15

Click here to load reader

Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

OTONOMI DAERAH DAN GOOD GOVERNANCE DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DAERAH

Oleh : Agus Sumarsono

Sebuah Latar Pemberlakuan Otonomi Daerah Semangat reformasi menghasilkan sebuah sistem penyelenggaraan

pemerintahan baru yang disebut otonomi daerah dan merupakan strategi

pembangunan serta pemberdayaan daerah sesuai dengan perkembangan dan kondisi

masyarakat Indonesia saat ini yang sedang berjalan dalam rangka mengembangkan

demokrasi di berbagai segi. Strategi ini diterapkan sebagai counter terhadap terjadinya

krisis ekonomi dan kepercayaan yang kemudian berimbas pada pergantian kekuasaan

politik di Indonesia pada tahun 1998 (dari pemerintahan orde baru ke pemerintahan

orde reformasi).

Menurut Syaukani HR dalam buku menatap Otonomi daerah, reformasi

jangan hanya dijadikan justifikasi terhadap berbagai perilaku oknum terentu untuk

berlaku anarkis dan melanggar hukum. Sehingga arus reformasi yang kini tengah

bergulir tidak dibelokkan dalam konteks yang keliru atau salah kaprah. Menurutnya

reformasi merupakan bentuk perubahan yang memiliki berbagai dimensi. (1), adanya

upaya untuk merubah struktur pemerintahan/ tatanan politik yang dianggap

membungkam kebebasan hak asasi manusia. (2), adanya upaya yang lebih konkret

untuk memberdayakan lembaga/ organisasi sosial politik yang selama ini dimarginalkan

bisa mengurus kelangsungan Bangsa. (3), adanya upaya memfungsikan kembali

peran-peran komponen masyarakat yang semasa pemerintahan terdahulu tidak

difungsikan.

Dengan desakan reformasi sistem pemerintahan dengan mengakomodasi

prinsip demokrasi yang disuarakan dalam gerakan rakyat untuk reformasi total pada

pertengahan tahun 1998 itu pula, telah menghasilkan beberapa perubahan fundamental

di tingkat sistem tata pemerintahan lokal. Diantaranya adalah akomodasi terhadap

tuntutan partisipasi politik rakyat dalam proses pengambilan kebijakan telah dilakukan,

meskipun masih secara verbal tanpa disertai dengan pengaturan yang lebih teknis,

Page 2: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau lebih dikenal

dengan UU Otonomi Daerah. UU ini secara fundamental merubah sistem pemerintahan

daerah sebelumnya (yang diatur melalui UU Nomor 5 Tahun 1974) yang menekankan

kepada kekuasaan eksekutif ke arah kekuasaan legislatif dan partisipasi masyarakat.

Penerapan otonomi daerah ini diatur dengan (pada awalnya) Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diuji-cobakan pada

tahun 1999 – 2000, baru pada bulan Januari 2001 diundangkan dan diimplementasikan

secara penuh. Di beberapa pasal di dalam undang-undang ini mengisyaratkan tentang

pelaksanaan pemerintahan daerah dengan proses yang demokratis. Arti kata

demokratis di sini bermakna adanya pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi (turut

ambil bagian secara aktif) dalam pengambilan kebijakan dan pembangunan daerah.

Undang-undang pemerintahan daerah ini dilaksanakan sebagai sebuah anti-tesa

terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan sebelumnya yang dikenal otoriter. Di

samping itu, tingginya ketergantungan pemerintahan daerah terhadap pemerintah pusat

yang mengakibatkan kreatifitas masyarakat lokal beserta seluruh perangkat daerah dan

kota menjadi tak terbedakan, sedangkan kebijakan rezim orde baru yang represif telah

membunuh secara dini aspirasi daerah untuk menuntut keadilan atas kekayaan alam

yang dimilikinya. Pemerintah pusat yang telah mengalami kesulitan sumber dana tidak

cukup mampu menghadapi persoalan dan gejolak yang terjadi di aras lokal. Ini berarti

bahwa selama lebih dari 32 tahun, Jakarta gagal melakukan konsolidasi dalam rangka

persatuan daerah yang adil dan merata. Hal ini terjadi karena adanya pandangan pada

waktu itu bahwa mempertahankan kekuasaan sebuah rezim lebih diutamakan bahkan

cenderung berlebihan sehingga permasalahan kemandirian daerah bukan demi sebuah

kemandirian tetapi justru dalam format kekuasaan.

