Pariwisata Di Sumatera Selatan

Embed Size (px)

Citation preview

PARIWISATA DI SUMATERA SELATAN Provinsi Sumatera Selatan merupakan suatu kawasan seluas 87.017 kilometer persegi di Indonesia Bagian Barat yang terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa pada 1 o -4 o Lintang Selatan dan 102 o -108 o Bujur Timur. Bagian daratan provinsi ini berbatasan dengan provinsi Jambi di sebelah Utara. Provinsi Lampung di Selatan dan provinsi Bengkulu dibagian Timur dibatasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya karena wilayah ini pada abad 7-12 Masehi merupakan pusat kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Indonesia yang berpengaruh sampai ke Formosa dan Cina di Asia serta Madagaskar di Afrika. Di samping itu, Sumatera Selatan sering pula disebut sebagai Daerah Batang Hari Sembilan, karena kawasan ini terdapat 9 sungai besar yang dapat dilayari sampai jauh ke hulu. Yakni, Sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang, Lakitan, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko dan Lalan serta puluhan lagi cabangcabangnya. Iklim Sumsel Sumatera Selatan beriklim tropis yang hanya dipengaruhi dua musim sepanjang tahun, yakni musim hujan dan musim panas, dengan suhu udara bervariasi 24 sampai 32 derajat celcius dan tingkat kelembaban 73 sampai 84 persen. Musim hujan relatif jatuh pada bulan Oktober sampai April dengan curah hujan berkisar 2.100 mm sampai 3.264 mm. Musim panas atau kemarau biasanya dimulai bulan Juni sampai September setelah masa transisi bulan Mei. Topografi Sumsel Kawasan Timur sampai garis pantai bagian daratan didominasi rawa-rawa dan lebak yang dipengaruhi pasang surut. Tumbuhan palma dan sejenisnya serta kayu bakau merupakan vegetasi utama kawasan itu. Di bagian tengah dan makin ke Barat merupakan daratan rendah dan lembah-lembah luas. Lebih jauh ke Barat terdiri dari perbukitan dan pegunungan yang menjadi mata rantai Bukit Barisan yang membentang di pulau Sumatera dimulai dari Aceh sampai ke Lampung. Puncak-puncak Bukit Barisan di Sumatera Selatan di antaranya adalah gunung Dempo (3.159 meter), Seminung (1.954 meter), Patah (2.107 meter), gunung Bungkuk (2.125 meter) dan lain-lain. Di kaki gunung Seminung terdapat Danau Ranau yang luasnya 128 kilometer persegi dengan panorama alam yang indah, juga ideal untuk olahraga air, seperti ski, menyelam, renang, kano, dll. Kawasan pegunungan dan perbukitan ini yang sebagian besar masih diselimuti hujan lebat sampai ke dataran rendah, umumnya berada pada ketinggian 900-1200 meter dari permukaan laut. Kawasan ini juga merupakan sumber mata air utama dari sungai-sungai besar di Sumatera Selatan yang sebagian besar bermuara di Selat Bangka. Bagian daratan Sumatera Selatan yang terdiri dari dataran rendah dan tinggi serta pegunungan itu secara umum merupakan lahan yang potensial untuk tanaman perkebunan, pertanian dan hortikultura. Di kawasan ini terdapat perkebunan karet, kopi, teh, kulit manis, kelapa sawit, tanaman padi, sayurmayur, aneka ragam buah-buahan dengan areal yang cukup luas.

