38
BAB I Pendahuluan Selama beberapa dekade terakhir efek obstruksi jalan nafas bagian atas jangka panjang yang merupakan apnea obstruktif saat tidur menjadi masalah yang disoroti saat ini. Gangguan saat tidur masih merupakan hal yang sering pada masyarakat di Amerika, dan diperkirakan oleh National Commision on Sleep Disorder Research hampir 20% orang dewasa menderita gangguan tidur jangka panjang. Gangguan saat tidur dihubungkan dengan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Amerika. Gangguan saat tidur sering berhubungan dengan gejala apnea ataupun dengkuran yang bukan hanya masalah psikososial. Apnea ataupun dengkuran penyerta memilik efek masalah terhadap jantung atau paru. 1 Obstruksi jalan napas atas selama tidur terjadi ketika terdapat hilangnya tonus normal dari otot faringeal yang menyebabkan faring kolaps secara pasif selama inspirasi. Pasien yang secara anatomis memiliki jalan napas yang menyempit (seperti micrognathia, makroglossia, obesitas, hipertrofi tonsiler) merupakan predisposisi untuk terjadinya obstruktif apnea saat tidur. Konsumsi alkohol atau sedatif sebelum tidur atau obstruksi hidung dengan alasan apapun, seperti common cold, dapat mempresipitasi atau memperburuk kondisi. Hipotiroidisme dan merokok adalah faktor risiko tambahan untuk obstruktif apnea saat tidur. Sebelum membuat diagnosis untuk obstruktif apnea saat tidur, riwayat obat sebaiknya diketahui dan gangguan kejang, narkolepsi, dan depresi harus dieksklusi. 2 1

OSAS final.docx

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPendahuluan

Selama beberapa dekade terakhir efek obstruksi jalan nafas bagian atas jangka panjang yang merupakan apnea obstruktif saat tidur menjadi masalah yang disoroti saat ini. Gangguan saat tidur masih merupakan hal yang sering pada masyarakat di Amerika, dan diperkirakan oleh National Commision on Sleep Disorder Research hampir 20% orang dewasa menderita gangguan tidur jangka panjang. Gangguan saat tidur dihubungkan dengan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Amerika. Gangguan saat tidur sering berhubungan dengan gejala apnea ataupun dengkuran yang bukan hanya masalah psikososial. Apnea ataupun dengkuran penyerta memilik efek masalah terhadap jantung atau paru.1 Obstruksi jalan napas atas selama tidur terjadi ketika terdapat hilangnya tonus normal dari otot faringeal yang menyebabkan faring kolaps secara pasif selama inspirasi. Pasien yang secara anatomis memiliki jalan napas yang menyempit (seperti micrognathia, makroglossia, obesitas, hipertrofi tonsiler) merupakan predisposisi untuk terjadinya obstruktif apnea saat tidur. Konsumsi alkohol atau sedatif sebelum tidur atau obstruksi hidung dengan alasan apapun, seperti common cold, dapat mempresipitasi atau memperburuk kondisi. Hipotiroidisme dan merokok adalah faktor risiko tambahan untuk obstruktif apnea saat tidur. Sebelum membuat diagnosis untuk obstruktif apnea saat tidur, riwayat obat sebaiknya diketahui dan gangguan kejang, narkolepsi, dan depresi harus dieksklusi.2

BAB IIAnatomi dan Fisiologi2.1 Anatomi2.1.1 LaringGambar 1. Anatomi saluran napas atas(Pharynx and Larynx Anatomy. eDoctor Online. C 2010.[ tidak diperbaharui; diunduh 9 April 2015].Diunduh dari www.edoctoronline.com/medical-atlas.asp?c=4&m=1&p=9&cid=1053&s)

2.1.2 Struktur penyanggaStruktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago yang berpasangan ataupun tidak. Di sebelah superior terdapat os hiodeum, struktur yang berbentuk U dan dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut pada faring lateral. Meluas dari masing-masing sisi bagian tengah os atau korpus hiodeum adalah suatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke posterior dan suatu prosesus pendek yang mengarah ke superior. Tendon dan otot-otot lidah, mandibula dan kranium melekat pada permukaan superior korpus dan kedua prosesus. Saat menelan,kontraksi otot-otot ini mengangkat laring. Namun bila laring dalam keadaan labil, maka otot-otot tersebut akan membuka mulut dan akan ikut berperan dalam gerakan lidah. Di bawah os hiodeum dan menggantung pada ligamentum tirohioideum adalah dua alae atau sayap kartilago tiroidea. Kedua alae menyatu di garis tengah pada sudut yang lebih dulu dibentuk pada pria lalu membentuk jakun (Adams apple). Pada tepi posterior masing-masing alae terdapat kornu superior dan inferior. Artikulasio kornu inferior dengan kartilago krikoidea, memungkinkan sedikit pergeseran atau gerakan antara kartilago tiroidea dan krikoidea.3,4Kartilago krikoidea yang juga mudah teraba di bawah kulit melekat pada kartilago tiroidea lewat ligamentum krikotiroideum. Tidak seperti struktur penyokong lainnya dari jalan pernapasan, kartilago krikoidea berbentuk lingkaran penuh dan tak mampu mengembang. Permukaan posterior atau lamina krikoidea cukup lebar, sehingga kartilago ini tampak seperti signet ring. Di sebelah inferior, kartilago trakealis pertama melekat pada krikoid lewat ligamentum interkartilaginosa.3,4Pada pemeriksaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoidea, masing-masing berbentuk seperti piramid berisi tiga. Basis piramidalis berartikulasi dengan krikoid pada artikulasio krikoaritenoidea, sehingga dapat terjadi gerakan meluncur dari medial ke lateral dan rotasi. Tiap kartilago aritenoidea mempunyai dua prosesus, prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis. Ligamentum vokalis meluas ke anterior dari masing-masing prosesus vokalis dan berinsersi ke dalam kartilago tiroidea di garis tengah. Prosesus vokalis membentuk dua per lima bagian belakang dari korda vokali, sementara ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda vokalis suara membentuk glotis. Bagian laring di atasnya disebut supraglotis dan di bawahnya subglotis. Terdapat dua pasang kartilago kecil dalam laring yang tidak memiliki fungsi. Kartilago kornikulata terletak dalam jaringan di atas menutupi aritenoid. Di sebelah lateralnya, yaitu di dalam plika ariepiglotika terletak kartilago kuneidormis.3,4