Dengan demikian terjadi akumulasi kekuasaan di pusat, baik politik,

kekayaan negara, maupun kebijakan ekonomi yang sentralistik, sedang daerah hanya

menjadi penonton dan menunggu perintah dari atas. Sudah dapat dipastikan bahwa

dengan kondisi yang seperti ini telah tercipta sebuah jurang yang lebar antara

pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Sehingga daerah mempunyai keinginan

untuk mendapatkan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan.

Page 3: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

Bila kemudian berkembang tuntutan otonomi daerah agar dikembangkan

otonomi daerah secara nyata, maka hal ini tidak lepas dari berbagai kenyataan

ketimpangan antar daerah yang selama ini berlangsung. Lembaga kajian ekonomi

Econit Advisory Group, menyebutkan setidaknya terdapat lima kesenjangan yang

sangat kronis;

1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar.

2. Kesenjangan investasi antar daerah yang besar. Kebijakan investasi dan

birokrasi yang terpusat selama 32 tahun, menghambat perkembangan investasi

daerah. Kegiatan investasi daerah hanya terkonsentrasi di pulau jawa.

3. Pemusatan industri di pulau Jawa.

4. Pendapatan daerah dikuasai pusat. Sentralisasi pusat sangat menguasai

pendapatan daerah. Dengan demikian daerah sangat tergantung dengan alokasi

bantuan dari pusat.

5. Net negatif transfer yang besar. Salah satu yang mendorong melebarnya

kesenjangan regional adanya ketimpangan dalam alokasi kredit dalam

pengembangan ekonomi.

Berbagai faktor ini tentu saja, hanya sebagian dari kompleksitas masalah

yang berkembang sejalan dengan terjadinya sentralisasi (pemusatan) dalam hubungan

pusat-daerah. Fakta ketidak-adilan antar daerah, dimana daerah kaya tidak pernah bisa

menikmati hasil kekayaan (hasil alamnya), menjadi bagian dari kenyataan-kenyataan

kongkrit yang mendorong tuntutan perubahan hubungan pusat-daerah.

Pelaksanaan Otonomi Daerah yang bertanggung jawab Penunjang Keberhasilan Pembangunan Daerah

Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memakai

metode desentralisasi mempunyai kewenangan yang sangat luas, yang merupakan

anti tesa pembangunan dan pemberdayaan daerah sesuai dengan perkembangan

kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang belajar dan mengembangkan

demokrasi di berbagai segi, khususnya demokrasi politik. Desentralisasi merupakan

proses pengurangan atau penghapusan peran dan wewenang pemerintah pusat guna

Page 4: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

menciptakan pemberdayaan pemerintah daerah dan masyarakat daerah untuk bisa

mengembangkan daerahnya secara mandiri. Otonomi daerah atau desentralisasi

merupakan dua hal yang saling melengkapi dengan semua sudut multidimensi yang

melingkupinya.

Namun perlu diketahui bahwa di beberapa kajian mengenai

penyelenggaraan pemerintahan dengan penerapan Undang-undang Nomor 22 Tahun

1999 ini tampak berorientasi pada legislative havy, artinya DPRD mempunyai satu

kekuatan dan kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah setelah

sekian lama (pada masa orde baru) keberadaan legislatif lebih merupakan sekedar

justifikasi setiap kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah daerah. Apakah memang

benar demikian, yang jelas peranan yang diberikan oleh legislatif menjadi satu

fenomena perkembangan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

Meskipun terdapat berbagai rasionalitas dari pelaksanaan desentralisasi

tersebut, akan tetapi memang terdapat pula kelemahannya, di antaranya yaitu ;

a. Karena jumlah organ-organ pemerintah bertambah banyak sejalan dengan

kewenangan yang dimiliki daerah, maka struktur pemerintahan bertambah

kompleks sehingga mempersulit koordinasi.

b. Hubungan keseimbangan dan keserasian antara berbagai macam kepentingan

daerah mudah terganggu.

c. Desentralisasi teritorial dapat mendorong timbulnya ”sentimen kedaerahan”

(etnocentries).

d. Pengambilan keputusan memerlukan waktu yang lama karena melalui

perundingan yang rumit.

e. Penyelenggaraan desentralisasi memerlukan biaya yang lebih banyak dan sulit

dilaksanakan secara sederhana dan seragam.

