Upload
vuongtu
View
232
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
NIAS
Nias (bahasa Nias Tano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat
pulau Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih
memiliki budaya megalitik. Daerah ini merupakan obyek wisata penting seperti selancar
(surfing), rumah tradisional, penyelaman, fahombo (lompat batu).
Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa. Agama
mayoritas daerah ini adalah Kristen Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat
kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat,
Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Keadaan iklim Kabupaten Nias di pengaruhi
oleh Samudra Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum
31°C. Kecepatan rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata
maksimum sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara.
Pulau Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai
2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %.
Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan suhu udara berkisar antara
17,0ºC – 32,60ºC.
Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta
pegunungan dengan tinggi di atas laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran
rendah hingga bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit
28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan. Akibat kondisi
alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungai-sungai kecil, sedang, atau besar
ditemui hampir diseluruh kecamatan.
ASAL USUL NIAS
1. Berdasarkan Mitologi
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah
pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang
bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan
manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9
orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta
Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang
menginjakkan kaki di Pulau Nias.
2. Berdasarkan Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999.
Penelitian ini menemukan bahwa “Sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000
tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa Paleolitik,
bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau” kata Prof. Harry Truman
Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu
hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias,
sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah
yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara,
berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan
datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu
Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular
Biology, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil
temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013).
Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar 10 tahun ini Oven dan anggota
timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias.
Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada
lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa
Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang
ditemukan menunjukkan, manusia yang menempati goa tersebut berasal dari masa
12.000 tahun lalu.
”Keragaman genetika masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan
populasi masyarakat lain, khususnya dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan
pernah terjadinya bottleneck (kemacetan) populasi dalam sejarah masa lalu Nias,”
katanya.ss
(sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Nias)
3. Berdasarkan DNA
Mannis Van Oven menemukan keunikan orang Nias, setelah meneliti selama
sepuluh tahun. Ia mengumpulkan 407 sampel darah dari 11 klan atau marga yang tersebar
di Nias bagian selatan hingga utara. Darah orang Nias dikirimkan ke Jerman untuk
ekstraksi asam deoksiribonukleat (DNA), lalu dibawa ke Rotterdam untuk dianalisis.
Pria 30 tahun ini berfokus pada analisis DNA di dalam kromosom Y yang
melacak garis keturunan ayah dan DNA mitokondria untuk melacak garis keturunan ibu.
Pelacakan bermuara pada haplogroup, pengelompokan manusia ke dalam klan atau marga
purba berdasarkan marka genetik dengan pola unik yang disebut Single-Nucleotide
Polymorphism (SNP).
SNP merupakan perubahan kecil dalam DNA yang terjadi secara alami dari waktu
ke waktu. Munculnya SNP pada satu generasi akan menjadi penanda garis keturunan unik
yang diwariskan ke generasi selanjutnya. Inilah yang ditangkap oleh Van Oven untuk
memetakan asal-usul suku Nias. “Manusia dari klan purba yang sama akan berbagi pola
SNP yang sama,” katanya.
DNA Ono Niha–sebutan setempat untuk orang Nias–miskin variasi. Hanya dua
marka genetik kromosom Y yang ditemukan, yaitu O-M119 dan O-M110. Kedua
penanda ini hanya ditemukan pada suku bangsa asli Taiwan yang memulai penyebaran
ras Austronesia yang kini mengisi wilayah dari Madagaskar, Asia Tenggara, Papua,
hingga Easter Island.
Untuk membandingkannya, Van Oven mengambil sampel darah Karo dan Batak
dan menemukan marka DNA yang lebih variatif. Anehnya lagi, kedua etnis yang
bertetangga wilayahnya dengan Pulau Nias ini tak memiliki dua marka genetik Nias.
Perbandingan menggunakan 1.500 sampel dari 38 populasi dari Asia Timur, Asia
Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Australia mengkonfirmasi keseragaman DNA Ono
Niha. “Genetik orang Nias tampak paling mirip dengan populasi dari Taiwan dan
Filipina,” ujar dia.
Kesimpulan ini didukung pakar genetika Profesor Herawati Sudoyo. Lewat
proyek penelitian Pan-Asian SNP Initiative, Deputi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman
ini memetakan DNA suku bangsa di Indonesia dan menemukan Indonesia tak hanya
terdiri atas dua rumpun besar–Melayu di barat dan Papua di timur–tapi juga terdapat
rumpun ketiga.