Sejarah, Seni, dan Budaya Sumsel Sumatera Selatan sudah didiami manusia sejak zaman purbakala. Bukti-bukti sejarah masa lampau itu antara lain berupa situs-situs megalit dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dapat disaksikan baik di museum maupun di alam terbuka. Peninggalan kebudayaan megalit itu merupakan hasil kreasi seni pahat para nenek moyang, terdiri dari arca-arca batu berbentuk manusia, binatang, menhir, dolmen, punden berundak, kubur batu, lumpang batu dan sebagainya yang berukuran kecil sampai raksasa. Bukti-bukti peradaban pada masa 2500 1000 tahun sebelum Masehi itu tidak hanya mengesankan bagi wisatawan asing maupun domestik, tetapi juga bagi para ahli yang acapkali datang melakukan penelitian ilmiah. Di alam terbuka, situs-situs megalit itu sebagian besar terdapat di Kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu dan Muara Enim. Keberadaan benda-benda megalit itu telah melahirkan berbagai legenda dan mitos di kalangan masyarakat Sumatera Selatan. Diantaranya legenda Si Pahit Lidah yang karena kesaktiannya mampu membuat apapun yang tidak disukainya menjadi batu. Dalam abad 7-13 Masehi, Sumatera Selatan merupakan Pusat kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Palembang sebagai ibukota kerajaan. Di masa jayanya Sriwijaya dikenal sebagai pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan mengenai agama Budha terbesar di Asia Tenggara. Pada saat itu Kerajaan Sriwijaya dengan kekuatan armadanya yang tangguh, selain menguasai jalur perdagangan dan pelayaran antara Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia, juga telah menjadikan daerah ini sebagai sentra pertemuan antar bangsa. Hal ini telah menimbulkan tranformasi budaya yang lambat laun berkembang dan membentuk identitas baru bagi daerah ini. Tranformasi budaya ini terjadi pula dengan masuknya pengaruh Islam, terutama pada saat Sumatera Selatan di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam sejak awal abad 15. Sebagian besar penduduk Sumatera Selatan sendiri sudah menganut agama Islam sebelum Kesultanan Palembang berdiri. Beragam faktor yang mempengaruhi selaras perkembangan masyarakat di Sumatera Selatan itu telah menimbulkan kebudayaan asimilasi di daerah itu baik dalam tradisi seni maupun aspek-aspek lain dalam kehidupan. Demikian pula rumah tradisional Limas merupakan perpaduan arsitektur bangunan Hindu, Budha, Islam dan rumah tradisional penduduk. Dalam seni ukir, kentara sekali pengaruh Cina, yang sudah dominan sejak masa Sriwijaya. Upacara-upacara perkawinan, pesta panen dan lain-lain kegiatan yang bersifat sakral di kalangan penduduk Sumatera Selatan, juga tidak terlepas dari pengaruh asimilasi budaya itu meskipun pengaruh Islam tetap kuat melekat.

Sosial Budaya Provinsi Sumatera Selatan

Sumatera Selatan di kenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya karena wilayah ini di abad VII - XII Masehi merupakan pusat kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Indonesia yakni Kerajaan Sriwijaya. Pengaruhnya bahkan sampai ke Formosoa dan Cina di Asia serta Madagaskar di Afrika. Di provinsi yang amat sangat terkenal dengan kain songket dan kain pelanginya ini terdapat 12 jenis bahasa daerah dan delapan suku, di antaranya dominan adalah Suku Palembang, Suku Komering, Suku Ranau, dan Suku Semendo. Untuk menjaga keragaman ini tetap berada dalam harmoni, pemerintah lokal membuat peraturan daerah yang bertujuan untuk mengelola kebudayaan yang ada. Peraturan ini mencakup pemeliharaan bahasa, sastra serta aksara daerah, pemeliharann kesenian, pengelolaan kepurbakalaan kesejarahan serta nilai tradisional dan museum. Pariwisata Sumatera Selatan bahkan dalam koridor peraturan daerah ini, agar pariwisata di sana tetap berbasis kebudayaan Sumatera Selatan di satu sisi dan bernilai ekonomi tinggi di sisi yang lain. Masyarakat Sumatera Selatan umumnya hidup rukun dan agamis. Selama periode 2004 - 2006, misalnya, tidak terdapat catatan buruk tentang konflik antar kelompok atau antarsuku tertentu. Kendati demikian, sebagai langkah preventif pemerintah harus berupaya menggalang kerukunan diantara masyarakatnya dengan menghadirkan tokoh agama terkenal, dan lain sebagainya. Di berbagai forum semacam itulah pemerintah menekankan pentingnya harmoni dan stabilitas demi kelanjutan pembangunan.

