Click here to load reader
Upload
fransiskus-raymond
View
8.364
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Seteru Dua Perusahaan Batu Bara
Analisa Artikel dari Sudut Pandang Interaksi Sosial
Disusun oleh :
Nama : Raymond Kharisma
NPM : 0914000281
Mata Kuliah : Pengantar Sosiologi
H/R/J : Selasa/P/18.30
Dosen : Dra. Hamidah RS, MEM
Penugasan ke : 1
BAB I
Ringkasan Artikel
Ketegangan terlihat di kawasan pertambangan batu bara di Desa Bedaro,
Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi. Belasan petugas keamanan
berseragam PT. Nusantara Termal Coal (NTC) berjaga-jaga di pintu gerbang area
tambang. Pos jaga yang dibakar massa dalam bentrokan berdarah 4 Juli 2009,
dibiarkan menghitam penuh jelaga.
Suasana di atas adalah hasil dari perseteruan antara PT. NTC dan anak
subkontraktornya, PT. Jambi Resources (PT. JR). Bentrokan terjadi karena 20
truk bermuatan batu bara yang akan menuju ke stockpile dihadang petugas PT.
NTC. Petugas tersebut menuduh bahwa mereka melakukan illegal mining di area
PT. NTC, namun tuduhan tersebut dibantah. Ketegangan pun berujung pada
bentrokan, 2 orang luka-luka, seorang sopir dan petugas NTC dibawa ke rumah
sakit. Pos jaga pun dibakar oleh massa.
Tapi ketegangan tersebut tidak akan lama, “kami sudah lelah bersengketa.
Perselisihan yang membuat 400 pekerja kami menganggur,” ujar Jimmy, SH,
kuasa hukum PT. JR. MEski menempuh jalur hokum, PT. JR juga menempuh
jalur mediasi dengan PT. NTC. Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua Tim
Penyelesian Permasalahan Perjanjian Kontrak Kerja Penambangan antara PT.
NTC dengan PT. JR, Slamet Sibagariang. Ada 14 kasus terkait sengketa tersebut.
“tapi kita akan mengupayakan jalur damai,” ujarnya pada GATRA.
Sengketa tersebut berasal dari penghentian kerjasama PT. Bungo Raya
Nasional (BRN) dan PT. JR. BRN adalah pemegang 60 % saham dari PT. NTC –
pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B)—
untuk lahan seluas 2,832 hektare di kawasan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo.
Kontrak yang berlangsung sejak 28 Juni 2006 , oleh BRN dianggap tidak berlaku
sejak 11 September 2007.
BRN menilai, PT. JR lalai memenuhi kewajibannya yang tercantum dalam
kontrak. Menurut kuasa hukum PT. NTC, Agustinus Hutajulu, kewejiban yang
tidak dipenuhi PT. JR adalah, kewajiban membayar royalty pada emerintah
melalui PT. NTC, pemegamg konsesi pertambangan, melakukan petambangan di
fasilitas PT. BRN , hingga reklamasi lahan. “ Karena pemegamg kuasa adalah PT.
NTC, maka pemerintah menagih pada PT. NTC . Dan PT. NTC menegur PT.
BRN sebagai pemegang kontrak dengan PT. J,” ujar Agustinus.
Menurut Agustinus, PT. NTC makin tersudut karena utang royalti pada
pemerintah mencapai 19 milyar belum termasuk US$ 25 juta kerugian akibat
illegal mining yang terus berjalan dan 134 mlyar untuk biaya reklamasi. Hasil PT.
NTC pun digunakan untuk memenuhi kebutuhan PT. Semen Padang, PLTU
Sitanjang, Sawah Lunto, Sumatra Barat, PT. Riau Pulp & Paper, Riau. Sebagian
diekspor ke Korea dan India.
Pasca pemutusan kontrak, PT. JR tetap menambang di konsesi PT. NTC.