Pada tahun 2004, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 direvisi karena

tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan

penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia saa sekarang ini dengan

Page 5: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

dilaksanakannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Diberlakukannya Undang-undang yang baru ini mempertimbangkan;

a. Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sesuai

dengan amanat UUD RI tahun 1945, Pemerintah Daerah, yang mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu

daerah dalam sistem negera kesatuan republik Indonesia .

b. Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu

ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan

pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman

daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan

kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan negara.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan DPRD berpedoman pada

asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari asas ; Kepastian hukum, Tertib

penyelenggara negera, Kepentingan umum, Keterbukaan, Proporsionalitas,

Profesionalitas, Akuntabilitas, Efisiensni dan Efektivitas

Dalam pasal 22 UU Nomor 32 Tahun 2004 ini juga telah disebutkan

mengenai kewajiban daerah dalam menyelenggarakan otonomi, di antaranya ;

a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional

serta keutuhan negara republik Indonesia

b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat

c. Mengembangkan kehidupan demokrasi

d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan, dan seterusnya

Namun di satu sisi penerapan undang-undang ini mengalami satu

kemunduran, karena tidak lagi disebutkan adanya pembentukan forum perkotaan

Page 6: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sebelumnya. Sedangkan di sisi yang

lain, terdapat kemajuan yang pantas dicatat, yaitu diberlakukannya pemilihan secara

langsung oleh masyarakat untuk memilih kepala daerah (gubernur/ wakil gubernur

ataupun bupati/ wakil bupati dan walikota/ wakil walikota). Artinya dengan pemilihan

langsung ini memberikan legitimasi demokrasi yang lebih kuat karena pimpinan daerah

dipilih langsung oleh masyarakat bila dibanding dengan dipilih secara perwakilan oleh

anggota DPRD yang berjumlah 45 orang angota dewan.

Di samping itu, masih menurut Syaukani HR penyelenggaraan otonomi

daerah harus dilakukan secara bertanggung jawab. Artinya adalah otonomi yang

disertai dengan pertanggungjawaban daerah sebagai konsekwensi dari pemberian

kewenangan dan hak yang lebih luas kepada daerah. Pemberian otonomi akan

dibarengi dengan kewajiban pemerintah daerah untuk menanggung segala akibat yang

ditimbulkan oleh pemerian otonomi.

Lebih-lebih pertanggungjawaban kepala daerah terhadap rakyatnya

dengan memakai logika pemilihan langsung kepala daerah seperti yang telah dijelaskan

di atas. Namun hal ini masih jarang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (baca; bupati)

memberikan laporan pertanggungjawaban publik tahunan kepada masyarakat. Padahal

mestinya sangat penting dilakukan, mengingat pembangunan merupakan bagian

penting yang harus diikuti oleh warga masyarakat, bahwak kedaulatan berada di tangan

rakyat. Artinya memang masyarakat diberikan kewenangan untuk mengetahui,

mengkritisi, dan memberikan masukan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

agar dapat berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sebab tentu apa yang

dirumuskan oleh pemerintah daerah secara sepihak tanpa mengikut sertakan

masyarakat seringkali justru jauh dari yang diharapkan.

Demokrasi Partisipatif Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya mengenai latar belakang

otonomi daerah, di sini secara lebih jauh akan diulas tentang asas demokrasi yang disandarkan

kepada adanya peluang peran serta (partisipasi) masyarakat dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Terbukanya peluang partisipasi masyarakat ini berarti juga adalah kembalinya

kedaulatan -- yang sejak lama telah diambil alih oleh elit penguasa, baik eksekutif maupun

legislatif yang pada penyelenggaraannya justru cenderung membatasi -- kepada masyarakat.

