149
KOMUNIKASI INTRA DAN ANTARBUDAYA MASYARAKAT MUSLIM KEI DI KOTA TUAL Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I) Oleh: Nurul Ain Kabakoran NIM: 1110051000056 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/ 1435 M

NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

  • Upload
    vankhue

  • View
    291

  • Download
    7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

KOMUNIKASI INTRA DAN ANTARBUDAYA

MASYARAKAT MUSLIM KEI

DI KOTA TUAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam

(S. Kom. I)

Oleh:

Nurul Ain Kabakoran

NIM: 1110051000056

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M/ 1435 M

Page 2: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 3: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 4: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah

dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli

penulis atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka penulis

bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Ciputat, April 2014

Nurul Ain Kabakoran

Page 5: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

i

ABSTRAK

Nurul Ain Kabakoran

1110051000056

Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual

Penelitian ini berupaya untuk mengetahui informasi mengenai pribadi

seorang muslim Kei dalam berkomunikasi intra dan antarbudaya antarsesama

masyarakat di Kota Tual manakah nilai yang paling menonjol antara nilai budaya

dan nilai agama. Suku Kei adalah suku asli yang berasal dari Kota Tual-Maluku

dan dikenal dengan adat istiadatnya yang kental serta menjunjung tinggi nilai-nilai

dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut. Namun di Kota Tual

tidak semua penduduknya berasal dari suku Kei, ada juga pendatang yang berasal

dari berbagai suku seperti bugis, jawa, padang, dan lain-lain.

Dari penjabaran di atas, maka penulis memunculkan pertanyaan, sebagai

objek pembahasan skripsi ini, bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya

masyarakat muslim Kei di Kota Tual, bagaimana komunikasi intrabudaya

masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-muslim Kei, serta bagaimana

komunikasi antarbudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim

di Kota Tual tersebut.

Teori yang penulis gunakan adalah teori interaksi-simbolik yang dipelopori

oleh George Herbert Blumer yang melanjutkan pemikiran dari George Herbert

Mead. Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa manusia bertindak

terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka,

makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang

lain”, dan makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat

“proses interaksi sosial” berlangsung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada

perspektif subjektif. Subjektif di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana

individu menciptakan sesuatu, menginterpretasi, dan menegosiasikan makna serta

melihat bagaimana mereka memandang realitas sosial sebagai interaksi sosial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat muslim Kei dapat

berinteraksi dan menjalin komunikasi intra dan antarbudaya dengan baik, aman,

dan damai. Pluralitas yang ada di tengah mereka tidak menjadi alasan penyebab

timbulnya konflik, adapun konflik yang terjadi tersebut hanya dilakukan oleh

pihak tertentu yang sengaja menggunakan isu ras atau kelompok sebagai pemicu

konflik. Yang menjadi pegangan masyarakat Kei adalah hukum adat Larvul

Ngabal, hukum adat yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Kei dan

di dalamnya tidak ada tradisi atau ritual yang bertentangan dengan syariat Islam.

Kekeluargaan dan kekerabatan menjadi hukum adat mendasar yang dipegang oleh

masyarakat Kei dengan falsafahnya “Ain Ni Ain” sehingga sesama masyarakat

Kei dapat melakukan aktivitas komunikasi intrabudaya dengan harmonis

walaupun berbeda dalam menganut agama dan sistem kepercayaan. Sedangkan

yang membuat langgengnya aktivitas komunikasi antarbudaya adalah konsep

ukhuwah islamiyah yang dipegang oleh masing-masing individu. Jadi keduanya

saling mendukung dan memengaruhi antara nilai budaya dan nilai agama.

Kata Kunci: komunikasi, agama, budaya, suku Kei, dan pendatang.

Page 6: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada

hambaNya sehingga skripsi yang berjudul “Komunikasi Intra dan Antarbudaya

Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual” dapat terselesaikan sesuai dengan waktu

yang telah direncanakan. Tak lupa, shalawat dan salam selalu tercurah kepada

Baginda Nabi besar Muhammad SAW serta keluarga, sahabat, dan para pengikut

hingga akhir zaman.

Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai persyaratan

dalam menyelesaikan program studi di jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Terselesaikannya skripsi ini juga tidak luput dari bantuan pihak luar.

Izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Arief Subhan, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Suparto, M.Ed., Ph.D., selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,

Drs. Jumroni, M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan

Kerjasama, Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wakil Dekan Bidang

Administrasi Umum.

Page 7: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

iii

3. Rachmat Baihaky, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran

Islam sekaligus berperan sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan

arahan, bimbingan, dan nasehat yang tiada henti kepada penulis serta

mendukung dan memberi banyak kemudahan kepada penulis dalam

penyusunan skripsi ini. Jazakumullah Ahsanal Jaza.

4. Umi Musyarofah, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, yang selalu membantu dan menyemangati penulis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan

dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Barakallah Lakum Fii Kulli Haal.

6. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

8. Pemerintah Kota Tual, Pemerintah Adat Kota Tual, Kementrian Agama

Kota Tual, Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Tual, Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kota Tual, yang turut berperan dalam selesainya penelitian ini,

khususnya kepada Walikota Tual Drs. Hi. M. M. Tamher, Kepala Kantor

Kementrian Agama Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I., Tokoh Adat Kei

Ahmad Tamherwarin, S.H dan Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I. Terima

kasih telah meluangkankan waktu berharganya kepada penulis.

Page 8: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

iv

9. Secara khusus dan terutama adalah yang selalu penulis kagumi dan cintai,

kedua orang tua, Ayahanda Hamis Kabakoran dan Ibunda Rohani

Kabakoran yang tak pernah lelah pagi dan petang, siang dan malam

mendoakan penulis, memberikan dukungan, dan berkorban harta, jiwa dan

raga demi penulis. Semoga Allah selalu mengampuni, menjaga, dan

menyayangi kalian.

10. Kakak dan Adik penulis, Kak Titi, Abang Wan, Ta El, Abang Be dan Dek

Cici yang selalu menyemangati dan menginspirasi penulis.

11. Kakek dan Nenek, Om dan Bibi, Tata dan Abang serta Ponakan-ponakan

yang selalu mencintai dan mendoakan penulis sehingga membuat penulis

tak pernah merasa sendiri.

12. Guru-guru dan kawan seperjuangan penulis selama duduk di bangku MI,

MTs, hingga MA yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan berbagi

pengalaman dengan penulis.

13. Keluarga Ciputat Evav. Aunteput, M’piet, Deaudy, Kajee, Bundaeka,

SJQung, LinglingNha, Ichaaku, Kak Anna, Dejiyah, Deistia, dan Adelia

yang selalu bersama menikmati suka duka setiap hari di bumi Ciputat.

14. Sahabat terindah Ghafna, Vhy Vhe Vha Yha Khy Nha Nhy Shy dan Lha

terima kasih atas semangat dan dukungannya. Semoga abadi.

15. Tim Hore. Abangfah, Banggun, Tecken, Ilham, Kaablo, Radit, Zhaky,

Bangojan, Bangamin, Banghadi, Bangalvin, Bangfik, Bangamzhy, dan

Bangpatih yang tak pernah bosan membantu dan memberi semangat.

Page 9: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

v

16. Kawan Seperjuangan. Ulva Midah Dwi Putri Faizah Chandra Hardiansyah

Fauzi Ade Adam Tri, dan teman-teman seperjuangan KPI B angkatan 2010,

yang telah melalui sebuah masa penuh kebahagiaan dengan penulis selama

menuntut pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah.

17. Keluarga KKN Aksara, Paradise Dadut Bulbul Ale Caidi Puji Srohbenk

Kaneng Balika Baina Tami Uyung, seluruh warga Cisarua, Pak Ujang, Ibu

Maryati dan semuanya terima kasih atas kerja sama dan pengalamannya,

terima kasih juga telah mengajarkan penulis arti dari sebuah pengabdian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis akan menerima segala kritik dan saran dari pembaca sehingga

dapat menjadi acuan pembelajaran bagi penulis. Akhirnya, penulis berharap agar

skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sebagai bahan pembanding untuk

penelitian selanjutnya dan pembaca pada umumnya.

Ciputat, April 2014

Nurul Ain Kabakoran

Page 10: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 7

C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8

E. Metodologi Penelitian .............................................................. 9

F. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 14

G. Sistematika Penulisan ............................................................... 17

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Komunikasi dan Budaya .......................................................... 21

Komunikasi .................................................................. 21

Budaya .......................................................................... 28

Komunikasi Sebagai Proses Budaya ............................ 32

B. Komunikasi Intrabudaya .......................................................... 35

C. Komunikasi Antarbudaya ......................................................... 40

D. Teori Interaksi-Simbolik .......................................................... 48

BAB III GAMBARAN UMUM

A. Profil Kota Tual ........................................................................ 57

B. Infrastruktur Wilayah Kota Tual .............................................. 60

C. Kecamatan Dullah Selatan ....................................................... 65

D. Asal Muasal Suku Kei .............................................................. 67

E. Keadaan Masyarakat Kei di Kota Tual .................................... 72

Page 11: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

vii

BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA

A. Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei

di Kota Tual .............................................................................. 78

Komunikasi Intrabudaya Masyarakat Muslim Kei dan

Masyarakat Non-muslim Kei di Kota Tual ....................... 80

Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei dan

Masyarakat Non-Kei Muslim di Kota Tual ...................... 93

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................... 99

B. Saran ......................................................................................... 100

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 101

LAMPIRAN

Page 12: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota Tual adalah sebuah kota di Provinsi Maluku yang merupakan

bagian dari negara Kepulauan Indonesia. Kota Tual pernah menjadi bagian

dari Kabupaten Maluku Tenggara sebelum Undang-Undang Republik

Indonesia Tahun 2007, Nomor 31 disahkan. Pembentukan Kota Tual

sebagai daerah otonom pun pernah dipertentangkan secara hukum oleh

beberapa pihak yang merasa tidak puas, kemudian berakhir di putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kota

Tual tetap sah dan memenuhi syarat sebagai kota otonom. Kini Kota Tual

telah berdiri sendiri dan pemerintahan kota di sana telah berjalan efektif.1

Penduduk asli Kota Tual adalah suku Kei sama halnya dengan

Kabupaten Maluku Tenggara. Namun tidak semua penduduk di sana berasal

dari suku asli Kei, melainkan juga berasal dari suku lain yang kemudian

menetap di Kota Tual. Misalnya orang asal suku Jawa, Padang, Bugis dan

Makassar, Buton serta Ambon, yang menetap sebagai pedagang.

Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat Kei di Kota Tual

mungkin belum banyak dikenal. Namun dalam catatan sejarah lokal

Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan

lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakkan masyarakat Kei yang secara

1 BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari

“http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/kabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada:

Rabu, 06 November 2013.

Page 13: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

2

struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya Larvul Ngabal.

Suatu hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan

manusia baik individu maupun komunitas adat Kei.

Dalam interaksi kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat

tiga nilai perekat, yakni: (1) Falsafah “Ain Ni Ain Hira Ni Fo Hira Ni It Did

Fo It Did”, yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2) Falsafah

“Foing Fo Kut Fauw Fo Banglu”. Nilai foing fo kut ini bermakna

menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan

mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi

kehidupan. Sedangkan nilai fauw fo banglu bermakna kemampuan untuk

menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi

serangan; Dalam pengertian ini, peluru tidak bermakna modern, namun

lebih pada pengertian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk

mistis. Karena itu foing fo kut fauw fo banglu dapat juga dimaknai bersatu

kita teguh, bercerai kita runtuh, dan (3) Falsafah “Vuut Ain Mehe Ni Ngivun,

Manut Ain Mehe Ni Tilur”, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal

dari satu keturunan.2

Suku Kei merupakan salah satu suku yang dikenal dengan budaya dan

adat istiadatnya yang kental, mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

dan norma yang ada pada budaya dan adat istiadat tersebut serta menjadikan

budaya dan adat istiadat sebagai tonggak yang menopang seluruh dimensi

kehidupan. Budaya dan adat istiadat mendapat tempat pertama bagi

2 Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari

“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:

Rabu, 06 November 2013.

Page 14: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

3

masyarakat Kei sebab sebelum adanya pemerintah dan datangnya agama di

Bumi Larvul Ngabal lembaga adat dan budaya adat Kei sudah terlebih

dahulu berperan.3

Islam merupakan agama pertama yang menyentuh Kota Tual.

Kemudian diikuti agama Kristen dan agama lainnya. Setelah agama datang,

masyarakat Kei pun mulai memeluk agama sesuai keyakinannya tentang

agama paling benar yang harus dianutnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan, salah satu nilai perekat yang ada

pada masyarakat Kei adalah nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Oleh

karena itu, memudahkan masyarakat Kei dalam berinteraksi dan menjalin

komunikasi dengan sesama sukunya. Baik sesama agama maupun berbeda

agama. Misalnya sesama muslim Kei maupun antara muslim Kei dengan

non-muslim Kei. Pola komunikasi seperti ini dikenal dengan komunikasi

intrabudaya.

Tidak hanya itu, masyarakat Kei juga bisa berinteraksi dan menjalin

komunikasi secara baik dan sehat dengan masyarakat luar adat Kei seperti

masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan Ambon.

Padahal berbeda suku seperti ini tentu berbeda pula bahasa, budaya, dan

adat istiadatnya.

Meskipun terdapat banyak perbedaan, masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis dan Makassar, serta Buton dan

Ambon) muslim tersebut dapat saling berinteraksi tinggal menetap di Kota

3 Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari

“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:

Rabu, 06 November 2013.

Page 15: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

4

Tual dan menjalankan aktivitas komunikasi antarbudaya setiap harinya.

Keadaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya keyakinan,

perkawinan dan perdagangan.

Adanya komunikasi yang terjalin antara masyarakat muslim Kei

dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim

mendorong penulis untuk lebih jauh mengetahui gambaran secara jelas

mengenai pola komunikasi, penggunaan bahasa, prasangka dan stereotip

yang tumbuh dalam hubungan yang terjadi serta melihat berbagai bentuk

kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan tersebut.

Dalam berkomunikasi, ada dua nilai yang disatupadukan sebagai

seorang muslim Kei, yaitu nilai agama (Islam) dan nilai budaya (adat Kei).

Kedua nilai kemudian memengaruhinya ketika berinteraksi dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei (Jawa, Padang, Bugis

dan Makassar, serta Buton dan Ambon) yang beragama Islam. Nilai

manakah yang lebih menonjol antara nilai Islam dan nilai adat Kei.

Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dulu kita harus

memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti

memahami apa yang terjadi selama komunikasi itu berlangsung, mengapa

itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan

akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk memengaruhi dan memaksimal-

kan hasil-hasil dari kejadian tersebut.4

4 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),

h. 12.

Page 16: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

5

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan ber-

komunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam

kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam

masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang

tidak akan terlibat dalam komunikasi.5

Sedangkan budaya berkenaan dengan cara hidup. Selo Soemardjan

dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil

karya, rasa, dan cipta masyarakat.6 Manusia belajar berpikir, merasa,

mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.

Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-

tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi,

semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang

membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama,

waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi

dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi

melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam

pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang

berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan

gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu

5 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 1.

6 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 151.

Page 17: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

6

masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada satu tingkat

perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. 7

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya

tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan

bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan

kondisi-kondisinya untuk mengirim, memerhatikan, dan menafsirkan pesan.

Sebenarnya seluruh pembendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada

budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan

landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam

pula praktik-praktik komunikasi.8

Komunikasi intrabudaya adalah komunikasi yang terjadi antara

anggota yang berasal dari suatu kebudayaan yang sama. Sedangkan

komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu

budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.

Menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa, mengatakan bahwa

komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang

berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar

kelas sosial.9

7 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),

h. 18. 8 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h. 19. 9 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007), h. 10.

Page 18: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

7

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini penulis beri

judul: “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota

Tual”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada

masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim Kei dan

masyarakat non-Kei muslim yang berada di Kota Tual, khususnya di Desa

Tual Kecamatan Dullah Selatan. Dibatasi sebagai berikut:

Masyarakat asli Kei, terdiri dari beberapa pengurus atau tokoh adat

yang menjadi juru bicara keagamaan, pemerintahan, dan lembaga adat

kebudayaan Kei. Guna memperkuat argumen dari adat.

Masyarakat muslim Kei dan non-muslim Kei yang berada di Desa

Tual Kecamatan Dullah Selatan.

Masyarakat non-Kei muslim (masyarakat Jawa, Padang, Bugis dan

Makassar, Buton dan Ambon), yang berada di Desa Tual Kecamatan

Dullah Selatan.

Dan juga pembatasan terhadap ruang dan waktu kegiatan, seperti

pergaulan sehari-hari dan acara ritual adat tertentu.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah tersebut disusun dalam kerangka

pertanyaan sebagai berikut:

Page 19: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

8

Bagaimana komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat muslim Kei

di Kota Tual?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat

muslim Kei di Kota Tual.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

acuan atau masukan guna membantu para penulis dalam penelitian-

penelitian selanjutnya yang mengkaji studi komunikasi intra dan

antarbudaya serta memberikan kontribusi pada aspek kebudayaan itu

sendiri.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khusunya pada bidang

komunikasi intra dan antarbudaya yang ada hubungannya dengan Program

Studi Komunikasi.

Page 20: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

9

E. Metodologi Penelitian

1. Perspektif

Perspektif sering juga disebut paradigma, kadang disebut pula mazhab

pemikiran (school of thought) adalah suatu cara pandang untuk memahami

kompleksitas dunia nyata. Perspektif adalah definisi situasi atau seperangkat

gagasan yang melukiskan karakteristik situasi dan memungkinkan meng-

ambil tindakan. Suatu spesifikasi jenis tindakan yang layak dan masuk akal

dilakukan orang. Perspektif dijadikan sebagai standar nilai yang me-

mungkinkan orang dapat dinilai (kriteria untuk penilaian).10

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan perspektif subjektif.

Istilah lain dalam perspektif ini adalah humanistik, interpretif,

fenomenologis, konstruktivis, konstruksionis, naturalistik, interaksionis,

interaksional, kualitatif, induktif, holistik, kontemporer, dinamis, dan lain-

lain.

Perspektif subjektif menganggap bahwa pengetahuan tidak mem-

punyai sifat objektif dan sifat yang tetap. Perspektif subjektif bersifat

interpretif dan makna dinegosiasikan. Menurut perspektif ini, realitas sosial

dianggap sebagai interaksi sosial yang bersifat komunikatif. Pendekatannya

kreatif, individu menciptakan apa yang ada “di luar sana”. Perspektif ini

berpendapat bahwa setiap manusia bersifat unik dan fenomena sosial

bersifat sementara serta polisemik (multimakna).

10

Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah

Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010.

Page 21: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

10

Adapun aliran teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah aliran interaksionis. Aliran ini memandang kehidupan manusia

sebagai proses interaksi; seluruh struktur sosial akan eksis dan dibentuk

secara terus-menerus melalui interaksi; aliran ini memfokuskan pada

bagaimana bahasa digunakan dalam menciptakan struktur sosial dan

bagaimana bahasa serta sistem simbol lainnya diproduksi; Menurut aliran

ini makna tidaklah objektif, melainkan diciptakan oleh masyarakat dalam

tindakan komunikasi; dan pengetahuan bersifat situasional tidak universal.11

Salah satu contoh teori dalam aliran interaksionis adalah teori

interaksi simbolik. Teori inilah yang kemudian digunakan oleh penulis

dalam penelitian ini.

2. Metode dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk

menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.12

Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk

menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan

data sedalam-dalamnya.13

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif analitik. Di mana data-data yang telah diperoleh di-

deskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah memapar-

11

Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto, Ilmu, Konsep, Teori dan Pespektif: Sebuah

Landasan Memahami Kerangka Berpikir, KPI UIN Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010. 12

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011),

h. 9. 13

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2010), h. 56.

Page 22: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

11

kan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan

hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif

ialah menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis

setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa penulis terjun ke

lapangan. Ia tidak berusaha memanipulasi variabel.14

3. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu

yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.15

Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian ini adalah warga masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim yang tinggal

di Desa Tual Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.