Bahkan, setelah PT. BRN diputus kontraknya oleh PT. NTC, berdalih pemutusan
kontrak antara PT. JR dan BRN dengan NTC, tidak sah dan kini sedang dalam
proses Badan Arbitrase Singapura (SIAC). Sikap keras kepala PT. JR berlanjut
bahkan memalsukan surat Delivery Order yang hanya dikeluarkan PT. NTC
sebagai pemegang konsesi dan telah dibekukan dari kegiatan penambangan dari
PKP2B PT. NTC sejak 27 Oktober 2008 oleh Departemen ESDM. “JAdi sangat
jelas mereka melakukan illegal mining . Apalagi, sudah ada yang tertangkap di
Pelabuhan Teluk, ” kata Agustinus.
Tapi anehnya, PT. JR tetap beroperasi. Menurut Agustinus, mereka
harusnya berhenti menambang setelah kontraknya tidak berlaku. Dia yakin bahwa
ada oknum keamanan yang ‘membekingi’.
Konflik kedua perusahaan ini berlanjut selain ke Badan Arbitrase
Singapura, mereka sling menggugat ke pengadilan dalam negeri. Sejak 16 Juni,
PT NTC menggugat PT JR dan PT BRN di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebaliknya, PT JR menggugat PT NTC di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 2
Juli lalu.
Menurut kuasa hukum PT JR, Jimmy, SH, membantah semua tuduhan PT
NTC. Kontrak antara PT JR dan PT NTC masih sah dan berlaku sesuai dengan
keputusan sela SIAC, 24 Desember 2008. Dalam putusan tersebut, PT BRN
dilarang menjual, mengalihkan, membebankan, atau membagikan saham-saham
tertuntut. PT JR juga melakukan tuntutan ganti rugi sebesar US$ 35 juta. Jimmy
juga yakin bahwa pengdilan 99 % akan memengangkan gugatannya.
Royalti PT JR juga selalu rutin dibayarkan kepada pemerintah. Selama
ini, PT JR diberi kewenangan mengeksplorasi 18 blok dari 33 blok yang ada,
dengan kapasitas 600.000 ton bijih batu bara per bulan dengan rincian royalty
pemerintah (DHPB) 13,5 % sekitar US$ 3 per ton. “Artinya kami membayar US$
180.000 per bulan. Dan kewajiban itu sudah kami penuhi setiap bulan,” tutur
Jimmy.
Sampai saat ini, PT JR telah membayar tak kurang dari US$ 2 juta.
Menurut Jimmy, penghentian kerja dengan PT BRN tidak otomatis berlaku,
karena mereka sebagai subkontraktor, PT BRN dan PT JR mempunyai status
khusus yaitu back to back yakni antrara PT NTC dan PT BRN, dan perjanjian
BRN dengan JR.
BAB II
Analisa Artikel
I. Ringkasan Kasus
- PT Nusantara Termal Coal selaku pemegang kuasa
pertambangan batu bara seluas 2.382 hektare di Kecamatan
Rantau Pandan, Bungo, Jambi.
- 60 % saha PT NTC dimiliki PT Bungo Raya Nusantara.
Sisanya dikuasai PT Bara Aditama sebesar 40 %
- PT NTC lalu mensubkontrakkan usaha pertambangan pada PT
BRN dan PT BAMA.
- Oleh PT BRN , ijin usaha disub-kontrakkan lagi pada 10
perusahaan termasuk PT JR, 28 Juli 2006.
- PT JR dituduh tidak membayar royalti pada pemerintah dan
lalai atas kewajiban yang lain sehinggs kontraknya diputus oleh
PT BRN.
- Pemerintah cq Departemen ESD menangguhkan ijin PKP2B
PT NTC selama enam bulan.
- PT JR menolak pemutusan kontrak dan tetap beroperasi. PT
JR mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Singapura. Kedua
pihak juga mengajukan ke Pengadilan Negeri Jakrta Pusat Dan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
II. Analisa
Kasus diatas bermula dari pemutusan kontrak sepihak yang
dilakukan oleh PT BRN terhadap PT JR karena PT JR dianggap
lalai terhadap kewajibannya yaitu membayar royalti pada
pemerintah, namun hal tersebut dibantah oleh PT JR melalui kuasa
hukumnya, Jimmy, SH. Yang pada akhirnya, mengajukan gugatan
ke Badan Arbitrase Singapura (SIAC). Dalam hal diatas telah
tedapat unsur interaksi sosial asosiatif yang mana telah terjadi
kerjasama antara PT NTC yang 60 % sahamnya dikuasai oleh PT
BRN dan 40 % oleh PT Bara Aditama, dengan 10 perusahaan
tambang, yang temasuk PT JR melalui ijin subkontrak PT NTC
dengan PT BRN dan PT Bara Aditama.
