16
BAB 1 PENDAHULUAN Tujuan utama dari kedokteran forensik adalah mendokumentasikan, menganalisa, dan menjelaskan temuan medis yang ditemukan pada orang hidup dan mati dengan penjelasan yang dapat dipahami untuk keperluan persidangan. Pada manusia yang mati, tujuan utama adalah menentukan penyebab dan cara kematian, mempelajari beratnya cedera, dan mengembangkan rekonstruksi forensik berdasarkan temuan yang ada. Baik pada forensik genetik (yang menggunakan DNA) dan forensik toxicology- merupakan cabang ilmu forensik yang menggunakan metode teknologi tinggi dalam sehari-harinya-dokumentasi pada temuan patologi forensik dalam sehari-hari, dokumentasi temuan patologi forensik masih didominasi berdasarkan protokol dan teknik autopsy yang sama selama berbad-abad. Alat yang paling sering digukan adalah scalpel, dekripsi verbal, dan teknik fotografi konvensional dengan dua dimensi. Dengan demikian temuan forensik didokmentasikan secara tidak sengaja bersifat subjektif (observer-dependent), dan temuan yang belum didokumentasikan akan hilang selamanya jika tubuh korban di masukan kedalam krematorium. Selama bertahun-tahun, aplikasi metode pencitraan untuk dokumentasi objektif nondestruktif terhadap temuan forensik telah jauh tertinggal di belakang perkembangan teknologi pencitraan sendiri. Hanya ada sedikit buku yang tersedia yang berhubungan dengan forensik radiologi, yang mana kebanyakan lebih memfokuskan pada radiografi konvensional dan tidak membahas bidang pencitraan yang lebih baru seperti pencitraan computed tomography (CT) dan magnetic resonance (MR) secara mendalam. Diagnostik melalui pencitraan masih kurang dimanfaatkan, 1

Paper Forensik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cca

Citation preview

Page 1: Paper Forensik

BAB 1

PENDAHULUAN

Tujuan utama dari kedokteran forensik adalah mendokumentasikan, menganalisa, dan menjelaskan temuan medis yang ditemukan pada orang hidup dan mati dengan penjelasan yang dapat dipahami untuk keperluan persidangan. Pada manusia yang mati, tujuan utama adalah menentukan penyebab dan cara kematian, mempelajari beratnya cedera, dan mengembangkan rekonstruksi forensik berdasarkan temuan yang ada. Baik pada forensik genetik (yang menggunakan DNA) dan forensik toxicology-merupakan cabang ilmu forensik yang menggunakan metode teknologi tinggi dalam sehari-harinya-dokumentasi pada temuan patologi forensik dalam sehari-hari, dokumentasi temuan patologi forensik masih didominasi berdasarkan protokol dan teknik autopsy yang sama selama berbad-abad.

Alat yang paling sering digukan adalah scalpel, dekripsi verbal, dan teknik fotografi konvensional dengan dua dimensi. Dengan demikian temuan forensik didokmentasikan secara tidak sengaja bersifat subjektif (observer-dependent), dan temuan yang belum didokumentasikan akan hilang selamanya jika tubuh korban di masukan kedalam krematorium. Selama bertahun-tahun, aplikasi metode pencitraan untuk dokumentasi objektif nondestruktif terhadap temuan forensik telah jauh tertinggal di belakang perkembangan teknologi pencitraan sendiri. Hanya ada sedikit buku yang tersedia yang berhubungan dengan forensik radiologi, yang mana kebanyakan lebih memfokuskan pada radiografi konvensional dan tidak membahas bidang pencitraan yang lebih baru seperti pencitraan computed tomography (CT) dan magnetic resonance (MR) secara mendalam. Diagnostik melalui pencitraan masih kurang dimanfaatkan, terutama disebabkan kurangnya kesadaran akan potensi dan kurangnya dalam pendidikan dan pengalamanan.2

Oleh karena kurangnya pemanfaatan bidang radiologi dalam bidang diagnostik forensik, maka penulis merasa perlu sedikit membahas sedikit tentang aplikasi radiologi dalam bidang ilmu forensik.

