37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang berkembang, kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik

paper bedah saraf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

paper bedah saraf

Citation preview

Page 1: paper bedah saraf

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB

baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB

dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.

Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian

karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara

ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan

kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada

kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia

meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.

Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya

secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama

meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah Kemiskinan pada berbagai

kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang berkembang,

kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya

komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB

(kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar,

obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan

pelaporan yang standar, dan sebagainya),tidak memadainya tatalaksana kasus

(diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang

telah didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG,

Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis

ekonomi atau pergolakan masyarakat, perubahan demografik karena

meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.

Page 2: paper bedah saraf

Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak

yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan

dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi

hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan

dunia (global emergency).

Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi

dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat

yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug

resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil

disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya

epidemi TB yang sulit ditangani.

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien

TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina

dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.

Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian

101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000

penduduk.

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai

tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan

Peru pada tahun 1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang

belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi

terutama oleh penyebaran melalui hematogen.1 Secara epidemiologi tuberkulosis

merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di

negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000

memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia

meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan,

sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8%

dari total kasus TB.2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas

yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat

Page 3: paper bedah saraf

timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena

perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan

debris.3

Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi otak

dan medula spinalis yang dikenal sebagai meninges (1). Inflamasi dari meningen

dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain dan

penyebab paling jarang adalah karena obat-obatan (2). Meningitis dapat

mengancam jiwa dan merupakan sebuah kondisi kegawatdaruratan (1,3).

Klasifikasi meningitis dibuat berdasarkan agen penyebabnya, yaitu meningitis

bakterial, meningitis viral, meningitis jamur, meningitis parasitik dan meningitis

non infeksius.

Meningitis bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri dan

merupakan kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan

menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian (1,3). Berdasarkan penelitian

epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia, pada daerah Asia

Tenggara, meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis

(4).

1.2 Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas mengenai definisi,

patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan dari spondilitis tuberkulosis dan

meningitis tuberkulosis.

Page 4: paper bedah saraf

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spondilitis TB

2.1.1 Definisi

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai

tulang belakang.

2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun.

Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium

tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan

China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB

menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun.1,3 Kejadian

TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang

paling sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari

kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.1,4 Tuberkulosis

ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang

dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi

dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian.

2.1.3 Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran

bakteri sangat kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera

diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan

memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.

Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan

kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus

Page 5: paper bedah saraf

berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan

kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman

TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.5

Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus

primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat

adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks

paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan

gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar

(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).3,6

Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang

waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga

mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas selular.6,7 Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer

dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas

terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji

tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks

primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada

sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem

imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil

kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah

terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan.4,6

Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak

Page 6: paper bedah saraf

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut.7

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya

oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut

umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk

menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian,

bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami

reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB

tulang dan lain-lain.2,3,7

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman

menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan

pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan

menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang

menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.6

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB

menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan

gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh

tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas

paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah8 peridiskal terjadi

pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan

penyebaran melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus

spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior

longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral

terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah

dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang

menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

Page 7: paper bedah saraf

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular

yang akan membatasi pertumbuhan.6,7

2.1.3 Manifestasi Klinis

Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan

sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab

yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe

superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang

tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di abdomen dan

tanda-tanda cairan di abdomen.1-4,7,8

Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1

tahun. Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat.

Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang

disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan

menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak

jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri

tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang

belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu

punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak

stabil serta dapat berkembang secara progresif. Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu

mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100, 20% kasus memiliki

kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300. Kelainan yang sudah

berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses

dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian

bawah atau ke bawah ligamen inguinal.1,9,10

Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal

dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada

stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada

Page 8: paper bedah saraf

pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah

penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.11

2.1.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi

Mycobacterium tuberculosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin

(Mantoux tes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya

infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena

anergi yang berat atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat

untuk menentukan adanya TB aktif. Pemeriksaan laju endap darah (LED)

dilakukan dan LED yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan

radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat

kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25%-60% kasus. Vertebra lumbal I

paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi

pada bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral tulang.

Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai

ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen

posterior biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae terjadi secara

langsung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang

disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan computerized tomography

scan (CT scan) yang tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah

meningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang. CT scan

dikerjakan untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada

badan vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi

posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk

mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan

sacrum. Hal tersebut dapat membantu memandu biopsi dan intervensi

perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan

Page 9: paper bedah saraf

radiologi hasilnya meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak

kalsifikasi pada psoas disertai dengan adanya kalsifikasi periperal.9 Magnetic

resonance imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan,

appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris

tuberculous.9

Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan

tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang

baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi

sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering

memberikan hasil yang negatif.11

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara

lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala

klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT

scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis

spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium

tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.10,11

2.1.6 Diagnosis banding

Spondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang menunjukkan gejala

nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga terdapat gejala bengkak,

kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan perjalanan yang lebih

singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat vertebrae. Tetapi gambaran yang

spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan infeksi piogenik

secara klinis.12 Selain itu spondilitis TB juga dapat dibedakan dengan tumor,

yang menunjukkan gejala tidak spesifik.

2.1.7 Tata laksana

Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan

pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan

Page 10: paper bedah saraf

korset.11,12 Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling

tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan

informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus

diberikan selama seluruh pengobatan.6,12

Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan

etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian

mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang

dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya

berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien.13

Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis dari

INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh lebih

dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu puyer

tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi, anti

inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit dengan

inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk menghambat atau efek

minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.10-11,14

Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus dilakukan.

Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi. Menurut Boswots

Compos (dikutip dari 10) pengobatan yang paling penting adalah imobilisasi dan

artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien yang terdeteksi lebih awal

akan terdeteksi lebih awal; akan pulih setelah arthrodesis. Menurut pendapatnya,

dekompresi anterior diindikasikan hanya pada beberapa pasien yang tidak pulih

setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan perbaikan dan

pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak. Pada umumnya artrodesis

dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.15,16,17

Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan hasil

yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi pada

seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Pott’s paraplegia maka pembedahan

harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain,18,19,20,21

Page 11: paper bedah saraf

A. Indikasi absolut

Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia

memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan

kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan

pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol

oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya

risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan

onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan

mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal

ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia

dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan

motoris selama lebih dari 6 bulan.

B. Indikasi relatif

Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering

tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang

diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi

seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.

Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami

paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan

laminektomi.

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena

kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami

destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia

pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.20,21

2.1.9 Prognosis

Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi.

Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat

Page 12: paper bedah saraf

terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan

bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat

dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5

tahun sampai 30%.6,16,17

2.3 Meningitis Tuberkulosis

2.3.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis

merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium

tuberculosis dari infeksi primer pada paru (5).

Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid

(CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta

dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan

meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan

gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga

diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal

ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan

etiologinya. Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik

dikarenakan penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan

antibiotik spektrum luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009

menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi

primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru

(10).

2.3.2 Epidemiologi

Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering ditemukan

di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia, dimana

insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS

Page 13: paper bedah saraf

(ODHA) (18,19,20). Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang

mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai

30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis

walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan

penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan

neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani (20,21,22).

Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan

mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB

terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers for Disease Control

(CDC) melaporkan pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh

kasus TB ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer,

umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur,

status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor

predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan

kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus.

Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding

dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada

usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3

bulan (6).

Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga

bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering

ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis

tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis

tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus

tuberkulosis (8). Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan

karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat

menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah

yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan

sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,

hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis

Page 14: paper bedah saraf

tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak

diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.

Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali

normal secara neurologis dan intelektual (9). Angka kejadian TB paru di

Indonesia dilaporkan terus meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara

dengan urutan ketiga dengan kasus TB paru terbanyak, pada tahun 2001,

dilaporkan perubahan dari tahun sebelumnya, penderita TB paru dari 21 orang

menjadi 43 oreng per 100.000 penduduk, dan pasien BTA aktif didapatkan 83

orang per 100.000 penduduk (11).

Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan

kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5%

dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai

frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila

meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya

dalam kurun waktu tiga sampai lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan

meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (12,13,14).

2.3.3 Diagnosis

Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis

yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada hasil foto

rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2

tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil My-cobacterium tuberculosis masuk

melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan

penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan

meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa focisub-

ependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich

foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan

meningitis (29).

Page 15: paper bedah saraf

Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan

menimbulkan gejala sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis

dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner

kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus

tuberkulosis ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala

klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan

perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri

kepala, muntah, fotofobia, dan demam (29).

Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis di

bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih

menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500

per μL sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan protein di atas

1 g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa

ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda. Untuk meyakinkan

diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain baru-baru ini telah

dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi adenosine deaminase activity

(ADA), pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang dikeluarkan oleh limfosit,

deteksi antigen dan antibodi bakteri M.tuberculosis dan immunocytochemical

staining of mycobacterial antigens (ISMA) pada sitoplasma makrofag CSF (20).

Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan

diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel

(cell-mediated immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis (23,24).

Aktivitas ADA tidak dapat membedakan meningitis TB dengan meningitis

bakterial lainnya, tapi aktivitas dari ADA dapat menjadi informasi tambahan yang

berguna untuk menyingkirkan diagnosis meningitis yang diakibatkan selain

bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93% dan spesifitas <80%)

dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas 59%

dan spesifitas >96%) dapat membantu menegakkan diagnosis meningitis TB

(p<0.001). Namun, nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi

Page 16: paper bedah saraf

atau mengeksklusi diagnosis meningitis TB (p=0.07) (23). Hasil positif palsu juga

bisa ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV (24).

Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh antigen

bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skin-testing

untuk mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk mendiagnosis TB

ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi menurut asal

atau sumber infeksi primernya (25). Telah dilaporkan kegagalan tes pengukuran

IFN-ɣ ini diakibatkan oleh kematian limfosit yang cepat ketika distimulasi dengan

antigen M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat ditemukan negatif

meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB (26).

Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF berdasarkan asumsi bahwa

pada stase inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh makrofag dan pada stase

selanjutnya basil TB tersebut berkembang dan bertambah di dalam makrofag (27).

Hasil tes yang positif mengindikasikan bahwa terdapat isolat bakteri TB di dalam

CSF. Pada studi terbaru di dapatkan sensitivitas 73.5% dan spesifitas 90.7%

dengan nilai prediksi positif dan negatif sebesar 52.9% dan 96% berturut-turut

(28).

Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi

lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (defisit

neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi

menggunakan metode molekular dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan

serebrospinal (CSF) (20). Namun segala metode untuk memastikan sebuah

diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi inisiasi. Kultur

memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi mikroskopik

untuk basil tahan asam dan isolasi kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode

molekular yang paling baru juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah

namun dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF

sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon terapi (20).

2.3.4 Penatalaksanaan

Page 17: paper bedah saraf

Penatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen berbeda: administrasi

obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen atau penatalaksanaan tekanan

intrakranial yang meningkat.

Sebuah studi oleh Thwaites dkk. dilakukan secara acak pada 61 pasien dewasa

(usia >14 tahun) meningitis tuberkulosis. Pasien mendapat terapi antituberkulosis

standar saja atau kombinasi terapi antituberkulosis dengan ciprofloxacin 750 mg

tiap 12 jam (n=16), levofloxacin 500 mg tiap 12 jam (n=15), atau gatifloxacin 400

mg tiap 24 jam (n=15) selama 60 hari pertama. Penetrasi levofloxacin dalam

cairan serebrospinal lebih besar dibandingkan gatifloxacin dan ciprofloxacin,

dengan nilai p < 0,001.

Simpulan studi ini adalah pasien meningitis tuberkulosis besar kemungkinan

mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone yang terlihat dari kaitan

pajanan-respons yang berkaitan dengan perbaikan outcome. Fluoroquinolone

menambah aktivitas antituberkulosis pada terapi standar, tetapi harus dimulai

sesegera mungkin sebelum terjadi koma untuk mendapatkan outcome lebih baik.

Meningitis tuberkulosa merupakan penyakit tuberkulosis ekstrapulmoner yang

sifatnya fatal dan harus segera didiagnosis dan diterapi. Kemungkinan besar

pasien meningitis tuberkulosa mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone

(29).

Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua atau lebih

jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari penggunaan FDC

adalah menurunkan resiko pembentukan resistensi terhadap obat dan medication

errors yang lebih sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu diresepkan (31).

Anak-anak di atas usia 8 tahun dengan berat badan lebih dari 30 kg dapat

diberikan standard four-drug FDC atau FDC yang memiliki kandungan 4 jenis

obat TB standar yang digunakan pada pasien dewasa selama fase intensif (dua

bulan) terapi (32).

Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk regimen

meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin. Isoniazid

Page 18: paper bedah saraf

15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15-20 mg/kg/day

(dosis harian maksimum 600 mg). Ethionamide 15-20 mg/kg/day (dosis harian

maksimum 1 g). Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian maksimum 2 g).

