Nivi Stevens Johnson

Embed Size (px)

Citation preview

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

BAB I PENDAHULUAN1. LATAR BELAKANG Akhir-akhir ini dunia medis dikejutkan oleh maraknya pemberitaan terkait dengan dugaan malpraktek yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien mengalami kerusakan pada seluruh wajahnya yang diduga disebabkan karena alergi obat, yang diberikan oleh si dokter kepada pasien tersebut. Mungkin sebagian besar masyarakat telah mengetahui apa nama penyakit itu, yang disebut Steven Johnson Syndrome. Stevens Johnson Sindrom sangat menyita perhatian karena akibat yang ditimbulkan sangat berat, terutama kepada pasien. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006). SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan terakhir yang di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak sebagai SSJ. SSJ muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

1

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor tetapi terjadi ketidak setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli juga berpendapat bahwa sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi yang berbeda. Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui manifestasi SSJ dan tata laksananya.

2. EPIDEMIOLOGI Syndrome Stevens Johnson Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim semi dan musim dingin. Untuk kasus overlap SSJ/NET, NSAID oksikam (piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan sulfonamid merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kontras dengan negara-negara Barat, penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan Tenggara adalah allopurinol. Predominansi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio pria:wanita adalah 2:1. Kebanyakan pasien berusia antara 20-40 tahun, akan tetapi pernah dilaporkan terjadi kasus pada bayi berusia 3 bulan.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

2

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. DEFINISI Syndrome Stevens JohnsonTerdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli dan dokter. Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, Syndrome Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002) Syndrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis

( Junadi, 1982 : 480 ) Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

3

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Jadi syndrom steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata genital. Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, merupakan reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006). Sebagian besar penulis dan ahli juga berpendapat bahwa sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi yang berbeda. Walaupun beberapa skema klasifikasi telah dilaporkan, yang paling sederhana mengelompokkan penyakit ini sebagai berikut: 1. Sindrom Stevens-Johnson Bentuk minor dari NET, dengan luas permukaan tubuh yang terkena kurang dari 10%. 2. SSJ/NET Luas permukaan tubuh yang terkena sekitar 10-30%. 3. NET Luas permukaan tubuh yang terkena lebih dari 30%.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

4

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

2. ETIOLOGI Syndrome Stevens Johnson 1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia lanjut. 2. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karna imunitas belum berkembang sepenuhnya. 3. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negaranegara Barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama. 4. Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari dua pertiga pasien dengan SSJ. 5. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran napas atas.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

5

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

6. 4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik. a. Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS, infeksi virus coxsakie, hepatitis, influensa, variola, lymphogranuloma venerum dan infeksi ricketsia. b. Etiologi bakterial termasuk streptokokus grup A, difteria, bruselosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumoniae dan tifoid. c. Koksidioidomikosis, dermatofitosis danhistoplasmosis merupakan kemungkinan dari infeksi jamur. d. Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai penyebab dari protozoa. e. Pada anak-anak, EBV dan enterovirus telah diidentifikasi. f. Etiologi dari antibiotik termasuk penisilin dan sulfa. Antikonvulsan termasuk fenitoin, karbamazepin, asam valproat, lamotrigin dan barbiturat. g. Berbagai karsinoma dan limfoma juga dimasukkan sebagai faktor yang berhubungan. h. SSJ bersifat idiopatik pada 25-50% kasus.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

6

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

3. FAKTOR PREDISPOSISI Syndrome Stevens Johnson Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).

4. PATOFISIOLOGI Syndrome Stevens Johnson SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhirakhir ini kokain dimasukkan dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi. SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) dan reaksi hipersensitifitas tipe III (kompleks imun) menurut Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) : 1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

7

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

2. Stres

hormonal

diikuti

peningkatan resisitensi

terhadap

insulin,

hiperglikemia dan glukosuriat 3. Kegagalan termoregulasi 4. Kegagalan fungsi imun 5. Infeksi

Terjadinya SSJ dihubungkan dengan reaksi hipersensitifitas tipe III yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

8

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

9

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Berdasarkan hasil penelitian Steven J Parrillo, DO, FACOEP, FACEP Adjunct Professor, School of Health and Science, Philadelphia University, secara patologis, nekrosis sel menyebabkan pemisahan antara epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan ligannya, FasL, telah dihubungkan dengan proses seperti TNF-alfa. Peneliti telah menemukan peningkatan kadar FasL pada pasien dengan SSJ/NET sebelum pelepasan kulit atau inset dari lesi mukosa. Beberapa peneliti lain menghubungkan sitokin inflamatori pada patogenesis. Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat dari efek samping obat seperti SSJ. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap antigen leukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengan karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia. Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas, 2004).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

10

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat darurat, penelitian terhadap patofisiologi SSJ/NET dapat memberikan kesempatan pemeriksaan untuk membantu diagnosis selain untuk membantu pasien yang memiliki resiko.

