17
193 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2) Mochammad Fikri NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI TOPENG LENGGER WONOSOBO RELIGIOUS VALUES OF PARIKAN GONDANGKELI IN WONOSOBO’S LENGGER MASK DANCE PERFORMANCE Mochammad Fikri Balai Bahasa Jawa Tengah Jalan Elang Raya Nomor 1, Mangunhardjo, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah Telepon (024)76744357, Faksimile (204) 76744356 Posel: mochammad.fi[email protected] Abstrak Parikan Gondangkeli merupakan salah satu sastra lisan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Parikan sangat menarik untuk dikaji sebab sepengetahuan peneliti kajian terhadap parikan ini masih sangat sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam Parikan Gondangkeli Tari Topeng Lengger Wonosobo. Pendekatan yang digunakan untuk meneliti parikan tersebut adalah pendekatan pragmatik, sebuah pendekatan dalam penelitian sastra yang akan menguak kebermanfaatan suatu karya sastra bagi masyarakat. Teori yang digunakan sebagai dasar telaah terhadap parikan tersebut adalah teori dimensi religiositas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark. Data penelitian ini adalah sebuah parikan yang berjudul Parikan Gondangkeli. Parikan tersebut merupakan salah satu parikan yang digunakan untuk mengiringi seni pertunjukan Tari Topeng Lengger Wonosobo. Data didapatkan dengan menggunakan metode telaah pustaka dan metode observasi atau metode pengamatan langsung ke lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi religiositas yang terepresentasi dalam Parikan Gondangkeli Tari Topeng Lengger Wonosobo adalah 1) dimensi religiositas keyakinan atau ideologi; 2) dimensi ritualistik; 3) dimensi ihsan; 4) dimensi pengetahuan atau pengalaman; dan 5) dimensi pengamalan dan konsekuensi. Kata Kunci: nilai-nilai, keagamaan, parikan Gondangkeli Abstract Parikan Gondangkeli is an oral literature in the tradition of both poetry and dance set within rich religious values. The parikan is very interesting to be investigated due to the lack of study of the area. This study aims to describe the religious values in the Gondangkeli Parikans performed in Lengger Wonosobo Mask Dance. The approach applied in this research is a pragmatic approach, an approach in literary research that reveals the usefulness of a literary work for society. The theory applied as the basis for the analysis is the theory of dimensions of religiosity put forward by Glock and Stark (1972). The data of this research cover any lines of parikan entitled Parikan Gondangkeli. The parikan is one of the various parikans sang as a accompaniment in the performing arts of the Wonosobo Lengger Mask Dance. A literature review and observation methods or direct observation method are applied in the data collecting procedure. The findings of this research show that the dimensions of religiosity represented in the Parikan Gondangkeli cover 1) religious belief; 2) ritualistic; 3) external practise, 4) religious exclusivity (knowledge or experience); and 5) personal practice and consequence dimensions. Keywords: values, religiosity, parikan of Gondangkeli Naskah Diterima 26 Agustus 2020—Direvisi Akhir 2 Oktober 2020—Diterima 5 Oktober 2020

NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

1932020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI TOPENG LENGGER WONOSOBO

RELIGIOUS VALUES OF PARIKAN GONDANGKELI IN WONOSOBO’S LENGGER MASK DANCE PERFORMANCE

Mochammad FikriBalai Bahasa Jawa Tengah

Jalan Elang Raya Nomor 1, Mangunhardjo, Tembalang, Semarang, Jawa TengahTelepon (024)76744357, Faksimile (204) 76744356

Posel: [email protected]

AbstrakParikan Gondangkeli merupakan salah satu sastra lisan yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Parikan sangat menarik untuk dikaji sebab sepengetahuan peneliti kajian terhadap parikan ini masih sangat sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam Parikan Gondangkeli Tari Topeng Lengger Wonosobo. Pendekatan yang digunakan untuk meneliti parikan tersebut adalah pendekatan pragmatik, sebuah pendekatan dalam penelitian sastra yang akan menguak kebermanfaatan suatu karya sastra bagi masyarakat. Teori yang digunakan sebagai dasar telaah terhadap parikan tersebut adalah teori dimensi religiositas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark. Data penelitian ini adalah sebuah parikan yang berjudul Parikan Gondangkeli. Parikan tersebut merupakan salah satu parikan yang digunakan untuk mengiringi seni pertunjukan Tari Topeng Lengger Wonosobo. Data didapatkan dengan menggunakan metode telaah pustaka dan metode observasi atau metode pengamatan langsung ke lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi religiositas yang terepresentasi dalam Parikan Gondangkeli Tari Topeng Lengger Wonosobo adalah 1) dimensi religiositas keyakinan atau ideologi; 2) dimensi ritualistik; 3) dimensi ihsan; 4) dimensi pengetahuan atau pengalaman; dan 5) dimensi pengamalan dan konsekuensi.

Kata Kunci: nilai-nilai, keagamaan, parikan Gondangkeli

AbstractParikan Gondangkeli is an oral literature in the tradition of both poetry and dance set within rich religious values. The parikan is very interesting to be investigated due to the lack of study of the area. This study aims to describe the religious values in the Gondangkeli Parikans performed in Lengger Wonosobo Mask Dance. The approach applied in this research is a pragmatic approach, an approach in literary research that reveals the usefulness of a literary work for society. The theory applied as the basis for the analysis is the theory of dimensions of religiosity put forward by Glock and Stark (1972). The data of this research cover any lines of parikan entitled Parikan Gondangkeli. The parikan is one of the various parikans sang as a accompaniment in the performing arts of the Wonosobo Lengger Mask Dance. A literature review and observation methods or direct observation method are applied in the data collecting procedure. The findings of this research show that the dimensions of religiosity represented in the Parikan Gondangkeli cover 1) religious belief; 2) ritualistic; 3) external practise, 4) religious exclusivity (knowledge or experience); and 5) personal practice and consequence dimensions.

Keywords: values, religiosity, parikan of Gondangkeli

Naskah Diterima 26 Agustus 2020—Direvisi Akhir 2 Oktober 2020—Diterima 5 Oktober 2020

Page 2: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

194 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

1. PENDAHULUAN

Tidak dapat dimungkiri jika bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat besar. Kekayaan budaya nasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari peranan budaya lokal yang memberikan sumbangsih terhadap budaya nasional. Setiap budaya lokal membawa warna dan identitas kelokalan yang menjadi ciri khas komunitas sosial pemiliknya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya keanekaragaman bentuk dan isi yang menjadikan bangsa Indonesia kaya budaya.

