Upload
jessica-gabrielle-idnani
View
227
Download
1
Embed Size (px)
TBC PARU PADA ANAK
Jessica Gabrielle Idnani - 10.2009.164
FAKULTAS KEDOKETRAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA
PENDAHULUAN
Penyakit tuberculosis (TB) merupakan penyakit menular dan bersifat kronik, masih
menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara di dunia. Indonesia
merupakan Negara berkembang yang menyumbang penderita TB paru terbesar ketiga di dunia
setelah China dan India. Penularan kuman tuberculosis pada orang sehat dan risiko kematian pada
penderita yaitu salah satu masalah yang perlu ditangani oleh segenap masyarakat dan petugas
kesehatan.
Penyakit TBC dapat menyerang siapa dan di mana saja yang bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan
lokasi infeksi primer.
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa.
Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan
serta TB pada infeksi human immunodefisiency virus (HIV). Gajala TB pada anak seringkali tidak khas.
Diagnosis pasti diregakan dengan menemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis.
Pada anak, sulit untuk mendapatkan specimen diagnostic yang representative dan
berkualitas baik. Seringkali, sekalipun specimen dapat diperoleh, M. tuberculosis jarang ditemukan
pada sediaan langsung maupun kultur. Oleh karena itu, uji tuberculin memegang peranan penting
dalam mendiagnosis TB anak.
1 | P a g e
1. INDENTIFIKASI ISTILAH YANG TIDAK DIKETAHUITidak ada istilah yang tidak diketahui
2. RUMUSAN MASALAH2.1. anak terlihat kurus2.2. anak tinggal bersama neneknya yang batuk kronik
3. ANALISIS MASALAH
3.1. Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain (Allo anamnese). 80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis.
Tujuan anamnesis yaitu: untuk mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai kondisi pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara. Ada beberapa kondisi yang sudah dapat ditegaskan dengan anamnesis saja, membantu menentukan penatalaksanaan selanjutnya.
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis dimulai dengan mencari keterangan mengenai nama, alamat, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya. Keterangan yang didapat ini kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Pertanyaan yang diajukan biasanya :
1. Identitas , dimulai dengan anama anak dan dicantumkan pula nama orang tuanya.2. Umur, byasa didapatkan dari tanggal lahir, yang bisa dilihat dari KMS. 3. Jensi kelamin4. Nama wali5. Alamat, agar sewaktu-waktu pasien mengalami keadaan gawat darurat, kita dapat
melakukan tindakan cepat.6. Umur, pendidikan, dan pekerajaan orang tua, untuk memilih pola pendekatan pada
anamnesis.7. Agama dan sukubangsa.8. Riwayat penyakit
a. Keluhan utama, keluhan yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak harus sejalan dengan diagnosis utama.
b. Riwayat perjalanan penyakit, disusun dengan cerita yang kronolgis dan terinci. Harus di tanya, apakah sudah mendapat pengobatan sebelumny, kapan, kepada siapa, serta obat apa saja.
Hal-hal yang perlu diketahui mengenai suatu gejala:
a. Lamanya keluhan
2 | P a g e
b. Bagaimana terjadinya, mendadak, perlahan, terus menerus dan berhubungan dengan waktu(pagi, siang atau malam)
c. Untuk keluhan local, lokalisasi dan sifatny(menetap, berpindah)d. Berat ringannya keluhan dan perkembangannya.e. Hal yang mendahului keluhanf. Apakah pernah mengalami hal tersebut sebelumnyag. Upaya apa saja yang telah dilakukan dan hasilnya.1
3.2. PEMERIKSAAN
3.2.1. Pemeriksaan Fisik :
InspeksiInspeksi keadaan paru-paru telah dicakup pada inspeksi dada. Keadaan fisiologis dan patologis pernapasan juga diuraikan bersama tanda-tanda vital.
PalpasiDilakukan untuk menegaskan penemuan-penemuan pada inspeksi. Palpasi dilakukan dengan meletakkan telapak tangan serta jari-jari pada seluruh dinding dada dan punggung.
Dengan palpasi kita harus bisa menentukan :a. Simetri atau asimetri toraks, kelainan tasbih pada rakitis, setiap benjolan abnormal,
bagian-bagian yang nyeri, kelenjar limfe pada daerah aksila, fosa supraklavikularis, fosa intraklavikularis.
b. Fremitus suara, pemeriksaan yang mudah dilakukan dengan meminta pasien mengatakan tujuh puluh tujuh. Normal akan teraba getaran yang sama pada kedua tangan yang diletakkan pada kedua sisi dada dan punggung. Fremitus akan meninggi bila ada pneumonia. Fremitus akan berkurang bila ada atelektasis, efusi pleura dan obstruksi jalan nafas serta tumor.
c. Krepitasi subkutis, menunjukkan terdapatnya udara di bawah jaringan kulit. Kelainan ini dapat terjadi spontan pasca trauma atau tindakan trakeostomi. Perhatikan luasnya krepitasi, menetap, bertambah atau berkurang.