5. RIWAYAT KLINIS Syndrome Stevens Johnson SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, coryza, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas. Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang

berkembang akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh kasus. Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

11

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006). Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN. Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) : a) Ruam

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

12

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

b) Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin c) Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. d) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. e) Bengkak di kelopak mata, atau mata merah. f) Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. Bila mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

13

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

6. PEMERIKSAAN FISIK Syndrome Stevens Johnson Trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson 1. Kelainan pada kulit a. Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen. b. Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik. c. Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. d. Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik. e. Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas. f. Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum. g. Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di batang tubuh. 2. Kelainan pada Selaput lendir di orifisium a. Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat genitalia, jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%). b. Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

14

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

esofagus. c. Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan d. Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas. e. Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit. 3. Kelainan Mata Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis. 4. Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan: a. Demam b. Ortostasis c. Takikardia d. Hipotensi e. Penurunan kesadaran f. Epistaksis g. Konjungtivitis h. Ulkus kornea i. Vulvovaginitis erosiva atau balanitis j. Kejang, koma

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

15

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG Syndrome Stevens Johnson Pemeriksaan Laboratorium : Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ. a) Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.

Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. c) Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam. d) Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani masalah lainnya. e) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya infeksi.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

16

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Pemeriksaan Radiologi: Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.

Pemeriksaan Histopatologi: Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur ruang gawat darurat. a) Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak

subepidermal. b) c) Nekrosis sel epidermal dapat dilihat. Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.

Pemeriksaan Bronkoskopi, esofagogastrodudodenoskopi dan kolonoskopi juga dapat dilakukan.

8. DIAGNOSA Syndrome Stevens Johnson Diagnosa didasarkan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

17

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).

9. DIAGNOSIS BANDING Syndrome Stevens Johnson Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson : 1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN. 2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).

10. PENATALAKSANAAN Syndrome Stevens Johnson Sebelum sampai ke rumah sakit, paramedis harus mengenali tanda tanda adanya kehilangan cairan yang banyak dan menangani pasien dengan SSJ sama dengan pasien yang mengalami luka bakar luas. Kebanyakan pasien memperlihatkan gejala awal yang mengarah kepada gangguan hemodinamik. Peran utama dokter UGD yang sangat penting adalah mendeteksi SSJ atau NET sesegera mungkin dan memulai penanganannya. Penghindaran dari agen yang menjadi penyebabnya merupakkan langkah yang sangat penting. Perkiraan waktu berhubungan erat dengan keadaan akhir pasien.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

18

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

1.

Penanganan di UGD harus dilakukan secara langsung untuk mengganti cairan dan koreksi elektrolit.

2. 3.

Lesi pada kulit ditangani sama seperti luka bakar. Pasien dengan SSJ harus ditangani dengan perhatian khusus terhadap airway dan stabilitas hemodinamik, status cairan, penanganan lesi kulit dan kontrol nyeri.

4.

Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Beberapa ahli menyarankan pemberian kortikosteroid, siklofosfamid, hemodialisis dan imunoglobulin. Rawat lesi oral dengan obat kumur. Anestesi topikal sangat berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan memberi kesempatan kepada pasien untuk mendapat cairan. Berikan profilaksis untuk tetanus. Bagian kulit yang mengalami lesi harus ditutup dengan kompres larutan NaCl fisiologis.

5.

Penyakit utama dan infeksi sekunder harus diidentifikasi dan diterapi. Obat yang menjadi penyebab harus langsung dihentikan.

6.

Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa ahli menyebutkan bahwa steroid merupakan kontraindikasi, terutama karena diagnosis masih belum pasti. Pasien dengan eritema multiforme yang disebabkan infeksi akan memburuk dengan pemberian steroid. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa steroid dan terapi imunoglobulin tidak meningkatkan atau memperbaiki keadaan umum pasien.

7.

Pada penelitian besar di Eropa, menemukan bahwa tidak ada cukup bukti

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

19

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

adanya

keuntungan

dari

berbagai

terapi

spesifik.

Studi

ini

memperhatikan mortalitas pasien yang diterapi dengan imunoglobulin IV dan kortikosteroid. Konsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi. Dermatologis merupakan konsultan yang paling tepat untuk menegakkaan diagnosis, dengan atau tanpa biopsi. a. Pada kasus-kasus yang berat sangat diperlukan bantuan dari ahli bedah plastik. b. Dokter penyakit dalam atau spesialis anak diperlukan untuk membantu penanganan pasien. c. Konsultasi dengan spesialis mata merupakan keharusan untuk pasien dengan gejala okular. d. Berdasarkan sistem organ yang terkena, konsultasi dengan

gastroenterologis, pulmonologis dan nefrologis sangat membantu.