Rumah Bari Palembang (Rumah Adat Limas)

Rumah Bari Palembang (Rumah Adat Limas) merupakan Rumah panggung kayu. Bari dalam bahasa Palembang berarti lama atau kuno. Dari segi arsitektur, rumah-rumah kayu itu disebut rumah limas karena bentuk atapnya yang berupa limasan. Sumatera Selatan adalah salah satu daerah yang memiliki ciri khas rumah limas sebagai rumah tinggal. Alam Sumatera Selatan yang lekat dengan perairan tawar, baik itu rawa maupun sungai, membuat masyarakatnya membangun rumah panggung. Di tepian Sungai Musi masih ada rumah limas yang pintu masuknya menghadap ke sungai. Rumah panggung secara fungsional memenuhi syarat mengatasi kondisi rawa dan sungai seperti di Palembang, yang sempat dijuluki Venesia dari Timur karena ratusan anak sungai yang mengelilingi wilayah daratannya. Batanghari sembilan adalah sebutan untuk Sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Musi. Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Hitam, Sungai Rambang, Sungai Lubay.Namun, seiring berjalannya waktu, lingkungan perairan sungai dan rawa justru semakin menyempit. Rumah- rumah limas yang tadinya berdiri bebas di tengah rawa atau di atas sungai akhirnya dikepung perkampungan. Ada dua jenis rumah limas di Sumatera Selatan, yaitu rumah limas yang dibangun dengan ketinggian lantai yang berbeda dan yang sejajar. Rumah limas yang lantainya sejajar ini kerap disebut rumah ulu. Bangunan rumah limas biasanya memanjang ke belakang. Ada bangunan yang ukuran lebarnya 20 meter dengan panjang mencapai 100 meter. Rumah limas yang besar melambangkan status sosial pemilik rumah. Biasanya pemiliknya adalah keturunan keluarga Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan Hindia Belanda, atau saudagar kaya. Bangunan rumah limas memakai bahan kayu unglen atau merbau yang tahan air. Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu yang disusun tegak. Untuk naik ke rumah limas dibuatlah dua undak-undakan kayu dari sebelah kiri dan kanan. Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung. Makna filosofis di balik pagar kayu itu adalah untuk menahan supaya anak perempuan tidak keluar dari rumah. Memasuki bagian dalam rumah, pintu masuk ke rumah limas adalah bagian yang unik. Pintu kayu tersebut jika dibuka lebar akan menempel ke langit- langit teras. Untuk menopangnya, digunakan kunci dan pegas. Bagian dalam ruangan tamu, yang disebut kekijing, berupa pelataran yang luas. Ruangan ini menjadi pusat kegiatan berkumpul jika ada perhelatan. Ruang tamu sekaligus menjadi "ruang pamer" untuk

menunjukkan kemakmuran pemilik rumah. Bagian dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang dicat dengan warna keemasan. Tak jarang, pemilik menggunakan timah dan emas di bagian ukiran dan lampu- lampu gantung antik sebagai aksesori. Bagi pemilik rumah yang masih memerhatikan perbedaan kasta dalam keturunan adat Palembang, mereka akan membuat lantai rumahnya bertingkat-tingkat untuk menyesuaikan kasta tersebut. Begitulah, rumah limas yang tidak sekadar indah, tetapi juga mempunyai banyak filosofi di dalamnya, pelan-pelan tertinggal oleh kemajuan zaman.

