurāṡ al-„Arābi,

1967) h.259. 7 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 260.

50

perempuan baik dalam urusan rumah tangga maupun kemasyarakatan.

Laki-laki setelah menikah akan menanggung segala nafkah anak dan

istrinya. Sedangkan perempuan sebelum dan sesudah menikah hanya

mengurusi dirinya sendiri, bahkan menjadi tanggungan orang lain.8 Sayyid

Quṭb juga menyebutkan bahwa sistem kewarisan ini menerapkan sistem

yang adil dan juga relevan dengan realitas kehidupan keluarga dan

kemanusiaan dalam semua keadaan.9

Menurut Sayyid Quṭb pembagian waris 2:1 sudah sesuai dengan

konteks sekarang, modernisasi baginya adalah kemenangan Barat dan

kekalahan Islam. Islam merupakan sistem sosial menyeluruh yang

melayani semua kebutuhan, sistem yang berbeda secara mendasar dari

semua sistem lainnya. Masa lalu Islam harus dipakai lagi untuk melawan

Barat dan modernisasi.10

Sementara itu, Muhammad „Alī al-Ṣabūnī menuliskan dalam

bukunya, Qabas min Nūr al-Qur‟ān Dirāsah Tahliliyah Muwassa„ah bi

Ahdāf wa Maqāṣid as-Suwar al-Karīmah dia mengawali dengan sebuah

kalimat pertanyaan, Mengapa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan,

padahal perempuan lebih lemah dari laki-laki? Muḥammad „Alī al-Ṣabūnī

memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, bahwa terdapat hikmat

yang menyebabkan perempuan hanya mendapatkan setengah dari laki-laki,

8 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 261.

9 Sayyid Quṭb, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, h. 269.

10 John Cooper dkk, Pemikiran Islam: Dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr Hamid Abu

Zayd, penerjemah: Wakhid Nur Effendi (Jakarta: Erlangga, 2000) h.Xviii.

51

antara lain; kebutuhan perempuan sudah tercukupi, perempuan tidak

dibebani tanggung jawab memberi nafkah kepada seseorang, laki-laki

harus memberikan mahar kepada calon istri dan wajib menyediakan

tempat tinggal serta memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.

Menurut al-Ṣabūnī perbandingan ini adalah sebuah keadilan karena beban

tanggung jawab seorang laki-laki lebih banyak dan bagian yang

diterimanya juga harus lebih banyak. 11

Dari interpretasi di atas, terlihat jelas akan sebuah gambaran bahwa

kesetaraan yang ditetapkan al-Qur‟an bukan semata-mata karena status

namun lebih kepada tanggung jawab dan sifat alami yang dimiliki

manusia. Baik laki-laki dan perempuan, penerimaan hak yang telah

ditetapkan menjadi sesuatu yang harus diterima sekaligus membawa

dampak yang lebih baik dalam sistem kekeluagaan.

Al-Qur‟an tidak menetapkan perbedaan antara laki-laki dan

perempuan apalagi mendeskriminasikan antara keduanya. Ketetapan

tersebut dilakukan semata-mata karena untuk kemanfaatan manusia pula.

2. Penafsiran ulama Indonesia

Pada penelitian ini penulis menjadikan Quraish Shihab sebagai

referensi tokoh mufasir yang dinilai dapat mewakili dalam interpretasi ayat

di atas, mengingat bahwa Quraish Shihab merupakan salah seorang yang

membidangi kajian tafsir.

11

Muḥammad „Alī al-Ṣabūnī, Cahaya al-Qur‟ān, penerjemah: Kathur Suhardi (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2000) h. 191-192.

52

Quraish Shihab menjelaskan interpretasi surat al-Nisā‟ ayat 11

dengan mengawali keterangan yang berkaitan dengan asbab al-nuzūlnya,

bagi Quraish Shihab ayat ini merincikan sebuah ketetapan-ketetapan yang

mensyariatkan pembagian pusakan di antara kaum muslimin di mana

pembagian terhadap anak-anak menjadi prioritas yang kemudian

dilanjutkan dengan pembagian orang tua. Keprioritasan ini dilandaskan

dengan alasan bahwa anak-anak jauh lebih lemah dibandingkan orang

tua.12

Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa penggunaan kata żakara dalam

surat al-Nisā‟ 11 menunjukan adanya perbedaan makna antara żakara

dengan al-rijāl. Żakara diartikan sebagai anak-anak laki-laki atau

perempuan yang masih berusia dini atau bisa dikatakan sebagai anak yang

belum mencapai kedewasaan. Hal ini berbeda dengan pemaknaan al-rijāl

yang disandangkan untuk penggunaan anak laki-laki dewasa.13

Sedangkan

Buya Hamka menjelaskan bahwa “ayat ini menjadikan kewajiban atas

seseorang dalam menghargai anak yatim dan kaum perempuan dalam

penerimaan harta pusaka atau waris.”14

Perbedaan perbandingan

pembagian atas harta pusaka atau waris terhadap anak laki-laki dan

perempuan dilandaskan bahwa tanggung jawab laki-laki di dalam harta

benda jauh lebih berat dari pada tanggung jawab perempuan.15

12

Quraish Shihab, tafsīr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 360. 13

