24
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang berkembang dari infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya bakteri ini menyebar dari orang ke orang melalui transmisi udara. (Lobue et al, 2008). Penyakit ini biasanya menyerang organ paru. Walaupun begitu, sepertiga dari jumlah kasus tuberkulosis menyerang organ ekstra paru (Raviglione,2005). 2.1.2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

OBAT TB.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang berkembang dari infeksi

sistemik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya

bakteri ini menyebar dari orang ke orang melalui transmisi udara. (Lobue et al,

2008). Penyakit ini biasanya menyerang organ paru. Walaupun begitu, sepertiga

dari jumlah kasus tuberkulosis menyerang organ ekstra paru (Raviglione,2005).

2.1.2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi

beberapa tipe pasien, yaitu:

Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA positif.

Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Kasus Pindahan (Transfer In)

Universitas Sumatera Utara

5

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain

untuk melanjutkan pengobatannya.

Kasus lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan:

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,

default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan

secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis

spesialistik (PNPT, 2007).

2.1.3. Pengobatan TB

Dalam guideline WHO tahun 2009 tentang panduan pengobatan

tuberkulosis, WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat

berdasarkan berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Rekomendasi dosis pada OAT untuk orang dewasa.

Drug

Rekomendasi dosis

Harian 3 Kali Seminggu

Dosis dan

rentang

( mg/kgBB )

Maksimum

( mg )

Dosis dan

rentang

( mg/kgBB )

Maksimum

harian ( mg )

Isoniazid ( H ) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampicin ( R ) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Ethambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

(WHO, 2009).

Universitas Sumatera Utara

6

Untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin

tidak bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu

direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien dengan

umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak

bisa menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari (WHO, 2009).

2.1.3.1 Pengobatan TB kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

• Pasien baru TB paru BTA positif.

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

• Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.2. Dosis Untuk Paduan OAT KDT Kategori-1

Berat Badan

Tahap intensif tiap hari

selama 56 hari RHZE

(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 kali

seminggu selama 16

minggu RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

( PNPT,2009 )

2.1.3.2. Pengobatan TB kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya :

• Pasien kambuh

• Pasien gagal

•Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Universitas Sumatera Utara

7

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori-2

Berat badan

Tahap intensif tiap hari RHZE

(150/75/400/275) + S

Tahap lanjutan 3 kali

seminggu RH (150/150)

+ E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 kg

2 tab 4KDT + 500

mg streptomisin

inj.

2 tab 4KDT2 tab 2KDT + 2 tab

etambutol

38-54 kg

3 tab 4KDT + 750

mg streptomisin

inj.

3 tab 4KDT3 tab 2KDT + 3 tab

etambutol

55-70 kg

4 tab 4KDT +

1000 mg

streptomisin inj.

4 tab 4KDT4 tab 2KDT + 4 tab

etambutol

≥ 71 kg

5 tab 4KDT +

1000 mg

streptomisin inj

5 tab 4 KDT5 tab 2KDT + 5 tab

etambutol

(PNPT, 2009)

2.1.3.3. Pengobatan TB kategori-3

Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas

dan kasus ekstra pulmonal (selain dari kategori 1). Pengobatan fase inisial terdiri

dari 2HRZ atau 2H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3

(Amin, Zulkifli dan Asril Bahar, 2009).

2.1.3.4. Pengobatan TB kategori-4

Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda,

sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H

saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda

(MDR-TB) (Amin, Zulkifli dan Asril Bahar, 2009).

Universitas Sumatera Utara

8

2.2. Streptomisin

Streptomisin di dalam darah hampir seluruhnya terdapat di dalam plasma

dan hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit maupun makrofag

(Istiantoro, 2007 ).

Suntikan intramuskular merupakan cara yang paling sering dikerjakan.

Dosis total sehari berkisar 1-2 g (15-25 mg/kgBB); 500-1 g disuntikkan setiap 12

jam. Untuk infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-4 kali

pemberian. Dosis untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB sehari, dibagi untuk dua kali

penyuntikan (Istiantoro, 2007).

Streptomisin bekerja melalui inhibisi dari sintesis protein. Streptomisin

hanya efektif melawan bakteri ekstraseluler di kavitas dimana pH netral.

Streptomisin harus diadministrasi secara parenteral, dan tidak diabsorbsi di usus.

Puncak konsentrasi serum dari 40 mikrogram/ml muncul kira-kira setelah satu

jam 15 mg/kg dosis intramuscular. Banyak dari strain M. tuberculosis diinhibisi

dengan konsentrasi 8 mikrogram/ml. waktu paruh streptomisin dalam darah

adalah 5 jam (Kreider, 2008).

Kejadian nefrotoksisitas dan ototoksisitas meningkat pada pasien dengan

umur lebih dari 50 tahun dan penggunaan streptomisin harus lebih hati-hati pada

pasien ini. Pada pengobatan tuberkulosis, penggunaan streptomisin terbatas hanya

untuk 2 bulan (Kreider,2008).

2.2.1 Sifat-sifat fisik dan kimia streptomisin

Streptomisin berbeda dengan jenis aminoglikosida lain dimana

aminoglikosida mempunyai struktur streptidine yang lebih dibanding 2-

deoxystreptamine, dan aminosilitol tidak terletak di posisi sentral. Struktural

formula daripada streptomisin dapat dilihat di bawah ini (Chambers, 2006).

Universitas Sumatera Utara

9

Gambar 2.2. Struktur Streptomisin

2.2.2. Mekanisme kerja

Aminoglikosida bersifat bakterisid untuk organisme yang peka dengan

cara penghambatan irreversible sintesis protein. Namun, mekanisme yang tepat

ialah aktivitas bakterisid ini tidak jelas. Proses awal ialah penetrasi melalui

selubung sel. Proses ini sebagian berupa transport aktif, sebagian lagi berupa

difusi pasif. Karena transport aktif merupakan proses yang bergantung pada

oksigen, aminoglikosida relatif tidak efektif terhadap kuman anaerob (Jawetz,

1998).

Setelah memasuki sel, aminoglikosida akan mengikatkan diri dengan

reseptor pada subunit 30S ribosom bakteri. Sintesis protein ribosom dihambat oleh

aminoglikosida paling sedikit melalui 3 cara : (1) dengan mengganggu “kompleks

awal” pembentukan peptida. (2) dengan menginduksi kesalahan membaca kode

pada mRNA template, yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah

ke dalam peptida; dan (3) menyebabkan suatu pemecahan polisom menjadi

monosom yang tak berfungsi (Jawetz, 1998).

2.2.3. Farmamokinetik

Aminoglikosida merupakan persenyawaan yang saat polar sehingga sangat

buruk penyerapannya di dalam gastrointestinal. Kurang dari 1% dosis diserap

setelah pemberian melalui oral ataupun rectal. Obat tidak diaktivasi di usus dan

dieliminasi melalui feses (Chambers, 2006).

Setelah suntikan intramuskular, aminoglikosida diabsorbsi dengan baik,

memberikan konsentrasi puncak di dalam darah dalam 30-90 menit. Hanya 10%

Universitas Sumatera Utara

10

dari obat-obat yang diabsorsi terikat pada protein plasma. (Jawetz dalam katzung,

1998). Pengikatan oleh protein plasma darah hanya jelas terlihat pada

streptomisin, yaitu ½ dari seluruh aminoglikosida dalam darah. Yang lain praktis

tidak diikat oleh protein plasma (Istiantoro, 2007).

Konsentrasi aminoglikosida yang rendah ada pada sekresi dan di jaringan.

Konsentrasi yang tinggi hanya terdapat di korteks ginjal dan di endolimph serta

perilimph dari telinga bagian dalam. Konsentrasi obat yang tinggi pada tempat ini

menyebabkan nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Chambers, 2006).

Aminoglikosida diekskresi hampir seluruhnya melalui filtrasi glomerular,

dan konsentrasi urin 50-200 µg/ml tercapai, paling banyak muncul pada 12 jam

pertama (Chambers, 2006).

2.2.4. Efek samping

Gangguan pendengaran dan gangguan vestibular muncul pada semua

penggunaan jenis aminoglikosida. Hal ini dikarenakan akumulasi di konsentrasi

plasma tinggi. Difusi kembali ke aliran darah lambat; waktu paruh aminoglikosida

di cairan telinga lima sampai enam kali lebih lama dibanding di plasma.

Ototoksisitas cenderung terjadi pada pasien yang menetap peningkatan

konsentrasi obatnya di dalam plasma (Chambers, 2006).

Alergi, demam, rash kulit, dan manifestasi alergik lainnya mungkin terjadi

karena hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi pada

kontak lama dengan obat ini, baik pasien yang menerima suatu seri pengobatan

jangka panjang (misalnya untuk tuberkulosis), maupun pada orang-orang medis

yang menangani obat ini (Jawetz, 1998).

Rasa sakit pada tempat suntikan biasanya terjadi tetapi tidak hebat. Efek

toksik yang paling serius ialah gangguan fungsi vestibular-vertigo dan hilang

keseimbangan. Frekuensi dan beratnya gangguan ini sesuai dengan umur pasien,

kadar obat dalam darah, serta lama pemberian. Disfungsi vestibular terjadi setelah

beberapa minggu kadar dalam darah tinggi yang tidak biasa (misalnya pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal) atau berbulan-bulan dengan kadar yang relatif

Universitas Sumatera Utara

11

rendah. Setelah obat dihentikan, perbaikan parsial biasanya terjadi (Istiantoro,

2007).

Penggunaan bersamaan atau sekuensial aminoglikosida yang lain dengan

streptomisin harus dihindari untuk mengurangi kemungkinan ototoksisitas.

Streptomisin yang digunakan selama masa kehamilan dapat menyebabkan

ketulian pada neonatus (Jawetz, 1998).

2.3. Gangguan Pendengaran

2.3.1. Definisi

Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran

(hearing impairment) berarti kehilangan total atau sebagian dari kemampuan

untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti

kehilangan total kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga (WHO,

2012).

2.3.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran dapat berasal dari kelainan pada aurikel, kanal

auditori eksternal, telinga tengah, telinga dalam atau jalur sentral auditori.

Berdasarkan letak lesi, gangguan pendengaran dibedakan menjadi dua kategori

utama, yaitu :

Gangguan pendengaran konduktif, letak lesi pada aurikel, kanal auditori

eksternal atau telinga tengah. Gangguan ini disebabkan adanya obstruksi

pada kanal auditori eksternal oleh serumen, debris, atau benda asing;

swelling pada kanal; atresia atau neoplasma pada kanal; perforasi

membran timpani; gangguan pada tulang osikular, sebagaimana muncul

pada nekrosis tulang incus akibat trauma atau infeksi; otosklerosis; cairan,

jaringan parut atau neoplasma pada telinga tengah.

Gangguan pendengaran sensorineural, letak lesi pada bagian telinga dalam

atau saraf kranial ke-8. Kerusakan pada hair cell dari organ korti mungkin

disebabkan oleh suara yang keras, infeksi virus, obat ototoksik (misal,

Universitas Sumatera Utara

12

salisilat, kuinin, dan sintetik analog, antibiotik aminoglikosida, loop

diuretic seperti furosemide dan ethacrynic acid, dan obat kemoterapi

seperti cisplatin), fraktur pada tulang temporal, meningitis, otosklerosis

koklear, penyakit meniere, dan penuaan.

(Anil, 2005)

Tabel 2.4. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran

Derajat Gangguan Nilai ISO audiometric Deskripsi gangguan

0 ( tidak ada gangguan ) 25 dBHL atau kurang

(telinga yang lebih baik)

Tidak atau masalah

pendengaran

ringan. Dapat mendengar

bisikan1 ( gangguan ringan ) 26-40 dBHL

(telinga yang lebih baik)

Dapat mendengar dan

mengulangi kata yang

diucapkan secara normal

dengan jarak 1 meter

2 ( gangguan sedang ) 41-60 dBHL

(telinga yang lebih baik)

Dapat mendengar dan

mengulang kata yang

diucapkan dengan suara

yang lebih keras dengan

jarak satu meter

3 ( gangguan berat ) 61-80 dBHL (telinga

yang lebih baik)

Dapat mendengar

beberapa kata ketika

diteriakkan ke

telinga yang lebih sehat

4 ( tuli ) 81 dBHL atau lebih

(telinga yang lebih baik)

Tidak dapat mendengar

dan mengerti bahkan

dengan suara yang lebih

keras

WHO 1991

Universitas Sumatera Utara

13

2.3.3. Diagnosis

Anamnese dilakukan pada pasien untuk mendapatkan karakteristik dari

gangguan pendengaran, termasuk durasi ketulian, unilateral atau bilateral, onset

kejadiannya ( tiba-tiba atau tersembunyi ), dan perkembangan kejadiannya (cepat

atau lambat) (Anil, 2005).

Pemeriksaan telinga penderita harus melihat bagian aurikel, kanal

eksternal telinga serta membran timpani. Kanal eksternal telinga pada orang tua

sering kering dan rapuh, lebih mudah untuk membersihkan serumen dengan wall-

mounted suction dan cerumen loops dan hindari irigasi. Pada pemeriksaan

gendang telinga, bentuk dari membrane timpani lebih penting daripada ada atau

tidaknya refleks cahaya (Anil, 2005).

Pemeriksaan dengan otoskopi dilakukan untuk memastikan bahwa kanal

telinga terbuka secara penuh. Pemeriksaan ini juga dapat menentukan apakah ada

infeksi telinga tengah dengan adanya cairan yang terakumulasi pada telinga

tengah (Rubben, 2007).

Tes awal kemampuan dengar dilakukan dengan menggosokkan ibu jari

dengan jari telunjuk sekitar 2 inci dari telinga. Jika pasien tidak dapat mendengar

gosokan jari, maka dilakukan tes selanjutnya (Greenberg, 2002).

Rinne and weber tuning fork test, dengan garpu tala 256-512 Hz, dapat

digunakan untuk skrining gangguan pendengaran, membedakan antara gangguan

pendengaran konduktif atau sensorineural, dan untuk memastikan evaluasi

audiologi (Anil., 2005).

Tes rinne digunakan untuk membandingkan kemampuan dengar pada

hantaran udara dengan kemampuan dengar pada hantaran tulang. Ujung garpu tala

dipegang dekat dengan kanal auditori eksternal, dan kemudian diletakkan pada

prosesus mastoideus. Pasien kemudian diminta untuk menentukan mana nada

suara yang lebih nyaring terdengar, antara hantaran tulang atau hantaran udara.

(Anil, 2005). Jika terdapat gangguan pendengaran tipe sensorineural, maka nada

akan lebih nyaring terdengar pada hantaran udara dibanding pada hantaran tulang.

Jika terdapat ganggguan pendengaran tipe konduktif, maka stimulus hantaran

Universitas Sumatera Utara

14

tulang lebih nyaring terdengar dibanding stimulus pada hantaran udara

(Greenberg, 2002).

Kalau hantaran tulang didengar lebih lemah atau lebih kecil, hasil tes

disebut Rinne positif. Hal ini ditemukan pada pendengaran normal dan pada

gangguan pendengaran sensorineural. Kalau hantaran tulangnya didengar lebih

lama atau lebih jelas, hasil tes disebut Rinne negatif. Hal ini dijumpai pada

gangguan pendengaran hantaran (konduktif) (van den Broek, 2007).

Untuk tes weber, gagang pegangan garpu tala diletakkan di garis tengah

kepala dan pasien ditanya apakah nada terdengar pada kedua telinga ataukah

terdengar lebih jelas pada satu telinga (Anil, 2005). Jika terdapat gangguan

pendengaran tipe konduktif pada satu sisi saja, nada akan terdengar pada telinga

yang mengalami gangguan. Jika terdapat gangguan pendengaran tipe

sensorineural pada satu sisi saja, nada akan terdengar pada telinga yang

mengalami tidak mengalami gangguan (Greenberg, 2002).

Langkah berikutnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiometri.

Pada tes ini, pasien menggunakan headphones yang memainkan nada dengan

berbagai frekuensi dan lebih nyaring pada telinga. Pasien akan memberikan tanda

ketika nada terdengar, biasanya dengan mengangkat tangan. Untuk setiap nada,

tes akan mengidentifikasi nada yang paling diam yang bisa didengar oleh tiap

telinga. Hasilnya dibandingkan dengan nilai ambang pendengaran normal

(Rubben, 2007).

2.4. Patofisiologi Gangguan Pendengaran yang disebabkan oleh

Aminoglikosida

Setelah penggunaan sistemik, aminoglikosida akan terdeteksi di dalam

koklea dalam beberapa menit. Aminoglikosida masuk ke berbagai struktur koklea

melalui mekanisme uptake yang kompleks (Huth et al, 2011).

Toksisitas pada koklear menyebabkan gangguan pendengaran yang

dimulai dari frekuensi tinggi dan kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen

pada sel rambut terluar organ korti, predominan di bagian basal koklea. Clearance

dari aminoglikosida lebih lambat di cairan telinga dalam daripada di serum dan

Universitas Sumatera Utara

15

selanjutnya memperlama efek toksisitas yang ditimbulkan oleh aminoglikosida.

(Hirvonen, 2005)

Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida masih belum diketahui secara

pasti. Banyak proses seluler terlibat dan diperlukan penelitian lebih lanjut.

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa berbagai jenis aminoglikosida harus

masuk ke dalam sel rambut untuk menginduksi kematian sel (Hiel, 1992). Setelah

masuk ke dalam sel rambut, banyak mekanisme dan proses seluler yang terlibat.

Gangguan pada sintesis protein mitokondria pembentukan radikal oksigen,

aktivasi dari c-Jun N-terminal kinase dan aktivasi caspase dan nuclease.

Aminoglikosida juga mempunyai efek langsung pada membrane potensial sel

melalui interaksi dengan kanal K+. Sebagai tambahan, aminoglikosida berinteraksi

dengan unsur metal seperti besi atau tembaga yang berpotensi untuk membentuk

radikal bebas (Leitner, 2011).

Semua interaksi dari bermacam proses yang berlangsung pada akhirnya

menimbulkan kehilangan permanen pada sel rambut sensori di koklea dan

vestibular apparatus, berujung apda gangguan pendengaran permanen atau

gangguan keseimbangan (Selimoglu, 2007).

Universitas Sumatera Utara