PerkusiDilakukan dengan 2 cara, perkusi langsung dan perkusi tidak langsung. Perkusi langsung dilakukan dengan mengetukkan jari langsung ke dinding dada. Tapi yang sering dilakukan adalah perkusi tidak langsung, dengan meletakan 1 jari pada dinding dada dan mengetuknya dengan jari yang lain. Suara perkusi paru normal adalah sonor. Suara menjadi pekak ketika di scapula hari dan jantung. Daerah pekak hati terdapat setinggi iga ke 6 pada garis aksilaris media kanan. Pekak hati akan menunjukkan peranjakan dengan gerakkan pernapasan. Menurun saat inspirasi dan naik saat ekspirasi. Peranjakan berkisar 1-2 iga. Pekak hati akan lebih tinggi pada hepatomegali, pendesakan hati oleh masa intra abdominal, atelektasis paru kanan, serta kolaps paru kanan. Pekak hati menurun pada asma dan emfisema paru.
3 | P a g e
Bunyi tidak normal dapat berupa :
a. Hipersonor atau timpani, karena ada masa udara di pleurab. Redup atau pekak, karena konsolidasi paru.
AuskultasiAuskultasi dilakukan untuk menilai suara nafas dasar dan suara nafas tambahan. Auskultasi dilakukan pada seluruh dada dan punggung termasuk daerah aksila. Sebaiknya stetoskop ditekan cukup kuat untuk menghindari suara artefak.
Suara nafas dasar :
a. Vesicular, suara nafas normal yang terjadi karena udara masuk dan keluar melalui jalan nafas. Suara vesicular melemah pada penyempitan bronkus. Vesicular mengeras dapat terjadi karena konsolidasi dan tumor. Pada asma terjadi nafas vesicular dengan eksperium memanjang.
b. Bronchial, inspirasi yang keras disusul dengan ekspirasi yang lebih keras. Suara ini terdenganr hanya pada bronkus besar kanan dan kiri, di daerah parasternal atas di depan dan di daerah interskapular di belakang. Bila terdengan di tempat lain berarti terjadi konsolidasi.
c. Amforik, suara nafas ini sangat menyerupai bunyi tiupan di atas mulut botol kosong, dapat didengar pada TBC.
d. Cog wheel breath sound, suara nafas yang terputus-putus. Terjadi pada TBC dini.e. Metamorphosing breath sound, mulanya halus kemudian mengeras.
Suara nafas tambahan :
a. Ronki basah, suara nafas tambahan berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran yang terjadi bila cairan dalam jalan nafas dilalu oleh udara. Pada gagal jantung ronki hanya terdengar pada bagian basal paru saja. Ronki basah yang terdengar saat ekspirasi dapat terjadi pada asma, bronkiolitis dan aspirasi benda asing.
b. Ronki kering, suara kontinu yang terjadi karena udara melalui jalan nafas yang menyempit baik karena faktor intraluminal(benda asing), maupun ekstra luminal (tumor). Mengi adalah jenis ronki kering yang terdengar. Menunjukkan obstruksi saluran nafas atas seperti asma dan bronkiolitis.
c. Krepitasi , suara membukanya alveoli. Normal terdengar di belakang bawah dan samping pada waktu inspirasi yang dalam sesudah istirahat telentang dalam beberapa waktu. Terjadi pada pneumonia lobaris.
d. Bronkofoni, resonans yang bertambah akibat terdapatny pengantaran suara yang lebih baik daripada normal, misalnya konsolidasi.1
4 | P a g e
3.2.2. Pemeriksaan Penunjang :
Uji luberikulin
Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui adanya konversi dari negatif (recent tuberculin convcrter). Pada anak di bawah umur 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis, demikian pula halnya kalau terdapat konversi uji tuberkulin. Uji tuberkulin dilakukan berdasarkan timbulnya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein karena adanya infeksi.Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu cara Moro dengan salep, dengan goresan disebut pateh tesi cara von Pirquet, cara Mantoux dengan penyuntikan intrakutan dan "multiple puneture method" dengan 4-6 jarum berdasarkan cara Heaf dan Tine.Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggungjawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat diketahui banyaknya.Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas :• Eritema karena vasodilatasi primer• Edema karena reaksi antara antigen yang disuntikkan dengan antibodi.• lndurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Untuk memastikan anak terinfeksi kuman TBC atau tidak, akan dilihat indurasinya setelah 48-72 jam. Indurasi ini ditandai dengan bentuk kemerahan dan benjolan yang muncul di area sekitar suntikan. Bila nilai indurasinya 0-4 mm, maka dinyatakan negatif. Bila 5-9 mm dinilai meragukan, sedangkan di atas 10 mm dinyatakan positif.