11. MEDIKAMENTOSA Syndrome Stevens Johnson Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten pada terapi SSJ. Pemilihan antibiotik untuk infeksi bergantung kepada penyebab infeksi tersebut. Gejala klinis dan hasil laboratorium memperlihatkan bahwa infeksi pada aliran darah memastikan penggunaan antibiotik. Organisme yang paling umum antara lain Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan spesies Enterobacteriaceae.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

20

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin berguna jika diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan mortalitas dapat meningkat berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid. Imunoglobulin IV telah dijabarkan sebagai terapi dan profilaksis. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : a. b. Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. c. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan

penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. d. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. e. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

21

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

f. g. h.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

i.

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan a. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata. b. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).

12. Follow-Up Syndrome Stevens Johnson Untuk pasien rawat inap: 1. Kompres larutan garam fisiologis dapat diberikan pada kelopaak mata, bibir dan hidung. 2. Inspeksi harian sangat diperlukan untuk monitor adanya superinfeksi sekunder. 3. Antibiotik sistemik profilaksis tidak berguna terutama pada saat ini

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

22

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

dimana terdapat resistensi obat multipel. 4. Antibiotik diindikasikan pada kasus infeksi kulit atau traktus urinarius, dimana infeksi tersebut dapat menyebabkan bakteremia. Untuk pasien rawat jalan: 1. Walaupun pasien dengan eritema multiforme minor dapat diterapi rawat jalan dengan pemberian steroid topikal tetapi pasien dengan eritema multiforme mayor atau SSJ harus dirawat inap. 2. Penyebab dari eritema multiforme minor harus diperhatikan seksama. Beberapa ahli menyarankan follow-up setiap hari. Untuk pencegahan, pasien harus dihindarkan dari pajanan lanjutan terhadap agen yang menyebabkan SSJ. Rekurensi sangat mungkin terjadi.

13. PROGNOSIS Syndrome Stevens Johnson a. Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele. b. Adanya sekuele serius seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan prognosis pada sistem yang terkena. c. Sampai dengan 15% dari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum yang buruk. Bakteremia dan sepsis memainkan peranan penting sebagai penyebab utama peningkatan mortalitas. d. Skor SCORTEN menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan faktor resiko kematian pada SSJ dan NET. Variabel tersebut adalah: 1. Usia >40 tahun

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

23

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

2. Keganasan 3. Heart rate >120 4. Persentase awal dari pengelupasan epidermal >10% 5. Kadar glukosa serum >14 mmol/L 6. Kadar bikarbonat 10 mmol/L e. Angka mortalitas sebagai berikut: SCORTEN 0-1 3,2% SCORTEN 2 12,1% SCORTEN 3 35,3% SCORTEN 4 58,3% SCORTEN 5 atau lebih 90%

14. MORTALITAS DAN MORBIDITAS Syndrome Stevens Johnson Mortalitas secara primer ditentukan oleh banyaknya kulit yang terkelupas. Ketika pengelupasan kulit terjadi kurang dari 10%, angka kematian berkisar 1-5%. Akan tetapi, ketika pengelupasan kulit mencapai lebih dari 30%, angka mortalitas menjadi 25-35% dan mungkin mencapai 50%. Bakteremia atau sepsis juga berkontribusi terhadap kematian. Lesi akan terus bererupsi pada jasad sampai 2-3 minggu. Pembentukan pseudomembran mukosa dapat mengakibatkan scar mukosa dan kehilangan fungsi dari sistem organ yang terkena. Striktur esofagus dapat terjadi ketika terdapat manifestasi yang hebat pada esofagus. Rusaknya mukosa di trakeobronkial dapat mengakibatkan gagalnya pernapasan.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

24

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Sekuele okular dapat berupa ulserasi kornea dan uveitis anterior. Kebutaan dapat terjadi sekunder terhadap keratitis berat atau panoftalmitis pada 3-10% pasien. Stenosis vaginal dan scar penis pernah dilaporkan.

15. KOMPLIKASI Syndrome Stevens Johnson Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: a. b. c. Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi - Esophageal strictures Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina, tetapi dilaporkan jarang terjadi. d. e. Pulmonari pneumonia Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder f. g. Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002). Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan

perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

25

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

26

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

BAB III KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) dan tipe III (kompleks imun). Manifestasi SSJ pada kulit berupa eritema, vesikel, bula, kadang terdapat purpura, pada selaput lendir orifisium berupa vesikel dan bula yang gampang pecah, mata dapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis Necrotican dan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

27

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

28

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

LAMPIRAN FOTO

Pengelupasan kulit yang ekstensif pada pasien SSJ

Sindrom Stevens Johnson pada anak

Krusta kehitaman/hemorrhagik

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

29

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

Lesi pada mukosa mulut

Simblefaron

Konjungtivitis kataralis pada SSJ

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus

30

Nivi Chandiawati (406100121)

SYNDROME STEVENS JOHNSON

DAFTAR PUSTAKAAdithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:163-165. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139 Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142. Parrilo, S. : Steven Johnson Syndrome In Emergency Medicine. Philadelphia University. 2010. Access on : May 15, 2011. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview.Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin | FK UNTAR RSUD Kudus 31