Lalu kelanjutan dari gugatan PT JR terhadap PT NTC
tersebut membawa masalah yang lebih rumit karena kedua pihak
saling menggugat lagi, masing-masing di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dan Pengadilan negeri Jakarta Selatan. Dalam hal ini
telah terjadi interaksi sosial disasosiatif pertikaian yang mana
adanya suatu pihak yang ingin menjatuhkan pihak lain, melalui
pengadilan. Mengapa yang terjadi disini bukan kontravensi?
Karena diawal artikel telah terjadi bentrokan yang memakan
korban seorang petugas keamanan NTC dan seorang sopir.
Disamping itu ada upaya-upaya pembangkangan salah satunya
pemalsuan surat Delivery Order yang seharusnya dikeluarkan oleh
PT NTC, digunakan oleh PT JR untuk alasan untuk tetap
menambang. Menurut kuasa hukum PT. NTC, Agustinus Hutajulu
PT JR memanfaatkan beberapa oknum petugas sebagai ‘bekingan’
untuk tetap melanjutkan operasinya.
Sementara itu, upaya mediasi telah dilakukan oleh
Departemen ESDM dengan membekukan ijin PKP2B PT NTC.
Dan juga mengacu pada putusan sela Badan Arbitrase Singapura
(SIAC), 24 Agustus 2008 bahwa PT BRN dilarang menjual,
mengalihkan, membebankan, atau membagikan salah satu dari
saham-saham tertuntut. Ini berarti dilakukan agar di kemudian hari
PT BRN tidak bisa menjual saham-saham PT NTC yang mereka
kuasai sebanyak 60 %. Dan juga adanya niat mediasi antara PT JR
dengan PT NTC. Mengutip dari perkataan kuasa hukum PT JR,
Jimmy, SH. “Kamu sudah lelah bersengketa. Perselisihan membuat
400 pekerja kami terpaksa menganggur.”
BAB III
Kesimpulan
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa konflik diatas terjadi karena
adanya dugaan bahwa PT JR lalai akan kewajibannya antara lain tidak membayar
royalti pada pemerintah, kewajiban reklamasi lahan, dan penimbangan produsi
batu bara di fasilitas PT BRN.
Karena dugaan tersebut, PT BRN selaku sub-kontraktor memutus kontrak
PT JR secara sepihak. Namun, PT JR membantah dugaan tersebut dan melalui
kuasa hukumnya, Jimy, SH, royalty PT JR selama ini selalu rutin dibayarkan pada
pemerintah. Sebagai bukti, PT JR diserahi 18 blok dari 33 blok untuk dikelola,
dengan membayar royalti pemerintah (DHPB) 13,5%, sekitar US$ 3 per ton,
artinya mereka membayar US$ 180.000 per bulan. Dan PT JR menolak
pemutusan kontrak tersebut.
Karena hal itu PT JR menggugat PT NTC ke SIAC. Kedua pihak juga
mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dan Selatan. Pemerintah pun telah ikut
campur tangan dengan membekukan ijin PKP2B PT NTC selama 6 bulan.
Yang terpenting dalam interaksi sosial adalah saling mengerti antara
kedua belah pihak, sedangkan bentrokan yang terjadi pada artikel diatas bukan
merupakan syarat utama karena belum tentu terdapat suatu saling pengertian.
Dalam kasus diatas interaksi sosial gagal terjadi karena kedua belah pihak
bukannya mendapat suatu hasil yang menguntungkan tetapi terjadi saling gugat
antar pihak (disasosiatif). Namun sebelum konflik terjadi telah terjadi kerjasama
antar pihak (unsur utama interaksi sosial: tercapainya tujuan tertentu).
DAFTAR PUSTAKA
GATRA, Seteru Dua Perusahaan Batu Bara, 30 Juli – 5 Agustus
2009