11
Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara :: Hendrikus Triwibawanto Gedeona 308 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010 PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI SIGNIFIKANSI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA Hendrikus Triwibawanto Gedeona STIA LAN Bandung, Jl. Cimandiri No. 34-38, Bandung – 40115 E-mail: [email protected] Significance of Citizens’ Participation in State Administration from the Perspective of Public Administration Science Abstract Thare has been a shift of paradigm and practice in state administration from ‘government’ to ‘governance’. The shift has been marked by the recognition of multiactors involved or engaged in state administration, including in the proces of development. It is assumed that good governance can materialize when there are participation, partnership ans positive synergy among those actors in managing resources, solving public problems, and encountering other public affairs. Partnership between government and society including private sector deserves a crucial discussion in this context. Thus, citizen’s participation becomes a precondition which is substantial and urgent. By getting involved in the state administration, together with their government and its bureaucacy lines citizens have the responsibility in managing resources, unraveling public problems and tackling other public affairs for the sake of a better state of social well-being. Keywords: Public affairs, responsiveness, organized democracy, empowerment. A. PENDAHULUAN Partisipasi masyarakat/publik dalam penyelenggaraan negara jika ditinjau dari perspektif Ilmu Administrasi Publik dapat ditelusuri dari pergeseran dan pemaknaan terhadap paradigma dalam Ilmu Administrasi Publik. Pergeseran paradigma tersebut diakui, dalam tataran praktis pun, memiliki implikasi nyata terhadap praktik penyelenggaraan administrasi publik untuk mendukung penguatan kapasitas birokrasi pemerintahan dalam melakukan perubahan guna menjalankan perannya menuju tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk menjelaskan dan memaknai perkembangan nilai dan pendekatan partisipasi serta kebermaknaannya dalam administrasi publik maka penelusuran pergeseran paradigma dalam Ilmu Administrasi Publik menjadi sesuatu yang harus dilakukan. Hal itu bertujuan untuk memotret sejauhmana pengaplikasian nilai dan pendekatan partisipasi publik dalam mengatur dan mengurus urusan atau persoalan publik (public affairs) yang menjadi lokus dari administrasi publik. B. PENEGASIAN PENDEKATAN PARTISIPASI DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA Secara keilmuan, diakui bahwa administrasi publik telah mengalami perkembangan paradigma 1 yang sangat pesat. Mulai dari periode klasik sampai dengan perkembangan yang mutakhir dan kontemporer saat ini. Perkembangan dan pergeseran paradigma tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kehidupan bernegara. Pada periode klasik dengan dinamika pencarian jati diri sampai penemuan jati dirinya menjadi Ilmu Administrasi Publik,— dengan lokus yakni birokrasi pemerintahan dan persoalan-persoalan masyarakat (public affairs) serta fokusnya terkait dengan teori organisasi, praktika dalam analisis kebijakan publik, teknik- teknik administrasi dan manajemen yang sudah maju—, menegaskan bahwa domain administrasi publik berorientasi pada apa yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan yang terkait dengan persoalan-persoalan masyarakat dengan menggunakan berbagai konsep dan teori organisasi, kebijakan publik, teknik-teknik administrasi dan manajemen. Mempertimbangkan bahwa ketika itu, konsep- konsep birokrasi Weberian mendominasi pemikiran para pakar administrasi publik maka orientasi administrasi publik klasik atau kemudian dikonsepsikan sebagai Old Public Administration (OPA), umumnya dipengaruhi oleh pemikiran dan penerapan birokrasi Weber dan prinsip-prinsip ilmiah manajemen, yang pada akhirnya berimplikasi pada praktik birokrasi pemerintahan yang tertutup dan keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat rendah. Hal itu disebabkan bahwa dalam masa itu, efisiensi dijadikan sebagai ukuran kerja dan bukannya responsiveness dalam administrasi publik, model administrasi publik lebih condong pada administrasi yang bersifat top down dan hirarkis, bureaucratic rational choice sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan tindakan yang birokratis (bureaucratic action) yang menimbulkan red tape. (Prasojo, 2009). Model OPA ini, kemudian melahirkan birokrasi pemerintahan dalam mengatur dan 1. Paradigma dimaknai sebagai cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu “masyarakat ilmiah” dalam kurun waktu tertentu.

PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

308Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI SIGNIFIKANSI

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

Hendrikus Triwibawanto GedeonaSTIA LAN Bandung, Jl. Cimandiri No. 34-38, Bandung – 40115

E-mail: [email protected]

Significance of Citizens’ Participation in State Administration from the Perspectiveof Public Administration Science

AbstractThare has been a shift of paradigm and practice in state administration from ‘government’ to ‘governance’. The shift has been

marked by the recognition of multiactors involved or engaged in state administration, including in the proces of development. Itis assumed that good governance can materialize when there are participation, partnership ans positive synergy among thoseactors in managing resources, solving public problems, and encountering other public affairs.

Partnership between government and society including private sector deserves a crucial discussion in this context. Thus,citizen’s participation becomes a precondition which is substantial and urgent. By getting involved in the state administration,together with their government and its bureaucacy lines citizens have the responsibility in managing resources, unravelingpublic problems and tackling other public affairs for the sake of a better state of social well-being.

Keywords: Public affairs, responsiveness, organized democracy, empowerment.

A. PENDAHULUAN

Partisipasi masyarakat/publik dalampenyelenggaraan negara jika ditinjau dari perspektifIlmu Administrasi Publik dapat ditelusuri daripergeseran dan pemaknaan terhadap paradigmadalam Ilmu Administrasi Publik. Pergeseranparadigma tersebut diakui, dalam tataran praktispun, memiliki implikasi nyata terhadap praktikpenyelenggaraan administrasi publik untukmendukung penguatan kapasitas birokrasipemerintahan dalam melakukan perubahan gunamenjalankan perannya menuju tata kelolakepemerintahan yang baik (good governance) bagikesejahteraan masyarakat. Untuk menjelaskan danmemaknai perkembangan nilai dan pendekatanpartisipasi serta kebermaknaannya dalamadministrasi publik maka penelusuran pergeseranparadigma dalam Ilmu Administrasi Publik menjadisesuatu yang harus dilakukan. Hal itu bertujuanuntuk memotret sejauhmana pengaplikasian nilaidan pendekatan partisipasi publik dalam mengaturdan mengurus urusan atau persoalan publik (publicaffairs) yang menjadi lokus dari administrasi publik.

B. PENEGASIAN PENDEKATAN PARTISIPASI

DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

Secara keilmuan, diakui bahwa administrasipublik telah mengalami perkembangan paradigma1

yang sangat pesat. Mulai dari periode klasik sampaidengan perkembangan yang mutakhir dankontemporer saat ini. Perkembangan dan pergeseranparadigma tersebut sejalan dengan perkembanganmasyarakat dan kehidupan bernegara. Pada periode

klasik dengan dinamika pencarian jati diri sampaipenemuan jati dirinya menjadi Ilmu AdministrasiPublik,— dengan lokus yakni birokrasi pemerintahandan persoalan-persoalan masyarakat (public affairs)serta fokusnya terkait dengan teori organisasi,praktika dalam analisis kebijakan publik, teknik-teknik administrasi dan manajemen yang sudahmaju—, menegaskan bahwa domain administrasipublik berorientasi pada apa yang dilakukan olehbirokrasi pemerintahan yang terkait denganpersoalan-persoalan masyarakat denganmenggunakan berbagai konsep dan teori organisasi,kebijakan publik, teknik-teknik administrasi danmanajemen.

Mempertimbangkan bahwa ketika itu, konsep-konsep birokrasi Weberian mendominasi pemikiranpara pakar administrasi publik maka orientasiadministrasi publik klasik atau kemudiandikonsepsikan sebagai Old Public Administration(OPA), umumnya dipengaruhi oleh pemikiran danpenerapan birokrasi Weber dan prinsip-prinsipilmiah manajemen, yang pada akhirnya berimplikasipada praktik birokrasi pemerintahan yang tertutupdan keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangatrendah. Hal itu disebabkan bahwa dalam masa itu,efisiensi dijadikan sebagai ukuran kerja danbukannya responsiveness dalam administrasi publik,model administrasi publik lebih condong padaadministrasi yang bersifat top down dan hirarkis,bureaucratic rational choice sebagai dasar dalampengambilan keputusan dan tindakan yang birokratis(bureaucratic action) yang menimbulkan red tape.(Prasojo, 2009). Model OPA ini, kemudian melahirkanbirokrasi pemerintahan dalam mengatur dan

1. Paradigma dimaknai sebagai cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan sesuatu masalah yang dianutoleh suatu “masyarakat ilmiah” dalam kurun waktu tertentu.

