25
oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH www.djpp.depkumham.go.id

oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH

www.djpp.depkumham.go.id

Page 2: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

UU 10/2004 belum memberikan pedoman yang komprehensifbagaimana merumuskan norma hukum pidana dalam peraturanperundang-undangan, baik dalam UU Hukum Pidana maupundalam “Ketentuan Pidana” dari suatu UU Administratif;

Perumusan yang “buruk” tentang hal ini akan menyebabkankesulitan-kesulitan dalam praktek penegakan hukum, bahkanbertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri (kepastian,keadilan dan kemanfaatan hukum);

Pada dasarnya ruang lingkup perumusan norma hukum pidanadalam peraturan perundang-undangan, meliputi: (1) rumusantentang hukum pidana materiel (tindak pidana,pertanggungjawaban pidana dan pidana); (2) rumusan tentanghukum acara pidana (proses dan prosedur pidana), (3) rumusantentang tata cara pelaksanaan pemidanaan .

www.djpp.depkumham.go.id

Page 3: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Pangkal tolak perumusan norma hukum pidana dalam peraturanperundang-undangan adalah asas legalitas, yang dalam hal inisetidaknya memuat tujuh prinsip:1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana kecuali

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;2. Tidak ada jenis sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan;3. Tindak ada jumlah sanksi pidana kecuali ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan;4. Tidak ada kewenangan negara untuk melakukan proses acara

pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;5. Tidak ada kewajiban negara untuk melakukan prosedur acara

pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;6. Tidak ada kewenangan negara melaksanakan putusan pemidanaan

kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;7. Tidak ada tata cara pelaksanaan sanksi pidana kecuali ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan;

www.djpp.depkumham.go.id

Page 4: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Secara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknyamemuat rumusan tentang:

(1) subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut(addressaat norm);

(2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentukmelakukan sesuatu (commission), tidak melakukansesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadianyang ditimbulkan oleh kelakuan); dan

(3) ancaman pidana (strafmaat), sebagai saranamemaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinyaketentuan tersebut.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 5: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Secara umum digunakan idiom “barang siapa” sebagai padanan “hij die”.Dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, juga digunakan istilah “setiaporang”;

Idiom “barang siapa” dalam KUHP merujuk kepada orang perseorangan,sedangkan “setiap orang” dalam beberapa undang-undang di luar KUHP,dengan tegas diartikan sebagai “orang perseorangan” atau “korporasi”. Namundemikian, masih banyak UU yang addressaat norm-nya juga korporasimenggunakan “barang siapa”. Misalnya, Undang-Undang No. 11 Tahun 1995menggunakan istilah ”barangsiapa”, sekalipun tindak pidana yang beradadidalamnya ditujukan pula terhadap korporasi. Bahkan pada tahun yang samadengan tahun dimana pertama kali digunakan idiom ”setiap orang”,pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakanistilah ”barang siapa” untuk menunjukkan addressaat norm-nya;

Selain itu, ada pula UU yang sudah menggunakan idiom “setiap orang”(berarti tertuju pada orang perseorangan dan korporasi), tetapi masihmenggunakan idiom lain dalam rumusannya. Misalnya Pasal 307 UU No. 10Tahun 2008, menyebutkan “ setiap orang atau lembaga…”.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 6: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Adakalanya ancaman pidana ditujukan kepada subyek hukum dengan ”kualitas”tertentu. Beberapa istilah bersifat sangat umum, seperti ”setiap pihak” dalamUndang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal atau ”orang asing” dalamUndang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Adakalanyamenggunakan istilah yang sangat spesifik, seperti ”pengusaha pengurusan jasakepabeanan” dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan(sudah tidak berlaku lagi) atau ”pengusaha pabrik” dalam Undang-Undang No. 11Tahun 1995 tentang Cukai;

Penyebutan subyek hukum sebagai addressaat norm ancaman pidana adakalahkeliru karena seharusnya digunakan istilah yang bersifat umum. Misalnya dalamPasal 66 Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang menentukansebagai berikut:

”Saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut nama, alamatatau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”

Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada ”saksi” karena saksi adalah orangyang tidak melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar danmengalami sendiri dari suatu tindak pidana.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 7: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Perumusan pelarangan tertuju pada ”perbuatannya” bukanpelarangan terhadap ”status seseorang”. Dengan kata lain,”perbuatan orang dalam kualitas” tertentu yangseharusnya dilarang. Berdasarkan hal ini rumusan tindakpidana di atas seharusnya menentukan:

”Setiap orang yang memberikan keterangan sebagai saksiatau orang lain yang bersangkutan denga perkara

psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidangPengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang

dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimanadimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun.”

www.djpp.depkumham.go.id

Page 8: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Juga merupakan perumusan tindak pidana yang keliru, jikaancaman pidana ditujukan kepada ”perbuatan”, tetapi ancamanpidana seharusnya ditujukan kepada ”orang yang melakukanperbuatan”. Misalnya, perumusan tindak pidana dalam Pasal 48Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menentukan:

”Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai denganPasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-

rendahnya Rp. 25. 000.000.000 (duapuluh lima millar) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000 (seratus mililar), atau

pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan”

Demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang No. 22 Tahun1997 tentang Narkotika, masih mengancam pidana terhadap

perbuatan, dengan menentukan: “Percobaan atau permufakatanjahat ….diancam dengan pidana yang sama….”

www.djpp.depkumham.go.id

Page 9: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidanaadalah isi undang-undang yang harus dibuktikan PenuntutUmum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tindakpidana. Oleh karena itu, kekeliruan dalam perumusan bagian, iniakan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam praktek penegakanhukum.

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap‘perbuatan’. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindakpidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu.Dalam delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidakditurutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidanaberisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu.Dalam hal tindak pidana materiel, larangan ditujukan kepadapenimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentangakibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 10: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi,maka pada hakekatnya undang-undang justru memerintahkan setiaporang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yangjuga ditentukan dalam undang-undang tersebut.

Rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabilatidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajibandisini, menurut bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang.

Dapat saja kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian, ataupunkewajiban yang timbul diluar yang perjanjian, atau kewajiban yangtimbul dari hubungan-hubungan khusus, atau kewajiban untukmencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial, seperti kewajibanhidup bertetangga. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban disinidapat berarti sangat umum, sehingga lebih bersifat general socialexpectation daripada moral aspiration.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 11: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Tindak pidana merumuskan “perbuatan yang dilarang”, bukankeadaan batin orang yang melakukan perbuatan itu (kesalahan).Kesalahan umumnya dimanistasikan dalam ‘unsur mental’ tindakpidana, berupa ‘dengan sengaja’ atau ‘karena kealpaan’. Mengingatasumsi umum semua tindak pidana dilakukan “dengan sengaja“ makatidak diperlukan lagi kata-kata ini dalam rumusan strafbaar;

Setiap kata kerja dalam rumusan strafbaar, harus diartikan sebagaikesengajaan, sehingga tidak diperlukan kata-kata “dengan sengaja”dalam rumusan ini;

Berbeda dengan kealpaan yang sifatnya perkecualian, sehingga tetapdirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Perbuatan yang dapatterjadi karena kealpaan pembuatnya, hanya dijadikan tindak pidanajika perbuatan-perbuatan tersebut dipandang cukup seius. Hanyaperbuatan-perbuatan yang dipandang dapat menimbulkan bahayayang sangat besar bagi masyarakat, yang dapat dimintaipertanggungjawaban karena kealpaan pembuatnya.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 12: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Ketentuan pidana dalam tindak pidana administratif berfungsi sebagai“pengaman” yang digunakan untuk “memaksakan” norma-normaadministratif;

Jika dalam undang-undang pidana, umumnya baik perbuatan yangdilarang (strafbaar) maupun sanksi pidananya (strafmaat) dirumuskandalam satu pasal. Berbeda umumnya dalam tindak pidana pidanaadministratif. Ketentuan Pidana dalam undang-undang administratifseharusnya hanya berisi ancaman pidananya (strafmaat), sedangkanperbuatan yang dilarangnya (strafbaar) berada dalam normaadministratif.

Ketentuan administratif ini dapat berupa suatu “perintah” ataupun“larangan”. Dengan demikian, norma hukum pidana yang terdapatdalam rumusan tindak pidana administratif dapat berisi ancamanpidana ketika melanggar larangan administratif atau dapat pula berisiancaman pidana ketika melanggar perintah administratif.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 13: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Ketika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan ketentuanadministratif yang berisi suatu larangan, maka ketentuan administratif tersebutmenjadi bagian inti (bestanddeel) tindak pidana. Dengan demikian pada dasarnyarumusan perbuatannya terdapat dalam ketentuan administratif tetapi ancamanpidananya terdapat dalam ketentuan pidana. Konsekuensinya, dalam lapanganhukum acara, ketentuan administratif tersebut harus menjadi perbuatan yangdidakwakan (berstanddeelen delict) dan karenanya harus dapat dibuktikan.

Sebaliknya, jika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan perintahyang terdapat dalam ketentuan administratif, maka ketentuan administratiftersebut hanya diperlukan untuk menafsirkan bagian inti (bestanddeel) tindakpidana tersebut yang sebenarnya baik perbuatan maupun sanksinya telah adadalam ketentuan pidana tersebut.

Dalam lapangan hukum acara, norma hukum yang terdapat dalam ketentuanadminstratif tersebut tidaklah menjadi perbuatan yang didakwakan. Hal inimenyebabkan Penuntut Umum tidak berkewajiban membuktikan tentang telahdipenuhinya norma administratif tersebut. Namun hal justru menyebabkanpembuktian tentang telah diturutinya perintah yang terdapat dalam ketentuanadministratif menjadi beban terdakwa. Sepanjang terdakwa tidak dapatmembuktikan bahwa perintah yang terdapat dalam ketentuan administratiftersebut telah dipenuhi, maka perbuatan materilnya telah terpenuhi.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 14: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Pidana adalah reaksi atas tindak pidana, yang berujud nestapayang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindakpidana tersebut. Dari definisi ini ada tiga unsur utama daripengertian ”pidana”, yaitu: (1) merupakan reaksi atas suatu aksi,yaitu reaksi atas suatu ”criminal act” atau tindak pidana; (2)yang berujud nestapa; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindakpidana (daader) oleh negara.

Antara ”perbuatan yang dilarang” atau strafbaar dan ”ancamanpidana” atau strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat(kausalitas). Dilihat dari hakekatnya, tindak pidana adalahperbuatan yang tercela (tercela karena dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya), sedangkan pidana merupakankonkretisasi dari celaan. Bahkan ”larangan” terhadap perbuatanyang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ”timbul”karena adanya ancaman penjatuhan pidana tersebut barangsiapayang melakukan perbuatan tersebut.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 15: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Meskipun umumnya para ahli sepakat, menggunakan istilah ”pidana”, tetapiistilah tersebut tidak selalu digunakan dalam undang-undang. Beberapaundang-undang menggunakan istilah ”hukuman”. Misalnya, Undang-UndangNo. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin YangBerhak atau Kuasanya. Begitu juga dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999tentang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, terhadap ”pidana penjara”misalnya digunakan istilah ”hukuman penjara” dan ”kurungan” disebutdengan ”hukuman kurungan”. Padahal seharusnya ”pidana penjara” atau”pidana kurungan”.

Pola seperti itu pun tidak selalu diikuti dalam beberapa undang-undang lain.Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak PidanaPencucian uang, didepan kata ”penjara” tidak digunakan kata ”pidana”,sehingga tertulis: ”...dipidana dengan penjara....”. Sementara itu, dalamberbagai undang-undang, mengunakan istilah ”pidana” didepan ”penjara”.Sedangkan didepan istilah ”denda” dalam berbagai undang-undang yang laintidak ditambahkan kata ”pidana” dan ada yang menambahkannya. MisalnyaUndang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,menggunakan idiom ”pidana denda”. Dalam Pasal 16 undang-undang tersebutditentukan: ”...dipidana dengan pidana denda....”. Demikian pula Pasal 34Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, menggunakan istilah”pidana denda”. Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan berbagaiundang-undang lainnya hanya menggunakan istilah ”denda” saja tanpaditambahkan istilah ”pidana” didepannya.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 16: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Selain itu, untuk menggambarkan jumlah minimum (khusus) maupun maksimum (khusus) yangdapat dijatuhkan bagi pembuat tindak pidana tertentu menggunakan nomenklatuur yangbervariasi

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menggunakan istilah ”paling lama”untuk pidana penjara dan ”paling sedikit” dan ”paling banyak” untuk denda. Undang-Undang 15Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggunakan istilah ”paling singkat” untukpidana penjara.

Sedangkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukarmenggunakan istilah ”sekurang-kurangnya”... untuk pidana denda minimum yang dapatdijatuhkan dan menggunakan istilah ”paling banyak” untuk maksimumnya. Sementara ituUndang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan UsahaTidak Sehat, menggunakan istilah ”serendah-rendahnya” dan ”setinggi-tingginya” untukmenunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya. Undang-Undang No. 51 PrpTahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanyamenggunakan istilah ”selama-lamanya”. Dalam hal ini ditentukan ”...dipidana dengan hukumankurungan selama-lamanya...”. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak PidanaKorupsi, khusunya ketentuan Pasal 18 tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti,digunakan istilah ”sebanyak-banyaknya” untuk menggambarkan jumlah maksimum pidanatambahan pembayaran uang pengganti yang dapat dijatuhkan.

Ada juga undang-undang yang menggunakan istilah ”sekurung-kurangnya” untukmenggambarkan minimum (khusus) pidana penjara yang dapat dijatuhkan. Misalnya, dalam Pasal48 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992Tentang Perbankan, yang menentukan: ”...dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua)tahun....”.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 17: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan tindakpidana. Apabila ancaman pidana ditujukan terhadap beberapa perbuatansekaligus, maka ancaman pidana ditempatkan di depan perbuatan terlarangnya.Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman pidana tertuju hanyaterhadap sebagian perbuatan saja (bagian perbuatan yang disebut terakhir).Misalnya, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang TindakPidana Pencucian uang, yang menentukan:

“Setiap orang yang dengan sengaja:a. menempatkan...;b. mentransfer...;c. membayarkan...;d. menghibahkan...;e. menitipkan...;f. membawa...;g. menukarkan...;h. menyembunyikan atau menyamarkan..., dipidana karena tidak pidana

pencucian uang dengan pidana penjara....”

www.djpp.depkumham.go.id

Page 18: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Perumusan ini menjadi lebih baik apabila dirumuskan sebagaiberikut:

”Dipidana dengan pidana penjara....., setiap orang yang:a. menempatkan...;b. mentransfer...;c. membayarkan...;d. menghibahkan...;e. menitipkan...;f. membawa...;g. menukarkan...;h. menyembunyikan atau menyamarkan....”

Rumusan terakhir ini, ancaman pidana ditujukan terhadap semuaperbuatan dari huruf a sampai dengan huruf h. Sedangkanperumusan sebelumnya, seolah-olah hanya terhadap perbuatanyang termuat dalam huruf h.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 19: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umumpengacaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan modelpengancaman kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung ”dan”diantara dua jenis pidana yang diancamkan) atau model kombinasi alternatif-kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung ”dan/atau” diantara duajenis pidana yang diancamkan).

Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkanpidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus. Persoalannya, pada subyektindak pidana korporasi, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupadenda, dan tidak dapat dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan.Mengingat konstruksi ini, akan timbul kesulitan penjatuhan pidana (hanya)terhadap korporasi dalam hal tindak pidana yang dilakukan mengancamkansecara kumulatif pidana-pidana dengan jenis berbeda. Sekalipun salah satuancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah denda, tetapi tetapsaja dengan model pengancaman kumulatif hakim ”harus” menjatuhkankeduanya. Akibatnya, pengancaman pidana terhadap korporasi menjadi ”nonapplicable”. Misalnya pada rumusan tindak pidana yang ditentukan dalamUndang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seharusnya,dalam hal ancaman tindak pidana tersebut juga ditujukan terhadap korporasi,dengan perumusan yang bersifat umum melalui idiom ”setiap orang”, makamodel ancaman pidana alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif lebihtepat.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 20: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Ada tiga model perumusan jumlah pidana. Pertama, fix model, dalamhal ini rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapajumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yangdapat dijatuhkan hakim. Kedua, catagorization model, denganmenyebutkan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindakpidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. Ketiga, freemodel, dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pastijumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan menyerahkansepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim.

Berdasarkan prinsip nulla poena sine lege stricta, maka hanya modelpertama dan kedua yang mungkin diterapkan dalam sistem hukumIndonesia. Begitu pula seharusnya dalam undang-undang diluarKUHP. Umumnya digunakan fix model untuk menentukan jumlahpidana yang dapat dijatuhkan hakim dan Rancangan KUHP jugamenggunakan catagorization model khusus untuk denda.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 21: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Beberapa undang-undang menunjukkan penyimpangan pada pinsipini. Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang No. 6 tahun 1983 joUndang-Undang No. 16 Tahun 2000 menggunakan free model. Pasal 38Undang-Undang tersebut menyebutkan: ”...dipidana denda palingtinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terhutang yang tidak ataukurang dibayar.” Demikian pula ketentuan Pasal 39 Undang-Undangtersebut. Perumusan seperti ini menunjukkan hakim ”bebas”menjatuhkan denda, sehingga pidana menjadi ”tidak terbatas”. Hal initentunya menimbulkan keadaan yang bahaya bagi kepastian hukum.

Sebenarnya, dalam ancaman pidana, khususnya ancaman denda, tidakbegitu saja dapat dikaitkan (digantungkan) dengan kerugian yangtimbul akibat dari suatu tindak pidana. Hal ini juga ”disadari” olehpembentuk undang-undang ini, karena dalam Pasal 41, 41 A, dan 41 B,ancaman pidana denda disebutkan dengan tegas (fix model) berapajumlah yang mungkin dijatuhkan oleh hakim. Penggantian kerugianjuga dapat menjadi sanksi pidana, seperti Pasal 18 Undag-Undang No.31 tahun 1999 yang menjadikannya sebagai ”pidana tambahan”.

www.djpp.depkumham.go.id

Page 22: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Khusus berkenaan ketentuan yang menyangkut acara pidanahanya dapat ditentukan dalam undang-undang dan tidakdapat dilakukan dalam peraturan perundang-undanganlainnya.

Hal ini dikarenakan ketentuan hukum acara pidana padadasarnya memuat proses untuk mengurangi hak-hak asasiseseorang, dan prosedur yang harus ditempuh untuk itu gunamelindungi hak-hak asasi yang bersangkutan;

Dilihat dari sifatnya, baik ketentuan undang-undang tentangacara pidana pada dasarnya harus dipandang sebagai“pembatasan kewenangan negara” untuk mengintervensikehidupan individu, dan bukan dilihat sebagai “pemberiankewenangan negara” untuk melakukan hal itu;

www.djpp.depkumham.go.id

Page 23: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Harus dihindari “pembatasan kewenganan” yang sama-samar(vagennormen). Misalnya, dalam Pasal 72 UU Perikanan yangmenentukan bahwa, “penyidikan dalam perkara tindak pidanadibidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yangberlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Menjadipersoalan “hukum acara yang berlaku disini” apakah hanya yangterbatas pada yang ditentukan dalam KUHAP, ataukah juga setiaphukum acara yang ditetapkan secara khusus dalam setiap undang-undang, termasuk tetapi tidak terbatas pada UU ZEE;

Demikian pula halnya dalam Pasal 73 ayat (3) UU Perikananmenentukan bahwa, “untuk melakukan kordinasi dalam penangantindak pidana dibidang perikanan, Menteri dapat membentukforum koordinasi”. Tidak jelas apakah yang menjadi kewenanganforum koordinasi disini, dan undang-undang juga tidakmendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini denganperaturan perundangan lainnya. Lalu bagaimana hubungannyadengan ketentuan dalam undang-undang lain yang menentukanbahwa Penyidik Polri sebagai koordinator penyidikan;

www.djpp.depkumham.go.id

Page 24: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Contoh lain, ketika UU menentukan jangka waktu dan tata carapenahanan terhadap orang perseorangan yang menjadi tersangka,tetapi sama sekali tindak menentukan dan tidak mendelegasikanpengaturannya tentang hal serupa jika dilakukan terhadap kapal;

Dalam UU ZEE permohonan untuk membebaskan kapal yangditangkap dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusanpengadilan negeri yang berwenang. Siapakah yang berwenangmengabulkan atau menolak permohanan ini, tidak disebutkandengan tegas dalam UU ini, yang jika ditafsirkan secara strukturalmerujuk kepada TNI AL;

Sementara itu, dalam UU Perikanan hak/kewenangan seperti initidak diatur, sehingga dalam hal penangkapan dan penahanankapal dilakukan oleh PPNS Perikanan atau Polri, pada dasarnyadapat dilakukan permohanan pembebasan kepada TNI AL;

www.djpp.depkumham.go.id

Page 25: oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/467_Perumusan KetentuanPidana.pdf · Adakalanyaancamanpidanaditujukankepadasubyekhukumdengan

Terima kasih atas kesabarannya

mendengarkan presentasi ini

www.djpp.depkumham.go.id