Gambar 2. Anatomi glotis, supraglotis dan subglotis(Laryngectomy. Your Surgery. C 2010. [ tidak diperbaharui; diunduh 9 April 2015].Diunduh dari: http://www.yoursurgery.com/ProcedureDetails.cfm?BR=6&Proc=31)

Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti bat pingpong. Pegangan melekat melalui suatu ligamentum pendek pada kartilago tiroidea tepat di atas korda vokalis, sementara bagian racquet meluas ke atas di belakang korpus hioideum ke dalam lumen faring, memisahkan pangkal lidah dari laring. Fungsi epiglotis sebagai lunas yang mendorong makanan yang ditelan ke samping jalan napas laring.4Selain itu, laring juga disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah superior, pada kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis yang meluas ke belakang dari tepi lateral epiglotis hingga tepi lateral kartilago aritenoidea. Dengan demikian,membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan batas superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik penting lainnya adalah konus elastikus. Jaringan ini jauh lebih kuat dari membrana kuadrangularis, dan meluas ke atas dan medial dari arkus kartilaginis krikoidea untuk bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi. Jadi konus elastikus terletak di bawah mukosa di bawah permukaan korda vokalis sejati.4

2.1.3 Struktur laring dalamSebagian besar laring dilapisi oleh mukosa toraks bersilia yang dikenal dengan epitel respiratorius. Namun,bagian-bagian laring yang terpapar aliran udara terbesar, misalnya permukaan lingua pada epiglotis, permukaan superior plika ariepiglotika dan permukaan superior serta tepi bebas korda vokalis sejati, dilapisi epitel gepeng yang lebih keras. Kelenjar penghasil mukus banyak ditemukan dalam epitel respiratorius.4Struktur pertama yang diamati pada pemeriksaan memakai kaca adalah epiglotis. Tiga pita mukosa meluas dari epiglotis ke lidah. Di antara pita mediana dan setiap pita lateral terdapat suatu kantung kecil, yaitu valekula. Di bawah tepi bebas epiglotis dapat terlihat aritenoid sebagai dua gunukan kecil yang dihubungkan oleh otot interaritenoid yang tipis. Perluasan dari masing-masing aritenoid ke anterolateralis menuju tepi lateral bebas dari epiglotis adalah plika ariepiglotika, merupakan suatu membrana kuadrangularis yang dilapisi mukosa. Di lateral plika ariepiglotika terdapat sinus atau resesus piriformis. Struktur ini bila dilihat dari atas, merupakan suatu kantung berbentuk segitiga dimana tidak memiliki dinding posterior. Dinding medialnya di bagian atas adalah kartilago kuadrangularis dan di bagian bawah kartilago aritenoidea dengan otot-otot lateral yang melekat padanya, dan dinding lateral adalah permukaan dalam alae tiroid. Di sebelah posterior sinus piriformis berlanjut sebagai hipofaring. Sinus piriformis dan faring bergabung ke bagian inferior, ke dalam introitus esophagi yang dikelilingi oleh otot krikofaringeus yang kuat.4Dalam laring sendiri, terdapat dua pasang pita horizontal yang berasal dari aritenoid dan berinsersio ke dalam kartilago tiroidea bagian anterior. Pita suara adalah korda vokalis palsu atau pita ventrikular, dan lateral terhadap korda vokalis sejati. Korda vokalis palsu terletak tepat di inferior tepi bebas membrana kuadrangularis. Ujung korda vokalis sejati (plika vokalis) adalah batas superior kornu elastikus. Otot vokalis dan tiroaritenoideus membentuk massa dari korda vokalis ini. Karena permukaan superior korda vokalis adalah datar, maka mukosa akan memantulkan cahaya dan tampak berwarna putih pada laringoskop indirek. Korda vokalis palsu dan sejati dipisahkan oleh ventrikulus laringis. Ujung anterior ventrikel meluas ke superior sebagai suatu divertikulum kecil yang dikenal sebagai sakulus laringis, dimana terdapat sejumlah kelenjar mukus yang diduga melumasi korda vokalis.4

Gambar 3. Struktur laring dalam(Vocal Cords. About cancer. C 2011. [ tidak diperbaharui; diunduh 9 April 2015]. Diunduh dari: www.aboutcancer.com/throat_anatomy_sites.htm

2.1.4 Struktur di sekitarnyaDi sebelah anterior terdapat ismus kelenjar tiroid yang menutup beberapa cincin trakea pertama, sementara lobus tiroid terletak di atas dinding lateral trakea dan dapat meluas hingga ke alae tiroid. Ismus perlu diangkat dan terkadang diinsisi saat melakukan trakeostomi menembus cincin kartilagonus trakealis yang ketiga. Otot-otot leher menutup laring dan kelenjar tiroid, kecuali di garis tengah dimana raphe median menyebabkan struktur-struktur laring terletak dalam posisi subkutan. Membrana krikotiroidea mudah dipalpasi dan dalam keadaan darurat, dapat dengan cepat diinsisi untuk membuat jalan napas, arteri inominata tidak jarang melewati di depan trakea servikalis sehingga perlu dilakukan palpasi yang cermat dalam pelaksanaan trakeostomi. Di lateral dan posterior terhadap laring adalah selubung karotis yang masing-masing berisi arteri karotis, vena jugularis dan saraf vagus.4