Adapun yang menjadi objek penelitiannya adalah pola komunikasi

yang terjadi pada masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-muslim

Kei dan masyarakat non-Kei muslim dalam kajian komunikasi intra dan

antarbudaya.

4. Waktu dan Tempat Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan

preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum

penelitian dilakukan pada November 2013-Januari 2014, sepanjang itu

penulis mencari tahu dan menelaah tentang gejala-gejala serta fenomena

yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca serta memperdalam

14

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24-25. 15

Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 66.

Page 23: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

12

kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya untuk

memperkuat teori yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan proses

penelitian dan penggarapannya dilakukan pada Februari 2014-April 2014.

Adapun tempat yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini

adalah Desa Tual, Kecamatan Dullah Selatan, Kota Tual.

5. Sumber dan Jenis Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, penulis

menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari nara sumber

melalui observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis di

lapangan.

b. Data sekunder adalah data yang penulis peroleh dari sumber-sumber

tertulis seperti yang terdapat dalam buku, jurnal, dokumentasi atau

arsip-arsip dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian

yang dilakukan. Data sekunder tidak hanya berupa tulisan tetapi juga

berupa data yang diperoleh dari informan yang mengetahui informasi

tentang apa yang sedang diteliti serta mendukung penelitian tersebut.

6. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Secara luas, observasi atau pengamatan berarti kegiatan untuk me-

lakukan pengukuran.16

Proses pengumpulan data primer dengan cara

16

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011),

h. 69.

Page 24: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

13

pengamatan langsung dan melakukan pencatatan terhadap objek-objek

terkait. Yang termasuk dalam teknik observasi adalah interaksi (perilaku)

yang terjadi di antara subjek yang diriset.17

Dalam hal ini penulis

mengobservasi atau melakukan pengamatan terhadap masyarakat muslim

Kei ketika berkomunikasi intra dan antarbudaya dengan sesama masyarakat

selama Februari-Maret 2014.

b. Wawancara

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan

pertanyaan secara langsung oleh pewancara (pengumpul data) kepada nara

sumber, dan jawaban-jawaban nara sumber dicatat atau direkam dengan alat

perekam (tape recoprder).18

Wawancara merupakan metode pengumpulan

data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari

sumbernya.19

Dalam penelitian ini penulis memperoleh data dari nara

sumber dengan cara wawancara atau tanya jawab langsung bersama Bapak

Drs. Hi. M. M. Tamher, M.M selaku Walikota Tual, Bapak Ahmad

Tamherwarin, S.H selaku tokoh adat Kei, Bapak Drs. H. Arifin Difinubun,

M.Sos.I selaku Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual, dan Bapak

Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I selaku pejabat yang mewakili Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Tual.

17

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2010), h. 110. 18

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011),

h. 67. 19

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2010), h. 100.

Page 25: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

14

c. Dokumentasi

Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk

mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data tentang

berbagai hal yang berhubungan dengan komunikasi intra dan antarbudaya

masyarakat muslim Kei di Kota Tual. Misalnya peta wilayah dan struktur

pemerintahan yang penulis peroleh dari arsip Pemerintah Daerah Kota Tual.

Teknik dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan

data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian.

7. Analisis dan Interpretasi Data

Data yang terkumpul dalam wawancara mendalam dan dokumen-

dokumen diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu.

Dalam analisis data, penulis menggunakan analisis deskriptif, yaitu

dengan menganalisis setiap data atau fakta yang diperoleh dari lapangan

secara mendalam dan menyeluruh kemudian data atau fakta tersebut

diinterpretasikan dan dilaporkan, diterangkan serta disimpulkan secara luas.

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, penulis juga mengadakan tinjauan pustaka.

Dengan mengadakan studi pustaka ke Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi. Penulis melakukan studi pustaka ini guna memastikan apakah

ada kesamaan judul atau tema penelitian terdahulu dengan penelitian yang

penulis lakukan. Penulis kemudian menemukan beberapa skripsi yaitu:

Page 26: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

15

1) Ahmad Syukri, menulis: “Komunikasi Antarbudaya: Studi pada Pola

Komunikasi masyarakat suku Betawi dengan Madura di Kelurahan

Condet Batu Ampar”.

Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang terjadi

antara suku budaya Betawi dan Madura lebih banyak menggunakan

pola komunikasi antarpribadi dan kelompok, dalam kegiatan sehari-

hari, sedangkan komunikasi kelompok digunakan jika ada acara-acara

tertentu.

Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan

Madura di Kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan subjek

penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota

Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama

membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.

2) Raden Dimas Anugrah Dwi Satria, menulis “Komunikasi Antar-

budaya Masyarakat Adat Baduy Luar dengan Masyarakat Luar Adat

Baduy di Banten”.

Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi yang

berlangsung antara suku adat Baduy dan suku luar adat Baduy seperti

dalam pergaulan sehari-hari, dan acara-acara ritual tertentu baik

komunikasi verbal maupun non-verbalnya.

Page 27: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

16

Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Dimas adalah masyarakat perkampungan

Kaduketug Baduy Luar dan masyarakat luar Baduy. Sedangkan subjek

penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota

Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama

membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya, nilai-nilai

komunikasi dan budaya yang terkandung di dalamnya.

3) Siti Asiyah, menulis: “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama: Studi

Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04

Kelurahan Mekarsari Tangerang”.

Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi antarbudaya

yang terjadi antara warga etnis Tionghoa dengan Muslim Pribumi di

kelurahan Mekarsari Tangerang dalam kegiatan sehari-hari dan acara-

acara tertentu.

Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Siti adalah warga etnis Tionghoa dengan

Muslim Pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan

subjek penelitian penulis adalah warga masyarakat muslim Kei

dengan masyarakat non-muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim

Page 28: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

17

di Kota Tual. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama

membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini, yaitu dengan membagi

menjadi beberapa bab, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan

pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORITIS

Pengertian komunikasi dan budaya, pengertian komunikasi

intrabudaya, pengertian komunikasi antarbudaya, dan teori interaksi

simbolik.

BAB III GAMBARAN UMUM

Profil Kota Tual, infrastruktur wilayah Kota Tual, profil Kecamatan

Dullah Selatan Kota Tual, asal muasal suku Kei, dan keadaan

masyarakat Kei di Kota Tual.

BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Penyajian data-data yang diperoleh dari penelitian, berikut analisis-

nya. Yaitu mengenai komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat

muslim Kei di Kota Tual.

BAB V PENUTUP

Kesimpulan dan saran.

Page 29: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

18

BAB II

LANDASAN TEORITIS

Tema tentang komunikasi bukan hal baru, namun ia lebih menarik setelah

dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah antarbudaya (interculture)

pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959

dalam bukunya The Silent Language. Karena Hall tersebut hanya menerangkan

tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi,

religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya.1

Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan

satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of

Communication (an introduction to theory and practice) pada 1960. Dalam

tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo,

komunikasi akan berhasil jika manusia memerhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu:

sources, message, channel, receiver. Faktor-faktor yang menentukan (source) dan

penerima (receiver) ialah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem

sosial, dan kebudayaan. Pada pesan (message) perlu diperhatikan isi, perlakuan

pesan, dan perlambangan; sedangkan pada saluran (channel) faktor yang perlu

diperhatikan sangat tergantung atas pilihan saluran yang sesuai misalnya (mata)

melihat, (telinga) mendengar, (tangan) meraba atau memegang, (hidung)

membaui, dan (lidah) mengecapi.

1 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 1.

Page 30: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

19

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo

berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk

melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat

penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-

makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari

kebudayaan yang berbeda. Paling tidak, karya Hall dan Berlo tersebut telah

merangsang para pakar sosiologi, antropologi, psikologi untuk meneliti

komunikasi antarbudaya selama dasawarsa 1950-1960-an.2

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada 1970-

1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas

komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication

Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi

Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat.

“Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu

terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and

Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep

komunikasi antarbudaya dalam Interbational Journal of Intercultural Relations

pada tahun 1977.

Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark

menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya,

yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai

2 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 1-2.

Page 31: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

20

melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya, misalnya penelitian Asante dan

kawan-kawan pada tahun 1980-an.

Pada akhir 1983 lahir International and Intercultural Communication

Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk

menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang

“Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst,

disusul tahun 1988 oleh Kim dan Gundykunst, sedangkan tema metode penelitian

ditulis oleh Gundykunst dan Kim tahun 1984.

Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerjasama antarbudaya

ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi

antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst

tahun 1988, dan terakhir komunikasi/ bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey

dan Korzenny, tahun 1988.

Pada tahun 1990-an, studi-studi komunikasi antarbudaya diperluas meliputi

pula studi diplomasi antarbangsa, misalnya Penelitian Komunikasi Kemanusiaan,

Monograf Komunikasi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Komunikasi Internasional dan

Relasi Antarbudaya, Jurnal Studi Tentang Orang Kulit Hitam, dan Jurnal Bahasa

dan Psikologi Sosial.3

McLuhan merupakan orang pertama yang memberikan tekanan ulasan pada

hubungan/ komunikasi antarbangsa karena melihat gejala makin meningkatnya

hubungan dan ketergantungan antarbangsa. Dari gagasan McLuhan itulah lahir

konsep “Tatanan Komunikasi dan Informasi Dunia Baru” yang memengaruhi

3 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 2-3.

Page 32: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

21

perkembangan sebuah penelitian tentang perbedaan budaya antaretnik, rasial dan

golongan di semua bangsa. Faktor-faktor tersebut telah menyulut pesatnya

perkembangan teori dan penelitian yang berkaitan dengan komunikasi

antarbudaya.4

A. Komunikasi dan Budaya

Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal

dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang

berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Harold Lasswell,

mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah

menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With

What Effect? Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi

adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan

melalui media yang menimbulkan efek tertentu.5

Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran

informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem

kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses pearlihan dan pertukaran

informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun

nonverbal yang dipahami bersama.6

4 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 1-3. 5 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007), h. 9-10. 6 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 5.

Page 33: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

22

Ilmu komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu

mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antar-

suku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat

manusia penghuni bumi.

Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang

timbul akibat komunikasi. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara

tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan

hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya

manusia hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil

rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami isteri, bisa berbentuk

besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, propinsi,

dan negara.

Semakin besar suatu masyarakat yang berarti semakin banyak

manusia yang dicakup, cenderung akan semakin banyak masalah yang

timbul, akibat perbedaan-perbedaan di antara manusia yang banyak itu

dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya,

tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya, dan lain

sebagainya.

Dalam pergaulan hidup manusia di mana masing-masing individu satu

sama lain beraneka ragam itu terjadi interaksi, saling memengaruhi demi

kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling

mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk percakapan.

Page 34: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

23

Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang

dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain

dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan (message),

orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator)

sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan

(communicate). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian

pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan

komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the

message), kedua lambang (symbol). Kongkretnya isi pesan itu adalah

pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa.7

Gambar 1. Unsur-unsur dalam proses komunikasi

7 Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2003), h. 27-28.

Media

Message Encoding Sender

Response Feedback

Noise

Receiver

Decoding

Page 35: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

24

Komponen/ unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah sebagai

berikut:8 Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada

seseorang atau sejumlah orang. Encoding: Penyandian, yakni proses

pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang. Message: Pesan yang

merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh

komunikator. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari

komunikator kepada komunikan. Decoding: Pengawasandian, yaitu proses

dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan

oleh komunikator kepadanya. Receiver: Komunikan yang menerima pesan

dari komunikator. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada

komunikan setelah diterpa pesan. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan

komunikan apabila tersampaikan atau kepada komunikator. Dan Noise:

Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai

akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan

yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah, dan

meneliti kegiatan-kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup

(scope)-nya dan banyak dimensinya. Berikut ini penjenisan komunikasi

berdasarkan konteksnya:9

8 Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007), h. 18-19. 9 Onong U. Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2003), h. 52-56.

Page 36: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

25

a. Bidang Komunikasi

Yang dimaksudkan dengan bidang komunikasi di sini adalah bidang

kehidupan manusia, di mana di antara jenis kehidupan yang satu dengan

jenis kehidupan yang lain terdapat perbedaan yang khas; dan kekhasan ini

menyangkut pula proses komunikasi. Berdasarkan bidangnya, komunikasi

meliputi jenis-jenis antara lain: komunikasi sosial (social communication),

komunikasi organisasional/ manajemen (organization/ management

communication), komunikasi bisnis (bussiness communication),

komunikasi politik (political comunication), komunikasi internasional

(international communication), komunikasi antarbudaya (intercultural

communication), komunikasi pembangunan (development communication)

dan komunikasi tradisional (traditional communication).

Selain jenis-jenis bidang komunikasi di atas, dalam berbagai literatur

tidak jarang kita jumpai lain-lainnya, misalnya family communication,

health communication, dan sebagainya, yang sebenarnya merupakan salah

satu aspek dari salah satu bidang komunikasi yang tercantum di atas.

b. Sifat Komunikasi

Ditinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut:

komunikasi verbal (verbal communication), mencakup komunikasi lisan

(oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication).

Komunikasi nirverbal (nonverbal communication), mencakup komunikasi

kial (gestural/ body communication), komunikasi gambar (pictorial

Page 37: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

26

communication), dan lain-lain. Komunikasi tatap muka (face-to-face

communication) dan komunikasi bermedia (mediated communication).

c. Tatanan Komunikasi

Yang dimaksud dengan tatanan komunikasi adalah proses

komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang,

sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara

tersebar. Berdasarkan situasi komunikan seperti itu, maka diklasifikasikan

menjadi bentuk-bentuk sebagai berikut: komunikasi pribadi (personal

communication) yaitu komunikasi seputar diri seseorang baik itu sebagai

komunikator maupun sebagai komunikan, komunikasi pribadi mencakup

komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) dan komunikasi

antarpribadi (interpersonal communication). Komunikasi kelompok (group

communication), mencakup komunikasi kelompok kecil (small group

communication) yakni ceramah (lecture), forum, simposium (symposium),

diskusi panel (panel discusson), seminar, curahsaran (brainstorming); lain-

lain dan komunikasi kelompok besar (large group communication/ public

speaking). Komunikasi massa (mass communication), mencakup

komunikasi media massa cetak/ pers (printed mass media communication)

yakni surat kabar (daily) dan majalah (magazine), dan komunikasi media

massa elektronik (electronic mass media communication) yakni radio,

televisi, film, dan lain-lain. Komunikasi medio (medio communication),

mencakup surat, telepon, pamflet, poster, spanduk; dan lain-lain (media

yang tidak termasuk media massa).

Page 38: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

27

d. Tujuan komunikasi

Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to

change the attitude), mengubah opini/ pendapat/ pandangan (to change the

opinion), mengubah perilaku (to change the behaviour) dan mengubah

masyarakat (to change the society).

e. Fungsi Komunikasi

Fungsi komunikasi adalah untuk menginformasikan (to inform),

mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan memengaruhi (to

influence).

f. Teknik Komunikasi

Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti

keterampilan atau keperigelan.

Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan

komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi: komunikasi

informatif (informative communication), komunikasi persuasif (persuasive

communication), komunikasi pervasif (pervasive communication),

komunikasi koersif (coersive communication), komunikasi instruktif

(instructive communication), dan hubungan mausiawi (human relations)

g. Metode Komunikasi

Istilah metode atau dalam bahasa Inggris “method” berasal dari

bahasa Yunani “methodos” yang berarti rangkaian yang sistematis dan

yang merujuk kepada tata cara yang sudah dibina berdasarkan rencana

yang pasti, mapan, dan logis pula.

Page 39: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

28

Atas dasar pengertian di atas metode komunikasi meliputi kegiatan-

kegiatan yang terorganisasi, antara lain: jurnalisme/ jurnalistik

(journalism), mencakup jurnalisme cetak (printed journalism) dan

jurnalisme elektronik (electronic journalism), hubungan masyarakat

(public relation), periklanan (advertising), propaganda, perang urat syarat

(psychological warfare), perpustakaan (library); dan lain lain.

Demikianlah dimensi-dimensi komunikasi yang menjadi cakupan

ilmu komunikasi manusia yang luas.

Budaya

Dubbs dan Whitney mendefinisikan budaya sebagai “the system of

learned, cultural traits (contexts of meaning and guidelines for behaviour

shared by members of a society)”.10 “Sistem belajar, ciri-ciri budaya

(konteks makna dan pedoman perilaku bersama dari anggota suatu

masyarakat)”.

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang

merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal.

Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau

akal”.11

Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang

sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere. Artinya

mengolah atau mengerjakan, yaitu colere kemudian culture, diartikan

10

Patrick J. Dubbs and Daniel D. Whitney, Cultural Contexts: Making Anthropology

Personal, (America: United States of America, 1938), h. 27. 11

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 150.

Page 40: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

29

sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah

alam.

Seorang antropolog E. B. Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah

kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-

kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.12

Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan,

penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan

informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan dan per-

buatan/ tindakan yang dibagikan di antara para anggota suatu sistem sosial

dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.13

Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun

oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan timbal balik,

kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari

kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan oleh seluruh

masyarakat.14

Tujuh unsur kebudayaan yag dianggap sebagai culture universals,

yaitu:15

12

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 150. 13

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 4. 14

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4. 15

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 154.

Page 41: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

30

Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian

perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor, dan

sebagainya); Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi

(pertanian perternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya);

Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik,

sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan); Keempat, bahasa (lisan

maupun tulisan); Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan

sebagainya); Keenam, sistem pengetahuan; dan Ketujuh, religi (sistem

kepercayaan).

Nilai budaya terbagi menjadi enam, sebagai berikut:16

Nilai teori. Ketika manusia menetukan dengan objektif identitas

benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi

pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam

proses penilaian atas alam sekitar.

Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-

benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau

kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan

hidup. Kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju

disebut aspek progresif dari kebudayaan.

Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan

dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep

16

Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010), h.

123-124.

Page 42: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

31

kekudusan dan ketakziman kepada yang mahagaib, maka manusia mengenal

nilai agama.

Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep

estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia

mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama

menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari

kebudayaan.

Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti

pikirannya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu

manusia mengenal nilai kuasa.

Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,

persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan

merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal

nilai solidaritas.

Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa

“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti

dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat

membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu

mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun

konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap

konsep itu saling berhubungan. 17

17

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 4-5.

Page 43: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

32

Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan bahwa

kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil

ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk

memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam proses

komunikasi antaranggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi kebudaya-

an” itu diadaptasi ke dalam suatu proses yang disebut “adaptasi budaya”

yang terjadi tatkala para individu atau kelompok menggunakan peta persepsi

yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran atau struktur kognisi

tentang dunia lingkungan mereka. Struktur kognisi tersebut dijelaskan

melalui proses komunikasi budaya, misalnya intrabudaya, antarbudaya,

lintas budaya, dan lain-lain.18

Komunikasi Sebagai Proses Budaya

Asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan suatu proses budaya.

Artinya, komunikasi yang ditujukan pada orang atau kelompok lain tak lain

adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Misalnya, Anda berkomunikasi

dengan suku Aborigin Australia, secara tidak langsung Anda sedang

berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu milik Anda untuk menjalin

kerjasama atau memengaruhi kebudayaan lain. Dalam proses tersebut

terkandung unsur-unsur kebudayaan, salah satunya adalah bahasa.

Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, komunikasi

juga disebut sebagai proses budaya.19

18

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 5. 19

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 49.

Page 44: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

33

Jika ditinjau secara lebih konkrit, hubungan antara komunikasi dengan

isi kebudayaan akan semakin jelas: 20

Dalam mempraktikkan komunikasi manusia membutuhkan peralatan-

peralatan tertentu. Secara minimal komunikasi membutuhkan sarana

berbicara, seperti mulut, bibir dan hal-hal yang berkaitan dengan bunyi

ujaran. Ada kalanya dibutuhkan tangan dan anggota tubuh lain (komunikasi

nonverbal) untuk mendukung komunikasi lisan. Ditinjau secara lebih luas

dengan penyebaran komunikasi yang lebih luas pula, maka digunakanlah

peralatan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar, radio, dan lain-

lain.

Komunikasi menghasilkan mata pencaharian hidup manusia.

