26
LAPORAN PENELITIAN II - 1 BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Pengertian Pertanian Kota (Urban Agriculture) Pertanian Kota memiliki berbagai macam pengertian, di antaranya adalah sebagai berikut. Pengertian pertanian kota atau Urban Agriculture menurut Wikipedia – the free encyclopedia: “Urban agriculture is the practice of agriculture (include crops, livestock, fisheries, forestry activities) within or surrounding the boundaries of cities. The land used may be private residential land (use of private pieces of land, balconies, walls, or building roofs), public roadside land, or riverbanks. Urban farming is practiced for income-earning or food- producing activities. It contributes to food security and food safety in two ways: first, it increases the amount of food available to people living in cities, and second, it allows fresh vegetables and fruits to be made available to urban consumers. Because it promotes energy-saving local food production, urban and peri-urban agriculture are sustainability practices.” Selain itu, menurut Luc Mougeot (1999), Urban Agriculture memiliki pengertian sebagai berikut: “Urban agriculture is an industry located within (intra-urban) or on the fringe (peri-urban) of a town, a city or a metropolis, which grows and raises, processes and distributes a diversity of food and non-food products, using largely human and natural resources (soil, water, genetics, air and solar energy), products and services found in and around that urban area, and in turn supplying human and material resources, products and services largely to that urban area”. Berdasarkan UNDP (1996), pertanian kota memiliki pengertian, yaitu: “Urban Agriculture (UA) is an activity that produces, processes, and markets food and other productss, on land and water in urban and periurban areas, applying intensive production methods, and (re)using natural resources and urban wastes, to yield a diversity of crops and livestock”. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertanian kota (urban agriculture) mengandung arti yaitu suatu aktivitas pertanian yang dapat berupa kegiatan bertani, beternak, perikanan, kehutanan, yang berlokasi di dalam kota atau di pinggiran suatu kota, dengan melakukan proses pengolahan, menghasilkan, dan menjual serta mendistribusikan berbagai macam hasil produk makanan dan non-makanan dengan menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam (tanah, air,

No.10b Konsep Pertanian Kota2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Konsep

Citation preview

Page 1: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 1

BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Pengertian Pertanian Kota (Urban Agriculture)

Pertanian Kota memiliki berbagai macam pengertian, di antaranya adalah sebagai berikut.

Pengertian pertanian kota atau Urban Agriculture menurut Wikipedia – the free encyclopedia:

“Urban agriculture is the practice of agriculture (include crops, livestock, fisheries, forestry activities) within or surrounding the boundaries of cities. The land used may be private residential land (use of private pieces of land, balconies, walls, or building roofs), public roadside land, or riverbanks. Urban farming is practiced for income-earning or food-producing activities. It contributes to food security and food safety in two ways: first, it increases the amount of food available to people living in cities, and second, it allows fresh vegetables and fruits to be made available to urban consumers. Because it promotes energy-saving local food production, urban and peri-urban agriculture are sustainability practices.”

Selain itu, menurut Luc Mougeot (1999), Urban Agriculture memiliki

pengertian sebagai berikut: “Urban agriculture is an industry located within (intra-urban) or on the fringe (peri-urban) of a town, a city or a metropolis, which grows and raises, processes and distributes a diversity of food and non-food products, using largely human and natural resources (soil, water, genetics, air and solar energy), products and services found in and around that urban area, and in turn supplying human and material resources, products and services largely to that urban area”.

Berdasarkan UNDP (1996), pertanian kota memiliki pengertian, yaitu:

“Urban Agriculture (UA) is an activity that produces, processes, and markets food and other productss, on land and water in urban and periurban areas, applying intensive production methods, and (re)using natural resources and urban wastes, to yield a diversity of crops and livestock”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertanian kota (urban agriculture) mengandung arti yaitu suatu aktivitas pertanian yang dapat berupa kegiatan bertani, beternak, perikanan, kehutanan, yang berlokasi di dalam kota atau di pinggiran suatu kota, dengan melakukan proses pengolahan, menghasilkan, dan menjual serta mendistribusikan berbagai macam hasil produk makanan dan non-makanan dengan menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam (tanah, air,

Page 2: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 2

unsur hara, udara dan sinar matahari) serta bertujuan untuk menyediakan dan memenuhi konsumsi produk pangan bagi masyarakat yang tinggal di suatu kota.

Selain itu, karakteristik dari pertanian kota diantaranya adalah kedekatannya dengan pasar, kompetisi tinggi untuk lahan, lahan yang sangat terbatas, menggunakan sumber daya kota seperti sampah organik dan air buangan, rendahnya tingkat organisasi petani, mengandalkan produk yang dapat terurai, dan memiliki tingkat spesialisasi yang tinggi.

2.1.1. Peran Pertanian Kota

Berdasarkan literatur, terdapat beberapa peranan dari pertanian kota (urban agriculture) terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan ekonomi lokal dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru. 2. Meningkatkan efisiensi biaya transportasi. 3. Penyediaan kebutuhan pangan bagi penduduk kota dan sekitarnya sehingga

ketahanan pangan dapat berkelanjutan. 4. Peningkatan taraf hidup masyarakat. 5. Peningkatan pendapatan daerah kota dengan adanya diversifikasi dari

kegiatan pertanian, diantaranya kegiatan wisata pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian dan lain sebagainya.

2.1.2. Program dan Kebijakan Pertanian Kota Di Beberapa Kota

Adapun program dan kebijakan yang diterapkan dalam pengembangan pertanian kota dapat dilihat di beberapa kota di negara lain yang menggunakan konsep pertanian kota, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kota Beijing, China. Kota Beijing menggunakan pertanian kota untuk membantu dalam peningkatan dan keseimbangan sektor ekonomi, keseimbangan sosial, dan perlindungan lingkungan. Kebijakan yang diterapkan pemerintah Kota Beijing dan didukung oleh RUAF China (anggota Jaringan Internasional dari Pusat Penelitian tentang pertanian kota dan Ketahanan Pangan) dalam mengembangkan pertanian kota yaitu penerapan Program Aksi 221 (The 221 Action Program). Terdapat dua pilar utama dari program tersebut, yaitu peningkatan kebutuhan kualitas pangan serta perbaikan lahan pertanian dan sumber daya air di Kota Beijing. Dua pilar tersebut digunakan untuk menggerakkan dua input pendukung yaitu modal dan teknologi serta menciptakan satu kerangka informasi yang digunakan untuk menyebarkan teknologi, pengalaman dan hasil praktik terbaik dari pelaksanaan program tersebut, salah satu bentuknya adalah pembuatan website.

2. Kota Rosario, Argentina. Kota Rosario menerapkan konsep pertanian kota sebagai tanggapan dari krisis ekonomi yang melanda kotanya. Pada akhir tahun 2001, Negara Argentina mengalami krisis ekonomi dimana terdapat hutang yang besar, produk domestik bruto yang menurun, peningkatan

Page 3: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 3

tingkat pengangguran sebesar 25%, nilai mata uang peso Argentina yang mengalami penurunan sebesar 75%, dan tingkat inflasi yang meningkat. Hal tersebut berdampak juga terhadap perkembangan Kota Rosario, yang merupakan kota terbesar ketiga di Negara Argentina. Dengan kondisi ekonomi yang memburuk, sebagian besar penduduk Kota Rosario mulai melakukan kegiatan pertanian untuk tetap bertahan hidup dengan menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka sendiri dan keluarganya. Melihat hal tersebut, pemerintah lokal membuat suatu peraturan yaitu kebijakan mengenai penggunaan lahan publik yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian oleh masyarakat. Selain itu, pemerintah kota juga menyediakan beberapa kebutuhan petani kota diantaranya yaitu peralatan pertanian, benih-benih, dan kebutuhan penting lainnya yang berkiatan dengan kegiatan pertanian. Dalam mendukung aktivitas pertanian tersebut, pemerintah kota membuat Program Pertanian kota (PAU-Programa de Agricultura Urabana), dimana kebijakan dihasilkan dari kesepakatan bersama antara petani kota, pemetintah kota, tenaga ahli pertanian dan perwakilan dari organisasi non-pemerintah. Program PAU telah membantu para petani kota untuk mengamankan dan mempertahankan lahan pertanian mereka, memberikan keuntungan nilai tambah dari produk pertanian, dan menciptakan market dan sitem pasar baru.