Meningitis TB juga merupakan indikasi penggunaan kortikosteroid, biasanya

yang digunakan adalah prednisone oral yang diberikan dosis 2 mg/kg/hari

(maksimum 60 mg per hari) selama empat minggu sebagai tambahan obat TB dan

dilakukan tapering off setelah dua minggu (total penggunaan kortikosteroid 6

minggu) (32).

1. Susana Cha´vez-Bueno, MD, George H. McCracken, Jr, MD. Bacterial

Meningitis in Children. Department of Pediatrics, Division of Pediatric Infectious

Diseases, University of Texas Southwestern Medical Center of Dallas. Pediatr

Clin N Am 2005; 52: 795–810.

2. Ginsberg L. Difficult and recurrent meningitis. Journal of Neurology,

Neurosurgery and Psychiatry. 2004; 75: 16-21

3. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL et al. Practice guidelines for the

management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases 2004; 39: (9)

1267-84

4. T Ducomble, K Tolksdorf, I Karagiannis, B Hauer, B Brodhun, W Haas, L

Fiebig. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an

investigation of national surveillance data, Germany 2002 to 2009. Euro Surveill.

2013; 18(12) 20436.

5. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*,

Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università

degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore

Policlinico, Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen

Page 19: paper bedah saraf

6. Nofareni. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi

Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU. 2003;

1-13.

7. Yayan A. Israr. Meningitis. Faculty of Medicine – University of Riau, Arifin

Achmad General Hospital of Pekanbaru. 2008; 1-6.

8. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional

Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.

9. Hardiono D. Pusponegoro et al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.

IDAI. 2004

10. Meningitis tuberculosis. http://www.mayoclinic.com/health/tuberculosis

Accessed September, 25th 2013.

11. Epidemiologi tbc Indonesia. http://www.tbindonesia.or.id. Accessed

September, 25th 2013.

12. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier

saunders; 2005. h. 106-13.

13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.

Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.

14. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.

h. 189-96.

15. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for

Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for

Technical Assistance, 2009.

16. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL,

Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal

medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012

Page 20: paper bedah saraf

17. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005

18. Bidstrup C, Andersen PH, Skinhøj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis

in a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a

diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4.

19. Keane J. TNF-blocking agents and tuberculosis: new drugs illuminate an old

topic.Rheumatology (Oxford)2005;44:714e20

20. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous

meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università

degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore

Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis 2012: 92; 377-

383

21. Farinha NJ, Razali KA, Holzel H, Morgan G, Novelli VM. Tuberculosis of the

central nervous system in children: a 20-year survey.J Infect 2000;41:61e8

22. Saitoh A, Pong A, Waecker Jr NJ, Leake JA, Nespeca MP, Bradley JS.

Prediction of neurologic sequelae in childhood tuberculous meningitis: a review

of 20 cases and proposal of a novel scoring system.Pediatr Infect Dis

J2005;24:207e12.

23. Tuon FF, Higashino HR, Lopes MI, Litvoc MN, Atomiya AN, Antonangelo

L, et al. Adenosine deaminase andtuberculous meningitisea systematic review

with meta-analysis.Scand J Infect Dis2010;42:98e207.

24. Corral I, Quereda C, Navas E, Martín-Dávila P, Pérez-Elías MJ, Casado JL, et

al.Adenosine deaminase activity in cerebrospinalfluid of HIV-infected patients:

limited value for diagnosis of tuberculous meningitis.Eur J Clin Microbiol

InfectDis2004;23:471e6

25. Liao CH, Chou CH, Lai CC, Huang YT, Tan CK, Hsu HL, et al. Diagnostic

perfor-mance of an enzyme-linked immunospot assay for interferon-gamma in

Page 21: paper bedah saraf

extrapulmonary tuberculosis varies between different sites of disease.J Infect

2009;59:402e8

26. Simmons CP, Thwaites GE, Quyen NT, Chau TT, Mai PP, Dung NT, et al.

The clinical benefit of adjunctive dexamethasone in tuberculous meningitis is not

associated with measurable attenuation of peripheral or local immune responses.J

Immunol 2005;175:579e90

27. Sumi MG, Mathai A, Reuben S, Sarada C, Radhakrishnan VV. Immunocyto-

chemical method for early laboratory diagnosis of tuberculous meningitis.Clin

Diagn Lab Immunol2002;9:344e7

28. Shao Y, Xia P, Zhu T, Zhou J, Yuan Y, Zhang H, et al. Sensitivity and

specificity of immunocytochemical staining of mycobacterial antigens in the

cytoplasm of cerebrospinalfluid macrophages for diagnosing tuberculous

meningitis.J ClinMicrobiol2011;49:3388e91

29. Thwaites GE, Bhavnani SM, Chau TTH, Hammel JP, Torok ME, Wart SAV,

et. al. A randomized pharmaco-kinetic and pharmacodynamic comparison of fl

uo-roquinolones for tuberculous meningitis. Antimicrob Agents Chemother 2011;

doi:10.1128/AAC.00064-11.