Quraish Shihab, tafsir al-Miṣbah, h. 361. 14

Hamka, tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 278. 15

Melihat hal demikian, menurut hemat penulis bahwa perbedaan tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai kesenjangan antara laki-laki dan perempuan serta tidak dapat dikatakan pula

53

Melihat asbāb al-nuzūl, penulis menemukan bahwa pada masa

jahiliah ternyata anak-anak tidak mendapatkan harta pusaka sebagai

peninggalan atas kematian orang tuanya sebelum mereka dapat menghadiri

peperangan atau bisa dikatakan sudah mampu berperang. Maka di sini

terlihat bahwa surat al-Nisā‟ ayat 11 menegaskan adanya istinbaṭ (hukum)

bagi pembagian harta pusaka terhadap anak-anak.16

Untuk pembagian harta pusaka atau waris antara laki-laki dan

perempuan dijadikan adanya perbedaan di antara keduanya. Di mana

bagian laki-laki sama dengan dua kali bagian perempuan. Penggunaan

redaksi yang demikian dinilai Quraish Shihab sebagai penjelasan hak

perempuan memperoleh warisan, bukan seperti yang diberlakukan pada

masa jahiliah,17

Interpretasi yang dilakukan Qurais Shihab dilandaskan dengan

melihat karakter masa jahiliyah di mana perempuan tidak diizinkan sama

sekali untuk pemenuhan hak waris. Penulis menilai bahwa apa yang terjadi

pada masa jahiliyah menunjukkan bahwa kehadiran al-Quran semata-mata

guna memperbaiki tatanan atau sistem keluarga yang bobrok di mana saat

itu kaum laki-laki seolah menjadi hal yang utama. Padahal di sisi lain, ada

bahwa anak laki-laki menjadi hal utama dalam pembagian warisan. Mengingat bahwa hal ini

menjadi ketetapan yang diwahyukan Allah bagi umat Islam. Hal ini sebegaimana diketahui bahwa

pada masa jahiliah anak perempuan tidak mendapatkan bagian atas wafatnya orang tua. Adapun,

di antara yang berpendapat adanya kesenjangan hal ini juga menjadikan sesuatu hal yang wajar, di

mana mereka melihat tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kesetaraan

harta. Lihat: Hamka, tafsir al-Azhar, h. 279. 16

Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 63. 17

Quraish Shihab, tafsir al-Misbah, h. 361.

54

sesuatu yang perlu diperhatikan seperti hak istri dan anak selaku bagian

anggota keluarga.

3. Penafsiran tokoh-tokoh gender

Kesetaraan gender menjadi rumor yang ridak ada hentinya, perkara

ini berkenaan dengan kenyataan bahwa dalam praktik di negara-negara

yang mayoritas penduduknya beragama Islam, peranan kaum laki-laki

lebih dominan daripada kaum perempuan.

Informasi itu memberi motivasi untuk meninjau secara cermat

apakah aturan dalam Islam memang pada dasarnya menentukan

diskriminasi terhadap perempuan. Apakah secara normatif perbedaan jenis

kelamin merupakan takaran untuk menerapkan hukum yang berbeda?18

Berkenaan dengan itu pada penelitian ini penulis mengkaji

pemikiran Muḥammad Shaḥrūr19

karena dalam beberapa karyanya

berupaya menawarkan konsep-konsep alternatif metodologi pembaharuan

untuk menjawab tantangan kemodrenan. Shaḥrūr berupaya melakukan

pembaharuan hukum Islam dan concerned merumuskan metodologi tafsir

dengan menggunakan terori batas yang diharapkan tumbuh berkembang,

berkeadilan, dan mampu menjadi alternatif bagi model penafsiran

kontemporer yang objektif dan ilmiah.20

18

Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam: Kajian

Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: LkiS, 2010) h. 208. 19

Muḥammad Shaḥrūr lahir di Damaskus, Suriah pada tahun 11 April 1938. Shaḥrūr

adalah seorang revolusioner dan penentang kaum Muslim fundamentalis. Ayahnya bernama Dayb

dan ibunya bernama Ṣiddīqah binti Ṣalīh Filyūn. Lihat: Abdou Filali Ansary, Pembaharuan Islam:

Dari Mana dan Hendak Kemana? Penerjemah: Machasin (Bandung: Mizan, 2009) h. 200, lihat

juga: Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet III (Yogyakarta: LkiS, 2012) h. 92. 20

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 127.

55

Shaḥrūr mengatakan bahwa HAM (Hak Asasi Manusia)

disalahgunakan di berbagai negara serta kekejaman politik merupakan

kezaliman utama. Ditinjau dari perspektif sejarah yang murni, kaum

perempuan jatuh ke dalam penindasan.21

Dan kekerasan, penindasan,

ketidakadilan dan kekejaman merupakan penyimpangan-penyimpangan

yang wajib kita lawan.22

Muḥammad Shaḥrūr memaparkan interpretasi manusia atas al-

Qur‟an akan terus berkembang dan lebih maju untuk mengungkap sisi-sisi

tersembunyi yang belum bisa diungkap pada masa lalu oleh para mufassir,

karena al-Qur‟an mengandung metode yang bisa disesuaikan dengan

segala dimensi waktu dan tempat.23

Pembagian warisan menurut Shaḥrūr, termasuk dalam batas-batas

hukum yang telah ditentukan oleh Allah dimana dalam firman-Nya: tilka

ḥudūd Allāh yang berada di dalam surat al-Nisā‟ ayat 13 setelah Allah

menetapkan dan menjelaskan batasan-batasan hukum waris pada ayat 11

dan 12. Adapun batas-batas hukum Allah dalam pembagian warisan,

Shaḥrūr menyusun menjadi tiga batas-batas hukum.