Kabupaten Wonosobo adalah salah satu wilayah yang memiliki peranan dalam memperkaya budaya nasional. Hal tersebut disebabkan banyaknya tradisi lisan yang dapat kita jumpai di daerah ini, baik yang material maupun yang nonmaterial. Di kabupaten ini akan ditemukan tradisi lisan: Amprak, Bundengan, Tari Topeng Lengger, mantra (pertanian, upacara-upacara keagamaan, dan upacara-upacara adat yang berkaitan dengan digelarnya suatu pementasan tradisi lisan), nyayian rakyat, parikan, Wayang Othok Obrul, dan tradisi lisan yang lainnya.

Salah satu tradisi lisan yang menarik minat penulis untuk meneliti adalah parikan. Parikan merupakan tradisi lisan yang digolongkan dalam ranah sastra lisan yang masuk dalam genre puisi. Parikan biasanya digunakan untuk mengiringi seni pertunjukan Tari Topeng Lengger. Melalui parikan ini penari akan menyesuaikan gerakan tari yang ditampilkan.

Parikan yang dilantunkan bukan hanya sekadar parikan. Parikan tersebut sarat dengan nilai-nilai budaya sekaligus memiliki nilai-nilai estetika yang sangat tinggi. Melalui diksi, rima, irama tradisi lisan ini memiliki kekuatan estetika yang luar biasa kuatnya sehingga memunculkan keindahan dan kebahagiaan batin bagi penikmatnya.

Parikan memiliki peran dan manfaat bagi masyarakat Wonosobo. Melalui tradisi lisan tersebut akan muncul proses transformasi nilai-nilai budaya luhur. Hal tersebut disebabkan tradisi lisan yang ada di wilayah ini sarat dengan nilai-nilai budaya yang dijadikan dasar dalam berinteraksi sosial. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa parikan memiliki fungsi sosial bagi masyarakat pemiliknya. Dalam parikan terepresentasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia sebagai makhluk individu dan persoalan-persoalan sosial yang muncul di lingkungan sosial masyarakat pemiliknya. Persoalan-persoalan tersebut dibuat parikan melalui sindiran, kritikan, humor, dan sentuhan-sentuhan sosial yang lebih manusiawi (Endraswara, 1994:183).

Sedyawati (dalam Kurnianto, 2020) menyebutkan bahwa kesenian tradisional memiliki peran dan fungsi, baik bagi komunitas sosial pemiliknya maupun komunitas sosial (penikmatnya di luar komunitas sosial pemilik) dalam kehidupan sosial komunitas sosial pemiliknya. Kesenian tradisional digunakan sebagai media dalam pelaksanaan ritual-ritual adat yang berkaitan dengan pemujaan terhadap Tuhan, ritual-ritual pendahuluan acara pementasan. Kesenian tradisional juga digunakan sebagai media untuk mentransformasi nilai-nilai luhur dari generasi tua ke generasi

Page 3: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

1952020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

muda. Selain itu, kesenian tradisional juga digunakan oleh komunitas sosial pemiliknya sebagai media untuk pemenuhan kebutuhan hiburan. Berdasarkan hal tersebut, masalah yang diteliti oleh penulis adalah nilai-nilai keagamaan apa saja yang terepresentasi dalam parikan Gondangkeli? Penelitian bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai keagamaan apa saja yang terepresentasi dalam parikan Gondangkeli. Sepengetahuan penulis, penelitian tentang Tari Topeng Lengger sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang memfokuskan pada persoalan parikan yang mengiringi pertunjukan Tari Topeng Lengger Wonosobo masih sedikit, apalagi yang memfokuskan pada parikan Gondangkeli. Ery Agus Kurnianto (2020) dalam makalahnya yang berjudul Kearifan Lokal dalam Parikan Tari Topeng Lengger Wonosobo menyatakan bahwa nilai-nilai luhur yang terepresentasi dalam Parikan Tari Topeng Lengger Wonosobo adalah keluhuran suatu budaya yang dimiliki oleh masyarakat pemiliknya. Keluhuran tersebut terwakili oleh lirik-lirik yang muncul dalam parikan tersebut. Lirik yang muncul dalam Parikan Tari Topeng Lengger berisi ajaran-ajaran moral yang dijadikan sebagai dasar manusia untuk menjalin hubungan dengan Tuhannya dan dengan manusia di sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena manusia diciptakan Tuhan memiliki dua peran yang harus sukses dijalankan saat dia ada di dunia. Peran tersebut adalah peran sebagai sosok individu dan sebagai sosok sosial. Secara garis besar, nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Parikan Tari Topeng Lengger Wonosobo dapat dikategorikan menjadi empat hubungan yaitu, hubungan manusia dengan Tuhan; hubungan manusia dengan komunitas sosialnya; hubungan manusia dengan alam; dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Penelitian ini bersifat melengkapi penelitian yang telah dilakukan karena penelitian ini hanya terfokus pada satu parikan saja, yaitu parikan Gondangkeli. Dengan memfokuskan pada satu parikan, kajian yang dilakukan memiliki sifat lebih mendalam dan tuntas. Hal tersebut mengakibatkan nilai-nilai religius yang terepresentasi dalam parikan tersebut dapat teridentifikasi secara keseluruhan.

2. KAJIAN TEORI

Nilai suatu karya sastra yang diciptakan oleh seorang penulis dikatakan memiliki nilai sastra jika di dalam karya tersebut muncul keseimbangan dan keselarasan antara kebermanfaatannya dan keindahannya. Keindahan dimunculkan dari diksi dan susunan bahasa yang baik dan estetik. Kebermanfaatan dapat dirasakan jika konten karya sastra memberikan nilai-nilai edukatif yang biasanya ditampilkan melalui alternatif-alternatif subjektif pengarang terhadap persoalan yang dimunculkannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa suatu karya sastra harus memiliki nilai estetika dan manfaat. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diutarakan oleh seorang ahli filsafat Yunani yang bernama Horatius dalam bukunya yang berjudul Ars Poetika

Page 4: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

196 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

yang menyatakan bahwa tujuan seorang pengarang menulis suatu karya sastra adalah memberikan kenikmatan dan kebermanfaatan. Istilah tersebut disebut dulce et utile. (dalam Teeuw, 1984:183). Suatu karya sastra dikatakan memberikan kenikmatan jika karya tersebut mampu memberikan hiburan bagi penikmatnya. Suatu karya sastra dikatakan memberikan kebermanfaatan jika karya sastra tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kegunaan dan bermanfaat bagi penikmatanya.