Page 2: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

309 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalammasyarakat. Terkait dengan itu, Frederickson (1999)menegaskan bahwa administrasi publik harusmemasukkan aspek atau nilai pemerataan (equity) dankeadilan sosial (social equity) ke dalam konsep birokrasipemerintah, sehingga praktik administrasi publiktidak dapat netral, tetapi harus berpihak padamasyarakat.

Agar dapat berpihak pada masyarakat makaadministrasi publik baru mengubah pola pikir lamayang selama ini menghambat terciptanya keadilansosial menuju pembaharuan pada upaya untukmewujudkan keadilan sosial, sehingga melahirkanpemikiran-pemikiran untuk melibatkan masyarakatdalam praktik administrasi publik. Karena aspirasi,keinginan dan kebutuhan masyarakat dapatdiketahui secara baik oleh pemerintah jika ruanguntuk mengaspirasikan dan mengkomunikasikanhal tersebut tersedia bagi masyarakat. Berdasarkanalasan tersebut maka partisipasi menjadi sesuatuyang penting dan dibutuhkan dalam praktikadministrasi publik.

Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang tidakdapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya olehmasyarakat, hendaknya jangan dilakukan olehpemerintah saja. Itu tidak berarti bahwa birokrasipemerintah bukan harus besar atau kecil, tetapipekerjaannya harus efisien dan efektif demikepentingan masyarakat, yakni dengan melibatkanmasyarakat. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson(1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidakbirokratis, kaku dan tertutup, tetapi mengakomodirnilai kebebasan dan demokratis. Karena ituadministrasi publik perlu pembaharuan. Upayapembaharuan jika kita menggunakan konsep danpemikiran Osborne dan Gaebler (1992) diistilahkandengan “reinventing government” atau “menemukankembali pemerintah” karena berbagai kegagalanbirokrasi pemerintahan dengan mengedepankangagasan entrepreneurial government, sehinggakemudian pengaruh managerialisme masuk ke dalambirokrasi pemerintahan. Tetapi, alasansesungguhnya lahirnya konsep reinventinggovernment di Selandia Baru, Inggris dan AmerikaSerikat dan beberapa negara lain menurut Osbornedan Gaebler (1992) adalah karena di negara-negaratersebut terjadi ketidakpuasan masyarakat terhadappemerintah dan birokasinya. Khususnya di AmerikaSerikat, Osborne dan Gaebler mengutip pernyataanPresiden Ronald Reagan yang melihat bahwa“government is not the solution to our problems. Governmentis problem.”

mengurus urusan masyarakat serba kerahasiaan,tertutup dan anti demokrasi, sehingga pelayanan dankesejahteraan masyarakat tidak tercapai secaraoptimal.

Pandangan Weber tentang birokrasi sebagai tipeorganisasi ideal yang penuh rasional, yangmenekankan kerahasiaan dan anti demokrasitersebut, pada gilirannya digugat oleh pemikiranWilson (1887), yang mengkonstruksi birokrasi agarlebih sejalan dengan iklim kebebasan dan demokrasiyang berkembang, sehingga birokrasi pemerintahandiharapkan untuk mengedepankan prinsip atau nilaiketerbukaan dan tanggap pada masyarakat2. Artinyabahwa birokrasi pemerintahan dalam menjalankantugasnya melayani kepentingan dan urusanmasyarakat pada umumnya perlu memperhatikanaspirasi dan keinginan masyarakat serta keterlibatanmasyarakat. Karena esensi demokrasi adalahkedaulatan rakyat.

C. REORIENTASI PENYELENGGARAAN

ADMINISTRASI PUBLIK

Dengan adanya pencerahan dan perhatianterhadap nilai kebebasan dan demokrasi tersebut,dalam perkembangannya birokrasi pemerintahanmulai dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam paham atausistem demokrasi, seperti administrasi publik yangpartisipatif, yang menempatkan administrasi ditengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atauterisolasi darinya (Montgomery, 1988, dalamMariana,et.al.,2009). Pemikiran ini selain inginmenempatkan birokrasi pemerintah sebagaiinstrumen demokrasi, juga mencoba menggunakanbirokrasi pemerintah sebagai alat untuk menampungaspirasi masyarakat. Implikasi dari pemikiran ituadalah bahwa sistem administrasi publik memilikidimensi ruang dan wilayah yangpenyelenggaraannya juga dipengaruhi olehketerlibatan masyarakat dan lingkungannya.Kesemuanya itu menuntut reorientasi peran birokrasipemerintahan yang condong pada upaya untukmeningkatkan desentralisasi dan makinmendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Halyang kemudian melahirkan paradigma baru gerakanadministrasi publik yang disebut sebagai gerakanadministrasi publik baru.

Administrasi publik baru itu inginmengetengahkan bahwa administrasi tidak bolehbebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan,dan mengatasi masalah-masalah sosial yang

2. Memaknai ketidaksepakatan proposisi antara Weber dan Wilson terkait dengan birokrasi pemerintahan, Simmons dan Dvorin (1977) dalambukunya “Public Administration: Value, Policy and Change”, menjelaskan sebagai berikut: (1) terkait dengan dominasi kekuasaan birokrasi,Weber berpendapat bahwa masyarakat tidak dapat menolak dan pada akhirnya tunduk kepada birokrasi, sementara Wilson berpendapatbahwa pendapat umum dalam masyarakat demokratis merupakan “master”, tidak hanya ditoleransi tetapi ditempatkan di atasnya; (2) isutentang keunggulan, menurut Weber, negara itu sendiri yang lebih unggul, sementara Wilson berpandangan bahwa rakyat harus lebihtinggi; (3) tentang kerahasiaan, Weber menekankan pentingnya kerahasiaan birokrasi, sedangkan Wilson menekankan bahwa administrasiharus dicirikan oleh adanya keterbukaan; (4) isu kompromi, menurut Weber, dalam membentuk kebijakan negara, kompromi merupakan halyang jelek, sementara menurut Wilson, seluruh reformasi dan kebijakan administrasi harus didasarkan pada kompromi”

Page 3: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

310Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

Secara teoritis, perkembangan managerialisme itumulai bergerak di negara-negara seperti Inggris, USAdan New Zealand, yang kemudian lebih dikenalsebagai “New Public Management” (NPM). KelahiranNPM merupakan sebuah gerakan intelektual yangpada dasarnya dalam rangka pembaharuanpengelolaan administrasi publik itu sendiri. Terkaitdengan gerakan NPM ini, sesungguhnya banyak halpenting yang digagas untuk pembaharuanadministrasi publik, seperti kompetisi pemerintahdan swasta dalam penyediaan pelayanan publik3,insentif mekanisme pasar untuk menghilangkanpatologi birokrasi, alternatif pelayanan yang lebihluas dengan mengurangi monopoli, menyediakanpelayananan publik yang responsif, dan lain-lain.Sementara doktrin yang dipergunakan adalahpemanfaatan pada managemen yang profesional,penekanan pada indikator kinerja sebagai kriteriautama, penekanan pada kontrol output, pergeseranpelayanan pada unit-unit yang lebih kecil, penekanankompetisi yang lebih tinggi, penekanan pada gayasektor swasta dan penghematan serta akuntabilitasyang lebih baik dari birokrasi pemerintah dengandesentralized management (Acompo, 1998; Reichard,2001).

Berbagai karakteristik mengenai NPM tersebutcenderung mengarah pada suatu ikhtiar untukmeningkatkan citra dan pengelolaan administrasipublik dengan mengadopsi dan mengaplikasiberbagai prinsip-prinsip manajemen sektor swastauntuk diterapkan ke dalam proses pengelolaanadministrasi publik. Sehingga NPM dipandangsebagai pendekatan dalam administrasi publik yangmenerapkan pengetahuan dan pengalaman yangdiperoleh dalam dunia manajemen bisnis dandisiplin yang lain untuk memperbaiki efisiensi,efektivitas dan kinerja pelayanan publik padabirokrasi modern (Vigoda, 2003). Sementara terkaitdengan upaya untuk melibatkan peran sertamasyarakat dalam kultur yang lebih egaliter danpartisipatif terlihat sangat minim atau bolehdikatakan masih gamang, meskipun telah ada nilaiatau prinsip yang mengarah pada upaya untukmembuka ruang tersebut, yakni doktrin untukmenjamin adanya kinerja, akuntabilitas dan kontrolterhadap administrasi publik dengan desentralizedmanagement (Acompo,1998) dan orientasi padapelayanan publik (public service orientation) yangmenekankan pada kualitas, misi dan nilai-nilai yanghendak dicapai oleh organisasi publik denganmemberikan perhatian yang lebih besar kepadaaspirasi, kebutuhan dan partisipasi ‘user’ dan wargamasyarakat serta akuntabilitas (Ferlie, Ashburner,Flitzgerald, dan Pettigrew, 1997).

Kekurangseriusan NPM dalam memperhatikannilai partisipasi dan/atau pendekatan partisipasidalam administrasi publik, sementara lebihmenekankan pengaplikasian nilai-nilai dalam sektorswasta, mendapat kritik yang cukup serius. Hal itudikarenakan oleh pilihan terhadap pengintroduksiannilai-nilai dalam sektor swasta dinilai menyebabkanterjadinya ketimpangan dalam praktik pelayananbirokrasi pemerintah bagi masyarakat karena lebihmendahulukan kewirausahaan daripada hak-hakmasyarakat sebagai pemilik kedaulatan. OrientasiNPM yang melihat masyarakat sebagai customersemata-mata, dianggap kurang relevan denganprinsip-prinsip demokrasi yang ingin ditegakkandalam reformasi birokrasi pemerintahan, terkaitpraktik administrasi publiknya. Sehingga lahirlahkonsep baru dalam perkembangan ilmu administrasipublik, yaitu New Public Service (NPS) yang digagasoleh Denhardt dan Denhardt (2003).

Perbedaan yang dominan dari paradigma NPMdan NPS sebetulnya terletak pada bagaimanabirokrasi pemerintahan memandang masyarakatnya.Dalam NPM, masyarakat hanya dilihat sebagaicustomer yang harus dilayani dengan baik, sedangkandalam NPS masyarakat dilihat sebagai owner, yangempunya negara sehingga dalam tataran negara yangdemokratis dia berhak, tidak hanya dilayani dengansebaik-baiknya akan tetapi juga menentukan jenispelayanan, berpartisipasi dalam menyediakanpelayanan, serta mengawasi bagaimana pelayanantersebut diberikan.

Disamping itu, pendekatan NPM cenderung lebihmengaitkan negara (state) dengan pasar (market)semata. Secara eksplisit, NPM menekankan padaadanya dominasi preferensi individu terhadappenyediaan barang dan jasa publik. Padahal, diakuibahwa pemerintah yang modern, sesungguhnyabukan sekedar menyangkut upaya untuk efisiensisemata, tetapi juga mempertimbangkan sebuah relasipertanggungjawaban (accountability) antara negaradan pemerintah dengan warga negaranya. Artinya,warga (citizen) tidak diperlakukan sebagai pelanggandan konsumen (customer and consumer) tetapi lebihsebagai warga negara (as citizen) yang memiliki hakuntuk meminta pertangungjawaban pemerintah atastindakan yang diambilnya atau atas kegagalan dalammelaksanakan kewajibannya. Warga negara jugamemiliki hak untuk mendapatkan perlindunganakan hak-haknya, didengar suaranya, sekaligusdihargai nilai atau preferensinya.

Dengan mempertimbangkan argumentasi di atasdan menyadari bahwa kedudukan warga negaraadalah penting dalam praktik penyelenggaraanadministrasi publik, serta didorong oleh dinamikaperkembangan sistem pemerintahan yang

3. Pelayanan publik dalam konteks ini dipahami tidak sekedar pemberian layanan barang dan jasa, seperti dalam pelayanan perijinan, tetapilebih luas, yakni dalam memproduksi kebijakan, melaksanakan kebijakan, memberikan pelayanan barang dan jasa, memediasi, dan sebagainya.Atau singkatnya menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam bentuk pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat.

Page 4: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

311 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

demokratis, yang membawa nilai-nilai fundamentalyang mendudukan warga negara sebagai pemegangkedaulatan, maka implikasi logis dari hal tersebutadalah bahwa pemerintahan harus dibangun darirakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government fromthe people, by the people and for the people). Denganperkataan lain, pemerintahan harus dibangundengan cara-cara atau nilai-nilai yang demokratis.

Semangat tersebut menginspirasi dan menjadialasan mendasar bagi Denhardt and Denhardt (2003)untuk mengadopsi nilai tersebut dalam praktikpenyelenggaraan administrasi publik bagimasyarakat. Denhardt and Denhardt mengatakanbahwa “public servants do not deliver customer service,they deliver democracy.” Yang jika dimaknai berartibahwa para pegawai pemerintahan tidak bekerjauntuk melayani pelanggan tetapi lebih untukmewujudkan nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu,hal penting dan substansial yang perlu dipegangteguh dan menjadi perhatian utama dari parapegawai pemerintahan adalah bahwa ketikamenyelenggarakan pemerintahan merekaseharusnya lebih mengutamakan pelayanan kepadamasyarakat secara demokratis, yakni adil, merata,tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel, dan bukanmenjalankan pemerintahan seperti layaknya sebuahperusahaan milik swasta.

Menilik argumentasi tersebut di atas makatuntutan bagi pemerintah dan birokrasinya adalahmelakukan perubahan pendekatannya kepadamasyarakat dalam proses penyelenggaraanpemerintahan. Pendekatan yang selama inidilakukan pemerintah dan birokrasinya yangcenderung pada penggunaan pendekatan yangbersifat telling, yakni suka memberi perintah danmendikte masyarakat, diubah pendekatannyadengan menggunakan pendekatan yang bersifatlistening, yakni mau mendengarkan keinginan dankebutuhan masyarakat. Kemudian pemerintah danbirokrasinya yang biasanya mengutamakanpendekatan yang bersifat steering, yakni sukamengarahkan dan memaksakan masyarakat, diubahmenjadi sebuah pendekatan yang lebihmengutamakan pendekatan yang bersifat serving,yakni bahwa pemerintah dan birokrasinya harusmau merespons dan melayani apa yang menjadikepentingan dan harapan masyarakat padaumumnya, bukan pada kepentingan pribadi,golongan atau kelompok tertentu saja. Bahkan tidakdiperkenankan bila dalam praktik penyelenggaraan

administrasi publik dipergunakan gaya mengelolaadministrasi publik dengan menggunakan gayashadow democracy4 menurut pandangan Walter Weyl(dalam Keban, 2008). Karena gaya pengelolaanadministrasi publik yang demikian itu akanmembawa masyarakat pada kesengsaraan dankemelaratan dalam kehidupannya.

Sebaiknya, peran administrasi publik yang sangatvital dalam dinamika sistem kenegaraan harusnyamenjadi sebuah instrumen negara yang mampumembantu masyarakat untuk dapat berdaya(empowering) dan menciptakan demokrasi, sepertiyang dikatakan Cleveland (dalam Keban, 2008, 16)bahwa “peran administrasi publik sangat vital dalammembantu memberdayakan masyarakat danmenciptakan demokrasi.” Artinya bahwaadminsitrasi publik yang orientasinya adalahmemberikan pelayanan kepada masyarakat harusnyamemberikan kemanfaatannya bagi masyarakat.Untuk mencapai hal tersebut maka pemerintah dalammengelola administrasi publik perlu melakukanpeningkatan profesionalismenya, menerapkan teknikefisiensi dan efektivitasnya, dan lebih sempurna lagijika pemerintah dapat mencerahkan masyarakatuntuk menerima dan menjalankan sebagian daritanggung jawab administrasi publik, sehinggaterwujud apa yang dikonseptualisasikan olehCleveland (dalam Martin, 1989) sebagai organizeddemocracy5. Sebuah konsep yang sejalan dengangagasan yang dikemukakan oleh Denhardt andDenhardt (2003) yang melihat bahwa administrasipublik, melalui pegawainya berperan memberikanatau menciptakan demokrasi. Bahkan menurutgagasan Rondinelli (2007)6 peran pemerintah harusdiarahkan pada upaya untuk melayani masyarakatguna mencapai democratic governance yang antara laindilakukan dengan pendekatan partisipasi danpemberdayaan bagi masyarakat.

Dengan orientasi pengelolaan administrasi publikyang demikian itu, maka pemerintah danbirokrasinya yang modern dan demokratis adalahpemerintahan yang dijalankan dengan menyertakanpartisipasi stakeholders, yaitu aktor-aktor di luarpemerintah dan birokrasinya, baik itu sektor swastamaupun masyarakat untuk terlibat aktif dalam tatakelola penyelenggaraan pemerintahan untukmencapai tujuan-tujuannya, secara khusus bagikemaslahatan masyarakat. Para stakeholders tersebutterlibat secara aktif bahkan proaktif untukmemikirkan, memutuskan, mengimplementasikan

4. Terminologi ini dimaksudkan bahwa hanya orang-orang kaya sajalah yang terus memerintah seakan mendapat hak istimewa sehinggaadministrasi publik cenderung menyengsarakan rakyat banyak.

5. Konsep tersebut mengandung makna bahwa demokrasi dapat diorganisir sedemikian rupa sehingga peran masyarakat dalam penyelenggaraannegara bisa diperluas untuk ikut menangani sektor publik, dan tidak hanya sekedar ikut berpartisipasi secara konvensional dalam pemilu ataupengambilan keputusan.

6. Rondinelli (2007) dalam tulisannya “Governments Serving People: The Changing Role of Public Administration in Democratic Governance“dalam Public Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens“ mengatakan bahwa disamping partisipasi danpemberdayaan adalah cara yang dilakukan untuk mencapai democratic governance, hal-hal berikut juga menjadi perhatian, yakni inovasi,penerapan prinsip-prinsip good governance, pemanfaatan teknologi, penguatan institusi-institusi publik, pengembangan kapasitas,desentralisasi pemberian pelayanan dan kemitraan sektor publik dan swasta.

Page 5: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

312Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

sekaligus mengawasi dan menilai serta menentukankinerja pemerintah dan birokrasinya. Melalui prosestersebut, pada akhirnya dapat melahirkan sebuahruang yang cukup luas dan sama untuk salingmelengkapi guna masing-masing stakeholdersmenetapkan voice dan choicenya untuk kepentinganpublik yang merupakan tujuan kegiatan administrasipublik. Nuansa tersebut diasumsikan akanmembawa atau menghasilkan sebuah perasaansaling memahami, saling memberi dan menerima,serta saling bertanggung jawab atas berbagai kegiatandalam administrasi publik. Dengan demikian, padaakhirnya tugas pemerintah dan birokrasinya akanmenjadi lebih ringan, lebih mudah dan lebih terfokuskarena didukung oleh berbagai pihak yangmerupakan bagian yang tak terpisahkan dalam tatakelola pemerintahan dan negara. Sehinggapemerintah dan birokrasinya tidak perlu lagimendominasi semua kekuasaan yang harusdijalankan semata-mata melalui sistem ataumekanisme kontrol dan perintah (command and controlmechanism).

Melalui kondisi yang demikian itu makapemerintah dan birokrasinya akan lebih terarah padatugas utamanya melaksanakan tanggungjawabuntuk melayani dan memberdayakan masyarakat.Dengan demikian, pemerintah dan birokasinya akanmenjadi lebih terfokus, dan pada akhirnya bermuarapada terciptanya pemerintahan yang efektif danefisien serta berkinerja lebih baik. Bahkan lebihdaripada itu, bahwa melalui cara atau pendekatanyang melibatkan secara aktif berbagai stakeholders,terutama masyarakat sebagai pemegang kedaulatan,dapat dipastikan bahwa rakyat menjadi merasa“dimanusiakan” atau dihargai sehingga pemerintahdan birokrasinya akan benar-benar menjadi milikrakyat. Hal tersebut senada dengan pemikiranDenhardt dan Denhardt (2003) yang mengatakanbahwa “...with the citizens at the forefront, the empashisshould not be placed on either steering or rowing thegovernmental boat, but rather on building publicinstitutions marked by integrity and responsiveness.” Yangdimaknai bahwa dengan menempatkan warganegara di posisi paling depan, berarti bahwa bebanpada pemerintah akan berkurang untukmengarahkan atau menjalankan sendiri tugas-tugaspemerintahan, melainkan diletakkan pada upayamembangun institusi publik yang sarat dengan nilaiintegritas dan responsivitas. Artinya bahwa begitu

pentingnya posisi masyarakat maka sudah menjadikewajiban pemerintah untuk meletakkan merekadalam penyelenggaraan pemerintahan bukansebagai obyek semata, tetapi sebagai subyek yangberada di baris depan untuk mengarahkan danmenjalankan pemerintahan.

Penekanan seperti ini dicetuskan oleh Denhardtand Denhardt (2003) untuk mengingatkan kitakembali bahwa tujuan kegiatan administrasi publikadalah untuk kepentingan publik. Dan supayapemerintah dan birokrasinya dapat mengetahuisesungguhnya kepentingan publik tersebut makaadministrasi publik perlu dijalankan secarademokratis. Yang berarti bahwa pemerintah danbirokrasinya harus memberi ruang untuk masyarakatmengekspresikan aspirasi dan kebutuhannya. Sebabjika tidak demikian maka apa yang dikerjakan olehpemerintah dan birokrasinya seringkali tidak sejalandengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Olehkarena itu, Denhardt dan Denhardt (2003)menegaskan bahwa kepentingan publik7 harusdidefinisikan sebagai shared values, yaitu nilai-nilaiyang disepakati bersama oleh masyarakat bukan olehelite tertentu karena pada titik ini, idealitaskepentingan publik itu dapat terwujud sesuaiharapan dan kebutuhan mereka.

Persoalan kemudian bahwa idealitas kepentinganpublik itu tidak dapat terwujud atau melahirkanmasalah dalam implementasinya. Itu dikarenakansecara operasional terformulasikan melalui suatuproses yang seringkali tidak mencerminkan aspirasiatau kepentingan publik itu sendiri. Tidak jarang kitatemui dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan,kepentingan publik itu merupakan cerminan darikepentingan para wakil rakyat, pengambilkeputusan dan/atau para pemilik modal. Alhasil,institusi-institusi publik seringkali dalam praktikpenyelenggaraan pemerintahan mengatasnamakankepentingan publik ketika mereka hendakmemutuskan sesuatu, tetapi yang sesungguhnyaterjadi lebih karena didorong oleh kepentinganmereka sendiri dan tekanan pihak-pihak tertentu.Sehingga pada tataran inilah, persoalan belumoptimalnya upaya untuk mensejahterakanmasyarakat dimulai. Oleh karena itu, Denhardt andDenhardt (2003) menegaskan bahwa governmentshouldn’t be run like a business, it should be run like ademocracy. Yang dimaknai sebagai pemerintahseharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah

7. Kepentingan publik memang merupakan sasaran utama dari kegiatan administrasi publik, tetapi harus diketahui juga bahwa kepentinganpublik itu sendiri sering menimbulkan masalah karena ada ketidakjelasan dalam tataran konseptualnya seperti yang diungkapkan olehDenhardt dan Denhardt (2003) dalam bukunya “The New Public Services: Serving, not Steering“ bahwa ada yang mengartikan sebagaikepentingan yang dirumuskan oleh pembuat kebijakan yang dipilih (elected policy makers) sebagaimana terdapat dalam Old PublicAdministration (klasik). Yang artinya bahwa kepentingan publik itu tidak harus berasal dari masyarakat secara langsung, tetapi dapatdiusulkan oleh wakil-wakilnya, atau pejabat publik yang ditunjuk untuk memutuskannya. Akibatnya, banyak masyarakat yang kecewaketika apa yang diputuskan itu tidak sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan mereka. Ada juga yang melihat bahwa kepentingan publik itusebagai suatu konsep yang tidak relevan lagi dalam administrasi publik (pendapat kaum abolitionist) dalam NPM karena telah digantikanoleh koalisi dari kepentingan khusus yang menang. Hal itu dapat dimengerti karena diterimanya prinsip kompetisi dan kewirausahaan sertagaya bisnis swasta kedalam kepemerintahan. Dan yang terakhir seperti yang digambarkan di atas, kepentingan publik adalah shared values.Apa yang secara kolektif diinginkan atau dibutuhkan masyarakat, itulah yang disebut sebagai kepentingan publik.

Page 6: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

313 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

perusahaan tetapi harus dijalankan lebih untukmelayani masyarakat secara demokratis.

Orientasi pemikiran Denhardt and Denhardt(2003) yang tertuju pada penciptaan administrasipublik yang partisipatif dan demokratis, yang lebihdikenal sebagai NPS tersebut adalah sesuatu yanglogis terjadi karena bila mencermati landasan teoriyang mendasari terbangunnya paradigma NPSmerupakan teori-teori yang menekankan nilai-nilaidemokratis dan partisipasi warga negara. Teori yangdimaksud adalah pertama, theories of democraticcitizenship; kedua, models of community and civil society;ketiga, organizational humanisme and the new publicadministration; dan keempat, post-modern publicadministration.

Dalam bingkai theories of democratic citizenship,warga negara tidak dipandang hanya status legalnya,yakni hak dan kewajibannya saja, tetapi juga dariresponsibility-nya terhadap berbagai persoalan yangterkait dengan berbagai isu yang ada dalam dinamikakehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegarakarena masyarakat merupakan bagian bahkanmenjadi unsur fundamental dalam sebuah negaraatau komunitas politik. Dalam posisi yang demikianitu maka sudah menjadi keharusan bagi masyarakatuntuk terlibat dalam proses penyelenggaraanpemerintahan, bukan untuk memenangkankepentingan dirinya sendiri dan/atau golongannya,tetapi demi kepentingan masyarakat banyak. Dantugas pemerintah dan birokrasinya dalam konteksini adalah melakukan pemberdayaan bagimasyarakat agar dapat menjalankan perannyaseoptimal mungkin dalam proses penyelenggaraanpemerintahan.

Sementara dalam kerangka teori models ofcommunity and civil society ditandaskan bahwadengan berbagai fenomena yang muncul dalammasyarakat yang menunjukkan bahwa adanyakemerosotan nilai-nilai sosial bahkantermarginalisasinya masyarakat sebagai dampak dariadanya berbagai paham seperti individualisme,kapitalisme, kemajuan teknologi dan keinginanmasyarakat itu sendiri untuk menjadi masyarakatyang lebih human, maka teori ini menekankan perluadanya visi “kebaikan bersama” (pro bono publico)yang menjadikan sebuah sistem sosial dapat menjadilebih hidup dan berperan lebih baik. Dalam kerangkatersebut, nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalamkomunitas masyarakat adalah kepedulian, rasapercaya, kerjasama yang terikat kuat oleh sebuahsistem yang efektif, dimana dikehendaki agarpemerintah dan birokrasinya berperan penting dalammembangun komunitas dan civil society yang kuatyang mendorong masyarakat untuk dapatberpartisipasi aktif dalam proses penyelenggaraanpemerintahan.

Sedangkan terkait dengan organizationalhumanisme and the new public administration, orientasi

teori ini sesungguhnya merupakan sebuah bentukkritik terhadap penerapan pendekatan hirarkitradisional yang membatasi perilaku manusiadengan mengutamakan mekanisme kontrol danperintah. Untuk menjadi organisasi publik yangefektif dan efisien dan berpihak kepada masyarakat,maka perlu dilakukan pereduksian mekanismekontrol dan perintah, dan memberikan ruang yangbesar bagi partisipasi semua pihak, baik yang ada didalam organisasi maupun di luar organisasi publik.Selain itu, teori ini mengedepankan beberapa nilaiyang perlu diintroduksi oleh organisasi publik, yakni:keadilan, persamaan, kejujuran, kepekaan, tanggungjawab dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut dianjurkanuntuk diaktualisasikan secara tepat dan benar dalamorganisasi publik, jika menghendaki organisasipublik yang humanistik dan berpihak padamasyarakat.

Selanjutnya, terkait dengan teori post-modern publicadministration, perhatian NPS terhadap teori ini lebihkarena penegasian terhadap pengaplikasianpendekatan positivistik dalam administrasi publikyang menilai administrasi publik bebas nilai danhidup dalam fakta-fakta yang tampak di permukaansaja. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwaadministrasi publik tidak sekedar berlandaskan padafakta-fakta yang tampak di permukaan, namunmenyertakan nilai-nilai yang sering tidak kasat mata.Artinya bahwa administrasi publik tidak bebas nilai.Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendekatanalternatif dalam administrasi publik yang lebih pekaterhadap sistem nilai, menemukan makna yangsesungguhnya di balik kenyataan faktual,pemanfaatan emosi dan perasaan dalam hubungan-hubungan antar manusia agar mampumengembangkan rasa empati dan akhirnya mampumengambil tindakan atau respons yang efektif. Halseperti itu semakin penting karena dalam tata kelolakepemerintahan (governance) akan menuntut lebihdialog (discourse) yang tulus dan terbuka bagi semuapihak. Oleh karena aneka permasalahan publik akanlebih tepat diatasi melalui pendekatan dialogdaripada pendekatan rational atau positivisme.

Semangat yang dibawa oleh NPS sebagaimanadiuraikan sebelumnya, pada dasarnya tidak jauhberbeda dengan tuntutan perlunya diwujudkanpartisipatory governance atau democratic governance yangterus menguat dan telah menjadi paradigma baruadministrasi publik di masyarakat global dewasa ini(Dwiyanto, 2004). Perubahan itu sebetulnya diawalidari adanya pergeseran-pergeseran pemikiran dalammemandang peran pemerintah dan birokrasinyadalam proses penyelenggaraan negara. Pemerintahtelah dipandang sebagai bukan aktor yang dominandan mendominasi keseluruhan aktivitaspenyelenggaraan negara dalam melayanikepentingan publik. Hal itu dapat terlihat juga dalampergeseran paradigma yang dielaborasi sebelumnya.

Page 7: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

314Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

D. ORIENTASI PARADIGMA PENYELENG-

GARAAN NEGARA: GOVERNMENT TOGOVERNANCEDalam aras perubahan tersebut, pada akhirnya

membawa orientasi paradigma penyelenggaraannegara dari perspektif government menuju governance8.Yang dalam perkembangannya menjadi sebuahparadigma baru dalam administrasi publik, yangmencandra bahwa urusan dan kepentingan publikbukan merupakan urusan pemerintah semata tetapijuga urusan pihak non pemerintah dan masyarakatitu sendiri.

Donald Kettl (2002) berpandangan bahwatantangan yang dihadapi oleh birokrasipemerintahan (Amerika) adalah yang berkenaandengan kapasitas, yaitu mengembangkan sistem dansumber daya manusia yang mampumengintegrasikan kolaborasi baru (new collaboratives),dengan membangun sistem horisontal, untukmereduksi dominasi sistem tradisional yang vertikal,sistem fungsional dan terspesialisasi yang terus-menerus mendominasi birokrasi. Demikian jugaAgranoff dan McGuire (2003) dan Box (1998)sependapat bahwa pemerintah harus memadukankapasitas yang dimilikinya dengan kapasitas pihaklain seperti warganegara (citizens) dan berbagai aktornon pemerintah agar menjadi efektif dalammemecahkan rumitnya masalah publik yang sudahberlangsung lama. Hal senada disampaikan olehGiddens (1998) bahwa reformasi terhadap tatapenyelenggaraan pelayanan publik danpembangunan hendaknya lebih diarahkan padaupaya membangun governance dari pada sekedargovernment.

Menyimak semangat dan nuansa substansi dariparadigma governance tersebut, tergambar jelas bahwatata kelola kepemerintahan itu perlu dilakukandengan bentuk kerjasama dan kolaborasi yang salingmelengkapi, sinergi dan saling mendukung. Sehinggapada konteks itulah nilai atau pendekatan partisipasimenjadi hal yang penting untuk dilakukan dalamtata kelola kepemerintahan. Keterlibatan semua pihakselain pemerintah menjadi keniscahyaan yang perludibangun dalam tata kelola kepemerintahan. Artinyabahwa dalam kacamata paradigma governance,pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidakselalu menjadi aktor yang paling menentukan bahkanmendominasi. Implikasinya, peran pemerintah danbirokrasinya sebagai pembangun dan penyedia jasapelayanan publik akan bergeser menjadi institusipendorong terciptanya lingkungan yang mampumemfasilitasi pihak lain di lingkungan komunitas

atau masyarakat dan sektor swasta untuk ikutberperan serta (partisipasi) melakukan upayatersebut.

Tetapi sesungguhnya, dalam perspektif governance,tuntutan perubahan peran pemerintah danbirokrasinya juga berarti pula tuntutan perubahanperan dari warga negara itu sendiri, yakni tuntutanyang lebih besar kepada warga negara untuk berdaya,mengurus dirinya sendiri, berpartisipasi danmemonitor akuntabilitas pemerintah danbirokrasinya. Singkat kata, idealitas untukmewujudkan governance yang baik, antara pemerintahdan masyarakat, dapat terjadi apabila dua pihak yangmemiliki kapasitas harus saling mendukung danmelengkapi. Warga negara harus menampilkan sikapdan perilaku yang bertanggungjawab, aktif,berpartisipasi dan memiliki kesadaran. Sementarapemerintah dan birokrasinya harus menampilkankarakteristik pemerintahan yang terbuka, tanggap,mau mendengar dan mau melibatkan (inklusif). Inilahfilosofi mendasar dari bangunan administrasi publikmenurut perspektif governance dalam mengatur danmengelola urusan atau kepentingan publik.

Menurut gagasan ADB (dalam Sumarto, 2009)governance agar dapat menjadi baik ataudikonseptualisasikan sebagai good governance, makabeberapa elemen utama berikut perlu diperhatikan,yakni: accountability, participation, predictability dantransparency. UNDP lebih jauh menegaskan bahwakarakteristik good governance, yaitu mengikutsertakansemua, transparan dan tanggung jawab, efektif danadil, menjamin adanya supremasi hukum, menjaminbahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomididasarkan pada konsensus masyarakat, sertamemperhatikan kepentingan mereka yang palingmiskin dan lemah dalam proses pengambilankeputusan menyangkut alokasi sumber dayapembangunan. Lengkapnya sebagaimanadituangkan oleh Rondinelli (2007) dalam tulisannya,sebagai berikut:1. Participation, yaitu bahwa semua orang harus

diberikan kesempatan untuk bersuara dalampengambilan keputusan baik langsung maupunmelalui institusi perantara yang mewakilikepentingannya.

2. Rule of law, yang dimaknai bahwa aturan hukumharus adil dan ditegakkan tanpa pandang bulu,termasuk hukum yang mengatur hak asasimanusia

3. Transparency, yakni adanya keterbukaan yangdibangun atas dasar kebebasan memperolehinformasi. Artinya berbagai proses, institusi dan

8. Sejatinya konsep governance harusnya dipahami sebagai suatu proses bukan struktur atau institusi. Governance juga menunjukkan inklusivitas.Kalau government dilihat sebagai “mereka”, maka governance adalah “kita”. Menurut Leach dan Percy-Smith (2001) dalam bukunya“Local Governance in Britain“ menegaskan bahwa government mengandung pengertian politisi dan pemerintahlah yang mengatur,melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang pasif. Sementara, governance meleburkanperbedaan antara ‘pemerintah” dan “yang diperintah”, kita semua adalah proses dari governance. Atau menurut pemikiran Rhodes (1997,dalam Keating M & Glyn Davis, 2000,4), the concept of governance is broader than government, covering non-state actors. ….governancein its broadest sense as the processes by which institutions, both state and non-state, interact to manage a nation’s affairs

Page 8: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

315 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

informasi harus dapat diakses oleh semua pihakyang berkepentingan. Dengan perkataan lainbahwa segala informasi yang berkaitan dengankepentingan publik dapat diperoleh secaralangsung dan tepat waktu bagi yangmembutuhkan.

4. Responsiveness, artinya bahwa institusi-institusipublik dan prosesnya yang ada harus diarahkanuntuk melayani para pemangku kepentingan ataustakeholders. Yang diinterpretasi lebih jauhbermakna bahwa institusi-institusi publik haruscepat dan tanggap dalam melayani pemangkukepentingan.

5. Consensus orientation, yang dimaknai bahwa upayauntuk memecahkan persoalan atau urusan publikharus dilakukan melalui suatu proses mediasiyang mengarah pada suatu konsensus bersamadan konsensus tersebut harus didasarkan padakepentingan umum atau berorientasi padakepentingan masyarakat yang lebih luas sertadiharapkan untuk patuh pada kebijakan danprosedur yang benar.

6. Equity, yang dimaknai bahwa semua individuatau warga negara memiliki kesempatan yangsama untuk memperbaiki dan mempertahankankesejahteraannya serta keadilan.

7. Efficiency and effectiveness, bahwa institusi-institusipublik dalam pengelolaan sumber daya publikyang ada harus dilakukan secara berdaya gunadan berhasil guna (best use).

8. Accountability, dimaknai bahwa para pengambilkeputusan di institusi publik, sektor publik, danorganisasi masyarakat madani (civil society) harusmampu mempertanggungjawabkan apa yangdilakukan dan diputuskan kepada publiksekaligus kepada pemangku kepentingan.

9. Strategic vision, bahwa para pemimpin danmasyarakat publik harus memiliki perspektif yangluas dan jangka panjang terhadap pembangunanmanusia, dengan memperhatikan latar belakangsejarah, dan kompleksitas sosial-budaya.

Disamping berbagai prinsip dan/atau nilai yangharus dipertimbangkan dalam upaya menciptakangood governance, tiga domain utama dalam perspektifgovernance diharuskan juga menjalankan berbagaiperan sehingga interaksi dan dinamika partisipasidi antara mereka dapat berjalan baik, yakni pertama,untuk negara (state), peran yang diharapkan agarberorientasi pada penciptaan sumber daya manusiayang berkualitas dan berkesinambungan denganmengintegrasikan upaya tersebut dengan dinamikakehidupan sosial, ekonomi dan perlindunganlingkungan, disertai juga dengan upaya melindungimasyarakat dari kerentanan, menciptakan komitmenpolitik, menyediakan infrastruktur, melakukandesentralisasi dan demokratisasi pemerintahan,memperkuat finansial dan kapasitas administrasipemerintah lokal. Selain itu, institusi pemerintah perlu

juga memberdayakan masyarakat denganmemberikan layanan untuk semua dan menjaminadanya peluang atau akses yang sama dan adil, baikdalam bidang sosial, ekonomi dan politik bagi semuamasyarakat. Semua peran tersebut akan tercapaiapabila institusi pemerintahan juga terbangun suatukondisi yang kondusif, dalam hal sistem dan proseslegislasi dan yudisial yang tepat, legal, terpercaya danefektif.

Kedua, untuk pihak sektor swasta (private sector),diharapkan agar dapat berperan untuk menciptakankondisi pasar yang kondusif bagi peningkatanproduksi barang dan jasa. Sehingga prosespembangunan bagi masyarakat dapat berjalandengan baik dan upaya untuk menciptakankesejahteraan masyarakat dapat lebih terjamin.

Ketiga, untuk pihak masyarakat (civil society)harapan kepada mereka adalah bahwa masyarakatdapat mampu atau berdaya dalam mengurus danmengelola berbagai permasalahan yangdihadapinya, sehingga kebergantungannya kepadapemerintah dan pihak swasta bisa diminimalisir.Selain itu, keberdayaan masyarakat juga dapatmenjadikan mereka mampu untuk berinteraksi ataumenjalin kerjasama dengan pihak swasta danpemerintah, disamping mampu memfasilitasi danmemobilisasi berbagai kelompok di dalam lingkunganmasyarakat itu sendiri untuk terlibat dalam aktivitassosial, politik dan ekonomi dalam prosespenyelenggaraan pemerintahan. Terkait dengan poinini maka masyarakat juga diharapkan untukmembangun organisasi masyarakat sipil yang baikdan profesional agar dapat menyalurkan partisipasipublik untuk mempengaruhi proses kebijakan publikdan proses pembangunan itu sendiri. Akhirnyadengan kondisi masyarakat sipil yang demikian itu,maka harapan terakhir bagi mereka adalah bisamenjadi aktor untuk melakukan check and balancesterhadap kekuatan negara dan swasta yangmerupakan unsur utama juga dalam perspektifgovernance.

Jadi, jika menyimak gagasan yang dikemukakanbeberapa pakar dalam buku dan tulisannya yangtelah dielaborasi panjang lebar di atas, kita kemudiandapat mensarikan bahwa pendekatan governancedalam ilmu administrasi publik merupakan suatuproses manajemen pemerintahan dalam mengelolasumber daya, termasuk sumber daya manusia,sumberdaya sosial dan sumber daya alam sertaurusan dan persoalan publik dengan melibatkanseluruh stakeholders dalam domain pemerintah,swasta dan masyarakat sipil yang bersifat dinamisdan berkesinambungan dengan menempatkanprinsip-prinsip atau nilai-nilai penting sepertiakuntabilitas, transparansi dan partisipasi dalamsetiap proses penyelenggaraan pemerintahan dannegara. Dengan penyimpulan tersebut, pada titik inikita semakin tegas dan jelas melihat bahwa nilaipartisipasi dan pendekatan partisipasi dalam

Page 9: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

316Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

administrasi publik adalah sesuatu yang semakindituntut dan penting untuk diintroduksi,diaplikasikan dan diaktualisasikan dalam praktikpenyelenggaraan administrasi publik gunamengurus dan mengelola urusan dan kepentinganpublik.

Sehingga tidak heran apabila kemudian dalamperkembangan-perkembangan tulisan dan/ataubuku yang dituangkan oleh beberapa pakaradministrasi publik belakangan ini melihat bahwatelah terjadi dinamika pergeseran makna (meaning)atau pemaknaan terhadap administrasi publik itusendiri, seperti yang dituangkan oleh Keban (2008,4-5) berikut:

“Variasi makna administrasi publik dapat dilihatdari persepsi orang tentang kata “administrasipublik” itu sendiri. Ada yang menterjemahkanadministrasi publik sebagai administration of publicatau administrasi dari publik, ada yang administrationfor public atau administrasi untuk publik, bahkan adayang melihatnya sebagai administration by public atauadministrasi oleh publik. Variasi terjemahan tersebutmenarik karena dapat menunjukkan suatu rentangankemajuan administrasi publik mulai dariadministrasi publik yang berparadigma tidakdemokratis sampai yang paling demokratis, atau dariyang tidak memperhatikan aspek pemberdayaanmasyarakat sampai ke yang benar-benarmemperhatikan pemberdayaan masyarakat. Istilahadministration of public menunjukkan bagaimanapemerintah berperanan sebagai agen tunggal yangberkuasa atau sebagai regulator, yang aktif dan selaluberinisiatif dalam mengatur atau mengambil langkahdan prakarsa, yang menurut mereka penting atau baikuntuk masyarakat karena diasumsikan bahwamasyarakat adalah pihak yang pasif, kurang mampu,dan harus tunduk dan menerima apa saja yangdiatur oleh pemerintah. Kemudian istilahadministration for public menunjukkan suatu konteksyang lebih maju dari yang pertama, yaitu pemerintahlebih berperanan dalam mengemban misi pemberianpelayanan publik (service provider). Dalam konteks inidiasumsikan bahwa pemerintah lebih responsif atautanggap terhadap apa yang dibutuhkan masyarakatdan lebih mengetahui cara terbaik untuk memberikanpelayanan publik kepada masyarakat. Meskipunkebutuhan publik merupakan sasaran utamakegiatan pemerintah namun pemerintah tidakberupaya memberdayakan publik. Selanjutnya, istilahadministration by public merupakan suatu konsepsiyang sangat berorientasi kepada pemberdayaanmasyarakat, lebih mengutamakan kemandirian dankemampuan masyarakat karena pemerintahmemberikan kesempatan untuk itu. Dalam hal ini,kegiatan pemerintah lebih mengarah pada“empowerment” yaitu pemerintah yang berupayamemfasilitasi masyarakat agar mampu mengaturhidupnya tanpa harus sepenuhnya tergantung terusmenerus kepada pemerintah. Akibatnya, masyarakat

dapat memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, mulaidari pemenuhan kebutuhan sampai padapelaksanaan dan penilaian hasil, sementarapemerintah lebih memainkan perannya sebagaifasilitator, dan dapat memfokuskan diri pada urusan-urusan negara yang bersifat strategis.”

Pandangan senada juga diungkapkan olehWarsito dalam orasi ilmiah pengukuhan gurubesarnya, yang berjudul: “Administrasi PublikIndonesia di Era Demokratisasi Lokal BagaimanaSemangat Kompatibilitas Menjiwai BudayaBirokrasi” berikut:

“Dalam perkembangan konsep Ilmu AdministrasiNegara, maka telah terjadi pergeseran titik tekan dariAdministration of Public di mana negara sebagai agentunggal implementasi fungsi negara/pemerintahan;Administration for Public yang menekankan fungsinegara/pemerintahan yang bertugas dalam publicservices; ke Administration by Public yang berorientasibahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsinegara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator,katalisator yang bertitik tekan pada putting thecustomers in the driver seat. Di mana determinasinegara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor atauaktor utama atau sebagai driving forces.” (dalamThoha, 2008, 52)

Mengacu pada pergeseran pemaknaan terhadapadministrasi publik sebagaimana dituangkan di atas,dapat diketahui bahwa dalam studi administrasipublik dewasa ini kecenderungan yang diharapkanadalah adanya keterlibatan aktif dari masyarakatdalam penyelenggaraan administrasi publik. Bahkandalam persepsi atau gagasan Goodsell (2006),administrasi publik dilihat sebagai suatu upayamenghasilkan integrated public governance, dimanasemua pihak yang terlibat dalam pemberianpelayanan kepada masyarakat diintegrasikanberdasarkan nilai legalitas, efisiensi, efektivitas,keadilan, keterandalan, transparansi, integritas danpartisipasi atau keterlibatan berbagai pihak agardapat mencapai kehidupan yang lebih demokratis,bahkan lebih dari itu yakni menjadi modal utamaterwujudnya kepercayaan publik (public trust) kepadapemerintah dan birokrasinya, sehingga padaakhirnya pemerintah lebih efektif untuk menjaminterwujudnya kesejahteraan dan kebaikan bersama.Sebagaimana dikatakan Ford Foundation, salah satulembaga yang menjadi pionir program governance,“pemerintah yang efektif bergantung pada legitimasiyang diperoleh dari partisipasi berbasis luas, keadilandan akuntabilitas.” (Sumarto: 2009, 5). Lebih spesifiklagi ditegaskan oleh Wamsley dan Wolf (1996) bahwapartisipasi masyarakat dalam administrasi publikmerupakan hal yang penting diaplikasikan dalampemerintahan yang demokratis (democraticgovernment).

Adapun, administrasi publik yang demokratisberkaitan dengan bagaimana mentransformasikanwarga dari obyek menjadi subyek, dari warga sebagai

Page 10: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

317 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

pemilih, konstituen atau klien menjadi warga sebagaipemilih, konstituen, klien dan partner (Sossin:2002;2).Sebagai subyek berarti warga menjadi stakeholders danaktor dalam proses administrasi publik, sedangkansebagai obyek maka warga cenderung menjadikonstituen dan marginal atau outside. Selain itu,mentransformasi warga dari obyek menjadi subyekberarti menempatkan warga sebagai fokus dansebagai stakeholders dan itu penting karena “citizensare the heart of democracy”, sejalan dengan hakikatdemokrasi yang didefinisikan sebagai government ofthe people, by the people, for the people.

Pemaknaan tersebut jika dibawa kedalam konteksadministrasi publik maka administrasi publikdemokratis dapat didefinisikan sebagai tindakan atauusaha administrator (birokrat) publik untukmemfasilitasi dan mengakomodasi partisipasi,responsivitas, transparansi dan akuntabilitas dalamproses administrasi, seperti yang dikemukakan olehRosenbloom (2005)9 bahwa administrasi publik yangdemokratis adalah administrasi publik yangmengakomodir nilai-nilai yang inheren dalamdemokrasi untuk dibawa kedalam proses dan praktikadministrasi publik.

Bagaimana menggambarkan argumentasitersebut, tulisan Little (1996) dalam bukunya“Thingking Government: Bringing Democratic Awarenessto Public Administration”, sangat gamblang dijelaskanbagi kita untuk memaknainya. Ia menandaskanbahwa konsepsi democratic public administration secarafilosofis mengakomodir tiga nilai penting dalamdemokrasi, yakni government of the people berartipemerintahan masyarakat akan membawa legitimasibagi administrasi publik, government by people berartibahwa pemerintahan masyarakat harus menjaminadanya representasi administrasi publik danakuntabilitas administrasi publik terhadapmasyarakat, dan government for the people bermakna

10. Beberapa penelitian yang telah dituangkan kedalam bentuk buku seperti yang ditulis oleh Hetifah Sj Sumarto (2009) “Inovasi, Partisipasidan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, jelas menunjukkan betapa di Indonesia, penerapan pendekatanpartisipasi sudah mulai digalakkan dengan serius di Pemerintahan Daerah, walaupun aktivitas itu didonasi oleh Lembaga Internasionalseperti ADB, UNDP, PBB dan sebagainya dan LSM Internasional, seperti NDI, PACT, CARE, dan lain-lain. Kemudian buku yang ditulisoleh Akhmad Sukardi (2009), “Partisipatory Governance dalam Pengelolaan Keuangan Daerah”, juga secara gamblang menjelaskanpendekatan partisipasi dalam proses pengelolaan keuangan daerah di Jawa Timur. Selain itu Khairul Muluk (2007) dalam bukunya“Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah: Sebuah Kajian Administrasi Publik dengan Pendekatan Berpikir Sistem” jugamengungkapkan betapa partisipasi masyarakat di pemerintahan daerah dalam konteks otonomi daerah saat ini menjadi hal yang penting,walaupun tidak mudah dicapai karena terdapat banyak persoalan yang menghambat.

11. Participatory governance (kepemerintahan yang partisipatif) adalah sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Archon Fung andElin Olin Wright (2001) dalam tulisannya “Deepening Democracy: Innovation in Empowered Participation Governance”. Kepemerintahanpartisipatif di sini dimaknai sebagai praktik pemerintahan yang partisipatif, dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam prosespengambilan kebijakan publik.

12. Participatory development (partisipasi dalam pembangunan) merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Gaventa dan Valderrama (1999,dalam Sukardi, 2009), di mana konsep tersebut lebih dihubungkan dengan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Yang lebihlanjut menurutnya merupakan sebuah konsep tradisional karena menekankan pemaknaan partisipasi sebagai partisipasi masyarakat ditingkat program dan proyek dalam skala mikro.

bahwa administrasi publik akan benar-benarmenjalankan kepentingan publik, bukan kepentinganbirokrasi. Argumentasi tersebut jika divisualisasikandalam sebuah bagan, dapat digambarkan ataudipetakan seperti pada Tabel 1.

E. PENUTUP

Menyimak rangkaian elaborasi yang dipaparkan,terlihat bahwa model baru keterlibatan ataupartisipasi masyarakat dalam pendekatanadministrasi publik atau praktik penyelenggaraandan pengelolaan administrasi publik telah menjadiinstrumen atau strategi utama untuk diaplikasikan.Dalam tataran praktis, itu telah terbukti denganmeluasnya penggunaan pendekatan partisipasidalam praktik penyelenggaraan administrasi publikdi berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesiadewasa ini, baik itu diterapkan di PemerintahanPusat maupun di Pemerintahan Daerah10.

Terkait dengan penggunaan pendekatanpartisipasi tersebut, yang merupakan konstruksi barudalam pemerintahan dan praktik administrasi publik,ada pakar yang menghubungkan partisipasi dengantata kelola kepemerintahan (governance) yangkemudian dikonseptualisasikan kedalam istilahparticipatory governance.11 Sementara ada pula yangmelihat dan menghubungkan partisipasi tersebutdengan proses pembangunan, terutama terkaitdengan peran pemerintah dan birokrasi sertamasyarakat dalam pembangunan, yang dikenaldengan istilah participatory development12. Meskipunpenggunaan konsep dan maknanya berbeda, tetapiruh yang menjiwai kedua konsep tersebut sama, yaknimembahas betapa pentingnya partisipasimasyarakat, baik itu dalam tata kelolakepemerintahan maupun dalam prosespembangunan.

Tabel 1: Hakekat demokrasi dan Administrasi Publik Demokratis

Hakikat Demokrasi

of the people

by the people

for the people

Hakikat Administrasi Publik Demokratis

Akuntabilitas & transparansi

partisipasi

responsivitas

Page 11: PANDANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK MENGENAI …

Pandangan Ilmu Administrasi Publik Mengenai Signifikansi PartisipasiMasyarakat dalam Penyelenggaraan Negara

:: Hendrikus Triwibawanto Gedeona

318Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 4 Desember 2010

REFERENSIBuku:

Box, Richard C. 1998. Citizen Governance. Thousand Oaks,CA: Sage Publications.

Davis, Glyn and Michael Keating. 2000. The Future ofGovernance. Australia: Allen & Ulwin.

Denhardt, J.V. and R.B.Denhardt. 2003. The New PublicService: Serving Not Steering. New York: M.E.Sharpe.

Ferlie, E., A.Pettigrew, L. Ashburner and L.Flitzgerald.1996. The New Public Management in Action. Oxford:Oxford University Press.

Fung,A. and E.O.Wright. 2001. Deepening Democracy:Innovations in Empowered Participatory Governance,Politics and Society.

Frederickson, H.G. 1999. The Spirit of Public Administration.San Fransisco: The Jossey-Bass PublicAdministration Series.

Little, Jhon H. 1996. Thingking Government: BringingDemocratic Awareness to Public Administration.Dalam Gary L. Wamsley and James F.Wolf (Ed).Refounding Democratic Public Administration: ModernParadoxes, Postmodern Challenges. Thousand Oaks,California: Sage Publications

Martin, D.W. 1989. The Guide to The Foundations of PublicAdministration. New York: Marcel Dekker, Inc.

Muluk, Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalamPemerintahan Daerah: Sebuah Kajian Administrasi Publikdengan Pendekatan Berpikir Sistem. Malang: LembagaPenerbitan dan Dokumentasi FIA-Unibraw.

Osborne, D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing Government:How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the PublicSector. Reading, MA: Harvard University Press.

Rosenbloom, D.H., & R.S. Kravchuk. 2005. PublicAdministration: Understanding Management, Politicsand Law in The Public Sector (Six edition). Singapore:McGraw Hill.

Santoso, Priyo Budi. 1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru:Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: RajawaliPress.

Simmons, Robert H.and Dvorin, Eugene P. 1977. PublicAdministration: Value, Policy and Change.Washingthon, DC: Alfred Publishing Co. Inc.

Steifel, M. and Woelfe, M. 1994. A Voice for the Excluded:Popular Participation in Development, Utopia or Necessity?London: Zed Books.

Sukardi, A,. 2009. Partisipatory Governance dalam PengelolaanKeuangan Daerah. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Sumarto, Hetifah Sj. 2009. Inovasi, Partisipasi dan GoodGovernance: 20 Prakarsa Inovasi dan Partisipasi diIndonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan OborIndonesia

Vigoda, E. 2003. New Public Management. Dalam JackRabin (ed), Encyclopedia of Public Administration andPublic Policy. New York: Marcel Dekker, Inc.

Jurnal dan Artikel:

Agranoff, Robert, and Michael McGuire. 1998. “Multi-Network Management: Collaboration and TheHollow State”, dalam Journal of Public AdministrationResearch and Theory 1 pp. 67-91.

Dwiyanto, Agus. 2004. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik:Dari Government ke Governance. Pidato PengukuhanGuru Besar UGM.

Goodsell, C.T. 2006. “A New Vision PublicAdministration”, dalam Public AdministrationReview, Jul/Agustus, 66, 4, Academic ResearchLibrary, pp. 623-635.

Kettl, Donald F. 2000.” The Transformation ofGovernance: Globalization, Devolution and RoleOf Government”, dalam Journal of PublicAdministration Review, Vol. 60. No.6, pp. 448-497.

Prasojo, Eko. 2009. Pergeseran dan Pengadopsian ParadigmaAdministrasi Negara dalam Kurikulum. Makalah dalamacara Diskusi Terbatas di STIA LAN Bandung.

Rondinelli, D.A. 2007. “Government Serving People: TheChanging Role of Public Administration inDemocratic Governance”, dalam PublicAdministration and Democratic Governance:Governments Serving Citizens. New York: UnitedNations: Economic and Social Affairs.

Sciller, Jim. 2009. “Belajar Berpartisipasi”. Dalam HetifahSj. Sumarto. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance:20 Prakarsa Inovasi dan Partisipasi di Indonesia. Edisi

Kedua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.