12
Pada penelitian tahap I dilakukan uji fisik berupa uji lipat dan uji gigit sedangkan uji organoleptik berupa uji skala hedonik terhadap lima parameter yaitu penampakan, aroma, rasa, warna dan tekstur. Tekstur Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air, lemak, protein dan karbohidrat (Fellows 1992). Kisaran nilai uji sensori skala hedonik untuk parameter tekstur berada pada 4,0-8,0 dengan spesifikasi produk ”biasa” sampai ”amat sangat suka”. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,67 dengan spesifikasi produk ”sangat suka”. Karagenan dapat meningkatkan daya mengikat air sehingga dapat memperbaiki tekstur produk (Keeton 2001). Selain itu kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak sehingga dapat digunakan sebagai pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Sedangkan nilai rata-rata terendah uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,53. Hal ini diduga karena penggunaan karagenan yang terlalu tinggi (konsentrasi 1%) mengakibatkan panelis kurang menyukai tekstur bakso yang dihasilkan. Menurut Keeton (2001), umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 %. Data hasil uji sensori skala hedonik parameter tekstur dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Histogram uji sensori skala hedonik tekstur

Pada Penelitian Tahap I Dilakukan Uji Fisik Berupa Uji Lipat Dan Uji Gigit Sedangkan Uji Organoleptik Berupa Uji Skala Hedonik Terhadap Lima Parameter Yaitu Penampakan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jghjghj

Citation preview

Pada penelitian tahap I dilakukan uji fisik berupa uji lipat dan uji gigit sedangkan uji organoleptik berupa uji skala hedonik terhadap lima parameter yaitu penampakan, aroma, rasa, warna dan tekstur. Tekstur Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air, lemak, protein dan karbohidrat (Fellows 1992). Kisaran nilai uji sensori skala hedonik untuk parameter tekstur berada pada 4,0-8,0 dengan spesifikasi produk biasa sampai amat sangat suka. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,67 dengan spesifikasi produk sangat suka. Karagenan dapat meningkatkan daya mengikat air sehingga dapat memperbaiki tekstur produk (Keeton 2001). Selain itu kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak sehingga dapat digunakan sebagai pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Sedangkan nilai rata-rata terendah uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,53. Hal ini diduga karena penggunaan karagenan yang terlalu tinggi (konsentrasi 1%) mengakibatkan panelis kurang menyukai tekstur bakso yang dihasilkan. Menurut Keeton (2001), umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 %.Data hasil uji sensori skala hedonik parameter tekstur dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Histogram uji sensori skala hedonik teksturBerdasarkan analisis ragam (Lampiran 9), pengaruh perlakuan penambahan karagenan dan kitosan berbeda nyata terhadap produk bakso ikan yang dihasilkan. Setelah dilakukan uji lanjut Tukey, perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %), A1B2 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0,1 %), A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0 %) dan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) berbeda nyata dengan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %). Penambahan karagenan dan kitosan memberikan pengaruh terhadap tekstur bakso ikan yang dihasilkan. Hal ini diduga karena karagenan dan kitosan memiliki kemampuan menghasilkan tekstur yang cukup baik. Penggunaan karagenan dimaksudkan untuk memperbaiki tekstur dan kekenyalan gel produk (Keeton 2001) dan kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik karena berfungsi sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987).Uji gigit Hasil uji gigit pada Tabel menunjukkan bahwa mutu produk bakso ikan terbaik adalah perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %), perlakuan A1B2 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0,1 %), perlakuan A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0 %), perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Perlakuan A1B1, A1B2, A2B1, A2B2 memiliki kekenyalan yang cukup kuat. Sedangkan perlakuan A3B1 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0 %) memiliki kekenyalan yang dapat diterima serta perlakuan A3B2 (karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) memiliki kekenyalan lemah. Hasil uji gigit bakso ikan pada perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) lebih rendah dibanding dengan perlakuan lain. Hal ini diduga akibat penambahan karagenan yang terlalu tinggi dan juga penambahan kitosan yang mengakibatkan bakso tersebut terlalu keras. Menurut Keeton (2001), umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % .Tabel Hasil uji gigit produk bakso ikan kurisiJenis sampel Mutu Keterangan