Parikan Gondangkeli memiliki dua unsur tersebut, yaitu keindahan dan kebermanfaatan. Keindahan tercipta dengan munculnya nilai-nilai estetika dari diksi, rima, dan irama yang dimunculkan saat parikan tersebut dituturkan ketika mengiringi seni pertunjukan Tari Topeng Lengger Wonosobo. Begitu tingginya nilai estetika yang muncul, pendengar serasa terpukau dengan larik-larik yang dituturkan. Hal tersebut mengakibatkan banyak penonton pertunjukan seni ini yang kesurupan saat mendengarkan tuturan parikan yang disajikan dengan mendayu-dayu dibalut dengan suasana yang sangat menyedihkan (berdasarkan informasi dari informan, Agus Wuryanto, wawancara dilaksanakan pada 26 Februari 2020). Kebermanfaatan jelas didapatkan dari parikan tersebut. Melalui parikan Gondangkeli, leluhur masyarakat Wonosobo memberikan petuah-petuah tentang hal yang sama sekali tidak dapat dihindari oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, yaitu kematian.

Ismawati (dalam Putri dkk., 2018:191) menyatakan bahwa nilai adalah sebuah kesepakatan yang bersifat abstrak. Nilai menjadi dasar atau acuan utama yang digunakan untuk mengidentifikasi persoalan yang sangat mendasar. Acuan tersebut mengkristal dalam pikiran dan mewujud menjadi suatu keyakinan masyarakat pemilik nilai. Nilai menjadi sesuatu yang sangat penting dan ditinggikan oleh komunitas sosial yang menyepakatinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan nilai yang disepakati menjadi dasar atau acuan yang sangat tinggi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal-hal tersebut mengakibatkan nilai memiliki sifat langgeng atau abadi dan tidak mundah menghilangkan atau mengantinya dengan yang lain.

Nilai-nilai kehidupan yang telah disepakati secara bersama menjadi sumber ide bagi pengarang dalam mencipta karya sastra. Melalui jalinan peristiwa pengarang mengemas nilai-nilai kehidupan melalui persoalan-persoalan dan alternatif subjektif untuk memecahkan persoalan tersebut. Nilai-nilai kehidupan itulah yang ingin disampaikan oleh pengarang bagi pembaca dalam mencari solusi atau jalan keluar terhadap konflik yang muncul dalam kehidupan. Hal tersebut, sesuai dengan pendapat Mangunwijaya (1982:11) yang menyatakan bahwa dari berbagai nilai yang muncul dalam kehidupan masyarakat dan terepresentasi dalam suatu karya sastra, satu nilai yang sangat penting adalah nilai religius. Hal tersebut disebabkan setiap karya sastra yang muncul awal mulanya adalah religius. Lebih lanjut Mangunwijaya menyatakan bahwa yang lebih ditekankan dan dilihat oleh religiositas adalah aspek atau hal-hal

Page 5: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

1972020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

yang ada di dalam hati, hati nurani yang selalu berbicara, aspek perilaku individu yang selalu menjadi misteri bagi individu yang yang lainnya, cita rasa yang totalitas (termasuk di dalamnya adalah aspek akal sehat, pikiran sehat, dan rasa humanisme) ke dalam individu setiap manusia (1982:11).

Nilai-nilai luhur dapat diidentifikasi dalam sastra lisan, baik itu dalam bentuk puisi maupun prosa. Sastra lisan adalah bagian dari folklore yang merepresentasikan kehidupan dan kebudayaan yang ada saat itu. Sastra lisan merepresentasikan adat-istiadat, dongeng, cerita tentang tokoh, ungkapan, dan lagu-lagu rakyat yang sarat dengan kandungan nilai-nilai luhur warisan leluhur (Webster dalam Rafiek, 2010:54). Berkaitan dengan hal tersebut, Hutomo (1991:2) menyatakan bahwa sastra lisan adalah bentuk karya sastra yang kandungan isinya merepresentasikan ekspresi kesusastraan warga yang menjadi anggota suatu kebudayaan komunitas sosial tertentu yang penyampaian dan penyebarannya dilakukan secara oral, dari mulut ke mulut satu, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Berkaitan dengan bentuknya, Danandjaja (1991:50) menggolongkan sastra lisan menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah puisi. Pantun adalah bagian dari puisi lama. Pantun dikenal di seluruh nusantara dengan sebutan atau nama yang berbeda. Masyarakat Jawa menyebut pantun dengan nama parikan.

Prabowo dkk. (2002:3) menyatakan bahwa parikan adalah salah satu jenis puisi tradisional Jawa yang memiliki kesamaan bentuk dan ciri dengan pantun. Sama halnya dengan pantun, parikan juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian sampiran dan bagian isi. Terkait dengan persoalan tersebut, R.S. Subalidinata (1994:47) menyatakan bahwa

Parikan iku lelagon kang kadadeyan saka rong ukara. Saben ukara ana kang isi 8 wanda, ana kang 12 wanda. Saben saukara kadadeyan saka rong gatra. Gatra kapisan ajeg 4 wanda, gatra kapindho 4 utawa 8 wanda. Ukara kapisan minangka purwaka utawa bebuka lan lumrahe ora duweni teges apaapa. Ukara kapindho mengku isis utawa wose, ing wekasane gatra migunakake purwakanthi guru swara.(Parikan merupakan salah satu jenis tetembangan yang terdiri atas dua kalimat. Setiap kalimat ada yang terdiri atas delapan suku kata, ada yang terdiri atas 12 suku kata. Setiap kalimat terdiri atas dua baris. Baris pertama terdiri atas empat suku kata, baris kedua terdiri dari 4 sampai dengan delapan suku kata. Kalimat pertama adalah pembuka yang tidak memiliki arti apa-apa. Kalimat kedua merupakan isi.)

Kedua definisi ahli tersebut menyatakan bahwa parikan adalah sastra lisan masuk dalam kategori puisi yang berada di tataran pantun. Parikan dan pantun sama, hanya berbeda nama. Istilah parikan digunakan oleh masyarakat Jawa, sedangkan istilah pantun digunakan oleh masyarakat Melayu. Bahkan pantun dan parikan memiliki ciri dan aturan yang sama.

Glock dan Stark dalam Ancok dan Fuad Nashori (2001: 76) menyatakan bahwa

Page 6: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

198 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

terdapat lima dimensi religiositas. Kelima dimensi tersebut adalah.1. Dimensi Keyakinan atau ideologi. Dimensi ini berisi pengaharapan-

pengharapan yang didasarkan pada pandangan teologis tertentu. Penganut keyakinan ajaran tertentu akan mengakui dan melaksanakan kebenaran-kebenaran doktrin teologis yang dianutnya. Setiap keyakinan akan ketuhanan akan mempertahankan keyakinan tersebut dan menjadikan penganutnya untuk menaati dan melaksanakan keyakinan tersebut.

2. Dimensi praktik agama, atau ritualistik. Dimensi ini dijadikan tolok ukur tentang ketaatan seseorang dalam melaksanakan kewajiban keyakinan yang dipilihnya. Misalnya, seberapa sering ia pergi ke rumah ibadah untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dipilihnya. Dimensi ini direalisasikan dalam perilaku keberagamaan yang berupa peribadatan upacara-upacara keagamaan.