Kemilau Baju Adat Sumatera Selatan

Indonesia adalah negara kaya akan budaya. Terhampar dari barat hingga ke timur, kekayaan budaya itu senantiasa memukau. Memikat setiap bangsa untuk mengenalnya. Bahkan, mengklaim sebagai miliknya. Dari tradisi lisan yang tertutur (bahasa daerah), alunan melodi yang memikat (lagu daerah), hingga kemilau busana (baju daerah/adat) yang disandang. Cerminan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Salah satunya, terlihat dari baju adat Sumatera Selatan. Daerah yang dikenal dengan nama Bumi Sriwijaya dan masyarakatnya biasa dipanggil dengan istilah wong kito galoh. Keindahan baju adatnya, menandingi keanekaragaman corak busana yang dimiliki setiap daerah di provinsi tersebut. Unity in Diversity Sumatera Selatan adalah provinsi di Indonesia yang memiliki 11 kabupaten dan 4 kota. Setiap kota atau kabupaten, memiliki desain (corak) baju daerah yang berbeda-beda. Ada corak baju adat Kabupaten Banyuasin, Empat Lawang, Lahat, Musi Rawas, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ulu Selatan, Kota Lubuk Linggau, Kota Pagaralam, Kota Prabumulih, dan Kota Palembang. Walaupun memiliki corak khas tersendiri, baju adat Sumatera Selatan mempunyai satu kesamaan. Nuansa warna keemasan dan sentuhan merah merona serta merah jambu (pink) yang glamor dan elegan jadi ciri khas. Ciri raja dan ratu. Seakan-akan ingin memperlihatkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada masanya. Unsur etnik Melayu juga kental terlihat. Jas tutup bersulam emas, dipadukan dengan kain songket (kain tenun terbuat dari benang emas atau perak), celana panjang serta ikat kepala (tanjak), untuk laki-laki. Sementara untuk perempuan, kain songket digunakan sebagai bawahan (sarung) dan selendang dengan kebaya modern sebagai bajunya. Corak Khas Setiap daerah memiliki corak khasnya. Contoh, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), baju adatnya dominan berwarna merah merona. Bertabur bunga mawar keemasan, dipadu dengan baju kurung dan songket bermotif bunga mawar bintang, dan selendang songket lepus. Mahkota keemasan bertabur permata dengan bentuk khas menghias kepala, lengkap dengan kembang goyang, kelapo standan, dan ronceanbunga pada sisi kiri dan kanan. Untuk busana perempuannya, dilengkapi perhiasan warna keemasan yang begitu memikat. Seperti, beringin sembilan, kembang ayun emas di sepan telinga, pandan gulung emas di atas kepala, mahkota pilis, kalung susun tiga, gelang kano, kalung bersusun tiga, dan anting panjang dengan rangkaian melati dan pandan urai. Lain lagi dengan di Kabupaten Lahat. Baju adatnya memiliki bentuk unik pada mahkota seperti yang dipakai raja dan ratu. Dominan warna keemasan, baju dan kain songket, dan mahkota di kepala.

Di kota Palembang, setidaknya ada dua corak khas pada baju adatnya. Pertama, gaya Aesan Gede. Berwarna merah jambu (pink) dipadu dengan warna keemasan. Diyakini sebagai cerminan keagungan para bangsawan (kaum raja) Sriwijaya. Apalagi dengan gemerlap perhiasan dan mahkota Aesan Gede, bungo cempako, kembang goyang, dan kelapo standan. Lalu, busana adat ini dipadukan baju dodot serta kain songket lepus bermotif napan perak yang semakin mempertegas keagungan pemakainya. Kedua, gaya Aesan Pak Sangkong. Laki-lakinya mengenakan jubah motif tabor bunga emas, seluar (celana), songket lepus bersulam emas, selempang songket serta songkok emas menghias kepala. Perempuannya mengenakan baju kurung warna merah ningrat bertabur bunga bintang keemasan, kain songket lepus bersulam emas, teratai penutup dada serta hiasan kepala berupa mahkota Aesan Pak Sangkong. Tak ketinggalan detail dan pernak-pernik seperti kembang goyang, kelapo standan, kembang kenago dan perhiasan mewah bercitrakan keemasan. Baju adat gaya Aesan Pak Sangkong juga biasa digunakan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Ilir.