“Nias membentuk satu cluster dengan orang Mentawai dan Taiwan,” kata
Herawati. Orang Simeulue dan Enggano, penghuni deretan pulau paling barat di
Kepulauan Mentawai kemungkinan juga tergolong cluster ini. Menurut Herawati, isolasi
geografis menyebabkan keseragaman materi genetik orang Nias. Kultur perkawinan yang
“eksklusif” turut memperparah kondisi ini. “Mereka kawin dengan sesama orang Nias
sehingga materi genetik tidak menyebar,” ujarnya. Suku bangsa di daerah lain di
Indonesia menunjukkan tren materi genetik yang lebih beragam. Kondisi ini menandakan
terjadinya efek penyempitan genetik (bottleneck event) dalam sejarah orang Nias.
Penyempitan genetik ternyata juga memicu perbedaan yang sangat kuat di antara
11 klan orang Nias. “Orang di Nias utara dan selatan sangat berbeda,” kata Van Oven.
Klan Gözö, Hia, Ho, Laoya, Daeli, Zebua, Hulu, dan Zalukhu di tengah dan utara hanya
memiliki marka genetik O-119. Sedangkan di selatan, tiga klan bangsawan, Sarumaha,
Fau, dan Si’ulu, sama-sama mewarisi marka genetik O-110 yang dominan pada
kromosom Y mereka.
Van Oven mengatakan, sistem perkawinan orang Nias, yang mengambil istri dari
luar klan, turut mempengaruhi isolasi genetik ini. Sistem yang dikenal dengan patrilineal
clan and exogamus marriage ini mengharuskan seorang pria dari satu klan menikahi
perempuan dari klan yang berbeda. Perempuan yang dinikahi itu kemudian harus pindah
ke daerah tempat tinggal pria. Keunikan DNA orang Nias ini tak dapat dilepaskan dari
aliran gen ke Nusantara. Van Oven menduga orang Nias mewarisi gen mereka dari orang
Taiwan yang bermigrasi ke Indonesia lewat Filipina menuju Kalimantan dan Sulawesi–
teori penyebaran Formosa, yang diambil dari nama pulau Formosa di Selat Taiwan.
Gelombang migrasi manusia modern ini sebenarnya dimulai dari Afrika.
Gelombang ini sampai di Taiwan 6.000 tahun lalu. Proses aliran gen hingga mencapai
Nias 1.000-2.000 tahun kemudian. Rute ini didukung bukti kemiripan DNA suku Nias
dengan penduduk Filipina.
(sumber:https://efriritonga.wordpress.com/2013/06/18/nenek-moyang-suku-nias-dari-
taiwan-ke-ono-niha/)
PERSEBARAN
Ciri khas orang Nias,
terutama dari kawasan Nias Utara,
Nias Tengah, dan Kota
Gunungsitoli, secara dominan dapat
diidentifikasi dengan mudah, yakni
berambut hitam, berbentuk oval,
berkulit putih, dan berpostur tubuh
sedang. Hal ini berbeda sedikit
dengan ciri khas orang Nias yang
berasal dari Nias Selatan, terutama
asal Teluk Dalam yang memiliki wajah lojong dengan rahang keras dan berpostur
tubuh tinggi. Meski demikian, mereka juga berkulit putih seperti orang China namun
matanya tidak sipit.
Yohanes Hammerle, pendiri Yayasan Pusaka Nias, mengatakan, orang-orang
Nias awalnya berasal dari Gomo, yakni salah satu kecamatan di Kabupaten Nias
Selatan, tepatnya di Sifalago-Gomo. Hal inI sejalan dengan hasil penelitian Mannis
Van Oven, seorang peneliti spesialis DNA, yang menyebut bahwa salah satu suku
bangsa besar, yakni Austronesian telah melakukan ekspansi sejak 5.000 tahun lalu.
Sebagian besar suku bangsa tersebut merupakan orang Taiwan atau dahulu bernama
Yunan. Van Oven menjelaskan, mereka bermatapencarian sebagai petani.
Selanjutnya, populasi mereka menyebar luas di seluruh Asia Tenggara, termasuk
Sumatera.
Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di nias tahun 1855,
kemudian pada tahun 1863. nias telah dikuasai Belanda tahun 1914. Pulau paling
terkenal rentang sebelah barat Sumatera mungkin Nias. Itu setidaknya yang terbesar
dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC, pulau ini dikenal sebagai
pengekspor budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen. Dengan cara ini bangsawan dari
Nias hierarkis meraih emas dibutuhkan untuk mahar dan pesta-pesta ritual. Nias
adalah masyarakat pejuang yang tidak hanya diperbudak orang, mereka juga pergi
berburu kepala, misalnya untuk upacara pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah
kolonial berusaha untuk mengakhiri ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu
kepala tenang, Nias "kelompok pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka
sendiri" Nias, Sumatera Utara, 1920
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Perdagangan Budak
Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias
disebut “Laku Niha” yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang ke
Gunungsitoli yang terdiri dari 3 suku asli yang berasal dari masyarakat menengah.
Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari Nias.