3. Dimensi pengalaman dan pengetahuan adalah dimensi yang memiliki korelasi dengan pengetahuan dan kemampuan dalam memahami ajaran-ajaran suatu keyakinan yang diyakininya. Minimal manusia yang religius memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar tentang keyakinan yang dipilih, memiliki pengetahuan dasar tentang ritual-ritual yang harus dijalani dan memiliki pengetahuan dasar tentang kitab suci keyakinan yang dipilih.

4. Dimensi ihsan atau penghayatan. Dimensi ini berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap kedekatan diri dengan Tuhannya. Hal ini menyebabkan muncul suatu keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melihat dan mengawasi segala aktivitas yang dilakukan di dunia. Dimensi ini terealisasi dengan sifat dan perilaku syukur atas nikmat-Nya, dan kenikmatan dalam menjalankan ibadah.

5. Dimensi pengamalan dan konsekuensi yang memiliki korelasi yang sangat kuat dengan aktivitas-aktivitas pemilih keyakinan untuk merealisasikan ajaran-ajaran yang diyakini di lingkungan kehidupan sosialnya. Secara singkat, dikatakan bahwa dimensi ini berkaitan dengan posisi individu sebagai makhluk sosial. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berorientasi pada kebaikan terhadap sesama. Misalnya peduli terhadap sesama manusia, ramah, dan menjaga lingkungan.

Nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam parikan Gondangkeli pasti akan berkaitan dengan masyarakat pemiliknya. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan pragmatik yang mengacu pada kebermanfaatan karya sastra bagi masyarakat. Interpretasi terhadap nilai-nilai keagamaan akan terungkap dan peneliti akan mendeskripsikan makna-makna yang terepresentasi dalam sastra lisan ini, baik itu makna kata, bahasa, maupun makna yang dimunculkan dari simbol-simbol dalam sastra lisan tersebut.

Data penelitian ini adalah puisi lama yang bernama parikan Gondangkeli. Parikan tersebut digunakan sebagai data untuk mengidentifikasi, mengategorikan, dan mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang berwujud nilai-nilai keagamaan

Page 7: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

1992020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

masyarakat Wonosobo dalam tradisi lisan tersebut. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data adalah metode kepustakaan

dan metode observasi atau pengamatan. Metode kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, metode kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang parikan Gondangkeli. Peneliti juga menggunakan metode observasi atau metode pengamatan untuk mendapatkan deskripsi tentang masyarakat pemilik parikan Gondangkeli dan lingkungan sosial budayanya dengan peneliti langsung turun ke lapangan dan menemui beberapa tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang parikan Gondangkeli untuk mengali informasi.

Langkah atau tahapan analisis data dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan-tahapan analisasi, yaitu.1. Membaca dan memahami secara langsung teks parikan Gondangkeli yang

didapatkan dari informan saat peneliti melakukan pengamatan langsung ke lapangan.

2. Mentransliterasi data dari bahasa Jawa Wonosobo ke bahasa Indonesia.3. Membaca dan memahami hasil transliterasi data.4. Mengidentifikasi nilai-nilai keagamaan berdasarkan teori Glock dan Stark

tentang dimensi religiositas.5. Mengklasifikasikan hasil identifikasi berdasarkan lima dimensi religiositas yang

dikemukakan oleh Glock dan Stark.6. Menelaah hasil temuan identifikasi dan mendeskripsikan nilai-nilai keagamaan

yang terdapat dalam Parikan Gondangkeli.

3. PEMBAHASAN

3.1 Sekilas Tentang Parikan Gondangkeli Tari Topeng Lengger Wonosobo

Parikan Gondangkeli adalah salah satu jenis parikan yang digunakan untuk mengiringi seni pertunjukan Tari Topeng Lengger Wonosobo. Parikan ini menjadi salah satu parikan yang disukai dan diminati oleh penonton. Menurut informan, Agus Wuryanto (wawancara dilaksanakan pada 26 Februari 2020), saat parikan tersebut dituturkan dengan iringan alat musik gamelan, banyak penonton dan penabuh gamelan yang kesurupan. Irama parikan yang dipadu dengan terbangunnya suasana kesunyian dan kesedihan mengakibatkan penonton banyak yang terhanyut dengan suasana tersebut. Akibatnya banyak penonton yang pikirannya ngelangut sehingga mereka akan mudah kesurupan.

Penonton yang kehilangan kesadaran memperlihatkan perilaku-perilaku aneh yang mereka lakukan. Misalnya, ada yang menangis tersedu-sedu, ada yang merangkak-rangkak, berguling-guling, atau beranjak menari mengikuti tuturan

Page 8: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

200 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

parikan tersebut yang semakin ngelangut, sendu mendayu-dayu. Ada juga yang meminta makan dan minum dari sesaji yang disediakan. Setelah makan dan minum, orang yang kesurupan tadi menyemburkan makanan dan minuman ke arah penonton lain. Keanehan terjadi, banyak penonton yang terkena semburan tersebut tumbang, tak sadarkan diri. Kurnianto (2020:55) menyatakan bahwa parikan Gondangkeli pada dasarnya berisi tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi datangnya kematian. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menghidarkan manusia dari kematian. Parikan ini mengisahkan tentang keadaan seseorang yang sakratul maut sehingga tidak mampu melakukan negosiasi terhadap prosesi-prosesi yang dilakukan dalam acara kematian untuk mengiringi jalannya nyawa yang tercabut dari raganya. Pada saat kematian datang hanya kesendirian yang dialami di tanah seluas 1x2 meter. Hanya amal ibadah dan kebaikan di dunia yang menemani dan menyertainya. Secara etimologi kata Gondangkeli berasal dari dua kata, yaitu gondang (sebuah pohon besar yang biasanya tumbuh di tepi sungai, masyarakat Wonosobo menyebutnya pohon Elo) dan keli (dari bahasa Jawa yang memiliki makna ‘hanyut’). Biasanya pohon Elo memiliki buah yang jatuh ke sungai dan hanyut oleh aliran sungai. Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa buah yang jatuh dari pohon adalah hilangnya nyawa dari raga. Hanyut oleh aliran air sungai adalah gambaran ketidakberdayaan manusia untuk melawan arus kematian. Secara singkat dapat diintepretasikan bahwa kata gondangkeli memiliki makna ketidakmampuan makhluk hidup untuk menghindar dari berjalannya nyawa yang tercabut dari raganya. Berikut ini lirik Parikan Gondangkeli yang dilantunkan saat pertunjukan Tari Topeng Lengger Wonosobo.