1

Page 2: Paper Forensik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Radiologi Forensik

Radiologi Forensik adalah bagian dari forensik medicine yang mempelajari tentang pengidentifikasian manusia menggunakan citra radiologi postmortem dari bagian-bagian tubuh yang berbeda termasuk kerangka, tengkorak, dan gigi. Pengidentifikasian dilakukan dengan membandingkan citra postmortem (PM) dengan rekaman antemortem (AM) dari orang yang hilang untuk menemukan rekaman yang serupa. Seorang ahli forensik membutuhkan minimum satu gigi molar pada setiap kuadran untuk dapat melakukan pengidentifikasian. Secara tradisional, pengidentifikasian berdasarkan gigi bergantung pada informasi seperti gigi yang hilang dan kinerja gigi. Saat ini, dengan kemajuan ilmu kedokteran gigi dan perawatan gigi oleh manusia, metode metode tersebut sudah tidak dapat diandalkan lagi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengembangkan metode-metode baru dengan menggunakan fitur dental yang tidak terpisahkan untuk pengidentifikasian

Autopsi berati pemeriksaan postmortem sesosok mayat, yang meliputi organ-organ dan struktur dalam setelah dilakukan diseksi, untuk menentukan sebab kematian atau sifat-sifat perubahan patologis. Disebut juga necropsy. Istilah virtopsy berasal dari kata virtual dan autopsy. Walaupun autopsi berarti “melihat dengan mata sendiri”. Karena bertujuan untuk menghilangkan subjektivitas yang dimaksud dalam kata autos, kami menggabungkan istilah virtual dan autopsy, maka kata autos dihapus untuk menciptakan istilah virtopsy. pada otopsi virtual tidak memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam.

Pemeriksaan virtual otopsi dilakukan dengan menggunakan bantuan radiologi berupa computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), magnetic resonance spectroscopy (MRS). CT merupakan pilihan untuk dokumentasi 2D dan 3D dan untuk analisa sistem faktur, kumpulan gas patologis, dan gambaran jaringan secara kasar. Sedangan gambaran MRI jelas memberikan gambaran dalam cedera jaringan lunak, trauma organ neurolgi dan non-neurologi, dan kondisi nontrauma. Dari pencitraan MRI dapat ditingkatkannya analisis postmortem, sehingga memunculkan kemungkinan diagnosis terhadap organ viseral seperti jantung dan penyakit koroner tanpa merusaknya. Oleh karena otopsi virtual saat ini belum dapat diterima sebagai pengganti otopsi konvensional. Otopsi konvensional masih merupakan gold standart untuk menentukan penyebab kematian seseorang. Otopsi virtual saat ini hanya sebagai komplementer terhadap otopsi konvensional. Berkembangnya teknik virtual otopsi, hal ini akan menjadi tantangan ke depan baik dalam bidang ilmu forensik dan ilmu radiologi, sehingga jauh kedepannya pencitraan dalam bidang ilmu forensik akan menjadi ilmu pengetahuan yang menarik nantinya.

2

Page 3: Paper Forensik

2. Sejarah Radiologi Forensik

Aplikasi CT pertama pada forensik adalah penjelasan pola luka tembak pada kepala oleh Wullenweber dkk pada 1977. Karena terbatasnya kualitas gambar dan resolusi dan output yang tidak memuaskan pada dulunya, hanya beberapa penelitian yang dihubungkan dengan temuan patologis. Kemudian diperkenalkan spiral CT oleh Kalender dkk pada 1989, yang membuka jalan menuju penghasilan dan pengolahan data 3 dimensi (3D), tidak meningkatkan daya tarik ilmuan forensik dalam modalitas baru ini.2