Komunikasi yang dilakukan lewat televisi misalnya, membutuhkan orang

yang digaji untuk “mengurusi” televisi.

Sistem kemasyarakatan menjadi bagian tak terpisahkan dari

komunikasi, misalnya sistem hukum Indonesia. Sebab, komunikasi akan

efektif manakala diatur dalam sebuah regulasi agar tidak melanggar norma-

norma masyarakat.

Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala

menggunakan bahasa sebagai alat penyampai pesan kepada orang lain.

Wujud banyaknya bahasa digunakan sebagai alat komunikasi menunjukkan

bahwa bahasa sebagai isi atau wujud dari komunikasi. Bagaimana

20

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 50-54.

Page 45: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

34

penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi

sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya.

Sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan merupakan substansi yang

tak lepas dari komunikasi. Ilmu pengetahuan ini juga termasuk ilmu tentang

berbicara dan menyampaikan pendapat. Bukti bahwa masing-masing pribadi

berbeda dalam penyampaian, gaya, pengetahuan yang dimiliki, menunjuk-

kan realitas tersebut.

Komunikasi sebagai proses budaya tak bisa dipungkiri menjadi

objektivasi (meminjam istilah Berger) antara budaya dengan komunikasi.

Proses ini meliputi peran dan pengaruh komunikasi dalam proses budaya.

Komunikasi adalah proses budaya karena di dalamnya ada proses seperti

layaknya sebuah proses kebudayaan, punya wujud dan isi serta kompleks

keseluruhan. Sesuatu dikatakan komunikasi jika ada unsur-unsur yang

terlibat di dalamnya. Kebudayaan juga hanya bisa disebut kebudayaan jika

ada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yang membentuk sebuah sistem.21

Hubungan antara komunikasi dan budaya penting dipahami untuk

memahami komunikasi intra dan antarbudaya, karena melalui budayalah

orang-orang belajar berkomunikasi. Masyarakat memandang dunia melalui

kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan oleh

budayanya.

21

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 54.

Page 46: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

35

B. Komunikasi Intrabudaya

Istilah komunikasi intrabudaya nampaknya kurang populer di dalam

kategorisasi ilmu komunikasi. Sitaram dan Cogdell telah meng-identifikasi

komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para

anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana

perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki

bersama. 22

Lewis dan Slade mengemukakan komunikasi intrabudaya adalah

“shared interpersonal communication between members of the same

cultures”.23

Analisis komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas

keberadaan kelompok/ subbudaya dalam satu kebudayaan, juga tentang nilai

subbudaya yang dianut. Jadi studi intrabudaya memusatkan perhatian pada

komunikasi antara anggota subbudaya dalam satu kebudayaan. Komunikasi

intrabudaya pun bisa dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat

efektivitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang

ditukar di antara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogen. 24

22

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 9. 23

Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall

Australia, 1994) h. 123. 24

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 9.

Page 47: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

36

Kebudayaan

Gambar 2. Komunikasi Intrabudaya

Gambar di atas menunjukkan komunikasi intrabudaya yang dilakukan

di antara individu-individu anggota kelompok subbudaya (1) s/d (4).

Subbudaya atau subkultur adalah suatu komunitas rasial, etnik,

regional, ekonomi atau sosial yang memerlihatkan pola perilaku yang

membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya

atau masyarakat yang melingkupinya.25 Subbudaya adalah kelompok kecil

yang mungkin non-konformis, subkelompok dalam budaya lokal (host

culture/ pribumi).

a. Kerangka Rujukan Komunikasi Intrabudaya 26

Hubungan Antara Masyarakat dan Kebudayaan

Hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan yang paling realistis

ditunjukkan melalui keberadaan kebudayaan sebagai wadah untuk memper-

tahankan masyarakat dari pelbagai ancaman yang menghadang mereka.

25

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),

h. 19. 26

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 10-11.

(1) (3)

(2) (4)

Page 48: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

37

Kebudayaan bisa menginformasikan tentang nilai suatu dan beberapa

peristiwa yang terjadi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.

Kebudayaan mengajarkan kepada setiap manusia tentang apa yang harus

dibuat oleh generasi manusia.

Wajarlah kalau setiap kelompok budaya selalu menciptakan hubungan

intrabudaya yang “mewajibkan” generasi yang lebih tua mensosialisasi nilai

perilaku-perilaku budaya baik secara bertahap maupun dipercepat melalui

institusi sosial kepada generasi berikut.

Dalam kehidupan dikenal institusi-institusi seperti agama, pendidikan,

rekreasi, kesehatan serta institusi-institusi lain yang merupakan pranata

kebudayaan yang menjamin perilaku manusia. Proses sosialisasi melalui

institusi sosial tersebut telah memungkinkan manusia dimasukkan ke dalam

lingkungan sosial dan kemasyarakatan. Jadi, setiap hubungan antarmanusia

dalam satu kebudayaan selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan

instruksi nilai-nilai.

Hirarki, Kekuasaan dan Dominasi

Setiap kebudayaan selalu memiliki prinsip kebudayaan yang mengatur

hirarki dan status kekuasaan. Hirarki dalam suatu masyarakat berbudaya

selalu menggambarkan dan menerapkan proses pemeringkatan peranan-

peranan anggota masyarakat mulai dari yang paling tinggi sampai terendah.

Bukankah dalam masyarakat ada istilah: raja hutan, raja gunung, peniti

raksasa, peniti emas, lain daun, bangsawan, rakyat jelata, orang pinggiran,

orang kecil, dan lain-lain? Istilah-istilah tersebut merupakan “frase” yang

Page 49: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

38

menunjukkan bahwa dalam masyarakat ada kelompok elit yang mendapat

pengakuan atau yang berkuasa dan ada kelompok masyarakat yang dikuasai.

Status yang tinggi biasa diidentifikasikan dengan kekuasan puncak

yang memberikan kemungkinan bagi kelompok yang ada di bawah untuk

melihat ke atas. Kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori

puncak selalu mendominasi kelompok bawah. Mereka diberikan kekuasaan

karena dianggap sakti, suci, mempunyai kekuasaan khusus, bijaksana,

menjadi sumber material dan moral. Mereka disebut kelompok elit karena

memiliki pengetahuan, pengalaman, dapat dipercaya, dan lain-lain. Setiap

kebudayaan selalu memberikan tempat khusus kepada mereka untuk

memegang tampuk “puncak” pimpinan organisasi sosial karena hanya

mereka yang diasumsikan bisa memelihara institusi sosial masyarakat.

Setiap anggota suatu masyarakat yang berbudaya mengetahui hubungan

antara yang mempunyai kekuasaan dengan yang dikuasai.

b. Nomenklatur Komunikasi Intrabudaya 27

Konsep Nondominasi

Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu

gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Kebudayaan juga

mengajarkan konsep nondominasi yang mengatur nomenklatur siapa-siapa

yang tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat tertentu.

Kumpulan orang-orang nondominasi pun berada dalam suatu

konstelasi yang secara historis atau tradisional tidak mempunyai akses atau

27

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 12-13.

Page 50: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

39

pengaruh terhadap dominasi kebudayaan. Jadi, mereka tidak memiliki

dominasi sosial, politik, hukum, ekonomi dan struktur keagamaan serta

organisasi sosial lain.

Beberapa contoh di dalam kebudayaan tertentu, kaum wanita, wadam,

orang tua jompo, kulit hitam, orang pendatang/ orang luar; tidak mempunyai

“nama” dan peranan yang luas dalam masyarakat. Mereka dianggap orang

“aneh”, mempunyai perilaku menyimpang, penghambat, abnormal yang

berbeda dengan orang lain dan masyarakat yang memiliki dominasi tertentu.

Mereka merupakan “orang dalam yang tersingkir” dan yang terjajah, atau

mereka merupakan suku bangsa asli yang dijajah oleh suku bangsa sendiri.

Meskipun mereka tidak penting dalam kategori perhatian dan komunikasi

intrabudaya namun perilaku mereka tetap dikontrol sebagai anggota

masyarakat intrabudaya agar mereka tidak mendewakan “ideologi”

subbudaya yang mengancam kebudayaan kelompok yang lebih besar.

Geopolitik

Masalah kekuasaan, dominasi dan nondominasi dalam masyarakat

dapat dikaitkan dengan geopolitik. Proses untuk menyingkirkan kelompok

nondominasi atau tidak berkuasa dilakukan melalui diskriminasi dan

segregasi atas wilayah pemukiman dan pekerjaan.

Di dalam terminologi geopolitik, kaum nondominasi itu telah

ditetapkan geopolitiknya. Misalnya dengan menetapkan wilayah geografis

tertentu sebagai pusat pemukiman, kekuasaan, dominasi dalam bidang

politik, ekonomi dan perdagagan, serta pendidikan. Mereka yang berkuasa

Page 51: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

40

selalu berasal dari kebudayaan dominan dalam masyarakat. Jadi, hubungan

intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lain-

lain.

C. Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya lebih menekankan pada komunikasi

antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya

berbeda. Lewis dan Slade menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah

“face-to-face communication between people from differing cultural

backgrounds”.28 (Komunikasi tatap muka antara orang-orang dari latar

belakang kebudayaan yang berbeda).

Kebudayaan A Kebudayaan B

Kebudayaan C

Gambar 3. Komunikasi Antarbudaya

Gambar ini menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah

kegiatan komunikasi antarpribadi yang dilangsungkan di antara para

anggota kebudayaan yang berbeda.29

28

Glen Lewis and Christina Slade, Critical Communication, (Australia: Prentice Hall

Australia, 1994) h. 122. 29

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 13.

C

B A

Page 52: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

41

Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya menurut Devito, kita

perlu memerhatikan hal-hal berikut: 1) Orang yang berbeda berkomunikasi

secara berbeda; 2) Melihat cara perilaku masing-masing budaya sebagai

sistem yang mungkin tetapi bersifat arbitrer; 3) Cara kita berpikir tentang

perbedaan budaya mungkin tidak ada kaitannya dengan cara kita

berperilaku.30

Setiap masyarakat majemuk yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan

yang berbeda selalu menghadapi masalah etnosentrisme. Perbedaan itu

merupakan akibat dari perbedaan folkways yang mereka miliki kemudian

dapat mencuat dalam bentuk perpecahan yang mengarah ke disintegrasi

antarbudaya. Untuk mencegah terjadinya disintegrasi, maka komunikasi

(antarpribadi, kelompok, organisasi, publik, dan massa) bertujuan

membagun makna-makna yang sama terhadap setiap pesan yang berfungsi

menumbuhkan integrasi dan solidaritas antarsuku-bangsa. 31

Praktek komunikasi dalam masyarakat majemuk biasanya dilakukan

di antara komunikator dengan komunikan yang berbeda latar belakang

kebudayaannya. Karena itu, kajian terhadap komunikasi antarbudaya harus

diletakkan dalam kerangka konsep kebudayaan dan komunikasi.

Menurut Porter dan Samovar, untuk mengkaji komunikasi

antarbudaya perlu dipahami hubungan antara kebudayaan dengan

komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar berkomunikasi,

30

Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2013), h. 4. 31

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 157.

Page 53: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

42

dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep,

dan label-label yang dihasilkan budayanya. Kemiripan budaya dalam

persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu

objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan-

keadaan komunikasi, bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-

perilaku nonverbal merupakan respons terhadap fungsi budaya. 32

Komunikasi manusia terikat oleh budaya, sebagaimana budaya

berbeda antara yang satu dengan yang lainnya maka praktek dan perilaku

komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut

pun akan berbeda pula. Paling tidak ada tiga unsur sosial-budaya yang

berhubungan dengan: persepsi, proses verbal dan proses nonverbal. Dan ke

dalam persepsi yang dibentuk terhadap orang lain ketika berkomunikasi

terhadap tiga unsur yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas

makna-makna yang dibangun, yaitu: sistem-sistem kepercayaan (belief),

nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi

sosial (social organization). Ketika ketiga unsur utama ini memengaruhi

persepsi manusia dan makna yang dibangun dalam persepsi maka unsur-

unsur tersebut memengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan

subjektif. 33

32

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 160. 33

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 160.

Page 54: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

43

Persepsi 34

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,

mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.

Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sebagai hasil dari

cara mereka mempersepsi dunia (lingkungannya) sedemikian rupa.

Perilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya

mereka. Artinya, kita merespons kepada suatu stimuli sedemikian rupa,

sesuai dengan budaya yang telah diajarkan kepada kita. Budaya menentukan

kriteria mana yang penting bagi kita mempersepsi sesuatu.

Komunukasi antarbudaya, dapat dipahami sebagai perbedaan budaya

dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Untuk

memahami dunia dan tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka

persepsinya.

Sistem Kepercayaan, Nilai dan Sikap (Belief, Value and Attitude)

Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan

subjektif, yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki

karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang

dipercaya dengan karakteristik yang membedakannya.

Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada hal yang benar atau salah

sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Budaya memainkan

suatu peranan penting dalam pembentukan kepercayaan.

34

Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2013), h. 38-42.

Page 55: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

44

Nilai, adalah seperangkat aturan yang terorganisasikan untuk mem-

buat pilihan-pilihan, dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilai-

nilai memiliki aspek evaluatif dan sistem kepercayaan, nilai dan sikap.

Dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti, kemanfaatan,

kebaikan, estetika, kebutuhan, dan kesengangan.

Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan

sikap. Sikap sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan belajar

untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam

suatu konteks budaya, artinya lingkungan kita membentuk sikap kita,

kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita.

Pandangan Dunia (World View)

Unsur budaya ini, meskipun konsep dan uraiannya abstrak, merupakan

salah satu unsur terpenting dalam aspek-aspek konseptual komunikasi antar-

budaya. Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap

hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalah-masalah

filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Isu-isu

pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar

dari suatu budaya.

Pandangan dunia memengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan

waktu, dan banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara-cara yang tak terlihat

dan tidak nyata, pandangan dunia sangat memengaruhi komunikasi antar-

budaya.

Page 56: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

45

Organisasi Sosial (Social Organization)

Ada dua unit sosial yang dominan dalam suatu budaya yang

memengaruhi persepsi, yaitu keluarga dan sekolah. Keluarga paling

berperan dalam mengembangkan anak selama periode awal (formatif) dalam

kehidupannya, keluarga banyak memberi pengaruh budaya, bahkan

pembentukkan sikap pertamanya sampai pemilihan atas barang mainannya.

Keluarga juga membimbing anak dalam menggunakan bahasa, cara

memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberikan persetujuan,

dukungan, ganjaran, dan hukuman, yang memengaruhi nilai-nilai yang anak

kembangkan dan tujuan-tujuan yang ingin ia capai.

Sekolah, mempunyai tanggung jawab besar mewariskan dan

memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang

menghubungkan masa lalu dan juga masa depan. Sekolah memelihara

budaya dengan memberi tahu anggota-anggota budaya. Sekolah meng-

ajarkan beragam ilmu pengetahuan. Sekolah mungkin menekankan revolusi

yang berlandaskan perdamaian atau kekerasan. Namun, apapun yang

diajarkan di sekolah sangat dipengaruhi oleh budaya di tempat sekolah itu

berada.

Page 57: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

46

Proses-proses Verbal 35

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara

dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan

pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.

Bahasa Verbal

Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang

yang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar,

yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu

komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian,

pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai suatu label

atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas

kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut

demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk

menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan

bergantung pada berbagai penafsiran.

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk

menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi

orang-orang untuk berinterksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk

berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai pedoman untuk melihat realitas

sosial. Bahasa memengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk

pikiran.

35

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),

h. 30-31.

Page 58: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

47

Pola-pola Berpikir

Pola-pola berpikir suatu budaya memengaruhi bagaimana individu-

individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan

memengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari

suatu budaya lain. Kita tak dapat mengharapkan setiap orang untuk meng-

gunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat

banyak pola berpikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan me-

mudahkan komunikasi antarbudaya kita.

Proses-proses Nonverbal 36

Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran

dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-

proses nonverbal. Walaupun tidak terdapat kesepakatan tentang bidang

proses nonverbal ini, kebanyakan ahli setuju bahwa hal-hal berikut mesti

dimasukkan: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan

tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu, dan suara.

Perilaku Nonverbal

Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai

banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian

yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Ke-

banyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambang-

kan seringkali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota-

36

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),

h. 31-34.

Page 59: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

48

anggotanya. Budaya memengaruhi dan mengarahkan pengalaman-

pengalaman, dan oleh karenanya budaya juga memengaruhi dan meng-

arahkan kita: bagaimana kita mengirim, menerima, dan merespons lambang-

lambang nonverbal tersebut.

Konsep Waktu

Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu,

masa sekarang, masa depan, dan penting atau kurang pentingnya waktu.

Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang,

dan masa yang akan datang.

Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak

perbedaan mengenai konsep ini antara budaya satu dengan budaya yang

lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut memengaruhi komunikasi.

Penggunaan Ruang

Cara kita mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya. Rumah

kita, misalnya, secara nonverbal menunjukkan kepercayaan dan nilai yang

kita anut.

D. Teori Interaksi-Simbolik

“Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Penggambaran diri

manusia melalui pepatah pendek ini cukup substansial sifatnya. Dikatakan

demikian, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang ber-

interaksi. Bahkan interaksi itu tidak melulu eksklusif antar manusia, tetapi

juga inklusif dengan seluruh mikrokosmos. Termasuk interaksi manusia

Page 60: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

49

dengan seluruh alam. Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi.

Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi

medium simbolisasi dari apa yang dimaksudkan dalam sebuah interaksi.

Oleh sebab itu, tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan

diri manusia dalam konsep animal simbolicum (makhluk simbolik) selain

animal sociosus (makhluk berteman, berelasi) dan konsep tentang manusia

lainnya. 37

Teori interaksionisme-simbolis dikembangkan oleh kelompok The

Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge Herbert Mead dan

George Herbert Blumer. Awal perkembangan interaksionisme simbolis

dipelopori oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan

George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa

diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda

mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk

pengalamannya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer

dan pengikutnya menghindarkan kuantitatif dan pendekatan ilmiah dan

menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat,

dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan

pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut,

tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi

yang tak dapat diramalkan. Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses,

37

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 147.

Page 61: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

50

yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk

menghilangkan intisari hubungan sosial. 38

Menurut Blumer, teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia

bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu

bagi mereka; (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial

seseorang dengan orang lain”; dan (3) makna tersebut disempurnakan

melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung.

“Sesuatu” ini tidak mempunyai makna yang intrinsik. Sebab, makna yang

dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. 39

Bagi Blumer, “sesuatu” yang disebut juga “realitas sosial”, bisa

berupa fenomena alam, artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun

nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial,

hubungan sosial “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi

volunteristik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu,

terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental, yakni

memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi,

dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan

arah tindakannya. 40

Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna

normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah

mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi

instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan

38

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 147-148. 39

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148. 40

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 148-149.

Page 62: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

51

sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia

tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan

kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam”

(sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi

didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses

yang oleh Blumer disebut self-indication. 41

Menurut Blumer, proses self-indication adalah proses komunikasi

pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya,

memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna

tersebut. Dengan demikian, proses simbolis interaksionisme dapat

didefinisikan sebagai “cara kita menginterpretasikan dan memberi makna

pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang

lain”. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang

berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. 42

Perspektif simbolis interaksionisme mendasarkan pandangan pada

asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks

untuk memberi makna terhadap dunia. Karenanya maka muncul melalui

interaksi manusia dengan lingkungannya. Lingkungan pertama yang

memengaruhi pembentukan makna adalah keluarga. Keluarga adalah

kelompok sosial terkecil dan individu yang mengembangkan konsep diri

dan identitas melalui interaksi sosial tersebut. 43

41

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 149. 42

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 149-150. 43

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 150.