Didaerah lain banyak budak-budak yang diambil dari suatu daerah, khususnya
dibagian utara. Desa-desa di selatan lebih melindungi masyarakatnya dan lebih susah
untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda mendukung perdagangan budak itu.
Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias utara
telah menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari Nias dikirim
ke banyak tempat, contohnya mereka dijual ke padang (sumbar) karena untuk
melunasi hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa tahun, yang
biasanya sebagai pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang masyarakatnya berasal
dari Nias di Sumbar. Budak-budak Nias juga dikirim ke Penang, Malaysia. Para
Missionaris Khatolik yang tiba di Nias melaporkan bahwa orang-orang China
membawa budak-budak Nias dengan kapal pada tahun 1820. budak-budak ini menjadi
kristen karena diberi kebebasan di Penang. Lyman, seorang missionaris dari Amerika
menyatakan bahwa sebuah kapal Perancis membawa sebanyak 500 orang budak-
budak di tahun 1832.
(sumber: http://www.lpamnias.org/sejarah.php)
BUDAYA DI NIAS
1. LOMPAT BATU (FAHOMBO, HOMBO BATU)
Di masa lampau, pemuda Nias akan mencoba untuk melompati batu setinggi
lebih dari 2 meter, dan jika mereka berhasil mereka akaan menjadi lelaki dewasa dan
dapat bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah. Sejak usia 10 tahun,
anak lelaki di Pulau Nias akan bersiap untuk melakukan giliran "fahombo" mereka.
Sebagai ritual, fahombo dianggap sangat serius dalam adat Nias. Anak lelaki akan
melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka, dengan
mengenakan busana pejuang Nias, menandakan bahwa mereka telah siap bertempur
dan memikul tanggung jawab laki-laki dewasa. Batu yang harus dilompati dalam
fahombo berbentuk seperti sebuah monumen piramida dengan permukaan atas datar.
Tingginya tidak kurang dari 2 meter, dengan lebar 90 cm, dan panjang 60 cm.
Pelompat tidak hanya harus melompati tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus
memiliki teknik untuk mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah,
dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Di masa lampau, di atas papan batu
bahkan ditutupi dengan paku dan bambu runcing, yang menunjukkan betapa seriusnya
ritual ini di mata Suku Nias. Secara taktis dalam peperangan, tradisi fahombo ini juga
berarti melatih prajurit muda untuk tangkas dan gesit dalam melompati dinding
pertahanan musuh mereka, dengan obor di satu tangan dan pedang di malam hari.
2. PERNIKAHAN (FAME ONO NIHALÕ)
Dalam perkawinan adat Nias, ada beberapa syarat yang dilakukan. Sayarat
tersebut adalah, emas kawin "bowo", pihak lelaki harus membayar/melunasi emas
kawin kepada pihak perempuan jika ingin menikah. Adapun syarat lain yaitu,
larangan untuk menikahi sesama marga "mado", terkecuali kalau ikatan leluhurnya
telah mencapai angkatan atas. Perkawinan adat Nias memiliki beberapa tahap, yaitu:
Tahap 1 "Meminang si perempuan"
Tahap pertama ini terdiri dari upacara "mamebola", yaitu upacara mengantar emas
tunangan kepada pihak perempuan. Pihak perempuan turut membalas pemberian
pihak lelaki, dengan memberi berupa daging, jantung, rahang, dan hati babi rebus.
Kemudian dilakukan upacara balasan terimakasih dari pihak lelaki, yaitu upacara
"famuli mbola", yakni upacara pengembalian tempat daging babi.
Tahap 2 "Menentukan hari pernikahan"
Tahap kedua ini, pihak keluarga lelaki dan perempuan akan berkumpul
untuk membicarakan kapan hari pernikahan dilaksanakan. Dan hari pernikahan pun
akan ditentukan setelah biaya pernikahan dari kedua pihak telah terkumpul. Acara
penentuan hari pernikahan ini disebuat "fangato bongi".
Tahap 3 "Melaksanakan upacara pernikahan"
Tahap ini adalah yang utama, karena dalam tahap ini dilangsungkannya
pernikahan. Upacara pernikahan disebut "fangowalu", dan dalam upacara ini akan ada
banyak babi yang disembelih, yang akan disajikan kepada para tamu undangan.
Semakin banyak babi yang disembelih, menandakan pihak yang mengadakan
pernikahan adalah orang kaya "niha siso".
Tahap 4 "Mengunjungi orang tua si perempuan"
Tahap ini disebut "famuli mukhe", yaitu upacara pulang ke rumah orang tua si
perempuan, dengan tujuan menjenguk. Mengunjungi orang tua si perempuan,
diharuskan membawa oleh-oleh pernikahan, berupa daging babi.