3. Kota Vancouver, Canada. Kota Vancouver terletak pada zona pertanian yang sangat produktif di Negara Kanada, dengan kondisi iklim yang baik untuk pertanian dan kondisi tanah yang subur. Hal itu yang membuat Kota Vancouver merupakan kota yang ideal untuk mengembangkan berbagai macam produk pertanian, diantaranya sayur-sayuran dan buah-buahan. Kebijakan yang telah diterapkan di kota tersebut adalah meningkatkan keberlanjutan pembangunan diantaranya yaitu penerapan konsep pertanian kota. Untuk menciptakan kesatuan konsep antara pertanian kota dalam perencanaan kota dan proses pengembangan kota, pemerintah kota mendirikan Badan Kebijakan Pangan Kota Vancouver (VFPC). Selain itu, VFPC juga melibatkan beberapa kelompok, diantaranya para petani, ahli gizi, penjual bahan pangan dan perwakilan kelompok masyarakat. Peran utama dari badan ini adalah meningkatkan dan mendukung kegiatan dari organisasi lokal, diantaranya dengan melakukan penguatan kelompok komunitas melalui pendidikan dan pelatihan dalam rangka mencapai tujuan dan manfaat dari aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dari suatu komunitas.

4. Kota Kampala, Negara Uganda. Kegiatan pertanian kota di Kota Kampala diperkuat dengan kebijakan kota dengan menyatukan kegiatan pertanian dalam perencanaan kotanya. Penyatuan kebijakan pertanian kota dalam perencanaan kota terkait erat dengan kebijakan politik dari kewenangan pemimpin kota tersebut, yang menyatakan pentingnya pertanian kota dalam mendukung ketahanan pangan. Kota ini merupakan salah satu contoh yang menerangkan bahwa penerapan konsep pertanian kota memliki kaitan dengan peran/kewenangan dari pembuat suatu kebijakan atau pemberi keputusan di suatu kota.

5. Kota Pikine, Negara Senegal. Pada Kota Oikine, pengelolaan melalui penerapan partisipasi masyarakat adalah sebagai kunci utama dari program untuk mengembangkan dan mendukung kegiatan pertanian kota. Sejak

Page 4: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 4

tahun 2005, Kota Pikine telah melakukan tes terhadap lahan untuk suatu proyek inovatif yang melibatkan pemerintah lokal, unit departemen teknis, pelaku organisasi, institusi pelatihan dan penelitian, masyarakat, dan sektor privat. Proyek tersebut adalah kegiatan ”Kota Petanian Masa Depan” (The Agricultural Cities of The Future) yang bertujuan untuk mengembangkan kontribusi dari pertanian kota dalam rangka ketahanan pangan, pengelolaan lingkungan, dan mengurangi tingkat kemiskinan. Salah satu hal penting yang diterapkan dalam kegiatan proyek tersebut adalah perencanaan partisipasi dan proses pengembangan kekebijakan, yang dikenal dengan 3PFP. Salah satu pelaku utama dalam kegiatan adalah Asosiasi Petani di Desa Niayes (PROVANIA). Misi utama dari asosiasi tersebut adalah mengembangkan kegiatan pertanian dan pemasaran hasil pertanian dengan penguatan jaringan pemasaran. Selain itu, mereka juga bekerja untuk menciptakan kerjasama dengan agen donor dan organisasi lainnya, serta mengambil bagian dalam me-lobi untuk mempromosikan program pertanian kota (urban ugriculture). Pengalaman yang dapat dilihat dari kota ini adalah penerapan partisipasi dalam pengelolaan program pertanian kota, diantaranya dalam pelaksanaan kegiatan forum dan working group yang terdiri dari beberapa stakeholder yang bersama-sama mengeluarkan ide tentang kegiatan pertanian kota, pengembangan rencana aksi, dan mendesain program proyek percontohan dalam satu tahun. Alasan penerapan partisipasi dalam kegiatan pertanian kota adalah untuk menciptakan hasil kontribusi yang positif pada kehidupan masyarakat dan tercipta suatu kesatuan dalam rencana pengembangan suatu kota.

6. Harare, Negara Zimbabwe. Kota ini melakukan pendidikan, pelatihan, perencanaan dan bantuan konsultasi terhadap beberapa stakeholder dalam rangka peningkatan pertanian kota. Beberapa tahun yang lalu, terdapat kebijakan di Kota Harare yang melakukan penangkapan terhadap para petani dan menghancukan lahan pertanian mereka. Kegiatan pertanian di kota tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok marginal dan memberikan kontribusi yang kecil terhadap perkembangan kota. Selain itu, kebanyakan pemerintah lokal percaya bahwa pertanian kota adalah kegiatan yang negatif/ilegal dimana kembali kepada kebiasaan rural dan menurunkan pertumbuhan ekonomi serta penyebab kerusakan lingkungan. Namun, sekarang, kegiatan pertanian di ibukota Zimbabwe ini mulai berkembang. Hal tersebut berubah karena adanya organisasi ”Kerjasama Pengembangan Kota untuk Afrika Selatan dan Timur” (MDPESA) dan proses perencanaan multistakeholder pada pertanian kota. Organisasi ini membantu mengurangi kemiskinan kota, meningkatkan ketahanan pangan dan mengembangkan pengelolaan lingkungan kota. Mereka mengajak melakukan komunikasi antar dua pihak yaitu pihak pemerintah kota dan para petani, dengan melakukan usaha membrikan informasi hasil penelitian, kegiatan debat, dan workshop terhadap pertanian kota. Selain itu juga, mereka melakukan pendidikan, pelatihan, penelitian, pengarahan terhadap pemerintah lokal terhadap pentingnya pertanian kota terhadap perkembangan suatu kota.

7. Villa Maria del Triunfo, Negara Peru. Pelajaran yang dapat diambil dari daerah ini berkaitan dengan kegiatan pertanian kota adalah perhatian penentu kebijakan dan dewan dalam mengembangkan pertanian kota dari

Page 5: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 5

hasil pertanian untuk kehidupan para petani higga menciptakan peningkatan ekonomi bagi para petani kota. Sebagian penduduk di daerah ini merupakan warga yang termasuk golongan miskin dan lahannya yang tidak layak untuk kegiatan pertanian. Dari hal tersebut, pemerintah kota dan dewan mulai memperhatikan kondisi yang ada di wilayah tersebut, terutama di daerah waga miskin. Dengan melakukan kerjasama dengan suatu organisasi IPES, dalam rangka konsolidasi perencanaan pertanian kota. Salah satu bentuk program yang dilakukan adalah melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap wilayah yang layak untuk daerah pertanian. Hingga saat ini, kegiatan pertanian di daerah tersebut berkembang dan merupakan sumber penghasilan dan ekonomi bagi para petani, yang secara tidak langsung meningkatkan tingkat ekonomi di wilayah tersebut.

Tabel 2.1. Program dan Kebijakan Pertanian kota di Beberapa Kota

No. Kota Sekilas Gambaran Wilayah Latar Belakang Program dan Kebijakan

Pertanian kota 1. Beijing,

Cina Luas wilayah sekitar 17.000 km2 dan memiliki penduduk sebanyak 15 juta jiwa. Merupakan ibukota dari negara Republik Rakyat Cina.

Diharapkan program pertanian kota untuk membantu dalam peningkatan dan keseimbangan sektor ekonomi, keseimbangan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Kebijakan yang diterapkan pemerintah Kota Beijing dan didukung oleh RUAF China (anggota Jaringan Internasional dari Pusat Peneilitian Pertanian kota dan Ketahanan Pangan) dalam mengembangkan pertanian kota yaitu penerapan Program Aksi 221 (The 221 Action Program). Terdapat dua pilar utama dari program tersebut, yaitu peningkatan kebutuhan kualitas pangan serta perbaikan lahan pertanian dan sumber daya air di Kota Beijing.

2. Rosario, Argentina

Merupakan kota terbesar dan memiliki penduduk perkotaan terbanyak ketiga di negara Argentina. Berada pada sekitar 300 km baratdaya dari Kota Buoenos Aires.

Penerapan konsep pertanian kota sebagai tanggapan dari krisis ekonomi yang melanda kotanya.