PARIKAN LAGU GONDANGKELIAja guyang banyu Kali biyung, guyangana santen Kani biyungJangan guyur (dengan) air sungai, Ibu…guyurlah (dengan) santan kani, IbuOra bisa santen Kani bisanelah banyu kali rama.Tidak boleh santan kani, bolehlah (dengan) air sungai, Rama (Bapak)Aja blebet Sinjang Mori biyung, blebetana Sida Mukti biyungJangan dibungkus (dengan) kain mori panjang, Ibu…bungkuslah (dengan) (jarik) Sido Mukti, IbuAra bisa Sidamukti, bisanelah Sinjang Mori rama.Tidak boleh (jarik) Sido Mukti, bolehlah kain mori panjang, Rama (Bapak)Aja usung kayu empering biyung, usungana pupu wong kuning biyungJangan angkat (dengan) kayu (dari) bambu, Ibu..angkatlah (dengan) paha orang berwarna kuning, IbuOra bisa pupu wong kuning, bisanelah kayu empering rama.Tidak boleh paha orang berwarna kuning, bolehlah (dengan) kayu (dari) bambu, Rama (Bapak)Aja beled lemah kuburan biyung, beletana lemah pungkuran biyungJangan pakai tanah kuburan, Ibu..pakailah dengan tanah belakang rumah, Ibu

Page 9: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

2012020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

Ora bisa lemah pungkuran, bisanelah lemah kuburan rama.Tidak boleh tanah belakang rumah, bolehlah tanah kuburan, Rama (Bapak)Aja paes-paes watu biyung, paesana susu semungguwaru biyungJangan rias Watu, Ibu..riaslah dengan Susu Semungguwaru, IbuOra bisa susu semungguwaru, bisanelah paes watu rama.Tidak boleh Susu Semungguwaru, bolehlah dengan rias Watu, Rama (Bapak)Aja kirim-kirim tangis biyung, amung kirim-kirimlah pandonga biyungJangan kirim tangisan, Ibu..hanya kirim doa saja, IbuPisan iki ora kirimlah tangis, ananginglah kirim pandonga rama.Kali ini jangan kirim tangisan, tetapi kirimlah doa, Rama (Bapak)Ana tangis rayung-rayung biyung, tangise wong wedi mati biyungAda tangis meraung-raung, Ibu..tangisan orang yang takut mati, IbuMbok gedhunga mbok kuncia, wong mati masa wurunga rama.Sekalipun dikunci dan bersembunyi dalam rumah gedung, orang mati tidak bisa dibatalkan, Rama (Bapak)Sandangane ganti putih rama, tandane wis ra bisa mulih ramaPakaiannya berganti putih, Rama..pertanda sudah tidak bisa pulang, Rama (Bapak)Tumpakane kreta jawa, roda papat roda manungsa rama.Kendaraannya keranda (kereta jawa), beroda empat roda manusia, Rama (Bapak)Diluburi anjang-anjang rama, dikucuri sawur kembang rama.Di keranda yang tertutup, ditaburi bunga, Rama (Bapak)Sanak kadang pada nyawang, swara tangis kayak nembang rama.Saudara-saudara semua melihat, suara tangisan bagai nyanyian, Rama (Bapak)Jujugane omah gua rama, Bantal lemah tanpa klasa rama.Tujuannya rumah goa, Rama (Bapak)..berbantal tanah tanpa tikar, Rama (Bapak)Dikrubuti klabang ula, petheng dhedet tanpa kanca rama.Dikerumuni lipan dan ular, gelap gulita tanpa teman, Rama (Bapak)Sagondang-gondang keli rama, Bapa Biyung sampun seda rama.Sagondang-gondangkeli, Rama (Bapak)…Bapak-Ibu sudah meninggal, Rama (Bapak)Mbok Gembok aaa mbok kuncia wong mati mangsa wurunga ramaMeskipun kaukunci dan kaugembok, waktunya (orang) mati tidak akan batal, Rama (Bapak)

3.2 Nilai-Nilai Keagamaan yang Terdapat dalam Parikan Gondangkeli

Sastra bukanlah sesuatu karya yang datangnya secara tiba-tiba tanpa makna. Sastra tercipta melalui proses kreatif yang dikolaborasikan dengan fenomena-fenomena sosial serta daya imajinatif penciptanya. Oleh karena itu, sastra merupakan rekaman fenomena sosial dan kebudayaan yang mucul pada suatu era di komunitas sosial. Sastra sarat dengan nilai-nilai yang bersumber pada suatu budaya luhur

Page 10: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

202 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

komunitas sosial tertentu. Sastra merepresentasikan nilai, norma, dan agama suatu komunitas sosial tertentu yang terekam dalam benak dan pikiran penciptanya. Tidak menjadi suatu hal yang aneh jika lingkungan sosial pengarang memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam memberikan warna suatu karya sastra yang dihasilkan oleh penulisnya. Salah satu fenomena yang dijadikan sebagai bahan penciptaan sastra adalah fenomena sosial yang berkaitan dengan keyakinan atau agama. Mohamad (1969:89) menyatakan bahwa penulis yang menghadirkan pengalaman-pengalaman religiusnya di dalam karya yang dihasilkan disebut sebagai “wilayah yang belum banyak disentuh dan digarap dalam kasusastraan Indonesia.” Padahal, setiap karya sastra yang memiliki kualitas sastra yang tinggi adalah sastra yang memiliki jiwa religius (Mangunwijaya 1982:44) karena pada dasarnya setiap karya sastra adalah religius (Mangunwijaya 1982:11). Sebuah nilai yang sangat luhur yang mencerminkan keterikatan manusia terhadap Sang Penciptanya (Dojosantoso, 1986:3). Parikan Gondangkeli sarat dengan nilai-nilai religiositas. Parikan tersebut mengingatkan manusia mengenai kematian yang tidak dapat dilawan oleh siapa pun dan apa pun. Hanya Sang Causa Prima yang memiliki kuasa untuk menentukan kapan dan siapa yang akan dipertemukan oleh maut tersebut tanpa kenal batas usia, harta kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan sosial. Untuk mengidentifikasi nilai-nilai religiositas digunakan teori dimensi religiositas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark. Teori tersebut diterapkan dan digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi nilai-nilai religiositas ke dalam dimensi religiositas. Berikut ini hasil identifikasi dan klasifikasi nilai-nilai religiositas yang terdapat dalam parikan Gondangkeli.

3.2.1 Dimensi Keyakinan atau Ideologi.

Dimensi ideologi atau keyakinan didasarkan pada keyakinan manusia untuk menerima dan meyakini kebenaran ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Keyakinan tersebut bersifat permanen dan tidak mudah untuk digeser atau dihilangkan. Keyakinan tersebut dapat berupa kepercayaan terhadap dogma tentang sifat yang dimiliki Tuhan, adanya dikotomi, orang baik masuk surga dan jahat masuk neraka, keyakinan akan kebenaran kisah-kisah para nabi, dan keyakinan tentang kematian, maut, rejeki, dan jodoh sudah ditentukan atau diatur oleh Tuhan.