Gambar 4. Struktur di sekitar laring(Laryngectomy. Your Surgery. C 2010. [ tidak diperbaharui; diunduh 9 April 2015]. Diunduh dari: http://www.yoursurgery.com/ProcedureDetails.cfm?BR=6&Proc=31)

2.2 Fisiologi laringWalaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata memiliki tiga fungsi utama proteksi jalan napas, respirasi dan fonasi. Laring merupakan salah satu bagian dari saluran napas atas. Perlindungan jalan napas selama aksi menelan melalui berbagai mekanisme berbeda. Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus laringitis dan masuk sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva.4Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung dan paru. Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk tindakan-tindakan mengejan misalnya mengangkat benda berat atau defekasi. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus laringis.4Korda vokalis sejati yang teraduksi kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan.4

BAB IIIObstructive Sleep Apnea Syndrome

3.1 DefinisiObstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.5,6Obstruksi jalan napas atas selama tidur terjadi ketika terdapat hilangnya tonus normal dari otot faringeal yang menyebabkan faring kolaps secara pasif selama inspirasi. Pasien yang secara anatomis memiliki jalan napas yang menyempit (seperti micrognathia, makroglossia, obesitas, hipertrofi tonsiler) merupakan predisposisi untuk terjadinya obstruktif apnea saat tidur. Konsumsi alkohol atau sedatif sebelum tidur atau obstruksi hidung dengan alasan apapun, seperti common cold, dapat mempresipitasi atau memperburuk kondisi. Hipotiroidisme dan merokok adalah faktor risiko tambahan untuk obstruktif apnea saat tidur. Sebelum membuat diagnosis untuk obstruktif apnea saat tidur, riwayat obat sebaiknya diketahui dan gangguan kejang, narkolepsi, dan depresi harus dieksklusi.2Selama beberapa dekade terakhir efek obstruksi jalan nafas bagian atas jangka panjang yang merupakan apnea obstruktif saat tidur menjadi masalah yang disoroti saat ini. Gangguan saat tidur masih merupakan hal yang sering pada masyarakat di Amerika, dan diperkirakan oleh National Commision on Sleep Disorder Research hampir 20% orang dewasa menderita gangguan tidur jangka panjang. Gangguan saat tidur dihubungkan dengan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Amerika. Gangguan saat tidur sering berhubungan dengan gejala apnea ataupun dengkuran yang bukan hanya masalah psikososial. Apnea ataupun dengkuran penyerta memilik efek masalah terhadap jantung atau paru.1

3.2 EpidemiologiBerdasarkan data dari The National Commission on Sleep Disorders Research bahwa prevalensi OSA meningkat seiring usia dimana Laki-laki lebih berisiko dibandingkan dengan perempuan sebanyak 2:1.7Prevalensi OSAS adalah 0,7-10,3%. Pada anak usia remaja dengan obesitas, prevalens OSAS berkisar antara 36-60%.8 Di Jakarta, didapatkan prevalens OSAS pada anak usia 10-12 tahun dengan obesitas adalah sebesar 38.2%.Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, dan obesitas. Penyakit yang berhubungan dengan alergi seperti rinitis alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan berkorelasi dengan OSAS pada anak. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Pada pasien dewasa obesitas merupakan faktor risiko utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai faktor risiko utama.8,9 OSAS pada anak berbeda dengan dewasa baik faktor risiko maupun tata laksananya.

3.3 EtiologiPenyebab dari OSA pada dewasa dibagi menjadi 2 bagian besar yakni faktor struktural yang termasuk dari anatomi tulang kraniofasial dan dengan faktor non-struktural. 1. Faktor struktural, terkait dengan obstruksi hidung yang berupa polip, deviasi septum, tumor, trauma, dan stenosis. Terkait dengan obstruksi belakang palatum adalah uvula atau tonsil yang terlalu panjang, hipertrofi adenoid atau tonsil palatina. Terkait dengan obstruksi belakang lidah adalah tumor dan makroglossia. 2. Faktor non-struktural, obesitas, jenis kelamin laki-laki, umur, post-menopause, penggunaan alkohol, sedatif, merokok, tidur telentang, hipotiroid. Hipotiroid dihubungkan dengan makroglosia dan peningkatan massa jaringan lunak diatas faring, sehingga meningkatkan risiko OSA.7Etiologi terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas.8,9 Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat ringannya OSAS. Terdapat anak dengan hipertrofi adenoid yang cukup besar, namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain dengan pembesaran adenoid ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat. Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit pada anak dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil akan menetap setelah dioperasi. Pada suatu penelitian sebagian kecil anak dengan OSAS yang telah berhasil diatasi dengan operasi adenotonsilektomi kemudian mengalami rekurensi gejalanya selama masa remaja.9,10Anak dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur saluran nafas yang nyata (mikrognasi dan midface hypoplasia) akan mengalami OSAS. Pada anak dengan disproporsi kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas meskipun tanpa disertai hipertrofi adenoid.9,10Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas, maupun kompresi eksternal leher dan rahang.8,10 Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara menghitung body mass index (BMI) dan pengukuran lingkar leher. Untuk penentuan OSAS, yang lebih berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan BMI.18 Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat saluran nafas atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar mempunyai velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur.8

3.4 Gejala KlinikSebagian besar pasien dengan sleep apnea obstruktif atau campuran ialah pria usia pertengahan dan obes. Hipertensi sistemik juga dapat ditemukan. Pasien dapat mengeluh somnolen di pagi-siang hari yang berlebihan, gangguan kognitif, peningkatan berat badan baru-baru ini dan impotensi. Partner di tempat tidurnya biasa melaporkan dengkuran yang keras dan berulang, henti nafas, apnea yang disaksikan, restlessness dan gerakan-gerakan tidak beraturan selama tidur. Perubahan kepribadian, penilaian yang buruk, masalah yang berhubungan dengan kerja, depresi dan penurunan intelektual (gangguan memori, tidak bisa berkonsentrasi) juga dapat diobservasi.2Pemeriksaan fisik dapat normal atau dapat pula mengungkap adanya hipertensi sistemik dan pulmonal dengan kor pulmonal. Pasien dapat nampak mengantuk atau bahkan jatuh tertidur selama evaluasi. Orofaring pasien biasa ditemukan menyempit dengan lipatan jaringan lunak yang berlebihan, tonsil yang besar, uvula yang menggantung, atau lidah yang menjulur. Obstruksi hidung oleh karena deviasi septum hidung, aliran udara yang sedikit dan nasal twang saat pasien berbicara. Penampilan bull neck juga dapat diamati pada pasien.2Manifestasi klinis OSAS pada anak memiliki perbedaan dengan manifestasi klinis OSAS pada dewasa yaitu antara lain kesulitan bernafas pada saat tidur, mendengkur, hiperaktif, mengantuk pada siang hari, dan kadang-kadang neuresis. Anak yang menderita OSAS terutama yang berat akan mengalami gejala siang dan malam hari. Pada malam hari (night-time symptoms), anak tidur dengan mulut terbuka, mengorok dan seringkali mengalami henti napas. Akibatnya anak sering terbangun dari tidurnya karena gelagepan dan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia). Sebagai akibat dari gejala dan gangguan pada saat tidur malamnya, pada siang hari timbul gejala yang disebut day-time syndrome, berupa sering tertidur dalam kelas, kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran tertentu seperti matematika dan sains serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan prestasi akademik. Perubahan perilaku menjadi mudah marah serta adanya gagal tumbuh juga seringkali dilaporkan berhubungan dengan OSAS. Kondisi hipoksia yang berlangsung lama pada anak OSAS dengan AHI (apneu/hypopnea index) yang tinggi dapat menyebabkan cor-pulmonale dan hipertensi pulmonal.8

3.5 Klasifikasi Tidur dan Gangguan Saat TidurTidur merupakan keadaan fisiologis dan reversibel yang ditandai dengan penurunan kesadaran dan reaksi terhadap rangsang dari luar. Tidur yang normal terdiri dari dua struktur yakni (1) NREM (Non-Rapid Eye Movement) menyusun 75-80% proses tidur dan terdiri dari 4 tahapan (tahap 1-4). (2) REM (Rapid Eye Movement) menyusun 20-25% proses tidur dan terdiri dari 2 tahapan. Dua fase REM berdurasi kira-kira 90-120 menit dan terjadi 3-4 kali.1NREM (Non-Rapid Eye Movement), pada orang dewasa normal terdiri dari 4 tahapan. (1) Tahap 1, transisi dari keadaan sadar ke tidur, mencakup 2-5% dari proses tidur dan pada pemeriksaan EEG memiliki karakter peningkatan gelombang theta dan alpha. Secara makro tahap 1 ditandai dengan penurunan kesadaran dan tonus otot. (2) Tahap 2, mencakup 45-55% dari proses tidur dan pada EEG memiliki karakteristik kompleks K, serta secara makro penurunan kesadaran dan tonus otot semakin dalam.(3) Tahap 3 dan 4, mencakup fase tidur yang dalam. Tahap 3 mencakup 3-8% proses tidur, tahap 4 mencakup 10-15% proses tidur. Fase 3 dan 4 merupakan fase paling rileks dari proses tidur. Seiring bertambahnya umur, maka lama waktu tidur akan semakin berkurang. REM (Rapid Eye Movement), komposisi yang tersisa dari lama tidur terdiri dari fase REM. Fase ini terbagi atas tahap tonik dan fasik. Gangguan saat tidur dibagi atas empat kategori oleh ICSD (International Classification of Sleep Disorder) : dissomnia, parasomnia, gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan psikiatrik medis, proposed sleep disorder. Kata Apnea memiliki arti periode 10 detik dimana tidak ada aliran udara dari hidung maupun mulut. Apnea bisa terjadi karena obstruksi atau karena adanya gangguan pada sentral. Hypopnea berarti ada pengurangan aliran udara 10-70% dari aliran udara yang normal pada individu yang terkena selama 10 detik. Index apnea-hypopnea (AHI/RDI) adalah jumlah kedua gejala ini muncul setiap jam saat tidur, dengan pemeriksaan minimal 2 jam saat tidur.1Obstruksi saat tidur (OSA) adalah gangguan saat tidur yang mengakibatkan pengurangan aliran udara yang signifikan walaupun dengan adanya usaha untuk bernafas. keadaan ini memiliki kekhas-an yakni adanya episode berulang dari kolaps jalan nafas bagian atas saat tidur.7OSA yang dihubungkan dengan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari (EDS) lebih umum disebut dengan sindrom obstruksi saat tidur (OSAS). Apnea dapat terjadi berkali-kali dalam setiap kali tidur malam, dengan periode 1-2 kali per menit. Gejala utama dari OSA adalah 3 S (Snoring, sleepiness, Significant report of sleep apnea episodes).7OSA memiliki gejala dimana RDI > 5 kali kejadian/jam. Klasifikasi tingkat adalah ringan (5-15 kejadian/jam), sedang (15-30 kejadian/jam), berat (>30 kejadian/jam). OSAS didiagnosa dengan RDI > 15 kejadian/jam dan pasien memiliki gejala pada siang dan malam hari.1

3.6 PatofisiologiPandemis obesitas telah mempengaruhi kesehatan global dalam berbagai cara. Salah satunya ialah manifestasi pernapasan dalam bentuk sleep apnea obstruktif. Apnea tidur didefinisikan sebagai reduksi rekuren (hipopnea) atau berhenti (apnea) napas selama tidur sebagai hasil dari penyempitan atau kolapsnya jalur napas faringeal. OSA didefinisikan sebagai berkurangnya aliran udara selama usaha bernapas dilakukan. Apnea obstruktif lebih umum dijumpai dibandingkan dengan apnea sentral. Pada OSA, hipoksemia dan hiperkapnia terjadi karena terjadinya gangguan bernapas. Dengkuran yang keras, yang disebabkan oleh getaran dari jaringan faringeal, ialah gejala khas dari OSA. Pasien apnea tidur yang berat dapat mengalami berlebihnya usaha bernapas hingga 100 kali per jam pada setiap kejadian, yang berlangsung paling tidak selama 10 detik. Individu yang non-obes dapat pula mengalami OSA, namun obesitas tetap menjadi risiko epidemiologis utama. Sebagai tambahan, peningkatan indeks massa tubuh, penimbunan sentral jaringan adiposa, dan lingkar leher ialah prediktor yang kuat untuk penyakit ini. Prevalensi dari OSA 2-3 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan wanita dan pada orang tua dibandingkan dengan individu laki-laki usia pertengahan. Menopause juga menjadi faktor risiko yang sudah dikenal pada wanita.11OSA dapat pula memiliki manifestasi neurokognitif seperti kelelahan siang hari yang berlebihan, gangguan kognitif, kualitas hidup yang menurun, dan lebih dari 7 kali peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas. Sebab-sebab dasar dari OSA bervariasi, pada setiap individu yang mengalaminya. Komponen yang penting disini salah satunya ialah anatomi faring, responsivitas otot dilator faring selama tidur ketika terhadap hambatan bernapas, dan kecenderungan untuk bangun dari tidur.11Orang-orang dengan apnea tidur memiliki jalur napas faring yang lebih kecil, dengan kelainan area kros-seksional lumen faring. Lebih jauh, jaringan lunak dan struktur tulang yang mengelilingi lumen nampaknya juga terganggu pada pasien OSA yang mana akan menjadi risiko untuk terjadinya kolaps. Pasien dengan OSA memiliki aktivitas otot dilator faring yang meningkat sebagai bukti ada refleks kompensasi protektif neuromuskuler terhadap gangguan anatomis pasien. Melalui refleks protektif ini, peningkatan aktivitas otot akan menjaga patensi dari faring selama fase terjaga pasien. Banyak faktor dapat mempengaruhi output dari nukleus motor hipoglossus ke otot dilator jalur napas (genioglossus). Dorongan napas dari generator sentral pada batang otak ialah penentu utama aktivitas genioglossus. Sebagai tambahan, mekanoreseptor lokal jalur napas berespon terhadap tekanan subatmosferik (negatif atau hisap) dan akan memodulasi aktivitas genioglossus. Refleks tekanan negatif mendeskripsikan fenomena dimana genioglossus (dan otot dilator jaur napas atas lainnya seperti tensor palatini) diaktifkan sebagai respons terhadap tekanan negatif (sebagai contoh tekanan hisap yang menyebabkan kolapsnya faring). Pada orang normal, refleks tekanan negatif ini dapat hilang selama fase non-rapid eye movement yang stabil. Sehingga, pada pasien OSA terjadi gangguan dalam mempertahankan patensi saat terjadi stimulus yang mengkolapskan faring. Fitur lain yang menjadi ciri khas dari OSA ialah pola pernapasan siklikal yang timbul ketika pasien berosilasi dari kejadian obstruktif napas dan terbangun. Lebih jauh, kejadian obstruktif cenderung untuk muncul ketika terdapat dorongan bernapas yang rendah. Sehingga, instabilitas dari kontrol ventilasi ialah salah satu kontributor penting OSA.11

3.7 Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik terdiri atas beberapa bagian, yakni 1. Evaluasi sistemik, berdasar pada penelitian dimana terdapat hubungan antara OSA dengan IMT >27,8kg/m2 pada laki-laki dan >27,3kg/m2 pada perempuan. Serta ukuran leher juga diperiksa setinggi membran krikotiroid dengan hasil >17 inch pada laki-laki dan > 15 inch ada perempuan. Pengukuran tekanan darah juga harus diperiksa karena hipertensi dihubungkan dengan derajat OSA.12. Kepala dan leher, pasien diperiksa dengan pasien pada bidang frankfurt. Pemeriksaan yang dilakukan adalah memeriksa retrognathia, retrusi maxila.3. Hidung, harus diperiksa untuk tanda deformitas, asimetri lubang hidung, obstruksi hidung bagian dalam. Pemeriksa melakukan manuver cottle untuk menilai pernafasan. Rongga hidung harus diperiksa untuk tanda-tanda polip, massa, rhinitis, sekret purulen.4. Rongga mulut, lidah diperiksa untuk ukuran. Lidah dengan ukuran normal berada pada bawah occlusal plane, dan lidah yang berada diatas bidang ini dinilai dengan membesar ringan, sedang, berat. Hubungan antara lidah dengan palatum mole harus diperhatikan, khususnya untuk menilai apakah pembesaran lidah menutupi palatum, dan apakah ada deviasi palatum. Nilai kondisi dinding faring posterior, dan uvula dinilai panjang serta ketebalannya yang normal. Nilai kondisi dan ukuran dari tonsil dengan tingkat T0-T4.15. Orofaring, diperiksa dengan nasofaringoskopi untuk menilai dasar lidah, tonsil lingua, dan massa yang obstruksi supraglotik, glotik, subglotik laring. Nilai plika vokalis dari bentuk, asimetri, dan pergerakannya.1

3.8 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa pada pasien OSAS, dapat memberikan hasil berupa:1. Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami peningkatan bikarbonat serum yang persisten akibat kompensasi alkalosis metabolik. Beberapa jenis sitokin diketahui mempunyai efek somnogenik dan berperan penting dalam proses tidur. Interleukin-1 dan TNF-a dapat meningkatkan slow wave sleep dan pemberian anti TNF-a anti body dapat menghambat fase NREM. Irama sirkadian dari pelepasan TNF-a mengalami gangguan pada pasien OSAS, kadar puncak fisiologis pada malam harinya menghilang sedangkan pada siang hari kadar puncaknya meningkat.12. Pemeriksaan radiologi memilik peran untuk identifikasi pasien OSAS, namun tidak signifikan. Pemeriksaan radiologi konvensional dan cephalometri. Pemeriksaan ini berguna untuk evaluasi pasien yang memiliki kelainan kraniofasial, seperti retrusi mandibula. Meskipun pemeriksaan ini merupakan alat diagnosa OSAS yang umum, namun mereka memiliki kekurangan seperti radiasi dan keterbatasan untuk menilai soft tissue. Scanning dengan CT-Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga biasanya tersedia dan dapat menunjukkan perbedaan yang cukup baik untuk jalur napas yang normal dan apneik. Gambar yang didapatkan dengan kedua modalitas dapat digunakan untuk menciptakan kembali model 3 dimensi dari jalur napas atas dan sudah digunakan untuk mengevaluasi perubahan jalur napas atas selama pernapasan. Kedua modalitas, bagaimanapun secara signifikan lebih mahal dibandingkan modalitas sebelumnya dan memiliki beberapa kontraindikasi. Lebih jauh, CT-Scan dan MRI masih belum dapat dibuktikan efektif dalam mengidentifikasi pasien OSA atau menunjukkan karakteristik dari OSA yang berat.1Terdapat juga beberapa pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan untuk pasien dengan OSAS, yaitu antara lain: Tes subjektif dapat dilakukan untuk mengevaluasi keinginan/dorongan pasien untuk tidur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan Stanford Sleepiness Scale (SSS). Untuk ESS, pemeriksa akan menanyakan kecenderungan seseorang untuk jatuh tertidur selama kejadian-kejadian tertentu; untuk SSS, pemeriksa akan menanyakan kecenderungan seberapa mengantuk seseorang pada saat dilakukan pemeriksaan. ESS memiliki keuntungan karena dapat mengkorelasikan hasil dengan banyak tes latensi tidur dan dengan RDI Multiple Sleep Latency Setting ialah suatu tes objektif yang mengevaluasi dorongan tidur yang terdiri atas satu seri tidur siang yang terjadi dalam interval 2 jam yang diulang setiap 2 jam. Pasien disarankan untuk tidur sambil parameter fisiologisnya diukur. Latensi tidur normal ialah 10-20 menit, namun pasien dengan rasa kantuk siang hari yang berlebihan seringkali memiliki latensi tidur sebesar 5 menit atau kurang. Polysomnography ialah studi definitif untuk mengevaluasi OSA sepanjang malam, dipilih pemeriksaan ini karena dapat memonitoring secara langsung aktivitas otak pasien, pola pernapasan, dan aktivitas otot selama tidur. PSG akan merekam durasi tidur dan kejadian-kejadian (mendengkur, hipopnea, apnea, pergerakan ekstremitas dan yang lainnya) yang terjadi selama tidur. Kegunaan klinisnya ialah kemampuan pemeriksaan ini untuk mendiagnosis dan mengkarakteristikan keparahan dari OSAnya itu sendiri. Sebagai tambahan, PSG dapat membedakan antara OSA, apnea tidur sentral, dan beberapa penyebab lain dari rasa kantuk yang berlebihan. Pemeriksaan polisomnografi yang lengkap mencakup elektroensefalografi, elektrookulografi, elektromiografi, EKG, pulse oksimetri, dan pengukuran usaha bernapas dan aliran udaranya. Polisomnografi dapat menunjukkan adanya episode apnea yang berlangsung selama 60 detik. Saturasi oksigen akan menurun, seringkali ke tingkat yang paling rendah. Bradidisritmia seperti sinus bradikardia, henti sinus atau blok AV, dapat terjadi. Takidisritmia, seperti takikardia paroksismal supraventrikuler, fibrilasi atrium, dan takikardi ventrikel dapat dilihat setelah aliran udaranya kembali.1Sebelum dilakukan PSG, pasien akan diminta kesediaannya untuk mengisi kuesioner Berlin, bertujuan untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi. Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat:1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab lain.2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang hari dan gangguan konsentrasi.3. Hasil PSG menunjukkan 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea per-jam selama tidur (AHI 5).4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.Saat ini sudah banyak terdapat alat Polisomnografi yang sifatnya portable atau bergerak, kemudahan alat ini mampu mengurangi biaya serta mempermudah bagi pasien yang akan melakukan pemeriksaan polisomnografi, akan tetapi alat ini mempunyai keterbatasan. Makalah trisaktiScreening OSA dapat dilakukan dengan kuesioner Berlin yang bertujuan untuk menjaring pasien terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi. Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan AHI terdiri dari apnea tidur ringan dengan AHI 515, saturasi oksigen 86% dan keluhan ringan, apnea tidur sedang dengan AHI 1530, saturasi oksigen 8085% dan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi, apnea tidur berat dengan AHI 30, saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.12

3.9 PenatalaksanaanMenurunkan berat badan dan pelarangan secara ketat meminum alkohol dan obat-obatan hipnotik ialah langkah awal tatalaksana. Penurunan berat badan dapat bersifat kuratif, tapi sebagian besar pasien umumnya tidak bisa menurunkan berat badannnya sebanyak 10-20% dari berat badan yang dibutuhkan. Penggunaan nasal continuous positive airway pressure (nasal CPAP) pada malam hari dapat bersifat kuratif untuk banyak pasien. Polisomnografi secara berkala diperlukan untuk menentukan tingkat CPAP (biasanya 5-15 cm H20) yang dibutuhkan untuk menghilangkan gejala apnea obsruktifnya. Namun sayangnya, hanya sekitar 75% pasien yang melanjutkan untuk menggunakan nasal CPAP setelah 1 tahun. Terapi farmakologis yang digunakan justru mengecewakan. Oksigen suplemental dapat mengurangi keparahan deasturasi nokturnal namun juga dapat memperpanjang apnea pasien, sehingga hal ini tidak rutin diberikan. Peralatan mekanis yang dimasukkan ke dalam mulut saat tidur untuk menahan rahang ke depan dan mencegah oklusi faringeal memiliki efektivitas yang cukup untuk melegakan apnea namun kepatuhan pasien lah yang tidak optimal dalam hal ini.2Uvulapalatopharyngoplasty (UPPP), ialah prosedur yang terdiri dari dari reseksi jaringan lunak faringeal dan amputasi sekitar 15 mm tepi bebas dari palatum molle dan uvula, yang terbukti berguna pada sekitar 50% pasien terpilih. Prosedur ini lebih efektif untuk menghilangkan dengkur daripada episode apnea pasien. UPPP dapat dilakukan secara rawat jalan dengan menggunakan laser. Nasal septoplasty dilakukan apabila terjadi deformitas anatomis septum hidung yang cukup parah. Trakeostomi dapat melegakan obstruksi jalan napas atas dan konsekuensi fisiologisnya, sekaligus mewakili penatalaksanaan definitif untuk sleep apnea obstruktif. Walaupun, masih terdapat banyak efek sampingnya, seperti pembentukan granuloma, kesulitan dalam berbicara, dan infeksi pada stoma dan jalur napas. Lebih jauh, perawatan jangka panjang dari trakeostomi, khususnya pada pasien obes, cenderung sulit. Trakeostomi dan pendekatan pembedahan maksilofasial lainya dipikirkan untuk pasien-pasien dengan aritmia yang mengancam nyawa atau disabilitas berat yang tidak berespon terhadap terapi konservatif.Beberapa pasien dengan sleep apnea mengalami bradikardia nokturnal. Sebuah studi pada 15 pasien dengan sleep apnea yang baik sentral maupun obstruktif menunjukkan perbaikan saturasi oksigen dengan pemicuan atrium. Studi tunggal ini sebaiknya dianggap penting untuk dipersiapkan.2Tatalaksana OSAS pada anak kurang lebih tidak jauh berbeda dengan tatalaksana pasien OSAS dewasa yaitu dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway Pressure ).1. Tonsilektomi dan/atau adenoidektomiBanyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar. Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%.9 Pada anak dengan etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi tetapi apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi kraniofasial maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS. Meskipun demikian, karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran nafas atas relatif kecil dibandingkan dengan ukuran absolute dari tonsil dan adenoid, maka para ahli berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada keadaan di atas. Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadangkadang gejala masih ada dan dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.92. Continuous positive airway pressure (CPAP)Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi, anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. Pada kelompok usia anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas dan pasien dengan OSAS yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Sebenarnya indikasi pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala OSAS atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.9Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan pasien. Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan menggunakan humidifer dapat mengurangi efek samping.3. Penurunan berat badanPada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan. Dengan penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata. Penurunan berat badan merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak dengan predisposisi obesitas. Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan dari pada dewasa. Pendekatan yang dilakukan harus bertahap karena menurunkan berat badan secara drastis tidak dianjurkan pada anak. Perlu kesabaran dan perhatian tenaga kesehatan lebih banyak dalam yang menangani pasien dengan obesitas. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara perlahan dan konsisten, hal ini memerlukan waktu lama.Selain memperbaiki diet pada obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau hipoertensi. Oleh karena itu sambil menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan berat badan akan memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat menurunkan gejala OSAS. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di dalamnya adalah modfikasi perilaku, terapi diet, olah raga (exercise), dan obatobatan. Pada pasien OSAS yang berat dan member komplikasi yang potensial mengancam hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.94. Obat-obatanObstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau steroid inhaler.9 Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada pasien anak dengan obesity hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian obatobat tersebut kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat yang mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.5. TrakeostomiTrakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat yang mengancam hidup, dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan operasi tidak tersedia.9

3.10 KomplikasiHampir mendekati 20% dari semua pengendara melaporkan jatuh tertidur ketika sedang mengendara paling tidak sekali selama hidupnya, dan pasien dengan OSA memiliki risiko yang lebih besar. Pasien dengan RDI> 40 kejadian/tidur memiliki risiko lebih dari 3 kali untuk mengalami tabrakan kendaraan daripada orang yang memiliki kontrol penuh atas kendaraannya, pasien dengan rasa kantuk yang berlebihan ini kurang lebih mirip dengan orang-orang yang mengalami intoksikasi (kadar alkohol darah > 0,1%). OSA juga memiliki korelasi dengan kejadian hipertensi pada pasien, sebuah studi menunjukkan bahwa pria dan wanita dengan RDI > 30 kejadian/jam memiliki risiko relatif sebesar 1,5 dan 1,17 untuk mengalami hipertensi. Pasien OSA juga memiliki risiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler sekunder karena iskemia miokard lebih tinggi. Sudah terdapat bukti yang kuat terhadap peningkatan insidens baik fatal maupun tidak terhadap fungsi kardiovaskuler pasien dengan OSA berat.1Komplikasi lain bila dikategorikan, dapat berupa:1. Komplikasi neurobehavioral Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal dan sleep fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang berlebihan dilaporkan terjadi pada 31% - 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain yang dapat menyertai OSAS adalah keterlambatan perkembangan, penampilan di sekolah yang kurang baik, hiperaktifitas, sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan diri dari kehidupan sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat sering terjadi. Suatu penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat menyebabkan perbaikan yang nyata pada fungsi kognitif.92. Gagal tumbuhGagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan OSAS kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil, peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi setelah dilakukan adenotonsilektomi.9,103. Komplikasi kardiovaskular Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal. Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui. Brouilette dkk4 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan OSAS dan Guilleminault dkk, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada 20% dari 50 pasien.104. Enuresis Enuresis dapat merupakan komplikasi OSAS. Etiologinya mungkin akibat kelainan dalam regulasi hormon yang mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis khususnya yang sekunder dapat membaik setelah obstruksi jalan nafas bagian atas dihilangkan.95. Penyakit respiratorikPasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari respiratorik atas yang dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan memungkinkan terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil yang besar mengalami disfagia atau merasa sering tercekik dan mempunyai risiko untuk mengalami aspirasi pneumonia.96. Gagal nafas dan kematian Laporan kasus telah melaporkan adanya gagal nafas pada pasien dengan OSAS yang berat atau akibat komplikasi perioperatif.93.11 PrognosisAd vitam: dubia ad bonamAd sanationam: dubia ad malamAd functionam: dubia ad malam

BAB IVKesimpulan

Obtructive Sleep Apnea Syndrome ialah suatu sindroma saat tidur yang ditandai dengan hadirnya periode apnea dan hipopnea pada pasien, disertai dengan gejala pada siang dan malam hari. OSA menjadi salah satu penyakit yang patut dipertimbangkan oleh karena penyakit ini masih perlu investigasi lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti etiopatogenesisnya. Hingga sejauh ini, etiopatogenesis yang dapat diterima ialah karena perbedaan anatomis dari jalur napas atas, perbedaan aktivitas neuromuskuler pada pasien saat tertidur dan oleh faktor-faktor risiko lain yang dicurigai sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya OSA, antara lain obesitas, merokok, minum alkohol, dan menggunakan zat-zat hipnotik-sedatif sebelum tidur. OSA dapat menjadi beban bagi pasien oleh karena kejadian OSA yang berat dapat menurunkan kualitas hidup pasien sekaligus menurunkan performa kerja pasien pada saat siang hari. Rasa kantuk yang berlebihan pada pasien OSA dewasa selain mempengaruhi kualitas hidup dan kualitas kerja juga dapat meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. Tatalaksana yang dilakukan hingga saat ini masih berfokus terutama pada modifikasi gaya hidup dengan alasan obesitas yang pasien alami, pengunaan ventilasi mekanis untuk membantu usaha pernapasan pasien, sekaligus melakukan terapi pembedahan untuk beberapa indikasi tertentu pada pasien. Pada anak, kejadian yang serupa juga dapat terjadi namun perbedaan terutama bisa didapatkan pada etiopatogenesis, hipertrofi adenoid dan tonsil menjadi etiologi yang cukup frekuen pada anak dengan OSA, walaupun faktor obesitas juga menjadi faktor risiko yang patut dipertimbangkan pada pasien anak. Anak dengan OSA terutama perlu diobservasi karena OSA pada anak dapat mengalami penurunan prestasi akademik, anak dapat menjadi sulit belajar dan berkonsentrasi, serta bisa didapati gagal tumbuh pada anak. Mengenali gejala dan tanda sekaligus memberikan terapi yang sesuai pada pasien anak diharapkan mampu mengembalikan stamina anak untuk belajar, prestasi akademik anak dan memperbaiki pertumbuhan anak.

Daftar Pustaka1. Lalwani K A. Current diagnosis and treatment otolaryngology head and neck surgery 2nd ed. United States of America: McGraw-Hill; 2008.p.535-47..2. McPhee SJ, Papadakis MA, Rabow MW. Current medical diagnosis & treatment 2012. 51st ed. United States of America: McGraw-Hill; 2011.p.956-61.3. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan sumbatan laring. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J et al (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.243-53.4. Junizaf MH. Benda asing di saluran napas. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J et al (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm 259-62.5. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.6. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.7. Obstructive sleep apnea. Diunduh dari : reference.medscape.com/article/872119-overview. Pada tanggal 12 April 2015 pukul 16.008. Kaswandani Nastiti. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60. Jakarta; 2010; 295-296.9. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1-20.10. Guilleminault C, Eldredge FL, Simmons B. Sleep apnea in eight children. Pediatrics 1976; 58:23-31.11. Campana L et al. Pathophysiology & genetics of obstructive sleep apnoea. Indian J Med Res. 2010 Feb;131:176-87.12. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: scoring system as diagnostic prediction (Disertasi). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.21