Dalam menetapkan hukum waris li ażżakar miṡl ḥaẓẓ al-unṡayaini

Shaḥrūr menggunakan teori batas maksimal dan batas minimal secara

bersamaan, diamana daerah hasilnya berupa kurva gelombang yang

21

Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-

isu global, penrejemah: Bahrul Ulum (Jakarta: paramadina, 2001) h. 211. 22

Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-

isu global, h. 212. 23

Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan

Fenimisme, penerjemah: Kamran Asad Irsyadi (Yogyakarta: LkiS, 2004) h. 92.

56

memiliki sebuah titik balik maksimum dan minimum. Menurut Syaḥrūr

jika seluruh beban ekonomi keluarga ditanggung pihak laki-laki,

sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat, dalam kondisi ini

batasan hukum Allah dapat diterapkan, yaitu yaitu memberikan dua bagian

kepada laki-laki dan satu bagian kepada perempuan. Dari segi presentasi,

bagian minimal bagi perempuan adalah 33,3 % sedangkan bagian

maksimal bagi laki-laki adalah 66,6 %. Oleh karena itu jika kita memberi

laki-laki sebesar 75 % dan perempuan diberi 25 % kita telah melanggar

batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. Namun jika kita membagi 60 %

bagi laki-laki dan 40 % bagi perempuan, kita ridak melanggar batasan

hukum Allah karena kita masih berada di antara batasan-batasan hukum

Allah.24

Amina Wadud Muhsin25

senada hal ini mengatakan: arti penting

teks al-Qur‟an adalah ketidakterikatannya pada waktu dan ungkapannya

tentang nilai-nilai abadi. Dengan begitu, konteks berbagai komunitas

Muslim belum mencapai tingkatan yang dikehendaki al-Qur‟an . Bukan

teks al-Qur‟an yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran

terhadap teks itulah yang dianggap lebih penting daripada al-Qur‟an

sendiri yang membatasinya. Dalam agama lain, kaum feminis masih harus

memasukkan perempuan ke dalam wacana agar mereka mendapatkan

legitimasi. Sementara, perempuan Muslim hanya perlu memahami al-

24

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet III (Yogyakarta: LkiS, 2012)

h. 202-203. 25

57

Qur‟an saja; yakni tidak terbelenggu oleh penafsiran-penafsiran yang

eksklusif dan mengekang bila mereka ingin mendapatkan kebebasan yang

tak terbantahkan.26

Amina Wadud mengatakan dalam bukunya bahwa bagian

perempuan setengah dari bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model

pembagian harta, akan tetapi salah satu dari beberapa penetapan

proporsional yang bisa dilakukan. Dengan kata lain pembagian warisan

bersifat fleksibel asal memenuhi asas keadilan dan naf„un (manfaat).

Dengan demikian bisa berubah sesuai realitas zaman. Formula pembagian

waris dua banding satu diperkokoh melalui penyederhanaan berlebihan

terhadap pembahasan al-Qur‟an berhubungan waris merupakan kesalahan.

Meskipun pernyataan al-Qur‟an dalam surat al-Nisā‟ ayat 11-12,

menetapkan “bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan

(saudara kandung)”, akan tetapi analisis yang lengkap terhadap ayat ini

menjabarkan variasi pembagian yang proporsional antara laki-laki dan

perempuan.27

Di dalam pengantarnya Amina Wadud menjelaskan tentang

perempuan dalam al-Qur‟an mempunyai dua konotasi penting. Pertama,

al-Qur‟an harus terus-menurus ditafsir ulang, agar al-Qur‟an relevan

dengan kondisi zaman dan waktu. Kedua, kejayaan kebudayaan tercermin

26

Amina Wadud, Qur‟ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan

Semangat Keadilan, penerjemah: Abdullah Ali (jakarta: Serambi, 2006) h. 13. 27

Amina Wadud, Qur‟ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan

Semangat Keadilan, h. 150.

58

dari tingkat partisipasi perempuan dalam masyarakat dan pengakuan atas

pentingnya sumber daya perempuan.28

2. Pembagian warisan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan

Dalam al-Qur‟an, kata li ażżakar misl ḥaẓẓ al-unṡaini tersebut dua kali.

Yang semuanya dalam surat al-Nisā‟, yang pertama ayat 11 dan yang kedua

ayat 176 (ayat terakhir dari surat ini). Yang menjadi perbedaan antara dua

ayat ini adalah pada surat al-Nisā‟ ayat 11 laki-laki mendapat bagian lebih

banyak daripada perempuan karena tanggungjawab suami untuk menafkahi

anak-anak dan istrinya, sedangkan pada surat al-Nisā‟ ayat 176 merupakan

ayat tentang kalālah29

(apabilah seseorang meninggal dunia tidak

meninggalkan anak dan tidak juga ayah, namun memiliki saudara. Dan

saudara laki-laki mendapat bagian 2:1 dari saudara perempuan, karena

saudara perempuan menjadi tanggungjawab saudara laki-laki.