30. European Medicines Agency. Anti-tuberculosis medicinal products containing

isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, rifabutin: posology in children.

2012; EMA/227191/2012.

31. Guidelines for Tuberculosis Control in New Zealand 2010 Chapter 3:

Treatment of Tuberculosis Disease. 2010; Wellington: Ministry of Health.

32. DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis

guidelines of the Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases.

South Afr J Epidemiol Infect. 2009;24(3).

1. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http://

www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.

Page 22: paper bedah saraf

2. Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http://

www.emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.

3. Batra V. Tuberculosis. Didapat dari http://

www.emedicine.com/ped/topic2321.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.

4. Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous spondylitis. Didapat dari: URL:

http://www.gentili.net/frame. asp?ID= 823& URLID =313541. Diakses tanggal 9

Maret 2005

5. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim A,

Soebandrio AWK. penyunting. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi.

Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. h. 191-9.

6. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. Pedoman nasional TB anak. Edisi ke 1.

Jakarta: UKK Pulmunologi PP IDAI; 2005. h. 17-28.

7. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Berhman, RE, Kliegman RM,

Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia:

WB Saunders Company; 2004. h. 958-72.

8. Harisinghani MG, McLoud TC, Shepard JO, Ko JP. Tuberculosis from head to

toe1. Radiographics: 2000; 20:449-70.

9. Anonim. Tuberculosis. Didapat dari

http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculosis. Diakses tanggal 9 Maret

2005.

10. Anonim. Tuberculous arthritis. Didapat dari

http://www.pennhealth.com/ency/article/000417.htm. Diakses tanggal 9 Maret

2005.

11. Anonim. Tuberculous spondylitis, Didapat dari

http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous spondylitis. Diakses tanggal 9

Maret 2005.

Page 23: paper bedah saraf

12. Vali ·P, Chaloupka R. Management of tuberculous spondylitis. Scripta Medica

(Brno) 2000;3:165–8

13. Müller I. Mistakes in the diagnosis and treatment of tuberculous spondylitis. A

case study. Scripta Medica (Brno) 2000; 3:157 –60.

14. Rahajoe NN. Berbagai masalah diagnosis dan tatalaksana tuberculosis anak.

Dalam: Rahajoe N, Rahajoe NN, Boediman I, Said M, Wirjodiardjo M, Supriatno

B. Penyunting. Perkembangan dan masalah pulmunologi anak saat ini. Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXXIII. FKUI; Jakarta:

BP FKUI, 1994.

15. Crofton J, Horne N, Fred M. Tuberkulosis pada anak. Dalam: Tuberkulosis

klinis. Harun N, penyunting. Edisi ke 2. Jakarta: Widya Medika; 2002. h. 31-79.

16. Anil K, Jail MS. Treatment of tuberculosis of the spine with neurologic

complication. Clinical orthopaedics and related research 2002; 398:75-84.

17. Mankin H. The back. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.

Penyunting. System of orthopaedics and fractures. Edisi ke 8. New York: Oxford

University Press; 2001.h.371-404.

18. Wood GW. Infection of spine. Dalam: Crenshaw AH, penyunting.

Champbell’s operative orthopaedics. Edisi ke 7. New York: Mosby Company;

1987. h. 3323-42.

19. Resnick D. Osteomyelitis, septic arthritis, and soft tissue infection: organism.

Dalam: Chaterin F, penyunting. Bone and joint imaging. Edisi ke 2. Philadelphia:

WB Saunders; 1996. h. 684-716.

20. Banerjee A, Tow DE. Tuberculous spondylitis Didapat dari http://www.med.

harvard.edu /JPNM/BoneTF /Case14/WriteUp14.html. Diakses tanggal 27 April

2005).

21. Moon MS. Tuberculosis of the spine. Controversies and a new challenge.

Spine: 1997; 15: 1791-7.