Penggunaan pencitraan MR seluruh tubuh dalam kasus nonforensik untuk pendeteksian penyakit kranial, thorak, dan abomen telah dilakukan oleh beberapa kelompok penelitian yang berbeda. Penelitian terbatas pada organ tertentu telah dilakukan oleh beberapa kelompok forensik, tujuan utamanya adalah memperoleh gambaran jalur luka tembak pada otak. Tidak satupun kelompok ini yang melakukan pemeriksaan seluruh tubuh menggunakan kombinasi pencitraan CT dan MR.2

Dapat diasumsikan bahwa pada kovensional autopsi, kini sering ditolak oleh anggota keluarga atau tidak ditoleransi oleh agama dalam kehidupan multikultural, mungkin dapat digantikan oleh pencitraan minimal invasif, pengambilan sampel jaringan, dan angografi untuk menentukan cedera vaskuler. Data digital yang didapatkan harus dikonsultasikan kembali ketika muncul pertanyaan baru atau dikirim ke ahli lain untuk second opinion.2

Konsep dari dokumentasi objektif dan noninvasif terhadap permukaan tubuh untuk kepentingan forensik muncul pada awal tahun 1990-an dengan perkembangan fotografi forensik. Sebagaimana biasanya dalam ilmu forensik, ide ini lahir dari dan dipacu oleh kebutuhan yang sangat- dalam hal ini karena tingginya angka bunuh diri di Switzerland. Pada kasus yang membutuhkan perbandingan senjata pembunuh dengan impresi pada tengkorak korban untuk menidentifikasi kemungkinan senjata. Pada tahun 2000, disarankan bahwa dokumentasi permukaan tubuh dikombinasikan dengan dokumentasi internal tubuh.2

3. Konsep Dasar

Virtopsy dasarnya mengandung;

a. Dokumentasi isi tubuh dan analisis mengunakan pencitraan pencitraan CT, MR, dan mikroradiologi, dan

b. Dokumentasi permukaan tubuh secara 3D menggunakan fotometi forensik dan scanning optikal 3D.

Kumpulan data yang dihasilkan mengandung dokumentasi 3D berwarna dan beresolusi tinggi dari interior tubuh. Dengan memanipulasi kumpulan dengan alat-alat volume render di tempat kerja, sekali melaksanakan virtual otopsi kapan saja dimana saja. Tidak ada temuan forensik yang terganggu, sebagaimana mereka akan rusak akibat autopsi tradisional.2

3

Page 4: Paper Forensik

Tujuan dari proyek virtopsy adalah untuk memvalidasi temuan baru ini melalui temuan perbandingan sistematik dari pemeriksaan permukaan tubuh dan radiologi terhadap hal-hal yang didapatkan pada autopsi tradisonal.2

Metode baru ini seharusnya mampu membantu menentukan apakah kematian sebagai akibat dari kematian alamiah, kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan. Penentuan ini diperlukan sebagai dasar investigasi forensik terhadap keadaan dan tubuh korban. Lebih jauh, luka yang terjadi harus dinilai makna kekuatannya dan, berdasarkan temuan, rekonstruksi forensik berkembang. Penelitian virtopsy, pada pencitraan temuan seluruh tubuh berhubungan dengan temuan yang didapatkan pada autopsi tradisional, yang pertama kali dijelaskan pada 2003.2

Teknik Otopsi Virtual

Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam. Teknik pemindaian canggih sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses melakukan otopsi sejak tahun 1977. Hal ini terus berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai menggunakan radiografi 3 dimensi dalam pemeriksaan postmortem.4

Pada otopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun pemotongan jaringan tubuh. Dengan menggunakan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara utuh keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting

Pemeriksaan Radiologi Luka TembakSalah satu pemeriksaan radiologi yang penting dalam pemeriksaan adalah X ray. X Ray

biasanya dilakukan sebelum otopsi dengan dua bidang pemeriksaan yakni anteroposterior dan lateral. X ray tidak hanya digunakan untuk dokumentasi objektif dan permanen namun juga berfungsi untuk menentukan lokasi dan karakteristik dari peluru dan fragmen metal termasuk jaket peluru yang terpisah. Radiologi merupakan alat yang penting untuk menemukan peluru pada tubuh yang susah ditemukan lewat autopsy (misalnya pada columna vertebra). Pemeriksaan X ray juga dapat memperlihatkan adanya peluru yang membelok atau mengalami penyumbatan pada pembuluh darah .