Al-Khaṭṭabī menjelaskan, Allah swt menurunkan dua ayat tentang

kalālah, salah satunya turun di musim dingin, yaitu ayat di awal surat al-

Nisā‟ secara umum, yaitu firman Allah swt,

“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

perempuan (seibu saja).” (al-Nisā‟: 12)

28

Amina Wadud, Qur‟ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan

Semangat Keadilan, h. 12-13. 29

Kalālah adalah seseorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (laki-laki

maupun perempuan) dan tidak juga ayah. Lihat: M. Quraish Shihab, Al-Lubāb: Makna, tujuan,

dan pelajaran dari surat-surat al-Qur‟ān, cet I (Ciputat: Lentera Hati, 2012) h. 242.

59

Selanjutnya ayat yang kedua turun di musim panas. Ayat ini

menjelaskan secara komplit. Salah satu pendapat menyatakan, ini adalah ayat

yang terakhir turun, yaitu firman Allah swt,30

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:

"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang

meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai

saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu

seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-

laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak

mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka

bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang

meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-

saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-

laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah

menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan

Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Jika saudara laki-laki dan perempuan yang ditinggalkan oleh pewaris

dengan jumlah yang banyak. Pada pembagian saudara-saudara tersebut

Sayyid Quṭb berpendapat kalau yang menerima waris beberapa saudara laki-

laki dan perempuan, maka saudara laki-laki mendapat bagian dua kali bagian

perempuan, sesuai dengan pedoman umum dalam warisan.31

Pendapat Quṭb

tersebut memiliki persamaan dengan mufassir lainnya, baik ulama sebelum

30

Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ, h. 373 31

Sayyid Quṭb, tafsir Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, Jilid 5. H. 53.

60

maupun penerusnya. Yakni diantaranya al-Syanqiṭi berpendapat di dalam

tafsirnya jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan

perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua

orang saudara perempuan.32

Lalu al-Sa‟di berpendapat jika mereka (ahli

waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, dengan

berkumpulnya saudara laki-laki kandung atau seayah bersama saudara

perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua

orang saudara perempuan.33

Berikutnya imam Syafi‟i berpendapat jika

mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan,

maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara

perempuan.34

3. Keterkaitan asbab al-Nuzul dengan ketetapan hak waris

1. Sebab turunnya ayat35

surat al-Nisā‟ ayat 11:

Terdapat perbedaan pendapat tentang riwayat sebab turunnya ayat

warisan ini. Salah satunya adalah riwayat dari al-Bukhārī, Muslim, Abū

Daud, al-Tirmidzi, al-Nasāi, dan Ibn Majah meriwayatkan bahwa Jabir

ibn „Ābdillah berkata, “Ketika saya sakit, Rasul Allah saw dan Abū Bakr

32

Al-Syanqiṭi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan, penerjemah: Fathurazi (Jakarta: Pustaka Azzam,

2006) h. 629. 33

Abdul Raḥmān ibn Naṣīr al-Sa‟di, Tafsir AL-Sa‟di, penerjemah: Muhammad Iqbal dkk

(Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 279. 34

Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, jilid 2, penerjemah: Fedrian Hasmand

dkk (Jakarta: Al-Mahira, 2007) h. 271. 35

Pengertian Asbab al-Nuzūl adalah bentuk iḍofah dari kata asbab dan nuzul. Secara

etimologi Asbab al-Nuzūl adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.

Sedangkan secara terminologi, ada beberapa defenisi yang dapat dikemukakan, diantaranya

menurut al-Zarqanī: يت تحدثةة نن او تبننة لدمه ييت ووون سبب النزول هو نزلت االية او اال artinya: Sebab

turun ayat adalah yang oleh karenanya sepotong atau beberapa ayat diturunkan untuk

membicarakan atau menerangkan hukumnya sesuatu (yang terjadi) pada saat terjadinya. Lihat: Ali

al-Sahbuny: Kamus al-Qur‟ān : Quranic Explorer, (Jakarta: Dār al-Sunnah, tth) h. 59-60

61

menjenguk saya di bani Salamah dengan berjalan kaki. Ketika sampai

mereka mendapati saya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Lalu Rasul

Allah saw minta diambilkan air kemudian berwudhu lalu memercikkan air

di wajah saya, setelah itu saya sadarkan diri. Lalu saya bertanya kepada

beliau, „apa yang harus saya lakukan terhadap harta saya wahai Rasul

Allah?‟ Maka turunlah firman Allah,

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama

dengan bahagian dua orang anak perempuan.”