Uji tuberkulin akan menjadi negatif untuk sementara pada penderita tuberkulosis (anergi) dengan:• Malnutrisi Energi Protein• Tuberkulosis berat• Morbili, Varisela• Pertusis, Difteria, Tifus abdominalis• Pemberian kortikosteroid yang lama• Vaksin virus misalnya pgliomielitis• Penyakit ganas, misalnya penyakit Hodgkin.
Pemeriksaan radiologis
Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. Secara rutin dilakukan foto Rontgen paru dan atas indikasi juga dibuat foto Rontgen alat tubuh lain, misalnya foto tulang punggung pada spondililis. Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah:• Kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran
5 | P a g e
• Pembesaran kelenjar paratrakeal• Penyebaran milier• Penyebaran bronkogen• Atelektasis• Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis paru saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.
Pemeriksaan bakleriologis
Penemuan basil tuberkulosis memastikan diagnosis tuberkulosis, tetapi tidak ditemukannya basil tuberkulosis bukan berarti tidak menderita tuberkulosis.Bahan-bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis ialah:• Bilasan lambung• Sekret bronkus• Sputum pada anak besar• Cairan pleura• Likuor serebrospinalis• Cairan asites• Bahan-bahan lainnya.
Di negeri yang telah maju dengan sarana laboratorium yang baik, basil tuberkulosis dapat ditemukan sebesar 50 - 90% dari anak dengan tuberkulosis. Pada umumnya hanya dapat ditemukan 25 - 30% saja.Di Jakarta pada tahun 1956 -1960 pemeriksaan bilasan lambung pada 204 anak dengan meningitis tuberkulosa menghasilkan basil tuberkulosis positif pada 27 (13%) anak dan ada pemeriksaan likuor serebrosp.inalisnya hanya ditemukan 18,5% (38 anak).
Pemeriksaan patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan secara rutin. Biasanya diperiksa kdetyar getah bening, hepar, pleura, peritoneum, kulit dan lain-lain. Pada pemeriksaan biasanya ditemukan tuberkel dan basil tahan asam.
Uji BCG
Di Indonesia BCG diberikan secara larigsung tanpa didahului uji tuberkulin (BCG langsung). Bila pada anak yang mendapat BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan, maka harus dicurigai adanya tuberkulosis dan diperiksa lebih lanjut ke arah tuberkulosis. Pada anak dengan tuberkulosis, BCG akan menimbulkan reaksi lokal yang lebih ccpat dan besar. Karena itu reaksi BCG ini dapat dipakai sebagai alat iiagnostik. Sering terdapat kesukaran untuk membuat diagnosis tuberkulosis yang dini pada anak dengan malnutrisi karena adanya anergi terhadap tuberkulin.2
3.3. DIAGNOSA
6 | P a g e
3.3.1. Working Diagnose (WD)
Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkulosis paru cukup mudah dikenal mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejala- gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Societv dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum .yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopik biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis tuberkulosis paru, karena kekerapan Mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70% saja dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis.
Diagnosis tuberkulosis pam masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis pam. '• Pasien dengan sputum BTA positif : 1. pasien yang
pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 x pemeriksaan, atau 2. satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau 3. satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif.
• Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. pasien yang pada pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau, 2. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
Di samping TB pani terdapat juga TB ekstra paru, yakni pasien dengan kelainan histologis atau/dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae.
Di luar pembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan riwayat penyakitnya, yakni:
• kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan.
7 | P a g e
• kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi kemudian timbul lagi TB aktifnya.
• kasus gagal (smear positive failure), yakni:- Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5
bulan, atau- Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti TB I -5 bulan
dan sputum BTA- nya masih positif.• kasus kronik, yakni pasien yang spumm BTAnya tetap positif setelah mendapat
pengobatan ulang (retreatment) lengkap yang disupervisi dengan baik.Hal lain yang agak jarang ditemukan adalah cryptic tuberculosis. Di sini pemeriksaan radiologis dan laboratorium/ sputum menunjukkan hasil negatif dan kelainan klinisnya sangat minimal (biasanya demam saja dan dianggap sebagai fever of unknown origin).3
3.3.2. Differential Diagnosis
• MalnutrisiSetiap ibu di Indonesia sudah seharusnya sadar bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil dan disebabkan faktor kemiskinan saja. Bahkan di sebuah rumah sakit swasta di jantung metropolitan dengan mayoritas pengunjungnya ekonomi menengah atas, kadang masih bisa dijumpai kasus gizi buruk. Tentu saja penyebab utama kasus gizi buruk di metropolitan bukan karena masalah ekonomi saja, melainkan yang terpenting juga adalah kurangnya pengetahuan mengenai gizi keluarga, terutama di kalangan ibu.Kasus gizi buruk di kota besar ini umumnya berupa malnutrisi sekunder. Malnutrisi sekunder adalah gangguan peningkatan berat badan atau gagal tumbuh (failure to thrive) disebabkan adanya gangguan di sistem tubuh anak. Agak berbeda dengan penyebab gizi buruk di pedesaan atau daerah miskin, yang sering disebut malnutrisi primer karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan.