Pemerintah lokal membuat suatu peraturan yaitu kebijakan mengenai penggunaan lahan publik yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian oleh masyarakat. Selain itu, pemerintah kota juga menyediakan beberapa kebutuhan petani kota diantaranya yaitu peralatan pertanian, benih-benih, dan kebutuhan penting lainnya yang berkiatan dengan kegiatan pertanian. Dalam mendukung aktivitas pertanian tersebut, pemerintah kota membuat Program Pertanian kota (PAU-Programa de Agricultura Urabana), dimana kebijakan dihasilkan dari kesepakatan bersama antara petani kota, pemetintah kota, tenaga ahli pertanian dan perwakilan dari organisasi non-pemerintah.

Page 6: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 6

Tabel 2.1. (lanjutan)

No. Kota Sekilas Gambaran Wilayah Latar Belakang Program dan Kebijakan

Pertanian kota 3. Vancouver,

Canada Merupakan kota terbesar yang berada di negara bagian barat Canada atau ketiga terbesar di negara Canada. Kota metropolitan Vancouver Memiliki penduduk lebih dari 2,2 juta jiwa dan duitempati oleh berbagai macam etnis.

Didukung oleh lahan pertanian yang sangat produktif, dengan kondisi iklim yang baik untuk pertanian dan kondisi tanah yang subur.

Kebijakan yang telah diterapkan di kota tersebut adalah meningkatkan keberlanjutan pembangunan diantaranya yaitu penerapan konsep pertanian kota. Untuk menciptakan kesatuan konsep antara pertanian kota dalam perencanaan kota dan proses pengembangan kota, pemerintah kota mendirikan Badan Kebijakan Pangan Kota Vancouver (VFPC).

4. Kampala, Uganda

Merupakan ibukota dari negara Uganda dan juga merupakan wilayah perkotaan terbesar. Ditempati lebih dari 1,2 juta jiwa, dan sekitar 40% hidup dibawah garis kemiskinan. Sebagai pusat administrasi, komersial dan kegiatan industri. Memiliki luas 195 km2 dan merupakan kota taman.

Pentingnya kegiatan urban agricluture dalam perkembangan kota

Kegiatan pertanian kota di Kota Kampala diperkuat dengan kebijakan kota dengan menyatukan kegiatan pertanian dalam perencanaan kotanya. Penyatuan kebijakan pertanian kota dalam perencanaan kota terkait erat dengan kebijakan politik dari kewenangan pemimpin kota tersebut, yang menyatakan pentingnya pertanian kota dalam mendukung ketahanan pangan.

5. Pikine, Senegal

Merupakan kota terbesar kedua di Negara Senegal, dengan jumlah penduduk sebanyak 1 juta jiwa. Berada di daerah pinggiran Dakar, terdapat Desa Niyaes yang memiliki karakteristik kegiatan yaitu pertanian, holtikultura dan peikanan. Sekitar 80% merupakan penduduk yang memiliki usia di bawah 35 tahun, dan hampir sekitar 50% berada di bawah 15 tahun.

Pentingnya proses partsipasi masyarakat dalam kegiatan urban argiculutre.

Kegiatan ”Kota Petanian Masa Depan” (The Agricultural Cities of The Future) yang bertujuan untuk mengembangkan kontribusi dari pertanian kota dalam rangka ketahanan pangan, pengelolaan lingkungan, dan mengurangi tingkat kemiskinan. Salah satu hal penting yang diterapkan dalam kegiatan proyek tersebut adalah perencanaan partisipasi dan proses pengembangan kekebijakan, yang dikenal dengan 3PFP.

Sumber : Petra Jacobi, Axel W. Drescher and Jorg Amend, 2000;

Page 7: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 7

Tabel 2.1. (lanjutan)

No. Kota Sekilas Gambaran Wilayah Latar Belakang Program dan Kebijakan

Pertanian kota 6. Harare,

Senegal Merupakan pusat perdagangan untuk kopi, buah sitrun, dan lain-lain.

Beberapa tahun yang lalu, terdapat kebijakan di Kota Harare yang melakukan penangkapan terhadap para petani dan menghancukan lahan pertanian mereka. Kegiatan pertanian di kota tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok marginal dan memberikan kontribusi yang kecil terhadap perkembangan kota. Selain itu, kebanyakan pemerintah lokal percaya bahwa pertanian kota adalah kegiatan yang negatif/ilegal dimana kembali kepada kebiasaan rural dan menurunkan pertumbuhan ekonomi serta penyebab kerusakan lingkungan

Terdapat organisasi ”Kerjasama Pengembangan Kota untuk Afrika Selatan dan Timur” (MDPESA) dan proses perencanaan multistakeholder pada pertanian kota. Organisasi ini membantu mengurangi kemiskinan kota, meningkatkan ketahanan pangan dan mengembangkan pengelolaan lingkungan kota. Mereka mengajak melakukan komunikasi antar dua pihak yaitu pihak pemerintah kota dan para petani,

7. Villa Maria del Triunfo, Peru

Merupakan wilayah terbesar kedelapam di Negara Peru. Karena lokai geografi dan keterbatasan perencanaan kota, telah menciptakan keterpurukan ekoomi dan terjadinya kemiskinan. Terdapat 367.000 jiwa, yang sebagian besarnya termasuk miskin. Selain itu, di beberapa bagian wilayah merupakan daerah rawan: adanya ahan yang terjal dan berada di bawah saluran tegangan tinggi.

Sebagian penduduk di daerah ini merupakan warga yang termasuk golongan miskin dan lahannya yang tidak layak untuk kegiatan pertanian.

Pemerintah kota dan dewan mulai memperhatikan kondisi yang ada di wilayah tersebut, terutama di daerah waga miskin. Dengan melakukan kerjasama dengan suatu organisasi IPES, dalam rangka konsolidasi perencanaan pertanian kota. Salah satu bentuk program yang dilakukan adalah melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap wilayah yang layak untuk daerah pertanian.

2.2. Konsep Perencanaan Pembangunan Pertanian Kota

Dalam rangka percepatan pemulihan perekonomian regional khususnya di Jawa Barat, dilakukan pendekatan wilayah/kawasan untuk mewadahi program prioritas dan pengembangan sektor potensi unggulan yang ada di setiap di wilayah masing-masing.

Page 8: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 8

Pemerintah Propinsi Jawa Barat telah menetapkan tujuh kawasan andalan yang berorientasi pada pembangunan sektor pertanian, yaitu: 1. Kawasan andalan Sukabumi dan sekitarnya; 2. Kawasan andalan Priangan Timur dan sekitarnya; 3. Kawasan andalan Pangandaran dan sekitarnya; 4. Kawasan andalan Bogor, Bekasi dan sekitarnya; 5. Kawasan andalan Bogor, Puncak, Cianjur, dan sekitarnya; 6. Kawasan andalan Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan

(Ciayumajakuning) dan sekitarnya; 7. Kawasan andalan Cekungan Bandung.

Dari ketujuh kawasan andalan tersebut yang menjadi prioritas pembangunan tahun 2002 adalah kawasan andalan Priangan Timur, termasuk di dalamnya kawasan agribisnis Ciayumajakuning (Situs Pemda Jawa Barat, 2002).

Menurut Dipertan (2001), pengembangan agribisnis komoditas unggulan memiliki beberapa peluang diantaranya: 1. Masih tersedianya sumberdaya alam yang belum optimal dilaksanakan 2. Tersedianya sumberdaya manusia baik petani maupun petugas yang dapat

diberdayakan 3. Produktifitas untuk berbagai komoditas tanaman pangan masih mungkin

dapat ditingkatkan, karena selama ini teknologi anjuran belum secara optimal diterapkan dan ketersediaan teknologi lokal spesifik masih belum memadai

4. Pengembangan skala usaha tani masih dapat dilaksanakan melalui kerja sama usaha tani yang dilaksanakan oleh petani secara berkelompok.

Berdasarkan gambaran tersebut tiap Kabupaten / Kota di Jawa Barat dituntut untuk mempersiapkan diri dalam membangun kawasan pertaniannya semaksimal mungkin dengan berpegang pada prinsip ” Berwasan lingkungan dan berkelanjutan serta memiliki nilai ekonomi yang nyata bagi masyarakat”. Salah satu bentuk persiapan yang harus dilakukan adalah menyusun rencana induk pembangunan kawasan pertanian yang sesuai dengan RTRW.