Page 7: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

Apakah setelah pemerintahan baru berbentuk otonomi daerah diterapkan, maka

proses demokrasi akan bergulir dengan mulus, yakni demokrasi yang berporos rakyat. Atau

apakah konsepsi otonomi yang dikembangkan dapat mencerminkan telah dijawabnya kebutuhan

massa-rakyat ? apakah memang otonomi yang diharapkan massa-rakyat kebanyakan, yakni

menjadi jalan bagi perubahan kehidupan, untuk mencapai suatu situasi (dan kondisi) yang lebih

baik dan bermakna ?

a. Kembalinya Kedaulatan Rakyat

Kebijakan otonomi daerah yang sejak tahun 2001, memang bisa dilihat sebagai

bagian dari suatu proses perubahan. Akan tetapi bila proses perubahan tersebut ditumpukan

hanya pada kebijakan otonomi daerah, khususnya yang termuat dalam Undang-undang Nomor

22 Tahun 1999 (sekarang sudah direvisi dengan UU No.32 Tahun 2004), maka demokrasi tidak

akan pernah terwujud. Analisis ini merupakan gambaran, bahwa setiap kebijakan elit politik,

masih sangat mungkin menyisakan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan demokrasi

dan keadilan. Oleh sebab itu, partisipasi aktif rakyat -- yakni partisipasi dalam kesadaran penuh -

- sangat diperlukan, terutama agar kebijakan yang ada tidak sekedar menjadi slogan yang macet

dalam praktek.

Oleh sebab itu, ukuran dasar dari otonomi, bukan terletak pada janji dan sejumlah

komitmen, melainkan riil pada praktek: apakah otonomi benar-benar akan menempatkan rakyat

pada posisi terhormat, ataukah rakyat tetap saja sebagai obyek dari elit politik. Dengan demikian

yang harus dilihat adalah apakah dengan otonomi daerah elit lokal menjadi bertambah dekat

dengan rakyat ataukah sebaliknya. Pengalaman dalam pemilihan bupati di berbagai tempat

menunjukkan dengan sangat jelas bahwa otonomi hanya menjadi ajang rebutan elit lokal,

sementara prospek pemberdayaan rakyat masih belum tampak. Adalah tugas bagi kita semua

yang menghendaki demokratisasi untuk bergandengan tangan dalam memperkuat rakyat, sehinga

rakyat dapat menjadi kekuatan efektif untuk mengontrol jalannya otonomi daerah. Otonomi

sendiri harus menjadi bagian dari proses pembaruan di berbagai sektor, sehingga diperlukan

pemahaman yang lebih utuh mengenai proses demokratisasi yakni mengenali medan demokrasi,

agar dapat merumuskan langkah yang lebih baik dalam membangun demokrasi berporos rakyat.

b. Masalah-masalah Dalam Demokrasi

Page 8: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

Demokrasi, ditinjau dari makna, berarti kekuasaan rakyat atau pemerintahan rakyat.

Ungkapan ini tentu sudah sangat lazim, namun rumit (kompleks) dalam realitasnya. Mengapa

dikatakan demikian ? Pengalaman dinamika masyarakat, sejak dan sebelum kemerdekaan

nasional, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa gerak demokratisasi masih belum bergulir

secara sehat. Bahkan pada masa orde baru, demokrasi, bukan saja dikacaukan maknanya,

melainkan juga direndahkan dalam realisasi. Ulasan berikut akan memperlihatkan beberapa

masalah utama, yang patut diduga sebagai bagian dari penyebab macetnya proses demokratisasi.

Pertama, jika demokrasi merupakan pernyataan pemerintahan rakyat, apakah hal

tersebut bermakna bahwa rakyat yang secara langsung memerintah atau menjalankan kekuasaan

? Para pendiri Republik Indonesia, menjawab dalam pasal 1 ayat 2 UUD ’45 dengan : kedaulatan

adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di

sini telah muncul prinsip perwakilan (representasi). Dengan demikian, secara langsung ataupun

tidak, dikatakan (dianggap) tidak mungkin menjalankan pemerintahan. Parlemen merupakan

institusi yang diciptakan sebagai representasi, dan diharapkan menjadi wakil yang aktual dan

obyektif dari aspirasi rakyat. Persis di sini pula terdapat kompleksitas masalah, terutama adanya

jarak antara institusi wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Kedua, siapakah dan dari unsur apa yang seharusnya duduk di dalam institusi

representasi kepentingan rakyat ? Berbagai konflik yang kini berkembang, baik yang

mencerminkan konflik antar agama, suku dan golongan, maupun konflik berkaitan dengan

kepentingan material (ekonomi), pada dasarnya memberikan momentum yang sangat aktual

untuk mengkaji kembali dasar-dasar representasi kehidupan dalam bernegara. Dalam konteks

Indonesia kekinian representasi masih merupakan tantangan untuk dapat mewujudkan suatu

pemerintahan yang mengadopsi kepentingan seluruh ‘rakyat’.