Ayat ini turun untuk menghapus ketentuan waris yang

berlangsung pada masyarakat jahiliyah, dimana mereka tidak memberikan

hak waris kepada kaum perempuan dan anak-anak.36

2. Sebab turunnya ayat37

surat al-Nisā‟ ayat 11:

An-Nasāiʻi meriwayatkan dari jalur Abū Zubair bahwa Jabir

berkata, “Ketika saya sakit, Rasul Allah saw menjenguk saya. Lalu saya

katakan kepada beliau,„ Wahai Rasul Allah, saya ingin mewasiatkan

untuk saudara-saudara perempuanku sepertiga harta saya.‟ Beliau

bersabda, „Bagus.‟Lalu saya katakan lagi, “Bagaimana kalau saya

36

Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta:

AMZAH, 2013) h. 284. 37

Pengertian Asbab al-Nuzūl adalah bentuk iḍofah dari kata asbab dan nuzul. Secara

etimologi Asbab al-Nuzūl adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.

Sedangkan secara terminologi, ada beberapa defenisi yang dapat dikemukakan, diantaranya

menurut al-Zarqanī: ة لدمه ييت ووون سبب النزول هو نزلت االية او االيت تحدثةة نن او تبنن artinya: Sebab

turun ayat adalah yang oleh karenanya sepotong atau beberapa ayat diturunkan untuk

membicarakan atau menerangkan hukumnya sesuatu (yang terjadi) pada saat terjadinya. Lihat: Ali

al-Sahbuny: Kamus al-Qur‟ān : Quranic Explorer, (Jakarta: Dār al-Sunnah, tth) h. 59-60

62

wasiatkan setengah dari harta saya?‟Beliau menjawab, „Bagus.‟Kemudian

beliau keluar dan beberapa saat kemudian beliau masuk lagi lalu

bersabda,

ي ث ا له اث ن لاه لا عا جا فا كا ان وا خ ل ي ذ ا ف لا زا ن ا د قا للاا ن ا ا وا ذا ها كا ه ج وا ن ا م ت ي ما اكا را ا ا ن ا

“Saya tidak melihat engkau akan meninggal dunia pada sakitmu

ini. Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku dan

menjelaskan bahwa untuk seluruh saudara perempuanmu adalah

dua pertiga dari hartamu”

4. Analisa penafsiran terhadap surat al-Nisā’ ayat 11 dan 176

Sayyid Quṭb mengemukakan pendapat apabila seseorang meninggal

dunia dan hanya meninggalkan anak laki-laki dan perempuan saja, maka

pembagian warisnya adalah anak laki-laki mendapat dua bagian dari anak

perempuan.

Dengan pembagian 2:1 maka tampaklah keadilan dalam kewarisan.

Sebab laki-laki apabila dia menikah, maka harta warisan yang dia peroleh

dari orang tuanya akan digunakan untuk membayar mahar dan menafkahi

istri dan anaknya, sementara anak perempuan jika dia menikah, maka harta

warisan yang diperoleh dari orang tuanya tidak terpakai karena dia mendapat

nafkah dan mahar dari suaminya.

Bahkan menurut hemat penulis, pembagian waris 2:1 pada hakikatnya

tidaklah secara global harus demikian. Namun dapat diselesaikan dengan

jalan musyawarah antara seluruh ahli waris yang berhak mendapatkan

warisan.

63

Yang dikemukakan oleh Sayyid Quṭb adalah ketentuan legal formal,

tapi dalam kenyataan sosial pembagian waris itu bisa

dibicarakan/dimusyawarahkan. Karena si anak perempuan adalah yang paling

miskin, suaminya tidak banyak membantu secara ekonomi, sementara anak

laki-laki lebih kaya, maka ketentuan waris dua banding satu dalam ketentuan

legal formal bisa dibicarakan dengan alasan harus dimusyawarahkan tidak

boleh di dalam tekanan. Sama halnya dengan Amina Wadud, ia mengatakan

bahwa bagian perempuan setengah dari laki-laki bukanlah satu-satunya

model pembagian warisan, akan tetapi salah satu dari beberapa penetapan

proporsional yang bisa dilakukan. Jadi dalam praktiknya pembagian waris

dua banding satu bisa ditafsirkan berbeda, apabila terjadi perdamaian. Bisa

saja bahwa perempuan mendapat bagian yang sama besar dengan laki-laki.

Bahkan anak perempuan bisa mendapatkan bagian lebih besar daripada anak

laki-laki. Misalnya karena anak perempuan inilah yang selama almarhum

hidup sering membantu dan merawat, khususnya saat almarhum pewaris sakit

sebelum meninggal. Sementara itu anak laki-lakinya yang tidak tahu apa-apa,

berada di luar kota, tiba-tiba datang dan menuntut mendapatkan dua bagian

atau bagian yang lebih besar dari perempuan. Jadi hukum waris bisa sangat

fleksibel dan tidak kaku, meskipun memang harus memenuhi syariat.