4. PERANAN RADIOLOGI DALAM MENENTUKAN LUKA TEMBAK

Radiologi memiliki peranan yang cukup besar dalam bidang forensik terutama dalam mengidentifikasi luka tembak. Pemeriksaan radiologi dengan sinar X ini pada umumnya digunakan untuk : a. Memudahkan dalam mengetahui letak dan jumlah peluru dalam tubuh korbanRadiologi sangat berperan penting dalam menentukan lokasi peluru. Penggunaan radiologi dalam menentukan lokasi peluru dapat mengefektifkan waktu yang digunakan dalam melakukan autopsi3. Pada pemeriksaan radiologi tandem bullet injury, walaupun luka tembak masuk hanya satu, pada pemeriksaan radiologi dapat ditemukan dua peluru. Bila pada tubuh

4

Page 5: Paper Forensik

korban tampak banyak pellet yang tersebar, maka dapat dipastikan bahwa korban ditembak dengan senjata jenis shot gun yang tidak beralur, dimana satu peluru terdiri dari berpuluh pellet. Sedangkan, jika pada pemeriksaan radiologi ditemukan satu peluru pada tubuh korban maka dipastikan korban ditembak dengan senjata jenis rifled2.

Pada keadaan tubuh korban yang telah membusuk atau mengalami luka bakar, serta pemeriksaan yang sulit untuk dilakukan, pemeriksaan radiologi ini dapat digunakan dengan mudah untuk menentukan lokasi peluru.

b. Membantu memeriksa partikel-partikel peluru yang tertinggal.Peluru yang digunakan pada senjata dapat dibungkus oleh komplit jaket atau parsial jaket.

Saat memasuki tubuh, bagian inti peluru dapat terpisah dari jaket yang melapisinya. Hal ini dapat terlihat dari gambaran radiologi berikut dimana parsial jaket terpisah dari inti peluru dibawah kulit. Informasi penting (crucial) yang didapatkan pada pemeriksaan ini adalah adanya cooper jaket pada tubuh pasien5

c. Untuk mengetahui Kerusakan Tulang akibat peluru Ketika peluru mengenai tulang, Fragmen atau partikel metal yang kecil sering

diidentifikasi pada jaringan tubuh (soft tissue). Fragmen atau partikel ini mengindikasikan

5

Page 6: Paper Forensik

adanya peluru yang kemungkinan tidak berjaket atau memiliki jaket parsial. Peluru yang memiliki full jaket dapat meremukkan dan memecah tulang menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan sedikit meninggalkan fragmen atau partikel metal. Peluru yang masuk kemungkinan mengenai tulang dan dapat dibelokkan sehingga luka tembak masuk atau luka tembak keluar tidak menunjukkan letak peluru yang sebenarnya5

Pada gambar ini menunjukkan bagian frontal dari pelvis yang memperlihatkan adanya multipel fragment metal kecil diatas fosa iliaka kiri. Pola fragmen ini dikenal dengan ”snow storm”, dimana pola ini terbentuk saat peluru dengan kecepatan tinggi mengenai tulang. Korban akan meninggal dalam beberapa menit setelah peluru mengenai tubuhnya. Pada autopsi akan didapatkan bahwa penyebab kematian adalah exsanguinasi yakni pelvic subfacial hematoma5.

Jumlah kerusakan jaringan yang disebabkan oleh peluru yang memasuki tubuh dipengaruhi oleh massa dan kecepatan peluru tersebut. Peluru yang bergerak lambat dengan massa yang berat biasanya akan tertinggal pada tubuh korban dan seringkali ditemukan pada keadaan intak (utuh). Peluru yang memiliki kecepatan yang tinggi seperti pada peluru rifle dapat mengakibatkan destruksi jaringan yang ekstensif atau luas5.