Skin, Senjata Tradisional Daerah Sumatera Selatan

Skin yang sering juga disebut jembio, rambai ayam (berbentuk menyerupai ekor ayam) atau taji ayam, adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang bentuknya meruncing dengan tajaman di salah satu sisi bilahnya Skin mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai senjata, melainkan juga sebagai benda keramat yang memiliki unsur kimpalan mekam atau kimpalan sawah (mempunyai kekuatan magis). Struktur Skin Skin adalah senjata yang bahan bakunya terbuat dari besi yang proses pengerjaannya dibuat oleh pandai besi di pedapuran tempat membuat alat-alat dari besi. Pada umumnya skin berukuran antara 25-30 cm (skin rambai ayam). Namun, ada pula skin yang lebih pendek berukuran antara 10-15 cm. Skin berukuran pendek ini biasa disebut sebagai taji ayam karena bentuknya menyerupai taji seekor ayam jantan. Sarung skin dahulu terbuat dari kulit sapi atau kambing. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sarung skin saat ini banyak yang terbuat dari kulit sintetis yang pengerjaannya dilakukan oleh penjahit tas kulit. Sedangkan gagangnya terbuat dari kayu yang keras tetapi liat yang diukir sedemikian rupa sehingga memiliki nilai seni yang tinggi. Nilai Budaya Skin sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilainilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk skin yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah skin atau rambai ayam yang indah dan sarat makna. (pepeng)

Makanan Khas Palembang, Sumatra SelatanKota ini memiliki komunitas Tionghoa cukup besar. Makanan seperti pempek atau tekwan yang terbuat dari ikan mengesankan "Chinese taste" yang kental pada masyarakat Palembang. 1. Pempek, makanan khas Palembang yang telah terkenal di seluruh Indonesia. Dengan menggunakan bahan dasar utama daging ikan dan sagu, masyarakat Palembang telah berhasil mengembangkan bahan dasar tersebut menjadi beragam jenis pempek dengan memvariasikan isian maupun bahan tambahan lain seperti telur ayam, kulit ikan, maupun tahu pada bahan dasar tersebut. Ragam jenis pempek yang terdapat di Palembang antara lain pempek kapal selam, pempek lenjer, pempek keriting, pempek adaan, pempek kulit, pempek tahu, pempek pistel, pempek udang, pempek lenggang, pempek panggang, pempek belah dan pempek otak - otak. Sebagai pelengkap menyantap pempek, masyarakat Palembang biasa menambahkan saus kental berwarna kehitaman yang terbuat dari rebusan gula merah, cabe dan udang kering yang oleh masyarakat setempat disebut saus cuka (cuko). 2. Tekwan, makanan khas Palembang dengan tampilan mirip sup ikan berbahan dasar daging ikan dan sagu yang dibentuk kecil - kecil mirip bakso ikan yang kemudian ditambahkan kaldu udang sebagai kuah, serta soun dan jamur kuping sebagai pelengkap. 3. Model, salah satu olahan pempek yang menggugah selera, Model, mirip tekwan tetapi bahan dasar daging ikan dan sagu dibentuk menyerupai pempek tahu kemudian dipotong kecil kecil dan ditambah kaldu udang sebagai kuah serta soun sebagai pelengkap. Ada 2 jenis model, yakni Model Ikan (Model Iwak) dan Model Gandum (Model Gendum). 4. Laksan, berbahan dasar pempek lenjer tebal, dipotong kecil-kecil dan kemudian disiram kuah santan pedas. 5. Celimpungan, mirip laksan, hanya saja adonan pempek dibentuk mirip tekwan yang lebih besar dan disiram kuah santan. 6. Mie Celor, berbahan dasar mie kuning dengan ukuran agak besar mirip mie soba dari Jepang, disiram dengan kuah kental kaldu udang dan daging udang. 7. Burgo, berbahan dasar tepung beras dan tepung sagu yang dibentuk mirip dadar gulung yang kemudian diiris, dinikmati dengan kuah santan. 8. Lakso, berbahan dasar tepung beras, mirip Burgo, namun bertekstur mie. 9. Pindang Patin, salah satu makanan khas Palembang yang berbahan dasar daging ikan patin yang direbus dengan bumbu pedas dan biasanya ditambahkan irisan buah nanas untuk memberikan rasa segar. Nikmat disantap dengan nasi putih hangat, rasanya gurih, pedas dan segar. 10. Pindang Tulang, berbahan dasar tulang sapi dengan sedikit daging yang masih menempel dan sumsum di dalam tulang, direbus dengan bumbu pedas, sama halnya dengan pindang patin, makanan ini nikmat disantap sebagai lauk dengan nasi putih hangat.