Rencana Induk (Master plan) pertanian secara umum memuat beberapa hal, antara lain:

1. Rekomendasi dan aksi strategis bagi pedoman kebijakan, pembangunan dimasa datang, dan manajemen operasi kawasan

2. Rencana fisik kawasan yang berisi pedoman dan rekomendasi untuk menyiapkan sarana dan pra sarana fisik kawasan

3. Kerangka strategis bagi pembaruan kawasan di masa datang

Tujuan dari penyusunan rencana pengembangan pertanian antara lain :

1. Menjawab tantangan pembangunan di masa depan, sesuai yang diamanatkan dalam Visi dan Misi tiap Kabupaten / kota yang ada di

Page 9: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 9

Propinsi Jawa Barat, yang sejalan dengan Visi dan Misi Jawa Barat tahun 2010.

2. Mewujudkan pembangunan sektor pertanian sebagai sektor andalan yang berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan kebijakan pembangunan Kabupaten / kota dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan serta kemampuan daya dukung lingkungan agar tercapai kondisi pembangunan yang berkelanjutan.

3. Memberi arah bagi perencanaan pembangunan pertanian dan rencana implementasinya. Diharapkan dengan adanya rencana pengembangan dan pembangunan

pertanian ini dapat : 1. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan sumber daya

manusia yang semaksimal mungkin dengan tidak mengabaikan aspek kelestarian dan kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.

2. Sebagai arahan bagi penyusunan program dan implementasi kegiatan terutama dalam menentapkan : • Kawasan / zona pengembangan kawasan andalan / potensial dan

unggulan dari tiap Kabupaten / kota • Mengoptimalkan kawasan melalui peningkatan produktivitas lahan

budidaya komoditas unggulan, peningkatan nilai tambah komoditas melalui teknologi penanganan pasca panen yang baik disesuaikan dengan kondisi geografi, agroklimat, pasar dan daya dukung lingkungan lainnya.

• Memetakan kebutuhan sarana dan pra sarana fisik pendukung kawasan pertanian andalan dari hulu sampai hilir sesuai dengan konsep dalam mendapatkan komoditi yang memiliki keunggulan kompetitif dengan menerapkan ciri strategi pada pengembangan tempat, produk, harga, dan promosi yang berkesinambungan (Place, Product, Price & Promotion). Dengan demikian pelaku agribisnis di Kabupaten / kota akan mendapatkan nilai ekonomi signifikan atas usaha yang mereka kembangkan (menjadi pemain utama, bukan menjadi obyek penderita).

• Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia terkait bidang agribisnis melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan sehingga terjalin kemitraan (partnership) yang baik diantara pemerintah selaku fasilitator pembangunan dan penentu kebijakan dengan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan sektor pertanian tersebut.

• Penetapan kebijaksanaan pembangunan pertanian daerah baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai landasan operasional bagi penataan, pengaturan, dan pengendalian perkembangan daerah secara keseluruhan.

Perencanaan pembangunan pertanian khususnya untuk kota Bandung, pada dasarnya mengacu pada konsep Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota yang telah dibuat. Di dalamnya memuat semua aspek yang dapat menggambarkan struktur tata ruang dan pola tata ruang secara keseluruhan Perencanaan pembangunan pertanian kota sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah adalah rencana yang memuat penjabaran strategi dan arahan

Page 10: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 10

kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah dalam arti khusus sektor pertanian sedemikian rupa sektor ini memiliki karakteristik spesifik bagi rupa kota. Karakteristik tersebut bisa berupa pembangunan pertanian dalam arti produksi komoditi primer (sektor hulu) maupun pembangunan pertanian dalam arti produksi komoditi sekunder atau olahan (sektor hilir). Penetapan arah dan pola kebijakan pertanian khususnya di kota Bandung setidaknya harus dapat dideskripsikan dengan jelas, apalagi bila dikaitkan dengan adanya keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah penduduk yang semakin signifikan dari tahun-ketahun. Sehingga alih fungsi lahan tidak dapat dielakan lagi.

Perencanaan pembangunan pertanian kota pada era sekarang ini harus pula mempertimbangkan aspek ketahanan pangan guna kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Dengan demikian perencanaan pembangunan tersebut harus mampu meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor melalui pemanfaatan ruang kawasan secara serasi, seimbang serta berkelanjutan, hal ini guna menjaga kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan fungsi dan tatanan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang diperlukan adanya petunjuk operasional yang dapat memberikan kejelasan dalam pelaksanaan teknis, kelembagaan serta mekanisme atau prosedur pelaksanaan pemanfaatan ruang (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003).

2.3. Revitalisasi Pertanian dalam rangka Meningkatkan Nilai Tambah

Komoditas Produk Pertanian

Sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa salah satu sebagai salah satu upaya nyata meletakkan kembali dasar-dasar pembangunan ekonomi yang kokoh antara lain harus kembali ke pertanian. Artinya sektor ini harus dijadikan kembali sebagai sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan (Revitalisasi). Hal ini didasari pemikiran bahwa pembangunan pertanian (dan pedesaan) diharapkan akan mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, yang saat ini masih tercatat 40 juta orang, plus 20 juta orang lainnya yang termasuk kategori near poor (hampir miskin). Burhanuddin Abdullah juga mengungkapkan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu unggulan yang seharusnya dapat menjadi dasar untuk bangkit dan menjadi kekuatan ekonomi besar di masa depan (Bustanul Arifin, 2006).

Revitalisasi Pertanian secara nasional sudah menjadi bahan pemikiran yang mendalam guna membangun ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik. Bustanul Arifin (2006) selanjutnya berpendapat bahwa ada 3 pendekatan mazhab teori ekonomi yang dapat menggambarkan revitalisasi pertanian, yaitu :

Page 11: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 11

(1). Mazhab Neoklasik Menurut teori ekonomi pembangunan ini sektor pertanian dapat dikatakan telah kembali vital atau menjadi basis pembangunan ekonomi suatu bangsa apabila telah menjadi pengganda pendapatan (income multiplier) dan pengganda tenaga kerja (employment multiplier). Pengganda pendapatan maksudnya adalah, sektor pertanian menghasilkan tambahan pendapatan bagi aktivitas ekonomi yang berhubungan langsung dengan sektor pertanian, seperti agroindustri dan off-farm lainnya. Sementara pengganda tenaga kerja maksudnya adalah sektor pertanian mampu menciptakan lapangan kerja baru di luar sektor pertanian, terutama karena begitu tingginya keterkaitan antara sektor pertanian dengan industri pengolahan hasil pertanian yang mampu menciptakan nilai tambah (forward linkages) dan meningkatkan sarana produksi dan infrastruktur ekonomi lainnya (backward linkages). (2) Mazhab Strukturalis Menurut mazhab ini sektor pertanian dapat dikatakan hidup kembali apabila pendapatan petani telah meningkat dan kesejahteraannya membaik. Oleh karena itu, seluruh energi yang ada perlu diarahkan pada peningkatan kesejahteraan petani serta sektor pertanian dan pedesaan umumnya. Indikator ini merupakan perpaduan antara kinerja kuantitatif berupa berkurangnya angka-angka kemiskinan, terutama di pedesaan dan angka-angka kinerja kualitatif berupa rumusan kebijakan yang seluruhnya mengacu pada posisi sektor pertanian dalam kebijakan pembangunan ekonomi. (3) Mazhab Populis Menurut teori ini, revitaliasi pertanian dapat dikatakan berhasil apabila pembangunan pertanian yang dijalankan mampu mengentaskan masyarakat petani dan warga pedesaan lain dari jeratan dan belenggu kemiskinan. Namun dalam realitasnya pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sektor pertanian saja tidak akan mampu memberantas kemiskinan. Implementasinya harus diikuti oleh para perumus kebijakan yang secara terus menerus menunjukkan keberpihakan dan perhatian penuh kepada petani dan kelompok miskin lainnya. Langkah yang paling dasar adalah melaksanakan aktivitas kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang menyentuh kelompok miskin secara langsung, melalui investasi besar-besaran di bidang hak-hak dasar masyarakat dalam sektor kesehatan, kecukupan gizi, serta pendidikan dasar dan menengah. Untuk kelompok masyarakat yang sangat kekurangan, kaum marjinal dan rentan terhadap gejolak rawan pangan dan gangguan eksternal lain, pemerintah pusat dan daerah tidak harus berpikir dua kali untuk memberikan bantuan sosial dan cuma-cuma.