MALNUTRISI PRIMERGejala klinis malnutrisi primer bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering ditemui pada balita, terutama usia 9 bulan hingga 5 tahun, meskipun dapat ditemui juga pada anak lebih besar.
Pertumbuhan terganggu ini dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas berkurang, pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat, rasio berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktivitas berkurang, tak jarang diikuti gangguan kulit dan rambut. Kasus marasmus atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Pada umumnya anak tampak sangat lemah, harus sering digendong, rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
8 | P a g e
Marasmus adalah bentuk malnutrisi primer karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah berwarna kemerahan dan terjadi pembesaran hati. Anak sering rewel, cengeng dan banyak menangis. Pada stadium lanjut yang lebih berat anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun.
Pada penderita malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf, Pertumbuhan sel-sel otak baru dan mielinasi sel otak juga terganggu, pada gilirannya ini berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita malnutri primer yang berat. Kematian mendadak dapat terjadi karena gangguan otot jantung.
MALNUTRISI SEKUNDER
Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak. Tetapi karena gangguan fungsi dan sistem tubuh yang mengakibatkan gagal tumbuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, gangguan metabolisme, gangguan kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan lain-lain.
Data penderita gagal tumbuh di Indonesia belum ada, tetapi di negara maju rata-rata terjadi 1-5%. Artinya bila di Indonesia terdapat 30 juta anak, maka diduga 300.000 – 500.000 anak menderita kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Bila di Jakarta terdapat 1 juta anak maka sekitar 10.000 – 50.000 anak mengalami kurang gizi bukan karena masalah ekonomi. Kasus tersebut bila tidak ditangani dengan baik akan jatuh juga dalam kategori gizi buruk.
Gambaran yang sering terjadi pada gangguan ini adalah adanya kesulitan makan atau gangguan penyerapan makanan yang berlangsung lama. Gejala klinis gangguan saluran cerna yang harus dicermati adalah gangguan Buang Air Besar (sulit atau sering BAB), BAB berwarna hitam atau hijau tua, sering nyeri perut, sering muntah, mulut berbau, lidah sering putih atau kotor. Gejala lain yang menyertai adalah gigi berwarna kuning, hitam dan rusak disertai kulit kering dan sangat sensitif. Berbeda pada malnutrisi primer, pada malnutrisi sekunder anak tampak sangat lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak. Gejala berbeda lainnya, penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih cerdas, tidak ada gangguan pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak segar.4
3.4. ETIOLOGI
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis ( sangat jarang disebabkan oleh Mycobacterium avium). Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati pada suhu 60°C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberculosis merupakan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan factor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya epiteloid dan tuberkel.
9 | P a g e
Basil tuberkel adalah batang bengkok, aerob obligat dan dapat tumbuh pada media buatan sederhana dengan gliserol atau senyawa lain. Pertumbuhan basil tuberkel khas lambat dengan waktu generasi 12-14 jam. Organisme ini tumbuh paling baik antara suhu 37° dan 41° C. Komponen utama basil tuberkel adalah polisakarida.
Basil tuberculosis tidak membentuk toksin (baik endotoksin maupun eksotoksin). Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya melalui udara sehingga sebagian besar focus primer tuberculosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan dapat peroral, misalnya minum susu yang mengandung basil tuberculosis, biasanya Mycobacterium bovis. Dapat juga terjadi dengan kontak langsung misalnya melalui luka atau lecet dikulit. Tuberculosis kongenital sangat jarang dijumpai. Mycobacterium lain yang dapat menyebabkan kelainan yang menyerupai tuberculosis adalah golongan Mycobacterium atipic.Ruyon (1959) membagi Mycobacterium atipic menjadi 4 golongan :
1. Golongan fotokromogen, misalnya M. kansasii yang dapat menyebabkan penyakit didalam dan diluar paru seperti tuberculosis.
2. Golongan skotokromogen, misalnya M.scrofulaceum yang dapat menyebabkan adenitis servikalis pada anak.
3. Golongan nonfotokromogen, missal M.intracelluler (Battey strains), yang dapat menyebabkan penyakit paru seperti tuberculosis.
4. Golongan rapid growers, misalnya M. fortuitum yang dapat menyebabkan abses. M. smegmantes merupakan saprofit pada smegma.3,4
3.5. EPIDEMIOLOGI
EPIDEMIOLOGI GLOBAL
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergeney. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus FB yang tercatat diseluruh dunia.
Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus- kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan :
1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju.
10 | P a g e
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup. 3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama di negeri-negeri miskin. 4.Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter. 5.Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat. 6. Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.
