3
Pemda Harus Lihat Realitas di Lapangan Oleh I Nengah Subadra Rencana Pemerintah Daerah Bali untuk memiliki hotel menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar tidak melihat realitas yang terjadi di lapangan tentang kondisi dan keberadaan berbagai sarana akomodasi pariwisata seperti hotel, vila, guest house dan lainnya yang sudah kering penghuni dan hanya dengan membanting hargalah mereka bisa meningkatkan tingkat huniannya dan mendapatkan pemasukan untuk biaya operasional hotelnya sejak terjadinya peledakan bom Bali I tahun 2002 sampai sekarang. Secara kuantitas jumlah kunjungan wisatawan asing maupun domestik memang meningkat (BPS, 2010). Namun apakah secara kualitas meningkat? Bagaimana daya beli (spending power) wisatawannya? Dan, apakah peningkatan jumlah kedatangan wisatawan dibarengi dengan peningkatan kualitas masyarakat lokal Bali? Pencaplokan lahan produktif untuk kepentingan pariwisata, khusunya dalam bidang jasa akomodasi, terus meningkat karena pengalihan lahan bukan hanya untuk pembangunan akomodasinya saja yang merupakan dampak langsungnya. Tetapi juga pembangunan perumahan bagi para karyawannya yang berada di sekitar atau jauh dari pembangunan fisik akomodasi tersebut yang merupakan dampak lingkungan yang bersifat tidak langsung dari pengembangan fasilitas pariwisata (Subadra, 2006). Pemerintah tidak pernah mendengar jeritan rakyat kecil, terutama para petani yang sangat membutuhkan bantuan untuk menyambung hidupnya atau mungkin mendengar teriakan mereka tetapi masuk kiri keluar kanan. Petani salak di Selat dan Sibetan, Karangasem, misalnya, mereka tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya sebagai petani karena pada saat panen harga salaknya benar-benar jatuh sampai setengah lebih rendah dari harga beras. Contoh lain yang perlu didengar oleh pemerintah adalah keluhan petani padi di Penatih yang padinya baru tumbuh diserang dan dimakan

Pariwisata Budaya versus Pembangunan Hotel di Bali

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Artikel tentang rencana pengembangan hotel oleh pemerintah daerah Bali

Citation preview

Page 1: Pariwisata Budaya versus Pembangunan Hotel di Bali

Pemda Harus Lihat Realitas di Lapangan

Oleh I Nengah Subadra

Rencana Pemerintah Daerah Bali untuk memiliki hotel menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar tidak melihat realitas yang terjadi di lapangan tentang kondisi dan keberadaan berbagai sarana akomodasi pariwisata seperti hotel, vila, guest house dan lainnya yang sudah kering penghuni dan hanya dengan membanting hargalah mereka bisa meningkatkan tingkat huniannya dan mendapatkan pemasukan untuk biaya operasional hotelnya sejak terjadinya peledakan bom Bali I tahun 2002 sampai sekarang.

Secara kuantitas jumlah kunjungan wisatawan asing maupun domestik memang meningkat (BPS, 2010). Namun apakah secara kualitas meningkat? Bagaimana daya beli (spending power) wisatawannya? Dan, apakah peningkatan jumlah kedatangan wisatawan dibarengi dengan peningkatan kualitas masyarakat lokal Bali?

Pencaplokan lahan produktif untuk kepentingan pariwisata, khusunya dalam bidang jasa akomodasi, terus meningkat karena pengalihan lahan bukan hanya untuk pembangunan akomodasinya saja yang merupakan dampak langsungnya. Tetapi juga pembangunan perumahan bagi para karyawannya yang berada di sekitar atau jauh dari pembangunan fisik akomodasi tersebut yang merupakan dampak lingkungan yang bersifat tidak langsung dari pengembangan fasilitas pariwisata (Subadra, 2006).

Pemerintah tidak pernah mendengar jeritan rakyat kecil, terutama para petani yang sangat membutuhkan bantuan untuk menyambung hidupnya atau mungkin mendengar teriakan mereka tetapi masuk kiri keluar kanan. Petani salak di Selat dan Sibetan, Karangasem, misalnya, mereka tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya sebagai petani karena pada saat panen harga salaknya benar-benar jatuh sampai setengah lebih rendah dari harga beras.

Contoh lain yang perlu didengar oleh pemerintah adalah keluhan petani padi di Penatih yang padinya baru tumbuh diserang dan dimakan oleh keong emas. Sudah pernahkah dipikirkan solusi permasalahan para petani tersebut? Fakta inilah yang semestinya dijadikan referensi bahwa masyarakat kecil masih sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah dalam hal permodalan, baik pada saat penanaman, produksi, dan pascapanen, sehingga mereka mendapatkan penghasilan yang lebih banyak untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Bukan menggunakan dana pemerintah untuk membangun hotel yang hanya mengakomodir kebutuhan segelintir orang saja.

Selain masalah penglihatan dan masalah pendengaran, kesensitifan alat perasa dan penciuman juga perlu dipertanyakan. Bali yang makin hari makin padat penduduknya kira-kira 3.409.845 orang (BPS, 2010) nampaknya sudah makin sesak dan agak susah untuk hidup nyaman dan aman khususnya di kota. Hari demi hari makin panas rasanya dan jumlah urbanisasi pun meningkat.

Page 2: Pariwisata Budaya versus Pembangunan Hotel di Bali

Belum lagi karena tidak adanya perda yang mengatur penggunaan sinar laser untuk mengusir mendung dan hujan sehingga dengan bebas digunakan di Bali. Semestinya dana yang dimiliki Pemprov Bali digunakan untuk proyek padat karya yang mempekerjakan dan bermanfaat untuk banyak orang dalam jangka panjang seperti penanaman, pemeliharaan, pengawasan perkembangan pohon untuk penghijauan terutama di daerah-daerah lahan kering, tetapi usaha tersebut harus berkelanjutan (sustainable) dan bukan hanya ditanam saja lalu dibiarkan begitu saja tanpa diketahui perkembangannya sehingga ujung-ujungnya sing ada apa de.

Buka Mata Buka Hati

Pemerintah daerah Bali semestinya mengintrospeksi diri bahwa pegawai-pegawainya yang bertugas di beberapa dinas belum memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cepat, tepat, profesional dan maksimal yang memuaskan hati masyarakat. Contoh kongkret yang bisa dilihat adalah pengurusan akta kelahiran, akta nikah dan kartu keluarga. Fakta yang terjadi setidaknya memerlukan waktu 2-3 minggu untuk mendapatkan dokumen penting tersebut.

Sebaiknya benahi dulu instansi-instansi yang masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat sebelum melirik rencana pemilikan hotel yang menuntut pelayanan yang bertaraf internasional, functual dan profesional. Memang sepintas sangat menyilaukan mata kalau dilihat dari dolar yang didulang dari kepemilikan hotel ini. Tetapi perlu diingat bahwa program-program yang menyentuh dan berguna bagi masyarakat kecil, terus dan sangat ditunggu oleh 181.000-an orang miskin di Bali (BPS, 2010). Sehingga tidak ada lagi gerakan-gerakan yang menuntut realisasi program-program yang diobral pada saat kampanye berlangsung yang hingga kini tidak kunjung datang.

Penulis, Ph.D Candidate on Cultural Tourism Studies, Faculty of Business and Law, University of Lincoln, United Kingdom

Diterbitkan oleh Harian Umum Bali Post pada tanggal 17 Maret 2010.

Online: http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=2&id=3354