6

Page 7: Paper Forensik

Gambar ini menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh kecepatan peluru yang terlalu tinggi.

d. Membantu menentukan apakah Luka Tembak disebabkan karena bunuh diri atau pembunuhan

Sebagian besar luka tembak akibat bunuh diri berupa satu luka yang ditembakkan pada bagian kanan tubuh (pada sebagian besar right-handed people). Luka bunuh diri pada daerah dekat dan sekitar mata sangat jarang ditemui. Luka tembak yang multipel sangat sedikit menunjukkan luka bunuh diri, luka multipel cenderung mengarah ke luka tembak akibat pembunuhan. Sekitar dua persen dari luka bunuh diri merupakan luka yang multipel, hal ini bisa disebabkan kaarena peluru yang digunakan mengalami kerusakan atau tembakan pertama tidak menimbulkan kematian. Kaliber dari senjata juga menunjukkan pola dari luka yang terjadi. Senjata dengan kaliber yang besar memiliki kecepatan peluru yang cukup tinggidan lebih mudah untuk melewati tubuh dibandingkan senjata yang memiliki kaliber kecil dan kecepatan yang rendah.

7

Page 8: Paper Forensik

Pada gambar ini menunjukkan bahwa terdapat satu tembakan pada kepala dengan senjata yang memiliki kaliber kecil pada korban bunuh diri. Luka tembak masuk terdapat pada bagian kanan dengan fragmen atau partikel metal pada bagian superior dan posterior. Terdapat kerusakan yang kecil yang mengindikasikan senjata yang digunakan memiliki kaliber yang cukup kecil

e. Membantu menentukan migrasi peluru dan Penyumbatan peluru pada Pembuluh Darah

Peluru yang mengenai tubuh pada umumnya akan memasuki tubuh seperti garis lurus kecuali pada peluru yang mengenai tulang. Peluru dapat berpindah ketempat yang lebih jauh apabila memasuki sistem vaskular, respirasi, dan saluran gastrointestinal.

Tipe peluru yang mengalami penyumbatan umumnya terdapat pada sistem pembuluh darah arteri dan vena. Peluru yang besar cenderung mengalami penyumbatan pada bagian inferior kecuali pada shotgun pellet yang mengalami penyumbatan pada bagian superior. Posisi tubuh pada saat penembakan sangat penting untuk menentukan kemungkinan letak peluru pada pembuluh darah. Efek gaya gravitasi dapat mengakibatkan peluru bergerak melawan aliran darah. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan pada aliran arteri. Aktivitas agonal jantung biasanya menyebabkan peluru terbawa kearah ekstremitas bawah yakni ke arteri femoral.

Pemeriksaan pada sistem vena juga dapat dilakukan dimana vena cava umumnya akan membawa peluru kembali ke arah jantung. Shotgun pellets dapat mengalami penyumbatan pada pembuluh coronary atau intracranial yang menyebabkan insufisiensi pembuluh darah. Pellet juga dapat memasuki sistem vena dan berpindah ke dalam paru-paru.

8

Page 9: Paper Forensik

Pada gambar terlihat Shotgun pellet yang terletak pada paru-paru bawah bagian kanan. Pellet yang terdapat pada jantung tidak terlihat jelas yang mengindikasikan bahwa peluru terletak pada daerah intracardiac

Migrasi peluru ke dalam sistem respirasi jarang ditemukan, namun hal ini dapat terjadi apabila peluru mengenai kepala dan leher kemudian mengalami aspirasi. Perpindahan peluru ke dalam sistem gastrointestinal juga dapat terjadi apabila peluru langsung mengenai abdomen atau mengenai kepala dan leher yang kemudian tertelelan ke dalam sistem gastrointesinal.

f. Penilaian Kaliber PeluruPenilaian kaliber peluru dengan menggunakan pemeriksaan radiologi memiliki banyak

hambatan. Pembesaran radiografi dan perubahan bentuk dari peluru dapat merubah bentuk peluru yang sebenarnya. Pemeriksaan radiologi lebih berperan dalam menentukan lokasi peluru sedangkan pengukuran kaliber senjata yang tepat dapat dilakukan oleh pathologis5.

g. Berperan sebagai alat dokumentasi yang bersifat objektif dan permanen. Hasil Pemeriksaan radiologi dapat digunakan sebagai dokumentasi baik untuk kepentingan

rumah sakit maupun kepentingan hukum dan peradilan.