EPIDEMIOLOGI TB DI INDONESIA
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB kc-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia berturut turut 1.828.000,1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24 %. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun.3
3.6. PATOFISIOLOGI
Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tuberkulosis serta daya lahan tubuh manusia.Infeksi primer biasanya teijadi dalam paru. Ghön dan Kudlich (1930) menemukan bahwa 95,93% dari 2.114 kasus mereka mempunyai fokus primer di dalam paru. Hal ini disebabkan penularan sebagian besar melalui udara dan mungkin juga karena jaringan paru mudah kena infeksi tuberkulosis (susceptible).
Basil tuberkulosis masuk ke dalam paru melalui udara dan dengan masuknya basil tuberkulosis maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas dan disebut fokus primer. Basil tuberkulosis akan menyebar dengan cepat melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi. Fokus primer, limfangitis dan kelenjar getah bening regional yang membesar, membentuk kompleks primer. Kompleks primer terjadi 2-10 minggu (6-8 minggu) setelah infeksi. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer terjadi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui dari uji tuberkulin. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi.
Pada anak lesi dalam paru dapat teijadi dimana pun, terutama di periferi dekat pleura. Lebih banyak terjadi di lapangan bawah paru dibanding dengan lapangan atas, sedangkan pada orang dewasa lapangan atas paru merupakan tempat predi- leksi. Pembesaran kelenjar
11 | P a g e
regional lebih banyak terdapat pada anak dibanding orang dewasa. Pada anak penyembuhan terutama ke arah kalsifikasi, sedangkan pada orang dewasa terutama.ke arah fibrosis. Penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil. Schmid meragukan adanya fokus primer di dalam jaringan paru Lesi dalam jaringan paru yang dianggap sebagai fokus primer oleh Ghon dan Kudlich, sebenarnya terjadi sekunder karena pecahnya kelenjar getah bening bron- kial. Jadi Schmid dkk. berpendapat bahwa infeksi terjadi dalam kelenjar' lebih dahulu.
Tuberkulosis primer cenderung sembuh sendiri, tetapi sebagian akan nyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Tuberkulosis dapat meluas dalam jaringan paru sendiri. Selain itu basil tuberkulosis dapat masuk ke dalam aliran darah secara langsung atau melalui kelenjar getah bening. Basil tuberkulosis dalam aliran darah dapat mati, tetapi dapat pula berkembang terus; hal ini bergantung kepada keadaan penderita dan virulensi kuman. Melalui aliran darah basil tuberkulosis dapat mencapai alat tubuh lain seperti bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal dan lain-lain. Dalam alat tubuh tersebut basil tuberkulosis dapat segera menimbulkan penyakit, tetapi dapat pula menjadi tenang dulu dan setelah beberapa waktu menimbulkan penyakit atau dapat pula tidak pernah menimbulkan penyakit sama sekali.
Sebagian besar komplikasi tuberkulosis primer terjadi dalam 12 bulan setelah terjadinya penyakit. Penyebaran hematogenatau milier dan meningitis btwui- nya terjadi dalam 4 bulan, tetapi jarang sekali sebelum 3-4 minggu setetofileria- dinya kompleks primer. Efusi pleura dapat terjadi 6-12 bulan setelah terbentuknya kompleks primer, kalau efusi pleura disebabkan oleh penyebaran hemato gen maka dapat terjadi lebih cepat. Komplikasi pada tulang dan kelenjar getah bening permukaan (superfisial) dapat terjadi akibat penyebaran hematogen, hingga dapat teijadi dalam 6 bulan setelah terbentuknya kompleks primer, tetapi komplikasi ini dapat juga teijadi setelah 6-18 bulan. Komplikasi pada traktus urogenitalis dapat teijadi setelah bertahun-tahun. Menurut Wallgran komplikasi berupa penyebaran milier dan meningitis tuberkulosa dapat terjadi dalam 3 bulan, pleuritis dan penyebaran bronkogen dalam 6 bulan dan tuberkulosis tulang dalam 1-5 tahun setelah terbentuknya kompleks primer.
Pembesaran kelenjar getah bening yang kena infeksi dapat menyebabkan atelektasis karena menekan bronkus hingga tampak sebagai perselubungan segmen atau lobus, sering lobus tengah paru kanan.Selain oleh tekanan kelenjar getah bening yang membesar, atelektasis dapat terjadi karena konstriksi bronkus pada tuberkulosis dinding bronkus, tuberkuloma dalam lapisan otot bronkus atau sumbatan oleh gumpalan kiju di dalam lumen bronkus.2
3.7. GEJALA KLINIS
12 | P a g e
Keluhan yang dirasakan pasien tuberku-losis dapat bemacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40- 41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbulperadangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akanditr pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.3
3.8. FAKTOR RESIKO1. Faktor Umur.
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
2. Faktor Jenis Kelamin.
13 | P a g e
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
3. Tingkat PendidikanTingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.
4. PekerjaanJenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.
5. Kebiasaan MerokokMerokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
6. Kepadatan hunian kamar tidurLuas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
14 | P a g e
konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.
7. PencahayaanUntuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup.Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
8. Ventilasi Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.
15 | P a g e
9. Kondisi rumah Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.
10. Kelembaban udara Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
11. Status Gizi Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.
12. Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
13. PerilakuPerilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.5
3.9. PENATALAKSANAAN3.9.1. Medica MentosaObat harus diminum teratur, setiap hari, dan dalam waktu yang cukup lama. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan. Secara garis besar dapat dibagi menjadi tata laksana untuk:
1. TBC paru tidak berat
2. TBC paru berat atau TBC ekstrapulmonal
Pada TBC paru yang tidak berat cukup diberikan 3 jenis obat anti tuberkulosis (OAT) dengan jangka waktu terapi 6 bulan. Tahap intensif terdiri dari isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pyraninamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Pada TBC berat (TBC milier, meningitis, dan TBC tulang) maka juga diberikan Streptomisin atau Etambutol pada permulaan pengobatan. Jadi pada TBC berat biasanya pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5 obat selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan Isoniazid dan Rifampisin selama 10 bulan lagi atau lebih, sesuai dengan perkembangan klinisnya. Kalau ada kegagalan karena resistensi obat, maka obat diganti sesuai dengan hasil uji
16 | P a g e
resistensi, atau tambah dan ubah kombinasi OAT. Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah:
1. Isoniazid (INH) : selama 6-12 bulan.INH merupakan obat yang dibentuk secara sintetik. INH mudah menembus cairan serebrospinal, meskipun tidak terdapat peradangan, dan ke dalam jaringan perkijuan. Obat ini sebagian dikonjugasi di hati menjadi bentuk terasetilasi yang inaktif dan nontoksik.
a. Dosis terapi : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali seharib. Dosis profilaksis : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali seharic. Dosis maksimum : 300 mg/hari
2. Rifampisin (R) : selama 6-12 bulanRifampisin adalah obat semisintetik yang berasal dari Streptomyces mediterranei yang mempunyai aktivitas antimikroba luas terhadap virus, bakteri, dan mikrobakteri. Rifampisin mudah berdifusi ke seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal; diekskresikan terutama melalui saluran empedu dan ginjal. Resistensi alami basil tuberkel terhadap rifampisin lebih jarang dibandingkan resistensi terhadap INH. Efek samping utamanya adalah hepatitis dengan frekuensi sekitar 1%. Pemberian rifampisin juga menimbulkan perubahan warna tinja, urin, sputum, saliva, air mata, dan keringat menjadi merah-jingga.
a. Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari diberikan sekali seharib. Dosis maksimum : 600 mg/hari
3. Pirazinamid (Z) : selama 2-3 bulan pertamaPirazinamid adalah obat bakterisidal yang mencapai kadar terapeutiknya dalam cairan serebrospinalis dan di dalam makrofag. Obat ini direkomendasikan sebagai obat ke tiga regimen tiga atau keempat obat, terutama untuk 2 bulan pertama terapi. Obat ini digunakan untuk mikobakteri yang resisten terhadap obat multipel juga pada infeksi miliaris dan meningeal.
a. Dosis : 25-35 mg/kgBB/hari diberikan sekali seharib. Dosis maksimum : 2 gram/hari
4. Etambutol (E) : selama 2-3 bulan pertamaEtambutol adalah senyawa tidak berbau yang larut dalam air dengan kerja antituberkulosis yang sangat efektif. Obat ini bersifat bakteriostatik, oleh karena itu jangan dipakai sebagai obat primer. Efek toksik satu – satunya yang penting adalah neuritis retrobulbaris yang menimbulkan kehilangan ketajaman penglihatan, defek lapangan pandang, dan ketidakmampuan membedakan merah dan hijau. Sayangnya, ketidakmampuan memantau efek toksik berupa neuritis retrobulbaris dengan pemeriksaan penglihatan yang dibutuhkan membatasi penggunaan obat ini pada anak kecil. Etambutol digunakan sebagai obat ketiga atau keempat pada regimen obat multipel.
a. Dosis : 15-20 mg/kgBB/hari diberikan sekali atau 2 kali sehari
b. Dosis maksimum : 1250 mg/hari
17 | P a g e
5. Streptomisin (S) : selama 1-2 bulan pertama Streptomisin mudah berdifusi ke dalam cairan pleura, tetapi tidak ke dalam cairan serebrospinal kecuali bila meningen meradang. Efek toksin utama ialah kerusakan saraf kedelapan, terutama pada cabang vestibularis, yang menimbulkan vertigo dan ataksia yang biasanya permanen. Kehilangan pendengaran kurang lazim terjadi dan biasanya mengenai rentang frekuensi tinggi sebelum mempengaruhi frekuensi yang lebih rendah. Anak mudah menyesuaikan gangguan vestibular dengan kesulitan minimal. Dengan jadwal dosis sekarang, kelainan pendengaran jarang pada anak.
a. Dosis : 15-40 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari intramuskular
b. Dosis maksimum : 1 gram/hari
Kortikosteroid diberikan pada keadaan khusus seperti: Tb milier, meningitis Tb, endobronkial Tb, pleuritis Tb, perikarditis Tb, peritonitis Tb. Boleh diberikan Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 1-2 bulan.