Ketiga, dalam pemerintahan yang berbasis demokrasi, yang menjadi titik masalah

bukan sekedar asal dari legitimasi kekuasaan, melainkan juga mempersoalkan bagaimana

kekuasaan diselenggarakan. Kewenangan yang diberikan pemegang kekuasaan sudah tentu

bukan merupakan kepasrahan buta, melainkan hanya sebagian dari kewenangan, dan sebagian

lagi masih dalam genggaman rakyat dan merupakan hak rakyat untuk sewaktu-waktu meninjau

kembali kewenangan yang telah diberikan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

memberikan jawaban, “setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam

Page 9: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

pemerintahan negerinya, baik secara langsung atau melalui para wakil yang dipilih secara

bebas”.

Pada masa orde baru, pandangan ini tidak begitu populer. Setiap keterlibatan rakyat

akan dihadang dengan pernyataan; sudah ada wakil rakyat ! Pengalaman menunjukkan bahwa

pemerintah, atas nama ketertiban dan kepentingan umum telah menciptakan sejumlah aturan

(prosedur, perijinan) yang pada kenyataannya bukan menjadi jalan lebar bagi rakyat untuk bisa

ambil bagian secara aktif dalam proses politik, justru sebaliknya. Artinya suatu rejim yang

mengklaim berdasarkan atas prinsip demokrasi, tidak menjamin memberi ruang yang lebar bagi

partisipasi rakyat, dan persis di sini pula letak tantangan yang serius bagi demokrasi, yakni suatu

paradoks pemberian kewenangan, yang pada satu sisi dibutuhkan agar pemerintah baisa

menjalankan kehendak rakyat, namun di sebelah pemberian kewenangan tersebut terbuka

kesempatan yang lebar bagi penyalahgunaan yang justru mengingkari aspirasi rakyat.

Ketiga masalah di atas pada dasarnya hanya sebagian dari persoalan-persoalan

penting yang menyertai gagasan demokrasi. Kejelasan jawaban terhadap persoalan tersebut,

sudah tentu akan menjadi bagian dari proses untuk menumbuh-kembangkan demokrasi dalam

arti yang sesungguhnya dan tidak sekedar menambah lebel dari demokrasi yang pada gilirannya

hanya mengkhianati spirit dan prinsipnya.

d. Partisipasi Politik Rakyat

Dalam demokrasi, partisipasi politik rakyat merupakan hal yang mutlak. Meskipun

partisipasi merupakan syarat dan indikator dari praktek demokrasi, namun rejim-rejim otoriter

pada umumnya masih mentolerir berkembangnya issue ini. Orde Baru sebagai contoh, telah

menyatakan komitmennya untuk memberi tempat bagi partisipasi politik rakyat. Keberadaan

lembaga-lembaga demokrasi, seperti DPR, Pers, dan institusi seperti LSM (Ornop) merupakan

indikasi kuat bahwa partisipasi tidak diharamkan (baca; tidak dilarang).

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggara Negara dijelaskan bahwa peran

serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggara

Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dengan menaati norma hukum,

Page 10: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Peran serta masyarakat dalam penyelenggara

negara yang bersih ini dilaksanakan dalam bentuk;

a. Hak mencari, dan memberikan informasi mengenai penyelenggara negara

b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara.

c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kebijakan Penyelenggara

Negara.

d. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal;

1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.

2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi

pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

3) Hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.

Namun masalahnya adalah bagaimana bentuk partisipasi yang dibenarkan oleh

negara. Berbagai pembatasan yang dilakukan, memperlihatkan bahwa partisipasi dalam kontrol,

partisipasi yang tidak mempersoalkan relasi kuasa, melainkan partisipasi yang ada dalam

masyarakat, agar kesemuanya dapat menjadi penyokong pembangunan.