Dimensi keyakinan atau ideologi terepresentasi melalui larik-larik parikan Gondangkeli yang dapat diintepretasikan sebagai simbol yang menunjukkan perilaku keyakinan masyarakat Wonosobo terhadap kebenaran-kebenaran agama, dalam hal ini adalah agama Islam.

Kematian dan umur manusia sudah ditetapkan oleh Allah. Akan tetapi, cara dan kapan, serta dalam kondisi bagaimana, usaha manusia yang menentukan. Usaha tetaplah usaha, jika Allah sudah berkehendak, tidak akan ada satu kekuatan pun yang

Page 11: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

2032020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

dapat menahan atau pun menghindarinya. Kun Fayakun adalah kalimat yang menunjukkan kedahsyatan Allah. Dalam

Q.S. Yasin ayat 28 dinyatakan bahwa “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: jadilah! maka terjadilah ia” tidak akan ada satu kekuatan manusia pun yang mampu menahan kehendak Allah. Hal tersebut terepresentasi dalam parikan Gondangkeli dalam larik berikut ini.

Mbok gedhunga mbok kuncia, wong mati masa wurunga rama.(Sekalipun dikunci dan bersembunyi dalam rumah gedung, orang mati tidak bisa dibatalkan, Rama)Mbok Gembok aaa mbok kuncia wong mati mangsa wurunga rama(Meskipun mengunci dan menggembok, waktu mati tidak akan batal, Rama)

Kutipan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dimensi keyakinan. Hal tersebut disebabkan kutipan ini merepresentasikan rukun iman yang pertama dalam keyakinan agama Islam, yaitu iman kepada Allah. Iman memiliki makna menyatakan kebenaran dan pengakuan melalui lisan, membenarkan dengan nurani, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perilaku atau perbuatan. Salah satu bentuk sikap dan perilaku yang menggambarkan tingkat keimanan manusia kepada Allah adalah mengakui dan menyakini bahwa Allah adalah zat yang maha segala maha. Mengakui dan meyakini bahwa Allah adalah sumber kekuatan yang tidak tertandingi. Percaya bahwa Allah adalah causa prima, merepresentasikan bahwa hal tersebut adalah bentuk iman kepada Allah.

Kedua, larik tersebut mengintepretasikan bahwa tidak ada satu kekuatan manusia yang mampu menahan kekuatan Allah. Klausa Mbok gedhunga mbok kuncia dan Mbok gembok aaa mbok kuncia adalah bentuk usaha manusia untuk menghindarkan diri dari kematian. Bagaimana pun usaha manusia, sembunyi ke ruang lain, kemudian ruang tersebut dikunci dan digembok dengan tujuan agar tidak disambangi oleh kematian merupakan usaha yang sia-sia, tatkala Allah sudah menentukan ajalnya. Kekuasaan Allah yang tidak tertandingi dan manusia mengakui hal tersebut terepresentasi dalam klausa wong mati masa wurunga rama yang dapat diintepretasi bahwa kematian tidak dapat dibatalkan atau dihindari. Hal tersebut merupakan bentuk nyata keimanan masyarakat Wonosobo yang mengakui kekuasaan dan kekuatan Allah atas dirinya. Manusia hanyalah ciptaan Allah dan ketika Allah menghendaki manusia untuk kembali pada-Nya, maka hal tersebut tidak akan dapat terhindarkan.

3.2.2 Dimensi Peribadatan

Dimensi peradaban adalah bentuk praktik dari keyakinan yang kita pilih. Berdoa dan meminta serta memohon belas kasih dan bantuan kepada Allah adalah bentuk praktik secara langsung bahwa manusia menyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah yang menciptakan seluruh makhluk hidup dan seluruh isi alam semesta

Page 12: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

204 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sifat-sifat Allah yang tercantum dalam Asmaul Husna harus betul-betul diyakini. Bahwa Allah adalah Maha Pengasih dan Pemurah. Oleh karena itu, sudah diwajibkan kepada manusia memohon pelindungan dan pertolongan hanya kepada Allah melalui doa. Aktivitas berdoa merupakan bentuk praktik dari keimanan. Dengan berdoa manusia telah melaksanakan perintah-Nya. Hal tersebut jelas terepresentasi dalam parikan Gondangkeli berikut ini.

Aja kirim-kirim tangis biyung, amung kirim-kirimlah pandonga biyungJangan kirim tangisan, Ibu..Hanya Kirim doa saja, IbuPisan iki ora kirimlah tangis, ananginglah kirim pandonga rama.Kali ini jangan kirim tangisan, tetapi kirimlah doa, Rama

Kutipan tersebut merepresentasikan bahwa jangan menangisi orang yang meninggal dunia. Menangisi dan meratapi kepergian orang yang telah dipanggil Tuhan bukanlah cara jitu untuk kebahagiaan orang yang telah meninggal. Tangisan dan ratapan tidak akan pernah mengubah apa yang telah menjadi keputusan-Nya dan mengurangi beban dosa yang telah dilakukan manusia selama hidup di dunia. Jalinan komunikasi dari aktivitas menangis dan meratap adalah jalinan antarmanusia. Manusia yang satu bersedih hati dengan ditinggal selama-lamanya oleh manusia yang lainnya.

Orang yang ditinggal meninggal seharusnya mengirimkan doa. Memohon kepada Allah agar orang yang meninggal diampuni dosanya, dilapangkan kuburnya, dan diterima segala amal kebaikannya selama dia hidup di dunia. Dengan berdoa berarti manusia berusaha untuk memohon dan meminta apa yang menjadi kehendaknya kepada Sang Segala Pemilik. Melalui aktivitas berdoa akan terjalin hubungan secara langsung antara manusia dengan Allah.

Meminta bantuan dan pertolongan kepada Allah melalui doa merupakan salah satu bentuk ibadah manusia kepada Allah. Melalui berdoa akan muncul ungkapan-ungkapan kesadaran nurani secara langsung untuk meminta pertolongan dan bantuan kepada Allah. Muhammad Rosulullah SAW bersabda, “Tiada sesuatu yang paling berharga dalam pandangan Allah, selain dari doa kepada-Nya, sedang kita dalam keadaan lapang.” (HR. Al-Hakim). Oleh karena itu, berdoa masuk ke dalam dimensi peribadatan.