Penghentian pengobatan bila setelah 6 bulan evaluasi membaik yaitu batuk menghilang, klinis membaik, anak menjadi lebih aktif, berat badan meningkat, foto thorax membaik, penurunan LED. Bila setelah 6 bulan tidak ada perbaikan, kemungkinan kepatuhan minum obat yang kurang, MDR (Multi Drug Resisten), diagnosis bukan TBC.6
3.9.2 Non-medica MentosaPendekatan DOTS Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat. Pasien TB biasanya menun jukan perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan. Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly Observed Treatment Shortcourse adalah strategi yang telah direkomendasika oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1995. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen :
1. Komitmen polisi dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawasan menelan obat (PMO)4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkanpemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
18 | P a g e
Kelima komponen DOTS diatas terutama untuk pasien TB dewasa, khususnya pada butir dua dan lima. Butir dua menyatakan diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis, yang pada anak sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya, untuk diagnosis TB anak digunakan uji tuberculin.6
3.10. KOMPLIKASI
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.• Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema. laringitis, usus, Poncets orthmpathy• Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas ->SOPT
(Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerus parenkim berat-> fibrosis paru, kor pulmona amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nap-> dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.3
Tuberkulosis Paru Primer yang progresif secara lokalKadang-kadang komponen paru dari kompleks primer tidak mengikuti perjalanan penyakit jinak yang biada terjadi, tetapi berlanjut secara lokal. Awitan bersifat akit dengan fokus parenkium yang berlanjut menjadi bronkopneumonia aatau pneumonia lobaris. Daerah perkijuan membesar dan perlahan-lahan melepaskan kandungan nekrotiknya ke bronkus di dekatnya, menyebarkan infeksi dan menimbulkan pneumonia baru. Bisa terjadi kavitas terbuka dan bisa tampak secara radiologi dalam fokus primer Penyakit nodus Limfatikus Trakeobronkialis dan endobronkialisDikenainya dinding bronkus oleh nodus limfatikus yang membesar di dekatnya merupakan komplikasi kompleks primer yang lazim.Hal ini terjadi 5-20% pada tuberkulosis primer. Sebagai bagian dari kompleks Ghon, nodus limfatikus yang mengaliri fokus primer terinfeksi dan akibatnya membesar. Karena nodus ini terletak pada sudut akut cabang bronkus , lumen bronkus terdistorsi dan tertekan. Ini merupakan lesi segmental yang tampak sebagai opasitas yang menempati daerah suatu segmen paru atau suatu lobus. Efusi PleuraPleuritis dengan efusi terjadi dengan frekuensi 5-35% , in siden tertinggi terjadi pada orang dewasa muda. Penyakit ini jarang poda anak dibawah 6 tahun. Pleuritis biasanya timbul 6-12 bulan sesudah infeksi, dan paling sering merupakan perluasan fokus tuberkulosis subpleura. Yang lebih jarang penyakit ini berasal dari penyebaran hematogen demgam lesi pleura dari hematogen. Efusi biasanya unilateral. Tuberkulosis paru kronisTuberkulosis paru kronis sering dikatakan sebagai tuberkulosis jenis dewasa atau reinfeksi tuberkulosis. Tuberkulosis paru kronis menggambarkan reinfeksi sebuah sumber basil tuberkel yang sebelumnya sudah terbentuk dalam tubuh yang bersifat endogen. Sumber pada paru antara laim fokus parenkimasli, nodus limfatikus regional, fokus simon berupa penanaman di apeks yang terbentuk saat bakterimia dini fokus primer. Lesi awal berupa daerah pneumonia kecil yang berkembang menjadi perkijuan dan pencairan sehingga minimbulkan cavitas . Gambaran klinis berupa dispnea, malaise, batuk, dan demam
19 | P a g e
Tuberkulosis hematogeno Tuberkulosis Hematogen Tersembunyi
Pada awal perjalanan infeksi awal , terjadi penyebaran sejumlah kecil basil tuberkel melalui jalur limfohematogen. Walaupun basil bisa memasuki setiap organ tubuh , yang paling sering dikenai adalah apeks paru, limpa, dan nodus limfatikus superfisial
o Tuberkulosis Hematogen memanjangTuberkulosis hematogen yang lama disebabkan oleh keluarnya berbagai jumlah basil tuberkel berkali-kali bila dinding pembulih darah terkikis oleh fokus perkijuan. Akibat diseminata yang lama bisa berupa penyakit akut atu lama, karena metastasis terus timbul ke dalam fokus penyakit akut.