11. Malbi, mirip rendang, hanya rasanya agak manis, berkuah dan gurih. 12. Tempoyak, makanan khas Palembang yang berbahan dasar daging durian yang ditumis beserta irisan cabai dan bawang, bentuknya seperti saus dan biasa disantap sebagai pelengkap makanan, rasanya unik dan gurih. 13. Otak - otak, varian pempek yang telah tersebar di seluruh Indonesia, berbahan dasar mirip pempek yang dicocol dengan kuah santan dan kemudian dibungkus daun pisang, dimasak dengan cara dipanggang di atas bara api dan biasa disantap dengan saus cabai / kacang. 14. Kemplang, berbahan dasar pempek lenjer, diiris tipis dan kemudian dijemur hingga kering. Setelah kering kemplang dapat dimasak dengan cara digoreng atau dipanggang hingga mengembang. 15. Kerupuk, mirip kemplang, hanya saja adonan dibentuk melingkar, dijemur, kemudian digoreng. 16. Kue Maksubah, kue khas Palembang yang berbahan dasar utama telur bebek dan susu kental manis. Dalam pembuatannya telur yang dibutuhkan dapat mencapai sekitar 28 butir. Adonan kemudian diolah mirip adonan kue lapis. Rasanya enak, manis dan legit. Kue ini dipercaya sebagai salah satu sajian istana Kesultanan Palembang yang seringkali disajikan sebagai sajian untuk tamu kehormatan. Namun saat ini kue maksubah dapat ditemukan di seluruh Palembang dan sering disajikan di hari raya. 17. Kue Delapan Jam, dengan adonan mirip kue maksubah, kue ini benar - benar sesuai dengan namanya karena dalam proses pembuatannya membutuhkan waktu delapan jam. Kue khas Palembang ini juga sering disajikan sebagai sajian untuk tamu kehormatan dan sering disajikan di hari raya. 18. Kue Srikayo, berbahan dasar utama telur dan daun pandan, berbentuk mirip puding. Kue berwarna hijau ini biasanya disantap dengan ketan dan memiliki rasa manis.

Tari Tradisonal Sumatera Selatan.1. Tari Gending Sriwijaya merupakan tarian penyambutan dari Kota Palembang. Tari ini

melukiskan kegembiraan gadis-gadis Palembang saat menerima kunjungan tamu yang diagungkan. Tepak yang berisi, kapur, sirih, pinang, dan ramuan lainnya dipersembahkan sebagai ungkapan rasa bahagia. 2. Tari Genta Siwa merupakan tarian persembahan atau pemujaan yang menggambarkan keagungan Dewa Siwa. Tarian ini juga melukiskan keagungan Kerajaan Sriwijaya, gerakangerakan dalam tarian ini merupakan kolaborasi dari tari Gending Sriwijaya, tari Tanggai dan tari Lilin. 3. Tari Tampak Rebana merupakan sebuah tari garapan baru yang bersumber dari musik sarafol anam dan tari Rodat. Akan tetapi penata tari hanya mengambil sebagian kecil dari bunyi pukulan terbangan dan gerakan yang terdapat pada musik sarofal anam dan tari Rodat, sehingga pada tari Tampak Rebana ini musik tidak hanya dimainkan oleh pemain musik tetapi juga dapat dimainkan oleh penari. 4. Tari Dana merupakan tarian rasa gembira bagi kalangan remaja ketika mereka bertemu dengan teman-temannya, saling bercengkrama dan saling bercanda ria. Perasaan tersebut diwujudkan melalui ayunan langkah dan lenggak-lenggok tangan yang dibawakan oleh remajaremaja dalam tari Dana ini. Biasanya tarian ini dibawakan secara berpasangan tetapi perkembangan sekarang tarian ini umumnya dibawakan oleh laki-laki saja. 5. Tari Melati Karangan merupakan tarian yang menggambarkan tentang keagungan para gadis dan ibu daerah Palembang dengan ciri khasnya masing-masing. Lenggak dan subangnya itulah ciri khas gadis Palembang, sedangkan baju kurung dan selendang merupakan ciri khas ibuibu dari Palembang. 6. Tari Lenggok Musi merupakan tarian yang diilhami oleh alunan dan sentakan riak gelombang Sungai Musi. Kipas adalah lambang kesejukan. Setiap orang yang kepanasan pasti berkipas-kipas agar tubuhnya merasa sejuk. Sebagai lambang kedamaian-kesejukan, kipas dipakai sebagai properti.