3.2.3 Dimensi Pengalaman dan Pengetahuan

Dimensi pengalaman dan pengetahuan religiositas pada intinya berdasarkan pada penyaksian terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan agama. Pengalaman tersebut akan diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ritual keagamaan, misalnya ritual tentang memakamkan orang yang telah meninggal. Apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan hanya akan dapat

Page 13: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

2052020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

dilaksanakan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Hal tersebut secara gamlang terepresentasi dalam Parikan Gondangkeli berikut ini.

Sandangane ganti putih rama, tandane wis ra bisa mulih rama.Pakaiannya ganti yang putih, Rama. Pertanda sudah tidak bisa pulang, Rama.Tumpakane kreta jawa, roda papat roda manungsa rama.Kendaraannya keranda, beroda empat roda manusia, Rama.Diluburi anjang-anjang rama, dikucuri sawur kembang rama.Di keranda tertutup, Rama Ditaburi bunga, Rama.Jujugane omah gua rama, Bantal lemah tanpa klasa rama.Menuju rumah goa, Rama. Berbantal tanah tanpa tikar, Rama.

Larik-larik Parikan Gondangkeli tersebut dapat dikategorikan ke dalam dimensi pengalaman, yakni pengalaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan mengurus jenazah. Kutipan tersebut merepresentasikan bagaimana seharusnya mengurus jenazah seseorang yang memiliki keyakinan beragama Islam. Jenazah pasti dibungkus kain putih/kain mori, bukan sembarang kain dan sembarang warna. Ketika akan dimakamkan jenazah akan diangkat dengan keranda. Orang yang mengangkat diibaratkan dengan tanda roda manungsa. Keranda tersebut kemudian ditutup rapat dengan kain sehingga jenazah tidak akan kelihatan. Setelah dimakamkan, kuburannya akan ditaburi bunga oleh kerabat dan sahabat sebelum ditinggal. Jenazah akan dimakamkan di dalam tanah dengan berbantal tanah tanpa alas apa pun selain kain mori. Hal-hal tersebut tidak dapat dilakukan jika seseorang tidak memiliki pengalaman bagaimana tatacara mengurus jenazah sampai pemakamannya. Hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan akan secara tegas dapat didikotomi jika seseorang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan jenazah. Larangan-larangan tersebut terepresentasi dalam kutipan berikut ini.

Aja blebet Sinjang Mori biyung, blebetana Sida Mukti biyungJangan dibungkus (dengan) kain mori panjang, Ibu. Bungkuslah (dengan) (jarik) Sido Mukti, IbuAra bisa Sidamukti, bisanelah Sinjang Mori rama.Tidak boleh (jarik) Sido Mukti, bolehlah kain mori panjang, Rama.Aja usung kayu empering biyung, usungana pupu wong kuning biyungJangan angkat (dengan) kayu (dari) bambu, Ibu. Angkatlah (dengan) paha orang berwarna kuning, IbuOra bisa pupu wong kuning, bisanelah kayu empering rama.Tidak boleh paha orang berwarna kuning, bolehlah (dengan) kayu (dari) bambu, Rama.Aja beled lemah kuburan biyung, beletana lemah pungkuran biyungJangan beled tanah kuburan, Ibu..Beletana dengan tanah belakang rumah, IbuOra bisa lemah pungkuran, bisanelah lemah kuburan rama.Tidak boleh tanah belakang rumah, bolehlah tanah kuburan, Rama

Page 14: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

206 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

Aja paes-paes watu biyung, paesana susu semungguwaru biyungJangan rias Watu, Ibu..Riaslah dengan Susu Semungguwaru, IbuOra bisa susu semungguwaru, bisanelah paes watu rama.Tidak boleh Susu Semungguwaru, bolehlah dengan rias Watu, Rama

Kutipan tersebut merepresentasikan dikotomi secara jelas apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Jenazah orang yang ketika masih hidup memiliki keyakinan untuk memeluk agama Islam, harus dibungkus kain mori, tidak boleh kain yang lain meskipun kain tersebut kualitas lebih baik dari kain mori dan harganya lebih mahal dari kain mori. Jenazah dimakamkan di tempat pemakam, jangan dimakamkan di belakang rumah meskipun tanah di belakang rumah sangat luas dan sangat bagus dibandingkan dengan tanah kuburan. Sebagai tanda digunakan batu nisan, bukan susu semungguwaru.

3.2.4 Dimensi Pengamalan

Dimensi pengamalan adalah wujud nyata dari tindakan seseorang dalam mempraktikan segala ilmu keyakinan agama yang dipilihnya dalam kehidupan sosialnya. Dimensi pengamalan berorientasi pada tindakan-tindakan yang membawa dampak positif bagi orang lain atau lingkungan sosial. Dimensi pengamalan adalah wujud ibadah yang berhubungan dengan manusia atau makhluk hidup lainnya yang ada di dunia. Ketika seseorang berada dalam situasi tidak berdaya, maka wajib hukumnya untuk ditolong. Kalimat dalam Parikan Gondangkeli berikut ini merepresentasi kondisi dimensi pengamalan.

Tumpakane kreta jawa, roda papat roda manungsa rama.Kendaraannya keranda, beroda empat roda manusia rama.

Roda manungsa adalah simbol orang mengangkat jenazah yang diletakkan dalam keranda. Hal tersebut merepresentasikan sebuah tindakan yang membawa kebaikan bagi orang lain. Datang ke rumah duka, mengucapkan bela sungkawa, dan mendoakan, serta ikut menggotong keranda adalah satu dari hak orang muslim atas muslim lainnya. Datang ke rumah duka dan menjadi roda manungsa merupakan suatu tindakan yang mengindikasikan bahwa seseorang memiliki pemahaman yang peka atas kehidupan sosial. Kehidupan bukan hanya sekadar hal-hal yang menggembirakan, membahagiakan, dan menyenangkan. Kehidupan layaknya dua mata sisi uang logam. Yang mana ada kebahagiaan pasti ada kesedihan. Oleh karena itu, ketika kesedihan dan penderitaan datang seorang yang memiliki keyakinan tentang nilai-nilai agama berkewajiban untuk meringankan penderitaan tersebut. Dengan cara seperti itu, seseorang telah melakukan kebaikan untuk orang lain. Hal tersebut merupakan dimensi pengamalan dari ajaran-ajaran agama yang dipilih oleh seseorang.

Page 15: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

2072020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

3.2.5 Dimensi Ikhsan

Penghayatan terhadap ajaran-ajaran agama sehingga memunculkan kesadaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bermuara pada kebaikan dan kebahagiaan terhadap agama yang dipilihnya adalah salah satu bentuk dimensi ikhsan. Parikan Gondangkeli merepresentasikan hal tersebut dan memunculkan kesadaran dalam diri manusia mengenai kematian. Hal tersebut terepresentasi dalam kutipan berikut ini.