Tuberkulosis Miliaris akutTuberkulosis milier akut adalah komplikasi dini tuberkulosis primer yang biasa teradi dalam 6 minggu pertama setelah awitan penyakit serta paling sering mengenai bayi dan anak keci. Gambaran patalogi disebabkan oleh invasi masif pada aliran darah basil tuberkel dari fokus perkijuan yang mengikis pembuluh darah. Basil tuberkel tersangkut dalam kapiler kecil membentuk tuberkel dengan ukuran seragam yang berkisar dari 2mm sampai lebih.
Anak biasanya menunjukkan gejala demam, penurunan berat badan, tidak nafsu makan. Biasanya ditemuka pembesaran hati dan limpa , serta dapat terlihat tuberkel khoroid pada pemeriksaan fundus okuli. Pada foto paru ditemukan bintik-bintik yang merata. Biasanya berhubungan dengan meningitis TB. Tuberkulosis ekstraparuo Tuberkulosis otak dan saraf: meningitis TB, tuberkuloma otako Tuberkulosis sistem skeletal Tulang punggung(spondilitis) :gibbus Tulang panggul(koksitis) : pincang Tulang lutut (gonitis) : pincang/ bengkak Tulang kaki dan tangan Spina ventosa (daktilitis)o Tuberkulosis kulit : skrofulodermao Tuberkulosis matao Tuberkulosis organ lainnya misalnya: peritonitis TB, TB ginjal, dsb.5
3.11. PENCEGAHAN
• Vaksinasi BCGPemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberlulosis yang virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat.
20 | P a g e
Rosenthal dkk. (1961) mengatakan bahwa pemberian BCG dapat mengurangi morbiditas sampai 74%. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji tuberkulin negatif dan biasanya uji tuberkulin diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau masih negatif dianjurkan untuk mengulangi BCG. Tetapi sekarang dianjurkan pemberian BCG secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin karena cara ini dapat menghemat ongkos dan mencakup lebih banyak anak.
• KemoprofilaksisSebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10 mg/kgbb/- hari selama 1 tahun. Kemoprofilaksis primer diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan kontak tuberkulosis dan uji tuberkulin masih negatif yang berarti masih belum terkena infeksi atau masih dalam masa inkubasi. Kemoprofilaksis sekunder diberikan untuk mencegah berkembangnya infeksi menjadi penyakit, misalnya pada anak berumur kurang dari 5 tahun dengan uji tuberkulin positif tanpa kelainan radiologis paru dan pada anak dengan konversi uji tuberkulin tanpa kelainan radiologis paru. Selain itu juga diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif tanpa kelainan radiologis paru atau yang telah sembuh dari tuberkulosis tetapi mendapat pengobatan dengan kortikosteroid yang lama. menderita penyakit morbili atau pertusis, mendapat vaksin virus misalnya vaksin morbili atau pada masa akil balik (adolesen). Selanjutnya juga diberikan pada konversi uji tuberkulin da ri negatif menjadi positif dalam 12 bulan terakhir tanpa ke-lainan klinis Jan radiologis.2
3.12. PROGNOSISPrognosis saat ini sangat baik. Kebanyakan pasien yang diobati sembuh sempurna bila mereka tidak sekarat saat didiagnosis. Meskipun terapi sudah dihentikan anak harus diamati karena penyebaran yang luas mungkin menyebabkan focus dorman yang bisa kambuh sebagai lesi aktif.4
4. HIPOTESIS
4.1. Anak dengan berat badan di bawah normal dan tinggal bersama neneknya yang batuk kronik diduga mengidap TB anak.
5. SASARAN PEMBELAJARAN
5.1. Anamnesis
5.2. Pemeriksaan
5.3. Diagnosa
5.4. Etiologi
5.5. Epidemiologi
21 | P a g e
5.6. Patofisiologi
5.7. Gejala klinis
5.8. Faktor Resiko
5.9. Penatalaksanaan
5.10. Komplikasi
5.11. Pencegahan
5.12. Prognosis
KESIMPULANBerdasarkan gejala – gejala yang timbul pada pasien dalam skenario, pasien tersebut
menderita tuberkulosis paru pada anak. Penangan yang tepat dapat menyembuhkan dan
menghindari resiko komplikasi pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe NN. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi ke 2. Jakarta : UKK
Respirologi PP IDAI. 2007: h.3 - 65
2. Hasan.R, Alatas.H. Ilmu kesehatan anak, jilid 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: Jakarta; 2007: h.574-84.
3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III.Edisi ke 5. Balai Penerbit FKUI: Jakarta;2009: h. 2231-8.
4. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. 2007. Philadelphia; Elsevier Inc.
5. Rudolph AM. Buku Ajar Pediatri Rudolph volume I. Edisi ke-20. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal: 656 – 701
6. Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan leprostatik. Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 2009: h.613-31.
22 | P a g e