Dalam peraturan pemerintah di atas, disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan negara diwajibkan dalam bentuk antara lain, mencari, memperoleh dan

memberikankan data atau mengenai informasi penyelenggara negara, dan hak menyampaikan

saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggara negera. Di

samping itu, sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang mengharuskan

penyelenggara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,

jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggara negara, maka dalam Peraturan Pemerintah

ini diatur mengenai hak dan tanggung jawab serta kewajiban masyarakat dan Penyelengara

Negara secara berimbang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memperoleh perlindungan

hukum dalam menggunakan haknya untuk memperoleh dan menyampaikan informasi tentang

penyelenggara negara. Kebebasan menggunakan hak tersebut haruslah disertai dengan tanggung

jawab untuk mengemukakan fakta dan kejadian yang sebenarnya dengan menaati dan

Page 11: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

menghomati aturan-aturan moral yang diakui umum serta hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai tanggung jawab penyelenggara

negara atas setiap pemberian informasi dan pelayanan kepada masyarakat. Sebaiknya masyarakat

berhak menyampaikan keluhan, saran dan kritik tentang penyeleggaraan negara yang dianggap

tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman dalam kehidupan

sehari-hari menunjukkan bahwa keluhan, saran atau kritik masyarakat tersebut sering tidak

ditanggapi dengan baik dan benar.

Sesuai dengan konsep demokrasi, maka partisipasi harus dibaca sebagai hak dasar

rakyat untuk terlibat, langsung ataupun tidak langsung, dalam keseluruhan proses politik.

Dengan demikian untuk mewujudkan partisipasi, dibutuhkan bukan saja syarat internal, namun

juga syarat eksternal. Yang dimaksud syarat internal adalah suatu kapasitas tertentu dari rakyat.

Kapasitas ini adalah adanya kesadaran yang menjadi unsur utama. Yaitu adanya pemahaman dari

rakyat terhadap berbagai aspek yang sedang dihadapi, sehingga ketika mengambil keputusan-

keputusan penting langkah tersebut merupakan pilihan yang sadar dan bebas, bukan sebagai hasil

manipulasi atau paksaan. Memang, hal ini tidak kemudian segampang dan semudah yang kita

bayangkan. Beberapa problem pembentukan masyarakat mutamaddin (civil society) masih harus

diinisiasi dan dikembangkan dengan pengupayaan penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap

substansi nilai demokrasi, dan partisipasi masyarakat dalam konteks pembangunan dan

penyelenggaraan kebijakan. Rendahnya sens of tolerance menjadi persoalan laten yang musti

diprioritaskan penyelesaiannya dan bukan hanya diendapkan saja, sebelum melangkah ke arah

penggerakan dan penyatuan organ-organ masyarakat. Persoalan-persoalan ini bisa kita tahu

adalah sebagai imbas dari penyelenggaraan tata kenegaraan dan pemerintahan pada masa lalu

yang tidak demokratis dan tidak menghormati peran dan partisipasi masyarakat di dalam

penyelenggaraannya. Akhirnya mentalitas masyarakat Indonesia berada dalam sistem dan

mekanisme ketergantungan kepada pemerintah, baik daerah maupun pusat karena setiap kali

masyarakat harus didikte dan dicocok hidungnya untuk menjalankan kehidupan mereka sendiri.

Untuk itulah maka diperlukan sebuah strategi terpadu dalam rangka menyelesaikan agenda

persoalan tersebut di atas. Penyadaran dan peningkatan kenegaraan (yang terdiri dari partisipasi

dalam perencanaan, pelaksanaan monitoring, dan controlling/evaluasi), monitoring kinerja

institusi publik dan upaya rekonsiliasi menjadi agenda mendasar yang musti dilakukan. Bagi

Page 12: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

keperluan ini, pendidikan politik merupakan agenda yang mendesak. Namun demikian, perlu

pula ditegaskan di sini, bahwa kesadaran saja tidaklah cukup untuk memberi jaminan bagi proses

partisipasi yang produktif.

Landasan Yuris kedaulatan Masyarakat

Bahwa pemikiran dan orientasi wacana diatas merupakan format perubahan yang

ditawarkan dalam rangka menciptakan good governance melalui media pemberdayaan

masyarakat. Adapun gerakan pemberdayaan masyarakat tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa

landasan dan dasar yuridis, akan tetapi memang terdapat peraturan perundang-undangan yang

apabila dijiwai secara mendalam dan dilakukan secara baik, maka sebenarnya keberadaan

masyarakat yang telah melakukan proses-proses pemberdayaan dalam dirinya, sama sekali tidak

melanggar ketentuan. Adapun landasan yuridisnya kurang lebih (masih banyak lagi yang belum

disebutkan di sini) adalah sebagai berikut :

1. Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan aspirasi

sebagai wujud pelaksanaan demokrasi.