Sandangane ganti putih rama, tandane wis ra bisa mulih rama.Pakaiannya ganti yang putih, Rama. Pertanda sudah tidak bisa pulang, Rama.Tumpakane kreta jawa, roda papat roda manungsa rama.Kendaraannya keranda, beroda empat roda manusia, RamaDiluburi anjang-anjang rama, dikucuri sawur kembang rama.Di keranda tertutup ditaburi bunga, Rama.Sanak kadang pada nyawang, swara tangis kayak nembang rama.Saudara-saudara semua melihat, suara tangisan bagai nyanyian, Rama.Jujugane omah gua rama, Bantal lemah tanpa klasa rama.Menuju rumah goa, Rama. Berbantal tanah tanpa tikar, Rama.Dikrubuti klabang ula, petheng dhedet tanpa kanca, rama.Dikerumuni lipan dan ular, gelap gulita tanpa teman, Rama

Kesadaran tentang kematian yang didapatkan dari kutipan tersebut adalah sebanyak apa pun harta benda yang dikumpulkan di dunia, setinggi apa pun kedudukan sosial yang diraih, dan setinggi apa pun pangkat yang diraih, semuanya tidak akan ada artinya ketika ajal telah menjemput. Semua diperlakukan sama. Pakaian jas yang harganya puluhan juta ditinggal dan pakaian yang dipakai hanyalah kain mori putih ukuran 2 meter. Rumah mewah yang luasnya ratusan meter ditinggal, yang ditempati hanyalah tanah kuburan seluas 1x2 meter. Bantal-guling dari bulu angsa diganti dengan bantal dan guling tanah. Selimut dari bulu domba tidak terpakai, tidur beralaskan tanah tanpa selimut apa pun kecuali kain mori. Sahabat, kerabat, anak, dan istri tidak akan pernah mau menemani. Temannya berganti menjadi kelabang dan ular. Gelap gulita yang hanya menyertai setiap harinya. Kesadaran yang didapat adalah pembelajaran bagi manusia-manusia yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta benda, memenuhi setiap nafsu duniawi dengan menghalalkan segala cara. Hal tersebut disebabkan dalam diri setiap manusia memiliki nafsu dan keinginan untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta benda. Dengan harta benda manusia mampu memenuhi semua kebutuhannya, melakukan apa yang menjadi keinginannya, bahkan mampu memutrabalikkan kebaikan menjadi kejahatan dan kejahatan menjadi kebaikan.

Kematian seharusnya mengingatkan bahwa semua harta benda yang dikumpulkan tidak akan dapat menolong dan menyertai ketika raga telah ditanam di tanah, dan jiwa telah terpisah. Hanya kebaikan dan amal ibadah yang akan menemani

Page 16: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

208 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Nilai-nilai Keagamaan ...

dan membantu untuk meringankan beban. Oleh karena itu, parikan Gandangkeli ini seharusnya menjadi pengingat untuk setiap manusia agar selalu berjalan di jalan yang telah ditentukan oleh Tuhannya, menjauhi semua larangan-Nya, dan menjalani apa yang telah menjadi perintah-Nya. Karena kematian tidak akan dapat ditunda dan dihindari meskipun manusia berusaha untuk bersembunyi dan mengunci diri di dalam gedung.

4. SIMPULAN Sastra lisan yang bernama parikan Gondangkeli sarat dengan nilai-nilai keagamaan yang akan mengingatkan manusia tentang hidup dan kehidupan. Proses kematian yang terkandung di dalam sastra lisan tersebut memiliki kekuatan untuk menyadarkan manusia agar selain memenuhi kebutuhan duniawi, kebutuhan akhirat juga harus terpenuhi. Dari hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa parikan Gondengkeli merepresentasikan 5 dimensi religiusitas. Kelima dimensi tersebut adalah. 1. Dimensi keyakinan atau ideologi terepresentasi melalui prilaku mengakui

dan meyakini akan kekuatan Tuhan yang tidak pernah tertandingi. Salah satu buktinya adalah kematian. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menunda, menghindarkan diri, dan menyelamatkan diri dari kematian. Hal tersebut membuktikan bahwa Tuhan adalah causa prima.

2. Dimensi praktik terepresentasi dalam bentuk tindakan ibadat, yaitu berdoa. Ketika ada seseorang yang meninggal dunia, bukan menanggis yang seharusnya dilakukan, melainkan berdoa kepada Tuhan agar yang meninggal dilapangkan kuburnya, diampuni dosanya, dan diterima semua amal ibadahnya.

3. Dimensi pengalaman atau pengetahuan yang terepresentasi adalah pengetahuan tentang prosesi kematian. Melalui pengetahuan dan pengalaman mengurus jenazah akan dapat diidentifikasi mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan pada saat mengurus jenazah.

4. Dimensi pengamalan terepresentasi melalui tindakan datang ke rumah duka dan melakukan sesuatu yang dapat meringankan beban, misalnya dengan ikut serta membantu menggotong jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir.

5. Dimensi ikhsan terepresentasi melalui kesadaran seseorang tentang kematian. Kematian akan mengingatkan kembali kepada manusia bahwa hidup di dunia tidak akan kekal. Harta benda yang dikumpulkan tidak akan mampu menghindarkan manusia dari ajal. Oleh karena itu, hindari perbuatan-perbuatan buruk dalam proses pengumpulan harta benda.

Page 17: NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM PARIKAN GONDANGKELI TARI

2092020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Mochammad Fikri

DAFTAR PUSTAKAAncok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. 2001. Psikologi Islami: Solusi Islam atas

Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:

GrafitiDojosantoso. 1986. Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka IlmuEndraswara, Suwardi. 1994. Parikan sebagai Wahana Pengentasan Kemiskinan. Yogyakarta:

Cakrawala PendidikanHutomo, Sadi, Suripan. 1991. Mutiara yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Daerah.

Jatim: HISKIKurnianto, Ery Agus. 2020. Kearifan Lokal dalam Parikan Tari Topeng Lengger Wonosobo.

Jurnal Undas. Volume 16/1. Halaman 47—64.Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Sinar Harapan.Mohamad, Goenawan. 1969. “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini.” Dalam

Antologi Esai tentang Persoalan-Persoalan Sastra Satyagraha Hoerip. 1969. Jakarta: Sinar kasih

Rafiek. Muhammad. 2010. Teori Sastra, Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT Refika Aditama

Subalidinata. 1994. Kawruh Paramasastra Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Utama.Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.Prabowo, Dhanu Priyo, dkk. 2002. Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa. Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.Putri, Rina Melani, dkk. 2018. Nilai-Nilai Religiusitas dalam Novel Tasbih Cinta di Langit Moskow Karya Indah El-Hafidz. Jurnal Ilmiah Korpus. Vol. 2/2. Halaman 190—199.