Upaya revitalisasi pertanian yang berkesinambungan dalam jangka panjang akan memberi dampak pada peningkatan nilai tambah petani dalam menjalankan kegiatan usaha taninya. Oleh karena itu upaya revitalisasi pertanian (termasuk di dalamnya sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan) harus dapat diimplementasikan secara nyata di masyarakat petani. Pemerintah wajib membangun dan merehabilitasi sarana dan prasarana dasar pembangunan pertanian, seperti infrastruktur jalan

Page 12: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 12

raya, jalan produksi, jalan desa, saluran irigasi dan drainase, jaringan listrik, air bersih dan sebagainya. Demikian juga keberpihakan lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank wajib harus lebih ditingkatkan terutama dalam upaya meningkatkan akses permodalan bagi petani dan nelayan.

Sementara itu IASA (2006) mengemukakan bahwa upaya untuk merevitalisasi pertanian setidaknya harus didasarkan pada 3 strategi, yaitu :

1. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi hasil pertanian Hal ini dapat diupayakan melalui pemanfaatan pertanian yang terkontrol dengan memanfaatkan prinsip manajemen dan industri, keterpaduan penanganan pasca panen, dan standarisasi produk pertanian (mengacu pada SNI, ISO dan standar negara yang sudah maju di bidang pertanian).

2. Pemanfaatan teknologi tepat guna dan tinggi dalam pertanian Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal ini akan sangat membantu petani dalam rangka memperpanjang umur produk dan mendiversifikasi produknya. Sehingga produk yang dihasilkan tidak hanya mengandalkan pada produk primernya saja akan tetapi pada produk olahannya. Apabila hal ini berhasil ditingkatkan maka petani akan dapat mengurangi resiko kerugian karena ketergantungan pada produk primer pertaniannya yang memiliki umur konsumsisi terbatas.

3. Pengembangan dan pembuatan produk hasil pertanian Indonesia yang mempunyai kualitas dan daya kompetitif dalam perdagangan internasional. Globalisasi setidaknya akan membawa dampak pada perubahan kebijakan dan arah pembangunan serta pengembangan produk pertanian. Konsep keunggulan komparataif di era sekarang ini nampaknya tidak akan mampu diandalkan seterusnya mengingat banyak negara dengan sumber devisa dari sektor pertaniannya mampu bersaing di pasaran global karena mereka mampu membuat produk dengan ciri keunggulan kompetitif di dalam pasar. Untuk dapat menghasilkan produk pertanian yang memiliki keunggulan kompetitif maka konsep Kapasitas, Kualitas dan Kontinyuitas dalam menghasilkan produk harus sudah memasyarakat di kalangan petani. Untuk ini peningkatan kemampuan, pengetahuan dan wawasan petani adalah suatu hal yang harus diprioritaskan dalam waktu dekat.

2.4. Konsep Dasar Ketahanan Pangan

Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya tidak dapat dilepaskan

dari aspek ketahanan pangan secara makro di dalam suatu wilayah. Hasil dari sektor pertanian akan secara langsung berdampak pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan primer masyarakat agar sehat dan bergizi baik.

Ketahanan pangan secara nasional memiliki makna sebagai kemampuan

suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah

Page 13: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 13

ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut Departemen Pertanian menetapkan beberapa langkah strategis untuk mencapai sasaran ke tahanan pangan di atas antara lain dengan cara : 1. Mengidentifikasi potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan

komoditas padi, jagung, kedelai, tebu dan sapi potong. 2. Merenovasi dan memperluas infrastruktur fisik dengan merehabilitasi

jaringan irigasi lama dan membangun jaringan irigasi baru untuk pengembangan lahan sawah di luar Jawa serta membuka lahan pertanian baru, khususnya lahan kering di Luar Jawa.

3. Menahan laju konversi lahan sawah di Jawa melalui penetapan ”lahan abadi” untuk usaha pertanian.

4. Mempercepat penemuan teknologi benih/bibit unggul untuk peningkatan produktivitas, teknologi panen untuk mengurangi kehilangan hasil, dan teknologi pasca panen serta pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah.

5. Mempercepat pembentukan teknologi spesifik lokasi kelima komoditas tersebut untuk meningkatkan daya saingnya.

6. Membangun sistem perbenihan/pembibitan untuk kelima komoditas tersebut.

7. Memberikan subsidi sarana produksi untuk usaha primer sekaligus memberikan proteksi kepada kelima komoditas tersebut.

8. Merevitalisasi sistem penyuluhan dan kelembagan petani untuk mempercepat difusi adopsi teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani.

9. Mengembangkan sistem pemasaran hasil pertanian yang mampu mendistribusikan produk dan return/keuntungan secara efisien dan adil.

10. Mengembangkan sistem pembiayaan pertanian, termasuk keuangan mikro pedesaan untuk meningkatkan aksesibilitas petani atas sumber permodalan/pembiayaan pertanian.

11. Memberikan insentif berinvestasi di sektor pertanian, khususnya di luar Jawa, termasuk menyederhanakan proses perizinan investasi di sektor pertanian.

12. Memperjuangkan komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu sebagai komoditas strategis (SP) dalam perundingan W.T.O.

Dalam realitasnya untuk mewujudkan program ketahanan pangan yang

efektif dan efisien di Indonesia tidaklah mudah. Hal ini erat kaitannya dengan aspek sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang saat ini belum menggembirakan. Sebagai gambaran misalnya program ketahanan pangan di Jawa Barat masih dihadapkan pada beberapa masalah yang mendasar. Hasil pengamatan Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat (2006), beberapa permasalahan yang kerap kali muncul antara lain dikarenakan : 1. Tingginya penduduk miskin di jabar yang berpotensi besar terjadi rawan

pangan dan gizi. Terjadi rawan pangan dan gizi. 2. Belum tergalinya potensi pangan lokal yang dapat mensubstitusi beras dan

terigu. Beras dan terigu. 3. Belum optimalnya pencapaian produktivitas dan kualitas produk produk

pertanian. Produk pertanian.

Page 14: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 14

4. Distribusi pangan di tingkat masyarakat belum merata, padahal produksi pertanian cukup tinggi. Produksi pertanian cukup.

5. Fluktuasi tinggi harga gabah di tingkat petani terutama pada saat panen raya. Saat panen raya.

6. Belum adanya kelembagaan ketahanan pangan yang bersifat struktural dan operasional di tingkat provinsi serta peran dan fungsi dewan ketahanan pangan yang belum optimal.

7. Penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil produksi pertanian yang belum optimal. Produksi pertanian yang

8. Masih banyak ditemukan pangan yang tidak memenuhi standar kesehatan untuk dikonsumsi baik pada proses budidaya maupun pada saat pengolahan. Budidaya maupun pada saat pengolahan.

9. Terbatasnya sarana dan prasarana, permodalan, akses pergudangan/penyimpanan pengolahan dan jaringan pemasaran

10. Masih tingginya hama penyakit dan bencana alam yang mengganggu terhadap produksi serta kenaikan harga bbm yang berdampak besar pada daya beli masyarakat dan struktur biaya produksi pertanian struk Dari gambaran tersebut, efektifitas kinerja program ketahanan pangan

sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan sektor pertanian, baik primer maupun sekunder (produk olahan). Oleh karenanya revitalisasi pertanian di berbagai daerah akan banyak membantu keberhasilan program ketahanan pangan ini. 2.4.1. Ketahanan Pangan Sebagai Suatu Sistem

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling asasi bagi setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap rumahtangga dan anggotanya harus mempunyai akses untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga mampu menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Generasi yang tangguh secara fisik maupun intelegensia akan menjadi tulang punggung bagi tumbuh kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun politik.

Tidak ada satu bangsapun yang dapat membangun perekonomiannya tanpa menyelesaikan masalah pangan terlebih dahulu. Oleh karena itu ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Ketidaktahanan pangan sangat berpotensi memicu kerawanan sosial,

Page 15: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 15

politik maupun keamanan sehingga tidak kondusif untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya, ketahanan nasional tidak dapat terwujud.

Atas dasar itulah maka tujuan utama pembangunan nasional adalah meningkatkan kualitas SDM, yang tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu, aman, merata, terjangkau oleh seluruh rumahtangga dan individu menjadi sasaran utama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada setiap level pemerintahan baik pusat, propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembangunan ketahanan pangan.

Menurut Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat diartikan bahwa (1) pangan yang cukup yang ditunjukkan oleh ketersediaan pangan yang bukan hanya beras melainkan pangan yang berasal dari pangan nabati dan hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; (2) pangan yang tersedia aman untuk dikonsumsi berarti bebas dari bahan kimia, mikroba, dan zat-zat lainnya yang merugikan kesehatan masyarakat dan memenuhi persyaratan halal; (3) pangan dengan kondisi yang merata dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air; dan (4) pangan dengan kondisi terjangkau diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga terjangkau (Suryana, 2003).