Warisan diberikan ketika orang tua sudah meninggal dunia, kalau

pembagian diberikan ketika orang tua masih hidup itu dinamakan hibah. Dan

di dalam ketentuan hibah tidak harus dua banding satu, dua banding satu

berlaku setelah orang tua meninggal. Sebelum warisan dibagikan maka harus

64

dipenuhi hak-hak yang terkait dengan peninggalan, seperti biaya perawatan,

penguburan, utang piutang, dan wasiat. Tidak dibenarkan membagikan harta

warisan selama utang dan wasiat belum ditunaikan, oleh sebab itu jika salah

seorang meninggal maka diambillah harta yang ditinggalkannya untuk

menunaikan kewajiban dan haknya, kemudian mengkafani dan

mengkuburkannya, lalu menunaikan utang-utangnya, setelah itu baru

menunaikan wasiatnya (tidak lebih dari 1/3) hartanya dan sisa harta

dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Persoalan-persoalan mengenai harta dapat diselesaikan dengan menggunakan

hukum waris. Karena hukum waris yang mengatur peralihan harta benda dan hak-hak

material dari yang mewariskan, setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Proses

pewarisan ini terjadi apabila telah dipenuhi kebutuhan mayit,

Sayyid Quṭb mencoba merasionalisasi pembagian waris laki-laki dan

perempuan ukuran dua banding satu di dalam al-Qur’ān, alasan kewajiban laki-laki

lebih besar daripada perempuan itu adalah argumen tambahan, yang diberikan Sayyid

Quṭb ketika al-Qur’ān tidak bicara mengenai argumen dua banding satu. Ia beralasan

bahwa masalah 2 berbanding 1 bagi laki-laki dan perempuan merupakan sebuah

keadilan dikarenakan kewajiban laki-laki dinilai lebih berat daripada kewajiban

seorang perempuan. Dari segi pembayaran mas kawin ataupun masalah penafkahan

keluarga. Penetapan yang menunjukkan keseimbangan dengan dasar berbedanya

tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.

Argumen Sayyid Quṭb mengenai waris merupakan sistem yang relevan untuk

segala zaman, dan mengandung prinsip keadilan, dan tidak menganut sikap pilih

kasih berdasarkan jenis kelamin. Sayyid Quṭb menolak menyamakan pembagian

waris anak laki-laki dan perempuan seperti di dalam hukum waris sekuler dengan

alasan karena kewajiban laki-laki di dalam Islam lebih berat daripada perempuan.

Sayyid Quṭb tidak mengajukan sistem kewarisan baru yang berbeda dengan al-

Qur’ān, dia merasionalisasi kenapa dua banding satu penting diterapkan yang

66

berbeda dengan hukum waris perdata sekuler, yang menyamakan antara anak laki-

laki dan perempuan.

B. Saran-saran

Dari hasil penelitian ini penulis hanya akan memberikan beberapa saran yaitu:

1. Dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan pada permasalahan

pembagian waris 2 banding 1 dalam tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān. Maka dari itu

penulis berharap di kemudian hari ada penulis yang lain menyempurnakan

penelitian ini dengan pembahasan yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar

kesimpulan akhir dari penelitian ini tidak menutup kemungkinan ada

kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis.

2. Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif,

terhadap pembagian waris 2 banding 1 dan tidak hanya menggunakan tafsir Fī

Ẓilāl al-Qur’ān.

67

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam dalam Wawasan Fiqih, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2002.

Agus, Bustanuddin, Al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata

Ajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.

Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.

Askar, S., Kamus Arab-Indonesia: Terlengkap, Mudah, dan Praktis,Jakarta:

Senayan Publising, 2011.

Amar, Imron Abu, Fathul Qorib, Kudus: Menara Kudus, 1983.

Ansary, Abdou Filali, Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak Kemana?

Penerjemah: Machasin, Bandung: Mizan, 2009.

Aripin, Jaenal dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyridan Syari’.

Ahmad syarbani, Dimensi-Dimensi Kesejatian al-Qur’ān, penerjemah: Ghajali

Mukri dan Ruslan Fariadi, Yogyakarta: Ababil, 1996.

al-Aḍaḥī, Mālik ibn Ana, Al-Mudawwanah al-Kubrā, juz 6, Kairo: Dar al-Naṣri li

al-ṭibā‘ah al-Islāmiyah, 1422 H.

Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif

Islam, Jakarta: Kencana, 2008.

Ali, Mohammad Daud dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia.

Alim, Muhammad, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam: Kajian

Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LkiS, 2010

Athibi, Ukasyah Abdulmannan, Wanita Mengapa Melosot Akhlaknya,

penerjemah: Chairul halim Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II: Menurut al-Qur’ān, As-Sunnah dan

Pendapat Para Ulama, Bandung: Karisma, 2008.

Bakhtiar, Amsal, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2010-2011, Ciputat : UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2010

Barokah, Milki, Disparitas Putusan Perkara Waris, Skripsi S1 Fakultas Syariah

dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

68

al-Baghdadi, ‘Abdurrahman, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan

syariat Islam Tentang Kehidupan Perempuan, Jakarta: Gema Insani Press,

1992.

Al-bar, Muhammad Ali, Perempuan Karir dalam Timabangan Islam: Kodrat

Keperempuanan, Emansipasi dan Pelecehan Seksusal, Penerjemah: Amir

Hamzah Fachruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 1994.

al-Barudi, Imam Zaki, Tafsir Wanita, penerjemah: Samson Rahman, Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2003.

Cooper, John dkk, Pemikiran Islam: Dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr

Hamid Abu Zayd, penerjemah: Wakhid Nur Effendi, Jakarta: Erlangga,

2000.

Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,

1996.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Fakih, Mansour, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam,

Suarabaya: Risalah Gusti,1996.

Fatimah, Neneng, Konsep Waris Dalam Perspektif Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,

Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

al-Farran, Ahmad Musthafa, Tafsir Imam Syafi’i, jilid 2, penerjemah: Fedrian

Hasmand dkk, Jakarta: Al-Mahira, 2007.

Ghanim, Muhammad Salman, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan

Fenimisme, penerjemah: Kamran Asad Irsyadi, Yogyakarta: LkiS, 2004.

Gozali, Ahmad, 70 Solusi keuangan: Learn from the Expert, Jakarta: Gema Insani

Press, 2008.

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:

Kemenag RI, 2011.

Hadi, Ahmad Abdul, Al-Qur’ān Berbicara Tentang Ibu, Penerjemah: Abdul Azis

salim Basyarahil, Jakarta. Gema Insani Press, 1998.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research,Jilid 1, Yogyakarta : Andi Offset, 2001.

Halim, Abdul, Al-Qur’ān Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat

Pers, 2002.

Hamka, tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

69

Harjono, Anwar, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta:

Gema Insani Press, 1995.

al-Hadad, Al-Thahir, Perempuan Dalam Syariat dan Masyarakat, Penerjemah: M.

Adib Bisri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

al-Hushari, Ahmad Muhammad, Tafsīr Ayat-ayat aẖkām: Telaah Tentang Ayat-

ayat Hukum yang Berkaitan dengan Ibadah, Muamalat, Pidana, dan

Perdata, Penerjemah: Abdurrahman Kasdi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2014.

Hidayat, Nuim, Sayyid Quthb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Jakarta:

Gema Insani Press, 2005.

Iqbal, Akhmad, Panen Pahala dengan Puasa, Yogyakarta: Jogja Great Publisher,

2009.

Ismail, Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam

Penafsiran,

Ja’far, Muhammad Anas Qasim, Mengembalikan Hak-hak Politik Perempuan:

Sebuah Perspektif Islam, penerjemah: Mujtaba Hamdi, Jakarta: Azan,

2001.

Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad, Indahnya Syariat Islam, penerjemah: Faisal Saleh,

dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.

al-Jashshosh, Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali al-Razy, Aḥkamul Qur’ān. Juz 3,

Mesir: Darul Musḥaf, tt.

al-Jaza’iri, Abu Bakar jabir, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, penerjemah:

Musthofa Aini Dkk, Jakarta: Darul Haq, 2006.

Kamil, Sukron, dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak perda Syariah terhadap

kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta: CSRC

UIN Jakarta, 2007.

al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur’ān,

Penj: Salafuddin Abu Sayyid. tt.

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Tafsir Ilmi, Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012.

Kementrian Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan

Penyelenggara Penerjemah/Penafsir, 2012.

Khalid, Amru, Khawāṭir Qur’āniyah: Kunci Memahami Tujuan Surat-surat al-

Qur’ān, penerjemah: Khojin Abu Faqih, Jakarta: Al-I‘tishom, 2011.

70

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan

Abadi Publishing, 2004.

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,

penerjemah: Addys aldizar dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi

Publishing,2004.

Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang

isu-isu global, penrejemah: Bahrul Ulum, Jakarta: paramadina, 2001.

Kuzari, Achmad, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Kuzari, Achmad, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta.

Lathif, Azharuddin, Fiqih Muamalah Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Lathif, Jaenal Arifin dan Azharudin, Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syarʻi,

Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Lukito, Ratno, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta:

INIS, 1998.

Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Penerjemah: Adang Affandi,

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2006.

Manshur, Abdul Qadir, Buku Pintar Fiqih Wanita: Segala Hal yang Ingin Anda

Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam, Penerjemah:

Muhammad Zainal Abidin, Jakarta: Zaman, 2012.

Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Marjuni, Kamaluddin Nurdin, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim

Arab-Indonesia, Ciputat: Ciputat Press Group, 2009.

al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi,Jilid: 4, Mesir: Musthafa al-Bab

al-Halabi, 1974.

al-Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:

Penamadani, 2005.

Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam sebagai pembaharu

hukum positif di Indonesia.

Mujieb, M. Abdul dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994.

71

Musa, M. Yusuf, Al Tirkah wa al Mirās fi al lslām, Mesir: Dār al-Kitāb al-‘Arabi,

1959. Sudjana, Eggi, Islam Fungsional, Jakarta: Rajawali, 2008.

Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’ān Kontemporer:

Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 2002

Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, cet III, Yogyakarta: LkiS,

2012.

Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta:

Kencana, 2008.

Nafis, Muhammad Wahyuni, dkk, Kontekstual Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr.

H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta: Paramadina, 1995.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metode penelitian, Jakarta : Bumi Aksara,

2011.

Parman, Ali, Kewarisan dalam Al-Qur’ān: Suatu Kajian Dengan Pendekatan

Tafsir Tematik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

Parman, Ali, Kewarisan dalam al-Qur’ān: suatu kajian hukum dengan

pendekatan tafsir tematik, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995.

Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid 1, cet: 5, penerjemah: As’ad

yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Qardhawy, Yusuf, Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang

Pilar-pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam,

Penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997.