Page 63: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

52

Berdasarkan premis tersebut, maka cara terbaik untuk memahami

seseorang adalah dengan memperhatikan lingkungan di sekitarnya, yakni di

mana ia tinggal dan dengan siapa ia berinteraksi.44

Asumsi Pokok Interaksi-Simbolik

Ada sejumlah asumsi pokok dari teori ini,45 yakni:

a. Individu dilahirkan tanpa punya konsep diri. Konsep diri dibentuk dan

dikembangkan melalui komunikasi dan interaksi sosial.

b. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain

dan melalui persepsi atas perilaku tersebut.

c. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari

tingkah laku.

d. Manusia adalah makhluk yang unik karena kemampuannya

menggunakan dan mengembangkan simbol untuk keperluan hidupnya.

Binatang menggunakan simbol dalam taraf yang amat terbatas,

sedangkan manusia selain menggunakan, juga menciptakan dan

mengembangkan simbol.

e. Manusia beraksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia

mendefinisikan sesuatu tersebut. Misalnya, bila kita sudah

memandang si A sebagai pembohong, maka kita tidak akan percaya

apa yang dikatakan si A walaupun benar.

f. Makna merupakan kesepatakan bersama di lingkungan sosial sebagai

hasil interaksi. Sebagai contoh, suatu produk media dianggap porno

44

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 150. 45

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 150.

Page 64: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

53

atau bukan tentu yang menilai adalah komunitas di mana media

tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Maka dengan demikian, bisa

jadi suatu produk media dianggap porno di suatu kelompok

masyarakat dan tidak porno bagi kelompok masyarakat lain.

George Herbert Mead dianggap sebagai bapak interaksionosme

simbolis, karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum

dalam konsep pokok mengenai “mind”, “self” dan “society”. 46

Mead mendefinisikan mind sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan

berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal

ini mirip dengan simbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya,

mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri (self-conversation), yakni

ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai

berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak

menggunakan bahasa. 47

Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian

sosial yang membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada

bagaimana seseorang melakukan role taking (pengambilan peran) dari orang

lain. Esensi self bagi Mead adalah reflexivity, yakni bagaimana kita

merenung ulang relasi dengan orang lain untuk kemudian memunculkan

adopsi nilai dari orang lain. 48

46

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 160. 47

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 163. 48

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 164.

Page 65: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

54

Society menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi

dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal,

kelompok intim, dan komunitas.49

Istilah Pokok Teori Interaksi-Simbolik 50

Identities (identitas), yakni pemaknaan diri dalam suatu pengambilan

peran. Bagaimana kita memaknai diri kita itulah proses pembentukan

identitas, yang kemudian disinergikan dengan lingkungan sosial.

Language (bahasa), yakni suatu sistem simbol yang digunakan

bersama di antara anggota kelompok sosial. Bahasa digunakan sebagai alat

komunikasi dan representasi. Karenanya bahasa memiliki empat komponen,

yakni subjek, objek, simbol, dan referen yang berkorelasi sebagai berikut:

Simbol

Subjek Objek

Simbol adalah rangkaian bunyi yang menunjuk sesuatu. Subjek adalah

pengguna dari simbol. Objek adalah sesuatu yang ditunjuk oleh simbol.

Referen adalah penghubung dari simbol, subjek, dan objek.

Looking glass self (cara melihat diri), yakni gambaran mental sebagai

hasil dari mengambil peran orang lain. Misalnya kita berbicara dengan

49

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 165. 50

Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 158-160.

Referen

Page 66: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

55

atasan atau orang tua kita, maka kita juga harus bisa memosisikan diri kita

pada posisi atasan atau orang tua kita tersebut. Sehingga, dengan demikian

kita memperoleh gambaran tentang apa yang orang lain nilai tentang diri

kita.

Meaning (makna), yakni tujuan dan atribut bagi sesuatu. Meaning

ditentukan oleh bagaimana kita merespon dan menggunakannya.

Mind (pikiran), yakni proses mental yang terdiri dari self, interaksi,

dan refleksi, berdasarkan simbol sosial yang didapat.

Role taking (bermain peran), yakni kemampuan untuk melihat diri

seseorang sebagai objek, sehingga diperoleh gambaran bagaimana dia lain

melihat orang lain tersebut. Ketika kita bermain peran dengan memerankan

lawan bicara misalnya, maka kita akan memperoleh gambaran seperti apa

perlakuan yang diharapkan oleh lawan bicara kita tersebut.

Self concept (konsep diri), yakni gambaran yang kita punya tentang

siapa dan bagaimana diri kita yang dibentuk sejak kecil melalui interaksi

dengan orang lain. Konsep diri bukanlah sesuatu yang tetap.

Self-fulfilling prophecy (harapan untuk pemenuhan diri), yakni

tendensi bagi ekspektasi untuk memunculkan respon bagi orang lain yang

diantisipasi oleh kita. Masing-masing dari kita memberi pengaruh bagi

orang lain dalam hal bagaimana mereka melihat diri mereka.

Page 67: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

56

Komunikasi dan Budaya Sebagai Proses Interaksi Simbolik

Pemahaman komunikasi dan budaya dengan segala praktisnya

merupakan proses keseharian manusia. Komunikasi tidak bisa dipisahkan

dari seluruh proses kehidupan nyata manusia. Budaya berkesinambungan

dan hadir di mana-mana, budaya berkenaan dengan bentuk fisik serta

lingkungan sosial yang memengaruhi perilaku seseorang.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia berinteraksi menggunakan

bahasa baik verbal maupun nonverbal. Bahasa disebut sebagai simbol pada

saat berinteraksi. Oleh karenanya, proses interaksi simbolik tidak lepas dari

pemahaman-pemahaman manusia mengenai komunikasi dan kebudayaan

yang berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh

individu.

Page 68: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

57

BAB III

GAMBARAN UMUM

A. Profil Kota Tual 1

Kota Tual adalah Daerah Otonom Baru (DOB) yang merupakan

pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara sesuai UU No. 31 Tahun

2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Provinsi

Maluku. Secara astronomis Kota Tual terletak pada koordinat: 131°-133°

Bujur Timur dan 5°-6° Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebagai

berikut: Sebelah Utara dengan Laut Banda, Sebelah Selatan dengan

Kabupaten Maluku Tenggara dan Laut Arafura, Sebelah Barat dengan Laut

Banda dan Sebelah Timur dengan Selat Nerong (Kabupaten Maluku

Tenggara).

Luas wilayah Kota Tual 19.088,29 km² terdiri dari luas daratan 352,66

km² (1,33 %) dan luas lautan 18.736 km² (98,67%). Kota Tual Kepulauan

(city of small islands) merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri

dari 66 pulau, 13 pulau diantaranya berpenghuni, memiliki sumber daya

kelautan dan perikanan yang melimpah serta kondisi pulau-pulau kecil dan

pesisir yang indah permai karena dikelilingi pasir putih.

1 BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari

“http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/KabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada:

Rabu, 06 November 2013.

Page 69: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

58

Iklim

Kota Tual merupakan suatu wilayah yang beriklim Muson. Pada masa

musim Timur, angin bertiup dari Tenggara dan terjadi kemarau. Pada

musim Barat terjadi musim hujan, angin bertiup dari Barat Laut, serta

kondisi perairan umumnya bergelora pada bulan Januari sampai Februari.

Berdasarkan data pada stasiun meteorologi kelas III Dumatubun Tual,

suhu rata-rata tahunan Kota Tual sebesar 27,3o C, suhu minimum 23,5

o C

serta suhu maksimum mencapai 33,2o

C. Kelembaban rata-rata sekitar 81%,

penyinaran matahari rata-rata mencapai 65% dan tekanan udara rata-rata

1010,7 millibar. Curah hujan tahunan pada daerah ini berkisar antara 2000-

4000 mm dengan curah hujan rata-rata 2118,3 mm/ tahun atau 176,5 mm/

bulan.

Topografi

Umumnya kondisi topografi Kota Tual beragam dari daratan yang

datar hingga relatif berbukit dengan kemiringan berkisar antara 0-8% dan 8-

15% di mana pemukiman/ desa umumnya berada pada wilayah dengan

ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut. Morfologi daratan pada

kepulauan ini tergolong rendah terutama pada daerah Pulau Ut, Tayando

dan Dullah, sedangkan karakter daratan yang cukup berbukit dapat ditemui

pada Kecamatan Pulau-pulau Kur.

Penduduk dan Angkatan Kerja

Jumlah penduduk Kota Tual sampai tahun 2009 tercatat sebanyak

70.367 orang. Secara demografi jumlah penduduk berdasarkan sensus

Page 70: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

59

penduduk pada pertengahan bulan Juni tahun 2009 tersebar di Kecamatan

Pulau Dullah Selatan 41.930 jiwa, Kecamatan Pulau Dullah Utara 16.011

jiwa, Kecamatan Pulau Tayando Tam 6.543 jiwa dan Kecamatan Pulau-

pulau Kur 5.883 jiwa. Laju Penduduk Kota Tual adalah sebesar 12,7% dan

kepadatan penduduk pada berbagai wilayahnya berkisar antara 49 orang/

km2

-251 orang/ km2.

Dari total penduduk tercatat, presentasi angka pengangguran adalah

sebesar 32,9% sementara pengangguran terbuka sebanyak 11,2%.

Sosial Budaya dan Pemerintahan

Kota Tual mempunyai akar budaya dan adat istiadat yang sama

dengan kabupaten induknya Maluku Tenggara yaitu filosofi adat hukum

Larvul Ngabal. Nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum Larvul Ngabal

mampu memelihara ketertiban dan hubungan keakraban antar penduduk,

menanamkan rasa gotong royong (budaya Maren), serta memupuk

kesadaran masyarakat untuk menjaga keharmonisan alam melalui sistem

“Hawear” yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara

bijak dan berkelanjutan. Singkatnya, faktor budaya dan adat istiadat dapat

diandalkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang mendukung

adanya suatu keadaan yang kondusif dan harmonis. Kota Tual dimekarkan

berdasarkan UU No. 31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang

pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku.

Page 71: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

60

Agama

Islam merupakan agama pertama yang menyentuh Maluku. Islam

dibawa oleh para pedagang Aceh, Malaka, dan Gresik antara 1300-1400 dan

menyebar sampai ke Tual dan beberapa daerah Maluku lainnya. Setelah itu

disusul agama Kristen Katolik pada 1523-1546 dan agama Kristen Protestan

pada 1605.

B. Infrasturuktur Wilayah Kota Tual 2

Perhubungan Laut

Kota Tual yang merupakan daerah kepulauan, keadaan ini menuntut

adanya sarana transportasi laut yang memadai. Trayek-trayek pelayaran

umum yang ada di Kota Tual antara lain: 1) Trayek Kapal PELNI (KM

Ciremai, KM Kelimutu, KM Tatamailau), 2) Trayek Kapal Perintis (KM

Tanjung Tungkor, KM Lestari, KM Alken, KM Abadi Permai, KM Banda

Naira, KM maloli), 3) Trayek Feri dan 4) Trayek Pelayaran Lokal/ Rakyat.

Kemudian gambaran sarana perhubungan laut dan pendukungnya adalah

dermaga Tual sebagai dermaga umum, merupakan tempat bongkar muat

barang dan penumpang yang berlokasi di Tual. Dermaga ini keberadaannya

berfungsi bagi perkembangan mobilitas barang dan jasa di wilayah

Indonesia Timur, karena banyak disinggahi oleh kapal-kapal dari dalam

negeri (Kapal PELNI), Kapal Kargo yang melayani pengiriman barang

dengan peti kemas serta kapal-kapal dari luar negeri. Selain berfungsi

2 BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari

“http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/KabupatenKota/Kota-tual/gambaran-umum”, Pada:

Rabu, 06 November 2013.

Page 72: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

61

sebagai pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan pelayaran nusantara

dermaga ini juga melayani pelayaran rakyat (Kapal Perintis) dengan rute ke

pulau-pulau sekitarnya. Pelabuhan penyeberangan dilayani oleh Kapal

Ferry dengan rute Tual-Dobo: Tual-Saumlaki-Tepa dengan siklus dua kali

sebulan. Dermaga ini memiliki ukuran 1454x8 meter dengan cause way

sepanjang 286 meter.

Pelabuhan Kur yang berskala lokal terdapat di Pulau Kur tepatnya di

Desa Lokwirin yang dipergunakan untuk kegiatan bongkar-muat

penumpang dan barang. Dermaga Ngadi sebagai pelabuhan khusus yang

berlokasi di Desa Ngadi dengan ukuran 330x15 meter dengan cause way

330 meter Pelabuhan Perikanan Nusantara dengan tipe Jetty, yang

berukuran 150x6 meter dengan cause way 2 (60x2 meter). Dermaga

penyeberangan ASDP dengan tipe khusus dengan ukuran 50x6 meter

dengan cause way sepanjang 50 meter. Pelabuhan Pangkalan TNI-AL;

Pelabuhan Pertamina; dan Pelabuhan PPI Kelvik.

Adanya perhubungan laut di Kota Tual memang sangat memberikan

manfaat kepada masyarakat. Akan tetapi, sarana transportasi ini menjadi

kurang efektif dan efisien ketika harus menampung manusia dan barang

sekaligus dalam satu kapal.

Pada saat liburan sekolah atau menjelang hari-hari besar seperti bulan

puasa dan hari raya, penumpang kapal menjadi semakin padat dan

meningkat. Masyarakat pendatang yang berada di Kota Tual akan kembali

ke daerah asal mereka dan masyarakat Kota Tual yang berada di luar Kota

Page 73: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

62

Tual akan kembali untuk berkumpul bersama keluarga. Muatan kapal

menjadi penuh dan sesak tidak hanya dengan manusia tetapi juga barang-

barang dari daerah Jawa yang mau dibawa ke daerah Timur.

Oleh sebab itu, sebaiknya untuk sarana transportasi laut dipisahkan

bagi penumpang dan barang-barang agar para penumpang yang berlayar

menggunakan kapal lebih nyaman terjamin keselamatannya.

Perhubungan Darat

Jalan sebagai prasarana penunjang kegiatan perekonomian adalah

faktor yang turut memegang peranan penting untuk mendukung lancarnya

distribusi dan kegiatan-kegiatan terkait lainnya. Adapun panjang jalan darat

pada Kota Tual adalah sepanjang 167.75 km yang terdiri dari jalan nasional

sepanjang 21.34 km dan jalan provinsi sepanjang 8.96 km. Umumnya

kondisi jalan terutama yang berada di Pulau Dullah cukup baik adanya.

Berdasarkan materi perkerasannya, kondisi jalan yang ada dapat dibagi

menjadi beberapa yaitu jalan hotmix 55.2 km, jalan aspal 63.50 km, jalan

tanah 5 km jalan setapak 63.50 km. Sementara itu angkutan umum yang

beroperasi mempunyai 9 trayek yaitu Tual-Tamedan (7 Unit), Tual-Dullah

(9 Unit), Tual-Fiditan (20 Unit), Tual-BTN (8 Unit), Tual-Ohoitel (9 Unit),

Tual-Taar (4 Unit) dan trayek yang menghubungkan Tual dan Kabupaten

Maluku Tenggara sebanyak 40 trayek, 382 unit armada. Angkutan umum ini

berpangkal pada 2 unit terminal yaitu terminal Lodar El dan Terminal Wara

yang merupakan terminal tipe C.

Page 74: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

63

Sarana transportasi darat sangat efektif untuk menunjang aktivitas

sehari-hari masyarakat dan membantu kelancaran perekonomian di Kota

Tual. Namun, jumlah angkutan umum yang berlebihan juga tidak baik dan

cocok untuk ruas jalan yang sempit sehingga dapat menyebabkan kemacetan

lalu lintas. Selain itu, jalanan sempit juga berpotensi terhadap kecelekaan

kendaraan.

Perhubungan Udara

Sarana perhubungan udara terletak di Langgur Kabupaten Maluku

Tenggara yaitu Lapangan Udara Dumatubun dengan lama perjalanan dari

Kota Tual ±10 menit. Maskapai penerbangan yang membuka rute ke Lanud.

Dumatubun Langgur antara lain Merpati Air, Wings Air, Ekspress Air dan

Trigana Air (pesawat jenis Foker 27) dengan frekuensi penerbangan

sebanyak enam kali dalam seminggu ke kota Ambon. Rute ke kota-kota

seperti Jakarta, Makassar, Surabaya serta ke Papua melalui Transit pada

Bandara Pattimura Ambon. Jarak Kota Tual sendiri ke Ibu Kota Provinsi

Maluku di Ambon adalah 617,40 km atau sekitar 343 mil laut yang

ditempuh selama ± 80 menit.

Perhubungan udara di Kota Tual sangat terbatas, Bandara Dumatubun

yang digunakan adalah pangkalan milik TNI Angkatan Udara, wajar saja

kalau Bandara tersebut sangat sederhana dan lapangannya tidak terlalu luas.

Itulah sebabnya penerbangan di Kota Tual hanya menggunakan pesawat

yang berukuran kecil. Hal ini turut membuat biaya tiket pesawat semakin

mahal dan tidak terjangkau.

Page 75: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

64

Saat ini, Pemerintah Daerah Kota Tual sedang membangun lapangan

udara baru yang letaknya berada di Desa Ibra. Lapangan udara tersebut baru

diresmikan pada 25 Februari 2014 kemarin dengan nama bandara Karel

Sadsuitubun.

Walaupun masih baru, aktivitas jadwal penerbangan dan kedatangan

sudah mulai aktif menggunakan bandara tersebut dan tidak lagi

menggunakan bandara Dumatubun yang notaben milik TNI AL. Bandara

Karel Sadsuitubun masih dalam masa pembangunan dan perluasan agar

dapat memenuhi syarat menjadi bandara internasional.

Pos , Telekomunikasi dan Perbankan

Akses informasi dan telekomunikasi di Kota Tual dapat dilakukan

melalui satelit dengan menggunakan telepon seluler dan jaringan internet.

Perusahaan-perusahaan yang menunjang telekomunikasi di Kota Tual antara

lain PT. Telkom, Telkomsel, dan Indosat.

Tanpa telekomunikasi dan jaringan internet yang memadai,

masyarakat kesulitan untuk mengakses informasi. Khususnya para pelajar

yang membutuhkan peran telekomunikasi dan internet dalam menunjang

proses belajarnya. Misalnya untuk registrasi, memperoleh informasi dan

mendaftar via online pada saat penerimaan siswa/i masuk PTN (Perguruan

Tinggi Negeri). Ini semua harus menggunakan jaringan internet. Jadi, tanpa

internet nampaknya turut menghambat para pelajar yang ingin menggapai

cita-citanya, hilang sudah peluang atas sebab langka dan mahalnya akses

internet ini.

Page 76: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

65

Aktivitas Perbankan yang beroperasi pada wilayah ini sangat

menunjang Perekonomian yang berlangsung. Lembaga Perbankan di Kota

Tual meliputi: Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Maluku, Bank Negara

Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Danamon, serta Bank Artha Graha

Tual. Di Kota Tual sendiri belum ada Bank Syariah, tapi karena masih

dalam pembangunan, Pemda Kota Tual sedang berusaha untuk mengadakan

Bank Syariah.

Keterbatasan infrastruktur jalan dan jembatan mengakibatkan wilayah

pulau-pulau kecil terisolasi. Sarana dan prasarana transportasi laut yang

terbatas juga mengakibatkan biaya pergerakkan orang dan barang serta

kebutuhan pokok semakin mahal. Selain itu, akses dan mutu pelayanan

pendidikan dan kesehatan di Kota Tual juga terbatas sehingga

mengakibatkan kota ini semakin tertinggal.

C. Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual

Dullah Selatan merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota

Tual dan menjadi pusat central di Kota Tual sendiri. Oleh karena itu,

penulis memilih Kecamatan Dullah Selatan sebagai tempat fokus penelitian.

Kecamatan Dullah Selatan terletak pada 5o

34’-5o 42’ LS dan 130

o

40’-132o 40’ BT. Secara topografi, Kecamatan Dullah Selatan berupa

dataran yang memiliki luas 40,61 kim² yang terletak pada ketinggian 0-20

meter di atas permukaan laut.

Page 77: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

66

Menurut peta Geologi Indonesia (1965), Pulau/ Kepulauan di Maluku

Tenggara terbentuk/ tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat sebanyak

tiga jenis tanah dan lima jenis batuan.