Selanjutnya, Suryana (2003) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi dan terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan interaksi antar ketiga subsistem tersebut yang merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input yaitu sumberdaya alam, kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan pangan akan berjalan efisien dengan partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah. Ketahanan pangan sebagai suatu sistem terdapat dalam Gambar 2.1. (BPKP, 2001).

Page 16: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 16

Gambar 2.1. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana, 2003)

Subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Jumlah penduduk yang cukup besar, membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup besar yang tentunya memerlukan upaya dan sumberdaya yang besar untuk memenuhinya. Subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah, waktu, dan individu serta stabilitas harga. Subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah maupun rumah tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu, keamanan, dan keragaman sesuai dengan kebutuhan dan pilihannya (Suryana, 2003).

Pengembangan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga, mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena (1) akses pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; (2) proses pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; dan (3) ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional (Badan Urusan Ketahanan Pangan (BUKP, 2000)).

Selain itu ketahanan pangan dapat ditinjau dari sistem kelembagaan pangan. Dalam hal ini, terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerja nya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumah tangga yang mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan dan pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat mencakup pengaturan produksi, distribusi

Page 17: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 17

dan pemasaran; dan subsistem pemerintah mencakup kebijakan, fasilitas dan pengamanan (Suryana, 2003).

Pencapaian sasaran tersebut didukung oleh adanya pergeseran manajemen pembangunan dari pola sentralistis menjadi desentralistis. Undang-undang No 32 Tahun 2004 pasal 14 mengamanatkan bahwa “urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, meliputi antara lain : a) penanganan bidang kesehatan; b) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pasal 22 mengamanatkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah antara lain mempunyai kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Situasi ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan pembangunan ketahanan pangan bersama dengan masyarakat sesuai dengan sumberdaya, budaya dan kebiasaannya.

2.4.2. Pendekatan Perencanaan Ketahanan Pangan dan Gizi

Rencana pembangunan pertanian perkotaan pada dasarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, pelestarian lingkungan, serta kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pembangunan pertanian perkotaan perlu didasarkan pada kerangka konsep perencanaan pangan dan gizi seperti terdapat pada Gambar 2.2. Pendekatan ini memperhatikan proses perencanaan pangan dan gizi dengan memperhatikan aspek ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi pangan, pemanfaatan secara biologis seta status gizi.

Gambar 2.2. Kerangka Kerja Konseptual Untuk Bahan Perencanaan Nutrisi Dan Pangan ( Tuazon, 1999)

Page 18: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 18

Secara operasional, perencanaan kebutuhan pangan dapat didasarkan pada pendekatan pemenuhan gizi seimbang. Artinya, perencanaan kebutuhan pangan dilakukan berdasarkan AKG (Angka Kecukupan Gizi) dan PPH (Pola Pangan Harapan). Pendekatan lain dalam perencanaan pangan adalah berdasarkan kebutuhan aktual. Artinya perencanaan kebutuhan pangan ditujukan untuk menjamin ketersediaan pangan sesuai dengan permintaan aktual masyarakat sebagai cerminan pendapatan, harga pangan, preferensi pangan, nilai sosial pangan, dan budaya/pola konsumsi pangan.

Pada masa lalu pertimbangan perencanaan pangan lebih mengacu pada upaya meningkatkan kemampuan produksi dan permintaan pangan (daya beli dan preferensi konsumen). Pada masa mendatang, selain memperhatikan kedua hal itu, acuan yang juga penting untuk dipergunakan adalah bahwa pangan yang disediakan dan dikonsumsi harus memenuhi kebutuhan gizi penduduk. Dengan demikian paradigma yang digunakan dalam perencanaan penyediaan pangan adalah dengan memperhatikan keanerakaragaman pangan dan keseimbangan gizi yang sesuai dengan daya beli, preferensi konsumen dan potensi sumberdaya lokal. Salah satu acuan/pendekatan yang dapat digunakan untuk itu adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pendekatan ini pertama kali dilontarkan oleh FAO Kantor Wilayah Asia-Pasifik (FAO-RAPA) pada tahun 1988. Pendekatan PPH merupakan pelengkap dua pendekatan sebelumnya (Hardinsyah, et. al, 2001). Keunggulan dan kelemahan berbagai pendekatan perencanaan penyediaan pangan dapat disimak pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Keunggulan Dan Kelemahan Antar Pendekatan

Dalam Perencanaan

ASPEK PPH TREN PERMINTAAN

TREN PRODUKSI

Dasar Pendekatan

Direkayasa sesuai perilaku konsumen dan produsen, memerlukan intervensi pendidikan

Sesuai perilaku konsumen

Sesuai perilaku produsen

Relevansi dengan tujuan ketahanan pangan

Sangat relevan

Kurang relevan

Kurang relevan

Mutu Gizi

Sesuai anjuran gizi

Belum tentu/tidak ada

Belum tentu/tidak ada

Diversifikasi Pangan dan Gizi

Terpenuhi

Belum tentu terpenuhi

Belum tentu terpenuhi

Kemudahan

Relatif, tapi ada indikator tunggal

Relatif

Relatif

Waktu Keseimbangan antar kelompok pangan

Ketimpangan antar kelompok pangan

Ketimpangan antar kelompok pangan

Sumber : Hardinsyah et. al (2001)

Page 19: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 19

PPH dapat diimplementasikan dalam perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan untuk dikonsumsi. Berkaitan dengan kegunaan ini maka PPH merupakan instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan penduduk, baik jumlah maupun komposisi pangan menurut jenis pangan. Skor PPH merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan pada tahun-tahun mendatang. Dengan pendekatan PPH, maka perencanaan produksi dan penyediaan pangan dapat didasarkan pada patokan imbangan komoditas seperti yang telah dirumuskan dalam PPH untuk mencapai sasaran kecukupan pangan dan gizi penduduk. PPH yang disajikan dalam bentuk kelompok pangan memberi keleluasaan untuk menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan di antara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya-ekonomi dan potensi setempat. Dalam konteks perencanaan pertanian Kota Bandung difokuskan pada pendekatan gizi seimbang yaitu PPH.

Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai “komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya”. Dengan demikian PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi baik dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama. Dengan pendekatan PPH ini mutu konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang.

Pangan yang dikonsumsi secara beragam dalam jumlah dan seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Keanekaragaman pangan tersebut mencakup kelompok: (1) padi-padian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah dan biji berminyak, (6) kacang-kacangan, (7) gula, (8) sayuran dan buah-buahan, serta (9) lain-lain.

Konsep PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep triguna pangan. Keseimbangan jumlah antar kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi. Konsep gizi seimbang juga tergantung pada keseimbangan antara asupan (konsumsi) zat gizi dan kebutuhannya. maupun jumlahnya antar waktu makan. Selain PPH, konsep gizi seimbang terdapat dalam slogan empat sehat lima sempurna yaitu pangan pokok, lauk pauk, sayur dan buah serta minum susu bila mampu. Dengan adanya perkembangan IPTEK diperlukan pesan-pesan gizi agar masyarakat tetap dapat mewujudkan derajat kesehatan dengan optimal.

Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan suatu komposisi norma (standar) pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk, sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), daya terima

Page 20: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 20

masyarakat (acceptability), serta kuantitas dan kemampuan daya beli (affortability).

Kritik terhadap PPH muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Hardinsyah (1996) dengan menggunakan data Susenas 1990 telah melakukan validasi dan adaptasi PPH dan scoring system PPH bagi Indonesia yang sejalan dengan konsep Pedoman Umum Gizi Seimbang. Pada tahun 2000 Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan, telah melakukan diskusi pakar dan lintas subsektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut menjadi PPH 2020. Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat pada Tabel 2.2. dengan mempertimbangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2200 kkal/kap/hari; 2) Persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2200 kkal sebagai penyebut); 3) Rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating, 4) Skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) Peran pangan hewani, gula serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) Peran-umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal; 7) Peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya tidak dinihilkan.

Secara garis besar pola pikir perencanaan pangan daerah dengan menggunakan pendekatan PPH perlu memperhatikan beberapa aspek yaitu sebagai berikut :

1. Kondisi atau situasi pangan saat ini. Kondisi pangan saat ini didasarkan pada situasi produksi, penyediaan dan konsumsi pangan saat ini serta pada tren produksi, tren ketersediaan dan tren konsumsi pangan dan gizi.