Quṭb, Sayyid, Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Jilid 4, Beirut: Dar al-Iḥyā’ al-Turāṡ al-

‘Arabī, 1967.

al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 5, penerjemah: Ahmad Rijali

Kadir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

al-Ruhby, Muhammad Ibnu Hasan, Matnu al-Ruhbiyyah, Surakarta: Maktabah

Saqofah, tt.

Sahabuddin, Ensiklopedi Al-Qur’ān: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera hati,

2007.

Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

72

Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Al-Miṣbaḥ al-fī Tahżīb Tafsīr ibn Kaṡīr,

penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2015.

Shihab, M. Quraish, Al-Lubāb: Makna, tujuan, dan pelajaran dari surat-surat al-

Qur’ān, cet I, Ciputat: Lentera Hati, 2012.

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut

anda ketahui dalam memahami al-Qur’ān, Jakarta: Lentera Hati, 2013.

Sholekan, Moch, Studi Analisis Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd Tentang Hak

Waris Perempuan Dalam Hukum Islam, Skripsi S1 Fakultas Syari'ah IAIN

Walisongo Semarang.

Ṣihab, Quraiṣ, tafsīr al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Solihin, O., Yes! I am Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.

Su’ud, Abu, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradababn

Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Subhan, Zaitunah, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio-

Kultural dan Politik Peran Perempuan, Ciputat: el-KAHFI, 2002.

Sudarsono, sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung : Alfabeta, CV,1999.

Surahman, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung : Tarsitio, 1998.

Syaikh, ʻAbdullah bin Muhammad bin ʻAbdurrahman bin Ishaq Alu, Tafsīr ibnu

Katsir, Jilid 4, penerjemah: M. Abdul Ghoffar E. M, Bogor: Pustaka Imam

asy-Syafiʻi, 2004.

Syaltut, Mahmud, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm: pendekatan Syaltut dalam

Menggali Esensi al-Qur’ān, Penerjemah: Herry Noer Ali, Jakarta: CV

Diponegoro, 1989.

Syarifuddin, Amir, Hukum kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008. al-Sa’di,

Abdul Raḥmān ibn Naṣīr, Tafsir al-Sa’di, penerjemah: Muhammad Iqbal

dkk, Jakarta: Darul Haq, 2007.

al-Ṣābūnī, M. ʻAlī, Tafsir Ayat-ayat Aḥkam dalam al-Qur’ān, jilid 2, Bandung:

PT al-MaʻArif Bandung, 1977.

al-Ṣabūnī, Muhammad ‘Alī, Cahaya al-Qur’ān, penerjemah: Kathur Suhardi,

Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

73

al-Ṣābūnī, Muḥammad ʻAli, Rawāiʻu al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Aḥkām min al-

Qur’ān, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.

al-Sahbuny, Ali: Kamus al-Qur’ān : Quranic Explorer, Jakarta: Dār al-Sunnah, tt.

Al-Syanqiṭi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, penerjemah: Fathurazi, Jakarta: Pustaka

Azzam, 2006.

as-Saʻdi, Abdurrahman bin Nashir, Tafsīr al-Saʻdi, Penerjemah: Muhammad

Iqbal, juz 2, Jakarta: Darul Haq, 2007.

As-Siba’y, Musthafa, Perempuan Di antara Hukum Islam dan Perundang-

undangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Ash-Sha’idi, Abdul Hakam, Menuju Keluarga Sakinah, Penerjemah: Abdul

Hayyie al-Kattani, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, penerjemah:

A.M. Basalamah.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mqwaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaariat

Islam

al-Ṭabārī, Abu Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabārī, Tafsīr, penerjemah:

Akhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

al-Ṭabārī, Abu Ja’far Muḥammad ibn Jarīr, Tafsīr al- Ṭabārī, juz 7 penerjemah:

Akhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008

Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008.

al-Usmūkī, Aḥmad ibn Sulaimān al-Jazūlī, Īḍaḥ al-Asrār al-Maṣūnah fī al-

Maknūnah, Beirut: Dar al-Fikr, Tt

Wadud, Amina, Qur’ān Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci

dengan Semangat Keadilan, penerjemah: Abdullah Ali, Jakarta: Serambi,

2006.

Yendra, Melvi, Ensiklopedi Untuk Anak-anak Muslim, Bandung: Grasindo, 2007.

Yunus, Mahmud, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: C.V. Al-Hidayah, 1974.

Yunus, Mahmud, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung,

2004.

74

Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Ahkam, Jakarta:

AMZAH, 2013.

Zayd, Nasr Hamid Abu, Dawa’ir al Khouf: Qiro’ah fi Khitab al- Mar’ah; trj:

Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan Dalam Islam,

Yogyakarta: Samha, 2003.

Zayd, Nasr Hamid Abu, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas Dalam al Qur'an

Menurut Mu'tazilah, Bandung: Mizan, 2003.

Az-Zubaidi, Al-Imam Zainuddin Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Lathif,

Ringkasan Shahih Bukhari, terj: Arif Rahman Hakim, Surakarta : Insan

Kamil, 2012.

al-Zuhaili, Wahbah, Tafsīr al-Wasīṭ.