Jumlah penduduk Kecamatan Dullah Selatan menurut Proyeksi

Penduduk pada tahun 2012 adalah sebanyak 35.441 jiwa yang terdiri dari

laki-laki sebanyak 18.046 jiwa dan perempuan sebanyak 17.395 jiwa.

Mayoritas penduduk Kecamatan Dullah Selatan beragama Islam,

kemudian Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Hal ini dapat dilihat dari

jumlah tempat ibadah yang ada di Kecamtan Dullah Selatan, terdapat 16

Masjid, 5 Musholla, 14 Gereja Protestan, dan 2 Gereja Katolik. Seterusnya

belum ada tempat ibadah bagi agama Budha, Hindu, dan Konkhuchu.

Rata-rata mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Dullah Selatan

adalah PNS, pedagang, nelayan, petani dan wiraswasta.

Jumlah sekolah tingkat SD dan MI sebanyak 24, tingkat SMP dan

MTs 5, tingkat SMA MA dan SMK 9. Sedangkan perguruan tinggi ada 3

dan belum ada Institut dan Universitas di Kecamatan Dullah Selatan.

Selain masyarakat etnik Kei, sebagian penduduk di Kecamatan Dullah

Selatan juga berasal dari etnik yang berbeda yakni etnik Bugis, Buton, Jawa,

Sumatera, Banda, Ambon dan Ternate. Etnik Bugis menduduki peringkat

pertama sebagai pendatang terbanyak di Kecamatan Dullah Selatan dengan

jumlah sebanyak 3.456 jiwa, 2.523 jiwa berasal dari Buton, 641 jiwa berasal

dari etnik Jawa, 258 jiwa berasal dari Sumatera, 213 dari Ambon, 125 jiwa

Page 78: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

67

dari Banda, dan 56 jiwa berasal dari Ternate. Dan rata-rata para pendatang

menetap sebagai pedagang di Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual.

D. Asal Muasal Suku Kei

Sejarah mencatat, orang-orang Kei diyakini berasal dari Bali. Ini

terjadi saat pengaruh kerajaan Islam di Jawa mulai menguat. Para

bangsawan dari Hindu di kerajaan Majapahit menolak pengaruh tersebut

dan memilih pindah ke Bali. Kedatangan mereka pun mendesak penduduk

asli. Sebagian penduduk asli yang merasa terdesak lalu berlayar ke arah

timur untuk menetap di Maluku Tenggara yang lebih subur dibanding

pulau-pulau di Nusa Tenggara.

Masyarakat setempat juga menyebut bahwa nama Kei muncul sejak

kolonialis Barat datang ke pulau tersebut. Menurut kisah ini, saat baru tiba

di pulau itu, orang-orang Barat tersebut bertanya apa nama pulau tersebut.

Penduduk menjawabnya “bitkai” yang berarti “tidak tahu”. Sejak itu, Barat

menyebutnya sebagai Pulau Kei.

Kebenaran kisah tersebut masih ditelusuri. Tapi di masa pemerintahan

Hindia Belanda, pulau ini dijadikan sebagai salah satu tempat penting di

kawasan Maluku, terutama Maluku Tenggara. Ketika Ambon dipilih

menjadi pusat penyebaran agama Kristen Protestan di Maluku, Kei

dijadikan sebagai pusat kaderisasi agama Kristen Katolik Roma. Letak

persisnya di Kota Langgur. Kedatangan orang-orang Belanda ke wilayah

Page 79: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

68

tersebut diikuti oleh pendatang keturunan Tionghoa yang kemudian

memegang kendali perekonomian.3

Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam dua persekutuan

adat, yakni, Lor Sir/ Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara

etimologis Lor berarti kumpulan orang banyak atau sekumpulan orang yang

mendiami wilayah/ Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat

berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial.4 Sedangkan Siw dan Lim

menunjuk pada angka 9 (sembilan) dan 5 (lima). Angka ini dipahami

sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas

massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut.5

Hukum adat Larvul Ngabal merupakan gabungan dari dua hukum

adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di Desa Elaar, Kei Kecil oleh

sembilan Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw, dan

hukum adat Ngabal ditetapkan di Desa Ler Ohoilim, Kei Besar oleh lima

Rat (raja) yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, dalam

proses penaklukkan dan perluasan wilayah kekuasaan dari kedua

persekutuan masyaraat adat ini, kemudian bersepakat untuk berdamai

dengan menggabungkan kedua hukum adat tersebut menjadi Larvul

Ngabal.6

3 Usman Ks, dkk, Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat 1999-2000,

(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000), h. 53. 4 B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), h.

16. 5 J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), h. 16. 6 J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, h.

40-47.

Page 80: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

69

Secara etimologi, Larvul Ngabal berasal dari kata Lar yang berarti

Darah; Vul yang artinya Merah; Nga yang berarti Tombak; Bal yang

berarti Bali. Jadi Larvul Ngabal artinya “Darah Merah” (yang mengalir dari

tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali).7

Darah merah melambangkan bahwa Hukum Larvul itu perasaan-atau

pikiran sehati yang berani, agung dan gerak masyarakat. Dan tombak Bali

itu adalah lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung

dan sakral. Dengan demikian, terdapat peribahasa menyatakan “Larvul

inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasar-

dasar hukum adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan hukum

adat.

Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari tujuh pasal, yakni:8

Pasal 1. Uud entauk abnuhad. Berarti: “Kepala bersatu, bertumpu di

atas pundak”, artinya di mana kepala pergi maka seluruh badannya ikut.

Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh

bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala

(dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau

yang Maha Kuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat,

pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus

dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga

masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/ persatuan dan harmoni dalam

masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling

7 J. P. Rahail, Larvul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta: Yayasan Sejati, 1993), h. 13.

8 I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Ngabal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996.

Tidak diterbitkan), h. 51-56.

Page 81: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

70

mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan

sebagai anggota tubuh.

Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan

ungkapan peribahasa Kei, yang dinyatakan sebagai Sob Duad, taflur (flurut)

Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepada

Tuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan

leluhur supaya kita selamat di dunia dan akhirat”.

Pasal 2. Lelad ain fo mahiling. Berarti: “Leher bersifat luhur, suci dan

murni”, pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan

diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat

hidup dan kehidupan yang bernafas, yang harus dilindungi atau dijaga.

Pasal 3. Ul nit envil rumud. Berarti: “Kulit membungkus tubuh kita”,

ungkapan ini memiliki dua arti, pertama, harkat dan martabat manusia harus

dilindungi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung

tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera

dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan

merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri.

Pasal 4. Laar nakmut naa ivud. Berarti: “Darah beredar atau terkurung

di dalam tubuh”, makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap

kehidupan. Karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini

berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan

kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan

keluarnya darah dari dalam tubuh. Sama dengan “jangan membunuh”.

Page 82: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

71

Pasal 5. Reek fo kelmutun. Berarti: “Ambang kamar atau kesucian

kaum wanita diluhurkan”, ungkapan ini memiliki dua arti yakni, pertama,

bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh

dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga

dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan

semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara

bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya.

Pasal 6. Moryaian fo mahiling. Berarti: “Tempat tidur orang yang

sudah berumah tangga dan juga wanita bujang (gadis) adalah agung mulia”,

hal ini juga berkaitan dengan pasal 5, bahwa orang lain tidak boleh

menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah,

termasuk tempat tidur seorang gadis.

Pasal 7. Hirani ntub fo in ni, it did entub fo it did. Berarti: “Milik

orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita”. Pasal ini

mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai

bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang dapat membuktikan kepemilikan

tersebut.

Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana

dari hukum adat Larvul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas,

dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk hukum adat Kei yakni hukum

Nevnev; hukum Hanilit, dan hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat

ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari

hukum Larvul Ngabal ke dalam ketiga hukum ini, maka pasal 1-4 adalah

Page 83: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

72

hukum Nevnev, atau hukum perikemanusiaan, penghargaan terhadap

kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit, atau hukum susila/ perilaku,

penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 adalah hukum Hawear

Balwarin atau hukum keadilan sosial.9

Suku Kei menyebar di Kepulauan Kei seperti Pulau Nuhuyuut, Pulau

Nuhurowa, Pulau Dullah, Pulau Tayando, Pulau Walir, Pulau Kur, Pulau

Tam dan Pulau Mangur. Saat ini kepulauan Kei terbagi menjadi Kabupaten

Maluku Tenggara dan Kota Tual, dan beberapa kecamatan di dalamnya.

Kabupaten Maluku Tenggara terdiri dari Kecamatan Kei Kecil dan

Kecamatan Kei Besar sedangkan Kota Tual terdiri dari Kecamatan Pulau

Dullah Selatan, Kecamatan Pulau Dullah Utara, Kecamatan Pulau Kur,

Kecamatan Pulau Tayando dan Kecamatan Pulau Tam.10

E. Keadaan Masyarakat Kei di Kota Tual

Dalam bergaulan, masyarakat Kei diterima oleh siapa saja. Mereka

dikenal lebih bisa berbaur dengan warga Muslim maupun Nasrani, baik

pendatang maupun penduduk asli.

Inti dari adat istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan

pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh

dimensi kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada bentuk

kekeluargaan secara biologis. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di

9 J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara,

(Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), h. 56-58. 10

Usman Ks, dkk, Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat 1999-2000,

(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000), h. 35.

Page 84: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

73

Kei yang diikat dengan hukum adat terwujud dalam relasi Yan Ur-Mang

Ohoi, Koi-Maduan, dan Teabel.

Pertama, Yan Ur-Mang Ohoi, bentuk kekerabatan ini merupakan suatu

kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya

perkawinan dua orang menjadi tanggungjawab dua keluarga besar (fam).

Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal.

Yanur-Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama

belum ada kematian dari salah satu pihak.

Kedua, Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti tuan atau

pemilik. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan

pihak penerima bantuan disebut Koi yang artinya bawahan atau abdi. Koi-

Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam perkawinan

dan perjanjian sosial-ekonomi, didalamnya terdapat relasi atasan dan

bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai, mengatur,

menuntut hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya,

sedangkan pihak bawahan wajib tunduk dan taat serta mempercayakan diri

kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa

percaya yang tinggi.

Ketiga, Teabel, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya

menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Jadi Teabel adalah

bentuk kekerabatan atau perjanjian yang diikat oleh “aliran darah”. Unsur

yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara saudara yang menunjuk

pada dua hal, yakni sikap untuk membantu orang/ kampung lain yang

Page 85: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

74

terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam

kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini

sebenarnya mau mengangkat derajat semua orang sebagai saudara yang

harus dihargai, dilayani dan diperhatikan.

Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang Kei, yang secara

ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan

sikap hidup orang Kei ini ialah maren. Maren berarti bekerja bersama-sama.

Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa

undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah

(termasuk masjid atau gereja), pesta perkawinan atau kematian. Semua

orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi

ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi

kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya

dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian,

ada perasaan wajib untuk menolong sesama.

Kedua, sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat

kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain,

dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan

pekerjaannya.

Ketiga, sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan

penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan di seluruh daerah. Atasan

menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan

Page 86: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

75

suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan

representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih

merupakan unsur transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena

itu, kedudukannya dihormati dan ditaati.

Dan keempat, sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata

terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini memiliki makna yang sangat

mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau saya tempatkan dalam

lubuk hati agar engkau dekat dengan saya”. Jadi hakikat dari ucapan terima

kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang

mengeratkan hubungan sosial.

Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Kei seperti yang telah

dijelaskan di atas, memiliki beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap

hidup kolektif, semangat solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan

suatu persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian adat

mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan menganggap

orang lain sebagai keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi

kekeluargaan tanpa membedakan agama. Berdasarkan itu, ada dua hal yang

perlu diuraikan:

Pertama. Kebersamaan yang berpusat pada keluarga. Hubungan antar

pribadi selalu didasarkan atas hubungan “saudara”. Semua orang dilihat

sebagai saudara dari satu keluarga. Hal ini jelas dalam struktur keluarga ala

Kei lewat istilah “Teteen fo teteen, yanyanat fo yanyanat, ya an fo ya an,

warin fo warin, yan ur fo yan ur, mang ohoi fo mang ohoi”. Ini bermakna

Page 87: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

76

bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota

keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah

menempatkan orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan. Satu

kecenderungan dasar masyarakat Kei dalam menelusuri hubungan

kekeluargaan dalam pergaulan, misalnya, lewat pertanyaan “siapa orang

tuamu”, kesimpulan yang selalu diambil adalah “kamu dan saya adik-

kakak”, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah dalam arti sempit.

Cara seperti ini sama saja dengan menempatkan orang lain dalam struktur

keluarganya.

Kedua. Sikap kolektif orang Kei. Dalam tindakan kolektif (sosial)

orang Kei selalu memprioritaskan aspek hukum, bahkan memutlakkannya.

Di dalam kehidupan bersama, hukum adat selalu dijunjung tinggi di atas

segalanya. Keataatan terhadap hukum ini didasarkan pada cita-cita agar

kekerabatan semakin terwujud. Itulah suatu kecenderungan dalam sikap

kolektif orang Kei. Namun perlu dipahami bahwa kekerabatan karena

ketaatan kepada hukum bukan berarti sikap legalistis, yang berarti taat

kepada hukum demi hukum itu, tetapi ketaatan orang Kei kepada hukum

demi kekerabatan. Peraturan, perjanjian, dan kesepakatan yang diikat dalam

hukum harus ditaati agar kekerabatan bisa bertahan, apabila aturan atau

hukum dilanggar, maka akibatnya kekerabatan atau kekeluargaan menjadi

“ternodai, renggang, bahkan bisa hilang/ terputus.

Masyarakat Kei memiliki bahasa tersendiri, bahasa Kei. Bahasa ini

merupakan bagian dari 10 bahasa besar Maluku yang disebut Siwalima.

Page 88: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

77

Ciri-ciri logat bicara orang Kei selalu menggunakan suara keras dengan

nada tinggi. Kata-kata yang digunakan hanya terdiri dari satu, dua atau tiga

suku kata saja, yang umumnya dilafalkan dengan akhiran huruf “h”, seperti

valbehe (bagaimana), anbehe (siapa), dan o mehe (kamu sendiri). Logat

orang Kei juga mengandung perbendaharaan Portugis, contonhnya lenso

(sapu tangan), nyora atau signora (nyonya), kader (kursi), divan (tempat

tidur), dan lain-lain.

Meskipun komposisi penduduk yang ada di Kota Tual sangat

heterogen, namun masyarakat Kei selalu dapat saling berinteraksi intra dan

antarbudaya dengan baik dan harmonis.

Page 89: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

78

BAB IV

HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA

A. Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota

Tual

Kebudayaan dapat diartikan sebagai pandangan hidup dari sebuah

komunitas atau kelompok. Peranan kebudayaan menjadi sangat besar dalam

ekosistem komunikasi, karena karakteristik kebudayaan antarkomunitas

dapat membedakan kebudayaan lisan dan tertulis yang merupakan ke-

biasaan suatu komunitas dalam mengkomunikasikan adat istiadatnya. Jadi

pesan-pesan, pengetahuan, kepercayaan, dan perilaku sejak awal tatkala

orang tidak bisa menulis dapat dikomunikasikan hanya dengan kontak antar-

pribadi langsung atau oleh pengamatan yang mendalam terhadap peninggal-

an Artifak sehingga informasi yang paling minim pun dapat disebarluaskan.

Benar kata Edward T. Hall bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan

komunikasi adalah kebudayaan.1

Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal,

dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola

perilaku yang memenuhi syarat yang disebut agama (religious). Banyak dari

apa yang disebut agama termasuk dalam superstruktur agama terdiri dari

pesan-pesan bertipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik

dengan mana manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi,

1 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007), h. 109.

Page 90: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

79

karena agama tergolong juga dalam struktur sosial bahkan budaya suatu

masyarakat.2

Tabel. Isi Komunikasi Intra dan Antarbudaya

Komunikasi Intra dan

Antarbudaya Keterangan

1. Sistem Kepercayaan

dan Nilai

Sistem kepercayaan dan nilai memberikan

kontribusi bagi pengembangan sikap dan pem-

bentukkan perilaku masyarakat dalam men-

jalankan tradisi budaya dan tradisi agamanya.

Kedua hal ini juga menentukan cara hidup

masyarakat ketika berindividualitas maupun

berkolektivitas, serta menyadari akan penting-

nya pemaknaan dan pemahaman mengenai

komunikasi intra dan antarbudaya.

2. Relasi Agama dan

Budaya

Agama dan budaya memiliki hubungan yang

sangat erat. Keduanya berperan aktif dalam

peradaban manusia dan keberlangsungan hidup

bersama.

3. Relasi Konflik Agama

dan Budaya

Agama dan budaya merupakan dua hal yang

tak dapat dipisahkan, dan menyentuh semua

level kehidupan manusia.

4. Bahasa sebagai Peta

Budaya

Bahasa merupakan simbol sekaligus identitas

dari suatu kebudayaan. Bahasa juga berperan

untuk menyampaikan pesan dari individu satu

ke individu lainnya. Melalui bahasa lah

masyarakat dapat berkomunikasi dan ber-

interaksi dengan orang-orang sekitarnya.

2 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 267.

Page 91: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

80

5. Pengaruh Lingkungan

terhadap Komunikasi

Lingkungan merupakan tempat di mana

individu memperoleh pengetahuan dan peng-

alaman untuk berinteraksi dengan orang lain.

Oleh karena itu, lingkungan dapat

memengaruhi individu ketika berinteraksi dan

berkomunikasi dengan orang lain.

Komunikasi Intrabudaya Masyarakat Muslim Kei dan Masyarakat

Non-Muslim Kei di Kota Tual

Sistem kepercayaan dan nilai. Kepercayaan dan nilai memberikan

kontribusi terhadap pengembangan sikap dan perilaku bagi masyarakat Kei.

Sikap dan perilaku masyarakat Kei diperoleh melalui lingkungan tempat

mereka tinggal.

Masyarakat Kei memiliki adat dan tradisi yang berbeda dengan

masyarakat budaya lainnya. Ketika nilai-nilai budaya Kei dipadukan dengan

nilai-nilai Islam, tidak ada tradisi masyarakat Kei yang bertentangan dengan

ajaran agama Islam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan sebagai berikut:

“Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kei dalam ibadah, ritual,

upacara, dan seremonial di Kota Tual disesuaikan dengan agama

masing-masing. Penduduk mayoritas Islam menjalankan semuanya

sesuai syariat Islam. Tradisi tidak ada yang melanggar agama.”3

“Tidak ada tradisi atau ritual adat Kei yang bertentangan dengan

syariat Islam. Justru keduanya saling mendukung antara adat Kei dan

syariat Islam. Contohnya Larvul Ngabal hukum dasar adat Kei yang

mengedepankan sikap jujur, adil, dan amanah.”4

3 Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kei Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H., Tual, 05

Maret 2014. 4 Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin

Difinubun, M.Sos.I., Tual, 03 Maret 2014.

Page 92: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

81

Oleh karena nilai-nilai budaya, ritual, tradisi yang ada pada

masyarakat Kei tidak ada yang menyimpang atau bertentangan dengan

syariat dan ajaran-ajaran Islam, maka kedua nilai tersebut selalu dapat

berjalan beriringan bahkan saling mendukung antara keduanya.

Masyarakat muslim Kei di Kota Tual dalam memadukan nilai Islam

dengan budaya Kei ada banyak sekali tradisi dan ritual yang dilakukan dan

dipercaya kesakralannya. Tradisi-tradisi dan ritual yang unik tersebut

kemudian dapat membedakan ciri khas masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat muslim yang lain (berbeda budayanya). Salah satu alasan tradisi

dan ritual masyarakat muslim Kei masih bertahan adalah karena jumlah

kuantitas penduduk masyarakat mayoritas beragama Islam dan agama Islam

lah yang pertama kali menyentuh Kota Tual sehingga nilai-nilai Islam

tersebut begitu melekat dan meresap pada diri masyarakat muslim Kei.

Tradisi dan ritual yang biasanya dilakukan oleh masyarakat muslim

Kei bermacam-macam. Misalnya pada saat maulid Nabi Muhammad,

masyarakat muslim Kei memiliki tradisi yang dikenal dengan dikir. Dikir

adalah tradisi membaca kitab barzanji dan diba’ dengan lantunan suara dan

nada yang merdu (berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad), tradisi ini

diadakan oleh setiap kelompok fam atau marga dan mengundang kelompok

marga yang lain. Mengenai waktu pelaksanaannya tergantung kesepakatan

tuan rumah (marga yang mengadakan) mau diadakan pada waktu siang atau

malam.

Page 93: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

82

Pada ritual pernikahan, masyarakat muslim Kei memiliki tradisi yang

dikenal dengan malam pacar (henna night) bagi calon pengantin perempuan

sebelum prosesi akad nikah dan tarian samrah yang diiringi oleh petikan

gambus bagi calon pengantin laki-laki. Selanjutnya masyarakat muslim Kei

memiliki tradisi yang sama dengan masyarakat yang lain, seperti antar

ongkos jelang pernikahan, palang pintu, ngunduh mantu, dan lain-lain,

namun pelaksanaannya mungkin dilakukan dengan cara yang berbeda sesuai

dengan adat dan budayanya.

Ritual kematian pada masyarakat muslim Kei adalah mengadakan

tahlil untuk mendoakan orang yang meninggal pada saat turun tanah (hari

pertama meninggal), hari ke tiga, ke tujuh, ke sepuluh, ke empat puluh, dan

hari ke seratus. Selain itu, masyarakat Kei juga memiliki budaya yelim.

Yelim merupakan budaya yang mengharuskan masyarakat untuk membantu

orang yang mempunyai hajat (seperti dalam acara pernikahan dan kematian)

dengan memberikan sesuatu berupa uang atau barang sesuai kemampuan

dan diberikan dengan ikhlas oleh pemberi. Biasanya semakin dekat

hubungan persaudaraannya maka semakin besar jumlah uang atau barang

yang diberi. Tradisi yelim dilakukan oleh seluruh masyarakat Kei baik yang

muslim maupun nonmuslim.

Sebelum memasuki bulan puasa Ramadhan, ada ritual tahlil yang

dilakukan oleh masyarakat muslim Kei setiap tahunnya untuk mendoakan

keluarga dan saudara mereka yang sudah lama atau baru saja meninggal dan

juga ziarah kubur untuk membersihkan makam keluarga dan saudara serta

Page 94: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

83

mendoakan mereka. Tradisi ini dianggap penting bagi masyarakat muslim

Kei. Ritual tahlil dan ziarah kubur dilakukan pada bulan Sya’ban atau

setelah pertengahan bulan sya’ban (nishfu sya’ban). Sedang bersih-bersih

rumah dilakukan seminggu menjelang bulan Ramadhan.

Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim Kei pada perayaan

Idul Fitri adalah dengan mendatangi rumah orang tua setelah menunaikan

ibadah sholat Idul Fitri, kemudian selanjutnya mendatangi rumah para elit

pemerintah, elit agama dan adat sebagai wujud dari rasa kekeluargaan

masyarakat Kei. Selain itu, mereka juga menyiapkan aneka hidangan

makanan dan minuman yang disajikan dengan unik kepada para tamu yang

datang ke rumah untuk berjabat tangan saling maaf-memaafkan dan

mempersilahkan para tamu menyicipi makanan dan minuman yang sudah

disiapkan.

Masyarakat muslim Kei juga mempunyai ritual adat tertentu yang

dilakukan sebelum berangkat naik haji ke tanah suci. Tradisi tersebut

dikenal dengan bib maaf, yaitu memotong seekor kambing (bagi yang

berhajat), menyiapkan hidangan makanan besar dan mengundang para tamu

undangan dari keluarga, sahabat, rekan kerja dan lain-lain untuk sama-sama

mendoakan orang yang akan berangkat haji. Tradisi ini dipercaya oleh

masyarakat Kei dapat membantu mereka selama melaksanakan perjalanan

haji ke baitullah dan selamat hingga pulang kembali ke rumah.

Page 95: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

84

“Menurut Saya, tradisi adat istiadat Kei harus dipertahankan sebagai

kearifan lokal yang mampu memfilter berbagai macam pengaruh yang

datang dari luar.”5

Tradisi-tradisi di atas patut dipertahankan karena sangat baik untuk

keberlangsungan dan kebersamaan hidup masyarakat Kei yang sangat

menekankan nilai-nilai persaudaraan dan kekeluargaan dalam kehidupan

sehari-hari.

Adapun perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan oleh

masyarakat Kei yang menyimpang dari hukum adat Kei adalah:

“Perbuatan yang dilarang atau dianggap menyimpang dari hukum adat

Kei yaitu melyaan (zina), huwang (santet), dan bor karu (mencuri).”6

Perbuatan-perbuatan tersebut juga dilarang oleh agama Islam dengan

dalilnya sebagai berikut.

Ayat al-Qur’an tentang larangan mendekati zina, al-Israa’ ayat 32:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Ayat al-Qur’an tentang larangan musyrik, an-Nisaa’ ayat 48:

5 Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin

Difinubun, M.Sos.I. 6 Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kei Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H.

Page 96: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

85

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia

mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang

dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka

sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”

Ayat al-Qur’an tentang larangan mencuri, al-Maidah ayat 38:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Relasi agama dan budaya. Bila ditelaah, adat istiadat dan budaya

yang ada pada suku Kei ternyata selaras dengan nilai-nilai yang terdapat

dalam agama Islam seperti nilai kekerabatan dan persaudaraan, saling

menghargai perbedaan, saling menolong antarsesama, dan lain-lain. Tidak

hanya itu, simbol-simbol kebudayaan seperti busana khas pun selalu

menutupi aurat, kuliner-kuliner khas budaya Kei juga terbuat dari bahan

yang halal dan baik, bentuk arsitek seperti rumah adat (dijadikan sebagai

tempat bermusyawarah para tokoh adat) dibangun dengan ukiran-ukiran

yang indah tanpa ada satu pun patung yang berdiri, kini bangunan rumah

adat tersebut sudah tidak ada karena punah sejak perang dunia II. Sama

halnya dengan budaya lain, suku Kei juga mempunyai tarian-tarian seni dan

nyanyian adat yang beraneka ragam.

Page 97: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

86

Keselarasan ini menyebabkan masyarakat muslim Kei di Kota Tual

lebih mudah untuk memadukan nilai-nilai budaya dan agamanya.

“Secara sosial kemasyarakatan, pribadi masyarakat Kei dapat

dikatakan sebagai anak adat apabila dapat memadukan nilai-nilai adat

dan nilai-nilai agama sebagai pilar utama dalam tatanan nilai-nilai

sosial kemasyarakatan.”7

Relasi konflik agama dan budaya. Hukum adat dan nilai-nilai

kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat Kei sejak dahulu sebenarnya

memiliki kualitas dan keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam

relasi yang majemuk. Setiap kehidupan dan kegiatan didasarkan pada

hukum adat memberi peluang kepada setiap individu untuk tunduk

kepadanya dan percaya bahwa hukum yang ada merupakan sesuatu yang

sakral dan punya kekuatan. Hukum adat dapat menjamin hak-hak asasi,

harkat dan martabat manusia, adanya penghargaan yang tinggi terhadap

individu, kelompok, dan nilai hidup manusia.8 Manusia adalah makhluk

yang unik menarik dan memiliki kualitas, maka dari itu manusia dijadikan

Allah sebagai khalifah di muka bumi.

Adat Kei yang dimaksud di sini adalah kebiasaan-kebiasaan yang

diikuti sebagai suatu kebiasaan (folkways) yang baik dan tingkah laku yang

sopan, yang merupakan esensi dari kesejahteraan bersama. Adat merupakan

wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan. Adat

merupakan konvensi sosial yang berfungsi membimbing orang kepada sikap

7 Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin

Difinubun, M.Sos.I. 8 Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari

“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:

Rabu, 03 April 2014.

Page 98: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

87

bijaksana, kesopanan, dan persekutuan yang baik. Selain itu, adat berguna

sebagai “pagar atau penghambat” supaya orang tidak melakukan kejahatan.

Hal ini dapat terlihat dalam hukum adat Larvul Ngabal, dan sistem

kekerabatan dalam budaya Kei. 9

Keadaan masyarakat Kei yang taat hukum, dan memegang teguh

hukum adat Larvul Ngabal dapat dikatakan sebagai ciri masyarakat yang

cinta damai. Karena itu, hukum adat seperti ini merupakan peluang bagi

kehidupan bersama lintas agama.

“Menurut masyarakat Kei, agama merupakan keyakinan masing-

masing pemeluk agamanya. Tetapi hubungan interaksi antara

masyarakat muslim dan nonmuslim itu diikat oleh pertalian darah

yang sudah turun-temurun dan masing-masing saling menghargai

antara yang satu dengan yang lainnya.”10

Selain itu, masyarakat Kei dikenal sebagai masyarakat beradat,

beradab, masyarakat yang taat beragama, sehingga pada sisi ini peran

budaya dan agama dibutuhkan untuk mengelaborasi diri dalam rangka

mencari persamaan dengan nilai-nilai budaya lokal dan agama itu sendiri.

Perjumpaan agama dan budaya Kei dalam konteks ini dapat menjadi nilai

perekat masyarakat untuk menciptakan keharmonisan antarmasyarakat,

apabila nilai-nilai universal menyangkut kemanusiaan seperti, saling

mencintai, menghargai, hidup damai, rukun, adil, dan sebagainya yang

ditawarkan keduanya mampu dielaborasi dan didialogkan oleh para elit,

baik elit agama maupun tetua adat sebagai peluang dalam kebersamaan

9 Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari

“http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada:

Rabu, 03 April 2014. 10

Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin

Difinubun, M.Sos.I.

Page 99: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

88

hidup. Karena pada dasarnya semua agama memang selalu mengajarkan

pemeluknya untuk berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan.

“.....Konflik yang terjadi pada tahun 1999 lalu hanya masalah

kesalahpahaman belaka di mana pihak orang ketiga menggunakan isu

golongan sebagai alat pemicu konflik tetapi sekarang ini sudah tidak

mempan karena masyarakat sudah semakin sadar bahwa apa yang

terjadi pada saat itu ada sesuatu yang salah.”11

Konflik atau kerusuhan antaragama yang pernah menimpa Maluku

(termasuk Kota Tual) beberapa tahun lalu adalah kesalahpahaman yang

sengaja dibuat oleh pihak tertentu dengan mengangkat isu-isu golongan

untuk memecahbelah persaudaran antarmasyarakat Maluku.

Bahasa sebagai peta budaya. Sebagian besar ahli antropologi dan

sosiologi mengemukakan kebudayaan ditandai oleh bahasa. Kebudayaan

tanpa bahasa adalah kebudayaan tak beradab. Menurut mereka, bahasa

menentukan ciri kebudayaan, dari bahasa diketahui derajat kebudayaan suku

bangsa.12

Masyarakat Kei juga memiliki bahasa tersendiri yang dipahami

bersama baik yang muslim maupun nonmuslim dan menjadi ciri khas

budaya Kei.

Pengaruh lingkungan terhadap komunikasi. Lingkungan merupakan

salah satu faktor yang berperan memengaruhi seseorang atau individu ketika

berkomunikasi dengan orang-orang sekitarnya. Lingkungan bisa dikategori-

11

Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M., Tual, 06

Maret 2014. 12

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 128.

Page 100: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

89

kan dengan lingkungan keluarga, pendidikan sekolah, dan lingkungan sosial

atau masyarakat.

Dalam bidang pendidikan, rata-rata hampir 90% masyarakat yang ada

di Kota Tual telah mengikuti pendidikan karena kesadaran yang tinggi dari

masyarakat dan angka putus sekolah setiap tahun semakin berkurang.

Selama ini pemerintah daerah Kota Tual telah berupaya keras untuk

meningkatkan sumber daya manusia sesuai dengan visi dan misi karena

sumber daya manusia itu terdiri dari pendidikan dan kesehatan sehingga hal

inilah yang selalu ditingkatkan. Juga menyangkut masalah kualitas

pembangunan karena berbicara mengenai masalah pendidikan berarti

berbicara mengenai masalah kualitas. Perubahan dalam bidang pendidikan

dapat dilihat terutama dari kualitas sumber daya manusia, sebelumnya

tingkat kelulusan SMA hanya berkisar 5-10%, tetapi setelah lima tahun

terakhir, tingkat kelulusan mulai meningkat rata-rata di atas 98% hampir di

semua sekolah bahkan ada yang 100%. Hal ini membuktikan adanya

kemajuan. Saat ini pemerintah daerah sedang berupaya agar bukan hanya

dalam kuantitas kelulusan itu meningkat tetapi juga dalam kualitas, terutama

kualitas sumber daya manusia yang ada pada murid dan para guru, sehingga

perlu ditingkatkan secara terus-menerus. Kemudian yang sangat penting

adalah sarana dan prasarana pendidikan yang sudah disiapkan termasuk para

gurunya. Yang menjadi permasalahannya adalah sulitnya jangkauan atau

akses untuk masuk ke beberapa wilayah seperti wilayah Kecamatan

Kepulauan terutama Kur dan Tayando Tam. Namun ke depannya

Page 101: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

90

pemerintah daerah selalu berusaha untuk memajukan dan megembangkan

pendidikan di Kota Tual baik dari segi kuantitas maupun kualitas.13

Dalam bidang ekonomi, sesuai dengan visi dan misi pemerintah

daerah Kota Tual maka orientasi pembangunannya adalah untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini pendidikan,

kesehatan, dan meningkatkan perekonomian sebagai perwujudan daripada

visi dan misi pemerintah yaitu menjadikan Kota Tual sebagai kota MAREN

(Maju mandiri, Aman nyaman, Religius, Ekonomi, Nasioalism), karena itu

pihak pemerintah sangat menjaga agar ekonomi masyarakat benar-benar

tumbuh dan meningkat, pada saat Kota Tual tumbuh pertama tahun 2007

perkembangan ekonomi Kota Tual masih berputar sekitar 5,6%, namun saat

ini pertumbuhan ekonomi sudah mulai meningkat di atas rata-rata 6,5%.

Pemerintah Kota Tual berharap dengan pertumbuhan yang semakin baik

tersebut maka keadaan ekonomi juga akan semakin baik. Perubahan di

bidang ekonomi sebagaimana yang sudah dipaparkan bahwa keadaan

ekonomi secara bertahap tumbuh mulai dari 5% sampai 6,5%. Hal ini

terlihat dari pendapatan masyarakat yang tadinya tidak mencukupi 300 juta

per bulan saat ini sudah meningkat lebih daripada itu, ini merupakan

kemajuan-kemajuan ekonomi yang mulai diraih oleh pemerintah Kota

Tual.14

Dalam bidang politik, sebagaimana daerah lain pada umumnya Kota

Tual juga mengadakan PEMILU setiap lima tahun sekali dan disamping itu

13

Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M. 14

Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M.

Page 102: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

91

ada juga PILKADA. Pilkada Kota Tual untuk pertama kali adalah pada

tahun 2008 dan yang kedua adalah pada tahun 2013 kemarin. Hiruk pikuk

politik sebagaimana kota-kota lain, selalu muncul masalah-masalah yang

bisa mengganggu stabilitas, akan tetapi masalah-masalah tersebut bisa

diselesaikan dengan cara-cara yang baik melalui jalur hukum sehingga tidak

menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Perubahan dalam bidang

politik ini yaitu sudah mulai ada kesadaran yang tinggi dari masyarakat

setempat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum, pemilihan kepala

daerah baik walikota maupun pemilihan gubernur Maluku hingga partisipasi

politik juga sudah semakin tinggi, dengan adanya partisipasi politik yang

semakin baik maka jumlah golput semakin berkurang hingga 10%.15

Mengenai bidang sosial, masyarakat di Kota Tual terdiri dari

masyarakat yang memegang teguh adat istiadat, masyarakat yang

memegang teguh semangat maren (semangat gotong royong), semangat

saling menghargai antara yang satu dengan yang lain, dalam bahasa Kei hal

ini dikenal dengan Ain Ni Ain Vuut An Mehe Tilur Manut An Mehe Tilur.

Istilah ini merupakan budaya orang Kei yang selama ini dijaga dan terus

dipertahankan karena merupakan hal yang sangat penting. Diantara adat dan

budaya masyarakat Kei ada dua hal yang sangat diperhitungkan yaitu batas

tanah dan status seorang perempuan, kedua hal ini merupakan sesuatu yang

sangat berharga sehingga apabila dilanggar maka dapat memicu timbulnya

masalah besar yang kadang-kadang bisa menimbulkan konflik antar-

15

Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M.

Page 103: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

92

kelompok, antardesa dan sebagainya. Sedangkan perubahan dalam bidang

sosial sendiri adalah masyarakat terus dan selalu menjaga serta memegang

teguh adat istiadat hingga saat ini. 16

Kerangka Rujukan Komunikasi Intrabudaya

Hubungan antara masyarakat dan kebudayaan. Hubungan antara

masyarakat Kei dengan kebudayaannya yang paling realistis ditunjukkan

melalui sikap dan perilaku masyarakat Kei yang cenderung mempertahan-

kan adat istiadat dan kebudayaan lokalnya dari berbagai kemungkinan yang

bisa menghancurkan nilai-nilai budaya mereka. Oleh karena itu, masyarakat

Kei selalu menjaga hubungan intrabudaya di antara mereka dan mewajib-

kan orang tua untuk mensosialisasikan nilai-nilai perilaku budaya Kei secara

bertahap kepada generasi muda dan didukung melalui institusi-institusi

seperti pendidikan, agama, dan lain-lain.

Hirarki, kekuasaan, dan dominasi. Hirarki dalam masyarakat Kei

sama dengan masyarakat berbudaya pada umumnya yang menerapkan

proses pemeringkatan peranan-peranan anggota masyarakat dari atasan

hingga bawahan. Hal ini dalam masyarakat Kei dikenal dengan ikatan

kekerabatan koi-maduan di mana pihak atasan bertindak sebagai yang

menguasai, mendominasi, mengatur, dan bertanggungjawab atas

kepentingan bawahannya dan pihak bawahan wajib tunduk dan

mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Oleh karena itu, dalam

kehidupan masyarakat Kei dikenal istilah-istilah Rat (Raja) sebagai kepala,

16

Wawancara Pribadi dengan Walikota Tual Bapak Hi. M. M. Tamher, M.M.

Page 104: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

93

kapitan (panglima), orang Kay (yang mengatur desa), kepala Sowa/ Dusun,

dan Marinyo (orang yang menyampaikan perintah dari Raja).

Nomenklatur Komunikasi Inrabudaya

Kosep nondominasi dan geopolitik. Komunikasi intrabudaya me-

rupakan suatu gejala yang selalu ada dalam suatu kebudayaan. Dalam

kebudayaan masyarakat Kei juga mengatur tentang konsep nondominasi

yang mengatur siapa-siapa saja yang tidak mempunyai kekuasaan dan

pengaruh di daerah-daerah tertentu, tetapi perilaku mereka tetap dikontrol

sebagai anggota masyarakat intrabudaya. Jadi, hubungan intrabudaya pada

masyarakat Kei juga didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lain-

lain.

Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Muslim Kei dan Masyarakat

Non-Kei Muslim di Kota Tual

Dalam kehidupan sehari-hari, di mana saja manusia berada, mereka

selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tertentu yang berasal

dari kelompok ras, etnik, dan budaya lain. Berinteraksi dan berkomunikasi

dengan orang yang berbeda latar belakang kebudayaan merupakan suatu

pengalaman baru yang selalu dihadapi.

Sistem kepercayaan dan nilai. Sistem kepercayaan dan nilai

merupakan kesatuan atau keseluruhan kepercayaan kognitif individu tentang

dunia di luar individu dan satu-satunya faktor yang memengaruhi

pembentukkan skema kognitif tersebut adalah kebudayaan.

Page 105: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

94

Sistem kepercayaan dan nilai yang ada pada masyarakat muslim Kei

juga memengaruhi sikap dan perilaku mereka pada saat berinteraksi antar-

budaya atau hidup berkolektivitas dengan masyarakat di sekitarnya sehingga

terjadi pengadopsian nilai di antara mereka. Hal semacam ini membuat

masyarakat semakin menyadari bahwa penting bagi mereka untuk

memahami komunikasi antarbudaya agar tidak terjadi kesalahpahaman

dalam menginterpretasi makna dari suatu benda, tindakan, peristiwa,

fenomena, dan lain-lain.