2. Pasal 42 (3) Jo. pasal 98 (3) UU No. 22 tahun 1999 tentang jaminan penyelenggaraan

pemerintahan secara demokratis yang harus dilaksanakan, baik oleh kepala daerah maupun

kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kebijakannya. Hal ini dituangkan

dalam pengambilan sumpah jabatan yang dijadikan sebagai amanat pimpinan daerah dan

desa.

3. Pasal 92 (2) UU No.22/1999, yaitu tentang pembentukan forum perkotaan yang

diorientasikan pada kewenangan stakeholder kota dalam upaya pemberdayaan masyarakat

untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

4. Pasal 71 dan 72 jo. pasal 44 (yang mengatur tentang kewajiban dan tanggungjawab

Pemerintah) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Manusia.

5. Pasal 3 dan 4 UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa

konsumen (masyarakat) mempunyai hak untuk mendapatkan keterbukaan informasi dan

akses untuk mendapatkan informasi serta hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.

6. Pasal 5 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan

bahwa masyarakat mempunyai hak atas informasi dan berperan serta dalam rangka

pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 13: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

7. Ketiga Pasal dalam point d) & e) ini memang untuk perlindungan konsumen dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, akan tetapi semangat keterbukaan untuk mendapatkan informasi dan hak

didengarkannya keluhan dan pendapat masyarakat ini menjadi pas ketika dijadikan sebagai

landasan bagi partipasi masyarakat guna mendapat akses informasi dan masukan pendapat,

ide dan gagasan masyarakat tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sebab hal ini

merupakan bagian dari upaya mewujudkan penyelenggaraan negara/pemerintahan yang

bersih.

8. PP No. 68 tahun 1999 tentang peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk

mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih.

9. Pasal 2 jo. Pasal 68 UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan

adanya peran serta masyarakat.

Dengan berlandaskan peraturan-perundangan di atas, selain menunjukkan bahwa

kita berada dalam alam merdeka, yang tidak kalah penting adalah mencerminkan: pertama,

bahwa peraturan menunjukkan fungsi membatasi kekuasaan, sehingga penyelenggaraan

pemerintahan tidak sewenang-wenang. Kedua, memberikan perlindungan atas hak asasi warga

dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Realitas politik yang membatasi atau bahkan

stigmatisasi, kriminalisasi politik, tentu saja tidak sesuai, mengingkari semangat pembebasan

nasional, yang bermaksud menegakkan kedaulatan rakyat. Agar kedua hal tersebut bisa terwujud,

maka menjadi keharusan dimana organisasi kekuasaan tidak menjadi badan tunggal yang besar,

melainkan perlunya pemisahan dan pembatasan.

Kejelasan dan ketegasan peraturan dan perundang-perundangan sendiri, sudah

barang tentu tidak memberikan jaminan penuh bagi proses demokrasi, sebab merupakan

dokumen, yang realisasinya akan sangat bergantung kepada kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Demokrasi masih akan ditentukan oleh sejauh mana partisipasi rakyat bisa tumbuh. Tanpa

partisipasi masyarakat yang intensif, peluang bagi demokrasi elit akan berlangsung, dan jika hal

ini yang terjadi, maka harapan pada keadilan, kemakmuran dan kemajuan rakyat, akan hanya

menjadi impian yang tidak pernah bisa diwujudkan.

P e n u t u p

Demokrasi Sebagai Sarana dan Kesejahteraan Adalah Tujuannya

Page 14: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah

Saya kira perbincangan tentang demokrasi sudah sangat panjang padahal demokrasi

merupakan sarana/ alat untuk mencapai tujuannya, yaitu kesejahteraan rakyat?. Harus diketahui

bersama, bahwa antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat merupakan dua sisi mata uang.

Artinya adalah demokrasi itu bukanlah tujuan, melainkan sebagai sarana untuk menciptakan

kesejahteraan rakyatnya. Sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan

yang lain. Keduanya harus berjalan beriringan sehingga menjadi balance (seimbang).

Karena terjadi krisis dan musibah bencana alam di sana-sini ini sangat memerlukan

tidak sekedar janji-janji para elit negeri, tetapi adalah kepedulian dan tindakan nyata untuk

mengentaskannya. Selamat berjuang..... semoga keadaan jadi lebih baik, pemerintah jadi lebih

baik...... dan masyarakat pun dapat keluar dari krisis dan menjadi sejahtera.......

Page 15: Otonomi Daerah Dan Good Governance Dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah