100
SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN BUTON PADA ABAD 15 M DALAM PERSPEKTIF ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003) Disusun Oleh: Sudirwan NIM: 1112045200003 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/1437 H

Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

  • Upload
    vutram

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN BUTON PADA ABAD 15 M

DALAM PERSPEKTIF ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat

Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Nidaul Hasanah (1112045200015)

Sudirwan (1112045200003)

Disusun Oleh:

Sudirwan

NIM: 1112045200003

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016 M/1437 H

Page 2: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan
Page 3: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan
Page 4: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan
Page 5: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

iv

ABSTRAK

SUDIRWAN, NIM: 1112045200003. SISTEM KETATANEGARAAN

KESULTANAN BUTON PADA ABAD 15 M DALAM PERSPEKTIF ISLAM.

Skripsi Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kesultanan Buton merupakan salah satu di antara sejumlah kesultanan di

Nusantara pada masa lalu. Wilayah kekuasaannya meliputi gugusan pulau-pulau di

kawasan tenggara Jazirah Sulawesi Tenggara. Berdasarkan struktur pemerintahannya,

wilayahnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pusat pemerintahan yang

bernama Wolio atau keraton. Tempat ini hanya dihuni oleh golongan penguasa, yang

terdiri atas golongan kaumu dan walaka. Kedua, wilayah kekuasaan di luar Keraton

yang disebut wilayah kadie. Wilayah ini merupakan milik golongan penguasa yang

bermukim di Keraton. Penghuni wilayah ini adalah masyarakat tingkat bawah yang

dikenal dengan golongan papara. Ketiga, kerajaan-kerajaan kecil yang memiliki

struktur pemerintahan dan masyarakat sendiri dan berada di bawah kekuasaan

pemerintah pusat. Wilayah ini dikenal dengan wilayah barata.

Kekuasaan kesultanan dipegang oleh golongan kaumu dan walaka yang

bermukim di Keraton. Penguasa tertinggi bagi seluruh wilayah kesultanan (pusat,

kadie dan barata) bergelar sultan. Di bawah sultan terdapat pejabat-pejabat tinggi

kesultanan yang disebut pangka, yang terdiri atas golongan kaumu dan walaka.

Pejabat pusat yang memegang kekuasaan terhadap wilayah kadie disebut bonto dan

bobato. Yang disebut pertama diangkat dari golongan walaka, dan yang kedua dari

golongan kaumu.

Karena letaknya pada jalur pelayaran antara Nusantara bagian barat dan

kepulauan rempah-rempah di Nusantra bagian timur, maka Kesultanan Buton ini

diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan besar lain yang ingin menguasai perdagangan di

Nusantara bagian timur, antara lain Goa dan Ternate serta Belanda berlomba

menanamkan pengarunya di kesultanan ini. Dampak dari pengaruh perebutan

kekuasaan terhadap penguasa negeri ini menyebabkan sistem pengangkatan sultan

bukan sistem warisan (monarki), tetapi melalui pemilihan. Sultan dipilih dari

golongan kaumu, dan yang memilih sultan adalah suatu badan yang terdiri atas

Sembilan bonto (menteri), dan dua orang bonto ogena (menteri besar, keduanya dari

golongan walaka.

Dalam skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian pustaka (library

research) dengan cara melakukan pendekatan kualitatif. Sumber data dan jenis data

Page 6: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

v

dalam penelitian ini diperoleh dari bahan penelitian yang digunakan berupa buku-

buku, tulisan-tulisan, artikel, jurnal dan dari laporan-laporan yang dapat mengetahui

gambaran-gambaran secara khusus yang mengategorikan sistem ketatanegaraan

kesultanan Buton. Data yang diperoleh kemuadian diolah, yang kemudian dianalisis

secara logis dan sistematis guna mendapatkan suatu kesimpulan.

Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan yang baku

dalam Islam, dikarenakan dalam Islam itu sendiri tidak dijelaskan mengenai sistem

ketatanegaraan secara eksplisit, namun setidaknya kesultanan merupakan salah satu

sistem ketatanegaraan yang pernah diterapkan dalam Negara Islam (Turki Usmani)

dan kesultanan Buton mengadopsi itu, walaupun tidak secara keseluruhan.

Adapaun sistematika pemilihan sultan Buton dalam perspektif pemilihan

pemimpin dalam Islam adalah berdasarkan pendapat al-Mawardi yang mengatakan

bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu al-ikhtiar dan

ahl al-imamah.

Kata Kunci: Sistem Ketatanegaraan, Kesultanan Buton, Perspektif Islam.

Pembimbing: Atep Abdurrofiq, M.Si

Page 7: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

vi

بسم هللا الرحمن الرحيم

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan seluruh

alam raya ini. Berkat nikmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan judul “SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN BUTON

PADA ABAD 15 M DALAM PERSPEKTIF ISLAM”. Shalawat teriring salam

semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan alam, panutan seluruh umat,

Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari alam jahiliyah ke alam yang

penuh dengan hidayah Islamiyah.

Dalam rangka penyelesaian skripsi ini, terdapat banyak kesulitan dan

hambatan yang harus penulis hadapi. Ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan

kekurangan pengalaman dalam penulisan skripsi, namun penulisan skripsi ini pada

akhirnya dapat penulis tuntaskan. Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada para pihak tersebut yang

diantaranya:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 8: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

vii

2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.A, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, ketua dan sekertaris

Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), yang telah memberikan arahan,

motivasi dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Atep Abdurrofiq, M.Si, dosen pembimbing yang telah rela

meluangkan waktunya untuk penulis, dan selalu memberikan masukan,

arahan dan kritikkan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

4. Pimpinan perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas yang telah

memberikan fasilitas untuk mempermudah akses penulis dalam melakukan

studi kepustakaan berupa buku dan literature lainnya sehingga penulis dapat

memperoleh informasi yang dibutuhkan.

5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang telah

diberikan kepada penulis selama masa pendidikan.

6. Terima kasih kepada Ayahanda Abdillah dan Ibunda Sitti Samidah tercinta,

yang telah mengajarkan arti semangat hidup dan memberikan rasah kasih

sayang serta doa tulus yang tiada henti-hentinya kepada penulis.

7. Kepada Organisasi HIPPMIB (Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa

Indonesia Buton) Bersatu Jakarta dan Satuan Tugas Gerakan Anti Narkoba

(SATGAS GAN) UIN Jakarta sebagai wadah pengetahuan dan pengalaman

penulis dalam mencari jati diri dan kedewasaan.

Page 9: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

viii

8. Teman-teman Hukum Tata Negara (Siyasah) dan Hukum Pidana Islam

angkatan 2012, yang telah penulis anggap sebagai keluarga sendiri yang

menjadi saksi perjuangan penulis selama dibangku kuliah.

9. Teman-teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini bersama-sama,

terhusus untuk sahabat Eko Saputra, Jamaluddin, Mujahiddin, Lukman

Hakim, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-

persatu, yang telah memberikan motivasi agar penulis dapat menyelesaikan

tugas akhir ini.

Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk penulis,

mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah swt, dan semoga skripsi ini berguna

bagi wacana keislaman, kepada-Nya kita memohon rahmat dan hidayah-Nya. Amin

ya Robbal’ Alamin.

Jakarta, 13 Oktober 2016

Sudirwan

Page 10: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................................. vi

DAFTAR ISI................................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 9

C. Tujuan dan Kegunaan ........................................................... 9

D. Tinjauan Pustaka .................................................................. 10

E. Metode Penelitia ................................................................... 11

F. Sistematika Penulisan ........................................................... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM

SISTEM KETATANEGARAAN ISLAM ....................................... 16

A. Pembagian Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan

Islam ..................................................................................... 16

B. Praktek Pembagiaan Kekuasaan dalam Sejarah

Ketatanegaraan Islam ....................................................... 26

BAB III PANDANGAN UMUM TENTANG KESULTANAN BUTON ..... 36

A. Sejarah Masyarakat Buton .................................................... 38

B. Sejarah Lahirnya Kesultanan Buton ..................................... 42

C. Sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton .......................... 47

D. Sistem Pemilihan dan Pengangkatan Sultan di Kesultanan

Page 11: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

x

Buton ................................................................................... 54

BAB IV KONSEP PEMBAGIAAN KEKUASAAN DALAM ISLAM

DAN PRAKTEKNYA DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN KESULTANAN BUTON .......................... 61

A. Perspektif Politik Islam dalam Sistem Pemerintahan di

Kesultanan Buton ................................................................ 61

B. Mekanisme Pemilihan Sultan Buton dalam Perspektif

Pemilihan Pemimpin dalam Islam ........................................ 70

C. Sistem Ketatanegaraan Islam dan Sistem Ketatanegaraan

Kesultanan Buton ................................................................ 75

BAB V PENUTUP .................................................................................. 83

A. Kesimpulan ........................................................................... 83

B. Saran ..................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 86

Page 12: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara merupakan gejala kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah umat

manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling sederhana

sampai yang paling kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk organisasi

kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalau menjadi pusat perhatian dan

objek kajian bersamaan dengan perkembangannya ilmu pengetahuan umat manusia.1

Banyak cabang ilmu pengetahuan yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya.

Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum kenegaraan, ilmu hukum tata

negara, hukum admisnistrasi negara, dan ilmu administrasi pemerintahan, semua

menjadikan negara sebagai pusat perhatiannya.

Pada dasarnya, ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki

pokok-pokok dan pengertian tentang negara. Ilmu negara tidak mementingkan

bagaimana caranya hukum itu harus dijalankan, karena ilmu negara mementingkan

teoritisnya. Hukum tata negara dan hukum administrasi negara lebih mementingkan

nilai-nilai praktisnya. Tak heran, jika hasil penyelidikan langsung dapat dipergunakan

dalam praktik oleh para ahli hukum dan pemerintah. Hukum tata negara dan hukum

administrasi negara meneliti hukum positif yang berlaku di suatu negara. Namun

1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 9

Page 13: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

2

demikian, dalam banyak hal, untuk mengetahui latar belakang dari hukum positif

yang berlaku di suatu negara di perlukan ilmu-ilmu yang sebagaimana di atas.2

Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia

(human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan

bermasyarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi

kepentingan dan mencapai tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang

bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai tujuan sebagai satu unit

pemerintahan tertentu, maka perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan secara

politik, dan disebut body politic atau negara (state) sebagai a society politically

organized. 3

Sedangkan dalam dunia Islam, sejumlah pemikir Muslim seperti Ibn Abi al-

Arabi, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Baqillani, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, dan Taimiyyah

juga telah memperdebatkan tentang negara. Al-Mawardi misalnya dalam al-Ahkam

al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah (hukum pemerintahan dan kekuasaan

keagamaan) mengatakan bahwa negara dilembagakan untuk melanjutkan misi

kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Al-Ghazali dalam al-

Iqtishad fi al-I’tiqad juga berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah wajib untuk

ketertiban dunia. Ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama dan ketertiban

agama wajib untuk keberhasilan di akhirat. Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah juga

2 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Prespektif

Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 3

3 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.

11

Page 14: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

3

sama dengan pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali. Menurut Ibn Khaldun, negara

memiliki kewajiban untuk menjaga agama dan mengatur dunia. Pemikiran mereka

tentang negara tampak mengintegrasikan agama dan negara.4

Begitupun dengan ketatanegaraan di Kesultanan Buton mengingat kesultanan

merupakan salah satu ciri khas ketatanegaraan yang berasal dari Islam melalui

sejumlah pemikir Muslim yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Sebelum terbentuknya Kesultanan Buton, terlebih dahulu kesultanan tersebut

merupakan Kerajaan Buton. Kerajaan ini diperkirakan ada sebelum abad ke-14, di

mana terdapat enam raja yang tercatat memimpin kerajaan Buton, yaitu: Raja puteri

Wa Kaakaa, Raja puteri Bulawambona, Raja Bataraguru, Raja Turade, Raja Mulae,

dan Raja Murhum yang sekaligus menjadi sultan Buton pertama.5 Menurut sumber

dan tradisi setempat, Kerajaan Buton berawal dari empat kelompok imigran dari

malaka yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14. Disinyalir

kedatangan mereka tidak berbarengan. Tiap-tiap ketua kelompok yang dikenal

dengan sebutan “mia patamia” yang berarti si empat orang yaitu: Sipanjonga yang

berasal dari Johor Malasyia, Simalui yang berasal dari Melayu/Sumatera,

Sitamananjo yang berasal dari Manado Sulawesi Utara dan Sijawangkaati yang

4 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Prespektif

Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 2

5 Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 51

Page 15: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

4

berasal dari pulau Jawa6 -tersebut menyapakati untuk tinggal di daratan perbukitan

dan membuat pemukiman tetap. Pemukiman tersebutlah yang kemudian hari menjadi

pusat kerajaan.7

Selanjutnya, seperti dalam kebanyakan mitos asal-usul negeri di wilayah

nusantara, dikisahkan adanya puteri buluh gading bernama Wa Kaa kaa dan seorang

pemudah anak raja Majapahit bernama Sibatara, ditemukan oleh Betoambari.

Keduanya dikawinkan dan dari merekalah diturunkan kaum bangsawan yang disebut

kaomu. Puteri Wa Kaa kaa adalah raja Wolio yang pertama. Puterinya, bernama

Bulawambona berputera Bataraguru yang menjadi raja ketiga. Dari sejarah awal

Buton yang kini di turunkan dalam bentuk tradisi ini berawal dari pembagian

masyarakat Buton dalam empat lapis. Lapis teratas adalah kaomu: dari golongan

bangsawan inilah sultan dipilih, untuk beberapa jabatan tinggi juga diisi dari

golongan bangsawan ini. Lapis kedua disebut Walaka, atau bangsawan tingkat dua.

Dari kedua golongan bangsawan itulah pemerintahan dijalankan. Dari walaka inilah,

sebuah dewan yang terdiri atas sembilan menteri (bonto) atau siolimbona dibentuk

dan berfungsi memilih sultan. Mereka adalah para ahli di bidang adat dan sekaligus

berfungsi memeliharanya.8 Dalam kedudukan mereka itulah keseimbangan kekuasaan

6 Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 16

7 Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 17

8 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 81

Page 16: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

5

harus dijaga di antara keduanya. Dan untuk lapis ketiga dan terakhir yaitu papara

(rakyat biasa) dan batua (budak) yang tidak diturunkan oleh para pendiri kerajaan.9

Kelompok walaka yang merupakan keturunan dari Sipanjonga yang memiliki

tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian

rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.

Berdasarkan penelitian, ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama

kelompok walaka ini selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya

juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan

kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai

lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai

lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah

muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica.

Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata

hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12

di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan.

Berkaitan dengan hal di atas, maka tampak bahwa pemerintahan kesultanan

buton dibentuk oleh dua golongan bangasawan yaitu kaomu dan walaka. Kedua

golongan bangsawan itu membentuk suatu kelompok penguasa yang

membedakannya secara tajam dengan papara. Meskipun demikian, mengingat

kedudukan papara sangat penting, sultan dituntut untuk memerintah secara adil dan

bijaksana.

9 Achadiati Ikram, Istiadat Tanah Negeri Buton, (Jakarta: PT Penerbit Djambatan, 2005), h. 8

Page 17: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

6

Sementara itu untuk memperkuat kedudukan kaomu, sultan La Elangi (1567-

1631 H) menetapkan bahwa seorang laki-laki kaomu tidak diperbolehkan kawin

dengan perempuan walaka. Cara kedua, La Elangi memanfaatkan hubungannya

dengan VOC meminta dukungan dari Pieter Both agar jabatan sultan sesudah dirinya

diserahkan kepada anak dan kemudian keturunannya. Hal itu, dilakukan dengan dalih

agar kerajaan tetap kuat dalam menghadapi pengaruh dan tekanan Kerajaan Gowa.10

Lebih jauh lagi, untuk memperkuat keinginanya, seperti disebut di atas, La

Elangi bersama sapati (perdana Menteri) La Singa dan Kenepulu11

La Bula membuat

kesepakatan untuk membagi tiga jabatan tertinggi kesultanan kepada anak keturunan

mereka masing-masing. Keturunan La Elangi membentuk cabang bangsawan kaomu,

tanailandu, keturunan La Singa membantuk cabang bangsawan keluarga tapi-tapi,

dan keturunan La Bula membantuk cabang keluarga kumbewaha. Dalam penetapan

itu disebut bahwa tanailandu berhak menduduki jabatan sultan, tapi-tapi menduduki

jabatan sapati, dan kumbewaha menduduki jabatan kenepulu. Dasar pemikiran

mereka bertiga seperti dikatakan oleh tradisi lokal, agar tidak terjadi pertikaian yang

tajam di antara golongan kaomu.12

Mengenai sumber tradisi lokal di atas, terdapat

perbedaan pendapat. Hal itu, diakaui oleh beberapa ahli adat, meskipun tidak

dibenarkan oleh pihak yang lain. Dalam kenyataannya, sepuluh orang sultan setelah

10

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 83

11

Raja hukum pejabat kedua setelah sapati dalam kesultanan.

12

Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 61

Page 18: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

7

wafatnya La Elangi, hanya dua orang sultan yang tidak termasuk dalam keluarga

tanailandu.

Sebagai konsekuensi dari tidak berlakunya kesepakatan lalaki talu palena,

maka jabatan sultan tidak diwariskan. Sultan buton dipilih melalui proses yang

dijlankan oleh siolimbona.13

Hanya pada kasus, jika seorang anak laki-laki yang

dilahirkan dari istri pertama dari sultan yang sedang menjabat, ia adalah putra

mahkota dan berhak meneruskan jabatan ayahnya kelak. Anak laki-laki seperti ini di

sebut anana bangule.14

Abdul Rahim Yunus menyebut sistem pemilihan sultan Buton

sebagai “demokrasi-aristokrasi”. Pendapat itu tampaknya didukung oleh proses

pemilihan, tetapi istilah itu tidak tepat. Ia memberi istilah yang kontradiktif.

Bagaimanapun yang namanya demokrasi adalah proses keterlibatan rakyat dalam arti

luas tanpa dibatasi oleh tingkatan kelas sosial tertentu untuk menyatakan kehendak.

Jadi, sistemnya tidak demokratis. Proses itu dapat dikatakan sebagai “pemilihan

terbatas” dengan calon yang sudah disiapkan dari golongan kaomu.

Seperti yang telah disebutkan di atas, pola pemerintahan dibentuk oleh

golongan kaomu dan walaka. Berikut ini dikemukakan struktur birokrasi Buton.

Berturut-turut sesudah jabatan sultan dan sapati, jabatan ketiga dan seterusnya ke

bawah adalah: kenepulu, kapitalao atau kapita raja dan bonto-ogena (menteri besar).

kapitalao dan bonto-ogena masing-masing terdiri atas dua orang. Sebagai pemegang

13

Siolimbona adalah dewan yang terdiri atas sembilan (sio) menteri yang mengepalai negeri

(lipu).

14

Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 142

Page 19: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

8

komando armada laut dan penguasa perang, kapitalao matanaeo15

bertanggung jawab

di kawasan timur, sedangkan kapitalao sukanaeo16

di kawasan barat. Sebagaimana

kapitalao, bonto-ogena juga mempunyai wilayah tanggung jawab di timur

(matanaeo) dan di barat (sukanaeo). Jabatan-jabatan yang berjumlah delapan itu

dikenal juga dengan istilah pangka (pangkat).

Dalam dokumen VOC, istilah pangka disebut rijksgroten (pembesar-

pembesar kerajaan). Sultan tidak termasuk kedalam pangka. Dari kedelapan

pembesar kerajaan itu, enam pejabat berasal dari kaomu dan yang dua dari walaka.

Selain dewan kerajaan (siolimbona), terdapat juga menteri dalam (kerajaan) yang

terdiri atas delapan orang, dan menteri lencina kanjawari yang berjumlah delapan

orang. Selain pangka, sebagaimana yang disebutkan rijksgroten oleh VOC, dikenal

pula dewan kerajaan yang berjumlah tiga puluh orang. Penjumlahan itu dihitung dari

bonto-ogena (dua orang), menteri siolimbona (Sembilan orang), menteri dalam

(sebelas orang), menteri lencina kanjawari (delapan orang).17

Mengenai struktur

pemerintahan yang dipaparkan di atas, dikuatkan oleh keterangan sumber VOC yang

mengatakan bahwa kesultanan Buton terdiri atas seorang raja (en koning), seorang

15

Matana-eo artinya „matahari terbit‟

16

Sukana-eo artinya „matahari terbenam‟

17

Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 72-73

Page 20: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

9

perdana menteri (rijksbestierder) dan tiga puluh anggota dewan kerajaan

(rijksgroten).18

Berangkat dari latar belakang ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dan

mendalam lagi bagaimana sebenarnya “Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton

pada abad 15 M Dalam Perspektif Islam” dalam sebuah skripsi sebagai tugas akhir

jenjang Strata satu yang ditempuh penulis.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam studi ini hanya dibatasi dalam Sistem

Ketatanegaraan Kesultanan Buton pada Abad 15 M dalam Perspektif Islam.

Dari masalah pokok di atas dapat disimpulkan menjadi dua (2) sub masalah

yang dirumuskan dengan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep persamaan pemerintahan di Kesultanan Buton pada

abad 15 M dengan Pembagian Kekuasaan dalam Islam?

2. Bagaimana sistematika pemilihan sultan di Kesultanan Buton dalam sudut

pandang pemilihan pemimpin dalam Islam?

C. Tujuan Dan Kegunaan

Tujuan penulisan skripsi ini antara lain:

18

MvO Frederick Gobius kepada Jozua van Arrewejine Gouverneour en Directur van

Makassar, 20 Maij 1782:15. Arsip Makassar No. 163/3. ANRI Jakarta.

Page 21: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

10

1. Untuk memaparkan konsep persamaan kekuasaan yang berlaku di

Kesultanan Buton abad 15 M dan Pembagian kekuasaan dalam Islam.

2. Untuk menjelaskan sistematika pemilihan sultan di Kesultanan Buton dari

sudut pandang pemilihan pemimpin dalam Islam.

Kegunaan dari penulisan skripsi ini antara lain:

1. Dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menyumbangkan

pemikiran dalam rangka memberikan andil bagi perkembangan ilmu

pengetahuan terutama dalam bidang fiqh siyasah, sebagai bagian dari

mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Syari`ah dan Hukum.

2. Dapat merupakan salah satu sumbangan pemikiran untuk memperkaya

kepustakaan hukum Islam pada umumnya dan ilmu hukum tata

pemerintahan pada khususnya.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk menunjukkan

keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu mengkaji berbagai pustaka yang berkaitan

dengan penelitian dalam skripsi ini.

Karya Susanto Zuhdi yang berjudul Sejarah Buton yang Terabaikan Labu

Rope Labu Wana. Fokus kajian ini adalah membahas mengenai sejarah kerajaan dan

kesultanan Buton yang terlupakan oleh sejarah nasional, yang mana meliputi kondisi

demografis Masyarakat Buton hingga sejarah berubahnya Kerajaan Buton menjadi

Kesultanan Buton.

Page 22: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

11

Karya Abdul Mulku Zahari yang berjudul Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni

(Buton). Fokus kajian ini adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang telah di bahas

oleh Susanto Zuhdi mengenai sejarah, akan tetapi yang menjadi perbedaan dengan

karya Susanto Zuhdi adalah Abdul Mulku Zahari lebih spesifik mengkaji tentang adat

istiadat yang ada dalam Masyarakat Buton.

Karya Abdul Rahim Yunus yang berjudul Posisi Tasawuf dalam Sistem

Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19. Yang mana fokus kajian dalam

buku ini adalah lebih fokus pada posisi tasawuf yang ada dalam kesultanan Buton.

Karya prof. Dr. Achadiati Ikram yang berjudul Istiadat Tanah Negeri Butun.

Ini adalah Buku karya ibu Achadiati yang merupakan dosen Program Pascasarjana

Universitas Indonesia, yang mana fokus dalam kajian buku ini adalah pengaturan

kekuasaan Negeri Buton berdasarkan Undang-undang yang secara resmi disebut

“Murtabat Tujuh”. Yang mana ideology dari undang-undang Negeri Butun ini

didasarkan pada ajaran Sufi.

Dan adapun perbedaan tulisan dalam penelitian ini dengan karya-karya tulisan

yang penulis sebutkan diatas yaitu Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton yang

dalam hal ini dilihat dari sudut pandang sitem ketatanegaraan dalam Islam.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan

dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang di sebut

metode penelitian, yang di maksud metode penelitian adalah cara meluruskan sesuatu

Page 23: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

12

dengan menggunakan pikiran sesama untuk mencapai tujuan19

metode adalah

pedoman cara seorang ilmuan untuk mempelajari dan memahami langkah-langkah

yang di hadapi20

.

Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan yang di laksanakan dengan suatu

sistematika metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru

atau asli dalam memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di

masyarakat21

dalam skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian, yaitu

penelitian pustaka (library research).

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan kualitatif. Dalam buku

Basrowi dan Suwandi yang Berjudul Memahami Penilitian Kualitatif, disebutkan

bodgan dan Taylor mendefinisikan kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang dapat

diamati22

karakter khusus penelitian kualitatif berupaya mengungkap keunikan

individu, kelompok, masyarakat, atau organisasi tertentu dalam kehidupanya sehari-

hari. Di lihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam metode penelitian

yang bersifat deskriptif yaitu metode yang dapat diartikan sebagai prosedur

19

Cholid Arboko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Pustaka, 1999), h.1

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,

1989), h.6

21

Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada Press,

2004), h.111

22

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penilitian Kualitatif, .(Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.21

Page 24: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

13

pemecahan masalah yang sedikit dengan menggambarkan/melukiskan keadaan

subyek atau obyek penelitian (seseorang, masyarakat, lembaga dan lain-lain) pada

saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya.23

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang di gunakan merupakan bagian yang terpenting dalam

penelitian ini, maka pencarian data yang di pergunakan dari penelitian ini di peroleh

dari:

a. Bahan Primer.

Peraturan undang-undang di Kesultanan Buton (Murtabat Tujuh) serta dalil-

dalil yang berkaitan dengan ketatanegaraan Islam yang ada dalam al-Qur‟an maupun

Hadis.

b. Bahan Sekunder.

Bahan sekunder yang digunakan berupa buku-buku, tulisan-tulisan, makalah,

surat kabar, artikel, mengambil berdasarkan sumber yang di himpun dari media masa

maupun dari laporan-laporan yang dapat mengetahui gambaran-gambaran secara

khusus yang mengkategorikan sistem ketatanegaraan di kesultanan Buton, serta

berdasarkan sumber kepustakaan yang berasal dari buku-buku dari berbagai

narasumber di bidang kesultanan Buton.

3. Teknik Analisis Data

23

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2007), h. 68

Page 25: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

14

Setelah memperoleh data, maka penulis akan mengolah data dengan

menggunakan metode deskriptif yaitu memberikan pemaparan dan penjelasan data

yang di temukan dalam penelitian secara logis dan sistematis. Dengan menyajikan

dan menggambarkan data secara alamiah dan tanpa merubah apapun atau

memanipulasi data-data di dalam menyajikan data tersebut akan di komparasikan

menurut hukum ketatanegaraan Islam dan hukum ketatanegaraan umum dan penulis

hanya memberikan kualifikasi khusus yang di kategorikan sistem ketatnegaraan Islam

yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

4. Teknik penulisan

Dalam hal teknik penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,

penulis menggunakan sistematika penulisan yang disusun perbab, dan setiap bab

memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi

ini di akhiri oleh daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi

ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika tersebut ialah sebagai berikut:

Sebelum mengadakan suatu penelitian, maka hal-hal yang penting

dirumuskan untuk memperjelas dan memperkokoh penelitian, adalah dengan

memaparkan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

Page 26: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

15

kegunaan, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika

penulisan. Seluruh poin ini dibahas tuntas oleh penulis pada bab pertama skripsi ini.

Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama,

maka di bab kedua, penulis memaparkan tentang tinjauan teoritis Pembagian

Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan Islam dengan rincian: Pembagian

Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan Islam, dan Praktek pembagian kekuasaan

dalam sejarah Ketatanegaraan Islam.

Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah kedua,

maka di bab ketiga, penulis memaparkan konsep pandangan umum tentang

Kesultanan Buton dengan rincian: sejarah masyarakat Buton, sejarah lahirnya

Kesultanan Buton, sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton dan sistem pemulihan

dan pengangkatan sultan di Kesultanan Buton.

Untuk menjawab dan mendeskripsikan pokok masalah pertama dan kedua,

maka di Bab keempat, penulis memaparkan tentang Konsep Pembagian Kekuasan

dalam Islam dan Prakteknya terhadap Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton

dengan rincian: Perspektif politik Islam dalam sistem Pemerintahan di Kesultanan

Buton, mekanisme pemilihan sultan Buton dalam perspektif pemilihan pemimpin

dalam Islam, Sistem Ketatanegaraan Islam dan Sistem Ketatanegaraan Kesultanan

Buton.

Untuk menarik kesimpulan yang jelas mengenai hasil penelitian skripsi ini,

maka pada bab kelima, penulis memaparkan kesimpulan secara singkat dan padat,

ditambah dengan beberapa saran.

Page 27: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

16

BAB II

TINJAUAN TEORITIS PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN ISLAM

A. Pembagian Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan Islam

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seorang atau kelompok

guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan,

kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau

kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau

kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Kekuasaan itu dapat dipusatkan

ataupun dibagi-bagi oleh pemegang kekuasaan itu sendiri. Tetapi para ahli

pemerintahan mencoba mengusulkan pendapat untuk membagi ataupun memisahkan

kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh

para birokrat.1

Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan serta diberi istilah sebagai

berikut:2

Eka Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh suatu badan. Bentuk ini

sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era

pemerintahannya. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja, dan bisa muncul pada

suatu kerajaan absolut atau pemerintahan facisme.

1 Inu Kencana Syafiie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), h. 100

2 Inu Kencana Syafiie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 100-101

Page 28: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

17

Dwi Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh

Wodrow Wilson dan Frank J. Goodnow dikategorikan sebagai lembaga administrasi

(unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga politik (unsur pengatur undang-

undang).

Tri Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh tiga badan. Bentuk ini

banyak diusulkan oleh para pakar yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan

pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya Montesquieu

dan John Locke, serta yang agak identik Gabriel Almond.

Catur Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan. Bentuk ini

baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen, bila tidak akan tampak

kemubaziran. Van Vollenhoven pernah mengategorikan bentuk ini menjadi regeling,

bestuur, politie, dan rechsspraak.

Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima badan. Bentuk ini

sekarang dianut oleh indonesia karena walaupun dalam hitungan tampak enam badan

yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, konsultatif dan eksekutif,

namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotannya terdiri dari

anggota legislatif bahkan ketuanya sampai saat ini dipegang oleh satu orang.

Berbeda dengan Islam, dalam al-Quran tidak menentukan bentuk lembaga-

lembaga politik dan prosedur politik tertentu untuk dilaksanakan oleh umat Islam.

Lembaga-lembaga politik yang pernah dimiliki umat Islam muncul dan berkembang

sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim dan kebutuhan mereka

Page 29: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

18

untuk mengorganisasi diri.3 Ekspedisi militer dan penakhlukan wilayah kekuasaan

Kerajaan Byzantium dan Sasaniyah telah mengharuskan umat Islam mengadopsi

beberapa praktik dan lembaga politik yang dimiliki masyarakat yang ditaklukan. Nur

Mufid dalam bukunya Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-mawardi mengutib bahwa

Ayubi menyatakan dikarenakan sangat sedikitnya ajaran politik yang terdapat dalam

al-Quran dan Hadis, maka sejak awal kaum muslim telah mengembangkan sistem

politik mereka atas dasar inspirasi dari beberapa ajaran dari al-Quran dan Hadis,

tradisi kesukuan Arab dan warisan politik dari wilayah-wilayah yang mereka kuasai

terutama kawasan yang pernah berada dibawah kekuasaan Byzantium dan Sasaniyah.

Menurutnya, pengaruh dari al-Quran dan Hadis tampak terutama dalam praktik

politik selama masa Khulafaurrasyidin, sedangkan tradisi Byzantium banyak

mempengaruhi praktik politik pada masa Umayyah, dan tradisi Persia banyak

mewarnai politik Dinasti Abbasiyah. Meskipun demikian, praktik politik dan

pemerintahan umat Islam sesungguhnya lebih merupakan rangkaian proses penafsiran

dan akomodasi ajaran dan realitas sosial politik yang ada.4

Sejak pertama kali nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya sampai

dengan beliau wafat, disebut masa kenabian yaitu yang merupakan masa keagungan

Islam. Tetapi untuk melihat pemerintahan nabi Muhammad SAW adalah setelah

beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah, karena setelah terbentuknya pemerintahan

3 Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2000), h. 39

4 Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, h. 40

Page 30: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

19

Islam di Madinah itulah, jamaah islamiyah memperoleh kedaulatan yang sempurna,

kemerdekaan yang penuh dan konsep-konsep Islam mulai diterapkan. Pada periode

Mekkah belum banyak mencatat hal ikhwal pemerintahan karena pada periode ini

umat Islam difokuskan pada mengagungkan nama Allah, pensucian jiwa dan pikiran

dari kebiasaan-kebiasaan buruk di zaman jahiliah. Sedangkan pada periode Madinah

barulah umat Islam melaksanakan hal ikhwal kenegaraan, karena untuk keleluasaan

menjalankan agama diperlukan negara yang kokoh dan pemerintahanpun dibentuk,

pajak dijalankan berdasarkan al-Quran, perekonomian berdasarkan al-Quran dan

sebagainya. 5

Namun untuk melihat lebih mendalam lembaga-lembaga pemerintahan seperti

badan legislatif (majelis syûrâ), badan eksekutif (ulîl amri), badan yudikatif (qâdhî

syuraîh), pemerintah daerah (seperti kegubernuran Basra, Kufa, Damaskus, Zabaid

dan Aden serta lain-lainnya) kesemuanya akan lebih jelas dibahas pada masa

Khulafaurrasidin, karena di saat Rasulullah hidup pembaca harus merasakan bahwa

beliau sebagai nabi dan Rasul Allah yang menerima wahyu dan pesuruh Allah

(Messenger of God) walaupun Allah menurunkan surat khusus tentang musyawarah

(as-syûrâ) tetapi Rasul tidak memusyawarakan wahyu, karena bukanlah manusia

(yang diberi tahu) dan Allah yang Maha Tahu (al-khabîr) memberitahukan manusia

dengan menurunkan wahyu melalui Rasul-Nya.6

5 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.

172

6 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, h. 173-174

Page 31: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

20

Atas alasan tersebut di atas, maka badan legislatif, badan eksekutif, badan

yudikatif dan badan konsultatif dalam pemerintahan Rasulullah akan lebih

berkembang pada zaman Khulafaurrasidin. Namun kita catat pula bahwa para

khalifah berpatokan pada bagaimana Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat,

misalnya sewaktu sebagai berikut:

1. Dalam kasus Ghanimah suku Hawazin.

2. Sebelum penyerangan terhadap orang-orang musyrik di Uhud.

3. Tentang masalah perdamaian dengan suku Ghatfan dan lain-lain

banyak lagi.

Tetapi kita ingat pula bagaimana para sahabat dan kaum muslimin lainnya heran akan

tindakan Rasulullah tanpa kompromi menerima perjanjian Hudaibiyah yang dibuat

pihak Quraisy secara sepihak dan sangat subyektif sifatnya. Jadi bila Ali Abdul Raziq

menanyakan dengan sinis patokan apa yang diberikan Rasulullah tentang

pemerintahan, maka jawabannya adalah patokan dasar kenegaraan, dan sasaran utama

dari ilmu pemerintahan bagi al-Quran adalah mental manusia karena manusia yang

menjadi penguasa di muka bumi ini dan mental manusialah yang mempengaruhi

perilaku.7

Ibnu al-„Atsir di dalam kitabnya al-Kâmil fî Tarîkh menceritakan salah satu

peristiwa sejarah yang sangat penting, yaitu pengangkatan Abu Bakar r.a sebagai

khalifah. Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan membaiat Abu Bakar didahului oleh

7 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.

17

Page 32: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

21

Basyir bin Sa‟ad yang membaiat Abu Bakar. Setelah suku Aus melihat apa yang

dilakukan Basyir, maka merekapun membaiat Abu Bakar.8

Rasyid Ridla berkaitan dengan perwakilan ini telah berkata, “Demikianlah,

dikalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan di

dalam mengatur kemaslahatan-kemaslahatan, serta mampu menyelesaikan masalah-

masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah-masalah kemasyarakatan dan

politik. Itulah yang disebut dengan ahlu syura atau ahl al-hall wa al-‘aqd di dalam

Islam. Pengangkatan khalifah tidaklah dibenarkan, kecuali apabila mereka itulah yang

memilihnya serta membaiatnya dengan kerelaannya. Mereka itulah yang disebut

dengan wakil masyarakat pada bangsa-bangsa yang lainnya.9

Al-Mawardi,10

menyebutkan orang-orang yang memilih khalifah ini dengan

ahlul ihktiar yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama, keadilan yang

memenuhi segala persyaratan, kedua, memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang

berhak menjadi imam dan persyaratan-persyaratannya, ketiga, memiliki kecerdasan

dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan

paling mampu serta paling tahu tentang kebijakan-kebijakan yang membawa

kemaslahatan bagi umat.

8 A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,

(Jakarta: Kencana, 2009), h. 74

9 Akhmad Taufiq, M. Dimyati Huda & Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh

Modernisme Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 105

10

Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-

Halabi, 1985), h. 6

Page 33: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

22

Djazuli dalam bukunya Fiqh Siyasah menyebutkan bahwa Abu A‟la al-

Maududi, di samping menyebutnya dengan ahl al-hall wa al-aqd, ahl syura’, juga

menyebutnya dengan “dewan penasehat”. Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall

wa al-aqd ini tampak hal-hal sebagai berikut:

1. Ahl al-Hall wa al-Aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang

mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat imam.

2. Ahl al-Hall wa al-aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan

masyarakat kepada yang maslahat.

3. Ahl al-Hall wa al-aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang

yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak diatur

secara tegas oleh Al-Quran dan Hadis.

4. Ahl al-Hall wa al-aqd tempat konsultasi imam didalam menentukan

kebijakannya.

5. Ahl al-Hall wa al-aqd mengawasi jalannya pemerintahan.

Abdul Kadir Audah menyebut lima macam kelembagaan, yaitu:11

1. Al-sulthah al-Tanfidhiyyah (eksekutif);

2. Al-sulthah al-Tasyrî’iyah (legislatif);

3. Al-sulthah al-Qadlâiyah (yudikatif);

4. Al-sulthah al-Mâliyah (bank sentral);

5. Al-sulthah al-Murâqabah (lembaga pengawasan);

11

A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah,

(Jakarta: Kencana, 2009), h. 77

Page 34: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

23

Lembaga yang pertama dipimpin oleh imam, lembaga kedua dipegang oleh

ulil amri, lembaga ketiga dipegang oleh para hakim, lembaga keempat dipegang oleh

imam, dan lembaga kelima yaitu pengawasan dipegang oleh ahlu syura’ ulama, dan

fuqaha.

Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga

dengan al-sulthah al-tasyrî’iyah, yaitu kekuasaan pemerintahan Islam dalam

membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang pun berhak

menetapkan suatu hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Hal ini

ditegaskan sendiri oleh Allah ayat 57 sebagai berikut:

م كح إن الح جلون به ت عح ما عنحدي ما تسح ب حتمح به نة منح ربي وكذ قلح إني على ب ي ير الحفاصلي )األنعام: ( وهو خي ح ق ي قص الح إل لله

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)

dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang

kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah

hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang

paling baik". (Q.S. al-An’am: 57)

Akan tetapi, dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sulthah al-tasyri’iyah

digunakan untuk menunjukan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintahan

Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, disamping kekuasaan eksekutif (Al-

sulthah al-Tanfidhiyyah) dan kekuasaan yudikatif (Al-sulthah al-Qadlâiyah). Dalam

konteks ini, kekuasaan legislatif (Al-sulthah al-Tasyrî’iyah) berarti kekuasaan atau

kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan

dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah

Page 35: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

24

SWT dalam syariat Islam.12

Dengan demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam

meliputi:13

1. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang

akan diberlakuakn dalam masyarakat Islam.

2. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.

3. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar

syariat Islam.

Dalam pelaksanaan pemerintahan, menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya

Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, mengatakan bahwa Maududi

membagi kekuasaan lembaga negara ke dalam badan-badan eksekutif, legislatif dan

yudikatif. Namun pandangannya tentang tiga lembaga ini berbeda dengan konsep

trias politika barat. Dalam uraiannya, Maududi menjelaskan bahwa badan eksekutif

dipimpin oleh kepala negara. Untuk melaksanakan tuganya, kepala negara harus

melakukan konsultasi dengan lembaga legislatif yang dipilih oleh umat Islam.

Lembaga legislatif inilah yang merumuskan perundang-undangan untuk diterapkan

dalam masyarakat Islam. Dalam susunannya, ketua lembaga legislatif ini dipegang

sendiri oleh kepala negara, sementara dalam hubungan antara kepala negara dan

12

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2001), h. 161

13

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 162

Page 36: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

25

lembaga legislatif, Maududi tidak mengharuskan kepala negara mengikuti keputusan

lembaga legislatif, meskipun didukung oleh suara terbanyak.14

Secara lebih konkret, persentuhan yang lebih dekat umat Islam dengan praktik

Imperium Romawi dan Byzantium di provinsi-provinsi yang dikuasai oleh umat

Islam telah membawa banyak sekali istilah institusi-institusi politik dan pemerintahan

ke dalam kehidupan masyarakat Islam. Sebagian diantaranya mudah dikenali, seperti

Syurtah, yaitu kelompok orang yang ditugaskan untuk menjalankan tugas kepolisian.

Sebagian lainnya menggunakan bungkus Arab-Islam, seperti Muhtasib, semacam

pengawas untuk bidang moral dan perdagangan, yang mewarisi fungsi agoranomos

Byzantium. Terdapat juga pinjaman sejenis dari provinsi-provinsi timur. Kantor

pemerintahan, di mana pegawai negara menjalankan tugas mereka, dalam bahasa

Arab disebut, diwan. Sebutan ini diambil dari sebutan yang sama untuk menunjuk

obyek yang sama dalam bahasa Persia. Kepala para pegawai diwan di atas, seorang

yang dipanggil wazir, adalah panggilan yang secara etimologis diambil dari bahasa

Arab, tetapi berhutang dalam banyak perkembangannya kepada presedennya di

imperium Iran.15

Sementara itu, negara (state) itu sendiri merupakan sebuah konsep yang lahir

dan berkembang di Eropa Barat sejak abad ke-16 dalam kaitannya dengan fenomena

seperti renaissance dan pertumbuhan kapitalisme dan individualisme. Konsep

14

Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pimikiran Politik Islam Dari Masa Klasik

Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 180

15

Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2000), h. 40-41

Page 37: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

26

pembagian kekuasaan menjadi tiga: eksekutif, legislatif dan yudikatif juga merupakan

fenomena Eropa modern. Lahirnya konsep tersebut pada dasarnya dimaksudkan

untuk membatasi kekuasaan penguasa (raja-raja di Eropa) yang cenderung kuat,

menghilangkan praktik feodalisme dan menjadikan rakyat sebagai pemegang

kedaulatan (demokrasi). Maka wajar jika kita tidak menemukan konsep tersebut

dalam pemikiran politik Islam pada abad-abad pertama, pertengahan bahkan abad-

abad pra-modern. Tetapi, pemikiran politik Islam sesungguhnya banyak berbicara

tentang badan politik (body-politic), penguasa (ruler) dan pemerintahan (goverment).

Jika konsep negara di barat tidak bisa dipisahkan dari konsep-konsep tentang

individualisme, kebebasan dan hukum, maka konsep Islam tentang body-politic tidak

bisa dipisahkan dari konsep-konsep tentang kelompok (jama’ah atau ummah),

keadilan (‘adl atau ‘adalah) dan kepemimpinan (imamah atau khilafah).16

B. Praktek Pembagian Kekuasaan dalam Sejarah Ketatanegaraan Islam

1. Periode Nabi

Praktek pembagian kekuasaan dalam sejarah ketatanegaraan Islam pertama

kali muncul pada masa kenabian Rasulullah SAW, kekuasan Islam ini sendiri nampak

jelas di negara Madinah yang berdirih setelah nabi Muhammad hijrah. Sebab

Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Makkah dan kaum Anshar

dari Madinah dengan cara pendekatan yang terindah dalam sejarah. Kekuasaan ini

16

Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2000), h. 41-42

Page 38: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

27

nampak dalam pendirian nabi Muhammad SAW terhadap pilar-pilar negara baru,

pengokohan kekuasaannya, menjelaskan sistemnya, manajemen para pegawainya,

pemilihan para komandan tentara, gubernur dan hakim di dalamnya, dan pengarahan

rakyat dan para pemimpin dengan pengarahan yang merealisasikan kemenangan

dalam dakwah mereka dan kesuksesan di negara mereka.17

Segi lain yang perlu diperhatikan ialah pada masa Rasulullah SAW orang

belum mengenal teori pemisahan ataupun pembagian kekuasaan, dikarenakan pada

zaman tersebut nabi belum mempraktekan pembagian kekuasaan. Kekuasaan

sepenuhnya masih dipegang oleh nabi seorang diri, baik itu kekuasaan eksekutif,

legistalif dan yudikatif. Karena nabi lah yang langsung memerintah pemerintahan,

membuat peraturan-peraturan dan sekaligus menghakimi atau mengadili. Akan tetapi

dalam hal ini nabi tetap mendistribusikan sebagian kekuasaannya kepada para

sahabat, diantaranya dengan cara menunjuk para sahabat untuk menjadi wali, qadhi

(hakim) dan ‘amil (pengelola zakat) di daerah-daerah dan menunjuk wakil nabi bila

nabi bertugas keluar, melaksanakan musyawarah dan sebagainya. Mereka

mempunyai kewenangan yang mandiri sesuai dengan tugas mereka masing-masing.

Seorang qadhi misalnya, adalah seorang pejabat yang secara struktural tidak berada

dibawah wali. Seorang qadhi memiliki kekuasaan penuh dalam memutuskan setiap

perkara. Untuk dapat diangkat sebagai seorang qadhi, seseorang harus mempunyai

kualifikasi tertentu, yaitu: ia dikenal sebagai orang yang berilmu luas, menguasai

17

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa,

2004), h. 45

Page 39: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

28

masalah-masalah hukum, shalih, adil, jujur, takwa, cerdas dan mempunyai

kemampuan konsiderasi.18

2. Periode al-Khulafa al-Rasyidin.

Begitupun pada masa Khulafa al-Rasyidin, dalam pelaksaan tugas

pemerintahannya Abu Bakar telah mengadakan pembagian tugas kenegaraan dan

mengikutsertakan para sahabat untuk berpartisipasi dalam penyelengaraan negara itu.

Inisiatif ini barangkali dapat ditafsirkan sebagai penciptaan struktur sebuah negara.

Abu Bakar selain sebagai khalifah juga menjabat sebagai panglima angkatan

bersenjata, ini dapat dilihat dengan mengangkat dan menugaskan panglima-panglima

perang unutuk mengamankan daerah-daerah tertentu, baik dalam rangka memerangi

orang-orang murtad maupun penyerangan musuh Islam yang kerap mengancam

keamanan negara dan dakwah Islam. Untuk menjalankan pemerintahan dipusat Abu

Bakar mengangkat Ali ibn Thalib, Usman ibn Affan dan Zaid ibn Sabit sebagai

sekretaris negara. Abu Ubaidah diangkat sebagai menteri keuangan yang mengurus

bait al-mal, dan untuk tugas pengadilan Abu Bakar mengangkat Umar ibn Khattab

sebagai hakim agung.19

Selanjutnya pada masa Kekhalifaan Umar ibn Khattab, karena wilayah

kekuasaan negara Madinah pada masa khalifah Umar makin menjadi luas maka

wilayah Negara dibagi menjadi unit-unit administratif sebagai berikut: provinsi,

18

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 169

19

M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII

Press, 2006), h. 59

Page 40: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

29

distrik dan sub distrik. Pada masa khalifah Umar sekurang-kurangnya ada delapan

provinsi di bawah yuridiksi kepemerintahannya. Di setiap provinsi Umar mengangkat

seorang Gubernur (wali) dan sekretaris (katib). Kecuali itu ada pula katib al-diwan

yaitu sekretaris kepala dari kesekretariatan tentara, sahib al-kharaj (pejabat pajak),

sahib al-abdats (pejabat kepolisian), sahib al-bait al-mal (pejabat keuangan) dan qadi

(hakim). Dengan demikian Umar jauh sebelum lahirnya teori trias politika dari

Montesquieu (1688-1755) telah mengatur administrasi pemerintahannya dengan

pembagian atau pemisahan kekuasaan antara tiga kekuasan yaitu eksekutif, yang ia

pimpin, kekuasan yudikatif yang ia limpahkan kepada hakim dan kekuasaan legislatif

yang ada pada majelis permusyawaratan.20

Pada masa pemerintahan Umar terdapat pula petugas pengawas yang

melaporkan kepadanya tentang kemungkinan terjadinya penyelewengan baik yang

dilakukan oleh pejabat sipil maupun pejabat militer. Setiap kasus penyelewengan

beliau selesaikan secara hukum, dan untuk hal ini tiada seorangpun dikecualikan.21

Selanjutnya setelah masa kekhalifaan Umar ibn Khattab, maka kekhalifaan

dilanjutkan oleh Usman ibn Affan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Usman

agaknya tidak merubah kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Umar. Khalifah

Usman masih dibantu oleh pejabat-pejabat diwan al-kharaj (perpajakan), bait al-mal

(bendahara negara), ahdats (kepolisian), nafi’at (pekerjaan umum), jund (militer).

Dalam hal ini Usman hanya melanjutkan pendahulunya saja. Untuk jabatan di daerah,

20

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 180

21

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 181

Page 41: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

30

Usman juga dibantu oleh gubernur-gubernur. Di samping itu pada awal

pemerintahanya, Usman juga mengadakan konsultasi dengan beberapa sahabat

tentang berbagai masalah pemerintahan.22

Berbeda dengan kepemimpinann pada masa Khulafaur Rasiyin sebelumnya,

pada masa pemerintahan Ali yang kurang lebih lima tahun, tidak pernah sunyi dari

pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat

dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus

masalah pemberontakan di berbagai wilayah kekuasaanya, ketimbang mengerus

masalah pembagian kekuasaanya. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki

kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang mengalami kesulitan dalam

administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan

sebelumnya. Dalam menjalankan kepemerintahan, Ali melakukan kebijakan politik

seperti sebagai berikut:23

1. Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir

menguasai seluruh sektor bisnis.

2. Memecat gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya

dengan gubernur yang baru.

3. Menagmbil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman

ibn Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak

22

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratana, 2001), h. 70

23

Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Litera Antar

Nusa Pustaka Nasional, 2010), h. 206

Page 42: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

31

diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul

maal.

3. Periode Dinasti-dinasti Islam.

Dalam praktek, kekuasaan politik semakin tersentralisasi di tangan khalifah

meskipun organisasi politik mengalami perluasan dengan dibentuknya lembaga

admisnistrasi pemerintahan. Penguasa pertama dinasti Umayyah, Mu‟awiyah

(berkuasa 661-680) melakukan rekonstruksi otoritas politik khalifah, dan melakukan

perubahan dari sebuah koalisi di kalangan suku-suku Arab menjadi sebuah monarki

(kerajaan) yang terpusat. Singkat kata, rezim Umayyah bertumpu pada kekuasaan

keluarga raja (khalifah) yang didukung oleh kekuatan militer dan birokrat sipil yang

terdidik dalam tradisi administrasi kerajaan Byzantium.24

Suksesi kepemimpinan

secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk

menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh

monarki di Persia dan Byzantium. Dia tetap menggunakan istilah khalifah, namun,

dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan

tersebut.25

Berbeda dari dekade-dekade awal dinasti Umayah, instansi-instansi atau biro

pemerintahan dibentuk. Biro-biro tersebut dibentuk untuk mengatasi kebutuhan dan

sebagai kelanjutan dari tradisi yang sudah berkembang di wilayah takhlukan. Urusan

24

Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2000), h. 47

25

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 42

Page 43: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

32

pemerintahan tidak hanya lagi ditangani oleh pemuka-pemuka Arab saja, melaikan

juga oleh sebuah kelas professional (administrator) yang terdidik, meski tetap dengan

keharusan memiliki loyalitas terhadap penguasa (khalifah).26

Setelah pemerintahan dinasti Umayah jatuh, kekuasaan khilafah jatuh

ketangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim yang kemudian membangun Dinasti

Abbasiyah. Adapun bentuk dan sistem pemerintahan, struktur organisasi

pemerintahan dan administrasi pemerintahan dinasti ini pada dasarnya sama dengan

dinasti Umayah, hanya ada beberapa perubahan dan penambahan saja. Bentuk

negaranya tetap monarki dan gelar kepala negaranya tetap khalifah hanya saja ada

penambahan gelar khalifah sebagai zhulullahi fil ardhi (bayangan Allah di bumi).

Pernyataan ini mengandung arti bahwa khalifah memperoleh kekuasaan dan

kedaulatan dari Allah.27

Sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Bani Abbas merupakan

pengembangan dari bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Ada beberapa hal

penting yang dilakukan khalifah-khalifah Bani Abbas dalam menjalankan

pemerintahan. Bani Abbas mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu

pada empat aspek, yaitu aspek khilafah, wizarah, hijabah, dan kitabah.28

26

Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2000), h. 48

27

M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII

Press, 2006), h.73

28

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratana, 2001), h. 87

Page 44: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

33

Lembaga khilafat dijabat oleh seorang khalifah sebagai telah disebut di atas,

dan suksesi khalifah berjalan secara turun temurun di lingkungan keluarga Dinasti

Abbasiah. Lembaga al-wizarat (kementerian) di pimpin oleh seorang wazir, seperti

menteri pada zaman sekarang. Lembaga dan jabatan ini baru dalam sejarah

pemerintahan Islam yang diciptakan oleh khalifah Abu Ja‟far al-Mansur. Wazir

membawahi kepala-kepala departemen.29

Wazir adalah pembantu dan penasehat

utama khalifah; mewakilinya dalam melaksanakan pemerintahan, mengangkat para

pejabat Negara atas persetujuan khalifah. Wazir juga berkedudukan sebagai kepala

pemerintahan eksekutif dan pemimpi angkatan bersenjata.30

Setelah runtuhnya Dinasti Abasiah, maka roda pemerintahan Islam beralih

kepada Turki Usmani. Dalam pelaksanaan pemerintahan, penguasa-penguasa

imperium Usmani bergelar sultan dan khalifah sekaligus. Sultan adalah gelar mereka

untuk masalah-masalah duniawi, sedangkan khalifah merupakan gelar untuk urusan

keagamaan. Sistem pemerintahan Usmani banyak mengadopsi praktik kenegaraan

yang berlaku di Byzantium dan Persia. Untuk menjalankan kedua fungsi ini,

penguasa Usmani dibantu oleh tiga kekuasaan, yaitu administrasi birokrasi (men of

the pen), militer (men of the sword), dan kekuasaan agama (men of religion). Dalam

hal yang pertama, kebijaksanaan yang akan diambil Negara terlebih dahulu

didiskusikan dan dibicarakan dalam lembaga divan-i humayun (imperial council).

29

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jilid I. (Jakarta: UI Press, 1974),

h. 67

30

M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII

Press, 2006), h.74

Page 45: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

34

Lembaga ini merupakan pusat organisasi pemerintahan Usmani dan berasal dari

konsep pemerintahan Turki Saljuk dan Anotalia. Pada awalnya, divan-i humayun

dipimpin langsung oleh sultan. Dialah yang lebih banyak berperan membuat

keputusan-keputusan penting kenegaraan. Namun sejalan dengan perkembangan

dinasti yang semakin luas dan kompleksitas masalah-masalah kenegaraan, sultan

kemudian mengangkat salah seorang anggota divan-i humayun menjadi ketuanya.

Kepadanyalah sultan menyerahkan sebagian tugas-tugas kenegaraan dan berfungsi

sebagai pemimpin eksekutif sejak 1360. Pemegang kekuasaan ini disebut sadrazam.31

Dibawah divan-i humayun terdapat defterdar yang bertugas di bidang

finansial-moneter. Defterdar antara lain berwenang mengurus dan mengumpulkan

zakat, pajak perdagangan investor asing, jizyah dari berbagai daerah yang dikuasai

Usmani. Defterdar berada di bawah pengawasan sadrazam. Dalam pelaksanaan

kekuasaan yang begitu luas di daerah, kerajaan ini mengangkat gubernur (pasha) di

tingkat satu dan bupati (zanaziq) di tingkat dua.32

Dalam masalah-masalah agama penguasa Usmani dibantu oleh para mufti dan

qadi (qadhi). Mufti berperan sebagai penafsir hukum, sedangkan kadi berperan

sebagai pelaksaannya. Merekalah yang bertanggung jawab dalam pelaksaan syariat

Islam didalam kehidupan dinasti Usmani. Diantara mufti ini ada yang menjadi kepala

yang disebut Syaikh al-Islam. Dia adalah pemimpin ulama yang memiliki kekuasaan

31

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratana, 2001), h. 98

32

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 99

Page 46: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

35

keagamaan yang luas. Syaikh al-Islam dapat mengajukan permohonan kepada

sadrazam untuk mengangkat, memberhentikan atau mempromosikan pejabat-pejabat

agama. Sejak abad ke-16 Syaikh al-Islam memiliki kewenangan mengangkat dan

memberhentikan kadi-kadi di daerah yang penting. Syaikh al-Islam juga mempunyai

kekuasan mengontrol semua organisasi ulama. Sebagaimana sadrazam menjadi

reprentasi kekuasaan absolut sultan dalam masalah kenegaraan.33

Dalam kekuasaan agama ini, sultan atau khalifah dapat membuat perundang-

undangan atas inisiatifnya sendiri. Hukum atau peraturan yang dibuat sultan (negara)

tersebut dinamakan kanun (qanun).

Dari paparan diatas, dalam sejarahnya lembaga-lembaga politik Islam

awalnya tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan

pembagian kekuasaan tersebut. Demikian pula pemetaan praktik politik dalam sejarah

Islam tidak selalu bisa dilihat dari kerangka pendekatan di atas. Selain itu, lembaga-

lembaga tersebut akan ditelaah dari sudut praktik dan teori-teori yang dirumuskan

oleh beberapa yuris (terutama pada abad pertegahan), meskipun teori itu sendiri

seringkali merupakan produk dari pengamatan terhadap praktik politik yang terjadi

dalam sejarah.34

33

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratana, 2001), h. 99

34

Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2000), h. 42

Page 47: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

36

BAB III

PANDANGAN UMUM TENTANG KESULTANAN BUTON

Kata “Buton” memiliki empat pengertian. Pertama sebagai nama pulau, maka

kata ini mengacu kepada satu pulau dengan panjang sekitar 100 Km yang terletak di

dalam kepulauan jazirah tenggara pulau Sulawesi. Pulau Buton ini termasuk ke dalam

wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan terletak persis di sebelah tenggara tanjung

Sulawesi.1

Kedua, sebagai nama sebuah kesultanan, yang sebelum masuknya Islam

masih terbentuk kerajaaan, dan diperkirakan telah ada sebelum abad ke-14.

Kekuasaan kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama, seperti Buton. Muna dan

Kabaena, serta kepulauan tukang besi (Wakatobi) dan dua daerah di bagian tenggara

pulau Sulawesi, yakni Rumbia dan Poleang. Pada sekitar tahun 1542, kerajaan ini

berubah menjadi kesultanan ketika raja keenam yang bernama Lakilaponto masuk

Islam.2

Ketiga, kata ini mengacu kepada penduduk yang tinggal di pulau Buton.

Keempat sebagai nama sebuah kabupaten, maka kata ini mengacu pada satu wilayah

kabupaten,3 yang terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara

1 Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap

Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 42

2 Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap

Budaya, h. 42

3 Dulu Buton memang merupakan nama sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten Buton yang

dibentuk berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tk. II di Sulawesi

dengan Ibukota Bau-Bau. Wilayahnya mencakup hampir seluruh eks wilayah kekuasaan kesultanan

Page 48: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

37

ke selatan di antara 4, 960– 6,25

0 lintang selatan, dan membentang dari barat ke timur

di antara 120,000 – 123,34

0 bujur timur.

Selain itu, Buton juga dikenal dengan nama wolio. Seperti penyebutan bahasa

Buton dengan bahasa Wolio, tulisan khas Buton –aksara Arab Melayu- disebut

dengan buri wolio atau tulisan Wolio. Sampai sekarang kedua kata tersebut masih

terpakai, Buton sebagai salah satu nama kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara

dan Wolio sebagai kecamatan di kota Baubau –pemekaran dari kabupaten Buton.4

Kata Wolio juga seringkali digunakan oleh penduduk setempat untuk

menunjuk nama kerajaan yang sama. Dalam tulisan ini, Tony Rudiansjah lebih suka

menggunakan kata kesultanan Wolio untuk menyebut nama kerajaan atau kesultanan

ini, karena kata itu memperlihatkan kesinambungan sejarah dengan komunitas orang

Wolio yang menjadi cikal bakal dari monarki ini. Dalam istilah adat, komunitas orang

Wolio ini terkenal pertama kali dengan istilah patalimbona (artinya: empat kampung)

dan kemudian berkembang menjadi sembilan kampung dengan istilah siolimpuna

Buton, meliputi: Di sebelah Timur yaitu Pulau Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi)

berbatasan dengan Laut Banda. Di sebelah Barat Pulau Kabaena, Rumbia dan Poleang (berada di

daratan Sulawesi Tenggara). Di sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Bone dan sebagian Pulau

Buton di bagian Selatan dan sebagian Pulau Muna di bagian Selatan berbatasan dengan Laut Flores.

Seiring berjalanya waktu, Kabupaten tersebut kemudian mekar menjadi beberapa daerah otonom. Bau-

Bau menjadi daerah otonom (UU No. 13 Thn. 2001), Bombana dan Wakatobi dimekarkan menjadi 2

kabupaten baru (UU No. 29 Thn 2003). Kemudian, pada 24 Juli 2014 Kabupaten Buton dimekarkan

lagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Buton Tengah dan Buton Selatan (UU No. 15 Thn 2014

dan UU NO. 16 Thn 2014). kini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton memindahkan aktifitas

pemerintahannya ke Pasarwajo sebagai ibukota yang baru (PP No. 19 Thn 2003). Selengkapnya,

kunjungi situs: http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/74/name/sulawesi-

tenggara/detail/7404/buton,dan www.dpr.go.id/dokjdih/do cument/uu/1597.pdf. (diunduh pada Rabu,

25 mei 2016, Pukul 09:00 WIB).

4 Falah Sabirin, Tarekat Samaniyah di kesultanan Buton, (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2011), h. 51

Page 49: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

38

(artinya: sembilan kampung). Pemukiman siolimpuna ini, yang terdiri dari kampung

Baluwu, Peropa, Gundu-Gundu, Barangkatopa, Gama, Siompu, Wandailolo, Rakia,

dan Melai, masih dapat kita temukan sampai sekarang di dalam benteng keraton

Wolio di kota Baubau. Benteng keraton Wolio terletak di dalam kecamatan Murhum

dan kecamatan Wolio di kotamadya Baubau.5

A. Sejarah Masyarakat Buton

Dalam pembahasan tentang masyarakat, maka otomatis kita akan membahas

dari segi-segi etnis, bahasa, kehidupan ekonomi, dan golongan sosial. Penyebutan

orang Buton, sebagai suatu kesatuan kelompok etnis, sebenarnya tidaklah tepat

karena mereka yang mendiami wilayah Buton merupakan penduduk yang beragam

etnis dan suku bangsanya, antara lain dari Toraja, Bugis, dan Makasssar. Penduduk

Buton dapat diklasifikasi menjadi lima kelompok besar: orang Buton yang mendiami

pulau Buton, orang Muna yang mendiami pulau Muna, orang Maronene yang

mendiami pulau Poleang dan Rumbia, orang Kabaena yang mendiami pulau

Kabaena, dan penduduk yang mendiami pulau tukang besi (Wakatobi). Oleh sebab

itu, orang Buton adalah kelompok sosial yang sulit dirumuskan. Mereka juga tidak

menggunakan satu bahasa, tetapi beberapa bahasa yang berbeda.6

5 Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap

Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 44

6 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 43

Page 50: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

39

Selain kelompok etnis yang menghuni di berbagai pulau di wilayah kekuasaan

kesultanan Buton yang sudah disebut di atas, terdapat pula kelompok orang yang

dikenal dengan sebutan orang Bajo, Bajau, atau Bajao. Ketika Portugis menaklukan

Malaka, Tome Pires mencampuradukan pedagang Bugis yang datang dari Makassar

dengan orang Bajo yang ia katakan sebagai bajak laut. Tampaknya ada pengaruh

jatuhnya Malaka dengan pengembaraan orang Bajo. Mereka mendiami wilayah

pantai di pulau Kabaena, Poleang, Muna timur, kepulauan tukang besi, terutama di

Kaledupa, dan di kepulauan Tiworo. Selain itu, mereka juga terdapat di Pasar Wajo7

(sekarang menjadi ibu kota kabupaten Buton) di bagian selatan pulau Buton.

Mengenai keberadaan orang Bajo ini bukan suatu kebetulan. Mereka tampaknya

mempunyai peranan tersendiri bagi kesultanan Buton. Pada salah satu dari dua belas

pintu gerbang benteng keraton Buton terdapat nama lawana wajo8. Pintu-pintu itu

diberi nama sesuai dengan nama atau gelar petugas yang mengawasinya.9

Rahman dalam tesisnya mengutip bahwa Djarudju10

berpandangan bahwa

masyarakat Buton jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya pada umunya berasal dari

perpaduan dari ciri-ciri Austro-Melanesoid, Vedoid, Mongoloid, dan Papua

7 Wajo dalam bahasa Wolio adalah Bajo. Jadi Pasar wajo adalah Pasar (orang) Bajo. Lihat

Anceaux, 1987: 19. Wajo bukan mengacu pada nama tempat di Sulawesi Selatan, tetapi pasarnya

orang Bajo. Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 43

8 Lawana Wajo adalah bahasa Wolio, Lawana artinya pintu gerbang dan Wajo adalah sebutan

untuk orang Bajo.

9 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 43-44

10

Penulis buku Naskah dan Sejarah Kerajaan Buton dan Muna (dalam naskah Buton naskah

Dunia), (Baubau: Respect, 2009)

Page 51: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

40

Melanosoid. Persebaran orang dengan ciri-ciri Austro-Melonoid ialah dari Jawa ke

barat kemudian membelok ke utara hingga Vietnam, selanjutnya ke Jepang, Riukiyu,

Taiwan, dan masuk ke Buton. Orang dengan ciri-ciri Mongoloid, datangnya dari Asia

Timur, Jepang, Fhilipina, Sulawesi, dan masuk ke Buton. Orang dengan ciri-ciri

Vedoid berasal dari Ceylon (Srilangka), kemudian masuk ke Sulawesi melalui arah

barat yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan masuk ke Buton.11

Sedangkan menurut tradisi lisan masyarakat setempat menyatakan bahwa

penduduk Buton sekarang ini merupakan hasil perkembangan dari empat asal

masyarakat, yaitu: (1) Simalui yang berasal dari Melayu/Sumatera, (2) Sijawangkati

yang berasal dari Jawa, (3) Sitamannajo yang berasal dari Manado Sulawesi Utara,

(4) Sipanjongan yang berasal dari Johor Malaysia.12

Adapun dari segi bahasa, berdasarkan hasil penelitian seorang antropologi

Jerman Prof. Dr. Devosmer menunjukan bahwa terdapat lima kelompok bahasa yaitu:

(1) bahasa pancana, meliputi penduduk yang berdiam di daerah perbatasan Buton

Muna, (2) Bahasa Moronene, bagi penduduk yang berdiam di pulau Kabaena dan

wilayah Buton di daratan pulau Sulawesi, (3) bahasa sui (cia-cia), meliputi penduduk

yang berdiam di Batauga, Sampolawa, Pasarwajo dan Lasalimu, (4) bahasa Liwuta,

11

Rahman, Kelisanan Dalam tradisi Maataa Pada Masyarakat Laporo di Kabupaten Buton,

(Tesis: Universitas Indonesia, 2011), h. 28

12

Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 16

Page 52: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

41

meliputi penduduk kepulau tukang besi (wakatobi), (5) bahasa Wolio, meliputi

penduduk Wolio dan Betoambari kecuali Katobengke.13

Dengan paparan penulis diatas, masyarakat Buton dengan segala bentuk,

model, ciri dan coraknya seperti yang tampak sekarang terbentuk oleh sejarah dan

budaya yang mereka bangun, dan berada dalam proses tarik menarik interen

(pengaruh dalam) dan eksteren (pengaruh luar). Pengaruh yang bersifat interen adalah

hasil dari kreasi budaya yang tercipta dalam lingkungan mereka sendiri, sedangkan

pengaruh yang bersifat eksteren adalah budaya yang datang dan terbentuk di tengah

masyarakat, baik yang dibawa oleh para pendatang melalui arus migrasi maupun

yang didatangkan oleh orang Buton sendiri dari rantau, demikian juga dengan

pengaruh modernisasi yang terjadi sekarang.14

Salah satu fakta terpenting yang menjadi ciri dan corak masyarakat Buton

hingga hari ini adalah nilai-nilai Islam. Islam sebagai realitas yang tak terelakkan

dalam sejarah dan kehidupan masyarakat Buton, selama beberapa abad telah

mengubah berbagai dimensi hidup mereka, dan menyebabkan terjadinya suatu

transformasi di tengah masyarakat yang kemudian mempengaruhi pandangan dan

perilaku masyarakat di wilayah ini. Transformasi nilai-nilai Islam dalam tubuh

budaya masyarakat Buton terkait erat dengan penetapan Islam sebagai agama resmi

kerajaan pada awal abad ke-16. Kondisi tersebut dengan sendirinya memberikan

13

Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 16

14

M. Alifuddin, Transformasi Islam dalam Sistem Sosial Budaya Orang Buton: Tinjauan

Historis, (Jurnal Fakultas Agama Islam: IAIN Sultan Qaimuddin Kendari, 2008), h. 9

Page 53: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

42

ruang gerak yang “leluasa” bagi nilai-nilai Islam untuk melakukan penetrasi dalam

sistem sosial budaya masyarakat setempat.

B. Sejarah Lahirnya Kesultanan Buton

Sebagaimana yang telah penulis singgung pada Bab I, bahwa sebelum

kesultanan Buton terbentuk, terlebih dahulu kesultanan tersebut berbentuk sebuah

Kerajaan. Kerajaan ini di perkirakan ada sebelum abad ke-14, di mana terdapat enam

raja yang tercatat memimpin Kerajaan Buton.15

Pada masa kekuasaan raja-raja, dari

raja pertama hingga raja kelima, tidak ditemukan tanda-tanda pengaruh Islam.

Bahkan yang tampak pengaruhnya adalah kebudayaan Hindu.16

Pengaruh Hindu dapat di lihat dalam silsilah raja-raja. Nama raja-raja tampak

Hinduistik. Nama Sibatara, suami Wakaka, boleh jadi berasal dari kata “bhattara”,

bahasa sangsakerta. Kata ini adalah nama suatu Dewa dalam Hindu. Demikian pula

nama Bataraguru, raja ketiga, nama Turade, raja keempat, nama raja Mulae, raja

kelima, semuanya berkaitan dengan kebudayaan Hindu.17

Di samping itu, dalam

aspek keyakinan juga dijumpai pengaruh ini. Paham “reingkarnasi” yang masih kuat

15

Raja-raja Buton tersebut sebagai berikut: 1. Putri Raja Wa kaa kaa. 2. Putri Raja

Buwalambona. 3. Raja Bataraguru. 4. Raja Turade. 5. Raja Mulae. 6. Raja Murhum, yang sekaligus

menjadi Sultan Buton Pertama. Abdul Mulku zahari, Sejarah Dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) I,

(Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

1977), h. 51

16

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 19

17

Nama Bataraguru adalah nama Dewa Agung dalam Hindu; nama Tuarade berasal dari kata

“tuan” dan “raden”, sedang kata “raden” adalah gelar bangsawan Jawa; nama Raja Mulae dari kata

“raja” dan “mulae”, sedangkan kata “mulae” dari kata “mulya” berasal dari kata sangsakerta yang

artinya bangsawan.

Page 54: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

43

di Buton hingga sekarang, diperkirakan sebagai pengaruh ajaran Hindu sebelum

Islam.18

Sesuai keterangan yang diperoleh, Islam sudah sampai di daerah ini pada awal

abad ke-15. Hal itu didasarkan pada informasi yang diperoleh dalam manuskrip Wan

Muhammad Sagir yang memberitakan bahwa pada tahun 1412 M. Seorang Ulama

patani berada di Buton untuk menyebarkan agama Islam di bagian timur pulau ini.

Hanya saja waktu itu, Islam belum diterima di Kerajaan Buton sebagai agama

Kerajaan.19

Islam diterima sebagai agama kerajaan oleh kerajaan Buton pada masa

pemerintahan raja keenam, Lakilaponto20

, pada tahun 948 H, atau 1540 M,

sebagaimana disebut di atas.21

Menurut sumber setempat dan informasi dari Ahmadi,

Raja Buton ketika itu diislamkan oleh Syaikh Abd al-Wahid bin Sulaiman.

Kesultanan Buton terbentuk tidak lain berkat jasa Syaikh Abd al-Wahid22

yang datang ke Buton dengan Wa Ode Solo istrinya dan juga anaknya Ledi Penghulu.

18

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, h. 19

19

Abd. Rahman al-Ahmadi, Sejarah Hubungan Kelantan/Patani dengan Sulawesi Selatan,

dalam Nik Mohamed bin Nik Mohamed Saleh, (Warisan Kelantan III, 1984), h. 70.

20

Dikenal juga dengan nama Sultan Qaimoeddin Khalifatulhazmi, Sultan Murhum dan

Haluoleo.

21

Lakilaponto menerima Islam setelah mendengar bahwa kerajaan-kerajaan di jawa, Solor,

dan Bone telah menerima Islam.

22

Diriwayatkan Syaikh Abd al-Wahid bin Sulaiman berkembangsaan Arab dan datang dari

Gujarat sebagai pedagang melalui Johor tanah semenanjung dan juga bertugas sebagai penyiar agama

Islam. Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy darul Butuni (Buton) I, (Jakarta: Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 51

Page 55: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

44

Seluruh komponen kerajaan dari raja sampai menteri-menterinya masuk Islam23

dan

dinobatkan menjadi Sultan pada hari senin, 1 Ramadhan 948 H/ 19 Desember 1541

M.24

Selain dilantik oleh Syaikh Abd al-Wahid, Raja Lakilaponto mendapat gelar

Sultan Qa‟im al-Din al-Khalifah al-Khamis yang juga memiliki hubungan dengan

Sultan Rum di Turki.25

Gelar “Sultan” dan nama penghormatan yang “kearaban”, yang digunakan

oleh Lakilaponto, merupakan pengaruh kultur Islam yang juga berlaku di kerajaan-

kerajaan lain di Nusantara yang sudah menerima Islam. Hal ini menjadi tradisi bagi

raja-raja Buton selanjutnya hingga hapusnya kesultanan ini pada pertengahan abad

ke-20. Penggunaan gelar “Sultan” dan nama kehormatan yang “kearaban”, menurut

sumber setempat, terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga

yang menyebutkan dari Raja Mekah). Hal ini menunjukan suatu sikap kultur yang

meletakan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam yang menjadikan diri sebagai bagian

23

Dalam tradisi setempat dikatakan, sebelum Syaikh Abd al-Wahid mengislamkan raja dan

seluruh menteri-menterinya, Islam sudah ada di tanah Buton. Hal tersebut dikarenakan Buton termasuk

tempat persinggahan yang menghubungkan dari dan ke Ternate –Nusantara bagian Timur- sebagai

jalur dagang yang menyebabkan adanya kontak dangang oleh bangsa-bangsa lain, atau diperkirakan

pada masa pemerintahan Raja Buton kelima Mulae. Juga diriwayatkan raja Mulae memeluk Islam

yang dikenal Umar Idam. Pada saat itu Islam mulai berkembang di lingkungan Istana, namun belum

menjadi agama yang resmi sebagaimana pada pemerintahan Raja Lakilaponto/Sultan Murhum. Rustam

Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun, 2004, h. 16

24

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 20

25

Falah Sabirin, Tarekat Samaniyah di kesultanan Buton, (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2011), h. 55

Page 56: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

45

dari masyarakat yang kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Sikap seperti

ini merupakan sikap masyarakat pada masa awal proses islamisasi di Nusantara.26

Pengaruh Islam yang lebih jauh terjadi nanti setelah kesultanan ini memasuki

abad ke-17. Sumber setempat menyebutkan bahwa pada masa pemerintahannya,

Laelangi, bergelar Sultan Dayyan Ihsan ad-Din (1597-1631), meletakkan undang-

undang kerajaan, yang disebut dengan “martabat tujuh”. Disebut demikian karena

berisi ajaran “martabat tujuh”, suatu ajaran yang dikenal dalam dunia tasawuf.

Tidak diperoleh bahan tertulis dari masa Laelangi mengenai undang-undang

kerajaan itu. Teks tertua undang-undang Martabat Tujuh hanya berasal dari masa

Sultan Muhammad „Aidrus (1824-1851). Menurut sumber ini, diwarisi dari Sultan

Laelangi. Sumber Belanda memberi petunjuk adanya suatu peraturan kerajaan yang

berlaku pada perempat pertama abad ke-17. Hal ini dipahami dari perjanjian yang

disepakati oleh Belanda dan Buton pada tahun 1613 yang isinya antara lain

menyatakan kebebasan Buton untuk menganut agamanya dan melaksanakan sistem

pemerintahannya. Sistem pemerintahan yang dimaksud di sini adalah yang menurut

adat setempat. Dan satu-satunya adat yang secara resmi mengatur pembagian

kekuasaan pada saat itu adalah undang-undang Martabat tujuh. Ketika Pieter Both

berada di Buton pada tahun 1613 dan mengadakan perjanjian dengan Sultan Buton,

Pieter Both merestui undang-undang Martabat Tujuh tersebut. Dengan demikian,

karena Buton pada masa perempat pertama abad ke-17 ini telah memiliki undang-

26

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, h. 20

Page 57: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

46

undang yang bersifat Islam, pada masa itu kerajaan ini layak dikategorikan sebagai

kesultanan atau kerajaan Islam.27

Masa kesultanan di Buton berlangsung selama kurang lebih 420 tahun (empat

abad) dengan menghasilkan 38 orang Sultan yang memimpin kesultanan Buton

dengan wilayah yang cukup luas.28

Dengan rincian 32 orang Sultan di zaman sarana

Wolio yang berlangsung selama kurang lebih 360 tahun (1538-1898), dan 6 orang

Sultan di zaman penjajahan Belanda/pendudukan Jepang yang belangsung hingga

merdeka, kurang lebih 60 tahun (1898-1960). Sultan pertama yang bernama

Lakilaponto/Murhum dan diakhiri dengan la Ode Muhammad Falihi sebagai Sultan

ke 38 dengan gelar Sultan Oputa Yi Baadia. Beliau adalah ayah Drs. La Ode Manarfa

yang oleh masyarakat Buton masih memanggil beliau sebagai Sultan Buton

Terakhir.29

27

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 21

28

Wilayah kesultanan meliputi gugusan kepulauan dan kawasan bagian tenggara jazirah

Sulawesi, yang terdiri atas pulau Buton, pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau Wawoni, Pulau yang

berjejer di sebelah tenggara pulau Buton yang dikenal dengan kepulauan tukang besi (Wakatobi) dan

sejumlah pulau-pulau kecil di dekat pulau Buton dan Muna juga Poleang dan Rumbia yang terletak di

jazirah Sulawesi Tenggara bagian tenggrara. Dari keseluruhan wilayah tersebut terdapat empat

kekuasaan barata: (1) Barata Muna yang berpusat di Raha. (2) Barata Tiworo yang berpusat di pulau

Tiworo. (3) Barata Kalingsusu berpusat di pesisir timur bagian utara pulau Buton. (4) Barata Kaledupa

yang berpusat di pulau Kaledupa Wakatobi. Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem

Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in

Islamic Studies INIS), hlm. 22. Dalam wilayah kekuasaan ini, Susanto Zuhdi berpendapat lain. Yakni,

konsep wilayah tidak dipahami dalam arti ruang melainkan kepada Rakyat Buton yang dalam hal ini

papara. Papara adalah orang yang mendiami komunitas yang disebut kadie, suatu wilayah hukum yang

kecil dalam tata Negara tradisional. Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu

Wana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 75

29

Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 22

Page 58: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

47

C. Sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton

Setelah suatu kelompok orang yang melakukan perjalanan tiba di suatu

tempat, sebagaimana kisahnya banyak dijumpai di berbagai masyarakat di Asia

Tenggara Kepulauan, maka tahap berikutnya adalah proses pembentukan suatu

tatanan sosial dan politik tertentu. Terbentuknya pola pemerintahan kesultanan Buton

dilandasi oleh tradisi lokal dan Islam. Struktur kekuasaan yang memperlihatkan

berjalannya mekanisme pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari pelapisan sosial

yang mengisinya.30

Ada empat lapisan sosial di dalam masyarakat kesultanan Buton. Lapis teratas

adalah kaomu: yaitu keturunan garis bapak dari pasangan Raja Buton pertama, laki-

laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa Ode.31

Dari

golongan bangsawan inilah sultan dipilih, untuk beberapa jabatan tinggi juga diisi

dari golongan bangsawan ini. Lapis kedua disebut Walaka, atau bangsawan tingkat

dua. Yaitu keturunan menurut garis bapak dari founding fathers kerajaan Buton (mia

patamia), dari kedua golongan bangsawan itulah pemerintahan dijalankan. Dari

Walaka inilah, sebuah dewan yang terdiri atas Sembilan menteri (bonto) atau

siolimbona dibentuk dan berfungsi memilih sultan. Mereka adalah para ahli di bidang

adat dan sekaligus berfungsi memeliharanya.32

Dalam kedudukan mereka itulah

30

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 81

31

Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi

Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288.

32

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, h. 81

Page 59: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

48

keseimbangan kekuasaan harus dijaga di antara keduanya. Hubungan keduanya

seperti yang diungkapkan dalam sebuah naskah Undang-Undang Kesultanan (sarana

wolio) menyebutkan: “Adapun istiadat yang telah memiliki dan memandang

melainkan hendak mendirikan dua payung yakni suatu payung berkekalan dan satu

payung berubah-ubah. Maka yang berubah-ubah itu daripada nama sultan. Maka

yang berkekalan itu atas jalan istiadat yang sangat teguh lagi tetap selama-

lamanya”.33

Awal penetapan garis keturunan ini bermula pada masa pemerintahan Sultan

keeempat, yaitu Dayyan Ihsan Ad-Din (La Elangi). Pada masa kekuasaannya, Sultan

Dayyan Ihsan ad-din sepakat dengan sapatinya, sapati Lasinga dan kenepulunya,

kenepulu La Bula, menetapkan bahwa hanya keturunan mereka yang berhak

menduduki tiga jabatan tinggi kerajaan (Sultan, sapati, dan kenepulu). Keturunan

mereka bertiga inilah yang dikenal dengan golongan kaumu atau disebut juga lalaki

atau lakina. Dan keturunan para bonto atau kepala-kepala kampung pada masa itu

yang menjadi golongan walaka atau maradika.34

Jika ditarik garis keturunan ke atas,

golongan kaoumu dan walaka ini bertemu pada satu nenek, La Baluwa dan

Bulawambona. Keturunanya melalui Bataraguru melahirkan golongan kaumu,

33

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, h. 82

34

Dalam hal ini, Zahari berbeda dengan Vonk. Menurut Zahari, Bataraguru dengan saudara-

saudaranya yang menjadi pangkal keturunan walaka, adalah saudara seayah saja. Tetapi menurut

Vonk, mereka saudarah seayah dan seibu.

Page 60: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

49

sementara keturunannya melalui saudara-saudara Bataraguru menurunkan golongan

walaka.35

Stratifikasi ini dipertajam lagi dengan faktor domisili. Karena faktor domisili,

lahirlah lapisan-lapisan baru dalam tubuh kaumu dan walaka. Karena alasan domisili

ini, kaumu dan walaka dapat dibedakan menjadi bebrapa macam:36

a. Kaumu dan walaka yang menetap di Keraton, pusat kerajaan.

b. Kaumu dan walaka yang menetap di daerah kekuasaan kerajaan dan tidak

kembali ke Keraton pada waktu Sultan ke-6, Dayyan Ihsan ad-Din,

membagikan daerah kekuasaan kepada para pembesar kaumu. Hak mereka

sebagai kaumu atau walaka hilang. Derajat mereka turun, dan dalam

stratifikasi sosial mereka disebut analalaki atau limbo. Yang pertama adalah

orang yang berasal dari kaumu, sementara yang kedua dari golongan walaka.

Meskipun hak mereka hilang, derajat mereka tidak turun jadi golongan

papara.

c. Kaumu isambali, yaitu kaumu yang lahir dari kaumu yang sudah menetap di

luar Keraton dan beristri orang biasa. Jika mereka kawin dengan kaumu dan

kembali menetap di Keraton, mereka tetap dianggap sebagai kaumu.

Sebaliknya, jika mereka tetap di kadie (kampung), hak mereka untuk

menduduki kekuasaan hilang, seperti halnya kaumu yang menetap di Keraton.

35

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 25

36

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, h. 26

Page 61: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

50

Kaumu, walaka yang sudah lama menetap di luar Keraton dan kawin dengan

orang kadie, kehilangan hak mereka sebagai seorang walaka yang menetap di

Keraton.

Mereka yang tidak mempunyai garis keturunan dari kedua golongan di atas

masuk golongan papara. Mereka adalah penghuni daerah kekuasaan kerajaan yang

dikenal dengan limbo atau kadie. Sesuai asal usulnya, ada papara keturunan dari

masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan, dan ada pula yang datang dari luar dan

tunduk dibawah kekuasaan kerajaan dengan sukarela.37

Golongan Papara juga

disebut “orang gunung”. Suryadi dalam karya ilmiahnya Surat-surat Sultan Buton,

Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek, Belanda,

mengutip tulisan Schoorl yang menyatakan bahwa mereka disebut juga budak adat

dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tapi sama

sekali tidak punya akses kepada kekuasaan pusat (Keraton).38

Lapisan terbawah adalah budak. Dikenai dengan nama golongan batua.

Masuk dalam kategori lapisan ini ialah orang yang diturunkan dari ibu-bapak yang

budak. Dan jika ibunya saja yang budak, maka keturunannya tidak masuk kategori

ini, tetapi mengikuti derajat bapaknya. Sedangkan yang masuk golongan budak

adalah: orang papara yang tunduk di bawah kekuasaan kerajaan dengan paksa, yang

disebut dalam adat dengan bante; musuh kerajaan yang kalah dalam peperangan;

37

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 25

38

Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi

Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288.

Page 62: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

51

orang luar kerajaan yang dirampas dan dijual kepada golongan pertama atau kedua di

atas.39

Berkaitan dengan hal di atas, maka tampak bahwa pemerintahan kesultanan

buton dibentuk oleh dua golongan bangsawan yaitu kaomu dan Walaka. Kedua

golongan bangsawan itu membentuk suatu kelompok penguasa yang

membedakannya secara tajam dengan papara. Meskipun demikian, mengingat

kedudukan papara sangat penting, sultan dituntut untuk memerintah secara adil dan

bijaksana.40

Selanjutnya berdasarkan struktur pemerintahannya wilayah kesultanan Buton

terdiri atas tiga bagian. Pertama, wilayah wolio atau keraton yang menjadi pusat

pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah kesultanan. Wilayah

wolio hanya boleh dihuni oleh golongan kaumu dan walaka (bangsawan). Kedua,

wilayah kadie (wilayah di luar keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki

oleh golongan penguasa dan dihuni oleh golongan papara. Ketiga, kerajaan-kerajaan

kecil yang disebut „wilayah barata‟, yang memiliki pemerintahan sendiri tapi tunduk

di bawah kekuasaan pemerintah pusat setelah ditakhlukan.41

Kekuasaan di pusat dipegang oleh golongan kaumu dan walaka yang

berkedudukan di keraton wolio di Baubau. Mereka menjadi penguasa tertinggi untuk

39

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada

Abad ke-19, h. 25

40

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 82

41

Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi

Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288

Page 63: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

52

ketiga wilayah itu (wolio, kadie, dan barata). Sultan sebagai penguasa tertinggi

kerajaan dibantu oleh beberapa pejabat tinggi di pusat dan pejabat-pejabat di daerah.

Secara umum, sistem pemerintahan kesultanan Buton adalah sebagai berikut:42

1. Pangka (pejabat teratas) atau dewan swapraja yang dijabat oleh golongan

kaumu dan walaka, yang terdiri dari sapati (kaumu), kenepulu (kaumu), lakina

sorawolio (kaomu), lakina baadia (kaumu), dua orang kapitalao: kapitalao

sukanayo dan kapitalao matanayo (kaumu)43

, dua orang bonto ogena (Menteri

Besar): bonto ogena sukanayo dan matanayo (walaka).

2. Sarana (Dewan) wolio yang terdiri dari semua bobato (kaumu) dan bonto

(walaka).44

3. Siolimbona (Sembilan kepala wilayah pemerintahan daerah) dari golongan

walaka yang sangat menguasai adat dan bertugas menjaganya.

42

Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, h. 288-289

43

Kapitalao atau kapiten laut dalam bahasa Melayu adalah jabatan panglima perang di

Kesultanan Buton. Kata matanayo berarti „dari matahari terbit‟ dan sukanayo berarti „menuju matahari

terbenam‟. Istilah itu dilekatkan kepada jabatan kapitalao dan bonto ogena untuk menunjuk wilayah-

wilayah kerajaan di sebelah timur dan sebelah barat yang menjadi wewenang masing-masing. Suryadi,

Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek,

Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 289

44

Semua bobato dan bonto diberi sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie

untuk diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang. Namun, jumlah itu bertambah

seiring pemekaran wilayah kadie. Manarfa mencatat jumlah bobato 57 orang. Sembilan diantaranya

disebut siolipuna, yang berarti Sembilan Negara kecil yang dibawah perintah seorang raja, yang

membentuk sekutu asli. Dalam surat-surat Raja Buton terefleksi bahwa bobato adalah salah satu unsur

petinggi kerajaan yang selalu diajak serta dalam hubungan diplomasi antara Kesultanan Buton dengan

kuasa luar (dalam hal ini Belanda). Istilah Bobato, yang berarti pemimpin, mungkin diadopsi dari

sistem politik kerajaan Ternate atau Tidore; dalam sistem politik kerajaan Ternate, misalnya dikenal

istilah bobato dunia dan bobato akhirat. Kata bobato adalah derivasi dari bahasa Tidore Fato yang

berarti „mengatur‟. Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi

Universiteitsbibliotheek, Belanda, h. 289

Page 64: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

53

4. Sarana Hukumu, yaitu badan yang mengurusi dan mengawasi masalah-

masalah yang berhubungan dengan ajaran Islam dan ibadah. Mereka adalah

lakina agama, imamu (imam) dan hatibi (khatib), semua dari golongan

kaomu.

5. Staf khusus kesultanan yang meliputi bonto inunca atau staf istana (walaka),

bontona lencina kanjawari, yaitu staf khusus yang membantu tugas-tugas

tertentu (termasuk di sini bonto isana dari golongan walaka); staf-staf lain,

yaitu jurubasa (walaka)45

, kapitalao sabandara (syahbandar) (kaumu)

sebagai otoritas pelabuhan. Talombo yang membantu bonto ogena (menteri

besar) sebagai penyampai maklumat dan pengumuman penting dari Sultan,

pangalasan yang bertugas membantu bonto ogena dalam pengumpulan pajak

(weti).

Roda pemerintahan pusat sehari-hari dijalankan oleh pangka yang langsung

dipimpin oleh Sultan sebagai otoritas tertinggi. Namun dalam urusan-urusan penting,

antara lain diplomasi ke luar, unsur bonto dan bobato wajib diajak serta dan dibawa

berunding. Hal ini terefleksi dalam surat-surat raja Buton yang tersimpan di UB

Leiden. 46

45

Jurubasa (Jurubahasa) bertanggung jawab kepada syahbandar. Dalam hubungan diplomatik

antara kerajaan Buton dan kuasa-kuasa luar (termasuk Belanda). Suryadi, Surat-surat Sultan Buton,

Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora:

Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 289

46

Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi

Universiteitsbibliotheek, Belanda, h. 289

Page 65: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

54

Kesultanan Buton dihapuskan pada tahun 1960, tak lama setelah sultannya

yang terakhir, La Ode Falihi mangkat, dan dikarenakan pemerintahan Republik

Indonesia pada saat itu menghapus sistem pemerintahan Swapraja di Indonesia.47

D. Sistem Pemilihan dan Pengangkatan Sultan di Kesultan Buton

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap negara memiliki bentuk dan sistem

pemerintahan yang sistemnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan negara.

Demikian halnya dengan Kesultanan Buton, bentuk dan sistem pemerintahannya

berpedoman pada Murtabat Tujuh (Sara Wolio) yang di dalam praktek

pemerintahannya terdapat unsur demokrasi. Akan tetapi pada masa pemerintahan

sultan pertama hingga sultan ketiga masih menggunakan sistem monarki absolute

dikarenakan dalam pemilihan sultannya masih mewariskan putra mahkota yang saling

turun temurun. Tata pemilihan sultannya pun tetap menggunakan tradisi yang

diturunkan dimasa Kerajaan, dan ajaran Konstitusi Kesultanan Buton (Murtabat

Tujuh) belum terbentuk.48

Barulah pada masa pemerintahan Sultan keempat yakni sultan Dayanu

Ihsanuddin (La Elangi) Murtabat Tujuh itu dibuat, dan di ubahnya sistem monarki

absolute ke sistem demokrasi.

47

Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 55

48

M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,

(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), Hlm. 7

Page 66: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

55

Adapun kesultanan Buton berdasarkan Undang-undang kesultanan,

pelaksanaan pemerintahannya bersifat demokrasi, sebagai pembuktiannya adalah

terlihat dalam sistem pemilihan dan cara pelantikan sultan yang meliputi lima tahap:49

1. Pengajuan calon

2. Penentuan calon

3. Undian

4. Pengumuman

5. Pelantikan.

Manakala seorang sultan meninggal dunia ataupun diturunkan dari takhtanya

karena dianggap melakukan pelanggaran adat, maka sultan yang baru harus segera

dipilih dan dilantik untuk mengisi jabatan sultan yang kosong. Pertama-tama yang

dilakukan oleh anggota Syara Kerajaan (sarana Wolio)50

yang utama, yakni sapati,

kenepulu, bonto ogena dan siolimbona, adalah melakukan pertemuan untuk

membicarakan pengambilan alat-alat kelengkapan kemuliaan sultan dari kamali

(istana) sultan yang wafat atau diturunkan. Dalam bahasa Wolio, alat kelengkapan ini

disebut dengan istilah parintana baaluwu operopa. Dalam tradisi masyarakat Buton,

asal muasal parintana baaluwu operopa bermuara pada peristiwa ketika Betoambari

49

Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 28

50

Syara Kerajaan terdiri dari sultan sendiri, sapati, kenepulu, kapita lao (2 orang), bonto

ogena (2 orang), siolimbona (8 orang), bonto inunca (11 orang), bonto lencina (8 orang),

bobato/lakina (40 orang), dan sarana agama yang terdiri dari lakina agama (1 orang), imam (1 orang),

khotib (4 orang), moji (10 orang), dan mukimu (40 orang). Istilah lokal yang digunakan untuk

menyebut Syara kerajaan ini adalah sarana Wolio. Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan

Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 113

Page 67: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

56

dan Sangariana sebagai raja di kampung Baluwu dan Peropa mengembangkan alat-

alat kelengkapan kemuliaan ratu Wa KaaKaa dan raja Sibatara, yag berupa payung

kebesaran raja/ratu pertama monarki Wolio saat itu. Payung kebesaran raja dan ratu

pertama ini yang disebut dengan istilah huu.51

Pada pertemuan Syara Kerajaan yang kedua, semua anggota Syara kerajaan

secara lengkap hadir. Tentu tanpa kehadiran sultan, karena sultan yang lama telah

tiada dan yang baru belum terpilih. Setelah semua anggota Syara Kerajaan hadir di

baruga (balai pertemuan), maka kedua bonto ogena (menteri besar) mengirim

perutusan untuk mengambil alat kelengkapan kemuliaan sultan tersebut. Perutusan ini

terdiri dari delapan bonto/menteri dari siolimbona ditambah dengan delapan orang

lain yang sudah terpilih dari kelompok bobato52

sebagai wakil mereka. Dari baruga

alat kelengkapan kemuliaan sultan itu kemudian dihantarkan lagi ke rumah bonto

Peropa, dan disimpan di sana samapi waktu pelantikan sultan yang baru tiba. Sebagai

catatan perlu disampaikan di sini bahwa pengambilan alat kelengkapan kemuliaan

sultan dari istananya harus mempertimbangkan bahwa upacara peringatan malam ke-

40 atau ke-120 hari wafatnya sultan sudah selesai dilaksanakan. Terkandung

pengertian di sini bahwa “esensi dari sultan yang hakiki” harus rampung dilepaskan

51

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap

Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 113

52

Bobato adalah penguasa-penguasa yang memerintah di beberapa kerajaan kecil di bawah

Kesultanan Buton.

Page 68: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

57

(dimakzulkan dalam bahasa setempat) sebelum alat perlengkapan kemuliaan sultan

boleh ditanggalkan dari ranahnya sultan yang wafat itu.53

Dalam pertemuan selanjutnya untuk menentukan hari diadakan pencalonan,

rapat dipimpin oleh sapati dan dihadiri oleh pembesar kerajaan. Setelah diadakan

kesepakatan mengenai hari pencalonan, maka menteri besar yang tertua umurnya

mengundang kesembilan menteri siolimbona dan satu menteri besar lainnya untuk

hadir dalam penentuan calon sultan. Dalam penentuan calon sultan ini hanya hadir

mereka sebelas orang, yakni kedua menteri besar dan kesembilan menteri siolimbona.

Untuk pertemuan kali ini dipimpin oleh bonto ogena, dan calon yang dikemukakan

mereka wajib dari kalangan bangsawan (kaomu) keturunan kamborumboru Talu

Palena. Perlu disampaikan di sini bahwa pada masa sultan La Elangi (sultan keempat

1578-1615) ditetapkan ketentuan adat bahwa jabatan sultan, kenepulu dan sapati

hanya boleh dijabat oleh kaomu keturunan La Elangi, yang dikenal dengan istilah

kaomu cabnag Tanailandu, atau keturunan sapati saat itu, yang dikenal sebagai

kaomu cabang Tapi-tapi, maupun keturunan kenepulu waktu itu yang dikenal sebagai

kaomu cabang Kumbewaha. Dalam pertemuan yang bersifat tertutup dari kedua bonto

ogena dan kesembilan menteri siolimbona, maka dikemukakan di sana nama semua

calon dari masing-masing anggota siolimbona. Pada pertemuan itu para bonto dari

siolimbona mengemukakan calon mereka kepada bonto ogena. Nama orang yang

mereka calonkan boleh lebih dari satu namun kesemuanya maksimum hanya boleh

53

Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni III, (Jakarta: Depdiknas, 1997), h.

126

Page 69: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

58

enam orang. Pada saat itu mereka juga mempertimbangkan nama calon yang

dikehendaki oleh para pembesar kerajaan, namun hal tersebut sifatnya tidak mengikat

mereka. Ketetapan yang diambil oleh bonto ogena dikenal dalam adat dengan istilah

„aprasoa‟, yang artinya dipaku atau diteguhkan. Nama para calon yang sudah

diteguhkan ini perlu dilakukan penyaringan lagi. Penyaringan ini dikenal dalam adat

dengan istilah „afalia‟ yang kira-kira berarti difirasatkan. Kegiata afalia ini

dimaksudkan untuk mendapatkan firasatnya: apakah calon sultan yang diterima itu

baik apa tidak? Pelaksanaan kegiatan afalia ini ditentukan dengan melihat petunjuk

hari baik atau buruk yang tercantum dalam buku Ja Afara Shadiqi.54

Maka setelah ditentukan hari baiknya maka diadakanlah pertemuan yang

biasanya diadakan pada malam hari di Masjid Agung keraton untuk memfirasatkan

baik buruknya nama-nama calon sultan yang diajukan. Pada malam yang baik itu,

kesembilan menteri siolimbona berkumpul di Masjid Agung Keraton. Setelah

berkumpul semua, maka salah satu dari mereka melakukan sembahyang, sedangkan

seorang yang lain membuka Al-Qur‟an sekehendak hatinya tanpa ditentukan terlebih

dahulu olehnya juz dan ayat mana yang mau dibuka. Setelah dibuka lalu dihiung

berapa banyak huruf “kh” pada halaman sebelah kanan dan berapa banyak huruf “sh”

pada halaman sebelah kiri. Huruf “kh” menunjukan makna kata khair yang berarti

54

Buku Ja Afara Shadiqi adalah buku yang berisikan petunjuk hari dari waktu yang baik dan

buruk berdasarkan perhitungan hari malam bulan menurut urutannya dari satu hingga tiga puluh hari.

Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan di sini bahwa hari ketiga bulan dinamakan „harimau‟. Dalam

buku Ja Afara Shadiqi, hari ini disebut . . “jahat lagi naas, karena tatkala itulah Nabi Adam as

dikeluarkan Allah dari surga pada malam itu juga.” (hal 3). Setiap hari dalam perhitungan ini dinamai

dengan kebanyakan istilah-istilah binatang, seperti harimau, kerbau, gajah, dan lain sebagainya. Tony

Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap Budaya¸(Jakarta:

Rajawali Pers, 2009), h. 115

Page 70: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

59

baik, sedangkan kata “sh” menunjukan makna “sharr” yang artinya buruk. Apabila

dalam perhitungan itu diperoleh lebih banyak “sh” daripada “kh” maka calon yang

bersangkutan lebih banyak buruknya dari pada baiknya, begitupun sebaliknya. Sangat

jarang terjadi bahwa diantara sekian calon yang difirasatkan, tidak ada satupun calon

yang memiliki kelebihan mutlak, sehingga kedua bonto ogena tidak dapat

menetapkan calon terpilih. Seandainya demikianpun terjadi, maka bonto ogena

menetapkan dua calon yang menonjol di antara calon-calon yang ada untuk dilakukan

afalia ulangan. Baru setelah afalia ulangan dilakukan, satu calon dengan hasil yang

terbaik dipilih. Calon yang terpilih ini secara adat masih dirahasiakan, dan tidak ada

satu orangpun yang boleh mengetahuinya kecuali pejabat-pejabat yang bertugas

untuk itu. Kerahasiaan nama calon terpilih ini disebut dalam adat dengan istilah

„ikokompoakana baaluwu operopa‟, artinya yang dikandung oleh Baluwu dan

Peropa. Istilah kandungan yang dirahasiakan merupakan satu konsep yang penting

untuk masyarakat Buton. Kata Buton sendiri oleh beberapa kalangan masyarakat

dianggap berasal dari kata „butuni‟ (bahasa Arab) yang berarti perut yang

mengandung. Pulau Buton ditamzilkan sebagai wanita yang sedang mengandung

dengan berbagai rahasia di dalam perutnya.55

Harus diingat bahwa Baluwu dan Peropa merupakan dua pemukiman yang

merupakan cikal bakal dari monarki yang ada di tanah Buton, dan ketua adat dari

kedua pemukiman inilah yang biasanya diangkat sebagai bonto ogena/menteri besar

55

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap

Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 119

Page 71: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

60

maupun ketua para bonto/menteri yang ada dalam siolimbona. Karena alasan

keistimewaan kedua pemukiman ini dalam kehidupan adat di tanah Buton, maka

nama kedua pemikiman ini seringkali digunakan dalam istilah-istilah adat yang

penting.56

Setelah calon sultan ditetapkan, para menteri siolimbona dan Syara Kerajaan

lainnya mulai disibukkan dengan berbagai persiapan yang harsu dirampungkan

sebelum pelantikan dapat dilaksanakan. Pakaina sultan dan permaisurinya mulai

dikerjakan, dan alat kelengkapan kemuliaan sultan atau parintana baaluwu operopa

harus juga mulai diperbaharui. Pelaksanaan semua pekerjaan ini memakan waktu,

sehingga sesuai difirasatkan tidak langsung pelantikan sultan dapat diselenggarakan.

Dalam kasus sultan terakhir, La Ode Falihi, pengumuman dirinya sebagai calon

sultan terpilih dilakukan pada hari jumat tanggal 9 Maret 1938, sedangkan

pelantikan/pengangkatan sumpahnya dilakukan pada hari jumat tanggal 8 Juli 1938.57

Setelah semuanya telah dipersiapkan maka di tentukanlah hari pelantikan

sultan dengan merujuk pada buku Ja Afara Shadiqi. Adapun tradisi pelantikan sultan

bukan mengucapkan sumpah atau janji akan tetapi Sultan disumpah oleh Baluwu dan

Peropa.

56

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap

Budaya, h. 119

57

Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni III, (Jakarta: Depdiknas, 1997), h.

130

Page 72: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

61

BAB IV

KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM ISLAM DAN

PRAKTEKNYA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN

BUTON

A. Perspektif Politik Islam Dalam Sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton.

Para pemikir politik dalam Islam, baik al-Mawardi (al-Ahkamus Sultaniyah),

Ibnu Taimiyah (as-Siyasah as-Shar’iyah), Sayyid Rashid Ridha (al-Khilafah), Dr.

Taha Hussein (al-Fitnatul Kubra jilid 1), Sayyid Qutub (al-Adalah al-Ijtima’iyah)

ataupun Abdul Kadir Audah (al-Islam wa Audha’unal as-Siyasah), masing-masing

telah menjelaskan sifat-sifat dari Negara dan pemerintahan Islam dan perbedaannya

dengan Negara atau pemerintahan mana pun di dunia ini. Menurut pemikir-pemikir

politik Islam ini, bahwa ada tiga sifat pokok yang membedakan pemerintahan Islam

dengan pemerintahan-pemerintahan lain, yaitu bahwa pemerintahan Islam adalah

berdasarkan pada hukum al-Quran, shura dan secara khilafah.1

Begitupun sistem pemerintahan dalam Islam sangatlah berbeda dengan sistem

pemerintahan manapun di dunia ini, termasuk sistem pemerintahan demokrasi yang

dianut oleh orang-orang barat. Perbedaan sistem pemerintahan Islam dengan sistem

pemerintahan lain bisa dilihat dari asas yang membangun Negara, pemikiran-

pemikiran, konsep-konsep, standarisasi maupun hukum-hukum yang digunakan

untuk melayani kepentingan umat. Perbedaan sistem pemerintahan Islam dengan

1 A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Aceh: Pt Bina Ilmu, 1984), h. 94

Page 73: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

62

sistem pemerintahan yang lain juga bisa dilihat dari bentuk Negara, aparatusnya, serta

aspek-aspek pemerintahan lainnya.2

Para pakar politik Islam yang mayoritas sepakat bahwa pemerintahan Islam

adalah penting untuk menegakan keadilan dan mendirikan ajaran Islam. Namun

diantara mereka banyak yang berbeda pendapat tentang sistem pemerintahan mana

yang harus diikuti, terlebih lagi bila dilihat dari sisi pemikiran tokoh politik Islam

pada zaman klasik, pertengahan dan modern.3

Al-mawardi (364-450 M), yang hidup pada saat situasi politik Islam

mengalami kerusakan yang sangat riskan, yaitu pada abad X sampai pada abad

pertengahan XI M. al-Mawardi menyebutkan Bahwa “Imamah dibentuk untuk

menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia”,4 dan

kepada Negara Islam terikat oleh perjanjian dengan Tuhan untuk menegakkan

supremasi Islam.5 Al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada

pada saat itu, dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan dan

2 Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka

Panjimas, 2003), h. 29.

3 Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,

(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember

2014), h. 5

4 Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-

Halabi, 1985), h. 5

5 Asgar Ali Engineer, Revolusi Negara Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 117

Page 74: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

63

reformasi, dengan tujuan mempertahankan status quo dan mengamankan kekuasaan

politik Dinasti Abbasiyah.6

Ibnu Abi Rabi’, yang mempersembahkan buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-

mamalik kepada Mu’tashim, khalifah Abbasiyah kedelapan yang memerintah pada

abad IX M. dia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja, telah

memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya, dan mempercayakan hamba-hamba-

Nya kepada mereka. Kemudian Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati,

mengagungkan dan taat kepada mereka.

Dari pernyataan Ibnu Abi Rabi’ tersebut tampak menurut dia bahwa

kekuasaan dan otoritas raja adalah mandat dari Tuhan, tentang siapa yang berhak

menjadi raja Ibnu Abi Rabi’ mensyaratkan: harus anggota dari keluarga raja, dan

mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya,7 nyatalah bahwa

buku yang dipersembahkan oleh Ibnu Abi Rabi’ kepada Mu’tashim adalah legitimasi

sistem monarki yang ada pada Dinasti Abbasiyah saat itu.

Menurut al-Ghazali, kehidupan di dunia merupakan ladang di akhirat. Maka

Negara butuh seorang pemimpin yang menjamin terselenggaranya berbagai profesi

rakyat. Bagi al-Ghazali, agama dan Negara (penguasa) merupakan dua anak kembar

yang tidak terpisahkan, agama dipimpin oleh Nabi dan Negara dipimpin oleh Sultan

yang keduanya merupakan manusia pilihan Tuhan. Al-Ghazali juga mencetuskan

6 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Press,

1997), h. 255

7 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V

(Jakarta: UI Press, 1993), h. 47

Page 75: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

64

bahwa sultan merupakan bayangan Allah di muka bumi (zhilullah fi al-ardhi), dengan

kata lain bahwa konsep dan pemikiran al-Ghazali tentang sistem pemerintahan ini

dapat dikatakan dengan sistem teokrasi.8

Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh pemikir politik Islam, memberikan

sumbangan pemikiran yang bertitik tolak pada realitas sistem monarki yang ada,9

yang ia terima sebagai sistem yang tidak perlu dipertanyakan lagi keabsahannya, hal

ini terjadi dalam pemilihan kepala Negara. Namun dalam hal kedaulatan

pemerintahan atau sumber kekuasaaan, al-Ghazali menyatakan bahwa sumber

kekuasaan itu berasal dari Tuhan yang disebut dengan teokrasi.10

Pengangkatan kepala Negara dengan sistem monarki yang ditwarkan oleh al-

Ghazali, akan menimbulkan kecemburuan sosial dari kalanagan rakyat yang tidak

ikut dalam kompetisi pemilihan kepala Negara tersebut. Demikian juga halnya syarat

menjadi seorang kepala Negara haruslah berasal suku Quraisy. Sistem pemerintahan

teokrasi yang dipaparkan oleh al-Ghazali bahwa kekuasaan Negara berada pada

tuhan, kemungkinan akan menutup pintu ijtihad dan pembaharuan dalam

pemerintahan Islam yang selalu berkembang. 11

8 Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,

(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember

2014), h. 7

9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V

(Jakarta: UI Press, 1993), h. 108

10

J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali

Press, 1997), h. 266

11

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 208

Page 76: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

65

Al-Afghani berpendapat, bahwa Islam dalam hal pemerintahan menghendaki

bentuk republik, sebab di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepada

Negara harus tunduk kepada UUD. Di dalam pemerintah absolute tidak ada

kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala Negara untuk

bertindak. Karena itu, corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak

pemerintahan demokrasi.12

Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam, sebab

sebelumnya sampai pada masa al-Afghani umat Islam dan pemikirannya hanya

mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absolute. Pendapat al-Afghani

ini juga tidak terlepas dari sentuhan pemikiran Barat yang dilandasi dengan pemikiran

ajaran Islam.

Sedangkan menurut Abu al-A’la al-Maududi, kekuasaan Negara dilakukan

oleh tiga bidang yang disebut sebagai trias politica yaitu: yudikatif, eksekutif, dan

legislative. Sistem pemerintahan menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah teo-

demokrasi, yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi ilahi, karena di bawah

naungannya umat Islam telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas dibawah

pengawasan Tuhan.13

Abu al-A’la al-Maududi menjanjikan pemerintahan Islam paripurna tanpa

harus melihat kepada sistem Barat. Akan tetapi ketika sampai pada persoalan

12

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 56

13

Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,

(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember

2014), h. 7

Page 77: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

66

bagaimana cara memilih kepala Negara dan anggota-anggota majelis syura, dia

menyerahkan persoalan ini kepada umat Islam untuk menempuh jalan yang mereka

anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka, Islam tidak mencontohkan cara

tertentu untuk itu. Sementara itu dia tidak menyatakan pendapatnya tentang masa

jabatan kepala Negara, pembatasan masa jabatan kepala Negara merupakan salah satu

jalan yang efektif untuk menghentikan penyelewengan seorang penguasa agar tidak

berkepanjangan.14

Berdasarkan beberapa uraian diatas mengenai perspektif politik Islam dalam

sistem pemerintahan, yang dalam hal ini penulis lebih mengutamakan pendapat para

tokoh politik Islam, maka dengan demikian ada kesesuaian di dalam sistem

pemerintahan kesultanan Buton dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah

ditawarkan oleh para pemikir politik Islam jika dilihat dari perspektif politik Islam itu

sendiri.

Dalam hal sistem pemerintahan yang ditawarkan oleh para pemikir politik

Islam bolehlah berbeda-beda antara pemikir yang satu dengan pemikir yang lainnya.

Akan tetapi seperti yang telah penulis kutip di atas, yang membedakan sistem

pemerintahan Islam dengan sistem pemerintahan manapun, para pemikir politik Islam

sepakat bahwa ada tiga sifat pokok yang membedakannya, yaitu: berdasarkan pada

hukum Al-Qur’an, syura dan secara Khilafah.

14

Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,

(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember

2014), h. 9

Page 78: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

67

1. Pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum Al-Qur’an.

Dalam hal ini hukum pemerintahan di kesultanan Buton juga berdasarkan

pada hukum Al-Qur’an, adalah sultan keempat yaitu Sultan Dayanu Ihsanuddin (La

Elangi) yang pertama menerapkan undang-undang pemerintahan di kesultanan Buton

yang berdasarkan agama Islam yang disebut juga Murtabat Tujuh. Undang-undang

ini bersumber dari ajaran Tasawuf bersifat wujudiyah yang mirip dengan ajaran

Hamzah Fansuri dan siswanya Syamsuddin Al-Sumaterani dari Aceh.15

Dalam

penyusunan Undang-undang Murtabat Tujuh, Dayanu Ihsanuddin mendapat bantuan

dana sehat dalam bidang agama dari Syeikh Said Muhammad seorang

berkembangsaan Arab. Sultan keempat dalam masa pemerintahannya mengadakan

reformasi yang progresif. Secara hirarki sistem perundang-undangan di Kesultanan

Buton, pada masa Sultan keempat tersusun sebagai berikut:16

a. Syara, yakni undang-undang dasar atau Murtabat Tujuh

b. Tuturaka peraturan pemerintah Kesultanan

c. Pitara pedoman dalam mengadili atau memutuskan suatu perkara

d. Gau masalah-masalah yang berhubungan dengan politik

Berdasarkan hirarki sistem perundang-undangan tersebut, undang-undang

Murtabat Tujuh menempati posisi teratas.

15

Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 31

16

Saidi, Studi Sosiologi Kultural dan Historis Tentang Dasar-Dasar Adat dan Budaya

Masyarakat Buton, (Baubau: Hasil Penelitian Inventarisasi adat dan budaya Masyarakat Buton, 2001),

h. 56

Page 79: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

68

Untuk memantapkan roda pemerintahan yang berdasarkan agama Islam maka

diterapkan suatu prinsip pokok perjuangan hidup masyarakat yaitu:17

Korbankan harta benda demi keselamatan diri.

Korbankan diri demi keselamatan negeri.

Korbankan negeri demi keselamatan pemerintah.

Korbankan pemerintah demi keselamatan agama.

Prinsip tersebut menunjukan betapa pentingnya nilai-nilai agama yang harus

dipertahankan di atas segala-galanya dengan tidak memandang status sosial politik

seseorang.

2. Pemerintahan haruslah berdasarkan pada Syura.

Dalam hal ini kesultanan Buton juga telah menerapkan sistem syura atau

permusyawaratan, baik itu dalam pemilihan Sultan maupun dalam memutuskan suatu

kebijakan. Contoh kongkritnya dalam hal penentuan kebijakan yang menyangkut

negara dan masyarakat luas, seorang Sultan tidak dapat memutuskan kebijakan secara

sepihak seperti halnya raja-raja. Sistem ini bertujuan untuk meminimalkan bahaya

penyelewengan kekuasaan yang dampaknya bisa mengakibatkan tirani. Segala

sesuatu yang menyangkut kebijakan maupun keputusan yang akan dikeluarkan oleh

pemerintah, dalam hal pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab sebagai aparat

negara, diputuskan melalui musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh lapisan

masyarakat Kesultanan Buton, baik dari jajaran perwakilan pemerintah pusat,

17

Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,

2004, h. 32

Page 80: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

69

pemerintah daerah (kadie), dan aliansi pemerintah (Barata) semua dilibatkan serta

mempunyai hak yang sama dalam proses musyawarah tersebut. 18

Beberapa contoh dalam hal peraturan pembagian pajak dalam sebuah

kecamatan (Kadie) pihak kesultanan akan meninjau kecamatan tersebut melihat

potensi apa yang dalam kecamatan tersebut setelah itu menentukan pajak apa yang

akan dikenakan oleh kecamatan, tentunya melalui proses tahap musyawarah yang

mempertemukan pihak pemerintahan pusat (Sultan dan Siolimbona) dan pihak

pemimpin kecamatan (Lakina dan Bonto) untuk membahas besaran pajak tersebut.19

Begitupun dengan halnya kelembagaan, kesultanan Buton juga mempunyai

suatu lembaga permusyawaratan (legislative), yang dalam hal ini disebut dengan

siolimbona, yang mana orang-orang yang menjabat di lembaga ini mereka yang

menguasi adat dan bertugas menjaganya, serta diberi wewenang dalam memilih

sultan.20

3. Pemerintahan haruslah secara Khilafah.

Adapaun mengenai hal ini, dengan telah diterapkannya undang-undang

pemerintahan di kesultanan Buton (Murtabat Tujuh) yang berdasarkan agama Islam,

dan juga kesultanan Buton telah menerapkan sistem syura di setiap pengambilan

keputusan serta adanya lembaga permusyawaratan (siolimbona), maka penulis merasa

18

M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,

(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), h. 9

19

A. Ikram, Katalog Naskah Buton¸(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 10

20

Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.

Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 82

Page 81: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

70

sudah pantaslah kalau sistem pemerintahan di kesultanan Buton di sebut sebagai

sistem pemerintahan yang secara Khilafah.

B. Mekanisme Pemilihan Sultan Buton dalam Perspektif Sistem Pemilihan

dalam Islam.

Dalam sistem ketatanegaraan Islam, antara kedaulatan dan kekuasaan

dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’.

Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk

membuat hukum (al-hakim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah,

makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak

memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum

sekalipun. Justru manusia, apapun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah,

semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang

wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.21

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi

hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan

kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus

memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus

21

Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka

Panjimas, 2003), h. 35

Page 82: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

71

memenuhi syarat sah harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan

mampu menjalankan tugas kekhilafahan.22

Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang

baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan

melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode

yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.23

Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu

diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum

muslimin di antaranya. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:

مع والطاعة ف العسر واليسر باي عنا رسول اللو صلى اللو عليو وسلم على الس

نا مسلم()رواه والمنشط والمكره وعلى أث رة علي

Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati

perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang

kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).

Berdasarkan hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-

mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau

berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki

22

Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka

Panjimas, 2003), h. 36

23

Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, h. 36

Page 83: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

72

maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-Khalafa Rasidun.

Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.

Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan

kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka

pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan

yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat

berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan

wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara) dalam kehidupan

bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-

demokrasi.24

Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan

yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan

kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah

mendengarkan Rasulullah saw bersabda:

جاء آخر ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثرة ق لبو ف ليطعو إن استطاع فإن

)رواه مسلم وابو داود( ي نازعو فاضربوا عنق الخر

Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran

tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang

24

J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali

Press, 1997), h. 45

Page 84: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

73

lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu. (HR Muslim dan Abu

Daud).

Dan selanjutnya mengenai perihal ini al-Mawardi berpendapat bahwa

pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu al-ikhtiyar atau orang yang

berwenang memilih kepala negara, dan ahl-al-imamah atau oarng yang berhak

menduduki kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil,

mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas

serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang baik untuk negara.

Kemudian calon kepala negara harus memiliki tujuh persyaratan, yaitu: adil, memiliki

ilmu yang memadai untuk berjihad, sehat panca indranya, punya kemampuan

menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah

kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy.25

Begitupun dengan al-Ghazali, dalam hal ini al-Gazali juga merumuskan

syarat-syarat kepala negara secara perinci. Menurutnya, kepala negara harus

memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan

Quraisy, pendengaran dan penglihatan yang sehat, kekuasaan yang nyata,

memperoleh hidayah, berilmu pengetahuan serta wara’. Bagi al-Ghazali, karena

kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti al-Mawardi, tetapi dari

Tuhan, maka kekuasaan kepala negara tidak boleh dibantah.26

25

Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-

Halabi, 1985), h. 5

26

Muhammad Iqbal & Anin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana,

2013), h. 30

Page 85: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

74

Berdasarkan uraian mengenai mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam

yang penulis paparkan diatas, tentu jelaslah bahwa sanya layaknya sistem

ketatanegaraan dalam Islam, mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam juga tidak

dijelaskan secara terperinci dan sistematis dalam al-Quran dan Sunah. Namun dalam

hal ini mengenai pemilihan seorang pemimpin haruslah berdasarkan pembaiatan oleh

rakyatnya terlebih dahulu. Adapun di Kesultanan Buton mengenai hal ini seorang

Sultan juga terpilih berdasarkan pembaitan rakyat, yang walaupun dalam proses

pembaitan tersebut rakyat diwakili oleh para siolimbona (sembilan menteri).

Selanjutnya berdasarkan pendapat al-Mawardi yang mengatakan

bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu: al-ikhtiar

(orang yang berwenang memilih kepala negara) dan ahl al-imamah (orang yang

berhak menjadi kepala negara).

1. Al-ikhtiyar.

Dalam hal ini Kesultanan Buton mempunyai lembaga yang berwenang

memilih kepala negara/sultan. Adalah golongan masyarakat lapisan kedua

yang disebut walaka, yang mana golongan ini adalah salah satu dari dua

golongan bangsawan di Kesultanan Buton, yang mana dari golongan ini

diangkatnya siolimbona (sembilan menteri) yang dapat memilih dan

memberhentikan seorang Sultan.

Page 86: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

75

2. Ahl al-imamah.

Dalam hal ini juga Kesultanan Buton memepunyai orang-orang yang

berhak menjadi kepala negara. Adalah golongan masyarakat lapisan

teratas yang di sebut golongan kaumu, yang merupakan golongan ningrat

atau bangsawan dan memiliki gelar La Ode untuk kaum laki-laki, dan Wa

Ode untuk kaum perempuan. Dari golongan inilah seorang sultan dipilih.

selain itu, pada poin kedua ini tentang pemilihan pemimpin dalam Islam

terdapat kesamaan dengan pendapat al-Mawardi dan al-Ghazali yang

mengharuskan seorang pemimpin berasal dari golongan Quraisy, karena

kesultan Buton juga dalam hal pemilihan sultan haruslah berasal dari

golongan kaumu.

C. Sistem Ketatanegaraan Islam dan Sistem Ketatanegaraan Kesultanan

Buton.

Berbicara mengenai sistem ketatanegaraan dalam Islam, tentu banyak

menimbulkan keanekaragaman penafsiran terhadap nash-nash yang berkaitan dengan

sistem ketatanegaraan itu sendiri. Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah

politik Islam baik dalam pemikiran maupun praktik pemerintahan, bentuk dan

sistemnya sejak zaman Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam

tetapi beragam; mulai dari Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute;

Page 87: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

76

kesultanan/keamiran yang monarki, hingga Negara-negara bangsa yang republik

demokratis atau absolute, monarki demokratis dan atau absolute.27

Dengan demikian, dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan yang baku.

Sistem ketatanegaraan dalam Islam mengalami perkembangan dan perubahan

mengikuti situasi dan perkembangan zaman, serta kondisi sosio-historis dan sosio-

politik umat Islam di suatu daerah. Sistem ketatanegaraan Islam itu mengalami

perubahan yang diakibatkan oleh masuknya berbagai pengaruh budaya asing, seperti

budaya Persia, Romawi, Mesir, dan Eropa. Akibat pengaruh dari berbagai budaya

tersebut terjadi perubahan-perubahan dalam bentuk pemerintahan Islam yang bukan

hanya tidak sesuai, bahkan kontradiksi dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Berbagai

faktor tersebut telah mengubah sistem ketatanegaraan Islam yang pada awalnya

berbentuk khilafah menjadi berbentuk monarki pada masa Bani Umayah dan Bani

'Abbas. Selain itu, juga mempengaruhi bentuk pemerintahan Islam yang semula

bercorak demokratis dan konstitusional menjadi bercorak absolut dan teokratis.

Kedua bentuk pemerintahan yang disebutkan terakhir itu bertentangan dengan

prinsip-prinsip dasar Islam. Sebab, kedua bentuk pemerintahan ini tidak lagi

memperhatikan nilai-nilai keruhanian yang merupakan ciri khas pemerintahan

Islam.28

27

Syuti Pulungan, Ide Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha Tentang

Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Adab dan Humaniora: IAIN Raden Fatah

Palembang, 2003), h. 2

28

M. Fauzi, Sistem Pemerintahan Yang Baik Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Syariah, IAIN

STS Jambi, 2009), h. 19

Page 88: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

77

Dan faktor lain yang membuat sistem ketatanegaraan dalam Islam itu

berbeda-beda disebabkan bentuknya yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam Al-

Qur’an dan Sunah Rasul. Karena esensinya tidak terletak pada bentuknya, akan tetapi

ada pada prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunah

Rasul. Namun ada suatu isyarat yang diberikan Al-Qur’an agar umat Islam

membentuk negara kesatuan. Meskipun demikian, manusia diberi kewenangan dan

kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk negara yang paling baik

bagi mereka. Boleh saja bentuk pemerintahan suatu negara itu kerajaan, namun secara

faktual prinsip-prinsip syari’ah berjalan dan diterapkan secara konsekuen.

Sebaliknya, suatu bentuk pemerintahan republik, namun mengabaikan prinsip-prinsip

umum hukum Islam, jelas itu bukan merupakan suatu tipe negara ideal menurut Al-

Qur’an dan sunah, bahkan menjadi kontradiktif dengan jiwa syari’ah.29

Pada masa Khulafaul Rasyidin umat Islam memilih dan menggunakan sistem

khilafah, dengan pertimbangan bahwa sistem inilah yang paling cocok bagi mereka

saat itu.30

Sistem khilafah dapat disebut sebagai salah satu bentuk ijma’ (konsensus)

para sahabat nabi ketika itu. Namun konsensus itu bukan merupakan suatu konsep

yang kaku yang secara mutlak harus diterapkan pada setiap saat dan tempat. Pada

masa kontemporer dimungkinkan untuk diganti dengan sistem yang lain yang

memiliki karakteristik yang hampir sama atau berdekatan, misalnya bentuk republik.

29

Andi Herawati, Konsep Ketatanegaraan Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Agama Islam: UIN

Alauddin Makassar, 2005), h. 3

30

T. M. Hasbi Asshiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1991), h. 33

Page 89: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

78

Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam dan seorang

penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Al-Qur’an dan sunah, dalam teori

kenegaraannya lebih mefokuskan pada peran syari’ah dalam negara. Beliau

memahami apapun bentuk pemerintahan dalam Islam ia semata-mata alat

syari’ah. Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supermasi hukum Islam

ketimbang bentuk pemerintahan yang formal.31

Berdasarkan fakta-fakta historis di atas terlihat, bahwa dalam sejarah Islam

terdapat nuansa corak "pemerintahan Islam" sehingga sulit dirumuskan suatu bentuk

pemerintahan Islam dalam satu rumusan yang lengkap hanya dengan mengamati

perkembangan yang ada sekarang, kecuali jika kita memandang bentuk yang ada

sekarang sebagai sesuatu yang final. Bentuk pemerintahan Islam sepanjang sejarah

telah dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang di

antaranya banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang telah

diuraikan. Bentuk pemerintahan itu tidak semata-mata ditentukan oleh prinsip-prinsip

ajaran saja, melainkan juga oleh situasi lingkungan, sejarah, latar belakang budaya,

dan tingkat perkembangan intelektual masyarakat pada masanya.32

Adapun dengan sistem ketatanegaraan Kesultanan Buton, dalam penerapan

pemerintahannya kesultanan Buton menganut sistem pemisahan kekuasaan ke dalam

cabang-cabang yang luas seperti yang telah penulis paparkan di bab 3. Pemerintahan

31

A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Pencaturan dalam

Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 33

M. Fauzi, Sistem Pemerintahan Yang Baik Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Syariah, IAIN STS

Jambi, 2009), h. 19

Page 90: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

79

Kesultanan Buton dalam menjalankan tugas negara dibantu oleh jajaran birokrasi

yang berada pada wilayah ibukota kesultanan maupun birokrasi yang bertugas diluar

ibukota. Pemerintahan Kesultanan Buton diatur oleh satu konstitusi tertulis yang oleh

masyarakat Buton dikenal dengan undang-undang Murtabat Tujuh sara Wolio. Dalam

konstitusi Undang-undang Murtabat Tujuh, implementasi pemerintahan

menggunakan sistem “Respossible Government” (pemerintahan yang bertanggung

jawab). Sistem ketatanegaraan Kesultanan Buton menggunakan prinsip pemisahan

lembaga dan pemisahan daerah kekuasaan dengan tujuan untuk menghindari

kekuasaan yang tumpah tindih (separation of powers).33

Suatu hal yang penting dalam pembagian kekuasaan ialah jabatan sultan tidak

diwariskan. Hanya anak laki-laki dari istri pertama selama masa jabatan seorang

sultan yang berhak mengganti seorang sultan. Hal ini hanya terjadi dalam sedikit

kasus saja. Pembatasan kekuasaan juga tampak pada kenyataan bahwa seorang sultan

dapat dilengserkan atau bahkan dihukum mati. Saat sultan dilantik dengan upacara

sebagai penguasa, tali sejumbai digantung pada payung yang dipakai pada upacara

itu. Tali ini menggambarkan suatu peringatan bagi penguasa. Bila terbukti tidak

memuaskan, ia dapat dilengserkan dan dihukum mati dengan cara dicekik (darahnya

tidak boleh menodai tanah).34

33

M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,

(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), h. 12

34

Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.

Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 84

Page 91: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

80

Dengan gambaran seperti di atas, sistem ketatanegaraan kesultanan Buton di

tandai oleh suatu sistem pembagian kekuasaan (a system of power sharing) yang

disangga oleh kaomu dan walaka. Penting sekali bagi kaum kaomu dan walaka

menduduki atau pernah menduduki jabatan di kesultanan. Ini sebagian menentukan

status mereka dan status istri mereka. Dari sudut ini, Buton merupakan Negara

birokratik yang khas. Falsafah Negara, seperti terkandung dalam sarana Wolio,

berusaha mendorong kaumu dan walaka agar bekerja demi kepentingan seluruh

kesultanan.35

Dengan demikian, kekuasaan di dasarkan atas prinsip keseimbangan,

meskipun dalam realitas politik sukar dipertahankan. Salah satu upaya untuk

memecahkan pertikaian politik untuk mendapatkan kekuasaan, mungkin sekali

dilakukan dengan cara menjadikan Murtabat Tujuh sebagai landasan pembentukan

undang-undang kerajaan (sarana Wolio).36

Pembagian kekuasaan antara kaomu dan walaka mengakibatkan pembatasan

struktural terhadap kekuasaan sultan. Di satu pihak, ada gagasan tentang

kedudukannya yang dimuliakan, yang dipengaruhi pemikiran Hindu dan Islam. Di

sini sultan dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi, atau sebagai

bayangan/pencerminan Tuhan yang memberi sultan kekuasaan mutlak. Kedudukan

penguasa yang dimuliakan itu penting demi persatuan kerajaan. Dengan demikian,

perhatian yang besar pada upacara, dan menghatur sembah kepada penguasa itu,

35

Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.

Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 120

36

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 86

Page 92: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

81

masih berlanjut setelah masuknya Islam. Di pihak lain, ada beberapa ketentuan yang

merupakan mekanisme untuk melawan kerajaan absolut.37

Berdasarkan paparan mengenai sistem ketatanegaraan Islam di atas, penulis

dapat menganalisis bahwasanya ada keterpengaruhan sistem ketatanegaraan

kesultanan Buton dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal ini dapat dilihat dengan:

1. Demokratis dan konstitusional adalah sistem ketatanegaraan yang diterapkan

dalam kesultanan Buton. Dalam hal ini walaupun demokrasi yang diterapkan

dalam kesultanan Buton bukanlah demokrasi yang secara menyeluruh, dalam

artian bahwasanya suara masyarakat dalam hal pemilihan sultan diwakilkan

pada siolimbona. Akan tetapi setidaknya ketatanegaraan kesultanan tidak

bercorak absolut dan teokratis, yang mana seperti yang dikatakan oleh M.

Fauzi dalam jurnalnya yang berjudul Sistem Pemerintahan yang Baik dalam

Islam bahwasanya bentuk pemerintahan absolut dan teokrasi itu bertentangan

dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Sebab, kedua bentuk pemerintahan ini

tidak lagi memperhatikan nilai-nilai keruhanian yang merupakan ciri khas

pemerintahan Islam.

2. Sistem ketatanegaraan kesultanan Buton menerapkan prinsip-prinsip Syariah,

yang tercantum dalam Murtabat Tujuh yang mana nilai-nilainya menjamin

dan mengatur kehidupan masyarakat bukan hanya kehidupan dunia tapi juga

37

Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.

Schrool, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 121

Page 93: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

82

kehidupan akhirat (bersifat horizontal dan vertical).38

Hal ini sejalan dengan

teori kenegaraan Ibnu Taimiyah yang lebih menfokuskan peran Syariah dalam

Negara. Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supremasi hukum

Islam ketimbang bentuk pemerintahan yang formal.

38

Achadiati Ikram, Istiadat Tanah Negeri Butun: Edisi Teks dan Komentar, (Jakarta:

Djambatan, 2005), h. 11

Page 94: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

83

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam sejarahnya lembaga-lembaga dalam Islam awalnya tidak sepenuhnya

dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan pembagian kekuasaan,

dikarenakan pembagian kekuasaan dalam Islam mengalami perkembangan dan

perubahan mengikuti situasi dan perkembangan zaman, serta kondisi sosio-historis

dan sosio-politik umat Islam di suatu daerah.

Dengan demikian hasil kajian penulis menunjukan bahwa :

1. Yang paling mendekati dengan konsep pemerintahan di Kesultanan Buton

pada abad 15 M adalah pembagian kekuasaan pada masa pemerintahan

Turki Usmani. Karena gelar bagi para pemimpin Negara pada masa

pemerintahan Turki Usmani adalah Sultan, dan Kesultanan Buton juga

mengadopsi itu. Dan bukan hanya itu, Sultan pada masa pemerintahan

Turki Usmani dalam hal mengatur masalah keagamaan (syariat Islam)

dibantu oleh para Mufti dan Qadi. Seperti halnya Turki Usmani,

Kesultanan Buton juga memiliki persamaan yaitu seorang sultan di

kesultanan Buton dalam mengatur masalah keagaaman (syariat Islam) juga

dibantu oleh Sarana Hukumu. Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu

sistem ketatanegaraan yang baku dalam Islam, dikarenakan dalam Islam itu

sendiri tidak dijelaskan mengenai sistem ketatanegaraan secara eksplisit,

Page 95: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

84

namun setidaknya kesultanan merupakan salah satu sistem ketatanegaraan

yang pernah diterapkan dalam Negara Islam (Turki Usmani) dan

kesultanan Buton mengadopsi itu, walaupun tidak secara keseluruhan.

2. Adapaun sistematika pemilihan sultan Buton dalam perspektif pemilihan

pemimpin dalam Islam adalah berdasarkan pendapat al-Mawardi yang

mengatakan bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua

unsur, yaitu:

a. al-ikhtiar (orang yang berwenang memilih kepala negara), dalam hal

ini Kesultanan Buton memiliki lembaga khusus yang berwenang

memilih dan mengangkat sultan yaitu melalui siolimbona (sembilan

menteri.

b. ahl al-imamah (orang yang berhak menjadi kepala negara), dan dalam

hal ini pun juga Kesultanan Buton orang-orang yang berhak dipilih

untuk menjadi sultan, dan mereka berasal dari golongan kaumu¸

golongan teratas dalam kelompok sosial masyarakat Buton.

Page 96: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

85

B. Saran.

Dalam skripsi ini penulis menambah beberapa saran, yang bertujuan untuk

mencobah memberikan wawasan keilmuan mengenai Sistem Ketatanegaraan

Kesultanan Buton Pada Abad 15 M dalam Perspektif Islam, yang diharapkan

wawasan keilmuan ini bisa terus dikembangkan, adapun sarannya sebagai berikut:

1. Kepada para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah yang mempelajari Hukum Ketatanegaraan Islam (Siyasah) agar

kajian ini bisa dijadikan suatau referensi wawasan keilmuan bagi para

mahasiswa untuk menambah ilmuan pengetahuan dibidang Siyasah pada

umumnya dan khusunya dibidang Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton.

2. Kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan terlebih lagi pemerintah

daerah Kabupaten Buton agar tidak menganggap kajian ini sebagai suatu

kajian yang final, tetapi sebagai kajian yang secara terus-menerus ditumbuh

kembangkan oleh para penulis yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Page 97: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

86

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

al-Qurân al-Karîm.

Akhmad, Taufiq. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Rajawali

Pers, 2004.

Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta:

Khalifa, 2004.

Arboko, Cholid & Ahmadi, Abu. Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, 1997.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers,

2012.

Asshiddieqy, T. M. Hasbi Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta: Bulan

Bintang, 1991.

Audah, Ali. Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husein, Jakarta: Litera

Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010.

Basrowi & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Djazuli, A. Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu

Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.

Engineer, Asgar Ali. Revolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Hasbi, Amiruddin M. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta:

UII Press, 2006.

Hasjmy, A. Di Mana Letaknya Negara Islam, Aceh: PT Bina Ilmu, 1984.

Ikram, Achadiati. Istiadat Tanah Negeri Buton. Jakarta: PT Penerbit Djambatan,

2005.

. . . . . . . , Katalog Naskah Buton, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2001.

Page 98: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

87

Iqbal, Muhammad & Nasution, Amin Husein. Pimikiran Politik Islam Dari Masa

Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2013.

Maarif, A. Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Pencaturan dalam

Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.

Mawardi, AL. al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, Mesir: Mustafa al-Babi

al-Halabi, 1985.

Mufid, Nur & Nur, A. Fuad. Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, Surabaya:

Pustaka Progressif, 2000.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta, UI Press,

1974.

. . . . . ., Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,

Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada Press, 2007.

Pulungan, J. Suyuti. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali

Press, 1997.

Rahman. Kelisanan dalam Tradisi Maataa pada Masyarakat Buton Laporo di

Kabupaten Buton, Tesis: Universitas Indonesia, 2011.

Ramadhan, Syamsuddin. Menegakkan Kembali Khalifah Islamiyah. Jakarta: Pustaka

Panjimas, 2003.

Rudyansjah, Tony. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang

Lanskap Budaya, Jakarta: Rajaawali Pers, 2009.

Rumidi, Sukandar. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Press, 2004.

Sabirin, Falah. Tarekat Samaniyah di Kesultanan Buton, Tesis: UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011.

Schoorl, J.W. Pim. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Jakarta:

Djambatan, 2003.

Page 99: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

88

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V,

Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia

Press, 1989.

Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam

Prespektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

. . . . . . , Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Tamburaka, Rustam. et. al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra

membangun, 2004.

Tahir, Azhary Muhammad. Negara Hukum, Jakarta: Kencana, 2003.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2008.

Yunus, Abdul Rahim. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di kesultanan Buton

pada Abad ke-19, Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic

Studies (INIS), 1995.

Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

1997.

Zuhdi, Susanto. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, Jakarta:

Rajawali Pers, 2010.

JURNAL

Al-Ahmadi, Abdul Rahman. Sejarah Hubungan Kelantan/Patani dengan Sulawesi

Selatan, dalam Nik Mohamed bin Nik Mohamed Saleh, warisan Kelantan III,

1984.

Page 100: Oleh : Nidaul Hasanah (1112045200015) Sudirwan (1112045200003repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42517/1/... · Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan

89

Alifuddin, Muhammad. Transformasi Islam dalam Sistem Sosial Budaya Orang

Buton: Tinjauan Historis, dalam jurnal Fakultas Agama Islam IAIN Sultan

Qaimuddin Kendari 2008.

Apurines, M. Ide. Praktik Pemerintahan pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960

M, dalam jurnal Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005.

Fauzi, Muhammad. Sistem Pemerintahan yang Baik dalam Islam, dalam jurnal

Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, 2009.

Pulungan. Suyuti. Ide Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

Tentang Negara dan Pemerintahan dalam Islam, dalam jurnal Fakultas Adab

dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang, 2003.

Rudyansjah, Tony. Kaomu, Walaka dan Papara: Satu kajian mengenai

StrukturSosial dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio, dalam jurnal

Berita Antropologi 52, tahun 1997.

Saidi. Studi Sosiologi Kultural dan Historis Tentang Dasar-Dasar Adat dan Budaya

Masyarakat Buton, dalam hasil penelitian inventarisasi adat dan budaya

masyarakat Buton, Baubau 2001.

Suryadi. Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi

Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, dalam Jurnal Humaniora

Volume 19 No. 3 Oktober 2007.

Zulham. Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-

Maududi, dalam jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera

Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember 2014.