Relasi agama dan budaya.

“Antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat luar adat Kei

yang muslim terjalin hubungan yang akrab dengan semangat

Ukhuwah Islamiyah dan kawin-mawin.”17

Terjalinnya hubungan yang akrab antara masyarakat muslim Kei

dengan masyarakat luar adat Kei yang beragama Islam dilandaskan pada

semangat Ukhuwah Islamiyah yang dipegang oleh setiap pemeluk Islam dan

diperkuat dalam al-Qur’an surat al-Hujuraat ayat 10 dan 13, sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Sebab itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan

takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat.”

17

Wawancara Pribadi dengan Kepala Kantor Kementrian Agama Bapak Drs. H. Arifin

Difinubun, M.Sos.I.

Page 106: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

95

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah

orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Atas dasar dua ayat di atas, masyarakat muslim Kei dan para

pendatang di Kota Tual dapat bergaul dan menghargai perbedaan diantara

mereka, kondisi masyarakat yang heterogen membuat mereka saling

mengenal dan memahami budaya sendiri serta orang lain.

Relasi konflik agama dan budaya.

“.....Masyarakat Kei sejak leluhur telah memiliki kesadaran dalam

toleransi yang sangat baik. Karena masyarakat Kei memiliki falsafah

hidup sebagaimana tertuang dalam hukum Larvul Ngabal yakni Vuut

Ain Mehe Ni Ngivun Manut Ain Mehe Ni Tilur dan Ain Ni Ain. (Semua

manusia berasal dari satu moyang dan semua manusia bersaudara).”18

Pluralitas di Kota Tual tidak pernah menimbulkan terjadinya konflik

di tengah masyarakat karena mereka adalah masyarakat kekeluargaan

sebagaimana nilai perekat yang ada pada budaya masyarakat Kei Ain Ni Ain

Vuut Ain Mehe Ngivun Manut Ain Mehe Tilur artinya sama dengan

18

Wawancara Pribadi dengan Pejabat yang mewakili Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olaharaga Bapak Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I., Tual, 07 Maret 2014.

Page 107: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

96

semboyan Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tapi tetap satu, mempunyai

nenek moyang yang sama. Agama sendiri merupakan masalah keyakinan

setiap makhluk dengan Tuhannya sehingga bukan masalah besar yang bisa

menimbulkan konflik antargolongan. Pada umumnya masyarakat Kei

semuanya bersaudara dan berasal dari satu induk telur, berasal dari satu

kesatuan, sehingga hampir tidak pernah ada konflik antargolongan di antara

masyarakat muslim Kei dengan masyarakat non-Kei muslim.

“Dalam beriteraksi, masyarakat luar adat Kei cenderung mengikuti

atau beradaptasi dengan masyarakat Kei dan toleransi antarbudaya dan

agama.”19

Pada saat berkomunikasi antarbudaya masyarakat muslim Kei dengan

masyarakat non-Kei muslim di Kota Tual, para pendatang seperti suku

Bugis, Jawa, Padang, Buton, dan lain-lain cenderung mengikuti atau

beradaptasi dengan budaya Kei, hal tersebut dikarenakan kesadaran yang

dimiliki oleh masing-masing pendatang sehingga mereka merasa harus

untuk beradaptasi dengan masyarakat pribumi namun tetap memper-

tahankan budayanya masing-masing.

Pendekatan adaptasi diperkenalkan oleh Ellingsworth dalam

Gundykunst, dia mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi

kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu, maka setiap

individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang

harus atau tidak harus dia lakukan. Adaptasi nilai dan norma antarpribadi

termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua faktor, yakni pilihan untuk

19

Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kei Bapak Ahmad Tamherwarin, S.H.

Page 108: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

97

mengadaptasikan nilai dan norma yang fungsional atau mendukung

hubungan antarpribadi. Atau nilai dan norma yang disfungsional atau tidak

mendukung hubungan antarpribadi.20

Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat non-Kei terhadap

masyarakat Kei dikenal dengan istilah penetrasi sosial. Istilah penetrasi

sosial diperkenalkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor, penetrasi sosial

membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini

dijelaskan bagaimana dalam proses berinteraksi dengan orang lain, terjadi

berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara

keduanya.

Bahasa sebagai peta budaya. Bahasa menerjemahkan nilai dan

norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan persepsi,

sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia dan para pendukungnya.

Meskipun berbeda bahasa pada saat berinteraksi, masyarakat muslim Kei

dan masyarakat non-Kei muslim dapat menjalin komunikasi antarbudaya

dengan harmonis dan jarang sekali bahkan tidak pernah terjadi konflik di

antara mereka.

Pengaruh lingkungan terhadap komunikasi. Dalam berkomunikasi,

faktor lingkungan juga sangat memengaruhi perilaku komunikasi individu

tersebut. Hal ini dilihat dari bagaimana individu memperoleh atau menyerap

informasi dari lingkungan sekitarnya, seperti pada saat di lingkungan

keluarga, lingkungan pendidikan, dan sebagainya.

20

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 63.

Page 109: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

98

Budaya mendapat tempat pertama bagi masyarakat Kei sebelum

datangnya agama dan pemerintahan di Kota Tual. Setelah agama dan

pemerintahan hadir, mulai nampak perubahan dan kemajuan pada

masyarakat Kota Tual. Pihak pemerintah selalu menjalin komunikasi hangat

dengan pihak adat dan tokoh-tokoh agama, mereka membagun mitra kerja

yang positif agar dapat bersama-sama membawa Kota Tual ke arah yang

lebih baik. Dalam menjalin hubungan kemitraan dengan pihak adat dan

tokoh agama diakui tidak pernah ada hambatan dalam komunikasi tersebut

dikarenakan ketiga pihak tersebut memang berasal dari suku Kei dan benar-

benar memahami adat istiadat dan kondisi masyarakat Kei.

Kegiatan pemerintah untuk menghindari konflik di masyarakat adalah

dengan tetap melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak adat, para

tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Mengadakan pembinaan secara terus-

menerus dan bekerja sama dengan para tokoh agama untuk mengadakan

pembinaan internal para pemeluk-pemeluk agama, sehingga membuat

masyarakat sadar bahwa pada prinsipnya semua agama selalu mengajarkan

untuk berbuat baik. Dengan adanya keyakinan dan kepercayaan seperti

demikian maka lambat laun tidak akan ada lagi pemikiran yang negatif

dalam hidup bermasyarakat. Karena menurut asas kekeluargaan masyarakat

Kei, tidak ada agama yang mengajarkan pemeluknya untuk berbuat jahat,

sebaliknya semua agama pasti mengajarkan pemeluknya untuk selalu

berbuat baik. Dengan adanya pemikiran seperti itu maka tidak ada lagi

konflik yang terjadi dengan alasan perbedaan agama dan lain-lain.

Page 110: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

99

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam kebudayaan masyarakat Kei, ditemukan bahwa terdapat nilai-

nilai yang berharga untuk kehidupan bersama dan sesuai dengan ajaran-

ajaran agama Islam seperti nilai kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan,

ketaatan pada hukum dan atasan, tolong-menolong dan sebagainya, tanpa

membeda-bedakan satu sama lain.

Nilai-nilai tersebut terungkap dalam hukum adat tertingginya yaitu

hukum Larvul Ngabal, dan dalam hubungan antarsesama seperti yanur-

mangohoi, koi-maduan, dan teabel, serta yang secara khusus tergambar

dalam falsafah hidup orang Kei “vuut ain mehe ni ngivun, manut ain mehe

ni tilur”, dan “ain ni ain”. Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan yang

dimiliki oleh masyarakat Kei sejak dahulu sebenarnya memiliki kualitas dan

keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk.

Keselarasan antara nilai-nilai budaya dan agama ini membuat

masyarakat muslim Kei di Kota Tual dapat memadukan nilai-nilai budaya

dan agama dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama

masyarakat disekelilingnya. Oleh karena nilai-nilai budaya, ritual, tradisi

yang ada pada masyarakat Kei tidak ada yang menyimpang atau

bertentangan dengan syariat dan ajaran-ajaran Islam, maka kedua nilai ini

dapat berjalan bergandengan bahkan saling mendukung antara keduanya.

Page 111: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

100

B. Saran

1. Kepada Pemerintah Kota Tual, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh

adat dan pihak tertentu untuk selalu mendukung adat istiadat dan

budaya yang ada pada masyarakat Kei serta sama-sama menjaga nilai

dan norma yang ada dalam adat istiadat dan budaya Kei tersebut. Selain

itu, selalu menghargai perbedaan yang ada di tengah masyarakat dan

memaknai perbedaan itu sebagai rahmat dari yang Maha Kuasa, bukan

sebagai laknat. Karena andai semua makhluk diciptakan serupa dan

sama, maka kehidupan akan kurang nikmat.

2. Pemerintah perlu memfasilitasi para tokoh masyarakat, tokoh adat,

tokoh agama, para akademisi, dan pihak-pihak tertentu lainnya untuk

mengapresiasi dan mengembangkan nilai-nilai Islam dan budaya

masyarakat Kei yang unik dan menarik serta tidak melarang atau

membatasi kreativitas masyarakat dalam melaksanakan tradisi dan

ritual adat Kei. Kemudian untuk mengkaji permasalahan yang muncul

di tengah masyarakat agar masalah tersebut mudah di atasi.

3. Dibutuhkan adanya kerjasama antara pihak Pemerintah Kota dengan

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk mengembangkan potensi-

potensi objek wisata yang ada di Kota Tual dan memperkenalkannya

kepada pihak luar agar dapat dijadikan sebagai investasi daerah dan

sumber daya alam yang lebih maju dan berkembang.

Page 112: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

101

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

Al-Qur’anul Karim.

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Dubbs, Patrick J. and Daniel D. Whitney. Cultural Contexts: Making

Anthropology Personal. America: United States of America, 1938.

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2007.

. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2003.

Haar, Ter B. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradiya

Paramita, 1953.

Handout Perkuliahan Gun Gun Heryanto. Ilmu, Konsep, Teori dan

Pespektif: Sebuah Landasan Memahami Kerangka Berpikir. KPI UIN

Jakarta: Sosiologi Komunikasi Massa, 2010.

Kilmanun, I. J. Hukum Adat Larvul Ngabal di Kepulauan Kei. Tual:

Februari 1996. Tidak diterbitkan.

Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktik Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010.

Ks, Usman, dkk. Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat

1999-2000, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000.

Lewis, Glen and Christina Slade. Critical Communication. Australia:

Prentice Hall Australia, 1994.

Liliweri, Alo. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007.

. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011.

Martin, Judith N. and Thomas K. Nakayama. Experiencing Intercultural

Communication: an Introduction. New York: McGraw-Hill, 2005.

Mufid, Muhamad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009.

Muhammad, Arni. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Page 113: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

102

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:

Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.

Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Pattikayhatu, J. A., dkk. Sejarah Daerah Maluku. Ambon: Dep. Pendidikan

dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993.

. Sejarah Pemerintahan Adat di Kepulauan Kei

Maluku Tenggara. Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku,

1998.

Rahail, J. P. Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei. Jakarta: Yayasan Sejati,

1993.

Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh

Analisis Statistik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001

Sihabudin, Ahmad. Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi.

Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers,

2012.

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

Tumanggor, Rusmin, dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:

Kencana, 2010.

B. Sumber Internet

BKPMD-Maluku, Gambaran Umum Kota Tual, Artikel ini diakses dari

“http://www.bkpmd-maluku.com/index.php/kabupatenkota/kota-

tual/gambaran-umum”, Pada: Rabu, 06 November 2013.

Kudubun, Elly, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini

diakses dari “http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-

dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/”, Pada: Rabu, 06 November 2013.

Page 114: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

LAMPIRAN

Wawancara Penelitian

Pewawancara : Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)

Narasumber : Ahmad Tamherwarin, S.H (Tokoh Adat Kei)

Pelaksanaan Wawancara : Hari : Rabu, 05 Maret 2014

Pukul : 16.00-18.00 WIT

Tempat : Rumah Adat Marga Rahankorbib-

Tamherwarin

Tanya : Bagaimana asal-usul adanya suku Kei?

Jawab : Masyarakat suku Kei yang pertama datang di Kepulauan Kei sudah tidak

ada keturunannya. Ada lima rombongan bangsa-suku yang datang di

Kepulauan Kei pada tahun 1330 M. Pertama, Sultan Isa yang berasal dari

Timur Tengah, Kesultanan Bashrah-Irak, menetap di Pulau Luwang

Maluku Tenggara selama kurun waktu 40 tahun bersama istri dan

mempunyai delapan orang anak tujuh putra dan satu putri, tujuh putranya

tiba di Tual pada tahun 1330 M, putra pertama bernama Sawe jadi Rat

Kilmas di Kur, kedua bernama Korbib Khair jadi Rat Tual di Tual, ketiga

bernama Kanar Babel jadi Raja Danar Famur, keempat bernama

Muhammad (Ubtim Matdoan) jadi Raja Langgiar Fer, kelima Romteor jadi

Raja Haar dengan marga Rahalus, keenam bernama Tawadan jadi Raja

Ujir di Kepulauan Aru, dan ketujuh bernama Skar jadi Raja Amar di

Kepulauan Seram Timur. Kedua, Ibnu Batuta, disebut oleh orang Kei

Page 115: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

tabtuut ohoi vuur menjadi raja di Tetoat dengan fam/ marga Renhoran.

Ketiga, keturunan Hasyim (dari Arab), anaknya Hasyim bernama Abu

Bakar, dan Abu Bakar mempunyai anak bernama Abdul Muthalib, Abdul

Muthalib menikah di Aceh dan mempunyai anak laki-laki pertama

bernama Datu Maulana, kedua bernama Datu Abdullah ke Banda Naira

dan mempunyai dua orang anak bernama Nikiolo (Raja Ulat di Saparua)

dan Levtaka menikah di Kisvoi mempunyai anak bernama Sarkol, Sarkol

menikah di Kur dengan Putri pertama Raja Kilmas bernama Dit Mas dan

mempunyai anak bernama Farne Vul, ketiga bernama Datu Tiri, keempat

bernama Datu Indra Giri, kelima anak perempuan yang di Kepulauan Kei

dipanggil dengan nama Boiratan menjadi Raja Kilsoin, di Kur Selatan,

Keempat, Sades Bamav Far Far, Sades punya keturunan marga Matdoan,

Raja Langgiar Fer, Bamav punya keturunan Raja Fer (Rat Tubab Yam

Lim), Far-Far jadi orang Kay di Desa Waduar Fer. Kelima, Sultan

Taherudin dari Kerajaan Jailolo (Maluku Utara), datang ke Tual menikah

dengan seorang wanita bernama Hinar Fadmas dan mempunyai keturunan

Raja Dullah dengan fam Renuat dan Kapitan Dullah dengan fam rengur.

Selain itu, keluarga banda hijrah ke Kepulauan Kei akibat perang melawan

Belanda dan tinggal di Elaat dan di Banda Ely (tanah milik Raja Tual). Di

Kei Besar ada marga Seknun yang juga berasal dari Banda.

T : Apa yang dimaksud dengan hukum adat Larvul Ngabal yang ada pada

masyarakat Kei?

Page 116: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

J : Lar artinya darah, Vul artinya merah, Nga artinya tombak, dan Bal

artinya Bali. Larvul Ngabal artinya “Darah Merah” (yang mengalir dari

tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali). Hukum Larvul

menetapkan secara umum dasar-dasar hukum adat, dan hukum Ngabal

lebih mempertegas kekuatan hukum adat. Hukum adat Larvul Ngabal

mulai difungsikan di Kota Tual pada tahun 1790 M, hukum ini dibuat

untuk mengatur prihidup manusia terutama akhlak, pemerintahan (tata

negara), perekonomian, sosial, dan budaya masyarakat.

T : Bagaimana pemilihan secara struktural posisi Raja dan lain-lain dalam

masyarakat Kei dan bagaimana struktur pemerintah adatnya?

J : Pemerintah adat masih menggunakan sistem monarki (turun-temurun).

Rat (Raja) dipilih oleh keluarga pewaris Raja, dipimpin oleh yang tertua

dan hasilnya seorang yang terpilih menjadi Raja kemudian diumumkan

kepada seluruh masyarakat melalui kovat kafaak (sidang adat). Sedangkan

struktur pemerintah adat tertinggi adalah Raja sebagai kepala, kemudian

Kapitan (panglima), kemudian orang Kay (yang mengatur Desa), kepala

Sowa/ Dusun, dan Marinyo (yang menyampaikan perintah dari Raja).

T : Apa saja tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Kei dalam ibadah,

ritual adat, upacara adat dan seremonial di Kota Tual?

J : Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kei dalam ibadah, ritual,

upacara, dan seremonial di Kota Tual disesuaikan dengan agama masing-

masing. Penduduk mayoritas Islam menjalankan semuanya sesuai syariat

Islam. Tradisi tidak ada yang melanggar agama.

Page 117: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

T : Adakah simbol-simbol budaya seperti busana, arsitektural, kuliner,

kesenian, kesusatraan, dan lain-lain yang menjadi ciri khas suku Kei dan

membedakan masyarakat Kei dengan masyarakat adat lain?

J : Ada. Busana adat Kei menutupi aurat seperti busana-busana muslim.

Bentuk arsitektural dibuat dengan ukiran-ukiran. Kuliner khas seperti

enbal, ikan bakar, colo-colo, sir-sir, dan lain-lain. Kesenian yaitu

nyanyian-nyanyian dan tarian-tarian adat seperti tarian sawat, hadrat,

samrah, dana-dana, dan lain-lain. Kesusastraan bahasa Kei sangat tinggi

dan luas.

T : Bagaimana masyarakat Kei dengan masyarakat luar Kei (adat lain) dalam

berinteraksi?

J : Dalam beriteraksi, masyarakat luar adat Kei cenderung mengikuti atau

beradaptasi dengan masyarakat Kei dan toleransi antarbudaya dan agama.

T : Apa saja perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan oleh

masyarakat Kei yang menyimpang dari hukum adat Kei?

J : Perbuatan yang dilarang atau dianggap menyimpang dari hukum adat Kei

yaitu melyaan (zina), huwang (santet), dan bor karu (mencuri).

T : Bagaimana menurut Anda jika tradisi atau adat Kei yang dianggap

bertentangan dengan ajaran agama?

J : Tidak ada.

T : Seberapa besar nilai budaya Kei yang tertanam pada diri masyarakat Kei?

J : Nilai budaya Kei yang tertanam pada diri masyarakat sangat besar

terutama nilai Ain Ni Ain (kekeluargaan).

Page 118: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

T

Page 119: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

Wawancara Penelitian

Pewawancara : Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)

Narasumber : Drs. H. Arifin Difinubun, M.Sos.I (Kepala Kantor

Kementrian Agama Kota Tual)

Pelaksanaan Wawancara : Hari : Senin, 03 Maret 2014

Pukul : 10.00-11.00 WIT

Tempat : Kantor Kementrian Agama

Tanya : Sejak kapan agama mulai masuk ke Kota Tual?

Jawab : Sekitar tahun 1300-an.

T : Apa agama pertama yang menyentuh Kota Tual?

J : Agama pertama yang menyentuh Kota Tual adalah agama Islam baru

kemudian diikuti oleh agama lain.

T : Berapakah jenis agama yang terdapat di Kota Tual?

J : Ada enam jenis agama, diantaranya Islam, Kristen Protestan, Kristen

Katolik, Hindu, Budha, dan Konkhuchu.

T : Agama apa yang menjadi mayoritas hingga minoritas masyarakat di Kota

Tual?

J : Agama yang menjadi mayoritas penduduk Kota Tual adalah agama Islam

dengan jumlah sebanyak 68.517 jiwa, kemudian agama Kristen Protestan

dengan jumlah 18.182 jiwa, pemeluk agama Kristen Katolik 5.604 jiwa,

Hindu 79 jiwa, Budha 10 jiwa, dan Konkhuchu hanya 1 jiwa.

Page 120: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

T : Berapa jumlah tempat ibadah di Kota Tual secara keseluruhan dan

khususnya di Kecamatan Dullah selatan?

J : Ada 92 tempat ibadah di Kota Tual. Sedangkan khusus Kecamatan

Dullah Selatan ada 37 tempat ibadah. Agama Islam 21, Kristen Protestan

14, Kristen Katolik 2. Sedangkan untuk agama Hindu, Budha, dan

Konkhuchu belum ada tempat ibadahnya.

T : Bagaimana cara agama memengaruhi kebudayaan di Kota Tual

begitupun sebaliknya?

J : Perkembangan agama Islam di Kota Tual seiring dengan perkembangan

adat dan budaya masyarakat Kota Tual, namun jumlah penduduk Islam

mayoritas maka dengan sendirinya nuansa-nuansa adat istiadat lebih

banyak mendapat pengaruh dari ajaran Islam.

T : Bagaimana cara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat nonmuslim

Kei di Kota Tual berinteraksi?

J : Menurut masyarakat Kei, agama merupakan keyakinan masing-masing

pemeluk agamanya. Tetapi hubungan interaksi antara masyarakat muslim

dan nonmuslim itu diikat oleh pertalian darah yang sudah turun-temurun

dan masing-masing saling menghargai antara yang satu dengan yang

lainnya.

T : Bagaimana cara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat luar adat Kei

yang muslim di Kota Tual berinteraksi?

Page 121: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

J : Antara masyarakat muslim Kei dengan masyarakat luar adat Kei yang

muslim terjalin hubungan yang akrab dengan semangat Ukhuwah

Islamiyah dan kawin-mawin.

T : Adakah tradisi atau ritual adat Kei yang bertentangan dengan syariat

Islam?

J : Tidak ada tradisi atau ritual adat Kei yang bertentangan dengan syariat

Islam. Justru keduanya saling mendukung antara adat Kei dan syariat

Islam. Contohnya Larvul Ngabal hukum dasar adat Kei yang

mengedepankan sikap jujur, adil, dan amanah.

T : Jika ada bagaimana Islam dalam menanggapi hal tersebut?

J : Tidak ada.

T : Menurut Anda, apakah tradisi atau ritual adat Kei pantas untuk

dipertahankan?

J : Menurut Saya, tradisi adat istiadat Kei harus dipertahankan sebagai

kearifan lokal yang mampu memfilter berbagai macam pengaruh yang

datang dari luar.

T : Bagaimana pribadi masyarakat muslim Kei dalam memadukan dua nilai

(nilai budaya Kei dan nilai agama Islam)?

J : Secara sosial kemasyarakatan, pribadi masyarakat Kei dapat dikatakan

sebagai anak adat apabila dapat memadukan nilai-nilai adat dan nilai-nilai

agama sebagai pilar utama dalam tatanan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

T : Bagaimana perkembangan dakwah Islam di Kota Tual dan apa saja yang

menjadi peluang dan tantangannya?

Page 122: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

J

Page 123: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

Wawancara Penelitian

Pewawancara : Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)

Narasumber : Drs. Hi. Mahmud Muhammad Tamher, M.M

(Walikota Tual)

Pelaksanaan Wawancara : Hari : Kamis, 06 Maret 2014

Pukul : 15.30-17.30 WIT

Tempat : Kediaman Bapak Walikota

Tanya : Sejak kapan Kota Tual ditetapkan menjadi daerah otonom baru?

Jawab : 31 Juli 2007.

T : Berapa luas wilayah Kota Tual dan bagaimana iklim serta topografi

wilayah Kota Tual?

J : Luas wilayah Kota Tual 19.088,29 km² terdiri dari luas daratan 352,66

km² (1,33 %) dan luas lautan 18.736 km² (98,67%). Kota Tual beriklim

Muson. Pada masa musim Timur, angin bertiup dari Tenggara dan terjadi

kemarau. Pada musim Barat terjadi musim hujan, angin bertiup dari Barat

Laut, serta kondisi perairan umumnya bergelora pada bulan Januari sampai

Februari. Umumnya kondisi topografi Kota Tual beragam dari daratan

yang datar hingga relatif berbukit dengan kemiringan berkisar antara 0-8%

dan 8-15% di mana pemukiman/ desa umumnya berada pada wilayah

dengan ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut.

T : Bagaimana peta wilayah Kota Tual?

J : (Data Sekunder Terlampir)

Page 124: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

T : Bagaimana struktur pemerintahan Kota Tual?

J : (Data Sekunder Terlampir)

T : Berapa banyak jumlah penduduk Kota Tual secara umum dan khususnya

di Kecamatan Dullah Selatan?

J : Secara umum, jumlah penduduk di Kota Tual sebanyak 92.398 jiwa.

Sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Dullah Selatan sebanyak

47.714 jiwa.

T : Secara etnik, berapa banyak jumlah pendatang di Kota Tual Kecamatan

Dullah Selatan (luar adat Kei)?

J : Etnik Bugis 3.456 jiwa, Buton 2.523 jiwa, Jawa 641 jiwa, Sumatera 258

jiwa, Ambon 213 jiwa, Banda 125 jiwa, dan Ternate 56 jiwa.

T : Apa saja mata pencaharian ekonomi penduduk Kota Tual?

J : Rata-rata mata pencaharian masyarakat Kota Tual adalah PNS, pedagang,

nelayan, dan wiraswasta.

T : Bagaimana komunikasi pemerintah Kota dengan pemerintah adat di Kota

Tual dan apa saja yang menjadi faktor penghambat komunikasi tersebut?

J : Hubungan komunikasi antara pemerintah Kota dengan tokoh masyarakat

adat adalah hubungan sebagai mitra kerja dan sejajar dan selama ini kami

menggunakannya sebagai rekan atau partner dalam rangka melaksanakan

pembangunan di Kota Tual karena kota ini dikenal sebagai daerah kota

beradat, kota bersih, elok, religius, aman, damai, tentram dan sejahtera.

Karena itu, kami jaga betul tatanan kehidupan adat istiadat lokal yang

selama ini sudah terjalin dengan baik tanpa mengakomodir kebijaksanaan

Page 125: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

ataupun tatakrama adat istiadat maka kami tidak mungkin sukses karena

itu selama ini kami tetap menjaga hubungan kemitraan yang sejajar di

mana tokoh masyarakat adat sebagai partner daripada Pemerintah Kota

Tual. Sedangkan mengenai hambatan dalam hubungan ini tidak pernah

ada, karena kebetulan saya sendiri juga sebagai putra asli Kota Tual

mengerti dan memahami betul situasi dan kondisi daerah Kota Tual ini

sehingga menurut kami selama ini komunikasi dengan pihak adat tidak ada

hambatan sama sekali. Karena sekali lagi saya berasal dari bagian daripada

tokoh adat atau daerah yang memahami sungguh apa yang terjadi di Kota

Tual, adat istiadatnya dan sebagainya.

T : Bagaimana keadaan masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi,

politik, dan sosial di Kota Tual?

J : Di bidang pendidikan rata-rata hampir 90% masyarakat yang ada telah

mengikuti pendidikan karena kesadaran yang tinggi dari masyarakatnya di

mana selama ini pemerintah daerah telah berupaya keras untuk

meningkatkan sumber daya manusia sesuai dengan visi dan misi karena

sumber daya manusia itu terdiri dari pendidikan dan kesehatan sehingga

ini yang perlu kami genjot selama ini dan merupakan masalah kualitas

pembangunan karena itu menyangkut masalah pendidikan merupakan

salah satu kualitas. Mengenai bidang ekonomi bahwa sesuai dengan visi

dan misi kami kepala daerah atau Walikota Tual maka orientasi

pembangunan kami adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya

manusia dalam hal ini pendidikan, kesehatan, dan meningkatkan

Page 126: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

perekonomian sebagai perwujudan daripada visi dan misi kami yaitu

menjadikan Kota Tual sebagai Kota MAREN (Maju mandiri, Aman

nyaman, Religius, Ekonomi, Nasioalism), karena itu kami betul-betul

menjaga sehingga ekonomi masyarakat benar-benar tumbuh dan

meningkat, pada waktu daerah ini tumbuh pertama tahun 2007

perkembangan ekonomi Kota Tual masih sekitar 5,6% sekarang sudah

bertumbuh di atas rata-rata 6,5% pertumbuhan ekonominya, sehingga

insya’ Allah dengan pertumbuhan yang semakin baik ini maka ekonomi

akan semakin baik. Mengenai bidang politik, bahwa masalah politik

sebagaimana juga daerah lain maka setiap lima tahun sekali akan diadakan

PEMILU dan disamping itu ada juga PILKADA. Pilkada Kota Tual untuk

pertama kali adalah tahun 2008 dan yang kedua adalah tahun 2013. Hiruk

pikuk politik sebagaimana kota-kota lain maka akan timbul masalah-

masalah yang bisa mengganggu stabilitas, tapi alhamdulillah masalah itu

bisa diselesaikan dengan cara-cara yang baik melalui jalur hukum

sehingga tidak menimbulkan masalah. Mengenai bidang sosial masyarakat

di Kota Tual terdiri dari masyarakat yang memang memegang teguh adat

istiadat, masyarakat yang memegang teguh semangat maren (semangat

gotong royong), semangat saling menghargai satu dengan yang lain, dalam

bahasa Kei namanya Ain Ni Ain Vuut An Mehe Tilur Manut An Mehe

Tilur. Ini adalah budaya orang Kei yang selama ini kami jaga dan terus

kami pertahankan karena merupakan hal yang sangat penting. Diantara

adat Kei ada dua hal yang sangat diperhitungkan yaitu batas tanah dan

Page 127: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

status seorang perempuan, kedua hal ini merupakan sesuatu yang sangat

berharga sehingga apabila ini dilanggar maka akan menimbulkan masalah

besar yang kadang-kadang bisa menimbulkan konflik antarkelompok,

antardesa dan sebagainya.

T : Apa saja perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan,

ekonomi, politik, dan sosial di Kota Tual?

T : Mengenai perubahan yang terjadi di bidang pendidikan yaitu terutama

dilihat dari kualitas sumber daya manusia, yaitu tingkat kelulusan pada

waktu daerah ini terbentuk pertama ada SMA yang kelulusannya hanya

ada 5-10% tetapi setelah lima tahun terakhir ini kelulusan itu rata-rata di

atas 98% hampir di semua sekolah bahkan ada yang 100% ini

membuktikan adanya kemajuan. Sekarang ini kita sementara berupaya

agar bukan hanya dalam kuantitas kelulusan itu berada tetapi juga dalam

kualitas, jadi kualitas sumber daya manusia terutama para murid dan lebih

utama lagi para guru jadi perlu kita tingkatkan secara terus-menerus, jadi

rata-rata kelulusan di atas 90%, nah ini yang sangat penting sekali, sarana

dan prasarana pendidikan kami sudah siapkan termasuk para gurunya yang

merupakan masalah adalah sedikit yang berada di wilayah Kecamatan

Kepulauan terutama Kur dan Tayando Tam sehingga mudah-mudahan ke

depan kita semakin maju berkembang dan kita akan fokus pada

peningkatan kualitas disamping kuantitas. Sedangkan perubahan di bidang

ekonomi sebagaimana yang sudah saya sampaikan tadi yaitu bahwa

ekonomi kita ini tumbuh mulai dari 5% sampai 6,5% saat ini terlihat dari

Page 128: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

pendapatan masyarakat yang tadinya tidak mencukupi tiga ratus juta per

bulan sekarang ini sudah meningkat lebih daripada itu sehingga ini adalah

kemajuan-kemajuan ekonomi yang sudah kita capai selama ini. Mengenai

perubahan di bidang politik saya kira sudah ada kesadaran yang tinggi

untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah

baik itu walikota maupun pemilihan gubernur Maluku hingga partisipasi

politik juga sudah semakin tinggi, golput itu hampir kurang lebih sekitar

10% jadi partisipasi politik masyarakat kita sudah semakin baik.

Sedangkan yang berkaitan dengan masalah sosial saya kira masyarakat

adat masih memegang teguh adat istiadat hingga saat ini dan masih tetap

kami jaga. Tetapi adat istiadat yang menghambat pembangunan akan

secara bertahap kami akan menghilangkan itu, misalnya saja sasi yang

dibuat tanpa melalui prosedur adat dan sekarang ini sasi tetap kami

pertahankan tetapi harus menempatkannya pada prosedur adat yang

sesungguhnya sehingga tidak menghambat pembangunan.

T : Apakah pluralitas dapat memicu terjadinya konflik di masyarakat?

J : Saya kira pluralitas di Kota Tual ini tidak pernah memicu terjadinya

konflik di masyakat karena masyarakat di sini adalah masyarakat

kekeluargaan sebagaimana saya sebutkan tadi Ain Ni Ain Vuut Ain Mehe

Ngivun Manut Ain Mehe Tilur artinya bahwa kita Bhineka Tunggal Ika

berbeda-beda tapi tetap satu, mempunyai nenek moyang yang sama,

agama itu masalah keyakinan setiap makhluk dengan tuhannya sehingga

tidak merupakan masalah besar yang bisa menimbulkan konflik

Page 129: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

antargolongan, kita ini pada umumnya bersaudara kita semua berasal dari

satu induk telur berasal dari satu kesatuan sehingga untuk konflik

antargolongan hampir tidak pernah ada. Konflik yang terjadi pada tahun

1999 lalu hanya masalah kesalahpahaman belaka di mana pihak orang

ketiga menggunakan isu golongan sebagai alat pemicu konflik tetapi

sekarang ini sudah tidak mempan karena masyarakat sudah semakin sadar

bahwa apa yang terjadi pada saat itu ada sesuatu yang salah.

T : Adakah peluang-peluang yang menyebabkan konflik tersebut bisa

terjadi?

J : Peluang pertama yaitu masalah isu pertentangan golongan dan batas

tanah sehingga konflik itu bisa berkembang antardesa dan antargolongan,

tapi insya’ Allah syukur alhamdulillah bahwa hingga saat ini konflik

antargolongan tidak mungkin terjadi karena Pemerintah Daerah secara

aktif menggerakkan semua tokoh adat, tokoh agama untuk bekerja sama

sehingga tidak ada lagi muncul masalah-masalah kesalahpahaman.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah konflik sosial misalnya

diselesaikan melalui jalur-jalur hukum ataupun jalur-jalur adat sehingga

tidak akan terjadi lagi, tidak ada peluang untuk bisa terjadi lagi masalah itu

sebagaimana lima tahun sebelumnya.

T : Apa kegiatan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi atau meng-

hindari konflik di masyarakat?

J : Kegiatan pemerintah untuk menghindari konflik di masyarakat adalah

bahwa pihak pemerintah tetap melakukan komunikasi yang intensif

Page 130: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 131: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

Wawancara Penelitian

Pewawancara : Nurul Ain Kabakoran (Mahasiswi UIN Jakarta)

Narasumber : Muhammad Zein Renhoat, S.Pd.I

(Pejabat yang Mewakili)

Pelaksanaan Wawancara : Hari : Jumat, 07 Maret 2014

Pukul : 09.00-11.00 WIT

Tempat : Kantor Dinas Pendidikan Pemuda

dan Olahraga Kota Tual

Tanya : Berapa banyak jumlah sekolah tingkat SD-SMA di Kota Tual secara

umum dan khususnya di Kecamatan Dullah Selatan?

Jawab : Jumlah sekolah di Kota Tual SD 49, SMP 15, SMA/SMK 14. Sedangkan

jumlah sekolah di Kecamatan Dullah Selatan untuk tingkat SD 22, SMP 5,

SMA/SMK 9.

T : Berapa banyak jumlah sekolah tinggi, institut atau universitas di Kota

Tual secara umum dan khususnya di Kecamatan Dullah Selatan?

J : Ada 6 perguruan tinggi di Kota Tual. Sedangkan khusus di Kecamatan

Dullah Selatan ada 3 perguruan tinggi. Belum ada institut dan universitas.

T : Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam proses pendidikan dan

kebudayaan di Kota Tual?

J : Faktor pendukung yang pertama adalah adanya kesadaran masyarakat

yang semakin tinggi terhadap pendidikan. Kedua, adanya dukungan dari

Pemerintah Daerah dengan memberlakukan pendidikan gratis mulai dari

Page 132: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

PAUD sampai pendidikan menengah. Ketiga, tersedianya sekolah dari

tingkat SD sampai SMA di semua Kecamatan. Sedangkan faktor

penghambat yaitu pertama, faktor geografis di mana Kota Tual terdiri dari

pulau-pulau. Kedua, belum semua sekolah dapat mengakses internet

karena kurangnya sarana pendukung, sehingga mutu pendidikan tidak

sama antara sekolah yang berada di pusat kota dan di luar kota. Ketiga,

pergeseran nilai masyarakat khususnya kaum muda yang cenderung lebih

mengapresiasi budaya dari luar dari pada budaya daerahnya sendiri.

T : Apa saja perubahan dan kemajuan dalam bidang pendidikan dan

kebudayaan masyarakat Kota Tual?

J : Di bidang pendidikan yaitu APK dan APM semakin tinggi, rendahnya

angka putus sekolah, semakin banyak Perguruan Tinggi, makin banyak

lulusan Perguruan Tinggi (S1, S2 dan S3). Sedangkan di bidang

kebudayaan yaitu masyarakat semakin mencintai budayanya sendiri,

kesadaran generasi muda untuk mengembangkan budaya daerahnya

sendiri.

T : Bagaimana cara pemerintah menanamkan nilai-nilai budaya Kei pada

masyarakat di Kota Tual?

J : Memasukan bahasa Kei ke dalam kurikulum pendidikan di tingkat SD

(Muatan Lokal), setiap tahun melaksanakan festival budaya daerah

termasuk lomba pidato dengan bahasa daerah Kei, dan pemerintah dalam

menetapkan kebijakan selalu melibatkan tokoh adat bahkan dalam hal-hal

Page 133: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

tertentu pemerintah memberikan kewenangan kepada Latupatu (para Raja)

untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan adat istiadat Kei.

T : Bagaimana penguatan kementrian dalam meningkatkan kesadaran

berbudaya bagi generasi muda di Kota Tual?

J : Pertama, memberikan penguatan terhadap pelaksanaan bahasa daerah Kei

di sekolah. Kedua, setiap sekolah mengembangkan budaya Kei khususnya

tarian-tarian adat: Tarian soi-soi, sawat, tarian panah (cakalele) dan lain-

lain.

T : Adakah kesadaran dalam toleransi bagi masyarakat Kota Tual?

J : Ada. Masyarakat Kei sejak leluhur telah memiliki kesadaran dalam

toleransi yang sangat baik. Karena masyarakat Kei memiliki falsafah hidup

sebagaimana tertuang dalam hukum Larvul Ngabal yakni Vuut Ain Mehe

Ni Ngivun Manut Ain Mehe Ni Tilur dan Ain Ni Ain. (Semua manusia

berasal dari satu moyang dan semua manusia bersaudara).

T : Apakah pernah terjadi tawuran antarpelajar?

J : Ada. Tapi hanya masalah intern sekolah bukan antarsekolah.

T : Apa saja faktor yang menjadi pemicu tawuran antarpelajar?

J : Masalah pribadi siswa, yang kemudian berkembang menjadi masalah

kelompok/ gang.

T : Bagaimana penyelesaian yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam

menangani kasus tawuran antarpelajar di Kota Tual?

J : Penyelesaian tingkat sekolah yaitu melakukan pembinaan dengan cara

mengumpulkan semua siswa yang terlibat dalam tawuran, mengundang

Page 134: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 135: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

Gambar 1 dan 2. Wawancara dan Foto Bersama Bapak Walikota Tual

Page 136: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

Gambar 3. Wawancara dengan Tokoh Adat Kei

Gambar 4. Foto bersama Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Tual

Page 137: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf

Gambar 5 dan 6. Foto dan Wawancara dengan Kepala Dinas Pendidikan dan

Olahraga Kota Tual

Page 138: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 139: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 140: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 141: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 142: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 143: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 144: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 145: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 146: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 147: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 148: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf
Page 149: NURUL AIN KABAKORAN-FDK.pdf