A1B1 7 Kekenyalan cukup kuat

A1B2 7 Kekenyalan cukup kuat

A2B1 7 Kekenyalan cukup kuat

A2B2 7 Kekenyalan cukup kuat

A3B1 6 Kekenyalan dapat diterima

A3B2 4 Kekenyalan lemah

Gambar 10. Histogram uji gigit penelitian tahap I

Sama halnya dengan uji lipat, nilai pada uji gigit bakso ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) menunjukkan nilai rata-rata tertinggi uji gigit yaitu sebesar 7,40 (Gambar 10) dengan sifat kekenyalan cukup kuat. Sedangkan rata-rata terendah uji gigit terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,97 dengan sifat kekenyalan dapat diterima. Hasil ini diduga akibat tekstur bakso ikan yang dihasilkan cukup baik sehingga apabila di gigit produk tersebut terasa kenyal. Selain itu dapat pula disebabkan karena produk bakso ikan yang dihasilkan memiliki protein pembentuk gel (protein miofibril) sehingga tekstur produk juga menjadi lebih baik. Protein miofibil memiliki kemampuan mengikat air dan lemak sehingga berperan penting dalam pembentukan gel, proses koagulasi dan peningkatan kekenyalan produk daging olahan (Wilson et al. 1981).

Penelitian tahap II Berdasarkan hasil penelitian tahap I, diperoleh produk terpilih yaitu bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Pada penelitian ini bakso ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan konsentrasi karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dibandingkan dengan bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 %.Hasil uji sensori Analisis sensori yang dilakukan pada penelitian tahap II ini adalah uji skala hedonik terhadap warna, penampakan, tekstur, rasa dan aroma. Analisis organoleptik adalah uji dengan menggunakan indera manusia, kadang-kadang disebut uji sensorik karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensori organ indera (Soekarto 1985).Tekstur Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air, lemak, protein dan karbohidrat (Fellows 1992). Nilai rata-rata tertinggi uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,33, sedangkan nilai rata-rata terendah uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan STPP 0,15 % sebesar 5,67. Menurut Anang (2006), penambahan sodium tripolifosfat dengan konsentrasi 0,1 % sampai 0,2 % saja sudah cukup bagus untuk meningkatkan kekenyalan bakso.

Hasil analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan pada produk bakso ikan ini meliputi uji lipat, gigit dan kekuatan gel.

Uji gigitMenurut Purnomo (1990), sifat gigitan pada sensor panel bersesuaian dengan daya potong atau daya iris. Data hasil uji gigit bakso ikan penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 17.

Nilai rata-rata tertinggi uji gigit terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 7,67. Hal ini diduga karena sifat reaktivitas kimia kitosan yang tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak sehingga mampu membentuk gel dan membentuk tekstur yang sangat baik (Brzeski 1987) dan penambahan karagenan dapat memperbaiki daya potong atau daya iris produk akhir daging olahan (Keeton 2001). Nilai rata-rata terendah uji gigit terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 7,60. Menurunnya kandungan air dalam bakso menyebabkan struktur matriks semakin kuat, sehingga kekerasan bakso semakin meningkat dan daya potong atau kemampuan menggigit bakso juga semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Indrarmono (1987) yang menyatakan bahwa kekerasan bakso ditentukan oleh tingkat kerapatan struktur matriks yang terbentuk. Jika semakin tinggi kerapatan struktur matriks maka semakin tinggi nilai kekerasan bakso.Kadar air Air merupakan bagian penting dari zat gizi yang baik (Harris dan Karmas 1989). Air dapat mempengaruhi tekstur, rupa maupun cita rasa bahan makanan. Kadar air merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan olahan. Semakin rendah kadar air, semakin lambat pertumbuhan mikroba sehingga bahan pangan tersebut dapat tahan lama (Winarno 1997). Data hasil uji proksimat kadar air yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Histogram hasil uji proksimat kadar air penelitian tahap II Nilai rata-rata tertinggi kadar air terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 68,76 %. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Nilai rata-rata kadar air bakso ikan pada perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) lebih rendah dibandingkan dengan bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15%. Hal ini diduga karena kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak (Brzeski 1987). Selain itu penambahan kitosan dapat menghambat aktivitas kerja mikroorganisme dalam menguraikan protein yang menyebabkan pembebasan air terikat dari suatu produk. Jika kadar air pada produk bakso ikan terlalu tinggi akan mengurangi keawetan produk karena bakteri dan jamur mudah berkembang biak (Fardiaz 1989).

Nilai pH Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui sifat suatu produk pangan apakah bersifat asam, netral atau basa. Pengamatan terhadap pH adonan bakso penting dilakukan karena perubahan pH bakso ikan dapat menentukan kualitas bakso yang dihasilkan. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin dan beku dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11.Tabel 10. Nilai pH selama penyimpanan suhu dinginMinggu ke- A2B2 STPP 0,15 %

0 6,67 6,81

1 6,12 6,48

2 5,94 6,33

3 5,68 5,56

Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin pada perlakuan A2B2 dan STPP 0,15 % mengalami penurunan (semakin asam). Pada minggu ke-0, nilai pH bakso ikan dengan perlakuan A2B2 sebesar 6,67 dan terus mengalami penurunan hingga minggu ke-3 menjadi 5,68. Nilai pH bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu ke-0 sebesar 6,81 dan terus mengalami penurunan hingga minggu ke-3 menjadi 5,56. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin

Tabel 11. Nilai pH selama penyimpanan suhu beku

Minggu ke- A2B2 STPP 0,15 %

0 6,67 6,81

1 6,67 6,78

2 6,65 6,76

3 6,63 6,71

4 6,61 6,69

5 6,60 6,62

6 6,58 6,55

7 6,51 6,49

8 6,42 6,38

Selama penyimpanan suhu beku nilai pH bakso ikan dengan perlakuan A2B2, pada minggu ke-0 sebesar 6,67 dan terus mengalami penurunan hingga minggu ke-8 sebesar 6,42. Sedangkan nilai pH bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % minggu ke-0 sebesar 6,81 dan terus mengalami penurunan hingga minggu ke-8 sebesar 6,38. Nilai pH bakso ikan dengan perlakuan A2B2 dan STPP 0,15 % dapat dilihat pada Gambar 25.

Gambar 25. Nilai pH selama penyimpanan suhu beku Penurunan nilai pH pada bakso ikan diduga karena dilakukannya penyimpanan. Nilai pH pada penyimpanan suhu dingin lebih cepat menurun dibandingkan dengan nilai pH bakso ikan yang disimpan pada suhu beku. Hal ini terjadi karena perbedaan suhu yang digunakan. Suhu beku lebih rendah dibandingkan dengan suhu dingin, sehingga pada suhub beku aktivitas bakteri merusak produk bakso ikan dapat ditekan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel (Glicksman 1983).

Hasil analisis mikrobiologi (Total plate count) Penyebab pembusukan yang paling utama adalah mikroorganisme dan berbagai perubahan enzimatis maupun non enzimatis yang terjadi setelah panen, penyembelihan atau pengolahan (Buckle 1987). Tujuan penyimpanan di bawah kondisi beku adalah untuk mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi produk dari kerusakan dalam jangka waktu yang lama (Sikorski dan Pan 1994). Tujuan penyimpanan atau pengawetan ikan menggunakan suhu dingin (-1 sampai 5 C) adalah untuk menghambat kegiatan mikroorganisme dan proses-proses kimia serta fhisis lainnya yang dapat mempengaruhi atau menurunkan kesegaran (mutu) ikan (Moeljanto 1992). Jumlah mikroorganisme pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu beku ditunjukkan oleh Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah koloni mikroorganisme pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu beku

Lama penyimpanan Perlakuan

(minggu) A2B2 (koloni/cawan) STPP 0,15 % (koloni/cawan)

0 5 X 10110 X 101

1 1,8 X 1021,92 X 102

2 2,1 X 1022,8 X 102

3 2,9 X 1023,25 X 102

4 4,05 X 1023,55 X 102

5 5,05 x 1029 x 102

6 1,3 X 1031,45 X 103

7 1,5 X 1031,57 X 104

8 2,65 X 1032,06 X 104

Keterangan : A2B2 : Karagenan 0,5 % dan Kitosan 0,1 % STPP 0,15 % : Sodium tripoliphosphat 0,15 %

Gambar 26. Grafik logaritmik bakteri pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu beku

Jumlah koloni mikroorganisme pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada suhu beku dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan mikroorganisme pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4 cenderung stabil tetapi pada minggu ke-5 sampai minggu ke-8 cenderung meningkat (Gambar 26). Pertumbuhan mikroorganisme pada bakso ikan dengan perlakuan penambahan STPP 0,15 % selama penyimpanan suhu beku dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4 cenderung stabil tetapi pada minggu ke-5 sampai minggu ke-8 cenderung meningkat (Gambar 26). Secara umum kenaikan jumlah koloni bakteri yang terjadi selama penyimpanan, karena pertumbuhan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh waktu (Gaman dan Sherington 1992).

Tabel 13. Jumlah koloni mikroorganisme bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu dinginLama penyimpanan Perlakuan

(minggu) A2B2 (koloni/cawan) STPP 0,15 % (koloni/cawan)

0 5 X 10110 X 101

1 3,15 X 1023,0 X 103

2 1,49 X 1033,35 X 103

3 2,1 X 1042,19 X 104

Jumlah koloni mikroorganisme pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada suhu dingin dari minggu ke-0 sampai minggu ke-3 cenderung mengalami peningkatan (Gambar 27). Jumlah mikroorganisme bakso ikan dengan perlakuan penambahan STPP 0,15 % selama penyimpanan suhu dingin cenderung lebih besar dibandingkan dengan bakso ikan yang ditambahkan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %. Hal ini terjadi karena kitosan mampu menghambat kerja bakteri pembusuk. Penggunaan kitosan efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Mekanisme kerja larutan kitosan yang bersifat bakteriostatik diduga hanya menghambat metabolisme kerja sel bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhannya (Hardjito 2006). Laju pertumbuhan bakteri selama penyimpanan suhu beku bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27. Grafik logaritmik bakteri pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu dingin

Dari Tabel 12 dan Tabel 13, dapat dilihat perbedaan lama penyimpanan produk bakso ikan baik pada perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 %. Bakso ikan kurisi yang disimpan pada suhu beku masih layak dikonsumsi hingga minggu ke-8, karena memiliki angka lempeng total yang lebih rendah dari angka lempeng total menurut SNI 01-3819-1995 yaitu maksimal 1 x 107 koloni/g. Pada minggu ke-8 jumlah mikroorganisme bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 2,65 x 104 koloni/g, dan jumlah mikroorganisme bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu ke-8 sebesar 2,06 x 106 koloni/g.Sedangkan jumlah mikroorganisme bakso ikan yang disimpan pada suhu dingin masih layak dikonsumsi hingga minggu ke-3 karena memiliki angka lempeng total yang lebih rendah dari angka lempeng total menurut SNI 01-3819-1995 yaitu maksimal 1 x 107 koloni/g. Bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) mempunyai jumlah mikroorganisme pada minggu ke-3 sebesar 2,1 x 106 koloni/g, dan jumlah mikroorganisme bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu ke-3 sebesar 2,19 x 106 koloni/g. Mikroorganisme yang terdapat pada bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan penyimpanan suhu beku, hal ini terjadi karena penggunaan suhu beku (suhu 0 C atau lebih rendah) dapat menghambat pertumbuhan dan kegiatan metabolisme mikroorganisme untuk jangka waktu lama (Pelczar dan Chan 1988).