2. Kondisi yang diharapkan. Perumusan perencanaan pangan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, gizi dan keragaman konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan.

3. Kondisi dan potensi sosial ekonomi serta agroekologi juga turut menentukan. Kondisi tersebut meliputi pendapatan keluarga, potensi agroekologi untuk produksi pangan, potensi agroindustri pangan dan potensi ekspor serta laju pertumbuhan penduduk.

4. Aspek regulasi dan kebijakan pangan baik tingkat global, nasional maupun lokal, turut menentukan.

Secara operasional, pola pikir ini diterjemahkan sebagai tahapan perencanaan penyediaan pangan sebagai berikut :

Page 21: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 21

(1) Evaluasi Skor PPH aktual

Perencanaan pangan daerah dengan menggunakan pendekatan PPH diawali dengan evaluasi skor mutu pangan (skor PPH aktual) wilayah. Evaluasi dilakukan terhadap data ketersediaan pangan wilayah karena pada dasarnya perencanaan pangan dengan pendekatan PPH ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyediaan pangan yang memenuhi syarat mutu (dalam hal ini komposisi) yang sesuai PPH.

(2) Proyeksi Skor PPH

Apabila evaluasi terhadap skor mutu pangan wilayah sudah dilakukan, maka pada tahap selanjutnya dilakukan penyusunan Proyeksi (proyeksi) skor mutu PPH yang akan dicapai. Diharapkan setiap wilayah mampu untuk mencapai skor PPH 100 pada tahun 2020. Penyusunan Proyeksi skor mutu pangan wilayah sebelum tahun 2020 antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier. Titik awal skor mutu adalah hasil perhitungan yang diuraikan pada butir 1 (evaluasi skor PPH aktual), sedangkan Proyeksi akhir skor mutu adalah Skor PPH 2020. Mengingat kondisi awal (skor PPH aktual), potensi produksi/penyediaan pangan antar daerah berbeda-beda, maka proyeksi tahunan skor mutu pangan daerah bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Tabel 2.3. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, Dan DEPTAN 2001

FAO-RAPA Meneg Pangan (1994)

Deptan (2001) No Kelompok Pangan

% Min-Max % Bobot Skor % Bobot*) Skor

gr/ kap/hr

1. Padi-padian 40.0 40.0 - 60.0 50.0 0.5 25.0 50.0 0.5 25.0 300.0 2. Umbi-umbian 5.0 0.0 - 8.0 5.0 0.5 2.5 6.0 0.5 2.5 100.0 3. Pangan hewani 20.0 5.0 - 20.0 15.3 2.0 30.6 12.0 2.0 24.0 150.0 4. Minyak dan lemak 10.0 5.0 - 15.0 10.0 1.0 10.0 10.0 0.5 5.0 25.0 5. Buah/biji berminyak 3.0 0.0 - 3.0 3.0 0.5 1.5 3.0 0.5 1.0 10.0 6. Kacang-kacangan 6.0 2.0 - 10.0 5.0 2.0 10.0 5.0 2.0 10.0 35.0 7. Gula 8.0 2.0 - 15.0 6.7 0.5 3.4 5.0 0.5 2.5 30.0 8. Sayur dan buah 5.0 3.0 - 8.0 5.0 2.0 10.0 6.0 5.0 30.0 250.0 9. Lain-lain 3.0 0.0 - 5.0 0.0 0.0 0.0 3.0 0.0 0.0 (25) 100 100 93.0 100 100

*) Rating disempurnakan atau dimodifikasi sesuai pola pangan harapan baru

berdasarkan anjuran FAO-RAPA (1989) dan prinsip penerapan sistim skor untuk penilaian konsumsi pangan berdasarkan Guthrie et al (1981), yaitu setiap kelompok pangan utama (tiga kelompok pangan utama) diberikan skor maksimum yang relatif sama, yaitu 33.3 bagi setiap kelompok pangan utama (berasal dari 100 dibagi 3). Kelompok pangan utama tsb adalah 1) pangan sumber karbohidrat dan energi (serealia, umbi-umbian, minyak dan lemak, dan buah/biji berminyak) dengan kontribusi energi 75 %; 2) pangan sumber protein/lauk-pauk (kacang-kacangan dan pangan hewani) dengan kontribusi

Page 22: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 22

energi 17 %; 3) pangan sumber vitamin dan mineral (sayur dan buah) dengan kontribusi energi 5 %; dan pangan lainnya (aneka minuman dan bumbu ) dengan kontribusi energi 3 %. Rating 0.5 diperoleh dari nilai 33.3 dibagi 75; rating 2.0 diperoleh dari nilai 33.3 dibagi 17; dan rating 5.0 diperoleh dari nilai 33.3 dibagi 6. Masing-masing hasil dibulatkan untuk kembali mendapatkan total skor PPH = 100. Lebih lanjut baca Hardinsyah, N. Sinulingga, dan D. Martianto (2000).

(3) Penyusunan Proyeksi Ketersediaan Pangan

Apabila Proyeksi skor mutu telah ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah menetapkan Proyeksi ketersediaan pangan wilayah mengacu pada Proyeksi skor mutu tersebut. Prinsip dasarnya adalah dengan mentransfer/mengkonversi kontribusi setiap kelompok pangan sesuai yang telah diProyeksikan (baik dalam satuan energi yaitu kkal maupun satuan berat yaitu gram), kedalam bentuk komoditas pangan. Jenis komoditas dan kontibusi masing-masing komoditas mengacu pada pola produksi/ketersediaan pangan setempat.

(4) Penetapan Strategi dan Langkah Implementasi

Pada penetapan strategi dan langkah implementasi, perlu membandingkan antara ketersediaan pangan harapan dan ketersediaan pangan aktual pada setiap kelompok/ komoditas pangan.

Ada dua alternatif sumber data yang digunakan dalam analisis dan perencanaan pangan berdasarkan pendekatan PPH yaitu data konsumsi yang berasal dari kegiatan survei sosial ekonomi nasional/daerah (SUSENAS/ SUSEDA oleh BPS); survei konsusmi pangan dan Gizi (SKG oleh Dinas Kesehatan) maupun survei pola konsumsi pangan (SPKP oleh Lembaga ketahanan pangan) dan data ketersediaan (neraca bahan makanan/NBM oleh Lembaga Ketahanan Pangan atau Departemen/ Dinas Pertanian). Penggunaan data SUSENAS/SUSEDA dilakukan untuk mengevaluasi situasi konsumsi pangan, sementara data NBM untuk mengevaluasi situasi ketersediaan pangan.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan sampai di tingkat rumahtangga maka data konsumsi pangan penduduk (baik data SUSENAS/ SKG/PPKM) aktual (pada tahun tertentu) disarankan untuk dimanfaatkan sebagai data dasar untuk pemantapan ketahanan pangan. Berdasarkan data konsumsi pangan dapat dihitung komposisi konsumsi pangan dan skor mutunya yang menggambarkan situasi konsumsi pangan aktual pada tahun yang bersangkutan. Terdapat 9 langkah untuk menghitung skor dan komposisi PPH aktual (susunan PPH), sebagai berikut :

1). Konversi bentuk, jenis, dan satuan Pangan yang dikonsumsi rumah tangga terdapat dalam berbagai bentuk. jenis dengan satuan yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan

Page 23: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 23

konversi ke dalam satuan dan jenis komoditas yang sama (yang disepakati). 2). Pengelompokan pangan menjadi 9 kelompok, yaitu :

a. Padi-padian meliputi beras dan olahannya, jagung dan olahannya, gandum dan olahannya

b. Umbi-umbian meliputi ubi kayu dan olahannya, ubi jalar, kentang, talas, dan sagu (termasuk makanan berpati).

c. Pangan hewani meliputi daging dan olahannya, ikan dan olahannya, telur, serta susu dan olahannya.

d. Minyak dan lemak meliputi minyak kelapa, minyak sawit, margarin, dan lemak hewani.

e. Buah/biji berminyak meliputi kelapa, kemiri, kenari, dan coklat. f. Kacang-kacangan meliputi kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau,

kacang merah, kacang polong, kacang mete, kacang tunggak, kacang lain, tahu, tempe, tauco, oncom, sari kedelai, kecap.

g. Gula meliputi gula pasir, gula merah, sirup, minuman jadi dalam botol/kaleng.

h. Sayur dan buah meliputi sayur segar dan olahannya, buah segar dan olahannya, dan emping.

i. Lain-lain meliputi meliputi aneka bumbu dan bahan minuman seperti terasi, cengkeh, ketumbar, merica, pala, asam, bumbu masak, terasi, teh dan kopi.

3). Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan, dengan tahapan :

a. perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM).

b. menjumlahkan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi menurut kelompok pangan. Contoh : jumlah energi kelompok padi-padian adalah 823 kkal (kolom 4, baris 1, Tabel 2.4)

4). Menghitung total konsumsi energi dari kelompok pangan 1 sampai dengan 9 (kolom 4, baris total, Tabel 2.4) Kolom 3 baris total merupakan hasil perhitungan total energi seluruh kelompok pangan (c1+ c2…..+c9). Kolom ini menunjukkan angka konsumsi pangan wilayah tertentu pada tahun tertentu. Contoh : jumlah konsumsi energi penduduk Kabupaten X pada tahun 2005 adalah 2000 kkal/kapita/hari .

5). Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1 s/d ke 9 (kolom 6 Tabel 2.4). Kolom ini merupakan langkah untuk menilai pola/komposisi konsumsi pangan dengan cara menghitung kontribusi energi menurut AKG dari setiap kelompok pangan dalam bentuk persen (%). Kolom 6 baris 1-9 diisi dengan cara membagi masing-masing energi kelompok pangan dengan AKG energi sebesar 2000 kkal/kapita/hari dikalikan 100%. Contoh :

- kontribusi energi dari kelompok padi-padian terhadap AKG adalah 823/2000 x 100 % = 41.2 % (kolom 6 baris 1).

- kontribusi total konsumsi energi terhadap AKG adalah 2000/2000 x 100 % = 100 %. Hasil ini menunjukkan mutu gizi konsumsi pangan penduduk Kabupaten X pada tahun 2005.

6). Menghitung Skor PPH (kolom 8 dan 9, Tabel 2.4)

Page 24: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 24

Terdapat perbedaan antara cara perhitungan PPH yang baru dengan yang lama. Perhitungan PPH yang lama menggunakan perbandingan antara energi yang dikonsumsi dengan total energinya sedangkan yang baru menggunakanperbandingan antara energi yang dikonsumsi dengan AKE nya. Selain itu, pada perhitungan PPH cara lam tidak dilakukan koreksi terhadap skor maksimal sehingga skor PPH dapat lebih dari 100. a. Tahap I : isi kolom 8 dengan cara mengalikan % kontribusi energi per

AKG (kolom 6) dengan bobot/rating (kolom 7). b. Tahap II : isi kolom 9 sesuai hasil pada kolom 8 dengan memperhatikan

batas skor maksimum. Jika skor AKG lebih tinggi dari skor maksimum, maka yang diambil adalah skor maksimum. Jika skor AKG lebih rendah dari skor maksimum, maka yang diambil adalah skor AKG. Skor PPH setiap kelompok pangan menunjukkan komposisi konsumsi pangan penduduk pada waktu/tahun tertentu.

7). Menghitung Total Skor Mutu Konsumsi Pangan Total skor mutu konsumsi pangan adalah jumlah dari skor kelompok padi-padian sampai dengan skor kelompok lain-lain. Total skor mutu konsumsi pangan penduduk berdasarkan perhitungan adalah 84,8 (Tabel 2.4). Angka ini disebut skor konsumsi pangan aktual, yang menunjukkan tingkat keragaman konsumsi pangan penduduk pada waktu/tahun tertentu.

Tabel 2.4. Susunan Pola Pangan Harapan Kabupaten X Tahun 2005

Konsumsi Energi (kkal/kap/hr)

Komposisi Pangan Skor PPH

PPH aktual No Kelompok Pangan

Harapan aktual 2020 (% AKG)

Bobot AKG Aktual

Skor maks (PPH)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1 Padi-padian 1000 823 50.0 41.2 0.5 20.6 20.6 25.0 2 Umbi-umbian 120 192 6.0 9.6 0.5 4.8 2.5 2.5 3 Pangan Hewani 240 241 12.0 12.0 2.0 24.1 24.0 24.0 4 Minyak dan Lemak 200 430 10.0 21.5 0.5 10.7 5.0 5.0

5 Buah/Biji berminyak 60 1 3.0 0.1 0.5 0.0 0.0 1.0

6 Kacang-kacangan 100 2 5.0 0.1 2.0 0.2 0.2 10.0 7 Gula 100 147 5.0 7.3 0.5 3.7 2.5 2.5 8 Sayur dan Buah 120 164 6.0 8.2 5.0 41.1 30.0 30.0 9 Lain-lain 60 1 3.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Total 2000 2000 100.0 100.0 84.8 100.0 2.5. Perencanaan Pertanian Kota dalam Mendukung Keberhasilan Program

Ketahanan Pangan

Secara konseptual perencanaan pembangunan dan pengembangan pertanian kota / kabupaten di Indonesia akan memberi dampak positif pada peningkatan kinerja ketahanan pangan. Perencanaan pertanian kota yang

Page 25: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 25

terarah dan diimplementasikan dengan baik intinya didasari oleh adanya perencanaan tata ruang dan wilayah yang benar dan konsisten dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu pemetaan kawasan sebagai data awal dalam implementasi program revitalisasi pertanian khususnya di perkotaan akan sangat penting dan menentukan pembangunan pertanian kota yang berkelanjutan dalam mendukung program ketahanan pangan. Keberhasilan program ketahanan pangan dalam jangka panjang akan berpengaruh pada kualitas sumberdaya manusia yang secara langsung dicirikan oleh 3 aspek, yaitu : Kesehatan (fisik maupun mental), Pendidikan dan Ekonomi, sebagaimana yang ditetapkan oleh UNDP dengan konsepsi Index Pembangunan Manusia (Human Development Index).

Kota Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat mempunyai daya tarik bagi penduduk wilayah lain untuk menetap, berusaha, bekerja atau menuntut ilmu. Hal ini menyebabkan situasi kependudukan di Kota Bandung sangat dinamis termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan karena Kota Bandung bersifat sebagai wilayah konsumen/pengimpor pangan. Dengan demikian fokus pemenuhan kebutuhan pangan terkait dengan perdagangan, distribusi dan pengembangan pola konsumsi pangan penduduk. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan keberlanjutan ketahanan pangan sampai di tingkat rumahtangga.

Dalam rangka mempersiapkan Kota Bandung dalam membangun kawasan pertanian kota yang ditawarkan adalah prinsip ”Berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta pemenuhan unsur ketahanan pangan yang memadai bagi masyarakat”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka rencana pembangunan pertanian disusun berdasarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Rencana Pembangunan

Pertanian Perkotaan

Page 26: No.10b Konsep Pertanian Kota2

LAPORAN PENELITIAN

II - 26

Kebutuhan pangan yang mencerminkan situasi ketahanan pangan dipenuhi dari produksi pangan, perdagangan pangan, cadangan pangan, dan bantuan pangan. Selain berbagai sumber tersebut, ketahanan pangan di suatu wilayah dipengaruhi oleh pendapatan dan dinamika penduduk. Produksi pangan sebagai basis pemenuhan kebutuhan pangan dipengaruhi keadan lahan dan luas kawasan. Hal ini menyebabkan pengelolaan manajemen lahan dan kawasan yang sangat dipengaruhi oleh dinamika penduduk dan kebijakan kelembagaan pangan sangat penting. Kebijakan kelembagaan pangan pun sangat berperan dalam perdagangan pangan terutama di daerah perkotaan yang sebagian besar bahan pangannya berasal dari wilayah lain. Seluruh aspek ini sangat mempengaruhi ketahanan pangan di suatu wilayah. Pada akhirnya bersama dengan bidang pendidikan dan kesehatan, ketahanan pangan akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia penduduk Kota Bandung.

Dari beberapa pokok pikiran yang telah dibahas pada paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana sebenarnya kaitan antara perencanaan sektor pertanian di perkotaan dengan ketahanan pangan, sebagaimana yang disajikan pada gambar berikut.

PEMETAAN KAWASAN

TATA GUNA LAHAN

KETAHANAN PANGAN

RTRW

KARAKTERISTIK PERTANIAN KOTA

PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN KOTA YANG SPESIFIK

PEMBANGUNAN PERTANIAN KOTA

YANG BERKELANJUTAN

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Studi