9

Page 10: Paper Forensik

KESIMPULAN

Radiologi Forensik adalah bagian dari forensik medicine yang mempelajari tentang pengidentifikasian manusia menggunakan citra radiologi postmortem dari bagian-bagian tubuh yang berbeda termasuk kerangka, tengkorak, dan gigi. Pengidentifikasian dilakukan dengan membandingkan citra postmortem (PM) dengan rekaman antemortem (AM) dari orang yang hilang untuk menemukan rekaman yang serupa.

Pemeriksaan virtual otopsi dilakukan dengan menggunakan bantuan radiologi berupa computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), magnetic resonance spectroscopy (MRS). CT merupakan pilihan untuk dokumentasi 2D dan 3D dan untuk analisa sistem faktur, kumpulan gas patologis, dan gambaran jaringan secara kasar. Sedangan gambaran MRI jelas memberikan gambaran dalam cedera jaringan lunak, trauma organ neurolgi dan non-neurologi, dan kondisi nontrauma. Dari pencitraan MRI dapat ditingkatkannya analisis postmortem, sehingga memunculkan kemungkinan diagnosis terhadap organ viseral seperti jantung dan penyakit koroner tanpa merusaknya. Oleh karena otopsi virtual saat ini belum dapat diterima sebagai pengganti otopsi konvensional. Otopsi konvensional masih merupakan gold standart untuk menentukan penyebab kematian seseorang. Otopsi virtual saat ini hanya sebagai komplementer terhadap otopsi konvensional. Berkembangnya teknik virtual otopsi, hal ini akan menjadi tantangan ke depan baik dalam bidang ilmu forensik dan ilmu radiologi, sehingga jauh kedepannya pencitraan dalam bidang ilmu forensik akan menjadi ilmu pengetahuan yang menarik nantinya. Peluru yang masuk tidak dapat ditentukan hanya melalui luka tembak masuk atau luka tembak keluar. Untuk menentukan lokasi peluru, maka diperlukan beberapa pemeriksaan, salah satunya adalah pemeriksaan radiologi. Selain untuk menentukan lokasi peluru, pemeriksaan radiologi juga memilki beberapa fungsi yang cukup penting dalam menentukan luka tembak diantaranya untuk menentukan jumlah peluru dalam tubuh, membantu memeriksa partikel-partikel peluru yang tertinggal, untuk mengetahui kerusakan yang terjadi pada tulang akibat peluru, membantu menentukan apakah luka tembak disebabkan karena bunuh diri atau pembunuhan, membantu menilai kaliber peluru, dan diperlukan dalam dokumentasi objektif dan permanen.

10

Page 11: Paper Forensik

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan. Pusat Data dan Informasi (Cited January 2010). Available from :

2. Mun’im Idries, Abdul. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Binarupa Aksara;

p. 131-137

3. J.M, Di Maio, Vincent. Gunshot Wound : Practical Aspect of Firearms, Ballistic, and

Forensic Technique. 2nd ed New York : CRC Press; 1999

4. Seputar Kedokteran dan Linux: Arti Klinis Luka Tembak (cited January 2015).

Available from : www.google.com

5. Pollak, Stefan & Saukko, Pekka J. Gunshot Wound. New York. 2006; P.1-19

6. Messmer, James M & Flerro, Marcella F. Radiologic Investigation of Fatal Gunshot

Wounds. North America : The Radiological Society. 1986;6:457-473

7. Harcke, Theodore, Levy Angela D. Et. MDCT Analysis of Projectile Injury in Forensic

Investigation. New York: American Roentgen Ray Society. 2007;106-111

11