Seni dan Budaya

Festival perahu hias dan lomba bidar diSungai Musi Sejarah tua Palembang serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makammakam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa. Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:

Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)[14] Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu dan Syarofal Anam adalah kesenian Islami yang dibawa oleh para saudagar Arab dulu, dan menjadi Lagu Daerah seperti Melati Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit

tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan

terkenal di Palembang oleh KH. M Akib, Ki Kemas H. Umar dan S. Abdullah bin Alwi Jamalullail

Kemambang

Selain itu Kota Palembang menyimpan salah satu jenis tekstil terbaik di dunia yaitu kain songket. Kain songket Palembang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan di antara keluarga kain tenun tangan kain ini sering disebut sebagai Ratunya Kain. Hingga saat ini kain songket masih dibuat dengan cara ditenun secara manual dan menggunakan alat tenun tradisional. Sejak zaman dahulu kain songket telah digunakan sebagai pakaian adat kerajaan. Warna yang lazim digunakan kain songket adalah warna emas dan merah. Kedua warna ini melambangkan zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan pengaruh China pada masa lampau. Material yang dipakai untuk menghasilkan warna emas ini adalah benang emas yang didatangkan langsung dari China, Jepang dan Thailand. Benang emas inilah yang membuat harga kain songket melambung tinggi dan menjadikannya sebagai salah satu tekstil terbaik di dunia. Selain kain songket, saat ini masyarakat Palembang tengah giat mengembangkan jenis tekstil baru yang disebut batik Palembang. Berbeda dengan batik Jawa, batik Palembang nampak lebih ceria karena menggunakan warna - warna terang dan masih mempertahankan motif - motif tradisional setempat. Kota Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain "Festival Sriwijaya" setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan, serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan dan Tahun Baru Masehi.

Musik Jidur di Palembang Musik jidur sudah terkenal di seluruh Sumatera Selatan, entah kapan lahirnya musik ini. Namaun musik jidur ini di bawa oleh kaum kolonial yang akhirnya menjadi musik kolonial. Musik ini sering di bawakan pada saat acara pernikahan dan acara perayaan lainnya. Musik Jidur seirng di sebut juga dengan Musik Blas karena di mainkan oleh belasan orang dan ada juga yang menyebut Musik Jidur sebagai Musik Brass yang artinya kesenian musik yang alat musiknya merupakan alat tiup yang berasal dari logam. Disebut musik jidur karena musik ini sering di pakai untuk mengiringi (Ngarak) pengantin dan yang paling menonjol pada jidur ini adalah alat musik yang bulat dan besar yang di pikul oleh 2 orang, dan kalau di tabuh berbunyi Dur.DurDur sehingga suasana lebih meriah. Awalnya kesenian ini memerlukan 14 orang untuk memainkan 14 alat musik yang terdiri dari : 2 Buah Terompet 2 Buah Sak Alto / Saxopone Alto 1 Buah F Larinet / Clarinet 1 Buah Tenor Sak / Saxopone Tenor 1 Buah Bariton / Bariton Horn 1 Buah Tenor / Tenor Horn 3 Buah Alt Horn / Alto Horn 1 Buah Bass /Shau Shophon 1 Buah Tambur / Snare Dram 1 Buah Jidur / Bass Dram Tetapi seiring perkembangan waktu personil yang memainkan jidur ini juga berkurang tidak sampai lagi 14 orang, tetapi walau tidak komplet musik yang di hasilkan tidak jauh berbeda.